PENGARUH METODE PEMASAKAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL KERANG HIJAU (Perna viridis)
MERLINDA KEMALA DEWI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN
MERLINDA KEMALA DEWI. C34062711. Pengaruh Metode Pemasakan terhadap Kandungan Mineral Kerang Hijau (Perna viridis). Dibimbing oleh SRI PURWANINGSIH dan ELLA SALAMAH. Pemenuhan kebutuhan mineral pada manusia diperoleh dengan cara mengonsumsi bahan pangan baik yang berasal dari nabati maupun hewani. Pada makanan nabati jumlah ketersediaan mineral lebih sedikit, hal ini disebabkan adanya bahan pengikat mineral seperti serat dan asam fitat yang dapat mengganggu penyerapan mineral. Sumber mineral yang paling baik adalah makanan hewani yang umumnya berasal dari laut. Salah satu bahan makanan dari hewan yang dapat menyumbangkan ketersediaan mineral yaitu kerang hijau. Pada umumya kerang hijau dikonsumsi oleh masyarakat setelah mengalami proses pemasakan. Adanya pengaruh yang terjadi pada berbagai metode pemasakan terhadap kelarutan mineral sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh metode pemasakan (perebusan, penggorengan, dan pemanggangan) terhadap kelarutan mineral kerang hijau. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan jumlah mineral makro dan mikro pada kerang hijau, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengetahui kelarutan beberapa mineral yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu Ca, Fe, Zn, dan Se dari komoditas kerang hijau dengan berbagai metode pemasakan (perebusan, penggorengan, dan pemanggangan); serta merekomendasikan kepada masyarakat tentang cara pemasakan untuk memperoleh kandungan gizi mineral yang baik. Penelitian dilaksanakan dalam dua bagian, yaitu bagian pendahuluan dan lanjutan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis proksimat meliputi kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat (by difference) serta total mineral makro dan mikro. Pada tahap penelitian lanjutan, sampel kerang hijau yang telah dilakukan proses pemasakan (perebusan pada suhu 100 0C selama 20 menit, penggorengan 177-221 0C selama 5 menit dan pemanggangan selama 15 menit) kemudian dianalisis kelarutan mineralnya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL). Berdasarkan hasil penelitian kandungan mineral makro tertinggi dari kerang hijau adalah natrium sebesar 403,4564 mg/100 g bb. Kandungan mineral makro lain yang ditemukan pada kerang hijau adalah kalium 257,2207 mg/100 g bb, fosfor 96,7361 mg/100 g bb, magnesium 82,0531 mg/100 g bb, kalsium 29,7597 mg/100 g bb. Kandungan mineral mikro tertinggi dari kerang hijau adalah selenium 288,2553 mg/100 g bb, sedangakan kandungan mineral mikro yang lain dari kerang hijau adalah besi 4,8102 mg/100 g bb, seng 1,8252 mg/100 g bb, tembaga 0,2926 mg/100 g bb. Berdasarkan ketiga proses pemasakan yang memberikan penurunan mineral paling sedikit hingga penurunan paling besar berturut-turut yaitu dari metode pemasakan dengan cara direbus, dibakar dan digoreng. Hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada masyarakat bahwa untuk memperoleh kandungan gizi mineral yang baik, sebaiknya masyarakat mengolah kerang hijau dengan cara direbus.
PENGARUH METODE PEMASAKAN TERHADAP KANDUNGAN MINERAL KERANG HIJAU (Perna viridis)
MERLINDA KEMALA DEWI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perikanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Pengaruh Metode Pemasakan Terhadap Kandungan Mineral Kerang Hijau (Perna viridis)
Nama Mahasiswa
: Merlinda Kemala Dewi
Nomor Pokok
: C34062711
Program Studi
: Teknologi Hasil Perairan
Disetujui Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir Sri Purwaningsih, MSi NIP. 1965 0713 1990 02 2 001
Dra.Ella Salamah, MSi NIP.1953 0629 1988 03 2 001
Diketahui Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal Lulus : .....................................
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia yang tak terhitung banyaknya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah SAW. Penyusunan skripsi yang berjudul Pengaruh Metode Pemasakan terhadap Kandungan Mineral Kerang Hijau (Perna viridis) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada: 1) Dr. Sri Purwaningsih, M.Si dan Dra. Ella Salamah M.Si sebagai komisi pembimbing atas segala saran, kritik, arahan, perbaikan dan motivasi, serta semua ilmu yang telah diberikan. 2) Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji atas arahan dan perbaikan yang telah diberikan. 3) Drs. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 4) Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan Departemen Teknologi hasil Perairan. 5) Kedua orang tua saya Ayahanda Djuanda dan Ibunda Suse Sumiarsih atas segala doa dan apapun yang telah diberikan kepadaku yang tak terhitung banyaknya. 6) Beny Satyahadi, Deki Irawan dan Feny Kristianti yang selalu memberikan semangat dan doanya. 7) Bu Ema, Mba Lastri, Mas Ipul, Mas Zaky, Bu Dian, Pak Toto dan seluruh staf TU THP, terimakasih atas bantuan dan bimbingan selama menjalankan penelitian.
8) Rekan-rekan THP 43, 41,42 dan 44 yang selalu memberikan bantuan tenaga, fikiran, motivasi dan doa untuk membantu penulis dari penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2011
Merlinda Kemala Dewi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi, 8 Maret 1988 sebagai anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Djuanda dan Suse Sumiarsih. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN Kayuringin Poncol 1 Bekasi (tahun 1994-2000), selanjutnya
penulis
melanjutkan
pendidikannya
di
SLTPN 7 Bekasi (tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA PGRI 1 Bekasi dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Setelah satu tahun mengikuti tingkat persiapan bersama, penulis diterima di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Fisheries Procesing Club (FPC) pada tahun 2006-2007 dan pada tahun 2008-2009. Penulis juga aktif sebagai Asisten Luar Biasa mata kuliah Avertebrata Air pada tahun 2007-2008 dan Asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perairan pada tahun 2009-2010. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Metode Pemasakan terhadap Kandungan Mineral Kerang Hijau (Perna viridis) dibimbing oleh Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si dan Dra. Ella Salamah, M.Si.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.... .................................................................
xi
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang..........................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Kerang Hijau ...................................
4
2.2 Komposisi Kimia Kerang Hijau ...............................................
6
2.3 Mineral dan Fungsinya .............................................................
6
2.3.1 Mineral makro ................................................................. 2.3.2 Mineral mikro ..................................................................
7 11
2.4 Kelarutan Mineral .....................................................................
13
2.5 Pengaruh Pengolahan terhadap Kelarutan Mineral ..................
14
3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian...................................................
16
3.2 Bahan dan Alat .........................................................................
16
3.3 Tahap Penelitian .......................................................................
16
3.3.1Pengambilan dan preparasi sampel................................... 3.3.2 Pemasakan….. ................................................................. 3.3.3 Analisis proksimat ........................................................... 3.3.4 Pengujian total mineral .................................................... 3.3.5 Analisis mineral terlarut .................................................. 3.3.6 Rancangan percobaan dan analisis data….......................
17 17 18 21 22 23
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rendemen .................................................................................
24
4.2 Komposisi Kimia Kerang Hijau ...............................................
24
4.3 Komposisi Mineral ...................................................................
27
4.4 Kehilangan Mineral Akibat Pengolahan...................................
32
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...............................................................................
38
5.2 Saran… .....................................................................................
38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
39
LAMPIRAN .......................................................................................
43
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1. Persyaratan lingkungan kerang hijau .......................................................
5
2. Komposisi kimia kerang hijau dalam 100 gram bahan ............................
6
3. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk kalsium ....................................
8
4. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk fosfor .......................................
9
5. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk magnesium .............................. 10 6. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk besi .......................................... 12 7. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk seng ......................................... 13 8. Hasil analisis kimia kerang hijau dalam 100 g bahan segar…................. 25 9. Komposisi mineral makro dan mikro kerang hijau… .............................. 27
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1. Kerang hijau (Perna viridis) ....................................................................
5
2. Diagram alir penentuan total mineral dan kelarutannya .......................... 18 3. Histogram rata-rata kelarutan mineral….. ............................................... 33 4. Grafik uji kenormalan galat kalsium…. ................................................... 44 5. Grafik uji kenormalan galat besi…. ......................................................... 45 6. Grafik uji kenormalan galat seng ............................................................. 45 7. Grafik uji kenormalan galat selenium… .................................................. 46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Pemenuhan rata-rata kecukupan gizi mineral berdasarkan AKG per 100 mg...........................................................
44
2. Grafik uji kenormalan galat Ca, Fe, Zn dan Se .................................
44
3. Analisis ragam ...................................................................................
46
4. Pemenuhan rata-rata kecukupan gizi mineral setelah pemasakan ....
47
5. Uji lanjut Duncan mineral kalsium ...................................................
47
6. Uji lanjut Duncan mineral besi .........................................................
47
7. Uji lanjut Duncan mineral seng .......................................................
48
8. Uji lanjut Duncan mineral selenium.. ...............................................
48
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kerang merupakan salah satu komoditi perairan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Perairan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk produksi kerang. Volume produksi kerang-kerangan di Indonesia dari tahun 2003 sebesar 2.869 ton, tahun 2004 sebesar 12.991 ton dan tahun 2005 sebesar 18.896 ton (DKP 2009). Konsumsi makanan yang berasal dari laut, salah satunya kerang-kerangan, semakin meningkat dikarenakan harganya yang sangat terjangkau untuk memenuhi sumber nutrien bagi kesehatan manusia.
Menurut data pada
tahun 2006, harga kerang hijau basah di tingkat nelayan Rp 600 per kg, sedangkan tahun 2007 Rp 1.000 per kg. Kerang hijau, jika sudah dibersihkan dan direbus harganya bisa naik menjadi Rp 2.500 per kg. Kerang hijau selain harganya terjangkau oleh masyarakat ternyata memiliki nilai gizi yang tinggi dibandingkan dengan daging sapi, kambing, ayam dan telur. Daging kerang hijau mengandung beberapa mineral seperti kalsium, fosfor, besi, iodium (Anonim 2008). Indonesia menghadapi masalah gizi kurang pada saat ini. Masalah gizi kurang pada umumnya disebabkan oleh kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya kualitas lingkungan (sanitasi), kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi, menu seimbang dan kesehatan, dan adanya daerah miskin gizi (iodium). Keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I) disertai dengan perbaikan distribusi pangan, perbaikan ekonomi, dan peningkatan daya beli masyarakat telah banyak memperbaiki keadaan gizi masyarakat, namun empat masalah gizi kurang yang dikenal sejak Pelita I hingga sekarang masih ada walaupun dalam taraf jauh berkurang. Salah satu dari ke empat masalah gizi erat kaitannya dengan kekurangan asupan mineral diantaranya, yaitu anemia gizi besi dan osteoporosis (Almatsier 2001). Pemenuhan kebutuhan mineral pada manusia diperoleh dengan cara mengkonsumsi bahan pangan baik yang berasal dari nabati maupun hewani.
Sumber mineral yang paling baik adalah makanan hewani yang umumnya berasal dari laut. Pada makanan nabati jumlah ketersediaan lebih sedikit, hal ini disebabkan adanya bahan pengikat mineral seperti serat dan asam fitat yang dapat mengganggu penyerapan mineral (Almatsier 2001). Kandungan mineral dalam bahan pangan hanyalah salah satu parameter awal untuk menilai kualitas bahan pangan tersebut, karena yang lebih penting adalah bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas adalah proporsi dari suatu komponen yang dapat digunakan untuk menjalankan dan memelihara metabolisme pada tubuh normal. Mineral bersifat bioavailable apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable sehingga bentuk mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan mineral tersebut di dalam tubuh (Watzke 1998). Pengolahan bahan pangan akan menurunkan kandungan mineral karena zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagaian besar proses pengolahan disebabkan oleh pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi (Sediaoetama 1993). Studi mengenai bioavailabilitas mineral dan komponen gizi lainnya pada manusia paling baik dilakukan secara in vivo menggunakan hewan percobaan, akan tetapi metode ini menghadapi beberapa kendala, seperti prosedur yang rumit, memerlukan biaya yang tinggi dan waktu yang lama serta hasil yang diperoleh mempunyai keragaman yang tinggi. Oleh karena itu langkah awal untuk mempelajari bioavailabilitas mineral adalah mengetahui kandungan mineral pada bahan pangan tersebut dan juga kelarutannya (Santoso et al. 2006). Pada umumya kerang hijau dikonsumsi oleh masyarakat setelah mengalami proses pemasakan. Ada dua bentuk pemasakan yaitu menggunakan panas kering misalnya pembakaran dan penggorengan; menggunakan panas basah misalnya perebusan (Muchtadi 2008).
Adanya pengaruh yang terjadi pada
berbagai metode pemasakan terhadap penurunan mineral sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh metode pemasakan (perebusan, penggorengan dan pemanggangan) terhadap penurunan mineral kerang hijau.
1.2
Tujuan Penelitian
1.2.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis dan jumlah mineral makro dan mikro pada kerang hijau. 1.2.2 Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: a) Mengetahui penurunan beberapa mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, yaitu Ca, Fe, Zn, dan Se dari komoditas kerang hijau dengan berbagai metode pemasakan (perebusan, penggorengan dan pemanggangan). b) Merekomendasikan kepada masyarakat tentang cara pemasakan yang memberikan penurunan mineral paling sedikit.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Deskripsi dan Klasifikasi Kerang Hijau Kerang hijau merupakan salah satu jenis kerang moluska (binatang lunak)
bercangkang dua (bivalva) dengan insang berlapis-lapis (lamellibranchia), berkaki kapak (pelecypoda) dan umumnya hidup di laut. Kerang hijau memiliki warna cangkang bagian luar yang khas mulai dari hijau hingga cokelat. Cangkang bagian luar terdapat garis-garis lengkung yang bentuknya mengikuti pinggiran cangkang. Garis-garis lengkung ini disebut garis pertumbuhan atau garis umur (Asikin 1982). Kerang hijau dewasa memiliki ukuran panjang 4-6 cm dengan lebar yang biasanya setengah dari ukuran panjangnya. Sistematika kerang hijau menurut taksonominya dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Pratt 1935). Phylum
: Mollusca
Kelas
: Pelecypoda
Sub Kelas
: Lamellibranchia
Ordo
: Anisomyaria
Famili
: Mytilidae
Genus
: Perna
Spesies
: Perna viridis
Perna merupakan salah satu jenis Mytilinae, genus lain adalah Mytilus. Pada kerang dewasa antara Perna dan Mytilus dapat dibedakan pada bekas otot penghubung yang meninggalkan pola pada cangkang bagian dalam, selain itu selalu ada otot adductor anterior pada Mytilus juga pada individu yang masih muda, sedangkan pada Perna tidak ditemukan adanya otot tersebut (Vakily 1989). Bentuk kerang hijau dari Perna viridis dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerang hijau (Perna virdis) Sumber : www.indonetwork.co.id Kerang hijau mempunyai bentuk tubuh agak pipih, cangkangnya padat, memanjang dan mempunyai umbo (puncak cangkang) yang mengarah pada tepi
ventral. Pada daerah tropis, seperti Indonesia, kerang dapat berkembang biak dengan baik sepanjang tahun. Sekali perkembangbiak keturunan yang dihasilkan sebanyak 300.000 individu (Suwigyo et al. 1997). Mekanisme makan kerang
hijau, yaitu dengan cara memompakan air ke dalam tubuhnya dengan gerakan cilia dan menyaring partikel mikroskopis. Partikel-partikel ini dilewatkan melalui insang dan akhirnya memasuki perut. Proses ini meyebabkan terkumpulnya plankton, bakteri, senyawa kimia dan partikel-partikel kecil lainnya di dalam saluran pencernaan kerang (Broom 1985). Pertumbuhan kerang hijau membutuhkan suhu berkisar ±30 0C; pH
berkisar 7,6-8,2; salinitas berkisar 29-3‰ dan kedalaman antara 5-5,6 m serta kecerahan berkisar antara 260-400 cm. Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyebutkan dalam laporan tahunan mengenai kondisi lingkungan lingkungan perairan untuk
kehidupan yang baik bagi kerang hijau seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan lingkungan kerang hijau
Parameter jenis DO (mg/l) pH Salinitas (‰) Suhu (0C) Nitrat (mg/l) Fosfat (mg/l)
Nilai 3 - 8 6,5 - 9 26 - 35 15 - 32 2,5 - 3 0,5 - 3
Sumber : Kantor Menteri Negara KLH dan LON LIPI (1984) diacu dalam Porsepwandi (1998).
2.2
Komposisi Kimia Kerang Hijau Kerang hijau merupakan salah satu hewan laut yang sudah lama dikenal
sebagai sumber protein hewani yang harganya relatif terjangkau. Kerang ini merupakan hewan moluska yang sudah dikenal masyarakat, disamping kerang darah dan kerang bulu. Daging kerang hijau sangat lunak dan berair. Daging yang segar umumnya berwarna putih atau orange mengkilap. Daging kerang hijau juga mengandung mineral-mineral kalsium, fosfor, besi, iodium, dan tembaga serta dalam jumlah kecil thiamin, riboflavin, dan niasin (Anonim 2008). Persentase daging kerang hijau lebih besar dibandingkan dengan kekerang-kerangan yang lain, seperi kerang darah dan kerang bulu. Kandungan gizi kerang hijau terdapat dalam daging yang beratnya 30% dari berat keseluruhan, artinya dalam 10 gram berat keseluruhan kerang hijau terdapat 3 gram daging yang sangat potensial untuk dimanfaatkan (Porsepwandi 1998). Komposisi kimia kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi kimia kerang hijau dalam 100 gram bahan Komponen Abu (%) Air (%) Lemak (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg) Fosfor (mg)
Jumlah 1,3-2,0 78 0,4 - 2,4 7,1 - 16,7 2,3 - 4,9 133 170
Sumber : Dore (1991).
2.3
Mineral dan Fungsinya Menurut Arifin (2008) unsur mineral adalah salah satu komponen yang
sangat diperlukan oleh makhluk hidup di samping karbohidrat, lemak, protein dan vitamin, juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Berbagai unsur anorganik (mineral) terdapat dalam bahan biologi, tetapi tidak atau belum semua mineral tersebut terbukti esensial, sehingga ada mineral esensial dan nonesensial. Mineral esensial adalah mineral yang sangat diperlukan dalam proses fisiologis makhluk hidup untuk membantu kerja enzim atau pembentukan organ. Unsurunsur mineral esensial dalam tubuh terdiri atas dua golongan, yaitu mineral
makro dan mineral mikro.
Mineral makro diperlukan untuk membentuk
komponen organ di dalam tubuh. Mineral mikro, yaitu mineral yang diperlukan dalam jumlah sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan dengan konsentrasi sangat kecil. Mineral nonesensial adalah mineral yang peranannya dalam tubuh makhluk hidup belum diketahui dan kandungannya dalam jaringan sangat kecil. Bila kandungannya tinggi dapat merusak organ tubuh makhluk hidup yang bersangkutan, disamping mengakibatkan keracunan, mineral juga dapat menyebabkan penyakit defisiensi. 2.3.1
Mineral makro Menurut Spears (1999) mineral makro merupakan mineral yang
diperlukan atau terdapat dalam jumlah relatif besar meliputi kalsium, fosfor, kalium, natrium, sulfur, klor dan magnesium. Beberapa unsur mineral makro yang dibutuhkan oleh tubuh sebagai berikut: a)
Kalsium Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh,
yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Berdasarkan jumlah tersebut 99% berada di dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit.
Peranan kalsium di dalam cairan
ekstraseluler dan intraseluler memegang peranan penting dalam mengatur fungsi sel, seperti untuk transmisi saraf; kontraksi otot; penggumpalan darah; dan menjaga permeabilitas membran sel serta mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan, selain itu juga fungsi dari kalsium, yaitu pembentukan dan perkembangan tulang dan gigi (Almatsier 2001). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan kalsium adalah zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut, contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat. Kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif juga dapat menghambat absorpsi kalsium, selain itu juga serat menurunkan absorpsi kalsium diduga karena serat menurunkan waktu transit makananan di dalam saluran cerna sehingga mengurangi kesempatan untuk absorpsi (Winarno 2008). Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh. Semua
orang dewasa, terutama sesudah usia 50 tahun kehilangan kalsium dari tulangnya. Hal ini dinamakan osteoporosis yang dapat dipercepat oleh keadaan stress seharihari. Kekurangan kalsium juga dapat menyebabkan osteomalasia, yang dinamakan juga riketsia pada orang dewasa dan biasanya terjadi karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor. Konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal dan juga konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier 2001). Angka kecukupan rata-rata sehari untuk kalsium bagi orang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk kalsium Usia Bayi (0-12 bulan) Anak-anak (1-9 tahun) Laki-laki dan wanita (18-19 tahun) Usia 19-65 tahun ke atas
Angka kecukupan rata-rata sehari (mg) 200-400 500-600 1000 800
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004).
b)
Fosfor Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak di dalam tubuh setelah
kalsium, yaitu 1% dari berat badan. Kurang lebih 85% fosfor di dalam tubuh terdapat sebagai garam kalsium fosfat, yaitu bagian dari kristal hidroksiapatit di dalam tulang dan gigi yang tidak dapat larut. Hidroksiapatit memberi kekuatan dan kekakuan pada tulang (Almatsier 2001). Fosfor di dalam tulang berada dalam perbandingan 1:2 dengan kalsium. Fosfor selebihnya terdapat di dalam semua sel tubuh, separuhnya di dalam sel otot dan di dalam cairan ekstraseluler. Peranan fosfor mirip dengan kalsium, yaitu pembentukan tulang dan gigi. Pada bahan pangan, fosfor terdapat dalam berbagai bahan organik dan anorganik. Sumber fosfor yang utama adalah makanan yang kaya akan protein. Bahan makanan yang dapat dijadikan sumber fosfor, yaitu daging, susu, telur dan ikan. Kekurangan fosfor juga menyebabkan kerusakan tulang, gejalanya adalah rasa lelah, kurang nafsu makan dan kerusakan tulang (Winarno 2008). Angka kecukupan rata-rata sehari untuk fosfor bagi orang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk fosfor Usia Bayi (0-12 bulan) Anak-anak (1-9 tahun) Laki-laki dan wanita (10-18 tahun) Usia 19-65 tahun ke atas
Angka kecukupan rata-rata sehari (mg) 100-225 400 1000 800
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004).
c)
Natrium Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler, 35-40% natrium
ada di dalam kerangka tubuh. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl. Absorpsi natrium tergantung pada air dan elektrolit yang dapat langsung diserap usus. Saluran pencernaan yang banyak berperan dalam mengadsorpsi natrium adalah usus kecil. Peran natrium sebagian besar mengatur tekanan osmotik yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel. Di dalam sel tekanan osmotik diatur oleh kalium guna menjaga cairan tidak keluar dari sel. Secara normal tubuh dapat menjaga keseimbangan antara natrium di luar sel dan kalium di dalam sel. Angka kecukupan gizi natrium pada orang dewasa yang dibutuhkan sehari-hari adalah sekitar 500-2400 mg. Daya absorpsi natrium oleh tubuh sebesar 95% bagi orang dewasa. Kebutuhan akan natrium didasarkan pada pertumbuhan, kehilangan natrium melalui keringat dan sekresi lain (Almatsier 2001). d)
Kalium Kalium merupakan unsur logam yang termasuk dalam kelompok logam
alkali dengan simbol K dan sebagian besar garamnya digunakan dalam pengobatan. Kalium memiliki nomor atom 19 dengan berat atom 39,102 dan berat jenis 0,87. Kalium merupakan kation utama dalam sebagian besar sel (cairan intraseluler) dan otot (Harjono et al. 1996). Peranan kalium mirip dengan natrium, yaitu kalium bersama-sama dengan klorida membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa. Bedanya kalium menjaga tekanan osmotik dalam cairan intraseluler dan sebagian terikat dengan protein. Seperti halnya natrium, kalium mudah sekali diserap tubuh, diperkirakan 90% dari yang dicerna akan diserap dalam usus kecil. Kekurangan kalium jarang terjadi karena kalium banyak ditemukan dalam bahan
makanan baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Kebutuhan minimum akan kalium sebanyak 2000 mg sehari (Almatsier2001). e)
Magnesium Magnesium memegang peranan penting dalam lebih dari tiga ratus jenis
sistem enzim di dalam tubuh. Magnesium bertindak di dalam semua sel jaringan lunak sebagai katalisator dalam reaksi-reaksi biologik termasuk reaksi-reaksi yang berkaitan dengan metabolisme, energi, karbohidrat, lipida dan protein. Peran magnesium dalam hal ini berlawanan dengan kalsium. Kalsium merangsang kontraksi otot, sedangkan magnesium mengendorkan otot. Kalsium mendorong penggumpalan darah, sedangkan magnesium mencegah penggumpalan darah. Magnesium mencegah kerusakan gigi dengan cara menahan kalsium di dalam email gigi. Magnesium terutama diabsorpsi di dalam usus halus, kemungkinan dengan bantuan alat angkut aktif dan secara difusi pasif.
Pada konsumsi
magnesium yang tinggi hanya sebanyak 30% magnesium diabsorpsi, sedangkan pada konsumsi rendah sebanyak 60%. Absorpsi magnesium dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama yang mempengaruhi absorpsi kalsium kecuali vitamin D tidak berpengaruh
(Almatsier 2001). Angka kecukupan rata-rata sehari untuk
magnesium bagi orang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk magnesium Usia Bayi (0-12 bulan) Anak-anak (1-9 tahun) Laki-laki dan wanita (18-19 tahun) Usia 19-65 tahun ke atas
Angka kecukupan rata-rata sehari (mg) 25-55 60-120 170-270 270-300
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004).
Menurut Schlingmann et al. (2004) beberapa penyakit yang berhubungan dengan kekurangan magnesium dapat ditemukan pada tubuh manusia. Radioterapi seperti kemoterapi yang merupakan penanganan khusus untuk kanker dengan menggunakan Cis-platium, telah diobervasi pada pasien hipomagnesaemia. Efek samping kemoterapi tersebut yaitu dapat menurunkan penggunaan supplemen magnesium. Stabilitas DNA bergantung pada konsentrasi magnesium. Secara klinis dan biologis konsekuensi tidak normalnya konsentrasi magnesium di dalam
tubuh berpengaruh pada pembelahan DNA, akibatnya dapat menimbulkan penyakit dan kanker. 2.3.2
Mineral mikro Menurut Inoue et al. (2002) mineral mikro merupakan mineral yang
diperlukan dalam jumlah sangat sedikit dan umumnya terdapat dalam jaringan dengan konsentrasi sangat kecil. Mineral mikro terdiri dari besi, tembaga, iodium, mangan, seng, kobalt, fluor dan selenium. Beberapa unsur mineral mikro yang dibutuhkan oleh tubuh adalah sebagai berikut: a)
Besi (Fe) Menurut King (2006) zat besi dalam tubuh berperan penting dalam
berbagai reaksi biokimia, antara lain dalam memproduksi sel darah merah. Sel ini sangat diperlukan untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Menurut Arifin (2008) besi di dalam tubuh berasal dari tiga sumber, yaitu hasil perusakan sel-sel darah merah (hemolisis), dari penyimpanan di dalam tubuh, dan hasil penyerapan pada saluran pencernaan. Sumber besi adalah makanan hewani, seperti daging, ayam dan ikan. Kandungan besi dari komoditas perairan sangat bervariasi. Udang dan ikan memiliki kandungan besi yang cenderung dibawah 1 mg/100 g. Kadar besi yang tinggi dari hasil perairan terdapat pada kerang-kerangan dan jenis rumput laut, yaitu lebih dari 10 mg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000). Menurut Beard et al. (1996) kandungan besi dalam tubuh hewan tergantung pada status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin, dan spesies. Defisiensi besi dikaitkan dengan anemia gizi besi.
Anemia gizi
merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia, sebagian anemia gizi ini adalah anemia gizi besi. Penyebab anemia gizi besi terutama karena makanan yang dimakan kurang mengandung besi, disamping itu pada wanita karena kehilangan darah saat haid maupun persalinan (Almatsier 2001). Angka kecukupan rata-rata sehari untuk besi bagi orang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk besi Usia Bayi (0-12 bulan) Anak-anak (1-9 tahun) Laki-laki dan wanita (10-18 tahun) Usia 19-65 tahun
Angka kecukupan rata-rata sehari (mg) 0,5 -7 8 - 10 13 - 19 13 - 26
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004).
b)
Tembaga (Cu) Tembaga dianggap sebagai zat gizi esensial pada tahun 1928, ketika
ditemukan bahwa anemia hanya dapat dicegah bila tembaga dan besi keduanya ada di dalam tubuh dalam jumlah cukup. Tembaga memegang peranan dalam mencegah anemia dengan cara (a) membantu absorpsi besi; (b) merangsang sintesis hemoglobin; (c) melepas simpanan besi dari feritin dalam hati. Fungsi utama tembaga di dalam tubuh adalah sebagai bagian dari enzim. Enzim-enzim mengandung tembaga mempunyai berbagai macam peranan berkaitan dengan reaksi yang menggunakan oksigen atau radikal oksigen. Kekurangan tembaga jarang terjadi, oleh karena itu AKG untuk tembaga di Indonesia belum ditentukan. Amerika serikat menetapkan jumlah tembaga yang aman untuk dikonsumsi adalah sebanyak 1,5-3,0 mg sehari untuk dewasa. Kekurangan tembaga pernah dilihat pada anak-anak kekurangan protein dan menderita anemia kurang besi serta pada anak-anak yang mengalami diare. Kelebihan tembaga secara kronis menyebabkan penumpukan tembaga di dalam hati yang dapat menyebabkan nekrosis hati atau serosis hati. Konsumsi sebanyak 10-15 mg tembaga sehari dapat menimbulkan muntah-muntah dan diare (Almatsier 2001). c)
Seng (Zn) Seng memegang peran esensial dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai
bagian dari enzim atau sebagai kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme, seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida dan asam nukleat. Seng juga berperan dalam pengembangan fungsi reproduksi laki-laki dan pembentukan sperma.
Kekurangan seng pertama kali dilaporkan pada
tahun 1960-an yaitu pada anak dan remaja laki-laki di Mesir, Iran, dan Turki dengan karakteristik tubuh pendek, dan keterlambatan pematangan seksual
(Almatsier 2001). Angka kecukupan rata-rata sehari untuk seng bagi orang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Angka kecukupan rata-rata sehari untuk seng Usia Bayi (0-12 bulan) Anak-anak (1-9 tahun) Laki-laki dan wanita (10-18 tahun) Usia 19-65 tahun ke atas
Angka kecukupan rata-rata sehari (mg) 1,3- 7,5 8,2-11,2 12,6-17,4 9,3-13,4
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004).
Sumber seng paling baik adalah sumber protein hewani, terutama daging, hati, kerang dan telur. Seng dalam protein nabati kurang tersedia dan lebih sulit digunakan oleh tubuh manusia dari pada seng yang terdapat dalam protein hewani, hal tersebut disebabkan oleh adanya asam fitat yang mampu mengikat ion-ion logam mineral (Winarno 2008). Sumber makanan penghasil seng yang baik adalah dari hasil perikanan. Kerang-kerangan memiliki kandungan seng lebih tinggi dari pada udang dan ikan (Okuzumi dan Fijii 2000). d)
Selenium (Se) Selenium terdapat dalam tubuh sebanyak 3-30 mg, tergantung pada
kandungan selenium dalam tanah dan konsumsi makanan. Selenium bekerja sama dengan vitamin E dalam peranannya sebagai antioksidan. Selenium berperan serta dalam sistem enzim yang mencegah terjadinya radikal bebas dengan menurunkan konsentrasi peroksida dalam sel, sedangkan vitamin E menghalangi bekerjanya radikal bebas setelah terbentuk. Konsumsi selenium dalam jumlah cukup menghemat penggunaan vitamin E (Almatsier 2001). Kebutuhan selenium sehari untuk orang Indonesia diperkirakan sebanyak 70 µg sehari untuk laki-laki dewasa dan 55 µg untuk perempuan dewasa (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004).
2.4
Kelarutan Mineral Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat tertentu untuk larut
(solute) dalam suatu pelarut (solvent). Kandungan mineral dalam bahan pangan
hanyalah salah satu parameter awal untuk menilai kualitas bahan pangan tersebut, karena yang lebih penting adalah bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas adalah proporsi dari suatu komponen yang dapat digunakan untuk menjalankan dan memelihara metabolisme pada tubuh normal. Mineral bersifat bioavailable apabila mineral tersebut dalam bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable sehingga bentuk mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan mineral tersebut di dalam tubuh (Watzke 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan mineral terlarut antara lain interaksi mineral dengan mineral, interaksi vitamin dengan mineral dan interaksi serat dengan mineral (Almatsier 2001). Pengolahan bahan pangan akan menurunkan kandungan mineral karena zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagaian besar proses pengolahan disebabkan oleh pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi (Sediaoetama 1993). Suzuki et al. (2000) mempelajari kelarutan mineral pada kerang dengan perebusan menggunakan air dan garam. Dilaporkan bahwa kelarutan Ca terkadang meningkat setelah perebusan pada media garam, sedangkan kelarutan Fe pada kerang mengalami penurunan setelah mengalami perebusan dengan media garam. Santoso et al. (2006) menyatakan bahwa mineral pada makanan dapat berubah struktur kimianya pada waktu proses pemasakan atau akibat interaksi dengan bahan lain. Kelarutan mineral dapat meningkat atau menurun tergantung pada prosesnya. Lebih lanjut lagi Santoso (2003) dan Santoso et al. (2006) melaporkan bahwa pH dapat mempengaruhi kelarutan mineral. Penggunaan asam asetat dapat meningkatkan kelarutan mineral Ca dan Mg pada beberapa jenis rumput laut. Demikian juga menurut Yosie et al. 1997 kelarutan mineral Fe pada ikan cod, remis dan udang juga meningkat seiring dengan meningkatnya derajat pH.
2.5
Pengaruh Pengolahan terhadap Penurunan Mineral Pengolahan pangan bertujuan untuk mendapatkan bahan pangan yang
aman untuk dimakan sehingga nilai gizi yang dikandung bahan pangan tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Tujuan lain dari pengolahan yaitu agar
bahan pangan tersebut dapat diterima, khususnya diterima secara sensori (penampakan, aroma, rasa dan tekstur) (Apriyantono 2002). Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur-angsur tergantung dari proses pengolahannya.
Penggunaan peralatan masak dapat mempengaruhi
keberadaan dari mineral, penggunaan perkakas besi dapat menaikkan kandungan besi dalam bahan pangan yang diolah dengan perkakas tersebut (Gaman dan Sherrington 1992). Faktor yang paling berpengaruh terhadap tingkat kerusakan pada pemasakan dengan panas adalah lama waktu dan suhu pemanasan (Soeparno 1994). Perebusan adalah cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100
0
C). Bahan pangan yang dimasak menggunakan air akan
meningkatkan daya kelarutan. Pemanasan dapat mengurangi daya tarik-menarik antara molekul-molekul air dan akan memberikan cukup energi pada molekulmolekul air tersebut sehingga dapat mengatasi daya tarik menarik antar molekul dalam bahan pangan tersebut, oleh karena itu daya kelarutan mineral pada bahan yang melibatkan ikatan hidrogen akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Winarno 2008). Pemanggangan merupakan proses pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga produknya dapat lebih diterima oleh konsumen (Muchtadi 2008). Menurut Latunda-Dada dan Neale (1986), kerusakan zat gizi dalam pemanggangan berkaitan dengan suhu dan lama pemanggangan serta pH. Kadar keseluruhan zat gizi tidak diharapkan berubah hanya karena proses pemanggangan, tetapi ketersediaan zat gizi mineral tertentu memang dapat berubah. Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai penghantar panas. Berdasarkan metode pindah panas yang terjadi selama penggorengan, terdapat dua metode penggorengan yang telah ditetapkan secara komersil, yaitu shallow/pan frying atau penggorengan dangkal dan deep-fat frying (Muchtadi 2008).
3. 3.1
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2010 bertempat di
Laboratorium Karakteristik dan Penanganan Hasil Perairan untuk preparasi sampel; Laboratorium Formulasi dan Diversifikasi Hasil Perairan untuk proses perebusan, penggorengan dan pembakaran kerang hijau; Laboratorium Biokimia Hasil Perairan untuk uji proksimat; dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan untuk
proses
homogenisasi,
Departemen
Teknologi
Hasil
Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor. Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah untuk analisis profil dan kelarutan mineral kerang hijau, Departemen Ilmu Nutrisi Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Laboratorium terpadu untuk proses sentrifus, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2
Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang hijau
(Perna viridis) yang diperoleh dari nelayan Muara Kamal, Jakarta. Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam analisis antara lain: akuades; HCl 0,1 N; K2SO4; H2SO4 pekat; NaOH; H3BO3; indikator metal merah; larutan heksana; kertas saring Whatman no. 42; HNO3; HClO4; Cl3La.7H20 dan ammonium molibdat. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) merek Shimadzu tipe AA 680 flame emission, sentrifus, homogenizer, gelas piala, labu takar, pisau, panci stainless stell, gelas ukur, oven, timbangan, pipet, cawan dan termometer. 3.3
Tahap Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua bagian. Pada bagian pertama, meliputi
pengambilan dan preparasi sampel, analisis proksimat meliputi kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat (by difference) (AOAC 1995) serta total mineral makro dan mikro (Reizt et al. 1987). Pada penelitian bagian ke dua yaitu proses pemasakan dan menghitung mineral yang terlarut (Santoso 2003 yang dimodifikasi).
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel Pengambil sampel kerang hijau dilakukan di nelayan Muara Angke Jakarta, yang diambil dari Perairan Muara Kamal Jakarta. Kerang hijau tersebut kemudian dimasukkan dalam kotak sterofoam. Sampel setelah diperoleh, pertamatama dilakukan identifikasi, di uji kandungan logam berat berupa Pb dan Cd, ternyata kandungan Pb dan Cd tidak terdeteksi kemudian dilanjutkan dengan penentuan berat awal dari 30 ekor kerang hijau, setelah itu sampel dihitung rendemennya dengan rumus: Rendemen (%) = Bobot daging (g) X 100 % Bobot awal (g) Seluruh kerang hijau yang telah dikeluarkan dari cangkangnya, kemudian dicampur dan dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama merupakan bagian yang akan diuji kadar air, lemak, protein, abu, karbohidrat (by difference) dan juga total mineral makro dan mikro, bagian ke dua merupakan bagian yang akan di uji kelarutan mineralnya. 3.3.2 Pemasakan Sampel yang akan diuji kelarutan mineralnya dilakukan proses pemasakan, yaitu perebusan pada suhu 100 0C selama 20 menit, penggorengan 177-221 0C selama 5 menit dan pemanggangan selama 15 menit. Persentase kelarutan kemudian dihitung dengan mengurangi kontrol (tanpa pemasakan) dengan pemasakan dibagi dengan kontrol (tanpa pemasakan). Diagram alir penelitian pengaruh berbagai metode pemasakan terhadap kelarutan mineral kerang hijau dapat dilihat pada Gambar 2.
Sampel
5 gram
100 gram
*Kontrol Perebusan 100 0C, 20 menit Penggorengan 177-2210C, 5 menit Pemanggangan 15 menit
Pengabuan basah
Pengukuran mineral makro: Na, K, P, Mg, Ca mikro: Se, Fe, Zn, Cu
Mineral terlarut yang tersisa di produk
Total mineral makro dan mikro
Gambar 2. Diagram alir penentuan total mineral dan kelarutannya (Santoso 2003 yang dimodifikasi*). Keterangan :
= Input/autput = Proses = Data
3.3.3 Analisis proksimat Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya analisis kadar air, lemak, protein, abu, dan karbohidrat (by difference). 1)
Analisis kadar air (AOAC 1995) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam, kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air : % kadar air = (B1 – B2) X 100% B Keterangan: B= berat sampel (gram) B1= berat (sampel+cawan) sebelum dikeringkan B2= berat (sampel+cawan) setelah dikeringkan 2)
Analisis kadar abu (AOAC 1995) Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu
600 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus: Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – berat cawan kosong (g) Kadar abu (berat basah) =
Berat abu (g)
X 100 %
Berat sampel awal (g)
3)
Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Contoh seberat 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada
kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung Soxhlet.
Selongsong
lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung Soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (n-heksana), kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).
Perhitungan kadar lemak: % Kadar lemak Keterangan : W1 W2 W3 4)
W W 100 % W
= Berat sampel (gram) = Berat labu lemak kosong (gram) = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
Analisis kadar protein (AOAC 1995) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap,
yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl.
Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram, kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan satu butir kjeltab dan 3 ml H2SO4 pekat. Contoh didestruksi pada suhu 410 oC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40 %, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2 % dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut : % N = (ml HCl – ml Blanko) x N HCl x 14 x Fp X 100 % mg contoh % kadar protein = % N x faktor konversi (6,25) Keterangan : Fp= Faktor pengenceran
5)
Analisis kadar karbohidrat (AOAC 1995) Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
% karbohidrat = 100% - (kadar air+kadar abu+kadar lemak+kadar protein) 3.3.4 Pengujian total mineral 1)
Pengujian total mineral Ca, Na, K, Mg, Fe, Zn, Se, Cu (Reitz et al. 1987) Sampel yang akan mengalami pengujian dilakukan proses pengabuan
basah terlebih dahulu. Pada proses pengabuan basah, sampel ditimbang sebanyak 5 gram, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 150 ml. Ke dalam labu ditambahkan 5 ml HNO3 dan dibiarkan selama 1 jam. Labu ditempatkan di atas hot plate selama ± 4 jam dan ditambahkan 0,4 ml H2SO4 pekat, campuran (HClO4 dan HNO3) sebanyak 3 tetes, 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat. Larutan contoh kemudian diencerkan menjadi 100 ml dalam labu takar. Sejumlah larutan stok standar dari masing-masing mineral diencerkan dengan menggunakan akuades sampai konsentrasinya berada dalam kisaran kerja logam yang diinginkan. Larutan standar, blanko dan contoh dialirkan ke dalam Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) merek Shimadzu tipe AA 680 flame emission dengan panjang gelombang dari masing-masing jenis mineral, kemudian diukur absorbansi atau tinggi puncak standar, blanko dan contoh pada panjang gelombang dan parameter yang sesuai untuk masing-masing mineral dengan spektrofotometer, setelah diperoleh absorbansi standar, hubungkan antara konsentrasi standar (sebagai sumbu Y) dengan absorbansi standar (sebagai sumbu X) sehingga diperoleh kurva standar mineral dengan persamaan garis linier y = ax + b (dimana y: konsentrasi (ppm) ; a: kemiringan/gradien; x: absorban dan b: konstanta) yang digunakan untuk perhitungan konsentrasi larutan sampel. Konsentrasi larutan sampel dihitung dengan mengalikan a dengan absorbansi contoh. 2)
Pengujian fosfor (Apriyantono et al. 1989) Sampel diperlakukan dengan asam nitrat untuk mengubah semua
metafosfat dan pirofosfat menjadi ortofosfat. Kemudian sampel diperlakukan dengan asam molibdat dan asam vanadat sehingga ortofosfat yang ada dalam sampel akan bereaksi dengan pereaksi-pereaksi tersebut dan membentuk kompleks asam vanadimolibdifosfat yang berwarna biru dan intensitas warnanya diukur dengan panjang gelombang 660 nm.
Sebanyak 20 gram ammonium molibdat dilarutkan dalam 400 ml akuades hangat untuk pembuatan pereaksi vanadat molibdat. Timbang 1 gram ammonium vanadat untuk dilarutkan dalam 300 ml akuades dan didinginkan, secara perlahanlahan ditambahkan 140 ml asam nitrat pekat, setelah tercampur ditambahkan pereaksi larutan vanadat molibdat dan diencerkan sampai volume 1 liter dengan akuades. Pada pembuatan larutan standar sebanyak 4,394 gram KH2PO4 dilarutkan dengan akuades sampai 1000 ml untuk mendapatkan konsentrasi fosfor 1000 ppm. Konsentrasi ini kemudian diencerkan dengan akuades untuk mendapatkan konsentrasi standar fosfor, yaitu 0, 2, 3, 4 dan 5 ppm. Larutan sampel hasil pengabuan basah diambil sebanyak 10 ml, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Sebanyak 25 ml pereaksi vanadat molibdat ditambahkan ke dalam sampel tersebut kemudian diencerkan dengan akuades sampai tanda tera. Selanjutnya sampel didiamkan selama 10 menit dan diukur absorbansi sampel pada panjang gelombang 660 nm. 3.3.5 Analisis mineral terlarut (Santoso 2003 yang dimodifikasi) Sampel
yang
telah
di
beri
perlakuan
pemasakan
dan
kontrol
dihomogenkan terlebih dahulu lalu diambil 10 gram untuk dianalisis dan ditambahkan 40 ml air lalu homogenizer pada kecepatan 5.000-10.000 rpm selama 2 menit untuk fraksi terlarut. Sampel di sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm, 2
0
C selama 10 menit.
Hasil dari sentrifugasi selanjutnya disaring
menggunakan kertas saring Whatman no 42. Supernatan diukur mineral terlarut yaitu kalsium, besi, seng dan selenium menggunakan
Atomic Absorption
Spectrophotometer (AAS) merek Shimadzu tipe AA 680 flame emission dan dihitung sebagai persentase terhadap total mineral yang dianalisis (kalsium, besi, seng dan selenium). Persentase kelarutan kemudian dihitung dengan mengurangi kontrol (tanpa pemasakan) dengan pemasakan dibagi dengan kontrol (tanpa pemasakan).
3.3.6 Rancangan percobaan dan analisis data (Steel dan Torrie 1993)
Rancangan percobaan yang digunakan untuk menguji pengaruh metode pemasakan terhadap kelarutan mineral adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor dan 3 taraf (perebusan, penggorengan dan pembakaran). Data dianalisis dengan ANOVA (Analysis Of Variant) menggunakan uji F, sebelum dilakukan uji F terlebih dahulu di uji kenormalan galat/sisa. Uji kenormalan galat dengan mengunakan uji Kolmogrov Simirnov. Pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat lunak Statistical Package for Social Science (SPSS). Model rancangannya adalah (Steel dan Torrie 1993): Y ij = µ + τi + ε ij Keterangan: Y ij = Nilai pengamatan kelarutan mineral pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2,3) µ = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan τi Pengaruh metode pemasakan pada taraf ke-i (i=1,2,3) = = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j ε ijk Hipotesa terhadap data hasil uji kelarutan mineral pada berbagai metode pamasakan adalah sebagai berikut: H0= Metode pemasakan tidak memberikan pengaruh terhadap kelarutan mineral. H1= Metode pemasakan memberikan pengaruh terhadap kelarutan mineral. Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan mineral maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Least significant different (LSD)), dengan rumus (Steel dan Torrie 1993): LSD = tα/2; dbs
Keterangan : KTS = Kuadrat tengah sisa dbs = Derajat bebas sisa r = Banyaknya ulangan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Rendemen Rendemen adalah suatu parameter untuk mengetahui nilai ekonomis dan
efektivitas
suatu produk atau bahan pangan.
Perhitungan rendemen adalah
berdasarkan persentase perbandingan antara berat akhir dengan berat awal. Semakin besar rendemennnya maka semakin tinggi nilai ekonomis suatu produk atau bahan pangan tersebut. Rendemen kerang hijau diperoleh dari presentase perbandingan berat daging kerang hijau dengan berat awal kerang hijau sebagai bahan baku untuk analisis kelarutan mineral. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kerang hijau memiliki nilai rendemen sebesar 26,89% ± 0,93. Hasil perhitungan rendemen tidak berbeda jauh dengan perhitungan rendemen kerang hijau yang telah dilakukan oleh Sabana (2005) yang meneliti pemanfaatan daging kerang hijau dalam pembuatan produk kamaboko, yaitu sebesar 27,75%. Rendemen daging kerang hijau sangat dipengaruhi oleh cara pengambilan daging yang dilakukan. Cara pengambilan daging yang baik dapat dilihat dari sedikitnya daging yang masih menempel pada cangkang sehingga diperoleh nilai rendemen daging kerang hijau yang cukup tinggi, biasanya ada sebagian otot daging yang sulit untuk diambil, yaitu daging yang menempel pada cangkang disebut otot adductor posterior (Dance 1977). Faktor lain yang berpengaruh terhadap rendemen adalah umur dan ukuran dari organime, semakin besar ukuran kerang maka semakin sedikit nilai rendemennya. Rendemen tertinggi pada kerang hijau terdapat pada cangkang hal tersebut dikarenakan sebagian besar dari tubuh kerang-kerangan adalah berupa cangkang yang membungkus organ dalam dari kerang itu sendiri sehingga pemanfaatan pada cangkang cukup besar (Suwigyo et al. 1997).
4.2
Komposisi Kimia Kerang Hijau Komposisi kimia yang terkandung dalam suatu bahan makanan
menunjukkan seberapa besar kuantitas dan kualitas bahan tersebut memberikan asupan gizi sesuai kebutuhan manusia (Winarno 2008).
Kerang hijau yang
digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Perairan Muara Kamal Jakarta. Salah satu cara untuk mengetahui kandungan gizi secara kasar adalah dengan analisis
proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat by difference.
Hasil analisis proksimat kerang hijau dan data pembanding
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil analisis kimia kerang hijau dalam 100 g bahan segar Parameter Hasil penelitian Air Abu Protein Lemak Karbohidrat (by difference)
82,25 ± 0,98 2,42 ± 0,91 9,17 ± 0,16 1,14 ± 0,00 4,99 ± 0.18
Nilai (%) Dore (1991) 78 1,3- 2 7,1-16,7 0,4-2,4 2,3-4,9
Poedjiadi (1994) 85 2,3 8,0 1,1 3,6
Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa.
Produk hasil perikanan
umumnya memiliki kandungan air yang sangat tinggi. Tingginya kadar air pada bahan makanan akan memudahkan mikroorganisme untuk tumbuh, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada bahan makanan. Rendahnya kadar air pada bahan makanan akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga memperpanjang daya simpan bahan makanan tersebut (Winarno 2008). Pada Tabel 8 dapat dilihat kandungan air kerang hijau, kadar air rata-rata hasil penelitian 82,25% lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Poedjiadi (1994) sebesar 85%, namun lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Dore (1991) sebesar 78%. Perbedaan kadar air ini dapat disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan hidup dan tingkat kesegaran organisme tersebut. Tingginya kadar air dapat menyebabkan produk perikanan tersebut mudah sekali mengalami kerusakan apabila tidak ditangani secara baik (Buckle et al. 1987). Bahan makanan mengandung lebih dari 95% bahan organik dan air, sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral yang juga dikenal sebagai zat anorganik. Bahan-bahan organik terbakar saat proses pembakaran, namun zat anorganiknya tidak karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu memiliki hubungan dengan mineral suatu bahan yang sangat bervariasi, baik macam maupun jumlahnya. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar abu rata-rata hasil penelitian
2,42%.
Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan kadar abu hasil penelitian
Dore (1991) dan Poedjiadi (1994) sebesar 1,3-2% dan 2,3%. Perbedaan kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan jenis organisme, dan lingkungan hidup dari organisme tersebut.
Masing-masing organisme
memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasikan dan mengabsorpsi logam, hal ini nantinya akan mempengaruhi kadar abu dalam bahan (Darmono 1995). Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh, karena zat ini berfungsi sebagai zat pembangun serta memelihara sel-sel dan jaringan (Almatsier 2001). Pada Tabel 8 kadar protein rata-rata hasil penelitian sebesar 9,17%. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Poedjiadi (1994) sebesar 8,0% dan nilai tersebut masuk dikisaran penelitian Dore (1991) yaitu sebesar 7,1-16,7%. Lemak merupakan komponen yang larut dalam eter, kloroform tetapi tidak dapat larut dalam air. Salah satu fungsi dari lemak adalah memberikan kalori, dimana setiap gram lemak memberikan 9 kalori, hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidarat dan protein yaitu dalam setiap gramnya memberikan 4 kalori (Boyle 2007). Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa kadar lemak rata-rata kerang hijau hasil penelitian 1,14%. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Poedjiadi (1994) sebesar 1,1% dan nilai tersebut masuk dikisaran penelitian Dore (1991) yaitu sebesar 0,2-2,4%. Pada Tabel 8 dapat dilihat kadar karbohidrat (by difference) rata-rata kerang hijau hasil penelitian sebesar 4,99%. Nilai tersebut lebih besar dari hasil penelitian Poedjiadi (1994) sebesar 3,6% dan nilai tersebut masuk dikisaran penelitian Dore (1991), yaitu sebesar 2,3-4,9%. Karbohidrat yang ada dalam produk perikanan tidak mengandung serat, kebanyakan dalam bentuk glikogen. Glikogen yang terkandung dalam produk perikanan sebesar 1% untuk ikan, 1% untuk krustacea dan 1-8% untuk kekerangan (Okuzumi dan Fujii 2000). Menurut Laxmilatha (2009) yang meneliti tentang komposi proksimat pada jenis surf clam Mactra violacea dilaporkan bahwa, kandungan proksimat kadar air rata-rata pada M. violacea lebih tinggi pada betina (80,6%) dibandingkan
pada jantan (79,7%). Protein kasar rata-rata pada jantan dan betina hampir sama yaitu 11,8% dan 11,9%. Lemak rata-rata ebih tinggi pada jantan 1,1% dibandingkan 0,9% pada betina. Kadar abu rata-rata lebih tinggi pada betina 3,3% jika dibandingkan dengan 3,1% pada jantan. Perbedaan komposisi yang terkandung dalam organisme perairam berbeda-beda tergantung dari jenis kelamin spesies, makanan, habitat, tingkat kematangan gonad dan umur.
4.3
Komposisi Mineral Mineral adalah salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh makhluk
hidup selain karbohidrat, lemak, protein dan vitamin, juga dikenal sebagai zat anorganik atau kadar abu. Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memiliki peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro (Almatsier 2001).
Informasi mengenai
kandungan mineral makro dan mikro yang terdapat pada kerang hijau hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Komposisi mineral makro dan mikro kerang hijau Komposisi mineral Mineral makro Natrium Kalium Fosfor Magnesium Kalsium Mineral mikro Selenium Besi Seng Tembaga
Nilai (mg/100 g basis basah) Hasil penelitian Kagawa (1999) 403,4564 257,2207 96,7361 82,0531 29,7597
± ± ± ± ±
0,0077 0,0655 0,0015 0,0079 0,0020
280 230 130 70 55
288,2553 4,8102 1,8252 0,2926
± ± ± ±
0,1707 0,0061 0,0000 0,5028
0,061 3,6 40 3,5
Keterangan: Nilai dalam rata-rata ± SD mg/ 100 g basis basah.
Mineral makro merupakan unsur mineral pada tubuh manusia yang dibutuhkan dalam jumlah besar. Kandungan mineral makro terbesar pada kerang hijau
adalah
natrium
(403,4564
mg/100
g
bb),
diikuti
kalium
(257,2207
mg/100
gbb),
fosfor
(96,7361
mg/100
g
bb),
magnesium
(82,0531 mg/100 g bb), dan kalsium (29,7597 mg/100 g bb). Peran natrium sebagian besar mengatur tekanan osmotik yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel (Winarno 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar natrium kerang hijau sebesar 403,4564 mg/100 g bb lebih besar dari penelitian Kagawa (1999) sebesar 280 mg/100 g bb. Natrium memiliki angka kecukupan gizi pada orang dewasa yang dibutuhkan sehari-hari adalah sekitar 500-2400 mg (Winarno 2008). Berdasarkan hasil
penelitian
mengkonsumsi
100
gram
kerang
hijau
berarti
dapat
menyumbangkan 403,4564 mg natrium, jika ditinjau dari angka kecukupan gizi dapat menyumbangakan natrium untuk tubuh sebesar 17-81% (Lampiran 1) dari angka kecukupan gizi. Berdasarkan hasil penelitian dengan mengkonsumsi 100 gram kerang hijau belum bisa menyumbangkan natrium sebesar 500-2400 mg. Menurut Almatsier (2001) kebutuhan natrium setiap orang berbeda-beda, hal ini didasarkan pada pertumbuhan, kehilangan natrium melalui keringat dan sekresi lain. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl. Kandungan
kalium
pada
kerang
hijau
hasil
penelitian
sebesar
257,2207 mg/100 g bb. Konsentrasi kalium kerang hijau hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan kandungan kalium hasil penelitian Kagawa (1999) mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar 230 mg/100 g bb. Kalium memiliki peranan mirip dengan natrium, yaitu kalium bersamasama dengan klorida membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa. Kebutuhan minimum akan kalium sebanyak 2000 mg sehari (Almatsier 2001). Mengkonsumsi 100 gram kerang hijau dapat menyumbangkan 257,2207 mg kalium, jika ditinjau dari angka kecukupan gizi dapat menyumbangakan kalium untuk tubuh orang dewasa sebesar 13% dari angka kecukupan gizi untuk orang dewasa (Lampiran 1).
Kekurangan kalium jarang terjadi karena kalium banyak ditemukan dalam bahan makanan baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Sumber utama adalah makanan segar terutama sayur, buah serta kacang-kacangan (Winarno 2008). Peranan fosfor mirip dengan kalsium, yaitu pembentukan tulang dan gigi. Fosfor di dalam tulang berada dalam perbandingan 1:2 dengan kalsium. Fosfor selebihnya terdapat di dalam semua sel tubuh, separuhnya di dalam sel otot dan di dalam cairan ekstraseluler (Winarno 2008). Kandungan fosfor kerang hijau hasil penelitian sebesar 96,7361 mg/100 g bb. Konsentrasi fosfor kerang hijau hasil penelitian lebih rendah dibandingkan kandungan fosfor hasil penelitian Kagawa (1999) mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerangkerangan sebesar 130 mg/100 g bb. Kebutuhan fosfor untuk anak-anak (1-9 tahun) sebesar 400 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Berdasarkan hasil penelitian, mengkonsumsi 100 gram kerang hijau belum memenuhi jumlah fosfor yang dibutuhkan oleh anak-anak (1-9 tahun), jumlah fosfor yang tersedia dalam kerang hijau dapat memenuhi 24% (Lampiran 1) dari angka kecukupan gizi fosfor untuk anak-anak (1-9 tahun). Kekurangan fosfor dapat menyebabkan kerusakan tulang, sehingga diperlukan asupan makanan untuk memenuhi fosfor selain memakan kerang hijau. Sumber fosfor utama adalah bahan makanan dengan kadar protein tinggi seperti daging ikan dan telur (Winarno 2008). Kandungan magnesium kerang hijau hasil penelitian 82,0531 mg/100 g bb lebih tinggi dibandingkan magnesium hasil penelitian Kagawa (1999) mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar 70 mg/100 g bb. Kebutuhan
magnesium
untuk
anak-anak
(1-9
tahun)
sebesar
60-120 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Berdasarkan hasil penelitian, mengkonsumsi 100 gram kerang hijau sudah memenuhi jumlah magnesium yang dibutuhkan oleh anak-anak (1-9 tahun) sebesar 60-120 mg/hari. Kandungan
kalsium
kerang
hijau
hasil
penelitian
sebesar
29,7597 mg/100 g. bb. Konsentrasi kalsium kerang hijau hasil penelitian lebih rendah dibandingkan kandungan kalsium hasil penelitian Kagawa (1999)
mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar 55 mg/100 g bb. Berdasarkan hasil penelitian mengkonsumsi 100 gram kerang hijau belum memenuhi jumlah kalsium yang dibutuhkan untuk usia 19-65 tahun sebesar 800 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004), jumlah kalsium yang tersedia dalam kerang hijau dapat memenuhi 4% (Lampiran 1) dari angka kecukupan gizi kalsium untuk usia 19-65 tahun. Mineral mikro merupakan unsur mineral pada tubuh manusia yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Kandungan mineral mikro terbesar pada kerang hijau adalah selenium (288,2553 mg/100 g bb), diikuti besi (4,8102 mg/100 g bb), seng (1,8252 mg/100 g bb) dan tembaga (0,2926 mg/100 g bb). Selenium bekerja sama dengan vitamin E dalam perananya sebagai antioksidan (Almatsier 2001). Konsentrasi selenium kerang hijau hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan kandungan selenium hasil penelitian Kagawa (1999) mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar 0,061 mg/100 g bb. Kebutuhan selenium sehari untuk orang Indonesia diperkirakan sebanyak 70 µg (0,007 mg) sehari untuk laki-laki dewasa dan 55 µg (0,055mg) untuk perempuan
dewasa
(Widyakarya
Nasional
Pangan
dan
Gizi
2004).
Mengkonsumsi 100 gram kerang hijau dapat menyumbangkan 288,2553 mg selenium. Menurut King (2006) zat besi dalam tubuh berperan penting dalam berbagai reaksi biokimia, antara lain dalam memproduksi sel darah merah. Sel ini sangat diperlukan untuk mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Kandungan besi kerang hijau hasil penelitian sebesar 4,8102 mg/100 g bb. Konsentrasi besi kerang hijau hasil penelitian lebih besar dibandingkan dengan kandungan besi hasil penelitian Kagawa (1999) mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar 3,6 mg/100 g bb. Angka kecukupan gizi besi
pada laki-laki dan wanita (10-18 tahun)
13-19 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Berdasarkan hasil penelitian mengkonsumsi 100 gram kerang hijau berarti dapat menyumbangkan 4,8102 mg besi, jika ditinjau dari angka kecukupan gizi dapat menyumbangakan
besi untuk tubuh sebesar 25-37% (Lampiran 1) dari angka kecukuan gizi untuk laki-laki dan wanita (10-18 tahun). Defisiensi besi dikaitkan dengan anemia gizi besi.
Anemia gizi
merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia, sebagian anemia gizi ini adalah anemia gizi besi. Penyebab anemia gizi besi terutama karena makanan yang dimakan kurang mengandung besi, disamping itu pada wanita karena kehilangan darah saat haid maupun persalinan (Almatsier 2001), sehingga diperlukan asupan makanan untuk memenuhi besi selain memakan kerang hijau. Seng memegang peran esensial dalam banyak fungsi tubuh. Kandungan seng kerang hijau hasil penelitian sebesar 1,8252 mg/100 g bb. Kandungan seng kerang hijau hasil penelitian lebih rendah dibandingkan kandungan seng hasil penelitian Kagawa (1999) mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar 40 mg/100 g bb. Berdasarkan hasil penelitian mengkonsumsi 100 gram kerang hijau berarti dapat menyumbangkan 1,8252 mg seng atau 16-22% (Lampiran 1) dari angka kecukupan seng untuk anak-anak (1-9 tahun) 8,2-11,2 mg/hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). Menurut Ahmed et al. (2002) tembaga merupakan unsur esensial yang bila kekurangan dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan hemoglobin. Tembaga sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme, pembentukan hormon, dan proses fisiologis di dalam yubuh. Kandungan
tembaga
kerang
hijau
hasil
penelitian
sebesar
0,2926 mg/100 g bb. Kandungan tembaga kerang hijau hasil penelitian lebih rendah dibandingkan kandungan tembaga hasil penelitian Kagawa (1999) mengenai kandungan mineral dalam produk perikanan untuk kerang-kerangan sebesar 3,5 mg/100 g bb. Mengkonsumsi 100 gram kerang hijau
dapat
menyumbangkan 0,2926 mg atau sekitar 9-20% tembaga (Lampiran 1). Amerika serikat menetapkan jumlah tembaga yang aman untuk dikonsumsi adalah sebanyak 1,5-3,0 mg sehari untuk orang dewasa. Kelebihan tembaga secara kronis menyebabkan penumpukan tembaga di dalam hati yang dapat menyebabkan nekrosis hati atau serosis hati. Konsumsi sebanyak 10-15 mg tembaga sehari dapat menimbulkan muntah-muntah dan diare (Almatsier 2001).
Hasil penelitian diperoleh bahwa kandungan mineral makro kerang hijau yaitu natrium, kalium dan magnesium lebih tinggi sedangkan kandungan fosfor dan kalsium lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Kagawa (1999). Kandungan mineral mikro kerang hijau yaitu selenium dan besi lebih tinggi sedangkan kandungan seng dan tembaga lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Kagawa (1999). Perbedaan kandungan mineral pada organisme perairan umumnya dipengaruhi oleh daya absorpsi makanan dari berbagai zat yang tersuspensi dalam perairan tempat tinggalnya. Kemampuan organisme untuk mengabsorpsi berbagai zat tersuspensi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi lingkungan, ukuran organisme, spesies, pH dan kondisi kelaparan dari organisme (Darmono 1995).
4.4
Kehilangan Mineral Akibat Pengolahan Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat tertentu untuk larut
(solute) dalam suatu pelarut (solvent), kalarutan disini maksudnya adalah seberapa besar mineral tersebut hilang dalam media pemasakan.
Informasi mengenai
kelarutan mineral kalsium, besi, seng dan selenium pada kerang hijau dapat dilihat pada Gambar 3.
Rata-rata Kelarutan Mineral
100
b
90
c
80 70
a Ca
60
Fe
50 40
Zn
30
Se
20 10 0 Perebusan
Penggorengan
Pemanggangan
Metode Pemasakan Keterangan: Adanya huruf yang berbeda berbeda nyata pada taraf nyata 5%.
menunjukkan bahwa perlakuan tersebut
Gambar 3. Histogram rata-rata pe penurunan mineral Ca, Fe, Zn, dan Se akibat berbagai metode pemasakan. Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa nilai kelarutan (yang hilang dalam media pemasak) rata-rata mineral Ca, Fe, Zn, dan Se tertinggi dari berbagai metode pemasakan yaitu dari metode pemasakan dengan cara digoreng, sedangkan nilai kelarutan (yang hilang dalam media pemasak) terendah yaitu dengan metode pemasakan dengan cara direbus. Mengetahui pengaruh berbagai metode pemasakan terhadap kelarutan mineral Ca, Fe, Zn, dan Se, maka dilakukan analisis ragam, namun sebelum dilakukan analisis ragam, terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan galat. Uji kenormalan galat dilakukan dengan menggunakan uji kolmogrof simirnov. Berdasarkan uji kolmogrov simirnov, ternyata semua perlakuan menghasilkan galat yang menyebar normal sehingga dapat dilakukan analisis ragam. Hasil uji kolmogrof simirnov terhadap kelarutan mineral Ca, Fe, Zn, dan Se dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan metode pemasakan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kelarutan mineral Ca, Fe, Zn, dan Se (taraf nyata 0,05). Hasil analisis ragam terhadap kelarutan mineral Ca, Fe, Zn, dan Se dapat dilihat pada Lampiran 3.
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5, 6, 7 dan 8) menunjukkan bahwa semua metode pemasakan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan mineral Ca, Fe, Zn, dan Se.
Hal ini ditandai dengan huruf yang
berbeda pada histogram yang terdapat pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa nilai kelarutan (yang hilang dalam media pemasak) rata-rata mineral Ca, Fe, Zn, dan Se tertinggi dari metode pemasakan dengan cara digoreng, sedangkan nilai kelarutan (yang hilang dalam media pemasak) terendah, yaitu dengan metode pemasakan dengan cara direbus. Hal ini dikarenakan suhu yang digunakan dalam perebusan lebih rendah, yaitu 95-100
0
C dibandingkan dengan suhu penggorengan lebih tinggi, yaitu
177-221 0C. Pengolahan bahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya penguapan air pada bahan pangan tersebut, semakin tinggi suhu yang digunakan semakin banyak pula molekul-molekul air yang keluar dari permukaan bahan pangan, salah satu diantaranya mineral yang ikut terlarut bersama dengan air (Winarno 2008). Pada proses penggorengan mineral yang
terlarut (yang hilang dalam
media pemasak) paling banyak yaitu besi. Menurut Ersoy dan Ozeren (2009) hal ini dikarenakan ketidakstabilan mineral selama proses penggorengan diikuti pula terjadinya degradasi lemak melalui mekanisme oksidasi radikal bebas. Lemak yang dikandung minyak merupakan lemak tidak jenuh yang mudah teroksidasi membentuk asam lemak bebas yang akan mempengaruhi cairan pemasak. Cairan pengolahan yang semakin asam akan mengakibatkan peningkatan intensitas kerusakan bahan pangan. Beberapa mineral seperti zat besi, kemungkinan akan teroksidasi selama proses penggorengan dan juga pemanggangan sehingga mempengaruhi absorpsi dan nilai biologisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua senyawa besi yang digunakan dalam pengolahan krakers soda mempunyai nilai biologis yang berbeda jauh. Hasil tersebut diukur menggunakan teknik hemoglobin depletionrepletion (pengosongan-pengisian hemoglobin) (Hariss dan Karmas 1988).
Nilai kelarutan (yang hilang dalam media pemasak) rata-rata mineral Ca, Fe, Zn, dan Se dari proses pemanggangan mengalami kehilangan tetapi tidak sebanyak pada proses pemasakan dengan cara digoreng. Menurut Fellows (2000) pemanggangan termasuk ke dalam proses pemasakan kering dan pemasakan o
kering biasanya menggunakan suhu sangat tinggi yaitu 110 – 240 C. Kerusakan zat gizi pada bahan makanan yang dipanggang terutama berkaitan dengan suhu, lama pembakaran serta pH. Menurut Latunde-Dada dan Neale (1986), kerusakan zat gizi dalam pemanggangan berkaitan dengan suhu dan lama pemanggangan serta pH. Kadar keseluruhan zat
gizi tidak diharapkan berubah hanya karena proses
pemanggangan, tetapi ketersediaan zat gizi mineral tertentu memang dapat berubah. Berdasarkan ketiga proses pemasakan yang memberikan penurunan mineral paling sedikit hingga penurunan paling besar berturut-turut yaitu dari metode pemasakan dengan cara direbus, dipanggang dan digoreng. Menurut Soeparno (1994) faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan pada proses pemasakan tergantug dari lamanya waktu dan suhu pemanasan. Suzuki et al. (2000) mempelajari kelarutan mineral pada kerang dengan perebusan menggunakan air dan garam, dilaporkan bahwa kelarutan Ca terkadang meningkat setelah perebusan dengan media garam, sedangkan kelarutan Fe pada kerang mengalami penurunan setelah mengalami perebusan dengan media garam. Santoso et al. (2006) menyatakan bahwa mineral pada makanan dapat berubah struktur kimianya pada waktu proses pemasakan atau akibat interaksi dengan bahan lain. Kelarutan mineral dapat meningkat atau menurun tergantung pada prosesnya. Lebih lanjut lagi Santoso (2003) dan Santoso et al. (2006) melaporkan bahwa pH dapat mempengaruhi kelarutan mineral, penggunaan asam asetat dapat meningkatkan kelarutan mineral Ca dan Mg pada beberapa jenis rumput laut. Demikian juga menurut Yoshie et al. (1997) kelarutan mineral Fe pada ikan cod, remis dan udang juga meningkat seiring dengan meningkatnya derajat pH. Menurut Watzke (1998) proses pengolahan dapat bersifat negatif karena banyak merusak zat-zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan, tetapi proses
pengolahan juga dapat bersifat menguntungkan terhadap beberapa komponen zat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut, yaitu perubahan kadar kandungan zat gizi, peningkatan daya cerna dan ketersediaan zat-zat gizi serta penurunan berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Pemanasan yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan nilai sensoris dan nilai gizi produk pangan olahan, untuk itu kunci utama dalam proses pengolahan bahan pangan, baik di tingkat rumah tangga maupun di industri adalah melakukan optimisasi proses pengolahan untuk menghasilkan produk olahan yang secara sensoris menarik dan tinggi nilai gizinya. Berdasarkan angka kecukupan gizinya, 100 gram kerang yang sudah mengalami proses perebusan dapat menyumbangkan mineral kalsium untuk usia 19-65 tahun ke atas sebesar 0.58% dari AKG, besi sebesar 0.2-0.4% dari AKG, seng sebesar 0.09-0.14% dari AKG. Pada 100 gram kerang hijau yang sudah mengalami proses penggorengan dapat menyumbangkan mineral kalsium untuk usia 19-65 tahun ke atas sebesar 0.3% dari AKG, besi sebesar 0.05-0.01% dari AKG, seng sebesar 0.05-0.07 % dari AKG. Pada 100 gram kerang hijau yang sudah megalami proses pemanggangan dapat menyumbangkan mineral kalsium untuk usia 19-65 tahun ke atas sebesar 0.5% dari AKG, besi sebesar 0.20.3% dari AKG, seng sebesar 0.07-0.1% dari AKG. Pada 100 gram kerang yang sudah mengalami proses perebusan, penggorengan dan pembakaran dapat menyumbangkan selenium melebihi dari AKG (Lampiran 4). Kebutuhan selenium sehari untuk orang Indonesia diperkirakan untuk lakilaki dewasa sebesar 70 µg yang setara dengan 0.07 mg, sedangkan untuk wanita dewasa sebesar 55 µg yang setara dengan 0.055 mg. Dosis tinggi selenium (1 mg sehari) meyebabkan muntah-muntah, diare, rambut dan kuku rontok. Kecenderugan menggunakan suplemen selenium jangan sampai terjadi dosis berlebihan (Almatsier 2001). Berdasarkan angka kecukupan gizi, dari 100 gram kerang hijau yang telah mengalami proses pemasakan (perebusan, penggorengan dan pemanggangan) ternyata belum memenuhi kebutuhan mineral kalsium, besi dan seng, sehingga untuk memenuhi angka kecukupan gizi mineral kalsium, besi dan seng,
disarankan masyarakat mengkonsumsi makanan seimbang dalam dietnya, agar kebutuhan mineral dapat terpenuhi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Kandungan mineral makro tertinggi dari kerang hijau adalah natrium
sebesar 403,4564 mg/100 g bb. Kandungan mineral makro lain yang ditemukan pada
kerang
hijau
adalah
kalium
257,2207
mg/100
g
bb,
fosfor
96,7361 mg/100 g bb, magnesium 82,0531 mg/100 g bb, kalsium 29,7597 mg/100 g bb. Kandungan mineral mikro tertinggi dari kerang hijau adalah selenium 288,2553 mg/100 g bb, sedangkan kandungan mineral mikro yang lain dari kerang hijau adalah besi 4,8102 mg/100 g bb, seng 1,8252 mg/100 g bb, tembaga 0,2926 mg/100 g. Berdasarkan ketiga proses pemasakan yang memberikan penurunan mineral paling sedikit hingga penurunan paling besar berturut-turut yaitu dari metode pemasakan dengan cara direbus, dipanggang dan digoreng. Hasil penelilitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada masyarakat bahwa untuk memperoleh kelarutan mineral yang paling baik dari kerang hijau, sebaiknya masyarakat mengolah kerang hijau dengan cara direbus.
5.2
Saran Saran dari penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai
bioavailabilitas mineral secara in vivo.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed MMM, IMT Fadlala, MES Barri. 2002. Tropical animal. Healt and Prod 34 (1):75-80. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Anonim. 2008. Si Hijau yang makin mempesona. http://ikanmania.word press.com. [6 Juni 2010]. Arifin Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. Jurnal Litbang Pertanian 27 (3):99-105. AOAC [Association of Official Analytical Chemyst]. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemyst. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemyst, Inc. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari N, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. Apriyantono A. 2002. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi dan Keamanan Pangan. http://kharisma.de/files/home/makalah anton. Pdf. [19 Mei 2010]. Asikin. 1982. Kerang Hijau. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Beard JL, H Dawsen, DJ Pinero. 1996. Iron metabolism: a comprehensive review. Nutrition Review 54(1):295-317. Boyle MA, S. Long. 2010. Personal Nutritional. USA: Wadswort. Broom MJ. 1985. The biology and culture of marine bivalve molusca of genus anadara. Philipines: International Central for living Resource Management Philipines. Buckle KA, Fleet GA, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. Hari Purnomo dan Adiono. Jakarta: UI Press. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi. Jakarta: UI Press. Dance SP. 1977. The Encyclopedia of Shell. London: Bladford. DKP [Departemen Kelautan dan Perikanan]. 2009. Sistem Informasi Data Statistic.www.simpatik.com [19 Mei 2010].
Dore I. 1991. Shellfish a Guide Oyster, Mussels, Scallops, Clamps and Similar Product for Commercial User. New York: Van Nostrand reinhold/Osprey Books. Ersoy B.,Ozeren A. 2009. The effect of cooking methods on mineral and vitamin contents of African catfish. Food Chemistry 115 :419–422. Fellows P. 200. Food Processing Tekhnology Principles and Practice. 2nd Edition. England: Woodhead Publishing Limited. Harjono RM, Oswari J, Ronardy DH, Santoso K, Setio M, Soenarno, Widianto G, Wijaya C, Winata I. 1996. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Harris RS dan Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Edisi ke-2. Bandung: ITB-Press Inoue Y, T. Osawa, A. Matsui, Y. Asai, Y Murakami, T. Matsui, H. Yano. 2002. Changes of serum mineral concertation in horses during exercise. Asian Austria. J. Anim. Sei15(4):531-536. Kagawa Y. 1999. 4th Amanded Japaness Food Content Tables, 485-486. Di dalam: Okuzumi M dan Fujii T, editor. 2000. Nutritional and Fucntional Properties of Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperative Assosiation of Squid Processor. King MW. 2006. Clinical aspect of iron metabolism. J.Med Biochem 15 (9):1-4. Latunde-Dada GO, Neale RJ. 1986. Review: Availability of iron from food. Food Technology 21 (4):255-268. LaxmilathaP.2009. Proximate composition of the surf clam Mactra violacea (Gmelin 1791). Indian J. Fish 56(2) : 147-150 Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor:Institut Pertanian Bogor. Okuzumi M dan Fujii T. 2000. Nutritional and Fucntional Properties of Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperative Assosiation of Squid Processor. Pedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Porsepwandi W. 1998. Pengaruh pH larutan perendaman terhadap penurunan kandungan Hg dan Cd kerang hijau (Mytilus viridis). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Pratt HS. 1935. A Manual of Invertebrate Animals. Newyork: Mc Grow Hillbook Company Inc. Reitz LL, Smith WH, Plumlee MP. 1987. A Simple Oxidation Procedure for Biological Materials. West Lafayee: Animal Science Purdue University. Sabana. 2005. Pemanfaatan daging kerang hijau (Perna viridis) dalam pembuatan produk kamaboko. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Santoso J. 2003. Studies on nutritional component and antioxidant activity in several Indonesia seaweeds. [Disertasi]. Tokyo: Laboratory Chemistry of Food and Nutrition, Department of Food Science and Technology, Tokyo University of Fisheries. Santoso J, Satako G, Yumiko YS, Takeshi S. 2006. Mineral content of Indonesian seaweed solubility affected by basic cooking. Journal of Food Science and Technology 12 (1): 59-66. Schlingmann KP, Konrad M, Seyberth HW. 2004. Genetics of hereditary disorders of magnesium homeostasis. Pediatr Nephrol. 19:13-25. Sediaoetama AD. 1993. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Ed-2. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press. Spears JW. 1999. Reevalution of the metabolic essensiality of minerals. Asian Aust 12(6):1.002-1.008. Steel RGD, Torie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Ed ke-3. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principle and Procedure of Statistics Suwigyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Kristanti M. 1997. Avertebrata Air untuk Mahasiswa Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Suzuki T, Yoshie Y, Horri A. 2000. Solubility of minerals in shellfish by heathing with salt water. [Dalam] Carman O, Sulistiono, Purbayanto A, Suzuki T, Watanabe S, Arimoto T (eds). The proceeding of the JSPS-DGHE international symposium on fisheries science in tropical area (pp.236568). TUF International JSPS Project, Tokyo. Vakily JM.1989. The Biology and Culture of Mussel of Genus Perna. International Center for Living Aquatic Resource Management (ICLARM) Studies and Review No.17. Manila. 63 hal.
Watzke JH. 1998. Impact of processing on bioavailability example of minerals in foods. Journal of Food Science and Technology Vol (9):320-327. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yoshie Y, Suzuki T, Pandolf T, Clydesdale FM. 1999. Iron solubility from seafood with added iron and organic acids under stimulated gastrointestinal condition. Journal of Food Quality Vol (20):235-246
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pemenuhan kecukupan gizi mineral berdasarkan AKG per 100mg Jenis mineral AKG (mg) Kerag hijau mg/100 mg % AKG Natrium 500-2400 403,4564 16,8107-80,6913 Kalium 2000 257,2207 12,8610 Fosfor 400 96,7361 24,8610 Magnesium 170-270 82,0531 30,3900-48,2665 Kalsium 800 29,7597 3,7199 Besi 13 -19 4,8102 25,3168-37,0015 Seng 8,2-11,2 1,8252 16,2964-22,2585 Tembaga 1,5- 3,0 0,2926 9,7533-19,5066 Contoh perhitungan % Kalium Berdasarka AKG kalium yang dibutuhkan 2000 mg, sedangkan di dalam kerang hijau terdapat 257,2207 mg maka: %AKG K= 257,2207 X 100 % 2000 = 12.8610 % Lampiran 2. Grafik uji kenormalan galat Ca, Fe, Zn dan Se Hipotesis: Ho: Galat menyebar normal Hi: Galat tidak menyebar normal Probability Plot of RESI1 Normal 99 Mean StDev N KS P-Value
95 90 80
Percent
70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0.00050 -0.00025
0.00000 0.00025 RESI1
0.00050
0.00075
Gambar 4. Grafik uji kenormalan galat kalsium
1.927471E-19 0.0002539 9 0.213 >0.150
Probability Plot of RESI1 Normal 99
95 90
Mean StDev N KS P-Value
-5.52644E-15 0.7738 9 0.187 >0.150
Mean StDev N KS P-Value
-1.92747E-19 0.0002533 9 0.213 >0.150
80
Percent
70 60 50 40 30 20 10 5
1
-2
-1
0 RESI1
1
2
Gambar 5. Grafik uji kenormalan galat besi
Probability Plot of RESI1 Normal 99
95 90 80
Percent
70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0.00075
-0.00050
-0.00025
0.00000 RESI1
0.00025
0.00050
Gambar 6. Grafik uji kenormalan galat seng
Probability Plot of RESI1 Normal 99 Mean StDev N KS P-Value
95 90
0 0.0002539 9 0.213 >0.150
80
Percent
70 60 50 40 30 20 10 5
1
-0.00075
-0.00050
-0.00025
0.00000 RESI1
0.00025
0.00050
Gambar 7. Grafik uji kenormalan galat selenium Lampiran 3. Analisis Ragam
kalsium
Besi
Seng
selenium
Antar grup Dalam grup Jumlah Antar grup Dalam grup Jumlah Antar grup Dalam grup Jumlah Antar grup Dalam grup Jumlah
Jumlah kuadrat .000 .000 .000 1278.579 4.790 1283.368 .000 .000 .000 .000 .000 .000
Derajat bebas 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8
Kuadrat rata-rata F hitung .000 143.564 .000
Signifi kan .000
639.289 .798
800.848
.000
.000 .000
143.562
.000
.000 .000
143.577
.000
Lampiran 4. Pemenuhan rata-rata kecukupan gizi mineral setelah pemasakan Jenis pemasakan Jenis mineral AKG (mg) Kerang hijau mg/100 g % AKG Perebusan Ca 800 4,6297 0,58 Fe 13 -26 0,0524 0,2 -0,4 Zn 9,3-13,4 0,0132 0,09-0,14 Penggorengan Ca 800 2,6949 0,3 Fe 13 -26 0,0152 0,05-0,01 Zn 9,3-13,4 0,0069 0,05-0,07 Pembakaran Ca 800 3,9172 0,5 Fe 13 -26 0,0403 0,2 -0,3 Zn 9,3-13,4 0,0101 0,07-0,1 Contoh perhitungan % Kalsium Berdasarkan AKG kalsium yang dibutuhkan 800 mg, sedangkan di dalam kerang hijau terdapat 4,6297 mg kerang yang direbus maka: %AKG Ca = 4,6297 X 100 % 800 = 0,58 %
Lampiran 5. Uji lanjut Duncan mineral kalsium Perlakuan
N
penggorengan pembakaran Perebusan Sigifikan
3 3 3
1 .012718
α = .05 2
3
.014495 1.000
1.000
.016764 1.000
Lampiran 6. Uji lanjut Duncan mineral besi Perlakuan Perebusan pembakaran penggorengan Signifikan
N 3 3 3
1 59.683999
α = .05 2
3
69.013105 1.000
1.000
88.307168 1.000
Lampiran 7. Uji lanjut Duncan mineral seng Perlakuan
N
penggorengan pembakaran perebusan Signifikan
3 3 3
1 .012714
α = .05 2
3
.014487 1.000
1.000
.016751 1.000
Lampiran 8. Uji lanjut Duncan mineral selenium perlakuan penggorengan pembakaran perebusan Signifikan
N 3 3 3
1 .012718
α = .05 2
3
.014495 1.000
1.000
.016764 1.000