Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 28, November 2010
Pengaruh Ketebalan terhadap Sifat Optik Lapisan Semikonduktor Cu2O yang Dideposisikan dengan Metode Chemical Bath Deposition (CBD) GERALD ENSANG TIMUDA Pusat Penelitian Fisika – LIPI, Komplek PUSPIPTEK Tangerang, Indonesia E-MAIL :
[email protected]
AKHIRUDDIN MADDU Departemen Fisika – FMIPA, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Indonesia INTISARI : Semikonduktor Cu2O telah dipertimbangkan sebagai material yang digunakan untuk membuat sel surya dengan biaya rendah dan mudah dibuat dengan metode sederhana seperti Chemical Bath Deposition (CBD). Telah dilakukan pelapisan semikonduktor Cu2O di atas gelas preparat dengan metode CBD. Ketebalan lapisan memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat optik material antara lain absorbansi, transmitansi dan konstanta peredaman. Semakin tebal lapisan akan menyebabkan nilai absorbansi dan konstanta peredaman semakin besar, dan nilai transmitansi semakin kecil. Pendugaan band gap menggunakan kurva (αhυ)2 vs. hυ menunjukkan bahwa sampel semikonduktor Cu2O bernilai sekitar 2,35 eV yang bersesuaian dengan penelitian sebelumnya. KATA KUNCI : semikonduktor Cu2O, chemical bath deposition (CBD), absorbansi, transmitansi, optical band gap ABSTRACT : Cu2O semiconductor material has been considered as the material used to build solar cell with low cost and easy to make using simple method such as chemical bath deposition (CBD). Coating of the semiconductor has been made on glass substrate with this method. The thickness of the film influence several optical characteristics such as absorbance, transmittance and attenuation constant. The thicker the film resulting in the value of absorbance and attenuation constant became bigger, and the value of transmittance became smaller. The band gap estimation using (αhυ)2 vs. hυ curve shows that the band gap of the samples are about 2.35 eV, in accordance to the previous research. KEYWORDS : semiconductor Cu2O, chemical bath deposition (CBD), absorbance, transmittance, optical band gap.
1 PENDAHULUAN Kebutuhan manusia akan energi sangat besar, cadangan minyak bumi diperkirakan akan habis dalam abad ini. Kebutuhan energi di bumi diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun ini, sehingga akan terjadi kekurangan energi yang besar, kecuali energi terbaharukan bisa menutupi kekurangan pokok yang ditinggalkan oleh bahan bakar fosil (minyak bumi). Untungnya, pasokan energi dari matahari ke bumi sangat besar : 3 x 1024 Joule setahun atau sekitar 10.000 kali konsumsi populasi global saat ini. Dengan kata lain, andaikan kita dapat menutupi 0,1% permukaan bumi dengan sel surya yang memiliki efisiensi 10%, maka kebutuhan energi saat ini akan terpenuhi.[1] Karena itulah, studi tentang sel surya selalu menarik untuk dipelajari. Semikonduktor Cuprous Oxide, Cu2O, merupakan salah satu semikonduktor paling ‘tua’ yang pernah dikenal. Semikonduktor ini telah dipertimbangkan sebagai material yang menjanjikan untuk pembuatan aplikasi sel surya dengan biaya rendah.[2] Sebagai material sel surya, cuprous oxide memiliki keuntungan biaya pembuatan yang rendah dan ketersediaan yang tinggi. Khususnya, karena ia mudah dihasilkan dari tembaga, dan karenanya, merupakan salah satu material semikonduktor yang paling ‘tidak mahal’ dan paling tersedia untuk sel surya. Cuprous oxide memiliki band gap sekitar 2,0 eV yang merupakan rentang yang bisa diterima untuk konversi energi surya, karena semua semikonduktor dengan band gap antara 1 eV dan 2 eV adalah material yang disukai untuk sel photovoltaic[2]. Karakterisasi optik merupakan salah satu metode karakterisasi yang digunakan pada material, terutama material semikonduktor. Beberapa sifat optik yang berguna bisa didapatkan dari karakterisasi optik ini, antara lain absorbansi, transmitansi, koefisien peredaman, dan band gap. Penentuan nilai band gap merupakan salah satu langkah penting karena menjadi salah satu parameter utama dalam menentukan aplikasi yang sesuai untuk suatu material semikonduktor.
2. METODOLOGI Lapisan semikonduktor Cu2O ditumbuhkan pada substrat gelas preparat. Tiga buah gelas preparat dibersihkan dengan membasuhnya menggunakan air aquades, mencelupkannya ke dalam larutan H2SO4 1M selama + 10 menit dan membilasnya menggunakan air aquades. Larutan NaOH 1M sebanyak 100 ml disiapkan ke dalam gelas pyrex, yang kemudian disebut larutan A dan dipanaskan sampai + 70 0C. Larutan 1
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 28, November 2010
B, yaitu larutan kompleks tembaga tiosulfat (3Cu2S2O3.2Na2S2O3),[8] disiapkan dengan mencampur 1 M natrium tiosulfat (Na2S2O3) sebanyak 125 ml dengan 1 M larutan tembaga sulfat (CuSO4) sebanyak 25 ml. Hasil dari percampuran ini diencerkan dengan air aquades sebanyak 250 ml.[7] Setengah dari larutan B dipergunakan untuk deposisi. Proses deposisi dilakukan dengan mencelupkan ketiga gelas preparat yang telah dibersihkan secara bergantian ke dalam larutan A selama + 20 detik dan larutan B selama + 20 detik tanpa ada jeda waktu antara kedua pencelupan. Dengan melakukan langkah ini berarti 1 siklus telah dlakukan (Gambar 1). Percobaan dilakukan dengan mengulang siklus sebanyak 10 x untuk sampel 1, 20 x untuk sampel 2, dan 30 x untuk sampel 3. Semakin banyak pencelupan, semakin tebal lapisan yang terbentuk. Tiap pencelupan sebanyak 10 siklus, ketebalan bertambah sebesar ≈ 0,15 µm.[8] Sehingga, akan didapatkan sampel dengan urutan ketebalan sebagai berikut: ketebalan lapisan sampel 1 < ketebalan lapisan sampel 2 < ketebalan lapisan sampel 3. Penelitian sifat optik dilakukan dengan melewatkan sumber cahaya polikromatis (putih) ke lapisan semikonduktor, kemudian menangkap cahaya yang ditransmisikan dengan serat optik untuk kemudian diteruskan dan diolah oleh spektrofotometer Ocean Optic USB 2000. Spektrofotometer ini terhubung ke komputer sehingga melalui perangkat lunak khusus, data bisa diekstrak dan diolah lebih lanjut menggunakan Microsoft Office Excell (Gambar 2). Prosedur pengambilan data adalah pertama kali merekam data intensitas referensi (I0), yang dalam hal ini adalah intensitas transmisi gelas preparat, kemudian merekam data intensitas gelap/background (ID) dan terakhir merekam data intensitas transmisi sampel (I). Nilai absorbansi (A) ditentukan berdasarkan persamaan:[6,10,12]
I ID A log 0 I ID
(1)
Ocean Optic USB 2000
Sample holder
Gambar 1. Bagan Chemical Bath Deposition
Gambar 2. Bagan setup karakterisasi optik
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Absorbansi Secara umum nilai absorbansi untuk semua sampel menurun untuk panjang gelombang yang lebih besar, yang merupakan karakteristik penyerapan pada semikonduktor Cu2O. Semakin tebal sampel, terjadi kenaikan nilai absorbansi pada semua panjang gelombang (Gambar 3). Hal ini dikarenakan semakin tebal sampel berarti semakin banyak lapisan yang terbentuk, sehingga semakin banyak molekul Cu2O yang terlibat dalam proses penyerapan cahaya tampak. Sehingga, nilai absorbansi (untuk penyerapan pada panjang gelombang yang sama) akan lebih besar pada sampel yang lebih tebal. Pada pengamatan absorbansi pada panjang gelombang 650 nm, dilakukan perbandingan nilai absorbansi untuk kesemua sampel. Dengan mengambil sampel 1 sebagai acuan, didapatkan kenaikan relatif nilai absorbansi sampel 2 sebesar 308,33% dan sampel 3 sebesar 527,08 % (Tabel 1). 3.2. Transmitansi Transmitansi (T) merupakan perbandingan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan (dilewatkan) oleh sampel dibandingkan dengan intensitas referensi. Nilai transmitansi bisa pula diturunkan dari nilai absorbansi melalui persamaan berikut:[12] A = – log T atau 2
(2a)
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 28, November 2010
T = 10 –A.
(2b)
Tabel 1. Perbandingan relatif nilai absorbansi sampel 1,2 dan 3 pada panjang gelombang 650 nm
Gambar 3. Kurva Absorbansi Sampel 1,2 dan 3 Dengan menggunakan Persamaan (2b) di atas, didapatkan kurva hubungan antara transmitansi terhadap panjang gelombang seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Secara umum, semakin besar ketebalan lapisan menyebabkan transmitansi menjadi semakin mengecil. Hal ini disebabkan semakin tebal lapisan berarti semakin banyak molekul yang terlibat dalam penyerapan energi cahaya yang diberikan, sehingga semakin sedikit fraksi energi yang bisa dilewatkan. Akibatnya semakin kecil nilai transmitansinya. Pada pengamatan pada panjang gelombang 650 nm, terjadi penurunan nilai transmitansi sampel 2 dan sampel 3 relatif dibandingkan nilai transmitansi pada sampel 1 sebagai acuan (Tabel 2). Pada sampel 2 nilai transmitansi relatif turun menjadi 79,43% transmitansi sampel 1, sedangkan pada sampel 3 nilai transmitansi relatif turun menjadi 62,37% transmitansi sampel 1. Tabel 2. Perbandingan relatif nilai transmitansi sampel 1,2 dan 3 pada panjang gelombang 650 nm
Gambar 4. Kurva Transmitansi Sampel 1,2 dan 3 3.3. Konstanta Peredaman Jika gelombang cahaya mengenai suatu material, maka intensitas gelombang cahaya tersebut akan diredam / mengalami atenuasi pada jarak yang pendek. Amplitudo gelombang akan berkurang secara eksponensial. Pengurangan intensitas ini berbeda untuk material yang berbeda. Contohnya pada logam pengurangannya kuat, tetapi kurang kuat untuk material dielektrik seperti gelas.[5] Salah satu parameter untuk mengetahui efek peredaman tersebut adalah konstanta peredaman. Konstanta peredaman (k) didapatkan melalui persamaan:[5]
k
4
(3)
3
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 28, November 2010
dengan α adalah koefisien absorbsi yang merupakan fungsi terhadap absorbansi (A), yang didapatkan melalui persamaan:[6]
2,303 A / d
(4)
dengan d adalah ketebalan lapisan. Dengan menggunakan Persamaan (3) dan (4) di atas, didapat hubungan antara konstanta peredaman terhadap panjang gelombang cahaya yang diterima sampel yang ditampilkan pada Gambar 5. Semakin tebal lapisan membuat konstanta peredaman semakin besar. Hal ini karena semakin tebal lapisan semikonduktor yang terdeposisi menyebabkan semakin banyak molekul yang berperan dalam proses penyerapan cahaya. Sehingga, semakin banyak fraksi energi yang bisa diserap yang tercermin dalam nilai konstanta peredaman yang semakin besar. Pada pengamatan konstanta peredaman pada panjang gelombang 650 nm, terjadi kenaikan nilai konstanta peredaman pada sampel 2 dan 3 dibandingkan sampel 1 sebagai acuan (Tabel 3). Pada sampel 2, nilai konstanta peredaman naik menjadi 308,33% konstanta peredaman sampel 1, sedangkan pada sampel 3 nilai konstanta peredaman menjadi 527,08% nilai konstanta peredaman sampel 1.
Tabel 3. Perbandingan relatif konstanta peredaman sampel 1,2 dan 3 pada panjang gelombang 650 nm
Gambar 5. Kurva Konstanta Peredaman Sampel 1,2 dan 3 3.4. (Optical) Band Gap Band gap atau pita terlarang adalah daerah energi yang memisahkan level energi konduksi dan valensi dari suatu material semikonduktor.[4] Jika suatu material semikonduktor intrinsik diberi energi yang lebih besar daripada nilai band gap ini maka elektron yang terdapat pada level valensi akan mampu melewati pita terlarang untuk menuju pita konduksi. Pengetahuan tentang nilai band gap ini sangat perlu didapatkan untuk mengetahui seberapa besar energi yang diperlukan untuk mengeksitasi elektron dari pita valensi menuju pita konduksi. Dengan demikian, aplikasi terbaik untuk material ini bisa didapatkan. Salah satu metode untuk mengetahui nilai band gap adalah dengan menggunakan karakterisasi optik, dengan memanfaatkan kurva hubungan antara (αhυ)2 vs. hυ berdasarkan persamaan:[2,6]
ahv A(hv Eg ) n / 2
(5)
dengan A adalah konstanta dan n adalah bilangan yang bergantung sifat transisi. Dalam hal ini n bernilai 1 yang mengacu pada transisi langsung dari pita valensi ke pita konduksi.[2,6] Dengan mengambil garis linear sehingga berpotongan dengan sunbu X (sumbu hυ) maka dapat dilakukan dugaan terhadap nilai band gap pada titik potong tersebut (Gambar 6). Pada sampel 1, 2 dan 3 nilai dugaan band gap tidak berbeda yaitu sekitar 2,35 eV. Hal ini mengindikasikan tidak terdapatnya pengaruh ketebalan terhadap nilai band gap. Hasil yang didapatkan ini bersesuaian dengan penelitian sebelumnya tentang band gap material semikonduktor Cu2O yaitu sekitar 2 eV; 2,1 eV; 2,2eV; 2,35 eV dan 2,45 eV.[8] 4. KESIMPULAN Ketebalan lapisan memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat optik material antara lain absorbansi, transmitansi dan konstanta peredaman. Semakin tebal lapisan akan menyebabkan nilai absorbansi dan 4
Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi TELAAH
Volume 28, November 2010
konstanta peredaman semakin besar dan nilai transmitansi semakin kecil. Sementara itu, nilai dugaan bandgap dari sampel 1, 2 dan 3 bernilai sama, yaitu sekitar 2,35 eV. Jika dibandingkan pada daerah panjang gelombang 650 nm, nilai absorbansi pada sampel 1, 2 dan 3 secara berturut-turut sebesar 0,048; 0,148 (308,33% absorbansi sampel 1) dan 0,253 (527,08% absorbansi sampel 1). Nilai konstanta peredaman pada sampel 1, 2 dan 3 secara berturut-turut sebesar 1,27 x 10-11; 3,92 x 10-11 (308,33 % konstanta peredaman sampel 1) dan 6,67 x 10-11 (527,08% konstanta peredaman sampel 1). Nilai transmitansi sampel 1, 2 dan 3 secara berturut-turut sebesar 89,54%; 71,12% (79,43% transmitansi sampel 1) dan 55,85% (62,37% transmitansi sampel 1).
Gambar 6. Penentuan Band Gap pada Sampel 1,2 dan 3 DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4]
[5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13]
M. Gratzel, Nature 414, 338 (2001) V. Georgieva dan A. Tanusevski, BPU-5: Fifth General Conference of the Balkan Physical Union, Vrjačka Banja, Serbia Montenegro, 2003, hlm. 2311 – 2315. M. Abdullah, Pengantar Nanosains (Penerbit ITB, Bandung, 2009) G. Wolfbauer, The Electrochemistry of Dye Sensitized Solar Cells, their Sensitizers and their Redox Shuttles (Thesis, Department of Chemistry . Monash University Clayton 3168 Melbourne, Australia), hlm. 9 – 13 R.E. Hummel, Electronic Properties of Materials (Springer Science+ Bussines Inc: Amerika Serikat, 2001), Ed. 3 M.Y. Nadeem dan W. Ahmed, Turk J Phy 24, 651 (2000) P. Petrov et al., Journal of Optoelectronics and Advanced Material 5(5), 1101 (2003) N. Serin, Semicond. Sci. Technol. 20, 398 (2000) M. Ristov et al., Chemical deposition of Cu2O thin film (Elsevier Sequoia, Netherland) USB 2000 Fiber Optic Spectrometer Operating Instructions (Ocean Optic, Inc., USA, 2003) J. Medina-Valtierra et al., Thin Solid Films 460, 58 (2004) H.H. Willard et al., Instrumental Methods of Analysis (Wadsworth Publshing Company: Belmont, California, Amerika Serikat, 1988), Ed. 7 E. Hecht, Optics (Addison Wesley, San Francisco, Amerika Serikat, 2002), Ed. 4
5