2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi dan Deskripsi Kerang Hijau Kerang hijau (Perna viridis) merupakan salah satu jenis sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis penting. Kerang ini tergolong dalam filum Mollusca. Berikut ini adalah klasifikasi kerang hijau (Perna viridis) berdasarkan NIMPIS (2002): Kingdom
: Animalia
Filum
: Mollusca
Kelas
: Bivalvia
Sub kelas
: Pteriomorphia
Ordo
: Mytiloida
Famili
: Mytilidae
Genus
: Perna
Spesies
: Perna viridis Perna viridis memiliki panjang antara 80 mm sampai 165 mm. Memiliki
periostrakum yang lembut dan berwarna hijau gelap kemudian terus menjadi coklat ke arah ujung (umbo). Kerang hijau yang masih muda berwarna hijau terang dan menjadi lebih gelap setelah dewasa. Bagian dalam kerang ini mempunyai warna yang biru cemerlang. Kerang tersebut menghasilkan bysus untuk membantunya menempel pada substrat.
Gambar 1. Kerang hijau (Perna viridis) Sumber: Anonim (1997)
Kerang hijau yang masih hidup, memiliki cangkang yang berada dalam keaadan tertutup rapat, atau akan tertutup rapat bila terkena sentuhan, sedangkan pada kerang yang telah mati dan sedang mengalami proses kemunduran mutu, cangkang kerang hijau akan sedikit terbuka atau menganga, dan bau yang segar akan berganti menjadi bau busuk (Asikin 1982). Daging Kerang hijau sangat lunak dan berair. Daging yang segar umumnya berwarna putih mengkilap. Kerang hijau memiliki suatu alat, seperti serabut, yang digunakan untuk melekatkan dirinya pada benda-benda keras yang disebut byssus (Asikin 1982). Kerang hijau memiliki alat kelamin yang terpisah dan melakukan pembuahan eksternal. Perkembangan alat kelamin dari kerang hijau itu dipengaruhi oleh temperatur. Larva kerang hijau tinggal di dalam kolom air selama 10-12 hari sebelum mengalami perubahan bentuk. Juvenil berubah menjadi dewasa ketika mencapai ukuran 15-30 mm, dalam jangka waktu 2-3 bulan (NIMPIS 2002). Menurut Lee (1985) pertumbuhan kerang hijau dibutuhkan suhu sekitar 30 0C, pH sekitar 7,60-8,20, salinitas berkisar antara 29-36 ppm, kedalaman sekitar 5,0-5,6 m, serta kecerahan berkisar antara 260-400 cm. Pertumbuhan dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, temperatur, pergerakan air,dan usia kerang. Pembuatan jaring dapat mencegah masuknya pemangsa-pemangsa. Kerang dewasa itu dapat hidup diatas 2-3 tahun. Kerang hijau itu bersifat filter feeder yang memakan fitoplankton, zooplankton dan materi suspensi organik (NIMPIS 2002). 2.2. Senyawa Antibakteri Antibakteri adalah senyawa
kimia
yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antimikroba sebagai substansi dapat berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami (Brock dan Madigan 2003). Senyawa
antibakteri merupakan salah satu
senyawa antimikroba
yang
didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Pelczar dan Chan 1986). Berdasarkan aktivitasnya, senyawa antibakteri dapat dibedakan atas senyawa yang bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) seperti penisilin, basitrasin, neomisin
dan senyawa yang bersifat bakteristatik (menghambat pertumuhan bakteri) seperti tetrasiklin, kloramfenikol (Pelczar dan Chan 1988). Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu (1) mengubah permeabilitas membran sehingga dengan rusaknya membran akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel, (2) menyebabkan terjadinya denaturasi protein, (3) menghambat kerja enzim di dalam sel sehingga mengakibatkan terganggunya metabolisme/matinya sel (Davidson dan Branen 1993 dan Madigan et al. 2004), (4) merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis (Madigan et al. 2004). Senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (1) konsentrasi zat antibakteri, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba yang meliputi jenis, umur, konsentrasi, dan keadaan mikroba (Frazier dan Westhoff 1978). Berikut ini adalah Ciri-ciri antibakteri yang baik diantaranya adalah (Pelczar dan Chan 2005): 1) mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri; 2) substansi itu harus dapat larut dalam air atau pelarut-pelarut lain sampai taraf yang dipelukan; 3) perubahan yang terjadi pada substansi itu bila dibiarkan beberapa lama harus seminimal mungkin dan tidak boleh mengakibatkan hilangnya sifat antimikrobialnya dengan nyata; 4) tidak bersifat racun bagi manusia atau hewan lain; 5) komposisinya harus seragam sehingga bahan aktifnya selalu terdapat pada setiap aplikasi; 6) tidak bergabung dengan bahan organik, banyak disinfektan bergabung dengan protein atau bahan organik lain apabila disinfektan semacam itu digunakan di dalam keadaan yang banyak mengandung bahan organik, maka sebagian besar dari disinfektan tersebut akan menjadi aktif; 7) aktifitas antimikrobial pada suhu kamar atau pada suhu tubuh; 8) kemampuan untuk menembus; 9) tersedia dan biayanya murah;
Antimikroba sebagai substansi dapat berupa senyawa sintetik atau produk alami. Antimikroba sintetik diperoleh dengan membuat suatu senyawa yang sifatnya mirip dengan aslinya yang dibuat secara besar-besaran, seperti penisilin, cephalosporin,
glikopeptida,
tetrasiklin,
kloramfenikol,
aminoglokosida,
sulfonamida. Pemakaian antimikroba sintetik diketahui cukup berbahaya karena dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap zat antibakteri tersebut. Penyebab terjadinya resistensi mikroba, antara lain: (1) tidak adanya struktur bakteri yang menjadi sasaran antibiotik, (2) bakteri tersebut mungkin bersifat impermeabel terhadap antibiotik, dan (3) bakteri tersebut mampu mengubah antibiotik menjadi bentuk inaktif (Brock dan Madigan 2003). Antimikroba alami umumnya berasal dari tanaman, hewan, maupun organisme dengan melakukan proses pengekstrakan misalnya pada kerang. Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus mempunyai beberapa kriteria antara lain tidak bersifat racun, ekonomis, tidak merubah flavor, citarasa, dan aroma makanan jika digunakan dalam bahan pangan, tidak mengalami penurunan aktivitas selama proses penyimpanan, tidak menyebabkan galur resisten dan sebaiknya
membunuh
dibandingkan
menghambat
pertumbuhan
mikroba
(Frazier dan Westhoff 1978). 2.3. Ekstraksi Senyawa Bioaktif Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dalam pelarut cair sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi antara lain: lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam suatu bahan akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Departemen Kesehatan 2000 dalam Adolf 2006). Berdasarkan jenis pelarutnya ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi 2 yaitu: aqueous phase dan organic phase. Cara aqueous phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik. Prinsip metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan pemisahan bahan yang akan di ekstrak. Metode pemisahan dengan refluks pelarut organik ini
pada
dasarnya
adalah
ekstraksi
pada suhu cukup tinggi (60–70
dengan
pengadukan
yang
dilakukan
o
C) dan dilengkapi dengan kondensor
(Adawiyah 1998). Secara umum ekstraksi bertingkat dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut non polar, semi polar dan polar. Dengan demikian akan diperoleh ekstrak awal (crude ekstrak) yang mengandung berturut-turut senyawa non polar, semi polar dan polar (Hostettmann et al. 1997). Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan dalam setiap pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen tertentu maka ekstraksi dilakukan menggunakan suatu pelarut secara selektif yang dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Adawiyah 1998). Sifat fisik beberapa pelarut organik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat fisik beberapa pelarut organik Pelarut Heksana Kloroform Etil asetat Metanol Air
Konstanta Dielektrik
Indeks Polaritas
2,0 4,8 6,0 33 80
0,0 3,4 4,3 6,6 9,0
sumber : Anonim (2006); Godfrey dan Norman (1972) dalam Kustanti 2008
Sifat penting yang harus diperhatikan dalam ekstraksi adalah kepolaran senyawa dilihat dari gugus polarnya. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar lebih mudah larut dalam pelarut non polar. Derajat polaritas tergantung pada tetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Sudarmadji et al. 2007).
Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan dan tahap pemisahan. Penghancuran bahan ini bertujuan agar dapat mempermudah pengadukan dan kontak bahan dengan pelarutnya pada saat proses perendaman. Pada proses perendaman pelarut yang digunakan adalah pelarut non polar, semi polar dan polar. Proses perendaman tersebut dinamakan maserasi. Prinsip pelarutan yang dipakai pada metode ini adalah like dissolve like yang artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar sedangkan pelarut non polar akan melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990).
2.4. Bakteri Uji Bakteri adalah sel prokariot yang khas, bersifat uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Umumnya bakteri memiliki diameter antara 0,5–2,5 mikron (Pelczar dan Chan 2005). Sel prokariot tidak mempunyai nukleus sejati, komponen genetiknya yaitu DNA (deoxyribonukleic acid) disimpan di dalam suatu organ nukleus, yaitu kromosom, dan pada sel prokariot berbentuk seperti benang yang tidak dikelilingi oleh membran,
DNA
tersebut
sangat
panjang
dibandingkan
ukuran selnya
(Fardiaz 1992). Berdasarkan perbedaan komposisi dan dinding selnya, bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif mempunyai struktur dinding sel tebal (15-80 nm) dan berlapis tunggal, dengan komposisi dinding sel terdiri dari lipid, peptidoglikan dan asam teikoat. Bakteri Gram positif rentan terhadap penisilin, namun lebih resisten terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan 2005). Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal yang relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan bakteri Gram negatif lebih resisten terhadap senyawa anti bakteri karena struktur dinding sel bakteri Gram negatif terdiri dari tiga lapis dan lebih kompleks, yaitu terdiri dari lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah
yang
berupa
lipopolisakarida dan
lapisan dalam
berupa peptidoglikan
(Pelczar dan Chan 2005). Pada bakteri Gram negatif, struktur dinding selnya berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10 – 15 nm). Komposisi dinding sel terdiri dari lipid dan peptidoglikan yang berada di dalam lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10 % dari berat kering. Kandungan lipid pada bakteri Gram negatif cukup tinggi yaitu 11-22 %. Bakeri Gram negatif ini umumnya kurang rentan terhadap penisilin dan kurang rentan terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan 2005). Beberapa mikroorganisme menghasilkan zat beracun yang dikenal sebagai toksin. Toksin yang dihasilkan mikroorganisme mungkin disekresikan ke medium disekitanya (eksotoksin) atau disimpan di dalam selnya (endotoksin) sebagai bagian dari sel tersebut. Banyak mikroorganisme terutama bakteri Gram negatif, tidak mengekskresikan toksin terlarut dari sel utuh lagi hidup, tetapi menghasilkan endotoksin yang dilepaskan hanya bila selnya hancur. Dibandingkan dengan eksotoksin, endotoksin relatif lebih stabil terhadap panas tidak membentuk toksoid dan kurang toksik (Dwidjoseputro 1978). 2.4.1. Escherichia coli Escherichia coli (E.coli) termasuk kedalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang, mempunyai ukuran diameter 0,3-1 µm, bersifat anaerob fakultatif, katalase positif dan non motil, mempunyai flagela periterikat (Fadiaz 1992). Lebih dari 95 % komponen sel dari E.coli terdiri dari makronukleus. Jumlah protein mendekati 52 % dan asam nukleat 19 % dari berat kering. Sekitar 3 % dari berat kering terdiri dari komponen
organik
yang
berat
molekulnya
kecil
serta
garam
(Greenwood et al. 1995). Bakteri ini terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, dan dalam rantai pendek, biasanya tidak berkapsul, tidak berspora, motil atau tidak motil, aerobik, seringkali menyebabkan infeksi (Hadioetomo 1982). E. coli merupakan penghuni normal saluran pencernaan (coliform fecal) manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. Bakteri ini juga mengakibatkan banyak infeksi pada saluran pencernaan makanan (enterik) manusia dan hewan (Pelczar dan Chan 1986). Penampang sel bakteri E.coli dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penampang sel bakteri Escherichia coli Sumber: Anonim (2008 e) Escherichia coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan pada saluran usus hewan dan manusia. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran. Kontaminasi bakteri ini pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi E.coli pada makanan berkisar antara 108 - 109 sel (Fardiaz 1992). E. coli merupakan bagian dari mikrobiota normal saluran pencernaan, telah terbukti bahwa galur-galur tertentu mampu menyebabkan gastroenteritis taraf sedang sampai parah pada manusia. Escherichia coli merupakan organisme indikator yang dipakai dalam analisis air untuk menguji adanya pencemeran oleh tinja, pemindahan sebarannya tidak melalui air, melainkan melalui kegiatan tangan ke mulut atau dengan pemindahan pasif lewat makanan atau minuman. Escherichia coli tidak berbahaya dalam usus tetapi bila memasuki kantung kemih dapat menyebabkan sistitis (suatu peradangan pada selaput lendir kantung kemih) (Hadioetomo 1982). Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh E. coli antara lain daging ayam, daging sapi, daging babi, ikan dan makanan hasil laut lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah serta minuman seperti susu
(Fardiaz 1992). E. coli merupakan penyebab utama meningitis pada bayi yang baru lahir dan juga penyebab infeksi tractus urinarius pada manusia yang dirawat di rumah sakit (nosocomial infection) (Greeenwood et al. 1995). Bakteri E. coli tergolong sebagai bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk pangan dengan bahaya sedang dan penyebarannya cepat (ICMSF 1986 dalam Fardiaz 2000). Escherichia coli mengandung enterotoksin dan dapat menyebabkan penyakit diare. Sebagian besar E. coli menyebabkan infeksi saluran kencing, keracunan darah dan radang selaput (Fardiaz 1989). Kisaran suhu pertumbuhan E. coli adalah antara 10-40 oC dengan suhu optimum 37
o
C. Kisaran pH antara 4-9 dengan nilai pH optimum untuk
pertumbuhan adalah 7-7,5 dan pH minimum untuk pertumbuhan E.coli adalah 4,5. Nilai aw minimal untuk pertumbuhan adalah 0,96 (Fardiaz 1989). 2.4.2. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini berbentuk bulat tunggal, berpasangan atau bergerombol dengan diameter 0,5-1,5 µm, tidak berkapsul dan berspora, dan non motil. Bakteri ini bersifat kemoorganotropik dengan tipe metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 10 % dan suhu optimum antara 35-37 oC dan pH 6-7, akan tetapi pada suhu 6,7-45,5 oC serta pH 4,0-9,8 bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan kloramfenikol, tetapi resistan terhadap polimiksin (Pelczar dan Chan 2005). Staphylococcus
aureus
dapat
menyebabkan
penyakit
pneumonia,
keracunan makanan, yaitu dengan cara mengeluarkan enterotoksin yang bersifat tahan panas. Penyakit penemonia biasanya diinfeksikan melalui udara, dan keracunan makanan melalui kontaminasi manusia dan lingkungan yang tercemar (Greenwood et al. 1995). Morfologi S. aureus disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Bakteri Staphylococcus aureus Sumber: Dyer (2008) S. aureus dapat dijumpai pada kulit, selaput lendir, bisul-bisul dan luka-luka.
Bakteri ini sering ditemukan pada produk pangan dengan bahaya
sedang dan penyebarannya terbatas. Ciri-ciri khusus S. aureus penyebab adalah memproduksi enterotoksin yang stabil terhadap pemanasan hingga 100 oC selama beberapa menit, memproduksi toksin epidermolitik yang menyebabkan kulit melepuh dan menghasilkan Toxic Shock Syndrome Toxin (TSST 1) yang menyebabkan kerusakan pada jaringan (Greenwood et al. 1995). Menurut Pelczar & Chan (2005) infeksi Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh : 1) resistensi terhadap fagositosis, resistensi ini pada protein dan bahan kapsul; 2) kemampuan mengatasi sifat antibakterial dalam sel fagosit (intracelular survival). S. aureus mempunyai kemampuan anti bakterial seluler; 3) resistensi terhadap faktor antibakterial dalam serum yang ditengahi oleh koagulasi; 4) penyebaran infeksi dipermudah dengan adanya enzim hialuronidase. Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase, dijumpai pada selaput hidung, kulit, kantung rambut, dapat menyebabkan keracunan makanan, serta komplikasi pada influensa. Peracunan makanan yang umum terjadi karena termakannya toksin yang dihasilkan oleh galur-galur toksigenik S. aureus yang tumbuh pada makanan tercemar. Pada umunya gejala-gejala mual, pusing,
muntah, dan diare muncul 2 sampai 6 jam setelah makan makanan tercemar itu (Hadioetomo 1982).
2.5.
Analisis Fitokimia Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup pada aneka ragam
senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh mahluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologinya. Alasan melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditujukan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). 2.5.1. Alkaloid Alkaloid pada umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sitem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat tropis aktif , kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misal nikotina pada suhu kamar). Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Secara klasik, alkaloid dipisahkan dari tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat
(Harborne
pada Gambar 4.
1987).
Struktur
dari
beberapa
alkaloid
disajikan
Gambar 4. Strukur beberapa alkaloid Sumber: Anonim (2008) 2.5.2. Steroid / Triterpenoid Terpenoid terdiri atas beberapa golongan, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap seperti minyak astiri (C10 dan C15), diterpena (C20), tirtepenoid dan sterol (C30) dan pigmen karotenoid (C40). Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isoprena dan merupakan turunan skualena (C30 asiklik) (Dixon 2007). Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat senyawa, yaitu triterpenoid, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne 1987). Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat
(Harborne 1987). Struktur salah satu jenis triterpenoid (steroid) dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur steroid Sumber: Anonim (2008) 2.5.3. Flavonoid Flavonoid adalah suatu senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Flavonoid memiliki kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon (C), dinama dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6 (Lenny 2006). Menurut strukturnya, semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan Primula. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987). Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita serapan pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mulamula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavanol, khalkon, auron, flavonon dan isoflavon (Harborne 1987). Struktur umum flavonoid disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur umum flavonoid Sumber: Anonim (2008) 2.6. Kloramfenikol Kloramfenikol yang disebut juga chloromycetin merupakan antimikroba bakteriostatik yang efektif menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada spektrum yang luas, baik bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Zat ini masih digunakan secara luas oleh negara-negara dengan pendapatan rendah karena harganya yang murah dan aktivitasnya yang stabil, tetapi negara-negara maju telah melarang penggunaan kloramfenikol sebagai antibiotik karena dapat menyebabkan efek negatif pada kesehatan, yaitu timbulnya penyakit anemia aplastik (Syah et al. 2005). Cara kerja kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan menghambat aktivitas peptidil transferase dari ribosom bakteri dan mengganggu pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol merupakan senyawa yang efektif menembus seluruh jaringan dalam tubuh, termasuk mata, syaraf dan otak (Syah et al. 2005). Gambar 7 menunjukkan struktur kloramfenikol.
Gambar 7. Struktur kloramfenikol. Sumber: Anonim (2008) Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida, yaitu antibiotik bakteriostatik yang tidak membunuh bakteri melainkan hanya menghambat
sintesa protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan pembelahan sel bakteri. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang paling stabil. Zat ini juga cepat dan hampir sempurna diabsorpsi oleh saluran pencernaan (Fardiaz 1992). Darmowandowo dan Kaspan (2009) dalam artikelnya menyebutkan bahwa dosis kloramfenikol yang biasa digunakan adalah 50 mg/kg/hari yang dibagi menjadi empat kali pemberian. Dosis yang biasa diberikan pada laki-laki dewasa ±750 mg yang terbagi menjadi tiga hingga empat kali dalam sehari, dosis tersebut akan menjadi dua kali lipat pada kondisi yang parah. Dosis yang diberikan pada anak-anak, bayi prematur atau bayi yang baru lahir adalah setengah dari dosis yang diberikan pada manusia dewasa, hal ini dikarenakan anak-anak, bayi prematur atau bayi yang baru lahir belum mampu mencerna obat-obatan dengan efektif.