3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
PENGARUH KONFLIK KEHARUSAN AKUNTABILITAS TERHADAP KINERJA KERJA NGO DI INDONESIA M. Yudhika Elrifi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis & Perbankan, Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menganalisis tentang konflik keharusan akuntabilitas di organisasi sektor publik, khususnya Non Govermental Organization (NGO). Penelitian ini memberikan bukti empiris tentang pengaruh konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja kerja aktor akutabilitas NGO di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan tipe keharusan akuntabilitas dan untuk menentukan apakah tekanan keharusan akuntabilitas mempengaruhi kinerja kerja karyawan NGO. Teori institusional, khususnya isomorphisme institusional digunakan sebagai dasar teoritikal untuk penjelasan temuan-temuan lebih lanjut. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mix method) dengan Partial Least Square (PLS) sebagai alat analisisnya dan Thematic Content Analysis (TCA) untuk menganalisis dan menginterpretasi data. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis kuantitatif menunjukkan bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO secara sebagian dipengaruhi oleh konteks kerja persepsian negatif berupa beban kerja dan tekanan kerja. Hasil tersebut terdukung juga dari analisis kualitatif melalui wawancara yang telah dilakukan terhadap para responden penelitian.
PENDAHULUAN Tumbuh dan menjamurnya NGO di Indonesia pada era reformasi merupakan fenomena yang menarik dan menggembirakan bagi perkembangan organisasi sektor publik di Indonesia selain organisasi pemerintahan. Dengan terus bertambahnya jumlah NGO, maka diharapkan organisasi sektor publik dapat berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan masyarakat. Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan penyimpangan sebagian NGO telah menodai reputasi NGO lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi NGO yang mengandalkan kepercayaan publik dalam menjalankan program dan organisasinya. Hasil dari beberapa penelitian melaporkan adanya berbagai penyelewangan dan skandal yang juga menimpa NGO di Amerika dan internasional dalam pengelolaan dana masyarakat, kesejahteraan, dan jasa pelayanan masyarakat (Gibelman dan Gelman, 2001). Dixon dkk. (2006) meneliti akuntabilitas penyaluran dana bergulir oleh NGO lokal untuk memberdayakan kaum miskin di Zambia yang awalnya sukses namun karena membuka cabang dan lemah pengawasan sehingga terjadi manipulasi data atau data fiktif yang merugikan masyarakat. Berdasarkan fenomena-fenomena di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persoalan tata kelola yang baik (good governance) dalam organisasi NGO merupakan hal yang sangat penting dan perlu untuk diterapkan. Dengan diimplementasikannnya tata kelola yang baik, maka diharapkan dapat mewujudkan adanya akuntabilitas dan kinerja NGO yang juga lebih baik. Tidak hanya lembaga pemerintah dan sektor bisnis saja yang dituntut agar mampu menerapkan good goverment dan good corporate governance, organisasi non pemerintah Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1844
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
seperti NGO juga perlu menerapkan prinsip good non-govermental organization sebagai wujud dari akuntabilitas dan pelaporan kinerjanya. Pembahasan mengenai akuntabilitas NGO, telah ditingkatkan secara intensif dalam beberapa tahun terakhir. NGO berusaha untuk menyeimbangkan kinerja terhadap berbagai tuntutan dari forum dan sering bertentangan untuk akuntabilitas (Kim dan Lee, 2010). Penekanan akan pentingnya akuntabilitas mungkin memiliki beberapa manfaat dalam memperkuat kepercayaan lembaga donor dan memastikan keberlanjutan bantuan pendanaan dari mereka. Namun, adanya konflik keharusan akuntabilitas dan beragamnya keharusan akuntabilitas tersebut menjadi tantangan manajerial yang signifikan dalam pencapaian misi organisasi. Selanjutnya, harapan yang beragam antara berbagai pemangku kepentingan terhadap akuntabilitas NGO dapat menghambat pendirian standar tunggal dan menyebabkan tekanan dan permasalahan managemen (Brown, Moore, & Honan, 2001; Greenlee, 1998; Kanter & Summers, 1987), serta mempengaruhi outcome kinerja (Dicke, 2002). Tidak adanya standar efektivitas penting menyisakan pertanyaan sentral terhadap akuntabilitas: Manakah jenis kebutuhan akuntabilitas yang harus didahulukan dari pada yang lain? Apa yang dapat atau harus dilakukan oleh pimpinan NGO ketika dihadapkan dengan arah yang tidak sesuai dengan mandat organisasi atau preferensi publik? (Kim & Lee, 2010). Konflik keharusan akuntabilitas telah diuji secara intensif di organisasi sektor publik (misalnya, Fredericksen & Levin, 2004; Johnston & Romzek, 1999; Koppell, 2005; Radin, 2002; Romzek & Dubnick, 1987) dan secara khusus di NGO (Christensen & Ebrahim, 2006; Ebrahim, 2003; Kearns, 1994; Rubin, 1990). Studi-studi tersebut menyatakan bahwa tekanan akuntabilitas meninggalkan beberapa kerapuhan akuntabilitas, yang dapat mengakibatkan kegagalan pencapaian misi organisasi. Dengan menggunakan analisis kualitatif, studi-studi tersebut menyatakan bahwa efektivitas dalam suatu organisasi dapat terancam oleh tekanan berlebihan terhadap salah satu tipe keharusan akuntabilitas atas yang lain. Hasil penelitian Kim (2005) menyatakan bahwa konflik keharusan akuntabilitas itu sendiri mungkin tidak menjadi permasalahan bagi kinerja aktor akuntabilitas. Tekanan antar hubungan akuntabilitas yang berbeda bertindak sebagai sistem penyeimbang (check and balances) apabila tidak terjadi penekanan berlebihan pada salah satu tipe akuntabilitas, karena dapat menyebabkan tipe akuntabilitas lain yang sama pentingnya menjadi rapuh. Pada penelitian ini konflik keharusan akuntabilitas didefinisikan sebagai kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2010). Dalam konteks organisasi di sektor nirlaba, Kim & Lee (2010) mengemukakan bahwa kinerja dapat didefinisikan sebagai pemenuhan misi organisasi. Menurut Kim dan Lee (2010) diskusi tentang dinamika akuntabilitas selama ini masih lebih banyak berbentuk kualitatif, masih sedikit bukti kuantitatif yang dapat menjelaskan sejauh mana tekanan keharusan akuntabilitas mempengaruhi kinerja kerja individu atau aktor akuntabilitas. Dengan kata lain, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang belum kokoh untuk menjelaskan dampak konflik keharusan akuntabilitasterhadap kinerja aktor akuntabilitas. Oleh karena itu, sangat penting untuk kembali menguji secara empiris pengaruh konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja kerja dengan memasukkan konsep lain yang menghubungkannya.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1845
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Mencermati fenomena yang terjadi dan untuk menguji secara empiris dan lebih mendalam akan adanya tekanan akuntabilitas di NGO, khususnya di Indonesia, maka penulis tertarik untuk meneliti pengaruh konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas dengan memasukan konsep konteks kerja dengan persepsian negatif melalui beban kerja dan tekanan kerja. Model penelitian yang digunakan berdasarkan pengembangan model Kim & Lee (2010) dengan menggunakan tipe-tipe akuntabilitas berdasarkan Johnston & Romzek (1999), yaitu akuntabilitas hirarkikal, akuntabilitas legal, akuntabilitas profesional, dan akuntabilitas politikal. Pengembangan hipotesis untuk melihat pengaruh konflik keharusan akuntabilitas terhadap kinerja kerja NGO dan interpretasi hasil penelitian ini akan dilihat dari teori institusional berdasarkan konsep isomorfisme di NGO dengan harapan bahwa konflik keharusan akuntabilitas berpengaruh terhadap kinerja kerja NGO yang bergantung pada persepsi terhadap konteks kerja. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed method), yaitu metode penelitian yang mengharuskan peneliti menggabungkan teknik penelitian, metode, pendekatan, konsep atau bahasa kuantitatif dan bahasa kualitatif ke dalam suatu bentuk studi tunggal (Johnson & Onwuegbuzie, 2004). Strategi yang digunakan adalah eksplanatori sekuensial (Cresswell & Clark, 2011; 57), yang merupakan desain metode penelitian yang di dalamnya peneliti memulai dengan menjalankan tahap kuantitatif dan diikuti dengan tahap kualitatif. Penggunaan langkah kualitatif ditempuh untuk tujuan menjelaskan hasil awal secara lebih mendalam (Cresswell & Clark, 2011; 81-82). Strategi penelitian eksplanatori sekuensial dalam penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hasil analisis kuantitatif secara lebih mendalam dan juga untuk menangkap fenomena teori institusional yang sesuai dengan praktik NGO. Selain itu, melalui pendekatan integratif diharapkan adanya pemahaman yang lebih baik terhadap fenomena yang terjadi serta dapat menguji hasil penelitian dari pendekatan yang berbeda (Cresswell & Clark, 2011; 81-82) dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Lebih lanjut, eksplanatori sekuensial dapat juga mengeksplorasi hasil yang outlier dan ekstrim ketika menganalisis data kuantitatif pada tahap pertama, kemudian dapat ditindaklanjuti dengan wawancara kualitatif tentang kasus-kasus outlier tersebut agar diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam berdasarkan hasil olah data kuantitatif (Cresswell & Clark, 2011; 71).
Kerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis Teori Institusional Teori institusional telah banyak digunakan untuk menjelaskan fenomena serta memberikan pandangan yang kompleks dan kaya dalam lingkungan organisasi sektor publik (Van Helden, 2005). Menurut Dacin, Goldstein dan Scott (2002) teori institusional merupakan penjelasan populer dan kuat untuk tindakan individu dan organisasi. Menurut teori institusional, organisasi dipengaruhi oleh tekanan normatif, yang kadang-kadang timbul dari sumber eksternal seperti lingkungan, namun juga bisa timbul dari dalam organisasi itu sendiri. Banyak literatur institusional menekankan bahwa struktur dan proses organisasi cenderung menjadi isomorphic dengan norma-norma yang diterima untuk jenis organisasi tertentu (DiMaggio dan Powell, 1983), akibatnya suatu lingkungan melegitimasi cara-cara tertentu dari pengorganisasian. Sebagai contoh, Tolbert dan Zucker (1983) menemukan bahwa dari waktu ke waktu reformasi pelayanan sipil diadopsi karena menjadi simbolis dari pemerintahan yang baik bukan karena tujuan efisien. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1846
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
DiMaggio dan Powell (1983) mengidentifikasi tiga kekuatan isomorfisme. Pertama, isomorfisme koersif (coersive) yang berasal dari pengaruh politik dan masalah legitimasi. Tekanan ini berasal dari tekanan formal dan informal dari organisasi-organisasi lain. Kedua, isomorfisme mimetik (mimetic) yang merupakan hasil dari proses menanggapi lingkungan yang tidak pasti dalam bidang organisasi beroperasi. Ketika ada ketidakpastian, organisasi cenderung untuk meniru orang lain untuk mencapai legitimasi. Ketiga, isomorfisme normatif, (normative) yang biasanya berhubungan dengan profesionalisme. Akuntabilitas dan Competing Accountability Requirement Akuntabilitas NGO, menurut Ebrahim (2003), adalah suatu proses di mana NGO menggangap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Secara operasional, akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). NGO bertanggung jawab atas semua nilai-nilai yang dianutnya, apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya, kepada semua stakeholder (individu atau kelompok sasaran, lembaga donor, sesama NGO, pemerintah dan masyarakat luas). Yang dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang dicapai, keterampilan dan keahlian yang dikembangkan, dll. Cara mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan transparan, mudah diperoleh dan dijangkau oleh masyarakat. Berdasarkan definisi, maka akuntabilitas melingkupi berbagai tipe hubungan dan melayani berbagai kepentingan. Institusi publik diharuskan mempertanggungjawabkan perilaku mereka untuk berbagai tipe forum dalam berbagai cara. Usaha untuk menyeimbangkan akuntabilitas berdasarkan tipe forum dalam berbagai cara menjadi permasalahan yang tidak terselesaikan (Posner, 2000). Usaha menyeimbangkan akuntabilitas menjadi isu kritis karena dapat menyebabkan kerapuhan akuntabilitas yang mungkin berdampak pada kegagalan pencapaian nilai (Kim & Lee, 2010) dan menyebabkan disfungsional akuntabilitas yang berakibat pada stagnansi pencapaian pelayanan dan perubahan organisasi (Caseley, 2006). Penelitian-penelitian di atas mengindikasikan keharusan pencapaiaan berbagai tipe akuntabilitas yang menyebabkan tekanan dan mempengaruhi kinerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2010). Akuntabilitas Hirarkikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Persepsian
Kerja
Hubungan akuntabilitas adalah berdasarkan pada supervisi ketat individu dengan otonomi kerja yang rendah dan kontrol internal. Aktor Akuntabilitas dengan derajat otonomi yang rendah diharuskan mencapai ekspektasi supervisor melalui beragam aturan organisasi dan regulasi, arahan langsung, dan standar kinerja (Kim & Lee, 2010). Hubungan yang mendasari adalah supervisor-subordinat, supervisi langsung dan reviu secara periodik merupakan manifestasi nyata dari akuntabilitas hirarkikal (Romzek, 2000). Evaluasi kinerja individu cenderung bersifat detail dan standar evaluasinya adalah apakah individu berkinerja seperti yang diharuskan. Tekanan akuntabilitas hirarkikal dapat menyebabkan subordinat meluangkan lebih banyak waktu untuk mencapai ekspektasi supervisor dan meninggalkan tugas utama dalam organisasi (Kim & Lee, 2010). Selain itu, derajat otonomi yang rendah mengakibatkan subordinat tidak memiliki kekuatan pengambilan keputusan untuk menentukan prioritas tugasnya (Hansen & Host, 2012) sehingga berdampak pada pengabaian tugas utamanya. Kondisi ini telah menimbulkan dilema etis yang menyebabkan tekanan kerja terhadap aktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1847
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
akuntabilitas (Kim & Lee, 2010). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Hipotesis 1a: Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif terhadap tekanan kerja. Hipotesis 1b: Keharusan akuntabilitas hirarkikal berhubungan secara positif terhadap beban kerja. Akuntabilitas Legal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja Persepsian Akuntabilitas legal tidak mempertimbangkan pengetahuan dan kecakapan aktor akuntabilitas yang menyebabkan bertambahnya beban kerja persepsian karena aktor akuntabilitas harus mencapai ekspektasi eksternal yang tidak sesuai dengan kemampuan aktor akuntabilitas dan kebutuhan institusi (Romzek & Ingraham, 2000). Tekanan terhadap akuntabilitas legal dapat mempengaruhi kinerja kerja persepsian dalam dua cara. Pertama, akan meningkatkan beban kerja persepsian karena pemenuhan kewajiban kontrak selalu menghasilkan dokumen yang cukup banyak dan persyaratan dokumentasi yang berlebihan. Kedua, akan meningkatkan tekanan kerja karena karyawan mungkin menganggap bahwa lembaga bergerak menjauh dari misi tradisional mereka yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat—kepedulian altruistik—dan kepatuhan terhadap standar internal dan lebih mementingkan urusan teknis untuk mencapai tuntutan regulasi pihak eksternal (Kim & Lee, 2010). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Hipotesis 2a: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap tekanan kerja. Hipotesis 2b: Keharusan akuntabilitas legal berhubungan secara positif terhadap beban kerja. Akuntabilitas Profesional Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja Persepsian Akuntabilitas profesional terefleksikan dalam tata kelola kerja yang memberi derajat otonomi tinggi kepada individu yang mendasari pembuatan keputusan mereka pada normanorma yang terinternalisasi terhadap praktik yang tepat. Berdasarkan standar ini individu dihadapkan pada pertanyaan: apakah kinerja kerja mereka adalah konsisten dengan norma yang diturunkan dari sosialisasi profesional, keyakinan personal, budaya organisasi dan pengalaman kerja (Romzek, 2000). Derajat otonomi yang menjadi dasar pembuatan keputusan pada norma internalisasi terhadap praktik yang tepat menghantarkan mereka pada pengambilan keputusan yang tepat pula walaupun tanpa arahan dari supervisor dan atau keharusan regulasi (Ha & Hoch, 1989). Akuntabilitas profesional juga dapat mengurangi beban kerja persepsian dan tekanan kerja persepsian karena aktor yang bersangkutan bekerja untuk pembuatan keputusan dengan pengakuan kepakaran oleh otoritas yang lebih tinggi (Kim & Lee, 2010). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Hipotesis 3a: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif terhadap tekanan kerja. Hipotesis 3b: Keharusan akuntabilitas profesional berhubungan secara negatif terhadap beban kerja. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1848
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Akuntabilitas Politikal Persepsian, Beban Kerja Persepsian, dan Tekanan Kerja Persepsian Keharusan akuntabilitas politikal dapat menyebabkan bertambahnya beban kerja karena pemenuhan ekspektasi lebih dari batas kepakaran dan arahan supervisor (Romzek, 2000). Selain itu, pemenuhan kebutuhan akuntabilitas politikal kepada konstituen juga dapat menyebabkan bertambahnya tekanan kerja karena kebutuhan pemenuhan tanggung jawab yang merefleksikan kebutuhan legitimasi sangat bergantung pada seberapa baik aktor mengantisipasi dan mencapai ekspektasi forum dan apakah aktor akuntabilitas dipersepsikan sebagai rekan kerja oleh mereka (Romzek & Ingraham, 2000). Lebih lanjut, tekanan dari kelompok advokasi dan media lokal juga dapat mengalihkan perhatian aktor akuntabilitas terhadap pencapaian misi organisasi dengan menghabiskan sumber daya yang besar untuk menjaga hubungan baik dengan stakeholders. Dengan kata lain, aktor akuntabilitas dapat mengorbankan misi organisasi yang sebenarnya untuk mencapai tujuan akuntabilitas politikalnya (Kim & Lee, 2010). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Hipotesis 4a: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif terhadap tekanan kerja. Hipotesis 4b: Keharusan akuntabilitas politikal berhubungan secara positif terhadap beban kerja. Beban Kerja Persepsian dan Tekanan Kerja Persepsian Dampak langsung dari tekanan keharusan akuntabilitas adalah akan meningkatkan beban kerja persepsian karyawan karena kecukupan dokumen dan persyaratan pelaporan untuk memenuhi kewajiban kontraktual (Kim & Lee, 2010). Tekanan persepsian terhadap beban kerja antar karyawan dapat memperburuk tekanan kerja, misalnya mereka diwajibkan untuk mengurangi waktu pribadi mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat atau kelompok dampingan untuk menyelesaikan dokumen yang diperlukan. Sebagai contoh, Johnston dan Romzek (1999) menemukan kasus bahwa manajer, meskipun mereka memiliki tingkat komitmen yang tinggi untuk memberikan layanan yang berkualitas akan frustrasi oleh dokumen-dokumen dan persyaratan pendokumentasian, dan mereka mempersepsikan bahwa kepatuhan terhadap kewajiban kontrak dapat membahayakan misi lembaga dalam melayani masyarakat (Kim & Lee, 2010). Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Hipotesis 5: Beban kerja tinggi karyawan berpengaruh positif terhadap tekanan kerja. Beban Kerja Persepsian, Tekanan Kerja Persepsian, Kinerja Kerja Persepsian Tekanan karena keharusan akuntabilitas cenderung menyebabkan melemahnya peran aktor akuntabilitas karena pelaksanaan fungsi administrasi yang berlebihan sebagai akibat keharusan akuntabilitas yang menyebabkan meningkatnya persepsian negatif konteks kerja (Kim & Lee, 2010). Sebenarnya konteks kerja dapat dipersepsikan secara negatif maupun positif. Perbedaan ini berpengaruh terhadap outcome kerja atau kinerja kerja pada level yang berbeda (Lusch & Serpkenci, 1990). Namun demikian, dalam penelitian ini konteks kerja dipersepsikan negatif dalam bentuk tekanan kerja dan beban kerja karena adanya onflik keharusan akuntabilitas (Kim & Lee, 2010). Karyawan-karyawan NGO semakin menghabiskan sejumlah besar waktu mereka pada kegiatan pendokumentasian dan menghasilkan pendapatan dengan mengorbankan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1849
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
pemeliharaan hubungan dengan masyarakat (Kim & Lee, 2010). Tekanan pekerjaan ini cenderung menciptakan disonansi nilai yang dapat menyakiti panggilan profesional atau kewajiban etis mereka untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mereka cenderung memiliki persepsi bahwa pekerjaan mereka tidak dihargai karena mereka dipaksa untuk mengalokasikan waktu yang seharusnya dapat digunakan untuk melayani masyarakat (Light, 2000; Salamon, 2002). Beban kerja persepsian yang tinggi dan tekanan kerja secara bersamaan yang dirasakan antar karyawan dapat secara negatif mempengaruhi persepsi mereka terhadap kinerja. Berdasarkan latar belakang teoretikal dan argumen di atas, maka hipotesis yang dikembangkan adalah: Hipotesis 6a: Beban kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja. Hipotesis 6b: Tekanan kerja berpengaruh secara negatif terhadap kinerja kerja. Model Penelitian (Lihat Gambar 1 terlampir) Metode Penelitian Populasi dan Sampel Penelitian dilakukan di 5 provinsi yang meliputi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Objek penelitian yaitu pegawai pada NGO. Metode pemilihan sampel adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan sampel ini, yaitu semua pegawai yang pernah terlibat dalam proses pemenuhan akuntabilitas secara keuangan dan program terhadap para stakeholder (lembaga donor, pemerintah, perusahaan, individu atau kelompok dampingan, lembaga mitra, masyarakat, dll.), sehingga responden yang dipilih diyakini telah memahami kondisi di dalam organisasi tempat mereka bekerja. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer melalui metode penelitian campuran (mixed method). Penelitian metode campuran secara formal didefinisikan sebagai kelas penelitian yang menuntut peneliti untuk mencampur atau menggabungkan teknik penelitian, metode, pendekatan, konsep atau bahasa kuantitatif dan kualitatif ke dalam studi tunggal (Johnson dan Onwuegbuzie, 2004). Strategi yang digunakan adalah eksplanatoris sekuensial (Creswell, 2010:316), yaitu dengan pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama lalu diikuti dengan pengumpulan dan analisis cara kualitatif (wawancara semiterstruktur) pada tahap ke dua yang dibangun berdasarkan hasil awal kuantitatif. Metode ini digunakan karena apabila cakupan penelitian hanya dijelaskan dengan menggunakan data kuantitatif, maka dikhawartirkan tidak dapat menangkap fenomena teori institusional yang ingin dicapai, selain itu dengan menggunakan satu pendekatan integratif ini supaya mampu memperoleh pemahahaman yang lebih baik serta dapat menguji hasil penelitian dari pendekatan yang berbeda (Creswell, 2010: 307). Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen terdiri dari keharusan akuntabilitas hirarkikal, keharusan akuntabilitas legal, keharusan akuntabilitas profesional dan keharusan akuntabilitas politikal, sedangkan variabel eksogen endogen adalah beban kerja dan tekanan kerja. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah kinerja kerja Variabel Eksogen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1850
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Konflik Keharusan Akuntabilitas Definisi dari konflik keharusan akuntabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan oleh aktor akuntabilitas untuk mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2010). Pengukuran terhadap konflik keharusan akuntabilitas dalam penelitian ini menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Kim & Lee (2010) dan Wang (2002) dengan penyesuaian untuk konteks NGO di Indonesia. konflik keharusan akuntabilitas dalam penelitian ini adalah berdasarkan tipe-tipe akuntabilitas yang diajukan Johnston & Romzek (1999, hal. 387), yang terdiri dari: a. Akuntabilitas Hirarkikal Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas hirarkikal adalah supervisi yang ketat dari otoritas yang lebih tinggi, yang menggunakan seperangkat standar kinerja, peraturan dan aturan internal organisasi, dan instruksi atasan. Pola kerja yang dibangun adalah hubungan antara supervisor-subordinat (Romzek, 2000) yang dalam penelitian ini adalah hubungan antara aktor akuntabilitas di NGO dengan atasannya langsung. b. Akuntabilitas Legal Definisi operasional dari keharusan akuntabilitas legal adalah kinerja NGO secara eksternal diaudit kepatuhannya, yaitu berdasarkan hubungan antara kontrol eksternal dan aktor akuntabilitas. Akuntabilitas legal terjadi antara dua pihak yang otonom (Romzek & Dubnick, 1987). Dalam penelitian ini akuntabilitas legal adalah bentuk keharusan akuntabilitas terhadap penyandang dana (lembaga donor, pemerintah, perusahaan, dll.). Instrumen akuntabilitas legal didasarkan pada instrumen yang dikembangkan oleh Kim dan Lee (2010). c. Akuntabilitas Profesional Keharusan akuntabilitas profesional adalah merujuk pada adanya derajat otonomi yang tinggi dari aktor akuntabilitas dalam pembuatan keputusan dan perbedaan keahlian dan standar kinerja didasarkan pada norma profesional dan praktik-praktik yang berlaku dari rekan kerja atau kelompok kerja. Aktor akuntabilitas harus bertumpu pada kepakaran dan kecakapan untuk menghasilkan solusi yang tepat (Romzek & Dubcick, 1987). Dengan demikian, keharusan akuntabilitas profesioanl dalam penelitian ini adalah tekanan konflik yang berasal dari dalam diri aktor akuntabilitas itu sendiri. d. Akuntabilitas Politikal Akuntabilitas politikal terkait dengan tanggungjawab terhadap konstituen utama NGO seperti lembaga-lembaga mitra, individu dan kelompok dampingan (petani, buruh, perempuan, orang cacat, masyarakat desa) dan masyarakat secara luas. Dalam penelitian ini keharusan akuntabilitas politikal adalah terhaadap konstituen-konstituen di atas. Variabel Eksogen Endogen Beban Kerja Secara umum definisi beban kerja adalah hubungan manusia dengan tuntutan tugas yang diemban dalam lingkup operasional. Hart dan Staveland (1988) mengemukakan bahwa beban kerja merupakan hubungan yang dapat dirasakan antara sejumlah kemampuan mental dalam berproses dengan sejumlah kemampuan mental dalam berproses yang dibutuhkan dalam sebuah pekerjaan. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1851
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Spector dan Jex (1998) menyatakan bahwa beban kerja (workload) adalah salah satu faktor penyebab job stressor. Job stressor mewakili situasi dimana pekerjaan berkaitan dengan faktor-faktor menyimpang karyawan dari fungsi psikologinya ataupun fungsi fisiknya (Beehr dan Newman, 1978). Instrumen beban kerja didasarkan pada instrumen pengukuran Index of Organizational Reaction yang dikembangkan oleh Smith (1976) dalam penelitian Kim & Lee (2010).
Tekanan Kerja Definisi operasional tekanan kerja adalah merujuk pada kondisi kecemasan psikologi individu sebagai konsekuensi peran signifikan untuk mencapai kualitas kerja atau kinerja tertentu (Bedeian & Armenakis, 1981) sebagai dampak dari konflik peran atau ketidakjelasan peran (Fry dkk., 1986). Tetlock (1985) mengemukakan bahwa tekanan akuntabilitas persepsian mempengaruhi kognitif individu dan pernyataan emosional individu. Penelitan Kim & Lee (2010) mendukung dan menunjukan hasil yang sama bahwa salah satu pengaruh konflik keharusan akuntabilitasadalah meningkatnya tekanan kerja. Instrumen tekanan kerja persepsian dalam penelitian ini menggunakan Tension Index yang dikembangkan oleh Lyon (1971) yang terdukung dalam penelitian Kim & Lee (2010). Variabel Endogen Kinerja Kerja Handoko (1996) menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil yang dicapai atau prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan pada suatu organisasi. Amstrong (2004) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai dan atribut (ketrampilan, pengetahuan dan keahlian) dan kompetensi yag dibutuhkan untuk mencapai hasil tersebut yang sasarannya adalah memberi kontribusi untuk pencapaian cita-cita nilai organisasi. Bertambahnya persepsian konteks kerja negatif akan berpengaruh terhadap kinerja kerja aktor akuntabilitas (Kim & Lee, 2010). Kinerja kerja dalam penelitian ini merujuk pada kecakapan atau kemampuan aktor dalam melaksanakan aktivitas secara formal dan diakui sebagai bagian dari aktivitas kerja yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung melalui proses transformasi bahan mentah ke dalam bentuk barang dan pelayanan (London & Sminther, 1997). Pengukuran terhadap kinerja kerja menggunakan item-item pengukuran yang dikembangkan oleh Tsui dkk. (1997). Pengukuran ini tidak konsisten dengan pengukuran yang digunakan dalam penelitian Kim & Lee (2010) karena penelitian tersebut hanya menggunakan indikator tunggal. Adapun rincian mengenai jumlah variabel dan item pengukuran terdapat di Tabel 1 (terlampir).
Metode Analisis Data Pendekatan Kuantitatif Penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS) untuk menguji hipotesis yang diajukan. PLS adalah teknik Structural Equation Modeling (SEM) berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model pengukuran sekaligus pengujian model struktural (Hartono, 2011). Sebagai lawan dari metode SEM berbasis kovarian (misalnya AMOS dan LISREL), PLS menempatkan tuntutan yang minimal pada skala pengukuran, ukuran sampel, distribusi variabel dan distribusi residual (Chin, Marcolin, dan Newsted, 2003). Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1852
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Kemudian juga menurut Hartono (2011) PLS juga bertujuan untuk memprediksi model dalam rangka pengembangan teori yang merupakan alat prediksi kausalitas yang digunakan sebagai pengembangan teori. PLS sangat cocok digunakan untuk penelitian ini, karena karakteristiknya yang mempunyai kombinasi dan model yang kompleks dan dapat memakai ukuran sampel yang relatif kecil untuk mengantisipasi kurangnya tingkat partisipasi (respon rate) dari sampel di NGO yang dituju. Software yang digunakan untuk mengolah data yang telah terkumpul adalah SmartPLS versi 2.0 yang dikembangkan oleh Ringle, C.M/Wende, S./Will, S dan dapat diunduh secara gratis di alamat website http://www.smartpls.de. Pendekatan Kualitatif Menurut Creswell (2010; 329), ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam menganalisis data kualitatif, seperti mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis dengan membuat transkrip wawancara yang disesuaikan dengan sumber informasi. Dasar penentuan responden yang dipilih adalah dengan melihat data outlier, yaitu dalam strategi sekuensial, analisis data kuantitatif pada tahap pertama dapat menghasilkan kasus-kasus ekstrim dan outlier. Setelah analisis ini, dapat ditindaklanjuti dengan wawancara kualitatif tentang kasuskasus outlier tersebut untuk memperoleh pengetahuan tentang mengapa kasus-kasus ini berbeda atau menyimpang dari sampel kuantitatif. Teknik wawancara yang dipakai adalah dengan wawancara semi-terstruktur dan terbuka, sambil merekamnya dengan alat perekam suara (audio recoreder), lalu menstranskripkannya (Creswell, 2010; 274), apabila diperlukan maka peneliti harus mencatat hal-hal khusus atau gagasan-gagasan yg muncul dari hasil transkrip. Selanjutnya, dengan menggunakan analisis tematik yang menurut Braun dan Clarke (2006) merupakan metode analitik kualitatif untuk mengidentifikasi, dan melaporkan pola (tema) yang terdapat di dalam data, selain itu menurut Aronson (1994) analisis tersebut juga berfokus pada tema dan pola yang diidentifikasi dalam penelitian. Lebih lanjut, dengan menganalisis lebih detail melalui proses pengkodean (coding) (bila diperlukan), kemudian hasil data wawancara yang sudah dipisah-pisah tersebut dapat dihubungkan dengan tema atau masalah penelitian yang sedang dibahas dan yang terakhir adalah melakukan interpretasi data dalam bentuk deskripsi hasil. Hasil Penelitian Pendekatan Kuantitatif Pilot Study Dalam rangka pengujian validitas dan realibilitas, kuesioner terlebih dahulu diujicobakan (pilot study) kepada 25 responden pada 20 Oktober 2013. Responden adalah para pegawai NGO pada Yayasan Dian Desa, Yogyakarta. Instrumen yang telah diujicobakan kemudian dianalisis dengan menggunakan software PLS. Hasil dari pilot study (lihat lampiran) menunjukkan bahwa nilai AVE dan Communality masing-masing variabel >0,5. Nilai Composite Reliability masing-masing variabel >0,6. Hasil pilot study juga menunjukan bahwa nilai faktor loading >0,6. Berdasarkan tabel cross loading, dapat disimpulkan bahwa masingmasing indikator yang ada pada satu variabel laten (konstruk) mempunyai faktor loading tertinggi pada konstruk yang dituju dibandingkan dengan nilai yang ada pada konstruk lainnya. Hasil tersebut menunjukan bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel, sehingga layak untuk digunakan lebih lanjut. Pengumpulan Data Kuantitatif Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1853
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pengumpulan data dilakukan secara bertahap dengan menggunakan dua metode, yaitu pengumpulan data kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner penelitian pada masing-masing NGO yang ada di lima Provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dari 325 responden yang dikirimi kuesioner, 211 responden yang mengembalikan, artinya response rate-nya adalah 64,9%. Jumlah kuesioner yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah 203 responden, yang artinya usable respon rate-nya adalah 96% dan jumlah kuesioner yang tidak dapat digunakan adalah sebanyak 122. The usable questionaires kemudian dianalisis untuk mengetahui profil dari para responden. Tabel 2 (terlampir) menunjukkan profil responden yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan, dan masa kerja di masing-masing NGO. Analisis Demografi Analisis demografi merupakan analisis yang dilakukan untuk menguji apakah perbedaan demografi responden mempengaruhi jawaban yang diberikan. Analisis demografi dapat memberikan tambahan penjelasan mengenai hasil penelitian. Ringkasan analisis demografi ditampilkan pada tabel di bawah ini: Berdasarkan hasil analisis variabel demografi sebagaimana yang ditampilkan di tabel 3 (terlampir), variabel usia pada konstruk tekanan kerja, variabel tingkat pendidikan pada konstruk kinerja kerja, variabel masa kerja pada konstruk beban kerja dan variabel masa kerja pada konstruk tekanan kerja mempunyai nilai yang signifikan (>0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan usia mempengaruhi tekanan kerja, perbedaan masa kerja mempengaruhi kinerja kerja dan perbedaan masa kerja mempengaruhi beban kerja dan tekanan kerja responden dalam hal persepsian keharusan akuntabilitas. Kisaran Data Berdasarkan hasil pengolahan data dari 203 responden, maka data deskripsi konstruk berdasarkan 28 item pertanyaan yang valid dengan kisaran teoritis, yaitu Konstruk Akuntabilitas Legal (ALE), dan Tekanan Kerja (TKE) dengan masing-masing 4 item pertanyaan valid, berada pada kisaran teoritis di antara nilai minimal 4 dan nilai maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Profesional (APRO) dengan 5 item pertanyaan valid, berada pada kisaran minimal 5 dan maksimal 20. Konstruk Akuntabilitas Politikal (APO), Akuntabilitas Hirarkikal (AHI), dan Beban Kerja (BKE) dengan masing-masing 3 item pertanyaan valid berada pada kisaran teoritis dengan nilai minimal 3 dan maksimal 15. Selanjutnya, Konstruk Kinerja Kerja (KKE) dengan 6 item pertanyaan valid, berada pada kisaran minimal 6 dan maksimal 30. Semua jawaban yang terlihat dalam kisaran aktual berada di dalam kisaran nilai minimal dan maksimal teoritisnya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jawaban responden terhadap konstruk-konstruk berada pada kisaran teoritisnya. Tabel 4 (terlampir) menunjukkan perbandingan nilai kisaran teoritis dan kisaran aktual secara keseluruhan.
Analisis Data Kuantitatif dan Pengujian Hipotesis Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R² untuk konstruk dependen. Dari tabel 5 (terlampir) terlihat nilai R² untuk konstruk beban kerja adalah sebesar 0.185539, konstruk tekanan kerja sebesar 0.304753, dan konstruk kinerja kerja sebesar 0.167056. Hasil Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1854
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
nilai tersebut berarti bahwa model penelitian yang diajukan dapat menjelaskan variabel konstruk beban kerja sebesar 18,5%, konstruk tekanan kerja sebesar 30,4%, konstruk kinerja kerja sebesar 16,7%, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model yang diajukan. Semakin tinggi nilai R², maka akan semakin baik model prediksi dari model yang diajukan. Parameter uji validitas konvergen dilihat dari skor Average Variance Extracted (AVE) dan communality. Skor masing-masing bernilai >0,5. Hal ini berarti, probabilitas indikator di suatu konstruk masuk ke variabel lain lebih rendah (kurang dari 0,5) sehingga probabilitas indikator tersebut konvergen dan masuk pada konstruk yang dimaksud lebih besar, yaitu di atas 0,5 atau sebesar 50%. Dari tabel 6 di atas terlihat skor AVE tertinggi pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada konstruk beban kerja (0.500935). Dalam penelitian ini, skor AVE untuk semua konstruk adalah >0,5, sehingga konstruk-konstruk tersebut memenuhi syarat skor ideal, namun skor 0,4 masih diberi toleransi (Lai & Fan, 2008; Vinzi dkk., 2010). Skor communality tertinggi terdapat pada konstruk akuntabilitas politikal (0.719854) dan terendah pada konstruk beban kerja (0.500934). Untuk uji validitas diskriminan, parameter yang diukur adalah dengan melihat skor cross loading. Pada tabel 6 (terlampir) terlihat bahwa masing-masing indikator di suatu konstruk di dalam model pengukuran telah memenuhi validitas diskriminan karena masingmasing indikator di suatu konstruk berbeda dengan indikator di konstruk lain dan mengumpul pada konstruk dimaksud dengan skor >0,6. Uji reliabilitas dapat dilihat pada skor composite reliability dengan syarat minimal >0,6 (Hair dkk., dalam Hartono, 2010) dari tabel 7 (terlampir) terlihat skor composite reliability tertinggi pada konstruk akuntabilitas legal (0.899866) dan skor terendah pada konstruk beban kerja (0.749648). Dengan demikian, konstruk penelitian dinyatakan reliabel. Secara umum dapat dinyatakan bahwa instrumen penelitian adalah valid karena telah memenuhi kriteria validitas konvergen dan diskriminan serta dapat diandalkan (reliable) sehingga layak digunakan untuk pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilal T-table dengan nilai Tstatistic yang dihasilkan dari proses bootstrapping dalam PLS. Hipotesis diterima (terdukung) jika nilai T-statistics lebih tinggi daripada nilai T-table dengan tingkat keyakinan 95% (alpha 5 persen), nilai T-table untuk uji hipotesis satu ekor (one-tailed) adalah ≥ 1,64 (Hair et al., 2006 in Hartono, 2010). Dari 11 hipotesis yang diuji, 6 hipotesis terdukung secara statistik karena memiliki nilai T-statistics yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu ≥ 1.64 (alpha 5 persen). 6 hipotesis tersebut adalah 1a (AHI→BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2,264653, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0,306482; hipotesis 2a (ALE→BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.019520, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.278353; hipotesis 3a (APRO→BKE) dengan nilai T-statistic sebesar 1.774100, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.244211; hipotesis 4b (APO→TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 2.661294, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.309035; hipotesis 5 (BKE→TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 3.715839, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.445746; dan hipotesis 6a (BKE→TKE) dengan nilai Tstatistic sebesar 3.145243, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.484807. Selanjutnya, 5 hipotesis yang tidak terdukung secara statistik karena nilai T-statistics tidak lebih tinggi dibandingkan dengan nilai T-table, yaitu ≥ 1.64 (alpha 5 persen). 5 hipotesis tersebut adalah 1b (AHI→TKE) dengan nilai T-statistic sebesar 0.128311, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.017970; hipotesis 2b dengan nilai T-statistic sebesar 0.248222, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar -0.041542; hipotesis 3b dengan nilai T-statistic sebesar 0.435495, dan nilai koefisien Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1855
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
jalur (γ1) sebesar 0.120434; hipotesis 4a dengan nilai T-statistic sebesar 1.581846, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.205240; dan hipotesis 6b dengan nilai T-statistic sebesar 1.510057, dan nilai koefisien jalur (γ1) sebesar 0.219860. Ringkasan hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan PLS dapat dilihat dalam Tabel 8 (terlampir). Pendekatan Kualitatif Pengumpulan Data Kualitatif Pemilihan responden untuk diwawancarai berdasarkan hasil oleh data kuantitatif dengan beberapa syarat atau kriteria yang telah ditetapkan, yaitu (1) berdasarkan hasil olah data yang outlier saja (Creswell, 2010) yang diambil berdasarkan teknik scatter plot, (2) berdasarkan ketersediaan responden untuk diwawancarai yang dapat dilihat pada lembar kesediaan wawancara di kuesioner yang telah disebarkan bersamaan pada saat pengumpulan data kuantitatif, dan (3) berdasarkan ketersediaan responden untuk diwawancarai pada saat dihubungi melalui telepon. Berikut ini sebaran hasil pengolahan data kuantitatif yang memperlihatkan data outlier: Berdasarkan gambar 2 (terlampir) terlihat ada 5 orang responden yang outlier, akan tetapi semua responden tersebut tidak bersedia untuk diwancarai sehingga penelitian ini menggunakan responden yang tidak outlier agar tetap dapat menangkap fenomena isomorfisme yang terjadi. Pemilihan responden juga dipilih berdasarkan wilayah penelitian dengan harapan dapat mewakili populasi. Selanjutnya, ada 4 orang responden yang akhirnya dapat diwawancarai oleh peneliti, yaitu satu orang responden dari NGO yang berada di Provinsi DKI Jakarta, satu responden dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, satu responden dari Provinsi Jawa Tengah, dan satu responden dari Provinsi Jawa Timur. Pemilihan responden tersebut selain dari hasil olah data kuantitatif untuk menentukan jawaban outlier, tetapi juga dipilih secara merata untuk mewakili daerah populasi dengan mempertimbangkan kesediaan responden untuk diwawancarai. Analisis Data Kualitatif Creswell (2010, 275) mengemukakan bahwa dalam menganalisis dan menginterpretasi data kualitatif, model analisis yang umum digunakan adalah dengan mengumpulkan data kualitatif yang merupakan hasil wawancara, menganalisisnya berdasarkan tema atau perspektifperspektif tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Pendekatan yang dipakai untuk menjelaskan data kualitatif yang telah dikumpulkan adalah dengan menerapkan pendekatan naratif dalam menyelesaikan hasil analisis. Berikut ini penjelasan mengenai kinerja kerja aktor akuntabilitas yang dipengaruhi oleh konflik keharusan akuntabilitasdengan persepsian negatif beban kerja dan tekanan kerja pada pegawai NGO. Konflik Keharusan Akuntabilitas Salah satu penyebab timbulnya beban kerja persepsian dan tekanan kerja persepsian secara teoritis adalah konflik yang disebabkan kualitas kerja atau kinerja tertentu yang diperlukan untuk mencapai ekspektasi berbagai tipe forum akuntabilitas (Kim & Lee, 2010), yang menurut Johnston & Romzek, 1999 adalah akuntabilitas hirarkikal, akuntabilitas legal, akuntabilitas, profesional dan akuntabilitas politikal. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan kepada beberapa responden yang pada intinya mendukung pernyataan tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh Direktur Yayasan STAPA Center, Jawa Timur: Saya memahami akuntabilitas adalah mempertanggungjawabkan atas apa yang dipercayakan kepada kami dari seluruh aspeknya.. (1) Kepada orang yg memberikan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1856
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
amanah kepada kami. (2) Kepada beneficieries yang kita sasar (petani tembakau Lampung Timur, Lombok Timur Jember, Lumajang, Jombang, Ponorogo), karena sebenarnya program-program yang dijalankan tidak hanya mengikuti keinginan donor, karena konsep-konsep program itu dari kami. (3) Kepada seluruh staf-staf kami untuk menjaga kepercayaan teman-teman kepada struktur dan managemen yang ada. Selanjutnya, pendapat yang sama juga dikemukakan, antara lain: Direktur Yayasan IRE Flamma, Yogyakarta: Yang berhak menilai akuntabilitas IRE adalah orang-orang atau pihak di luar IRE. Khususnya, yang menjadi beneficeries/mitra dari lembaga tersebut. Jadi, yang berhak mengatakan IRE akuntabel itu, ya disamping warga yang menjadi sasaran programprogram IRE, juga funding yang mendukung pendanaan dari realisasi program-program IRE, maupun jaringan-jaringan IRE yang menyatakan bahwa kinerja IRE itu bagus, dalam arti akuntabel.
Manager Keuangan Yayasan Gita Pertiwi, Solo, Jawa Tengah: Akuntabilitas NGO itu adalah bagaimana NGO mampu mempertanggungjawabkan keuangan maupun program kepada funding dan masyarakat atau pihak lainnya... Kepada: (1) lembaga donor karena memang kita terikat dengan mereka. (2) kepada kelompok dampingan, dan (3) kepada publik.
Deputi Direktur, Yayasan KPPOD, Jakarta: Bahwa dalam menjalankan aktivitasnya ada kesadaran untuk mempertanggungjawabkannya kepada pihak eksternal maupun internal lembaga.. Kalau keharusan ini saya rasa memang lebih banyak kepada pihak-pihak eksternal dalam hal ini mereka yang bekerjasama dengan kita men-support kita maupun terhadap “objek” dari kegiatan kita atau masyarakat yang menjadi fokus kegiatan kita.. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwa berbagai tipe keharusan akuntabilitas yang terjadi di NGO mencerminkan beberapa fenomena isomorfisme institusional. Keharusan akuntabilitas hirarkikal, akuntabilitas legal, akuntabilitas profesional, dan akuntabilitas politikal adalah bentuk isomorfisme normatif yang dibangun atas dasar kesadaran bersama dari seluruh pegawai yang ada di NGO. Fenomena isomorfime normatif merujuk pada shared norms anggota organisasi (Ryan & Purcel, 2004). Elemen normatif lingkungan institusi menyebabkan keserupaan kognitif melalui pelatihan atau seminar, jalur karir, dan konsepsi profesi (Levit & Nass, Dobbin Dkk. (dalam Ryan & Purcell, 2004). Fenomena isomorfisme normatif tersebut tergambarkan melalui hasil wawancara dengan Direktur Yayasan KPPOD, Jakarta: Sebenarnya tidak, karena sesuatu yang wajar ketika pihak-pihak tersebut men-support kita mereka menuntuk akuntabilitas dan itu menjadi kesadaran bersama dari lembaga dan menjadi budaya organisasi kami... Jadi, kita sudah menyadari bahwa adalah suatu konsekuensi logis bahwa kita harus mempertanggungjawabkan apa yang kita terima dan kita tidak keberatan, seperti itu.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1857
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Yayasan IRE Flamma, Yogyakarta: Mempengaruhi jelas (keharusan akuntabilitas), tapi tidak membebani karena memang lembaga punya komitmen untuk akuntabel. Komitmen internal lembaga untuk akuntabel, pararel dengan keinginan funding untuk kita akuntabel (kepada funding).
Hal senada juga disampaikan oleh Manager Keuangan Yayasan Gita Pertiwi, Solo, Jawa Tengah: Kami akuntabel karena memang itu penting sehingga menjadi kesadaran pribadi, bukan karena kewajiban atau paksaan. Karena ada beberapa penyandang dana yang tidak mewajibkan Gita Pertiwi untuk diaudit, tapi ada atau tidak ada kewajiban dari funding untuk diaudit (laporan keuangan) Gita Pertiwi tetap mengadakan audit keuangan lembaga.
Begitu juga yang disampaikan oleh Direktur Yayasan STAPA Center, Jawa Timur:
...Tidak, karena selama ini teman-teman sudah terbiasa sejak awal. Jangankan tanggung jawab dari orang luar, tanggung jawab dari internal saja kita mencoba membiasakan bahwa apapun yang dilakukan harus dipetanggungjawabkan... Bagi kami itu investasi sekaligus nilai-nilai yg kami yakini di lembaga: terbuka, transparan dan akuntabel dan visi misi kami memang mengharuskan itu untuk kita jalankan. Karena, menurut kami itu satu-satunya yang membuat orang percaya kepada kami, berbeda dengan banyak lembaga atau NGO lainnya yang seperti kami mereka punya pilihan lain, kami memilih yang berinvestasinya dengan cara menunjukkan kerja-kerja yang akuntabel..
Beban Kerja dan Tekanan Kerja Akibat Competing Accountability Requirement Dalam konteks organisasi NGO untuk tipe-tipe keharusan akuntabilitas tidak begitu berdampak terhadap tekanan kerja, yaitu suatu kondisi kecemasan psikologi individu sebagai konsekuensi peran signifikan untuk mencapai kualitas kerja atau kinerja tertentu (Bedeian & Armenakis, 1981) dan sebagai dampak dari konflik peran atau ketidakjelasan peran (Fry dkk., 1986). Hal tersebut tergambarkan melalui hasil wawancara dengan Direktur Yayasan STAPA Center, Jawa Timur: .....memang kalau dikatakan tidak sama sekali tidak juga, ada beberapa yang membebani. Dalam konteks isu, misalnya sering-sering juga tidak matching dengan harapan kita. Mereka minta laporan harus cepat-cepat, harus begini-begini, tapi kami bisa mengkreasikannnya. Tapi, jujur saja hal-hal seperti itu misal ada titipan-titipan isu tertentu kadang membebani buat kami. Bagi managemen, dalam konteks administrasi terkadang juga ada donor yg sangat ribet pasti membebani kami dan membuat tidak nyaman, karena kepercayaannya tanggung.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Yayasan IRE Flamma, Yogyakarta: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1858
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Walaupun kemudian membutuhkan energi ekstra (waktu & keuangan) untuk memenuhi itu, misalnya untuk audit eksternal itu kan mesti ada biaya di luar yang dibiayai oleh funding, sehingga dibiayai oleh lembaga...
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Yayasan KPPOD, Jakarta: Beban itu dikatakan mungkin lebih pada beban administratif saja untuk menyediakan laporannya, dsb. yang berbeda-beda itu kadang-kadang tidak menyulitkan tapi memang menbutuhkan effort yang lebih. Misalnya begini, sistem pelaporan keuangan kendala yang paling konkrit: funding A itu mengharapkan ABCDE sedangkan yang lain sampai F dsb. Ketika kita mempunyai standar berbeda tentunya membutuhkan penyesuaian, tetapi pada prinsipnya sudah ada ketentuan dari kita bahwa kita akan menyediakan sesuai yang diharapkan oleh funding kita.
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa konflik keharusan akuntabilitas yang terjadi berdampak terhadap konteks kerja dengan persepsian negatif yang disebabkan oleh adanya keharusan untuk melaksanakan lebih dari satu tipe akuntabilitas dan ketidakmampuan untuk menyeimbangkan antara tipe-tipe akuntabilitas tersebut. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kim (2005) bahwa tekanan antar hubungan akuntabilitas yang berbeda bertindak sebagai sistem penyeimbang (check and balances). Permasalahannya adalah pada penekanan berlebihan pada salah satu set hubungan dari akuntabilitas, karena akan menyebabkan set lain yang sama pentingnya akan menjadi rapuh. Kinerja kerja akibat beban kerja dan tekanan kerja Berkaitan dengan hubungan negatif beban kerja dan tekanan kerja terhadap kinerja kerja, dari hasil analisis secara kuantitatif menunjukkan bahwa tidak ada hubungan negatif anatara kenerja kerja aktor akuntabilitas dan tekanan kerja, sedangkan beban kerja dapat meningkatkan kinerja kerja aktor akuntabilitas. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden-responden yang ada dapat disimpulkan bahwa beban kerja persepsian dan tekanan kerja secara psikologis tidak terlalu mempengaruhi atau hanya sedikit mempengaruhi kinerja aktor akuntabilitas di organisasi NGO. Hal tersebut terlihat dari hasil wawancara dengan Direktur Yayasan STAPA Center, Jawa Timur: Tidak, karena selama ini teman-teman sudah terbiasa sejak awal. Jangankan tanggung jawab dari orang luar, tanggung jawab dari internal saja kita mencoba membiasakan bahwa apapun yang dilakukan harus dipetanggungjawabkan....Tidak hanya soal keuangan... Tidak, memang kalau dikatakan tidak sama sekali tidak juga, ada beberapa yang membebani. Dalam konteks isu, misalnya sering-sering juga tidak matching dengan harapan kita. Mereka minta laporan harus cepat-cepat, harus begini-begini, tapi kami bisa mengkreasikannnya. Tapi, jujur saja hal-hal seperti itu misal ada titipan-titipan isu tertentu kadang membebabni buat kami. Bagi managemen, dalam konteks administrasi terkadang juga ada donor yg sangat ribet pasti membebani kami dan membuat tidak nyaman, karena kepercayaannya tanggung.
Kemudian juga hal tersebut tergambarkan melalui hasil wawancara dengan Direktur Yayasan KPPOD, Jakarta: Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1859
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Sebenarnya tidak, karena sesuatu yang wajar ketika pihak-pihak tersebut men-support kita mereka menuntut akuntabilitas dan itu menjadi kesadaran bersama dari lembaga dan menjadi budaya organisasi kami. Beban itu dikatakan mungkin lebih pada beban administratif saja untuk menyediakan laporannya, dsb. yang berbeda-beda itu kadangkadang tidak menyulitkan tapi memeng menbutuhkan effort yang lebih. Misalnya begini, sistem pelaporan keuangan kendala yang paling konkrit: funding A itu mengharapkan ABCDE sedangkan yang lain sampai F dsb. Ketika kita mempunyai standar berbeda tentunya membutuhkan penyesuaian, tetapi pada prinsipnya sudah ada ketentuan dari kita bahwa kita akan menyediakan sesuai yang diharapkan oleh funding kita.
Hasil wawancara terkait hubungan antara konteks kerja dengan persepsian negatif terhadap kinerja kerja memperlihatkan keterdukungan terhadap hasil penelitian secara kuantitatif. Beban kerja yang dipersepsikan negatif oleh aktor akuntabilitas tidak berdampak terhadap kinerja kerja persepsian aktor akuntabilitas tersebut. Hal ini disebabkan aktor akuntabilitas merasa bahwa akuntabilitas yang diharuskan oleh pihak-pihak yang mendukung kegiatan atau program NGO adalah sebuah komitmen yang muncul dan menjadi kesadaran bagi pegawai NGO. Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Kim & Lee, 2010 yang mengemukakan bahwa konteks kerja dengan persepsian negatif mempengaruhi kinerja kerja persepsian aktor akuntabilitas. Hasil penelitian ini mendukung Dubnick & Yang, 2010 yang menyatakan bahwa keharusan akuntabilitas persepsian adalah bergantung pada rasa individu yang terlibat dalam hubungan akuntabilitas tersebut. Masing-masing individu memiliki persepsi sendiri terhadap hubungan berbagai tipe dan fungsi akuntabilitas dan implikasinya. Kesimpulan, Keterbatasan, dan Implikasi Penelitian Kesimpulan Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dengan menggunakan analisis koefisien jalur, terlihat bahwa kinerja kerja aktor akuntabilitas di NGO provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dipengaruhi oleh konteks kerja dengan persepsian negatif yang berupa beban kerja, namun tidak dipengaruhi tekanan kerja persepsian negatif. Tekanan kerja dengan persepsian negatif berdasarkan hasil penelitian dapat meningkatkan kinerja kerja aktor akuntabilitas. Dengan kata lain, ada hubungan positif antara kinerja aktor akuntabilitas dengan tekanan kerja yang disebabkan persepsian negatif konflik keharusan akuntabilitas. Persepsian beban kerja dan tekanan kerja dipengaruhi oleh konflik keharusan akuntabilitasNGO pada arah dan tingkat yang berbeda-beda bergantung pada persepsian konflik keharusan akuntabilitasaktor akuntabilitas mereka masing-masing. Keharusan akuntabilitas hirarkikal, dan akuntabilitas legal menunjukkan hubungan positif dengan beban kerja, sedangkan akuntabilitas profesional menunjukan hubungan negatif dengan beban kerja. Lebih lanjut, akuntabilitas politikal menunjukkan hubungan positif dengan tekanan kerja. Secara umum dapat dijelaskan bahwa konflik keharusan akuntabilitas yang terjadi karena ketidakmampuan untuk menyeimbangkan keharusan akuntabilitas tersebut menyebabkan makin tinggi beban kerja aktor akuntabilitas yang bersangkutan. Sedangkan tekanan kerja hanya berhubungan secara positif dengan keharusan akuntabilitas politikal. Artinya, apabila aktor akuntabilitas menekankan pada keharusan akuntabilitas politikal lebih dari keharusan akuntabilitas yang lainnya, maka akan meningkatkan persepsian tekanan kerjanya. Terdukungnya hipotesis tersebut mungkin saja lebih disebabkan bahwa dalam Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1860
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
konteks NGO dengan karakter organisasi yang kolegial atau kekeluargaan, maka akan membuat aktor akuntabilitas akan merasakan tekanan persepsian. Hasil olah data kualitatif menunjukkan keterdukungan terhadap hasil olah data kuantitatif. Bentuk-bentuk keharusan akuntabilitas yang digunakan dalam model penelitian terjadi dalam praktik akuntabilitas NGO. Sedangkan konteks kerja dengan persepsian negatif yang dipengaruhi oleh keharusan akuntabilitas adalah beban kerja karena merupakan manifestasi nyata dari pertambahan jumlah pekerjaan. Sedangkan tekanan kerja sebagai bentuk tekanan secara psikologis tidak berdampak signifikan terhadap aktor akuntabilitas. Persepsian konteks kerja secara negatif melalui beban kerja hanya berpengaruh kecil dan temporer terhadap persepsian kinerja aktor akuntabilitas karena adanya kesadaran dari aktor akuntabilitas bahwa mereka memang harus akuntabel ada atau tidak tuntutan atau tekanan akuntabilitas dari stakeholder (lembaga donor, individu atau kelompok dampingan, perusahaan, pemerintah, dll.) Fenomena isomorfisme yang ingin ditangkap dalam penelitian ini terlihat juga dalam hasil olah data kualitatif. Keharusan akuntabilitas hirarkikal, legal, profesional dan politikal dipandang sebagai bentuk kesadaran atau kewajiban yang wajar bagi aktor akuntabilitas. Dengan demikian, isomorfisme normatif terjadi dalam semua bentuk keharusan akuntabilitas. Selanjutnya, hasil olah data kualitatif menunjukkan bahwa isomorfisme koersif dan memetik tidak terjadi di organisasi NGO karena memang sejarah atau latar belakang berdirinya NGO untuk penguatan akuntabilitas kepada pihak-pihak yang telah memberikan mandat pada mereka. Keterbatasan Penelitian Penelitian pada konflik keharusan akuntabilitasdan pengaruhnya terhadap kinerja kerja NGO merupakan penelitian pertama di Indonesia. Penelitian sebelumnya pernah dilakukan di Amerika atas organisasi non-profit di bidang pelayanan kemanusian saja, sehingga penelitian ini memiliki keterbatasn yang akan mempengaruhi hasil penelitian. Adapun keterbatasanketerbatasan tersebut, antara lain: 1.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk variabel tekanan kerja dan kinerja kerja banyak yang dihapus karena cross loading yang rendah. Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk menggunakan instrumen yang berbeda yang dianggap paling sesuai dengan konteks penelitian.
2.
Instrumen untuk variabel akuntabilitas hirarkikal beban kerja hanya menggunakan tiga item pertanyaan. Hal ini menjadi kelemahan apabila dalam pilot study terdapat item pertanyaan yang harus dihapus, maka instrumen tersebut menjadi tidak layak digunakan apabila penelitian menggunakan alat analisis PLS.
3.
Data penelitian ini merupakan hasil dari instrumen yang berdasarkan pada persepsi responden, maka hal ini dapat menimbulkan masalah jika persepsi responden berbeda dengan keadaan sesungguhnya.
Implikasi Penelitian Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi NGO di Indonesia mengenai adanya konflik keharusan akuntabilitasyang terjadi akibat adanya keharusan terhadap berbagai tipe akuntabilitas dengan tidak mempertimbangkan heterogenitas NGO maupun individu yang terlibat di dalamnya. Aktor akuntabilitas dipaksa untuk mencapai ekspektasi berbagai forum akuntabilitas yang mungkin tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas aktor akuntabilitas. Kondisi ini menyebabkan tekanan untuk mencapai kualitas kerja tertentu sesuai ekspektasi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1861
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
forum akuntabilitas ataupun akumulasi jumlah pekerjaan karena ekspektasi-ekspektasi yang berbeda tersebut. Kinerja kerja aktor akuntabilitas hanya dipengaruhi oleh persepsian negatif beban kerja yang disebabkan oleh bertambahnya volume pekerjaan dan beragamnya SOP (standard operating procedure) yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga donor. Secara umum hasil penelitian ini berimplikasi terhadap wacana penentuan tipe akuntabilitas yang tepat bagi tiap organisasi NGO sesuai dengan ekspektasi masing-masing forum (Romzek & Dubnick, 1987). Peningkatan kinerja adalah dampak utama yang seharusnya terjadi karena berbagai bentuk keharusan yang dilaksanakan oleh aktor akuntabilitas (Dubnick, 2005) yang faktanya di organisasi NGO hal tersebut terjadi karena praktik akuntabilitas dilakukan atas dasar kesadaran sejak awal pendirian organisasi NGO tersebut.
Daftar Pustaka Amstrong, M. (2004). Performance management. Setiawan, T. (alih Bahasa). Tugu Publisher. Yogyakarta. Beehr, T.A., & Newman, J. (1978). Job stress, employee health, and organizational effectiveness: A facet analysis, model and literatur review. Personnel Psychology, (31), 665-669. Brown, L. D., Moore, M. H., & Honan, J. (2001). Building strategic accountability systems for international NGOs. Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, 30(3), 569-587. Chin, W., Mancolin, B. L., & Newsted, P. R. (2003). A partial least square latent variabel modelling aproach for measuring interaction effects: result from amonte carlo simulayion and voice mail emotion/adoption study. information system reseach. Vol. 14, No. 2, June, pp. 189-217. Christensen, R. A., & Ebrahim, A. (2006). How does accountability affect mission? The case of a nonprofit serving immigrants and refugees. Nonprofit Management and Leadership, 17(2), 195-209. Creswell, J. W., & Clark, V. P. (2010). Designing and conducting mixed methods research (2nd ed.). California: Sage Publication. Dacin, T. Goodstein, J. Scott, W.R. 2002. Institutional Theory and Institutional Change: Introduction to the Special Research Forum. Academy of Management Journal 45(1). 45-56 Dicke, C. (2002). Ensuring accountability in human service contracting. Public Pruductivity & Management Review, 22: 502-516. DiMaggio, P. J., and W. W. Powell. (1983). The iron cage revisited: Institutional isomorphism and collective rationality in organizational fields. American Sociological Review 48: 147-160. Dixon, Rob, John Ritchie, and Juliana Siwale (2006). Microfinance: accountability from the grassroots. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol.19, No.3. pp.405427. Ebrahim, A. (2003). Making sense of accountability: Conceptual perspectives for Northern and Southern nonprofits. Nonprofit Management and Leadership, 14(2), 191-212. Fredericksen, P. J., & Levin, D. (2004). Accountability and the use of volunteer officers in public safety organizations. Public Performance & Management Review, 27(4), 118143.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1862
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Fry, R. E. (1995). Accountability in organizational life: Problem or opportunity for nonprofits? Nonprofit Management and Leadership, 6(2), 181-195. Gibelman, M., dan Gelman, S. R. (2001). Very public scandals: Non Governmental Organizations in trouble. International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly. 12(1), 49– 66. Greenlee, J. S. (1998). Accountability in nonprofit organizations. Nonprofit Management and Leadership, 9(2), 205-210. Johnston, J. M., & Romzek, B. S. (1999). Contracting and accountability in state medical reform: Rhetoric, theories, and realities. Public Administration Review, 59(5), 383-399. Johnson, R.B., & Onwuegbuzie, A.J. (2004). Mixed methods research: A research paradigm whose time has come. Educational Researcher, Vol. 33, No. 7. pp. 11-26. Handoko T.H. (1996). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE. Yogyakarta. Hansen, J. R., & Host, V. (2012). Understanding the relationship between decentralization organizational decesion structure, job context, and job satisfaction-a survey of dining public managers. Review of Public Personel Administration. 132 (2): 288-308. Hartono, Jogiyanto dan Abdillah Willy. 2010. Konsep dan Aplikasi PLS (Partial Least Square) untuk Penelitian Empiris. BPFE Yogyakarta Hartono, Jogiyanto. 2011. Konsep dan Aplikasi Structural Equation Modeling Berbasiskan Varian dalam Penelitian Bisnis. STIM YKPN Yogyakarta Kanter, R. M., & Summers, D. V. (1987). Doing well while doing good: Dilemmas of performance measurement in nonprofit organizations and the need for multipleconstituency approach. In W. W. Powell (Ed.), The nonprofit sector: A research handbook (pp. 154-166). New Haven, CT: Yale University Press. Kearns, K. P. (1994). The strategic management of accountability in nonprofit organizations: An analytical framework. Public Administration Review, 54(2), 185-192. Kim, S. E. (2005). Balancing competing accountability requirements: Challenges in performance improvement of the nonprofit human service agency. Public Performance and Management Review, 29(2), 145-163. Kim, S.E., & Lee (2010). Impact of competing accountability requirements on perceived work performance. The American Review of Public Administration, 49(1), 100-118. Koppell, J. G. S. (2005). Pathologies of accountability: ICANN and the challenges of “multiple accountabilities disorder.” Public Administration Review, 65(1), 94-105. Lai, Ming-Cheng and Fan, Shih-Liang. 2008. Use of Fit Perception in Employee Behavioral Criteria in Taiwan IT Industry. Business and Information. Volume 5, Issue 1. Available also at, http://academic-papers.org/ocs2/session/Papers/A2/234.doc Light, P. C. (2000). Making nonprofits work: A report on the tides of nonprofit management reform. Washington, DC: Brookings Institution Press. Lusch, R. F., & Serpkenci, R.R. (1990). Personal differences, job tension, job outcomes, and store performance: A study of retail store manager. Journal of Marketing, 85-101. Lyons, T. F. (1971). Role clarity, need for clarity, satisfaction, tension, and withdrawal. Organizational Behavior and Human Performance, 6, 99-110. Radin, B. A. (2002). The accountable juggler: The art of leadership in a federal agency. Washington, DC: CQ Press. Romzek, B. S., & Dubnick, M. J. (1987). Accountability in the public sector: Lessons from the challenger tragedy. Public Administration Review, 47(3), 227-238. Romzek, B. S., & Ingraham, P. W. (2000). Cross pressures of accountability: Initiative, command, and failure in the Ron Brown Plane crash. Public Administration Review, 60(3), 240-253. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1863
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Rubin, H. (1990). Dimensions of institutional ethics: A framework for interpreting the ethical context of the nonprofit sector. In D. Gies, S. Ott, & J. M. Shafritz (Eds.), The nonprofit sector: Essential readings (pp. 211-216). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole. Salamon, L. M. (2002). The state of nonprofit america. Washington, D.C.: Brookings Institution Press. Smith, S. R., & Lipsky, M. (1993). Nonprofits for Hire: The welfare state in the age of contracting. Cambridge, MA: Harvard University. Spector, P. E., & Jex, S. M. (1998). Development of four self-report measures of job stressor and strains: Interpersonal conflict at work scale, organizational constraints scale, workload and physical symptoms inventory: Journal of Occupational Health Pshcology. 3, 356-367. Tolbert, Pamela S. and Zucker Lynne G. 1983. lnstitutional Sources of Change In The Formal Structure of Organizations: The Diffusion of Civil Service Reforms. 1880-1 935."Administrative Science Quarterly 23: 22-39 Van Helden, G.J. 2005. Researching Public Sector Transformation: The Role of Management Accounting. Financial Accountability & Management 21: 99-133 Vinzi, V. Esposito, Chin, W.W., Henseler, J., Wang, H.2010. Handbook of Partial Least Squares: Concepts, Methods and Applications. Springer Handbooks of Computational Statistics Wang, Xiahou. 2002. Assesing Performance Measurement Impact: A study of US Local Government. Public Performance and Management Review. Sage Publications Vol. 26: 26-43 Wolf, J. (1990). Managing change in nonprofit organizations. In D. L. Gies, J. S. Ott, & J. M. Shafritz (Eds.), The nonprofit organization: Essential readings (pp. 241-257). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1864
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
LAMPIRAN-LAMPIRAN Akuntabilitas Hirarkikal
H1a(+) H1b(+)
Bebankerja Persepsian
H2a(+)
H6a(-)
Hira Akuntabilitas Legal
H2b(+) H5(+)
H3a(-) Akuntabilitas Profesional
Kinerja Kerja Persepsian
H3b(-) H6b(-) H4a (+)
Akuntabilitas Politikal
H4b(+)
Tekanan Kerja Persepsian
Gambar 1 Model Penelitian 200 150 100
Series1
50 -
50
100
150
200
250
Gambar 2 Scatter Plot Hasil Olah Data Responden
Variabel Laten
Tabel 1 Variabel-Variabel Model Penelitian Kode Variabel Manifes*
Item
Akuntabilitas Hirarkikal
AHI
AHI1-AHI3
3
Akuntabilitas Legal
ALE
ALE1, ALE2, ALE3, ALE5
4
Akuntabilitas Profesional
APRO
APRO1-APRO5
5
Akuntabilitas Politikal
APO
APO3, APO4, APO5
3
Beban Kerja
BKE
BKE1-BKE3
3
Tekanan Kerja
TKE
TKE1-TKE2, TKE4, TKE5
4
Kinerja Kerja
KKE
KKE2, KKE3, KKE5, KKE6, KKE7, 6 KKE8
* Beberapa variabel telah dihapus karena tidak memenuhi standar skor loading Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1865
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Tabel 2 Profil Responden Penelitian Keterangan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
Laki-laki
114
56,15
Perempuan
89
43,85
Jumlah
203
100
<30 tahun
32
15,76
30-40 tahun
121
59,60
40-50 tahun
40
19,70
>50 tahun
10
04,92
Jumlah
203
100
SMA
17
08,37
S1
173
85,22
S2
13
06,41
Jumlah
203
100
<5 tahun
30
14,63
5-15 tahun
90
43,90
15-25 tahun
65
31,71
>25 tahun
20
09,76
Jumlah
203
100
Jenis Kelamin :
Usia:
Tingkat Pendidikan:
Masa Kerja:
Tabel 3 Ringkasan Analisis Demografi Variabel
Sig.
Demografi
BKE
TKE
KKE
Jenis Kelamin
0.564
0.813
0.697
Usia
0.041
0.002
0.297
Tingkat Pendidikan
0.544
0.473
0.003
Masa Kerja
0.004
0.006
0.010
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1866
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Tabel 4 Perbandingan Nilai Kisaran Teoritis dan Kisaran Aktual Pertanyaan
Kisaran Teoritis
Kisaran Aktual
AHI
3 - 15
3 – 15
ALE
4 - 20
4 – 20
APRO
5 - 25
5 – 25
APO
3 - 15
3 – 15
BKE
3 - 15
4 - 15
TKE
4 - 16
4 – 16
KKE
6 - 30
6 – 30
Tabel 5 Overview Iterasi Algoritma PLS AVE
Composite Reliability
Cronbachs Alpha
Communality
AHI
0.616734
0.827182
0.715282
0.616734
ALE
0.692083
0.899866
0.856790
0.692084
APO
0.719854
0.885152
0.805887
0.719854
APRO
0.599068
0.880770
0.834097
0.599068
BKE
0.500935
0.749648
0.185539
0.504953
0.500934
KKE
0.562971
0.884795
0.167056
0.846184
0.562971
TKE
0.544779
0.826989
0.304753
0.726261
0.544779
R Square*
Catatan: * 0,67 = substansial, 0,33 = moderate, 0,19 = weak. (Chin dalam Henseler, 2009).
Tabel 6 Cross Loadings AHI
ALE
APO
APRO
BKE
KKE
TKE
APO3
0.34620 0.39957 0.85745 0.51557 0.09087 0.24348 0.23565 0 2 6 4 1 9 3
APO4
0.23366 0.33353 0.83138 0.37883 0.08067 0.26645 0.28531 1 6 5 7 4 0 2
APO5
0.28479 0.51624 0.85623 0.44231 0.11130 0.22323 0.24899 6 9 0 3 8 6 8
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1867
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
BKE1
0.25911 0.28469 0.70466 0.56131 0.05175 0.00916 0.00260 0 3 5 7 8 4 9
BKE2
0.77120 0.23430 0.30259 0.01667 0.07107 0.22092 0.50059 4 6 4 7 3 5 5
BKE3
0.00353 0.64147 0.20470 0.22398 0.01900 0.21227 0.27093 1 9 5 2 7 2 7
TKE1
0.08800 0.23846 0.00374 0.20297 0.73736 0.01962 0.01939 7 0 4 9 9 6 8
TKE2
0.07258 0.19464 0.31978 0.78050 0.11689 0.07083 0.12410 8 1 3 2 0 5 5
TKE4
0.01093 0.14243 0.24290 0.02813 0.42867 0.73051 0.03795 8 3 6 5 5 8 9
TKE5
0.07688 0.21838 0.41273 0.13666 0.70182 0.07180 0.00592 2 7 0 6 9 1 2
AHI1
0.70724 0.29819 0.37152 0.62657 0.37347 0.16987 0.06544 0 1 3 1 7 7 4
AHI2
0.75877 0.40504 0.16867 0.43776 0.31845 0.08566 0.06089 4 3 4 2 9 5 3
AHI3
0.87992 0.40620 0.24176 0.48050 0.32501 0.28599 0.04180 9 5 9 1 5 2 2
ALE1
0.42233 0.82003 0.53342 0.53565 0.13736 0.15899 0.02843 0 5 2 3 2 6 6
ALE2
0.53914 0.84579 0.51975 0.51729 0.03540 0.12842 0.09603 9 1 7 6 5 2 0
ALE3
0.31108 0.80990 0.26560 0.22336 0.10545 0.14950 0.13658 5 4 9 7 2 7 6
ALE5
0.34637 0.85121 0.40145 0.45010 0.09723 0.10166 0.14456 2 7 1 8 6 1 8
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1868
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
0.34425 APRO 0.47376 0.38249 0.41205 0.81746 0.10974 0.01090 2 0 3 3 3 1 6 7 0.30752 APRO 0.54029 0.47767 0.47651 0.83155 0.11267 0.04303 1 3 7 7 3 2 5 9 0.29848 APRO 0.42819 0.38460 0.27051 0.74160 0.14105 0.08996 5 0 1 1 3 3 7 8 0.12453 0.04747 APRO 0.37268 0.36440 0.53650 0.62076 0.11444 8 0 9 4 8 5 4 1 0.34896 0.03171 APRO 0.61403 0.34285 0.39168 0.83683 0.22716 3 5 6 2 1 2 5 2
KKE2
0.38601 0.21092 0.24342 0.29460 0.77085 0.01984 0.23377 6 6 7 4 1 8 7
0.25718 0.13965 0.26577 0.33388 0.67201 0.06546 0.16706 KKE5 5 6 5 3 2 9 5
KKE6
0.42508 0.13282 0.21450 0.35257 0.77614 0.35318 0.08303 3 6 6 1 1 0 1
0.33260 0.08939 0.11016 0.17669 0.79324 0.33365 0.06512 KKE7 9 7 5 4 2 3 6 KKE8
0.24837 0.01512 0.30612 0.32929 0.81517 0.34125 0.03527 1 3 5 9 2 3 8
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1869
3rd Economics & Business Research Festival 13 November 2014
Tabel 7 Koefisien Jalur (Path Cooficients; Mean, STDEV, T-Values) Original Standard Sample Tanda Sample Deviation Mean (M) (O) (STDEV)
Standard Error (STERR)
T Statistics (|O/STERR|)
AHI -> BKE
+
-0.306482 -0.303255 0.135333
0.135333
2.264653**
AHI -> TKE
+
0.017970 0.005596
0.140048
0.140048
0.128311
ALE -> BKE
+
0.278353 0.272168
0.137831
0.137831
2.019520**
ALE -> TKE
+
-0.041542 -0.036328 0.167358
0.167358
0.248222
APRO -> BKE -
-0.244211 -0.240505 0.137653
0.137653
1.774100**
APRO -> TKE -
-0.076407 -0.062100 0.175449
0.175449
0.435495
APO -> BKE
+
0.205240 0.190387
0.129747
0.129747
1.581846
APO -> TKE
+
0.309035 0.316115
0.116122
0.116122
2.661294***
BKE -> TKE
+
0.445746 0.439252
0.119958
0.119958
3.715839***
BKE -> KKE
-
-0.467458 -0.484807 0.148624
0.148624
3.145243***
TKE -> KKE
-
0.219860 0.192203
0.145597
1.510057
0.145597
Catatan: *** Sangat signifikan, ** signifikan; 1,64 P<0,05; 2,33 P<0,01 (one tailed) Tabel 8 Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis Hipotesi s
Hubungan
Tanda
Koefisien
t-value
Hasil
H1a
AHI--->BKE
+
-0.306482
2.264653**
Terdukung
H1b
AHI--->TKE
+
0.017970
0.128311
Tidak terdukung
H2a
ALE--->BKE
+
0.278353
2.019520**
Terdukung
H2b
ALE--->TKE
+
-0.041542
0.248222
Tidak terdukung
H3a
APRO-->BKE
-
-0.244211
1.774100**
terdukung
H3b
APRO-->TKE
-
-0.076407
0.435495
Tidak terdukung
H4a
APO--->BKE
+
0.205240
1.581846
Tidak terdukung
H4b
APO--->TKE
+
0.309035
2.661294***
Terdukung
H5
BKE--->TKE
+
0.445746
3.715839***
Terdukung
H6a
BKE--->KKE
-
-0.467458
3.145243***
Terdukung
H6b
TKE--->KKE
-
0.219860
1.510057
Tidak terdukung
Catatan: *** Sangat signifikan, ** signifikan; 1,64 P<0,05; 2,33 P<0,01 (one tailed) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana
1870