BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN MALFORMASI KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
MUHAMMAD REZA CORDOVA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Muhammad Reza Cordova NRP. C551090141
ABSTRACT MUHAMMAD REZA CORDOVA. Bioaccumulation of Heavy Metals and Malformation of Green Mussels (Perna viridis) in Jakarta Bay. Under the direction of NEVIATY P. ZAMANI and FREDINAN YULIANDA Jakarta is Indonesia’s economy and government center and the most populated city. Besides that, Jakarta is also a home for many industries. All of these activities produce large number of waste and waste water that are usually discharged without any further treatment into the river streams, and cause heavy pollution. Polluted water at Jakarta Bay, especially from heavy metal, affects the organism that live in this area, especially green mussel (Perna viridis). The objectives of the research were to examine the bioaccumulation of heavy metal (Hg, Cd, Pb) and to develop a model of pollution load to Jakarta Bay and heavy metal accumulation in green mussel. This research used field survey methodology with green mussel in Muara Angke, Jakarta as a sample. The observed parameters were water pollution indicator, heavy metal accumulation and percentage of green mussel malformation. The result of water pollution parameter such as Biological oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), Nitrate (NO3), Orthophosphate (PO4), Mercury (Hg), Cadmium (Cd), Plumbum (Pb) were higher than the allowed limit. The results showed that total pollution load (in tons/month) were 1,56 for NO3; PO4 1,32; Hg 2,03; Cd 0,26 and 248 for Pb. The bioaccumulation of heavy metals that was occurred on green mussel will be accumulated along with the age increasing. The highest value was mercury that accumulates in hepatopancreas. Due to the bioaccumulation of heavy metals in organs of mussels, morphology change (deformation/malformation) i.e. thick size larger than the width of the green mussel occurred. From the result, it could be predicted that the pollution load coming to Jakarta Bay and heavy metals accumulation in sediment and mussel depends on amount of input pollutant. This situation could be avoided by the development and implementation of the Waste Water Treatment Plant to treat the waste water before being discharged to the river stream. Keywords: bioaccumulation, heavy metal, Perna viridis, malformation, Jakarta Bay
RINGKASAN MUHAMMAD REZA CORDOVA. Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan FREDINAN YULIANDA Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melewati Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten. Sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta tersebut membawa limbah, baik berupa sampah padat maupun limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan. Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas lingkungan perairan akan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Limbah cair yang masuk ke Teluk Jakarta seringkali membawa zat yang berbahaya dan beracun seperti logam berat. Logam berat merupakan unsur yang tidak dapat di uraikan dan mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan dalam organisme laut. Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan selanjutnya akan terakumulasi dalam biota, terutama biota laut yang bersifat sessile. Kondisi tersebut di atas, memperlihatkan bahwa logam berat yang masuk ke dalam Perairan Teluk Jakarta semakin tinggi, dan telah melebihi batas pulih dirinya sehingga menyebabkan logam berat terakumulasi dalam tubuh kerang hijau. Oleh karena itu kondisi eksisting pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta, akumulasi logam berat pada kerang hijau, model akumulasi logam berat pada kerang hijau serta malformasi kerang hijau saat ini perlu dilihat kembali, sehingga akan dapat menjadi bahan pertimbangan (dasar) pengelolaan perairan Teluk Jakarta di masa yang akan datang. Tujuan dari penelitian adalah (1) mengkaji nilai beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta, (2) mengkaji informasi kontaminasi bahan pencemar logam berat pada tubuh kerang hijau (Perna viridis), (3) mengkaji gambaran morfologi kerang hijau di Teluk Jakarta (melihat prosentase kejadian malformasi pada kerang hijau), (4) mengkaji model akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta yang menerima berbagai macam limbah dan kondisi kualitas airnya yang saat ini umumnya masuk pada kategori tercemar berat. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara pengambilan sample di lapangan. Pengukuran parameter fisik dan kimia dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung (insitu) dan analisa laboratorium. Data dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif terhadap parameter-parameter fisika-kimia perairan, beban pencemaran dan analisis kandungan logam berat pada kerang hijau serta membangun model dinamik untuk melihat model akumulasi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta. Model ini terdiri atas dua sub model, yakni (1) sub model beban pencemaran dan (2) sub model akumulasi logam berat. Hasil penelitian menujukan pada kondisi eksisting parameter pencemaran air seperti kebutuhan oksigen biokimiawi (biochemical oxygen demand/BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand/COD), nurtien (nitrat/NO3, dan ortofosfat),
dan logam berat yakni merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb) telah melebihi baku mutu air. Total beban pencemaran yang dihasilkan dari kegiatan domestik dan industri untuk BOD adalah 944.32 ton/bulan; COD 1745.08 ton/bulan; nitrat 1.56 ton/bulan; ortofosfat 1.32 ton/bulan; merkuri 2.03 ton/bulan; kadmium 0.26 ton/bulan dan 2.48 ton/bulan. Dengan beban yang masuk tersebut dari sungai ke perairan Teluk Jakarta, terjadi akumulasi pencemar, terutama logam berat, pada sedimen dan pada kerang hijau. Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi logam berat merkuri, kadmium dan timbal pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb baik yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen berada melebihi ambang batas yang ditentukan. Namun demikian kondisi ini tidak mengakibatkan kematian masal kerang hijau. Hal ini mengandung arti bahwa konsentrasi logam berat yang terdapat pada lingkungannya belum masuk pada konsentrasi akut, namun demikian sudah masuk pada konsentrasi kronis. Dalam kondisi ini, akumulasi logam berat akan melakukan transformasi, sehingga cepat atau lambat akan menyebabkan mutasi genetik pada sel, dan pada akhirnya mengakibatkan terjadinya malformasi kerang hijau. Dari seluruh kerang hijau yang dianalisis, terdapat 12,83% yang tebalnya lebih besar dibandingkan lebarnya. Ditinjau secara umur, ada kecenderungan semakin lama umur dari kerang hijau maka malformasi yang terjadi juga lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan akumulasi logam berat yang semakin besar seiring dengan bertambahnya umur kerang hijau. Hasil pemodelan dinamik menunjukkan bahwa model akumulasi logam berat yang dibangun memiliki kinerja yang baik dan mampu menggambarkan prilaku sistem nyata, dengan nilai validitas absolute mean error (AME) dan absolute variation error (AVE) < 10%. Berdasarkan analisis terdapat faktor kunci yang berpengaruh, yakni pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada pemukiman dan kawasan industri. Berdasarkan alternatif keadaan yang teridentifikasi pada faktor yang berpengaruh langsung dalam model, didapatkan tiga skenario yakni (1) Skenario pesimis, pertumbuhan IPAL 1% yang mengurangi limbah sebesar 1% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 1%; (2) Skenario moderat, pertumbuhan IPAL 4% yang mengurangi limbah sebesar 4% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 4%; (3) Skenario optimis (pertumbuhan IPAL 7% yang mengurangi limbah sebesar 7% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 7%. Berdasarkan simulasi pada kedua submodel yang membangun pemodelan akumulasi pencemar di Teluk Jakarta, terjadi perbedaan yang mencolok diantara ketiga skenario yang digunakan. Skenario ke-1 (skenario pesimis) memberikan tingkat pencemaran serta akumulasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua skenario lainnya yakni skenario moderat (ke-2) dan optimis (ke-3).
Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
BIOAKUMULASI LOGAM BERAT DAN MALFORMASI KERANG HIJAU (Perna viridis) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA
MUHAMMAD REZA CORDOVA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Ujian Tesis : Dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2011, waktu ujian: pukul 13:00 - selesai Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc.
LEMBAR PENGESAHAN Judul Tesis : Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi
Kerang Hijau
(Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta Nama
: Muhammad Reza Cordova
NRP
: C551090141
Program Studi : Ilmu Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal ujian : 27 Juli 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Teluk Jakarta memiliki kontribusi menunjang kehidupan baik terhadap biota yang ada di dalamnya maupun terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya bahkan pada masyarakat yang jauh lebih luas lagi. Namun demikian di sisi lain memiliki banyak permasalahan lingkungan, salah satunya adalah sangat menurunnya kualitas lingkungan perairan.
Ekosistem memiliki daya pulih (kapasistas asimilasi/self purification)
terhadap bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem, tetapi kemampuan tersebut relatif terbatas. Banyaknya buangan hasil kegiatan dan aktivitas di sekitar Teluk Jakarta menyebabkan perairan menerima beban pencemaran dalam jumlah besar. Telah banyak penelitian yang mengindikasikan perairan Teluk Jakarta mengalami pencemaran yang setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan.
Bahan pencemar akan
terakumulasi pada sedimen dan pada biota laut terutama yang bersifat sesile seperti kerang hijau (Perna viridis) sehingga mengancam kesehatannya dan mengakibatkan terjadinya kecacatan (malformasi). Fokus utama dari penulisan tesis ini adalah mengkaji seberapa besar pencemar yang dihasilkan kegiatan antropogenik di Teluk Jakarta terutama pencemar logam berat, (model dinamis) akumulasinya pada sedimen dan kerang hijau serta pengaruh logam berat terhadap kesehatan kerang hijau ditinjau dari kecacatan yang terjadi Dari penulisan tesis ini diharapkan pembaca dapat lebih memahami berapa besar beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta dan pengaruhnya terhadap biota, terutama kerang hijau yang dibudidayakan di wilayah ini. Akhir kata penulis menyadari masih jauh dari sempurna dan mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Bogor, Juli 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur penulis panjatkan pada Allah SWT atas segala karunia-NYA sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar berkenan membimbing, memberikan masukan dan memberikan dorongan moril pada penulis. 2. Bapak Dr. Ir. Tri Prartono sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan kritis dan saran perbaikan serta masukan yang sangat berarti dalam penulisan ini. 3. Staf Lab Hidrobiologi Laut ITK, Bapak Prof. Dedi Soedharma, Bapak Prof. Dietriech G. Bengen, Ibu Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.S., Bang Beginer Subhan S.Pi., M.Si., Mbak Meutia S.Si., M.Si., Mbak Adriani S.Pi., M.Si., yang telah memberikan masukan berharga, semangat, dan dukungan moril saat penulisan. 4. BPLHD DKI Jakarta yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti penelitian ini. 5. Dinas Perikanan dan Kelautan, Jakarta yang telah memberikan izin untuk menganalisis sample 6. Bapak Dr. Ir. Suwari dan Bapak Subhan, M.Si yang dengan sabar mengajarkan pola berpikir sistem dan pemodelan sistem dinamik 7. Keluarga (Ibunda Etty Riani, Ayahanda Harsono Hadisoemardjo, Adik Rama, Adik Dzikri dan Adik Farah serta Adinda Yayu Alitalia) yang telah memberikan kasih sayang, semangat dan motivasi pada penulis. 8. Mbak Denty dan Mbak Niar, serta staf TU Dept. ITK, Kang Bayu dan staf Sekolah Pascasarjana IPB, rekan-rekan IKL 2009 (Mbak Anna, Mas Anto, Mbak Riri, Mbak Yuli, Wahyu, Mbak Emmy, Mbak Tyas, Mbak Citra, Kapten Toni, Yayan, Kahar, Ayi, Ma’Ul, Bang Lumban dan Cak’ Roni) yang telah memberikan dorongan moril dan materil serta sumbangan pemikirannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada semua pihak belum bisa disebutkan yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan usulan penelitian.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 November 1986. Penulis merupakan putera pertama dari empat bersaudara dari Bapak Harsono Hadisoemardjo dan Ibu Etty Riani. Riwayat pendidikan penulis dimulai dengan memasuki TK Permata Bogor tahun 1990 hingga 1992, pada tahun 1998 penulis lulus dari SD Negeri Bangka III Bogor, pada tahun 2001 lulus dari SLTP Negeri IV Bogor, pada tahun 2004 lulus dari SMU Negeri 3 Bogor. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Penulis memilih
program studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Pada tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan jenjang Magister di Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis memilih mayor Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti
perkuliahan Magister, penulis ikut serta dalam kegiatan yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor, turut aktif dalam organisasi kemahasiswaan Wahana
Interaksi
Mahasiswa
Pascasarjana
Ilmu
dan
Teknologi
Kelautan
(WATERMASS IKL) dan anggota Unit Kegiatan Mahasiswa Onigiri dibawah naungan Music of Agriculture. Pada tahun 2011, penulis berkesempatan untuk melaksanakan penelitian Global Approach on Modular Experiment (GAME) yang dilaksanakan di Kiel, Jerman dan di Pulau Pari, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Untuk menyelesaikan studi, penulis melaksanakan penelitian dan tesis yang berjudul “Bioakumulasi Logam Berat dan Malformasi Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Teluk Jakarta”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.......................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
ii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
iv
1. PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1.2. Kerangka Pemikiran............................................................................. 1.3. Perumusan Masalah ............................................................................. 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................ 1.5. Manfaat Penelitian ...............................................................................
1 3 5 6 7
2. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................
9
2.1. Pencemaran .......................................................................................... 2.1.1. Pencemaran Air dan Laut........................................................... 2.1.2. Pencemaran di Teluk Jakarta ..................................................... 2.2. Logam Berat......................................................................................... 2.3. Pencemaran dan Toksisitas Logam Berat ............................................ 2.4. Karakteristik Logam Berat................................................................... 2.4.1. Merkuri (Hg) ............................................................................. 2.4.2. Kadmium (Cd) ........................................................................... 2.4.3. Timbal (Pb) ................................................................................ 2.5. Logam Berat pada Sedimen Laut ........................................................ 2.6. Beban Pencemaran ............................................................................... 2.7. Kerang Hijau ........................................................................................ 2.7.1. Malformasi Kerang Hijau .......................................................... 2.8. Pemodelan Sistem ................................................................................ 2.9. Sistem Dinamik....................................................................................
9 10 13 14 18 19 19 25 29 33 36 37 40 43 44
3. METODA PENELITIAN .......................................................................
45
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 3.2. Alat dan Bahan..................................................................................... 3.3. Metoda Pengumpulan Data .................................................................. 3.4. Analisis Data ........................................................................................ 3.4.1. Beban Pencemaran..................................................................... 3.4.2. Analisis Malformasi Kerang Hijau ............................................ 3.4.3. Model Akumulasi Logam Berat.................................................
45 45 46 47 48 49 49
4. HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................
53
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................................... 4.2. Kondisi Perairan Muara Angke............................................................ 4.2.1. Kualitas Air ...............................................................................
53 53 53
4.2.1.1. BOD ................................................................................. 4.2.1.2. COD ................................................................................. 4.2.1.3. Nutrien ............................................................................. 4.2.1.4. Logam Berat di Air .......................................................... 4.2.1.4.1. Merkuri (Hg)................................................... 4.2.1.4.2. Kadmium (Cd) ................................................ 4.2.1.4.3. Timbal (Pb)..................................................... 4.2.1.5. Beban Pencemaran........................................................... 4.2.2. Kualitas Sedimen ..................................................................... 4.2.2.1. Logam Berat di Sedimen ................................... 4.2.2.1.1. Merkuri (Hg)..................................... 4.2.2.1.2. Kadmium (Cd).................................. 4.2.2.1.3. Timbal (Pb)....................................... 4.2.3. Kerang Hijau............................................................................ 4.2.3.1. Morfologi ................................................................... 4.2.3.2. Logam Berat di Kerang Hijau.................................... 4.2.3.3. Malformasi ................................................................. 4.2.4. Pemodelan Akumulasi Logam Berat ....................................... 4.2.4.1. Sub Model Beban Pencemaran .................................. 4.2.4.2. Simulasi Sub Model Beban Pencemaran ................... 4.2.4.3. Sub Model Akumulasi Logam Berat pada Sedimen dan Kerang Hijau ...................................................... 4.2.4.4. Simulasi Sub Model Akumulasi pada Sedimen dan Kerang Hijau............................................................. 4.2.5. Validasi Model......................................................................... 4.2.6. Penyusunan Skenario Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan Akumulasi Logam Berat ......................................
56 57 58 60 60 62 63 64 67 69 69 70 70 71 71 73 77 80 81 83
5. KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
97
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
99
LAMPIRAN................................................................................................
109
85 86 88 89
i
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Halaman Beberapa jenis pencemar dan sumbernya…………………………………….. 10 Konsentrasi merkuri (ng/l) di beberapa tempat……………………………… 23 Konsentrasi merkuri (mg/l) pada jaringan beberapa organisme laut dari Teluk Terra Nova, Antartica………………………………………………….. 24 Efisiensi merkuri inorganik dan methymerkuri dari makanan dan sedimen oleh organisme laut…………………………………………………………… 24 Konsentrasi kadmium terlarut (μg/l) di beberapa perairan………………….. 27 Konsentrasi kadmium (μg/g) pada jaringan otot beberapa organisme………. 28 Konsentrasi timah terlarut (μg/l) dibeberapa perairan………………………. 31 Konsentrasi timah pada jaringan (μg/g) beberapa organisme………………… 32 Hasil analisis kisaran kadar logam berat (ppm) dalam air laut dan sedimen di perairan muara Sungai Cisadane Bulan Juli dan Nopember 2005………… 34 Kadar alamiah logam berat dalam sedimen…………………………………... 35 Baku mutu logam berat dalam sedimen………………………………………. 35 Parameter kualitas air yang diteliti serta metode analisa dan pengukurannya.. 48 Beberapa parameter kualitas air di Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau…………………………………………………………………………... 54 Beban pencemaran dari Kali Angke yang masuk ke perairan Teluk Jakarta… 65 Kualitas sedimen Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau…………….. 68 Ukuran cangkang (panjang, lebar dan tebal) kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke…………………………………………………... 71 Ukuran berat (total, daging dan cangkang) dan volume daging kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke…………………………………. 71 Kandungan logam berat pada kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke………….……………………………………………………… 74 Kandungan logam berat pada organ kerang hijau (daging, hepatopankreas dan insang) di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke…………………….. 74 Presentasi malformasi ditinjau dari morfologi (tebal>lebar) kerang hijau…… 77 Analisa kandungan logam berat per individu………………………………… 77 Data validasi model pencemaran perairan Teluk Jakarta ditinjau dari konsentrasi pencemar ..……………………………………………………….. 89
ii
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.
Halaman Kerangka pemikiran penelitian ……………………………………………. 5 Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah (Sugiharto, 1987) …………………………………………………………... 12 Tabel periodik (http://www.ptable.com/) …………………………………. 16 Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg (Moore dan Ramamoorthy, 1984) ………………………………………………………. 22 Kerang hijau (Perna viridis L.) ……………………………………………. 37 Perbedaan insang kerang hijau normal (kiri) dan kerang hijau dengan insang yang mengalami malformasi (kanan) (Jose dan Deepthi 2005)…….. 42 Lokasi penelitian……………………………………………………............ 45 Diagram lingkar sebab akibat sistem akumulasi logam berat pada kerang hijau …………………………………………………………...................... 51 Diagram input-output sistem akumulasi logam berat pada kerang hijau…………………………………………………………………............ 51 Tingkat kesuburan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006)…….. 59 Nilai beban pencemaran BOD dan COD yang masuk ke Teluk Jakarta 2006-2011 ………………………………………………………………….. 66 Jumlah penduduk di DKI Jakarta dari tahun 1870-2010 (Sumber BPS 2005-2011) ………………………………………………………………… 66 Jumlah industri di DKI Jakarta dari tahun 2006-2010 (Sumber BPS 20052011) ……………………………………………………………………….. 67 Malformasi pada kerang hijau……………………………………………… 80 Diagram sebab akibat (causal loop) submodel beban pencemaran ………... 81 Diagram stock flow submodel beban pencemaran ………………………… 82 Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari BOD, COD, NO3 dan PO4.. 83 Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb)…. 84 Diagram sebab akibat submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau ………………………………………………………………... 85 Diagram stock flow submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau………………………………………………………………… 86 Akumulasi logam berat pada sedimen …………………………………….. 87 Akumulasi logam berat pada kerang hijau ………………………………… 87 Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 ………………………………………………………………………... 91 Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 ………………………………………………………………………... 91 Prediksi beban pencemaran NO3 perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 ………………………………………………………………………... 92 Prediksi beban pencemaran PO4 perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 92 Prediksi beban pencemaran Hg perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020.. 92 Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020.. 93 Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020... 93
iii
30. 31. 32. 33. 34. 35.
Halaman Prediksi akumulasi Hg di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020…….. 94 Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun 2020 ……………….. 94 Prediksi akumulasi Cd di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020……... 95 Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun 2020 ……………….. 95 Prediksi akumulasi Pb di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020…….... 96 Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun 2020 ……………….. 96
iv
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Halaman Stasiun pengambilan sample air……………………………………………. 111 Hasil analisa data mentah dan fluktuasi debit air………………………….. 113 Prinsip pengukuran kandungan logam berat…………………………………114 Pengukuran kandungan logam berat……………………………………….. 116 Sample kerang hijau………………………………………………………… 118 Ukuran fisik kerang hijau……………………………………………………119 Simulasi dan skenario beban pencemaran serta akumulasi logam berat…… 137
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Teluk Jakarta merupakan salah satu wilayah pesisir di Indonesia yang di dalamnya banyak terdapat kegiatan, seperti pemukiman, perkotaan, transportasi, wisata, dan industri.
Tingginya kegiatan di sekitar kawasan ini mengakibatkan tekanan
terhadap lingkungan semakin tinggi. Disisi lain, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bermuaranya 13 sungai yang melewati Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Banten. Sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta tersebut membawa limbah, baik berupa sampah padat maupun limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan. Kondisi tersebut mengakibatkan kualitas lingkungan perairan akan cenderung menurun dari waktu ke waktu. Limbah cair yang masuk ke dalam ekosistem perairan akan mempengaruhi kualitas air ekosistem penerimanya, dalam jumlah yang tidak bisa ditolelir, limbah dapat mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi kandungan zat yang ada di dalamnya, serta mengakibatkan terjadinya perubahan aspek fisik perairan, atau dengan kata lain akan menyebabkan terjadinya pencemaran pada ekosistem perairan penerimanya. Pencemaran juga dapat mengakibatkan fungsi air tidak sesuai dengan peruntukannya, sehingga air tidak dapat menjadi habitat biota akuatik yang aman dan tidak memenuhi syarat kesehatan bagi biota yang hidup di dalamnya. Limbah cair yang masuk ke Teluk Jakarta seringkali membawa zat yang berbahaya dan beracun seperti logam berat. Logam berat merupakan unsur yang tidak dapat diuraikan dan mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan dalam organisme laut. Selain itu, dalam jumlah di atas ambang batas logam berat dapat menyebabkan terjadinya kematian langsung, menimbulkan efek karsinogenik, teratogenik dan mutagenik, serta memiliki pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan manusia (Amdur et al. 1991). Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan selanjutnya akan terakumulasi dalam biota, terutama biota laut yang bersifat sessile. Salah satu jenis biota laut sessile yang terdapat melimpah di Teluk Jakarta adalah kerang hijau (Perna viridis). Kerang hijau memiliki distribusi yang luas dan telah menjadi komoditi budidaya, seperti yang dilakukan oleh masyarakat pesisir DKI
2
Jakarta. Dilain pihak kerang hijau juga dapat mengakumulasi bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi (Riani 2009).
Adapun salah satu jenis bahan pencemar yang
diakumulasi dalam jumlah tinggi oleh kerang hijau adalah logam berat, bahkan Riani (2009) memberikan gelar kerang hijau sebagai vaccum cleaner pada perairan yang tercemar logam berat. Lebih lanjut Phillips (1980) menyatakan bahwa kerang (bivalvia) merupakan bioindikator yang paling tepat dan efisien. Penelitian pencemaran logam berat di perairan Teluk Jakarta sebenarnya sudah banyak di lakukan pada beberapa tahun yang lalu, yakni penelitian yang dilakukan oleh LON-LIPI (1979) yang mendapatkan adanya Hg (4,0-135 ppb) dan Cd (0,5 ppb) di Perairan Muara Angke. Penelitian Wahyono (1994) di Perairan Kamal mendapatkan Hg 1,10-4,70 ppb, Cd 48,3-95,4 ppb dan Pb 5,10-7,90 ppb. Penelitian Diniah (1995) di Perairan Kamal mendapatkan Hg <1,00-2,16 ppb, Cd 84-110 ppb dan Pb 1,32-1,75 ppb. Penelitian Vitner et al. (2001) di Perairan Kamal mendapatkan Hg 0,02-420 ppb, Cd 320 ppb, dan Pb 40-150 ppb. Riani dan Sutjahjo (2004) di Perairan Kamal Muara mendapatkan Hg 0,075-0,210 ppb, Cd 0,004-0,108 ppm, Pb 0,005-0,105 ppm, Cd 0,004-0,108 ppm, dan Sn ttd – 0,001 ppm. Fitriati (2004) mendapatkan Hg 0,75-1,23 ppb, Cd 26,89-78,49 ppb dan Pb 3,0-9,31 ppb di Kamal Muara Barat dan Timur serta di Cilincing Hg 1,03-0,74 ppb, Cd 18,88-80,28 ppb dan Pb 5,92-12,24 ppb. Data tersebut memperlihatkan bahwa logam berat yang masuk ke dalam perairan relatif tidak pernah berkurang, bahkan dengan bertambahnya jumlah industri, logam berat yang masuk ke dalam Teluk Jakarta cenderung meningkat setiap tahunnya. Hasil penelitian tentang akumulasi logam berat pada kerang hijau juga memperlihatkan adanya kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu, yakni penelitian Akbar (2002) di Kamal Muara mendapatkan Cd pada kerang hijau ukuran <3cm 0,7-1,46ug/g berat kering (bk), ukuran 3-5cm 0,49-0,87ug/g bk dan ukuran. Penelitian Suryanto (2003) di Kamal Muara mendapatkan Cd pada ukuran 5-6cm 0,340,49ug/g bk, 6-<7cm 0,31-0,43ug/g bk dan pada 7-9cm 0,33ug/g bk. Penelitian Apriadi (2005) mendapatkan Cr dan Hg pada kerang hijau <4cm berturut-turut 1,69-3,03ug/g bk dan 0,005-0,007ug/g bk.
Pada kerang hijau 4-6cm berturut-turut 21,69-23,95 dan
0,013-0,020 ug/g bk, serta pada kerang hijau >6cm 19,70-21,00 dan 0,009-0,015ug/g bk. Selanjutnya dikatakan bahwa kerang hijau yang terdapat di Kamal Muara sudah ada yang mengalami malformasi (kelainan bentuk) pada cangkangnya.
3
Hasil penelitian kapasitas asimilasi, yakni kemampuan air menerima bahan pencemar tanpa menurunkan kualitasnya (Quano, 1993) memperlihatkan bahwa pada tahun 1998 hanya logam berat Zn yang telah melebihi kapasitas asimilasinya, sedangkan Cd, Pb, Cr dan Cu belum mencapai kapasitas asimilasinya (Anna, 1999). Namun pada tahun 2005 logam berat Pb, Hg, Cd, Cr dan Sn yang masuk ke perairan Teluk Jakarta telah melebihi kapasitas asimilasinya (Riani, 2005). Kondisi tersebut di atas memperlihatkan bahwa logam berat yang masuk ke dalam Perairan Teluk Jakarta semakin tinggi, dan telah melebihi batas pulih dirinya sehingga menyebabkan logam berat terakumulasi dalam tubuh kerang hijau.
Oleh
karena itu akumulasi logam berat ke dalam tubuh kerang hijau saat ini perlu dilihat kembali, begitu pula dengan model akumulasi logam berat tersebut pada kerang hijau. Selain itu mengingat logam berat bersifat teratogenik, maka penelitian yang juga perlu dilakukan adalah penelitian mengenai pengaruh logam berat tersebut terhadap kesehatan kerang hijau di Teluk Jakarta, yang ditinjau dari malformasinya. Kajian ini diharapkan dapat memperlihatkan kondisi eksisting akumulasi logam berat pada kerang hijau, model akumulasi logam berat pada kerang hijau serta malformasi kerang hijau saat ini, sehingga akan dapat menjadi bahan pertimbangan (dasar) pengelolaan perairan Teluk Jakarta di masa yang akan datang.
1.2. Kerangka Pemikiran Teluk Jakarta terletak di utara wilayah DKI Jakarta, Tangerang dan Karawang, dibatasi Tanjung Kait di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur. Teluk Jakarta memiliki kontribusi menunjang kehidupan, baik terhadap biota yang ada di dalamnya maupun terhadap masyarakat yang ada di sekitarnya, bahkan pada masyarakat yang jauh lebih luas lagi. Namun demikian di sisi lain memiliki banyak permasalahan lingkungan, salah satunya adalah sangat menurunnya kualitas lingkungan perairan. Pada dasarnya ekosistem memiliki daya pulih (kapasistas asimilasi/self purification) terhadap bahan pencemar yang masuk ke dalam ekosistem, tetapi kemampuan tersebut relatif terbatas.
Banyaknya buangan hasil kegiatan dan aktivitas di sekitar Teluk
Jakarta, menyebabkan perairan menerima beban pencemaran dalam jumlah besar. Hal tersebut akan menimbulkan pengaruh negatif bagi ekosistem perairan.
4
Pada dasarnya sudah banyak penelitian yang mengindikasikan perairan Teluk Jakarta mengalami pencemaran yang setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Mulyono (2000) yang menyatakan pencemaran perairan di Teluk Jakarta menyebabkan akumulasi logam berat yang melebihi ambang batas pada ikan tongkol, kakap, bawal dan baronang.
Riani dan Sutjahjo (2004) dan Mulyawan (2005);
menemukan bahwa akumulasi logam berat pada kerang hijau juga jauh melebihi ambang batas yang telah di tentukan.
Riani (2005) mengatakan bahwa kapasitas
asimilasi beberapa parameter kualitas air, termasuk logam berat Hg, Pb, Cd, Cr dan Sn telah jauh melebihi kapasitas asimilasinya. Raharjo (2005) mendapatkan hasil bahwa pencemaran yang berasal dari limbah aktivitas masyarakat meningkat hingga beberapa kali lipat dan mencapai radius 60 km, hingga mencapai kawasan Kelurahan Pulau Seribu Utara, hingga Pulau Panggang.
Akibat pencemaran tersebut diindikasikan
penurunan produksi ikan tangkap di Teluk Jakarta dalam jangka waktu 1999-2002 dari sebelumnya 28,526 ton menjadi 17,829 ton. Tingginya bahan pencemar di perairan Teluk Jakarta membuat akumulasi logam berat pada sedimen, seperti timah yang mencapai 26,6 mg/kg – 70 mg/kg (Suharsono 2005). Salah satu kawasan di Teluk Jakarta yang jelas mengalami timbunan bahan pencemar adalah Pelabuhan Tanjung Priok (Asuhadi 2006) dan kawasan Pantai Marina (Mezuan 2007). Korelasi tingginya bahan pencemar yang masuk ke perairan Teluk Jakarta hingga terakumulasi pada sedimen dan biota (plankton, ikan dan kerang) sehingga melebihi ambang batas yang ditentukan juga dilakukan oleh Johari (2009) dan Dahlia (2009). BPLHD DKI Jakarta (2006) menyebutkan perairan Teluk Jakarta yang tercemar berat mencapai 43% dan tercemar sedang 57%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, terlihat bahwa tanpa ada perbaikan, bahan pencemar akan meningkat dan terakumulasi pada sedimen dan pada biota laut terutama yang bersifat sesile seperti kerang hijau akan terancam kesehatannya, bahkan akan mengakibatkan terjadinya kecacatan (malformasi) pada kerang hijau.
Namun
berapa akumulasi logam berat saat ini juga perlu dilihat. Selain itu mengingat belum ada penelitian mengenai
model akumulasinya pada kerang hijau serta belum ada
informasi keterkaitan pencemaran limbah anorganik atau limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dengan malformasi kerang hijau, maka penelitian pengaruh pencemaran logam berat di Perairan Teluk Jakarta terhadap malformasi kerang hijau dan model
5
akumulasi logam berat pada kerang hijau (Perna viridis) pada perairan yang tercemar logam berat, perlu untuk segera dilakukan. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Teluk Jakarta KBP > BM
Pencemaran kualitas air
Pencemaran pada kerang hijau
Beban pencemaran
Akumulasi logam berat pada kerang hijau
Malformasi pada kerang hijau
Model pencemaran perairan dan akumulasi pada kerang hijau
Bahan pertimbangan komprehensif Keterangan: KBP : Konsentrasi beban pencemar per liter air BM : Baku mutu
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
1.3. Perumusan Masalah Gangguan lingkungan di perairan Teluk Jakarta semakin meningkat, namun pengendaliannya belum dilaksanakan dengan baik.
Gangguan lingkungan tersebut
terjadi karena adanya buangan dari berbagai kegiatan antropogenik, baik berupa limbah organik maupun anorganik yang berakibat pada menurunnya kualitas badan air penerimanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sitepu (2008) bahwa kegiatan rumah tangga yang membuang limbah langsung ke badan air tanpa pengolahan terlebih
6
dahulu akan meningkatkan limbah organik dan limbah anorganik dalam badan air. Ketidaktahuan masyarakat tentang bahaya limbah domestik yang langsung dibuang ke ekosistem perairan tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu dapat memperberat pencemaran pada ekosistem perairan yang menerima. Selain itu, banyaknya industri yang lokasinya berdekatan membuang langsung limbahnya ke dalam badan air akan menurunkan kemampuan air untuk mempurifikasi diri. Di lain pihak pada limbah industri di dalamnya mengandung berbagai bahan yang sulit untuk diuraikan seperti bahan sintetik dan limbah B3 termasuk di dalamnya limbah logam berat. Menurut Napitupilu (2009) dari industri yang ada di DKI Jakarta, hanya kurang lebih 5% yang mempunyai IPAL, sehingga 95% industri tersebut akan membuang limbahnya ke dalam badan air dengan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Banyaknya limbah tersebut selain akan menurunkan kualitas air juga dapat mengancam kehidupan biota air yang hidup di dalamnya, salah satunya adalah kerang hijau (Perna viridis) yang bersifat sessil. Namun, besaran data kontaminasi limbah terutama logam berat yang bersifat akumulatif pada biota air seperti kerang hijau, saat ini belum diketahui. Begitu pula halnya dengan kondisi kerang hijau saat ini serta bagaimana model akumilasinya pada kerang hijau, belum ada informasinya. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka permasalahan yang perlu diteliti adalah sebagai berikut. 1. Berapa besar bahan pencemar (beban pencemaran) yang masuk ke Teluk Jakarta saat ini 2. Berapa besar kontaminasi logam berat pada organ tubuh kerang hijau saat ini 3. Bagaimana kondisi morfologi kerang hijau di Teluk Jakarta (apakah terjadi malformasi pada kerang hijau) 4. Bagaimana model akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta yang menerima berbagai macam limbah dan saat ini kondisi kualitas airnya umumnya masuk pada kategori tercemar berat
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk 1. Mengkaji nilai beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta
7
2. Mengkaji informasi kontaminasi bahan pencemar logam berat pada tubuh kerang hijau (Perna viridis) 3. Mengkaji gambaran morfologi kerang hijau di Teluk Jakarta (melihat prosentase kejadian malformasi pada kerang hijau) 4. Mengkaji model akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta yang menerima berbagai macam limbah dan kondisi kualitas airnya yang saat ini umumnya masuk pada kategori tercemar berat
1.5.Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat 1. Sebagai sumber informasi ilmiah mengenai kondisi dan kualitas perairan, beban dan tingkat pencemaran di Teluk Jakarta serta akumulasinya pada kerang hijau. 2. Sebagai sumber informasi ilmiah mengenai kontaminasi bahan pencemar dan pengaruhnya terhadap malformasi biota laut, khususnya kerang hijau (Perna viridis) yang ada di Teluk Jakarta 3. Sebagai sumber informasi dan alat bantu pengambilan keputusan, kebijakan dan strategi dalam upaya pengendalian pencemaran perairan Teluk Jakarta 4. Sebagai sumber informasi dan pengetahuan terutama untuk penggemar kuliner seafood yang bahan bakunya berasal dari Teluk Jakarta
8
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Pencemaran adalah masuknya bahan dan senyawa dari kegiatan manusia ke lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya nilai guna, baik ditinjau secara fisik, kimia, biologi dan estetika. Pencemaran memerlukan penilaian yang subjektif. Sebagai contoh pencemaran bahan organik yang menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman di dalam air. Satu sisi adalah sisi positif, yaitu berupa terjadinya peningkatan kesuburan perairan yang berarti pula peningkatan potensi guna perairan. Di sisi lain, dampak buruk dari peningkatan unsur hara akan menganggu keseimbangan ekosistem perairan dan memerlukan penanganan yang serius (Connel dan Miller 1995; Damar 2004). Sumber pencemaran dapat dibagi menjadi dua, bersumber pada lokasi tertentu (point source) dan yang sumbernya tersebar (non point/diffuse source). Point source memiliki dampak yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sumber nonpoint source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak. Misalnya: limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik), dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003). Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan beberapa jenis pencemar dan sumbernya seperti yang tertera pada Tabel 1. Masalah pencemaran merupakan masalah besar dan pada umumnya merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan bidang industri dan domestik. Limbah industri jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak negatif bagi lingkungan, dan berakibat buruk pada organisme-organisme yang hidup di dalam ekosistem tersebut dan pada akhirnya akan berdampak buruk pada manusia. Bahan cemaran logam berat berasal dari berbagai kegiatan, namun kegiatan industri umumnya menghasilkan logam berat dalam limbahnya dalam jumlah yang lebih banyak dibanding kegiatan lainnya. Logam berat ini dapat terakumulasi dalam tubuh ikan, udang dan hasil laut lainnya dan bersifat racun, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi hasilhasil laut tersebut (Davis dan Cornwell, 1991 serta Klassen et al. 1991).
10
Tabel 1. Beberapa jenis pencemar dan sumbernya Sumber Tertentu (Point source) Jenis Pencemar
X
Sumber Tak Tentu (Non Point source) Limpasan Limpasan Daerah Daerah Perkotaan Pertanian X X
X X X X X X X
X X X X X -
Limbah Limbah Domestik Industri
1. Limbah yang dapat X menurunkan kadar oksigen X 2. Nutrien X 3. Patogen X 4. Sedimen 5. Garam-garam 6. Logam yang toksik 7. Bahan organik yang toksik 8. Pencemaran panas Sumber : Davis dan Cornwell (1991)
X X X X X -
2.1.1. Pencemaran Laut Bagi sebagian besar organisme, air merupakan bahan terpenting kedua setelah oksigen. Ketersediaan air dengan kualitas yang sesuai peruntukanya harus cukup dan mudah didapatkan. Masuknya bahan, senyawa atau zat lain secara langsung maupun tidak langsung ke air akan mengakibatkan fungsi air sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perubahan kualitas air dapat disebabkan oleh zat pencemar perairan maupun senyawa yang masuk ke aliran air atau tersimpan didasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat terjadi pencucian atau pengenceran. Senyawa tersebut, terutama yang beracun, berakumulasi dan menjadi suatu konsenterasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan. Haslam (1992) membagi zat pencemar menjadi: 1. Organisme patogen seperti bakteri, virus, dan protozoa 2. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik jika berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi. 3. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri) yang dalam proses dekomposisi oleh mikroorganisme (biasanya bakteri dan jamur untuk kemudian menjadi zat-zat inorganik) memerlukan oksigen sehingga nilai BOD dari suatu badan air tinggi.
11
4. Bahan inorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat, dan senyawasenyawanya, anion, seperti sulfida, sulfit dan sianida). 5. Bahan-bahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida, dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (<1 ppm). 6. Zat-zat/bahan-bahan radioaktif. 7. Pencemaran thermal ; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen. 8. Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya. Rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Partikel yang berukuran antara 1µm hingga 1nm, tetap dapat “melayang” dalam air, yang disebut colloidal solid. Air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu.
Jumlah sedimen
mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna. Air dengan kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta dari buangan lainnya disebut air limbah (Sugiharto 1987). Metcalf dan Eddy (2002) menambahkan air buangan tersebut berasal dari air yang digunakan pada berbagai kegiatan manusia, sehingga terdapat perubahan karakteristik air. Rump (1999) menerangkan lebih lanjut bahwa perubahan karakteristik tersebut berupa perubahan komposisi air setelah digunakan oleh manusia. Kualitas air merupakan indikator kondisi perairan apakah masih dalam keadaan baik atau tercemar (Kupchella dan Hyland 1993). Perubahan komposisi tersebut terjadi karena masuknya substansi unsur yang langsung dapat terdegradasi, unsur yang tidak langsung dapat terdegradasi, nutrisi untuk organisme autotrof, logam berat, garam, air buangan panas dan organisme patogen. Substansi tersebut bila masuk ke badan air dapat memberikan pengaruh pada kehidupan organisme akuatik dan manusia, sehingga kehidupan organisme dan manusia terganggu. Menurut Health Departement of Western Australia, air limbah terdiri dari 99,7% air dan 0,3% bahan lain, sedangkan menurut Mara dan Cairncross (1994) dan Sugiharto (1987)
12
air limbah terdiri dari 99,9% air dan 0,1% bahan lain seperti bahan padat, koloid dan terlarut. Bahan lain tersebut terbagi atas bahan organik dan anorganik. Bahan organik dalam air limbah terbagi atas 65% protein, 25% karbohidrat dan 10% lemak, sedangkan bahan anorganiknya terbagi menjadi butiran, garam dan metal (Sugiharto 1987). Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah dapat dilihat pada Gambar 2. Air limbah
Air (99%)
Bahan padat (0.1%)
Organik
Anorganik
Gambar 2. Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah (Sugiharto 1987) Dahuri (2003) menyatakan pengaruh yang membahayakan bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia, merupakan definisi pencemaran laut. GESAMP (Group of Expert on Scientific Aspect on Marine Pollution), dalam Sanusi (2006) mendefenisikan pencemaran laut sebagai masuknya zat-zat (substansi) atau energi ke dalam lingkungan laut dan estuari baik langsung maupun tidak langsung, akibat adanya kegiatan manusia yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, alur pelayaran) serta secara visual mereduksi keindahan (estetika). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Sanusi (2006) menjabarkan sifat toksik dan persistensi dari polutan yang masuk ke laut selain tergantung pada karakter fisik dan kimianya juga dari faktor lingkungan lautnya, yakni
13
1. Kemantapan ekosistem (constancy); terkait dengan besar kecilnya pengaruh perubahan; 2. Persistensi ekosistem (persistent); terkait dengan lamanya waktu untuk kelangsungan proses-proses normal ekosistem; 3. Kelembaman ekosistem (inertia); terkait dengan kemampuan bertahan terhadap gangguan eksternal; 4. Elastisitas ekosistem (elasticity); terkait dengan kekenyalan/kemampuan ekosistem untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami gangguan; 5. Amplitudo ekosistem (amplitude); terkait dengan besarnya skala gangguan namun daya pulih (recovery) masih memungkinkan.
2.1.2. Pencemaran di Teluk Jakarta Sutamihardja et al. (1982) menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta merupakan faktor yang sama yang menyebabkan pencemaran di laut, yakni: 1. Penggundulan hutan pada wilayah hulu dan penambangan pasir di daerah aliran sungai akan mengakibatkan erosi dan sedimentasi 2. Penggunaan pupuk kimia dan berbagai macam pestisida untuk intensifikasi pertanian mengakibatkan residu bahan kimia dan pestisida masuk ke aliran sungai dan laut. 3. Pemanfaatan sungai sebagai tempat sampah yang menyebabkan berbagai limbah mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut. Sampah padat sudah menimbulkan masalah di kota-kota besar. Limbah padat ini dapat ditemukan di mana-mana, ditimbun di tanah lapang tak terpakai, membusuk, terlarut dan masuk ke selokanselokan menuju ke sungai dan ke laut. Fungsi lain sungai yang kurang tepat, digunakan untuk MCK, misalnya di Sungai Ciliwung. 4. Minyak dapat mencemari lautan melalui dua cara, yakni, (a) sebagai hasil pemeliharaan bangunan di laut dan pecucian kapal dan (b) akibat kecelakaan kapal tangki. Pada tahun 2009 di wilayah Selat Malaka dan Singapura telah terjadi 25 kecelakaan kapal tangki, tubrukan atau terkandas.
14
5. Pengoperasian PLTU memerlukan air pendingin yang diambil air laut. Setelah digunakan air pendingin akan dibuang sebagai limbah panas. Di Teluk Jakarta terdapat dua lokasi PLTU, yakni di Muara Karang dan di Tanjung Priok. 6. Pencemaran dari kegiatan industri yang diakibatkan oleh faktor: a. Perencanaan kompleks industri yang tak teratur. b. Perluasan kota yang masuk ke kawasan industri menyebabkan berbaurnya pemukiman dengan kompleks industri. c. Tak tersedianya atau adanya pengolahan limbah yang tak sempurna. d. Karena kondisi yang miskin, air digunakan untuk industri dan untuk keperluan rumah tangga. e. Kesadaran akan bahaya limbah industri yang kurang atau tak ada. f. Kemampuan pulih-diri sungai-sungai yang menerima limbah yang berbeda. g. Musim kering yang mengakibatkan debit air sangat rendah. Pada wilayah DKI Jakarta, yang sebagian besar daerah pemukiman maupun industrinya membuang limbah ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu, akan sangat mempengaruhi kualitas Teluk Jakarta.
Japan Internasional Cooperation Agency
(JICA), menyatakan tahun 2010 jumlah limbah cair industri dari DKI Jakarta akan mencapai 256,631 m3/hari dengan beban polusi organik 118,600 kg BOD/hari. Kondisi pencemaran tersebut menjadi antara enam (6) sampai dengan sembilan kali (19) lipat dibandingkan pada awal dekade 1990. Masalah lain yang berkaitan dengan kualitas air di Teluk Jakarta pada saat ini adalah terjadinya eutrofikasi, bahkan pada kawasan pesisir telah terjadi kondisi hypereutrofikasi (Damar 2004). Mulyono (2000) menyatakan eutrofikasi pada perairan Teluk Jakarta disebabkan dua hal yakni: (a) beban (load) bahan pencemar yang dibawa melalui sungai dan saluran-saluran pembuangan (out full) yang bermuara ke perairan Teluk Jakarta dan (b) proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di perairan Teluk Jakarta.
2.2. Logam Berat Manahan (1995) dan Vries et al. (2002) menyatakan bahwa logam berat adalah unsur yang termasuk ke dalam logam transisi dan umumnya bersifat trace elements. De
15
Groot, Salomons, Allersma (1976) mengemukakan bahwa yang juga termasuk pada logam berat adalah Cr, Mn, Fr, Co, Ni Cu dan Zn yang berada di baris pertama di logam transisi pada tabel periodik (Gambar 3). Selanjutnya Palar (2004) menambahkan logam berat merupakan istilah untuk mengelompokan ion-ion logam berat dalam tiga kelompok secara biokimia, yakni (1) Logam yang dengan mudah mengalami reaksi dengan unsur oksigen (oxygen seeking metals) (2) Logam yang dengan mudah megalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur nitrogen atau belerang atau sulfur (nitrogen sulfur-seeking metals) (3) Logam antara atau transisi yang memiliki sifat spesifik sebagai logam pengganti (ion pengganti) Palar (2004) menyatakan bahwa logam berat memiliki spesifikasi gravitasi lebih dari 4 dengan nomer atom 22-34 dan 40-50 serta unsur lantanida dan aktinida serta memiliki respon biokimia spesifik (khas) pada mahluk hidup. Mamboya (2007) dan Sanusi (2006) menambahkan, secara umum logam berat merupakan unsur kimia dengan berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3 dan densitas lebih dari 5 g/ml. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat kurang lebih 53 dari 90 unsur alami yang termasuk pada kategori logam berat, sedangkan menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat.
Selanjutnya
Manahan (1995) menyatakan bahwa sebagian besar logam berat memiliki afinitas (daya tarik atau bergabung) tinggi terhadap sulfur dan akan menonaktifkan enzim dengan cara memutus ikatan sulfur. Vouk (1986) menambahkan logam berat akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Manahan (1995) juga menyatakan bahwa logam berat juga dapat mengendapkan fosfat dan mengkatalis penguraian fosfat. Selain itu logam berat dapat melakukan ikatan kimia dengan gugus protein asam karboksilat (-CO2H) dan gugus amino (-NO2 ).
16
Gambar 3. Tabel periodik ( http://www.ptable.com/)
Moore dan Ramamoorthy (1984) menjelaskan lebih lanjut sifat logam berat, yakni: 1) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan); 2) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan; 3) Memiliki EC10 dan LC50 - 96 jam yang rendah; 4) Memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut; 5) Memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment factor) yang besar dalam tubuh biota laut. Faktor konsentrasi atau disebut pula koefisien bioakumulasi adalah rasio antara kadar polutan dalam tubuh biota akuatik dan kadar polutan yang bersangkutan dalam kolom air. Alloway (2001) menyatakan bahwa pada dasarnya logam berat dibagi lagi menjadi dua kelompok, yakni logam berat yang bersifat esensial dan logam berat yang bersifat non esensial. Logam berat esensial adalah logam berat yang dibutuhkan oleh tubuh organisme untuk melaksanakan proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Apabila dalam tubuh terjadi kekurangan logam berat esensial, maka akan mengakibatkan munculnya penyakit atau bahkan kematian pada mahluk hidup, baik pada tumbuhan maupun pada hewan. Adapun contoh dari elemen esensial antara lain adalah unsur Co
17
yang merupakan elemen esensial untuk bakteria dan hewan, unsur Cr untuk hewan, unsur Cu untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mn untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mo untuk tumbuhan, unsur Ni untuk tumbuhan, unsur Se untuk hewan dan unsur Zn untuk tumbuhan dan hewan. Contoh logam berat non esensial antara lain adalah unsur Ag, As, Ba, Cd, Hg, TI, Pb, Sb. Hingga saat ini manfaat unsur-unsur tersebut belum diketahui, sehingga peran unsur-unsur tersebut masih belum jelas apakah sama seperti logam berat esensial atau tidak. Namun demikian logam berat non esensial tersebut di atas sudah terbukti memiliki dampak racun jika terdapat dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang sudah ditentukan. Selanjutnya Alloway (1995) menambahkan bahwa logam berat yang berpotensi bahaya (menjadi racun) adalah As, Cd, Cu, Cr, Hg, Pb dan Zn. Pada dasarnya jika suatu jenis logam berat terdapat dalam tanah, maka akan terjadi beberapa kemungkinan, dan salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah terjadinya reaksi kimia dari logam berat tersebut. Adapun reaksi yang mungkin terjadi terhadap logam berat dalam tanah jika dalam tanah tersebut terdapat senyawa organik atau senyawa inorganik antara lain adalah: -
membentuk senyawa larut, komleks dari berbagai macam molekul
-
presipitasi atau kopresipitasi
-
terinkorporasi ke dalam struktur mineral
-
terakumulasi atau terfiksasi ke dalam bahan biologi
-
dikompleks dengan agen pengkhelat
-
diabsorb dalam mineral liat atau koloid organik Pada dasarnya sifat logam berat tidak hanya ditentukan oleh sifat fisika dan sifat
kimia logam berat tersebut, namun juga dipengaruhi oleh unsur eksternal, yakni dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan berbagai faktor lingkungan tempat logam tersebut berada. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sifat logam berat tersebut antara lain adalah kemasaman lingkungan (misalnya kemasaman tanah atau kemasaman air), bahan organik yang terdapat di lingkungan tempat logam berat tersebut berada, suhu, tekstur, mineral liat serta unsur logam berat lainnya. Sebagai contoh dalam hal kemasaman lingkungan, dapat disitir pendapat Stotzki (1978) dan Klein dan Trayer (1995) yakni, jika logam berat tersebut berada pada lingkungan dengan pH antara 7-7,5, misalnya unsur Cd akan dalam bentuk bebas Cd 2+ dan Cd(OH)+. Namun demikian jika
18
pH lingkungan berada pada nilai 9, maka bentuk Cd akan berubah menjadi Cd(OH)2. Berdasarkan hal tersebut, maka secara umum penurunan pH akan meningkatkan ketersediaan logam berat kecuali Mo dan Sn. Hal ini disebabkan pada pH yang rendah, logam berat akan lepas atau larut dalam air, sehingga konsentrasinya dalam air mengalami peningkatan.
2.3. Pencemaran dan Toksisitas Logam Berat Logam berat merupakan bahan buangan hasil kegiatan yang menimbulkan pencemaran terutama perairan laut di negara berkembang. Sumber limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas industri, pertambangan, pertanian dan pemukiman. Bryan dalam Rochayatun et al. (2005) menyatakan 18 jenis logam berat yang dipertimbangkan sebagai bahan pencemar, terutama dalam jumlah berlebih sangat beracun bagi kehidupan organisme. Pada batas dan kadar tertentu, semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap organisme perairan. Bryan (1984) dalam Darmono (2001) menambahkan dampak negatif tersebut dipengaruhi juga oleh jenis logam, interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan, daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen. Faktor lain yang mempengaruhi toksisitas logam berat adalah suhu dan pH, salinitas dan kesadahan (Hutagalung, 1984). Toksisitas logam berat semakin tinggi saat terjadi penurunan pH dan/atau penurunan salinitas perairan dan/atau meningkatnya suhu. Toksisitas logam berat akan menurun seiring meningkatnya kesadahan.
Sanusi (2006) menyatakan saat peningkatan
kesadahan, logam berat akan membentuk senyawa komplek dan mengendap pada substrat sehingga toksisitasnya menurun. Moore dan Ramamoorthy (1984) mengelompokan logam berat berdasarkan sifat toksisitasnya, yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Logam berat yang bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia.
19
Darmono (1995) menyatakan pencemaran logam berat yang terjadi di wilayah estuaria, erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pada air laut dilautan lepas kontaminasi logam berat biasanya terjadi secara langsung dari atmosfer atau karena tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker yang melaluinya, sedangkan di daerah sekitar pantai kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri atau pertambangan. Pada daerah-daerah perindustrian, sungai dan laut sekitarnya umumnya berangsur-angsur menerima tekanan terus menerus. Muara sungai umumnya merupakan alur perjalanan bahan cemaran yang dibawa melalui sungai dari aktivitas didarat ke laut (Rochyatun et al. 2005).
2.4. Karakteristik Logam Berat 2.4.1. Merkuri (Hg) Merkuri (hydrargyrum atau Hg) memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989).
Sumber alami merkuri berasal dari
pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung HgS (cinnabar) (Effendi 2003). Lu (2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat merupakan sumber merkuri yang dapat menambah keberadaannya di alam. Merkuri dan turunannya banyak dipakai dalam pembuatan cat, baterai, komponen listrik, ekstraksi emas dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti fouling), serta fotografi dan elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi gas klorin dan asam klorida juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird 1995; Darmono 1995; Effendi 2003; Fardiaz 2005). Logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industriindustri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik. Pada alat-alat pencatat suhu seperti termometer, cairan yang dipakai pada umumnya adalah logam merkuri karena bentuknya yang cair pada kisaran suhu yang luas, uniform, pemuaian serta konduktivitasnya tinggi (Fardiaz 2005). Penggunaan merkuri terkait dengan sifat merkuri yang dijabarkan oleh Darmono (1995); Effendi (2003); Fardiaz (2005):
20
1. Berbentuk cair pada suhu kamar (25oC) dan memiliki titik beku yang paling rendah dibanding logam lainnya (-39oC). Dalam bentuk cair, merkuri memiliki kisaran suhu yang lebar (396 oC) 2. Volatilitas yang tinggi dibanding logam lainnya 3. Konduktor yang baik dengan ketahanan listrik yang rendah 4. Mudah dicampur dengan logam lain menjadi logam campuran yang disebut logam campuran (amalgam/alloy); 5. Toksik terhadap semua makhluk hidup Toksisitas mekuri yang sangat tinggi, mengakibatkan hanya bakteri anaerobik saja yang dapat melakukan mobilisasi terhadap logam ini. Manahan (2001) menyatakan merkuri ditemukan sebagi trace komponen pada banyak mineral, dengan kandungan di bebatuan kurang lebih 80 ppb atau kurang. Cinnabar atau merkuri sulfida merah merupakan salah satu jenis merkuri yang sangat mahal. Fosil batu bara dan lignite mengandung merkuri kurang lebih 100 ppm atau lebih dari itu.
Logam merkuri
dihasilkan secara alamiah dari pengolahan bijihnya, cinnabar, dengan menggunakan oksigen melalui reaksi (1) dibawah ini: HgS + O2
Hg + SO2 ……….(1)
Logam merkuri yang dihasilkan ini, digunakan dalam sintesa senyawa- senyawa anorganik dan organik yang mengandung merkuri. Dalam kehidupan sehari-hari, merkuri berada dalam tiga bentuk dasar, yaitu merkuri metalik, merkuri anorganik dan merkuri organik.
Di lingkungan perairan, merkuri organik dan anorganik paling
mendominasi (Fardiaz 2005; Lu 2006; Sanusi 2006), seperti dinyatakan sebagai berikut: a. Merkuri anorganik, ion logam merkuri (Hg2+) dan garam-garamnya seperti merkuri klorida (HgCl2) dan merkuri oksida (HgO2); b. Komponen merkuri organik:
Aril merkuri, mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil merkuri asetat
Alkil merkuri, mengandung hidrokarbon alifatik dan merupakan merkuri yang paling beracun, misalnya metil merkuri dan etil merkuri
Alkoksialkil merkuri (R-O-Hg).
21
Pada lingkungan perairan, merkuri dapat ditemui dalam 3 bentuk yaitu Hg0, Hg+ dan Hg2+, bentuk-bentuk ini sangat ditentukan oleh rekasi oksidasi dan reduksi yang ada. Di perairan yang konsentrasi oksigennya rendah atau dalam kondisi tereduksi, maka kebanyakan dari merkuri ini akan terbentuk dalam Hg0 dan Hg+, sedangkan merkuri akan berbentuk Hg2+ dalam kondisi yang kaya akan oksigen atau kondisi oksidasi. Merkuri akan menjadi HgS jika terdapat sulfit dalam perairan (Sanusi dan Putranto, 2009). Di perairan yang tidak tercemar, kadar Hg2+ terlarut sebanyak 0,02–0,1 mg/l (air tawar) dan <0,01–0,03 mg/l (air laut) (Sanusi 2006). Sifat Hg yang sangat reaktif membuat Hg sangat mudah membetuk ikatan- ikatan komplek dengan ligan organik dan inorganik. Ikatan dengan ligan organik seperti grup alkyl dan aryl yang ada dalam perairan seperti CH3-Hg+, (CH3)2-Hg+, CH3(CH2)-Hg+, dsb. Ikatan merkuri dengan ligan inorganik akan menghasilkan sifat amphypilic seperti CH3-HgCl dan hydrophobic seperti CH3-Hg+ dan (CH3)2-Hg. Senyawa organik Hg yang bersifat toksik adalah CH3-Hg+ yang terbentuk akibat proses metilasi dalam perairan. Proses metilasi ini sangat dipengaruhi oleh temperatur, kondisi redoks, kadar, ukuran partikel sedimen, aktivitas metabolisme bakteri dan jumlah ligan organik yang ada. Terdapat beberapa senyawa organik-Hg, namun senyawa yang bersifat toksik adalah CH3-Hg+ yang terbentuk oleh proses metilasi dalam perairan, seperti ditampilkan dalam reaksi (2) (Baird 1995):
……….(2) Moore dan Ramamoorthy (1984) menambahkan bahwa merkuri juga melakukan ikatan kordinasi dengan ligan-ligan yang ada dalam perairan seperti HgCl2 dan Hg(OH)2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini adalah kandungan kadar Hg, ligan yang tersedia, pH perairan dan oksigen terlarut. Sebagai contoh, pada lingkungan laut yang memiliki kadar salinitas tinggi, ligan Cl- -nya akan tersedia dalam jumlah yang cukup, sehingga kebanyakan dari Hg akan membentuk spesiasi menjadi HgCl42+. HgCl2 dan komplek kloro-merkuri lainnya merupakan jenis merkuri yang dominan di
22
lautan. Pada perairan tawar dan estuaria yang memiliki pH rendah (4,0-6,0), ion Hg2+ nya akan mengalami hidrolisis membentuk Hg(OH)2 dan merupakan jenis yang dominan di lingkungan ini. Hubungan antara pH dan kadar Cl- dalam pembentukan jenis senyawa Hg diperlihatkan pada Gambar 4. Sanusi (2006) menyatakan proses metilasi Hg pada kolom perairan dan sedimen dipengaruhi oleh bahan organik, ketersediaan logam berat donor, ukuran partikel sedimen, temperatur, kondisi reduksi-oksidasi dan aktivitas metabolik bakteri (jenis Clostridium, Methanobacter, Neurospora, Pseudomonas). Pada perairan yang telah tercemar bahan organik, keberadaan Hg dapat mempengaruhi kesuburan dan trophic level-nya. Pada sedimen, proses pembentukan kompleks organik-Hg dipengaruhi oleh ukuran partikel sedimen, kandungan bahan organik pada sedimen, dan pH (Sanusi 2006). Proses adsorpsi Hg efektif pada sedimen halus (luas permukaannya besar) dan efektif pada ketebalan sedimen 1 mm
Gambar 4. Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg (Moore dan Ramamoorthy 1984) Konsentrasi merkuri jauh lebih tinggi di lingkungan pantai bila dibandingkan dengan laut terbuka. Pantai dan estuari yang belum tercemar mengandung kurang lebih 20 ng/L mekuri. Kandungan merkuri yang lebih tinggi ditemukan di di Estuaria Derwent, Tasmania yang mengandung lebih dari 350 ng/L merkuri, sebagai perbandingan, Tabel 2 menunjukkan konsentrasi merkuri di beberapa tempat. Konsentrasi elemen merkuri organik akan semakin meningkat dengan bertambahnya
23
kedalaman. Konsentrasi merkuri yang berasosiasi dengan suspended material di sungai dan estuari kurang lebih 12 μg/L. Kurang lebih 0,4-2,7 μg/L merkuti ditemukan di Sungai Seine, Prancis. Sedimen lautan dan estuaria yang belum tercemar mengandung kurang lebih 0,2 μg/g merkuri atau bahkan kurang, sedangkan di Teluk Fransisco, Teluk Belingham dan Teluk Chesapeake yang sudah tercemar mengandung merkuri sebanyak 0,4-10,7 μg/g. Sedimen dari basin Lautan Arctic mengandung 0,034-0,116 μg/g merkuri (Neff 2002).
Tabel 2. Konsentrasi merkuri (ng/l) di beberapa tempat Location Dogger Bank, North Sea North Sea, Offshore North Sea, Nearshore Offshore Great Britain English Channel Straits of Dover British Estuaries Lapdev Sea, N. Russia Kara Sea, N. Russia North Atlantic Surface Water Equatorial Pacific Deep Water Halifax harbor, Canada Patuxent River Estuary, MD Scotian Shelf, Surface Water Scotian Shelf, Deep Water Eastern Atlantic Ocean, Surface water Eastern Atlantic Ocean, Deep water North Atlantic Ocean Mediterranean Sea, 1-1500 m South Florida Estuaries Sumber: Neff (2002)
Total Mercury
Reactive Mercury
0.19-0.42 0.34 0.72 <0.2-6.7 0.19-4.1 0.12-1.3 0.35-19.0 0.80-2.7 0.14-3.4 0.31 0.04-0.30 0.10-0.50 0.16-1.28 3.0-7.4
0.16-0.38 0.19 0.02-1.2 1.2 0.66-0.94 0.24-0.76 0.07-0.14 0.07-0.29 0.05-0.19 -
Menurut Neff (2002) pembentukan komplek logam dengan material organik dapat mengurangi pengambilan logam oleh organisme laut. Pengambilan merkuri oleh Uca pugnax dan kerang Modiolus demisscus menurun seiring dengan semakin banyaknya material organik yang masuk ke lingkungannya. Methylmerkuri lebih cepat diakumulasi oleh organisme bila dibandingkan dengan merkuri inorganik dan plankton dapat
24
menyerap kedua jenis merkuri ini. Kebanyakan dari merkuri yang masuk ke dalam tubuh organisme ini akan di akumulasi dalam jaringan tubuh organisme.
Cacing
polychaeta Capitala capitata, kebanyakan mendapat merkuri dari alga atau detritus yang dimakannya.
Pada lobster Nephrops norvegica akumulasi merkuri terjadi di
bagian insang dan hepatopankreasnya.
Setiap organisme memiliki pebedaan
konsentrasi merkuri pada tiap jaringannya (Tabel 3). Organisme sendiri dapat mengasimilasi merkuri yang masung ke dalam tubuhnya (Tabel 4).
Tabel 3. Konsentrasi merkuri (mg/l) pada jaringan beberapa organisme laut dari Telyk Terra Nova, Antartica Spesies Scallop (Adamussium colbecki) Fish (Trenuttomus bernacchii) Adelie Penguin (Pygoscells adeliae) Weddell Seal (Leptonychotes weddellii) Sumber: Neff (2002)
Otot 0,2 0,83 0,6 1,85
Hati 0,35 0,46 1,6 44
Organ Lain 0,86 (insang) 0,94 (ginjal) 1,20 (ginjal) 24,0 (limfa)
Tabel 4. Efisiensi merkuri inorganik dan methyl merkuri dari makanan dan sedimen oleh organisme laut Efisiensi Asimilasi (%) Animal Food Hg(II) CH3Hg Polychaetes Nereis succinia Oxic sediment 7-22 66-75 Mussel Mytilus edulis Oxic sediment 1-9 30-87 Copepod Acartia tonsa Diatoms 15 62 Fish Cyprinodon variegatus Copepods 37 76 Plaice Pleuronectes platessa Polychaetes 5 80 Sumber: Neff (2002)
Hasil penelitian Mance (1990) memperlihatkan bahwa pada embrio ikan Fundulus heteroclitus yang terpapar dengan merkuri 0,067 mg/liter akan mengalami kematian populasi 50% (LC50) setelah 4 hari percobaan, setelah 32 hari pemaparan didapatkan bahwa merkuri juga akan mengurangi tingkat kesuksesan penetasan dan proses setelah penetasan.
Fase zoea pada krustasea juga memiliki respon yang sensitif terhadap
merkuri seperti halnya pada ikan. Percobaan yang dilakukan pada kepiting Cancer magister menunjukkan LC50 setelah terpapar selama 4 hari dengan merkuri sebanyak 0,008 mg/liter. Efek yang sama didapatkan pada Penaeus indicus dengan konsentrasi
25
merkuri yang lebih tinggi yaitu 0,015 mg/liter, namun spesies ini tidak menunjukkan efek yang berarti setelah terpapar dengan merkuri selama 28 hari pada konsetrasi 0,006 mg/liter. Pada larva bivalvia spesies Crassostrea gigas dan Mytilus edulis setelah terpapar dengan Hg dengan median efek konsentrasi (EC50) masing-masing sebanyak 0,0067 dan 0,0058 mg/liter akan menunjukkan perkembangan larva yang tidak normal.
2.4.2. Kadmium (Cd) Kadmium disingkat dengan Cd (cadmium) memiliki nomor atom 49, dengan berat atom 112,41 g/mol, memiliki titik didih dan titik leleh masing-masing 765 oC dan 320,9 o
C (Cotton dan Wilkinson 1989). Kadmium hampir selalu ditemukan dalam jumlah
yang kecil dalam bijih-bijih seng, seperti sphalerite (ZnS). Greenokcite (CdS) merupakan mineral satu-satunya yang mengandung kadmium. Hampir semua kadmium diambil sebagai hasil produksi dalam persiapan bijih-bijih seng, tembaga dan timbal. Sumber utama polutan kadmium berasal dari aktivitas industri dan sisa-sisa penambangan.
Produksi kadmium setiap tahunnya adalah 15.000–20.000 ton, dan
kadmium tersebut diproduksi dari hasil penambangan (Paasivirta 2000). Sebagian besar makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padi-padian dan produk biji-bijian biasanya merupakan sumber utama kadmium.
Asap rokok juga menyebabkan
meningkatnya kadmium di lingkungan (Baird 1995; Lu 2006). Kadmium mempunyai sifat tahan panas, sehingga baik untuk campuran-campuran bahan-bahan keramik dan plastik, kadmium juga sangat tahan terhadap korosi sehingga cocok untuk melapisi plat besi dan baja (Darmono 1995).
Kadmium juga digunakan sebagai pigmen pada
keramik, pada penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird, 1995; Lu 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai Ni-Cd (nikel kadmium). Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidril daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Pada perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik.
Di perairan,
kadmium akan melakukan ikatan koordinasi dengan ligan organik dan anorganik seperti CdSO4, Cd-Organik, CdCl+, Cd(OH), dan Cd2+. Kadmium akan menghasilkan produk hidrolisis ketika terlarut oleh air (H2O) melalui reaksi (3):
26
Cd2+ + H2O
Cd(OH)+ + H+ ……….(3)
Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat kelarutan yang berbeda, yakni: 2+
Cd >CdSO4>CdCl+>CdCO3>Cd(OH)+ (Sanusi 2006).
Afinitas Cd terhadap anion
klorida dibandingkan dengan logam berat lainnya sesuai urutan adalah Hg > Cd > Pb > Zn, dalam hal ini Cd menempati urutan kedua setelah Hg (Hahne dan Kroontje 1973 dalam Moore dan Ramamoorthy 1984). Bahan organik terlarut dalam perairan (gugus asam amino, sistein, polisakarida dan asam karbosiklik) memiliki kapasitas membentuk ikatan kompleks dengan Cd dan logam berat lainnya. Demikian pula keberadaan asam humus (humic substances) dalam perairan seperti asam fulvik dan asam humik akan membentuk ikatan kompleks (kelasi) dengan Cd.
Pada umumnya stabilitas ikatan
kompleks logam berat-asam humus mengikuti deret Irving–Williams (Irving–Williams Order) sebagai berikut: Mg
Kadmium dalam air laut
berbentuk senyawa klorida (CdCl2), sedangkan pada perairan tawar kadmium berbentuk karbonat (CdCO3). Pada perairan payau kedua senyawa tersebut berimbang (Darmono 1995). Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29–0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb. Konsentrasi kadmium di kolom permukaan air laut terbuka antara 1-100 ng/L. Pada perairan pantai konsentrasinya kurang lebih 200 ng/L, namun konsentrasinya akan meningkat menjadi 5000 ng/L di daerah estuaria yang berada di dekat daerah pertambangan. Tabel 5 menunjukan konsentrasi kadmium terlarut di beberapa perairan. Konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah laut. Pada laut terbuka, konsentrasi kadmium terlarut akan semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman, namun sebaliknya konsentrasi partikulat kadmium
27
akan tinggi di permukaan dan menjadi semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Sebanyak 0,1-0,6 μg/g kadmium terkandung pada sedimen perairan yang belum mengalami pencemaran. Di daerah Perairan Atlantik dan Teluk Florida mengandung 0,01-0,3 μg/g kadmium dan konsentrasi kadmium ini berkorelasi positif dengan kandungan aluminium. Di daerah Pelabuhan New Bedfor yang sudah tercemar, konsentrasi kadmium dalam sedimen sekitar 52 μg/g dan 460 μg/g di Teluk Spencer Australia Selatan. Kadmium juga ditemukan pada air interstitial dengan konsentrasi 0,002-108 μg/L. Konsentrasi kadmium di Teluk Villefrance, Prancis menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman dan meningkat lagi pada kedalaman lebih dari 27 cm (Neff, 2002). Tabel 5. Konsentrasi kadmium terlarut (μg/l) di beberapa perairan Lokasi Rentang Konsentrasi Cd Northwestern Gulf of Mexico 0.001-0.02 San Andres Lagoon, Mexico 0.33 Savannah River Estuary, GA 0.002-0.016 Medway Estuary, Nova Scotia 0.008-0.214 British estuaries 0.007-0.22 British coastal waters 0.004-0.081 British coastal waters 0.02-1.38 North Sea 0.01-0.051 North Sea 0.006-0.025 Dogger Bank, North Sea 0.015-0.025 German Bight 0.016-0.046 English Channel 0.011-0.022 English Channel 0.011-0.063 Irish Sea 0.013-0.081 Eastern Atlantic Ocean 0.001-0.018 South Atlantic Ocean 0.028-0.084 Greenland Sea 0.007-0.028 E. Mediterranean Sea 0.0002- 11 S. China Sea <0.003-0.118 Philippine Sea <0.003-0.119 Pacific Ocean 0.067 Indian Ocean 0.083-0.113 Scotia/Weddell Sea, Antarctica 0.019-0.107 Sumber: Neff (2002)
28
Tabel 6. Konsentrasi kadmium (μg/g) pada jaringan otot beberapa organisme Taksa Jumlah Analisis Rentang Konsentrasi Cd Total 710 0,001-277 Phytoplankton 9 0,04–4,6 Macroalgae 69 0,1–29,8 Seagrasses 2 1,0–4,9 Coelenterates 2 0,37–4,56 Ctenophores 4 0,10–13,1 Nemertines 9 0,04–9,6 Polychaetes 24 0,12–45,0 Zooplankton 11 0,10–7,0 Shrimp 50 0,001–13,3 Lobsters 9 0,05–13,4 Crabs 15 0,03–1,06 Crustaceans 23 0,14–117 Insects 2 16,8–61,6 Clams 44 0,05–26,1 Scallops 7 0,58–36,3 Mussels 108 0,02–65,5 Oysters 99 0,03–144 Snails 32 0,15–277 Squid 4 0,05–3,4 Chaetognaths 2 0,15–1,29 Echinoderms 5 0,14–4,65 Fish 128 0,001–5,80 Sea Turtles 8 0,30–2,85 Marine Birds 20 0,08–3,34 Marine Mammals 22 0,03–2,4 Sumber: Neff (2002)
Kadmium termasuk logam berat yang sangat sulit didegradasi oleh organisme, sehingga kalau terabsopsi oleh tubuh organisme laut, maka konsentrasinya akan menjadi semakin meningkat seiring dengan waktu. Biokonsentrasi kadmium dalam tubuh fitoplankton sangat tergantung dari jumlah kadmium yang terlarut dalam kolom perairan. Kebanyakan dari kadmium ini akan terakumulasi pada bagian insang organisme dan beberapa organisme memiliki kemampuan untuk mentransfer kadmium ini ke dalam ephitelliumnya. Setelah masuk ke dalam tubuh, kadmium yang masuk ke dalam tubuh invertebrata, ikan, burung dan mamalia akan membentuk ikatan dengan protein sebagai metallothionin. Pada kima Crasostrea gigas, kadmium kebanyakan
29
diakumulasi pada bagian ginjal. Pada lobster, kadmium dengan jumlah yang paling banyak ditemukan pada organ hepatopankreas (Paasivirta, 2000). Tabel 6 menunjukkan konsentrasi kadmium pada jaringan otot beberapa organisme. Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Effendi 2003; Lu 2006).
Manahan (2001) menambahkan keracunan akut Cd ke
manusia akan menimbulkan efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan tekanan darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah. Efek ini hampir mirip apabila manusia mengalami keracunan Cd. Secara spesifik, Cd akan menggantikan Zn yang ada dalam enzim. Toksisitas Cd lebih rendah bila dibandingkan dengan toksisitas Hg dan Cu. Namun demikian, Cd dapat mereduksi klorofil, ATP, dan mengurangi konsumsi O2 fitoplankton dengan konsentarsi 0,01-0,1 mg/l ketika membentuk ikatan komplek CdCl2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika konsentrasinya menjadi meningkat, misalnya dapat menyebabkan toksistas akut pada ikan estuari pada konsentrasi Cd terlarut sebesar 8–85 mg/l (Mance 1990).
2.4.3. Timbal (Pb) Timbal bernama latin plumbum (Pb), nomor atomnya 82 dan berat atomnya 207,20 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989). Timbal secara alami berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung timbal sulfida (PbS) (Effendi 2003). Lu (2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat merupakan sumber timbal yang dapat menambah keberadaannya di alam.
Dalam
pertambangan, timbal berbentuk timbal sulfida (PbS) yang disebut galena. Penggunaan Pb yang paling besar adalah untuk baterai kendaraan bermotor. Elektroda dari aki biasanaya mengandung 93% Pb dan 7% Sb (antimoni). Pb sangat baik dalam merangsang arus listrik, yang dalam hal ini Pb berbentuk PbO2 dan Pb logam. Pb juga dipergunakan dalam industri percetakan (tinta), sekering, alat listrik, amunis, kabel dan solder. Sifatnya yang dapat mencegah terjadinya karat, membuat Pb banyak dipergunakan untuk melapisi logam lain seperti untuk melapisi pipa-pipa air atau pipa yang dialiri bahan yang bersifat korosif.
Lebih dari 200.000 ton Pb
30
dipergunakan dalam industri kimia yang berbentuk tetra-etil-Pb, yang biasanya dicampur dengan bahan bakar minyak (BBM) dengan tujuan meningkatkan daya tahan mesin. Sifat Pb yang tahan korosif dan sifat yang mudah menyatu dengan bahan lain, mengakibatkan Pb banyak digunakan sebagai campuran cat misalnya Pb putih (Pb(OH)22PbCO3), Pb merah, Pb merah cerah (Pb3O4) dan PbCrO4 untuk warna kuning. Penggunaan lainnya adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa, solder, bahan kimia dan pewarna (Fardiaz 2005; Lu 2006; Darmono 1995). Penggunaan timah hitam/timbal tersebut karena timbal memiliki sifat unggul (Darmono 1995; Fardiaz 2005) yakni: 1. Mempunyai titik lebur yang rendah sehingga mudah digunakan dan murah biaya operasinya. 2. Mudah dibentuk karena sifat logamnya yang lunak 3. Mempunyai sifat kimia aktif sehingga dapat dipergunakan untuk melapisi logam untuk mencegah terjadinya perkaratan 4. Kepadatan melebihi logam lain 5. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni 6. Memiliki densitas yang tinggi dibanding logam lain; kecuali emas dan merkuri, yaitu 11,34 g/cm3 7. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan udara lembab Seperti logam berat lainnya, Pb juga merupakan unsur yang bersifat reaktif. Di dalam badan perairan, Pb akan membentuk ikatan komplek dengan ligan organik dan inorganik yang ada. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Pb akan membentuk ikatan komplek dengan logam organik apabila di ligan organik tersebut mengandung unsur S, N, dan O. Pb sendiri akan membentuk Pb3(PO4)2 dan PbS jika tersedia ligan inorganik berupa fosfat (PO43-) dan sulfida (S2-). Pb juga akan mengalami proses hidrolisis menjadi Pb(OH)+ dan akan terlarut pada saat pH perairan lebih dari 6,0 dan menjadi Pb(OH)+ solid pada saat pH perairan lebih dari 10,0. Berdasarkan hal tersebut, maka di lingkungan laut yang memiliki pH yang cenderung basa (7,5-8,5), kebanyakan dari Pb ini ditemukan dalam bentuk Pb(OH)+ terlarut lebih banyak bila dibandingkan dengan PbCl2 atau PbCO3. Bahan bakar yang mengandung
31
timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di perairan. Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009). Konsetrasi timah hitam (timbal) pada perairan laut terbuka yang belum tercemar kurang lebih 0,002-0,3 μg/L, namun konsetrasinya akan menjadi lebih dari 1 μg/L pada perairan pantai atau perairan teluk. Konsentrasi timbal di Samudra Atlantik Utara pada kondisi terlarut dan tersuspensi masing-masing 0,002-0,029 dan 0,0001-0,0004 μg/L. Tabel 7 di bawah menunjukkan konsentrasi timbal di beberapa perairan. Konsentrasi timbal di sedimen estuari dan pantai yang belum tercemar adalah 5-30 μg/g. Namun konsentrasi timbal ini akan menjadi meningkat pada daerah pantai yang berdekatan dengan pusat-pusat industri, seperti di sedimen Teluk San Francisco mengandung kurang lebih 2900 μg/g timah (Neff, 2002). Tabel 7. Konsentrasi timah terlarut (μg/l) di beberapa perairan Lokasi N. Atlantic Surface Water S. Atlantic Surface Water Bermuda S. North Sea Surface Water S. North Sea Bottom Water Offshore UK Surface Water British Estuaries Bristol Channel & Severn Estuary, UK Greenland Sea Ross Sea, Antarctica East China Sea Gulf of Mexico off LA Galveston Bay, TX S. California Bight Offshore S. California Bight Nearshore San Francisco Bay, CA Sumber: Neff (2002)
Pb Terlarut 0,002–0,029 0,003 0,016 0,008–0,20 0,017–0,087 0,021–0,19 0,023–1,1 0,02–10,0 0,004–0,104 0,005–0,027 0,041–0,517 0,02–0,05 0,009–0,02 0,004–0,012 0,009–0,06 0,041
Konsentrasi akumulasi timbal dalam tubuh organisme akan membentuk kurva linier dengan jumlah timbal terlarut. Kebanyakan organisme air mengakumulasi logam ini pada bagian insang dan mantel. Pada bivalvia yang sudah terkontaminasi logam timbal ternyata memiliki kemampuan untuk melepaskan logam ini kembali ke dalam perairan setelah dilepas pada daerah yang tidak terkontaminasi. Akumulasi logam ini
32
dapat melalui rantai makanan seperti Capitela capitata yang mengakumulasi timbal dari detritus dan alga yang dimakannya dan konsentrasinya dalam tubuh akan semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya alga yang dimakan.
Kerang
Scrobicularia plana dan Polychaeta Nereis diversicolor memiliki kemampuan mengakumulasi timbal dari sedimen yang anoksik. Konsentrasi timbal pada jaringan beberapa organisme dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Konsentrasi timah pada jaringan (μg/g) beberapa organisme Spesies Phytoplankton Green Alga Caulerpa taxifolia Brown Alga Fucus vesiculosus Red Algae (several spp.) Sea Grass Posidonia oceanica Sponges (several spp.) Reef Corals (2 spp.) Benthic Nematodes Nemerteans (2 spp.) Polychaetes (several spp.) Trough Shell Spisula subtruncata Mussels Mytilus spp. Oysters Crassostrea gigas Oysters C. gigas Bivalves (3 spp.) Bivalves (4 spp.) Scallops Shrimp (several spp.) Swimming Crabs Liocarcinus holsatus Benthic Crustaceans Barnacles (3 spp.) Echinoid Paracentrotus lividus Sharks (several spp.) Sharks (4 spp.) Teleost Fish (12 spp.) Teleost Fish (26 spp.) Deep-Sea Fish (6 spp.) Tuna Thunnus thynnus
Lokasi Central Pacific French Mediterranean W. Greenland Greece NW Mediterranean Portugal Australia French Atlantic N. Wales, UK NY Bight Belgian Coast French Coasts French Coasts Hawaii NY Bight Philippines Antarctica Kuwait Belgian Coast NY Bight Hong Kong Naples, Italy Great Britain E. Australia E. Australia W. Mediterranean N. Atlantic NW Atlantic
Konsentrasi Pb 0,53–1,8 0,8–21,8 0,47–0,70 10,7–340 5,96–15,4 <5–187 0,5–2,2 25,1–55,5 17,4–54,9 0,89–82,1 0,5–8,0 <0,10–21,4 <0,10–8,9 0,10–1,76 5,07–10,6 0,64–2,24 1,0–2,6 0,03–7,23 0,34–4,4 0,05–17,5 1,7–39,2 0,28–14 <0,1–9,4 <0,04–0,15 0,03–0,30 0,05–55,9 0,015–12,0 <0,03
Sumber: Neff (2002) Menurut Neff (2002) pemaparan Pb dengan konsentrasi 476-758 μg/L pada Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister menyebabkan pertumbuhan larva menjadi abnormal, sedangkan
konsentrasi akut dan kronik pada Mysidopsis bahia
masing-masing adalah 3130 dan 25 μg/L. Konsentrasi timbal terlarut sebesar 23,3 μg/L dapat menyebabkan efek subletal pada makroalga Champia parvula. Hasil penelitian
33
Paasivirta (2000) memperlihatkan bahwa sebanyak 10-24% timbal (lead) yang ditemukan pada daging ikan dalam bentuk tetrametyl lead (TML). Efek toksik timbal pada burung dan mamalia disebabkan logam ini memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sel dan biomolekul seperti enzim dan hormon. Soetrisno (2008) menyatakan timbal menjadi beracun dengan menggantikan kation-kation logam yang aktif biologis, seperti kalsium dan seng (zink), dari proteinproteinnya. Calmodulin misalnya, mengikat dan mengangkut empat kation kalsium. Jika kation-kation timbal menggantikan keempat kation kalsium tersebut, efisiensi enzim ini akan berkurang. Timbal menghambat total aktivitas enzim biosintetik heme, yakni asam delta-aminolevulinat dehidratase (delta-ALAD), ketika logam ini menggantikan kation seng tunggalnya, sehingga mengganggu pembentukan darah dan menghasilkan anemia parah. Darmono (1995) menambahkan timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta dapat mengakibatkan terjadinya depresi.
2.5. Logam berat pada sedimen laut Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke perairan akan menjadi sedimen. Proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di kolom air akan mempengaruhi komposisi dan kualitas sedimen.
Proses fisik yang
mempengaruhi yakni faktor arus (hidrodinamika) yang merupakan energi sortasi sedimen. Sanusi (2006) menyatakan perairan yang memiliki kondisi arus yang dinamis (high energy environment–dynamic waters), memiliki tekstur sedimen yang kasar (kerikil, pasir). Sementara perairan yang kondisi arusnya tenang atau tidak dinamis (low energy environment–sluggish waters) memiliki tekstur sedimen yang lebih halus (lumpur, liat). Perairan yang sering terjadi deposisi material tersuspensi (organik dan anorganik) umumnya memiliki tekstur sedimen yang halus. Saat masih di kolom air, terjadi reaksi kimia antara berbagai calon sedimen, reaksi tersebut tetap berlangsung setelah senyawa menjadi sedimen. Saat mencapai dasar, senyawa tersebut mengalami turbulensi akibat aktivitas biota (bio-turbulensi).
34
Berdasarkan penyebarannya sedimen laut dapat dibagi menjadi dua kelompok (Supangat dan Muawanah NA; Sanusi 2006).
Kelompok pertama, sedimen yang
tersebar sampai batas paparan benua (continental shelf margin) yang disebut sedimen laut dangkal (near shore sediment) dan sedimen laut dalam (deep sea sediment) yang tersebar di bawah paparan benua. Sedimen laut dangkal khususnya di perairan pesisir dan estuari diketahui merupakan ”storage system” berbagai unsur dan senyawa kimia (Supangat dan Muawanah; Sanusi 2006). Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung 1984). Hutagalung (1991) menyatakan logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisik-kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, hal ini sejalan dengan penelitian Harahap (1991) dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) (Tabel 9) yang menyatakan kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan di air. Konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktivitas manusia. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen. 2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar. 3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan. Tabel 9. Hasil analisis kisaran kadar logam berat (ppm) dalam air laut dan sedimen di perairan muara Sungai Cisadane Bulan Juli dan Nopember 2005 No
Parameter
I 2 3 4 5
Pb Cd Cu Zn Ni
Air Laut Juli <0,001-0,005 <0,001-0,001 <0,001-0,001 <0,001 <0,001-0,003
Nopember <0,001-0,003 <0,001-0,001 <0,001-0,004 <0,001-0,003 0,001-0,003
Sedimen Juli Nopember 9,42-34,40 10,32-37,50 0,02-0,03 0,04-0,150 8,15-34,59 5,08-34,30 33,96-115,40 43,88-172,78 4,44-8,46 3,80-8,60
Sumber: Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) Sanusi (2006) mengemukakan sifat fisik dan kimia material padatan tersuspensi yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air.
35
Selanjutnya dikatakan bahwa deposisi padatan tersuspensi dalam perairan selain mengakibatkan mengendapnya material organik dalam sedimen juga akan menyebabkan akumulasi logam berat tersebut dalam sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen.
Penjelasan tersebut, memperlihatkan bahwa kualitas fisik kimia sedimen
suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan. Menurut Hutagalung (1984) pengendapan logam berat dalam suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Menurut Hutagalung (1991) besarnya konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi yakni: 1. Sumber dari mineral sedimen baik sumber alami maupun sumber yang berasal dari aktivitas manusia 2. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen 3. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar 4. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan Tabel 10. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen Parameter Hg Cd Pb
Kadar alamiah (ppm) RNO1 EPA2 0,002-0.35 0,2 0,1-2 1 10-70 5
Sumber: 1 RNO 1981 dalam Razak 1986; 2 Environmental Protection Agency, 1990 dalam Novotny dan Olem 1994.
Tabel 11. Baku mutu logam berat dalam sedimen Level Level Level Level Level Parameter target limit tes intervensi bahaya Hg Cd Pb
0,3 0,8 85
0,5 2 530
1,6 7,5 530
10 12 530
15 30 1000
Sumber: IADC (International Association of Drilling Contractors) / CEDA (Central Dredging Association) (1997)
Keterangan : a.
b.
Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
36
c. d. e.
Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya, maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
Logam berat dalam substrat/sedimen secara alami menggambarkan
hubungannya
dengan partikel tersuspensi dan sedimen, karena sedimen lebih stabil atau kurang mobile dibandingkan dengan kolom air. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen menurut RNO (1981) dalam Razak (1986) dan EPA (1990) dalam Novotny dan Olem (1994) dapat dilihat pada Tabel 10. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, dapat dilihat pada Tabel 11. 2.6. Beban Pencemaran Beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan perairan, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu.
Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya
industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung pada aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut (Suharsono 2005). Selain dipengaruhi oleh aktivitas di sekitar sungai, nilai beban pencemar juga sangat tergantung pada keadaan pasang dan surut. Pada kondisi pasang, beban masukan limbah kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air di pantai, sedangkan pada saat surut, beban masukan limbah ke kawasan pantai akan lebih besar, karena aliran sungai yang membawa bahan pencemar dapat masuk ke perairan estuaria atau pantai tanpa terhalang oleh massa air laut (Rafni 2004). Perhitungan beban pencemar dilakukan dengan mengalikan konsentrasi dengan aliran debit sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai dapat diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan aliran sungai (Mezuan 2007).
37
2.7. Kerang Hijau Kerang hijau (Gambar 5) merupakan organisme yang termasuk golongan biota yang bertubuh lunak (mollusca), bercangkang dua (bivalvia), insang berlapis (lamellibrachiata), berkaki lapak (pelecypoda) dan hidup di laut (Asikin 1982). Taksonomi kerang hijau menurut Asikin (1982) Filum
: Mollusca
Kelas
: Pelecypoda (Lamellibranchia, Bivalvia)
Ordo
: Filibrachia
Famili
: Pernaidae
Genus
: Perna
Spesies
: Perna viridis L.
Gambar 5. Kerang hijau (Perna viridis L.) (http://greenmussel.ifas.ufl.edu/gm-pviridis.jpg)
Kerang hijau (Perna viridis L) merupakan biota yang hidup pada wilayah litoral (pasang surut) dan sub litoral yang dangkal. Kerang hijau dapat tumbuh pada perairan teluk, estuari, sekitar mangrove dan muara, dengan kondisi perairan yang memiliki subtrat pasir berlumpur, dengan cahaya dan pegerakan yang cukup, serta kadar garam yang tidak telalu tinggi (Setyobudiandi 2000). Perna memiliki empat baris insang yang bermanfaat sebagai organ respirasi dan organ filter feeder. Perna memakan fitplankton, zooplankton dan detritus (Korringa 1976; Sivalingam 1977; Yap et al. 1983 dalam Vakily 1989). Sivalingam (1977) dalam Vakily (1989) menyatakan bahwa kerang hijau
38
merupakan selective filter feeder, hal ini ditandai dengan spesies plankton yang mendominasi (99%) pada perut kerang hijau, yaitu Coscinodiscus nodilufer. Menurut Bryan (1976) karena sifatnya yang sessile dan cara makan yang filterfeeder, kelas bivalvia telah digunakan sebagai bioindikator dari limbah berat, organochlorin dan minyak hidrokarbon. Perna viridis merupakan salah satu kerang yang terbaik untuk dijadikan biota tes dalam biopollution (Phillips 1980). Goldberg et al. 1978 dalam Jose dan Deepthi (2005) menyatakan bahwa bivalva seperti kerang hijau memiliki keunggukan sebagai bioindikator untuk memonitor substansi organik yang terdapat di laut karena memiliki distribusi yang luas, hidup menetap, mudah disampling, memiliki toleransi terhadap salinitas yang luas, resisten terhadap stress dan berbagai bahan kimia yang terakumulasi dengan jumlah besar merupakan konsep ‘mussel watch’. Kerang hijau memiliki distribusi yang luas pada Wilayah Asia Pasifik dan memiliki nilai komersial sebagai seafood yang telah terkenal di belahan dunia (Vakily 1989). Jose dan Deepthi (2005) dan Boonyatumanond et al. (2002) menambahkan kerang hijau telah digunakan sebagai biological indocator untuk memonitor kandungan residu pestisida organochlorine pada beberapa Negara Asia seperti Thailand (Siriwong et al. 1991; Ruangwises et al. 1994), India (Ramesh et al. 1990) dan Hong Kong (Phillips 1985). Verlecar et al. 2006a lebih mendalam menyatakan bivalva moluska P.viridis digunakan sebagai bioindikator dan atau bio monitoring karena insangnya yang merupakan organ respirasi dan kelenjar digestif dipergunakan sebagai spesimen eksperimen pengukur respon perubahan oksidatif.
Verlecar et al. (2006b) juga
menyatakan bivalva termasuk kerang hijau memiliki kemampuan ketahanan terhadap perubahan suhu dan kandungan logam beracun yang terkandung dalam perairan, sehingga dapat disimpulkan, bivalva merupakan model yang representatif untuk studi pengaruh dalam mekanisme pertahanan menggunakan antioksidan. Penelitian Phillips (1985) menggunakan P.viridis menghasilkan kesimpulan, kerang hijau merupakan excellent bioindikator untuk studi tembaga (Cu) dan timah (Pb). P.viridis digunakan untuk mengamati kandungan kadmium, merkuri dan seng.
Pada jaringan insang
P.viridis, terjadi regulasi metabolisme parsial sehingga mengakumulasi seng. Hal yang sama terjadi pada akumulasi logam berat lain (Phillips 1985).
39
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup kerang hijau adalah suhu, salinitas, tipe dasar perairan, kedalaman, kekeruhan, arus dan oksigen terlarut (Setyobudiandi 2000). Asikin (1982) menyatakan bahwa kerang hijau tumbuh baik pada perairan yang memiliki salinitas 27-35 o/oo, temperatur antara 27-32ºC, arus yang tidak begitu keras dan hidup pada kedalaman 1-7 m serta mengambil protein nabati sebagai makanannya. Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000) menyatakan P.viridis menyebar luas di perairan laut dan toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam serta dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu. Vakily (1989) menyatakan umumnya mussel hidup menempel di substratnya dengan menggunakan benang byssus. Byssus terdapat pada bagian kaki kerang yang diadaptasikan untuk menempel pada substratnya.
Kumpulan benang byssus ini
disekresikan oleh hewan tersebut dan memiliki kekuatan-tarik, sehingga berfungsi sebagai penambat kerang dengan substratnya. Beberapa jenis kerang yang tergolong dalam golongan mussel dan daerah distribusinya antara lain M. Edulis (Eropa, pantai barat-timur Amerika Utara, dan Jepang), M. Gallopravincialis (Mediterranian Species, Eropa), M. Aeoteanus (Perairan Selandia Baru), M. edulis planulatus (Perairan Australia), M. Californianus ( perairan Pantai Pasifik dan Amerika Utara), Perna viridis (Perairan Asia), dan P. Canaliculus (Selandia Baru). Kerang hijau, Perna viridis L. memiliki beberapa nama sinonim antara lain (Siddal, 1980 dalam Vakily, 1989) Mytilus viridis Linnaeus (1758),
Mytilus
smaragdinus Chemnitz (1785), Mytilus opalus Lamarck (1819), Mytilus viridis L. Hanley (1855), Mytilus (Chloromya) viridis L. Lamy (1936), Mytilus viridis L. Suvatti (1950), Chloromya viridis L. Dodge (1952), Mytilus viridis L. Cherian 1968), Perna viridis L. Dance (1974). Yap et al. (2002) lebih jauh menyatakan taksonomi Perna viridis membingungkan dan status dari Perna viridis masih dalam diskusi para ahli. Kerang hijau mempunyai wilayah distribusi yang luas, yakni dari Samudera Hindia sampai Fillipina dan Samudera Pasifik sebelah barat (Vakily 1989). Benson et al. (2001) menyatakan kerang hijau ataupun anggota bivalva lainnya, umumnya bersifat sedentary, dengan bagian kaki, visceral mass, rongga mantelnya mendominasi tubuh, dan bagian kepalanya tidak berkembang. Bivalva tidak memiliki radula, mayoritas ciliary feeder dengan bagian insang berkembang untuk mengumpulkan makanan
40
(ctenidid). Perluasan mantel ke seluruh bagian tubuh dalam bentuk dua katup simetris yang pada akhirnya mensekresikan hinge dan membentuk kedua belah cangkang. Pada semua bivalva Lamellibranch, insang atau ctenidium berbentuk huruf-W. Insang terdiri atas banyak filamen yang berhubungan untuk membentuk lembaran atau lamellae. Masing-masing insang memiliki empat lamellae dan diposisikan dalam rongga mantel sedemikian rupa, sehingga satu cabang dari bagian yang berbentuk huruf-W tadi berhubungan dengan mantel dan cabang lainnya berhubungan dengan bagian kaki atau visceral mass. Oleh karena itu maka insang secara efektif membagi rongga mantel ke dalam beberapa rongga. Rongga yang besar di bawah insang disebut rongga inhalent; sedangkan rongga di atas insang merupakan rongga exhalent. Setyobudiandi (2000) menyatakan bahwa kerang hjau digolongkan dalam kelompok filter feeder, karena kerang hijau memperoleh makanan dengan cara menyaring partikel-partikel atau organisme mikro yang berada dalam air dengan menggunakan_sistem_sirkulasi_(http://dictionary.reference.com/browse/Filter%20feede r). Hal ini sesuai dengan pernyataan Vakily (1989) dan Brusca dan Brusca (1990) yang menyatakan bahwa semua bivalva lamellibranch termasuk filter feeder. Cilia khusus terletak antara filamen insang yang berfungsi menghasilkan aliran air yang memindahkan air ke dalam bagian inhalent pada mantle cavity (rongga mantel) dan ke arah atas ke dalam rongga exhalent. Partikel makanan atau material tersuspensi lainnya yang berukuran lebih besar dari ukuran tertentu disaring dari air oleh cilia insang dan dihimpun pada bagian rongga inhalent berhadapan dengan lamellae insang. Material ini kemudian dipindahkan oleh cilia lainnya ke arah tepi bagian ventral insang atau di bagian dasar organ yang berbentuk huruf-W tempat letaknya alur makanan (food grooves). Setelah berada di food grooves, makanan bergerak ke arah depan hingga mencapai palps, yang berada di sisi mulut. Material berukuran halus dibawa oleh cilia ke dalam mulut. Material tersebut akan disaring sebelumnya pada hepatopankreas sebelum menuju saluran pencernaan. Partikel yang lebih kasar dihimpun di tepi palps dan secara periodik dikeluarkan oleh proses kontraksi otot ke dinding mantel.
2.7.1. Malformasi Kerang Hijau Malformasi merupakan perkembang struktur tubuh organisme secara tidak teratur dan abnormal. Penyebab kejadian malformasi adalah mutasi genetik, infeksi,
41
pengaruh obat-obatan, pengaruh lingkungan atau interaksi dari berbagai penyebab tersebut (Encyclopædia Britannica 2011). Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000) menyatakan P.viridis toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam serta dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu, tetapi pertumbuhannya tidak optimal. Kerusakan DNA dapat terjadi pada sel gonad jantan Perna viridis akibat terkena sisa produk rokok, terutama ekstrak rokok tembakau yang telah digunakan (Nagarappa 2000). Kondisi kerang hijau yang berada di Teluk Jakarta telah mengalami perubahan, dari 300 kerang yang dijadikan sampel pada penelitian tim gabungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, 50 persennya ternyata telah mengalami kelainan bentuk fisik (malformasi). Sekitar 70 persen sampel kerang hijau itu pun mengidap berbagai kelainan. Kerusakan jaringan dan kelainan bentuk fisik biota akuatik (ikan dan kerang). Hal ini diduga berkaitan erat dengan tingginya kandungan logam berat seperti Sn pada tributiltin (TBT), merkuri (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), dan arsen (As) di perairan (Riani, 2004). Logam berat tersebut terdapat di perairan dalam bentuk ion-ion, kemudian akan masuk ke dalam tubuh melalui insang dan saluran pencernaan. Dalam perairan, logam berat walaupun dalam konsentrasi yang kecil dapat terabsorpsi dan terakumulasi dalam hewan air, terutama benthos, dalam hal ini adalah kerang hijau, dan akan terlibat dalam proses rantai makanan (food chain) (Darmono 1995). Rainbow dan Furness (1990) dalam Wong et al. (2000) menyatakan logam berat akan terakumulasi dalam tubuh kerang dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Hal tersebut didukung pernyataan Yaqin (2004) kerang hijau mempunyai kemampuan yang sangat menakjubkan dalam menumpuk (bioaccumulation) logam berat, seperti tributiltin, di dalam tubuhnya. Tumpukan tributiltin di dalam tubuh kerang mungkin tidak bisa dideteksi dengan alat kromatografi biasa sebab kandungannya sangat rendah dari sisi kuantitas. Akan tetapi, mengingat daya rusak tributiltin yang bersifat jangka panjang, maka bahaya tributiltin itu seperti bom waktu. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhahan yang menyimpang (malgrowth) atau deformitas atau malformasi. (Gambar 6)
42
Gambar 6. Perbedaan insang kerang hijau normal (kiri) dan Kerang Hijau dengan insang yang mengalami malformasi (kanan) (Jose dan Deepthi 2005)
Yaqin (2004) menambahkan Page, Dassayanake, Eisenbrand, dan Phelps pada tahun 1996-1997 melakukan penelitian tentang hubungan antara deformitas dan pencemaran tributiltin di Portugis. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat erat antara kandungan tributiltin pada daging kerang dan perairan dengan fenomena deformitas. Di Marina Norsmind Fjord, Denmark, yang tercemar dengan tributiltin, peneliti menemukan adanya korelasi yang erat antara deformitas dan kerusakan DNA kerang biru (Mytilus edulis). Penelitian Claudia alzieu dalam Yaqin (2004) menduga tributiltin mengganggu enzim yang membantu sistem pembentukan kapur (klasifikasi) sehingga kalsifikasinya tidak berjalan dengan normal. Kerang yang proses kalsifikasinya tidak normal cenderung menggelembungkan cangkangnya. Selanjutnya pada tingkatan yang serius, klasifikasi yang tidak normal itu akan menyebabkan terbentuknya alur-alur pertumbuhan acak pada cangkang sehingga permukaan cangkang kelihatan dipenuhi oleh alur-alur pertumbuhan yang tampak seperti pelapisan yang kasar. Claudia alzieu menambahkan kandungan tributiltin di perairan sebesar 1 ng/l sudah cukup untuk menyebabkan kecacatan atau deformitas pada cangkang kerang dan imposex (perubahan kelamin betina menjadi kelamin jantan karena munculnya penis palsu) pada keong. Sementara konsentrasi tributiltin di kolom air laut Teluk Jakarta 2-15 ng/l dan sedimennya mengandung 119-506 ng/l. Hal ini diduga berdampak negatif pada perubahan morfologi kerang hijau.
43
2.8. Pemodelan Sistem Sistem merupakan interaksi antara unsur dari sebuah objek dalam lingkungan tertentu yang berkerja untuk mencapai tujuan (Muhammadi, Aminullah dan Soesilo 2001).
Hatrisari (2007) menambahkan sistem adalah gugus atau kumpulan dari
komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka membentuk tujuan tertentu. Sistem dapat dikatakan sebagai situasi aktual atau realitas, sehingga sistem sangat kompleks; untuk mengkaji sistem tersebut maka diperlukan model.
Model
menurut Grant, Pederson dan Marin (1997) dan Ford (1999), merupakan suatu representasi atau substitusi atau abstaksi dari sebuah objek atau situasi aktual yang terjadi. Hatrisari (2007) menambahkan model adalah penyederhanaan sistem, sehingga model dikatakan lengkap jika dapat mewakili berbagai aspek situasi aktual. Hatrisari (2007) juga menyatakan penggunaan model memudahkan pengkajian sistem, karena hampir tidak mungkin bekerja dalam keadaan sebenarnya, selain itu model juga dapat menjelaskan perilaku sistem. Model dapat dikelompokan menjadi dua kategori model fisik dan model abstrak (Hatrisari 2007). Model fisik merupakan miniatur replika dari kondisi sebenarnya, sehingga variabel yang digunakan sama persis dengan sistem nyata, sedangkan model abstrak hanya menjelaskan kinerja dari sistem. Model fisik dan model abstrak terbagi menjadi dua, model statis dan model dinamik. Model statis merupakan model yang tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, sedangkan model dinamik memberikan gambaran nilai peubah terhadap perubahan waktu. Proses pemodelan merupakan proses yang kreatif dan tidak linier, namun harus mematuhi disiplin ilmiah dan pemikiran yang logis.
Hatrisari (2007) menyatakan
prosedur dalam pemodelan adalah: 1. menyatakan permasalahan atau sistem yang dikaji sesuai dengan tujuan kajian, 2. menyusun hipotesis, 3. memformulasikan model, 4. menguji serta menganalisis model. Muhammadi, Aminullah dan Soesilo (2001) menambahkan pembuatan model dimulai dari 1. penjabaran konsep, 2. pembuatan diagram sebab akibat, 3. pembuatan diagram alir, 4. simulasi model untuk melihat perilaku yang diakhiri dengan 4. uji sensitivitas. Pembuatan sistem pemodelan berakar pada cara pandang dan berpikir secara sistem. Forrester (1968) menyatakan proses berpikir mengkaji dan memecahkan masalah membutuhkan pemahaman lebih lanjut antara elemen dalam masalah tersebut,
44
bahwa hubungan antara elemen lebih penting dari elemen itu sendiri. Forrester (1968) melanjutkan cara perpikir sistem mencoba mengidentifikasi masalah yang muncul dan melihat hubungan antara masalah, sehingga muncul pola sebab-akibat yang lebih jelas. Berbeda dengan pola berpikir mekanistik yang menganggap hubungan sebab-akibat linier, dan masalah hanya disebabkan oleh satu hingga dua penyebab. Hariani (2005) menambahkan berpikir sistem merupakan suatu pendekatan baru yang dianggap mampu menganalisis masalah kompleks.
2.9. Sistem Dinamik Luo et al. (2005) menyatakan sistem dinamik merupakan teori struktur dan alat untuk merepresentasikan sistem nyata yang kompleks dan menganalisis perilaku dinamikanya.
Simonovic (2002) menyatakan sistem dinamik dapat menguraikan
struktur asal dari suatu sistem dan mengkaji perbedaan antar sistem ketika diberikan kebijakan yang berbeda, sehingga sistem dinamik dikenal sebagai metoda yang dapat mengilustrasikan dinamika yang kompleks. Zhang et al. (2009) menambahkan metode sistem dinamik didasarkan atas model simulasi yang mencakup feedback (umpan balik) untuk membangun interaksi pada sistem yang dikaji. Umpan balik dari kontol menjadi dasar hubungan antara struktur dan perilaku sistem (Simonovic 2002), sehingga model sistem dinamik dapat memberikan informasi yang lebih mendetail untuk mengungkap mekanisme dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan. Simonovic (2002) menambahkan pengembangan metode sistem dinamik mencakup tahap 1. Pemahaman dan batasan dari sistem 2. Identifikasi variabel kunci 3. Representasi proses fisik menjadi variabel melalui hubungan matematik 4. Pemetaan struktur dan simulasi model untuk memahami sifat sistem 5. Interpretasi hasil simulasi
3. METODA PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di muara Sungai Angke dan perairan Muar Muara Angke, Jakarta Utara (Gambar 7). ). Lokasi tersebut dipilih atas dasar pertimbangan, Sungai Angke merupakan salah satu sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, dan hingga saat ini masih dijadikan sebagai tempat pembuangan limbah (domestik dan industri) yang umumnya tanpa mengalami pengolahan pengolahan terlebih dahulu.
Pertimbangan lainnya, di
Muara Angke perkembangan budidaya kerang hijau cukup pesat, bahkan jumlahnya relatif selalu bertambah dari tahun ke tahun. Waktu penelitian yaitu selama 4 bulan yaitu pada bulan November 2010 - Februari 2011.
Gambar 7. Lokasi penelitian
3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan dan pengukuran contoh merupakan alat dan bahan pendukung dalam pengambilan, penanganan dan analisis sampel. Alat yang digunakan terdiri dari ekman grab, vandorn water sampler, botol
46
contoh volume 500 ml dan 300 ml; pH meter merk Hanna Instrument tipe pHel 1; GPS merk Garmin GPSmap 60CSx; refraktometer merek atago S/Mill.E; coolbox; oven; AAS merek ZEE nit 700. Bahan yang digunakan terdiri dari pengawet sampel (H2SO4, HCl, HNO3, Na-EDTA), larutan pH 7, larutan standar logam (Hg, Cd, dan Pb) larutan buffer (NH4Cl dan NH4OH), serta reagen untuk analisa oksigen terlarut.
3.3. Metoda Pengumpulan Data Pengukuran parameter fisik dan kimia dilakukan dengan dua cara, yakni cara langsung (insitu) dan analisa laboratorium. Pengamatan dan pengukuran langsung insitu dilakukan terhadap parameter suhu, pH, salinitas dan oksigen terlarut. Analisa laboratorium untuk parameter BOD, COD, logam berat pada air, sedimen dan organ tubuh kerang hijau dilaksanakan di laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta. Data yang diambil pada penelitian ini antara lain : 1. Data primer berupa data fisik (suhu, salinitas), kimia (pH, dissolved oxygen/DO,
chemical
oxygen
demand/COD,
biochemichal
oxygen
demand/BOD, logam berat (timah hitam, merkuri dan kadmium) pada air serta sedimen dan kerang hijau, serta informasi malformasi kerang hijau yang ditinjau secara morfologinya. 2. Data sekunder time series, selama 6 tahun berupa data kualitas air, sedimen dan kandungan logam berat pada kerang hijau, data kependudukan, data aktivitas budidaya kerang hijau, data aktivitas dan jumlah industri yang berasal dari dinas/instansi/lembaga yang terkait dengan pengelolaan dan penelitian sungai dan Perairan Muara Angke. Pengambilan sampel air laut, sampel sedimen dan kerang hijau dilakukan di dua stasiun sebanyak empat kali dari Nopember 2010 hingga Februari 2011. Penentuan titik stasiun dilakukan dengan bantuan GPS. Pengambilan contoh air dilakukan pada waktu air surut secara komposit, yaitu pencampuran dari contoh air yang berasal dari lapisan permukaan, dan lapisan pada kedalaman 20 cm sebelum dasar air. Pengambilan sampel yang dilakukan waktu air surut dilakukan untuk mendapat data pengaruh aliran beban limbah dominan.
47
Contoh air diambil dengan menggunakan alat van dorn sampler bervolume 3 liter. Contoh air dimasukkan ke dalam botol contoh berukuran 500 ml. Selanjutnya sample air di saring menggunakan kertas saring milliophore 0,45 m. Proses pengawetan dengan menggunakan asam sulfat pekat 98% 0,3 ml untuk pengujian COD, untuk parameter logam berat diberi pengawet asam nitrat pekat 0,1 N sebanyak 0,3 ml, sedangkan parameter BOD tidak diberi pengawet. Kemudian contoh diberi label dan dimasukkan dalam coolbox menggunakan es batu untuk dibawa ke laboratorium guna keperluan pengujian. Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan eckman grab (bukaan 15 x 20 cm). Selanjutnya contoh sedimen dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan dalam coolbox. Nilai pH sedimen didapatkan dengan cara mencampurkan 10 g sedimen dengan 50 ml aquades yang bebas ion kemudian di aduk dengan stirer selama 30 menit, kemudian diukur dengan pH meter sesuai metode BPPT (2005). Kerang hijau diambil dengan sekop atau tangan, kemudian disimpan dalam kantong plastik dan disimpan dalam coolbox. Contoh kerang hijau yang diambil ditentukan berdasarkan usia kerang 1-2 bulan, 3-4 bulan, dan 5-6 bulan yang masing-masing berjumlah 240 individu. Usia hingga 6 bulan diambil dengan pertimbangan usia panen dari budidaya kerang hijau. Metode analisa parameter fisik, kimia dan biologi perairan laut yang digunakan disajikan pada Tabel 12. Penentuan konsentrasi logam berat dengan cara langsung untuk sampel air dan cara kering (pengabuan) untuk sampel padatan/sedimen dan organ kerang hijau. Pengukuran
logam
berat
dengan
menggunakan
AAS
(atomic
absorption
spectrofotometry); selanjutnya dihitung dengan formula:
Logam Berat (ppm)
Keterangan : Ac Ab a b W
Ac Ab a x100 ……….(1) bxW ( gr ) x1000
= Absorban contoh = Absorban blanko = Intercept dari persamaan regresi standar = Slope dari persamaan regresi standar = Berat sampel (g)
3.4. Analisis Data Data dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif terhadap parameter-parameter fisika-kimia perairan, beban pencemaran dan analisis kandungan logam berat pada
48
kerang hijau.
Selain itu juga membangun model dinamik untuk melihat model
akumulasi pencemaran logam berat di Teluk Jakarta.
3.4.1. Beban Pencemaran Beban
pencemaran
dihitung
berdasarkan
Keputusan
Menteri
Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 1991 tentang Perhitungan Debit Limbah Cair Maksimum dan Beban Pencemaran Maksimum.
Beban limbah yang
berasal dari darat melalui Sungai Angke yang menuju Perairan Muara Angke diukur melalui perkalian debit sungai (2) dengan konsentrasi limbah (3). Tabel 12. Parameter kualitas air yang diteliti serta metode analisa dan pengukurannya Parameter
Satuan
Metode Analisa/Alat
Lokasi
Fisika 1. Suhu 2. pH 3. Salinitas
o
C
Thermometer
In situ
-
pH meter
In situ
Refraktometer
In situ
‰
Kimia 1. Oksigen terlarut
mg O2/l Elektrokimiawi
In situ
2. BOD
mg O2/l Inkubasi dan titrimetri winkler
Lab.
3. COD
mg O2/l Titrimetri refluks
Lab.
4. Cd
mg/l
AAS tipe Flame
Lab.
5. Pb
mg/l
AAS tipe Flame
Lab.
6. Hg
mg/l
AAS tipe cold vapour
Lab.
1. Cd pada insang
µg/l
AAS tipe Flame
Lab.
2. Cd pada daging
µg/l
AAS tipe Flame
Lab.
3. Cd pada hepatopankreas
µg/l
AAS tipe Flame
Lab.
4. Pb pada insang
µg/l
AAS tipe Flame
Lab.
5. Pb pada daging
µg/l
AAS tipe Flame
Lab.
6. Pb pada hepatopankreas
µg/l
AAS tipe Flame
Lab.
7. Hg pada insang
µg/l
AAS tipe cold vapour
Lab.
AAS tipe cold vapour
Lab.
AAS tipe cold vapour
Lab.
Biologi (kerang hijau)
8. Hg pada daging 9. Hg pada hepatopankreas
µg/l µg/l
49
Q = V x A ……….(2) Keterangan:
Q = Debit Sungai V = Kecepatan aliran sungai (m/det) A = Luas penampang sungai (m2) BPA = (CA) j x DA……….(3)
Keterangan : BPA = beban pencemaran sebenarnya (CA) j = kadar sebenarnya unsur j (mg/l) DA = hasil pengukuran debit limbah (m3/hari) 3.4.2. Analisis Malformasi Kerang Hijau Analisis malformasi di lakukan berdasarkan morfologi eskternal dan internal. Morfologi eksternalnya dapat ditinjau dari ukuran terutama tinggi (tebal) cangkang (Riani 2004). Untuk keperluan ini setiap individu kerang hijau akan diukur tingginya. Selanjutnya ukuran tinggi kerang akan dibandingkan terhadap ukuran tinggi kerang normal. Jika mencapai 1,5 kali ukuran normal maka kerang dikategorikan mengalami malformasi. Analisis malformasi morfologi internal akan dilihat berdasarkan berat dan volume daging kerang hijau. Ukuran fisik dan daging kerang yang didapatkan akan dibandingkan dengan kerang hijau normal yang didapat dari studi literatur. Selanjutnya akan dihitung prosentase kerang yang mengalami malformasi yang ada dalam populasi kerang tersebut.
3.4.3. Model Akumulasi Logam Berat Model dibuat berdasarkan pendekatan dan kondisi aktual hasil studi serta teori yang ada. Pembuatan model akan dilakukan dengan bantuan software Stella versi 8. Model akumulasi dibangun berdasar beban limbah domestik dan industri hasil buangan kegiatan masyarakat Sungai Angke dan Muara Angke. Eriyatno (2003) menyatakan diperlukan tahap analisa yang dilakukan untuk membangun sebuah model adalah formulasi masalah, identifikasi sistem, pemodelan sistem serta verifikasi dan validasi. Formulasi masalah menurut Eriyatno (2003) sangat penting dalam perancangan model, dengan dasar penentuan informasi melalui identifikasi sistem yang dilakukan secara bertahap. Identifikasi sistem dilakukan dengan memberikan gambaran terhadap komponen yang terlibat, yakni parameter fisika dan kimia, logam berat dalam air,
50
sedimen dan biota serta malformasi kerang hijau. Komponen tersebut dimasukan dalam diagram lingkar sebab akibat dan diagram input-output. Diagram lingkar sebab akibat (Gambar 8) berupa hubungan sebab akibat yang di masukan ke dalam bahasa gambar tertentu yang dibuat garis saling terkait.
Garis terkait digambarkan seperti panah,
pangkal panah menggambarkan sebab sedangkan ujung panah menggambarkan akibat. Diagram input-output yang sering disebut diagram kotak gelap, menggambarkan hubungan input terhadap output yang dihasilkan berdasarkan formulasi masalah dan identifikasi sistem ditunjukan pada Gambar 9. Validasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian hasil model dibandingkan dengan realitas sistem yang dikaji (Hatrisari 2007). Dengan kata lain validasi model menguji ketepatan stuktur dan keluaran model untuk menunjukan kesalahan yang minimum dengan cara membandingkan data aktual, termasuk menguji secara statistika. Verifikasi data empirik output model dilakukan dengan menggunakan uji statistik AME (absolute mean error), yakni uji penyimpangan rata-rata simulasi terhadap kondisi aktual. Formula AME sebagai berikut AME = [abs (Sr-Ar)]/Ar Sr = int (S)/[t(n)-t(0)] Ar = int (A)/[t(n)-t(0)] ……….(3) Keterangan : A = nilai aktual S = nilai simulasi n = waktu abs = nilai absolut int = sigma fungsi waktu batas penyimpangan yang dapat diterima < 10%
51
Gambar 8. Diagram lingkar sebab akibat sistem akumulasi logam berat pada kerang hijau
Input tak terkontol: - limbah - debit air - iklim - Jumlah penduduk
Input lingkungan: Kebijakan terkait pencemaran
Output dikehendaki: - beban pencemaran menurun - kualitas air memenuhi baku mutu - akumulasi minimal - tidak ada malformasi kerang
Akumulasi logam berat pada kerang hijau Input terkontrol: -Peruntukan lahan -Teknologi -Pengolahan limbah -Kesadaran masyarakat -Persepsi masyarakat
Parameter kinerja: Baku mutu
Output tidak dikehendaki: - beban pencemaran meningkat - penurunan kualitas air - makin banyak malformasi kerang
Manajemen pengendalian
Gambar 9. Diagram input-output input sistem akumulasi logam berat pada kerang hijau
52
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Muara Angke mempunyai luas wilayah 67 Ha, terletak di Delta Muara Angke Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan secara astronomis terletak pada (6°6′21″ LS, 106°46′29.8″ BT). Kawasan Muara Angke secara secara geografis berbatasan dengan: - Sebelah barat - Sebelah selatan - Sebelah timur - Sebelah barat
: Kali Angke : Kali Angke : Jalan Pluit : Laut Jawa
Muara angke secara umum terbagi menjadi empat kawasan, yaitu kawasan perumahan, kawasan pengolahan hasil perikanan tradisional, kasawan tambak ujicoba dan kasawan pelabuhan perikanan. Muara Angke memiliki tiga rukun warga (RW) yiatu RW 01, RW 11, dan RW 20 serta terdapat tiga perkampungan nelayan tradisional di Muara Angke yaitu, Kampung Nias, Kampung Baru, dan Empang. Secara geografi kontur permukaan tanah kawasan Muara Angke datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0–1 meter. Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter, gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada kawasan ini berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara 0–1 meter, jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter. Di Muara Angke terdapat bagan tancap budidaya kerang hijau yang di kelola secara swadaya oleh Masyarakat Muara Angke, terutama oleh Masyarakat Blok Empang yang berada di utara kawasan ini. Jumlah bagan tancap selalu meningkat dari tahun ke tahun, dan saat ini jumlahnya kurang lebih 250 buah.
4.2. Kondisi Perairan Muara Angke 4.2.1. Kualitas Air Pada penelitian ini kondisi kualitas Perairan Muara Angke, diwakili oleh kualitas perairan Kali Angke dan kualitas perairan di lokasi budidaya kerang hijau. Adapun kualitas air di lokasi penelitian tersebut, yakni suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut (dissolved
oxygen/DO),
kebutuhan
oksigen
biokimiawi
(biochemical
oxygen
54
demand/BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand/COD), nurtien (nitrat/NO3, dan ortofosfat), dan logam berat yakni merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb) serta debit Kali Angke dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Beberapa parameter kualitas air di Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau No Parameter Kali Angke BM Air Budidaya BM Air Sungai Kerang Hijau Laut Fisika 1 Suhu (oC) 27,8 Alami 28,6 Alami 2 0 Alami 32 Alami Salinitas (‰) 3 Debit (m3/detik) 9,094 – – – Kimia 1 pH 6,45 6,0–8,5 7,58 7–8,5 2 Oksigen terlarut (mg/l) 3,7 3,0 5,6 >5 3 BOD (mg/l) 40,06 10 35,85 10 4 COD (mg/l) 74,03 20 176,52 20 5 Nitrat (mg/l) 0,066 10 0,043 0,015 6 Ortofosfat (mg/l) 0,056 0,5 0,01 0,008 7 Merkuri (mg/l) 0,086 0,001 0,043 0,001 8 Kadmium (mg/l) 0,011 0,01 0,07 0,001 9 Timbal (mg/l) 0,105 0,1 0,005 0,008 Keterangan: BM Air sungai: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 BM Air laut: Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun 2004
Suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang secara langsung berpengaruh terhadap perairan dan secara langsung mempengaruhi aspek biologi. Hasil pengamatan diperoleh data yang dipengaruhi oleh faktor musim, cuaca dan lokasi. Suhu permukaan air sungai 27,8 oC dan suhu permukaan air laut 28,6oC. Variasi suhu permukaan dan variasi salinitas di perairan kawasan tropis seperti Indonesia, umumnya, relatif tidak terlalu jauh. Pengamatan dilakukan pada Nopember 2010-Februari 2011, yang mewakili musim barat dan musim hujan, membuat tingginya curah hujan yang cenderung tinggi sehingga run off sungai yang besar. Kondisi tersebut membuat suhu dan salinitas cenderung lebih rendah.
Effendi (2003) menyatakan
kisaran suhu yang tepat bagi organisme perairan di tropis dalam 20-30oC. Suhu perairan tersebut masuk pada kategori normal.
Kisaran suhu di lokasi penelitian masuk pada
kategori normal dan relatif mendukung kehidupan di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Abowei dan George (2009), suhu air di daerah tropis umumnya bervariasi
55
antara 25 oC dan 35 oC. Namun demikian apabila terjadi peningkatan suhu dan terjadi penurunan salinitas ada kecenderungan terjadinya peningkatan toksisitas logam berat (Ahalya et al. 2004). Derajat keasaman (pH) pada Kali Angke 6,45 yang berarti cenderung asam, padahal di lokasi pengambilan sampel pengaruh air laut (pasang) sangat besar. Kondisi pH yang relatif lebih asam diduga karena adanya penguraian bahan organik yang jumlahnya banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siradz et al. (2008) yang mengatakan bahwa pH perairan sungai dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain (i) bahan organik atau limbah organik,mengingat meningkatnya kemasaman dipengaruhi oleh bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian, (ii) bahan anorganik atau limbah anorganik, seperti pada air limbah industri yang bahan anorganiknya umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga kemasamannya juga tinggi, (iii) basa dan garam basa dalam air, (iv) hujan asam akibat emisi gas. Dugaan tingginya bahan organik di Kali Angke didasarkan pada warna air yang hitam dan bau busuk yang menyengat. Adapun rendahnya derajat keasaman disebabkan pada penguraian bahan organik akan dihasilkan karbon dioksida, yang jika bereaksi dengan air akan menyebabkan kondisi menjadi asam atau dengan kata lain akan mengakibatkan pH lebih rendah. Sebenarnya dalam air terdapat mineral yang salah satunya berasal dari air laut (pasang), namun diduga jumlah mineral tersebut masih lebih sedikit dibanding bahan organik, sehingga air pasang tidak mengakibatkan tingginya pH air Kali Angke. Tingginya bahan organik dalam Kali Angke diduga selain bahan organik yang berasal dari hulu, juga berasal dari banyaknya masyarakat sekitar (warga, pelaku kegiatan pasar ikan dan TPI Muara Angke) yang membuang sampah hasil kegiatan langsung ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga dalam sungai tersebut akan terjadi proses penguraian bahan organik.
Hal ini sejalan dengan pernyataan
Fardiaz (1992), Abowei and George (2009), Adedokun et al. (2008) dan Adeyemo et al. (2008) yang menyatakan bahwa penguraian bahan organik yang mengandung karbon, nitrogen, sulfur dan phospat, baik yang berasal dari karbohidrat, lemak atau protein dalam proses aerobik dan anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida yang sifatnya asam.
56
Derajat keasaman pada lokasi budidaya kerang hijau adalah 7,58, hal ini memperlihatkan bahwa perairan sekitar lokasi budidaya cenderung bersifat basa, namun nilai tersebut mendekati nilai normal.
Kondisi tersebut menunjukan adanya
ketidakseimbangan CO2 di atmosfer dengan laut.
Air laut yang dalam keadaan
seimbang dengan CO2 atmosfer sedikit bersifat basa dengan pH antara 8,1-8,3 (Supangat dan Muawanah). Kordi (1996) dalam Rahman (2006) dan Effendi (2003) menyatakan pH dengan kondisi tersebut menunjukan air bersifat alkalis yang berarti mendukung laju dekomposisi pada perairan sehingga akan menurunkan nilai oksigen terlarut dalam air. Selain itu kisaran pH tersebut masih mendukung kehidupan yang ada di dalamnya karena menurut Adeyemo et al. (2008), pertumbuhan organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada kisaran pH 6,5–8,2. Nilai kelarutan oksigen (dissolved oxygen) di perairan Kali Angke adalah 3,7 mg/l, sedangkan pada bagan tancap budidaya kerang hijau mencapai 5,6 mg/l. Menurut Effendi (2003) dan Adedokun et al. (2008) pada dasarnya kandungan oksigen terlarut dalam perairan memiliki pola fluktuasi harian dan musiman, tergantung faktor percampuran (mixing), pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke suatu perairan.
Tingginya masukan limbah
organik dari sungai ke dalam perairan Teluk Jakarta mengakibatkan turunnya konsentrasi oksigen dalam air, karena oksigen terlarut tersebut dimanfaatkan untuk penguraian bahan organik yang jumlahnya melimpah di Teluk Jakarta. Selain hal itu adanya curah hujan yang tinggi pada musim hujan serta adanya angin musim barat berperan meningkatkan difusi oksigen dari atmosfer baik perairan Kali Angke maupun di sekitar lokasi budidaya kerang hijau. Kondisi ini akan mempengaruhi toksisitas logam berat yang ada di dalamnya, karena semakin rendah kadar oksigen dalam air umumnya akan meningkatkan daya racun logam berat (Bryan 1984; Nordberg et al. 1986; Begum et al. 2009 serta Danazumi dan Bichi 2010).
4.2.1.1. BOD Biologycal oxygen demand (BOD) merupakan gambaran bahan organik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme di perairan. Nilai BOD dapat menjadi acuan sebagai gambaran kadar bahan organik yang dapat terdekomposisi (Davis dan Cornwell 1991; McKinneya 2004; Manahan 2005;
Mukhtasor 2007) sekaligus dapat
57
dimanfaatkan untuk menilai tingkat pencemaran suatu perairan (Lee et al. 1978). Hasil pengamatan terhadap BOD, baik di perairan Kali Angke (40.06 mg/l) maupun di sekitar bagan tancap kerang hijau (35,85 mg/l) nilainya melebihi bakumutu (10 mg/l). Menurut Jeffries dan Mills (1996) dalam Effendi (2003) nilai BOD perairan alami berkisar antara 0,5–7,0 mg/l, sedangkan perairan dengan nilai BOD lebih dari 10 mg/l merupakan perairan yang tercemar.
Nilai BOD air Kali Angke yang lebih tinggi
dibanding di laut (bagan tancap) menunjukan tingginya buangan domestik, kegiatan perkotaan dan kegiatan industri di sepanjang Kali Angke menuju Muara Angke sehingga meningkatkan aktivitas penguraian bahan organik oleh mikroorganisme, tetapi cenderung menurun pada lokasi bagan tancap.
Perbedaan nilai BOD tersebut
disebabkan laut bersifat lebih dinamis, sehingga bahan organik yang ada di Muara Angke tersebar ke lokasi lain, yang pada akhirnya mengakibatkan nilai BOD-nya menurun, atau dengan kata lain menurunnya BOD tersebut disebabkan oleh adanya daya pulih air laut. Hal ini juga ditunjukkan pada oksigen terlarut yang lebih tinggi pada lokasi budidaya dibanding di Sungai Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Siradz et al. (2008) yang mengatakan bahwa nilai BOD yang tinggi secara langsung mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang terlarut.
4.2.1.2. COD Chemical oxygen demand (COD) mengambarkan total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik yang relatif lebih sulit terurai oleh mikroorganisme. Oleh karena itu maka pada COD, oksidasi terjadi pada bahan yang bersifat biodegradable (mengalami penguraian oleh mikroorganisme) dan yang bersifat nonbiodegradable (tidak mengalami penguraian oleh mikroorganisme) (Novonty dan Olem 1994; Manahan 2005). Nilai COD mengambarkan tingginya pencemaran suatu perairan. Nilai COD di Kali Angke hampir empat kali lebih besar dari nilai baku mutu COD, bahkan nilai COD di perairan sekitar budidaya kerang hijau. lebih tinggi lagi, yakni hampir sembilan kali lipat dari baku mutu yang ditentukan (20 mg/l). Kondisi ini memperlihatkan bahwa secara umum, pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta sudah sangat tinggi. Pada dasarnya perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi
58
kepentingan perikanan terutama untuk kegiatan budidaya, sehingga kondisi tersebut akan menganggu kehidupan biota perairan yang hidup di dalamnya. Tabel 13 juga memperlihatkan bahwa nilai COD di Kali Angke dua kali lipat nilai BOD-nya, sedangkan di sekitar bagan budidaya kerang hijau nilai COD-nya lima kali nilai BOD-nya. Hal ini memperlihatkan bahwa kandungan bahan organik yang dapat didegradasi oleh mikroorganisme lebih tinggi dibanding bahan organik non biodegradable. Hal ini sesuai dengan pendapat Alaerts dan Santika (1984) bahwa di samping terdapat bahan-bahan pencemar organik yang dapat dibiodegradasi oleh mikroorganisme terdapat juga bahan-bahan yang tidak dapat dibiodegradasi. Selain itu juga diperkuat oleh pendapat Raja et al. (2008), yang menyatakan bahwa nilai COD yang lebih tinggi dari nilai BOD mengindikasikan tingginya keberadaan bahan-bahan organik yang dapat teroksidasi secara kimia terutama adalah bahan-bahan nonbiodegradable.
4.2.1.3. Nutrien Pada penelitian ini pengukuran nutrien dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi besaran nutrisi yang masuk dan diterima pada lokasi penelitian.
Pada
penelitian ini nutrien yang diambil adalah nitrat dan ortofosfat. Fosfat menjadi faktor pembatas bagi produsen di air tawar sedangkan nitrogen (nitrat) menjadi faktor pembatas pada air laut (Odum 1996 dan Effendi 2003). Hasil pengamatan nitrat di Kali Angke nilainya lebih rendah dari baku mutu pada air tawar, sedangkan di bagan tancap tempat budidaya kerang hijau lebih tinggi. Rendahnya nitrat di Kali Angke menunjukan terjadinya dominansi proses denitrifikasi yang disebabkan oleh rendahnya ketersediaan oksigen terlarut dalam air.
Berbeda
dengan Kali Angke, pada lokasi budidaya kerang hijau yang konsentrasi oksigennya lebih tinggi, maka akan terjadi proses nitirifikasi dari ammonia menjadi nitrit dan kemudian nitrit akan dioksidasi lagi menjadi nitrat, sehingga konsentrasi nitrat menjadi lebih tinggi. Adanya proses nitrifikasi di wilayah lebih ke arah laut tersebut sejalan dengan penelitian Damar (2004) sehingga di wilayah yang lebih dekat ke arah darat nilai amoniaknya lebih tinggi dari nitrat. Namun di lain pihak, tidak selamanya nitrat yang tinggi baik untuk ekosistem, karena hasil penelitian Burkholder et al. (1992)
59
memperlihatkan bahwa jika terjadi peningkatan nitrat di perairan, air akan menjadi lebih toksik bagi tanaman lamun. Fosfat merupakan nutrien yang harus ada dalam suatu ekosistem, mengingat fosfat dan nitrat merupakan bahan esensial yang diperlukan oleh produsen di perairan (Romimohtarto 2008). Namun demikian apabila konsentrasinya berlebih maka fosfat juga akan menjadi faktor pembatas yang akhirnya membahayakan ekosistem perairan tersebut. Pada kedua lokasi penelitian, ortofosfat ditemukan lebih tinggi dari baku mutu yang ditentukan. Nilai fosfat yang tinggi diduga selain berasal dari hasil penguraian bahan organik, diduga juga sebagai akibat masukan deterjen yang umumnya mengandung 60 %–65 % bahan pembentuk senyawa polifosfat (Fardiaz 1992; Laws 1993; Sawyer et al. 1994; Manahan 1994). Hal ini sesuai dengan pendapat Adedokun et al. (2008) yang menyatakan bahwa keberadaan ion posfat dalam air sungai berasal dari pelepasan limbah pertanian ke dalam sungai dan atau penggunaan aditif posfat dalam formulasi deterjen (Na5P3O10) yang masuk ke dalam badan air melalui produksi limbah cair industri, domestik/perkotaan dan atau dari industri pakaian dan pencelupan warna. Tingginya fosfat dalam perairan dapat menyebabkan penyuburan perairan (eutrofikasi) secara umum di Teluk Jakarta. Tingginya kandungan fosfat di Teluk Jakarta ini sejalan dengan pengamatan DPPK DKI Jakarta (2006) yang memperlihatkan bahwa Teluk Jakarta mengalami eutrofikasi, bahkan di lokasi yang berdekatan dengan darat dikategorikan hyper-eutrophic (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan pendapat Adeyemo et al. (2003), yang mengatakan bahwa kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi dalam perairan dapat menyebabkan eutrofokasi yakni meningkatkan pertumbuhan alga dan menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air.
Gambar 10. Tingkat kesuburan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006).
60
4.2.1.4. Logam Berat di Air Konsentrasi logam berat dalam suatu kawasan ekosistem perairan berkaitan dengan limbah logam berat yang masuk pada kawasan tersebut, sehingga semakin tinggi masukan limbah logam, cenderung semakin meningkatkan akumulasinya dalam ekosistem perairan. Logam berat yang masuk pada suatu ekosistem perairan akan mengalami berbagai proses yakni pengendapan, pengenceran, dispersi dan absorpsi oleh organisme yang tinggal pada habitat kawasan ekosistem perairan tersebut (US EPA 1973; Hutagalung 1984; Dahuri 1996). Merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb) merupakan tiga jenis logam berat yang bermanfaat dan digunakan pada kegiatan industri tetapi memiliki sifat yang berbahaya dan beracun tidak hanya bagi organisme perairan tetapi juga pada manusia (Baird, 1995; Volesky 1990; Darmono 2001; Fardiaz 2005; Lu 2006), oleh karenanya maka ketiga jenis logam berat tersebut diamati pada penelitian ini. Hasil analisis logam berat kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan timbal (Pb) di Kali Angke dan daerah budidaya kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 13.
4.2.1.4.1. Merkuri (Hg) Hasil pengamatan logam Hg di Kali Angke (0,086 mg/l) dan bagan tancap kerang hijau (0,043 mg/l) menunjukan hasil yang cukup tinggi dan melebihi baku mutu yang ditentukan pemerintah, yakni sebesar 0,001 mg/l. Kandungan Hg di sungai lebih tinggi dibandingkan di kawasan bagan tancap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Neff (2002) bahwa Hg cenderung lebih tinggi di daerah sungai dan estuaria dibandingkan dengan laut terbuka. Selanjutnya dikatakan bahwa merkuri juga akan berasosiasi dengan suspended material oleh karenanya maka di lokasi bagan tancap yang dinamika airnya relatif tenang, akan memungkinkan berasosiasinya merkuri dengan bahan-bahan tersuspensi yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya kandungan merkuri dalam perairan di sekitar bagan tancap. Selain itu lebih rendahnya merkuri di sekitar lokasi budidaya kerang hijau, diduga karena Hg yang terlarut dalam perairan diabsorpsi oleh kerang hijau yang dibudidaya di lokasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa merkuri yang terlarut dalam air akan diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya. Lebih rendahnya kandungan merkuri di perairan sekitar bagan tancap ini tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak
61
tercemar merkuri, karena dari data kandungan merkuri tetap memperlihatkan bahwa Perairan Muara Angke secara umum tercemar logam berat merkuri. Terdapatnya merkuri di lokasi penelitian diduga karena secara alami, merkuri di perairan bersumber dari pelapukan batuan dan tanah yang kemudian dibawa oleh aliran air namun jumlahnya sangat sedikit (Volesky 1990). Selain itu merkuri diduga berasal dari kegiatan industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta, terutama yang berada di kawasan industri Muara Angke.
Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990);
Darmono (2001) dan Alfian (2006) yang menyatakan bahwa tingginya peran Hg sebagai bahan campuran dan utama, dalam segala bidang, terutama industri, akan meningkatkan masukan merkuri dalam perairan.
Selain hal tersebut merkuri yang
berada di lokasi penelitian juga diduga berasal dari kegiatan pertanian (pestisida) yang terdapat di daerah hulunya. Hal ini sesuai pernyataan Baird (1995); Darmono (1995); Effendi (2003); Volesky (1990) dan Fardiaz (2005) yang mengatakan bahwa merkuri dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai bahan produksi pestisida. Sumber merkuri lainnya diduga dari sampah plastik yang melimpah di Kali Angke, di sekitar bagan tancap kerang hijau, dan di perairan Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industri-industri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik (Fardiaz 2005). Adanya merkuri pada lokasi penelitian ini dapat memberikan dampak negatif pada biota yang hidup di dalamnya. Namun demikian dampak dari terpaparnya suatu biota perairan oleh merkuri berbeda-beda, tergantung dari organismenya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Neff (2002) setelah terpapar Hg selama beberapa waktu tertentu, ikan Fundulus heteroclitus akan mengalami gangguan pada penetasan dan terganggunya perkembangan larva Crassostrea gigas dan Mytilus edulis, namun pada Penaeus indicus tidak menunjukan efek yang berarti setelah dipapar logam Hg. Penelitian Athena et al. (2004) juga memperlihatkan bahwa dampak merkuri pada manusia tergantung seberapa besar konsentrasi yang masuk ke dalam tubuh, sehingga ada yang masuk pada efek akut, namun dapat pula masuk pada efek kronis. Dampak akut dari masuknya merkuri antara lain adalah adanya gangguan permanen pada otak, seperti daya ingat, penglihatan, pendengaran, gangguan respirasi dan pencernaan serta terjadi peningkatan tekanan
62
darah. Dampak kronisnya adalah nefrotoksik yang dikenal gangguan fungsi ginjal hingga kematian.
4.2.1.4.2. Kadmium (Cd) Berdasarkan hasil analisis logam kadmium di Kali Angke (0,011 mg/l) dan di bagan tancap kerang hijau (0,07 mg/l).
Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi
kadmium di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yakni sebesar 0,01 mg/l untuk air sungai dan 0,008 mg/l untuk air laut, yang ditentukan pemerintah. Berbeda dengan Hg, konsentrasi Cd di Kali Angke lebih rendah dibandingkan di kawasan bagan tancap. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Neff (2002) bahwa konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah laut. Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29–0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb (Neff 2002) walaupun demikian berdasarkan hasil analisis perairan Muara Angke dan secara umum perairan Teluk Jakarta telah tercemar logam berat kadmium. Tingginya konsentrasi kadmium disebabkan tingginya aktivitas industri (Nordberg et al. 1986; Volesky 1990 dan Paasivirta 2000) pada wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tingginya buangan sampah keramik, plastik, baterai, benda elektronik dan penggunaan plat besi dan baja pada kapal pada wilayah Muara Angke dan Kali Angke serta asap rokok juga menyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan diduga menjadi sumber pencemar kadmium, hal ini sesuai pernyataan Baird, (1995); Darmono (1995); Volesky (1990) dan Lu (2006). Mance (1990) menyatakan masuknya Cd sebesar 0,01-0,1 mg/l pada fitoplankton akan mereduksi klorofil, ATP, dan mengurangi konsumsi O2 ketika membentuk ikatan komplek CdCl2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika konsentrasinya menjadi meningkat (Nordberg et al. 1986), bahkan apabila konsentrasi Cd terlarut 8–85 mg/l dapat menyebabkan terjadinya toksisitas akut pada ikan estuari. Menurut Manahan (2001) efek toksik Cd pada manusia terjadi karena tergantinya Zn pada enzim oleh Cd sehingga timbul efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan tekanan darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah. Menurut Volesky (1990) efek kronis Cd akan menyebabkan proteinuria dan terbentuknya batu ginjal dan osteomalacia.
Effendi (2003) dan Lu (2006)
menambahkan efek keracunan yang dapat ditimbulkan Cd dapat berupa penyakit paru-
63
paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang.
Berdasarkan hal tersebut, maka
keberadaan Cd ini di perairan sekitar bagan tancap budidaya kerang hijau pada umumnya dan di perairan Teluk Jakarta pada khususnya perlu mendapat perhatian yang sangat serius mengingat konsentrasi Cd walaupun tidak mematikan (akut), namun akan menimbulkan berbagai masalah terutama terjadinya kerusakan pada berbagai organ tubuh kerang hijau yang dipelihara di dalamnya, sehingga akan mengganggu kehidupan kerang hijau dan biota lain yang ada di dalam perairan tersebut.
4.2.1.4.3. Timbal (Pb) Konsentrasi Pb (plumbum) pada perairan yang belum tercemar umumnya sangat kecil, yakni 0,002-0,3 μg/L, namun konsetrasinya menjadi lebih dari 1 μg/L pada perairan pantai atau perairan teluk (Neff 2002). Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa konsentrasi logam Pb di Kali Angke 0,105 mg/l dan di sekitar bagan tancap kerang hijau
konsentrasinya 0,05 mg/l.
Nilai tersebut memperlihatkan bahwa
konsentrasi Pb di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yang ditetapkan pemerintah, yakni sebesar 0,1 mg/l untuk air sungai serta baku mutu untuk air laut yang ditentukan pemerintah sebesar
0,008 mg/l.
Kondisi tersebut
memperlihatkan bahwa Perairan Muara Angke telah tercemar oleh logam berat timbal, sehingga keberadaan logam berat tersebut sangat perlu diwaspadai, karena akan mengganggu kehidupan biota yang hidup di dalamnya. Terdapatnya timbal dalam perairan Kali Angke dan di sekitar bagan tancap diduga berasal dari kegiatan antropogenik, terutama dari kegiatan industri. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa sejak terjadinya revolusi industri tahun 1750 terjadi peningkatan jumlah Pb yang signifikan dan pencemaran Pb yang sangat progresif (mengikuti logaritmik) terjadi sejak tahun 1930an. Namun kegiatan yang juga banyak memberikan sumbangan Pb diduga berasal dari penggunaan bahan bakar kapal (solar) nelayan untuk kegiatan mencari ikan, untuk pulang pergi ke lokasi bagan budidaya serta dari kegiatan transportasi di Muara Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa pencemaran Pb yang tinggi berasal dari pembakaran BBM dari kendaraan bermotor, karena pada solar terdapat timah hitam (Pb) sehingga dapat memberikan sumbangan yang signifikan
64
pada perairan. Bahkan Pb bukan hanya berasal dari transportasi di laut, namun juga berasal dari lalulintas di jalan raya, sehingga pencemaran Pb di permukaan laut dapat terjadi dari udara sekitarnya, bahkan berasal dari lalulintas yang jaraknya lebih dari 25 km
(Volesky 1990).
Selain sumber tersebut, dari wawancara penulis dengan
masyarakat nelayan Muara Angke terungkap bahwa masyarakat umumnya akan membuang aki (baterai kendaraan bermotor) yang sudah tidak terpakai lagi ke dalam sungai atau laut. Di lain pihak, elektroda dari aki yang dibuang oleh penduduk sekitar tersebut dapat menjadi sumber pencemar Pb. Sumber Pb lainnya diduga berasal dari cat pelapis kayu, mengingat timah hitam merupakan bahan campuran cat yang digunakan untuk melapisi kapal (Volesky 1990; Fardiaz 2005; Lu 2006). Organisme perairan yang terpapar timbal akan mengalami pengaruh negatif, seperti pada larva Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister mengakibatkan terjadinya pertumbuhan abnormal, namun pada makro alga memberikan efek subletal (Neff 2002). Hal ini terjadi karena logam Pb merupakan racun metabolisme umum dan inhibitor pada enzim, dalam hal ini Pb memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sel dan dengan biomolekul seperti enzim dan hormon (Paasivirta 2000). Sutrisno (2008) menambahkan timbal menjadi beracun karena dapat menggantikan kation-kation logam yang aktif biologis, seperti kalsium dan zink, dari protein-proteinnya. Darmono (1995) menambahkan timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal juga dapat menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta mengakibatkan terjadinya depresi.
4.2.1.5.
Beban Pencemaran
Pada penelitian ini analisis beban pencemaran dilakukan untuk mengetahui sumber, jenis dan besarnya bahan pecemaran yang masuk ke Perairan Muara Angke pada khususnya dan ke Teluk Jakarta pada umumnya, mengingat masukan limbah yang di buang melalui sungai akan membebani ekosistem penerimanya. Besarnya beban pencemaran setiap hari dari Kali Angke untuk beberapa parameter perairan Teluk Jakarta dapat dilihat pada Tabel 14.
65
Pada paparan sebelumnya dinyatakan bahwa pencemaran air di lokasi penelitian berasal dari limbah domestik dan industri (Danazumi dan Bichi 2010).
Adanya
pencemaran limbah domestik terbukti dari tingginya beban limbah BOD, nitrat dan fosfat, sedangkan pencemaran dari limbah industri berasal terlihat dari tingginya COD dan logam berat. Bahan pencemar dari domestik ini akan masuk ke Kali Angke serta menyebar ke perairan Teluk Jakarta, terutama daerah bagan tancap tempat budidaya kerang hijau yang dimiliki warga Muara Angke. Konsentrasi bahan pencemar dari sungai yang masuk ke lokasi penelitian (Teluk Jakarta) ada beberapa parameter yang konsentrasinya lebih tinggi dari konsentrasi di sungai. Hal ini sesuai dengan penelitian Abowei dan George (2009) yang mengatakan bahwa kegiatan antropogenik di sepanjang sungai dapat meningkatkan kandungan bahan-bahan pencemar terutama di bagian muara sungai. Namun demikian parameter-parameter tersebut pada umumnya mempunyai konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi di sungai.
Kondisi ini
terjadi karena nasib bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan akan mengalami nasib yang berbeda, namun pada umumnya menjadi rendah karena diencerkan dan disebarkan sebagai akibat dinamika laut, diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya, berikatan dengan bahan organik dan anorganik sehingga mengendap ke dasar perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat US EPA (1973) bahwa bahan pencemar yang masuk ke dalam laut akan mengalami pengenceran dan penyebaran akibat adukan atau turbulensi sungai dan/atau arus laut, akan mengalami pemekatan karena proses biologi, serta akan dibawa oleh arus sungai/laut dan oleh organisme atau biota laut.
Tabel 14. Beban pencemaran dari Kali Angke yang masuk ke perairan Teluk Jakarta No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter BOD (mg/l) COD (mg/l) Nitrat (mg/l) Ortofosfat (mg/l) Merkuri (mg/l) Kadmium (mg/l) Timbal (mg/l)
Konsentrasi (ppm) 40,06 74,03 0,066 0,056 0,086 0,011 0,105
Beban (ton/hari) 31,4772 58,1692 0,05186 0,04401 0,06757 0,00864 0,08250
Beban (ton/bulan) 944,3159 1745,0750 1,5558 1,3201 2,0272 0,2593 2,4751
Beban pencemar organik pada saat dilakukan penelitian ini sangat tinggi, yakni untuk bahan organik yang terurai oleh mikroorganisme (BOD) jumlahnya mencapai 944,3159 ton/bulan dan bahan organik yang terurai secara kimia (COD) jumlahnya
66
mencapai 1745,075 ton/bulan. Selain itu berdasarkan data sekunder, juga terlihat bahwa beban pencemaran organik (yang dilihat dari nilai COD dan BOD) yang masuk ke Teluk Jakarta cenderung naik setiap tahunnya. Dalam hal ini terjadi kenaikan bahan pencemar organik dari tahun 2006 hingga awal tahun 2011, seperti yang tertera pada
Beban Pencemaran (ton/bulan)
Gambar 11.
2000 1745,075 1500
1450,78
1000 500
944,316 584,76
624,13
COD BOD
267,03 0 2006
2008
2011
Tahun
Gambar 11. Nilai beban pencemaran BOD dan COD yang masuk ke Teluk Jakarta 2006-2011
12,000,000 10,000,000 8,000,000 6,000,000 Jumlah penduduk 4,000,000 2,000,000
1870 1880 1886 1895 1905 1920 1928 1940 1950 1961 1980 2000 2006 2010
0
Gambar 12. Jumlah penduduk di DKI Jakarta dari tahun 1870-2010 (Sumber BPS 2005-2011)
67
1900 1850 1800 industri
1750 1700 1650 1600 1550 1500 1450 1400 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 13. Jumlah industri di DKI Jakarta dari tahun 2006-2010 (Sumber BPS 20052011) Terjadinya peningkatan bahan pencemar organik yang masuk ke dalam perairan diduga ada kaitannya dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang pada akhirnya mengakibatkan meningkatnya kegiatan antropogenik, seperti peningkatan aktivitas penduduk dan aktivitas industri baik yang terjadi di sekitar Kali Angke maupun di bagian hulunya. Hal ini didukung oleh data jumlah penduduk dan jumlah industri dari tahun 2006 hingga tahun 2010 yang setiap tahunnya meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 12. Selain bahan organik, bahan anorganik terutama logam berat di lokasi penelitian juga sangat tinggi.
Logam berat ini pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan
suplemen yang harus ada dalam industri terutama industri elektronik. Tingginya logam berat tersebut di perairan diduga ada kaitannya dengan tingginya pertumbuhan industri di DKI Jakarta. Dalam hal ini dari tahun ke tahun terjadi peningkatan industri seperti yang terlihat pada Gambar 13. 4.2.2. Kualitas Sedimen Pada penelitian ini dilihat kualitas sedimen di Kali Angke dan di lokasi budidaya kerang hijau, adapun parameter kualitas sedimen yang diamati di sini adalah pH dan logam berat merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb). Hasil analisis terhadap kualitas sedimen tersebut dapat dilihat pada Tabel 15
68
Tabel 15. Kualitas sedimen Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau No
Parameter
1 2 3 4
pH Merkuri (ppm) Kadmium (ppm) Timbal (ppm)
Kali Angke 5,44 2,363 1,169 1,171
Budidaya Kerang Hijau 6,18 1,935 0,962 2,089
Baku Mutu (level target) 0,03 0,8 85
Keterangan: Baku mutu (BM) logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga BM logam berat pada sedimen IADC (International Association of Drilling Contractors) / CEDA (Central Dredging Association) (1997) level target yang berarti jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan
Pada penelitian ini diukur nilai pH sedimen, karena nilai pH sedimen mempunyai hubungan yang cukup erat dengan adsorpsi logam berat pada sedimen. pH air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan serta dapat mempengaruhi jenis dan toksisitas dari unsur-unsur renik seperti logam (Saeni 1989; Voleky 1990). Senada dengan hal tersebut Nordberg et al. (1986); Novotny dan Olem (1994) dan Volesky (1990) menyatakan bahwa toksisitas logam mengalami peningkatan pada pH rendah. pH sedimen di lokasi penelitian berada pada kisaran yang asam, yakni 5,44 untuk sedimen Kali Angke dan 6,18 pada sedimen di daerah budidaya kerang hijau. Rendahnya pH pada lokasi penelitian menunjukkan tingginya bahan organik dalam sedimen, sehingga proses dekomposisi pada sedimen juga tinggi.
Pada proses
penguraian bahan organik dalam sedimen ini, akan dihasilkan karbon dioksida, dan apabila karbon dioksida ini bereaksi dengan air sedimen (pore water), sementara di dalam sedimen tersebut tidak ada mineral, akan menyebabkan kondisi menjadi asam atau dengan kata lain akan mengakibatkan pH lebih rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan Fardiaz (1992) bahwa pemecahan komponen molekul organik yang mengandung karbon, nitrogen, sulfur dan phospat yang berasal dari karbohidrat, lemak atau protein, baik secara aerobik maupun anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida yang sifatnya asam serta hasil penelitian Adeyemo et al. (2008) bahwa pada perairan yang menerima bahan organic dalam jumlah banyak derajat keasaman sedimennya relative rendah. Nilai pH sedimen Kali Angke lebih rendah dibanding nilai pH di sekitar bagan tancap. Kali Angke pada dasarnya merupakan kali yang sangat dipengaruhi oleh air laut,
69
melalui proses pasang surut, namun pengaruh air laut ini tidak mengakibatkan tingginya pH sedimen. Hal ini diduga karena bahan organik yang terdapat pada perairan sungai jauh lebih besar yang berakibat rendahnya nilai pH seperti yang dinyatakan oleh Adeyemo et al. (2008), oleh karena itu maka air laut yang masuk ke dalam sungai tidak mampu menetralkan suasana asam akibat proses penguraian bahan organik dalam sedimen.
pH sedimen di sekitar bagan tancap mendekali netral.
Berbeda dengan
sedimen sungai, sedimen yang berada di lokasi bagan tancap yang lokasinya di laut diduga karena laut yang mempunyai banyak mineral mempunyai kemampuan menetralkan (buffering system) yang tinggi.
Selain itu pada air laut juga terdapat
mineral yang jumlahnya tinggi, sehingga relatif mampu menyangga terjadinya penurunan pH pada sedimen.
4.2.2.1.Logam Berat di Sedimen Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke perairan akan menjadi sedimen. Nordberg et al. (1986); Hutagalung (1991); Novotny dan Olem (1994), Volesky (1990) dan Asonye et al. (2007) menyatakan bahwa logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisikkimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen (Sanusi 2006 dan Adeyemo et al. 2008).
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kualitas fisik dan kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan.
4.2.2.1.1. Merkuri (Hg) Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi logam berat Hg pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Oleh karena itu maka konsentrasi Hg yang ada di lokasi penelitian berpotensi untuk membahayakan lingkungan dan organisme perairan yang hidup pada ekosistem tersebut. Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi merkuri di sedimen lebih tinggi dibandingkan pada air Kali Angke dan di perairan daerah budidaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Harahap (1991) dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) yang juga dilakukan di tempat yang relatif
70
sama. Tingginya Hg pada sedimen diduga karena Hg yang terdapat pada kolom air bereaksi dengan partikel organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan, dan selanjutnya akan mengendap ke dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Selain itu rendahnya pH perairan juga diduga memicu tingginya merkuri dalam sedimen baik di Kali Angke maupun di sekitar bagan tancap. Hal ini sesuai pernyataan Sanusi (2006) dan Asonye et al. (2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa pH merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg2+. Rendahnya pH pada sedimen juga akan memicu peningkatan toksisitas Hg bagi organisme yang habitatnya di lokasi penelitian.
4.2.2.1.2. Kadmium (Cd) Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam kadmium pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Tingginya nilai Cd pada sedimen diduga karena beberapa faktor, yakni konsentrasi kadmium yang tinggi pada kedua lokasi penelitian, tingginya partikel organik dan anorganik yang terlihat dari keruhnya perairan (berwarna kecoklatan), serta rendahnya nilai pH akan memicu kemungkinan proses adsorpsi logam berat lebih tinggi seperti yang dinyatakan oleh Asonye et al. (2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa rendahnya nilai pH dapat meningkatkan adsorpsi logam berat. Pada konsentrasi tersebut, Cd memiliki potensi bahaya bagi biota yang hidup di Kali Angke dan kerang hijau yang dibudidaya di bagan tancap. Sama seperti merkuri, hasil analisis logam berat Cd juga menunjukan konsentrasi yang lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua lokasi penelitian.
4.2.2.1.3. Timbal (Pb) Hasil analisis logam timah hitam pada sedimen Kali Angke dan sedimen di daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Adapun penyebabnya, diduga faktor yang sama mempengaruhi tingginya Hg dan Cd pada sedimen, yakni tingginya konsentrasi Pb kedua perairan, banyaknya partikel organik dan anorganik di perairan serta rendahnya nilai pH yang memicu kemungkinan proses adsorpsi logam berat lebih tinggi (Asonye et
71
al. 2007; Begum et al. 2009, Danazumi dan Bichi 2010 serta Olubunmi dan Olorunsola 2010).
pH perairan membuat timbal mengalami proses hidrolisi menjadi Pb(OH)+
terlarut (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009; Akan et al. 2010). Sama seperti merkuri dan kadmium, hasil analisis logam berat timah hitam juga menunjukan hasil lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua lokasi.
4.2.3. Kerang Hijau 4.2.3.1. Morfologi Jumlah contoh kerang hijau yang diambil serta hasil analisis morfologi berupa ukuran cangkang, berat tubuh serta volume daging kerang hijau hasil budidaya di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17. Sample kerang hijau dengan usia lebih dari 6 bulan dapat dikatakan sulit untuk didapatkan karena petani umumnya memanen kerang hijau pada usia 4-6 bulan. Tabel 16. Ukuran cangkang (panjang, lebar dan tebal) kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Umur
N 240 240 240
1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan
Panjang 2,03 ± 0,63 4,91 ± 1,26 8,51 ± 1,16
Ukuran cangkang (cm) Lebar 1,14 ± 0,22 2,01 ± 0,57 5,17 ± 1,60
Tebal 0,66 ± 0,35 1,81 ± 0,57 3,46 ± 1,25
Tabel 17. Ukuran berat (total, daging dan cangkang) dan volume daging kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Umur 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan
N 240 240 240
Berat tubuh (g) Total Daging 0,96 ± 0,56 0,36 ± 0,23 8,61 ± 1,65 3,38 ± 0,90 17,08 ± 0,68 7,49 ± 1,23
Cangkang 0,60 ± 0,35 5,22 ± 1,16 9,60 ± 1,41
Volume daging (ml) 0,37 ± 0,23 3,33 ± 0,92 7,51 ± 1,27
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa panjang, lebar, dan tebal kerang hijau serta berat tubuh dan volume daging yang didapat pada penelitian ini (Tabel 16 dan Tabel 17) pada umumnya lebih rendah dibanding kerang hijau pada kondisi normal, yakni dalam kondisi panjang (mm) normal, pada umur 1-2 bulan adalah 2,13 ± 1,16; pada usia 3-4 bulan adalah 7,175 ± 0,59; pada usia 5-6 bulan adalah 8,79 ± 0,52 (Seed 1976, Sivalingam 1977, Cheong dan Chen 1980, Beales dan Lindley 1982,
72
Valiky 1989, Mohamed et al. 2003). Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Riani (2009) yang mengatakan bahwa pertumbuhan kerang hijau dalam beberapa tahun terakhir relatif sangat lambat, sehingga usia panen sebelum tahun 1990 adalah tiga bulan, namun saat ini diperlukan waktu tujuh bulan dari sejak dipasang tali nilon hingga panen. Hal ini diduga terjadi karena ada pengaruh dari logam berat dalam lingkungan hidupnya (Tabel 14 dan Tabel 15) yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan kerang hijau. Rosell (1985) menyatakan akibat kontaminasi merkuri sebesar 100 ppb, Perna viridis akan mengalami perlambatan kinerja fungsi tubuh. Beales dan Lindley (1982) menambahkan laju pertumbuhan P. viridis di tempat yang tidak tercemar 9 mm/bulan, sedangkan yang hidup di lokasi tercemar adalah 5,2 mm/bulan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Garcia (2001) saat melakukan penelitian pengaruh konsentrasi logam berat Cu dan Pb di lingkungan tempat hidupnya terhadap kerang hijau Perna viridis, yang memperlihatkan bahwa logam berat Cu dan Pb dapat menghambat aktifitas enzim glycogen synthetase dan glycogen phosphorylase yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap produksi daging hambatan
terhadap
kedua
pertumbuhan kerang hijau.
jenis
enzim
tersebut
kerang.
mengakibatkan
Adanya
menurunnya
Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang
menyatakan bahwa kerang hijau yang tubuhnya terkontaminasi oleh logam berat akan menyebabkan terganggunya sel-sel tubuh kerang hijau tersebut, karena sel-sel tersebut pada umumnya mengalami degenerasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyebab
terjadinya degenerasi sel tersebut disebabkan oleh terjadinya bioakumulasi logam berat pada vacuola dari organel lisosom. Hal ini sesuai dengan pendapat Moore (1989) dan Viarengo (1989) dalam Gosling (1992) yang mengatakan bahwa pencemaran logam Cu dan Cd mengakibatkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel. Selanjutnya dikatakan bahwa logam Cu dan Cd tersebut juga akan mengganggu proses oksidasi, kerja enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Oleh karena itu maka proses fisiologis di dalam sel menjadi terganggu, dan pada akhirnya akan mempercepat terjadinya degenerasi sel dan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan kerang hijau.
73
4.2.3.2. Logam Berat di Kerang Hijau Hasil analisis akumulasi logam berat merkuri, kadmium dan timbal dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19. Tabel 18 dan 19 tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi bioakumulasi logam berat yang berasal dari lingkungannya. Terjadinya bioakumulasi logam berat dalam tubuh kerang hijau ini sangat dimungkinkan mengingat logam berat dapat dengan mudah dan cepat masuk ke dalam tubuh mahluk hidup (Baldwin et al. 1999). Selanjutnya dikatakan bahwa logam berat tersebut masuk ke dalam sel tubuh mahluk hidup melalui lapisan lipida dari dinding sel melalui proses endositosis, melalui sistem pemompaan dan sistem kelat organik. Oleh karenanya maka konsentrasi logam berat yang terdapat pada kerang hijau baik yang berumur 1-2 bulan, 3-4 bulan, dan 5-6 bulan tinggi (Tabel 18 dan 19). Tabel 18 menunjukan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau, selain hepatopankreas, insang dan tissue daging, juga termasuk di dalamnya gonad, kelenjar dan saluran pencernaan, otot dan organ lainnya. Logam berat yang telah terakumulasi pada organ hepatopankreas, insang dan tissue daging (Tabel 19) termasuk logam berat yang tidak bisa dilepaskan kembali, karena telah berikatan dengan gugus sulfidril (Manahan 1995, Vouk 1986, Mance 1990, Paasivirta 2000). Pada organ lain terdapat kemampuan untuk mereduksi logam berat.
Logam berat yang masuk ke saluran
pencernaan akan dibuang bersamaan dengan feses. Pada darah logam berat akan di fagositasi oleh sel darah putih.
Sebenarnya dalam hepatopankreas juga terdapat
cytochrome P450 yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan logam berat dari tubuh, tetapi karena jumlahnya terbatas, logam berat yang telah masuk dalam tubuh akan disimpan dahulu, dengan cara di fagositasi oleh sel pada hepatopankreas, dan nantinya akan dibuang (De-Faverney et al. 2001, Garza et al. 2006). Disisi lain, karena afinitasnya yang tinggi, logam berat yang disimpan tersebut akan berikatan dengan gugus sulfidril sehingga sukar untuk lepas, karena ikatannya bersifat irreversible (Bryan 1976). Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb baik yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen berada di luar ambang batas yang ditentukan. Logam berat mengalami peningkatan hingga bulan ke 5-6, namun demikian konsentrasi logam berat yang relatif tinggi di Perairan Muara Angke tersebut tidak mengakibatkan kematian masal kerang hijau. Hal ini mengandung arti bahwa
74
Tabel 18. Kandungan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Konsentrasi Hg (μg/g bk) Cd (μg/g bk) Pb (μg/g bk)
1-2 bulan 35.47 ± 7.17 0.07 ± 0.03 17.12 ± 11.72
3-4 bulan 205.72 ± 49.46 0.08 ± 0.03 33.51 ± 6.44
5-6 bulan 209.82 ± 35.58 0.15 ± 0.03 41.94 ± 1.92
Tabel 19. Kandungan logam berat pada organ kerang hijau (daging, hepatopankreas dan insang) di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke Umur 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan
Kandungan Hg (μg/g bk) Kandungan Cd (μg/g bk) Kandungan Pb (μg/g bk) TD H I TD H I TD H I 1,76 12,232 6,066 0 0,034 0 0,318 5,146 1,431 2,347 71,657 11,04 0 0,053 0 0,767 8,33 2,727 4,35 88,886 23,133 0,01 0,06 0,01 1,09 15,691 2,786
Keterangan TD: Tissue Daging; H: Hepatopankreas; I: Insang/Ctenedium
Konsentrasi logam berat yang terdapat pada lingkungannya belum masuk pada konsentrasi akut, namun demikian sudah masuk pada konsentrasi kronis. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) yang mengatakan bahwa pada konsentrasi dengan toksisitas akut akan mengakibatkan kematian, yang umumnya ditandai dengan terjadinya kematian masal.
Selanjutnya dikatakan bahwa pada
konsentrasi dengan toksisitas kronis tidak mengakibatkan kematian namun pada umumnya akan berdampak negatif terhadap berbagai organ tubuh dan dapat mengakibatkan kecacatan bawaan pada larva kerang hijau. Pada Tabel 18 terlihat bahwa terjadi kenaikan konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb pada tubuh kerang hijau dari usia satu hingga enam bulan. Terjadinya kenaikan akumulasi Hg, Cd dan Pb pada kerang hijau yang semakin tua, diduga karena ketiga logam berat yang sudah terakumulasi dalam tubuh kerang hijau bersifat irreversible (Bryan, 1976), sehingga logam berat yang sudah terakumulasi tidak akan lepas kembali dan dengan adanya akumulasi baru, maka logam berat tersebut akan semakin meningkat. Oleh karenanya maka semakin tua kerang hijau, baik Hg, Cd maupun Pb yang terakumulasi pada tubuh kerang hijau juga semakin meningkat. Hal ini juga terlihat pada Tabel 19 yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi usia kerang hijau, semakin meningkat kandungan logam berat pada organ tubuh daging, hepatopankreas dan insang kerang hijau.
75
Kondisi perairan Teluk Jakarta yang juga telah tercemar logam berat tidak membuat mati kerang hijau yang di budidaya ini sesuai dengan hasil penelitian Riani (2004), yang mengatakan bahwa konsentrasi logam berat masih belum mematikan, namun logam berat tersebut terakumulasi pada organ tertentu seperti insang dan hepatopankreas dan telah menyebabkan kerusakan pada ke dua organ tersebut. Hal ini terbukti dari hasil analisa pada Tabel 18. Tabel 18 memperlihatkan bahwa seluruh logam berat yang dianalisis pada penelitian ini terakumulasi pada kerang hijau. Organ yang paling banyak mengakumulasi adalah hepatopankreas. Logam berat yang paling tinggi terakumulasi adalah merkuri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani (2004) yang menyatakan kerang hijau mampu menyerap logam merkuri dan menyimpannya dalam tubuhnya dengan efektif, sehingga kerang hijau direkomedasikan sebagai biofilter logam berat terutama Hg (Riani 2006) dan bersifat sebagai vacum cleaner bagi perairan tercemar logam berat (Riani 2009). Volesky (1990), Neff (2002) dan Ahalya et al. (2004) menyatakan setiap organisme dapat mengakumulasi logam berat berbeda pada tiap jaringan atau organnya. Hal ini tampak pada krustasea Nephrops norvegica mengakumulasi merkuri di bagian insang dan hepatopankreasnya. Paasivirta (2000) menambahkan akumulasi paling tinggi Cd pada kima (Crasostrea gigas) pada bagian ginjal, sedangkan pada lobster dengan konsentrasi yang paling banyak ditemukan pada organ hepatopankreas.
Neff (2002) menambahkan kebanyakan organisme air
mengakumulasi logam timbal pada bagian insang dan mantel (Neff 2002). Di dalam sel, timbal akan terkonsentrasi pada mitokondria, sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan dan menurunkan fungsinya.
Hasil tersebut juga menggambarkan semakin
besar ukuran kerang hijau dan semakin lama umur dari kerang hijau akan semakin memperbesar kemungkinan akumulasi logam berat pada kerang hijau yang di budidaya tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Riani (2004) yang menyatakan semakin besar ukuran kerang hijau dan lamanya menetap kerang hijau akan meningkatkan konsentrasi logam berat pada kerang hijau. Kandungan logam berat pada kerang hijau ini cukup membahayakan bagi yang mengkonsumsinya, karena semua parameter logam berat yang diukur pada penelitian ini telah melebihi baku mutu yang telah ditentukan oleh berbagai organisasi. Untuk logam berat merkuri, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, RI (BPOM-RI) menyatakan konsentrasi maksimum merkuri yang diizinkan adalah 0,5 mg/kg, sedangkan FAO-
76
WHO PBB menyatakan maksimum konsentrasi adalah 0,03 ppm. Vettorazzi dalam Darmono (2001) merekomendasikan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) total Hg dalam makanan 5 ppb sedangkan untuk metil-merkuri sebesar 3,3 ppb. Konsentrasi maksikum merkuri dalam makanan menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001 adalah 0,5 mg/kg.
BPOM-RI menambahkan untuk logam berat kadmium dalam
makanan maksimum 2 mg/kg.
The Codex Committee on Food Additive and
Contaminants (2006) menyatakan nilai maksimum kadmium pada makanan 0,4 mg/kg. Menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001 konsentrasi maksimum kadmium adalah 1 mg/kg.
Kandungan logam berat jenis timah hitam maksimum pada makanan
berdasarkan persyaratan BPOM-RI adalah 2 mg/kg sedangkan standar Uni Eropa EC No. 466/2001 yaitu 1 mg/kg. Dalam kondisi yang melebihi baku mutu tersebut, Volesky (1990), Ahalya et al. (2004) serta Ochiai (1977) dalam Palar (2004) menyatakan logam berat, terutama Hg, Pb dan Sn memiliki kemampuan larut dalam lemak, sehingga mampu melakukan penetrasi pada dinding membran sel. Kondisi tersebut membuat logam berat mampu terakumulasi pada sel, jaringan dan organ dari suatu organisme. Lebih lanjut (Ochiai 1987; Volesky 1990; Olsson 1998 dan Ahalya et al. 2004) menambahkan toksisitas logam berat timbul karena mekanisme, proses “penyerangan” ikatan sulfida pada gugusan biomolekul yang penting untuk proses biologi seperti struktur protein dan enzim sehingga menimbulkan kerusakan pada stuktur yang diserang. Ikatan sulfida berubah karena ion logam berat menggantikan ion logam yang esensial. Logam berat yang menempel pada gugusan molekul tersebut akan memodifikasi sehingga protein dan enzim tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, seperti terganggunya aktifitas enzim. Dalam kondisi ini menyebabkan terganggunya metabolisme pada tingkat sel, sehingga sel tersebut menjadi lisis dan akhirnya lemah serta rusak. Viarengo (1980); Volesky (1990); Olsson 1998 dan Ahalya et al. (2004) menambahkan bahwa logam berat akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada sel, terutama pada organel lisosomnya.
Logam berat tersebut memodifikasi proses enzim yang ada dan
mengganggu serta menggantikan ion Ca sehingga mempengaruhi oksidasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Gosling (1992) yang mengatakan bahwa gamet kerang genus Mytilus yang berasal dari kawasan perairan tercemar logam berat akan mengalami
77
degenerasi atau mengalami pembengkakan sel. Kondisi ini timbul jika sel tidak dapat mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel.
4.2.3.3. Malformasi Perkembangan struktur tubuh organisme secara abnormal yang disebabkan mutasi genetik, infeksi, obat-obatan, pengaruh lingkungan dan atau interaksi dari hal tersebut disebut deformasi atau malformasi (Encyclopædia Britannica 2011).
Pada
perairan yang tercemar bahan beracun terutama logam berat akan memperbesar kemungkinan terjadikan kejadian deformitas tersebut. Darmono (1995) menyebutkan, logam berat dalam perairan ada dalam bentuk ion kemudian di absorpsi dan akhirnya terakumulasi dalam hewan air, terutama bentos. Walaupun demikian, pengaruh logam berat tersebut sifatnya jangka panjang. Contoh kejadian malformasi adalah logam berat tributiltin yang menganggu enzim pada proses kalsifikasi cangkang (Alzieu) berupa kecenderungan menggelembungkan cangkangnya dan terbentuknya alur pertumbuhan seperti pelapisan yang kasar. Tabel 20. Presentasi malformasi ditinjau dari morfologi (tebal>lebar) kerang hijau Umur Kerang Total Bulan 1-2 Bulan 3-4 Bulan 5-6
Jumlah 720 240 240 240
Malformasi 96 4 44 48
Persentase Malformasi 13,33% 1,67% 18,33% 20,00%
Tabel 21. Analisa kandungan logam berat per individu Umur Hg (μg/ind) 1-2 bulan 1,288 3-4 bulan 69,597 5-6 bulan 163,511
Kandungan logam berat per-individu Pb (μg/ind) Cd (μg/ind) 0,622 0,003 11,335 0,026 32,684 0,119
Pada penelitian ini malformasi dilihat dari ukuran tebal lebih besar dibandingkan lebar kerang hijau. Hasil analisis malformasi dapat dilihat pada Tabel 20. Dari seluruh kerang hijau yang dianalisis, terdapat 12,83% yang tebalnya lebih besar dibandingkan lebarnya. Hal ini terjadi karena menurut Ochiai (1987) ion-ion logam berat seperti Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak dan mampu melakukan penetrasi
78
pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi di dalam sel dan organ lain.
Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan
menyebabkan terganggunya aktifitas enzim dan metabolisme dalam sel, sehingga perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati.
Lebih jauh Viarengo
(1989); Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) mengatakan bahwa sel yang telah mengalami akumulasi logam berat akan melakukan transformasi, sehingga cepat atau lambat akan menyebabkan mutasi genetik pada sel, dan pada akhirnya mengakibatkan terjadinya malformasi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang
mengatakan bahwa tindak lanjut dari proses bioakumulasi logam berat yang toksik dalam tubuh kerang hijau M. edulis akan mengalami biotransformasi dalam sel-sel, sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen. Selain Gosling (1992), Viarengo et al. (1981) juga mengatakan bahwa contoh biota yang melakukan proses transformasi tersebut sehingga mengalami malformasi adalah kerang genus Mytilus. Berdasarkan hal tersebut, maka sangat wajar jika kerang hijau yang diteliti oleh penulis, yakni yang hidup di Perairan Muara Angke dengan lingkungan hidupnya yang tercemar logam berat dan tubuhnya terkontaminasi logam berat, mengalami malformasi. Terjadinya malformasi pada kerang hijau yang diteliti di sini diduga terjadi karena logam berat yang terdapat pada embrio kerang hijau tersebut akan mengganggu pembelahan sel. Hal ini terjadi karena setelah terjadi pembuahan sel telur oleh sperma selanjutnya akan terjadi pembelahan sel, padahal pembelahan sel merupakan satu fase yang sangat sensitif terhadap terjadinya perubahan, mengingat terjadinya perubahan pada saat terjadinya pembelahan sel-sel pada stadium metaphase dapat mengakibatkan terjadinya perubahan susunan kromosom. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian DeFaverney et al. (2001) bahwa logam berat seperti merkuri akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada DNA, serta akan mempengaruhi transkripsi DNA (Liu 2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dixon (1982) pada kerang biru (M. edulis) yang mendapatkan
bahwa
akibat
pencemaran
logam
yang
berkepanjangan
dapat
menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan menyebabkan abrasi kromosom, sehingga mengakibatkan terjadinya malformasi pada kerang biru tersebut. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ercal et al. (2001) yang mengatakan bahwa logam berat toksik seperti Pb, Cd dan Hg dapat mengakibatkan teroksidasinya asam nukleat pada DNA yang akan mengakibatkan gangguan pada
79
perbaikan DNA, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya mutasi gen, terjadinya kanker dan teratogenik. Menurut Fichet et al. (1998) pada organisme tingkat tinggi serta pada larva moluska, adanya sel-sel yang mengalami mutagen tersebut diekspresikan pada fenotif dalam bentuk tubuh yang tidak sempurna (malformasi). Adapun terjadinya kerusakan permanen dan mutasi pada DNA tersebut, salah satunya dapat diakibatkan karena Pb mengikat nucleus, dan menghambat kegiatan nucleus tersebut (Garza et al. 2006). Oleh karenanya maka pencemaran logam berat terutama Pb dan Cd dapat mengakibatkan terjadinya malformasi pada kerang hijau. Ditinjau dari umurnya, terdapat kecenderungan semakin lama umur kerang hijau, maka malformasi yang terjadi juga lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan akumulasi logam berat yang semakin besar, seiring dengan bertambahnya umur kerang hijau. Pada Tabel 20 terlihat bahwa semakin tua kerang hijau semakin banyak yang mengalami malformasi, dan terkesan malformasinya semakin terlihat dengan jelas (Gambar 14). Hal ini diduga ada kaitannya dengan konsentrasi logam berat yang terakumulasi pada kerang hijau, yakni semakin tinggi akumulasi logam berat pada kerang hijau, semakin tinggi prosentase malformasi pada kerang hijau (Tabel 18, 19 dan 21). Adapun hubungan antara konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam tubuh dan terjadinya malformasi ini diduga lebih disebabkan oleh logam berat Pb dan Cd, mengingat Pb dan Cd merupakan logam yang mempunyai sifat mirip Ca, dan dapat mensubtitusi Ca (Heath 1987 dan Volesky 1990). Pada kerang hijau, Ca paling banyak terdapat pada cangkang, padahal cangkang merupakan pelindung tubuh yang berhubungan langsung dengan lingkungan.
Di lain pihak lingkungan yang ditempati
kerang hijau adalah lingkungan yang tercemar logam berat, oleh karenanya diduga semakin bertambah umur kerang hijau akan semakin tinggi akumulasi Pb dan Cd pada cangkangnya, sehingga akan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya perubahan bentuk cangkang, sehingga pada umur yang lebih tua malformasi semakin terlihat dengan jelas dan presentase kerang yang lebih tua yang mengalami malformasi semakin tinggi.
80
(a)
(b)
(c)
(d)
Keterangan (a) kerang normal (valiky 1989); (b) sample kerang umur 1-22 bulan; (c) sample kerang umur 3-4 bulan; (d) sample kerang umur 5-6 5 bulan
Gambar 14. Malformasi pada kerang hijau
4.2.4. Pemodelan Akumulasi Logam Berat Pemodelan yang disusun pada penelitian ini, dibangun oleh sub model beban pencemaran dan sub-model model akumulasi logam berat pada kerang hijau. Kedua sub submodel tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta.
Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan
penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh logam berat dan pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem (lingkungan).
Peubah penting diturunkan berdasarkan formulasi masalah dan
identifikasi entifikasi sistem ditunjukan oleh diagram input-output (Gambar 9). Dalam suatu sistem terdapat masukan (input) ( ) yang memiliki luaran ((output). Input terbagi menjadi tiga, input lingkungan, input terkontrol dan input tidak terkontrol. Input lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI Jakarta).
Input terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni
peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi
81
masyarakat. Masukan terakhir pada sistem adalah input tak terkontol yang merupakan masukan yang sulit untuk dikendalikan yakni limbah, debit air, iklim dan jumlah penduduk. Ketiga input tersebut akan menghasikan luaran (output) yang diharapkan dan dapat pula tidak diharapkan. Adanya manajemen pengendalian, diharapkan output tersebut dapat dikonversi menjadi luaran yang dapat dikendalikan.
Luaran yang
diharapkan dari pemodelan ini adalah beban pencemaran menurun, kualitas air memenuhi baku mutu, bioakumulasi minimal dan tidak ada malformasi kerang, sehingga atas dasar komponen yang dirunut menjadi variabel tersebut, pemodelan sistem dinamik akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta dibuat. Pada pembuatan model ini dibuat beberapa asumsi seperti kondisi perairan homogen, yang paling berpengaruh pada pertumbuhan dan malformasi adalah logam berat yang mempunyai toksisitas tinggi yakni Hg, Cd dan Pb.
Asumsi lain yang
digunakan di sini adalah pengaruh bahan pencemar lain selain logam berat adalah kecil.
4.2.4.1. Sub Model Beban Pencemaran Sub model ini merupakan bagian dari pemodelan akumulasi logam berat untuk mengetahui variabel jumlah total limbah yang masuk dari muara sungai menuju Teluk Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada Gambar 15, selanjutnya diagram stock flow submodel beban pencemaran dapat dilihat pada Gambar 16. limbah industri
limbah domestik
+
konsentrasi bahan pencemar
+
+
debit air muara sungai
+ total beban pencemaran
+ rasio beban pencemaran dan kapasitas asimilasi
-
kapasitas asimilasi
Gambar 15. Diagram sebab akibat (causal loop) submodel beban pencemaran
82
Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa sub model beban pencemaran yang menjadi sumber pencemar adalah kegiatan industri dan kegiatan domestik, dampaknya adalah peningkatan limbah cair sehingga menurunkan kualitas ekosistem badan air penerimanya, dalam hal ini adalah penurunan kapasitas asimilasi. Pencemaran lingkungan perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh pencemaran akibat dibuangnya sampah dan pencemaran limbah tanpa pengolahan terlebih dahulu ke sungai yang berimplikasi pada kualitas lingkungan, yakni terjadinya pencemaran pada badan air penerimanya yaitu ekosistem perairan Teluk Jakarta. Disamping hal tersebut dapat dikatakan bahwa terjadinya pencemaran bersumber dari ketidakmampuan pihakpihak yang menghasilkan limbah cair untuk membersihkan air limbahnya, yang diduga karena mahalnya biaya pembuatan instalasi pengolah limbah (IPAL) dan mahalnya serta sulitnya dalam hal pengoperasian.
KACOD
bebanCODriil
bebanCOD
KABOD KonsBODperTh
KonsCODperTh
bebanBODriil bebanBOD
debit
KonsNO3perTh KonsPO4perTh
KANO3
bebanPO4
bebanNO3riil bebanNO3
KAPO4
bebanPO4riil
KonsHgPerTh
KAHg
bebanHg
bebanHgRiil
KonsCdPerTh
KACd
bebanCd
bebanCdRiil
bebanPb
KAPb
KonsPbPerTh
bebanPbRiil
Gambar 16. Diagram stock flow submodel beban pencemaran
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat tujuh variabel yang paling berpengaruh terhadap sub model pencemaran beban
83
pencemaran perairan yang masuk ke Teluk Jakarta, antara lain : 1) COD, 2) BOD, 3)NO3, 4) PO4, 5) logam berat merkuri (Hg), 6) logam berat kadmium admium (Cd) dan 7) logam berat timah hitam (Pb). (Pb). Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar 16.
4.2.4.2. Simulasi Sub Model Beban Pencemaran Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, disusun diketahui bahwa terdapat lima faktor yang paling berpengaruh terhadap model kebijakan pengelolaan permukiman berkelanjutan yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri antara lain : 1) beban ban masukan bahan organik ke Teluk Jakarta,, 2) beban masukan logam berat ke Teluk Jakarta, Jakarta 3) akumulasi logam berat pada sedimen dan 4) akumulasi logam berat pada kerang hijau serta 5) kapasitas asimilasi. Kondisi (state state) faktor-faktor tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi. Sub model beban pencemaran di masa datang disajikan pada Gambar 177.
Gambar 17. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari BOD, COD, OD, NO3 dan PO4
Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban BOD, OD, beban COD, beban NO3- dan beban PO43-.
Beban BOD dari tahun 2011 sebesar
3715,53 ton ton/tahun
84
menjadi 11784,8 ton/tahun tahun pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat menjadi 30546,01 ton/tahun pada tahun 2020. Demikian halnya yang terjadi pada beban COD, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 33511,61 ton/tahun, ton/tahun menjadi 36351,36 ton/tahun pada tahun 2015, dan menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada NO3 yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun 2015 dan menjadi 20,22 ton/tahun pada tahun tahun 2020. Seperti halnya BOD, COD dan NO3, ternyata PO4 pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar 8,33 ton/tahun menjadi 10,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan posfat, mengingat menurut Odum (1996) imbangan antara nitrogen dan pposfor jika perbandingannya di luar ar dari 16:1 akan menjadi faktor fa pembatas..
Dalam hal ini
tingginya fosfor dapat mengakibatkan mengakibatk terjadinya blooming plankton
yang dapat
memfiksasi nitrogen dari udara bebas.
Gambar 18. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb) Pada simulasi Beban masukan logam berat Hg, Cd, Pb ke Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban logam berat Hg, Cd dan Pb.. Beban Hg pada tahun 2011 sebesar 1,46 ton/tahun menjadi 1,66 ton/tahun pada tahun 2015, kemudian
85
cenderung terus meningkat menjadi 1,91 ton/tahun pada tahun 2020. Demikian halnya yang terjadi pada beban logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 0,15 ton/tahun, menjadi 0,58 ton/tahun pada tahun 2015, dan sangat meningkat tajam menjadi 2,68 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada logam berat Pb yakni sebesar 1,9 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 2,01 ton/tahun pada tahun 2015 dan menjadi 2,22 ton/tahun pada tahun 2020 (Gambar 18).
4.2.4.3.Sub Model Akumulasi Logam Berat pada Sedimen dan Kerang Hijau Sub model yang kedua bertujuan untuk mengetahui variabel akumulasi limbah logam berat yang terakumulasi pada sedimen dan pada kerang hijau di perairan Teluk Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada Gambar 19. Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa sumber utama sub model akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau adalah konsentrasi logam berat yang ada di perairan laut Teluk Jakarta yang berasal dari kegiatan industri dan kegiatan domestik, karena sifat kesetimbangan dampaknya terakumulasinya logam berat pada sedimen dan kemampuan penyerapan kerang hijau terhadap pencemar yang sangat baik mengakibatkan akumulasi logam berat pada organ tubuhnya. konsentrasi pencemar logam berat +
+ + Akumulasi logam berat di kolom air
+ Akumulasi logam berat di sedimen
Akumulasi logam berat di kerang hijau
+ +
Gambar 19. Diagram sebab akibat submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat variabel yang paling berpengaruh terhadap akumulasi logam berat pada sedimen dan pada kerang hijau, antara lain : 1) logam berat merkuri (Hg) 2) logam berat cadmium
86
(Cd) 3) logam berat timbal (Pb) yang ada di air, sedimen dan pada kerang hijau. Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, selengkapnya tersaji pada Gambar 20. debit
bebanHg
KonsHgPerTh
KAHg
KACd
bebanHgRiil
AkumHgSed
bebanCd
bebanPb
bebanCdRiil
KAPb bebanPbRiil
KonsPbPerTh
AkumPbSed
AkumCdSed
AkumHgKH
Gambar 20.
KonsCdPerTh
AkumCdKH
AkumPbKH
Diagram stock flow submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau
4.2.4.4. Simulasi Sub Model Akumulasi pada Sedimen dan Kerang Hijau Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada sedimen di Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb. Akumulasi logam berat Hg pada sedimen, yakni pada tahun 2011 sebesar 1,45 ppm menjadi 2,57 ppm pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat menjadi 4,3 ppm pada tahun 2020. Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 1,41 ppm, meningkat sangat tajam menjadi 5,23 ppm pada tahun 2015, dan sangat meningkat tajam lagi menjadi 19,66 ppm pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada sedimen yakni sebesar 0,57 ppm pada tahun 2011, menjadi 0,98 ppm pada tahun 2015 dan meningkat tajam menjadi 1,71 ppm pada tahun 2020 (Gambar 21). Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada kerang hijau di Teluk Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada kerang hijau. Akumulasi logam berat Hg pada kerang hijau, yakni pada tahun 2011 sebesar 138,24 μg/g bk menjadi 206,03 μg/g bk pada tahun 2015,
87
kemudian cenderung terus meningkat menjadi 263.9 μg/g bk
pada tahun 2020.
Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar sar 9.68 μg/g bk , meningkat ingkat sangat tajam menjadi men 18.65 μg/g bk pada tahun 2015, dan sangat meningkat tajam lagi menjadi 24.94 μg/g bk pada tahun 2020.
Gambar 21. Akumulasi logam berat pada sedimen
Gambar 222. Akumulasi logam berat pada kerang hijau
88
Kondisi yang sama juga terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada kerang hijau yakni walau tidak besar tapi terjadi peningkatan dari tahun ke tahun yakni sebesar 1.37 μg/g bk pada tahun 2011, menjadi 1.71 μg/g bk pada tahun 2015 dan meningkat tajam menjadi 2.53 μg/g bk
pada tahun 2020
(Gambar 22).
Terjadinya peningkatan
akumulasi yang relative rendah dari logam berat Pb pada kerang hijau diduga karena kelarutan Pb dalam air yang sangat rendah (Volesky, 1990).
4.2.5.
Validasi Model Model merupakan salah satu cara untuk menggambarkan perilaku sistem nyata
dengan cara menyederhanakan fakta sehingga perilaku sistem dapat dipahami lebih mudah, walaupun demikian model tidak akan sama dengan sistem nyata sehingga dibutuhkan validasi yang bertujuan menggambarkan hasil model dengan hasil data yang mewakili sistem nyata.
Eriyatno (2003) menyatakan validasi model bertujuan
mengetahui apakah model yang dibuat sesuai dan dapat mewakili realitas sistem nyata. Dalam sistem dinamik, proses validasi model dibagi menjadi dua kriteria validasi, yakni validasi struktur dan validasi perilaku model (output model). Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem. Untuk melakukan perancangan dan justifikasi seorang pembuat model dituntut untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian. Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model. Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute mean error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual dan 2) Absolute variation error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual. Berdasarkan validasi yang telah dilakukan, nilai AME dan AVE dari seluruh konsentrasi pencemar hasil riil dan model kurang dari 10%. Menurut Barlas (1996) dan
89
Muhammadi et al. (2001) batas penyimpangan yang diizinkan untuk pemodelan sistem dinamik <10%, hal tersebut menunjukan bahwa model akumulasi pemodelan di perairan Teluk Jakarta mampu mensimulasikan perubahan yang terjadi. Tabel 22.
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata AME varian AVE Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata AME varian AVE
Data validasi model pencemaran perairan Teluk Jakarta ditinjau dari konsentrasi pencemar BOD riil model 73.564 77.179 130.52 133.33 147.42 146.89 138.72 140.45 156.28 154 135.85 167.56 130.73 136.57 2.623144747 2306.1 984.71 1.341927514
COD riil model 120.815 115.18 72.77 90.74 118.75 125.59 58.57 60.71 164.72 133.1 176.52 185.78 118.691 118.52 2.025822478 2238.13 1782.3 0.255775069
Hg riil 0.0595 0.062 0.0648 0.0678 0.071 0.073 0.0534 7.010653241 0.0004 4.261516157
NO3 riil model 0.043 0.05 0.073 0.07 0.03 0.04 0.08 0.06 0.068 0.07 0.043 0.07 0.0562 0.06 2.14372448 0.0004 0.0002 1.528541667 Cd
model 0.06 0.06 0.07 0.07 0.07 0.07 0.061 8E-05
riil 0.01 0.02 0.0211 0.0236 0.0375 0.045 0.0246 4.332385 0.000613 3.48495276
PO4 riil model 0.7 0.8 1.466 1.31 1.178 1.33 0.328 0.36 0.89 0.79 0.01 0.42 0.762 0.835 8.858433424 0.289 0.1744 0.65497722 Pb
model
0.02 0.02 0.03 0.03 0.04 0.05 0.0317 0.000137
riil model 0.0922 0.09 0.0928 0.09 0.0934 0.09 0.0939 0.09 0.0945 0.09 0.005 0.09 0.0798 0.09 3.749295952 0.0008 2E-34 3.96429E+30
4.2.6. Penyusunan Skenario Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan Akumulasi Logam Berat Berdasarkan alternatif keadaan yang teridentifikasi pada faktor yang berpengaruh langsung dalam model, didapatkan tiga skenario yaitu (1) skenario pesimis, (2) skenario moderat, dan (3) skenario optimis. Skenario optimis dan moderat dibangun berdasarkan keadaan (state) faktor kunci, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sudah berjalan dengan skala “cukup baik” untuk skenario moderat dan skala “baik”
90
untuk skenario optimis dalam pengendalian beban pencemaran di Teluk Jakarta dan akumulasi logam berat. Skenario optimis dan skenario moderat merupakan keadaan masa depan yang mungkin terjadi yang diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki. Skenario pesimis dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition), dengan pengertian bahwa walaupun sudah memiliki usaha pengelolaan namun belum mengutamakan faktor-faktor penting yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan sehingga tidak memiliki prospek pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang berpandangan jauh ke depan. Asumsi yang di gunakan adalah tingkat efektivitas baik di pemukiman dan industri IPAL akan mengurangi 70-90% limbah yang keluar dari kegiatan tersebut. Terdapat 1866 perusahaan sedang dan besar dengan tingkat pertumbuhan 4.02% setiap tahun (BPS DKI Jakarta 2011) di Jakarta yang di duga menghasilkan logam berat belum ada yang memiliki IPAL, begitu juga dengan di pemukiman. Rata-rata, limbah yang dihasilkan hanya di endapkan dan langsung di buang menuju badan perairan. Asumsi adanya pertumbuhan IPAL 1 % pertahun akan mengurangi limbah yang di buang ke Teluk Jakarta sebesar 1%. Skenario yang di gunakan terdiri dari 1. Skenario pesimis (pertumbuhan IPAL 1% yang mengurangi limbah sebesar 1% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 1%), 2. Skenario moderat (pertumbuhan IPAL 4% yang mengurangi limbah sebesar 4% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 4%) 3. Skenario optimis (pertumbuhan IPAL 7% yang mengurangi limbah sebesar 7% serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta sebesar 7%) Berdasarkan simulasi pada kedua submodel yang membangun pemodelan akumulasi pencemar di Teluk Jakarta, terjadi perbedaan yang mencolok diantara ketiga skenario yang digunakan.
Skenario ke-3 (skenario pesimis) memberikan tingkat
pencemaran serta akumulasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua skenario
91
lainnya yakni skenario moderat (ke-2) (ke dan optimis (ke-3). Hasil skenario dapat dilihat pada Gambar 23-35
Gambar 23. Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 24. Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat oderat 4. Skenario optimis
92
Gambar 25. Prediksi beban pencemaran NO3 perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 26. Prediksi beban pencemaran PO4 perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 27. Prediksi beban pencemaran Hg perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
93
Gambar 28. Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 29. Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis
94
Gambar 30. Prediksi akumulasi Hg di sedimen edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 31. Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis
95
Gambar 32. Prediksi akumulasi Cd di sedimen sedimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 33. Prediksi akumulasi Cd di kerang hijau sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis
96
Gambar 34. Prediksi akumulasi Pb di sedimen edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020
Gambar 35. Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun 2020 Keterangan 1. Kondisi non skrenario Skenario 2. Skenario pesimis 3. Skenario moderat 4. Skenario optimis
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Kondisi eksisting perairan Teluk Jakarta telah melampaui baku mutu air yang telah ditetapkan pemerintah RI serta melebihi kapasitas asimilasi yang dimiliki oleh Perairan Teluk Jakarta. Pada lokasi penelitian juga diketahui adanya bioakumulasi logam berat, paling tinggi adalah merkuri hepatopankreas.
yang terakumulasi pada organ
Semakin besar ukuran kerang hijau kandungan logam beratnya
semakin meningkat. Akibat adanya bioakumulasi logam berat di organ kerang hijau, terjadi perubahan morfologi (deformasi/malformasi) yakni ukuran tebal lebih besar dibandingkan lebar kerang hijau. Hasil prediksi dan simulasi beban pencemaran yang masuk ke Teluk Jakarta serta akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau, hingga tahun 2020, akan bergantung pembangunan serta pelaksanaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan baik dan benar.
5.2. Saran Karena adanya kecenderungan peningkatan akumulasi logam berat di tubuh kerang usia 5-6 bulan, diperlukan pengambilan sampel kerang usia lebih dari 6 bulan Telah terbukti adanya malformasi kerang hijau, hendaknya dilakukan penelitian tentang kandungan logam berat pada cangkang kerang hijau
98
DAFTAR PUSTAKA
Abowei JFN, George ADI. 2009. Some Physical and Chemical Characteristics in Okpoka Creek, Niger Delta, Nigeria. Res J Envi Earth Sci 1(2):45-53. Adedokun OA, Adeyemo OK, Adeleye E, Yusuf RK. 2008. Seasonal Limnological Variation and Nutrient Load of the River System in Ibadan Metropolis, Nigeria. European J Sci Res23(1):98-108. Adeyemo OK, Adedokun OA, Yusuf RK, Adeleye EA. 2008. Seasonal Change in Physico-Chemical Parameters and Nutrient Load of River Sediments in Ibadan City, Nigeria. Global Nest J 10(3):326-336. Ahalya N, Ramachandra TV, Kanamadi RD. 2004. Biosorption of Heavy Metals. Bangalore: Indian Institute of Science. Akan JC, Abdulrahman FI, Yusuf E. 2010. Physical and Chemical Parameters in Abattoir Wastewater Sample, Maiduguri Metropolis, Nigeria. Pacific J Sci Techn 11(1): 640-648. Alloway BJ 2001. Soil Pollution and Land Contamination. Dalam Buku Pollution: Causes, Effects and Control. Edisi Keempat. Roy M. Harrison (Editor). The Royal Society of Chemistry. Cambridge. Inggris Alloway BJ (editor). 1995. Heavy Metals in Soils. Edisi Kedua. Blackie Academic and Professional. Chapman and Hall. London. Inggris Amdur MO, Doull J, Klassen CD. 1991. Casarett and Doull's Toxicology - The Basic Science of Poisons. Edisi ke-4. Pergamon Press. New York. Amerika Serikat Amin I. 2004. Pengaruh Kontak antara Limbah Cair Pabrik Nikel dengan Zeolit, Karbon Aktif dan Tumbuhan Pistia sp terhadap Logam Khrom dan Nikel. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar Asikin. 1982. Kerang Hijau. Penebar Swadaya. Jakarta. Asonye CC, Okolie NP, Okenwa EE, Iwuanyanwu UG. 2007. Some Physicochemical Characteristics and Heavy Metal Profiles of Nigerian Rivers, Streams and Waterways. Afr J Biotechnol 6(5):617-624. Asuhadi S. 2006. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Kawasan Perairan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Baldwin DR, Marshall WJ. 1999. Heavy Metal Poisioning and its Laboratory Investigation (Review Article). Ann Clin Biochem 36: 267-300. Begum A, Ramaiah M, Harikrishna, Khan I, Veena K. 2009. Heavy Metal Pollution and Chemical Profile of Cauvery River Water. J Chem 6(1):4752.
100
Beales RW, Lindley RH. 1982. Studies On The Growth and Aquaculture Potential of Green Mussel Perna viridis in Brunei Waters, p. 126123. In R.W. Beales, D.J. Cur-ne and R.I. Lindley (editor) Investigations into Fisheries Resources in Brunei. Monogr. Brunei Museum No. 5. Cheong L, Chen FY. 1980. Preliminary Studies on Ran Method of Culturing Green Mussels, Perna viridis (L.), in Singapore. Singapore J. Prim. Ind. 8(2): 119-133. Danazumi S, Bichi MH. 2010. Industrial Pollution and Heavy Metals Profile of Challawa River in Kano, Nigeria. J Appl Sci Envi Sanitation 5(1):23-29. Baird C. 1995. Environmental Chemistry. W.H. Freeman and Company. New York. Amerika Serikat Benson AJ, Marelli DC, Frischer ME, Danforth JM, Williams JD. 2001. Establishment of The Green Mussel, Perna viridis (Linnaeus 1758) (Mollusca: Mytilidae) on The West Coast of Florida. J Shellfish Res Vol. 20 halaman 21-29. Boonyatumanond R, Jaksakul A, Puncharoen P, Tabucanon MS. 2002. Monitoring of Organochlorine Pesticides Residues in Green Mussels (Perna viridis) from The Coastal Area of Thailand. Environ Pollut Vol. 119 halaman 245–252. BPLHD DKI Jakarta., 2006. Pemantauan Kualitas Perairan dan Muara Teluk Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Brusca RC, Brusca GJ. 1990. Invertebrates. Sinauer Associates, Inc. Massachusetts. Amerika Serikat Bryan GW 1976. Heavy Metals Contamination in The Sea. Dalam buku Marine Pollution. Johnston (Editor). New York, Amerika Serikat Burkholder JHF, Mason KM, Glasgow HBJR. 1992. Water Column Nitrate Enrichment Promotes Decline of Eelgrass Zostera marina, Shoalgrass Halodule wrightii, and Widgeongrass Ruppia moritima. Mar Ecol Prog Ser 105: 121-138. Connell DW, Miller GJ 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerjemah Yanti Koestoer; Pendamping Sahati. UI Press. Jakarta Cotton FA, Wilkinson G. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Penerjemah Sahati Suharto, Yarti A. Koestoer. UI Press. Jakarta Dahlia H. 2009. Studi Keterkaitan Beban Limbah terhadap Kualitas Perairan (Studi Kasus Kamal Muara). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Pembangunan Berkelanjutan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
101
Damar A. 2004. Musim Hujan dan Eutrofikasi Perairan Pesisir. www.kompas.com/kompas-cetak/0403/03/bahari/887858.htm. [akses 26 Januari 2010 pukul 01.05] Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran: Hubungan dengan Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Davis ML, Cornwell DA. 1991. Introduction to Environmental Engineering. McGraw-Hill. New York. Amerika Serikat De Groot AJ, Salomons W, Allersma E. 1976. Process Affecting Heavy Metals in Estuarine Sediments. Dalam Buku Estuatine Chemistry. J.D. Burton dan P.S. Liss (Editor). Academic Press. London. Inggris De-Faverney C, Devaux A, Lafaurie M, Girrard JP, Bailly B, Rahmani R. 2001. Mercury Induces Apoptosis and Genotoxicity In Rainbow Trout Hepatocytes through Generation of Reactive Oxygen Species. Aquat Toxicol 53 (1): 65-76. Dixon DR. 1982. Aneuploidy in Mussel Embryos (Mytilus edulis L) Orininating from a Polluted Dock. Mar Biol Lett 3: 155-161. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Encyclopædia Britannica. 2011. "Malformation." Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica Online. Web. 20 Jan. 2011.
. Ercal N, Gurer-Orhan A, Aykin-Burns N. 2001. Toxic Metals and Oxidative Stress. Part I: Mechanism Iinvolved in Metals Induced Oxidative Damage. Current Topics Medical Chemistry Fardiaz S. 2005. Polusi air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta Fichet D, Radenac G, Miramand P. 1998. Experimental Studies of Impact of Harbor Sediment Resuspension to Marine Invertebrate Lava: Bioavailability of Cd, Cu, Pb and Zn and Toxicity. Mar Pollut Bull 36: 509-518 Ford A. 1999. Modeling the Environment: An Introduction to System Dynamics Model of Environmental System. Island Press. California. Amerika Setikat Forrester JW. 1968. Principle of System. MIT Press. Cambridge. Amerika Serikat Garza A, Vega R, Soto E.. 2006. Celullar Mechanisms of Lead Neurotoxicity. Med Sci Monit 12: 57 -65
102
Grant WE, Pederson EK, Marin SL. 1997. Ecology and Natural Resources Management: System Analysis and Simulation. John Wiley & Son. New York. Amerika Serikat Gosling E. 1992. The Muscle Mytilus: Ecology, Physiology Geneties and Cultures. Development in Aquaculture Fisheries Science, Vol 25. New York and Tokyo. Elsevier London Harahap S. 1991. Tingkat Pencemaran Air Di Kali Cakung Ditinjau Dari Sifat Fisika Dan Kimia Khususnya Logam Berat Dan Keaneka Ragaman Jenis Hewan Benthos. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor Hariani CE. 2005. Mengembangkan Pendidikan Lingkungan yang Berperspektif Kemiskinan dan Gender dengan Memanfaatkan Cara Berpikir Sistem. Buletin Triwulan Access 2 (1):9-14 Haslam SM. 1992. River Pollution; An Ecological Perspective, Belhaven Press, London, UK. Hatrisari. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor Hutagalung HP. 1984. Logam Berat dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana IX (1): 12-19 Hutagalung HP. 1991. Kandungan Logam Berat Dalam Sedimen Di Kola, Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta IADC/CEDA. 1997. Convention, Codes, and Conditions: Marine Disposal. Environmental Aspects of Dredging 2a. 71 hal. Johari HS. 2009. Analisis Pencemaran Logam Berat Cu, Cd dan Pb di Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (Studi Kasus Pulau Panggang dan Pulau Pramuka). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Jose B, Deepthi TR. 2005. Green Mussel (Perna viridis), a New Host For The Pea Crab (Pinnotheres placunae) Along the Malabar Coast, Kerala. Curr Sci India 89(7):10-18. Korringa P. 1976. Economic Aspects of Mussel Farming. Proc. FAO Tech. Conf. on Aquaculture Held in Kyoto, Japan, 26 May - 2 June 1976. Kupchella CE, Hyland MC. 1993. Environmental Science, Living Within The System of Nature. Prentice Hall. New Jersey. Amerika Serikat Lidsky TI, Schneider JS, 2003. Lead Neurotoxicity in Children: Mechanism and Clinical Correlates. Brain. 126:5-19
Basic
103
Lu FC. 2006. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Penerjemah Edi Nugroho; Pendamping Zunilda S. Bustani dan Iwan Darmansyah. UI Press. Jakarta Luo YF, Khan S, Cui YL, Feng YH, Li YL. 2005. Modeling the Water Balance for Aerobic Rice: A System Dynamic Approach. Agr Water Manage 74:1860-1866 Mamboya FA. 2007. Heavy Metals Contamination and Toxicity: Studies of Mucroalgae From Tanzanian Coast. Stockholm University. Stockholm, Swedia Manahan SE. 1995. Environmental Chemistry. Edisi ke-6. CRC Press. Florida Amerika Serikat Manahan SE. 2001. Fundamental Of Environmental Chemistry. Second Edition. Lewis Publishers : United State of America. Mance G. 1990. Pollution Threat of Heavy Metal In Aquatic Environmental. Elsevier Science Publishers LTD : England. Mara D, Cairncross S. 1994. Pemanfaatan Air Limbah dan Ekskreta. Diterjemahkan oleh Benni Matram. Penerbit ITB. Bandung. Metcalf, Eddy. 2002. Wastewater Engineering, Treatment and Reuse. Volume 1. 4th Edition. Revised by George Tchobanoglous, Franklin L. Burton and H. David Stensel. Mc Graw Hill Higher Education. Mezuan, 2007. Kajian Kapasitas Asimilasi Perairan Marina Teluk Jakarta. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Mohamed KS, Kripa V, Velayudhan TS, Appukuttan KK 2003. Enhancing Profitability Through Improved Seeding Techniques in Green Mussel (Pema viridis) Farming. J Mar Biol Ass India, 45 (2):214-223 Moore JW, Ramamoorthy S. 1984. Heavy Metals in Neutral Water. Springer Verlag. New York. Muhammadi, Aminullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta Mulayawan I. 2004. Korelasi Kandungan Logam Berat Hg, Pb, Cd dan Cr pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Hijau (Perna viridis) di Perairan Kamal Muara, Jakarta Utara. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor Mulyono D. 2000. Teluk Jakarta dan Kualitas Hasil Perikanan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 20 (2):117-123. Nagarajappa, Ganguly A, Goswami U. 2000. DNA Damage in Male Gonad Cells of Green Mussel (Perna viridis) Upon Exposure to Tobacco Products. Gene Lab, National Institute of Oceanography, Dona Paula, Goa, India, 403 004.
104
Napitupulu A. 2009. Pengembangan model kebijakan pengelolaan lingkungan berkelanjutan pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor Neff JM. 2002. Bioacumullation in Marine Organisme. Effect of Contaminants from Oil Well Produced Water. Elsevier Ltd.: Amesterdam. Nordberg JF, Parizek J, Pershagen G, Gerhardsson L. 1986. Factor Influencing Effect and Dose-Respons Relationships of Metals. Handbook on the Toxicology of Metals. New York: Elsevier. Novotny V. 1995. Diffuse Source of Pollution by Toxic Metals and Impact on Receiving Water. Dalam Buku Heavy Metals. R. Allan, U. Forstner dan W. Salmons (Editor). Springer Nwankwoala HO, Pabon D, Amadi PA. 2009. Seasonal Distribution of Nitrate and Nitrite Levels in Eleme Abattoir Environment, Rivers State, Nigeria. J Appl Sci Envi Manage 13(4):35–38. Ochiai EI. 1987. General Principles of Biochemistry of Elements. New York. Plenum Press. Odum E. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Ed ke-4. T. Samingan dan B. Soegandito, Penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology Olsson EP. 1998. Disorders Associated with Heavy Metal Pollution. Departement of Celullar and Developmentaliology. Umea University. S901 87 Umea Sweden Olubunmi FE, Olorunsola OE. 2010. Evaluation of the Status of Heavy Metal Pollution of Sediment of Agbabu Bitumen Deposit Area, Nigeria. European J Sci Res 41(3):373-382 Paasivirta, J. 2000. Chemical Ecotoxicology. Lewis Publishers : Florida. Palar H. 2004. Toksikologi dan Pencemaran Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta Phillips DJH. 1980. Proposal for Monitoring on the Concern in Metals Pollution. Di dalam: VB Vernberg, editor. Pollution and Physiology of Marine Organism. London: Acad Press. Phillips DJH. 1980. Proposal for Monitoring Studies on The Contamination of The East Asian Seas by Trace Metals and Organichlorines, Dalam “South Chine Fisheries Development and Coordinating Programme. FAO. Manila Phillips DJH. 1985.Organochlorines and Trace Metals in Green-Lipped Mussels Perna viridis from Hong Kong Waters: a Test of Indicator Ability. Mar Ecol-Prog Ser 21:251-258.
105
Qin XS, Huang GH, Zeng GM, Chakma A. 2007. An Interval-Parameter Fuzzy Nonlinear Optimization Model for Stream Water Quality Management Under Uncertainty, European J Oper Res 180:1331–1357. Quano. 1993. Training Manual on Assesment of the Quantity and Type of Land Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environment. Bangkok :UNEP Rafni R. 2004. Kapasitas Asimilasi Beban Pencemar di Perairan Teluk Jobukuto Kaupaten Jepara Jawa Tengah. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Rahardjo. 2005. Hasil Penelitian, Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (P3TL), Ramesh A, Tanabe S, Subramanian AN, Mohan D, Venugopalan VK, Tatsukawa R. 1990. Persistent Organochlorine Residues in Green Muscles from Coastal Waters of South India. Mar Pollut Bull 21 (12):587-590. Razak H. 1986. Kandungan Logam Berat di Perairan Ujung Watu dan Jepara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPI. Jakarta. ISSN 01259830 Riani E, Surjono HS. 2004. Penanganan Limbah B3 dengan Sistem Biofilter Kerang Hijau di Teluk Jakarta. PEMDA DKI-IPB. Jakarta Rochyatun E, Lestari, Rozak A. 2005. Kualitas Lingkungan Perairan Banten dan Sekitarnya Ditinjau dari Kondisi Logam Berat. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (38):23–46. Rochyatun E, Kaisupy MT, Rozaq A. 2006. Distribusi Logam Berat Dalam Air dan Sedimen Di Perairan Muara Sungai Cisadane. Jurnal Makara Seri Sains, 10(1):35-40 Rosell NC. 1985. Uptake and Depuration of Mercury In The Green Mussel, Perna viridis Linnaeus (Bivalvia: Mylitidae). Philippine J Sci 144(1-2):1-30 Ruangwises S, Ruangwises N, Tabucanon MS. 1994. Persistent Organchlorine Pesticide Residues in Green Mussels (Perna viridis) from the Gulf of Thailand. Mar Polut Bull 28: 351-355. Rump HH. 1999. Laboratory Manual fot the Examinaton of Water, Waste Water and Soil. 3rd Completely Revised Edition. English Translation by Elisabeth J. Grayson. Wiley-VHC. Weinheim. Germany. Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana. 30(3):21-26. Sanusi HS, Putranto S. 2009. Kimia Laut dan Pencemaran. Proses Fisika Kimia dan Interaksinya dengan Lingkungan. IPB : Bogor.
106
Sanusi HS. 2006. Kimia Laut, Proses Fisik Kimia dan Interaksinya dalam Lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Saysel AK, Barlas Y, Yenigun O. 2002. Environmental Sustainability in an Agricultural Development Project: a System Dynamics Approach. J Enviro Manage 64:1-14. Seed, R. 1976. Ecology, p. 13-66. In B.L.Bayne (ed.) Marine Mussels: Their Ecology and Physiology. Cambridge University Press, Cambridge. Setyobudiandi I. 2000. Sumberdaya Hayati Moluska Kerang Mytilidae. Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perikanan. Departemen manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Simonovic SP. 2002. World Water Dynamics: Global Modeling of Water Resources. J Enviro Manage 66:249-267 Simonovic SP, Fahmy H, Elshorbagy A. 1997. The Use of Object-oriented Modeling for Water Resource Planning in Egypt, Water Resour Manage 11(4):243-261 Siriwong C, Hironaka H, Onodera S. Tabucanon MS. 1991. Organochlorine Pesticide Residues in Green Mussel (Perna viridis) from the Gulf of Thailand. Mar Pollut Bull 22: 510 - 516. Sivalinggam PM. 1977. Aquaculture of Green Mussel, Mytilus viridis Linnaeus, in Malaysia [Electronic version]. Aquaculture 11:297 – 312. Simonovic SP. 2002. World Water Dynamics: Global Modeling of Water Resources, J Enviro Manage 66:249-267. Simonovic SP, Rajasekaram V. 2004. Integrated Analysis of Canada’s Water Resources: A System Dynamics Approach, Canadian Water Resour J 29(4):223-250. Singh MD, Kant R. 2008. Knowledge Management: An Interpretive Structural Modeling Approach. Int J Manage Sci Eng Manage 3(2):141-150. Siradz SA, Harsono ES, Purba I. 2008. Kualitas Air Sungai Code, Winongo dan Gajahwong, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 8(2):121-125. Sitepu HT. 2008. Desain Kebijakan Pengelolaan Permukiman Berkelanjutan yang Berbasis Instalasi Pengolahan Air Limbah Mandiri. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor Soetrisno. 2008. Mengapa Timbal Beracun? Teori Kuantum Menjawabnya. http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_anorganik/mengapatimbal-beracun-teori-kuantum-menjawabnya/ (6 Mei 2010)
107
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Suharsono. 2005. Status Pencemaran di Teluk Jakarta dan Saran Pengelolaannya; dalam Anonim Interaksi Daratan dan Lautan. LIPI Press. Jakarta Supangat A, Munawar U. No Annual. Pengantar Kimia dan Sedimen Dasar Laut. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Sutamihardja RTM, Adnan K, Sanusi HS. 1982. Perairan Teluk Jakarta Ditinjau dari Tingkat Pencemarannya. Fakultas Pascasarjana, Jurusan PSL. IPB The Codex Committee on Food Additive and Contaminants. 2006. Report of the Working Group on the General Principles of the General Standard for Food Additives (GSFA). European Community Vakily JM. 1989. The Biology and Culture of Mussel of The Genus Perna. International Center for Living Aquatic Resources Management. Verlecar XN, Jena KB, Chainy GBN. 2006a. Biochemical markers of oxidative stress in Perna viridis exposed tomercury and temperature. National Institute of Oceanography, Dona Paula, Goa, India Department of Zoology and Biotechnology, Utkal University, Bhubaneswar. India. Verlecar XN, Pereira N, Desai SR, Jena KB, Singdha. 2006b. Marine Pollution Detection Through Biomarkers in Marine Bivalves. Curr Sci India 91 1153-1157 Volesky B. 1990. Biosorption of Heavy Metals. Volesky (editor). CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida Viarengo A, Pertica M, Mancinelli G, Zanicchi G, Orunesu M. 1981. Syntesis of Cu-Binding Proteins in Different Tissues of Mussels Exposed to The Metal. Mar Pollut Bull 12:347-350. Viarengo A. 1989. Heavy Metals in Marine Invertebrates: Mechanisms of Regulation and Toxicity at The Cellular Level. Rev Aquat Sci 1:295-317. Vouk V. 1986. General Chemistry of Metals. Dalam Buku Handbook on The Toxicology of Metals. Freiberg L., Nordberg G.F., and Vouk V.B (Editor). Elsevier. New York, Amerika Serikat Vries W de, Romkens FAM, van Leeuwen T, Bronswijk JJB. 2002. Agricultural, Hydrology and Water Quality. The Netherlands National Institute of Public Health and Environment. Nethernlands Wong CKC, Cheung RYH, Wong MH. 2000. Heavy Metal Concentrations in Green-Lipped Mussels Collected from Tolo Harbour and Markets in Hong Kong and Shenzhen. Enviro Pollut 109:165-171.
108
Yap CK, Tan SG, Ismail A, Omar H. 2002. Genetic Variation of the Green-lipped Mussel Perna viridis (L.) (Mytilidae: Mytiloida: Mytilicae) from the West Coast of Peninsular Malaysia. Zool Stud 41:376-387. Yaqin
K. 2004. Ada Kerang Abnormal di Teluk Jakarta. www.kompas.com/kompas-cetak/0409/08/ilpeng/1252204.htm. [akses 28 Januari 2010 pukul 06.23].
Zhang H, Zhang X, Zhang B. 2009. System Dynamic Approach to Urban Water Demand Forecasting. Transaction of Tianjin University 15(1):70-74. China
LAMPIRAN
110
111
Lampiran 1. Stasiun pengambilan sample air Stasiun Sungai/Kali Muara Angke Lokasi Budidaya Kerang Hijau
Lintang Selatan 6 06º 06.357” 8 06º 05.721”
Lintang Utara 106º 46.058” 106º 46.061”
Gambar stasiun pengambilan sample air dan sedimen di Kali Muara Angke
112
Gambar stasiun pengambilan sample air, sedimen dan kerang hijau di lokasi budidaya
113
Lampiran 2. Hasil analisa data mentah dan fluktuasi debit air
debit (m3/det) 10
debit (m3/det)
9.5 9 8.5 8 7.5 8:00
10:00:00
12:00:00
14:00:00
16:00:00
Waktu
Gambar fluktuasi debit air Kali Muara Angke
waktu 8:00 10:00:00 12:00:00 14:00:00 16:00:00
debit (m3/det) 9.724777143 9.054102857 8.316361143 9.121170286 9.255305143
debit (liter/det) 9724.777 9054.103 8316.361 9121.17 9255.305
114
Lampiran 3. Prinsip pengukuran kandungan logam berat Prinsip pengukuran Analisa logam berat dilakukan dengan menggunakan spektrofotometrik serapan atom (AAS) yaitu dengan menggunakan prinsip berdasarkan Hukum Lambert-Beert yaitu banyaknya sinar yang diserap berbanding lurus dengan kadar zat. Persamaan garis antara konsentrasi logam berat dengan absorbansi adalah persamaan linier dengan koefisien arah positif: Y = a + bX. Dengan memasukkan nilai absorbansi larutan contoh ke persamaan garis larutan standar maka kadar logam berat contoh dapat diketahui. Larutan contoh yang mengandung ion logam dilewatkan melalui nyala udara-asetilen bersuhu 20000 C sehingga terjadi penguapan dan sebagian tereduksi menjadi atom. Lampu katoda yang sangat kuat mengeluarkan energi pada panjang gelombang tertentu dan akan diserap oleh atom-atom logam berat yang sedang di analisis. Jumlah energi cahaya yang diserap atom logam berat pada panjang gelombang tertentu ini sebanding dengan jumlah zat yang diuapkan pada saat dilewatkan melalui nyala api udara-asetilen. Setiap unsur logam berat membutuhkan lampu katoda yang berbeda. Keseluruhan prosedur ini sangat sensitif dan selektif karena setiap unsur membutuhkan panjang gelombang yang sangat pasti (Tinsley, 1979 in Darmono, 1995). Untuk lebih jelasnya prinsip kerja spektrofemetrik dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
Gambar prinsip kerja spektrofotometrik Pengukuran kandungan logam berat dalam air 1. Contoh air laut 500 ml disaring dengan kertas saring 0,45 m. 2. pH diatur kisarannya 3,5-4 dengan menambahkan dengan HNO3 pekat. 3. Ditambahkan 1 ml larutan HNO3 pekat. 4. Ditambahkan 5 ml campuran penahan buffer asetat. 5. Ditambahkan 5 ml amonium pirolidin ditiokarbonat (apdc), dikocok sekitar 5 menit. 6. Ditambahkan 10 ml pelarut organik metil iso butil keton (mibk), dikocok sekitar 3 menit dan biarkan ke dua fasa terpisah.
115
7. Ditampung fasa airnya. Fasa air ini digunakan untuk pembuatan larutan blanko laboratorium dan standar. 8. Ditambahkan 10 ml air suling ganda-bebas ion (dddw), dan dikocok sekitar 5 detik dan biarkan kedua fasa terpisah. Buang fasa airnya. 9. Ditambahkan 1 ml HNO3 pekat, dan dikocok sebentar dan dibiarkan sekitar 15 menit. 10. Ditambahkan 9 ml air suling ganda bebas ion dan dikocok sekitar 2 menit serta ke dua fasa dibiarkan terpisah. 11. Ditampung fasa airnya dan siap diukur dengan AAS menggunakan nyala udara-asetilen. Pengukuran kandungan logam berat dalam sedimen 1. Dimasukkan masing-masing contoh sedimen ke dalam beaker Teflon secara merata agar mengalami proses pengeringan sempurna. 2. Kemudian dikeringkan contoh sedimen dalam oven pada suhu 1050 C selama 24 jam. 3. Contoh sedimen yang telah kering kemudian ditumbuk sampai halus. 4. Setiap contoh sedimen ditimbang sebanyak kurang lebih 4 gram dengan alat timbang digital. 5. Contoh sedimen yang telah ditimbang dimasukkan kedalam beaker Teflon yang tertutup. 6. Selanjutnya ditambahkan 5 ml larutan aqua regia dan dipanaskan pada suhu 1300 C. 7. Setelah semua sedimen larut, pemanasan diteruskan hingga larutan hampir kering dan selanjutnya didinginkan pada suhu ruang dan dipindahkan ke sentrifus polietilen. 8. Kedalamnya ditambahkan aquades hingga volumenya mencapai 100 ml dan dibiarkan mengendap, kemudian tampung fasa airnya. Selanjutnya siap diukur dengan AAS, menggunakan nyala udara-asetilen.
116
Lampiran 4. Pengukuran kandungan logam berat Kandungan Hg pada kerang hijau
Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3 Pengamatan 4 Pengamatan 5 rata-rata
1-2 bulan 41.515 41.996 25.077 31.53 37.243 35.4722
3-4 bulan 191.229 208.329 130.05 251.38 247.635 205.7246
5-6 bulan 7 bulan 187.407 138.2 222.531 171.12 204.581 263.448 209.8174 138.2
Kandungan Hg pada kerang hijau per-individu N
1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan
258 241 249 39
bb daging rata (g) 0.363 3.383 7.793 9.934
bk daging rata (g)
Hg (μg/g bk)
kandungan Hg perindividu (μg)
0.0363 0.3383 0.7793 0.9934
35.472 205.724 209.817 138.2
1.288 69.597 163.511 137.288
Kandungan Cd pada kerang hijau
Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3 Pengamatan 4 Pengamatan 5 rata-rata
1-2 bulan 0.045 0.046 0.098 0.068 0.093 0.07
3-4 bulan 0.05 0.058 0.051 0.106 0.124 0.0778
5-6 bulan 7 bulan 0.172 0.147 0.103 0.189 0.159 0.138 0.1522 0.147
Kandungan Cd pada kerang hijau per-individu N 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan
258 241 249 39
bb daging rata (g) 0.363 3.383 7.793 9.934
bk daging rata (g) 0.0363 0.3383 0.7793 0.9934
Cd (μg/g bk) 0.07 0.0778 0.1522 0.147
kandungan Cd perindividu (μg) 0.003 0.027 0.119 0.146
117
Kandungan Pb pada kerang hijau
Pengamatan 1 Pengamatan 2 Pengamatan 3 Pengamatan 4 Pengamatan 5 rata-rata
1-2 bulan 21.131 4.069 21.049 6.754 32.627 17.126
3-4 bulan 28.62 37.292 34.397 41.571 25.654 33.5068
5-6 bulan 7 bulan 44.554 33.662 43.412 40.948 40.373 40.412 41.9398 33.662
Kandungan Pb pada kerang hijau per-individu N 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan 7 bulan
258 241 249 39
bb daging rata (g) 0.363 3.383 7.793 9.934
bk daging rata (g) 0.0363 0.3383 0.7793 0.9934
Pb (μg/g bk) 17.126 33.5068 41.9398 33.662
kandungan Pb perindividu (μg) 0.622 11.336 32.684 33.440
180 160 140 120 kandungan Hg perindividu (μg)
100 80
kandungan Pb perindividu (μg)
60 40 20 0 1-2 bulan
3-4 bulan
5-6 bulan
7 bulan
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08
kandungan Cd perindividu (μg)
0.06 0.04 0.02 0 1-2 bulan
3-4 bulan
5-6 bulan
7 bulan
118
Lampiran 5. Sample kerang hijau
Gambar Pengukuran morfologi kerang hijau (Perna (Perna viridis viridis)
Gambar kerang hijau (Perna Perna viridis) viridis) yang mengalami malformasi (atas) dan normal (bawah)
119
Lampiran 6. Ukuran fisik kerang hijau Umur 1-2 bulan panjang (cm)
sample
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
1
3.315
1.46
1.135
1.42
0.59
0.6
2
1.51
0.99
0.475
0.72
0.28
0.3
3
1.57
0.935
0.515
0.38
0.19
0.2
4
1.5
0.98
0.5
1.73
0.53
0.5
5
3.32
1.685
0.98
0.84
0.17
0.1
6
2.66
1.44
0.95
1.33
0.46
0.5
7
2.91
1.59
0.98
0.86
0.45
0.4
8
2.08
1.125
0.65
0.16
0.07
0.1
9
2.16
1.37
0.68
0.29
0.10
0.1
10
2.1
1.17
0.53
0.40
0.13
0.1
11
2.38
1.32
0.88
1.46
0.50
0.6
12
3.34
1.6
1.16
1.96
0.67
0.7
13
2.45
1.27
0.755
0.43
0.18
0.2
14
3.07
1.68
1.39
0.17
0.06
0.1
15
2.795
1.3
0.96
1.26
0.51
0.5
16
2.035
1.04
0.675
0.90
0.42
0.4
17
1.5
0.9
0.46
0.91
0.27
0.3
18
2.86
1.33
0.84
1.62
0.64
0.6
19
1.37
1.1
0.66
1.05
0.54
0.5
20
2.4
1.22
0.72
0.65
0.24
0.2
21
2.12
1.14
0.68
1.11
0.40
0.4
22
2.23
1.115
0.71
1.82
0.65
0.7
23
1.32
1.02
0.57
1.08
0.54
0.5
24
2.22
1.16
0.66
0.23
0.08
0.1
25
1.65
1.02
0.58
2.00
0.79
0.8
26
2.03
1.13
0.62
1.91
0.68
0.7
27
1.78
0.95
0.63
0.10
0.02
0.1
28
2.39
1.21
0.7
1.16
0.39
0.4
29
2.765
1.465
0.9
0.97
0.29
0.3
30
1.68
1.04
0.625
1.38
0.34
0.3
31
1.74
1.05
0.443
0.91
0.22
0.2
32
1.31
0.76
0.47
0.15
0.05
0.1
33
1.31
0.63
0.38
0.15
0.06
0.1
34
0.86
0.66
0.44
1.51
0.58
0.6
35
0.9
0.68
0.27
1.18
0.40
0.4
36
1.07
0.76
0.86
1.49
0.43
0.4
37
1.109
0.83
0.105
1.02
0.41
0.4
38
1.129
0.84
0.11
1.06
0.42
0.4
39
1.55
0.84
0.254
0.95
0.33
0.3
40
1.21
0.84
0.26
2.04
0.76
0.8
120
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
41
1.24
0.86
0.28
0.65
0.23
0.2
42
1.26
0.88
0.29
1.06
0.44
0.5
43
1.16
0.89
0.19
1.00
0.44
0.3
44
1.36
0.89
0.2
0.62
0.30
0.3
45
1.41
0.91
0.209
0.78
0.26
0.3
46
1.41
0.94
0.15
0.35
0.13
0.2
47
1.46
0.94
0.15
0.36
0.12
0.1
48
0.62
0.94
0.27
0.79
0.26
0.2
49
1.53
0.96
0.04
0.89
0.25
0.3
50
1.51
0.969
0.07
1.80
0.84
0.8
51
1.57
0.97
0.16
0.15
0.05
0.1
52
1.6
0.98
0.34
1.72
0.85
0.9
53
1.62
0.999
0.34
1.05
0.45
0.4
54
1.63
1.023
0.35
1.27
0.53
0.5
55
1.64
1.03
0.73
0.70
0.23
0.2
56
1.72
1.04
0.71
0.65
0.16
0.1
57
1.675
1.045
0.18
1.11
0.41
0.4
58
1.69
1.05
0.34
0.92
0.26
0.3
59
2.795
1.3
0.96
1.11
0.33
0.3
60
2
1.05
0.45
2.04
0.80
0.9
61
1.77
1.06
0.454
0.26
0.07
0.1
62
1.79
1.105
0.47
0.86
0.37
0.4
63
1.793
1.107
0.48
1.86
0.58
0.8
64
1.804
1.11
0.5
0.67
0.15
0.1
65
1.85
1.12
0.506
1.07
0.48
0.5
66
1.87
1.12
0.64
1.55
0.57
0.5
67
1.88
1.12
0.55
1.68
0.68
0.6
68
1.92
1.12
0.55
1.31
0.54
0.5
69
1.93
1.13
0.55
0.72
0.29
0.3
70
1.97
1.14
0.581
0.11
0.05
0.1
71
1.96
1.14
0.6
0.03
0.01
0.1
72
1.97
1.14
0.61
0.96
0.34
0.3
73
1.97
1.15
0.61
0.82
0.33
0.3
74
1.95
1.15
0.53
0.11
0.05
0.1
75
1.99
1.159
0.76
1.61
0.41
0.4
76
1.68
1.16
0.65
1.21
0.43
0.4
77
2
1.16
0.66
0.78
0.30
0.3
78
2.01
1.16
0.664
0.05
0.02
0.1
79
2.05
1.16
0.68
0.81
0.33
0.3
80
2.05
1.162
0.68
1.63
0.68
0.5
81
2.08
1.17
0.77
1.95
0.97
0.9
82
2.18
1.179
0.7
0.49
0.17
0.1
83
3.537
1.18
0.73
0.99
0.44
0.4
121
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
84
3.64
1.18
0.73
2.41
1.01
1
85
2.236
1.191
0.75
1.30
0.56
0.5
86
2.58
1.193
0.75
0.70
0.20
0.1
87
2.21
1.2
0.65
0.15
0.08
0.1
88
2.569
1.21
0.76
0.91
0.46
0.5
89
2.261
1.225
0.77
0.85
0.18
0.2
90
2.19
1.23
0.69
1.98
0.90
0.9
91
2.14
1.23
0.78
0.84
0.30
0.3
92
2.14
1.23
0.8
1.12
0.46
0.5
93
2.17
1.24
0.82
1.27
0.60
0.4
94
2.34
1.24
0.83
0.21
0.07
0.2
95
2.39
1.25
0.835
1.14
0.50
0.5
96
2.46
1.26
0.87
0.39
0.11
0.1
97
2.28
1.26
0.89
0.87
0.25
0.2
98
2.32
1.26
0.9
0.05
0.02
0.1
99
2.49
1.27
0.93
0.06
0.01
0.1
100
2.52
1.27
0.95
0.66
0.22
0.1
101
2.53
1.28
0.96
1.42
0.59
0.5
102
2.56
1.28
0.96
0.72
0.28
0.3
103
2.469
1.3
0.97
0.38
0.19
0.2
104
2.48
1.31
1.13
1.73
0.53
0.5
105
2.6
1.31
1.15
0.84
0.17
0.1
106
2.615
1.32
1.002
1.33
0.46
0.5
107
2.63
1.32
1.05
0.86
0.45
0.5
108
2.65
1.32
1.07
0.16
0.07
0.1
109
2.654
1.33
1.08
0.29
0.10
0.1
110
2.7
1.33
1.08
0.40
0.13
0.1
111
2.7
1.35
1.09
1.46
0.50
0.5
112
2.72
1.35
1.1
1.96
0.67
0.6
113
2.72
1.35
1.13
0.43
0.18
0.1
114
2.73
1.352
0.98
0.17
0.06
0.2
115
3.21
1.371
0.995
1.26
0.51
0.5
116
3.25
1.38
1.21
0.90
0.42
0.5
117
2.87
1.39
1.22
0.91
0.27
0.3
118
2.923
1.42
1.25
1.62
0.64
0.6
119
2.95
1.43
1.31
1.05
0.54
0.4
120
2.97
1.44
1.326
0.65
0.24
0.3
121
2.99
1.46
1.33
1.11
0.40
0.2
122
3.01
1.49
1.34
1.82
0.65
0.6
123
2.27
1.498
1.35
1.08
0.54
0.5
124
2.27
1.558
1.64
0.23
0.08
0.1
125
2.74
1.562
1.64
2.00
0.79
0.7
126
2.86
1.57
1.42
1.91
0.68
0.8
122
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
127
3.34
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
1.62
1.484
0.10
0.02
0.1
128
3.363
1.64
1.51
1.16
0.39
0.2
129
3.4
1.67
1.61
0.97
0.29
0.2
130
3.53
1.68
1.355
1.38
0.34
0.3
131
3.07
1.68
1.39
0.91
0.22
0.3
132
3.08
1.741
1.65
0.15
0.05
0.1
133
1.6
0.98
0.34
0.15
0.06
0.1
134
1.62
0.999
0.34
1.51
0.58
0.4
135
1.63
1.023
0.35
1.18
0.40
0.5
136
1.64
1.03
0.73
1.49
0.43
0.5
137
1.72
1.04
0.71
1.02
0.41
0.1
138
1.675
1.045
0.18
1.06
0.42
0.4
139
1.69
1.05
0.34
0.95
0.33
0.4
140
2.795
1.3
0.96
2.04
0.76
0.5
141
2
1.05
0.45
0.65
0.23
0.5
142
1.77
1.06
0.454
1.06
0.44
0.5
143
1.79
1.105
0.47
1.00
0.44
0.6
144
1.793
1.107
0.48
0.62
0.30
0.2
145
1.88
1.12
0.55
0.78
0.26
0.2
146
1.92
1.12
0.55
0.35
0.13
0.1
147
1.93
1.13
0.55
0.36
0.12
0.2
148
1.97
1.14
0.581
0.79
0.26
0.2
149
1.96
1.14
0.6
0.89
0.25
0.2
150
1.97
1.14
0.61
1.80
0.84
0.9
151
1.97
1.15
0.61
0.15
0.05
0.1
152
1.95
1.15
0.53
1.72
0.85
0.8
153
1.99
1.159
0.76
1.05
0.45
0.4
154
1.68
1.16
0.65
1.27
0.53
0.4
155
2
1.16
0.66
0.70
0.23
0.3
156
2.01
1.16
0.664
0.65
0.16
0.1
157
2.05
1.16
0.68
1.11
0.41
0.4
158
2.05
1.162
0.68
0.92
0.26
0.2
159
2.08
1.17
0.77
1.11
0.33
0.3
160
2.18
1.179
0.7
2.04
0.80
0.8
161
3.537
1.18
0.73
0.26
0.07
0.1
162
3.64
1.18
0.73
0.86
0.37
0.3
163
2.236
1.191
0.75
1.86
0.58
0.7
164
2.58
1.193
0.75
0.67
0.15
0.1
165
2.21
1.2
0.65
1.07
0.48
0.4
166
2.569
1.21
0.76
1.55
0.57
0.6
167
2.261
1.225
0.77
1.68
0.68
0.7
168
2.19
1.23
0.69
1.31
0.54
0.5
169
2.14
1.23
0.78
0.72
0.29
0.3
123
sample 170
panjang (cm)
Lebar (cm)
2.14
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
1.23
0.8
0.11
0.05
0.1
171
2.17
1.24
0.82
0.13
0.10
0.1
172
2.34
1.24
0.83
0.96
0.34
0.2
173
2.39
1.25
0.835
0.82
0.33
0.2
174
2.46
1.26
0.87
0.41
0.20
0.1
175
2.28
1.26
0.89
1.61
0.41
0.4
176
2.32
1.26
0.9
1.21
0.43
0.4
177
2.49
1.27
0.93
0.78
0.30
0.5
178
2.52
1.27
0.95
0.05
0.02
0.1
179
2.53
1.28
0.96
0.81
0.33
0.2
180
1.129
0.84
0.11
1.63
0.68
0.8
181
1.55
0.84
0.254
1.95
0.97
0.8
182
1.21
0.84
0.26
0.49
0.17
0.1
183
1.24
0.86
0.28
0.99
0.44
0.4
184
1.26
0.88
0.29
2.41
1.01
1.1
185
1.16
0.89
0.19
1.30
0.56
0.5
186
1.36
0.89
0.2
0.70
0.20
0.5
187
1.41
0.91
0.209
0.15
0.08
0.1
188
1.41
0.94
0.15
0.91
0.46
0.5
189
1.46
0.94
0.15
0.85
0.18
0.3
190
0.62
0.94
0.27
1.98
0.90
1.3
191
1.53
0.96
0.04
0.84
0.30
0.6
192
1.51
0.969
0.07
1.12
0.46
0.4
193
1.57
0.97
0.16
1.27
0.60
0.6
194
1.6
0.98
0.34
0.21
0.07
0.1
195
1.62
0.999
0.34
1.14
0.50
0.6
196
1.63
1.023
0.35
0.39
0.11
0.2
197
1.64
1.03
0.73
0.87
0.25
0.3
198
1.72
1.04
0.71
0.05
0.02
0.1
199
1.675
1.045
0.18
0.06
0.01
0.1
200
1.69
1.05
0.34
0.66
0.22
0.3
201
2.795
1.3
0.96
1.42
0.59
0.6
202
2
1.05
0.45
0.72
0.28
0.5
203
3.315
1.46
1.135
0.38
0.19
0.4
204
1.51
0.99
0.475
1.73
0.53
0.6
205
1.57
0.935
0.515
0.84
0.17
0.2
206
1.5
0.98
0.5
1.33
0.46
0.5
207
3.32
1.685
0.98
0.86
0.45
0.5
208
2.66
1.44
0.95
0.16
0.07
0.1
209
2.91
1.59
0.98
0.29
0.10
0.1
210
2.08
1.125
0.65
0.40
0.13
0.1
211
2.16
1.37
0.68
1.46
0.50
0.5
212
2.1
1.17
0.53
1.96
0.67
0.6
124
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm) 1.32
berat total (gr) 0.88
0.43
berat daging (gr)
volume daging (ml)
213
2.38
0.18
0.1
214
3.34
1.6
1.16
0.17
0.06
0.1
215
2.45
1.27
0.755
1.26
0.51
0.6
216
3.07
1.68
1.39
0.90
0.42
0.4
217
2.795
1.3
0.96
0.91
0.27
0.3
218
2.035
1.04
0.675
1.62
0.64
0.6
219
1.5
0.9
0.46
1.05
0.54
0.6
220
2.86
1.33
0.84
0.65
0.24
0.1
221
1.37
1.1
0.66
1.11
0.40
0.4
222
2.4
1.22
0.72
1.82
0.65
0.5
223
2.12
1.14
0.68
1.08
0.54
0.5
224
2.23
1.115
0.71
0.23
0.08
0.1
225
1.32
1.02
0.57
2.00
0.79
0.8
226
2.22
1.16
0.66
1.91
0.68
0.6
227
1.65
1.02
0.58
0.10
0.02
0.1
228
2.03
1.13
0.62
1.16
0.39
0.3
229
1.78
0.95
0.63
0.97
0.29
0.4
230
2.39
1.21
0.7
1.38
0.34
0.5
231
2.765
1.465
0.9
0.91
0.22
0.5
232
1.68
1.04
0.625
0.15
0.05
0.1
233
1.74
1.05
0.443
0.15
0.06
0.1
234
1.31
0.76
0.47
1.51
0.58
0.5
235
1.31
0.63
0.38
1.18
0.40
0.2
236
0.86
0.66
0.44
1.49
0.43
0.2
237
0.9
0.68
0.27
1.02
0.41
0.5
238
1.07
0.76
0.86
1.06
0.42
0.4
239
1.109
0.83
0.105
0.95
0.33
0.3
240
1.129
0.84
0.11
2.04
0.76
0.6
Umur 3-4 bulan sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
1
2.413
0.86
0.7
8.42
4.63
4.6
2
2.591
0.68
0.74
8.96
3.90
4
3
2.61
1.3
0.78
8.47
3.56
3.6
4
2.615
1.2
0.78
8.53
2.48
3
5
2.615
1.15
0.16
8.48
2.91
2
6
2.52
0.85
0.61
11.51
5.21
5
7
2.53
0.85
0.63
9.98
4.77
4.6
8
2.34
0.996
1.064
7.74
2.31
3.3
9
2.413
0.42
0.64
6.85
2.24
2.4
10
2.241
0.996
0.866
8.63
2.46
2.5
125
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
11
2.52
0.79
0.91
12
2.63
0.97
13
2.63
0.86
14
2.636
15
berat daging (gr)
volume daging (ml)
9.43
3.44
3.5
0.926
10.31
4.78
4.8
0.96
11.15
5.00
4.8
0.79
1.07
10.44
4.97
5
2.66
0.97
1.03
3.06
1.10
1
16
2.664
0.64
1.05
9.72
4.72
5.1
17
3.05
0.64
1.06
10.65
6.06
6.2
18
3.05
1.15
1.06
8.11
2.93
3
19
3.12
1.18
1.06
9.39
2.79
3.1
20
2.73
1.5
1.12
9.51
3.84
3.8
21
2.73
1.299
1
11.27
3.22
3.2
22
2.8
1.299
1.07
6.57
2.84
2.6
23
2.8
1.359
1.08
9.62
4.10
4.1
24
3.03
1.37
0.64
10.31
3.65
3.6
25
2.636
1.46
1.3
8.29
3.48
3.5
26
2.66
1.6
1.3
9.16
3.75
3.6
27
3.03
1.4
1.15
9.90
3.99
4.1
28
2.664
1.46
1.17
5.92
2.62
2.6
29
3.12
1.494
1.22
5.89
2.97
3.1
30
3.16
1.494
1.223
11.60
4.45
4.4
31
3.16
1.5
1.2
11.13
4.27
4.3
32
3.16
1.18
1.21
9.88
3.86
4.1
33
3.28
1.5
1.21
9.03
3.65
3.6
34
3.301
1.52
1.217
6.16
2.10
2.1
35
3.36
1.543
1.18
10.19
4.36
4.1
36
3.37
1.46
1.19
9.29
3.41
3.1
37
3.39
1.46
1.48
7.51
2.99
3.1
38
3.57
1.56
1.25
9.07
3.75
3.5
39
3.63
1.58
1.26
10.70
5.00
4.9
40
3.79
1.581
1.5
6.66
3.66
3.5
41
3.834
1.581
1.512
9.95
4.36
4.3
42
3.834
1.62
1.29
8.12
2.39
2.3
43
3.91
1.627
1.29
9.52
4.20
4.2
44
3.91
1.33
1.293
7.57
2.91
2.9
45
3.912
1.43
1.121
7.41
2.72
2.72
46
3.912
1.44
1.13
7.10
1.85
1.9
47
4.22
1.12
1.3
7.46
3.17
3.2
48
3.92
1.5
1.31
8.26
2.78
2.8
49
3.96
1.19
1.31
6.35
2.03
2.1
50
3.96
1.35
1.31
6.98
3.39
3
51
3.96
1.46
1.342
5.20
2.06
2
52
4.24
1.56
1.347
8.42
3.14
3.1
53
4.2
1.87
1.348
9.63
3.66
3.6
126
sample
panjang (cm)
54
4.2
55 56
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr) 10.33
berat daging (gr) 3.92
volume daging (ml)
1.79
1.35
3.9
4.2
1.69
1.351
7.30
2.93
2.9
4.2
1.761
1.356
8.09
3.68
3.6
57
3.96
1.74
1.36
9.38
3.57
3.6
58
4.22
1.56
1.34
9.59
4.55
4.6
59
4.22
1.77
1.69
14.69
6.94
7.1
60
4.22
1.4
1.69
7.20
3.27
3.1
61
3.92
1.49
1.4
5.63
2.96
2.3
62
4.24
1.14
1.41
8.12
3.85
2.9
63
4.37
1.36
1.43
6.95
3.28
3.2
64
4.37
1.47
1.432
9.37
4.09
4.1
65
4.37
1.74
1.478
8.61
3.52
3.5
66
4.35
1.84
1.474
8.29
2.29
2.1
67
4.35
1.761
1.47
8.34
2.38
2.4
68
4.35
1.761
1.452
11.05
5.60
5.6
69
4.54
1.56
1.44
8.93
3.62
3.6
70
4.54
1.43
1.44
6.47
2.63
2.6
71
4.563
1.65
1.28
11.50
4.21
4.1
72
4.25
1.79
1.27
8.42
3.29
3.2
73
4.24
1.78
1.24
10.09
4.94
5.2
74
4.25
1.81
1.68
8.83
2.35
2.53
75
4.25
1.4
1.68
9.27
3.61
3.61
76
4.494
1.57
1.68
8.28
3.92
3.92
77
4.494
1.77
1.69
9.14
3.31
3.2
78
4.494
1.45
1.53
10.57
3.78
3.8
79
4.54
1.5
1.54
9.89
3.47
3.5
80
4.32
1.41
1.54
7.55
3.11
3.1
81
4.32
1.837
1.559
6.79
2.90
2.8
82
4.32
1.85
1.56
5.95
3.53
3.6
83
4.563
1.88
1.571
10.74
4.08
3.9
84
4.563
1.9
1.58
10.81
3.57
3.5
85
4.62
1.92
1.595
7.53
2.39
2.4
86
4.62
1.93
1.6
8.65
3.73
3.8
87
4.64
1.93
1.6
9.41
3.26
2.1
88
4.65
1.93
1.62
10.30
3.51
3.5
89
4.658
1.93
1.62
11.94
5.07
5.2
90
4.69
1.93
1.63
9.43
3.64
3.5
91
4.731
1.94
1.63
9.01
4.70
4.5
92
4.744
1.94
1.63
8.35
3.09
3.1
93
4.75
1.94
1.64
7.46
3.76
3.8
94
4.788
1.94
1.64
8.95
4.90
4.8
95
4.79
1.94
1.65
9.24
3.92
3.9
96
4.796
1.94
1.66
8.68
3.66
3.5
127
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
97
4.82
1.94
1.662
6.77
1.69
2.2
98
4.84
1.94
1.664
10.35
4.14
4.1
99
4.9
1.94
1.67
9.46
4.13
4
100
4.973
1.99
1.52
6.93
3.11
3
101
5.016
1.99
1.52
7.39
3.01
3
102
5.016
1.99
1.52
8.03
2.81
2.8
103
5.016
1.998
1.52
8.80
4.13
4.1
104
5.016
1.998
1.7
10.60
3.95
3.9
105
5.016
1.998
1.7
9.00
3.84
2.8
106
4.98
2
1.7
6.79
1.47
1.5
107
4.98
2.01
1.709
8.41
3.29
3.2
108
4.98
2.02
1.71
10.04
3.73
3.7
109
4.98
2.03
1.71
10.95
3.61
3.6
110
4.98
2.053
1.71
10.76
4.56
4.5
111
4.98
2.066
1.72
7.72
3.15
3.1
112
4.98
2.09
1.74
9.45
4.18
4.1
113
4.98
2.09
1.747
5.86
1.76
1.5
114
5.03
1.82
1.75
7.73
3.11
3.2
115
5.03
1.94
1.75
11.11
5.61
5.5
116
5.03
1.99
1.76
8.80
3.73
3.3
117
5.03
2.06
1.76
8.85
2.53
2.5
118
5.03
2.03
1.775
6.82
2.03
2.1
119
5.06
1.82
1.775
6.56
2.65
1.8
120
5.06
1.895
1.775
9.85
3.39
3.2
121
5.06
2.06
1.779
7.57
2.87
2.8
122
5.06
1.95
1.78
6.34
2.59
2.6
123
5.06
1.95
1.78
6.30
2.34
2.1
124
5.13
1.813
1.789
7.98
4.42
4.2
125
5.13
1.819
1.8
7.18
2.84
2.8
126
5.13
1.935
1.81
7.12
1.86
1.8
127
5.13
1.988
1.814
10.95
3.85
3.8
128
5.13
1.94
1.82
4.84
1.82
1.6
129
5.14
2.05
1.82
8.78
3.61
3.7
130
5.14
1.91
1.82
9.00
3.47
3.7
131
5.14
1.86
1.82
8.27
2.44
2.5
132
5.14
1.8
1.83
7.58
2.94
2.9
133
5.14
1.84
1.847
8.69
2.90
2.8
134
5.159
1.997
1.85
9.38
2.60
2.5
135
5.159
2.073
1.857
10.91
4.39
4.6
136
5.159
1.968
1.86
9.73
3.65
3.5
137
5.159
1.87
1.86
8.69
2.59
2.9
138
5.159
1.88
1.87
6.85
2.49
2.4
139
5.16
1.82
1.88
7.70
4.14
4.4
128
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
140
5.16
2.31
1.88
6.54
2.89
2.8
141
5.16
2.34
1.888
8.58
3.70
3.9
142
5.16
2.14
1.89
8.75
4.01
4.1
143
5.19
2.3
1.9
6.72
3.20
3.2
144
5.19
2.33
1.9
10.03
3.59
3.9
145
5.19
2.28
1.902
10.58
4.25
4.5
146
5.19
2.642
1.912
11.28
2.58
2.6
147
5.19
2.23
1.92
5.35
1.96
2.1
148
5.19
2.505
1.93
10.29
3.54
3.5
149
5.19
2.75
1.93
7.41
2.91
2.9
150
5.21
2.76
1.94
7.66
3.30
3.3
151
5.21
2.75
1.95
7.14
2.03
2
152
5.21
2.214
1.95
7.50
3.11
3.1
153
5.26
2.48
1.97
8.19
3.31
3.1
154
5.26
2.58
1.97
8.13
3.60
3.5
155
5.26
2.65
1.98
7.91
3.78
3.8
156
5.27
2.56
1.98
9.23
3.89
3.9
157
5.27
2.588
2
11.73
5.24
5.1
158
5.27
2.59
2.01
7.00
2.09
2.1
159
5.292
2.3
2.02
7.81
3.27
3.1
160
5.292
2.77
2.02
9.09
2.82
2.8
161
5.292
2.447
2.033
9.80
3.35
3.5
162
5.36
2.41
2.04
9.28
4.01
4.1
163
5.38
2.57
2.04
9.04
3.35
3.1
164
5.41
2.258
2.06
8.22
2.39
2.3
165
5.48
2.66
2.065
7.71
2.90
2.9
166
5.482
2.414
2.09
9.93
2.69
2.9
167
5.55
2.47
2.09
7.54
2.65
2.4
168
5.64
2.45
2.09
11.14
4.06
4.1
169
5.64
2.49
2.095
5.45
2.59
2.3
170
5.64
2.42
2.1
8.62
3.71
3.7
171
5.58
2.424
2.1
9.26
3.06
3.1
172
5.58
2.43
2.11
6.27
2.32
2.2
173
5.58
2.39
2.11
6.74
2.34
2.3
174
5.582
2.417
2.12
8.31
2.82
2.8
175
5.582
2.46
2.14
8.54
1.87
1.8
176
5.582
2.44
2.14
7.90
3.81
3.8
177
5.62
2.477
2.14
9.62
3.60
3.6
178
5.62
1.91
2.159
6.54
2.99
3
179
5.62
2.41
2.18
8.00
2.60
2
180
5.554
1.61
2.19
8.97
3.76
2.6
181
5.554
2.32
2.19
8.13
2.87
2.6
182
5.554
2.54
2.2
10.14
4.36
4.6
129
sample
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
183
5.76
2.36
2.2
8.24
3.68
3.2
184
5.76
2.57
2.21
12.70
4.40
4
185
5.76
2.89
2.21
8.05
4.16
4.1
186
5.79
2.25
2.21
11.00
4.91
4.5
187
5.79
2.58
2.22
8.44
3.10
3.1
188
5.79
2.48
2.231
7.38
2.21
2.2
189
5.89
2.5
2.232
7.54
2.53
2.5
190
5.69
2.49
2.24
10.80
2.88
2.9
191
5.6
2.48
2.24
10.06
3.99
3.4
192
5.69
2.639
2.24
7.92
4.15
4.5
193
5.69
2.43
2.25
10.82
4.24
4.6
194
5.69
2.58
2.25
5.67
2.28
3.2
195
5.83
2.9
2.25
8.99
3.12
2.1
196
5.83
2
2.25
10.36
3.25
3.5
197
5.83
2.78
2.26
10.75
4.58
4.5
198
5.892
2.24
2.26
10.05
3.29
3.6
199
5.892
2.46
2.3
8.17
3.13
3.1
200
5.892
2.86
2.3
6.28
1.72
1.72
201
5.91
2.62
2.331
9.17
4.57
4.9
202
5.91
2.56
2.347
4.94
1.47
2
203
5.91
2.78
2.35
7.87
3.21
3.1
204
5.981
2.81
2.35
9.46
2.72
2.7
205
5.981
2.21
2.35
7.48
2.84
2.8
206
5.981
2.55
2.37
9.41
2.80
2.7
207
5.938
2.25
2.38
7.79
2.92
2.6
208
5.92
2.47
2.43
9.09
3.18
3.3
209
5.38
2.75
2.43
9.34
3.99
4.1
210
5.9
2.78
2.98
9.24
5.67
5.3
211
5.1
2.7
3.12
8.01
4.23
4.5
212
5.99
2.47
3.13
9.00
3.27
2.2
213
6.04
2.81
3.4
9.26
3.60
3.6
214
6
2.84
2.5
6.84
3.22
2.2
215
6.12
2.76
2.58
5.84
2.41
3.5
216
6.088
2.28
2.808
8.64
4.15
4.2
217
6.325
2.67
2.95
6.89
2.42
2.4
218
6.32
2.715
2.86
5.93
2.54
2.6
219
6.225
2.7
3.42
10.33
4.71
4.5
220
6.16
2.6
3.535
6.47
2.30
3.3
221
6.12
2.54
3.63
6.77
2.77
2.8
222
6.34
2.658
2.607
7.59
2.93
3.1
223
6.39
2.52
2.646
7.89
2.71
2.8
224
6.41
2.52
2.65
10.49
3.52
4.1
225
6.45
2.89
2.68
6.68
1.85
2.1
130
sample 226
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
6.58
2.875
2.692
9.19
3.59
3.6
227
6.6
2.7832
2.713
11.50
4.27
4.3
228
6.719
2.75
2.73
6.56
2.95
2.9
229
6.8
2.655
2.75
7.85
3.78
2.9
230
6.97
2.66
2.762
7.67
2.52
2.4
231
7.14
2.64
2.517
12.20
4.24
4.4
232
7.15
2.873
2.52
8.19
2.92
2.2
233
7.3
2.63
2.61
9.99
4.72
4.2
234
7.368
2.87
2.61
8.50
3.44
3.4
235
7.46
3.09
2.61
7.92
3.68
3.4
236
9.595
3.13
2.61
6.14
2.04
2.4
237
9.525
3.162
2.65
9.66
3.49
3.5
238
8.97
3.36
2.46
10.17
3.84
3.6
239
8.18
2.8
2.473
7.94
2.86
2.4
240
7.98
2.81
2.489
9.53
3.04
2.6
Umur 5-6 bulan sampl e
panjang (cm) 1
5.23
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
2.01
2.08
23.74
berat daging (gr) 10.33
volume daging (ml) 7.5
2
5.56
2.26
2.33
12.55
4.63
6.2
3
5.816
2.558
0.77
11.61
5.45
7.5
4
5.9
2.64
0.79
13.90
8.06
9.1
5
6.59
2.72
1.617
19.72
7.03
6.2
6
7.16
2.79
2.83
20.87
6.44
5.1
7
7.08
2.871
0.37
20.42
7.24
5.9
8
7.72
2.89
3.07
22.00
10.57
8
9
7.17
3.02
1.04
12.69
4.78
6.1
10
6.771
3.07
3.53
12.58
4.27
5.5
11
7.29
3.14
0.545
18.02
10.69
9.1
12
6.86
3.3
0.4
14.67
6.67
7.6
13
6.85
3.3
3.5
20.12
8.28
7.2
14
7.81
3.35
2.21
17.29
5.91
6.1
15
7.696
3.734
1.287
14.10
6.74
7.6
16
7.05
3.89
1.7
15.46
7.87
8.6
17
7.537
3.98
2.15
17.81
6.56
6.5
18
7.52
4.03
4.09
13.81
4.42
5.6
19
7.43
4.09
2.66
15.98
9.25
10.1
20
6.62
4.27
1.27
17.61
8.21
8.1
21
6.97
4.307
1.3
19.75
7.44
6.4
22
7.83
4.42
1.55
17.46
8.32
8.5
23
6.7
4.55
1.58
19.16
9.47
8.1
131
sampl e
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
24
6.942
4.98
1.6
12.09
5.21
7.5
25
7.49
3.4
1.733
18.18
6.02
5.2
26
7.8
5.5
1.8
18.09
8.98
9.1
27
7.758
4.32
1.91
20.25
9.95
8.1
28
7.69
2.67
2.93
16.71
6.97
7.2
29
6.94
4.04
1.947
24.66
14.48
10.6
30
6.465
5.34
1.947
20.20
9.02
8.5
31
7.847
2.673
2.95
13.92
4.79
6.2
32
7.859
4.27
1.96
22.95
10.11
7.1
33
7.86
2.85
1.96
21.80
7.61
5.7
34
7.94
4.29
2.07
22.61
7.62
5.8
35
7.94
4.06
2.08
12.22
5.73
7.5
36
7.96
3.86
2.11
16.66
7.33
7.4
37
7.97
3.88
2.162
16.99
8.79
8.3
38
7.99
4.24
4.09
17.94
10.01
9.2
39
8.02
4.29
3.366
16.68
7.29
7.1
40
8.02
4.79
3.93
16.70
8.61
8.6
41
8.02
3.8
3.05
20.73
8.43
7.1
42
8.05
2.88
3.81
17.42
7.55
7.8
43
8.072
3.35
3.5
16.44
7.76
7.9
44
8.14
2.756
3.003
19.81
8.74
7.8
45
8.22
2.85
2.99
14.59
6.33
7.5
46
8.27
2.84
3.42
12.73
4.04
5.1
47
8.29
3.38
4.04
18.91
6.07
5.6
48
8.35
4.11
4.19
18.54
8.51
7.9
49
8.36
3.85
3.57
17.69
5.58
5.8
50
8.37
4.06
4.274
16.21
7.95
8.2
51
8.42
5.63
3.52
19.20
8.76
7.6
52
8.44
5.7
3.98
12.71
6.47
8.2
53
8.49
3.69
3.38
21.82
10.46
8.9
54
8.49
4.03
3.234
13.12
5.88
7.8
55
8.162
3.482
3.51
17.43
6.21
6.2
56
8.205
5.86
2.921
20.56
11.44
9.3
57
8.29
5.87
3.328
17.30
10.15
10.2
58
8.672
5.96
3.2
14.06
5.94
7.3
59
8.075
4.99
3.68
23.15
8.23
6.4
60
8.6
6.01
3.4
17.49
8.75
8.6
61
8.58
6.04
3.94
13.83
6.56
8.2
62
8.19
6.04
4.05
19.53
7.51
6.4
63
8.15
6.056
3.597
19.99
9.70
8.8
64
8.09
6.072
3.05
16.80
5.49
5.8
65
8.69
6.11
2.85
19.02
9.53
8.8
66
8.52
6.14
3.54
18.10
10.45
9.2
132
sampl e
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr) 4.71
volume daging (ml)
67
8.342
6.19
3
14.25
5.4
68
8.46
6.25
3.409
16.46
7.68
8.1
69
8.3
6.3
3.13
25.51
16.19
10.6
70
8.69
6.34
4.8
14.57
5.62
6.4
71
8.247
6.39
4.09
18.79
9.87
9.3
72
8.67
6.435
5.4
15.31
8.31
9.3
73
8.065
6.468
3.84
16.78
5.78
5.9
74
8.4
3.468
3.744
19.64
9.25
8.1
75
9.3
6.54
4.82
15.66
6.01
6.8
76
9.3
6.55
4.802
18.09
7.63
7.2
77
9.31
6.57
4.49
24.20
9.10
6.2
78
9.31
6.617
3.6
13.90
8.31
10.9
79
9.34
6.628
4.64
21.10
9.72
8.4
80
9.36
6.716
4.09
17.32
6.49
6.5
81
9.41
6.8
3.432
11.18
5.74
8.2
82
9.42
6.85
4.587
20.65
10.20
8.3
83
9.576
6.86
5.76
13.07
6.04
7.6
84
9.6
6.9
5.27
17.77
8.74
8.1
85
8.15
6.06
3.6
21.67
9.87
7.6
86
8.09
6.07
3.05
17.30
9.99
9.5
87
8.69
2.11
2.85
23.20
10.54
7.3
88
8.52
6.14
3.54
24.69
11.10
7.2
89
8.342
6.19
3
18.49
10.94
10.3
90
8.46
6.25
3.409
19.98
8.52
7.4
91
8.3
6.3
3.13
14.57
7.96
8.5
92
8.69
6.34
4.8
21.49
8.14
7.1
93
8.247
6.39
4.09
16.99
8.37
8.1
94
8.67
6.44
5.4
20.58
10.03
8.3
95
8.065
6.47
3.845
19.21
8.51
7.4
96
8.4
6.468
5.344
19.13
7.27
6.2
97
9.3
6.54
4.82
12.70
5.64
8.1
98
9.3
6.55
4.8
13.05
4.52
5.6
99
9.31
6.57
4.49
19.04
7.84
6.5
100
9.31
6.617
3.597
18.22
6.20
6.1
101
9.34
6.63
4.64
10.18
3.15
5.2
102
9.36
6.72
4.09
19.60
10.52
9.1
103
9.41
6.8
3.432
22.03
9.94
7.4
104
9.42
6.85
4.59
16.59
6.12
6.5
105
9.576
6.86
5.76
15.69
7.36
8.4
106
9.6
6.897
5.27
23.74
12.39
8.6
107
9.31
6.62
3.6
19.75
8.61
7.6
108
9.34
6.63
4.64
19.34
6.24
5.4
109
9.36
6.72
4.09
16.76
9.70
9.2
133
sampl e 110
panjang (cm) 9.41
Lebar (cm) 6.8
tebal (cm) 3.43
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
17.16
9.12
8.8
111
9.42
6.85
4.587
18.93
9.72
8.2
112
8.02
4.29
3.366
15.07
6.27
6.9
113
8.02
3.79
3.93
14.59
7.43
6.9
114
8.02
3.795
4.05
23.90
8.21
5.8
115
8.05
2.88
3.81
24.14
8.44
6.2
116
8.072
3.35
3.5
13.83
5.20
6.5
117
8.14
2.76
3
14.19
4.84
6.2
118
8.22
2.59
2.95
17.27
6.95
6.8
119
8.27
2.84
3.42
19.13
6.59
6
120
8.29
3.38
4.04
17.34
7.31
7.6
121
8.35
4.19
4.225
15.11
6.25
7.3
122
8.36
3.85
3.57
18.79
10.39
10.1
123
8.52
6.14
3.54
22.84
9.09
7
124
8.342
6.19
3
27.37
14.36
9.4
125
8.15
6.06
3.6
17.87
8.23
8.1
126
8.09
6.072
3.05
13.97
6.12
8
127
8.69
6.11
2.85
20.04
9.09
8
128
8.52
6.14
3.54
17.41
9.32
9.1
129
8.342
6.19
3
20.25
10.06
8.1
130
6.59
2.72
1.62
20.12
6.84
5.8
131
7.16
2.483
2.79
23.10
11.73
8.2
132
7.08
2.87
0.37
10.87
5.93
8.6
133
7.72
2.89
3.07
20.05
5.92
5.4
134
7.17
3.02
1.04
20.62
6.87
6.1
135
6.771
3.07
3.53
14.46
6.50
7.6
136
7.29
3.14
0.54
20.90
12.49
10.3
137
6.86
3.3
0.4
19.60
8.26
6.8
138
6.85
3.3
3.5
18.38
7.38
6.8
139
7.81
3.35
2.21
14.88
6.66
7.8
140
7.696
3.73
1.29
19.96
10.11
8.6
141
7.05
3.89
1.7
18.26
7.92
7.9
142
7.537
3.98
2.15
18.06
6.94
7.1
143
7.52
3.03
3.36
20.23
8.81
7.6
144
7.43
4.09
2.657
15.51
6.39
7.1
145
6.62
4.27
1.27
14.70
6.71
7.8
146
6.97
4.31
1.304
19.33
12.09
11.1
147
7.83
4.419
1.55
19.10
9.01
8.1
148
6.7
4.55
1.58
19.55
7.38
6.8
149
6.942
4.98
1.6
19.52
6.82
5.8
150
7.49
3.4
1.73
19.50
8.81
7.2
151
7.8
5.5
1.8
14.35
5.84
7.1
152
7.758
4.32
1.914
16.91
5.89
6.1
134
sampl e 153
panjang (cm) 7.69
Lebar (cm) 2.673
tebal (cm) 1.931
berat total (gr) 18.78
berat daging (gr) 5.82
volume daging (ml) 5.6
154
6.94
4.04
1.95
17.14
6.21
6.5
155
6.465
5.34
1.95
16.45
8.11
8.3
156
7.847
2.67
2.75
22.55
9.13
7.1
157
7.859
4.27
1.96
17.80
7.57
7.5
158
7.86
2.85
1.96
20.05
9.29
7.8
159
7.94
4.29
2.07
16.60
8.08
8.2
160
7.94
4.06
2.08
20.70
7.90
6.5
161
7.96
3.86
2.11
15.44
7.41
8.2
162
7.97
3.88
2.16
13.23
6.67
8.3
163
7.99
4.09
4.24
17.29
7.77
7.4
164
8.02
4.29
3.366
14.72
7.04
7.8
165
8.02
4.79
3.927
20.91
6.34
5.8
166
8.02
3.8
3.05
25.31
9.18
6.2
167
8.05
2.88
3.81
16.16
6.92
7.5
168
8.072
3.35
3.5
17.58
8.73
8.2
169
8.14
2.756
3
20.63
9.01
7.2
170
8.22
2.99
3.155
17.38
8.47
9.1
171
8.27
2.84
3.424
11.96
5.97
8
172
8.29
3.38
4.04
14.22
5.57
7.1
173
8.35
3.63
4.09
19.75
9.60
8.2
174
8.36
3.85
3.87
20.27
8.44
6.8
175
8.37
4.24
4.26
16.85
8.16
8.2
176
8.42
5.63
3.52
11.51
3.12
5.1
177
8.44
5.7
3.98
12.35
5.20
7.3
178
8.49
3.36
3.38
15.37
6.55
7.2
179
8.49
4.03
3.23
25.40
12.89
8.9
180
8.162
3.31
3.48
17.80
7.32
7.2
181
8.205
5.858
2.92
19.82
7.29
6.9
182
8.29
5.874
3.33
17.91
9.43
9.8
183
8.672
5.96
3.2
17.77
8.27
8.2
184
8.075
4.99
3.68
21.54
8.06
6.7
185
8.6
6.01
3.4
22.04
11.32
8.4
186
8.58
6.04
3.94
13.49
6.54
8.1
187
8.19
6.04
4.05
14.91
6.32
7.2
188
8.15
6.06
3.6
14.78
5.54
6.5
189
8.09
6.07
3.05
24.68
7.24
5.3
190
8.69
6.11
2.853
15.33
6.46
7.2
191
8.52
6.14
3.54
20.23
10.48
9.5
192
8.342
6.19
3
17.48
6.98
6.8
193
8.46
6.25
3.41
13.33
4.81
6.4
194
8.3
6.3
3.13
10.47
4.86
8.2
195
8.69
6.34
4.802
13.20
5.37
6.7
135
sampl e 196
panjang (cm) 8.247
Lebar (cm) 6.39
tebal (cm)
berat total (gr)
4.09
15.70
berat daging (gr) 7.03
volume daging (ml) 7.6
197
8.67
6.44
5.4
14.00
6.87
8.5
198
8.065
6.468
3.84
17.11
6.47
6.5
199
8.4
6.47
5.34
20.13
7.31
6.4
200
9.3
6.54
4.82
18.18
9.76
8.9
201
9.3
6.55
4.8
18.62
7.47
6.5
202
9.31
6.57
4.488
18.86
8.37
8.3
203
9.31
6.62
3.597
17.83
7.09
6.7
204
9.34
6.63
4.64
13.53
5.41
6.6
205
9.36
6.72
4.09
18.00
8.92
8.8
206
9.41
6.8
3.43
14.23
5.90
6.9
207
9.42
6.85
4.59
18.44
7.61
7.1
208
9.576
6.864
5.76
22.37
12.84
10.1
209
9.6
6.897
5.27
18.93
7.87
7.3
210
9.69
5.91
4.85
14.30
5.52
6.4
211
9.71
5.862
3.944
18.12
6.70
6.5
212
9.74
5.237
5.742
17.33
6.70
6.5
213
9.765
6.07
4.49
24.85
9.49
6.5
214
9.834
7.7
5.53
14.37
6.87
7.5
215
9.85
6.36
4.74
16.80
8.63
9.2
216
9.99
7.72
3.8
20.43
9.70
8
217
9.99
6.34
4.34
19.45
8.61
8.1
218
10.02
7.23
5.48
20.62
7.15
6.2
219
10.037
6.77
4.57
13.85
5.50
6.9
220
10.11
7.29
5.69
12.59
5.16
7.3
221
10.12
5.84
3.38
19.14
10.14
10
222
10.14
6.303
5.08
14.87
6.12
7.1
223
10.14
6.27
6.65
18.21
9.44
9.6
224
10.14
6.6
6.73
18.13
8.08
7.2
225
10.21
7.01
4.41
18.59
6.71
6.6
226
10.22
6.39
5.12
17.87
6.60
6.5
227
10.24
6.92
3.89
18.96
7.18
7.1
228
10.58
6.95
5.267
22.91
11.76
8.4
229
10.76
6.27
5.21
14.42
5.80
7.1
230
10.816
6.06
3.98
16.58
6.27
6.6
231
10.83
6.55
3.99
16.86
6.00
5.6
232
10.87
6.98
3.99
12.96
7.21
10
233
10.9
6.36
3.99
14.23
7.07
9.2
234
10.96
6.044
4.13
16.33
8.42
9.1
235
10.98
7.11
4.21
11.41
4.32
6.1
236
10.22
7.11
4.22
17.97
7.46
7.3
237
10.939
7.83
4.224
14.57
6.10
7.1
238
10.85
8.33
4.274
19.31
10.41
8.9
136
sampl e
panjang (cm)
Lebar (cm)
tebal (cm)
berat total (gr)
berat daging (gr)
volume daging (ml)
239
10.595
8.63
4.36
21.80
5.54
4.4
240
11.11
7.32
4.38
16.04
6.43
6.6
137
Lampiran 7. Simulasi dan skenario beban pencemaran serta akumulasi logam berat
Simulasi beban BOD, COD, NO3 dan PO4 dan kapasitas asimilasinya Tahun
Beban BOD
Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta (Ton/Tahun) KA Beban KA Beban KA Beban BOD COD COD NO3 NO3 PO4
KA PO4
2006
263.57
2058.92
653.96
2058.92
9.5
47.42
5.6
47.02
2007
414.89
1803.98
1066.20
1803.98
10.38
27.84
6.14
24.56
2008
611.74
1605.39
1378.08
1605.39
11.35
24.4
6.69
19.31
2009
794.13
1446.33
1589.61
1446.33
12.41
22.96
7.23
16.97
2010
962.06
1316.06
1800.79
1316.06
13.57
22.17
7.78
15.64
2011
1015.53
1207.42
1911.61
1207.42
14.84
21.67
8.33
14.78
2012
1554.54
1115.44
2522.08
1115.44
16.22
21.32
8.87
14.18
2013
1979.09
1036.55
2932.19
1036.55
17.74
21.06
9.41
13.73
2014
2489.18
968.14
3641.95
968.14
19.4
20.86
9.96
13.39
2015
3784.80
908.26
5351.36
908.26
21.21
20.7
10.5
13.12
2016
5765.97
855.41
7060.42
855.41
23.19
20.57
11.05
12.9
2017
10132.67
808.41
17769.13
808.41
25.35
20.46
11.59
12.71
2018
21884.91
766.35
31477.48
766.35
27.72
20.37
12.13
12.56
2019
26022.69
728.48
35185.49
728.48
30.31
20.29
12.68
12.42
2020
33546.01
694.22
39893.14
694.22
33.14
20.22
13.22
12.31
Simulasi beban logam berat Hg, Cd dan Pb yang masuk ke dalam perairan Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta (Ton/Tahun) Beban Hg KA Hg Beban Cd KA Cd Beban Pb KA Pb 1.2 21.05 0.18 21.05 1.83 21.05 1.25 19.76 0.84 19.76 1.84 19.76 1.3 18.62 0.56 18.62 1.85 18.62 1.35 17.61 0.35 17.61 1.86 17.61 1.4 16.7 0.22 16.7 1.88 16.7 1.46 15.89 0.15 15.89 1.9 15.89 1.51 15.14 0.15 15.14 1.92 15.14 1.56 14.47 0.22 14.47 1.95 14.47 1.61 13.86 0.36 13.86 1.98 13.86 1.66 13.29 0.58 13.29 2.01 13.29 1.71 12.77 0.86 12.77 2.04 12.77 1.76 12.29 1.21 12.29 2.08 12.29 1.81 11.84 1.63 11.84 2.13 11.84 1.86 11.43 2.12 11.43 2.17 11.43 1.91 11.04 2.68 11.04 2.22 11.04
138
Simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd dan Pb pada sedimen perairan Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Akumulasi logam berat pada sedimen (ppm) Hg Cd Pb 0.41 0.24 0.32 0.59 0.37 0.35 0.78 0.49 0.38 0.99 0.82 0.43 1.21 1.04 0.49 1.45 1.41 0.57 1.71 1.44 0.66 1.98 2.1 0.75 2.27 3.39 0.86 2.57 5.23 0.98 2.89 7.54 1.11 3.22 10.24 1.25 3.56 13.22 1.39 3.93 16.39 1.55 4.3 19.66 1.71
Simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd dan Pb pada kerang hijau Akumulasi logam berat pada kerang hijau (μg/g bk) Hg Cd Pb 74.23 5.33 1.2 2006 91.22 5.72 1.22 2007 107.52 6.48 1.24 2008 123.18 7.35 1.27 2009 138.24 8.14 1.32 2010 152.76 9.68 1.37 2011 166.76 10.78 1.44 2012 180.29 12.36 1.51 2013 193.37 15.72 1.6 2014 206.03 18.65 1.71 2015 218.3 20.85 1.83 2016 230.2 22.42 1.97 2017 241.76 23.54 2.14 2018 252.98 24.34 2.32 2019 263.9 24.94 2.53 2020
Tahun