i
TINGKAT EFEK KESEHATAN LINGKUNGAN KANDUNGAN LOGAM BERAT KADMIUM (Cd) PADA KERANG HIJAU (Perna viridis) YANG DIKONSUMSI MASYARAKAT KALIADEM MUARA ANGKE JAKARTA UTARA TAHUN 2015
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH: FEELA ZAKI SAFITRI 1111101000142
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Agustus 2015 Nama : Feela Zaki Safitri, NIM : 1111101000142 Tingkat Efek Kesehatan Lingkungan Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) dalam Kerang Hijau (Perna viridis) yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 ABSTRAK Latar Belakang: Kerang hijau merupakan salah satu jenis hewan yang merupakan flitter feeder atau bertingkah laku sebagai vacum cleaner dan merupakan salah satu jenis kerang terbaik untuk menguji biopllution limbah B3 pada periaran. Salah satu logam berat yang berbahaya dan menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan adalah kadmium(Cd). Pajanan Cd dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan efek permanen pada sistem ginjal dan hati. Tujuan: Untuk mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan kandungan Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dari hasil budidaya yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta. Metode: Penelitian ini menggabungkan studi Epodemiologi Kesehatan Lingkungan (EKL) dan studi Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Desain studi yang digunakan adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Responden diambil secara acak dengan menggunakan teknik simple random sampling, jumlah sampel sebanyak 191 KK. Dari 191 KK diperoleh 230 anggota keluarga yang menjadi responden. Spesimen diambil di pusat budidaya kerang hijau Kaliadem yang terdiri dari 11 titik pengambilan spesimen kerang hijau dengan pengambilan pada sore hari. Kadar Cd dalam kerang hijau diukur dengan Atomic Absorption Spectrometry (AAS). Laju asupan, durasi pajanan, dan frekuensi pajanan diukur secara kuantitatif melalui wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan berat badan diukur dengan menggunakan timbangan untuk menghitung intake Cd dan tingkat risiko kesehatan (RQ). Metode Chi Square digunakan untuk analisis hubungan tingkat risiko dengan berat badan, laju asupan, durasi pajanan, frekuensi pajanan, dan intake. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi Cd pada kerang hijau yang dibudidayakan di perairan Teluk Jakarta berkisar 0,052-0,094 mg/L. Variabel yang memiliki nilai hubungan signifikan dengan tingkat risiko responden adalah variabel laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan intake (p<0,05). Kesimpulan: Konsentrasi rata-rata Cd pada kerang hijau di budidaya perairan Teluk Jakarta masih memenuhi standar konsentrasi Cd maksimum. Tetapi berdasarkan perhitungan analisis risiko berdasarkan realtime, diperoleh bahwa dengan konsentrasi tersebut sebanyak 60,9% responden yang mengkonsumsi kerang hijau mempunyai risiko yang tinggi untuk terpapar Cd (RQ >1), yang mengindikasikan bahwa masyarakat Kaliadem mempunyai risiko yang tinggi terpapar Cd sehingga perlu dikendalikan. Kata Kunci : Kadmium, Kerang Hijau, Analisis Risiko Daftar Bacaan : 92 (1972-2014)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH MAJOR DEPARTEMENT ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, August 2015 Name : Feela Zaki Safitri, NIM : 1111101000142 Level of Environmental Health Effects Content of Heavy Metal Cadmium (Cd) in Green Mussels (Perna viridis), which Consumed by Kaliadem Muara Angke People, North Jakarta 2015 ABSTRACT Background: Green mussel is one kind of animal which is filter feeder or act as a vacuum cleaner and it is one of the best calm to test biopollution of hazardous and toxic substances (B3) in the waters. One of the heavy metals that are harmful and cause bad effects on health is cadmium (Cd). Cd exposure with low concentration within old ones can cause permanent effects in organ meats (e.g., liver and kidney). Objective: To determine the risk level of the content of Cd in the green mussel (Perna viridis) which is consumed by people in Kaliadem Muara Angke, North Jakarta conducted farm in the waters of Jakarta Bay. Methods: This research combines the study of Environmental Health Epidemiology (EHE) and Environmental Health Risk Analysis study (EHRA). Design study used was a cross sectional study. The populations in this study were all the people who live in Kaliadem Muara Angke, North Jakarta. Respondents were drawn at random by using a simple random sampling technique, the total sample of 191 households. Respondents were 230 family members from 191 households. Specimens were taken at the center of the green mussel cultivation Kaliadem consisting of 11 green mussel specimen, collection point of taking in the afternoon. Cd levels in mussels were measured by Atomic Absorption Spectrometry (AAS). The rate of intake, exposure duration, and frequency of exposure were measured quantitatively through interviews using a questionnaire, while weight was measured using scales to calculate the intake of Cd and the level of health risk (RQ). Chi Square methods used to analyze the correlation between risk-weight, intake rate, duration of exposure, frequency of exposure, and intake. Results: The results showed that the concentration of Cd in green mussels, waters of Jakarta Bay ranged from 0.052 to 0.094 mg / L. Variables that have a significant relationship with the value of the risk level of the respondents was a variable rate of intake, frequency of exposure, duration of exposure, and intake (p <0.05). Conclusion: The average concentration of Cd in green mussels in cultivation of Jakarta Bay waters still met the standard of a maximum concentration of Cd. But based on the calculation of risk analysis of realtime, found that with the concentration of as much as 60.9% of respondents who consumed mussels had a high risk for Cd exposure (RQ> 1), which indicated that the people in Kaliadem had a high risk of Cd exposure that need to be controlled. Keywords: Cadmium, Mussels (Perna viridis), Risk Assessment Reference: 92 (1972-2014)
v
vi
vii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Sembah sujud serta sykur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih sayangMu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia, ridho serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rasulullah Muhammad SAW.
Kupersembahkan karya ini kepada kedua orangtua, Abah dan Ibu tercinta
Sebagai tanda bakti, hormat, rasa sayang dan rasa terimakasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya sederhana ini kepada Abah dan Ibu yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi langkah awal untuk membuat Abah dan Ibu bangga dan bahagia. Terimakasih tak terhingga untuk Abah dan Ibu yang selalu memberikanku motivasi dan menyiraminya dengan kasih sayang, yang tiada hentinya mendoakanku disetiap proses, dan yang selalu menasehatiku dan menjadi jembatan perjalanan hidupku untuk menjadi lebih baik.
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP /Curriculum Vitae
Data Pribadi / Personal Details Nama / Name Alamat Asal/ Address
: Feela Zaki Safitri : Perum. Griya Pandana Merdeka Blok N 11 RT 01 RW 03 Kel. Bringin Kec. Ngaliyan Semarang, Jawa Tengah
Nomor Telepon / Phone
: 085742764360
E-mail
:
[email protected]
Jenis Kelamin / Gender
:Perempuan
Tanggal Kelahiran /Date of Birth
: Semarang, 10 April 1992
Warga Negara / Nationality
:Indonesia
Agama / Religion
:Islam
Status / Status
: Belum Menikah
Riwayat Pendidikan / Educational Qualification No Sekolah / Institusi / Universitas Formal 1. SDN Ngaliyan 05 2. Madrasah Tsanawiyah (MTs) Raudlatul Ulum 3. Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul Ulum 4. UIN Syarif Hidayatullah-Jakarta Informal 1. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 2. Pondok Pesantren Al-Ma’rufiyah
Periode
Alamat
1998-2004 Semarang, Jawa Tengah 2005-2008 Pati, Jawa Tengah 2008-2011 Pati, Jawa Tengah 2011-2015 Ciputat, Tangerang Selatan, Banten 2004-2011 Pati, Jawa Tengah 2013-2014 Semarang, Jawa Tengah
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Kuasa atas berkah dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu pada progam studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyususnan karya ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakulats dan Kedokteran Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Fajar Ariyanti M.Kes, Ph.D selaku Kepala Progam Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dewi Utami Iriani, M.Kes, PhD selaku dosen Pembimbing I dan Hoirun Nisa, M.Kes, PhD selaku dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, nasehat, dan motivasi selama penyusunan skripsi. 4. Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Nasrudin, SKM sebagai penguji dan dosen matakuliah ARKL. Terimakasih atas bimbingan dan saran yang telah diberikan. 5. Kedua orangtua yang tak henti-hentinya memberikan doa, dukungan, cinta, motivasi, dan segalanya yang tak mungkin terbalaskan oleh penulis. 6. Kepala UPT PKPP dan PPI, Kepala Dinas Kesehatan Jakarta Utara, dan Kepala Puskesmas Muara Angke yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di salah satu wilayah kerja. 7. Kak Anis Risenti sebagai laboran Laboratorium Kesehatan Lingkungan yang telah membantu dalam proses analisis laboratorium selama penelitian ini berlangsung. 8. Kementrian Agama sebagai penyelenggara Progam Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang telah memberikan kesempatan belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
x
9. Keluarga besar Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Pati Jawa Tengah atas dukungan dan doa yang diberikan 10. Almen, Alifia, Chandra, Rois, Hanik, Fiqoh, Tanza, Ilham, Lailatul, dan IIs yang telah membantu dalam pengumpulan data, analisis data, telah meluangkan waktu untuk berdiskusi. 11. Teman seperjuangan Kesehatan Lingkungan 2011, saudara seperjuangan CSS MoRA UIN Jakarta 2011, dan sahabat alumni pesantren Raudlatul Ulum Pati yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan doa. Harapan penulis semoga karya ini bermanfaat bagi dunia kesehatan dan pembaca pada umunya, sehingga dapat berpesan serta dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan.
Ciputat, 18 Agustus 2015
Penulis
xi
DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................................... i ABSTRAK ............................................................................................................................... iii PERNYATAAN PERSETUJUAN ........................................................................................... v KATA PENGANTAR ........................................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................................................ xi DAFTAR BAGAN ................................................................................................................ xiv DAFTAR TABEL................................................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. xvi BAB I ........................................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1 A.
Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ......................................................................................................... 7
C.
Pertanyaan Penelitian .................................................................................................... 8
D.
Tujuan Penelitian .......................................................................................................... 8 1.
Tujuan Umum ............................................................................................................ 8
2.
Tujuan Khusus ........................................................................................................... 9
E.
Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 10
F.
Ruang Lingkup............................................................................................................ 11
BAB II..................................................................................................................................... 13 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 13 A.
Kerang Hijau (Perna viridis) ...................................................................................... 13
B.
Kadmium..................................................................................................................... 15 1.
Sifat dan Karakteristik Kadmium ............................................................................ 15
2.
Pencemaran Kadmium............................................................................................. 16
3.
Sumber Pencemaran Kadmium ............................................................................... 19
4.
Baku Mutu atau Guideline Konsentrasi Kadmium.................................................. 21
5.
Toksikologi Kadmium ............................................................................................. 21
6.
Toksikokinetik Kadmium ........................................................................................ 28
7.
Toksikodinamik Kadmium ...................................................................................... 29
8.
Biomagnifikasi Kadmium ....................................................................................... 29
xii
9.
Bioakumulasi Kadmium .......................................................................................... 30
C.
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan ...................................................................... 31
D.
Kerangka Teori ........................................................................................................... 36
BAB III ................................................................................................................................... 39 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .................................................. 39 A.
Kerangka Konsep ........................................................................................................ 39
B.
Definisi Operasional ................................................................................................... 41
C. Uji Hipotesis.................................................................................................................. 45 BAB IV ................................................................................................................................... 46 METODE PENELITIAN ........................................................................................................ 46 A.
Desain Penelitian ........................................................................................................ 46
C.
Populasi dan Responden Penelitian ............................................................................ 47
D.
Teknik Pengumpulan Data .......................................................................................... 51
E.
Alur Kerja Penelitian .................................................................................................. 52
F.
Pemeriksaan Laboratorium ......................................................................................... 53
G.
Metode Analisa Kadmium (Cd) dalam Kerang Hijau................................................. 54
H.
Pengolahan dan Analisis Data..................................................................................... 57
BAB V .................................................................................................................................... 62 HASIL PENELITIAN ............................................................................................................ 62 A.
Gambaran Umum Wilayah Penelitian ........................................................................ 62 1.
Kondisi Perairan Teluk Jakarta................................................................................ 62
2.
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara .................................................................... 63
B.
Karakteristik Responden ............................................................................................. 65
C.
Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke ............................................................................................. 67
D.
Analisis Risiko ............................................................................................................ 68
E.
1.
Analisis Paparan (Exposure Assessment)-Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara ..................................................................................... 68
2.
Karakteristik Risiko (Risk Characterization) - Tingkat Risiko (RQ) ...................... 71 Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara .............................................................................................................. 72
BAB VI ................................................................................................................................... 75
xiii
PEMBAHASAN ..................................................................................................................... 75 A.
Keterbatasan Penelitian ............................................................................................... 75
B.
Karakteristik Responden ............................................................................................. 76
C.
Konsentrasi Kadmium (Cd) Pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Tahun 2015 ......................................................................... 85
D.
Analisis Risiko ............................................................................................................ 88
E.
1.
Analisis Pajanan (Esposure Assessment) – Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara ..................................................................................... 88
2.
Karakteristik risiko (Risk Characterization) – Tingkat Risiko (RQ) ...................... 99 Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 ........................................................................................ 103
BAB VII ................................................................................................................................ 117 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................. 117 A.
SIMPULAN .............................................................................................................. 117
B.
SARAN ..................................................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 123 LAMPIRAN.......................................................................................................................... 131
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Fase Toksikokinetik...................................................................................28 Bagan 2.2 Kerangka Teori..........................................................................................37 Bagan 3.1 Kerangka Konsep.......................................................................................40 Bagan 4.1 Teknik Pengambilan Sampel......................................................................46 Bagan 4.2 Alur Kerja Penelitian..................................................................................50
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional....................................................................................44 Tabel 4.1 Peralatan Analisis yang Digunakan.............................................................53 Tabel 4.2 Bahan Analisis yang Digunakan..................................................................53 Tabel 5.1 Distribusi Menurut Usia, Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Cara Memasak Kerang Hijau, dan Pekerjaan Responden Di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015..................................................................................................................66 Tabel 5.2 Hasil Pengukuran Konsentrasi Cd dalam Kerang Hijau Tiap Sampel Budidaya Kerang Hijau Tahun 2015...........................................................................67 Tabel 5.3 Distribusi Konsentrasi Cd pada Kerang Hijau Hasil Budidaya di Perairan Teluk Jakarta Tahun 2015...........................................................................................68 Tabel 5.4 Distribusi Intake Cd Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015.................................................................................................................69 Tabel 5.5 Tingkat Risiko Logam Cd dalam Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015.............................................................................................................................72 Tabel 5.6 Hubungan Konsentrasi Cd, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015.....................................................................73
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 5.1 Lokasi Penelitian Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara .......................65
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan sektor perindustrian yang ada di wilayah Jabodetabek yang mempunyai instalasi pengelolaan limbah hanya kurang dari 5%, dan dari 5% tersebut tidak semua IPAL berfungsi dengan baik dan digunakan dengan semestinya (Riani, 2012). Teluk Jakarta merupakan muara dari tiga belas sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta dan digunakan sebagai media untuk membuang limbah berbagai industri yang berada di wilayah sekitarnya yakni tiga sungai besar (Sungai Citarum, Sungai Bekasi dan Sungai Ciliwung) dan sepuluh sungai kecil (Sungai Kamal, Sungai Kanal Cengkareng, Sungai Angke, Sungai Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Grogol dan Sungai Pesanggrahan), dengan total rata-rata aliran limpahan dari ke tiga belas sungai tersebut adalah 112,7 m³det( '־BLH DKI Jakarta, 2013). Berdasarkan Laporan Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan Hidup (KPPL), DKI Jakarta tahun 2013 diperkirakan limbah yang masuk ke perairan Teluk Jakarta melalui aliran sungai adalah limbah dari kegiatan industri produksi sekitar 97,82% yakni 1.632.896,47 m³/tahun, limbah domestik 2,17% yakni 36.229,90 m³/tahun, dan limbah industri pertanian 0,01% yakni 232,25 m³/tahun (BLH DKI Jakarta, 2013). Limbah tersebut berasal dari beberapa industri di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang
2
menggunakan logam Cd sebagai bahan pokok maupun sampingan dalam produksi. Industri tersebut seperti industri pengemasan makanan kaleng, industri yang menggunakan zat pewarna (tekstil, percetakan, produksi kertas), industri logam (komputer, mesin, peralatan listrik, baterai), dan industri manufaktur (BLH DKI Jakarta, 2013). Pada tahun 2013 perairan Teluk Jakarta telah mengalami peningkatan konsentrasi logam berat Cd sebesar 82,6% (BLH DKI Jakarta, 2013). Hal tesebut sesuai dengan penelitian Sarjono (2009) yang menyatakan bahwa ratarata konsentrasi logam berat kadmium di perairan Teluk Jakarta sebesar 0,004-0,010 mg/L. Hal tersebut menunjukkan nilai yang telah melampaui baku mutu yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 yaitu sebesar 0,001 mg/L. Peningkatan konsentrasi logam berat pada perairan Teluk Jakarta merupakan salah satu hal yang mengakibatkan terjadinya akumulasi logam berat terhadap biota perairan. Hal ini sejalan dengan ditemukannya peningkatan laju akumulasi logam Cd pada kerang hijau sebesar 0,0051 – 0,0295 μg/minggu di perairan Teluk Jakarta (Ningtyas, 2002). Dibuktikan dengan hasil analisis terhadap kerang konsumsi yang dijual di pasar ikan Muara Angke Jakarta Utara kandungan Cd dalam kerang hijau sebesar 1,332 ppm telah melebihi ambang batas yang dipersyaratkan oleh WHO dan FAO (Nurjanah et al., 1999).
3
Kasus keracunan kadmium yang telah terjadi di Jepang yang dikenal dengan itai-itai disease telah menjadi permasalahan dunia. Kasus ini terjadi pada tahun 1960, pencemaran Cd terjadi pada tanah, air dan makanan akibat aktivitas proses pertambangan pada hilir sungai Jinzu, Honsyu kota Toyama Jepang. Penyakit itai-itai disebabkan oleh konsumsi beras penduduk yang tinggal disekitar sungai Jinzu mengandung konsentrasi logam Cd lebih dari 0,4 mg/kg (Wang et al., 2009). Penyakit ini ditandai dengan penuruan fungsi ginjal dan fungsi sistem reproduksi yang disertai dengan kerusakan hati (ATSDR, 1999). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013 prevalensi gangguan fungsi ginjal yang pernah didiagnosis oleh dokter di DKI Jakarta sebesar 0,1%. Prevalensi gangguan fungsi ginjal tersebut terjadi pada masyarakat yang bekerja sebagai nelayan sebesar 0,3% dan prevalensi paling banyak terjadi pada usia >75 tahun sebesar 0,6% (Riskesdas, 2013). Didukung dengan data penelitian Masengi et al. (2013) bahwa masyarakat yang hidup di wilayah pesisir memiliki angka kejadian hipertensi 6,3%, dikarenakan konsumsi makanan laut yang berlebih. Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang signifikan antara konsumsi makanan laut dengan kejadian hipertensi (p value =0,001). Berdasarkan data tersebut bahwa salah satu efek dari keracunan kadmium rata-rata terjadi pada nelayan yang tinggal di daerah pesisir Teluk Jakarta yang banyak mengkonsumi ikan dari perairan tersebut. Salah satu pemukiman yang terletak di pesisir Teluk Jakarta adalah Kaliadem.
4
Kaliadem Muara Angke merupakan salah satu daerah yang berada di tepi Teluk Jakarta. Perkampungan ini dihuni oleh beberapa kelompok nelayan termasuk nelayan kerang hijau sehingga mayoritas mata pencahariaan penduduk disana adalah budidaya kerang hijau yang dilakukan di pesisir wilayah perairan Teluk Jakarta. Kegiatan budidaya kerang hijau tersebut sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan jumlah rakit sebanyak 50 unit. Produksi dari hasil budidaya kerang hijau tersebut bisa mencapai 15-20 ton perbagan tancap setiap minggunya (DPPK, 2006). Walaupun kerang hijau bukan merupakan makanan pokok pada daerah ini, namun lokasi yang dekat dengan
budidaya
membuat
masyarakat
setempat
lebih
cenderung
mengkonsumsi kerang hijau dibandingkan dengan hasil laut yang lain. Sebagian besar laki-laki bekerja sebagai nelayan kerang hijau, sedangkan rata-rata penduduk perempuan dewasa di daerah tersebut memiliki pekerjaan sampingan sebagai pengupas kerang. Masyarakat di sana merupakan high fish consumption yaitu masyarakat yang lebih banyak mengkonsumsi hasil laut dibandingkan dengan masyarakat yang tidak tinggal dekat perairan Teluk Jakarta (Susiyeti, 2010). Sehingga memungkinkan bahwa tingkat konsumsi kerang hijau pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat lain. Salah satu jenis hewan yang merupakan flitter feeder atau bertingkah laku sebagai vacum cleaner terhadap limbah B3 adalah hewan yang sesil (menetap)
yakni
golongan
kekerangan.
Golongan
kekerangan
yang
mampunyai kemampuan yang basar dalam menyerap limbah B3 (terutama
5
logam berat) adalah kerang hijau (Perna viridis). Kerang hijau ukuran kecil dapat bertingkah sebagai vacum cleaner bagi limbah cair kawasan industri yang masuk ke dalam perairan (Riani, 2009). Selain berperan sebagai vacum cleaner dan flitter feeder kerang hijau juga merupakan salah satu spesies kerang terbaik untuk menguji biopollution (Molnar et al., 2008) sehingga hal tersebut memungkinkan akumulasi logam berat yang berbahaya bagi manusia sangat tinggi di dalam kerang hijau. Penelitian yang telah dilakukan (Alfian, 2005) dengan menguji beberapa hasil laut dari perairan Pekalongan bahwa kadar Cd dalam udang dogol 0,372 ± 0,177 ppm, kerang hijau 0,451 ± 0,174 ppm dan sotong gurita 0,204 ± 0,035 ppm. Berdasarkan penelitian tersebut meskipun semua hasil laut tidak aman dikonsumsi dan telah melebihi yang ditetapkan SNI namun kadungan logam Cd terbesar ditemukan dalam kerang hijau. Studi pendahuluan telah dilakukan oleh peneliti di Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK UIN Jakarta pada tanggal 16 Desember 2014 dengan menganalisis beberapa logam berat yaitu Hg, Cd, dan Pb. Sampel hasil laut yang dianalisis antara lain kerang hijau, kerang dara, ikan tongkol, ikan peda, ikan kembung, kerang batik, dan ikan pindang. Sampel hasil laut yang didapatkan dari Pusat Pelelangan Ikan Muara Angke dan merupakan hasil tangkapan dari perairan Teluk Jakarta. Hasil analisis awal diketahui kandungan kadmium paling banyak terdapat pada sampel kerang hijau yaitu sebesar 1,48 mg/kg. Konsentrasi ini telah melebihi baku mutu yang ditetapkan pemerintah Indonesia mengenai batas cemaran logam berat pada hasil laut
6
yaitu 1,0 mg/kg (BPOM, 2009);(SNI, 2009). Sedangkan konsentrasi logam Pb dalam kerang hijau sebesar 2,3 mg/kg juga telah melebihi baku mutu yaitu 1,5 mg/kg (BPOM, 2009);(SNI, 2009). Konsentrasi Cd dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi di perairan. Penelitian yang dilakukan di Teluk Jakarta pada tahun 2009 menyebutkan bahwa nilai kisaran rata-rata konsentrasi kadmium di sedimen berkisar antara 0,201-0,625 mg/l. Sedangkan pada perairan menunjukkan nilai konsentrasi rata-rata sebesar 0,00400,010mg/l (Sarjono, 2009). Namun menurut efek bahayanya terhadap tubuh logam Cd lebih berbahaya dari pada logam Pb, karena berapapun jumlah Cd yang masuk ke dalam tubuh manusia menimbulkan efek yang berbahaya. Sifat Cd yang mudah terakumulasi dan lebih sulit terdegredasi dalam tubuh dari pada Pb menimbulkan risiko lebih besar terhadap kesehatan manusia. Sebelumnya telah banyak dilakukan penelitian mengenai konsentrasi logam berat dalam biota perairan di Teluk Jakarta, namun hingga saat ini masih belum ada penelitian yang membahas tentang tingkat konsentarsi logam logam dalam biota dengan tingkat risiko yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi logam berat yang terakumulasi dalam biota di Teluk Jakarta. Perhitungan tingkat risiko logam berat dalam kerang hijau jika dikonsumsi oleh manusia dapat diketahui dengan melakukan pendekatan Analsisi Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis risiko kandungan logam berat Cd
7
pada kerang hijau (Perna viridis) di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Penelitian ini penting untuk dilakukan guna mengetahui tingkat risiko (RQ) kandungan logam berat kadmium (Cd) pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta ketika mengkonsumsi kerang hijau dalam waktu tertentu. B. Rumusan Masalah Kerang hijau merupakan salah satu jenis hewan yang merupakan flitter feeder atau bertingkah laku sebagai vacum cleaner dan merupakan salah satu jenis kerang terbaik untuk menguji biopllution limbah B3 pada periaran. Salah satu logam berat yang berbahaya dan menimbulkan dampak yang buruk bagi kesehatan adalah kadmium (Cd). Saat ini telah terjadi akumulasi logam berat Cd dalam perairan Teluk Jakarta sebesar 82,6% sehingga berpengaruh juga terhadap akumuasi pada kerang hijau. Pajanan Cd dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan efek permanen pada sistem ginjal dan hati. Namun, sampai saat ini belum ada penelitian yang menghitung dan menghubungkan tingkat risiko konsumsi kerang hijau dengan keracunan Cd sehingga dapat menimbulkan efek kesehatan yang merugikan pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian secara khusus terkait tingkat risiko kandungan Cd pada kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara tahun 2015.
8
C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana karakterisitik individu (usia, jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, dan cara memasak kerang) pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara? 2. Berapa besar kandungan Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dan dibudidayakan di perairan Teluk Jakarta? 3. Berapa besar nilai intake (konsumsi) logam berat Cd pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara ketika mengkonsumsi kerang hijau yang didapatkan dari Pusat Pelelangan Ikan Muara Angke Jakarta dan hasil dari budidaya kerang hijau yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta ? 4. Apakah masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara berisiko terhadap terjadinya gangguan kesehatan ketika mengkonsumsi kerang hijau yang dibudidaya di Teluk Jakarta? 5. Bagaimana hubungan antara karakterisitik indivudu, pola aktivitas dan intake konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dengan tingkat risiko akibat mengkonsumsi kerang hijau? D. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan kandungan logam berat Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang
9
dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dari hasil budidaya yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta. 2.
Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik individu (usia, jenis kelamin, status pernikahan, cara memasak kerang, dan pekerjaan) masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. b. Mengetahui konsentrasi Cd dalam kerang hijau (Perna viridis) yang dibudidayakan di Teluk Jakarta. c. Mengetahui intake logam berat Cd pada masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta Utara ketika mengkonsumsi kerang hijau hasil budidaya di Teluk Jakarta. d. Mengetahui tingkat risiko (RQ) individu kandungan logam berat Cd pada masyarakat Kali Adem Muara Angke Jakarta Utara ketika mengkonsumsi kerang hijau hasil budidaya yang dilakukan di Teluk Jakarta. e. Mengetahui hubungan konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, berat badan dan intake dengan tingkat risiko masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara.
10
E. Manfaat Penelitian Penelitian yang ini akan memberikan manfaat kepada berbagai pihak dan instasi, manfaat tersebut adalah: 1.
Bagi Peneliti Penelitian ini bermanfaat untuk menigkatkan pengetahuan dan kesempatan untuk aplikasi teori kesehatan lingkungan yang telah didapat di bangku kuliah. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu peneliti lain jika membutuhkan referensi terkait penelitian dengan topik yang sama.
2.
Bagi Masyarakat Penelitian ini akan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai konsentrasi Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang di budidaya di Teluk Jakarta masih dalam standar baku mutu aman atau tidak, sehingga masyarakat dapat melakukan pencegahan dengan cara mengurangi konsumsi kerang hijau atau dengan melakukan beberapa cara untuk mengurangi kandungan logam dalam kerang hijau.
3.
Bagi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara Adanya penelitian ini akan membantu UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara karena hasil penelitian ini akan dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan selanjutnya terhadap kegiatan budidaya kerang hijau di perairan Teluk Jakarta yang sampai saat ini masih dilakukan. Selain hal tersebut penelitian ini juga dapat
11
memberikan gambaran mengenai tingkat pencemaran yang terjadi terhadap hasil laut yang ditangkap dari perairan Teluk Jakarta. 4.
Bagi Dinas Kesehatan Jakarta Utara Penelitian ini juga dapat memberikan gambaran tentang tingkat risiko kandungan logam berat Cd dalam kerang hijau (Perna viridis) yang merupakan hasil budidaya yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta yang dikonsumsi oleh masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal disekitar pesisir perairan Teluk Jakarta sehingga dapat dilakukan manajemen risiko terhadap efek kesehatan yang akan ditimbulkan.
5.
Bagi Badan Lingkungan Hidup (BLH) DKI Jakarta Penelitian ini dapat digunakan sebagai gambaran pencemaran lingkungan utamanya pada wilayah perairan Teluk Jakarta dan dapat digunakan untuk menyusun kebijakan mengenai pengawasan limbah pabrik yang dibuang pada badan air.
F. Ruang Lingkup Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan kandungan logam berat Cd pada kerang hijau (Perna viridis) yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Analisis spesimen dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK dan Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Populasi dalam penelitian ini diambil di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yang
12
merupakan pusat budidaya kerang hijau yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juni 2015. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan menggunakan metode pendekatan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL), sehingga dalam penelitian ini menggabungkan antara studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan (EKL) dengan studi ARKL. Teknik pengambilan responden dilakukan dengan teknik simple random sampling. Populasi dari peneltian ini adalah masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yaitu kelompok 2, 6, 7, dan 9 dengan jumlah 415 KK. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 191 KK (230 responden) dan 11 spesimen kerang hijau. Responden dalam penelitian ini adalah laki-laki atau perempuan yang berusia ≥10 tahun yang tercatat dalam kelompok nelayan 2,6,7, dan 9 di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Jenis data yang digunakan adalah data primer untuk mengetahui karakteristik individu dan pola aktifitas individu dengan cara melakukan pengisian kuesioner terhadap masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan perhitungan dengan formulasi rumus sehingga didapatkan nilai intake dan tingkat risiko (RQ). Data konsentrasi Cd dalam kerang hijau didapatkan dari pemeriksaan di Laboratorium Terpadu dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrometry (AAS) metode Flow. Sebelum dilakukan pengujian dengan AAS sampel kerang hijau dilakukan ektraksi dengan metode destruksi basah yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan FKIK UIN Jakarta.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerang Hijau (Perna viridis) Kerang hijau (Perna viridis) di Indonesia mempunyai nama yang berbeda-beda di setiap daerah, seperti Kijing (Jakarta), Kedaung (Banten), dan Kemudi Kapal (Riau). Di Malaysia dikenal dengan sebutan Siput Kudu, Chay Luan/Tam Chay (Singapura), Ta Hong (Philipina) dan Hoi Pong (Thailand) (National Park Service, 2014). Kerang hijau diklasifikasikan sebagai berikut (Vakily, 1989): Filum
: Moluska
Kelas
: Bivalvia
Subkelas
: Lamellibranchia
Ordo
: Anisomyria
Famili
: Mytilidae
Genus
: Perna
Spesies
: Perna viridis L.
Kerang hijau adalah organisme yang dominan pada ekosistem litoral (wilayah pasang surut) dan subtorial dangkal. Kerang hijau dapat hidup dengan subur pada perairan teluk, estuari, perairan sekitar area mangrove dan muara dengan kondisi lingkungan yang dasar perairannya berlumpur campur pasir, dengan cahaya dan pergerakan air yang cukup, serta kadar garam yang tidak terlalu tinggi (Setyobudiandi, 2000). Kerang hijau pada umumnya bersifat dioecius yaitu induk jantan dan betina terpisah dan pembuahan terjadi di luar tubuh. Telur yang dibuahi berbentuk bola dengan diameter sekitar 50 μm, sedangkan telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong.
14
Perkembangan kerang hijau dari larva hingga dewasa sangat dipengaruhi oleh salinitas. Pada tingkat larva, salinitas 21-33% memungkinkan larva tersebut tumbuh normal dan berkembang menjadi tingkat berikutnya sebagai veliger (Molnar et al., 2008). Kerang hijau secara alami mendiami muara perairan di mana salinitas berkisar 2733 PSU, batas bawah sekitar 16 ppt. Kisaran suhu optimal 26-32oC tetapi beberapa kerang hijau bisa bertahan untuk jangka pendek dari 10-35oC. Kerang hijau memakan fitoplankton, zooplankton, dan detritus yang disaring dari air (Linnaeus, 2001). Kerang hijau tersebar luas di banyak muara sungai perairan Indonesia dan perairan tropika lainnya. Mereka umunya hidup menempel pada dasar (subtrat) yang keras seperti kayu, bambu, batu, bangunan beton, dan lumpur keras dengan bantuan byssus (serabut penempel) (National Park Service, 2014). Golongan kekerangan merupakan salah satu jenis hewan yang bertingkah laku sebagai flitter sebagai vacum cleaner terhadap limbah B3 adalah hewan yang sesil (menetap) yakni goIongan kekerangan. Diantara golongan kekerangan yang mampunyai kemampuan yang basar dalam menyerap limbah B3 (terutama logam berat) adalah kerang hijau (Perna viridis). Kerang hijau ukuran kecil dapat bertingkah laku sebagai vacum cleaner bagi limbah cair kawasan industri yang masuk ke dalam perairan (Riani, 2009). Kerang Hijau telah digunakan sebagai indikator biopollution logam berat, organoklorin, dan hidrokarbon minyak bumi. Kerang Hijau adalah salah satu spesies kerang terbaik untuk menguji biopollution (Molnar et al., 2008).
15
B. Kadmium 1. Sifat dan Karakteristik Kadmium Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat luas di alam. Logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair 3120C dan titik didih 7650C, dan masuk dalam golongan IIB (ATSDR, 1999). Logam Cd mempunyai penyebaran yang sangat luas di alam namun kadmium murni jarang ditemukan di alam. Hanya ada satu jenis mineral Cd dialam yaitu greennocike (CdS) yang selalu ditemukan bersama dengan mineral spalerit (ZnS) (Palar, 1994). Mineral CdS ini sangat jarang ditemukan di alam, sehingga dalam eksploitasi logam Cd, biasanya merupakan produksi sampingan dari peristiwa peleburan dan refining bijih Zn. Bisanya pada konsentrat Zn didapatkan 0,2 sampai 0,3% logam Cd (Wang et al., 2009). Berdasarkan sifat fisiknya Cd merupakan logam yang lunak, ductile, berwarna putih seperti perak. Logam ini akan kehilangan kilapnya bila berada dalam udara yang basah atau lembab serta akan mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap amonia (NH3) dan sulfur hidroksida (SO2) (ATSDR, 1999). Sedangkan berdasarkan sifat kimianya logam Cd dalam, persenyawaan yang dibentuknya pada umumnya mempunyai bilangan valensi2+, apabila dimasukan ke dalam larutan yang mengandung ion OH-, ion Cd2+ akan mengalami proses pengendapan (Louekari et al., 2000).
16
2. Pencemaran Kadmium a.
Pencemaran Kadmium dalam Perairan Bahan pencemar (polutan) adalah material atau energi yang dibuang
ke lingkungan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan baik abiotik maupun biotik (Nurjanah et al., 1999). Menurut keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.02/MENKLH/I/1988 yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Kepmen LH, 1988). Pencemaran logam berat terhadap lingkungan perairan terjadi karena adanya suatu proses yang erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut dalam kegiatan manusia, dan secara sengaja maupun tidak sengaja membuang berbagai jenis limbah beracun termasuk di dalamnya terkandung logam berat ke dalam lingkungan perairan. Sumber utama pemasukan logam berat berasal dari kegiatan pertambangan, cairan limbah rumah tangga, limbah dan buangan industri, limbah pertanian (Connel and Miller, 1995). Secara alamiah logam berat juga masuk ke dalam perairan dapat digolongkan sebagai: (1) pasokan dan daerah pantai, yang meliputi
17
masukan dari sungai-sungai dan erosi yang disebabkan oleh gerakan gelombang dan gletser, (2) pasokan dari laut dalam, yang meliputi logamlogam yang dilepaskan gunung berapi di laut dalam dan dari partikel atau endapan oleh adanya proses kimiawi, (3) pasokan yang melampaui lingkungan dekat pantai yang meliputi logam yang diangkut ke dalam atmosfer sebagai partikel-partikel debu atau sebagai aerosol dan juga bahan yang dihasilkan oleh erosi gletser di daerah kutub dan diangkut oleh es-es yang mengambang (Cai et al., 1995). Logam berat termasuk sebagai zat pencemar karena sifatnya yang tidak dapat diuraikan secara biologis dan stabil, sehingga dapat tersebar jauh dari tempatnya semula (Azhar et al., 2012). Selanjutnya dikatakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan logam berat digolongkan sebagai pencemar
yang
berbahaya,
yaitu
(1)
tidak
dihancurkan
oleh
mikroorganisme yang hidup di lingkungan dan (2) terakumulasi dalam komponen-komponen lingkungan, terutama air dengan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorpsi dan kombinasi (Jerrold B. Leikin and Frank P. Paloucek, 2008). b.
Pencemaran Kadmium dalam Sedimen Sedimen berasal dari kerak bumi yang diangkut melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat lain, baik secara vertikal ataupun horizontal (Prasad, 2001). Sedimen terdiri dari beberapa komponen. Komponen tersebut bervariasi, tergantung dari lokasi, kedalaman dan
18
geologi dasar (Awalina-Satya et al., 2011). Sedimen terdiri dari bahan organik dan bahan anorganik yang berpengaruh negatif terhadap kualitas air. Bahan organik berasal dari biota atau tumbuhan yang membusuk lalu tenggelam ke dasar dan bercampur dengan lumpur. Bahan anorganik umumnya berasal dari pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terbagi atas: kerikil, pasir, lumpur dan liat. Butiran kasar banyak dijumpai dekat pantai, sedangkan butiran halus banyak di perairan dalam atau perairan yang relatif tenang (Puspitasari, 2007 ). Bahan partikel yang tidak terlarut seperti pasir, lumpur, tanah dan bahan kimia anorganik dan organik menjadi bahan yang tersuspensi di dalam air, sehingga bahan tersebut menjadi penyebab pencemaran tertinggi dalam air (CRC, 2002). Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan perairan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya yang dapat menghambat daya lihat (visibilitas) organisme air, sehingga mengurangi kemampuan ikan dan organisme air lainnya untuk memperoleh makanan, karena pakan ikan menjadi tertutup oleh lumpur (Augustine, 2008). Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya kerja organ pernapasan seperti insang pada organisme air dan akan mengakumulasi bahan beracun seperti pestisida dan senyawa logam (Augustine, 2008). Pada sedimen terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini
19
berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang, sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan (Riani, 2009). Sedangkan pada sedimen yang kasar, kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang lebih halus tidak mengendap. Demikian pula dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada partikel sedimen yang halus. Hal ini diakibatkan adanya daya tarik elektrokimia antara partikel sedimen dengan partikel mineral (UNEP, 1990). 3. Sumber Pencemaran Kadmium Aktifitas masyarakat seperti kegiatan perikanan (tangkap dan budidaya), industri, dan pariwisata menyebabkan banyak bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan. Berdasarkan sumbernya, pencemaran pada perairan dapat dibagi menjadi dua kelompok (Hutagalung, 1984), yakni : a. Dari laut, misalnya tumpahan minyak baik dari sumbernya langsung maupun hasil pembuangan kegiatan pertambangan di laut, sampah dan air ballast dari kapal tanker. b. Kegiatan darat melalui udara dan terbawa oleh arus sungai yang akhirnya bermuara ke laut. Berdasarkan sifatnya polutan dibagi menjadi zat yang mudah terurai (biodegradable). Contoh zat yang mudah terurai adalah seperti sampah
20
organik sedangkan zat yang sukar terurai (non biodegradable) contohnya adalah minyak dan logam berat (UNEP, 1990). Logam kadmium sangat banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Logam ini telah digunakan semenjak tahun 1950 dan total produksi manusia adalah sekitar 15.000 – 18.000 per tahun. Sumber pencemaran kadmium dapat berasal dari aktifitas pertambangan, produksi, domestik dan pertanian. Beberapa industri yang menggunakan kadmium sebagai bahan produksi adalah (Connel and Miller, 1995): a. Senyawa CdS dan CdSeS, banyak digunakan sebagai zat pewarna. b. Senyawa CdSO4 digunakan dalam industri baterai yang berfungsi untuk pembuatan sel weston karena Cd mempunyai potensial stabil sebesar 1,0186 volt. c. Senyawa CdBr2 dan CdI2 secara terbatas digunakan dalam dunia fotografi. d. {(C2H5)2Cd} digunakan dalam proses pemuatan tetraetil-Pb. e. Senyawa Cd-strearat banyak digunakan dalam perindustrian manufaktur Polyvinil Chlorida (PVC) sebagai bahan yang berfungsi untuk stabilizer. Selain itu Cd banyak digunakan dalam industri ringan seperti pada proses pengolahan roti, pengolahan ikan, pengolahan minuman, industri tekstil, dan lain-lain banyak melibatkan senyawa yang dibentuk dengan Cd
21
meskipun
penggunaannya
dengan
konsentrasi
yang
sangat
rendah
RI
Nomor
(Darmono, 1995). 4. Baku Mutu atau Guideline Konsentrasi Kadmium Berdasarkan
Peraturan
Kepala
Badan
POM
HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan, batas maksimum cemaran Cd dalam kerang adalah 1,0 mg/kg (BPOM, 2009). Peraturan Standar Nasional Indonesia tahun 2009 menetapkan batas maksimum cemaran logam berat kadmium dalam jenis kerang adalah 1,0 mg/kg (SNI, 2009). Diperkuat pernyataan dari FAO dan WHO bahwa ambang batas toleransi Cd sekitar 70 mg Cd tiap hari (WHO, 1972). Sedangkan menurut WHO, kadar kadmium (Cd) maksimum pada air yang diperuntukan untuk air minum adalah 0,005 mg/L (WHO, 1994)dan untuk peruntukan pertanian dan perikanan sebaiknya tidak lebih dari 0,05 mg/kg (WHO, 1972). 5. Toksikologi Kadmium a.
Toksikologi Kadmium di Lingkungan Kadmium berpotensi besar merugikan dan mempengaruhi kualitas
lingkungan
dan
pencemaran
melalui
rantai
makanan.
Konsentrasi kadmium dalam makanan merupakan phatway dari akumulasi logam yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Penyebaran pencemar dalam lingkungan perairan sangat dipengaruhi
22
oleh sejumlah proses pengangkutan interaktif, seperti penguapan, presipitasi dari udara, pencucian, dan aliran. Proses masuknya zat polutan pada lingkungan melalui atmosfer, tanah dan sedimen (Connel and Miller, 1995). Logam Cd membawa sifat racun yang sangat merugikan bagi semua organisme bahkan juga berbahya bagi manusia. Pada badan perairan kelarutan Cd dalam kosentarsi tertentu dapat membunuh biota perairan. b.
Toksikologi Kadmium dalam Tubuh Manusia Kadmium masuk kedalam tubuh melalui makanan, air minum, partikel dan asap rokok yang terhirup. Kadmium dianggap sebagai salah satu logam dengan toksisitas tinggi yang menimbulkan efek negatif terhadap fungsi biologis manusia, hewan, dan tumbuhan (Kabata-Pendias and Mukhreje, 2001). Logam Cd bersifat racun akumulatif (SNI, 2009). Kadmium masuk ke dalam tubuh (phatway) sebagian besar melalu pencernaan (ingesti) dan pernafasan (inhalasi) (Darmono, 1995). Logam Fe dan Ca ditambah diet rendah protein dapat meningkatkan daya toksisitas kadmium dalam tubuh. 50% dari metabolisme logam Cd akan disimpan dan terakumulasi dalam hati dan ginjal melalui distribusi darah yang mengandung logam Cd dari proses adsorbsi dinding usus manusia (Jerrold B. Leikin and Frank P.
23
Paloucek, 2008). Logam Cd akan terekskresi melalui fases dan urin, dengan konsentrasi rendah, ditambah waktu paruh (biological half life) sampai 10 – 30 tahun. Akumualsi kadmium akan berpengaruh pada faktor umur dan waktu terpajan dimana akumulasi akan terjadi dan terlihat efeknya ketika dewasa nanti (Darmono, 1995) Di dalam tubuh, logam berat akan terakumulasi, sehingga kadarnya akan jauh lebih tinggi dari kadar logam berat tersebut daripada sumbernya. Hal ini membahayakan kesehatan manusia, karena dapat menyebabkan toksisitas kronis bila dikonsumsi terus menerus. Apabila kadmium masuk ke dalam tubuh, maka sebagian besar akan terkumpul di dalam ginjal, hati dan sebagian yang dikeluarkan melalui saluran pencernaan (WHO, 1992). Selain itu dalam tubuh manusia Cd juga akan mengalami proses bioakumulasi dan biotransformasi. Logam masuk ke dalam tubuh bersama makanan yang dikonsumsi, yang makanan tersebut terkontaminasi oleh logam Cd atau persenyawaannya (Wang et al., 2009). Akumulasi pada ginjal dan hati 10 – 100 kali konsentrasi pada jaringan yang lain. Hanya sedikit kadmium yang diserap yaitu sekitar 5 – 10 % (Prasad, 2001). Penyerapan dipengaruhi faktor diet seperti intake protein, kalsium, vitamin D dan logam seperti seng (Zn). Proporsi yang besar adalah absorbsi melalui pernafasan yaitu antara 10 – 40 % (Hutagalung and Rohchyatun, 2000). Perkiraan dosis mematikan (lethal dose) akut kadmium adalah 500 mg/kg untuk
24
dewasa dan efek dosis akan nampak jika terserap 0,043 mg/kg per hari (Simeonov et al., 2011). 1) Penyerapan Kadmium dalam Tubuh Sifat kadmium adalah sukar diabsropsi dari saluran cerna. Sebanyak 5% kadmium diserap melalui saluran pencernaan (SNI, 2009). Selanjutnya Cd diangkut dalam darah, sebagian besar terikat pada sel darah merah dan albumin. Seletah distribusi, kira-kira 50% dari jumlah Cd dalam tubuh ditemukan pada hati dan ginjal (Ratnaningsih, 2014). Waktu paruh kadmium dalam tubuh berkisar antara 10-30 tahun hingga munculnya gangguan kesehatan yang bersifat non karsinogenik (Ratnaningsih, 2014). Absrobsi Cd akan meningkat bila terjadi defisiensi Ca, Fe, dan rendah protein dalam makanannya. Defisiensi Ca dalam makanan akan merangsang sintetis ikatan Ca-protein sehingga
akan
meningkatkan
absrobsi
Cd,
sedangkan
kecukupan Zn dalam makanan bisa menurunkan absrobsi Cd. Hal
tersebut
diduga
karena Zn
metalotionin (Ratnaningsih, 2014).
merangsang produksi
25
2) Bio-transformasi dan Metabolisme Kadmium Logam kadmium yang masuk ke dalam tubuh ikut mengalami proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh. Secara umum proses fisiologis tubuh lebih dikenal dengan istilah metabolisme
tubuh
(Ridwan,
2011).
Kadmium
ditransportasikan dalam darah yang berikatan dengan sel darah merah dan protein berat molekul tinggi dalam plasma khususnya oleh albumin. Sejumlah kecil Cd dalam darah mungkin ditransportasikan oleh metalotionin (Nordberg et al., 2005). Kadar Cd dalam darah pada orang dewasa yang terpapar Cd secara berlebihan biasanya 1μg/dL (IPCS, 1992). Absropsi Cd melalui gastrointestinal lebih renggang dibandingkan absrobsi melalui respirasi yaitu sekitar 5-8% (ATSDR, 1999). Sistem hayati memiliki peluang untuk meingkatkan atau mengosentrasi unsur logam berat yang bersifat toksik dalam tubuhnya sebagai fungsi detoksifikasi yaitu mengikat logam berat dalam lingkaran metabolisme tanpa mengeliminasinya (F.Nordberg, 1992). Setelah toksikan Cd memasuki darah, toksikan didistribusikan dengan cepat keseluruh tubuh (Nordberg et al., 2005). Pengikatan toksikan dalam jaringan bisa menyebabkan lebih tingginya kadar toksikan dalam jaringan tersebut.
26
Hati dan ginjal memiliki kapasitas yang lebih tinggi untuk mengikat zat kimia (toksikan Cd). Pengikatan toksikan bisa meingkatkan kadarnya dalam organ. Kadmium memiliki afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal. Pada umumnya sekitar 50-75% dari beban Cd dalam tubuh terdapat pada kedua organ tersebut (Gupta, 2009). Kadar Cd dalam hati dan ginjal bervariasi tergantung pada kadar total Cd dalam tubuh. Apabila MT hati dan ginjal tidak mampu lagi melakukan detoksifikasi maka akan menjadi kerusakan sel hati dan ren (Gupta, 2009). 3) Ekskresi Kadmium
Proses
pengeluaran
logam
Cd
melalui
proses
pembentukan granula yang dibuang oleh ginjal (ATSDR, 1999). Dalam konsentrasi kecil kadmium dibuang oleh tubuh melalui urin dan feses. Pembungan kadmium melalui saluran pencernaan
hanya
sebesar
5%
sisanya
disimpan
dan
terakumulasi dalam ginjal dan hati (ATSDR, 1999). 4) Dampak Kadmium terhadap Kesehatan Manusia
Keracunan yang disebabkan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Gejala keracunan akut yang disebabkan oleh logam Cd adalah timbulnya rasa sakit dan panas pada bagian dada (Anggraeny, 2010). Gejala keracunan akut ini muncul setelah 4-10 jam sejak terpapar. Akibat dari paparan Cd ini dapat
27
mengakibatkan penyakit paru akut. Penyakit paru ini dapat terjadi apabila terpapar uap logam Cd selama 24 jam (Laura Robinson and Ian Thorn, 2005). Paparan kornik dapat mengakibatkan kematian apabila terpapar konsentrasi yang berkisar 2500-2900 mg/m3 (Gupta, 2009). Keracunan yang bersifat kronis disebabkan oleh daya racun yang dibawa logam Cd terjadi dalam selang waktu yang panjang. Peristiwa ini terjadi karena logam Cd yang masuk dalam tubuh dalam jumlah kecil sehingga dapat ditolerir oleh tubuh pada saat tersebut. Akan tetapi karena proses tersebut terjadi secara terus-menerus secara berkelanjutan maka tubuh pada batas akhir tidak mampu memberikan toleransi terhadap daya racun yang dibawa oleh Cd. Keracunan yang bersifat kronis ini membawa akibat yang lebih parah dibandingkan dengan
paparan
secara
akut.
Keracunan
kronis
yang
disebabkan oleh Cd umumnya berupa kerusakan sistem fisiologis tubuh. Target sistem tubuh yang dapat dirusak oleh Cd adalah pada sistem urinaria, sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem reproduksi (Widowati et al., 2008). Toksisitas kronis kadmium
baik
melalui
inhalasi
maupun
oral,
bisa
menyebabkan kerusakan pada tubulus renalis, kerusakan ginjal yang ditunjukkan oleh ekskresi berlebihan, protein berat
28
molekul rendah, gagal ginjal, gangguan sistem kardiovaskuler, gangguan
sistem
skeletal,
menurunkan
fungsi
pulmo,
empisema, kehilangan mineral tulang yang disebabkan oleh disfungsi nefron ginjal, berkurangnya reabsrobsi Ca, dan terjadinya peningkatan ekskresi Ca yang berpengaruh terhadap tulang (Gupta, 2009). 6.
Toksikokinetik Kadmium Secara umum toksikokinetik diartikan sebagai perjalanan suatu
polutan yang terjadi di dalam tubuh manusia. Pada perjalanan kadmium fase toksikokinetik terjadi dalam waktu paruh 10-30 tahun (Darmono, 1995) hingga dapat menuju target organ. Selain hal tersebut kadmium yang bersifat
akumulatif
maka diperlukan dosis
tertentu untuk dapat
menimbulkan suatu efek terhadap target organ. Fase toksikokinetik adalah sebagai berikut (Hartono, 2013): Polutan
Fisika Kimia Biologi
Absorpsi
Dermal Ingesti Inhalasi
Distibusi
Sirkulasi Penyimpanan
Biotransformasi
Metabolisme
Ekskresi
Bagan 2.1 Fase Toksikokinetik
Urin Feses Respirasi Keringat
29
7.
Toksikodinamik Kadmium Toksikodinamik adalah ultimate toxicant (molekul yang akan bereaksi dengan molekul sasaran dan menyebabkan perubahan fungsi fisiologis) (C.H.Walker et al., 2001). Fase ini terjadi setelah toksikokinetik. Secara umum toksikodinamik merupakan interaksi antara polutan dengan reseptor pada suatu organ sehingga menimbulkan efek toksik. Kebanyakan efek toksik akan mengalami fase repair dulu (sifat toksik muncul jika repairnya gagal) (Jerrold B. Leikin and Frank P. Paloucek, 2008). Toksikodinamik digunakan untuk mendeteksi berbagai efek kerusakan suatu polutan pada fungsi vital. Toksikodinamik yang terjadi pada kadmium menuju organ target yaitu ginjal, hati dan sistem reproduksi sehingga menimbulkan efek toksik pada organ target tersebut. Waktu yang dibutuhkan logam kadmium dalam fase toksikodinamik (hingga menimbulkan efek toksik pada organ target) adalah 10-30 tahun (Darmono, 1995).
8. Biomagnifikasi Kadmium Biomagnifikasi adalah kecenderungan peningkatan kadar bahan kimia seiring peningkatan level trofik pada jaringan atau rantai makanan. Biomagnifikasi melibatkan rantai makanan sebagai penghubungnya. Pada biomagnifikasi, terlihat adanya peningkatan konsentrasi bahan kimia pada tiap tingkatan trofik, jadi semakin tinggi tingkatan trofiknya akan diikuti peningkatan kadar bahan kimia tersebut (Puspitasari, 2007 ).
30
Tingakatan biota dalam sistem rantai makanan turut menentukan jumlah Cd yang terakumulasi. Dimana pada biota yang lebih tinggi stratanya akan ditemukan akumulasi Cd yang lebih banyak, sedangkan pada biota top level merupakan tempat akumulasi yang paling besar. Bila jumlah Cd yang masuk tersebut telah melebihi nilai ambang maka biota dari satu level atau strata tersebut akan mengalami kematian atau kemusnahan. Keadaan inilah yang menyebabkan kehancuran suatu tatanan sistem lingkungan (ekosistem) (Puspitasari, 2007 ). Pada biota yang tahan terhadap Cd, logam ini diserap oleh biota laut diserap melalui insang dan saluran pencernaan, tertimbun dalam jaringannya, dan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi (Palar, 1994). Apabila kerang dengan kadar logam Cd tinggi dikonsumsi manusia, maka dalam tubuh manusia akan terjadi proses biomagnifikasi, dan suatu saat dapat mengganggu fungsi organ tubuh manusia, tergantung pada toleransi masing-masing individu. Fenomena biomagnifikasi ini berimplikasi pada manusia karena manusia menduduki posisi puncak tingkat trofik pada hampir semua rantai makanan dalam ekosistem. Jadi dengan demikian, manusia adalah makhluk yang menanggung risiko biomagnifikasi paling tinggi. 9.
Bioakumulasi Kadmium Bioakumulasi merupakan suatu proses dimana substansi kimia mempengaruhi
makhluk
hidup
dan
ditandai
dengan
peningkatan
31
konsentrasi bahan kimia di tubuh organisme dibandingkan dengan konsentrasi bahan kimia itu di lingkungan. Karena penyerapan bahan kimia ini lebih cepat daripada proses metabolisme dan ekskresi tubuh organisme, maka bahan-bahan kimia ini akan terakumulasi di dalam tubuh. Konsentrasi polutan yang diikuti perpindahan dari lingkungan ke organisme pertama pada rantai makanan (Jaluis et al., 2008). Proses bioakumulasi melibatkan tahap-tahap antara lain (Puspitasari, 2007 ): a. Pengambilan (Uptake), yaitu masuknya bahan-bahan kimia (melalui pernafasan, atau adsorbsi melalui kulit, pada ikan biasanya dapat melalui insang) b. Penyimpanan (Storage), yaitu penyimpanan sementara di jaringan tubuh atau organ. Kadar bahan kimia ini akan terus bertambah di dalam tubuh organisme dan bila kadarnya sampai melebihi kadar bahan tersebut di lingkungan (air atau udara) maka proses bioakumulasi telah terjadi; dan c. Eliminasi, dapat berupa pemecahan bahan kimia menjadi senyawa yang lebih sederhana, dapat dilakukan dengan proses biologik disebut metabolisme. C. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 876 Tahun 2001,
analisis risiko kesehatan lingkungan merupakan suatu pendekatan untuk mencermati potensi besarnya risiko yang dimulai dengan mendiskripsikan
32
masalah lingkungan yang telah dikenal dan melibatkan penetapan risiko pada kesehatan manusia yang berkaitan dengan masalah lingkungan yang bersangkutan (Depkes RI, 2012). Analisis risiko kesehatan biasanya berhubungan dengan masalah lingkungan saat ini atau di masa lalu. Secara garis besarnya ARKL terdiri dari empat tahap kajian, yaitu identifikasi
bahaya,
analisis
dosis-respon,
analisis
pemajanan
dan
karakterisasi risiko (IPCS, 2010). Manajemen risiko merupakan tindak lanjut setelah diketahui suatu populasi memiliki risiko terhadap suatu pajanan (Rahman et al., 2004). a. Identifikasi Bahaya Identifikasi bahaya atau hazard identification adalah tahap
awal
ARKL
untuk
mengenali
sumber
risiko.
Informasinya bisa ditelusuri dari sumber dan penggunaan risk agent memakai pendekatan agent oriented (IPCS, 2010). Identifikasi bahaya juga bisa dilakukan dengan mengamati gejala dan penyakit yang berhubungan dengan tosksitas risk agent di masyarakat yang telah terkumpul dalam studi-studi sebelumnya, baik di wilayah kajian atau di tempattempat lain. Penelusuran seperti ini dikenal sebagai pendekatan disease oriented (WHO 1983). b. Dosis Respon Analisis
dosis-respon
disebut
juga
dose-response
assessment atau toxicity assessment yaitu menetapkan nilai-nilai
33
kuantitatif toksisitas risk agent untuk setiap bentuk spesi kimianya (Rahman et al., 2004). Toksisitas dinyatakan sebagai dosis
referensi
(reference
dose,
RfD)
untuk
efek
nonkarsinogenik dan Cancer Slope Factor (CSF) atau Cancer Unit Risk (CCR) untuk efek karsinogenik. Analisis dosis-respon merupakan tahap paling menentukan karena ARKL hanya bisa dilakukan untuk risk agent yang sudah ada dosis-responnya. RfD adalah toksisitas kuantitatif non karsinogenik, menyatakan estimasi dosis pajanan harian yang diperkirakan tidak menimbulkan efek merugikan kesehatan meskipun pajanan berlanjut sepanjang hayat (IPCS 2004). Dosis referensi dibedakan untuk pajanan oral atau tertelan (ingesi, untuk makanan dan minuman) yang disebut RfD dan untuk
pajanan
inhalasi
(udara)
yang disebut
reference
concentration (RfC). Dalam analisis dosis-respon, dosis dinyatakan sebagai risk agent yang terhirup (inhaled), tertelan (ingested) atau terserap melaluikulit (absorbed) per kg berat badan per hari (mg/kg/hari) (Rahman et al., 2004). Respon atau efek nonkarsinogenik, yang disebut juga efek sistemik, yang ditimbulkan oleh dosis risk agent tersebut dapat beragam, mulai dari yang tidak teramati yang sifatnya sementara, kerusakan organ yang menetap,
34
kelainan fungsional yang kronik, sampai kematian (Rachman, 2007). Dosis yang digunakan untuk menetapkan RfD adalah yang menyebabkan efek paling rendah yang disebut NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) atau LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect Level). NOAEL adalah dosis tertinggi suatu zat pada studi toksisitas kronik atau subkronik yang secara statistik atau biologis tidak menunjukkan efek merugikan pada hewan uji atau pada manusia sedangkan LOAEL berarti dosis terendah yang (masih) menimbulkan efek. Secara numerik NOAEL selalu lebih rendah daripada LOAEL (enHelath, 1992) c. Analisis Pemajanan Analisis pemajanan (exposure assessment) yang disebut juga penilaian kontak, bertujuan untuk mengenali jalur-jalur pajanan risk agent agar jumlah asupan yang diterima individu dalam populasi berisiko bisa dihitung. Risk agent bisa berada di dalam tanah, di udara, air, atau pangan seperti ikan, daging, telur, susu, sayur dan buah-buahan. Karakteristik individu (pola konsumsi, berat badan, dan usia) dan pola aktifitas (durasi pajanan dan frekuensi pajanan) merupakan bagian dari analisis pemajanan. Data dan informasi yang dibutuhkan untuk menghitung asupan adalah semua variabel (IPCS, 2010). Adapun rumus perhitungan yang digunakan adalah sebagai berikut:
35
Keterangan : I
= intake (mg/kgxhari)
C
= konsentrasi (mg/kgxhari)
R
= laju ingesti (mg/kg)
fE
= frekuensi pajanan (hari/tahun)
Dt
= durasi pajanan (lifetime exposure) (tahun)
Wb
= berat badan (kg)
tavg
= periode waktu rata-rata (30 x 365 hari/tahun untuk
non-karsinogen, 70 tahun x 365 hari/tahun untuk karsinogen) d. Karakteristik Risiko Karakteristik risiko kesehatan dinyatakan sebagai Risk Quotient (RQ, Tingkat Risiko) untuk efek-efek nonkarsinogenik (IPCS, 2010) dan Excess Cancer Risk (ECR) untuk efek-efek karsinogenik (enHelath, 1992). RQ dihitung dengan membagi asupan nonkarsinogenik (Intake) risk agent dengan RfD atau RfC nya menurut persamaan:
RQ
=
Risk Qoutient
I
=
intake (mg/kgxhari)
RfD
=
refrence dose (mg/kgxhari)
36
Baik intake maupun RfD atau RfC harus spesifik untuk bentuk spesi kimia risk agent dan jalur pajanannya. Risiko kesehatan dinyatakan ada dan perlu dikendalikan jika RQ>1. Namun apabila RQ≤1, risiko tidak perlu dikendalikan tetapi perlu dipertahankan agar nilai numerik RQ tidak lebih dari 1 (Rahman et al., 2004). D. Kerangka Teori Polutan dapat masuk ke suatu lingkungan dengan berbagai cara. Misalnya unsur logam yang dapat masuk secara alami karena sudah berada di bumi, batuan dan tanah secara alamiah kemudian masuk ke lingkungan laut melalui hujan dan erosi. Sumber lainnya adalah melalui buangan industri, limbah rumah tangga, pertanian, pertambangan dan lainnya. Laut sering dijadikan sebagai lokasi pembuangan akhir dari berbagai sisa aktivitas manusia di daratan. Banyak sumber polutan pencemar lingkungan akuatik, salah satunya adalah logam, yang kini banyak dipakai dalam proses industri dan dipakai oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kosmetik, bahan bakar dan lainnya. Berdasarkan teori tersebut maka kerangka teori dalam penelitian ini adalah:
37
Aktifitas Pertanian
Fitoplankton
Sungai dan laut
Aktifitas pertambangan
zooplankton
Biomagnifikasi
Sedimen Limbah Domestik
Ikan dan kerang Limbah Industri
Bioakumulasi
Manusia (ingesti)
Penurunan kondisi lingkungan
Pola Aktifitas: Lama pajanan (Dt) Frekuensi pajanan (fe)
Laju asupan (R) Antropometri (Wb) Umur Intake
Karakteristik Individu: Jenis Kelamin Status Pernikahan Pekerjaan Cara Memasak
Tingkat risiko
Manajemen Risiko Efek kesehatan: Gangguan Reproduksi Penurunan fungsi ginjal Penurunan fungsi hati
Keterangan: Garis putus putus ( ): variabel yang tidak diteliti Garis tegas ( ): variabel yang diteliti
Bagan 2.2 Kerangka Teori
38
Kerangka teori diatas memperlihatkan pengaruh masuknya suatu polutan ke dalam ekosistem laut. Polutan dapat masuk ke air dan sedimen dan dapat mempengaruhi rantai makanan (biomagnifikasi). Sehingga terjadi bioakumulasi pada rantai makanan dan berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan. Semakin tinggi tingakatan dalam trofik makanan maka semakin tinggi juga polutan yang berada dalam tubuhnya (bioakumulasi). Manusia merupakan tingkat trofik tertinggi dalam rantai makanan. Jalur masuk polutan melalui biota perairan yang dikonsumsi langsung oleh manusia dalam konsentrasi dan pada waktu tertentu (intake). Intake pada suatu individu dipengaruhi oleh pola aktivitas dan karakteristik dari individu tersebut. Berdasarkan perhitungan intake konsumsi individu, selanjutnya dapat dilakukan perhitungan prediksi risiko efek non karsinogenik dalam waktu tertentu. Apabila tingkat risiko didapatkan nilai lebih dari 1 maka dinyatakan berisiko terhadap efek kesehatan seperti gangguan sistem reproduksi, gangguan fungi hati dan gangguan terhadap fungsi ginjal. Sehingga akhirnya dilakukan manajemen risiko untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan akibat pola konsumsi tersebut.
39
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori, untuk mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan akibat pajanan logam berat Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara, maka diperlukan data konsesntrasi Cd dalam kerang hijau (C), karakteristik individu, dan karakteristik risiko. Penelitian ini bersifat prediktif tingkat risiko logam berat Cd pada sampel kerang hijau yang dikonsumsi oleh masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dalam waktu tertentu. Intake konsumsi kerang hijau didapatkan dengan perhitungan formulasi konsentrasi Cd dalam kerang hijau, karakteristik individu, dan pola aktifitas individu. Setalah diketahui intake konsumsi kerang hijau maka dilakukan perhitungan formulasi tingkatan risiko dengan intake dan RfD (refference dose). Apabila didapatkan nilai RQ>1 maka dinyatakan bahwa masyarakat berisiko terhadap gangguan kesehatan akibat keracunan Cd. Setelah didapatkan nilai RQ maka dilakukan uji hubungan antara variabel konsentrasi Cd dalam kerang hijau, karakteristik individu (laju asupan dan berat badan), pola aktifitas (frekuensi dan durasi pajanan), dan intake. Variabel karakteristik individu (usia, status pernikahan, jenis kelamin, pekerjaan, dan cara memasak) hanya dilakukan analisis univariat, karena variabel ini hanya untuk mengetahui proporsi, jumlah, dan perentase
40
berdasarkan status sosial demografi masyarakat setempat. Sedangkan variabel konsentrasi Cd dalam kerang hijau, karakteristik individu (berat badan dan laju asupan), pola aktivitas (durasi pajanan dan frekuensi pajanan) dan intake dilakukan analisis bivariat, karena untuk mengetahui hubungan tingkat risiko dengan variabel tersebut. Efek kesehatan akibat paparan kadmium tidak diteliti karena efek tersebut dapat muncul setelah paparan dalam jangka waktu yang lama (kronik). Variabel manajemen risiko juga tidak diteliti, karena manajemen risiko bukanlah tahapan dari ARKL melainkan tindak lanjut dari ARKL. Konsentrasi Kadmium dalam Kerang Hijau (C)
Karaktrisitk Individu: Pola Konsumsi / Laju Asupan Kerang Hijau (R) Berat Badan (Wb) Usia Status Pernikahan Jenis Kelamin Pekerjaan Cara Memasak
Pola Aktifitas: Durasi Pajanan (Dt) Frekuensi Pajanan (fe) Keterangan: Huruf dicetak tebal: dilakukan analisis bivariat Huruf tidak dicetak tebal: hanya dilakukan analisis univariat Bagan 3.1 Kerangka konsep
Intake konsumsi kerang hijau
Tingkat Risiko (RQ)
41
B. Definisi Operasional Definisi operasional dari penelitian ini yaitu:
Tabel 3.1 Definisi Operasional No. 1.
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Konsentrasi (Cd)
Konsentrasi kadmium (Cd) yang
Pengukuran
Atomic
Kadmium dalam
terdapat dalam kerang hijau yang
dengan alat
Absroption
kerang hijau
dikonsumsi oleh masyarakat
laboratorium
Spektrophoto
(Cd 2+) (C)
Kaliadem, Muara Angke Jakarta
Hasil Ukur
Skala ukur
mg/gram
Rasio
kg
Rasio
Tahun
Rasio
meter (AAS)
Utara. Pengukuran dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan dan Terpadu 2.
3.
Berat Badan
Satuan massa berat badan pada
(Wb)
saat penelitian (Kemenkes, 2012)
Usia
Lamanya waktu hidup yaitu terhitung sejak lahir sampai dengan sekarang.
Observasi
Timbangan digital
Wawancara
Kuesioner
42
4.
Laju Asupan (R)
Jumlah berat kerang yang
Wawancara
Kuesioner
gram/hari
Rasio
Wawancara
Kuesioner
1. Laki-laki
Ordinal
dikonsumsi per hari. (Direktorat Jendral PP dan PL, Kementrian Kesehatan, 2012) 5.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin responden yang menjadi sampel dalam penelitian
6.
Status
Status pernikahan responden pada
Pernikahan
saat dilakukan pengambilan data
2. Perempuan Wawancara
Kuesioner
1. Menikah
Ordinal
2. Belum Menikah
7.
Pekerjaan
Suatu kegiatan yang dilakukan
Wawancara
Kuesioner
1. Buruh
secara rutin terus menerus
2. Nelayan
berdasarkan keahlian yang dimiliki.
3. Pedagang
Ordinal
4. Wiraswasta 5. Swasta 6. Ibu Rumah Tangga 7. Lainnya 8.
Cara Memasak
Penggunaan cangkang saat memasak Wanwancara kerang
Kuesinoner
1. Dengan Cangkang
Ordinal
43
2. Tanpa Cangkang 9.
Frekuensi
Jumlah hari dalam satu tahun dalam Wawancara
Kuesinoer
hari/tahun
Rasio
Pajanan (fE)
mengkonsumsi kerang hijau yang
Wawancara
Kuesioner
Tahun
Rasio
Hitungan Rumus
Microsoft
mg/kg x hari
Rasio
berasal dari Teluk Jakarta 10.
Durasi Pajanan
Lamanya waktu atau jumlah tahun
(Dt)
kontak responden dengan pajanan (Direktorat Jendral PP dan PL, Kementrian Kesehatan, 2012)
11.
Intake (I)
Jumlah asupan harian risk agent yang diterima individu secara
excel dan
ingesti per kg berat badan per hari.
SPSS
(Direktorat Jendral PP dan PL, Kementrian Kesehatan, 2012)
44
12.
Tingkat risiko
Tingkat risiko yang dinyatakan
Melalukan
Microsoft
terjadinya
dalam angka tanpa satuan yang
perhitungsn
Excel
toksisitas
merupakan perbandingan antara
dengan
Kadmium (RQ)
intake dengan dosis/konsentrasi.
risiko
(Direktorat Jendral PP dan PL,
berdasarkan
Kementrian Kesehatan, 2012)
intake dan dosis acuan rumus:
tingkat SPSS
RQ > 1: (ada dan risiko) RQ < 1: (risiko belum terjadi)
dengan
Ordinal
45
C. Uji Hipotesis
Hasil penelitian yang akan diharapkan oleh peneliti adalah : Ada hubungan antara konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan responden, frekuensi pajanan responden, durasi pajanan responden, berat badan responden, dan intake dengan tingkat risiko kandungan Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara tahun 2015
46
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Pada dasarnya efek kesehatan lingkungan dibagi menjadi dua yaitu epidemiologi kesehatan lingkungan (EKL) dan analisis risiko kesehatan lingkungan (ARKL). Pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara akibat mengkonsumsi kerang hijau hasil budidaya yang dilakukan di Perairan Teluk Jakarta. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggabungkan antara studi EKL dengan studi ARKL. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional menggunakan metode ARKL. ARKL digunakan untuk menghitung tingkat risiko kesehatan pada suatu populasi tertentu karena pajanan lingkungan dalam waktu tertentu pada suatu populasi. Pada penelitian ini studi EKL digunakan untuk mengetahui hubungan antara tingkat risiko dengan konsentrasi Cd dalam kerang hijau, karakteristik responden (berat badan dan laju asupan), pola aktifitas (durasi pajanan dan frekuensi pajanan), dan intake. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Lokasi pengambilan sampel kerang hijau bertempat pada budidaya kerang hijau Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Pengujian konsentrasi Cd dalam kerang hijau yang dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Fakultas
47
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) dan Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pemilihan
tempat
penelitian
tersebut,
dikarenakan
Kaliadem
merupakan pusat budidaya kerang hijau yang dilakukan di pesisir Teluk Jakarta, sehingga tingkat konsumsi masyarakat terhadap kerang hijau cukup tinggi. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April - Juni 2015. C. Populasi dan Responden Penelitian 1.
Populasi dan Responden Penelitian a. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Terdapat perbedaan pada sistem kependudukan di Kaliadem Muara Angke Jakarta, di tempat ini tidak ada RT dan RW pada sistem kependudukan. RT dan RW diwilayah setempat digantikan dengan sistem kelompok, sehingga setiap kelompok dipimpin oleh ketua kelompok. Terdapat 10 kelompok nelayan yang tinggal di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Penentuan kelompok yang akan diteliti dipilih berdasarkan lokasi. Lokasi yang diambil adalah pusat budidaya kerang hijau dan yang tidak berada di pusat budidaya kerang hijau. Kelompok yang berada di pusat budidaya kerang hijau adalah kelompok 6 dan 7, sedangkan sebagai pembandingnya (yang tidak berada di pusat budidaya kerang hijau) adalah kelompok 2 dan 9. Penentuan kelompok pembanding
48
dilakukan dengan sistem random (acak). Sistem ini dipilih dengan tujuan agar sampel tidak homogen dan mampu mewakili populasi. Tujuan dari penentuan kelompok tersebut adalah untuk mengetahui proporsi dan jumlah responden yang berisiko tiap kelompok, sehingga akan diketahui kelompok mana yang lebih berisiko mengalami keracunan Cd. Sehingga kelompok yang menjadi tempat penelitian pada penelitian ini adalah kelompok 2, 6, 7, dan 9 dengan total populasi yang masuk dalam penelitian ini adalah 415 KK. b. Responden Responden dalam penelitian ini adalah: Laki-laki dan perempuan yang bertempat tinggal di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yaitu pada kelompok 2, 6, 7 dan 9, dengan kriteria sebagai berikut:
Orang yang mengkonsumsi kerang hijau.
Tercatat dalam kelompok 2, 6, 7, dan 9.
Berusia ≥10 tahun.
Pemilihan responden dewasa (≥10 tahun) karena efek kesehatan akibat pajanan kadmium secara kronis terjadi pada manusia yang telah terpajan selama 10-30 tahun (biological half life pajanan Cd pada manusia).
49
c. Teknik Pengambilan Responden Teknik pengambilan responden pada penelitian ini adalah simple random sampling yaitu responden diambil secara acak berdasarkan KK. Hal ini dilakukan karena frame sampling yang didapatkan dari penelitian ini hanya berdasarkan KK (hanya ada nama kepala keluarga). Namun unit penelitian ini bukanlah keluarga akan tetapi tetap individu. Sehingga, jumlah responden adalah jumlah anggota rumah tangga dalam satu KK yang berusia ≥10 tahun.
Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
KEL. 1
KEL. 2
120 KK
KEL. 3
KEL. 4
KEL. 5
KEL. 6
KEL. 7
KEL. 8
100 KK
110 KK
KEL. 9
KEL. 10
85 KK
415 KK Jumlah KK 191 KK
Pengambilan responden dengan metode simple random sampling
Bagan 4.1 Teknik Pengambilan Responden
Hasil perhitungan besar sampel responden
50
d. Perhitungan Responden Besar sampel penelitian (responden) ini menggunakan perhitungan estimasi sebagai berikut (S.Lameshow, 1991): ( (
)
)
(
)
Keterangan: n
= Besar sampel minimal yang dibutuhkan = 1,96 pada tingkat kepercayaan 95% = Derajat presisi yang diinginkan 5% = Besar populasi 415 = Perkiraan proporsi 50%
Dengan persamaan di atas, maka sampel penelitian (responden) minimal dalam penelitian ini dapat dihitung sebagai berikut ; ( (
)
) (
)
= 191 Berdasarkan perhitungan diatas diketahui bahwa sampel penelitian (responden) minimal yang harus diambil adalah 191. Dari 191 sampel penelitian (responden) minimal didapatkan 230 responden dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan dari 191 KK, terdapat 20 KK yang respondennya lebih dari satu.
51
2. Populasi dan Spesimen Laboratorium a. Populasi Spesimen Laboratorium Populasi spesimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh kerang hijau yang di budidayakan di perairan Teluk Jakarta. b. Spesimen Laboratorium Spesimen laboratorium yang dipilih untuk adalah kerang hijau. Kandungan logam yang dianalisis adalah kadmium. Sepesimen kerang hijau yang digunakan adalah seluruh budidaya kerang hijau yang ada di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yang berjumlah 11 budidaya. Teknik pengambilan spesimen dilakukan dengan cara Total Sampling yaitu pengambilan spesimen dilakukan secara keseluruhan terhadap seluruh budidaya (pengepul) kerang hijau di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Penggunaan teknik ini dikarenakan jumlah budidaya kerang hijau di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara terbatas. D. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi terkait pola konsumsi dan karakteristik individu terhadap pola konsumsi kerang hijau pada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta. Sedangkan untuk mengetahui konsentrasi Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat yang di budidayakan di perairan Teluk Jakarta dilakukan melalui pengujian laboratorium.
52
Jenis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data primer. Data primer dalam peneltian ini adalah hasil pengukuran kandungan Cd dalam kerang hijau yang didapat dari lokasi penelitian, data diperoleh melalui hasil pemeriksaan laboratorium menggunakan alat Atomic Absorbsed Spectrometer (AAS). Data primer lainnya merupakan data pola aktivitas, karakterisitik individu serta pola aktifitas. Data tersebut didapatkan dengan cara wawancara terhadap masyarakat di sekitar lokasi penelitian. Berat badan tiap indiviu diukur dengan timbangan digital dengan satuan kilogram. Pengumpulan data untuk variabel frekuensi dan laju asupan kerang hijau dilihat dari frekuensi dan jumlah asupan induvidu mengkonsumsi kerang hijau dengan cara ditanyakan secara langsung berapa banyak kerang yang dimakan dengan menggnakan food model. Food model yang digunakan adalah takaran sendok, mangkok, dan piring yang sebelumnya telah dilakukan penimbangan pada setiap takarannya yang kemudian dikonversikan dalam bentuk gram.
E. Alur Kerja Penelitian Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa tahapan (alur) kerja untuk mengetahui tingkat efek kesehatan lingkungan kandungan Cd ketika masyarakat mengkonsumsi kerang hijau yang dibudidayakan di perairan Teluk Jakarta dengan menggunakan ARKL yaitu:
53
Pengukuran pola konsumsi dan pola aktifitas masyarakat Kaliadem Muara Angke
Pengukuran Antropometri
Wawancara dan kuesioner
Pengambilan spesimen laboratorium (kerang hijau)
Analisis konsentrasi logam berat Cd dengan AAS
Perhitungan tingkat risiko individu
Perhitungan Intake
Tingkat efek kesehatan lingkungan individu terpajan logam berat kadmium (Cd)
Bagan 4.2 Alur Kerja Penelitian
F. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengetahui kandungan Cd pada spesimen kerang hijau. Metode yang digunakan untuk preparasi spesimen kerang hijau dalam penelitian ini adalah destruksi basah. Teknik destruksi merupakan teknik yang digunakan untuk melarutkan logam-logam dalam jaringan hewan ataupun tumbuhan. Metode destruksi yang digunakan adalah metode destruksi basah sehingga waktu yang digunkan untuk preparasi spesimen lebih cepat (EPA, 2007). 1.
Alat Peralatan yang digunakan untuk mengukur konsentrasi Cd dalam kerang hijau adalah: a. b. c. d. e. f. g.
AAS Neraca analitik Pipet tetes Tissu Digesti Labu takar 50 ml Pipet volumetrik
h. i. j. k. l. m. n.
Gelas ukur 100 ml Gelas piala 250 ml Pipet mohr 10 ml Kaca arloji Oven Aluminium Foil Kertas saring
54
2.
Bahan Bahan yang digunakan untuk mengukur konsentrasi Cd dalam kerang
hijau adalah: a. Asam nitrat (HNO3) 65 % p.a
e.
Hidrogen peroksida (H2O2) 50 % p.a
b. Asam Sulfat (H2SO4) 98 % p.a c. Air suling d. Aquadest
f. g. h.
Asam Perklorat (HClO4) 70 % p.a (Cd (NO3)2) Kerang hijau
G. Metode Analisa Kadmium (Cd) dalam Kerang Hijau 1. Cara Kerja Analisis Spesimen Kerang Hijau Langkah-langkah analisis logam berat Cd dalam spesimen kerang hijau (Perna viridis) adalah sebagai berikut: a. Spesimen kerang diambil bagian dagingnya. b. Dirajang halus. c. Dikeringkan dalam oven dalam suhu 1050C selama 3 jam. d. Ditumbuk hingga halus. e. Spesimen ditimbang 3-10 gram dalam beaker glass. f. Kemudian diasamkan (dilakukan di dalam lemari asam). g. Ditambah 9 ml HNO3 ditutup kaca arloji, dipanaskan di atas hot plate (dievaporasi) dan diaduk hingga volume sampai 5 ml. h. Ditambah 2 ml H2O2, dipanaskan di atas hot plate (dievaporasi) sampai asap putih hilang dan diaduk hingga volume sampai 5 ml. i. Disaring dengan kertas saring. j. Dimasukan ke dalam labu takar 50 ml, dinding beaker glass dibilas dengan aquadest dan ditambah aquadest hingga batas tera.
55
k. Spesimen yang sudah dilarutkan diukur dengan AAS. 2.
Prosedur Kerja AAS Alat AAS, auto sampler, FIMS, sumber arus EDL Power dan komputer telah terangkai dengan baik dan semua kabel power terpasang dengan benar. a. Larutan standar, spesimen kerang dalam labu ukur 50 ml bersama dengan larutan HNO3 65%, dan larutan standar Cd telah disiapkan. b. Blower dihidupkan. Kran gas N2 dibuka dan diatur tekanan sesuai dengan besar tekanan yang direkomendasikan. c. Air, kompresor dan jet set dinyalakan. d. AAS dan PC dinyalakan e. Api dinyalakan selama beberpa saat (±30 menit warming up). f. Semua peralatan AAS dioperasikan dengan benar. Setelah itu, dihitung kadar Cd dengan persamaan garis regresi kurva kalibrasi menggunakan rumus : Kadar Cd (mg/gram) = (C x F)/B Dimana : C
= Konsentrasi Cd pada spesimen dari pembacaan AAS (mg/L)
F
= Volume larutan uji (0,05L)
B
= Bobot spesimen (gram)
3. Pembuatan Deret Standar Sebanyak 5 ml larutan induk (Cd(NO3)2) 1000 ppm dipipet, dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, lalu ditambahkan air suling hingga tanda tera
56
(diperoleh deret standar dengan konsentrasi 100 ppm). Membuat deret standar dengan konsentrasi sebagai berikut: a. 0,001 ppm Sebanyak 10 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 0,005 ppm dipipet lalu dimasukan ke dalam labu takar 50 ml. Ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,001 ppm) b. 0,05 ppm Sebanyak 10 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 0,1 ppm dipipet, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,05 ppm) c. 0,1 ppm Sebanyak 10 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 0,5 ppm dipipet, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,1 ppm) d. 0,5 ppm Sebanyak 25 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 1 ppm dipipet, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 0,5 ppm) e. 1 ppm Sebanyak 25 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 2 ppm dipipet, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 1 ppm). f. 2 ppm
57
Sebanyak 20 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 5 ppm dipipet, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, dan ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 2 ppm g. 5 ppm Sebanyak 25 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 10 ppm dipipet, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, dan ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 5 ppm) h. 10 ppm Sebanyak 5 ml larutan deret standar dengan konsentrasi 100 ppm dipipet, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 50 ml, dan ditambahkan air suling hingga tanda tera (diperoleh deret standar dengan konsentrasi 10 ppm) G. Pengolahan dan Analisis Data 1.
Analisis Univariat Seluruh data dalam penelitian ini dilakukan analisis univariat. Data
numerik dari penelitian ini adalah konsentrasi logam berat kadmium (Cd) dalam kerang hijau, pola aktivitas, pola konsumsi, karakteristik individu, dan tingkat risiko responden, sedangkan data kategoik dari penelitian ini adalah jenis kelamin, status pernikahan, pekerjaan, dan cara memasak. Data numerik tersebut kemudian dikategorikan berdasarkan cut of point nilai mean apabila data tersebut normal dan nilai median apabila data tersebut tidak normal. Pengkategorian data tersebut bertujuan untuk mengetahui proporsi dari tiap kelompok.
58
Data konsentrasi Cd dianalisis di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) dan di Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Setelah didapatkan seluruh data kemudian dilakukan perhitungan nilai rata-ratanya, standar defiasi, dan diketahui nilai maksimum dan minimumnya. Pengolahan data dengan menggunakan perhitungan analisis risiko digunakan untuk mengetahui tingkat risiko (RQ) pajanan Cd dengan menghitung intake yang kemudian membandingkan dengan nilai Refference Dose (RfD). Perhitungan asupan intake didapatkan dari data konsentrasi Cd sebagai risk agent dalam kerang hijau (mg/kg), laju asupan atau pola konsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara (kg/hari), berat badan (kg), frekuensi pajanan (hari/tahun), durasi pajanan (tahun), periode waktu rata-rata (30 tahun x 365 hari) untuk zat non karsinogenik. Perhitungan intake:
Keterangan : I
= intake (mg/kgxhari)
C
= konsentrasi (mg/kgxhari)
R
= laju ingesti (mg/kg)
fE
= frekuensi pajanan (hari/tahun)
Dt
= durasi pajanan (lifetime exposure) (tahun)
Wb
= berat badan (kg)
59
tavg
= periode waktu rata-rata (30 x 365 hari/tahun untuk non-karsinogen, 70 tahun x 365 hari/tahun untuk ksrsinogen)
Untuk mengetahui tingkat risiko (RQ), maka dilakukan perhitungan RQ dengan rumus: Tingkat Risiko ( RQ
= Risk Qoutient
I
= intake (mg/kgxhari)
RfD
= Refference dose (mg/kgxhari)
)
Besarnya nilai dosis referensi (RfD) sudah ditetapkan oleh EPA dalam Integrated Risk Information System (IRIS). Pada setiap logam memiliki nilai besaran yang berbeda. Nilai ini didapatkan dari beberapa penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan membandingkan nilai NOAEL atau LOAEL dengan UF dan MR. Nilai RfD untuk logam kamdium (Cd) sebesar 0,001 mg/kg/hari (IRIS, 2015). Tingkat risiko (RQ) dihitung berdasarkan realtime masyarakat setempat. Perhitungan realtime dilakuakan berdasarkan data durasi pajanan yang terkumpul dari kuesioner. Hasil perhitungan RQ dapat menunjukan tingkat risiko kesehatan masyarakat akibat mengkonsumsi kerang hijau yang mengandung logam berat kadmium (Cd). Apabila didapatkan nilai RQ >1, maka menunjukan probabilitas suatu individu untuk mengalami risiko gangguan kesehatan akibat pajanan Cd dalam kerang hijau lebih besar dibandingkan dengan individu yang memiliki nilai RQ ≤1.
60
Data
yang
terkumpul
kemudian
diolah
dan
dianalisis
dengan
menggunakan komputer (software). Tahapan pengolahan data adalah sebagai berikut : 1) Pemeriksaan data Dilakukan untuk melihat apakah data primer yang dikumpulkan pada kuesioner sudah benar dan tidak terjadi kesalahan pengisian. Data yang diperiksa adalah konsentrasi kandungan kadmium dalam kerang hijau, laju konsumsi, frekuensi pajanan, berat badan, dan durasi pajanan masyarakat Kaliadem Muara Angke 2) Memasukkan data Memasukkan data konsentrasi kandungan kadmium dalam kerang hijau, laju konsumsi, frekuensi pajanan, berat badan, dan durasi pajanan masyarakat Kaliadem Muara Angke ke dalam komputer. Selain data primer yang telah terkumpul, nilai defalut seprti RfD dan periode waktu rata-rata (taVg) juga dimasukan ke dalam komputer, untuk memudahkan dan menghindari kesalahan perhitungan dalam analisis data intake dan tingkat risiko. 3) Membersihkan data Mengecek kembali data konsentrasi kandungan Cd dalam kerang hijau, laju konsumsi, frekuensi pajanan, berat badan, dan durasi pajanan masyarakat Kaliadem Muara Angke yang telah dimasukkan ke dalam program komputer untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan entri data, dengan cara memeriksa kembali seluruh data
61
yang telah dientri ke dalam program komputer termasuk aplikasi rumus yang digunakan. Aplikasi Rumus yang digunakan adalah rumus perhitungan intake dan tingkat risiko. 2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan sofware SPSS untuk mengetahui variabel yang berhubungan dengan nilai tingkat risiko. Uji bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi’ square karena data yang digunakan adalah data kategori. Variabel yang dilakukan uji bivariat adalah konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, berat badan dan intake, sehingga diketahui variabel mana yang berhubungan dengan nilai tingkat risiko.
62
BAB V HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 1. Kondisi Perairan Teluk Jakarta
Teluk Jakarta terletak pada 06000’40” LS dan 05054’40”LS serta 106040’45”BT dan 107001’19”BT. Teluk Jakarta adalah teluk yang berada di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah Utara Provinsi DKI Jakarta. Topografi Teluk Jakarta umunya didominasi oleh lumpur, pasir dan krikil. Lumpur banyak berdapat di bagian peninggir dan tengah teluk, sedangkan pasir semakin menonjol di bagian laut lepas (BLH DKI Jakarta, 2013). Menurut data BPLHD dan KP2L Provinsi DKI Jakarta (BLH DKI Jakarta, 2013) kondisi fisik perairan Teluk Jakarta sebagai berikut : a.
Kedalaman Teluk Jakarta berkisar dari 4,00 – 29,0 meter.
b.
Kemiringan dasar lautnya ke arah utara, artinya makin ke utara makin dalam.
c.
Kedalamam di muara berkisar 0,50 – 3,00 meter.
d.
Pada daerah pesisir dalam waktu 24 jam terjadi satu kali pasang tertinggi dan satu kali surut rendah.
e.
Pada musim kemarau perbedaan pasang surut sekitar 1,2 meter dan besaran diurnal pada mulut Teluk Jakarta 3,8 meter
63
di Tanjung Pasir besaran diurnalnya 2,6 meter sedangkan di Kepulauan Seribu adalah 4,2 meter. f.
Kecepatan arus berkisar antara 0,20 – 1,20 m/detik dengan arah barat (3320) sampai dengan tenggara (1440).
g.
Umumnya tinggi gelombang di Teluk Jakarta berkisar antara 0,1 – 1 meter, dengan periode 1 sampai 8 detik dan memiliki panjang gelombang 1 – 21 meter.
h.
Suhu di perairan laut berkisar antara 27,90 – 28,870C.
i.
Salinitas perairan laut berkisar antara 31,50 – 32,59 0/00
Teluk Jakarta membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung Kerawang di bagian Timur dan merupakan muara dari 13 sungai yang mengalir di wilayah DKI Jakarta dan digunakan sebagai media untuk membuang limbah berbagai industri yang berada di wilayah sekitarnya. 13 sungai tersebut yakni 3 sungai besar (Sungai Citarum, Sungai Bekasi dan Sungai Ciliwung) dan 10 sungai kecil (Sungai Kamal, Sungai Kanal Cengkareng, Sungai Angke, Sungai Karang, Sungai Ancol, Sungai Sunter, Sungai Cakung, Sungai Blencong, Sungai Grogol dan Sungai Pesanggrahan), dengan total rata-rata aliran limpahan dari ke 13 sungai tersebut adalah 112,7 m³det( '־BLH DKI Jakarta, 2013). 2. Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Kaliadem Muara Angke
terletak
pada
6°6′21″LS,106°46′29.8″BT adalah pelabuhan dan pusat pelelangan
64
ikan yang berada di wilayah Jakarta. Secara administratif Kaliadem Muara Angke terletak di Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara.
Wilayah
Kaliadem
sering
disebut
sebagai
perkampungan nelayan karena selain letaknya di pesisir Teluk Jakarta sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Perkampungan ini diresmikan pada tahun 1983 oleh Presiden Soeharto. Sistem strata di wilayah perkampungan ini masih menggunakan sistem kelompok sehingga tiap kelompok dipimpin oleh ketua kelompok. Perkampungan ini dibagi menjadi 10 kelompok nelayan dengan total penduduk pada seluruh kelompok adalah 1278 jiwa. Akses dan fasilitas yang ada di wilayah Kaliadem Muara Angke cukup lengkap. Terdapat 1 unit puskesmas Muara Angke, pasar dan beberapa sarana pendidikan. Letak perkampungan Kaliadem cukup jauh dari pusat kota sehingga dibutuhkan waktu tempuh 15 menit dengan menggunakan becak motor untuk menuju pusat fasilitas. Lokasi geografis pada wilayah Kaliadem Muara Angke ini dimanfaatkan sebagai lahan pekerjaan oleh penduduk setempat. Berdasarkan hasil survei peneliti sejak tahun 1987 sepanjang wilayah Kaliadem telah digunakan sebagai budidaya kerang hijau. Sampai saat ini terdapat 11 pengepul kerang hijau dengan memperkerjakan masyarakat setempat sehingga mayoritas mata pencahariaan penduduk disana adalah sebagai nelayan dan buruh pengupas kerang hijau. Produksi dari hasil budidaya kerang hijau tersebut bisa mencapai 15-
65
20 ton perbagan tancap setiap minggunya (DPPK, 2006). Hasil budidaya kerang hijau tersebut didistribusikan di wilayah Jabodetabek. Rata-rata pola konsumsi kerang hijau masyarakat kaliadem cukup tinggi karena letak tempat tinggal yang berada di pusat budidaya kerang hijau. Sumber kerang hijau yang dikonsumsi oleh masyarakat Kaliadem seluruhnya berasal dari budidaya yang dilakukan di lokasi tersebut.
Gambar 5.1 Lokasi Penelitian Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara B. Karakteristik Responden Karakteristik responden di Kaliadem Muara Angke menurut usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan yang diperoleh melalui wawancara dan kuesioner disajikan pada Tabel 5.1.
66
Tabel 5.1 Distribusi Menurut Usia, Jenis Kelamin, Status Pernikahan, Cara Memasak Kerang dan Pekerjaan Responden di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Variabel
Jumlah n (230)
Persentase (%)
Usia > 34 tahun ≤ 34 tahun Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Status Pernikahan Menikah Belum Menikah Jumlah Cara Memasak Kerang Dengan Cangkang Tanpa Cangkang Jumlah Pekerjaan Buruh Nelayan Pedagang Wiraswasta Swasta Ibu Rumah Tangga Lainnya (Pegawai, Pelajar) Jumlah
114 116 230
49,6 50,4 100
56 174 230
24,3 75,7 100
203 27 230
88,3 11,7 100
112 118 230
48,7 51,3 100
68 23 27 10 7 82 13 230
29,6 10 11,7 4,3 3 35,7 5,6 100
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa distribusi usia responden paling banyak adalah ≤34 tahun yaitu 116 (50,4%) responden, sedangkan untuk distribusi jenis kelamin paling banyak adalah perempuan sebanyak 174 (75,7%) responden. Distribusi menurut status pernikahan paling banyak berstatus menikah yaitu 203 (88,3%) responden, sedangkan untuk distribusi responden berdasarkan kebiasaan cara memasak kerang paling banyak memasak kerang tanpa menggunakan cangkangnya yaitu 118 (51,3%)
67
responden. Distribusi responden menurut pekerjaan yang paling banyak adalah berprofesi sebagai buruh pengupas kerang sebesar 68 (29,6%) responden dan paling sedikit berprofesi sebagai pegawai swasta yaitu 7 (3%) responden. C. Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Spesimen kerang hijau yang yang diukur adalah kerang hijau yang didapatkan dari budidaya (pengepul) di wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yang juga dilakukan di Perairan Teluk Jakarta. Hasil pengukuran konsentrasi Cd dalam kerang hijau pada tiap spesimen kerang hijau disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Hasil Pengukuran Konsentrasi Cd dalam Tiap Spesimen Kerang Hijau yang di Budidaya Tahun 2015 Spesimen Laboratorium (kerang hijau) Budidaya I Budidaya II Budidaya III Budidaya IV Budidaya V Budidaya VI Budidaya VII Budidaya VIII Budidaya IX Budidaya X Budidaya XI
Konsentrasi (mg/L) 0,079 0,090 0,081 0,052 0,082 0,090 0,086 0,085 0,090 0,091 0,094
Berdasarkan Tabel 5.2 konsentrasi Cd dalam kerang hijau tertinggi terdapat pada budidaya XI yaitu 0,094 mg/L, sedangkan konsentrasi terendah pada budidaya IV dengan konsentrasi 0,054 mg/L.
68
Distribusi Konsentrasi Kadmium pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Distribusi Konsentrasi Kadmium (Cd) pada Kerang Hijau Hasil Budidaya di Perairan Teluk Jakarta Tahun 2015
Konsentrasi Cd dalam kerang hijau (mg/L)
Mean
SD
Min
Max
0,083
0,011
0,052
0,094
*p value >0,05 Berdasarkan Tabel 5.3 rata-rata konsentrasi Cd dalam spesimen kerang hijau adalah 0,083 mg/L, dengan nilai maksimum spesimen kerang hijau adalah 0,094 mg/L sedangkan nilai minimumnya adalah 0,052 mg/L. Analisis normalitas data dengan menggunakan Kolmogorof Shapiro di dapatkan nilai p value <0,05 maka data berdistribusi normal. D. Analisis Risiko 1.
Analisis Paparan (Exposure Assessment)-Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Analisis paparan dilakukan untuk menentukan dosis risk agent kadmium (Cd) yang diterima individu sebagai asupan atau intake (I) yang dihitung dengan persamaan :
Kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem semuanya berasal dari kerang yang di budidayakan pada perairan Teluk Jakarta.
69
Intake kadmium
masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
ketika mengkonsumsi kerang hijau disajikan pada Tabel 5.4 Tabel 5.4 Distribusi Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Mean
Median
Min
Max
0,03
96,18
Kateg ori 2
Laju asupan (gram/hari)
16,33
4,71
> 4,71 ≤ 4,71
Jumlah Frekuensi Pajanan (hari/tahun)
104
52
2
365
>52 ≤52
Jumlah 17
Durasi pajanan (tahun)
15
0,5
57
>15 ≤15
Jumlah Berat Badan (kg)
57,05
57,22
24,3
98,75
> 57,22 ≤ 57,22
Jumlah Intake (mg/kg/hari)
0,097
Jumlah
0,004
1,2x 10-7
1,53
> 0,004 ≤ 0,004
49 (21,3) 28 (12,2) 77 (33,5) 35 (15,2) 42 (18,3) 77 (33,5) 43 (18,7) 34 (14,8) 77 (33,5) 34 (14,8) 43 (18,7) 77 (33,5) 40 (17,4) 37 (16,1) 77 (33,5)
Kelompok n (%) 6 7 20 29 (8,7) (12,6) 34 30 (14,8) (8,7) 54 49 (23,5) (21,3) 19 (8,3) 21 (9,1)
Total n(%) 9 17 (7,4) 33 (14,3) 50 (21,7) 17 (7,4)
35 (15,2) 54 (23,5) 24 (10,4) 30 (13,0) 54 (23,5) 27 (11,7) 27 (11,7) 54 (23,5) 19 (8,3)
28 (12,2) 49 (21,3) 23 (10,0) 26 (11,3) 49 (21,3) 31 (13,5) 18 (7,8)
33 (14,3) 50 (21,7) 32 (13,9) 18 (7,8)
49 (21,3) 19 (8,3)
50 (21,7) 25 (10,9) 25 (10,9) 50 (21,7) 21 (9,1)
35 (15,2) 54 (23,5)
30 (13,0) 49 (21,3)
29 (12,6) 50 (21,7)
115 (50) 115 (50) 230 (100) 92 (40,0) 138 (60,0) 230 (100) 122 (53,0) 108 (40,7) 230 (100) 117 (50,9) 113 (49,1) 230 (100) 99 (43,0) 131 (57,0) 230 (100)
*p value <0,05 Berdasarkan tabel 5.4 rata-rata laju asupan konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yaitu 16,33 gram/hari, dengan nilai minimum sebesar 0,03 gram/hari dan nilai maksimumnya 96,18 gram/hari. Distribusi data laju asupan tidak nomal (p value <0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median. Kelompok yang memiliki nilai R >4,71 paling banyak adalah kelompok 2 yaitu 49 (21,3%) responden sedangkan
70
kelompok yang nilai R ≤4,71 paling banyak adalah kelompok 7 yaitu 30 (8,7%) responden. Rata-rata frekuensi paparan konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara adalah 104 hari/tahun, dengan nilai minimum 2 hari/tahun dan nilai maksimumnya adalah 365 hari/tahun. Data frekuensi pajanan juga menunjukan distribusi data tidak normal (p value<0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median. Kelompok yang nilai frekuensi paparan >52 hari/tahun paling banyak adalah kelompok 2 dengan 35 (15,2%) responden. Rata-rata lama durasi pajanan kandungan kadmium dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yaitu 17 tahun, dengan nilai minimum durasi pajanan selama 0,5 tahun dan nilai maksimumnya 57 tahun. Distribusi data durasi pajanan tidak normal (p value<0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median. Persentase responden yang terpapar ≥15 tahun paling banyak terdapat pada kelompok 2 dengan persentase sebesar 18,7%. Rata-rata berat badan masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara yang mengkonsumsi kerang hijau yaitu 57,05 kg, dengan nilai minimum yaitu 24,30 dan nilai maksimumnya 98,75 kg. Data berat badan responden tidak normal (p value<0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median. Berdasarkan persentase kelompom tinggal responden yang memiliki berat badan >57,22 kg, 63,3% berada di kelompok 7.
71
Rata-rata intake konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara adalah 0,097 mg/kg/hari, dengan nilai minimum yaitu 1,2 x 10-7mg/kg/hari dan nilai maksimumnya adalah 1,53 mg/kg/hari. Data intake kadmium dari konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara tidak normal (p value<0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median. Berdasarkan tempat tinggal responden yang memiliki nilai intake > 0,004 mg/kg/hari paling banyak adalah responden yang tinggal di kelompok 2 yaitu 51,9%, 2. Karakteristik Risiko (Risk Characterization) - Tingkat Risiko (RQ) Karakterisasi risiko dilakukan untuk membandingkan hasil analisa pemaparan (intake) dengan nilai dosis acuan (RfD). RQ dihitung dengan persamaan:
Tingkat risiko kandungan logam kadimum dalam kerang hijau yang dikonsumi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara disajikan pada Tabel 5.5.
72
Tabel 5.5 Tingkat Risiko Kandungan Logam Kadimum dalam Kerang Hijau yang Dikonsumi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Mean
SD
Min
Max
RQ
103,89
273, 88
0,0000 6
1672, 42
>1
Kelompok n (%) 2
Tingkat Risiko (RQ)
≤1
Jumlah
57 (24,8) 20 (8,7) 77 (33,5)
6 24 (10,4) 30 (13,0) 54 (23,5)
7 28 (12,2) 21 (9,1) 49 (21,3)
Total n(%) 9 31 (13,5) 19 (8,3) 50 (21,7)
140 (60,9) 90 (39,1) 230 (100)
*p value >0,05
Berdasarkan Tabel 5.5 rata-rata nilai tingkat risiko kandungan logam kadmium dalam kerang hijau yang dikosumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara adalah 103,89, dengan nilai minimum yaitu 0,00006 dan nilai maksimumnya yaitu 1672,42. Cut of point yang digunakan pada variabel karakterisitik risiko adalah >1 dan ≤1. Hal ini dikarenakan hasil ukur dari variabel ini adalah RQ>1 dinyatakan berisiko dan RQ≤1 masih aman atau belum berisiko. Dari 230 responden yang nilai RQ >1 yaitu 140 responden. Kelompok yang memiliki nilai RQ>1 paling banyak adalah kelompok 2 yaitu 57 (28,4%) responden, sedangkan kelompok yang memiliki nilai RQ>1 paling sedikit adalah kelompok 6 yaitu 24 (13,0%) responden. E. Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara
Hubungan antara tingkat risiko gangguan kesehatan akibat paparan Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dengan konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan kerang
73
hijau, frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau, durasi pajanan Cd dalam kerang hijau, berat badan responden dan intake Cd dalam kerang hijau disajikan pada Tabel 5.6. Tabel 5.6 Hubungan Antara Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Kategori Konsentrasi kadmium dalam kerang hijau >0,083 mg/L
RQ (>1) n (%)
RQ (≤ 1) n (%)
109 (77,9)
6 (6,7)
31 (22,1)
84 (93,6)
140 (100)
90 (100)
109 (77,9)
6 (6,7)
31 (22,1)
84 (93,3)
Jumlah
140 (100)
90 (100)
Frekuensi pajanan >52 hari/tahun
109 (77,9%)
6 (6,7%)
31 (22,1%)
84 (93,6%)
140 (100)
90 (100)
Durasi pajanan >15 tahun
85 (60,7%)
37 (41,1%)
≤ 15 tahun
55 (39,3%)
53 (58,9%)
Jumlah
140 (100)
90 (100)
Berat badan >57,22 kg
75 ( 53,6%)
42 (46,7 %)
≤57,22 kg
65 (46,4%)
48 (53,3%)
140 (100)
90 (100)
Intake kerang hijau >0,004 mg/kg/hari
99 (70,7%)
0 (0%)
≤0,004 mg/kg/hari
41 (29,3%)
90 (100%)
140 (100)
90 (100)
≤0,083 mg/L Jumlah Laju asupan kerang hijau >4,77 gram/hari ≤4,77 gram/hari
≤52 hari/tahun Jumlah
Jumlah
Jumlah
p value
0,576
0,000
0,000
0,004
0,307
0,000
Berdasarkan Tabel 5.6 hasil uji bivariat menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel konsentrasi kadmium dalam kerang hijau dan berat badan responden dengan tingkat risiko masyarakat Kaliadem
74
Muara Angke Jakarta Utara (p>0,05), sedangkan untuk variabel laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan intake konsumsi kerang hijau menunjukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan tingkat risiko masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara (p<0,05).
75
BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian ini menampilkan tingkat risiko kandungan logam berat kadmium dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara pada tahun 2015, yang mana data diambil dari bulan April-Juni 2015. Namun dalam proses pelaksanaan penelitian terdapat beberapa kelemahan yang menjadi keterbatasan penelitian dan berpengaruh terhadap hasil penelitian. Keterbatasan penelitian tersebut adalah: 1. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Variabel dependen (tingkat risiko) dan variabel independen (konsentrasi Cd dalam kerang hijau, laju asupan, durasi pajanan, berat badan, dan intake) diamati pada waktu yang bersamaan, tanpa memberikan perlakuan kepada responden sehingga rancangan ini mempunyai kelemahan karena tidak dapat menunjukkan hubungan sebab akibat. Faktor risiko sulit diukur secara akurat dan kurang valid untuk meramalkan suatu kecenderungan. Meskipun demikian, desain ini dipilih karena paling sesuai dengan tujuan penelitian, serta efektif dari segi waktu. 2. Lingkup wilayah penelitian yang kecil sehingga hanya dapat digeneralisasikan terhadap wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara.
76
3. Analisis risiko kesehatan akibat mengkonsumsi kerang hijau yang mengandung logam kadmium dibatasi hanya berdasarkan asupan (intake) melalui pajanan kerang hijau yang dikonsumsi oleh masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara. Sehingga tidak memperhitungkan asupan (intake) logam kadmium yang berasal dari air minum, makanan lain (selain kerang hijau) maupun dari asap rokok.
4. Pemeriksaan gejala keracunan kadmium langsung ditanyakan ke responden, tanpa mengunakan pengukuran biomarker seperti pada darah dan urin untuk memperkuat hasil karena keterbatasan dana dan waktu. 5. Data untuk penilaian konsentrasi kerang hijau dalam penelitian ini hanya berdasarkan hasil satu kali pengukuran risk agent (Cd), dengan tidak memperhitungkan adanya perbedaan konsentrasi sebelum ataupun sesudah penelitian ini dilakukan (akumulasi), sehingga konsentrasi yang diukur untuk menghitung asupan (intake) Cd yang diterima kurang mewakili. B. Karakteristik Responden 1. Distibusi Usia di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Data distribusi karakteristik responden menurut usia, dapat dilihat bahwa kelompok usia terbanyak adalah ≤ 34 tahun sebanyak 116 (50,4%), sedangkan responden yang berusia >34 tahun hanya sebesar 49,6%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Susiyeti (2010) tentang analisis
77
risiko kandungan kadmium dalam ikan di Kampung Nelayan Muara Angke yang menyatakan bahwa berdasarkan kelompok umur paling banyak adalah usia 20-30 tahun yaitu sebesar 39,2%. Diperkuat dengan penelitian Listianingsih (2008) yang menyatakan bahwa kelompok umur paling banyak di Kelurahan Muara Angke tahun 2007 adalah usia ≤34 tahun sebesar 59,67%. Pada penelitian ini usia dibatasi mulai dari ≥10 tahun, karena efek Cd paling singkat terjadi pada rentan waktu 10 tahun. Cara pengukuran usia pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode wawancara dan alat ukur kuesioner. Namun penelitan Harvey et al (2009) menyatakan bahwa pengaruh akumulasi Cd menunjukkan peningkatan Cd dalam darah (B-Cd) pada umur 30-45 tahun. Hal ini dikarenakan orang yang lebih tua mempunyai konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibanding orang dewasa. Teori ini sesuai dengan pendapat F. Nordberg (1992) yang menyatakan bahwa konsentrasi B-Cd pada umumnya lebih rendah pada anak-anak dibanding orang dewasa, yakni <0.10.5 μg/L. Hal ini dikarenakan sifat logam Cd yang terakumulasi akan menimbulkan dampak kesehatan setelah 10-30 tahun (ATSDR, 1999). Berdasarkan pemaparan diatas membuktikan bahwa dominasi individu pada wilayah Kelurahan Muara Angke berusia produktif (17 -34 tahun). Sementara sampai saat ini belum ada penelitian yang mengatakan jumlah konsumsi makanan hasil laut berkurang seiring dengan bertambahnya usia.
78
2. Distibusi Jenis Kelamin di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Berdasarkan jenis kelamin, jumlah responden wanita sebanyak 174 (75,7%) responden. Namun menurut penelitian Susiyeti (2011) yang dilakukan di Kampung Nelayan Muara Angke menyatakan bahwa sebesar 62,9% responden adalah laki-laki. Hal ini juga dijelaskan pada penelitian Listianingsih (2008) yang menyatakan bahwa sebesar 52,02% masyarakat Kelurahan Muara Angke pada tahun 2007 adalah laki-laki. Pada penelitian ini terdapat perbedaan karakteristik individu berdasarkan jenis kelamin jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dikarenakan peneliti mendatangi rumah-rumah warga pada waktu siang hingga sore dan pada saat demikian paling banyak dijumpai wanita, sedangkan populasi pria sebagian besar sedang bekerja. Cara pengukuran jenis kelamin dilakukan dengan metode wawancara dan alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Secara teori, perempuan mempunyai konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibanding laki-laki (Hansen and Abbott, 2009). F. Nordberg (1992) mengatakan bahwa perempuan usia 50-55 tahun mempunyai konsentrasi BCd lebih tinggi (0,5 μg/L) dibanding laki-laki pada umur yang sama (0,3 μg/L). Sesuai dengan penelitian Louekari et al (2000) yang menyatakan bahwa absrobsi Cd akan meningkat bila terjadi defisiensi Ca, Fe, dan rendah protein dalam makanannya. Defisiensi Ca dalam makanan akan merangsang
79
sintetis ikatan Ca-protein sehingga akan meningkatkan absrobsi Cd (Gupta, 2009). Siklus menstruasi pada wanita mengakibatkan wanita lebih sering mengalami defisiensi Ca dan Fe dibandingkan laki-laki. Berdasarkan penyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan jenis kelamin wanita lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan akibat terpapar Cd. Hal tersebut dikarenakan wanita memiliki konsentrasi B-Cd lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki. Tingginya konsentrasi B-Cd pada wanita dipengaruhi oleh siklus menstrusi yang mengakibatkan defisisensi Ca dan Fe. Oleh karena itu untuk mencegah tingginya kadar B-Cd, wanita perlu mengatur pola makan terutama saat menstruasi agar tidak terjadi defisiensi Ca dan Fe. 3. Distribusi Status Pernikahan di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Berdasarkan status pernikahan sebanyak sebanyak 203 (88,3%) responden telah menikah. Hal ini sesuai dengan penelitian Susiyeti (2011) yang menyatakan bahwa dari 97 responden di Kampung Nelayan Muara Angke pada tahun 2010 sebanyak 75 (77,3%) responden berstatus sudah menikah. Hal ini dikarenakan rata-rata masyarakat Kaliadem menikah pada usia muda. Sehingga populasi menikah lebih banyak dibandingkan populasi yang belum menikah. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa efek kronis dari keracunan Cd salah satunya adalah terjadinya gangguan terhadap sistem reproduksi (ATSDR, 1999).
80
Hal ini sesuai dengan teori F. Nordberg (1992) yang menyatakan bahwa efek kronis dari pajanan Cd adalah menurunnya spermatogenesis pada manusia. Diperkuat dengan penelitian Widowati et al (2008) yang menyatakan bahwa telah terjadi perubahan pada sistem reproduksi pada individu yang terpapar Cd >30 tahun. Apabila diasumsikan bahwa responden mengkonsumsi kerang sejak usia 7-10 tahun maka efek tersebut akan terlihat setelah responden berumur 40 tahun. Hal tersebut berarti kemungkinan gangguan terhadap sistem reproduksi akan terlihat pada responden pada usia menikah. Namun berbeda dengan penelitian
Ferial et al (2011) yang
menyatakan bahwa peningkatan kualitas spermatozoid pada manusia memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi kerang. Perbedaan tersebut dikarenakan kerang memang memiliki kandungan zat protein yang tinggi sehingga mampu membantu pembentukan dan meningkatkan kualitas spermatozoid. Namun, melihat kondisi laut di Indonesia saat ini sudah banyak tercemar dan sebagian besar limbah pabrik dibuang pada badan perairan menjadikan hasil laut seperti kerang sudah tidak aman untuk dikonsumsi lagi. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa salah satu efek kronis dari keracunan Cd adalah terganggunya sistem repoduksi. Gangguan ini akan terlihat apabila individu telah terpapar logam Cd selama >30 tahun. Pada penelitian ini sebanyak 203 (88,3%) responden berstatus menikah. Oleh karena itu, dengan melihat status pernikahan pada responden
81
dan biological half life Cd dalam tubuh maka disarankan kepada masyarakat Kaliadem untuk saat ini mulai mengatur asupan konsumsi kerang hijau agar tidak berisiko terhadap gangguan kesehatan. 4. Distribusi Cara Memasak Kerang di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 118 (51,3%) responden menyatakan bahwa mereka lebih sering mengkonsumsi kerang yang dimasak tanpa menggunakan cangkang. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa selain pada daging kerang, cangkang kerang juga mengandung konsentrasi Cd yang cukup tinggi yaitu 0,027 mg/kg (Mahmudiono, 2009). Didukung dengan penelitian Azhar et al (2012) yang menyatakan bahwa kandungan logam Cd pada cangkang kerang berkisar 5,9212–8,0136 ppm, pada air sebesar 0,01 ppm, sedangkan pada dagingnya berkisar 2,6195–5,0125 ppm. Peneltian Fitriati (2004) yang dilakukan di perairan pesisir Kamal dan Cilincing Jakarta juga mengatakan bahwa kandungan Cd dalam cangkang lebih tinggi (2 ppm) dibandikan kandungan Cd pada daging kerang (700 ppb) ataupun pada air laut (100 ppb). Umumnya, memasak kerang hijau dengan menggunakan cangkangnya akan lebih meningkatkan kandungan logam pada dagingnya (BPOM RI, 2005). Penelitan Sarjono (2009) menyatakan bahwa memasak menggunakan cangkang mempengaruhi kandungan Cd pada daging kerang hijau. Hal ini berarti konsentrasi Cd dalam daging kerang hijau akan meningkat saat
82
dimasak bersama dengan cangkangnya. Pada penelitian Winarno dkk (2008) dengan lokasi penelitian di Pasar Ikan Muara Angke menjelaskan bahwa hasil penelitian pada bulan November 2005 diperoleh kandungan kandungan logam berat pada kerang hijau sebelum direbus adalah 0,805±0,019 (μg/g), setelah dimasak sebesar 0,443±0,037 (μg/g). Perlakuan perebusan selama 45 menit menyebabkan kadar logam berat berkurang sebesar 44,85%. Pada penelitian ini logam yang berkurang tidak hilang (tidak menguap), tetapi tetap ada dalam protein yang terdistribusi ke dalam air selama perebusan atau masih tinggal dalam daging kerang karena kurang sempurnanya proses perebusan dan terjadinya perpindahan logam pada cangkang ke daging kerang. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kandungan Cd dalam cangkang kerang hijau walaupun tidak lebih tinggi daripada dagingnya, namun konsentrasi tersebut mampu mempengaruhi konsentrasi Cd dalam dagingnya. Hal ini dikarenakan konsentrasi Cd pada cangkang akan larut dalam daging kerang saat proses memasak (Sarjono, 2009). Oleh karena itu, disarankan bagi masyarakat Kaliadem Muara Angke saat memasak kerang tidak menggunakan cangkangnya dan melakukan perebusan kerang hijau dengan menggunakan larutan garam yang dicampur dengan cuka dan larutan jeruk selama 45 menit (Winarno et al., 2008). Cara tersebut digunakan untuk mengurangi kandungan logam berat pada daging kerang.
83
5. Distribusi Pekerjaan di Wilayah Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 Data karakteristik responden menurut pekerjaan menunjukkan bahwa sebanyak 82 (35,7%) responden bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan sebesar 75,7% responden dalam penelitian ini adalah wanita. Sedangkan kategori pekerjaan yang paling sedikit adalah pegawai swasta yaitu sebanyak 7 (3%) responden. Namun berbeda dengan penelitian Listianingsih (2008) yang menyatakan bahwa menurut mata pencahariannya penduduk di Kelurahan Muara Angke tahun 2007 paling banyak bekerja sebagai karyawan swasta/pemerintah/ABRI sebanyak 13.039 orang. Lain halnya dengan penelitian Susiyeti (2010) yang menyatakan bahwa masyarakat Kampung Nelayan Muara Angke paling banyak bekerja sebagai nelayan yaitu sebanyak 34 (35,1%) orang, sedangkan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga hanya sebanyak 16 (16,5%) orang. Perbedaan tersebut dikarenakan pengambilan data pada penelitian ini dilakukan pada siang hingga sore hari dengan mengunjungi tiap rumah. Pada saat siang hingga sore hari sebagian besar penduduk laki-laki sedang bekerja, sehingga mayoritas responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang berada dirumah atau bekerja sebagai ibu rumah tangga. Perbedaan penelitian Susiyeti (2010) dan Listianingsih (2008) dikarenakan populasi yang digunakan pada penelitian Susiyeti lebih spesifik terhadap masyarakat yang berada di wilayah Kampung Nelayan Muara Angke Jakarta Utara, sedangkan
84
populasi pada penelitian Listianingsih lebih general yaitu seluruh masyarakat yang ada di Kelurahan Muara Angke Jakarta Utara. Secara teori, pajanan Cd melalui asupan makanan lebih berisiko terhadap wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada ibu rumah tangga memiliki frekuensi terpajan yang lebih besar (Purnomo and Purwana, 2008) dibandingkan dengan wanita dan laki laki yang bekerja aktif di luar rumah. Diperkuat dengan penelitian Kartikawati (2008) yang menyatakan bahwa frekuensi hipertensi pada masyarakat pesisir lebih banyak dialami oleh wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sejalan dengan penelitian Masengi et al (2013) yang menyatakan bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian hipertensi (p value =0,000) pada masyarakat pesisir. Hal teresebut dikarenakan ibu rumah tangga atau yang tidak atif berkerja di luar rumah memiliki asupan yang tinggi dibandingkan dengan yang bekerja aktif di luar rumah. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa wanita yang bekerja sebagai ibu rumah tangga memiliki frekuensi pajanan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita atau laki-laki yang aktif bekerja di luar rumah. Hal ini dikarenakan ibu rumah tangga memiliki nilai asupan dan frekuensi yang cukup tinggi mengkonsumsi kerang hijau.
85
C. Konsentrasi Kadmium (Cd) Pada Kerang Hijau yang Dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Tahun 2015 Pengukuran konsentrasi Cd pada spesimen kerang hijau diambil pada 11 titik budidaya yang berasal dari setiap budidaya (pengepul) kerang hijau yang berada di wilayah Kalidem Muara Angke. Hasil pengukuran diperoleh dalam satuan ppm, sehingga harus dikonversikan ke dalam satuan mg/kg. Menurut Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan, batas maksimum cemaran Cd dalam kerang adalah 1,0 mg/kg (BPOM, 2009). Peraturan Standar Nasional Indonesia tahun 2009 juga menetapkan batas maksimum cemaran logam berat kadmium dalam jenis kerang adalah 1,0 mg/kg (SNI, 2009). Jika dibandingkan dengan nilai standar peraturan diatas, konsentrasi Cd pada spesimen kerang hijau yang digunakan dalam penelitian ini masih berada dibawah nilai standar yang ditetapkan. Walaupun konsentrasi Cd pada kerang hijau masih dibawah standar yang ditetapkan, akan tetapi konsentrasi Cd tersebut akan meningkat bahkan dapat melebihi nilai standar karena sifat logam Cd yang mudah terkumulasi pada kerang hijau. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Cordova dkk (2011) yang menyatakan bahwa telah terjadi akumulasi konsentrasi Cd dalam kerang hijau yang dibudidayakan di Teluk Jakarta. Menurut Cordova dkk (2011) akumulasi Cd dapat terjadi seiring dengan pertambahan waktu. Hal tersebut diperkuat dengan beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan di perairan Teluk Jakarta dimulai tahun 1999 menunjukan bahwa kandungan logam Cd pada kerang hijau berkisar 0,043 – 0,657 mg/kg dengan rata-rata 0,292 mg/kg
86
(Nurjanah et al., 1999), pada tahun 2009 berkisar 0,46-0,743 mg/kg dengan ratarata 0,629 mg/kg (Prasetyo, 2009), kemudian pada tahun 2012 konsentrasi Cd dalam kerang hijau rata-rata 0,739 mg/kg (Fernanda, 2012), dan pada penelitian ini konsentrasi Cd dalam kerang hijau berkisar 0,52-0,94 mg/kg dengan rata-rata 0,830 mg/kg. Meningkatnya konsentrasi Cd pada kerang hijau diakibatkan oleh beberapa hal seperti kondisi lingkungan. Sebagian besar Cd yang terdapat di alam dihasilkan oleh limbah industri dalam jumlah ±10.000 ton setiap tahunnya (BLH DKI Jakarta, 2013). Telah dijelaskan dalam al-Quran surah ar-Rum ayat 41 bahwa, “telah tampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum (30): 41). Syihab (2009) dalam karyanya Tafsir Al-Mishbah menafsirkan ayat tersebut bahwa terjadinya pencemaran di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan manusia yang tidak bertanggung jawab melalui pembungan limbah sembarangan, sehingga keseimbangan lingkungan menjadi kacau. Hasil pengukuran konsentrasi Cd yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0,052 mg/L─0,094 mg/L (0,52 mg/kg─0,94 mg/kg). Konsentrasi tersebut lebih kecil dibandingan hasil pengukuran konsentrasi Cd saat studi pendahuluan yaitu 1,48 mg/kg. Perbedaan konsentrasi Cd dalam kerang hijau dikarenakan perbedaan waktu pengambilan spesimen saat penelitian dan studi pendahulan berbeda. Pengambilan spesimen saat penelitian dilakukan pada bulan Mei 2015 saat sore hari dengan ukuran spesimen kerang hijau rata-rata >5cm,
87
sedangkan saat studi pendahuluan pengambilan spesimen dilakukan pada bulan November 2014 saat sore hari dengan ukuran spesimen kerang hijau ≤5cm. Selain hal tersebut penentuan titik lokasi pengambilan spesimen juga mempengaruhi tinggi rendahnya konsentrasi logam berat pada kerang hijau. Pengambilan spesimen saat studi pendahuluan kemungkinan diambil dari wilayah yang pencemarannya tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang konsentrasi kandungan logam berat dalam kerang hijau yang menyebutkan bahwa tinggi rendahnya kandungan logam berat dalam kerang hijau dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti ukuran spesimen (Riani, 2009), umur spesimen yang digunakan (Cordova et al., 2011), musim saat pengambilan spesimen (Otchere, 2003);(Riani, 2012), kondisi lingkungan (perairan dan sedimen) (Riani, 2009). Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Winarno dkk (2008) yang menyatakan bahwa pengambilan spesimen saat Musim Barat mempengaruhi tingkat konsentrasi logam berat pada kerang hijau. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa konsentrasi logam berat pada kerang hijau yang diambil pada bulan November 2005 lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi kerang hijau yang diambil pada bulan Maret 2006. Menurut Riani (2009) menyatakan bahwa kerang hijau mampu menyerap logam berat dan menyimpannya dalam tubuhnya dengan efektif, sehingga kerang hijau direkomedasikan sebagai biofillter logam berat dan bersifat sebagai vacum cleaner bagi perairan yang tercemar logam berat (Riani, 2009).
88
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun konsentrasi Cd dalam kerang hijau pada saat penelitian masih tergolong rendah dan aman menurut nilai standar dari SNI tahun 2009 dan Peraturan BPOM RI HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009, akan tetapi seiring dengan terjadinya pencemaran pada perairan Teluk Jakarta maka juga akan mempengaruhi terjadinya akumulasi logam Cd pada kerang hijau tersebut sehingga tidak dianjurkan oleh masyarakat konsumsi kerang hijau secara berlebihan. Oleh karena itu untuk mengurangi pencemaran yang ada di perairan Teluk Jakarta disarankan kepada Badan Lingkungan Hidup (BLH) DKI Jakarta untuk meningkatkan pengawasan dan pemantauan terhadap limbah industri yang dibuang di perairan Teluk Jakarta. Selain hal tersebut, dengan melihat kondisi perairan Teluk Jakarta yang saat ini sudah tercemar maka tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh BLH DKI Jakarta adalah bekerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan remediasi dengan menggunakan beberapa metode seperti metode fisika-kimia dengan menggunakan padatan tersuspensi (Suspended Solid-SS) (Sanusi et al., 2005), bioremediasi dengan menggunakan Chlorella sp (Wetipo et al., 2011), Aspergillus flavus (Rakhmawati, 2010), atau menggunakan
teknik
fitoremediasi
fitoplankton
dengan
menggunakan
Nannochloropsis salina dan Chaetoceros calcitran (Makkasau et al., 2011). D. Analisis Risiko 1. Analisis Pajanan (Esposure Assessment) – Intake Kadmium Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara a. Laju Asupan
89
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penduduk yang terpapar Cd melalui kerang hijau memiliki laju asupan kerang sebesar 16,33 gram/hari dengan jumlah konsumsi harian yang tertinggi adalah 96,18 gram/hari dan yang terendah adalah 0,03 gram/hari. Sebaran data laju asupan kerang hijau pada 4 kelompok responden tidak normal (p value <0,05) sehingga harus menggunakan nilai median (4,71 gram/hari). Dari 230 responden yang terpapar Cd melalui kerang hijau dengan laju asupan sebesar >4,71 gram/hari adalah 115 responden, sedangkan sebanyak 115 responden juga memiliki laju asupan sebesar ≤4,71 gram/hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden ratarata masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara mengonsumsi kerang hijau dari hasil tangkapannya sendiri dan saat bekerja mengupas kerang. Oleh sebab itu, rata-rata nilai laju asupan masyarakat Kaliadem cukup
tinggi.
Pengukuran laju asupan konsumsi kerang hijau menggunakan food model yang telah ditetapkan takarannya. Besarnya nilai laju asupan mempengaruhi terhadap nilai tingkat risiko. Hal ini sejalan dengan penelitian Sianipar (2009) bahwa laju asupan mempengaruhi nilai tingkat risiko. Diperkuat oleh penelitian Ashar (2007) yang mengatakan bahwa responden yang mengkonsumsi air yang mengandung Mangan melebihi batas maksimium mempunyai peluang 4,740 kali memiliki risiko akan mengalami gangguan kesehatan dibandingkan dengan responden yang mengkonsumsi air yang tidak melebihi batas maksimum.
90
Hal ini sesuai dengan penetapan batas maksimum konsumsi kerang hijau menurut BPS yaitu 1 gram/minggu. Berdasarkan peraturan tersebut maka laju asupan masyarakat Kaliadem Muara Angke telah melibihi nilai batas maksimum. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat tahun 2005 juga menganjurkan agar perempuan hamil menyantap hasil laut tidak lebih dari 12 ons per minggu. Namun berbeda dengan laporan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2009 yang menyatakan bahwa konsumsi hasil laut masyarakat Indonesia masih cukup rendah sebesar 30,17 kg/kapita berarti 83 gram/hari. Koalisi Ahli Gizi dan Obat-obatan Indonesia juga menetapkan 12 ons per minggu sebagai batas minimal karena menurut mereka hasil laut banyak mengandung protein yang sangat dibutuhkan oleh tubuh sehingga disarankan dalam satu hari minimal harus menyantap 171 gram/hari. Secara teori nilai laju asupan digunakan untuk menghitung intake dan nantinya juga akan digunakan untuk menentukan nilai tingkat risiko. Penelitian yang dilakukan oleh Daud et al. (2013) yang menyatakan bahwa semakin sering mengonsumsi kerang yang telah terkontaminasi logam Cd maka kontribusi Cd dalam darah semakin meningkat. Perbedaan standar anjuran yang ditetapkan oleh BPS dan Koalisi Ahli Gizi dan Obat-obatan Indonesia dikarenakan menurut Koalisis Ahli Gizi dan Obat-obatan Indonesia kerang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, terutama pada kerang hijau. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Ferial et al. (2011) yang menyatakan bahwa terjadi perbedaan proporsi pada
91
spermatozoid manusia antara responden yang diberikan kerang 2 kali dalam sehari dengan responden yang hanya
diberikan 1 kali dalam sehari. Telah
dijelaskan dalam al-quran Surah Al-Maidah ayat 96 bahwa, “dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan orang-orang dalam perjalanan.”(Al-Maidah(5):96). Penafsiran ayat tersebut menurut Syihab (2009) dalam karyanya Tafsir AlMishbah menjelaskan bahwa binatang buruan laut yang dimaksud juga berasal dari sungai, danau, atau tambak, dan makanan yang berasal dari laut seperti ikan, udang, atau apapun yang hidup di laut dan tidak dapat hidup di darat walau telah mati dan mengapung (menjadi bangkai). Berbeda dengan yang dijelaskan oleh Al-Qurtubi (2008) dalam karyanya Al Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an bahwa Imam Malik, Asy-syafi’i, Ibnu Abi Laila, Al Auzai dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di laut, baik berupa ikan, binatang melata, maupun semua binatang yang ada di laut itu boleh dimakan, apakah ia ditemukan dalam kedadaan mati ataupun diburu. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah: “Laut itu suci airnya lagi halal bangkai (binatang)nya.” (HR: Abu Daud) Namun berbeda dengan pertimbangan yang digunakan oleh BPS dan FDA untuk menentukan batas maksimum konsumsi kerang hijau. Menurut FDA, saat ini hasil laut sudah tercemar dengan logam berat sehingga dapat membahayakan bayi yang ada di kandungan. Tercemarnya hasil laut terebut dikarenakan saat ini kondisi perairan sudah banyak tercemar oleh limbah hasil industri.
92
Secara teori, menurut Wang et al. (2009) menyatakan bahwa konsentrasi Cd pada air laut cenderung lebih rendah dibandingkan konsentrasi Cd pada hewan laut golongan bivalvia (kerang hijau). Hal tersebut dikarenakan kemampuan kerang hijau sebagai vacum cleaner logam berat pada perairan, sehingga logam berat terakumulasi dalam tubuh kerang hijau (Riani, 2009). Selain terakumulasi dalam tubuh kerang hijau itu sendiri logam Cd yang berada dalam kerang hijau akan terakumulasi di dalam tubuh manusia, sehingga semakin besar asupan Cd ke dalam tubuh semakin besar pula risiko untuk mengalami gangguan kesehatan. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa laju asupan mempengaruhi besarnya nilai tingakt risiko, sehingga semakin besar laju asupan maka akan semakin besar nilai tingkati risikonya. Pada penelitian ini nilai laju asupan rata-rata masyarakat Kaliadem sebesar 16,33 gram/hari, angka tersebut telah melebihi standar yang dianjurkan BPS namun masih dibawah satndar asupan yang dianjurkan oleh Koalisi Ahli Gizi Obat-Obatan Indonesia dan Laporan Kementrian Perikanan dan Kelautan tahun 2009. b. Frekuensi Pajanan Frekuensi pajanan yang dimaksud adalah waktu pemajanan kerang hijau yang mengandung Cd yang diterima oleh responden dalam satuan hari/tahun. Berdasarkan perhitungan dari hasil wawancara dengan responden diketahui urutan frekuensi pajanan (fE) paling singkat adalah 2 hari/tahun sedangkan fE paling lama adalah 365 hari/tahun atau yang mengkonsumsi setiap hari,
93
sedangkan rata-rata frekuensi pajanan 52 hari/tahun. Batas maksimum frekuensi konsumsi kerang hijau menurut BPS adalah perminggu atau 52 hari/tahun. Berdasarkan data tersebut maka frekuensi konsumsi kerang hijau masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara masih berada pada standar nilai batas maksimum yang ditetapkan oleh BPS. Nilai fE didapat dari banyaknya hari responden mengkonsumsi kerang hijau dalam satu tahun, karena frekuensi konsumsi kerang hijau responden bervariasi dan tidak dibatasi sehingga fE yang paling singkat adalah 2 hari/tahun dan paling lama adalah 365 hari/tahun. Semakin tinggi fE responden maka semakin tinggi pula responden terpapar logam Cd. Pengukuran frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau pada responden menggunakan frekuensi asupan dan jumlah asupan melalui kuesioner dan wawancara. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini rata-rata frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau yang sudah tercemar Cd adalah 52 hari/tahun. Hal tersebut berarti frekuensi konsumsi masyarakat pada lokasi penelitian ini masih dalam batas standar yang disarankan oleh BPS. c. Durasi Pajanan Durasi pajanan merupakan lamanya waktu responden mengkonsumsi kerang yang mengandung Cd dalam satuan tahun (Kemenkes, 2012). Pada penelitian ini durasi pajanan yang digunakan adalah durasi pajanan sebenarnya (realtime). Hasil durasi pajanan diperoleh rata-rata masyarakat Kaliadem Muara Angke telah terpajan Cd melalui kerang hijau selama 17 tahun. Responden yang
94
paling lama bermukim adalah 57 tahun sedangkan yang paling singkat adalah setengah tahun, sebagai akibat prilaku masyarakat yang tidak berpindah-pindah. Jika pindah mereka akan tinggal di lokasi yang serupa (pulau/pantai) seperti Muara Kamal, Marunda atau Cilincing. Nilai rata-rata bermukim masyarakat Kampung Nelayan Muara Angke masih dibawah nilai default yang ditetapkan United State Environmental Protection Agency (US-EPA) (1991) untuk risiko nonkanker yaitu 30 tahun. Berdasarkan teori IPCS (2010) menyatakan bahwa durasi pajanan sebenarnya (realtime) dan proyeksi 30 tahun untuk pajanan sepanjang hayat (lifetime). Diperkuat dengan pendapat Kementrian Kesehatan (2012) bahwa durasi pajanan merupakan lamanya atau jumlah tahun terjadinya pajanan, dan untuk pajanan seumur hidup digunakan duration time (Dt) sebesar 30 tahun untuk risiko nonkanker dan 70 tahun untuk risiko kanker. Pada penelitian ini tidak dilakukan perhitungan lifetime artinya hanya dilakukan perhitungan dengan menggunakan realtime, dikarenakan perhitungan dengan menggunakan realtime pun sudah didapatkan RQ >1. Meskipun rata-rata durasi pajanan konsumsi kerang hijau masih dibawah standar US-EPA dan Kementrian Kesehatan yaitu <30 tahun, tapi rata-rata nilai RQ telah melebihi 1 sehingga tetap berisiko terhadap efek kesehatan akibat keracunan Cd. Lamanya durasi pajanan berpengaruh terhadap besarnya tingkat risiko, selain dipengaruhi oleh lamanya durasi pajanan nilai tingkat risiko juga dipengaruhi oleh konsentrasi Cd dalam kerang, laju asupan, frekuensi pajanan, dan berat badan
95
responden. Hal ini berarti bahwa meskipun nilai durasi pajanan masih dibawah standar US-EPA tidak menutup kemungkinan untuk didapatkan nilai RQ >1 pada individu. Secara teori pajanan logam Cd yang terus menerus dapat menimbulkan gangguan bahkan kerusakan pada sistem kerja ginjal. Gangguan pada ginjal tersebut dapat dideteksi dengan mengukur kandungan protein yang terdapat pada urin (proteinuria) (Ratnaningsih, 2014). Proteinuria hanya dapat ditemukan pada orang-orang yang telah mengalami pajanan Cd dalam rentang waktu 20-30 tahun (Purnomo and Purwana, 2008). Semua komponen Cd baik dalam bentuk Cd ataupun berikatan dengan zat lain (CdZn) yang masuk ke dalam tubuh manusia secara terus menerus akan menyebabkan kerusakan permanen pada ginjal dan hati (ATSDR, 1999). Studi epidemiologi menemukan bahwa keracunan logam berat sebagian besar disebabkan oleh konsumsi hasil laut yang diperoleh dari daerah tercemar (BPOM RI, 2005). Secara teori pajanan Cd dengan konsentrasi yang rendah dalam jangka waktu lama akan menimbulkan kasus keracunan kronis, sedangkan untuk pajanan dalam waktu yang singkat mampu memberikan efek akut keracunan Cd (ATSDR, 1999). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Muh. Aripai et al. (2012) bahwa masa kerja sebagai nelayan penangkap dan pengonsumsi kerang menentukan tingkat keterpajanan logam Cd dalam tubuh sehingga dapat menurunkan terjadinya gangguan kesehatan akibat keracunan Cd. Hal tersebut dikarenakan menurut Moh. Aripai et al. (2012) bahwa nelayan lebih
96
sering mengkonsumsi makanan di luar, sehingga mengurangi frekuensi asupan konsumsi kerang hijau. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa durasi pajanan konsumsi kerang hijau yang telah tercemar logam Cd, meskipun dalam konsentrasi yang rendah akan tetapi dalam jangka yang lama akan menimbulkan efek kesehatan. Pada penelitian ini rata-rata nilai durasi pajanan masyarakat Kaliadem Muara Angke adalah 17 tahun. d. Berat Badan Berat badan manusia mencerminkan status gizi seseorang. Gizi yang buruk akan berpengaruh terhadap menurunnya daya tahan tubuh seseorang dan terjadinya gangguan kesehatan. Berat badan yang dimaksud adalah berat badan responden yang diukur dengan menggunakan timbangan badan analog pada saat dilakukan wawancara (dalam satuan kilogram). Hasil penelitian menunjukan bahwa 230 responden yang terpajan Cd melalui kerang hijau, diperoleh nilai rata-rata berat badan responden sebesar 57,22 kg dengan berat badan paling rendah adalah 24,30 kg dan paling tinggi yaitu 98,75 kg. Data variabel berat badan menunjukan distribusi normal (p value >0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai mean. Perbedaan rentang berat badan yang cukup jauh tersebut dikarenakan responden dalam penelitian ini tidak dibatasi berdasarkan berat badannya tetapi seluruh anggota keluarga yang berumur ≥10 tahun dalam satu keluarga dijadikan sebagai responden.
97
Secara teori, nilai intake dipengaruhi oleh nilai konsentrasi risk agent, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan dan berat badan seseorang (enHealth, 1992). Hal ini sesuai dengan penelitian Diana (2014) mengenai Paparan Benzene Pada Pekerja di Pusat Pengumpul Produksi (PPP) PT Pertamina EP Asset 2 Prabumulih Field, dalam penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa semakin besar berat badan seseorang maka semakin kecil kemungkinan risikonya untuk mengalami gangguan kesehatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) mengenai Dampak Kadmium dalam Ikan terhadap Kesehatan Masyarakat, dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa responden dengan berat badan dibawah 50 kg lebih berisiko untuk terjadi gangguan kesehatan akibat pajanan Cd pada hasil laut dibandingkan dengan responden yang memiliki berat badan lebih dari 50 kg. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu yang mempengaruhi nilai intake dan tingkat risiko adalah berat badan, sehingga semakin besar berat badan akan meminimalisir risiko kesehatan akibat pajanan Cd. Oleh karena itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem Muara Angke untuk menambah nilai gizi tubuh dengan menambah asupan zat gizi sehingga akan meningkatkan berat badan dan meminimalisir risiko kesehatan akibat pajanan Cd dalam kerang hijau. e. Intake Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata intake konsentrasi Cd dalam kerang hijau yang masuk kedalam tubuh masyarakat Kaliadem Muara
98
Angke sebesar 0,097 mg/kg/hari dan berkisar antara 1,22421x10-7 mg/kg/hari hingga 1,53 mg/kg/hari. Data variabel intake dalam penelitian ini merupakan data yang tidak normal (p value <0,05) sehingga yang digunakan adalah nilai median (0,004 mg/kg/hari). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Daud et al. (2013) bahwa besarnya nilai intake berbanding lurus dengan nilai konsentrasi bahan kimia, laju asupan, frekuensi pajanan, dan durasi pajanan. Artinya semakin besar nilai-nilai tersebut maka akan semakin besar nilai asupan seseorang, meskipun nilai asupan berbanding terbalik dengan nilai berat badan dan periode waktu rata-rata. Semakin besar berat badan seseorang maka semakin kecil risiko kesehatan. Hal tersebut sesuai dengan teori enHealth (1992) bahwa perhitungan nilai intake dipengaruhi oleh frekuensi pajanan, durasi pajanan, laju asupan, dan konsentrasi. Berbeda dengan penelitian Sianipar (2009) yang menyatakan bahwa nilai intake dipengaruhlaju asupan, durasi pajanan, frekuensi pajanan, dan konsentrasi sedangkan berat badan tidak berpengaruh dalam menentukan nilai intake. Perbedaan ini dikarenakan pada penelitian Sianipar (2009) data berat badan merupakan data yang homogen, sehingga tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan nilai intake. Secara teori nilai keracunan Cd akibat konsumsi makanan yang tercemar logam Cd efeknya lebih kecil dibandingkan dengan pajanan Cd pada udara. Namun karena sifat Cd yang mampu terakumulasi dalam tubuh, sehingga konsentrasi yang kecil akan disimpan dalam tubuh dan menimbulkan efek kronis dari keracunan Cd tersebut. Tinggi dan
99
rendahnya nilai intake dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat dan besarnya nilai konsentrasi logam berat pada suatu bahan makanan. Berdasarkan hasil penelitian ini nilai intake konsumsi masyarakat Kaliadem masih dibawah reference dose (RfD) logam Cd dengan oral intake maksimum sebesar 0,001 mg/kg/hari yang ditetapkan oleh Environmental Protection Agency (EPA). Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa besarnya nilai intake dipengaruhi oleh oleh frekuensi pajanan, berat badan, durasi pajanan, konsentrasi dan laju asupan. Pada penelitian ini rata-rata nilai intake responden masih telah melebihi referece dose yang ditetapkan oleh EPA yaitu 0,097 mg/kg/hari. Oleh sebab itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem untuk saat ini mulai mengurangi jumlah asupan konsumsi hasil laut khususnya kerang hijau. Hal tersbut dilakukan untuk mencegah terjadinya efek kesehatan akibat keracunan logam berat yang telah terakumulasi dalam hasil laut. 2. Karakteristik risiko (Risk Characterization) – Tingkat Risiko (RQ) Hasi perhitungan ARKL menunjukkan bahwa, dari 230 responden yang terpajan Cd melalui kerang hijau diperoleh rata-rata nilai RQ sebesar 103,89 dengan nilai RQ minimum sebesar 0.00006 dan nilai maksimum sebesar 1672,42. Kelompok yang paling banyak berrisko terhadap efek kesehatan (RQ>1) adalah kelompok 1 sebanyak 57 (74%) responden, sedangkan yang memiliki nilai RQ≤1 paling banyak adalah kelompok 2 sebanyak 30 (55,6%) responden. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa tingkat risiko populasi sudah sangat melampaui batas aman, karena nilai RQ sudah lebih besar dari 1 (RQ>1) dan probabilitas
100
risiko itu terjadi untuk responden yang mengkonsumsi kerang hijau yang bersumber dari budidaya kerang hijau di perairan Teluk Jakarta dan tinggal di daerah pesisir Teluk Jakarta. Tingkat risiko yang dimaksud dalam penelitian ini lebih bersifat probabilitas artinya bahwa nilai RQ >1 tidak pasti akan mengalami gangguan kesehatan, tetapi nilai tersebut lebih menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki nilai tingkat risiko lebih besar dari 1 akan memiliki probablitias lebih besar terhadap terjadinya suatu efek kesehatan dibandingkan dengan yang memiliki nilai RQ ≤1. Pajanan logam Cd pada konsentrasi rendah dalam jangka waktu yang lama dapat berisiko menyebabkan keracunan kronis. Ginjal adalah organ target utama pajanan logam Cd (SNI, 2009). Menurut WHO (1992) pada kondisi tertentu (waktu pajanan yang pendek) menyebabkan timbulnya gejala seperti mual, diare, meningkatnya tekanan darah, sesak nafas, batuk, nyeri sendi, sakit kepala, letih, lemas, dan lesu. Namun menurut Hansen et al. (2009) logam Cd yang terakumulasi di dalam ginjal sepanjang waktu, mencapai konsentrasi yang toksik, dan sudah terpajan selama bertahun-tahun dapat menyebabkan kelainan pada sistem ginjal. Sebesar 50% dari metabolisme logam Cd akan disimpan dan terakumulasi dalam hati dan ginjal melalui distribusi darah yang mengandung Cd dari proses absobsi pada dinding usus manusia. Logam Cd akan terekskresi melalui fases dan urine dengan konsentrasi rendah ditambah waktu paruh (biological half life) sampai 10 – 30 tahun. Akumulasi Cd akan berpengaruh pada faktor umur, dimana
101
akumulasi akan terjadi dan telihat efeknya ketika dewasa nanti (Darmono, 1995). Menurut Palar (2004) keracunan kronis yang disebabkan oleh logam Cd umumnya berupa kerusakan-kerusakan pada beberapa sistem fisiologis tubuh. Sistem-sistem tubuh yang dapat dirusak oleh keracunan kronis logam Cd adalah pada sistem urinaria (ginjal), sistem respirasi (pernafasan/paru-paru), dan sistem sirkulasi (darah dan jantung). Disamping semua itu, keracunan kronis tersebut juga merusak kelenjar reproduksi, sistem penciuman dan bahkan dapat mengakibatkan kerapuhan pada tulang seperti penyakit “Itai- itai” di Jepang. Pada kasus “Itai – itai” di Jepang pada tahun 1960 terjadi pencemaran tanah, air dan makanan yang diakibatkan aktifitas proses pertambangan pada hulu Sungai Jinzu, Honsyu Jepang. Penyakit “Itai – itai” disebabkan konsumsi beras penduduk yang tinggal di Honsyu yang mengandung konsentrasi logam Cd lebih dari 0,4 mg/kg (SNI, 2009). Penyakit ini kebanyakan menyerang petani Jepang berumur 40-50 tahun yang hidup dan tinggal disana lebih dari 30 tahun. Pada kasus tersebut sebanyak 200 pasien yang menderita keracunan Cd, separuhnya telah mininggal pada akhir tahun 1965 (Darmono, 1995). Menurut Darmono (1995) diperikirakan diet Cd dari makanan sekitar 50 mg tiap hari, jika diet Cd sebesar 250 hingga 350 mg per hari maka akan menyebabkan keracunan. Diperkuat pernyataan dari FAO dan WHO bahwa ambang batas toleransi Cd sekitar 70 mg Cd tiap hari (WHO, 1992). Diperkuat dengan penelitian Louekari et al. (2000) yang merekomendasikan bahwa asupan harian yang aman Cd oleh orang dewasa sebesar 40-80 mg. Mengacu pada
102
peraturan SNI 2009, ditetapkan bahwa nilai LD50 untuk logam Cd adalah 225 mg/kg dan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) sebesar 0,007 mg/kg berat badan. Menurut IRIS (2013) besaran NOAEL untuk logam Cd melalui intake oral adalah 0,01 mg/kg/hari. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa besarnya risiko kesehatan pada masyarakat diakibatkan oleh pajanan logam Cd. Menurut hasil pengamatan dan wawancara secara langsung terhadap masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara selama penelitian, bahwa rata-rata hampir seluruh masyarakat Kaliadem Muara Angke memiliki pengetahuan yang kurang terhadap efek kronik dari cemaran logam berat yang telah terjadi di wilayah Teluk Jakarta. Hal ini dikarenakan kurangnya pemberian informasi kepada masyarakat utamanya masyarakat pesisir, mengenai pencemaran dan gangguan kesehatan yang terjadi akibat zat pencemar tersebut. Oleh karena itu, disarankan kepada Dinas Kesehatan Jakarta Utara untuk mengembangkan dan melakukan progam surveilans dan pemetaan terhadap kelompok masyarakat yang berisiko terhadap efek kesehatan akibat pajanan Cd. Selain itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem Muara Angke yang telah memiliki risiko (RQ>1) gangguan kesehatan akibat pajanan Cd akibat konsumsi kerang hijau untuk mengkonsumsi food suplement seperti Alfalfa sebanyak 2000-3000 mg/hari, Ca sebanyak 2000 mg/hari dan Mg sebanyak 1000 mg/hari, vitamin E sebanyak 600-1000 IU/hari, Zn sebanyak 50-60 mg/hari, Cu sebanyak 3 mg/hari (Darmono, 1999).
103
E. Hubungan Konsentrasi Kadmium, Laju Asupan, Frekuensi Pajanan, Durasi Pajanan, Berat Badan, dan Intake dengan Tingkat Risiko Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara Tahun 2015 1. Hubungan Konsentrasi Kadmium dalam Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko Hasil penelitian pada tabel 5.6 sebesar 77,9% responden memiliki nilai RQ >1 pada konsentrasi >0,083 mg/L, sedangkan sebanyak 93,6% responden memiliki nilai RQ ≤1 dengan kosentrasi Cd dalam kerang hijau sebesar ≤0,083 mg/L. Jika tingkat risiko (RQ) responden secara keseluruhan dianalisis berdasarkan pajanan kerang hijau, dari 230 responden yang mengkonsumsi kerang sebanyak 140 responden yang memiliki RQ >1 dan hanya 40 responden yang memiliki RQ ≤1. Konsentrasi Cd pada kerang hijau tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai tingkat risiko (p value >0,05). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningtyas (2002) yang menyatakan bahwa asupan pajanan Cd pada masyarakt di pesisir Teluk Jakarta sangat rendah dengan konsentrasi Cd jauh melampaui nilai ambang batas yang direkomendasikan, karena nilai laju asupan, durasi pajanan, dan frekuensi pajanan yang relatif kecil maka nilai intakepun juga kecil sehingga belum menimbulkan risiko kesehatan, sehingga konsentrasi Cd tidak memiliki hubungan dengan nilai tingakat risiko. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Siantar (2009) yang menyatakan bahwa responden yang terpajan H2S melebihi kadar maksimal mempunyai peluang 11,67 kali memiliki risiko akan mengalami gangguan kesehatan akibat menghirup H2S yang terkandung dalam udara
104
dibandingkan dengan responden yang tidak terpajan H2S melebihi nilai kadar maksimal. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Ashar (2007) juga menyatakan bahwa responden yang terpajan logam mangan melebihi nilai maksimum 31,036 kali memiliki risiko mengalami gangguan kesehatan akibat pajanan logam mangan dalam air dibandingan dengan reponden yang tidak terpajan mangan melebihi nilai maksimum. Secara teori nilai konsentrasi digunakan untuk menghitung intake yang nantinya akan digunakan juga untuk menentukan nilai tingkat risiko (RQ)(IPCS, 2010). Perbedaan tersebut terjadi karena rentang nilai konsentrasi Cd dalam kerang hijau tidak berbeda jauh antara spesimen kerang dan lingkup wilayah yang digunakan dalam penelitian ini juga relatif kecil, sehingga di dapatkan nilai p value >0,05 yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan. Sesuai dengan penelitian Purnomo dan Purwana (2008) yang mengatakan bahwa konsentrasi Cd dalam ikan di Teluk Lampung tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan tingkat risiko responden (p value =0,052). Meskipun nilai konsentrasi Cd masih dibawah batas cemaran maksimum menurut BPOM RI dan SNI dan tidak memiliki hubungan yang bermakna dalam penelitian ini, namun sebesar 77,9% reponden yang terpajan Cd >0,083 mg/L memiliki nilai RQ >1, dan sebanyak 22,1% responden yang terpajan Cd ≤0,083 mg/L memiliki nilai RQ >1. Hal tersebut membuktikan bahwa penetapan standar 1.0 mg/kg Cd sebagai batas cemaran maksimum
105
dalam Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan, tidak mampu melindungi populasi di tempat penelitian ini dilakukan. Hal tersebut dikarenakan telah terjadi akumulasi logam berat pada periaran Teluk Jakarta yang diakibatkan oleh pencemaran laut akibat buangan limbah industri maupun rumah tangga, sehingga hasil laut yang berasal dari perairan tersebut ikut tercemar. Telah dijelaskan dalam al-Qur’an Surah At-Tin ayat 4-6 bahwa “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (fisik dan psikis), lalu Kami kembalikan dia ke tempat yang serendahrendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh” (At-Tin (95): 4-6). Tafsir Al-Mishbah menafsirkan ayat tersebut bahwa dosa dan pelanggaran yang dilakukan manusia mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di laut. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia. Dijelaskan juga dalam surah Al-A’raf ayat 96 bahwa alam raya, dengan segala bagiannya yang perinci saling berkaitan antara satu dan yang lain, sehingga apabila terjadi gangguan pada keharmonisan dan keseimbangan itu, pasti berdampak pada seluruh bagian alam termasuk manusia, baik yang merusak mapupun yang dirusak. Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara konsentrasi Cd dalam kerang dengan tingkat risiko responden (p value =0,567). Tidak adanya hubungan yang bermakna tersebut dikarenakan rentang nilai konsentrasi antara spesimen kerang tidak berbeda jauh dan lingkup wilayah yang digunakan untuk
106
pengambilan spesimen dalam penelitian ini relatif kecil. Oleh karena itu, disarankan kepada UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara untuk mempertimbangkan perubahan sistem budaya dengan memindahkan lokasi budidaya kerang hijau atau melakukan pelatihan mengenai mengurangi kandungan logam berat dalam kerang hijau saat sebelum dijual yaitu dengan melakukan perebusan menggunakan karbon aktif (Rachmawati et al., 2013). 2. Hubungan Laju Asupan Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 230 responden yang mengkonsumsi >4,77 gram/hari kerang hijau sebesar 77,9% responden memiliki nilai RQ >1, sedangkan dari 230 responden yang mengkonsumsi kerang hijau ≤4,77 gram/hari sebesar 93,3% responden memiliki nilai RQ ≤1. Hasil penelitian menunjukan bahwa laju asupan mempunyai hubungan yang bermakna (p value < 0,05) dengan nilai tingkat risiko. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) yang menyatakan bahwa laju asupan berhubungan secara bermakna (p value =0,000) dengan tingkat risiko, responden yang mengkonsumsi ikan >233,6 gram/hari berisiko 7,118 kali lebih besar untuk mengalami gangguan kesehatan keracunan Cd dibandingkan responden yang mengkonsumsi kurang dari 233,6 gram/hari. Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2009) yang menyatakan bahwa laju asupan memiliki hubungan yang kuat dengan nilai tingkat risiko (p value =0,000) dan nilai OR adalah 2,762.
107
Sejauh ini belum ada penelitian yang membuktikan tidak adanya hubungan antara laju asupan dengan tingkat risiko. Laju asupan harian Cd yang berasal dari kerang berkisar antara 0,03 g – 96,18 g, sedangkan laju asupan normal yang diperbolehkan dengan sumber pajanan makanan tidak boleh lebih dari 20 μg (FAO, 2006). Secara teori Cd memiliki afinitas yang kuat terhadap hati dan ginjal. Pada umumnya sekitar 50-75% konsumsi Cd yang melebihi 20 μg perhari akan disimpan dalam kedua organ tersebut (Gupta, 2009). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak kerang yang dikonsumsi (gram/hari) maka makin besar nilai laju asupan yang diperoleh sehingga risiko responden untuk terpajan Cd yang berada pada tubuh kerang semakin tinggi. Pada penelitian ini nilai laju asupan responden memiliki hubungan yang bermakna dengan besarnya tingkat risiko responden (p value =0,000). Oleh sebab itu, disarankan kepada masyarakat untuk mengurangi jumlah asupan konsumsi hasil laut khususnya kerang hijau, karena dengan melihat kondisi perairan Indonesia sudah banyak terjadi pencemaran. Hal ini sesuai dengan yang terdapat dalam al-Quran Surah Al-A’raf ayat 31 bahwa, “makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf (7): 31). Penjelasan Syihab (2009) mengenai ayat tersebut bahwa ayat tersebut merupakan salah satu prinsip yang diletakan agama menyangkut kesehatan yang telah diakui juga oleh para ilmuan terlepas apapun pandangan hidup atau agama mereka. Ayat tersebut menganjurkan bahwa perintah makan dan minum tidak berlebih-lebihan dalam
108
arti tidak melampaui batas, merupakan tuntutan yang harus disesuaikan dengan kondisi seseorang. Kadar tertentu yang dinilai cukup untuk seseorang, boleh jadi telah dinilai melampaui batas atau belum cukup untuk orang lain. Atas dasar tersebut, penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proposional dalam makan dan minum. 3. Hubungan Frekuensi Pajanan Konsumsi Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko Frekuensi pajanan konsumsi kerang hijau mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai RQ (p value <0,05). Sebanyak 230 responden yang mengkonsumsi kerang hijau >52 hari/tahun sebesar 77,9% responden memiliki nilai RQ >1, sedangkan yang frekuensi pajanannya ≤52 hari/tahun yang memiliki nilai RQ ≤1 adalah 93,6%. Hal tersebut berarti responden yang sering mengkonsumsi kerang hijau memiliki nilai RQ yang lebih besar dibandingkan dengan responden yang jarang mengkonsumsi kerang hijau. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Muh. Aripai et al. (2012) yang menyatakan bahwa frekuensi pajanan mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai tingkat risiko (RQ) (p value =0,000). Diperkuat dengan penelitian Daud et al. (2013) yang menyatakan semakin tinggi frekuensi pajanan responden maka semakin tinggi pula risiko responden untuk terpajan logam berat Cd. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa frekuensi pajanan akan mempengaruhi besarnya nilai RQ (IPCS, 2010),
109
sehingga masyarakat yang lebih sering mengkonsumsi kerang hijau maka akan meningkatkan nilai RQ. Namun berbeda dengan penelitian Ashar (2007) tentang Pajanan Mangan dalam Air Melalui Intake Oral dan penelitian Purnomo dan Purwana (2008) tentang Dampak Kandungan Kadmium pada Ikan yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara frekuensi pajanan dengan nilai tingkat risiko (p value = 0,178). Perbedaan tersebut terjadi karena penelitian Ashar (2007); Purnomo dan Purwana (2008) menggunakan nilai deflut konsumsi maksimum yang ditetapkan oleh US-EPA yaitu 365 hari/tahun atau setiap hari, yang berarti seluruh frekuensi pajanan responden disamakan dengan responden yang mengkonsumsi setiap hari. Meskipun dalam kenyataannya tidak semua responden mengkonsumsi setiap hari. Standar BPS menjelasakan bahwa konsumsi kerang hijau maksimum yang dianjurkan adalah satu minggu sekali atau 52 hari/tahun. Namun pada hasil penelitian ini responden yang mengkonsumsi kerang hijau dalam frekuensi ≤52 hari/tahun sebesar 22,1% memiliki nilai RQ >1. Jadi, walaupun responden telah mengkonsumsi sesuai dengan standar yang telah dianjurkan akan
tetapi
masih
berisiko
terhadap
gangguan
kesehatan
akibat
mengkonsumsi kerang hijau yang telah tercemar Cd. Hal ini dikarenakan besarnya tingkat risiko tidak hanya dipengaruhi oleh variabel frekuensi pajanan, namun juga dipengaruhi oleh variabel konsentrasi Cd, laju asupan, durasi pajanan, dan berat badan.
110
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini frekuensi pajanan memiliki hubungan yang bermakna terhadap nilai tingkat risiko (p value =0,000). Hal tersebut berarti bahwa apabila frekuensi mengkonsumsi kerang hijau sering maka akan lebih berisiko terhadap efek kesehatan akibat keracunan kadmium. Meskipun telah mengkonsumsi kerang hijau sesuai dengan standar yang telah diajurkan oleh BPS, akan tetapi standar tersebut masih belum bisa melindungi populasi yang ada dalam penelitian ini. Oleh karena itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara untuk mengurangi frekuensi asupan kerang kerang hijau agar dapat meminimalisir risiko kesehatan akibat pajanan Cd dalam kerang hijau. 4. Hubungan Durasi Pajanan Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko Pada hasil penelitian ini menunjukan bahwa sebanyak 230 responden yang sudah terpajan >15 tahun sebesar 60,7% responden memiliki nilai RQ >1, sedangkan responden yang terpajan ≤15 tahun sebesar 58,9% responden memiliki nilai RQ ≤1. Pada penelitian ini nilai durasi pajanan dengan tingkat risiko memiliki hubungan yang bermkana (p value <0,05). Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) yang menyatakan bahwa durasi pajanan mempunyai hubungan yang sangat bermakna dengan tingkat risiko (p value =0,000) dengan nilai OR adalah 7,89. Hal tersebut berarti responden yang terpajan >25 tahun berisiko 7,89 kali lebih besar untuk mengalami gangguan kesehatan daripada responden yang
111
terpajan ≤25 tahun. Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Sianipar (2009) yang menyatakan bahwa ada perbedaan proporsi besar gangguan kesehatan antara responden yang menghirup udara mengandung H2S selama 15 tahun dengan responden yang menghirup <15 tahun. Nilai OR adalah 4,00 yang berarti bahwa responden yang menghirup udara selama ≥15 tahun berisiko 4 kali lebih besar mengalami gangguan kesehatan akibat menghirup H2S yang terkandung dalam udara dibanding dengan responden yang menghirup udara <15 tahun. Secara teori pajanan yang terus-menerus dari suatu bahan kimia dapat mengakibatkan gangguan kesehatan meskipun dalam konsentrasi yang rendah (Gupta, 2009). Akumualsi Cd akan berpengaruh pada faktor umur dan waktu terpajan dimana akumulasi akan terjadi dan terlihat efeknya ketika dewasa nanti (Darmono, 1995). Target organ yang sering terganggu adalah ginjal. Akumulasi pada ginjal dan hati 10 hingga 100 kali konsentrasi pada jaringan yang lain (F.Nordberg, 1992). Penelitian Ratnaningsih (2014) dengan melakukan percobaan pengaruh Cd terhadap gangguan patologi pada tikus menunujukan bahwa berdasarkan uji klinis terlihat bahwa dengan makin tinggi konsentrasi Cd yang masuk ke dalam tubuh dan makin lama pemaparannya, maka terlihat bahwa kadar protein urin meningkat sebanding dengan makin tingginya akumulasi Cd dalam ginjal. Selain itu juga terlihat adanya perubahan pada tubulus dan glomerulus sebagai akibat dari makin banyaknya akumulasi kadmium dalam ginjal.
112
Namun berbeda dengan penelitian Ashar (2007) yang menyatakan bahwa durasi pajanan dengan nilai RQ tidak mempunyai hubungan yang bermakna (p value =0,227). Perbedaan tersebut dikarenakan responden dalam penelitian Ashar (2007) belum lama bermukim pada lokasi penelitian dan durasi pajanan hampir dari 50% sama yaitu 5 tahun, sehingga data homogen dan tidak menunjukan adanya hubungan yang bermakna. Berdasarkan pajanan diatas dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini nilai durasi pajanan mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai tingakt risiko (p value =0,004). Target organ pajanan Cd adalah ginjal, sehingga semakin lama individu terpajan logam Cd dalam kerang hijau akan meningkatkan risiko gangguan kesehatan pada ginjal. Oleh karena itu, disarankan kepada masyarakat Kaliadem untuk meminimalisir pajanan Cd dalam kerang hijau dengan cara mengurangi konsumsi kerang hijau. 5. Hubungan Berat Badan dengan Tingkat Risiko Hasil peneltian menunjukan bahwa sebanyak 230 responden yang memiliki berat badan >57,22 kg dan memiliki nilai RQ >1 yaitu 53,6% responden, sedangkan responden yang memiliki berat badan ≤57,22 kg dan memiliki nilai RQ ≤1 yaitu 53,3% responden. Pada penelitian ini berat badan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai tingkat risiko (p value >0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ashar (2007) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara berat badan dengan nilai RQ (p value =0,186). Diperkuat dengan penelitian
113
Sianipar (2009) yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil uji statistik dengan CI 95% dan nilai interval kepercayaan yang mencakup 1 (0,541 – 3,325), yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara berat badan responden dengan tingkat risiko gangguan kesehatan. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) yang menyatakan bahwa berat badan memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat risiko (p value =0,032). Hal tersebut berarti, semakin tinggi berat badan responden maka semakin kecil tingkat risiko yang akan dialami oleh responden. Menurut IPCS (2010) secara teori nilai berat badan akan mempengaruhi nilai tingkat risiko, sehingga semakin berat seseorang maka semakin kecil kemungkinan untuk mengalami risiko gangguan kesehatan akibat pajanan risk agent. Perbedaan penelitian ini, Ashar (2007), dan Sianipar (2009) dengan penelitian Purnomo dan Purwana (2008) dikarenakan pada penelitian ini, penelitian Ashar (2007), dan pada penelitian Sianipar (2009) berat badan responden satu dengan responden yang lain tidak jauh berbeda, lingkup wilayah penelitian kecil, dan responden yang digunakan adalah individu dewasa sehingga data yang didapatkan homogen. Oleh karena itu, hasil uij bivariat tidak menunjukan adanya hubungan yang bermakna. Secara teori orang dengan berat badan ideal akan mempunyai nutrisi yang cukup sehingga menghalangi kehadiran logam Cd ke dalam tubuh untuk
114
menggantikan nutrisi (zink, besi, tembaga, selenium, kalsium, piridoksin, asam askrobat dan protein). Hal tersebut dikarenakan kebanyakan toksisitas Cd terjadi akibat defisiensi unsur-unsur tersebut diatas yang menyebabkan peningkatan absrobsi Cd (ATSDR, 1999). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara teori berat badan mempengaruhi besarnya nilai RQ, sehingga semakin besar nilai berat badan seseorang maka akan semakin kecil mengalami gangguan kesehatan. Namun dalam hasil dalam penelitian ini nilai berat badan tidak berhubungan secara bermakna dengan dengan nilai RQ (p value =0,307). Perbedaan tersebut dikarenakan nilai berat badan antar responden relatif sama, lingkup wilayah penelitian kecil, dan responden yang dalam penelitian ini rata-rata adalah dewasa, sehingga data yang didapatkan saat penelitian homogen. Oleh karena itu untuk mengurangi risiko kesehatan akibat pajanan Cd masyarakat Kaliadem Muara Angke perlu menambah asupan zat gizi. 6. Hubungan Intake Konsumsi Kerang Hijau dengan Tingkat Risiko Hasil penelitian menunjukan bahwa sebesar 230 responden yang memiliki nilai intake >0,0004 mg/kg/hari dan memiliki nilai RQ >1 yaitu sebanyak 70,7% responden, sedangkan responden yang memiliki nilai RQ ≤1 dan intake ≤0,004 mg/kg/hari yaitu 100% responden (seluruh responden). Pada penelitian ini intake memiliki hubungan yang bermakna dengan nilai tingkati risiko (p value <0,05).
115
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnomo dan Purwana (2008) yang menyatakan bahwa nilai intake mempunyai hubungan yang sangat bermakna dengan nilai RQ (p value =0,000). Sama halnya dengan penelitian Masengi et al. (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir dengan pola konsumsi makanan laut (p value <0,05). Hal tersebut berarti pola konsumsi makanan laut berpengaruh terhadap angka kejadian hipertensi pada masyarakat pesisir. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengatakan tidak adanya hubungan antara intake dengan nilai RQ. Secara teori, besarnya nilai intake dipengaruhi oleh konsentrasi, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan berat badan (IPCS, 2010). Nilai intake didapatkan dari perhitungan dengan menggunakan formulasi rumus antara konsentrasi, laju asupan, frekuensi pajanan, durasi pajanan, dan berat badan yang nantinya akan digunakan untuk menghitung nilai RQ (IPCS, 2010). FAO; WHO dan The Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dalam pertemuan ke 16 nya menetapkan PTWI Cd untuk untuk orang dewasa sebesar 400-500 μg. Standar tersebut sesuai dengan masukan Cd yang dapat ditolerir oleh tubuh sementara yaitu 0,81 (400÷7÷70) ke 1,01 μg/kg/day, yang telah disederhanakan menjadi 1 μg/kg/day (WHO, 1972). Hubungan toksisitas Cd pada ginjal dan hati telah diamati pada orangorang dengan intake Cd yang sesuai dengan PTWI (WHO, 2005). Pajanan 3050μg Cd per hari untuk orang dewasa atau 0,43-0,57 μg/kg/day atau 0,00043-
116
0,00057 mg/kg/hari telah dihubungkan dengan peningkatan risiko kelainan tulang, kanker, kelainan fungsi ginjal, dan hati (Stoeppler, 1992). Untuk itu, FAO; WHO menyarankan batas intake mingguan yang bersifat melindungi dan konsumen itu berada pada risiko intake Cd di bawah PTWI (WHO, 2005). Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa nilai intake dipengaruhi oleh nilai konsentrasi risk agent, frekuensi pajanan, laju asupan, durasi pajanan, dan berat badan responden. Pada penelitian ini nilai intake mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai RQ (p value =0,000). Hal tersebut berarti semakin tinggi nilai intake maka akan berpengaruh terhadap meningkatnya risiko terjadinya gangguan kesehatan. Oleh karena itu, disarankan kepada Dinkes Jakarta Utara untuk melaksanakan progam penyuluhan kepada masyarakar mengenai bahaya logam berat yang telah mencemari hasil laut dan kepada UPT dan PKPP PPI Muara Angke untuk melakukan pengawasan mutu hasil laut yang dijual di PPI Muara Angke secara periodik.
117
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Berdasakan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kerang hijau yang dibudidayakan di perairan Teluk Jakarta dengan menghitung tingkat risiko kandungan logam berat kadmium (Cd) dalam kerang hijau tersebut yang dikonsumsi masyarakat Kalidem Muara Angke Jakarta Utara, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Karakteristik responden masyarakat Kalidem Muara Angke Jakarta Utara sebesar 50,4% responden berusia ≤34 tahun, sebesar 75,7% responden memiliki jenis kelamin perempuan, sebesar 88,3% responden memiliki status sudah menikah, sebesar 51,3% responden lebih
menyukai
memasak
kerang
hijau
tanpa
menggunakan
cangkangnya (sudah dikupas), dan sebesar 35,7% responden bekerja sebagai ibu rumah tangga. 2. Hasil pemeriksaan konsentrasi Cd pada kerang hijau rata-rata adalah 0,083 mg/L atau 0,83 mg/kg. Konsentrasi tersebut masih tergolong rendah dan aman menurut nilai standar dari SNI tahun 2009 dan Peraturan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.06.1.52.4011 tahun 2009 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan (nilai maksimum 1,0 mg/kg).
118
3. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata besar nilai intake Cd pada masyarakat
Kaliadem
Muara
Angke
Jakarta
Utara
ketika
mengkonsumsi kerang hijau hasil budidaya berdasarkan realtime per individu adalah 0,097 mg/kg/hari. 4. Tingkat risiko (RQ) kandungan Cd dalam kerang hijau yang dikonsumsi masyarakat kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dalam waktu realtime sebanyak 140 (60,9%) responden telah memiliki nilai RQ>1. Hal tersebut berarti hampir seluruh responden dalam penelitian ini memiliki probabilatas yang lebih besar bagi terjadinya gangguan pada sistem ginjal, hati, reproduksi, pernafasan dan peredaran darah. 5. Berdasarkan hasil analisis bivariat, maka: a. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko responden (RQ) dengan konsentrasi Cd dalam kerang hijau. b. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan nilai laju asupan. c. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan nilai frekuensi pajanan. d. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan nilai durasi pajanan. e. Ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan nilai intake memiliki. f. Namun tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat risiko dengan berat badan responden.
119
B. SARAN 1. Bagi Dinas Kesehatan Jakarta Utara Disarankan kepada Dinas Kesehatan Jakarta Utara untuk: a. Melaksanakan program penyuluhan kesehatan masyarakat tentang bahaya logam berat yang telah mencemari hasil laut dengan menggunakan data yang diperoleh dari hasil penelitian ini untuk menginformasikan pada masyarakat yang tinggal di Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara dan sekitranya mengenai konsentrasi Cd dalam kerang hijau yang telah dibudidayakan di Teluk
Jakarta,
sehingga
dapat
dilakukan
tindakan
pencegahannya. b. Perlu dikembangkan dan dilakukan surveilans dan pemetaan terhadap kelompok masyarakat yang berisiko mendapat gangguan kesehatan akibat pajanan Cd. 2. Bagi Badan Lingkungan Hidup (BLH) DKI Jakarta Disarankan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan untuk: a.
Lebih intensif dalam melakukan pemantauan secara berkala kualitas air laut terhadap parameter logam-logam berat dan lebih meningkatkan pengawasan ketat dan pemantauan terhadap limbah dari pabrik-pabrik yang dapat mencemari air laut di Teluk Jakarta.
120
b.
Bekerjasama dengan Dinas Perikanan dan Kelautan untuk melakukan remediasi air laut Teluk Jakarta yang sudah tercemar logam berat dengan menggunakan beberapa metode seperti menggunakan padatan tersuspensi (Suspended SolidSS),
bioremediasi
dengan
bioremediasi
menggunakan
menggunakan
teknik
menggunakan
Chlorella
Sp,
flavus,
dan
Aspergillus
fitoremediasi
fitoplankton
melalui
penggunaan Nannochloris dan Chaetoceros Calcitran. 3. Bagi UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara Disarankan kepada UPT PKPP dan PPI Muara Angke Jakarta Utara untuk: a.
Perlu mempertimbangkan perubahan sistem budidaya kerang hijau. Alternatif yang dapat digunakan untuk melanjutakan kegiatan budidaya tersebut adalah dengan memindahkan lokasi budidaya kerang hijau atau melakukan perebusan kerang hijau dengan menggunakan karbon aktif sebelum dijual.
b.
Melakukan pengawasan mutu hasil laut yang dijual di Pasar Ikan Muara Angke Jakarta Utara secara periodik.
4. Bagi Masyarakat Disarankan bagi masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Utara: a. Untuk saat ini mulai mengurangi jumlah asupan konsumsi hasil laut khususnya kerang hijau, karena dengan melihat kondisi
121
perairan Indonesia saat ini dikhawatirkan adanya jenis logam tertentu yang bersifat bioakumulasi dalam jaringan organ tertentu pada hasil laut yang kemudian dikonsumsi sehingga dapat menimbulkan efek kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. b. Sosialisasi mengenai cara memasak kerang hijau yaitu sebaiknya tidak menggunakan cangkang. Namun apabila masih tetap ingin memasak menggunakan cangkang dapat dilakukan dengan
dengan
melakukan
perebusan
kerang
hijau
menggunakan campuran larutan garam, cuka dan larutan jeruk (jenis jeruk nipis atau jeruk lemon) selama minimal 45 menit untuk menggurangi kadar logam Cd yang terdapat dalam kerang hijau. c. Bagi masyarakat yang telah terpapar Cd dapat mengkonsumsi food supplement: 1) Alfalfa yang mengandung klorofil dan vitamin K sebanyak 2000-3000 mg/hari. Suplemen ini dapat membantu mengurangi kadmium dalam tubuh. 2) Kalsium (Ca) sebanyak 2000 mg/hari dan Magnesium (Mg) 1000 gr/hari. Mineral tersebut dapat membantu mengeliminasi kadmium dalam tubuh. 3) Vitamin E sebanyak 600-1000 IU/hari yang berfungsi sebagai antioksidan.
122
4) Mengkonsumsi seng (Zn) sebanyak 50-60 mg/hari berfungsi menggantikan posisi kadmium. 5) Konsumsi kuprum (Cu) sebanyak 3 mg/hari berfungsi membantu Seng (Zn) mengurangi deposit kadmium. 5. Bagi Peneliti Selanjutnya Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk: a. Perlu dilakukan penghitungan secara rinci dan sepesifik terkait pola konsumsi kerang hijau dengan metode yang sesuai dan akurat untuk mengetahui jumlah konsumsi masyarakat Kaliadem Muara Angke untuk sensitifitas penghitungan intake risiko Cd. b. Pengambilan spesimen kerang hijau tidak hanya dilakukan sewaktu. c. Perlu untuk menganalisis biomarker terhadap spesimen urin atau darah pada kelompok individu yang telah terpajan lebih dari 30 tahun untuk mengetahui konsentrasi logam Cd yang telah terakumulasi dalam tubuh.
123
DAFTAR PUSTAKA Alfian, Z. 2005. Analisis Kadar Logam Kadmium (Cd2+) Dari Kerang Yang Diperoleh Dari Daerah Belawan Secara Spektrofotometer Serapan Atom. Jurnal Sains Kimia, 9, 73-76. Anggraeny, Y. A. 2010. Analisis Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Dan Hg Pada Kerang Darah (Anadara Granosa) Di Perairan Bojonegara, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang. 2010, Institut Pertanian Bogor. Ashar, T. 2007. Analisis Risiko Pajanan Mangan Dalam Air Melalui Intake Oral Terhadap Kesehatan Masyarakat Di Sekitar TPA Rawakucing Kecamatan Neglasari Kota Tangerang Provinsi Banten Tahun 2007. 2007, Universitas Sumatra Utara. ATSDR 1999. Toxicological Profile For Cadmium. United Stated America: U.S. Department Of Health And Human Services Public Health Service Agency For Toxic Substances And Disease Registry. Augustine, D. 2008. Akumulasi Hidrokarbon Aromatik Polisiklik (PAH) Dalamkerang Hijau (Perna Viridis L.) Di Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta. 2008, Institut Pertanian Bogor. Awalina-Satya, Chrismadha, T. & Sulawesty, F. 2011. Kajian Biomagnifikasi Logam Berat Di Lingkungan Akuatik. Limnotek, 18, 72-82. Azhar, H., Widowati, I. & Suprijanto, J. 2012. Studi Kandungan Logam Berat Pb, Cu, Cd, Cr Pada Kerang Simping (Amusium Pleuronectes), Air Dan Sedimen Di Perairan Wedung, Demak Serta Analisis Maximum Tolerable Intake Pada Manusia. Journal Of Marine Research, 1, 35-44. BLH DKI Jakarta 2013. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Jakarta, Indonesia. BPOM 2009. Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan. Jakarta BPOM RI 2005. Keamanan Pangan. Jakarta: BPOM RI. BPS 2014. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia. Berdasarkan Hasil Susenas September. Jakarta. C.H.Walker, Hopkin, S. P., Sibly, R. M. & Peakall, D. B. (Eds.) 2001. Principles Of Ecotoxicology, London: Taylor & Francis.
124
Cai, S., Yue, L., Shang, Q. & Nordberg, G. 1995. Cadmium exposure among residents in an area contaminated by irrigation water in China. Bulletin of the World Health Organization. World Health Organization. Connel, D. W. & Miller, G. J. 1995. Kimia Dan Ekotoksikologi Pencemaran. In: Koestoer, P. Y. (Ed.). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Cordova, M. R., Zamanil, N. P. & Yulianda, F. 2011. Akumulasi Logam Berat Pada Kerang Hijau (Perna Viridis) Di Perairan Teluk Jakarta. Journal Molusca Indonesia, 2, 1-8. CRC 2002. Handbook Of Ecotoxicology. In: David J. Hoffman, D. (ed.) Second ed. London: Lewish Publisher Darmono 1995. Logam dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup, Jakarta, UI Perss. Darmono 1999. Interaksi Logam Toksik Dengan Logam Esensial Dalam Sistem Biologik Dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. Jurnal Biologi, 9. Daud, A., Dullah, A. A. M. & Malongi, A. 2013. Risk Management of Cadmium (Cd) due to Liognathus sp, Portunus Pelagicus, Anadara sp, and Penaeus sp compsumton among community in Tallo Subdistric Makassar, Indonesia International Journal of Scientific and Research Publications, 3, 1-8. Diana, U. 2014. Analisis Risiko Kesehatan Paparan Benzene Pada Pekerja Di Pusat Pengumpul Produksi (Ppp) Pt Pertamina Ep Asset 2 Prabumulih Field Tahun 2014. 2014, Universitas Sriwijaya. DPPK 2006. Kajian Eksistensi Budidaya Kerang Hijau Di Teluk Jakarta. In: Perikanan, P. D. K. P. D. J. (ed.). Jakarta: CV. Srikandi Utama Konsultan. enHelath 1992. Environmental Helath Risk Assassement In: Health, E. (ed.). Geneva: WHO. EPA 2007. Method 3051a; Microwave Assisted Acid Digestion Of Sediments, Sludges, Soils, And Oils. In: Reaserch (Ed.). USA: EPA. F.Nordberg, G. 1992. Cadmium in the human environment: toxicity and carsinogenicity. USA: IARC Scientific Publications FAO 2006. Safety Evaluation Of Certain Contaminants In Food In: 55 (ed.) WHO Food Additives Geneva: JECFA.
125
Faradiaz 1992. Skema Pajanan Logam Berat di Biosfer. Ferial, E. W., As'ad, S. & Soekendarsi, E. 2011. Kajian Klinik Pemberian Gizi Kerang Darah Anadara Granosa L. Terhadap Kualitas Spermatozoid Manusia. Jurnal MKMI, 7, 120-126. Fernanda, L. 2012. studi kandungan logam berat timbal (Pb). nikel (ni), kromium (cr) dan kadmium (cd) pada kerang hijau dan sifat fraksionasinya pada sedimen laut. 2012, Universitas Indonesia. Gupta, R. C. (ed.) 2009. Handbook of Toxicology of Chemical Warfare Agents, Oxford, UK: Elsevier Inc. Hansen, D. K. & Abbott, B. D. (eds.) 2009. Target Organ Toxicology Series, USA: Informa Healthcare USA, Inc. Hartono 2013. Toksikologi Industri. Surabaya, Indonesia: ITS. Harvey, P. W., Everett, D. J. & Springall, C. J. (Eds.) 2009. Adrenal Toxicology, New York-London: Informa Healthcare USA, Inc. Hutagalung, H. P. 1984. Logam Berat Dalam Lingkungan Laut. Oseana, IX, 11-20. Hutagalung, H. P. & Rohchyatun, E. 2000. Foraminifera Sebagai Bioindikator Pencemaran Hasil Studi Di Perairan Esturin Sungai Dadap Tangerang In: Praseno, D. P., Rositasari, R. & Riyono, S. H. (Eds.) Kandungan Logam Berat (Pb. Cd, Cu, Cr, Zn, Ni) Dalam Sedimen Di Muara Dadap Teluk Jakarta Jakarta: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanografi. IPCS 1992. Environmental Health Criteria 134. Cadmium. In: L, F. (ed.). Geneva: WHO. IPCS 2010. WHO Human Health Risk Assessment Toolkit: Chemical Hazards. In: WHO (ed.). Ottawa, Canada: IOMC (Inter-Organization Programme For The Sound Management Of Chemicals). Jaluis, Setiyanto, D. D., Sumantadinata, K., Riani, E. & Ernawati, Y. 2008. Akumulasi Logam Berat Dan Pengaruhnya Terhadap Spermatogenesis Kerang Hijau (Perna viridis). Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 15, 77-83. Jerrold B. Leikin, M. & Frank P. Paloucek, P. 2008. Poisoning and Toxicology Handbook. Fourth Edition ed. New York: Informa Healthcare USA, Inc.
126
Kabata-Pendias, A. & Mukhreje, A. B. 2001. Trace Elements in Soils and Plants. Boca Raton: CRC Press. Kartikawati, A. 2008. Prevalensi Dan Determinasi Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Di Jakarta Utara. 2008, Universitas Indonesia. Kemenkes RI 2012. Pedoman Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL). Jakarta, Indonesia Kementrian Kesehatan Kepmen LH 1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. In: Hidup, M. N. K. D. L. (ed.). Jakarta, Indonesia. KKP 2009. Laporan Konsumsi Hasil Laut Indonesia. In: Perikanan, K. K. D. (ed.). Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Koalisi Ahli Gizi Dan Obat-Obatan Indonesia 2010. Laporan Status Gizi Indonesia. Koalisi Ahli Gizi dan Obat-Obatan Indonesia Jakarta: Nutrion. Laura Robinson and Ian Thorn 2005. Toxicology And Ecotoxicology In Chemical Safety Assessement USA: Blackwell Publishing Ltd. Linnaeus 2001. Green Mussel, Perna Viridis. USGS, Science For A Changeing Word Florida: Department of the Interior For further information U.S. Geological Survey Florida Caribbean Science Center. Listianingsih, W. 2008. Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara). 2008, Institut Pertanian Bogor. Louekari, K., Mäkelä-Kurtto, R., Pasanen, J., Virtanen, V., Sippola, J. & Malm, J. 2000. Cadmium In Fertilizers - Risks To Human Health And The Environment. Finland: Ministry of Agriculture and Forestry in Finland. Mahmudiono, R. A. D. T. 2009. Kadar Logam Berat Cadmium, Protein Dan Organoleptik Pada Daging Bivalvia Dan Perendaman Larutan Asam Cuka. Jurnal Peneliti Mededical Eksakta, 8, 152-161. Makkasau, A., Sjahrul, M., Jalaluddin, M. N. & Raya, I. 2011. Teknik Fitoremediasi Fitoplankton Suatu Alternatif Pemulihan Lingkungan Laut yang Tercemar Ion Logam Cd2+ dan Cr6+. Biologi, 7, 155-168. Masengi, S., Palar, S. & Rotty, L. 2013. Pengaruh Konsumsi Makanan Laut Terhadap Kejadian Hipertensi pada Masyarakt Pesisir. Jurnal e-Biomedik (eBM), 1, 726-732.
127
Molnar, J. L., Gamboa, R. L., Revenga, C. & Spalding, M. D. 2008. Frontiersin Ecology and the Environment. The Ecological Society of America, 6, 485492. Muh.Aripai, Daud, A. & Ane, R. L. 2012. Analisis Risiko Paparan Kadmium (Cd) Pada Air Dan Kerang Putih (Anadonta Woodiana) Di Sungai Pangkajene. Kesehatan Lingkungan National Park Service 2014. Perna Viridis Asian Green Mussel, Green Mussel, Green Lipped Mussel, Philippine Green Mussel, Sea Mussel. Natural Resource Stewardship and Science, U.S. Department of the Interior. Ningtyas, P. 2002. Tingkat Akumulasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, dan Zn pada Kerang Hijau (Perna viridis L) di Perairan Muara Kamal Teluk Jakarta 2002 Institut Pertanian Bogor. Nordberg, G. F., Fowler, B. A. & Nordberg, M. 2005. Handbook On The Toxicology Of Metal. In: Sennerby, L. & Forsse (Eds.). Copenhagen: Academic Press, Inc. Nurjanah, Hartanti & Nitibaskara, R. R. 1999. Analisa Kandungan Logam Berat Hg, Cd, Pb, As Dan Cu Dalam Tubuh Kerang Konsumsi. THP, VI, 19. Otchere, F. A. 2003. Heavy Metals Concentrations And Burden In The Bivalves (Anadara (Senilia) Senilis, Crassostrea Tulipa And Perna Perna) From Lagoons In Ghana: Model To Describe Mechanism Of Accumulation/Excretion. African Journal Of Biotechnology, 2, 280-287. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat Jakarta: Rineka Cipta. Prasad, M. N. V. (ed.) 2001. Metals in the environment, New York: Marcel Dekker, Inc. Prasetyo, A. D. 2009. Penentuan Kandungan Logam (Hg. Cd. Pb) Dengan Penambahan Pengawet Dan Waktu Perendaman Yang Berbeda Pada Kerang Hijau Di Perairan Muara Kamal Teluk Jakarta 2009, Universitas Islam Negeri Syarifhidayatullah Jakarta. Purnomo, A. & Purwana, R. 2008. Dampak Cadmium dalam Ikan terhadap Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 3, 89-96. Puspitasari, R. 2007 Laju Polutan Dalam Ekosistem Laut. Oseana, XXXII, 21 -28. Qurthubi, S. I. A. 2008. Al-Jami'li Ahkaam Al Qur'an, Jakarta, Pustaka Azzam.
128
Rachman, A. 2007. Ananlisis Risiko Kesehatan Lingkungan. Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat dalam Studi Amdal dan Kasus‐Kasus Pencemaran Lingkungan. Jakarta, Indonesia BBTKL. Rachmawati, R., Ma’ruf, W. F. & Anggo, A. D. 2013. Pengaruh Lama Perebusan Kerang Darah (Anadara Granosa) Dengan Arang Aktif Terhadap Pengurangan Kadar Logam Kadmium Dan Kadar Logam Timbal. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 2, 41-50. Rahman, A. 2007. Public Health Assessment: Model Kajian Prediktif Dampak Lingkungan dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko Kesehatan. ARKL. Jakarta, Indonesia: Pusat Kajian Kesehatan Lingkungan dan Industri FKM-UI. Rahman, A., Hartanto, B., Adi, H. K., Hermawati, E. & Setiakarnawijaya, Y. 2004. Modul Analisis Kualitas Lingkungan Jakarta, Laboratorium Kesehatan lingkungan Fakultas Kesehatan Masyararat, Universitas Indonesia. Rakhmawati, A. 2010. Biosorpsi Ion Logam Kadmium Oleh Aspergillus flavus. Jurnal Biologi, 132-145. Ratnaningsih, A. 2014. Pengaruh Kadmium terhadap Gangguan Patologik pada Ginjal Tikus Percobaan. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi, 5, 53-63. Riani, E. 2009. Kerang Hijau (Perna Viridis) Ukuran Kecil Sebagai "Vacum Cleaner" Llmbah Cair Kawasan Industri Yang Masuk Ke Dalam Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Alami 14, 1-83. Riani, E. 2012. Perubahan Iklim Dan Kehidupan Biota Aquatik, Indonesia, IPB Press. Ridwan, A. J. 2011. Analisis Logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada Ikan Teri Kering dan Ikan Asin Tengiri di Muara Angke dengan Sepktrofotomrtr Serapan Atom. 2011, Univesitas Indonesia RISKESDAS 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar. In: RI, K. K. (Ed.). Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. S.Lameshow 1991. Sample Size Determination In Health Studies A Partical Manual. Geneva WHO. Sanusi, H. S., Fitriati, M. & Haeruddin 2005. Peranan Padatan Tersuspensi Mereduksi Logam Berat Hg , Pb dan Cd Terlarut dalam Kolom Air Teluk Jakarta. Jurnal Ilmu Kelautan, 10, 72-77.
129
Sarjono, A. 2009. Analisis Kandungan Logam Berat Cd, Pb, Dan Hg Pada Air Dan Sedimen Di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara. 2009, Institut Pertanian Bogor. Setyobudiandi. 2000. sumberdaya hayati moluska kerang mytilidae. skripsi: lanoratorium manajemen sumberdaya perikanan 2000, Institut Pertanian Bogor Shihab, M. Q. 2009. Tafsir Al-Mishbah Jakarta, Lentera Hati. Sianipar, R. H. 2009. Analisis Risiko Paparan Hidrogen Sulfida pada Masyarakat Sekitar TPA Sampah Terjun Kecamatan Medan Tahun 2009. 2009, Universitas Sumatra Utara. Simeonov, L. I., Kochubovski, M. V. & Simeonova, B. G. (eds.) 2011. Environmental Heavy Metal Pollution and Effects on Child Mental Development: Springer Science Published in cooperation with NATO Public Diplomacy Division. SNI 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Indonesia. Stoeppler, M. (Ed.) 1992. Hazardous Metals In The Environment, Amsterdam London - New York - Tokyo: Elsevier Science Publishers B.V. Susiyeti, F. 2010. Analisis Risiko Kesehatan Pencemaran Logam Kadmium Pada Ikan Di Kampung Nelayan Muara Angke Kelurahan Pluit Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. 2010 Epidemiologi Kesehatan Lingkungan, Universitas Indonesia. UNEP 1990. Global Environment Monitoring System. Exposure Monitoring Of Lead And Cadmium. Geneva: WHO. Vakily, J. M. 1989. Theplogy and Culture of Mussels of the Genus Perna. Manila, Philippines: The International Center for Living Aquatic Resources Management. Wang, Z., Yan, C., Kong, H. & Wu, D. 2009. Mechanisms Of Cadmium Toxicity To Various Trophic Saltwater Organisms. In: 978-1-60741-169-7, I. (Ed.) Environmental Science, Engineering And Technology Series. New York Nova Science Publishers, Inc. Wetipo, Y. S., Mangimbulude, J. C. & Rondonuwu, F. S. 2011. Potensi Chlorella Sp Sebagai Agen Bioremediasi Logam Berat Di Air. Jurnal Kimia, 1.
130
WHO 1972. Evaluation Of Certain Food Additives And The Contaminants Mercury, Lead, Cadmium. In: Additives, F. W. E. C. F. (Ed.) 505 And 51 Geneva: WHO. WHO 1992. Exposure To Cadmium A Major Public Health Concern. Preventing Disease Through Healthy Environments. Geneva: Public Health and Environment, World Health Organization. WHO 1994. Cadmium in Drinking-water. Background document for development of WHO Guidelines for Drinking-water Quality. Ganeva: WHO. WHO 2005. Evaluation Of Certain Food Contaminants. Geneva: Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. Widowati, W., Sastiono, A. & R, R. J. (eds.) 2008. Efek Toksik Logam Berat Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran, Yogyakarta: Andi Offset. Winarno, E. K., Andayani, W. & Sumartono, A. 2008. Metil Merkuri dalam Kerang Hijau (Mytilus viridis L.)dari Pasar Pelelangan Ikan Muara Angke: Sebelum dan Setelah Pemasakan. Jurnal Chemical, 9, 77-83.
131
LAMPIRAN
1. Kuesioner Penelitian KUESIONER TINGKAT EFEK KESEHATAN LINGKUNGAN KANDUNGAN LOGAM BERAT KADMIUM (Cd) DALAM KERANG HIJAU YANG DIKONSUMSI MASYARAKAT KALIADEM MUARA ANGKE JAKARTA TAHUN 2015 Assalamualaikum Wr.Wb Perkenalkan saya Feela Zaki Safitri mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melakukan penelitian mengenai “Tingkat Efek Kesehatan Lingkungan Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) dalam Kerang Hijau yang dikonsumsi Masyarakat Kaliadem Muara Angke Jakarta Tahun 2015”. Penelitian ini saya lakukan sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjanan Kesehatan Masyarakat. Oleh sebab itu, saya meminta bantuan anda untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sangat mengharapkan kesediaan waktu anda untuk dapat saya wawancarai serta bersedia untuk dilakukan pengukuran berat badan. Atas perhatian dan kerjasamanya, saya ucapkan terimakasih. Wassalamualaikum Wr. Wb
Pewawancara
Responden
..........................
.........................
(Tanda Tangan/Nama Jelas)
(Tanda Tangan/Nama Jelas)
132
I.
II. III.
IV.
Data Umum a. Tanggal : b. Alamat : c. Nama : d. Umur : e. Pekerjaan : f. Jenis Kelamin : 1. Laki-laki 2. Perempuan g. Status Perkawinan : 1. Menikah 2. Belum Menikah Sumber Kerang Hijau Yang Dikonsumsi: Cara Memasak: a. Dengan cangkang b. Tanpa cangkang
No.Responden :
Variabel Antropometri dan Pola Aktifitas a. b. c. d.
Berat Badan Lama tinggal di Kali Adem Sejak usia berapa mengkonsumsi kerang hijau Frekuensi dan laju asupan kerang hijau: Satu (kali)
Konsumsi kerang hijau
: ..................kg : .................tahun : ..................tahun
hari Satu minggu Satu bulan Sekali makan Satu hari (kali) (kali) (mangkok) (gram) Diisi oleh peneliti
133
V.
Data Kesehatan No Gejala Keracunan Kadmium 1. Apakah anda mengalami mual dan diare pada 2 minggu terakhir? 2.
Apakah anda mengalami gangguan sakit kepala pada 2 minggu terakhir?
3.
Apakah anda mengalami batuk 2 minggu terakhir ?
4.
Apakah anda mengalami nyeri sendi pada bagian kaki dan tulang belakang pada 2 minggu terakhir? Nyeri sendi (kaki dan tulang belakang) Apakah sesak nafas anda disertai dengan nyeri dada ? Apakah anda menderita penyakit hipertensi? (tingginya tekanan darah)
5. 6. 7.
Apakah anda menderita penyakit atau kelainan pada fungsi hati? (Liver)
8.
Apakah anda mengalami kelaianan pada fungsi ginjal?
9.
Apakah dalam 2 minggu terakhir anda menderita lemah, letih dan lesu?
Foto food model:
Ya
Tidak
134
2. Output hasil analisis univariat Descriptives Mean 95% Confidence Interval for Mean
R
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Statistic 16,3364 13,1902 19,4826 13,0059 4,7100 586,423 24,21618 ,03 96,18 96,15 18,09 2,002 3,280
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df R ,262 230 ,000 ,677 230 a. Lilliefors Significance Correction
Std. Error 1,59677
,160 ,320
Sig. ,000
Descriptives Mean 95% Confidence Interval for Mean
C
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Statistic ,08364 ,07591 ,09136 ,08482 ,08600 ,000 ,011500 ,052 ,094 ,042 ,009 -2,369 6,542
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df C ,253 11 ,048 ,728 11 a. Lilliefors Significance Correction
Std. Error ,003467
,661 1,279
Sig. ,001
Descriptives Mean 95% Confidence Interval for Mean FE
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation
Lower Bound Upper Bound
Statistic 104,9297 88,7408 121,1185 96,2174 52,0000 15526,060 124,60361
Std. Error 8,21612
135
Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
,50 365,00 364,50 144,00 1,304 ,254
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df FE ,265 230 ,000 ,733 230 a. Lilliefors Significance Correction
,160 ,320
Sig. ,000
Descriptives Mean 95% Confidence Interval for Mean
DT
Lower Bound Upper Bound
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Statistic 17,5909 15,8948 19,2869 16,9203 15,0000 170,416 13,05437 ,30 57,00 56,70 21,25 ,615 -,425
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df DT ,137 230 ,000 ,940 230 a. Lilliefors Significance Correction
Std. Error ,86078
,160 ,320
Sig. ,000
Descriptives Mean 95% Confidence Interval for Mean
BB
BB
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Lower Bound Upper Bound
Statistic 57,0533 55,4579 58,6488 56,8618 57,2250 150,800 12,28007 24,30 98,75 74,45 16,25 ,210 ,370
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df ,034 230 ,200* ,994 230
Std. Error ,80972
,160 ,320
Sig. ,510
136
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction Descriptives Statistic ,0977395 ,0645331 ,1309459 ,0478236 ,0040427 ,065 ,25558553 ,00000 1,53138 1,53138 ,04308 3,663 13,725
Mean Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for Mean
INTAKE
5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
Std. Error ,01685281
,160 ,320
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df INTAKE ,351 230 ,000 ,432 230 a. Lilliefors Significance Correction PEKERJAAN Frequency Percent
Valid
PEDAGANG BURUH IRT NELAYAN PEDAGANG PEGAWAI PELAJAR SWASTA WIRASWASTA Total
2 68 82 23 27 1 12 7 10 232
Frequency
Valid
>34 <34 Total
Valid Percent
,9 29,3 35,3 9,9 11,6 ,4 5,2 3,0 4,3 100,0
49,6 50,4 100
MENIKAH BELUM MENIKAH Total
203 27 230
Frequency Valid
LAKI-LAKI
56
Valid Percent
88,3 11,7 100,0
GENDER Percent 24,3
,9 30,2 65,5 75,4 87,1 87,5 92,7 95,7 100,0
Cumulative Percent 49,6 100,0
49,6 50,4 100,0
STATUS Frequency Percent
Valid
Cumulative Percent
,9 29,3 35,3 9,9 11,6 ,4 5,2 3,0 4,3 100,0
KATEGORIUSIA Percent Valid Percent
114 116 230
Sig. ,000
88,3 11,7 100,0
Valid Percent 24,3
Cumulative Percent 88,3 100,0
Cumulative Percent 24,3
137
PEREMPUAN Total
174 230
75,7 100,0
75,7 100,0
MEMASAK Frequency Percent
Valid
0 DENGAN CANGKANG TANPA CANGKANG Total
3 112 115 230
100,0
Valid Percent
1,3 48,7 50,0 100,0
Cumulative Percent
1,3 48,7 50,0 100,0
1,3 50,0 100,0
3. Output hasil analisis bivariat
>57,22 KATEGORIBB <57,22 Total
KATEGORIBB * RQREAL Crosstabulation RQREAL TIDAK BERISIKO BERISIKO Count 42 75 % within RQREAL 46,7% 53,6% Count 48 65 % within RQREAL 53,3% 46,4% Count 90 140 % within RQREAL 100,0% 100,0%
Value
Chi-Square Tests df Asymp. Sig. (2sided) 1 ,307 1 ,375 1 ,307
Total 117 50,9% 113 49,1% 230 100,0%
Exact Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square 1,045a b Continuity Correction ,787 Likelihood Ratio 1,046 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association 1,040 1 ,308 N of Valid Cases 230 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 44,22. b. Computed only for a 2x2 table
>4,77 KATEGORIR <4,77 Total
KATEGORIR * RQREAL Crosstabulation RQREAL TIDAK BERISIKO BERISIKO Count 6 109 % within RQREAL 6,7% 77,9% Count 84 31 % within RQREAL 93,3% 22,1% Count 90 140 % within RQREAL 100,0% 100,0%
Value
Chi-Square Tests df Asymp. Sig. (2sided) 1 ,000 1 ,000 1 ,000
Pearson Chi-Square 111,057a Continuity Correctionb 108,228 Likelihood Ratio 126,721 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association 110,574 1 ,000 N of Valid Cases 230 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 45,00. b. Computed only for a 2x2 table
,345
Exact Sig. (1sided)
,188
Total 115 50,0% 115 50,0% 230 100,0%
Exact Sig. (2sided)
,000
Exact Sig. (1sided)
,000
138
>52 KATEGORIFE <52 Total
KATEGORIFE * RQREAL Crosstabulation RQREAL TIDAK BERISIKO BERISIKO Count 2 90 % within RQREAL 2,2% 64,3% Count 88 50 % within RQREAL 97,8% 35,7% Count 90 140 % within RQREAL 100,0% 100,0%
Value
Chi-Square Tests df Asymp. Sig. (2sided) 1 ,000 1 ,000 1 ,000
Total 92 40,0% 138 60,0% 230 100,0%
Exact Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square 87,923a Continuity Correctionb 85,356 Likelihood Ratio 107,912 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association 87,541 1 ,000 N of Valid Cases 230 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 36,00. b. Computed only for a 2x2 table
>15 KATEGORIDT <15 Total
,000
KATEGORIDT * RQREAL Crosstabulation RQREAL TIDAK BERISIKO BERISIKO Count 37 85 % within RQREAL 41,1% 60,7% Count 53 55 % within RQREAL 58,9% 39,3% Count 90 140 % within RQREAL 100,0% 100,0%
Value
Chi-Square Tests df Asymp. Sig. (2sided) 1 ,004 1 ,006 1 ,004
>0,004 KATEGORIIN <0,004 Total
KATEGORIIN * RQREAL Crosstabulation RQREAL TIDAK BERISIKO BERISIKO Count 0 99 % within RQREAL 0,0% 70,7% Count 90 41 % within RQREAL 100,0% 29,3% Count 90 140 % within RQREAL 100,0% 100,0%
,000
Total 122 53,0% 108 47,0% 230 100,0%
Exact Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square 8,452a Continuity Correctionb 7,683 Likelihood Ratio 8,486 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association 8,415 1 ,004 N of Valid Cases 230 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 42,26. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1sided)
,004
Total 99 43,0% 131 57,0% 230 100,0%
Exact Sig. (1sided)
,003
139
Value
Chi-Square Tests df Asymp. Sig. (2sided) 1 ,000 1 ,000 1 ,000
Exact Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square 111,739a Continuity Correctionb 108,874 Likelihood Ratio 145,068 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association 111,254 1 ,000 N of Valid Cases 230 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 38,74. b. Computed only for a 2x2 table
>0,083 KATEGORIC <0,083 Total
,000
KATEGORIC * RQREAL Crosstabulation RQREAL TIDAK BERISIKO BERISIKO Count 2 5 % within KATEGORIC 28,6% 71,4% Count 2 2 % within KATEGORIC 50,0% 50,0% Count 4 7 % within KATEGORIC 36,4% 63,6%
Value
Chi-Square Tests df Asymp. Sig. (2sided) 1 ,477 1 ,953 1 ,480
,000
Total 7 100,0% 4 100,0% 11 100,0%
Exact Sig. (2sided)
Pearson Chi-Square ,505a b Continuity Correction ,004 Likelihood Ratio ,500 Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association ,459 1 ,498 N of Valid Cases 11 a. 4 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,45. b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig. (1sided)
,576
Exact Sig. (1sided)
,470