1
PENGARUH KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) TERHADAP EFEKTIVITAS PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA BANJAR
Nama Peneliti: Deni Rangga Suparjo (
[email protected]) NPM: 3506120024 Mahasiswa Prodi: Ilmu Pemerintahan STISIP BINA PUTRA BANJAR
ABSTRAK Penelitian ini berjudul Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Banjar. Berdasarkan Penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti, terdapat beberapa masalah di wilayah Kota Banjar, yaitu sebagai berikut: 1. Masih banyak Pedagang Kaki Lima yang berjualan di sekitar tempat-tempat umum yang dianggap strategis antara lain; trotoar, bahu jalan, dan badan jalan sehingga menyebabkan kemacetan bagi pejalan kaki maupun yang pemakai kendaraan. 2. Masih banyak Pedagang Kaki Lima yang belum mematuhi Peraturan Daerah (Perda) Kota Banjar Nomor 20 Tahun 2004 tentang Ketertiban, Kebersihan Dan Keindahan Wilayah Kota Banjar, padahal pihak Pemerintah Kota Banjar telah menyediakan tempatnya. Penelitian ini dikembangkan berdasarkan penelitian tingkat eksplanasi, sedangkan tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan studi lapangan melalui observasi dan angket. Kemudian data yang diperoleh diukur menggunakan skala likert dan dianalisis menggunakan korelasi person product momen untuk menganalisis hubungan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh kesimpulan bahwa terdapat pengaruh kinerja Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Efektivitas penataan pedagang kaki lima yaitu sebesar 25,18 % sedangkan sisanya 52,72 % merupakan faktor lain yang tidak diteliti dan hasil tersebut dinyatakan signifikan atau H0 ditolak dan Ha diterima, artinya ada pengaruh positif antara kinerja satuan polisi pamong praja terhadap efektivitas penataan pedagang kaki lima.
Kata Kunci : Kinerja, Efektivitas, Penataan
2
PENDAHULUAN Dalam sejarah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) senantiasa eksis. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dan selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, selalu terdapat pasal yang mengatur eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja. Ketika zaman terus berubah, keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja selalu dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, sesuai dengan peran strategis Satuan Polisi Pamong Praja dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 255 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa; Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Salah satu tujuan Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) adalah menjamin kepastian hukum, menciptakan, serta memelihara ketentraman dan ketertiban umum. Penegakkan Peraturan Daerah merupakan wujud awal dari terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam implementasinya diperlukan suatu kemampuan untuk menangani berbagai pelanggaran-pelanggaran yang menyangkut ketertiban. Dalam rangka penegakkan Perda, unsur utama sebagai pelaksana di lapangan adalah Pemerintah Daerah. Dalam hal ini kewenangan tersebut diemban oleh Satpol PP. Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai tugas membantu Kepala Daerah untuk menciptakan suatu kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur sehingga penyelenggaraan roda pemerintahan dapat berjalan dengan lancar dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan aman. Dengan demikian, disamping menegakkan Peraturan Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja juga dituntut untuk menegakan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya, yaitu Peraturan Walikota. Setelah dirasakan oleh berbagai kalangan bahwa suatu Peraturan Daerah yang sudah diberlakukan secara efektif tidak pernah disosialisasikan oleh Pemerintah Daerah bersama aparat kepolisian atau instansi terkait, sehingga pemahaman masyarakat dalam memahami pentingnya Peraturan Daerah ini masih sedikit. Namun dilain pihak, penegakkan peraturan seolah-olah tidak memberikan rasa dan kesan keadilan bagi masyarakat. Aparat kadang kala melakukan tindakan setelah pelanggaran tersebut terakumulasi, sehingga dalam penegakannya memerlukan tenaga, biaya, dan pikiran yang cukup berat. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang dihadapi oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan banyak juga resiko yang dihadapai dalam penegakkan Peraturan Daerah, bahkan pelanggaran-pelanggaran tersebut ada juga yang berpotensi besar terhadap timbulnya masalah yang lebih serius yang bisa membahayakan kepentingan masyarakat luas atau kepentingan umum. Tidak jarang penegakkan hukum atas
3
Peraturan Daerah yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dengan tindakan yang cukup “represif” dan terkesan arogan. Untuk memenuhi harapan masyarakat atas upaya perlindungan dan ketertiban, merupakan tantangan tersendiri bagi kelembagaan, khususnya Satuan Polisi Pamong Praja itu sendiri dalam memenuhi tugas pokok dan fungsinya. Di mana perlu didukung oleh kualitas sumber daya optimal, anggaran operasional, dan sarana prasarana Satuan Polisi Pamong Praja yang memadai. Sumber daya manusia, anggaran operasional, dan sarana prasarana aparat memiliki sisi lemah terutama berkenaan dengan manajerial, khususnya pemahaman pendalaman pengetahuan indikator aspek hukum dalam menjalankan tugas-tugas di lapangan. Ketersediaan sumber daya manusia yang maksimal belum dapat dipenuhi dengan baik dalam sistem rekrutmen aparat. Belum adanya standar layanan minimal sampai dengan saat ini menyulitkan ruang gerak petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Sistem tata kerja kelembagaan yang ada masih belum sinergis, di mana menempatkan petugas Satuan Polisi Pamong Praja sebagai ujung tombak dalam menyelesaikan suatu permasalahan pada sisi lainnya, tanpa pelibatan proses sejak awal. Untuk mengoptimalkan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja perlu dibangun kelembagaan yang mampu mendukung terwujudnya kondisi daerah yang tenteram, tertib, dan teratur. Penataan kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja tidak hanya mempertimbangkan kriteria kepadatan jumlah penduduk suatu daerah, tetapi juga beban tugas dan tanggung jawab yang diemban, seperti budaya, sosiologis, serta risiko keselamatan Satuan Polisi Pamong Praja. Untuk itu perlu adanya peningkatan sumber daya manusia bagi pegawai Satuan Polisi Pamong Praja. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu organisasi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia akan mempengaruhi kinerja dari pegawai Satuan Polisi Pamong Praja. Demikian pula dengan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjar Jawa Barat sebagai organisasi yang memiliki Visi “Terwujudnya Ketenteraman dan Ketertiban umum serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap Perda dan peraturan lainnya untuk mewujudkan Kota Banjar yang agamis, mandiri, dan sejahtera dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia,” Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 20 Tahun 2004 tentang ketertiban, kebersihan, dan keindahan dalam wilayah Kota Banjar, diperlukan kinerja Satuan Polisi Pamong Praja yang baik, salah satunya dalam penataan Pedagang Kaki Lima. Menurut Peraturan Daerah ini Pedagang Kaki Lima adalah perorangan yang melakukan penjualan barang–barang dengan mempergunakan bagian jalan atau trotoar dan tempat–tempat untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya. Pada umumnya Pedagang Kaki Lima adalah self-employed, yaitu mayoritas Pedagang Kaki Lima hanya terdiri dari satu tenaga kerja. Keberadaan Pedagang Kaki Lima merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal, sebagai alternatif lapangan pekerjaan bagi kaum urban. Lapangan pekerjaan yang semakin sempit ikut mendukung semakin banyaknya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai Pedagang Kaki Lima.
4
Pedagang Kaki Lima biasanya menjajakan dagangannya di tempat-tempat umum yang dianggap strategis, antara lain: a. Trotoar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, trotoar adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi dari pada jalan tersebut, tempat orang berjalan kaki. Pedagang Kaki Lima (PKL) biasanya beraktivitas di trotoar, sehingga trotoar bukan lagi sebagai tempat yang nyaman untuk pejalan kaki karena sudah beralih fungsi. b. Bahu Jalan, yaitu bagian tepi jalan yang dipergunakan sebagai tempat untuk kendaraan yang mengalami kerusakan berhenti atau digunakan oleh kendaraan darurat seperti ambulans, pemadam kebakaran, polisi yang sedang menuju tempat yang memerlukan bantuan kedaruratan dikala jalan sedang mengalami kepadatan yang tinggi. Dari pengertian di atas, fungsi bahu jalan adalah tempat berhenti sementara dan pergerakan pejalan kaki, namun kenyataanya sebagai tepat pedagang kaki lima beraktivitas. c. Badan Jalan, yaitu lebar jalan yang dipergunakan untuk pergerakan lalu lintas. Jenis dagangan pedagang kaki lima sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana pedagang itu beraktivitas. Jenis dagangan yang ditawarkan Pedagang Kaki Lima dapat dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu: a. Makanan yang tidak dan belum diproses, termasuk di dalamnya makanan mentah, seperti daging, buah-buahan, dan sayuran. b. Makanan yang siap saji, seperti nasi, lauk pauk, dan minuman. c. Barang bukan makanan mulai dari tekstil sampai obat-obatan. d. Jasa, yang terdiri dari beragam aktivitas misalnya tukang potong rambut dan sebagainya. Bentuk sarana perdagangan yang digunakan Pedagang Kaki Lima dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Gerobak atau kereta dorong, yang biasanya digunakan oleh pedagang yang berjualan makanan, minuman, atau rokok. b. Pikulan atau keranjang, bentuk saranan ini digunakan oleh pedagang keliling atau semi permanen. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah dibawa atau berpindah tempat. c. Warung semi permanen, yaitu berupa gerobak atau kereta dorong yang diatur sedemikian rupa secara berderet dan dilengkapi dengan meja dan kursi. d. Kios, bentuk sarana ini menggunakan papan-papan yang diatur sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah bilik, yang mana pedagang tersebut juga tinggal di dalamnya. e. Gelaran atau alas, pedagang menggunakan alas tikar, kain, atau sejenisnya untuk menjajakan dagangannya. Di beberapa kota di Indonesia, keberadaan Pedagang Kaki Lima telah menjadi dilema yang tidak hanya menimbulkan pro-kontra tetapi juga demonstrasi, bentrok antar warga, maupun antara warga dan aparat. Berkenaan dengan hal tersebut Pemerintah Daerah Kota Banjar juga mengalami permasalahan atas keberadaan Pedagang Kaki Lima, dimana bila Pedagang Kaki Lima tidak diatur dan tidak dibina maka akan menimbulkan
5
permasalahan dibidang pembangunan, tata ruang, maupun gangguan ketertiban umum. Untuk mensikapi hal ini, maka Pemda perlu untuk membuat kebijakan berupa Peraturan Daerah yang mengatur keberadaan Pedagang Kaki Lima. Keberadaan Perda sangatlah penting sebab apabila pemerintah sebagai penguasa dalam menjalankan wewenangnya tidak memiliki perangkat hukum yang baik maka dapat terjadi penyalahgunaan wewenang, Keberadaan Pedagang Kaki Lima di wilayah di Kota Banjar menjadi agenda penting Pemerintahan Daerah, karena Pedagang Kaki Lima merupakan salah satu pengusaha sektor informal yang tidak dapat dipisahkan dari kompleksitas pembangunan perkotaan, sebagai sebuah kegiatan yang merupakan kegiatan sektor informal tersebut, memiliki ciri fleksibilitas usaha, dengan modal minimum dan lokasi usaha yang mendekati konsumen, karena ciri-ciri itulah maka usaha di sektor informal ini justru kuat bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi. Sekaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilaksanakan penataan Pedagang Kaki Lima secara bijaksana untuk dapat menata sebuah ruang publik yang optimal sehingga dapat menyediakan ruang aktivitas yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga ruang publik tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya dimana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat menikmati dan melakukan aktivitas diatasnya. Namun demikian kehadiran Pedagang Kaki Lima seringkali tidak memperhatikan dampak terhadap kesesuaian tatanan ruang kota yang telah ada sebelumnya. Sebagai akibatnya adalah munculnya ketidakserasian lingkungan kota, dalam hal ini adalah ruang publik dengan fungsi yang sebenarnya, yang pada gilirannya akan mengurangi nilai terhadap wajah kota pada umumnya dan ruang publik itu sendiri pada khususnya. Hal ini dapat di jumpai dimana–mana kehadiran Pedagang Kaki Lima yang menimbulkan permasalahan Tata Kota dan gangguan ketertiban umum. Selanjutnya jika ditelusuri lebih jauh bahwa terciptanya kinerja Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Banjar yang lebih optimal tidak lepas dari adanya koordinasi yang baik antar berbagai bagian dalam instansi pemerintah itu sendiri dimana koordinasi merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari sebuah organisasi. Sebagai langkah awal agar koordinasi dalam instansi pemerintahan dalam hal ini adalah Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjar berjalan dengan baik, maka harus ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan agar setiap pendelegasian pekerjaan tersebut sesuai dengan sasaran yang diinginkan, mengingat begitu kompleksnya bimbingan atau penyuluhan yang harus diberikan pada masyarakat sebagai pelanggar, maka setiap aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjar perlu meningkatkan kinerjanya sebaik mungkin dengan jalan memanfaatkan sumber daya manusia yang dimilikinya. Namun kenyataanya yang terjadi dalam kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjar kurang optimal, terutama yang berhubungan dengan pelanggaran Perda, karena banyak Pedagang Kaki Lima yang kurang memahami isi Peraturan Daerah tersebut. Hal ini karena pihak Satuan Polisi Pamong Praja kurang memberikan pengarahan ataupun bimbingan pada Pedagang Kaki Lima.
6
Kondisi ini menandakan bahwa fungsi Satuan Polisi Pamong Praja sebagai pelaksanaan penegakkan Perda kurang berjalan optimal sehingga banyak pedagang kaki lima yang melakukan pelanggaran karena kurangnya pembinaan dan penataan terhadap mereka. Berdasarkan hasil observasi awal yang peneliti lakukan di Wilayah Kota Banjar, diduga terdapat masalah yang erat kaitannya dengan Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL), hal ini terlihat seperti: 1. Masih banyak Pedagang Kaki Lima yang berjualan di sekitar tempat-tempat umum yang dianggap strategis antara lain; trotoar, bahu jalan, dan badan jalan sehingga menyebabkan kemacetan bagi pejalan kaki maupun yang pemakai kendaraan. 2. Masih banyak Pedagang Kaki Lima yang belum mematuhi Peraturan Daerah (Perda) Kota Banjar Nomor 20 Tahun 2004 tentang Ketertiban, Kebersihan Dan Keindahan Wilayah Kota Banjar, padahal pihak Pemerintah Kota Banjar telah menyediakan tempatnya. DATA PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANJAR TAHUN 2016 NO KECAMATAN JUMLAH 1 2 3 4
Kecamatan Banjar 83 Orang Pedagang Kaki Lima Kecamatan Pataruman 174 Orang Pedagang Kaki Lima Kecamatan Purwaharja 51 Orang Pedagang Kaki Lima Kecamatan Langensari 122 Orang Pedagang Kaki Lima JUMLAH 430 Orang Pedagang Kaki Lima Sumber: Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjar 2016 Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian sebagai bahan penyusunan skripsi dengan judul; “Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Banjar”.
RUMUSAN MASALAH Identifikasi masalah yang ditetapkan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) di Kota Banjar? 2. Bagaimana Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Banjar ? 3. Berapa besar pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Banjar?
7
TINJAUAN PUSTAKA Dalam menilai Kinerja menurut John Miner (Sudarmanto, 2014: 11) yaitu: 1. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan, kecermatan. 2. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan 3. Penggunaan waktu dalam kerja, yaitu; tingkat ketidak hadiran, keterlambatan, waktu kerja efektif/jam kerja hilang. 4. Kerja sama dengan orang lain dalam bekerja. Untuk mengukur efektivitas kerja menggunakan kriteria ukuran yaitu dalam usaha membina pengertian efektivitas yang semula bersifat abstrak menjadi sedikit banyak mengidentifikasi segi-segi yang lebih menonjol yang berhubungan dengan konsep ini Steers (Edy Sutrisno, 2013: 149), hal-hal yang perlu diperhatikan agar dapat mencapai efektivitas organisasi, baik untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria yang menjadi efektivitas organisasi yaitu sebagai berikut: 1. Produksi (production), produksi barang maupun jasa menggambarkan kemampuan organisasi untuk memproduksi barang ataupun jasa yang sesuai dengan permintaan lingkungannya. Ukuran produksi ini akan meliputi keuntungan penjualan, jangkauan pasar, pelanggan yang dilayani dan sebagainya. 2. Efisiensi (efficiency), ini berhubungan secara langsung dengan keluaran yang dikonsumsikan oleh pelanggan. Agar organisasi bias survival perlu memperhatikan efisiensi. Efisiensi diartikan sebagai perbandingan (rasio) antara keluaran dengan masukan. Ukuran efisiensi melibatkan tingkat laba, modal atau harta, biaya perunit, penyusutan, depresiasi, dan sebagainya. Pernyataan perbandingan antara keuntungan dan biaya. Organisasi sudah bertindak realistis bahwa keuntungan akan diselaraskan dengan kekuatan sumber daya, kelemahan sumber daya, tekanan lingkungan, dan kesempatan lingkungan. 3. Kepuasan (satisfaction), banyak manajer berorientasi pada sikap untuk dapat menunjukan sampai sejauh organisasi dapat memenuhi kebutuhan para karyawannya, sehingga mereka merasakan ke[uasannya dalam bekerja. Hal ini dilakukan manajer dengan pencarian keuntungan yang optimal. Yang dimaksud optimal yaitu pencapaian tujuan yang diselaraskan dengan kondisi organisasi demi kelangsungan usahanya. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan adaptasi. 4. Adaptasi (adavtiveness), kemampuan adaptasi adalah sampai seberapa jauh organisasi mampu menerjemahkan perubahan-perubahan intern dan ektern yang ada, kemudian akan ditanggapi oleh organisasi yang bersangkutan. Kemampuan adaptasi ini sifatnya lebih abstrak disbanding dengan masalah yang lain seperti produksi, keuangan, efesiensi dan sebagainya. Walaupun sifatnya lebih abstrak, tetapi bisa diamati dari hasil penelitian. Jika organisasi tidak bias menyesuaikan diri, maka kelangsungan hidup bisa terancam, Manajemen dapat membuat kebijakan yang dapat merangsang kesiap-siagaan terhadap perubahan.
8
Untuk mendukung keberhasilan implementasi perubahan, paling tidak perlu disadari bahwa harus ada ketidakpuasan terhapat kondisi saat ini. Dengan adanya perubahan diharapkan organisasi bisa berkembang, 5. Perkembangan (development), merupakan suatu fase setelah kelangsungan hidup terus (survive) dalam jangka panjang. Untuk itu organisasi harus bisa memperluas kemampuannya, sehingga bisa berkembang dengan baik dan sekaligus akan dapat melewati fase kelangsungan hidupnya. Usaha pengem,bangan kemampuan tersebut seperti program pelatihan bagi karyawan. Dari pengembangan kemampuan organisasinya baik untuk ini maupun untuk masa yang akan datang. OBJEK DAN METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang dilandasi oleh berbagai teori serta data yang diambil dari lapangan secara objektif. Dengan demikian sebuah penelitian yang baik dan benar harus terlebih dahulu mempersiapkan metode penelitian yang akan dipakai dalam usaha penyelesaian sebuah penelitian lewat data-data dan teori-teori yang diambil dari buku-buku sehingga akan membentuk hasil penelitian yang bermanfaat. Penelitian ini dikembangkan berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi, Sugiyono (2014:11) menjelaskan bahwa “Penelitian menurut tingkat eksplanasi adalah penelitian yang bermaksud menjelaskan kedudukan variabelvariabel yang diteliti serta hubungannya antara satu variabel dengan variabel yang lain”. Sedangkan metode penelitiannya menggunakan metode penelitian kuantitatif yaitu metode yang menggunakan angka–angka. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori danatau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Lokasi penelitian di Wilayah Kota Banjar yang beralamat di Kota Banjar Provinsi Jawa Barat. Kota Banjar adalah sebuah kota dari tatar Pasundan Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota Banjar berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, yaitu dengan Kabupaten Cilacap. Banjar merupakan pintu gerbang utama jalur lintas selatan Jawa Barat. Kota ini sering disebut juga Banjar Patroman. Luas wilayah Kota Banjar sebesar 13.197,23 Ha. Terletak diantara 07 19 -07 26 Lintang Selatan dan 108 26 -108 40 Bujur Timur. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2015 sampai bulan Juli 2016. Menurut Sugiyono (2014: 121), instrument yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrument tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Meteran tersebut tidak valid jika digunakan untuk mengukur berat. Item yang mempunyai korelasi positif dengan kriterium (skor total) serta korelasi
9
yang tinggi, menunjukan bahwa item tersebut mempunyai validitas yang tinggi pula. Pengujian validitas instrument dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Pengujian validitas konstruksi (Construct Validity) b. Pengujian validitas isi (Content Validity) c. Pengujian Validitas eksternal Sugiyono (2014: 121), instrument yang reliable adalah instrument yang bila digunakan beberapa kali mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama. Dengan melalui tahapan pengujian sebagai berikut: a. Test-retest b. Ekuivalen c. Gabungan d. Internal consistency Dalam penelitian ini digunakan analisis data kuantitatif melalui pengolahan data yang ditabulaikan dan dideskripsikan kedalam tabel distribusi frekuensi dengan langkah–langkah sebagai berikut (Sugiyono, 2014:99): 1. Menentukan rentang. 2. Menentukan Interval 3. Menentukan banyaknya kelas/kategori penilaian. 4. Persentase Berdasarkan langkah-langkah diatas maka dapat diketahui hasil penelitian variabel sebagai berikut: Variabel Kinerja (X) terhadap Efektivitas (Y) Skor maksimal :4 x 81 responden = 324 Skor minimal : 1 x 81 responden = 81 Rentang : 324 – 81 = 243 Interval kelas : 243 ÷4 = 60,75 Jika digambarkan dalam bentuk interval kelas akan tampak seperti pada gambar berikut ini: Tidak Pernah
81
Kadang - kadang
141,25
Sering
202
Selalu
262,75
324
10
Dari data tersebut maka dapat ditentukan kategori penilaian untuk semua Variabel, yaitu: Tidak Pernah : 81 ≤ 141,25 Kadang - Kadang : 141,25 ≤ 202 Sering : 202 ≤ 262,75 Selalu : 262,75 ≤ 324 Selanjutnya untuk mengukur persentase dalam distribusi frekuensi, total skor dari masing-masing item pernyataan dapat dipersentasekan dengan perhitungan sebagai berikut: Total Skor x 100 % Skor Ideal Keterangan : Total Skor : Jumlah skor kenyataan untuk masing – masing item dari kedua variabel (total variabel) Skor Ideal : Skor maksimal variabel Dalam mengukur hubungan kedua variabel dan ukuran yang dipakai untuk menentukan derajat atau kekuatan hubungan atau korelasi dari Pengaruh Kinerja Satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP) Terhadap Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Banjar, digunakan model analisis korelasi dengan skala ordinal. Untuk mengetahui korelasi kedua variabel maka dilakukan uji statistik dengan mempergunakan rumus koefisien korelasi product moment yang dinyatakan dengan r. Rumus ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel X terhadap variabel Y dengan menggunakan rumus menurut Sugiyono (2014:183), sebagai berikut: ∑ xy rxy = (∑ x2)-(∑ y2)
Keterangan : rxy = Koefisien Korelasi Product Moment ∑ xy = Jumlah hasil kali dari x dan y ∑x2 = (xi – x) 2 ∑y2 = (yi – y)2 Kemudian untuk memberikan interpretasi seberapa kuat hubungan variabel Kinerja Satuan polisi Pamong Praja (X) Terhadap Penataan Pedagang Kaki Lima (Y) di Pasar Banjar, maka digunakan tabel tingkat koefisien korelasi sebagai berikut:
11
TINGKAT KOEFISIEN KORELASI Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 – 0,199 Sangat rendah 0,20 – 0,399
Rendah
0,40 – 0,599 0,60 – 0,799 0,80 – 1,000 (Sugiyono, 2014: 214)
Sedang Kuat Sangat Kuat
Setelah nilai koefisien diperoleh, untuk selanjutnya adalah menentukan besarnya pengaruh variabel X terhadap variabel Y dengan menggunakan koefisien determinasi menurut Sudjana (1982:244) dengan rumus sebagai berikut: Kd = r2 x 100 % Keterangan : Kd : Koefisien determinasi r : Koefisien korelasi Sedangkan untuk mengetahui tingkat signifikan dari korefisien korelasi, maka penulis menggunakan uji t menurut Sugiyono (2014:230), dengan rumus sebagai berikut: n–2 t=r 1 – r2 Keterangan: t = t hitung n = jumlah sampel r = nilai korelasi Berdasarkan hasil perhitungan uji t tersebut, maka terdapat ketentuan, yaitu: 1. Jika t hitung > t tabel Ho ditolak dan Ha diterima, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel X dan Variabel Y. 2. Jika t hitung > t tabel Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel X dan variabel Y. Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL). Dicari dengan menggunakan koefisien determinasi. Adapun dalam hal ini menurut Sudjana (1982: 244) dengan rumus sebagai berikut: d = (𝑟 2 ) x 100% Keterangan: d: Koefisien determinasi 𝑟 2 : Koefisien determinasi person yang dikuadratkan
12
HASIL PENELITIAN Penelitian dilakukan dengan cara memberikan kuesioner secara langsung ke responden. Responden tersebut adalah Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar. Dalam penelitian ini diambil sampel dari Pedagang Kaki Lima dengan jumlah 81 orang. Kuesioner dalam penelitian ini berjumlah 18 item pertanyaan dengan 8 item pertanyaan untuk variabel kinerja dan 10 item pertanyaan untuk variabel efektivitas. Setelah peneliti menganalisis Variabel (X) Kinerja dan Variabel (Y) Efektivitas, selanjutnya dalam mengukur hubungan kedua variabel dan ukuran yang dipakai untuk menentukan derajat atau kekuatan hubungan atau korelasi dari Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Banjar, digunakan model analisis korelasi. Untuk mengetahui kedua variabel maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan rumus koefisien korelasi product moment yang dinyatakan dengan r. Rumus ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel (X) terhadap Variabel (Y) dengan menggunakan rumus menurut Sugiyono (2014: 183), sebagai berikut: ∑ xy rxy = (∑ x2)-(∑ y2) Keterangan : rxy = Koefisien Korelasi Product Moment ∑ xy = Jumlah hasil kali dari x dan y ∑x2 = (xi – x) 2 ∑y2 = (yi – y) 2 Dengan rumus tersebut, maka dapat dihitung sebagai berikut: Diketahui: ∑x2 : 541,14 ∑y2 : 1194,46 ∑ xy : 710,41 Ditentukan : rxy ? Jawab : ∑ xy rxy = (∑ x2). (∑ y2) 710,41 rxy = (541,14) (1194,46)
13
710,14 rxy = 646370,08 710,14 rxy = 803,97 rxy = 0,883 Jadi korelasi dari hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y) didapat tingkat hubungan sebesar 0,883. Hipotesis yang diajukan dari penelitian ini adalah “Terdapat Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) Di Kota Banjar”. Sehingga apabila Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dipandang baik maka akan mempengaruhi Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Banjar, adapun rancangan pengujian hipotesisnya yaitu sebagai berikut: Ho : r = 0: Tidak Terdapat Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Banjar. Ha : r ≠ 0: Terdapat Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Banjar. Maka dari hasil perhitungan korelasi tersebut diperoleh nilai korelasi Product Moment sebesar 0,883. Selanjutnya untuk dapat memberikan interpretasi seberapa kuat hubungannya, dapat digunakan pedoman dari Sugiyono (2014: 214) seperti table dibawah ini: TINGKAT KOEFISIEN KORELASI Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 – 0,199 Sangat rendah 0,20 – 0,399 Rendah 0,40 – 0,599 Sedang 0,60 – 0,799
Kuat
0,80 – 1,000 Sangat Kuat (Sugiyono, 2014: 214) Berdasarkan tabel diatas, maka koefisien korelasi yang ditemukan sebesar 0,883 termasuk pada kategori sangat kuat. Jika terdapat hubungan yang cukup antara pelaksanaan Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja Terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Banjar. Setelah nilai koefisien diperoleh, untuk selanjutnya adalah menentukan besarnya pengaruh variabel X terhadap variabel Y dengan menggunakan
14
koefisien determinasi menurut Sudjana (1982: 244) dengan rumus sebagai berikut: Kd = r2 x 100 % Keterangan : Kd : Koefisien determinasi r : Koefisien korelasi Dengan rumus tersebut, maka dapat dihitung sebagai berikut: Kd = rx2 x 100% = (0,883)2 x 100% = 0,779 x 100% = 77,9 % Dari perhitungan koefisien diatas, dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dengan Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar yaitu sebesar 25,18 % sedangkan sisanya sebesar 52,72 % merupakan faktor lain yang tidak di teliti seperti Sumber Daya Manusia, Anggaran, Peralatan, dan lain-lain. Kemudian untuk mengetahui tingkat signifikan dari koefisien korelasi dan mengetahui apakah H0 ditolak atau diterima akan dibandingkan antara thitung dan ttabel. Peneliti menggunakan uji t menurut Sugiyono (2014: 230), dengan rumus sebagai berikut: n–2 t=r 1 – r2 Keterangan: t = t hitung n = jumlah sampel r = nilai korelasi Dengan rumus tersebut, maka dapat dihitung sebagai berikut: n–2 t=r 1 – r2 0,883
81-2
t= 1 – 0,8832 0,883
79
t= 1 – 0,779 7,848 t=
15
0,221 = 35,511 Berdasarkan hasil perhitungan uji t tersebut, maka terdapat ketentuan, yaitu: 1. Jika t hitung > t tabel Ho ditolak dan Ha diterima, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel X dan Variabel Y. 2. Jika t hitung > t tabel Ho diterima dan Ha ditolak, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel X dan variabel Y. Selanjutnya hasil dari harga thitung tersebut selanjutnya dibandingkan dengan ttabel. Untuk kesalahan 5% uji dua pihak dan dk = 81 - 2 =79, maka diperoleh ttabel = 7,102. Berdasarkan hasil tersebut dinyatakan bahwa t hitung = 35,511 lebih besar dari ttabel sebesar 7,102 adalah signifikan atau H0 ditolak Ha diterima, artinya ada pengaruh positif antara Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Banjar. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang telah di uraikan peneliti dalam variabel bebas, variabel terikat, dan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Dari hasil analisis data yang bertujuan mengetahui pengaruh kinerja Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar. Dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kinerja adalah bagaimana seseorang diharapkan dapat berfungsi dan berperilaku sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya. Setiap harapan mengenai bagaimana seseorang harus berperilaku dalam melaksanakan tugas berarti menunjukan suatu peran dalam organisasi. Suatu organisasi baik organisasi pemerintah maupun organisasi privat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan harus melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakan oleh sekelompok orang yang berperan aktiv sebagai pelaku untuk mencapai tujuan lembaga atau organisasi yang bersangkutan. Tercapainya tujuan organisasi hanya dimungkinkan karena upaya para pelaku yang terdapat pada organisasi tersebut. Dalam hal ini Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja mencapai skor sbesesar 1475, dengan demikian jika dipersentasekan menjadi 56,90 % dan berada pada kategori sering. Hal ini tersebut menunjukan bahwa Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja sudah baik karena berada diatas nilai rata-rata, walaupun begitu Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjar harus meningkatkan Kinerjanya supaya tujuan organisasi lebih baik lagi. 2. Penataan Pedagang Kaki Lima dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Banjar, namun dalam pelaksanaan tugas tersebut Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dibantu oleh anggotanya yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Daerah No 20 Tahun
16
2004 tentang Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan dalam wilayah Kota Banjar Jawa Barat. 3. Keberhasilan organisasi pada umumnya dapat diukur oleh konsep efektivitas, terdapat perbedaan pendapat diantara yang menggunakannya, baik dikalangan akademis maupun dikalangna praktisi. Pada umumnya efektivitas hanya dikaitkan dengan tujuan organisasi, yaitu laba, yang cenderung mengabaikan aspek terpenting dari keseluruhan prosesnya, yaitu sumber daya manusia. Dalam hal ini Efektivitas penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar mencapai skor 1890, dengan demikian jika dipersentasekan didapat hasil perhitungan bahwa Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar mencapai 58,34 % dan berada pada kategori kadang-kadang. Hal tersebut menunjukan bahwa Efektivitas Penataan sudah cukup karena berada diatas nilai ratarata, walaupun begitu penataan harus lebih di tingkatkan supaya kepuasan masyarakat menjadi lebih baik lagi. 4. Berdasarkan dari perhitungan koefisien determinan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Banjar, yaitu sebesar 25,18 % sedangkan sisanya sebesar 52,72 % merupakan faktor lain yang diteliti dan dari hasi uji thitung 35,511, jika dibandingkan dengan ttabel 7,102 maka lebih besar dari ttabel sehingga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dan kearah yang posotif antara Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar, sehingga dalam pelaksanaan tugas atau kegiatan Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja sangat perlu karena berhubung dengan bagaimana penegak peraturan Daerah memberikan perilaku yang baik, bagaimana Satuan Polisi Pamong Praja memberikan waktu yang efektif dan bekerja sama dengan orang lain dalam meningkatkan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar. Adapun saran-saran yang akan peneliti sampaikan untuk dijadikan bahan masukan bagi objek penelitian adalah sebagai berikut: 1. Kinerja adalah prestasi yang diperoleh oleh seseorang dalam melakukan tugas. Keberhasilan organisasi tergantung pada kinerja para pelaku organisasi yang bersangkutan. Kinerja pada dasarnya adalah produk waktu dan peluang. Tanpa waktu untuk mengejar peluang tersebut bukan apa-apa. Waktu yang tidak kita miliki, yang member peluang, bahkan memiliki sedikit nilai. Ketika kita mulai merekayasa kinerja, kita harus memandangnya dalam suatu konteks nilai. Pada umumnya, kinerja diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang didalam melaksanakan suatu pekerjaan. Oleh karena itu, Kinerja dari Satuan Polisi Pamong Praja sangatlah diperlukan bagi Daerah guna melaksanakan Ketentraman, Ketertiban dan Kebersihan wilayah Kota Banjar. Oleh karena itu, Satuan Polisi Pamong Praja harus selalu melaksanakan Kegiatan Penataan Pedagang kaki lima agar jalanan aman, tidak terjadi kemacetan dan tidak ada lagi Pedagang Kaki Lima yang melanggar Peraturan Daerah.
17
2. Efektivitas mencangkup dari individu dan kelompok. Efektivitas menekankan hasil kerja karyawan atau anggota tertentu dari organisasi, tugas yang harus dilakukan biasanya ditetapkan sebagai bagian dari pekerjaan atau posisi dalam organisasi. Efektivitas kerja diketahui kontribusi dari semua anggotanya. Dalam beberapa hal efektivitas kelompok adalah lebih besar dari jumlah kontribusi tiap-tiap individu. Budaya organisasi itu berpengaruh terhadap efektivitas pekerjaan, terutama karena dalam budaya organisasi ada keterlibatan, konsistensi, adaptasi, dan kejelasan misi. Hal ini mengingat bahwa Satuan Polisi Pamong Praja merupakan bagian yang terdepan dalam melaksanakan seluruh kegiatan Penataan Pedagang Kaki Lima sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsinya agar dapat membuat kenyamanan di masyarakat. Akan tetapi pada kenyataanya masih banyak Pedagang Kaki Lima yang melanggar hukum seperti jualan di trotoar, bahu jalan, dan badan jalan. Hal ini tidak bisa terus di biarkan karena akan mengganggu kenyamanan masyarakat. 3. Pengaruh Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja terhadap Efektivitas Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar sangat signifikan, oleh karena itu Satuan Polisi Pamong Praja harus mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkan segala bentuk kegiatan Penataan Pedagang Kaki Lima serta kepeduliannya terhadap masyarakat. 4. Semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi masyarakat dan kedepannya dapat dijadikan sebagai bahan pedoman Kinerja Satuan Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Banjar serta menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan Efektivitas Penataan di Kota Banjar. Mudah-mudahan bagi para peneliti diharapkan dapat menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya karena masih banyak faktor-faktor lain untuk meningkatkan efektivitas yang belum di teliti
18
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, citra
2000,
Manajemen
Penelitian,
Jakarta:
rieneka
Dessler, Gary. 2009, Manajemen Sumber Daya Manusia Buku 1, Penerbit: Indeks Jakarta Edy Sutrisno. 2013, Budaya Organisasi. Penerbit : Kencana, Prenada Media Groub Gibson, James L, John M. Ivancevich dan James H. Donnelly Jr, 2000. Organizations: Behaviour, Structure and Process, Mc Graw-Hill Companies Inc, Boston. Gomes, Faustino Cardoso, 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit: Andi, Yogyakarta Gie,
1998, Alfabeta
Aktivitas
dan
Efektivitas.
Hasibuan, Malayu. 2009 Manajemen: Dasar Jakarta: Bumi Aksara Hasibuan, Malayu. 2003. Organisasi Aksara, Indrawijaya, aksara
2001.
Efektivitas
dan
Bandung:
Pengertian
Motivasi
Manajemen.
dan
Masalah
Yogyakarta:
Bumi
Jakarta:
Bumi
Lexy J Moleong, 2006, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: Bumi Aksara Mangkunegara, Anwar Prabu, 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Cetakan Ketujuh, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Mathis, Robert L. dan John H. Jackson. 2002 Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Pertama Salemba Empat, Jakarta Moenir. 2000, Kepemimpinan Kerja: Peranan, Teknik dan Keberhasilannya Jakarta: Bina asara Moenir, 2001, Pendekatan
Manusiawi
Dan
Organisasi
19
Terhadap Pembinaan
Kepegawaian, Jakarta: Gunung Agung,
Ndraha, Taliziduhu, 2000. Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penerbit: Rineka Cipta, Jakarta. Rivai, Veithzal. 2005. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Jakarta: Rajawali,cv Rivai, Veithzal. 2003. Performance Appraisal Sistem Yang Tepat Untuk Menilai Kinerja Karyawan Dan Meningkatkan Daya Saing Perusahaan. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada Siagian, Sondang. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara, Siswanto Sastrohadiwiryo. 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administrasi dan Operasional. Jakarta : Bumi Aksara Soekanto, sarjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Sudarmanto, 2014. Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Bandung : Alfabet, cv
Kuantitatif,
Kualitatif
dan
R&D.
Sumaryadi. 2010. Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. Jakarta: Citra Utama Terry, Alumni
2006.
Asas-asas
Manajemen.
Bandung:
PT
Sumber-Sumber Lain Dokumen–Dokumen Undang–undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
20
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor. 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 20 Tahun 2004 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan dalam Wilayah Kota Banjar Peraturan Daerah Kota Banjar Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Satpol PP Laporan Akuntabilitas Kinerja Intansi Pemerintah (LAKIP) Satpol PP Kota Banjar Tahun 2015
Rujukan Elektronik http://www.bkn.go.id / in / peraturan / pedoman / pedoma-penilaianpns.html [23/01/13], Badan Kepegawaian Negara. 2010. Penilaian Kinerja PNS