PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL, PATI, JAWA TENGAH
Oleh: CAHYA NAJMUDINROHMAN A14104094
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL, PATI, JAWA TENGAH
CAHYA NAJMUDINROHMAN A14104094
SKRIPSI Sebagai bagian persyaratan untuk memperoleh gelar SARJANA PERTANIAN pada Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
Cahya
Najmudinrohman.
Pengaruh
Kemitraan
terhadap
Pendapatan
Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI) Kemitraan antara petani tebu dan pabrik gula (PG) idealnya akan memberi manfaat bagi kedua pihak. Dengan kemitraan pabrik gula mendapatkan jaminan pasokan bahan baku. Dengan kemitraan petani juga lebih mudah mengakses pinjaman berbunga lunak untuk perluasan lahan sehingga meningkatkan produksi tebu petani. Peningkatan produksi akan memperbesar peluang petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Berbeda dengan PG yang bersifat institusional, petani lebih bersifat individual sehingga posisi tawarnya relatif lebih lemah. Karena itu perlu diteliti bagaimana pengaruh kemitraan terhadap peningkatan kesejahteraan petani. Salah satu variabel kesejahteraan yang dapat diukur yaitu pendapatan, dengan asumsi semakin tinggi pendapatan semakin tinggi pula kesejahteraan petani tebu. Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan mekanisme proses kemitraan antara petani tebu dengan PG Trangkil serta menganalisis pengaruh kemitraan tersebut terhadap pendapatan petani tebu. Penelitian dilakukan pada petani yang menggilingkan tebu di PG Trangkil milik PT Kebon Agung. Pabrik tersebut terletak di Pati, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PG Trangkil merupakan pabrik gula tertua yang berdiri sejak 1835 yang masih beroperasi. Penelitian dilakukan pada bulan November hingga Desember 2009. Pada awal musim tanam, petani yang ingin menjadi mitra meminta ijin ke PG. Kemudian petugas PG mengecek serta memetakan lahan tersebut dengan alat GPS (Global Positioning System). Setelah lahan dipetakan kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk bekerjasama dimana petani menggilingkan seluruh tebu hasil dari lahan tersebut dan PG membantu terutama pengajuan pupuk bersubsidi dan kredit. Seluruh petani tebu mitra yang menjadi responden menerima pupuk bersubsidi. Petani tebu responden yang memanfaatkan fasilitas
kredit sebanyak 81,8 persen, sisanya tidak mengambil kredit karena tidak ingin menanggung hutang. Dalam pengajuan kredit, PG berperan sebagai avalis yaitu penanggung jawab risiko kegagalan pengembalian kredit. Kredit berasal dari program pemerintah yaitu Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang disalurkan melalui bank, serta kredit akselerasi dari Disbun yang dikhususkan bagi penanaman tebu baru. Bunga kredit tersebut 7 persen per tahun. Pembayaran kredit dipotong dari pembayaran nota gula saat musim giling. Nota gula yaitu surat yang merangkum jumlah pembayaran oleh PG kepada petani. Analisis usahatani menunjukkan bahwa R/C baik petani mitra maupun non mitra lebih bernilai lebih besar dari 1 sehingga keduanya layak diusahakan. Dari Tabel 1 juga dapat disimpulkan bahwa bermitra lebih menguntungkan karena nilai R/C yang lebih besar dari non-mitra. Penerimaan petani mitra lebih tinggi dan biaya lebih rendah. Penerimaan lebih tinggi karena produksi lebih tinggi. Produksi rata-rata petani mitra sebesar 780,55 kuintal per ha. Produksi rata-rata petani nonmitra 698,24 kuintal per ha. Biaya petani mitra lebih rendah karena pengalokasian input produksi lebih efisien, misalnya petani mitra memiliki tenga kerja tetap sehingga upah tenaga kerja lebih rendah karena adanya keberlangsungan pekerjaan bagi tenaga kerja tersebut. Karena itu berdasarkan nilai R/C, kemitraan lebih menguntungkan karena berpengaruh positif terhadap pendapatan. Imbalan kepada modal petani (return to capital) pada petani mitra dan non-mitra masing-masing 36,8 persen dan 24,3 persen terhadap modal total. Imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital) pada responden mitra dan non-mitra masing-masing 32,3 persen dan 24,3 persen terhadap modal total. Investasi pada usahatani tebu lebih menguntungkan dibanding menyimpan uang di bank karena imbalannya lebih tinggi dari suku bunga bank. Imbalan kepada tenaga kerja sendiri responden mitra dan non-mitra masing-masing Rp 226.133,00 dan Rp 95.133,00 per hari orang kerja, lebih tinggi daripada tingkat upah pekerja di daerah tersebut. Berdasarkan nilai imbalan tersebut, kemitraan lebih menguntungkan.
Analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan α = 20 persen, variabel yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan yaitu produktivitas, kemitraan, usia, penguasaan lahan. Variabel tersebut berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan. Biaya tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena besar kecilnya biaya tersebut tidak mencerminkan efektivitas pengalokasian biaya tersebut terhadap masing-masing komponen biaya. Pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena di lapangan ada petani yang memiliki latar belakang pendidikan rendah namun mampu mengelola usaha taninya dengan baik sehingga pendapatannya tinggi. Hal ini disebabkan petani dapat belajar dari petani lain serta menggunakan tenaga kerja yang terlatih dalam berusahatani tebu. Pekerjaan utama tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena usaha tani tebu di lokasi penelitian tidak menggunakan tenaga kerja sendiri, petani cukup sebagai manajer sehingga bertani tebu bisa dijadikan pekerjaan sampingan. Penyuluhan tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena sumber informasi utama petani adalah bertukar informasi dengan petani lain, sehingga penyuluhan kurang efektif. Pengalaman tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan karena secara umum cara berusahatani tebu antara petani lama dan baru relatif sama dan pekerjaan pemeliharaan juga dilakukan oleh pekerja. Karena itu berdasarkan analisis regresi berganda, kemitraan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
: Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah
Nama
: Cahya Najmudinrohman
NRP
: A14104094
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 19571222 198203 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah” adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan telah dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2010
Cahya Najmudinrohman A14104094
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 12 April 1986. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudirman dan Ibunda Thorikah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 5 Cacaban pada tahun 1998 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Negeri 6 Magelang. Pendidikan menengah atas di SMU Negeri 1 Magelangpada tahun 2004. Penulis diterima pada Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2004. Penulis mengambil Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian.
KATA PENGANTAR Segala puji kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi berjudul “Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Usahatani Tebu di Kecamatan Trangkil, Pati, Jawa Tengah” dapat diselesaikan setelah melalui proses belajar, bimbingan, dan diskusi . Penyusunan skripsi ini merupakan sarana proses pembelajaran bidang usahatani dan non usahatani seperti pembelajaran mengenai statistika, analisis kualitatif, dan komunikasi. Fokus kajian dalam skripsi ini adalah usahatani tebu di tingkat petani serta gambaran kemitraan. Di dalamnya dibahas mengenai usahatani tebu , faktor yang mempengaruhi peluang petani untuk mendapatkan pendapatan tinggi, serta gambaran proses kemitraan antara petani dan pabrik gula. Selain data lapang, skripsi ini juga memuat teori, konsep, dan hasil penelitian dari para penulis sebelumnya. Penyebutan referensi yang dikutip dalam skripsi ini diharapkan mampu menambah nilai keilmiahannya, dan tak lupa ucapan terimakasih kepada pemilik karya yang dikutip dalam skripsi ini. Skripsi ini telah diupayakan untuk ditulis dengan sebaik mungkin, namun tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan. Meskipun demikian, mudah-mudahan skripsi ini ada manfaatnya bagi kita dan bagi pengembangan usahatani tebu serta memberikan manfaat bagi peneliti dan penelitian usahatani selanjutnya. Terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna mengingat keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi selama berlangsungnya penelitian.
Bogor, September 2010
Cahya Najmudinrohman A14104094
UCAPAN TERIMAKASIH Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala penulis mengucapkan terimakasih atas terselesaikannya skripsi ini kepada: 1) Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS atas bimbingan dan motivasinya. 2) Ir. Dwi Rachmina, MSi. atas bimbingan dan motivasinya. 3) Ibu Rita Nurmalina atas bimbingan akademik. 4) Kedua orang tua tercinta, kakak, dan keluarga. 5) Bapak Dedo dan keluarga atas segala bantuan dan pengayoman selama kuliah. 6) Adisti atas persahabatan dan bantuan pemilihan tempat penelitian. 7) Fandy, Fakhry, Ramiaji, Yulita, Latifa, Narita, Wanti, dan rekan-rekan Manajmen Agribisnis Angkatan 41. 8) Wiyanto, Rangga, Dani atas bantuan ide dan tenaga dalam penulisan skripsi. 9) Indra,
Rahma,
Ivan,
Prima,
Galih,
Rio
atas
kebersamaan
dan
persahabatannya. 10) Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Bogor, Maret 2010
Cahya Najmudinrohman
i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...............................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................
v
I.
PENDAHULUAN .................................................................... 1.1. Latar Belakang .............................................................. 1.2. Perumusan Masalah ....................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................... 1.4. Manfaat Penelitian .......................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ..............................................
1 1 6 7 7 7
II.
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2.1. Kemitraan ..................................................................... 2.2. Tinjauan Empirik ...........................................................
8 8 8
III.
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................... 3.1. Kerangka Teori ............................................................... 3.1.1. Teori Produksi ...................................................... 3.1.2. Teori Biaya Produksi ............................................. 3.1.3. Konsep Pendapatan ............................................... 3.1.4. Konsep Usahatani ................................................. 3.1.5. Analisis Pendapatan Usahatani ............................. 3.1.6. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya ............ 3.1.7. Konsep Kemitraan ................................................ 3.2. Kerangka Konseptual .....................................................
11 11 11 14 17 18 19 14 21 22
IV.
METODE PENELITIAN ....................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................... 4.3. Metode Penarikan Sampel .............................................. 4.4. Metode Pengolahan Data ............................................... 4.4.1. Transformasi Data ............................................... 4.4.2. Model Regresi Linear Berganda ............................ 4.4.3. Pengujian-pengujian Model Regresi ................... 4.4.4. Analisis Pendapatan Usahatani ............................ 4.5. Batasan Operasional dan Satuan Pengukuran ............... 4.6. Hipotesis Penelitian ........................................................
24 24 24 25 26 26 27 28 29 30 31
V.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................... 5.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian .............................. 5.2. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani ............................. 5.3. Penyelenggaran Usahatani Tebu ................................... 5.4. Kemitraan ......................................................................
32 32 33 39 47
ii VI.
ANALISIS USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL ............................................................................... 6.1. Biaya Usahatani Tebu ..................................................... 6.2. Penerimaan ...................................................................... 6.3. Pendapatan .......................................................................
51 51 54 54
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL .............................................. 7.1. Koefisien Dugaan Model Dugaan Regresi ..................... 7.2. Uji Signifikansi Model .................................................... 7.3. Interpretasi ......................................................................
59 59 60 60
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................... 7.1. Kesimpulan .................................................................... 7.2. Saran ..............................................................................
63 63 64
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
66
LAMPIRAN .........................................................................................
69
VII.
VII.
iii DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Prasarana Jalan di Kecamatan Trangkil ....................................
32
2.
Sebaran Responden Berdasarkan Usia .....................................
33
3.
Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal ..............
34
4.
Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan yang Dikuasai ..
34
5.
Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Penguasaan Lahan ......
35
6.
Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman .........................
35
7.
Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ..
35
8.
Sebaran Responden Berdasarkan Persepsi Keanggotaan APTRI ................................................................
37
Sebaran Responden Berdasarkan Keanggotaan Kelompok Tani ........................................................................
37
10. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi ...............
38
11. Pemanfaatan Layanan oleh Responden mitra ..........................
48
12. Pendapatan Usahatani .............................................................
49
13. Biaya Usahatani Tanaman Tebu Keprasan ..............................
50
14. Varian Nilai R/C Mitra dan Non-mitra .....................................
57
15. Imbalan kepada Seluruh Modal, Modal Petani, dan Tenaga Kerja Sendiri .........................................................
57
16. Hasil Pendugaan Model Regresi .............................................
60
9.
iv DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Konsumsi Gula di Tingkat Nasional Tahun 2003-2007 ...........
1
2.
Produksi dan Konsumsi Gula Nasional Tahun 1990-2007 .......
2
3.
Data Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa, dan di Tingkat Nasional Tahun 1993-2007 ..............................
3
4.
Kurva Fungsi Produksi ...........................................................
13
5.
Kurva Biaya Produksi .............................................................
16
6.
Kurva Pendapatan ....................................................................
17
7.
Kerangka Konseptual ...............................................................
23
v DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Data Responden ........................................................................
66
2. Kualitas Imbangan Penerimaan dan Biaya ...............................
68
3. Imbalan kepada Seluruh Modal, Modal Petani, dan Tenaga Kerja Sendiri ...........................................................
69
4. Output Minitab 14 dari Model Regressi Linear Berganda Faktor-Faktor yang memengaruhi Pendapatan Petani Tebu ....
70
I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dilihat dari sisi konsumsi, gula merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat dan tingkat konsumsi nasional cenderung meningkat. Gambar 1 menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan konsumsi gula nasional dari tahun 2003 sampai dengan 2007 sebesar 4,2 persen per tahun.
2.800.000 2.700.000
Ton
2.600.000 2.500.000 2.400.000 2.300.000 2.200.000 2.100.000 2003
2004
2005 Tahun
2006
2007
Gambar 1. Konsumsi Gula di Tingkat Nasional Tahun 2003-2007 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia, 2008
Di Indonesia, gula dibuat dari tebu. Artinya gula juga merupakan komoditas penting karena menjadi sumber penghidupan petani tebu. Menurut Badan Litbang Departemen Pertanian (2007), industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang. Hal itu makin memperkuat posisi gula sebagai salah satu komoditas strategis bagi perekonomian Indonesia. Meskipun konsumsi gula tebu memiliki tren positif, hal ini tidak diiringi peningkatan produksi gula nasional yang seimbang. Produksi gula nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi tersebut. Selisih tersebut dipenuhi oleh gula impor. Ketimpangan produksi mengimbangi konsumsi gula nasional tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.
2
4000000 3500000 3000000 Ton
2500000 2000000
Produksi
1500000
Konsumsi
1000000 500000 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
0
Tahun
Gambar 2. Produksi dan Konsumsi Gula Nasional Tahun 1990-2007 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia,2008
Ketidakmampuan produksi mengimbangi laju peningkatan konsumsi disebabkan permasalahan yang kompleks pada industri gula. Jika dilihat melalui pendekatan sistem agribisnis, maka permasalahan tersebut akan ditemui pada setiap sub-sistem, mulai dari sub-sistem hulu hingga hilir serta jasa pendukung. Salah satu permasalahan utama pada sub-sistem agribisnis hulu yaitu kesulitan dalam usaha pembibitan tebu karena pembibitan tebu memerlukan lahan yang relatif luas. Badan Litbang Deptan (2007) menyebutkan bahwa satu hektar kebun bibit datar (KBD) akan menghasilkan bibit yang hanya mencukupi untuk 78 hektar tanaman tebu. Hal ini menyebabkan bibit tebu menjadi mahal sehingga petani lebih suka melakukan keprasan hingga berkali-kali sehingga mutu tebu yang dihasilkan rendah. Permasalahan pada sub-sistem usahatani tebu antara lain penurunan atau minimal stagnasi luas lahan. Badan Litbang Deptan (2007) menyebutkan bahwa lahan tebu di Indonesia secara keseluruhan mengalami stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu hektar pada lima tahun terakhir. Menurut Dewan Gula Indonesia (2007), lahan tebu di Pulau Jawa semakin menyempit karena shifting ke areal industri dan perumahan.
500.000 450.000 400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 0
Indonesia Jawa
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
Luar Jawa
1993
Hektar
3
Tahun
Gambar 3. Data Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa, dan di Tingkat Nasional Tahun 1993-2007 Sumber: Sekretariat Dewan Gula Indonesia
Selain luas lahan, ada gejala permasalahan lain pada sub-sistem usahatani yaitu penurunan produktivitas. Penurunan produktivitas ini bisa dilihat dari produktivitas lahan (produksi tebu per hektar) dan rendemen (persentase dari hasil gula kristal per bobot tebu yang digiling). Menurut Badan Litbang Deptan (2007), pada tahun 1990-an produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76,9 ton/ha, kemudian pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62,7 ton/ha. Rendemen mengalami penurunan dengan laju sekitar 1,3 persen per tahun pada dekade terakhir, khususnya periode 1994-2004. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah (5,49 persen). Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai 7,67 persen . Produktivitas usahatani yang rendah tersebut antara lain disebabkan oleh dua hal pokok, yaitu proporsi lahan kering yang semakin besar dan pola budidaya yang tidak mengikuti baku teknis. Besarnya proporsi lahan kering membuat produktivitas turun karena produktivitas lahan kering lebih rendah daripada sawah. Pola budidaya yang tidak mengikuti baku teknis menyebabkan rendemen rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi pola budidaya tersebut yaitu ketidaktepatan waktu dan jumlah kredit yang diterima petani. Akibatnya pada awal musim tanam petani tidak memiliki cukup dana sehingga pola budidaya
4
tidak lagi mempertimbangkan baku teknis tetapi atas dasar kesesuaian dana yang tersedia (Tim Tolok Ukur Kegiatan Pengkajian Sistem Dinamis Manajemen Industri Gula Nasional, 2004). Pada agribisnis hilir, pabrik gula (PG) mengalami permasalahan efisiensi proses produksi gula. Proses produksi gula pada prinsipnya adalah proses pemisahan zat gula yang terkandung dalam batang tebu sampai dihasilkan produk gula yang dapat dikonsumsi. Semakin banyak gula yang diekstrak menjadi kristal gula maka semakin baik kinerja pabrik gula. Dengan demikian, kinerja pabrik gula selain dipengaruhi minimal oleh dua faktor yaitu bahan baku dan efisiensi teknis pabrik. Faktor bahan baku bisa disebabkan mutu tebu yang rendah, atau kekurangan bahan baku sehingga pabrik beroperasi di bawah kapasitas normal. Menurut Mirsawan et al (2007), inefisiensi di tingkat pengolahan disebabkan karena kapasitas dan efisiensi teknis PG terutama di Jawa yang lebih rendah dibandingkan dengan PG di luar negeri. Pada umumnya PG di luar negeri berkapasitas lebih dari 5.000 Ton Tebu per Hari (TTH), sedangkan kapasitas PG di Jawa umumnya kurang dari 5.000 TTH. Di samping itu, efisiensi teknis PG di Jawa, yang dicerminkan oleh overall recovery (OR), hanya berkisar 59- 76 persen, sedangkan OR untuk PG di luar negeri rata-rata di atas 80 persen. Masalah inefisiensi serta masalah-masalah lain juga membuat banyak PG tidak mampu bertahan. Tim Tolok Ukur Kegiatan Pengkajian Sistem Dinamis Manajemen Industri Gula Nasional (2004) menyebutkan bahwa pada sekitar tahun 1930 terdapat 179 PG. Sedangkan pada tahun 2006 jumlah PG yang beroperasi tinggal 58 PG, terdiri dari 51 PG BUMN dan 7 PG swasta. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut serta menjaga iklim usaha yang memungkinkan industri gula nasional bertahan hidup dan berkembang, pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut yaitu penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor melalui Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987. Tujuan kebijakan ini untuk menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik. Untuk melindungi petani tebu pemerintah juga telah memberlakukan UU No. 12/1992 dan Inpres No. 5/1998 yang memberikan kebebasan petani untuk memilih
5
komoditas
sesuai
dengan
prospek
pasar,
serta
Kepermenindag
No.
527/MPP/Kep/9/2004 tentang harga penyangga di tingkat petani . Untuk melindungi industri dalam gula dalam negeri dari kompetisi dengan gula impor, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan pembatasan impor. Pembatasan impor dilakukan dengan pembebanan tarif impor gula (Kepermenindag No. 230/MPP/Kep/6/1999), bea masuk (Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002), pembatasan pelaku impor hanya pada importir gula produsen dan importir gula terdaftar (Kepermenindag No. 634/MPP/Kep/9/2002). Dengan demikian gula dari luar negeri yang masuk ke pasar domestik sedikit dan harganya mahal sehingga gula nasional mampu bersaing. Kebijakan-kebijakan tersebut juga memiliki kendala. Menurut Susila dan Susmiadi (2000), kebijakan pemerintah yang bias ke usahatani padi, pencabutan subsidi pupuk, dan sering terjadi kesulitan dalam mengimplementasikan jaminan harga (harga provenue) berdampak negatif terhadap produktivitas tebu. Pencabutan subsidi pupuk membuat biaya produksi meningkat dan tidak adanya jaminan harga menyebabkan penerapan teknik budidaya tidak optimal sehingga produktivitas turun. Berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang hanya bersifat top-down, kemitraan selain dilakukan karena dorongan pemerintah juga karena adanya hubungan saling membutuhkan antara pelaku usahatani tebu serta subsistem hilir yaitu pabrik gula. Petani membutuhkan pinjaman modal, bantuan teknis budidaya, peralatan dan mesin-mesin pertanian, dan pembeli tebu. PG membutuhkan kontinuitas pasokan bahan baku tebu dari petani serta berkepentingan untuk membina petani dan memberi bantuan teknis budidaya agar bahan baku tebu memenuhi standar kualitas tertentu. Di pulau Jawa dimana kepemilikan lahan per individu atau per perusahaan relatif sempit merupakan tempat dimana kemitraan dapat menjadi pilihan yang rasional untuk dilakukan. PT Kebon Agung sebagai salah satu produsen gula di Jawa juga melaksanakan kemitraan dengan petani tebu. Kecilnya proporsi lahan tebu sendiri terhadap lahan tebu rakyat menjadi salah satu faktor pendorong
6
perusahaan menjalankan kemitraan. Proporsi lahan tebu sendiri PT Kebon Agung hanya 5,5% terhadap seluruh lahan tebu yang digiling. 2.1.
Perumusan Masalah Petani tebu dan PG memiliki kelemahan dan kekuatan yang jika
digabungkan akan saling menguatkan. Kelemahan petani antara lain modal yang terbatas, teknologi rendah, manajemen tidak teratur, skala usaha kecil, akses pasar terbatas, kelembagaan lemah serta produktivitas rendah. Kekuatan petani yaitu tenaga kerja, penguasaan lahan walaupun kecil namun jika disatukan hasil tebunya akan besar. Kelemahan PG yaitu sedikitnya lahan yang dikuasai, hasilnya jauh di bawah kapasitas produksi. Untuk membudidayakan tebu sendiri membutuhkan investasi yang besar, banyak tenaga kerja, rentan gejolak sosial dan rentan terhadap fluktuasi harga baik input maupun output. Dengan kemitraan yang sukses, akan ada transfer pengetahuan, teknologi serta modal dari PG ke petani sehingga produktivitas, bargaining position dan pendapatan petani meningkat. PG juga akan mendapat pasokan bahan baku sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan dengan memanfaatkan tenaga kerja dan hasil agregat dari lahan yang dikuasai petani sehingga resiko sosial berkurang. PT Kebon Agung sebagai salah satu perusahaan gula yang menjalankan kemitraan memiliki dua unit kerja pabrik gula, PG Kebon Agung di Malang dan PG Trangkil di Pati. Bahan baku produksi PT Kebon Agung sebagian besar diperoleh dari tebu rakyat, sebesar 94,5 persen. Namun tidak semua petani tebu tersebut mengikuti program kemitraan. Petani yang mengkuti program kemitraan sebanyak persen. PG Trangkil merupakan pabrik gula tertua yang masih beroperasi dengan proporsi lahan tebu sendiri yang sangat kecil. Karena itu bahan baku tebu sebagian besar dipasok dari petani mitra. Bagi petani tebu, kemitraan akan dilakukan apabila memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan usahatani tebu. Peningkatan pendapatan tersebut dipengaruhi peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas diduga dipengaruhi oleh aliran sumberdaya kepada petani tebu. Dengan pemaparan tersebut maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:
7
1. Bagaimana mekanisme proses kemitraan antara PG Trangkil dengan petani tebu di Kecamatan Trangkil? 2. Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap pendapatan petani tebu di Kecamatan Trangkil? 3.1.
Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut: 1. Menganalisis mekanisme proses kemitraan antara PG Trangkil dengan petani tebu di Kecamatan Trangkil. 2. Mengidentifikasi pengaruh kemitraan terhadap pendapatan petani tebu di Kecamatan Trangkil. 1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain: 1. Sebagai informasi bagi petani dalam menjalankan kemitraan sebagai suatu pilihan logis untuk dipertimbangkan apakah dilakukan atau tidak dilakukan. 2. Sarana menambah pengalaman bagi penulis dalam masalah usahatani dan kemitraan. 3. Bahan referensi penelitian lebih lanjut bagi akademisi.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini berfokus pada analisis usahatani petani tebu serta
penggambaran proses kemitraan antara petani dan PG. Karena itu responden penelitian ini yaitu sampel petani dan perwakilan manajemen PG. Usahatani tebu yang diteliti yaitu usahatani pada musim tanam 2008 hingga musim giling 2009. Penelitian dilakukan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemitraan Definisi kemitraan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 yaitu kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatian prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Hafsah (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Harjanto (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai rangkaian kerjasama yang melibatkan perusahaan, universitas, dan badan-badan pemerintah dan laboratorium2 dalam berbagai kombinasi untuk menggabungkan sumber daya dalam rangka mencapai tujuan penelitian dan pengembangan (R&D) bersama. Noorjaya (2001) mengemukakan kemitraan usaha sebagai hubungan kerjasama antar-pengusaha yang dalam pengertian umum mengacu pada hubungan antara usaha kecil (UK) dengan usaha besar (UB) ataupun usaha menengah (UM). Prinsip-prinsip kemitraan menjadi penting untuk dipahami bersama mengingat hal ini akan menjadi fondasi yang menentukan kekuatan bangunan kemitraan yang akan dijalankan. Fahrudda et al (2005) menyebutkan bahwa kemitraan dibangun atas dasar tiga prinsip yitu persamaan atau equality, keterbukaan atau transparancy, dan saling menguntungkan atau mutual benefit. 2.2. Tinjauan Empirik Nuryanti (2007), yang mengkaji aspek finansial usahatani tebu mandiri di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Aspek finansial yang dikaji yaitu biaya dan pendapatan usahatani tebu dengan variasi jenis lahan, luas garapan, dan pola tanam. Analisa komparatif dilakukan terhadap biaya dan pendapatan usahatani tebu antara sawah dan tegalan, luas garapan kurang dari satu dan lebih dari satu hektar, serta pola tanam tanam awal dan keprasan. Alat analisis yang digunakan ialah Studi Kelayakan Finansial yaitu B/C Ratio. Kesimpulan dari penelitian tersebut yaitu usahatani tebu di lahan sawah secara umum lebih menguntungkan daripada
tegalan.
Berdasarkan
pola
tanam,
tanaman
keprasan
lebih
9
menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan. Berdasarkan skala usahatani, secara umum peningkatan skala usaha pada lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan tegalan dan dapat meningkatan kelayakan finansial lebih dari 50 persen. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan beberapa gambaran yaitu petani diduga akan cenderung memitrakan lahan tegalan untuk menigkatakan keuntungannya yang kalah dari lahan sawah. Tanaman keprasan yang lebih menguntungkan diduga menghambat upaya peningkatan produktivitas melalui introduksi varietas baru. Dari penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa semakin luas lahan semakin menguntungkan sehingga diduga kemitraan akan menguntungkan petani karena memberi kesempatan untuk melakukan perluasan lahan, melalui kredit dan bantuan sarana produksi. Inayya (2003) juga menganalisis perbedaan total biaya, penerimaan, dan pendapatan petani tebu dengan dan tanpa menggunakan pupuk anorganik cair, serta perbedaan tingkat efisiensi (R/C ratio) petani tebu dengan dan tanpa menggunakan pupuk anorganik cair. Penelitian dilakukan pada usahatani tebu mandiri. Penelitian dilakukan di Desa Sumbersuko Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang. Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa diskriptif dan analisa inferensia berupa, analisa biaya, penerimaan, pendapatan dan efisiensi serta uji beda rata-rata (t test). Hasil analisa biaya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata total penggunaan biaya produksi pada usaha tani tebu dengan dan tanpa menggunakan pupuk anorganik cair. Sedangkan pada penerimaan rata-rata terdapat perbedaan antara usahatani tebu yang menggunakan dan tanpa menggunakan pupuk an organik cair. Akan tetapi tingkat efisiensi (R/C ratio) pada kedua usahatani tersebut baik dengan maupun tanpa menggunakan pupuk an organik cair, diperoleh hasil kurang dari 1 yang berarti kedua usahatani tersebut sama-sama tidak menguntungkan. Dari kesimpulan tersebut usahatani tebu dengan teknologi pupuk anorganik cair meskipun belum menguntungkan ada peluang untuk dilakukan kemitraan utuk perbaikan teknologi agar menguntungkan petani.
10
Penelitian tentang pengaruh kemitraan memberikan hasil yang beragam. Fitriani (2003) melakukan analisis kemitraan dan efisiensi ekonomi usaha tenak ayam broiler di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa R/C ratio atas biaya total mitra 1,21 sedangkan mandiri 1,02 sehingga usahatani mitra lebih efisien karena penerimaan relatif stabil dibanding mandiri yang tergantung harga pasar. Dengan demikian kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani. Witasari (1996) meneliliti dampak pola kemitraan contract farming terhadap pendapatan petani dan eksportir kopi di kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat. Hasilnya petani mitra memperoleh pendapatan yang lebih besar. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani. Deshinta (2006) melakukan penelitian tentang peranan kemitraan terhadap peningkatan pendapatan peternak broiler di Kabupaten Sukabumi. Hasilnya menunjukkan bahwa R/C ratio atas biaya total mitra 1,06 sedangkan non mitra 1,079 serta uji t terhadap total pendapatan bersih menunjukkan pendapatan tidak berbeda nyata (tidak signifikan). Kesimpulan hasil penelitian tersebut yaitu kemitraan tidak berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan peternak Iftauddin (2005) melakukan penelitian pada kemitraan antara PT Atina selaku perusahaan pengekspor udang dengan petani di Desa Banjar Panji, Sidoarjo. Hasilnya rasio R/C atas biaya total petani mitra sebesar 1,69 sedangkan petani non mitra sebesar 1,73. Artinya kegiatan usahatani non mitra lebih efisien sebab peningkatan biaya usahatani mitra jauh lebih besar daripada peningkatan penerimaannya.
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
kemitraan
berpengaruh negatif terhadap peningkatan pendapatan petani. Perbedaan pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani disebabkan antara lain oleh perbedaan komoditas dan karakteristik usahatani. Komoditas usahatani yang untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya dibutuhkan biaya yang melebihi peningkatan penerimaannya akan berpengaruh negatif. Penelitian ini mengambil objek penelitian yang sama dengan Nuryanti (2007) yaitu usahatani tebu. Perbedaannya yaitu Nuryanti membandingkan
11
usahatani di lahan sawah dan tegalan, sementara penelitian ini membandingkan antara petani mitra dan non-mitra. Alat analisis yang digunakan oleh Nuryanti yaitu B/C ratio sedangkan penelitian ini menggunakan R/C ratio. Penelitian ini mengambil ide perbandingan yang sama dengan Iftauddin (2005) yaitu membandingkan usahatani petani mitra dan non-mitra. Alat analisis yang digunakan sama yaitu R/C ratio. Perbedaannya yaitu objek yang diteliti pada penelitian tersebut adalah petani udang sedangkan penelitian ini petani petani tebu.
III. KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Teori 3.1.1. Teori Produksi Sesuai definisi usahatani yang disebutkan oleh Hernanto (1989), bahwa usahatani merupakan organisasi alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian, maka perlu diketahui konsep produksi. Soekartawi (1986) menyatakan bahwa fungsi produksi menggambarkan hubungan teknis antara input-output dari proses produksi. Input-input seperti tanah, pupuk, tenaga kerja, modal, iklim dan sebagainya mempengaruhi besar kecilnya produksi yang diperoleh. Jika misalnya Y adalah produk (output) dan x i adalah input ke-i, maka besar kecilnya Y juga tergantung dari besar kecilnya x 1 , x 2 , x 3 …x m yang digunakan.
Hubungan x dan Y
secara aljabar dapat ditulis sebagai berikut : Y = f (x 1 , x 2 , x 3 …x m ) dimana : Y
= produk (output)
x 1 , x 2 , x 3 …x m = masukan (input) Produk yang dihasilkan dapat diduga dengan mengetahui berapa jumlah input yang digunakan dalam proses produksi.
Selanjutnya fungsi produksi
tersebut dapat dimanfaatkan untuk menentukan kombinasi input yang terbaik dan bagaimana pengaruh kebijaksanaan pemerintah terhadap penggunaan input dan terhadap produksi.
Meskipun demikian, hal tersebut sulit untuk
dilakukan mengingat informasi yang diperoleh dari analisis fungsi produksi tidak sempurna. Hal ini dikarenakan : 1. Adanya faktor ketidakpastian mengenai cuaca, hama dan penyakit tanaman. 2. Data yang dipakai untuk melakukan pendugaan fungsi produksi mungkin tidak benar. 3. Pendugaan fungsi produksi hanya dapat diartikan sebagai gambaran ratarata suatu pengamatan.
12
4. Data harga dan biaya yang diluangkan (opportunity cost) mungkin tidak dapat diketahui secara pasti. 5. Setiap petani dan usahataninya mempunyai sifat yang khusus. Persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan fungsi produksi yang baik adalah : (1) terjadi hubungan yang logis dan benar antara variabel yang dijelaskan dengan variabel yang menjelaskan dan (2) parameter statistik dari parameter yang diduga memenuhi persyaratan untuk dapat disebut parameter yang mempunyai derajat ketelitian yang tinggi. Beattie dan Taylor (1985) menyatakan bahwa kurva fungi produksi adalah kurva yang melukiskan hubungan antara konsep average physical product (APP) dengan margina physical productivity (MPP) yang disebut kurva total physical product (TPP). Average physical product menunjukkan kuantitas output produk yang dihasilkan. Marginal physical productivity (MPP) mengukur banyaknya penambahan atau pengurangan total output dari penambahan input. Keduanya dirumuskan sebagai berikut (Gambar 4): 𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴𝐴 =
𝑌𝑌 𝑥𝑥
dimana:
APP = Average Physical Product Y
= output
x
= input
𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀𝑀 =
dimana:
𝑑𝑑𝑑𝑑 𝑑𝑑𝑑𝑑
MPP = Marginal Physical Productivity Dy
= perubahan output
Dx
= perubahan input
13
Gambar 4. Kurva Fungsi Produksi Sumber: Beattie & Taylor, 1985
Pada gambar 4 terdapat tiga daerah produksi dalam suatu fungsi produksi
yaitu peningkatan APP, penurunan APP ketika MPP positif dan
penurunan APP ketika MPP negatif.
Daerah I terletak di antara 0 dan X 2
dengan nilai elastisitas yang lebih besar dari satu (ε > 1), dimana terjadi
14
ketika MPP lebih besar dari APP. Daerah I ini disebut juga sebagai daerah irasional atau inefisien. Daerah
II
terletak antara X 2 dan X 3 dengan nilai
elastisitas produksi yang berkisar antara nol dan satu (0 < ε < 1).
Hal ini
menunjukkan bahwa setiap penambahan input sebesar satu satuan akan memberikan tambahan produksi paling besar satu satuan dan paling kecil nol satuan.
Daerah ini merupakan daerah rasional atau efisien.
Daerah III
merupakan daerah yang dengan nilai elastisitas lebih kecil dari nol (ε < 0) yang terjadi ketika MPP bernilai negatif yang berarti bahwa setiap penambahan satu satuan input akan menyebabkan penurunan produksi tambahan. Daerah ini disebut daerah irasional. Hal itu disebut The Law of Deminishing Return, yaitu apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya mencapai nilai negatif dan ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya mencapai tingkat yang maksimum kemudian menurun. 3.1.3. Teori Biaya Produksi Murtiasih (2008) menyatakan bahwa biaya produksi merupakan semua pengeluaran yang digunakan untuk memperoleh faktor produksi dan bahan baku yang akan digunakan untuk produksi. Perioda analisis dimana input2 produksi dapat dirubah dengan mudah disebut perioda analisis jangka pendek. Perioda analisis dimana input2 produksi hanya dapat dirubah dgn biaya tinggi dan waktu lama disebut perioda analisis jangka panjang. Beberapa pengertian biaya produksi jangka pendek sebagai berikut: •
Biaya Tetap Total (Total Fixed Cost) Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang tidak dapat diubah jumlahnya. TFC = f(konstanta)
15
•
Biaya Variabel Total (Total Variable Cost) Keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya. TVC = f(output), atau TVC = f(Q) Dimana Q = output
•
Biaya Total (Total Cost) Keseluruahan biaya produksi yang dikeluarkan. TC = TFC + TVC
•
Biaya Tetap rata-rata AFC = TFC/Q
•
Biaya Variabel rata-rata AVC = TVC/Q
•
Biaya Total rata-rata AC = TC /Q
•
Biaya Marginal MC = ∆TC/ ∆Q Perilaku biaya produksi dalam jangka pendek jika biaya ditambah maka
akan memberikan tambahan output yang meningkat, tetap, dan menurun. Penambahan biaya yang menyebabkan perubahan output yang meningkat (increasing return to input variable) terjadi pada saat: fungsi output;
Q = bX + cX2
fungsi biaya;
TC = a +bQ – cQ2 TVC = bQ – CQ2 ; TFC = a AC > AVC > MC.
Penambahan biaya yang menyebabkan perubahan output tetap (constant return to input variable) terjadi pada saat: fungsi output;
Q = bX
fungsi biaya;
TC = a + bQ TVC = bQ ; TFC = a AC > AVC = MC.
16
Penambahan biaya yang menyebabkan perubahan output menurun (decreasing return to input variable) terjadi pada saat: fungsi output;
Q = bX – cX2
fungsi biaya;
TC = a + bQ +cQ2 TVC = bQ + cQ2 ; TFC = a MC > AC > AVC (Gambar 5)
Gambar 5. Kurva Biaya Produksi Sumber: Murtiasih, 2008
17
3.1.3. Konsep Pendapatan Yunanto (2006) menyatakan bahwa pendapatan atau keuntungan produsen selisih penerimaan terhadap pengeluaran (biaya). Penerimaan merupakan hasil perkalian antara output dengan harga. Sedangkan biaya merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel. ∏ = TR – TC TR = P x Q Dimana: P = harga produk Q = output Karena itu pendapatan menjadi laba jika penerimaan total lebih besar dari biaya total. Dan menjadi rugi jika penerimaan total lebih kecil dari biaya total. Titik impas atau break even point (BEP) merupakan perpotongan antara penerimaan total dan biaya total (Gambar 6).
Gambar 6. Kurva Pendapatan Sumber: Yunanto, 2006
18
3.1.2. Konsep Usahatani Soekartawi (2002) menyebutkan bahwa ilmu usahatani ialah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Menurut Hernanto (1989), usahatani merupakan organisasi alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian, organisasi itu ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang terikat secara geologis, politik, maupun teritorial sebagai pengelolaannya. Hernanto (1989) menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor produksi dalam usahatai yaitu pertama lahan. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah, dan sebagainya. Lahan yang digunakan dalam usahatani dapat diperoleh dari berbagai sumber, antara lain dengan membeli, menyewa, menyakap, negara, warisan, wakaf, atau membuka lahan sendiri. Faktor kedua adalah tenaga kerja. Tenaga kerja menjadi pelaku dalam usahatani menyelesaikan berbagai macam kegiatan produksi. Tiga jenis tenaga kerja antara lain tenaga kerja manusia, tenaga kerja ternak, tenaga kerja makanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Kerja manusia dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kecukupan, tingkat kesehatan, dan faktor alam seperti ilkim, dan kondisi lahan usahatani. Jika terjadi kekurangan tenaga kerja, petani memperkerjakan buruh yang berasal dari luar keluarga dengan memberi balas jasa atau upah. Sehingga, sumber tenaga kerja dalam usahatani dapat berasal dari dalam dan luar keluarga. Faktor ketiga adalah modal. Modal adalah barang atau uang yang bersamasama dengan faktor produksi lain menghasilkan barang-barang baru, yaitu produk pertanian. Modal dapat berupa tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, bahan-bahan pertanian, piutang di bank, dan uang tunai. Penggunaan modal berfungsi membantu meningkatkan produktivitas dan menciptakan kekayaan serta pendapatan usahatani. Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani
19
berlangsung. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atu kredit (kredit bank, kerabat, dan lain-lain), warisan, usaha lain, atau kontrak sewa. Faktor keempat adalah pengelolaan atau manajemen. Manajemen adalah keampuan untuk mencukupi keinginan manusia di dunia yang rentan akan risiko dan ketidakpastian. Pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Pemahaman prinsip teknik dan ekonomis menjadi syarat bagi pengelola. Pengenalan prinsip teknik dan ekonomis menjadi syarat bagi pengelola. Pengenalan dan pemahaman prinsip teknik meliputi: (1) perilaku cabang usaha yang diputuskan, (2) perkembangan teknologi, (3) tingkat teknologi yang dikuasai, (4) cara budidaya atu alternatif lain berdasarkan pengalaman lain. Sedangkan prinsip ekonomis terdiri dari: (1) penentuan perkembangan harga, (2) kombinasi cabang usaha, (3) pemasaran hasil, (4) pembiayaan usahatani, (5) penggolongan modal dan pendapatan, (6) ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim. Panduan penerapan kedua prinsip tersebut tercermin dari keputusan yang diambil agar tidak menjadi tanggungan pengelola. Kesediaan risiko tergntung kepada: (1) tersedianya modal, (2) status petani, (3) umur, (4) lingkungan usaha, (5) perubahan posisi, (6) pendidikan, (7) pengalaman petani. 3.1.4. Analisis Pendapatan Usahatani Menurut Hernanto (1986), pendapatan adalah balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Pendapatan dapat didefinisikan sebagai sisa dari pengurangan nilai penerimaan yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan.
Untuk mengukur keberhasilan
usahatani dapat dilakukan dengan melakukan analisis pendapatan usahatani. Dengan melakukan analisis ini maka dapat diketahui gambaran usahatani saat ini sehingga dapat melakukan evaluasi untuk perencanaan kegiatan usahatani pada masa yang akan datang.
Untuk menganalisis pendapatan usahatani
diperlukan informasi mengenai keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang telah ditetapkan.
20
Penerimaan usahatani adalah nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga satuan dari hasil produksi tersebut (Hernanto 1986). Penerimaan usahatani dibagi menjadi : 1.
Penerimaan Tunai Usahatani Penerimaan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani.
2.
Penerimaan Total Usahatani Penerimaan total
usahatani adalah penerimaan dalam jangka waktu
(biasanya satu tahun atau satu musim), baik yang dijual (tunai) maupun yang tidak dijual (tidak tunai seperti konsumsi keluarga, bibit, pakan ternak). Pengeluaran usahatani adalah nilai penggunaan faktor-faktor produksi dalam melakukan proses produksi usahatani. Pengeluaran usahatani dibagi menjadi: 1.
Biaya Tunai Usahatani Biaya tunai merupakan sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa yang menjadi masukan produksi.
Biaya tunai dalam
usahatani dibagi dua macam yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya untuk sarana produksi yang diperlukan dalam berproduksi dan tidak langsung mempengaruhi jumlah produksi. Sedangkan biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi yang dipakai dalam proses produksi yang secara langsung mempengaruhi jumlah produksi dan penggunaanya habis terpakai dalam satu kali proses produksi. 2.
Biaya yang Diperhitungkan Biaya yang diperhitungkan merupakan nilai pemakaian barang dan jasa yang dihasilkan dan berasal dari usahatani itu sendiri. Biasanya peralatan maupun sarana penunjang tersebut tidak dibeli setiap musim tanam atau siklus produksi karena masih bisa digunakan beberapa kali.
21
3.1.7. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya Ukuran efisiensi pendapatan usahatani dapat diukur dengan menggunakan analisis penerimaan dan biaya yang didasarkan pada perhitungan secara finansial. Analisis ini menunjukkan besar penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani. Semakin besar nilai R/C rasio maka akan semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah yang dikeluarkan. Kegiatan usahatani dikategorikan efisien jika nilai R/C ratio > 1, artinya setiap tambahan biaya yang akan dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya sehingga kegiatan usahatani
menguntungkan. Sebaliknya kegiatan usahatani dikategorikan tidak
efisien jika memiliki nilai R/C ratio < 1, yang berarti untuk setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil
daripada
tambahan
biaya
atau
kegiatan usahatani merugikan.
Sedangkan untuk kegiatan usahatani yang memiliki R/C ratio = 1, berarti kegiatan usahatani berada pada keuntungan normal. 3.1.1. Konsep Kemitraan Hafsah (2000) mendefinisikan kemitraan sebagai suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama
dengan
prinsip
saling
membutuhkan
dan
saling
membesarkan. Kemitraan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997 yaitu kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatian prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Noorjaya (2001) mengemukakan kemitraan usaha sebagai hubungan kerjasama antar-pengusaha yang dalam pengertian umum mengacu pada hubungan antara usaha kecil (UK) dengan usaha besar (UB) ataupun usaha menengah (UM). Dengan demikian kemitraan juga dicirikan dengan adanya aliran sumber daya dua arah dari masing-masing pihak ke pihak lain.
22
3.2. Kerangka Konseptual Kemitraan dicirikan dengan adanya aliran sumber daya antara kedua pihak. Usahatani adalah organisasi sumber daya yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Suatu produksi akan membutuhkan input, melalui suatu proses dan menghasilkan output. Karena itu kemitraan dapat meningkatkan pendapatan usahatani melalui pengaruh aliran sumberdaya baik pada input produksi petani, proses, dan outputnya. Kemitraan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit, pupuk, dan bibit unggul. Hal ini mempengaruhi input usahatani sehingga dengan input yang lebih baik kuantitas dan kualitasnya ini petani berkesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Dengan kemitraan petani juga bisa mendapatkan
bimbingan
teknis
budidaya
sehingga memperbaiki
proses
produksinya. Kemitraan juga akan memperbaiki manajemen tebang angkut sehingga risiko kehilangan kadar gula dan risiko tebu tidak terpanen lebih kecil. Hal ini bersama faktor-faktor di atas akan mempengaruhi output tebu petani. Dengan demikian diharapkan pendapatan petani meningkat. Jika kemitraan berpangaruh positif terhadap peningkatan pendapatan maka petani akan bersedia untuk bermitra.
23
KEMITRAAN
USAHATANI
● Pinjaman modal
input
● Akses pupuk bersubsidi ● Pinjaman bibit
Proses produksi
● Bimbingan teknis ● Manajemen tebang angkut
Pengaruh Kemitraan terhadap Pendapatan Petani Tebu
Gambar 7. Kerangka Konseptual
output
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di Kecamatan Trangkil terdapat sebuah pabrik gula yaitu PG Trangkil milik PT Kebon Agung. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PG Trangkil merupakan pabrik gula tertua yang berdiri sejak 1835 yang masih beroperasi. Dalam pemenuhan bahan baku produksi PG Trangkil mendapatkannya dari petani tebu sekitar serta dari lahan sendiri. Sumbangan tebu dari lahan sendiri tersebut relatif kecil karena tidak mencapai 25 persen dari total tebu yang digiling. Karena itu keberlangsungan hidup PG Trangkil salah satunya ditentukan oleh keberadaan petani tebu di Kecamatan Trangkil. Petani tebu akan bersedia menjadi mitra jikan kemitraan tersebut menguntungkan. Penelitian dilakukan pada bulan November hingga Desember 2009. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari petani tebu. Data primer yang diambil meliputi karakteristik petani responden dan karakteristik usahatani. Data karakteristik petani responden meliputi usia, jumlah anggota keluarga, pendidikan, pengalaman dalam bertani tebu, dan pendapatan rumah tangga. Sedangkan data karakteristik usahatani meliputi jenis bibit, pemupukan, luas lahan, komponen biaya usahatani dan komponen pendapatan. Alat yang digunakan untuk memperoleh data primer yaitu kuesioner, perekam elektronik, alat pencatat dan penyimpan elektronik. Data yang hendak digali untuk keperluan penelitian ini antara lain karakteristik usahatani tebu yang dilakukan responden, karakteristik pribadi dan keluarganya, serta pelaksanaan usahatani terkait dengan kemitraan petani dan PG Trangkil. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data cross section. Data sekunder merupakan data yang digunakan untuk melengkapi data primer.
Data sekunder meliputi data statistik daerah maupun nasional dan data
tentang kondisi lokasi penelitian.
Data sekunder diperoleh dari lembaga
25
administrasi desa, kecamatan, dan kabupaten, buku, laporan penelitian, data petani mitra dari PG Trangkil dan internet. 4.3. Metode Penarikan Sampel Metode penentuan sample digunakan untuk memperoleh data primer. Data primer diusahakan dapat mewakili populasi yang ada, karena tidak semua petani tebu (anggota populasi) dijadikan sumber data primer.
Hanya petani
sample yang akan dijadikan sumber data primer. Metode yang akan digunakan dalam penentuan sample pada rencana awal pengambilan data primer adalah cluster sampling. Petani tebu di wilayah kerja PG Trangkil di kluster berdasarkan ikut atau tidaknya dalam program kemitraan PG Trangkil. Karena letak wilayah kerja PG Trangkil yang luas, metode penarikan sampel disesuaikan dengan cara membatasi berdasarkan wilayah administrasi yaitu kecamatan Trangkil. Hal tersebut karena luas lahan tebu total di kecamatan Trangkil adalah yang terluas dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di wilayah kerja PG Trangkil. Jumlah petani non mitra di kecamatan Trangkil sangat terbatas (berdasarkan informasi dari sinder PG Trangkil). Karena alasan tersebut, metode penentuan sampel disesuaikan lagi yaitu dengan snowball method dengan cakupan wilayah kecamatan Trangkil dan kecamatan terdekat. Snowballing dilakukan dengan bertanya kepada responden pertama mengenai petani terdekat yang dapat di wawancarai dengan kriteria tertentu seperti ikut tidaknya dalam mitra dan luas penguasaan lahan(yaitu kurang dari 10 ha, 10 hingga 30 ha, dan lebih dari 30 ha). Petani pertama ditunjukan daftar petani mitra (data dari PG Trangkil) beserta luas penguasaan lahan, sehingga petani dapat menunjukkan petani yang bermitra atau yang tidak bermitra untuk diwawancara lebih lanjut. Jumlah petani mitra di Kecamatan Trangkil 54 orang, 17 orang memiliki luas lahan kurang dari 10 ha, 22 orang memiliki lahan 10 hingga 30 ha, dan 15 orang memiliki lahan lebih dari 30 ha. Karena itu jumlah sampel petani mitra diambil masing-masing 40 persen berdasarkan luas lahan sehingga didapatkan 7 orang untuk luas lahan kurang dari 10 ha, 9 orang untuk luas lahan 10 hingga 30 ha, dan 6 orang untuk luas lahan lebih dari 30 ha. Jumlah total responden petani mitra 22 orang. Jumlah petani non mitra tidak diketahui sehingga didapatkan 12 orang responden.
26
4.4. Metode Pengolahan Data Data yang diperoleh dari wawancara dengan petani ditranformasi ke dalam bentuk tabel. Hal ini perlu dilakukan agar data yang diperoleh lebih mudah dibaca dan dipahami. Data yang telah mengalami tranformasi, digunakan sebagai masukan untuk analisis selanjutnya. Analisis yang dilakukan antara lain analisis pendapatan usahatani tebu dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani. 4.4.1. Transformasi Data Transformasi data dilakukan dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan statistik deskriptif berupa mean dan persentase. Dalam tabel frekuensi, data didajikan dengan besar interval kelasnya yang belum tentu sama. Hal ini karena terdapat beberapa data yang rentang nilainya terlalu besar. Sehingga jika menggunakan rumus interval kelas dicari setelah jumlah kelas ditentukan atan sangat memungkinkan terdapat kelas yang kosong. Nazir (2005) menyebutkan persamaan untuk mencari mean dengan menggunakan rumus: 𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚𝑚 =
𝛴𝛴𝑋𝑋𝑖𝑖 𝑛𝑛
Xi = data ke-i n
= jumlah data
Persentase ditentukan dengan menggunakan persamaan: 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 =
𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗ℎ 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 x 100 𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝𝑝 𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗𝑗ℎ 𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑𝑑
Setelah data ditransformasi, data diintepretasi dan digunakan sebagai input
dalam analisis faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan per hektar tebu rakyat. Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang memengarui pendapatan per hektar tebu dianalisis dengan metode kuantitatif menggunakan Model Regresi Linear Berganda, yaitu model regresi yang melibatkan dua atau lebih variabel bebas. Penggunaan uji statistik dalam model menggunakan tingkat kepercayaan yang digunakan dalam uji satatistik dasar adalah 80 persen (α = 20 persen) atau lebih dari 80 persen (α < 20 persen).
27
4.4.2 Model Regresi Linear Berganda Analisis regresi adalah teknik statistika yang berguna untuk memeriksa dan memodelkan hubungan diantara variabel-variabel. Model Regresi Linear Berganda adalah model regresi yang melibatkan dua atau lebih variabel bebas. Model ini digunakan untuk menganalisa factor-faktor yang mempengaruahi pendapatan petani tebu. Faktor yang berpengaruh yaitu karakteristik responden, karakteristik usahatani responden, dan faktor eksternal. Karakteristik responden terdiri dari usia, pendidikan, dan pekerjaan utama. Karaktreristik usahatani responden terdiri dari produktivitas lahan, biaya usahatani, pengalaman bertani tebu, dan penguasaan lahan. Faktor eksternal meliputi kemitraan dan penyuluhan. Dari faktor-faktor yang teridentifikasi tersebut dapat disusun persamaan regresi sebagai berikut: 𝑓𝑓(𝑥𝑥) = 𝛽𝛽0 + 𝛽𝛽1 𝑥𝑥1 + 𝛽𝛽2 𝑥𝑥2 + 𝛽𝛽3 𝑥𝑥3 + 𝛽𝛽4 𝑥𝑥4 + 𝛽𝛽5 𝑥𝑥5 + 𝛽𝛽6 𝑥𝑥6 + 𝛽𝛽7 𝑥𝑥7 +
𝛽𝛽8 𝑥𝑥8 + 𝛽𝛽9 𝑥𝑥9 + 𝛽𝛽10 𝑥𝑥10 + 𝛽𝛽11 𝑥𝑥11 + 𝛽𝛽12 𝑥𝑥12 + 𝛽𝛽13 𝑥𝑥13 Dimana: f(x)
= pendapatan usahatani tebu per hektar (rupiah)
x1
= produktivitas lahan (kuintal)
x2
= biaya usahatani per hektar (rupiah)
x3
= kemitraan ( bernilai 1 jika mitra, 0 jika non-mitra)
x4
= usia responden (tahun)
x5
= pendidikan responden (tahun)
x6
= pekerjaan utama (bernilai 1 jika petani tebu, 0 jika selainnya)
x7
= jumlah penyuluhan yang diikuti responden selama musim tanam
x8
= penguasaan lahan (bernilai 1 jika lahan sewa atau campuran, 0
(kali)
jika lahan milik) x9
= pengalaman bertani tebu (tahun)
β0
= konstanta
β 1 – β 9 = koefisien dugaan dari variabel bebas.
28
Pengukuran ketepatan model hasil analisis salah satunya menggunakan nlai koefisien determinan (R2), bertujuan untuk mengukur proporsi keragaman (variasi) total dalam variabel tidak bebas yang dapat dijelaskan oleh bariabelvariabel bebas secara bersama-sama dan menunjukkan besarnya sumbangan variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Sedangkan koefisien korelasi berganda (R) akar dari R2, mengukur keeratan hubungan linear diantara variabel tidak bebas dan semua variabel bebas dalam model tersebut. 𝑅𝑅 2 =
𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽 𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽
Dimana: R2
= Koefisien determinan
JKR
= Jumlah kuadrat regresi
JKL
= Jumlah kuadrat total
4.4.3. Pengujian-pengujian Model Regresi Pengujian-pengujian yang dilakukan dalam hal ini adalah pengujian model penduga dan terhadap parameter regresi. Pengujian terhadap model penduga, tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah model penduga yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter dalam fungsi regresi. Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel yang dimasukkan dalam model (x i ) berpengaruh nyata dalam menjelaskan karagaman total dari variabel tidak bebas (f(x)). Hipotesis yang digunakan adalah: H 0 : Semua variabel bebas (x i ) secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap
variabel tidak bebas (f(x))
Hi :
Semua variabel bebas (x i ) secara bersama-sama mempengaruhi
variabel tidak bebas (f(x)) atau paling tidak terdapat satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel tidak bebas (f(x)). Dengan kriteria Uji F : Ho ditolak jika F hitung≤ F tabel, Ho diterima jika F hitung > F tabel. Uji t ditujukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel bebas (x i ) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (f(x)). Hipotesis yang digunakan adalah: Ho : β i = 0
29
Hi
: βi ≠ 0
Dengan kriteria uji t adalah Ho ditolak jika t hitung ≤ t tabel, dan Ho diterima jika t hitung > t tabel. 4.4.4. Analisis Pendapatan Usahatani Usahatani merupakan kegiatan ekonomi untuk menghasilkan penerimaan dengan menggunakan masukan berupa tenaga kerja dan modal. Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan total dan pengeluaran total. Penerimaan total merupakan nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total adalah nilai semua korbanan yang dikeluarkan selama proses produksi. Pendapatan usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai dirumuskan sebagai berikut: ∏ tunai = TR – B t Keterangan : ∏ tunai = pendapatan tunai atau keuntungan tunai usahatani TR
= penerimaan total usahatani
Bt
= biaya tunai
Pendapatan atas biaya total dirumuskan sebagai berikut: ∏ total = TR – BT Keterangan : ∏ total = pendapatan total atau keuntungan total usahatani BT
= biaya total (biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan)
Ukuran pendapatan dan keuntungan dirumuskan sebagai berikut: A. Pendapatan kotor usahatani (gross farm income) atau penerimaan kotor (gross return), yakni nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik dijual atau tidak, dan peningkatan nilai inventaris. B. Pengeluaran total usahatani (total farm expence), yakni nilai semua masukan yang habis dipakai (tanpa tenaga kerja keluarga), tunai dan tidak tunai, serta penurunan inventaris C. Pendapatan bersih usahatani (net farm income), yaitu ukuran imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor produksi kerja, modal, dan pengelolaan. C = A – B
30
D. Penghasilan bersih usahatani (net farm earnings), yaitu ukuran imbalan kepada sumber daya milik keluarga yang dipakai dalam usahatani. D = C – Bunga Modal Pinjaman E. Imbalan kepada seluruh modal (return to capital), bisa dinyatakan dalam persen terhadap total modal. E = C – Nilai tenaga kerja keluarga. F. Imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital), dinyatakan dalam persen terhadap total modal. F = D – Nilai tenaga kerja keluarga. G. Imbalan terhadap tenaga kerja keluarga (return to family labor), bisa dinyatakan per tenaga kerja, per tenaga kerja orang keluarga, dibandingkan dengan upah buruh di luar usahatani. G = D – bunga modal petani 4.5. Batasan Operasional dan Satuan Pengukuran Batasan-batasan dari istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Petani tebu adalah petani yang berusaha dalam bidang tebu tebu. 2. Produksi tebu adalah seluruh hasil tebu yang dihasilkan dari luas lahan tertentu yang diukur dengan satuan kuintal. 3. Harga produk adalah harga jual gula tebu yang diukur dengan satuan rupiah per kuintal. 4. Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian antara produksi tebu dan harga produk, dalam satuan rupiah. 5. Biaya tunai adalah pengeluaran yang dibayar dengan uang dalam satuan rupiah. 6. Pendapatan tunai adalah penerimaan usahatani dikurangi biaya tunai, dinyatakan dalam satuan rupiah. 7. Biaya diperhitungkan adalah pengeluaran untuk pemakaian input milik sendiri dan tenaga kerja keluarga berdasarkan tingkat upah yang berlaku. Dalam analisis model regresi linear berganda , faktor yang diduga berpengaruh dijelaskan sebagai berikut: 1. Usia Angka yang menunjukkan usia responden sejak dilahirkan hingga tahun dilakukan penelitian, satuan tahun. 2. Tingkat pendidikan
31
Angka yang menunjukkan rentang waktu petani menjalani pendidikan formal, satuan tahun. 3. Produktivitas Angka yang menunjukkan hasil produksi tebu per hektar lahan, satuan kuintal per hektar. 4. Pengalaman usahatani Angka yang menunjukkan rentang waktu responden menggeluti usahatani tebu hingga tahun dilakukan penelitian, satuan tahun. 5. Kemitraan Nilai dummy yang menunjukkan keikutsertaan petani dalam kemitraan, bernilai 1 untuk petani mitra dan 0 untuk non-mitra. 6. Penguasaan lahan Nilai dummy yang menunjukkan penguasaan lahan, bernilai 1 untuk lahan sewa dan campuran (milik dan sewa) dan 0 untuk lahan milik. 7. Biaya Biaya yang dikeluarkan untuk pembiayaan produksi tebu per hektar, satuan rupiah. 8. Pekerjaan Nilai dummy yang menunjukkan pekerjaan utama, bernilai 1 petani tebu dan 0 untuk selainnya. 9. Penyuluhan Angka yang menunjukkan berapa kali responden mengikuti penyuluhan pertanian dalam tahun penelitian, satuan kali per tahun. 4.6. Hipotesis Penelitian Berdasarkan adanya aliran sumberdaya sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab III, hipotesis penelitian ini diduga pendapatan usahatani mitra lebih tinggi daripada no-mitra. Hal ini disebabkan oleh adanya pinjaman modal sehingga pengerjaan usahatani tepat waktu dan optimal, pinjaman pupuk sehingga pemupukan optimal, dan pinjaman bibit unggul sehingga produksinya tinggi. Risiko yang ditanggung petani mitra diduga lebih rendah karena adanya bimbingan teknis sehingga pengelolaaan usahataninya terarah.
32
Berdasarkan
model
persamaan
regresi
linear
berganda
yang
menggambarkan hubungan variabel respon keikutsertaan petani dalam program kemitraan dengan variabel-variabel penjelasnya, hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Variabel bebas yang berhubungan positif dengan variabel tak bebas a. Variabel usia, tingkat pendidikan, tingkat pengalaman responden. Peningkatan usia, tingkat pendidikan, dan tingkat pengalaman akan meningkatkan pengetahuan sehingga peningkatan nilai ketiga faktor tersebut akan meningkatkan pendapatan. b. Variabel kemitraan. Dengan bermitra input produksi menjadi lebih baik sehingga produksi meningkat dan pendapatan meningkat. c. Variabel frekuensi penyuluhan. Semakin sering petani mengikuti penyuluhan
pertanian
akan
menambah
pengetahuan
sehingga
meningkatkan pendapatan. d. Variabel penguasaan lahan. Penguasaan lahan sewa atau campuran membuat petani lebih cermat mengelola usahatani karena telah memperhitungkan biaya sewa, sehingga pendapatan makin tingi. e. Variabel pekerjaan utama. Petani tebu sebagai pekerjaan utama diduga memperbesa
pendapatan
usahatani
karena
lebih
fokus
dalam
pengelolaannya. 2. Variabel bebas yang berhubungan negatif dengan variabel tak bebas a. Variabel biaya. Biaya total yang lebih rendah dari penerimaan total akan meningkatkan pendapatan.
V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Berdasarkan data monografi Kecamatan Trangkil, letak kecamatan ini 11 km ke arah utara Kotamadya Pati. Jarak Kecamatan Trangkil dengan Ibukota Propinsi Jawa Tengah, yaitu Semarang, sejauh 86 km. Curah hujan di kecamatan ini 315,8 mm per tahun. Bentuk wilayah datar sampai berombak. Luas wilayah Kecamatan Trangkil sebesar 4.180,4 ha yang tediri dari 22,4 persen lahan sawah dan 77,6 persen lahan kering. Prasarana jalan terdiri dari jalan aspal, jalan diperkeras, jalan tanah. Masingmasing dikelompokkan ke dalam kategori baik, sedang, dan rusak. Sebagian besar jalan dalam kondisi baik dengan persentase sebesar 94,4 persen. Perincian panjang jalan disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Prasarana Jalan di Kecamatan Trangkil No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kategori Jalan Jalan aspal baik Jalan aspal sedang Jalan aspal rusak Jalan diperkeras baik Jalan diperkeras sedang Jalan diperkeras rusak Jalan tanah baik Jalan tanah sedang Jalan tanah rusak Jumlah
Panjang (km) 68,05 2 1,05 20,05 2 1 15 0 0 109,15
Persentase (persen) 62,3 1,8 1 18,4 1,8 1 13,7 0 0 100
Persentase (persen) 65,1
21,2
13,7 100
Sumber: Kecamatan Trangkil (2009)
Kondisi jalan sangat penting untuk menunjang pengangkutan bibit, pupuk, dan hasil panen tebu. Dengan kemudahan pengangkutan tersebut maka luas lahan dapat ditingkatkan, serta produktivitas dapat terjaga karena perawatan menjadi lebih mudah. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, jalan menuju kebun-kebun petani dalam kondisi baik. Jalan di lingkungan desa pun sudah diaspal dan kondisinya baik.
33
5.2. Karakteristik Sosial Ekonomi Petani 5.2.1. Usia Mengacu
pada
pendapat
Hurlock
(2004),
petani
responden
dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok usia dewasa yaitu usia dewasa awal (usia 1840 tahun), usia dewasa madya (usia 40-60 tahun), dan usia dewasa lanjut (diatas 60 tahun). Jika usia tepat 40 tahun maka tergolong dewasa madya berdasarkan pendapat Siegler et al. (2003), demikian pula usia tepat 60 tahun dimasukkan dalam kelompok dewasa lanjut. Pengelompokan usia petani responden berdasarkan pendapat Hurlock tersebut disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Sebaran Responden Berdasarkan Usia No 1 2 3
Kelompok usia Dewasa Awal (18-40 tahun) Dewasa Madya (40-60 tahun) Dewasa Lanjut (diatas 60 tahun) Jumlah
Mitra (orang) 9 9 4 22
Non-Mitra (orang) 4 3 5 12
Total (orang) 13 12 9 34
Komposisi usia petani responden terdiri dari 38,2 persen dewasa awal, 35,3 persen dewasa madya, dan 37,5 persen dewasa lanjut. Petani mitra responden terdiri dari dewasa awal 40,9 persen, dewasa madya 40,9 persen, dewasa lanjut 18,2 persen. Petani non-mitra terdiri dari dewasa awal 33,4 persen, dewasa madya 25 persen, dewasa lanjut 41,6 persen. 5.2.2. Pendidikan Petani responden rata-rata mengikuti pendidikan formal selama 10,7 tahun dengan rentang nilai 1 hingga 19. Nilai 1 artinya pernah mengenyam pendidikan hingga kelas 1 SD. Nilai 19 artinya lulusan pasca-sarjana. Nilai 10,7 artinya rata-rata pendidikan petani responden sampai dengan kelas 2 SMA/Sederajat. Sebaran petani responden berdasarkan pendidikan formal disajikan dalam Tabel 3.
34
Tabel 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mitra (Orang) 4 3 0 1 1 8 1 3 1 22
Pendidikan Tidak Lulus SD (< 6 tahun) SD (6 tahun) Tidak Lulus SMP SMP (9 Tahun) Tidak Lulus SMA SMA atau sederajat (12 tahun) Tidak Lulus Sarjana Sarjana (16 tahun) Pasca-sarjana (19 tahun) Jumlah
Non-Mitra (Orang) 0 2 0 0 0 8 0 2 0 12
Total (orang) 4 5 0 1 1 16 1 5 1 34
Rata-rata pendidikan petani mitra responden 10,2 tahun sedangkan petani nonmitra responden 11,7 tahun. Pendidikan terbanyak SMA, masing-masing 36,4 persen untuk petani mitra responden dan 66,7 persen untuk petani non-mitra responden. Rentang nilai pendidikan petani mitra responden 1 hingga 19, sedangkan petani nonmitra responden 6 hingga 16 tahun. 5.2.3. Luas Lahan Petani responden menguasai lahan tebu rata-rata 17,943 ha dengan rentang nilai 0,260 hingga 130,249 ha. Petani mitra responden menguasai rata-rata 25,343 ha dengan rentang nilai 1,5 hingga 130,249 ha. Rata-rata penguasaan lahan petani nonmitra 2,903 ha dengan rentang nilai 0,260 hingga 12 ha. Sebaran responden berdasarkan luas penguasaan lahan tebu disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan yang Dikuasai. No 1 2 3 5
Luah Lahan (ha) 0,26 - 0,9 1 - 9,9 10 - 29,9 Diatas 30 Jumlah
Mitra (Orang) 0 7 9 6 22
Non-Mitra (Orang) 5 6 1 0 12
Total (orang) 5 13 10 6 34
35
Penguasaan lahan tersebut diperoleh melalui kepemilikan lahan dan penyewaan. Kepemilikan lahan petani responden rata-rata 4,803 ha dengan rentang nilai 0,26 hingga 20 ha, sehingga dapat dipastikan bahwa petani responden yang menguasai lebih dari 20 ha pasti menyewa lahan. Berikut sebaran responden berdasarkan jenis penguasaan lahan tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Penguasaan Lahan No 1 2 3
Luah Lahan (ha)
Mitra (Orang)
Milik Saja Sewa Saja Milik dan Sewa Jumlah
4 2 16 22
Non-Mitra (Orang) 6 3 3 12
Total (orang) 12 5 19 34
5.2.4. Pengalaman Pengalaman petani tebu responden rata-rata 12,9 tahun dengan rentang nilai 2 hingga 34 tahun. Pengalaman responden petani mitra rata-rata 16,2 tahun dengan rentang nilai 4 hingga 34 tahun. Pengalaman responden petani non-mitra 6,8 tahun dengan rentang nilai 2 hingga 22 tahun. Tabel 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman No 1 2 3 4
Pengalaman (tahun)
Mitra (orang)
0-8 9-17 18-26 27-35 Jumlah
5 7 6 4 22
Non-Mitra (orang) 9 2 1 0 12
Total (orang) 14 9 7 4 34
5.2.5 Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga responden petani berkisar antara satu hingga enam orang. Proporsi terbesar yaitu tiga orang sebesar 35,3 persen kemudian empat orang
36
32,4 persen. Sebaran responden berdasarkan jumlah anggota keluarga disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga No 1 2 3 4 5 6
Jumlah Anggota Keluarga Satu orang Dua orang Tiga orang Empat orang Lima orang Enam orang Jumlah
Mitra (Orang) 0 3 8 6 3 2 22
Non-Mitra (Orang) 2 1 4 5 0 0 12
Total (orang) 2 4 12 11 3 2 34
5.2.6 Kelembagaan Petani Kelembagaan petani tebu di wilayah penelitian yaitu APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), kelompok tani, dan KUD (Koperasi Unit Desa). APTRI berperan penting dalam meningkatkan posisi tawar petani pada lelang gula. APTRI juga berperan sebagai penyalur pupuk bersubsidi bagi petani tebu. Setiap PG didampingi satu APTRI. Berdasarkan wawancara dengan pihak manajemen PG, setiap petani yang menggilingkan tebu di PG Trangkil otomatis menjadi anggota APTRI, namun pada prakteknya tidak semua petani responden yang menggilingkan tebu di PG Trangkil merasa menjadi anggota APTRI. Petani responden yang tidak merasa sebagai anggota APTRI tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang APTRI dan pertemuan-pertemuan APTRI, sedangkan petani responden yang merasa sebagai anggota APTRI mendapatkan informasi tentang pertemuan-pertemuan APTRI baik dari undangan pengurus maupun keterangan petani lain. Meskipun demikian, petani yang mengetahui pertemuan tersebut belum tentu menghadiri pertemuan tersebut karena sebab kesibukan maupun merasa sudah cukup diwakili oleh teman petani lain.Persepsi petani responden tentang keanggotaan APTRI disajikan pada Tabel 8.
37
Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Persepsi Keanggotaan APTRI No 1 2
Persepsi Keanggotaan APTRI Merasa sebagai anggota Tidak merasa sebagai anggota Jumlah
Mitra (Orang) 14 8 22
Non-Mitra (Orang) 2 4 6
Total (orang) 16 12 28
Proporsi responden petani mitra yang merasa sebagai anggota APTRI 63,6 persen, sedangkan responden non-mitra 33,4 persen. Perbandingan tersebut menggambarkan arus informasi dan komunikasi antara APTRI dengan responden petani mitra lebih besar daripada responden petani non-mitra. Pada Tabel hanya terdapat 6 orang responden petani non mitra karena sisanya tidak menggilingkan tebu melalui PG melainkan langsung menjual dalam bentuk tebu atau menjual tebu dengan sistem tebas sehingga tidak menjadi anggota APTRI. Sebagian petani responden juga tergabung dalam kelompok-kelompok tani agar memudahkan manajemen tebang angkut. Untuk menyetorkan tebu ke PG petani harus mendapatkan Surat Perintah Tebang Angkut (SPTA). Dengan bergabung dalam kelompok tani petani bisa memenuhi kuota jumlah minimal tebu yang harus ditebang per hari sesuai SPTA dengan mudah. Kelompok tani juga menjadi wadah bagi petani responden untuk bersosialisasi dan saling bertukar informasi antar anggota. Sebaran petani berdasarkan keanggotaan kelompok tani disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Sebaran Responden Berdasarkan Keanggotaan Kelompok Tani No 1 2
Keanggotaan Kelompok tani Bukan kelompok tani Jumlah
Mitra (orang) 9 13 22
Non-Mitra (orang) 3 9 12
Total (orang) 13 21 32
Tabel 9 menunjukkan bahwa 40,6 persen responden menjadi anggota kelompok tani. Responden petani mitra yang menjadi anggota kelompok tani 40,9 persen. Responden petani non-mitra yang ikut keanggotaan kelompok tani 25 persen. Proporsi petani responden petani mitra yang ikut kelompok tani lebih besar karena
38
harus memenuhi kuota SPTA, sedangkan 50 persen responden petani non-mitra menjual tebu dengan tebasan sehingga tidak memikirkan untuk memenuhi kuota SPTA. Dari 22 orang responden petani mitra, sebanyak 20 orang atau 90,9 persen terdaftar sebagai anggota KUD. Akan tetapi berdasarkan keterangan responden, KUD sama sekali tidak memiliki kegiatan. Mereka terdaftar sebagai anggota KUD hanya formalitas sebagai syarat mengajukan kredit. 5.2.7 Sumber Informasi Sumber informasi yang digumnakan oleh petani tebu responden untuk mengakses informasi tentang tebu yaitu pihak PG, petani lain, APTRI, lembaga penelitian, serta dengan melakukan percobaan sendiri. Informasi dari PG dapat diakses melalui petugas penyuluh lapang tebu rakyat atau langsung bertanya ke kantor PG. Lembaga penelitian yang menjadi sumber informasi responden yaitu Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Percobaan sendiri yaitu petani membuat demplot sendiri untuk mencoba perlakuan tertentu misalnya mencoba varietas baru. Sebaran responden berdasarkan sumber informasi utama dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sumber Informasi No 1 2 3 4 5 6
Sumber Informasi PG Petani lain APTRI Lembaga Penelitian Percobaan Sendiri Buku Jumlah
Mitra (orang) 9 11 1 0 1 0 22
Non-Mitra (orang) 0 11 0 0 1 0 12
Total (orang) 9 22 1 0 2 0 34
Tabel 10 memperlihatkan bahwa akses informasi petani responden masih terpusat pada pertukaran pengalaman dan informasi antar petani yaitu 64,7 persen. Pada responden petani mitra meskipun sudah ada PG sebagai salah satu pilihan
39
sumber informasi sebesar 40,9 persen, sumber informasi antar petani masih mendominasi 50 persen. Petani responden non-mitra masih masih menggunakan hubungan antar petani sebagai sumber informasi utama sebesar 91,7 persen. Petani responden tidak hanya mengandalkan satu sumber informasi utama namun juga mengakses lebih dari satu sumber informasi. 5.3. Penyelenggaraan Usahatani Tebu Dalam pelaksanaan usahatani tebu terdapat karakteristik unik yaitu kemampuan tebu untuk tumbuh kembali dan mengulang siklus hidupnya. Artinya setelah ditebang tebu mampu berproduksi kembali tanpa harus menanam bibit baru. Karena itu dalam budidaya tebu dikenal istilah tebu keprasan (ratoon) yang menandakan bahwa tebu tersebut bukan tanaman baru melainkan tebu yang tumbuh kembali setelah ditebang. Pada penelitian ini ada 32 orang responden yang menyelenggarakan tebu kepras (94,1 persen), yang terdiri dari 21 orang petani mitra dan 11 petani non-mitra. Adapun tanaman tebu yang ditumbuhkan dari bibit baru biasanya disebut PC (Plant Cane). Kedua jenis tanaman ini membutuhkan beberapa aktivitas perlakuan yang berbeda. Pada penelitian ini ada 19 orang responden yang menanam tanaman baru (55,9 persen), selanjutnya disebut responden PC, yang terdiri dari 18 orang mitra dan 1 orang non-mitra. 5.3.1. Tanaman Baru Yang dimaksud dengan tanaman baru yaitu tebu yang ditumbuhkan dari bibit baru. Bibit yang digunakan responden yaitu potongan batang tebu sepanjang dua atau tiga ruas dan mata tunasnya belum tumbuh. Perawatan tanaman baru melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut: 1.
Pengolahan Lahan Pengolahan lahan untuk tanaman tebu bisa menggunakan traktor ataupun
menggunakan tenaga manusia. Jika menggunakan tenaga manusia maka pengolahan lahan disebut cemplong. Cemplong yaitu aktivitas pembuatan lubang tanam yang memanjang dengan tenaga manusia, lubang tanam tersebut disebut juring atau leng.
40
Alat yang digunakan untuk cemplong disebut lempak atau lencok. Dari 19 responden yang menanam tebu baru (PC), 89,5 persen mengolah lahan dengan traktor dan 10,5 persen dengan cemplongan. Pengolahan lahan dengan menggunakan traktor umumnya lahan dibajak tiga kali yaitu bajak satu, kemudian bajak dua dengan arah menyilang dari arah bajak satu, dan kair (pembuatan juring atau leng). Berdasarkan wawancara dengan petani, jika tanah gembur atau sisa tanaman singkong bisa dibajak satu kali saja kemudian langsung dibuat alur tanaman tebu (kair). Setelah itu dibuat got yang memotong kair tersebut menjadi juring dengan panjang 8 atau 10 meter. Got diperlukan untuk merangsang pertumbuhan akar menuju air tanah. Got yang dangkal dapat membuat penyebaran akar tebu juga dangkal karena mudah mencapai air tanah. Jika air di lahan bisa menggenang maka dibuat got keliling (kiter), got malang (baon), dan got mujur (sudet) agar drainase lebih lancar. Jika lahan kering maka cukup dibuat beberapa got yang langsung memotong kair menjadi juring. 2. Tanam Persiapan sebelum tanam meliputi pembuatan kasuran, seleksi bibit, dan mengupas bibit yang masih terbungkus pelepah daun. Pembuatan kasuran yaitu mengeruk sedikit tanah di sisi dasar juring membentuk alur kecil untuk mempermudah meletakkan dan menutup bibit dengan tanah. Responden PC yang membuat kasuran 63,2 persen. Seleksi dan mengupas bibit langsung dilakukan pekerja di lahan pada saat tanam. Bibit yang digunakan responden adalah bibit bagal, yaitu potongan batang tebu sepanjang dua atau tiga ruas dan mata tunasnya belum tumbuh. Penanaman bibit dilakukan dengan meletakkan bibit secara horizontal searah kasuran/juring dengan mata tunas disamping kemudian ditutup sedikit tanah. Dalam wawancara dengan petani diketahui bahwa kuantitas bibit yang digunakan bervariasi tergantung kualitas dan panjang ruas bibit. Jika kualitas bibit jelek maka bibit bisa ditanam rangkap dua sehingga bibit yang dibutuhkan semakin banyak. Jika kualitasnya. Penanaman rangkap ini untuk mengantisipasi gagal tumbuh yang disebabkan kualitas bibit jelek. Jika kualitas bibit bagus dan ruas pendek-pendek
41
maka cukup satu alur satu bagal berbaris memanjang. Jika kualitas bagus namun ruas panjang maka peletakan bagal secara beririsan agar tanaman tumbuh rapat. Waktu penanaman terkait dengan ketersediaan air. Umumnya petani di wilayah penelitian menunggu datangnya musim penghujan (Oktober-November) karena jika mengandalkan pemompaan sumur bor membutuhkan biaya yang besar. Jika sudah turun hujan maka pengairan dengan pompa air akan lebih ringan. 3. Pengairan Tebu membutuhkan air yang cukup namun tidak tahan genangan air. Pengairan ini sangat diperlukan terutama saat tanam agar akar pada bagal dan tunas bisa tumbuh serta agar tunas tersebut setelah tumbuh tidak mati kekeringan. Pengairan yang dilakukan oleh
responden umumnya mengandalkan air hujan didukung dengan
penggunaan pompa air dari sumur bor. Kebanyakan lahan tebu di wilayah penelitian memiliki satu sampai dua sumur bor per ha. Demikian pula lahan tebu yang disewakan biasanya sudah ada sumur bor pada lahan tersebut. Responden PC yang menggunakan pompa air sebesar 78,9 persen. 4. Sulam Penyulaman terkait dengan adanya bibit yang tidak tumbuh. Jika banyak jumlahnya sedikit maka tidak perlu disulam, namun jika diperkirakan akan menurunkan produksi tebu maka disulam. Penyulaman PC di wilayah penelitian menggunakan cara sulam glondong yaitu sulam dengan menggunakan bibit bagal baru pada saat pertumbuhan tunas tebu di lahan masih awal, sekitar satu bulan setelah tanam, sehingga perbedaan pertumbuhan minimal. Responden PC yang melakukan sulam sebanyak 52,6 persen. 5. Penyiangan Penyiangan dapat dilakukan dengan cara manual ataupun dengan menggunakan herbisida. Responden PC yang melakukan penyiangan, baik manual maupun herbisida sebanyak 63,2 persen. Responden PC yang melakukan penyiangan secara
42
manual saja 36,9 persen, herbisida saja 10,5 persen, dan 15,8 persen menggunakan kedua cara itu bersamaan. 6. Pemupukan dan Pembumbunan Pupuk yang digunakan responden PC yaitu pupuk alami dan pupuk sintetis. Pupuk alami yang digunakan yaitu pupuk kandang, kompos, dan blotong (sisa kotoran nira tebu berupa abu hitam). Pupuk sintetis yang digunakan yaitu ZA dan Phonska. Aplikasi ZA dan Phonska dicampur dengan rasio 1:1 hingga 4:1 karena harga ZA lebih murah. Seluruh responden PC (100 persen) menggunakan campuran ZA dan Phonska. Responden PC yang menggunakan campuran pupuk alami, ZA dan Phonska sebanyak 47 persen. Hal ini karena pupuk alami dampaknya tidak terlihat secara langsung namun dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah sehingga petani responden menggunakannya untuk lahan milik dan lahan sewa yang durasinya lebih dari dua tahun. Pemupukan umumnya dua kali, setiap pemupukan diikuti pembubunan. Pembumbunan berguna untuk menutup pupuk sekaligus merangsang pertumbuhan akar dan menguatkan berdirinya batang agar tidak mudah roboh. Pemupukan pertama dilakukan saat daun tebu telah berjumlah sekitar lima helai atau sekitar 2 bulan setelah tanam. Pemupukan pertama menggunakan campuran ZA dan Phonska sekitar 3-7 ku per ha atau ditambahkan pupuk alami sekitar 30 ku per ha bagi responden yang menggunakannya. Seluruh responden melakukan pupuk pertama. Pemupukan pertama diikuti pembumbunan pertama atau sewar. Responden PC yang tidak melakukan sewar 21 persen, responden menanggap pupuk yang menguap tidak seberapa dan tebu masih kecil sehingga belum perlu dibumbun. Pemupukan kedua dilakukan saat tebu sudah membentuk ruas (ngeros). Biasanya dosis pemupukan kedua lebih dari pemupuka pertama karena tebu sudah lebih besar. Seluruh responden PC melakukan pemupukan kedua. Pemupukan kedua diikuti pembumbunan kedua atau disebut tangkep karena lebih tinggi dari pembumbunan pertama. Seluruh responden PC melakukan pembumbunan kedua.
43
Jika ada tebu yang pertumbuhannya tertinggal dibandingkan tebu lain pada hamparan lahan yang sama, maka dilakukan pemupukan colok yaitu pemupukan yang khusus diaplikasikan pada tebu yang pertumbuhannya tertinggal tersebut. Pupuk yang digunakan yaiti campuran ZA dan Phonska yang jumlahnya disesuaikan kebutuhan masing-masing tebu. Hanya 5,3 persen responden PC yang melakukan pemupukan colok. 7. Perbaikan Got Pertumbuhan rumput dan erosi hujan menyebabkan got-got menjadi dangkal sehingga perlu diperbaiki. Perbaikan got ini disebut songkel. Songkel dilakukan agar drainase lancar sehingga jika curah hujan tinggi air tidak menggenang. Karena itu bersifat opsional serta waktu pelaksanaan songkel tidak pasti tergantung kondisi kerusakan got dan curah hujan. Jika got sudah rusak namun curah hujan rendah sehingga air tidak menggenang maka songkel belum perlu dilakukan. Responden PC yang melakukan songkel sebanyak 89,5 persen. 8. Pengendalian Hama Berdasarkan wawancara dengan petani, hama yang menyerang tebu relatif sedikit yaitu penggerek pucuk. Hama ini biasanya hanya menyerang sebagian tebu. Ciri-ciri serangan hama ini yaitu pucuk tebu bundel. Upaya pengendalian dilakukan dengan memotong pucuk yang terserang atau dengan disemprot pestisida. Aktivitas pemotongan pucuk tebu tersebut dinamakan roges atau nguler. Meskipun demikian sebagian
petani
membiarkan
tebu
yang
terserang
hama
tersebut
karena
penyebarannya relatif lambat dan tidak meluas. Proporsi responden PC yang melakukan upaya pengendalian penggerek pucuk sebesar 26,3 persen. 9. Gendel Tebu yang sudah tinggi jika terkena angin kencang bisa roboh. Tebu roboh menghambat pembentukan zat gula dalam batang karena diuraikan kembali untuk membentuk tunas baru. Tebu roboh akan menyulitkan tebang angkut sehingga pekerja enggan atau meminta kenaikan upah, tebu yang bengkok juga membuat
44
pengangkutan di truk tidak efisien karena boros tempat. Cara mengatasinya dengan menegakkan kembali batang yang roboh kemudian diikat secara berkelompok, cara ini disebut gendel. Hanya 5,3 persen responden PC yang melakukan gendel karena tanaman baru relatif lebih kokoh dan jarang roboh. 10. Kletek Kletek adalah pengupasan daun-daun kering dan yang telah menguning yang membungkus ruas-ruas batang tebu. Kletek bertujuan agar hasil fotosintesis daun langsung digunakan untuk pertumbuhan batang, juga agar batang tebu terkena sinar matahari untuk mengoptimalkan pembentukan zat gula dalam batang tebu. Responden PC 94,7 persen diantaranya melakukan kletek dua kali dan 5,3 persen melakukan kletek 3 kali. Kletek pertama dilakukan saat umur tebu 5-6 bulan. Kletek kedua dilakukan saat menjelang tebang bagi yang dua kali kletek, sedangkan yang tiga kali kletek kedua dilakukan saat umur tebu 9-10 bulan dan kletek ketiga saat umur tebu 11-12 bulan. 11. Panen dan Pascapanen Petani yang menggilingkan tebu di PG Trangkil akan dicek oleh petugas PG apakah tebu sudah siap tebang. Jika dilihat sudah siap tebang akan diambil sampel tebu dari lahan. PG memiliki perangkat giling khusus berkapasitas kecil untuk mengiling sampel tebu tersebut dan melakukan analisa sampel. Jika hasil analisa sampel menunjukkan tebu telah siap tebang maka PG akan memberikan ijin tebang. Tebang dilakukan oleh tenaga manusia kemudian dimuat dalam truk dan diangkut ke PG. Jika lokasi lahan tebu jauh dari jalan maka tenaga tebang akan meminta tambahan upah untuk mengangkut tebu ke truk. Tebang angkut dapat dilakukan sendiri atau PG. Jika dilakukan PG maka biayanya akan dipotong dari hasil gula. Berdasarkan wawancara dengan manajemen PG, tebu yang disetorkan ke PG harus memenuhi kriteria MBS (Manis Bersih Segar). Kriteria manis ditentukan dari rendemen tebu contoh diatas enam. Kriteria bersih ditentukan dari persentase kotoran.
45
Kotoran meliputi daun kering, pucuk tebu, tebu anakan, tanah, dan akar. Kriteria segar yaitu tebu tidak diinapkan lebih dari 36 jam. 5.3.2. Tanaman Keprasan 1. Kepras Persiapan kepras dilakukan dengan membersihkan sisa-sisa dedaunan yang tertinggal di lahan kemudian dibiarkan dan menunggu turun hujan. Setelah hujan turun kepras dilakukan dengan memotong batang tebu bekas tebangan hingga sedalam 20 cm dari permukaan tanah. Hal ini dilakukan agar tunas tebu yang tumbuh merupakan anakan pertama dari induknya langsung agar ukuran batang tebu dan rendemen tebu keprasan tak jauh berbeda dengan tebu induknya. 2. Gebros Setelah tebu telah berdaun 3- 4 helai atau sekitar satu bulan setelah kepras, dilakukan gebros yaitu memutuskan akar untuk merangsang pertumbuhan akar baru yang lebih banyak. Gebros dapat dilakukan dengan tenaga manusia atau dengan sapi. Gebros dilakukan pada jarak sekitar 15 cm di kedua sisi lajur tanaman tebu. Diantara 32 orang responden yang menyelenggarakan tebu kepras, proporsi responden yang melakukan gebros sebesar 90,6 persen. Seluruh responden petani mitra melakukan gebros dan 72,7 persen responden non-mitra melakukan gebros. 3. Pengairan Pengairan pada tebu keprasan relatif lebih sedikit daripada tanaman baru karena indukan tebu kepras telah berakar kuat di dalam tanah. Karena itu frekuensi penyemprotan dengan menggunakan pompa air lebih sedikit daripada tanaman baru, selebihnya mengandalkan air hujan. Responden kepras yang menggunakan pompa air sebanyak 65,6 persen. Responden mitra yang menggunakan pompa air 61,9 persen, sedangkan non-mitra 72,7 persen. 4. Sulam Jika tanaman tebu tumbuh secara tidak merata maka diperlukan sulam. Berdasarkan wawancara dengan petani, penyulaman pada tebu keprasan dengan cara
46
sulam boyong, yaitu memindahkan sebagian anakan tebu yang rimbun ke tempat yang jarang atau tidak tumbuh anakan. Responden petani mitra yang melakukan sulam pada tebu keprasan sebanyak 81 persen. Seluruh responden non-mitra melakukan sulam pada tebu keprasan. 5. Penyiangan Penyiangan pada tebu keprasan lebih ringan karena rumput sudah ikut terpotong saat gebros. Responden petani mitra yang melakukan penyiangan sebanyak 33,3 persen. Responden non-mitra yang melakukan penyiangan sebanyak18,2 persen. 6. Pemupukan dan Pembumbunan Pemupukan dan pembumbunan pada tebu keprasan sama seperti pada tanaman baru. Seluruh responden petani mitra dan non-mitra melakukan pemupukan pertama. Responden petani mitra yang melakukan bumbun pertama sebanyak 85,4 persen, responden non-mitra 63,4 persen. Seluruh responden petani mitra dan nonmitra melakukan pemupukan kedua. Responden petani mitra yang melakukan bumbun kedua sebanyak 90,5 persen, seluruh responden non-mitra melakukan bumbun kedua. 7. Perbaikan Got Perbaikan got (songkel) terkait dengan air yang mengalir di permukaan tanah. Jika air tidak menggenang perbaikan cukup sekali, bahkan ada responden yang tidak melakukan songkel. Responden petani mitra yang melakukan songkel 77,3 persen, responden non-mitra 90,9 persen. 8. Pengendalian Hama Pengendalian hama pada tebu keprasan sama seperti pada tanaman baru, yaitu hama penggerek pucuk. Hanya 18,2 persen responden petani mitra yang melakukan pengendalian hama penggerek pucuk. Responden non-mitra yang melakukan pengendalian hama penggerek pucuk 36,4 persen.
47
9. Gendel Responden petani mitra yang melakukan gendel 13,6 persen. Responden nonmitra yang melakukan gendel 18,2 persen. Responden tebu keprasan yang melakukan gendel 15,6 persen, lebih besar dibanding responden PC yang hanya 5,3 persen. Hal ini terkait responden tebu keprasan yang melakukan bumbun kedua (tangkep) hanya 93,8 persen, lebih sedikit daripada responden PC yang seluruhnya melakukan tangkep. 10. Kletek Seluruh responden petani mitra dan non-mitra melakukan kletek pertama. Seluruh responden petani mitra melakukan kletek kedua. Responden non-mitra yang melakukan kletek kedua sebanyak 81,8 persen. 11. Panen dan Pascapanen Seluruh
responden
petani
mitra
melakukan
tebang
angkut
karena
menggilingkan tebu ke PG. Responden petani non-mitra yang melakukan tebang angkut sebanyak 45,5 persen. Sisanya menjual tebu secara tebasan sehingga pembeli yang melakukan tebang angkut. 5.4. Kemitraan 5.4.1. Proses Kemitraan Pada awal musim tanam, petani yang ingin menjadi mitra meminta ijin ke PG. Kemudian petugas PG mengecek serta memetakan lahan tersebut dengan alat GPS (Global Positioning System). Setelah lahan dipetakan kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk bekerjasama dimana petani menggilingkan seluruh tebu hasil dari lahan tersebut dan PG membantu terutama pengajuan pupuk bersubsidi dan kredit. Seluruh petani tebu mitra yang menjadi responden menerima pupuk bersubsidi. Petani tebu responden yang memanfaatkan fasilitas kredit sebanyak 81,8 persen, sisanya tidak mengambil kredit karena tidak ingin menanggung hutang. Dalam pengajuan kredit, PG berperan sebagai avalis yaitu penanggung jawab risiko kegagalan pengembalian kredit. Kredit berasal dari program pemerintah yaitu
48
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) yang disalurkan melalui bank, serta kredit akselerasi dari Disbun yang dikhususkan bagi penanaman tebu baru. Bunga kredit tersebut 7 persen per tahun. Pembayaran kredit dipotong dari pembayaran nota gula saat musim giling. Nota gula yaitu surat yang merangkum jumlah pembayaran oleh PG kepada petani. PG juga menyediakan bantuan bibit, traktor, tebang angkut, serta pinjaman tebang angkut. Bantuan bibit dan traktor dapat dibayar tunai atau dipotong dari pembayaran nota gula. Bantuan tebang angkut yaitu tebang angkut dilakukan oleh pekerja PG dan telah ditentukan di awal musim tanam apakah tebang angkut akan dilakukan sendiri atau diserahkan ke PG. Pembayaran tebang angkut PG dipotong dari pembayaran nota gula. Pinjaman tebang angkut yaitu pinjaman uang dari kas PG untuk membiayai tebang angkut yang dilakukan petani sendiri, tanpa bunga dan jangka waktu pengembalian sepekan. Jumlah responden petani tebu mitra yang memanfaatkan kemudahan tersebut disajikan dalam Tabel 12. Tabel 11. Pemanfaatan Layanan oleh Responden Mitra No
Layanan
Petani Mitra (orang)
1 2 3 4
Bibit Traktor Tebang Angkut Pinjaman Tebang Angkut
8 9 8 5
Persentase terhadap Total Responden Mitra (persen) 36,4 40,9 36,4 22,7
5.4.2. Motivasi Bermitra Berdasarkan wawancara dengan manajemen PG, kemitraan dilakukan untuk menjaga kontinuitas bahan baku serta memudahkan perencanaan produksi. Perencanaan produksi lebih mudah karena luas lahan petani mitra telah diketahui di awal musim tanam. Dari luas lahan tersebut jumlah tebu yang akan digiling dapat diperkirakan berdasarkan data produktivitas lahan di tahun-tahun sebelumnya serta pengamatan selama musim tanam.
49
Petani tebu responden yang bermitra karena ingin mendapat bantuan kredit sebanyak 59,1 persen. Dengan adanya kredit biaya garap petani bisa menggunakan modal awal yang dimiliki untuk menyewa lahan yang lain. Petani responden yang bermitra dengan alasan pemasaran sebanyak 31,7 persen. Dengan menjadi mitra sejak awal musim tanam penjualan tebu lebih mudah dan terjamin tidak ada tebu yang tersisa. Selain itu pembayaran juga lancar karena dibayar tiap minggu. Petani responden yang bermitra karena ingin meningkatkan keuntungan usahatani sebanyak 4,6 persen. Dengan bermitra akan mendapatkan bantuan sarana produksi seperti traktor, pupuk bersubsidi, serta bibit unggul sehingga diharapkan keuntungan usahatani akan meningkat. Petani responden yang bermitra karena lokasi dekat dengan PG 4,6 persen. 5.4.3. Manfaat Kemitraan Manfaat yang dirasakan responden mitra yaitu kemudahan mendapat bantuan modal, kemudahan pengadaan bibit unggul, kemudahan pengadaan pupuk, dan adanya kepastian pasar. Responden mitra yang memandang manfaat kemitraan dari sisi kemudahan bantuan modal sebanyak 50 persen. Responden yang merasa mendapat kepastian pasar sebanyak 22,7 persen. Responden yang merasa mendapat kemudahan pengadaan pupuk 18,2 persen. Responden yang merasa mendapat kemudahan pengadaan bibit unggul 9,1 persen. 5.4.4. Kendala Kemitraan Kesulitan yang dialami responden yaitu keterlambatan waktu pencairan kredit, keterlambatan waktu tebang, antri giling terlalu lama, transparansi rendemen, dan pelayanan petugas PG. Responden mitra yang merasakan keterlambatan kredit sebanyak 13,6 persen. Keterlambatan pencairan kredit membuat perawatan tebu tidak optimal karena pengerjaannya disesuaikan dengan dana yang tersedia. Responden mitra yang merasakan keterlambatan tebang sebanyak 27,3 persen. Responden yang menghadapi kesulitan karena antri giling yang terlalu lama sebanyak 13,6 persen. Hal ini terkait kerusakan mesin sehingga PG berhenti giling. Responden yang merasakan
50
kendala transparansi rendemen 36,4 persen. Responden yang mengalami kesulitan terkait pelayanan petugas PG sebanyak 9,1 persen. 5.4.5. Pembentukan Harga Harga gula terbentuk melalui proses lelang antara APTRI dan investor calon pembeli gula. Pabrik gula berperan sebagai fasilitator seperti mengundang calon pembeli serta menyediakan tempat lelang. Sebelum lelang pihak APTRI akan melakukan survei harga di pasar untuk menentukan harga awal pembuka lelang. Gula akan dijual kepada penawar tertinggi. Lelang dilakukan beberapa kali selama periode giling sesuai ketersediaan gula hasil giling pabrik gula. Harga yang terbentuk berfluktuasi sebagaimana harga gula di pasar. Harga terendah hasil lelang pada musim giling 2009 yaitu Rp 642.500,00 per kuintal. Harga tertinggi Rp 870.000,00 per kuintal. Setelah harga lelang disepakati, pembeli melakukan transfer uang ke rekening direksi pabrik gula. PG membayarkan uang tersebut ke petani sesuai hasil gula tiap petani dikurangi pelunasan pinjaman dan bunga. Pembayaran kepada petani bisa dilakukan melalui transfer atau pembayaran tunai sesuai permintaan petani.
VI. ANALISIS USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL Komponen analisis usahatani terdiri dari tiga variabel yaitu penerimaan, biaya, dan pendapatan. Hal ini juga berlaku pada usahatani tebu sehingga dilakukan variabel penerimaan, biaya, dan pendapatan tersebut dapat diukur. Pengukuran
dilakukan
dengan
menghitung
berapa
rupiah
yang
diterima/dikeluarkan petani tebu melalui wawancara dengan petani dan manajemen PG. 6.1. Biaya Usahatani Tebu Biaya usahatani adalah korbanan yang dicurahkan selama proses produksi. Biaya usahatani adalah korbanan yang dicurahkan selama proses produksi yang semula berbentuk fisik kemudian diberikan nilai rupiah (Hernanto, 1989). Suharjo dan Patong
(1973) membagi biaya usahatani menjadi
tiga
menurut sifatnya yaitu biaya tetap dan variabel, biaya yang dibayarkan (tunai) dan yang tidak dibayarkan (diperhitungkan), serta biaya langsung dan tidak langsung. Dalam penelitian ini, biaya dikelompokan menurut jenis yang kedua yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Dalam penelitian ini biaya-biaya berikut hanya muncul biaya tunai karena sebagian besar petani tebu yang melakukan penanaman tebu baru menggunakan traktor dengan cara sewa (89,5 persen responden), alat-alat yang kecil (misalnya cangkul, sabit, dan lempak) dimiliki oleh pekerja, bibit diperoleh dengan dibeli (68,4 persen responden), dan hampir seluruh responden (91,2 persen) tidak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Biaya usahatani tebu dalam penelitian yaitu biaya bibit, biaya pupuk, biaya obat tanaman, biaya pengairan, biaya sewa lahan, biaya pajak lahan, biaya bunga pinjaman, dan biaya tenaga kerja. Biaya bibit dan pupuk sudah termasuk ongkos angkut. Biaya yang diperhitungkan yaitu penggunaan biaya tenaga kerja sendiri, yaitu pengawasan yang dilakukan petani terhadap perawatan tebu. Gambaran biaya diuraikan sebagai berikut: 1. Biaya Bibit Dalam penelitian ini biaya bibit digolongkan menjadi biaya tunai karena 68,4 persen responden petani yang menanam tanaman tebu membeli bibit tersebut. Bibit dibeli dari PG atau dari petani lain. Petani yang tidak membeli bibit
52
biayanya dihitung dengan harga jual bibit yang digunakan pada saat tanam. Ratarata penggunaan bibit sekitar 126,4 ku per ha dengan kisaran nilai terendah 70 ku per ha hingga nilai tertinggi 150 ku per ha. Harga bibit rata-rata Rp 29.447,36 per ku dengan harga terendah Rp 22.000,00 per ku dan harga tertinggi Rp 40.000,00 per ku. 2. Biaya Pupuk Pupuk utama yang digunakan responden yaitu campuran pupuk ZA dan Phonska. Seluruh pupuk ZA dan Phonska tersebut diperoleh dengan pembelian sehingga biaya pupuk digolongkan dalam biaya tunai. Rata-rata penggunaan pupuk oleh responden petani mitra yaitu ZA sekitar 6 ku dan Phonska sekitar 5,5 ku. Petani tebu mitra memperoleh ZA dan Phonska bersubsidi melalui APTRI dengan harga ZA Rp 105.000,00 per ku dan Phonska Rp 175.000,00 per ku. Responden petani non-mitra mendapatkan pupuk ZA dan Phonska melalui tokotoko pertanian atau membeli kelebihan pupuk dari petani mitra dengan rata-rata harga ZA Rp 148.750,00 per ku dan Phonska 186.000,00 per ku. Karena itu responden petani non-mitra memperbanyak penggunaan ZA hingga penggunaan ZA rata-rata 7,1 ku per ha serta mengurangi penggunaan Phonska hingga rata-rata penggunaan Phonska 2,5 ku per ha. Pupuk alami digunakan pada tanaman baru. Responden petani yang menanam tebu baru 47 persen diantaranya menggunakan pupuk alami. Pupuk alami diaplikasikan pada lahan milik atau lahan sewa yang durasinya dua tahun atau lebih karena pupuk alami dampaknya tidak terlihat secara langsung tetapi dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah sehingga sayang jika digunakan pada lahan sewa setahun. Pupuk alami yang digunakan responden yaitu kompos, pupuk kandang, dan blotong (sisa kotoran nira tebu berupa abu hitam). Di daerah penelitian pupuk kandang tidak diperjualbelikan sehingga biayanya dihitung dari ongkos angkut dan bongkar muatnya. Sedangkan kompos dan blotong dibeli dengan harga sekitar Rp 20.000 per ku. Penggunaan pupuk alami rata-rata 21 ku per ha
53
3. Biaya Obat Tanaman Obat tanaman terdiri dari herbisida dan pestisida. herbisida yang digunakan responden antara lain amigras dan gramason. Pestisida yang digunakan antara lain roundup dan decis. Obat tanaman dibeli dari PG atau toko pertanian sehingga tergolong biaya tunai. Rata-rata biaya obat tanaman Rp 336.230,97 per ha. 4. Biaya Pengairan Selain mengandalkan air hujan, responden juga mengeluarkan biaya untuk mengairi lahan dengan memompa air dari sumur bor serta membayar iuran irigasi bagi yang lahannya memiliki saluran irigasi. Karena itu biaya pengairan termasuk biaya tunai. Biaya pengairan dengan pompa air dihitung dari biaya sewa pompa dan penggunanaan bahan bakar. Rata-rata biaya pengairan pada responden petani mitra Rp 264.226,71 per ha. Rata-rata biaya pengairan responden non-mitra Rp 268.268,45 per ha. 5. Biaya Sewa Lahan Sebagian besar lahan responden yaitu 72,1 persen merupakan lahan sewa. Karena itu biaya sewa lahan digolongkan menjadi biaya tunai. Biaya sewa lahan milik dihitung dengan menanyakan berapa harga sewa lahan tersebut jika disewakan pada musim tanam 2008-2009. Biaya sewa rata-rata Rp 10.063.715,00 per ha per tahun. 6. Biaya Pajak Lahan Pajak lahan tergolong biaya tunai karena 94,1 persen responden membayar pajak lahan. Sisanya (5,9 persen) dibayarkan oleh pemilik yang menyewakan lahan. Biaya pajak lahan rata-rata Rp 115.540,56 per ha per tahun. 7. Biaya Bunga Pinjaman Petani mitra mengeluarkan uang untuk membayar bunga pinjaman sehingga biaya bunga tergolong biaya tunai. Rata-rata biaya bunga yang ditanggung responden petani mitra Rp 282.129,37 per ha. Petani non-mitra tidak ada yang mengakses kredit sehingga tidak menanggung biaya bunga.
54
8. Biaya Tenaga Kerja Responden yang menggunakan tenaga kerja dalam keluarga hanya 8,8 persen. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga tersebut hanya 6,3 persen dari total biaya tenaga kerja. Karena itu biaya tenaga kerja digolongkan dalam biaya tunai. Penggunaan tenaga kerja dalam keluarga diperhitungkan sesuai tingkat upah pada saat aktivitas dilakukan. Rata-rata biaya tenaga kerja tanaman tebu baru Rp 8.743.161,00 per ha. Rata-rata biaya tenaga kerja tebu keprasan Rp 6.443.322,00 per ha. 6.2. Penerimaan Pada usahatani tebu tidak ada hasil panen yang dikonsumsi sendiri. Bibit sebagian besar diperoleh dengan cara dibeli. Jika menanan sendiri tanaman yang dijadikan bibit pengusahaanya dipisahkan dari tanaman yang dipanen karena umurnya hanya 5 bulan. Karena itu dalam penelitian ini semua penerimaan adalah penerimaan tunai. Petani yang menggilingkan tebu di PG mendapat penerimaan dari hasil lelang gula, bagian tetes tebu, serta premi MBS. Petani yang menjual tebu secara langsung memperoleh penerimaan dari pembayaran atas tebu yang dijual tersebut. Penerimaan rata-rata responden petani mitra Rp 28.535.278,00 per ha dan non-mitra Rp 25.389.281,00 per ha. 6.3. Pendapatan Pendapatan merupakan balas jasa terhadap penggunaan faktor-faktor produksi (lahan, modal, TK dan pengelolaan). Pada penelitian ini pendapatan responden petani mitra dibandingkan dengan non-mitra. Agar dapat dibandingkan maka biaya, penerimaan, dan pendapatan dirata-rata per hektar. Dari data penerimaan dan biaya bisa dilihat rasio penerimaan atas biaya atau rasio R/C. Rasio penerimaan atas biaya menunjukkan berapa besarnya penerimaan yang akan diperoleh dari setiap biaya yang dikeluarkan dalam produksi usahatani. Dengan analisis ini dapat diketahui apakah suatu usahatani menguntungkan atau tidak. Pada usahatani seluruh tebu dijual sehingga penerimaan tunai sama dengan penerimaan total. Informasi-informasi tersebut disajikan pada Tabel 13.
55
Tabel 12. Pendapatan Usahatani Uraian Penerimaan Tunai (Rp/ha) Biaya Tunai (Rp/ha) Biaya Total (Rp/ha) Pendapatan atas Biaya Tunai (Rp/ha) Pendapatan atas Biaya Total (Rp/ha) R/C atas Biaya Tunai R/C atas Biaya Total
Petani Mitra 28.535.278 20.034.971 20.797.425 8.500.307 7.737.853 1,42 1,37
Petani Non-mitra 25.389.281 21.076.125 21.853.189 4.313.156 3.531.189 1,20 1,16
Dari Tabel 12 terlihat bahwa R/C baik petani mitra maupun non mitra lebih bernilai lebih besar dari 1 sehingga keduanya layak diusahakan. Dari Tabel 12 juga terlihat bahwa nilai R/C atas biaya tunai dan biaya total petani mitra lebih besar dari non-mitra. Artinya setiap rupiah biaya tunai atau biaya total yang dikeluarkan oleh petani mitra akan memberikan penerimaan sebesar nilai R/C tersebut, dimana nilainya lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh petani non-mitra dari setiap rupiah biaya tunai atau biaya total yang dikeluarkan. Karena itu dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai R/C, usahatani tebu petani mitra lebih menguntungkan daripada non-mitra. Pada tabel 12 juga terlihat bahwa nilai R/C petani mitra lebih tinggi karena penerimaan lebih tinggi dan biaya lebih rendah. Penyebab penerimaan yang lebih tinggi tersebut karena produksi lebih tinggi. Produksi rata-rata petani mitra sebesar 780,55 kuintal per ha. Produksi rata-rata petani non-mitra 698,24 kuintal per ha. Harga tidak berpengaruh karena harga jual petani mitra dan non-mitra tidak dibedakan oleh pabrik gula. Penyebab nilai R/C petani mitra lebih tinggi yaitu biaya petani mitra lebih rendah, baik biaya tunai maupun biaya yang diperhitungkan. Hal ini karena pengalokasian input produksi lebih efisien, misalnya petani mitra memiliki tenga kerja tetap sehingga upah tenaga kerja lebih rendah karena adanya keberlangsungan pekerjaan bagi tenaga kerja tersebut. Petani mitra juga memiliki kemudahan akses terhadap pupuk bersubsidi, sehingga biaya pupuk menjadi efektif karena mampu melakukan pemupukan sesuai rekomendasi dari pabrik gula. Rekomendasi tersebut meliputi dosis pemakaian pupuk, waktu pemupukan, dan cara pemupukan sehingga memberikan hasil yang maksimal. Perbedaan biaya tenaga kerja terlihat jelas pada tebu keprasan (Tabel 15).
56
Tabel 13. Biaya Usahatani Tananaman Tebu Keprasan Komponen Biaya Mitra (Rp) Pupuk 1.813.857,83 Pestisida 246.608,00 Pengairan 372.072,63 Sewa 10.064.958,84 Pajak 109.014,87 Bunga 295.933,71 Biaya Tenaga Kerja Persiapan dan Kepras 497.996,66 Gebros 352.524,16 Pengairan 265.868,35 Sulam 428.743,58 Pemupukan 1-3 251.638,95 Bumbun 1-2 702.999,15 Songkel 190.714,62 Pengendalian Gulma 326.430,87 Pengendalian Hama 163.605,63 Kletek 1-2 895.673,09 Gendel 117.826,42 Tebang Angkut 2.676.531,31 Total Biaya Tenaga Kerja 6.870.552,78 Total Biaya Keprasan 19.772.998,66
Non-mitra (Rp) 1.558.149,00 21.596,24 737.051,79 10.509.257,91 171.955,24 0,00 858.936,72 639.017,01 283.957,76 493.997,62 338.662,33 1.376.730,27 255.646,31 279.720,28 347.115,38 1.028.020,81 408.333,33 3.543.107,14 9.853.244,95 22.851.255,14
Perbedaan biaya terlihat jelas pada tebu keprasan, dimana sebagian besar usahatani tebu responden merupakan tebu keprasan (83,21 persen dari luas lahan total merupaka tebu keprasan). Responden petani mitra membayar 13 persen lebih murah dari non-mitra. Biaya tenaga kerja yang ditanggung responden petani mitra 30,3 persen lebih murah dari non-mitra. Biaya tenaga kerja berpengaruh karena berkontribusi sekitar 37 persen dari biaya total. Responden petani mitra meskipun lebih mudah mengakses pupuk bersubsidi namun biaya pupuk lebih tinggi daripada responden non-mitra karena responden non-mitra mengurangi dosis pupuk yang digunakan. Biaya pestisida responden mitra lebih tinggi karena responden non-mitra masih jarang yang menggunakan pestisida, dosis penggunaan pun lebih sedikit karena petani merasa khawatir akan efek samping pestisida tersebut pada tanaman tebu.
57
Dari nilai R/C masing-masing petani mitra dan non-mitra bisa didapatkan nilai varian kedua kelompok petani tersebut. Nilai varian dapat digunakan untuk melihat tingkat risiko yang ditanggung kedua kelompok tersebut. Nilai varian yang lebih besar mencerminkan tingkat risiko yang lebih besar karena rentang nilai R/C lebih lebar, artinya bisa jadi relatif sangat tinggi atau relatif sangat rendah (Gambar 14). Gambar 14. Varian Nilai R/C Mitra dan Non-mitra Varian Mitra 0,017 Varian R/C atas Biaya Tunai 0,015 Varian R/C atas Biaya Total
Non-mitra 0,028 0,026
Baik nilai varian R/C atas biaya total maupun varian R/C atas biaya total petani mitra lebih rendah daripada non-mitra. Hal itu menggambarkan bahwa risiko yang ditanggung responden petani non-mitra lebih besar daripada mitra. Responden mitra menanggung risiko yang lebih kecil karena adanya jaminan modal serta bimbingan dalam pengelolaan usahataninya dari PG. Dengan demikian berdasarkan nilai varian R/C, petani mitra menanggung risiko yang lebih kecil dibandingkan non-mitra. Pendapatan adalah balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Karena itu imbalan terhadap faktorfaktor produksi tersebut dapat dianalisis. Imbalan tersebut dapat dibandingkan antara usahatani mitra dan non-mitra sehinga diketahui mana yang lebih menguntungkan (Tabel 14). Tabel 15. Imbalan kepada Seluruh Modal, Modal Petani, dan Tenaga Kerja Sendiri Imbalan kepada: Mitra Non-mitra Seluruh Modal (%) 36,8 24,3 Modal Petani (%) 32,3 24,3 Tenaga Kerja Sendiri (Rp) 226.133 95.133 Imbalan kepada seluruh modal (return to capital) pada responden mitra 36,8 persen per musim tanam (sekitar satu tahun). Artinya seluruh modal yang ditanamkan untuk membiayai usahatani tebu pada responden mitra akan menghasilkan imbalan senilai 36,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tersebut merupakan lahan investasi yang menarik karena mampu memberikan
58
imbalan yang lebih tinggi dari tingkat suku bunga bank. Imbalan kepada seluruh modal pada responden non-mitra sebesar 24,3 persen, masih lebih tinggi dari suku bunga bank. Berdasarkan nilai imbalan kepada seluruh modal, mitra lebih menguntungkan dibanding non-mitra. Imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital) pada responden mitra dan non-mitra masing-masing 32,3 persen dan 24,3 persen terhadap modal total. Hal ini mengindikasikan jika petani memiliki modal sebaiknya
diinvestasikan
pada
usahatani
tebu
daripada
ditabung
atau
didepositokan di bank karena imbalannya lebih tinggi daripada suku bunga bank. Imbalan kepada modal responden mitra masih lebih tinggi daipada non-mitra. Berdasarkan nilai imbalan kepada modal petani, mitra lebih menguntungkan dibanding non-mitra. Imbalan kepada tenaga kerja sendiri responden mitra Rp 226.133,00 per hari orang kerja. Nilai tersebut lebih tinggi 238 persen daripada imbalan kepada tenaga kerja sendiri responden non-mitra yang bernilai Rp 95.133,00 per hari orang kerja. Namun keduanya masih lebih tinggi dibanding upah rata-rata upah pekerja di daerah tersebut yakni Rp 22.100,00 per hari orang kerja. Hal ini sesuai dengan apa yang sudah dilakukan petani yaitu membayar tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan di usahataninya alih-alih mengerjakannya sendiri, petani berfungsi seperti manajer pada usahataninya. Berdasarkan imbalan kepada tenaga kerja sendiri, mitra lebih menguntungkan daripada non-mitra.
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI TEBU DI KECAMATAN TRANGKIL Setelah dilakukan analisis usahatani, perlu dibuktikan secara statistik apakah kemitraan berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan petani tebu responden di Kecamatan Trangkil. Untuk itu dilakukan analisis kuantitatif mengunakan model regresi linear berganda. Model tersebut digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani. 7.1. Koefisien Dugaan Model Dugaan Regresi Setelah pendugaan model sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab IV, langkah berikutnya yaitu pendugaan koefisien variabel bebas dalam model. Pendugaan koefisien tersebut dalam model logit menggunakan teknik ordinary least square (OLS). Untuk mengestimasi koefisien tersebut digunakan software Minitab 14 (Tabel 16). Tabel 16. Hasil Pendugaan Model Regresi Predictor Constant x 1 (produktivitas) x 2 (biaya) x 3 (kemitraan) x 4 (usia) x 5 (pendidikan) x 6 (pekerjaan) x 7 (penyuluhan) x 8 (penguasaan lahan) x 9 (pengalaman) S = 2758630
Coef SE Coef -4526441 4827404 302708 2306 -0,0409 0,1455 2509249 1880146 140802 72315 56881 138920 -1744043 1715976 133880 383097 3328450 1598514 298 77562 R-Sq = 44,1%
T P -0,94 0,358 1,61 0,121 -0,28 0,781 1,33 0,195 1,95 0,063 0,41 0,686 -1,02 0,320 0,35 0,730 2,08 0,048 0,00 0,997 R-Sq(adj) = 23,2%
Model regresi berganda menunjukkan bahwa produktivitas, kemitraan, usia, pendidikan, penyuluhan, penguasaan lahan, dan pengalaman memiliki koefisien yang bernilai positif. Variabel biaya dan pekerjaan memiliki koefisien yang bernilai negatif. Koefisien tersebut mencerminkan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Besar masing-masing koefisien dapat dilihat pada Tabel 14 di kolom Coef.
60
7.3. Uji Signifikansi Model Pengujian signifikansi model dilakukan dengan menggunakan nilai koefisien determinasi (R2). Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 44,1 persen, sedangkan nilai koefisien terkoreksi (R2 Adj) sebesar 23,2 persen. Artinya pendapatan usahatani tebu dapat dijelaskan sebesar 44,1 persen secara bersamasama oleh produktivitas, biaya, usia, pendidikan, pengalaman bertani tebu, luas lahan, status penguasaan lahan, frekuensi penyuluhan yang diikuti, keikutsertaan kemitraan, dan pekerjaan utama. Pada Tabel terdapat kolom yang dinotasikan dengan huruf P. Notasi P merupakan pernyataan dari P-value uji Wald. Apabila P-value tersebut lebih kecil dari dari α maka variabel tersebut berpengaruh nyata di dalam model pada taraf nyata sebesar α. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa pada taraf nyata 20 persen terdapat tiga variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap peluang responden untuk memperoleh pendapatan tinggi pada taraf nyata α = 20 persen. Variabel yang berpengaruh nyata tersebut yaitu produktivitas, kemitraan, usia, dan penguasaan lahan. Variabel yang tidak berpengaruh nyata yaitu biaya, pendidikan, pekerjaan, penyuluhan, dan pengalaman. 7.5. Interpretasi Koefisien Hasil pendugaan koefisien dan uji signifikansi variabel menunjukkan bahwa variabel produktivitas memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pendapatan di dalm model regresi berganda. Nilai koefisien 302708 artinya jika produktivitas lahan responden meningkat 1 kuintal per hektar maka pendapatan akan meningkat Rp 302.708,00. Produktivitas berpengaruh positif terhadap penerimaan, semakin tinggi produktivitas meningkatkan penerimaan. Jika penerimaan meningkat maka pendapatan pun akan meningkat. Variabel biaya memiliki pengaruh negatif terhadap pendapatan. Penurunan biaya akan meningkatkan pendapatan. Hal ini sesuai dengan konsep pendapatan sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III. Namun variabel biaya tersebut tidak signifikan karena karena dalam model digunakan biaya total tanpa merinci masing-masing komponen biaya. Hal ini membuat efektivitas masing-masing biaya tidak tergambarkan dalam model sehingga pengaruh variabel biaya tersebut terhadap peningkatan pendapatan menjadi tidak signifikan.
61
Variabel
kemitraan
berpengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
peningkatan pendapatan. Variabel kemitraan memiliki nilai koefisien 2509249, artinya jika responden menjadi mitra maka pendapatan akan lebih tinggi Rp 2.509.249,00. Hal ini membuktikan bahwa kemitraan menguntungkan bagi petani. Pada wawancara dengan petani tebu, petani tebu mitra yang telah memiliki modal tanam dapat mengalokasikan sebagian dana pinjaman untuk menyewa lahan lagi. Petani mitra yang menguasai lahan relatif lebih luas tersebut telah memiliki pekerja tetap sehingga pemeliharaan tanaman tebu bisa dilakukan pada waktu yang tepat di saat petani dengan luas lahan lebih kecil kesulitan tenaga kerja. Selain itu pekerja tetap juga bisa dibayar relatif lebih murah karena adanya kesinambungan pekerjaan bagi mereka. Dalam wawancara juga diketahui bahwa petani mitra mendapat kemudahan memperoleh pupuk bersubsidi sehingga waktu dan dosis pemupukan bisa lebih optimal. Bahkan ada beberapa petani mitra yang telah membeli pupuk sebelum musim tanam agar dapat dipakai tepat saat diperlukan. Petani non-mitra yang kesulitan mengakses pupuk bersubsidi akan mengurangi penggunaan pupuk atau waktu pemupukan kadang terlambat. Variabel usia memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan. Hal ini berbeda dengan pernyataan Giroh et al. (2006), bahwa output per tenaga kerja petani yang lebih tua bisa jadi lebih rendah seiring dengan penurunan produktivitasnya. Diduga perbedaan tersebut muncul karena pada usahatani tebu petani bukan sebagai tenaga kerja yang merawat tebu secara langsung, tetapi sebagai pengawas dan pengambil keputusan. Karena itu seiring dengan peningkatan usia, maka kepribadian petani semakin matang dan mampu mengalokasikan sumberdaya secara efektif dan efisien sehingga pendapatan usahatani meningkat. Variabel
pendidikan
berpengaruh
positif
terhadap
peningkatan
pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin baik pula pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya semakin cepat dalam melakukan perbaikan penyelenggaraan usahatani sehingga pendapatan usahatani meningkat. Namun berdasarkan hasil pemodelan ini tingkat pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan. Hal ini disebabkan saluran informasi yang paling dipercaya oleh petani di lokasi penelitian bersifat informal yaitu
62
pertukaran informasi antar petani (64,7 persen). Hal ini membuat variabel pendidikan formal tidak berpengaruh nyata. Variabel pekerjaan memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pendapatan. Pengaruh negatif disebabkan karena petani yang menjadikan usahatani tebu sebagai usaha sampingan justru memiliki dana lebih untuk diinvestasikan di usahatani tebu. Dengan tingkat imbalan kepada modal petani sebesar 29,6 persen maka petani yang menginvestasikan modal yang relatif lebih banyak maka pendapatannya akan meningkat. Variabel penguasaan lahan memiliki memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan. Nilai koefisien sebesar 3328450 berarti responden dengan penguasaan lahan sewa atau campuran pendapatannya lebih tinggi Rp 3.328.450,00 daripada penguasaan lahan milik saja. Penguasaan lahan sewa atau campuran membuat petani memperhitungkan biaya sewa sehingga lebih lebih cermat dalam pengalokasian sumberdaya demi mencapai keuntungan yang tinggi. Penguasaan lahan milik saja membuat petani seolah-olah menikmati keuntungan yang tinggi padahal belum memperhitungkan biaya sewa. Hal itu membuat petani dengan lahan milik saja cepat berpuas diri padahal tingkat pendapatan yang dicapai belum optimal. Variabel pengalaman memiliki pengaruh yang positif dan tidak signifikan terhadap peningkatan pendapatan. Implikasinya bahwa untuk peningkatan pendapatan tidak membutuhkan pengalaman berusahatani tebu yang lama. Hal ini sangat baik untuk menarik petani-petani baru karena memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan pendapatan yang tinggi.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa PG melakukan kemitraan untuk menjaga kontinuitas bahan baku serta memudahkan perencanaan produksi. Perencanaan produksi lebih mudah karena luas lahan petani mitra telah diketahui di awal musim tanam. Dari luas lahan tersebut jumlah tebu yang akan digiling dapat diperkirakan berdasarkan data produktivitas lahan di tahun-tahun sebelumnya serta pengamatan selama musim tanam. Petani bermitra karena ingin mendapat bantuan kredit (59,1 persen), alasan pemasaran ( 31,7 persen), ingin meningkatkan keuntungan usahatani (4,6 persen), karena lokasi dekat dengan PG (4,6 persen). Proses pelaksanaan kemitraan yaitu petani yang ingin menjadi mitra mendaftarkan lahan yang dikuasai ke PG. Kemudian petugas PG mengecek serta memetakan lahan tersebut dengan alat GPS. Kemudian kedua belah pihak mengadakan perjanjian untuk bekerjasama dimana petani menggilingkan seluruh tebu hasil dari lahan tersebut dan PG memproses tebu milik petani menjadi gula, serta membantu terutama pengajuan pupuk bersubsidi dan kredit. Seluruh petani tebu mitra yang menjadi responden menerima pupuk bersubsidi. Petani tebu responden yang memanfaatkan fasilitas kredit sebanyak 81,8 persen, sisanya tidak mengambil kredit karena tidak ingin menanggung hutang.Dalam pengajuan kredit, PG berperan sebagai avalis yaitu penanggung jawab risiko kegagalan pengembalian kredit. Pembayaran kredit dipotong dari pembayaran nota gula saat musim giling. Nota gula yaitu surat yang merangkum jumlah pembayaran oleh PG kepada petani. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa kemitraan membuat pendapatan petani mitra lebih tinggi daripada non-mitra, yang ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih tinggi. Produktivitas tebu petani mitra lebih tinggi dan biaya usahatani lebih rendah. Pendapatan yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Karena itu dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai R/C kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan.
64
Imbalan kepada modal petani (return to capital) pada petani mitra dan non-mitra masing-masing 36,8 persen dan 24,3 persen terhadap modal total. Imbalan kepada modal petani (return to farm equity capital) pada responden mitra dan non-mitra masing-masing 32,3 persen dan 24,3 persen terhadap modal total. Imbalan kepada tenaga kerja sendiri responden mitra dan non-mitra masingmasing Rp 226.133,00 dan Rp 95.133,00 per hari orang kerja. Karena itu dapat disimpulkan bahwa berdasarkan imbangan kepada modal, imbangan kepada modal petani, dan imbalan kepada tenaga kerja sendiri, kemitraan berpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan. Perbedaan R/C juga dikuatkan dengan hasil analisis regresi dimana variabel lain yang berpengaruh nyata dan positif terhadap pendapatan yaitu produktivitas, kemitraan, usia, penguasaan lahan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berdasarkan analisis regresi berganda kemitraan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan. 8.2. Saran Petani dalam memutuskan untuk mengikuti kemitraan atau tidak sebaiknya menimbang manfaat dan kesulitannya. Dengan demikian kemitraan dapat dibangun atas dasar pilihan logis dan tanggung jawab sehingga menguntungkan kedua pihak. Mengingat variabel penguasaan lahan berpengaruh nyata terhadap peluang petani untuk memperoleh pendapatan tinggi, petani bisa mengikuti kemitraan kemudian sebagian dana pinjaman digunakan untuk perluasan lahan. petani non-mitra mulai mempertimbangkan hal ini sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Selain itu variabel pengalaman tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan sehingga upaya-upaya peningkatan pendapatan bisa lebih mudah diterapkan, tidak terbatas kepada petani yang sudah berpengalaman saja, petani baru pun memilki kesempatan yang sama. Investor sebaiknya mulai melirik usahatani tebu sebagai lahan investasi yang menarik. Hal itu mengingat nilai imbalan kepada modal petani pada responden mitra dan non-mitra masing-masing 36,8 persen dan 24,3 persen terhadap modal total. Nilai tersebut lebih tinggi dari suku bunga bank. Alih-alih menabung, petani lebih baik menginvestasikan uangnya untuk pengembangan
65
usahataninya karena imbalan kepada modal petani lebih tinggi dari suku bunga bank. Bagi pabrik gula, kesejahteraan peningkatan kesejahteraan petani akan menjamin kontinuitas bahan baku sehingga perlu ditingkatkan. Untuk peningkatan kualitas tebu sebaiknya PG bekerjasama dengan petani dengan langsung membuat pilot project di salah satu lahan petani sebagai lahan percontohan, karena akses informasi petani masih terpusat pada pertukaran pengalaman dan informasi antar petani (64,7 persen).
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Deptan. 2008. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. http://www.litbang.deptan.go.id (diakses 17 Juni 2008) Beattie R & C Robert Taylor. 1985. Ekonomi Produksi. Soeratno J, penerjemah. Yoyakarta: UGM Press. Terjemahan dari: The Economics of Production. Desintha, Menallya. 2006. Peran Kemitraan terhadap Peningkatan Pendapatan Peternak Broiler di Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fahrudda, Ansarul, A. Ratgono, Sulthoni, Hendro Soelistiono. 2005. Pendekatan Kemitraan Berbasis Masyarakat dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis. http://www.dinkesjatim.go.id. (diakses tanggal 19 Juni 2008) Fitriani, Eva. 2003. Analisis Kemitraan dan Efisiensi Ekonomi Usaha Tenak Ayam Broiler di Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hafsah, Muhammad Jafar. 2000. Kemitraan Usaha. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Harjanto, Sri. 2000. Teori mengenai Kemitraan Penelitian. http://www.mailarchive.com/itb. (diakses tanggal 17 Juni 2008) Hernanto, Fadholi. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya Hurlock EB. 2004. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Istiwidayanti dan Soedjarwo, penerjemah. Ed ke-5. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Developmental Psychology A Life-Span Approach, Fifth Edition. Iftauddin. 2005. Analisis Kemitraan antara PT Atina dengan Petani Udang di Desa Banjar Panji, Kecamatan Sidoarjo, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Inayya. 2003. Analisis Komparatif Pendapatan Petani Tebu dengan dan Tanpa Penggunaan Pupuk Anorganik Cair. Skripsi. http://digilib.ti.itb.ac.id (diakses 20 Juni 2008) Mirsawan, B. Dradjat. 2007. Audit Teknologi, Langkah Awal Meningkatkan Efisiensi Pabrik Gula. http://www.pustaka-deptan.go.id (diakses 17 Juni 2008)
67
Murtiasih, Sri. 2008. Pengantar Ekonomi Mikro. http://www.pdfdatabase.com. (diakses 12 Juni 2010) Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia. Noorjaya, Tika. 2001. Business Linkage: Enhancing Access of SME to Financing Institutions. http://www.bappenas.go.id. (diakses tanggal 19 Juni 2008) Nuryanti, Sri. 2007. Usaha Tani Tebu Pada Lahan Sawah dan Tegalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Skripsi. http://www.ekonomirakyat.org. (diakses tanggal 25 Juni 2008) Siegler IC, Bosworth HB, Poon LW. Disease, Health, and Aging. Di dalam Lerner RM, Easterbrooks MA, Mistry J, Weiner IB. Handbook of Psychology volume 6 Developmental Psychology.New jersey: John Wiley and Sons, Inc. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-Press Soeharjo A, Patong D. 1973. Sendi-Sendi Pokok Usahatani. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian IPB. Susila, W.R. dan A. Susmiadi. 2000.Analisis Dampak Pembebasan Tarif Impor dan Perdagangan Bebas terhadap Industri Gula. Laporan Penelitian. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia, Bogor. Tim Tolok Ukur Kegiatan PengkajianSistem Dinamis Manajemen Industri Gula Nasional. 2004. Permasalahan dan Alternatif Kebijakan Sistem Manajemen Industri Gula. Makalah. Witasari, Sukma. 1996. Dampak Pola Kemitraan Contract Farming Terhadap Pendapatan Petani dan Eksportir Kopi di Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Yunanto, Muhammad. 2006. Teori Ekonomi Mikro. http://www.pdfdatabase.com. (diakses 13 Juni 2010)
LAMPIRAN
69
Lampiran 1. Data Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama Karsumi Lucky Wiwik M. Heriyadi Nasiban Supadi Sukadar Saibi Supandan YA Supanto Ikhwan Suyitno M. Tulus Aksan Abdul Hadi Sutowo Mastur Ismail Wilopo Imam Supeno Sukarmidi Choesnin Sarjono Wajianto Kunartono Wakid K. S. Tarno Sutaji Wagiman Kadarto A. Tamsir A. Sukron Fauzi Mulyono Edi Rujito
Luas lahan
Usia
Pendidikan
Kemitraan
24,000 130,249 11,000 81,000 10,579 21,754 24,000 5,184 42,000 32,000 32,000 7,500 22,000 4,000 5,000 27,000 1,500 2,000 2,780 15,000 36,000 21,000 12,000 o,260 0,286 4,000 0,500 0,500 5,000 5,000 1,000 1,000 0,286 5,000
45 30 35 35 70 47 46 64 53 37 44 43 40 75 72 37 45 43 49 29 52 54 60 58 61 55 60 71 55 40 44 47 41 56
2 16 13 16 6 1 12 3 5 16 12 12 19 12 9 12 12 12 11 12 6 6 12 12 12 6 12 6 12 16 12 12 16 12
Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
70
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama Karsumi Lucky Wiwik M. Heriyadi Nasiban Supadi Sukadar Saibi Supandan YA Supanto Ikhwan Suyitno M. Tulus Aksan Abdul Hadi Sutowo Mastur Wilopo Imam S. Sukarmidi Choesnin Sarjono Wajianto Kunartono Wakid K. S. Tarno Sutaji Wagiman Kadarto A. Tamsir A. Sukron Fauzi Mulyono Edi Rujito
Produktivitas
Biaya
Penguasaan Lahan
Pengalaman
640 697 545 749 610 542 739 606 1259 958 879 320 727 598 992 585 715 600 889 728 776 657 853 242 297 592 392 458 453 522 296 754 196 1327
20.121.792 19.631.231 14.609.273 22.841.815 20.936.667 24.075.476 19.072.667 22.224.537 18.720.881 18.321.938 17.870.438 21.505.733 17.074.773 22.138.750 22.559.800 19.691.074 16.492.000 16.821.000 25.076.619 24.209.467 19.020.444 19.374.571 25.919.750 17.434.615 14.321.678 17.019.250 31.534.000 13.910.683 16.293.000 19.385.200 17.700.000 14.830.000 15.388.112 22.050.000
Campuran Campuran Sewa Campuran Milik Campuran Campuran Campuran Campuran Campuran Campuran Campuran Campuran Milik Milik Campuran Campuran Campuran Milik Campuran Campuran Campuran Campuran Milik Milik Campuran Campuran Milik Campuran Sewa Milik Milik Milik Campuran
7 8 5 12 34 11 10 17 29 18 19 9 12 33 18 11 6 24 18 4 22 30 5 5 2 3 10 5 5 5 22 10 5 5
71
Lampiran 2. Imbangan Penerimaan dan Biaya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama Karsumi Lucky Wiwik M.Heriyadi Nasiban Supadi Sukadar Saibi Supandan YA.Supanto Ikhwan Suyitno M. Tulus Aksan Abdul Hadi Sutowo Mastur Wilopo Imam S. Sukarmidi Choesnin Sarjono Wajianto Kunartono Wakid K. S. Tarno Sutaji Wagiman Kadarto A. Tamsir A. Sukron Fauzi Mulyono Edi Rujito VAR mitra VAR non-mitra
Penerimaan per ha
Biaya tunai per ha
Biaya total per ha
Rp26.636.291,67 Rp25.302.251,84 Rp21.636.181,82 Rp29.864.765,43 Rp29.763.871,82 Rp37.403.741,84 Rp24.856.166,67 Rp32.384.645,06 Rp30.621.428,57 Rp25.079.812,50 Rp30.825.531,25 Rp30.534.933,33 Rp25.995.818,18 Rp34.444.250,00 Rp30.149.000,00 Rp30.084.259,26 Rp23.875.333,33 Rp25.391.000,00 Rp31.799.280,58 Rp29.744.000,00 Rp25.981.277,78 Rp25.402.285,71 Rp34.144.583,33 Rp21.153.846,15 Rp20.979.020,98 Rp20.000.000,00 Rp38.000.000,00 Rp19.000.000,00 Rp24.683.000,00 Rp29.776.200,00 Rp22.340.000,00 Rp19.000.000,00 Rp19.230.769,23 Rp38.712.200,00
Rp20.121.791,67 Rp19.631.230,77 Rp14.609.272,73 Rp22.841.814,81 Rp20.936.666,98 Rp24.075.476,19 Rp19.072.666,67 Rp22.224.537,04 Rp18.720.880,95 Rp18.321.937,50 Rp17.870.437,50 Rp21.505.733,33 Rp17.074.772,73 Rp22.138.750,00 Rp22.559.800,00 Rp19.691.074,07 Rp16.492.000,00 Rp16.821.000,00 Rp25.076.618,71 Rp24.209.466,67 Rp19.020.444,44 Rp19.374.571,43 Rp25.919.750,00 Rp17.434.615,38 Rp14.321.678,32 Rp17.019.250,00 Rp29.534.000,00 Rp13.910.683,01 Rp16.293.000,00 Rp19.385.200,00 Rp17.700.000,00 Rp14.830.000,00 Rp15.388.111,89 Rp22.050.000,00
Rp20.801.791,67 Rp20.291.230,77 Rp15.509.272,73 Rp23.765.814,81 Rp21.596.666,98 Rp24.695.476,19 Rp19.792.666,67 Rp22.964.537,04 Rp19.420.880,95 Rp19.096.937,50 Rp18.720.437,50 Rp22.330.733,33 Rp17.794.772,73 Rp22.738.750,00 Rp23.239.800,00 Rp20.516.074,07 Rp17.212.000,00 Rp17.646.000,00 Rp25.901.618,71 Rp24.934.466,67 Rp19.945.444,44 Rp20.074.571,43 Rp26.694.750,00 Rp18.284.615,38 Rp15.146.678,32 Rp17.739.250,00 Rp30.134.000,00 Rp14.590.683,01 Rp17.118.000,00 Rp20.105.200,00 Rp18.525.000,00 Rp15.655.000,00 Rp16.113.111,89 Rp22.975.000,00
R/C R/C tunai total 1,324 1,289 1,481 1,307 1,422 1,554 1,303 1,457 1,636 1,369 1,725 1,420 1,522 1,556 1,336 1,528 1,448 1,509 1,268 1,229 1,366 1,311 1,317 1,213 1,465 1,175 1,287 1,366 1,515 1,536 1,262 1,281 1,250 1,756
1,280 1,247 1,395 1,257 1,378 1,515 1,256 1,410 1,577 1,313 1,647 1,367 1,461 1,515 1,297 1,466 1,387 1,439 1,228 1,193 1,303 1,265 1,279 1,157 1,385 1,127 1,261 1,302 1,442 1,481 1,206 1,214 1,193 1,685
0,016
0,014
0,028
0,026
72
Lampiran 3. Imbalan kepada Seluruh Modal, Modal Petani, dan Tenaga Kerja Sendiri Imbalan kepada Imbalan kepada Imbalan kepada Nama Seluruh Modal Modal Petani TK Sendiri No 1 Rp5.154.500,00 Rp4.966.500,00 Rp3.150.285,00 Karsumi 2 Rp4.351.021,07 Rp4.048.021,07 Rp2.273.073,38 Lucky 3 Rp5.226.909,09 Rp5.226.909,09 Rp4.265.796,36 Wiwik 4 Rp5.174.950,62 Rp4.910.825,62 Rp2.982.927,84 M.Heriyadi 5 Rp7.507.204,84 Rp7.340.204,84 Rp5.408.604,80 Nasiban 6 Rp12.088.265,65 Rp11.942.265,65 Rp9.598.808,51 Supadi 7 Rp4.343.500,00 Rp4.281.500,00 Rp2.626.380,00 Sukadar 8 Rp8.680.108,02 Rp8.489.108,02 Rp6.473.363,58 Saibi 9 Rp10.500.547,62 Rp10.253.547,62 Rp8.623.041,90 Supandan 10 YA.Supanto Rp5.207.875,00 Rp4.453.875,00 Rp2.937.242,50 11 Ikhwan Rp11.255.093,75 Rp11.116.093,75 Rp9.719.641,25 12 Suyitno Rp7.379.200,00 Rp7.201.950,00 Rp5.347.262,00 13 M. Tulus Rp7.481.045,45 Rp7.375.045,45 Rp5.959.672,73 14 Aksan Rp10.930.500,00 Rp10.930.500,00 Rp8.801.850,00 15 Abdul Hadi Rp6.229.200,00 Rp5.949.200,00 Rp3.840.424,00 16 Sutowo Rp8.743.185,19 Rp8.564.685,19 Rp6.927.756,30 17 Mastur Rp5.943.333,33 Rp5.943.333,33 Rp4.597.893,33 18 Wilopo Rp6.920.000,00 Rp6.920.000,00 Rp5.627.480,00 19 Imam S. Rp5.072.661,87 Rp4.518.345,32 Rp2.235.151,08 20 Sukarmidi Rp4.189.533,33 Rp4.079.633,33 Rp1.812.497,33 21 Choesnin Rp5.315.833,33 Rp5.083.666,67 Rp3.615.213,33 22 Sarjono Rp4.627.714,29 Rp4.475.839,29 Rp2.766.890,71 23 Wajianto Rp6.674.833,33 Rp6.674.833,33 Rp4.246.463,33 24 Kunartono Rp2.019.230,77 Rp2.019.230,77 Rp675.076,92 25 Wakid K. Rp5.007.342,66 Rp5.007.342,66 Rp4.014.741,26 26 S. Tarno Rp1.540.750,00 Rp1.540.750,00 Rp132.040,00 27 Sutaji Rp3.091.000,00 Rp3.091.000,00 Rp74.920,00 28 Wagiman Rp3.729.316,99 Rp3.729.316,99 Rp2.658.435,03 29 Kadarto Rp6.740.000,00 Rp6.740.000,00 Rp5.510.840,00 30 A. Tamsir Rp8.951.000,00 Rp8.951.000,00 Rp7.258.376,00 31 A. Sukron Rp2.990.000,00 Rp2.990.000,00 Rp1.592.000,00 32 Fauzi Rp2.520.000,00 Rp2.520.000,00 Rp1.466.400,00 33 Mulyono Rp2.392.657,34 Rp2.392.657,34 Rp1.184.083,92 34 Edi Rujito Rp11.017.200,00 Rp11.017.200,00 Rp9.185.200,00 36,80280682% 32,26019461% Rp226.133,00 Mitra 24,31483515% 24,31483515% Rp95.666,10 Non-mitra
73
Lampiran 4. Output Minitab 14 dari Model Regressi Linear Berganda FaktorFaktor yang Memengaruhi Pendapatan Petani Tebu Regression Analysis: pendapatan versus produktivitas; biaya; ... The regression pendapatan = kemitraan + + pengalaman
equation is 4526441 + 3708 produktivitas - 0,041 biaya + 2509249 140802 usia + 56881 pendidikan - 1744043 pekerjaan 133880 penyuluhan + 3328450 penguasaan lahan + 298
Predictor Constant produktivitas biaya kemitraan usia pendidikan pekerjaan penyuluhan penguasaan lahan pengalaman
S = 2758630
Coef -4526441 302708 -0,0409 2509249 140802 56881 -1744043 133880 3328450 298
R-Sq = 44,1%
SE Coef 4827404 2306 0,1455 1880146 72315 138920 1715976 383097 1598514 77562
T -0,94 1,61 -0,28 1,33 1,95 0,41 -1,02 0,35 2,08 0,00
P 0,358 0,121 0,781 0,195 0,063 0,686 0,320 0,730 0,048 0,997
R-Sq(adj) = 23,2%
Analysis of Variance Source Regression Residual Error Total
DF 9 24 33
Source produktivitas biaya kemitraan usia pendidikan pekerjaan penyuluhan penguasaan lahan pengalaman
SS 1,44294E+14 1,82641E+14 3,26935E+14
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1
MS 1,60327E+13 7,61004E+12
F 2,11
P 0,070
Seq SS 8,23082E+13 6,26898E+12 1,02753E+13 1,23008E+13 13333237468 6693436661 25856630563 3,30949E+13 112113462
Unusual Observations Obs 6 34
produktivitas 542 1133
pendapatan 13328266 16062200
Fit 7671951 10670734
SE Fit 1636146 1830958
Residual 5656315 5391466
R denotes an observation with a large standardized residual.
St Resid 2,55R 2,61R