Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014)
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP HASIL BELAJAR IPA DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA KELAS V SD Pt. A. Melinda Wulandari1, Siti Zulaikha2, I Km. Ngurah Wiyasa3 1,2,3
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia
e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung; (2) perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung; (3) perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung; dan (4) pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat Tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan menggunakan Pretest-Postest Control Group Design. Jenis penelitian adalah eksperimen semu dengan nonequivalent control group design, dengan rancangan analisis faktorial 2x2. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat, yang berjumlah 502 siswa. Sampel penelitian ini berjumlah 96 siswa. Data penelitian ini dikumpulkan dengan tes berpikir kreatif dan tes hasil belajar yang dianalisis dengan statistik uji Anava AB, uji-t dan uji Tukey. Hasil penelitian diperoleh: (1) hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung (F A=6,21 dan thitung=3,05 taraf signifikan 0,05); (2) kelompok siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, memperoleh hasil belajar IPA lebih tinggi bila belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung (Q=9,06 taraf signifikan 0,05); (3).kelompok siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, memperoleh hasil belajar IPA lebih rendah bila belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung (Q=4,06 taraf signifikan 0,05); (4) terdapat pengaruh interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar IPA siswa (FAB=42,82 taraf signifikan 0,05), dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah berpengaruh terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari kemampuan berpikir kreatif siswa kelas V SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat Tahun Pelajaran 2013/2014. Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran langsung, kemampuan berpikir kreatif, hasil belajar IPA
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Abstract This study aimed to determine: (1) the significant differences of science learning outcomes between students treated by problem-based learning and direct instruction; (2) the significant differences of students science learning outcomes who have high creative thinking skill between students treated by problem-based learning and direct instruction; (3) the significance differences of students science learning outcomes who had low creative thinking skill between students treated by problem-based learning and direct instruction; and (4) the effect of interaction between learning method and creative thinking skill to students science learning outcomes in fifth grade SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat in the academic year 2013/2014. This study was experimental study by using pre-test and post-test control group design. This study was a quasi experimental with non-equivalent control group design, with a 2x2 factorial analysis design. The population of the study was all students in the fifth grade SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat, which amounted to 502 students. The sample was 96 students. The data was gathered by creative thinking test and test result which were statistically analyzed by anava AB, t-test and tukey test. The result obtained: (1).science learning outcomes of students treated by problem-based learning is higher than students treated by direct instruction (FA = 3,05 tcount = 6,21 and the significant level 0.05); (2) group of students who have high creative thinking skill achieving higher science learning outcomes by using problem-based learning.compared with the result of students treated by direct instruction (Q = 9.06 at significant level of 0.05); (3) group of students who have low creative thinking skill achieving lower science learning outcomes by using problem-based learning compared with the result of students treated by direct instruction (Q=.4.06 at significant level 0.05); (4) there is significant effect of interaction between learning method and creative thinking skill to science learning outcomes of the students (F AB = 42,82 at significant level of 0.05. Thus, it can be concluded that problem-based learning effect on science learning outcomes in terms of the creative thinking ability of the students in fifth grade SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat in the academic year 2013/2014. Key words : problem-based learning, direct instruction, creative thinking ability, science learning outcome
PENDAHULUAN Di zaman era globalisasi, peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional, dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan sumber daya manusia Indonesia secara menyeluruh. Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Terdapat beberapa hal yang sangat penting tentang konsep pendidikan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut yaitu: (1) Proses pendidikan
disekolah diarahkan pada pencapaian tujuan, (2) Pendidikan tidak semata-mata untuk mencapai hasil belajar, tetapi bagaimana proses belajar yang dilakukan dalam mencapai hasil belajar. (3) Proses belajar haruslah berorientasi pada siswa, sehingga siswa dapat mengembangkan potensi dirinya, (4) Proses pendidikan hendaknya bermuara kepada pembentukan sikap, kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan keterampilan anak sesuai dengan kebutuhan. Namun pada kenyataannya, konsep pendidikan yang diamanatkan pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut belum terlaksana sepenuhnya. Gejala umum proses pendidikan disekolah terlalu menjejali otak anak dengan berbagai bahan ajar yang bersifat hafalan, yang kurang diarahkan untuk membentuk manusia yang cerdas, memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup,
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) dan menjadi manusia yang kreatif dan inovatif. Walaupun ada siswa yang mampu memiliki tingkat hafalan yang baik terhadap materi pelajaran yang diterimanya, namun kenyataan mereka sering kurang memahami dan mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hafalan tersebut (Depdiknas, 2003). Kondisi ini juga menimpa pada pembelajaran IPA, yang memperlihatkan bahwa selama ini proses pembelajaran sains di sekolah dasar masih banyak yang dilaksanakan secara konvensional. Kecenderungan yang sering terjadi, kegiatan pembelajaran kurang memfokuskan pada pengembangan keterampilan proses sains siswa. Pada akhirnya kegiatan pembelajaran sains dilakukan hanya terpusat pada penyampaian materi dalam buku teks. Seharusnya untuk jenjang sekolah dasar, yang diutamakan adalah bagaimana mengembangkan rasa ingin tahu dan daya berpikir siswa terhadap suatu masalah (Marjono dalam Susanto, 2013: 167). Sains atau IPA adalah usaha manusia dalam memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta menggunakan prosedur, dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapatkan suatu kesimpulan (Susanto, 2013 : 167). Pembelajaran IPA atau sains menekankan pada pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu memahami alam sekitar melalui proses “mencari tahu” dan “berbuat”, sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam (Candra, 2013). Pada dasarnya pembelajaran IPA atau sains di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitarnya, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya pada kehidupan seharihari, yang didasarkan pada metode ilmiah yang terwujud melalui suatu rangkaian kerja ilmiah, nilai dan sikap ilmiah. Dengan demikan, IPA merupakan tahap awal untuk memberi bekal kemampuan kepada siswa agar mereka dapat berpikir kritis, kreatif, dan logis dalam menghadapi
berbagai permasalahan hidup seperti isuisu dan perkembangan dalam masyarakat yang diakibatkan oleh dampak perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta seni (Candra, 2013). Namun apabila proses pembelajaran yang dilaksanakan masih berpusat pada guru saja maka hal tersebut hanya akan menghambat kemampuan berpikir kreatif siswa. Berpikir kreatif adalah pola berpikir yang didasarkan pada suatu cara yang mendorong seseorang untuk menghasilkan produk yang kreatif (Hassoubah, 2007: 50). Produk kreatif ini tidak saja berupa benda nyata tetapi juga dapat berupa ide-ide baru (Filsaime, 2008: 5). Kemampuan berpikir kreatif dapat dilihat dari cara berpikir siswa untuk memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan masalah yang diberikan dengan penekanan pada kualitas, keragaman, orisinalitas jawabannya. Dalam kaitannya dengan pembelajaran IPA, kemampuan berpikir kreatif sangat diperlukan, karena dalam IPA siswa akan menemukan berbagai permasalahan di kehidupan sehari-harinya yang harus mereka pecahkan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang dapat membuat siswa ikut berperan aktif. Guru juga harus bijaksana serta memilih dan menerapkan pendekatan-pendekatan atau modelmodel pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan karakteristik siswa, karakteristik mata pelajaran serta lingkungan belajar siswa. Sehingga dapat merangsang keaktifan serta membangun kreatifitas siswa dalam memecahkan berbagai masalah yang akan ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu model pembelajaran yang inovatif adalah model pembelajaran berbasis masalah. Melalui penerapan model ini, diharapkan siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus memperbaiki hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPA. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) atau
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) yang sering disingkat dengan PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Esensi Pembelajaran Berbasis Masalah adalah menyuguhkan berbagai situasi bermasalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan (Arends, 2008 : 41). Fokus pembelajaran model ini ada pada masalah yang dipilih, sehingga siswa tidak saja mempelajari konsepkonsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut (Ngalimun, 2012:90). Pembelajaran yang berlangsung dalam model ini, dimulai oleh adanya masalah, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah menarik untuk dipecahkan dan menyelesaikannya melalui kerja kelompok sehingga mereka terdorong untuk berperan aktif dalam pembelajaran serta memperoleh berbagai pengalaman belajar seperti kerjasama, berinteraksi, membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Penerapan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran IPA, diharapkan dapat memberikan pengaruh pada hasil belajar IPA yang ditinjau dari kemampuan berpikir kreatif siswa, sehingga siswa lebih mandiri dan tanggap dalam menghadapi permasalahan disekitarnya, siswa menjadi lebih kreatif untuk menemukan suatu solusi dari permasalahan tersebut, siswa akan terbiasa untuk berpikir secara kritis dan terbuka serta meningkatkan keterampilan sosial dalam hal interaksi dengan orang lain. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar IPA Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Kelas
V SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui .(1).perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung, (2) perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung,.(3).perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung, dan (4) pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas V SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat Tahun Pelajaran 2013/2014. METODE Penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian eksperimen semu (Quasi eksperimen), dengan rancangan eksperimen The Non-equivalen PretestPosttest Control Group Design. Penelitian ini melibatkan kemampuan berpikir kreatif sebagai variabel moderator, maka rancangan penelitiannya sering disebut dengan rancangan faktorial (factorial design) Sugiyono (2012:113) bahwa desain faktorial merupakan modifikasi dari design true experimental, yaitu dengan memperhatikan kemungkinan adanya variabel moderator yang mempengaruhi perlakuan (variabel independen) terhadap hasil (variabel dependen). Berdasarkan Rancangan penelitian di atas, sebelum dilakukan perlakuan (treatment), pretest dilakukan pada kelompok eksperimen maupun pada kelompok kontrol yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa. Selanjutnya setelah treatment dilakukan, pada kedua kelompok dilakukan test hasil
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) belajar (posttest) yang sama pada kedua kelompok kemudian dibandingkan hasilnya (gainscore) antara kedua kelompok. Dalam penelitian ini populasi merupakan kelompok yang digunakan sebagai subjek penelitian. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012:117). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD di Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai tahun pelajaran 2013/2014 yang terdistribusi menjadi 11 kelas yaitu dua kelas di SD N 3 Padangsambian, dua kelas di SD N 5 Padangsambian, satu kelas di SD N 6 Padangsambian, tiga kelas di SD N 11 Padangsambian, satu kelas di SD N 17 Padangsambian, dan dua kelas di SD N 18 Padangsambian. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012:118). Dalam penentuan sampel untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol pada penelitian ini menggunakan tehnik random sampling yang dilakukan pada kelas yang memiliki kesetaraan. Untuk mendapatkan kelas yang setara dilakukan penghitungan nilai rata-rata potensi akademik siswa pada hasil ulangan akhir semester satu kelas V pada mata pelajaran IPA, kemudian diuji dengan menggunakan rumus uji-t. Setelah dilakukan uji kesetaraan, diperoleh 38 pasang kelas yang setara yang kemudian dipilih satu pasang untuk kelas eksperimen dan satu pasang untuk kelas kontrol dengan teknik random sampling. Bersadarkan teknik tersebut ditetapkan kelas Va dan Vb SD 18 Padangsambian dengan jumlah 89 siswa sebagai kelompok eksperimen serta kelas Vb dan Vc SD 11 Padangsambian dengan jumlah 90 siswa sebagai kelompok kontrol. selanjutnya pada masing-masing kelompok dipilih menjadi dua, yaitu kelompok yang terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi dan kelompok yang terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah. Dalam menentukan individu yang
termasuk kemampuan berpikir kreatif tinggi dan kemampuan berpikir kreatif redah digunakan skor tes kemampuan berpikir kreatif yang dikembangkan oleh Munandar (dalam Sujana, 2002). Berdasarkan tes tersebut diperoleh komposisi sampel yaitu (1) 24 orang siswa memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi mengikuti model pembelajaran berbasis masalah, (2) 24 orang siswa memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah mengikuti model pembelajaran berbasis masalah, (3) 24 orang siswa memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi mengikuti model pembelajaran langsung, serta (4) 24 orang siswa memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah akan mengikuti model pembelajaran langsung. Dalam penelitian ini, melibatkan variabel bebas (independen) yaitu model pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran langsung (model konvensional), variabel terikat (dependen) yaitu hasil belajar IPA dan variabel moderator yaitu kemampuan berpikir kreatif siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah ada dua yaitu data hasil belajar IPA dan data kemampuan berpikir kreatif siswa. Untuk mengumpulkan data hasil belajar IPA menggunakan tes hasil belajar IPA. Sedangkan untuk mengumpulkan data kemampuan berpikir kreatif siswa menggunakan tes kemampuan berpikir kreatif. Tes hasil belajar IPA dilakukan sebelum treatment (sebagai pre-test) dan sesudah treatment (sebagai post-test). Hasil belajar IPA setiap individu adalah selisih skor pre-test dan post-test (gainscore) dari masing masing siswa. Sebelum digunakan, tes hasil belajar IPA dilakukan divalidasi yaitu validitas isi dengan menyusun kisi-kisi soal dan mencari masukan melalui penilaian dua orang ahli (expert judgement), kemudian hasil penilaian dari dua orang ahli dimasukkan ke dalam tabulasi silang (2x2). Sedangkan untuk tes kemampuan berpikir kreatif menggunakan tes kemampuan berpikir kreatif yang telah dikembangkan oleh Munandar. Instrumen yang berupa tes hasil belajar IPA dalam bentuk uraian dan tes kemampuan berpikir
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) kreatif, diujicobakan kepada siswa yang tidak menjadi sampel dalam penelitian. Selanjutna dihitung validitas butirnya dengan cara mengkorelasikan skor butir dengan skor total melalui korelasi product moment. Reliabilitas merujuk pada ketepatan atau keajegan alat pengukur tersebut dalam menilai apa yang diinginkan. Suatu tes dikatakan memiliki reliabilitas tinggi, jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tepat (ajeg) (Agung, 2010:57). Penghitungan reliabilitas instrumen dalam penelitian ini digunakan rumus koefisien Alpha Cronbach. Metode analisis data pada penelitian ini diperlukan untuk mendeskripsikan data penelitian secara umum menggunakan statistika deskriptif dan untuk menguji hipotesis penelitian yang diajukan digunakan teknis analisis varians (ANAVA) dua jalur. Sebelum analisis data dilakukan terlebih dahulu uji persyaratan analisis statistika, yaitu: (1) uji normalitas menggunakan uji kolmogorov-smirnov (KS), untuk mengetahui apakah sebaran data sampel berdistribusi normal apa tidak, (2) uji homogenitas menggunakan Uji Bartlett (Bartlett test), untuk megetahui apakah varians antara kelompok data satu dengan yang lainnya berbeda/tidak secara signifikan. Bila semua persyaratan uji hipotesis terpenuhi maka dilanjutkan dengan analisis ANAVA AB (dua jalur), kemudian hasil perhitungan dituangkan ke dalam tabel ringkasan ANAVA dua jalur. Untuk meyakinkan kelompok mana yang perolehan hasil belajarnya lebih tinggi, dilakuan uji-t satu pihak. Bila dari hasil analisis diperoleh ada interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan berpikir kreatif dalam pengaruhnya terhadap hasil belajar IPA siswa maka dilanjutkan dengan uji Tukey, untuk menentukan kelompok mana yang
memiliki hasil belajar IPA lebih tinggi dan memperkuat dukungan terhadap hasil analisis menggunakan ANAVA dua jalur. HASIL DAN PEMBAHASAN Data yang terkumpul dalam peneltian ini adalah: (1) Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah (A1); (2) Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung (A2); (3) Hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi (B1); (4) Hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah (B2); (5) Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi (A1B1); (6) Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah dan memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah (A1B2); (7) Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung dan memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi (A2B1); dan (8) Hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung dan memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah (A2B2). Skor hasil belajar IPA siswa dalam penelitian ini adalah gainscore yaitu selisih antara skor pre-tes dan post-tes yang diujikan pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Untuk mendapatkan gambaran mengenai karakteristik distribusi skor dari masingmasing variabel, berikut disajikan data hasil belajar IPA siswa (gainscore) yang terdiri dari jumlah perolehan skor, harga mean, median, modus, simpangan baku (standar deviasi), varians, skor terendah, skor tertinggi, histogram, dan katagorisasi masing-masing variabel yang diteliti.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil perhitungan gainscore tes hasil belajar IPA siswa Data Statistik N
A1
A2
B1
B2
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
48
48
48
48
24
24
24
24
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) Mean Median Modus SD Varians Range Minimum Maksimum Jumlah
43,56 39,56 47,42 43 40 48 28 40 40 13,81 7,52 10,86 190,72 56,55 117,82 52 32 47 18 23 23 70 55 70 2091 1899 2276
Untuk menentukan tingkat efektivitas perlakuan terhadap hasil belajar IPA dari masing-masing kelompok, dilakukan analisis data gain score dengan menentukan gainscore ternormalisasi (
). Hasil analisis data yang diperoleh adalah: (1) gainscore ternormalisasi pada kelompok data A1 adalah 0,6 dan terkategori sedang; (2) gainscore ternormalisasi pada kelompok data A2 adalah 0,54 dan terkategori sedang; (3) gainscore ternormalisasi pada kelompok data B1 adalah 0,64 dan terkategori sedang; (4) gainscore ternormalisasi pada kelompok data B2 adalah 0,5 dan terkategori sedang; (5) gainscore ternormalisasi pada kelompok data A1B1 adalah 0,74 dan terkategori tinggi; (6) gainscore ternormalisasi pada kelompok data A1B2 adalah 0,46 dan terkategori sedang; (7) gainscore ternormalisasi pada kelompok data A2B1 adalah 0,54 dan terkategori sedang; (8) gainscore ternormalisasi pada kelompok data A2B2 adalah 0,54 dan terkategori sedang. Sebelum data dianalisis dengan ANAVA dua jalur, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis statistika yaitu uji normalitas data dan uji homogenitas. Uji normalitas dalam penelitian ini dilakukan dengan Bantuan SPSS. 17 for Windows pada delapan variasi kelompok data. Hasil perhitungan dan uji signifikan normalitas sebaran data dengan uji Kolmogorov-Smirnov (K-S) diperoleh bahwa nilai propabilitas A1 adalah 0,200, nilai propabilitas A2 adalah 0,200, nilai propabilitas B1 adalah 0,200, nilai propabilitas B2 adalah 0,198, nilai propabilitas A1B1 adalah 0,200, nilai propabilitas A1B2 adalah 0,200, nilai
35,71 36,5 38 8,22 67,62 35 18 53 1714
54,67 55 55 8,30 68,84 30 40 70 1312
32,46 33 28 7,97 63,56 30 18 48 779
40,17 40 40 7,89 62,23 32 23 55 964
38,96 39 38 7,25 52,56 30 23 53 935
propabilitas A2B1 adalah 0,200, dan nilai propabilitas A2B2 adalah 0,200. Hal ini menunjukkan bahwa kedelapan kelompok memperoleh nilai probabilitas (p) lebih besar dari taraf signifikan (α) = 0,05 (p > 0,05), maka H0 diterima dan Ha ditolak. Jadi disimpulkan bahwa sampel berasal dari populasi berdistri normal. Pengujian homogenitas data pada penelitian ini dilakukan dengan uji Bartlett. Terlebih dahulu data gain score hasil belajar IPA siswa dikelompokkan berdasarkan kelompok sampel sesuai perlakuan penelitian, yaitu kelompok A1B1, A1B2, A2B1 dan A2B2. Setelah itu keempat kelopok tersebt diuji homogenitasnya. Berdasarkan perhitungan diperoleh χ2hitung = 0,43 sedangkan untuk taraf signifikansi 5% dan dk = k-1 = 4-1 = 3; χ2tab = 7,82. Karena χ2 hitung < χ2tab = maka H0 diterima; Jadi data hasil belajar siswa berasal dari populasi yang homogen dan keempat kelompok data berasal dari populasi yang homogen. Sedangkan uji homogenitas varians data menggunakan SPSS. 17 for Windows diperoleh hasil harga F-Levene’s sebesar 0,192 dengan nilai probabilitas sebesar 0,901 jadi p > 0,05. Interpretasi data ini menunjukkan bahwa keempat kelompok data berasal dari populasi yang homogen. Berdasarkan hasil uji prasyarat, disimpulkan bahwa data semua kelompok berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, uji hipotesis dengan ANAVA faktorial 2x2 dapat dilanjutkan. Hipotesis pertama berbunyi “Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) melalui model pembelajaran langsung”. Secara statistik dapat dirumuskan H0 : A1 = A2 dan Ha : A1 ≠ A2. Hasil uji dengan ANAVA dua jalur menunjukkan bahwa nilai FA hitung = 6,21 Ftabel (0,05) (1:94) = 3,95. Berdasarkan analisis ini, H0 ditolak dan Ha diterima. Jadi terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung. Untuk mengetahui kelompok yang memiliki hasil belajar IPA lebih tinggi maka dilakukan uji lanjut yaitu uji-t. Berdasarkan hasil uji-t diperoleh thitung = 3,05 ˃ ttabel (0,05) = 1,98. Selain itu, berdasarkan deskripsi data penelitian, menunjukkan bahwa hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah memiliki mean gainscore 43,56 sedangkan siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung memiliki mean gainscore 39,56. Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung. Hipotesis kedua berbunyi “Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung”. Secara statistik dapat dirumuskan sebagai berikut. H0 : A1B2 = A2B2 dan Ha : A1B2 ≠ A2B2. Hasil perhitungan dengan ANAVA dua jalur menunjukkan bahwa mean kuadrat dalam (RKdalam) sebesar 61,8. Untuk menentukan kelompok mana yang memiliki hasil belajar IPA lebih tinggi maka dilakukan uji Tukey. Dari hasil uji tukey diperoleh Qhitung = 9,06 ˃ Qtabel =3,90. Berdasarkan hasil analisis tersebut, H0 yang menyatakan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, tidak terdapat perbedaan hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah (A1B1) dengan siswa yang belajar melaui model pembelajaran langsung (A2B1) ditolak.
Selain itu, berdasarkan deskripsi data menunjukkan bahwa hasil belajar IPA siswa pada kelompok data A1B1 memperoleh mean gainscore 54,67, sedangkan siswa pada kelompok data A2B1 memperoleh mean gainscore 40,17. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung. Hipotesis ketiga berbunyi “Terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung”. Secara statistik dapat dirumuskan H0 : A1B2 = A2B2 dan Ha : A1B2 ≠ A2B2. Hasil uji dengan ANAVA dua jalur menunjukkan bahwa mean kuadrat dalam (RKdalam) sebesar 61,8. Untuk menentukan kelompok yang memiliki hasil belajar IPA lebih tinggi maka dilakukan uji Tukey. Dari hasil uji tukey diperoleh Qhitung = 4,06 ˃ Qtabel =3,90. Berdasarkan hasil analisis tersebut, H0 yang menyatakan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, tidak terdapat perbedaan hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah (A1B2) dengan siswa yang belajar melaui model pembelajaran langsung (A2B2) ditolak. Selain itu berdasarkan deskripsi data penelitian, juga menunjukkan bahwa hasil belajar IPA siswa pada kelompok data A1B2 memperoleh mean gainscore 32,46. Sedangkan siswa pada kelompok data A2B2 memperoleh mean gainscore 38,96. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih rendah dibandingkan hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung. Hipotesis keempat berbunyi “Terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan berpikir
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) kreatif terhadap hasil belajar IPA siswa”. Secara statistik dapat dirumuskan H0 : INT A x B = 0 dan Ha : INT A x B ≠ 0. Hasil uji hipotesis kedua menunjukkan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung, dan hasil uji hipotesis ketiga menunjukkan bahwa untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran berbasis masalah lebih rendah daripada hasil belajar IPA siswa yang mengikuti model pembelajaran langsung. Hasil uji ANAVA (AxB) menunjukkan, bahwa model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran langsung memberikan pengaruh yang berlawanan terhadap hasil belajar IPA siswa. Nilai FAB hitung = 42,82 > Ftabel(0,05) = 3,94. Ini berarti H0 yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar IPA siswa, ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa, terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar IPA siswa. Hasil uji hipotesis keempat ini merupakan penegasan kembali atas hasil uji hipotesis kedua dan ketiga yang menunjukkan adanya simple effect yang berbeda pada dua kelompok yang berbeda. Pada hipotesis pertama perbedaan hasil belajar IPA siswa antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung, disebabkan oleh karakteristik model pembelajaran berbasis masalah yang memberikan dampak pada hasil belajar IPA siswa yang lebih maksimal. Melalui model pembelajaran berbasis masalah, siswa mendapatkan informasi dengan lengkap untuk dirinya dan pengaplikasian informasi tersebut pada situasi tertentu akan mengarahkan pemahaman dan ingatan siswa pada tingkat yang lebih tinggi. Model ini memberikan suatu permasalahan yang tidak terstruktur dengan baik dan pemecahan yang tidak
terpusat pada satu saja. Selain itu, siswa diberikan pengalaman langsung untuk memecahkan permasalahan yang terjadi di dunia nyata dengan menerapakan teori yang telah didapatkan, sehingga proses memperoleh pengetahuan digali dan ditemukan sendiri oleh siswa, pengetahuan yang diperoleh akan lebih lama tersimpan dalam struktur kognitif siswa. Hal ini sejalan dengan karakteristik dari materi pembelajaran IPA. Karena karakteristik pembelajaran IPA menghendaki pemahaman tidak hanya pada persoalan-persoalan yang bermuatan akademik saja tetapi secara kontekstual (Susanto, 2013). Sedangkan untuk model pembelajaran langsung, teknik pelaksanaan pembelajarannya dekat kaitannya dengan pembelajaran konvensional yaitu adanya penyajian informasi atau materi secara langsung yang dilakukan oleh guru kepada siswa. Dalam model pembelajaran langsung, peranan guru lebih dominan dibandingkan pembelajaran berbasis masalah karena pembelajarannya dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan mempersipkan siswa yang diikuti oleh menyajikan informasi tahap demi tahap. Sehingga secara keseluruhan model pembelajaran berbasis masalah terbukti lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran langsung. Pada hasil uji hipotesis kedua, perbedaan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung, disebabkan karena siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi mempunyai tujuan dan akuntabilitas individu, yang dibutuhkan dalam mencapai kesuksesan dalam menyelesaikan tugas mandiri maupun tugas kelompok dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah. Setiap individu memiliki kemampuan berpikir kreatif yang berbedabeda. Faktor perbedaan ini merupakan hal penting yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan, salah satunya ialah kemampuan berpikir kreatif siswa. Bagi siswa yang memiliki kemampuan berpikir
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) kreatif tinggi, akan mampu dalam menghasilkan banyak gagasan atau jawaban yang relevan, mengubah cara atau pendekatan, memberi jawaban yang lain dari pada lain, dan mampu mengembangkan atau menambah atau memperkaya suatu gagasan. Hal ini sangat mendukung penerapan model pembelajaran berbasis masalah, karena sangat cocok dengan karakteristik yang dimilikinya. Model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran, dapat mengakomodasi perbedaan-perbedaan pada diri siswa, membantu siswa mengaitkan materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Arends, 2008). Dalam pembelajaran berbasis masalah, siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, dan mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Kemampuan berpikir kreatif dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam membangun pengetahuannya. Adanya kesesuaian antara model pembelajaran berbasis masalah dengan keragaman kemampuan berpikir kreatif siswa serta sesuai dengan pembelajaran IPA, maka wajar saja untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung. Pada hasil uji hipotesis ketiga, perbedaan hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung, disebabkan oleh siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah kurang mampu berinteraksi bila dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah. Siswa yang kemampuan berpikir kreatifnya rendah memiliki sedikit startegi pemecahan masalah dan sedikit kemampuan untuk menciptakan strategi
pemecahan dari masalah yang sifatnya unik dan baru. Mereka akan cenderung mempelajari satu cara untuk memecahkan masalah yang ditemuinya. Dalam mengutarakan gagasan, mereka mempunyai kemampuan yang kurang menyusun gagasan secara kreatif. Mereka tidak menyukai kegiatan yang mengharuskannya untuk memproduksi dan mengkontruksi jawabannya sendiri dan lebih menikmati hal yang memintanya untuk memanipulasi pilihan-pilihan jawaban yang disediakan (cenderung lebih nyaman dan terikat pada apa yang telah ada). Sehingga siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah akan lebih cocok jika dibelajarkan melalui model pembelajaran langsung, karena karakteristik utama dari pembelajaran langsung adalah menuntut siswa untuk mempelajari suatu keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang diajarkan selangkah demi selangkah oleh guru (Kardi dan Nur dalam Trianto, 2007). Sedangkan jika dibelajarkan melalui model pembelajaran berbasis masalah akan kurang tepat dan berpengaruh negatif terhadap hasil belajarnya. Adanya hubungan yang erat antara kemampuan berpikir kreatif rendah dengan model pembelajaran langsung, mendukung hasil penelitian bahwa bagi siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, hasil belajar IPA siawa yang belajar melalui model pembelajaran langsung lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah. Pada hasil uji hipotesis keempat, telah membuktikan bahwa dalam pembelajaran IPA untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, penerapan model pembelajaran berbasis masalah ternyata lebih efektif dari penerapan model pembelajaran langsung. Tetapi untuk siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, ternyata penerapan model pembelajaran langsung lebih efektif dibandingkan dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi cenderung memiliki memiliki kemampuan dalam menghasilkan banyak gagasan
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) atau jawaban yang relevan, mengubah cara atau pendekatan, memberikan jawaban yang lain dari yang lain dan mampu mengembangkan, menambah atau memperkaya dari suatu gagasan, sehingga bila diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah akan memberikan pengaruh yang baik pada hasil belajar IPA mereka. Sedangkan bagi siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah kurang mampu berinteraksi bila diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah, karena siswa yang kemampuan berpikir kreatifnya rendah akan mempelajari satu cara untuk memecahkan masalah dari materi pelajaran. Mereka hanya dapat memecahkan masalah apabila informasi yang dimiliki dapat secara langsung dimanfaatkan untuk menjawab persoalannya. Sehingga bila dibelajarkan melalui model pembelajaran langsung akan memberikan pengaruh yang baik terhadap hasil belajar IPA mereka. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat adanya hubungan yang erat antara kemampuan berpikir kreatif dengan model pembelajaran yang diterapkan. Hal tersebut mendukung hasil penelitian bahwa terdapat pengaruh interaksi antara model pembelajaran yang diimplementasikan dengan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar IPA siswa. PENUTUP Berdasarkan temuan hasil penelitian dan pengujian hipotesis, diperoleh empat simpulan yaitu: pertama, terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar IPA siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung (FA hitung = 6,21 Ftabel (0,05) (1:94) = 3,95.) berdasarkan uji lanjut dengan uji-t diperoleh thitung = 3,05 ˃ ttabel(0,05) = 1,98. Jadi hasil belajar IPA dengan model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan dengan model pembelajaran langsung. Hal ini juga terlihat dari hasil perolehan mean gainscore model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada mean
gainscore model pembelajaran langsung ( A1 = 43,56 ˃ A2 = 39,56). Simpulan kedua, terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung. Penelitaian ini menemukan bahwa untuk kelompok siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif tinggi, hasil belajar IPA melalui model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA melalui model pembelajaran langsung (Qhitung = 9,06 ˃ Qtabel =3,90). Pada kemampuan berpikir kreatif tinggi, mean gainscore model pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi daripada mean gainscore model pembelajaran langsung ( A1B1 = 54,67 > A2B1 = 40,17). Simpulan ketiga, terdapat perbedaan yang signifikan pada hasil belajar IPA siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui model pembelajaran langsung. Penelitaian ini menemukan bahwa untuk kelompok siswa yang memiliki kemampuan berpikir kreatif rendah, hasil belajar IPA melalui model pembelajaran langsung lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA melalui model pembelajaran berbasis masalah (Qhitung = 4,06 ˃ Qtabel =3,90). Pada kemampuan berpikir kreatif rendah, mean gainscore model pembelajaran berbasis masalah lebih rendah daripada mean gainscore model pembelajaran langsung ( A2B2 = 38,96 > A1B2 = 32,46 ). Simpulan keempat, terdapat pegaruh interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan berpikir kreatif terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V SD Gugus Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai Denpasar Barat (FAB = 42,82 dengan p ˃ 0,05). Sehubung dengan temuan penelitian, maka ada beberapa saran yang diajukan yaitu, sekolah perlu memprogramkan secara bertahap untuk menambah sarana dan prasarana penunjang pembelajaran, dan
Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD (Vol: 2 No: 1 Tahun 2014) mensosialisasikan model pebelajaran berbasis masalah kepada para guru sebagai salah satu model pembelajaran alternatif. Guru perlu melakukan identifikasi awal sebelum proses pembelajaran dan selanjutnya melakukan pengelompokan siswa berdasarkan kemampua berpikir kreatifnya. Guru juga sebaiknya berlatih untuk menyususn masalah-masalah praktis dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam proses pembelajaran lebih mengutamakan pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk membantu dalam mengembangkan potensi-potensi dalam diri siswa. Siswa perlu lebih meningkatkan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab terhadap proses pembelajaran. Bagi peneliti lain, perlu dilaksanakannya penelitian yang sejenis lebih lanjut dengan mengambil variabel kontrol yang lebih luas dan cakupan materi yang lebih banyak dengan rancangan yang lebih kompleks, teknik analisis data yang lebih baik, dan mengendalikan pengaruh variabel-variabel luar.
Filsaime, Denis K. 2008. Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta : Prestasi Pustakaraya. Hassoubah, Zaleha Izhab. 2007. Mengasah Pikiran Kreatif dan Kritis. Bandung: Nuansa. Ngalimun. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Banjarmasin: Aswaja Pressindo. Sugiyono, 2009. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. ------,2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sujana, I Wayan. 2002. “Pengaruh Jenis Pendekatan Pembelajaran dan Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif terhadap Perolehan Belajar IPS pada Siswa Kelas VI SD 17 Dauh Puri Denpasar”. Tesis (tidak diterbitkan). Malang: Universitas Negeri Malang.
DAFTAR PUSTAKA
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Agung, A. A. Gede. 2010. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruk tivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka.
Arends, Richard I. 2008. Learning To Teach. New York: McGraw Hill Companies.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional beserta penjelasannya. Jakarta: Depdiknas.
Candra Dewi, Manik Ayu. 2013. “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Berbasis Lingkungan Terhadap Hasil Belajar IPA Ditinjau dari Kemampuan Berpikir Divergen Siswa Kelas V SD Gugus Ir. Seokarno Pedungan”, Skripsi, Universitas Pendidikan Ganesha. Darmadi, Hamid. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Depdiknas, 2003. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Jakarta: Departemen Pendididkan Nasional.