PENGARUH JENIS BAHASA NARASI DAN BENTUK PESAN VISUAL VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG CHIKUNGUNYA DI KALANGAN SISWA SMAN 1 CIAMPEA
MUHAMMAD ALIF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASINYA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengaruh Jenis Bahasa Narasi dan Bentuk Pesan Visual Video Terhadap Peningkatan Pengetahuan Tentang Chikungunya Di Kalangan Siswa SMAN 1 Ciampea adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
Muhammad Alif P 054050091
ABSTRACT MUHAMMAD ALIF. The Influences of the Type of Naration Language and Video Visual Message Toward The Improvement of Knowledge on Chikungunya Among Students of SMAN 1 Ciampea. Under direction of SYAHRUN HAMDANI NASUTION and FARIDA ROHADJI. This research was conducted to determine the influences of the type of naration language and video visual message toward the improvement of knowledge on Chikungunya, among students of SMAN 1 Ciampea, Bogor. This experiment had been conducted to 80 students which were selected purposively and divided into four treatment group. Data was analyzed using paired sample ttest, analysis of varians, and Duncan’s multiple range test. The result shows that, there is an improvement of knowledge, among students after watching the video on Chikungunya. However, there is no significant difference of knowledge on Chikungunya, on the influence of the use of Sundanese and Bahasa Indonesia. Similarly, there is no significant difference about the video treatment between realistic visualization (motion) and graphic visualization (still). All four treatment combinations do not show any significant difference in the student’s knowledge improvement on Chikungunya. Keywords : Video, Language Narration, Visual Message, Chikungunya
ABSTRAK MUHAMMAD ALIF. Pengaruh Jenis Bahasa Narasi Dan Bentuk Pesan Visual Terhadap Peningkatan Pengetahuan tentang Chikungunya Di kalangan Siswa SMAN 1 Ciampea. Dibimbing oleh SYAHRUN HAMDANI NASUTION dan FARIDA ROHADJI. . Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat pengaruh jenis bahasa narasi dan bentuk pesan visual video terhadap peningkatan pengetahuan tentang Chikungunya dikalangan siswa SMAN 1 Ciampea. Penelitian eksperimen ini dilakukan pada 80 siswa yang dipilih secara purposive dan dibagi menjadi empat kelompok perlakuan. Data dianalisa dengan menggunakan uji t-test, analisa sidik ragam dan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan setelah melihat video, terdapat peningkatan pengetahuan siswa tentang penyakit Chikungunya. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan di antara para siswa, namun perbedaan tersebut tidak signifikan terjadi pada jenis bahasa narasi, yaitu antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, demikian juga dengan bentuk pesan visual, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara visual realistik dan visual diam sehingga seluruh perlakuan yaitu 4 (empat) kombinasi perlakuan dalam penelitian ini, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada peningkatan pengetahuan siswa tentang Chikungunya. Meskipun tidak terdapat perbedaan nyata pada semua kombinasi perlakuan, namun 4 (empat) kombinasi perlakuan tersebut efektif digunakan pada penyampaian informasi tentang penyakit Chikungunya. Kata kunci: Video, Bahasa Narasi, Pesan Visual, Chikungunya
© Hak cipta milik IPB tahun 2008 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGARUH JENIS BAHASA NARASI DAN BENTUK PESAN VISUAL VIDEO TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN TENTANG CHIKUNGUNYA DI KALANGAN SISWA SMAN 1 CIAMPEA
MUHAMMAD ALIF
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
Nama NRP Program Studi
: Pengaruh Jenis Bahasa Narasi dan Bentuk Pesan Visual Video terhadap Peningkatan Pengetahuan tentang Chikungunya di Kalangan Siswa SMAN 1 Ciampea : Muhammad Alif : P 054050091 : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution Ketua
Dra. Farida Rohadji, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS
Tanggal Ujian : 23 Januari 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS
i
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Jenis Bahasa Narasi Dan Bentuk Pesan Visual Video terhadap Peningkatan Pengetahuan tentang Chikungunya di kalangan Siswa SMAN 1 Ciampea” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), SPs IPB. Terima kasih mendalam penulis sampaikan kepada yang tercinta ayahanda Drs. H. Faridal Arkam. M.Pd dan ibunda Hj. Chairiah S.Sos yang selalu mendoakan keberhasilan penulis, serta adik-adik penulis Hanifah Ayu SP dan Syarifah Aini yang telah memberi dukungan Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan tersusun tanpa bantuan berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dra. Farida Rohadji, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memacu dan membantu penulis dalam penyelesaian penulisan tesis, serta dengan sabar dan tulus telah memberikan bimbingan dan ilmunya kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi KMP sekaligus Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sumardjo, MS dan seluruh dosen pengasuh mata kuliah yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, serta staf sekretariat KMP dan staf sekretariat SPs IPB yang banyak membantu penulis dalam administrasi. Ich bedanke mich bei Nurmelati Septiana, die mir beim Schreiben meiner wissenschaftlichen Arbeit schon viel geholfen hat. Vielen Dank für alles. Hoffentlich gehen unsere Wünsche in Erfüllung. Terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa KMP : Afia Tahoba, Badri, Haris, Selly, Ponti, Firmanto, Ikhsan, Sukri, Anna, Farida, Fahir, Deni, Albert, Yasinta, Etik, Fuad, yang selama ini bekerjasama dalam studi, interaksi dan membantu dalam penyelesaian tesis ini.
ii
Terima kasih penulis sampaikan kepada M. Aqil, Hendri Petrusi, Mamak Yazid, Rauf Agri FM serta Komunitas Underground yang selama ini menjadi penyemangat dan inspirasi dalam hidup. Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini terdapat kekurangan, oleh karena itu dengan segala keterbukaan diharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tulisan ini.
Semoga tesis ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bogor, Januari 2008
Penulis
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1982 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari Drs. H. Faridal Arkam. M.Pd dan Hj. Chairiah S.Sos. Pendidikan SDN 03, SLTPN 144 dan
SMUN 83 lulus tahun 1999.
Kemudian melanjutkan studi di Jurusan komunikasi, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan lulus tahun 2004. Tahun 2005 penulis diterima di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB, kemudian menyelesaikannya tahun 2008.
iv
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
viii
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
Latar Belakang..................................................................................
1
Perumusan Masalah ..........................................................................
5
Tujuan Penelitian ..............................................................................
7
Kegunaan Penelitian ................................................................. .......
8
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
9
Komunikasi massa ............................................................................
9
Media audiovisual video...................................................................
10
Format medium video.......................................................................
12
Narasi
............................................................................................
12
Jenis Bahasa Narasi ..........................................................................
14
Bahasa Indonesia ..............................................................................
15
Bahasa Sunda ...................................................................................
16
Bentuk Pesan Visual ................................................................. .......
17
Visualisasi Realistik .........................................................................
17
Visualisasi Grafis atau Gambar Diam ..............................................
19
Tahap Pengembangan Pesan Video..................................................
21
Peningkatan Pengetahuan .................................................................
21
Efek Media Audiovisual ...................................................................
22
Chikungunya.....................................................................................
23
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ....................................
27
Kerangka Pemikiran .........................................................................
27
Bahasa Narasi Sunda versus Bahasa Narasi Indonesia ............
27
v
Visual Gambar Realistik versus Visual gambar Diam..............
29
Hipotesis ...........................................................................................
33
METODOLOGI PENELITIAN..............................................................
34
Lokasi Penelitian ..............................................................................
34
Populasi dan Sampel Penelitian........................................................
34
Desain Penelitian ..............................................................................
34
Tahapan Penelitian............................................................................
35
Metode Pengambilan Data................................................................
36
Instrumen ..........................................................................................
36
Analisis Data.....................................................................................
37
Validitas dan Realibilitas..................................................................
37
Uji Coba dan Evaluasi Media ...........................................................
38
Definisi Operasional .........................................................................
39
HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................
41
Gambaran Umum SMAN 1 Ciampea...............................................
41
Karakteristik Responden...................................................................
41
Pengetahuan Awal dan Akhir Responden ........................................
44
Peningkatan Pengetahuan .................................................................
47
Pengaruh Bahasa Narasi ...................................................................
50
Pengaruh Pesan Visual. ....................................................................
54
Pengaruh Interaksi Bahasa Narasi dan Bentuk Pesan Visual ...........
58
KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
61
Kesimpulan .......................................................................................
61
Saran .................................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
63
LAMPIRAN............................................................................................
68
vi
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Matriks Tabel Desain Faktorial 2 x 2.................................................
35
2. Distribusi Hasil Uji Coba dan Evaluasi Video Pada Berbagai Kelompok Perlakuan .........................................................................
39
3. Karakteristik Responden ....................................................................
42
4. Skor Pengetahuan Awal Responden ..................................................
45
5. Hasil Analisa Sidik Ragam Terhadap Skor Pengetahuan Awal Responden ................................................................................45 6. Skor Pengetahuan Akhir Responden..................................................
46
7. Hasil Analisa Sidik Ragam ................................................................
46
8. Skor Pre-Test, Post-Test dan Peningkatan Pengetahuan ...................
47
9. Hasil Analisa t Test ............................................................................
48
10. Hasil Rataan Skor Peningkatan Pengetahuan ...................................
49
11. Hasil Analisa Sidik Ragam Dua Arah...............................................
50
12. Hasil Uji Wilayah Berganda Duncan................................................
59
vii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Kerangka Penelitian ............................................................................
32
2. Grafik Rata-Rata Peningkatan Pengetahuan .......................................
49
3. Peningkatan Pengetahuan ...................................................................
58
viii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Desain Pesan Dalam Format Visual Realistik Dengan Bahasa Sunda
68
2. Desain Pesan Dalam Format Visual Realistik Dengan Bahasa Indonesia.................................................................................
77
3. Desain Pesan Dalam Format Visual Diam Dengan Bahasa Sunda....
87
4. Desain Pesan Dalam Format Visual Diam Dengan Bahasa Indonesia...............................................................................
97
5. Kuesioner Karakteristik Responden...................................................
107
6. Kuesioner Tanggapan Video..............................................................
110
7. Kuesioner Penelitian Untuk Mendapatkan Data Peningkatan Pengetahuan Responden ....................................................................
113
8. Karakteristik Responden ....................................................................
117
9. Data Pre-Test, Post-Test dan Skor Peningkatan Pengetahuan...........
120
10. Hasil Uji Wilayah Berganda Duncan................................................
122
11. Reliabilitas Instrumen Media ............................................................
124
12. Reliabilitas Instrumen Peningkatan Pengetahuan .............................
126
13. Hasil Analisa Sidik Ragam Pre Test .................................................
128
14. Hasil Analisa Sidik Ragam Post Test ...............................................
129
15. Uji Paired Sample t-Test ...................................................................
130
16. Hasil Analisa Sidik Ragam dan Uji Wilayah Duncan ......................
131
17. Hasil Analsia Interaksi Bahasa Narasi dan Bentuk Pesan VISUAL
132
18. Ijin Penelitian ....................................................................................
133
19. Surat Keterangan Pelaksanaan Penelitian .........................................
134
PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menghasilkan begitu banyak media komunikasi yang dapat digunakan untuk mendiseminasikan informasi kepada masyarakat. Semakin banyak media yang tersedia, maka pertimbangan para perencana dalam menetapkan dan menggunakan media komunikasi yang tepat untuk membantu mendiseminasikan informasi juga semakin rumit. Salah satu media yang potensial bagi upaya mendiseminasikan informasi kepada khalayak adalah dengan medium video. Pesan melalui media video dapat dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan, informasi dan hiburan (entertainment) kepada masyarakat karena mampu menarik perhatian orang dan dapat menjangkau khalayak dalam bentuk kelompok, serta membuat penonton menghayati pesan-pesan yang persuasif dan menggugah emosi penontonnya. Medium video dapat membantu masyarakat belajar secara maksimal, menurut Tiffon dan Combes (dalam Schramm, 1974) medium ini dapat menyampaikan pesan dengan cara yang lebih konkrit dan jelas daripada pesan yang disampaikan melalui kata-kata yang terucap atau kata-kata yang tercetak. Memanfaatkan medium ini, diseminasi informasi berisi pesan-pesan instruksional akan menjadi lebih produktif, segera, lebih efektif dan efisien (Kemp, 1975). Hal ini dikarenakan informasi atau materi belajar dalam program video dapat dibuat secara lokal, sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi dilapangan (Miller, 1973). Keefektifan penyajian pesan dalam medium audio visual seperti video, dipengaruhi oleh unsur gerak yang dinamik serta suara. Karenanya, jenis bahasa dan bentuk pesan visual yang digunakan untuk menjelaskan setiap tahapan pesan yang disampaikan harus diperhatikan dalam perencanaan pembuatan pesan melalui video. Bahasa pada dasarnya merupakan alat komunikasi (baik lisan maupun tulisan) bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Pesan visual seperti gambar hidup dan gambar diam akan mempengaruhi
2
daya tarik penontonnya, sehingga tingkat penerimaan pesan sangat ditunjang oleh jenis bahasa yang digunakan dan bentuk visual yang ditampilkan. Di Indonesia penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi sangatlah bervariasi, hal ini dikarenakan masyarakat yang heterogen dengan budaya yang berbeda-beda. Sehingga, salah satu cara untuk menjembatani perbedaan tersebut adalah dengan menyepakati satu sistem simbol yang dapat dipergunakan untuk saling bertukar pesan, agar diperoleh suatu kesamaan makna bagi para pelaku komunikasinya. Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan komunikasi bagi masyarakat Indonesia yang memiliki perbedaan budaya antara daerah satu dengan daerah lainnya, sehingga bahasa ini juga merupakan bahasa resmi yang wajib dipergunakan sebagai bahasa pengantar bagi proses pendidikan, kantor-kantor pemerintahan maupun swasta dan media komunikasi yang ada di Indonesia. Meskipun bahasa Indonesia digunakan oleh penduduk Indonesia sebagai alat komunikasinya, namun masih banyak penduduk yang menggunakan bahasa daerahnya untuk mempermudah proses pertukaran pesan pada masyarakat sedaerahnya. Bahasa daerah selain merupakan bahasa yang digunakan sejak lahir (bahasa ibu), juga merupakan salah satu simbol hubungan kekerabatan atau simbol asal daerah dari orang yang mempergunakannya. Desain suatu pesan media haruslah berorientasi pada khalayak, sehingga mengharuskan perancang media komunikasi harus mempertimbangkan unsur-unsur penunjang dalam media yang ingin digunakan untuk menyebarkan pesan yang ingin disampaikan ke khalayak sasaran, agar informasi yang disampaikan menjadi efektif. Adanya banyak jenis bahasa yang dipergunakan masyarakat di Indonesia, menjadi salah
satu
aspek
yang
harus
dipertimbangkan
perencana
media
dalam
menyebarluaskan informasi yang ingin disampaikan agar pesan dapat dengan mudah diterima dan memiliki daya tarik yang dapat mempengaruhi persepsi khalayaknya. Penggunaan bahasa yang berorientasi pada khalayak menjadi penentu keefektifan pesan yang disampaikan. Ini berarti bahwa dalam pembuatan atau desain pesan suatu media pun haruslah mempertimbangkan jenis bahasa yang dipergunakan
3
agar pesan pada media tersebut dapat diterima dengan mudah oleh khalayak dan tercipta komunikasi yang efektif. Selain aspek bahasa, unsur visual pun harus dipertimbangkan pada pembuatan desain pesan. Hal ini berkaitan erat dengan daya tarik yang ditawarkan pada media komunikasi yang digunakan. Visual pada media video dapat berupa visual gerak ataupun visual diam yang masing-masing memiliki daya tarik sendiri bagi khalayak sasarannya. Semakin menarik kemasan pesan visual yang ditampilkan suatu media, maka semakin besar keingintahuan dan ketertarikan khalayak pada isi pesan yang akan ditampilkan. Perpaduan unsur audio dan visual pada medium video memungkinkan aspek bahasa dan bentuk pesan visual menjadi menarik untuk dikaji lebih mendalam, sehingga diharapkan nantinya akan diperoleh suatu desain pesan medium video yang efektif untuk menyampaikan suatu pesan yang berorientasi pada khalayak sasaran. Isu tentang wabah penyakit Chikungunya saat ini gencar diberitakan mediamedia cetak dan elektronik. Chikungunya adalah penyakit mirip flu dengan gejala demam, radang tenggorokan, disertai bintik-bintik merah di kulit, kemudian diikuti gejala yang khas, yakni radang persendian, kadang-kadang terjadi pendarahan ringan. Penyakit ini tidak fatal tapi mengakibatkan kelumpuhan sementara akibat rasa sakit pada persendiaan. Nama Chikungunya berasal dari bahasa Swahili (Afrika) yang berarti “Membengkok” seperti penderita cikungunya yang membungkuk dan menekuk anggota badannya karena sakit akibat radang persendian. Penyebab chikungunya adalah virus Chikungunya (CHIKV) yang termasuk kelompok alphavirus dari famili togaviridae. Penyakit-penyakit yang disebabkan alphavirus dapat dikelompokan menjadi dua jenis : Pertama, virus-virus penyebab radang otak, yakni EEV (berasal dari Jepang dan terbawa ke Amerika melalui Aedes Albopicyus yang ikut diimpor dalam ban-ban mobil. WEE, VEE, dan EVE yang semuanya endemik di benua Amerika. Kedua, virus-virus penyebab radang persendian. Chikungunya (ditemukan di Afrika dan Asia, khususnya Asia Tenggara yang sering mengakibatkan ledakan wabah), o’nyong-nyong (berarti sendi melemah), hanya ditemukan di Afrika, ditularkan oleh
4
An. Gambiae dan An. Funestus, Ross River dan Barmah Forest (Australia), Ockelbo (Swedia dan Rusia), Sindbis (Afrika, Mesir, India, Malaysia, tidak tertutup kemungkinan di Indonesia, penularannya bisa oleh burung),
Mayaro (Amerika
Tengah dan Selatan) dan Semliki Forest (www. depkes.go.id). Di Indonesia penyakit Chikungunya sudah dinyatakan kejadian luar biasa (KLB). Sudah banyak kota-kota di Indonesia yang warganya terkena penyakit ini, salah satunya adalah kota Bogor, sedikitnya lima puluh warga kampung Sleweran, Kelurahan Sukaresmi, Tanah Sareal, Kota Bogor, terserang penyakit Chikungunya. Wabah penyakit ini terus bertambah mengingat sebagian warga kini mulai mengidap gejala panas dan disertai nyeri tulang, dan dipastikan menderita gejala Chikungunya (www.bogoronline.com). Melihat masih banyaknya anggota masyarakat yang terserang penyakit ini, maka perlu dilakukan program komunikasi untuk mendiseminasikan cara penularan, pencegahan dan penanggulangan penyakit Chikungunya. Sejauh ini penggunaan medium video untuk mendiseminasikan informasi penyakit Chikungunya di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor ternyata belum ada. Selain itu, daerah Ciampea merupakan daerah yang bisa dikategorikan perbatasan antara kota (Bogor Kota) dengan pedesaan, dimana di dearah tersebut kini masyarakatnya sudah bisa mengakses segala macam media, mulai dari media cetak ataupun elektronik. Masyarakat Ciampea yang sekarang sudah terbiasa dengan berbagai terpaan media, menyebabkan meraka semakin familiar dengan simbolsimbol yang biasa digunakan dalam media. Ciampea merupakan daerah urban, dimana dearah tersebut juga terjadi proses perubahan sistem sosial budaya masyarakatnya. Perubahan daerah dari desa ke kota secara tidak langsung berimplikasi dalam proses penilaian seorang perancang media dalam membuat media yang tepat agar pesan yang disampaikan bisa diterima oleh khalayak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses difusi inovasi informasi Chikungunya di Ciampea ialah dengan memanfaatkan saluran komunikasi yang tepat, yaitu melalui siswa SMA, dengan harapan bahwa mereka yang asal tempat tinggalnya juga banyak yang berada di luar Ciampea mampu
5
meneruskan informasi yang mereka dapatkan kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya. Sikap siswa SMA yang berada pada masa remaja cenderung lebih ingin tahu dan ingin mencoba, selalu ingin jadi pusat perhatian dan kritis, dapat menjadikan mereka sebagai penyuluh dan motivator dalam mendiseminasikan informasi Chikungunya kepada para tetangga dan anggota sistem sosial dimana mereka berada. Berkaitan uraian diatas, dengan khalayak yang sudah spesifik tersebut maka penelitian ini bermaksud ingin melihat lebih jauh pengaruh jenis bahasa narasi dan bentuk pesan visual video terhadap peningkatan pengetahuan tentang Chikungunya bagi kalangan siswa SMAN 1 Ciampea.
6
Perumusan Masalah Indonesia masih menjadikan penyakit Chikungunya sebagai masalah kesehatan masyarakat, ini disebabkan faktor iklim tropis dan tingkat sosial ekonomi mayoritas penduduk yang masih rendah. Di Indonesia Chikungunya penyakit yang disebabkan virus Alphavirus itu sudah dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Para penderita umumnya mengalami demam tinggi mencapai 30-40 derajat Celcius dan penderita merasakan nyeri di persendian tulang yang bisa membuatnya tidak mampu berjalan untuk sementara. Gejala lainnya, penderitanya akan merasakan pusing dan mual serta muntah-muntah. Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang gejala dan cara penanggulangan Chikungunya sedikit banyak mengakibatkan masalah kesehatan masyarakat tersebut belum dapat diatasi.
Karenanya, usaha meningkatkan
pengetahuan masyarakat perlu dilakukan. Salah satu usaha tersebut ialah dengan mendiseminasikan informasi cara penanggulangan Chikungunya. Melalui medium komunikasi dan penyuluhan diharapkan masyarakat dapat bertambah pengetahuannya untuk menanggulangi penyakit Chikungunya.
Selama ini usaha preventif yang
dilakukan lebih dititikberatkan pada upaya penyemprotan insektisida untuk membasmi nyamuk penular, sedangkan upaya penanggulangan lainnya belum banyak disebarkan. Usaha diseminasi informasi cara penanggulangan Chikungunya ini perlu ditingkatkan kepada masyarakat, termasuk siswa-siswa SMA.
Salah satu media
komunikasi yang potensial untuk mendiseminasikan informasi tersebut adalah video. Untuk siswa-siswa SMA yang berada pada usia remaja, memiliki rasa keingintahuan dan ketertarikan yang besar serta mudah dipengaruhi melalui tampilan visual dan audio. Medium ini dirasakan cocok untuk menggugah daya imajinatif serta merubah perilaku mereka. Namun, bentuk penyajian pesan melalui video ini perlu dipilihkan rancangan yang sesuai dengan khalayak. Karena itu dirasa perlu meneliti pengaruh jenis bahasa narasi dan bentuk pesan visual video dalam meningkatkan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya.
7
Berdasarkan pernyataan diatas, terdapat sejumlah pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini untuk dicari pemecahannya: 1. Apakah penggunaan video dapat meningkatkan pengetahuan siswa SMA terhadap Chikungunya? 2. Apakah ada perbedaan penggunaan narasi Bahasa Sunda atau Bahasa Indonesia pada video dalam meningkatkan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya? 3. Apakah ada perbedaan bentuk visual gambar realistik (bergerak) atau bentuk visual gambar diam (tidak bergerak) pada video dalam meningkatkan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya? 4. Apa kombinasi terbaik, narasi Bahasa Sunda atau Bahasa Indonesia, bentuk visual gambar realistik (bergerak) atau bentuk visual gambar diam (tidak bergerak) pada video yang dapat meningkatkan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya?
8
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan suatu rancangan media video yang sesuai dan efektif untuk meningkatkan pengetahuan dalam menyampaikan pesan tentang informasi Chikungunya kepada khalayak. Penelitian dilakukan untuk melihat kelayakan penggunaan media video sebagai media penyampaian Chikungunya. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh peningkatan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya setelah melihat video. 2. Mengetahui pengaruh jenis bahasa narasi yang digunakan pada video terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya. 3. Mengetahui bentuk pesan visual paling efektif yang digunakan pada video terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya. 4. Mengetahui pengaruh gabungan jenis narasi bahasa dan bentuk pesan visual yang digunakan pada video terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA tentang Chikungunya.
9
Kegunaan Penelitian Berdasarkan dari perumasan masalah diatas, kegunaan penelitian adalah mendapatkan gambaran objektif tentang pengaruh jenis bahasa narasi dan bentuk pesan visual pada media video Chikungunya terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA. Adapun rencana penelitian ini adalah membuat informasi dalam bentuk media
video,
sehingga
mudah
bagi
khalayak
untuk
memahami
dan
mengaplikasikannya. Hasil dari rencana penelitian ini dapat membuktikan apakah kemasan dalam bentuk media video efektif dalam meningkatkan pengetahuan khalayak, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektifitas penyampaian informasi tersebut. Disamping itu diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Memberikan masukan kepada pemerintah (pusat atau daerah) sebagai bahan pertimbangan peenyusunan kebijakan dalam mengkomunikasikan informasi Chikungunya. 2. Dapat menghasilkan media audio visual (video) yang dapat dipergunakan sebagai salah satu media alternatif penyampaian informasi Chikungunya. 3. Memberikan sumbangan gagasan bagi perkembangan ilmu komunikasi pembangunan, khususnya ilmu komunikasi tentang media audio visual.
10
TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Massa Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari asal kata dalam bahasa latin communica yang artinya membagi (Cangara, 2004). Unsur-unsur dari proses komunikasi ialah adanya isyarat dan lambanglambang yang mengandung arti. Tanda-tanda atau isyarat ini perlu dipelajari oleh setiap orang apabila mereka ingin hidup bermasyarakat dan berkebudayaan. Komunikasi massa dapat pula didefinisikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, 2005). Komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner, yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (“mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people”) (Rakhmat, 2005). Di sini dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa, jadi sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Kekuatan dari media massa sangatlah dahsyat, karena dengan pemberitaanpemberitaan, editorial, iklan-iklan, artikel-artikel dan sebagainya bisa mempengaruhi masyarakat banyak. Media massa terbagi atas dua bagian, yaitu: 1. Media Massa Elektronik (televisi dan radio); 2. Media Massa Cetak (koran, majalah, folder, booklet). Setiap media massa mempunyai kekuatan masing-masing, tetapi pada prinsipnya media massa merupakan satu institusi yang melembaga dan berfungsi untuk menyampaikan
11
informasi kepada khalayak sasaran agar Well Informed (tahu informasi) (Kuswandi,1996). Ada beberapa unsur penting dalam media massa yaitu: (1) adanya sumber informasi, (2) isi pesan (informasi), (3) saluran informasi (media), (4) khalayak sasaran (masyarakat) dan (5) umpan balik khalayak sasaran ( Karlinah, 2000). Dari kelima komponen maka terciptalah proses komunikasi antara pemilik isi pesan (sumber informasi), dengan penerima pesan melalui saluran informasi (media). Media Audio Visual Video Media audio visual video adalah suatu unit peralatan elektronik yang dapat merekam informasi gambar dan suara dari sumber-sumber sinyal video, ke dalam pulsa-pulsa pita magnetik berlapis oksida, kemudian bila perlu informasi-informasi tersebut dapat dikonversi kembali ke dalam bentuk gambar nyata pada layar monitor (Gozalli dkk, 1986). Medium video mulai berkembang pada sekitar tahun 1960-an (Gerlach dan Ely, 1980). Pada saat itu video hanya digunakan untuk keperluan siaran televisi (Murray, 1974), medium ini digunakan untuk merekam gambar dan suara yang berasal dari kamera televisi, kemudian hasil rekaman tadi dikonversi kembali pada waktu ”play back” menjadi gambar dan suara di layar magnetik.
Pada
waktu
itu
peralatan video yang digunakan masih tergolong besar (large format). Pita (tape) yang dipakai berupa pita magnetik selebar 2 inchi dalam bentuk pita gulungan terbuka (open reel). Alat ini tidak praktis sehingga penggunaannya terbatas untuk keperluan studio televisi saja. Tahun 1960-an, format video tape recorder (VTR) berubah menjadi 1 inchi, sehingga ukurannya lebih kecil dan praktis. Pada waktu tersebut, video sudah mulai digunakan untuk keperluan pendidikan (Gerlach dan Ely, 1980). Seiring dengan berjalannya waktu video semakin berkembang, peralatan video semakin ringkas dan canggih. Fomat VTR berubah semakin kecil menjadi ¾ inchi dan ½ inchi. Pita perekam yang pada awalnya berupa ”open reel” atau ”reel to
12
reel” berubah menjadi ”cartridge” kemudian menjadi lebih ringkas lagi berupa kaset yang dibungkus dengan plastik ringan (Besinger, 1991). Perkembangan ini mengakibatkan medium video menjadi lebih ringkas, ringan serta mudah digunakan, kemajuan teknologi audio visual semakin pesat saat ini. Format video tidaklah hanya berbentuk VTR tetapi berupa piringan video dalam bentuk video disc, laser disc, atau compact disc. Dengan semakin mudahnya video dioperasikan, kini video banyak digunakan untuk kegiatan pendidikan atau penyuluhan. Implikasi dari penggunaan video kini sudah meluas, misalnya kegiatan hiburan, pendidikan, penyuluhan, kursus, perdagangan dan penelitian (Bajari, 2001). Menurut Fardiaz dalam Jahi (1988), piringan video adalah alat yang mampu menghasilkan gambar bergerak dan diam dengan suara yang diperoleh dari rekaman video dan teknologi komputer. Komputer pada saat ini sudah dilengkapi dengan perangkat multimedia, salah satunya adalah pemutar video yang disebut CD-ROM, selain dengan format VCD kini sudah bisa digunakan dengan format DVD. Dengan format ini kapasitas memori untuk video lebih besar, selain itu kualitas gambar dan audio lebih bagus. Perkembangan yang telah diraih pada bidang teknologi video menyebabkan pemakaian medium ini semakin meluas. Dalam kegiatan instruksional, video dalam bentuk pringan CD adalah media audio visual yang menampilkan unsur pesan, gambar bergerak dan musik. Pesan yang disajikan bisa berupa fakta, informatif edukatif maupun instruksional. Mengkomunikasikan suatu pesan dan informasi kepada khalayak, video mempunyai keunggulan yakni, a) memperlihatkan gerak, b) memperpendek jarak dan waktu,
c)
memperlihatkan
fenomena
yang
tidak
dapat
dilihat
mata,
d) mengkomunikasikan pesan kepada pemirsa (audience) yang spesifik, e) dapat digunakan berulang-ulang kali, f) dapat mengulangi sequence secara akurat, g) mampu memancing emosi, h) berisi visual, i) menayangkan unsur gambar dan suara, j) dapat menekankan pada sequence tertentu (Pribadi, 2003).
13
Selain itu, terdapat keterbatasan-keterbatasan pada media video, menurut Schramm (1984), video termasuk medium dengan daya liput yang terbatas kemampuannya. Inilah yang membedakannya dengan medium televisi yang mempunyai daya liput yang luas dan serentak. Namun dengan keterbatasan itu, video cocok sebagai medium belajar untuk kelompok yang spesifik dengan kebutuhan dan minat tertentu (Nielsen, 1981). Mendiseminasikan suatu informasi, medium video merupakan salah satu media yang cukup efektif untuk meningkatkan pengetahuan. Dengan medium video dalam diseminasi informasi berisi pesan-pesan instruksional menjadi lebih produktif, lebih efektif dan efisien (Kemp, 1975). Dengan memperhatikan desain dari medium video ini, proses penyampaian pesan akan lebih bisa diterima oleh khalayak dengan baik. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999), penyampaian pesan yang menggunakan ilustrasi dari alat bantu audiovisual akan lebih mengingat banyak pesan. Media audiovisual memainkan dua peran yang berbeda yaitu memperbaiki alih proses informasi dan memotivasi untuk perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Format Medium Video Adapun format atau bentuk desain pesan dari video adalah (1) jenis bahasa narasi, (2) bentuk penggunaan visual. Penyampaian pesan melalui video akan lebih menarik dan merubah perilaku khalayak, apabila membuat format penyajian pesan dalam bentuk audiovisual, dan dianggap sesuai dengan keadaan khalayak. Penyajian pesan akan memiliki kelebihan ataupun kekurangan dalam mendukung peningkatan pengetahuan khalayak. Narasi Format narasi adalah audio dalam penuturan langsung kadang disebut juga ”talk show” (Edmonds, 1978), dinilai cocok untuk menyajikan pesan atau informasi yang dibutuhkan penjelasan dan uraian mendalam, bentuk ini umumnya efektif untuk menyalurkan informasi kepada pemirsa.
14
Willis (1967) mengatakan narasi adalah sebagai ”the person in which it is presented” , narasi dibawakan oleh orang baik sebagai orang pertama, orang kedua atau orang ketiga. Pada narasi tipe pertama, narator berperan tunggal dalam menyampaikan pesan-pesan, sedangkan dalam bentuk kedua, narator utama adalah orang kedua, orang pertama hanya bertindak sebagai pembuka dan penutup program. Pada tipe narasi ketiga, orang ketigalah yang bertindak sebagai narator utama. Cara seperti ini agak jarang digunakan. Menggunakan lebih dari satu narator, bertujuan menghindari kebosanan dan suasana yang monoton. Parker (1968) mengatakan bahwa perubahan satu suara ke suara yang lain dalam narasi dapat menyegarkan presentasi dan menangkap perhatian khalayak yang lebih besar. Ada beberapa jenis narasi yang dibedakan dari cara narator menyampaikan uraian, yang pertama adalah narator tidak nampak di layar monitor pada waktu penyampaian uraian atau disemboided voice, atau bisa juga disebut ”voice-voice naration” (Willis, 1967). Adapun cara yang kedua adalah narator nampak di layar monitor, minimal muncul pada pembukaan dan akhir presentasi, dan biasa disebut ”live-naration”. Pada bentuk penyajian pesan, unsur visual menduduki prioritas utama, ini dikarenakan penyajian narasi pesan disusun dalam rangkaian cerita bergambar yang hidup (motion picture) dan penjelasan dengan kata-kata terucap (off stage narration) bersifat mendukung penyajian. Menurut May dan Lumsdaine (dalam Kemp, 1975), bentuk penyajian yang seperti ini dinilai paling mudah dipahami karena pesan disampaikan dengan menggunakan unsur-unsur audio visual dan motion sekaligus. Pola-pola dinamik yang penuh makna dimana gambar atau visualisasi merupakan bagian komunikasi yang penting, komunikasi visual harus menjadi prioritas utama dalam medium audio visual seperti video. Pada umumnya penggunaan elemen visual dalam materi instruksional cenderung membantu dalam proses belajar. Hasil penelitian Dwyer (1986), menyimpulkan penggunaan elemen visual yang tepat dapat mempermudah siswa memahami informasi yang diberikan.
15
Jenis Bahasa Narasi Bahasa dan masyarakat merupakan dua elemen yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa merupakan alat penghubung dan alat komunikasi anggota masyarakat (Badudu, 1996). Disamping itu, bahasa merupakan tanda yang jelas dari budi kemanusiaan, karena dari pembicaraan seseorang kita dapat menangkap keinginan dan menangkap keinginan seseorang, latar belakangnya, pendidikan, pergaulan dan adat istiadat (Samsuri, 1978). Proses komunikasi, bahasa merupakan elemen yang paling banyak dipergunakan. Faktor utama yang mempengaruhi efektivitas pesan yang disampaikan dalam suatu proses komunikasi juga berasal dari bahasa, banyak pesan-pesan yang disampaikan sering disalahartikan oleh khalayak sehingga pesan tersebut tidak dapat diterima dengan baik, oleh karena bahasa yang dipakai tidak dipahami oleh khalayak. Menurut Sutanto (1980), bahasa adalah alat untuk meyampaikan pikiran dan alat sosial. Oleh karena itu bahasa bisa dikatakan unsur utama dalam suatu proses komunikasi. Ditambahkan oleh Rakhmat (1999), terdapat dua cara untuk mendefinisikan bahasa, yaitu fungsional dan formal. Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya sehingga bahasa diartikan sebagai alat memiliki bersama untuk mengungkap gagasan, sedangkan definisi formal diartikan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa. Dimana setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberikan arti. Effendy (1983) menyatakan bahwa bahasa merupakan lambang yang paling banyak digunakan dalam komunikasi dan memegang peranan penting dalam menyampaikan pesan. Efektivitas komunikasi akan tercipta apabila ditunjang oleh ketepatan penggunaan bahasa yang digunakan dalam menyampaikan pesan. Sutanto (1980) membagi bahasa dalam tiga kelompok, yaitu, bahasa nasional, bahasa daerah dan bahasa kolokial. Sehubungan dengan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, Rakhmat (1999) menyatakan bahwa faktor kesamaan budaya, status sosial, pendidikan dan ideologi turut menentukan kesamaan makna khalayak terhadap suatu kata atau
16
simbol.
Penggunaan
bahasa
dalam
suatu
medium
komunikasi
harus
mempertimbangkan latar belakang kebudayaannya. Penggunaan bahasa yang tepat, diharapkan tidak terjadi kesalapahaman makna, pengertian ataupun persepsinya terhadap simbol yang digunakan. Wohrf (dalam Rakhmat 1999) mengemukakan khalayak tertentu akan memberikan arti kepada apa yang mereka lihat, dengar atau rasakan sesuai dengan kategori-kategori yang
ada
pada
bahasa
mereka,
bahkan
orang-orang
yang
sama
sering
mengembangkan kata-kata yang khusus dimilikinya oleh sekelompok mereka saja. Pemilihan dan penggunaan bahasa perlu diperhatikan dalam berkomunikasi.
Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang dipakai oleh masyarakat Indonesia. Menurut Badudu (1996), bahasa Indonesia telah ditingkatkan penggunaan dan kemampuannya, sehingga bahasa tidak lagi hanya digunakan sebagai alat penghubung antar individu dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga digunakan sebagai bahasa ilmu dan tekhnologi. Ditambahkan pula oleh Anas (2000), bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan dan sekaligus sebagai alat mengkomunikasikan unsur-unsur kebudayaan. Peranan yang paling menonjol dari bahasa Indonesia adalah sebagai alat untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan, juga bahasa sebagai alat pengembangan pengetahuan dan teknologi. Bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa nasional rakyat Indonesia digunakan baik disektor pendidikan, pemerintahan maupun media massa, dan seharusnya bahasa Indonesia dipergunakan dan dimengerti oleh rakyat Indonesia. Walaupun demikian dari beberapa hasil penelitian, bahasa daerah masih sangat dominan dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Namun Kartasasmita (2000) optimis bahwa pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan apa yang dikomunikasikan akan mudah dipahami oleh sasaran atau khalayak. Perkembangan penggunaan bahasa Indonesia ditengah masyarakat dapat dikatakan cenderung naik atau positif, ini dikarenakan pada umumnya masyarakat
17
masih menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar sehari-hari, bahkan dalam proses belajar mengajar harus mempergunakan bahasa Indonesia. Menurut Gunardi (1999) pada hasil pengamatannya masyarakat Sunda yang bersedia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa penutur dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Sunda Bahasa daerah di Indonesia merupakan suatu aset budaya bangsa yang tak ternilai harganya, bahasa daerah mempunyai peranan penting, antara lain sebagai simbol dari identitas suatu masyarakat. Bahasa daerah merupakan bahasa sehari-hari yang diajarkan dan dipakai dalam lingkungan keluarga umumnya juga di daerah dimana seseorang tinggal (Samsuri, 1978). Bahasa Sunda, yang merupakan bahasa ibu masayarakat Jawa Barat masih tetap dominan dipakai, khususnya pada masyarakat pedesaan. Maka banyak pesanpesan pembangunan mempergunakan bahasa ini untuk memberikan informasi kepada masyarakat pedesaan di Jawa Barat. Hasil penelitian dari Surya (1989) menunjukkan bahwa nilai peningkatan pengetahuan petani yang mendengarkan presentasi dengan kaset audio yang menggunakan bahasa Sunda lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang mendengarkan kaset audio yang menggunakan bahasa Indonesia. Pendapat yang sama juga di sampaikan oleh Pambudy (1988) yang menyimpulkan bahwa penggunaan bahasa Sunda lebih efektif digunakan dalam presentasi film bingkai bersuara pada penggunaan bahasa Indonesia untuk menyebarkan inovasi model farm kepada petani. Hasil penelitian yang telah dilakukan bisa ditarik kesimpulan bahwa, penggunaan bahasa daerah atau Sunda lebih efektif dibanding bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan, artinya bahwa bahasa Indonesia belum dapat menggantikan posisi bahasa daerah atau Sunda sebagai alat komunikasi dalam menyampaikan pesan. Hal ini diperkuat oleh Srivistava (dalam Bakar, 1999) bahwa bahasa daerah merupakan bahasa yang paling tepat digunakan dalam berkomunikasi dan memajukan pendidikan. Pendapat ini dihasilkan dari penelitian di
18
India yang menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat perlakuan dengan bahasa daerah untuk pelajaran matematika memperoleh hasil lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan bahasa nasional.
Bentuk Pesan Visual Rinaldi (2003) mengemukakan media visual adalah semua alat media yang digunakan dalam suatu ruang yang dapat dilihat dan mempermudah pengertian tentang kata-kata yang tertulis maupun yang terucapkan. Alat atau media audiovisual meliputi alat peraga, foto, film bingkai, multimedia komputer dan video televisi. Ilustrasi merupakan unsur yang utama dalam medium video, sesuai dengan fungsinya ilustrasi sangat diperlukan dalam menjelaskan suatu informasi yang akan di diseminasikan melalui media visual. Menurut Arsyad (2000), bahwa dari beberapa hasil penelitian tentang fungsi kognitif media visual, ternyata lambang visual atau gambar dapat memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami atau mengingat informasi yang terkandung di dalamnya. Diketahui bahwa secara umum visualisasi dapat mempermudah khalayak dalam menerima dan memahami isi pesan, tetapi tidak semua jenis visualisasi sama efektifnya dalam meningkatkan pengetahuan khalayak. Menurut Bertz (1971) di dalam media audio visual gerak seperti televisi atau video, biasanya dikenal dua jenis visualisasi yaitu: visualisasi realistik dan visualisasi grafis.
Visualisasi Realistik (Gambar Bergerak) Dalam media audio visual gerak seperti televisi atau video di kenal dua jenis visualisasi yaitu: 1. Visualisasi realistik atau visualisasi murni (pure visual) yaitu gambar hidup (motion picture) benda atau objek sesungguhnya. 2. Visualisasi grafis atau gambar diam yaitu semua bentuk visual dua dimensi yang khusus disiapkan untuk keperluan media visual (Zettl, 1969). Artinya adalah semua jenis atau simbol-simbol visual yang telah diproyeksikan dalam bidang
19
datar. Wujud visual grafis dalam medium video dapat berupa gambar foto atau gambar ilustrasi, sketsa, kata tercetak atau ilustrasi visual lainnya (Efrein, 1979). Visualisasi realistik atau hidup (motion picture) merupakan gambaran dari apa yang terjadi sebenarnya. Karakteristik media visualisasi realistik adalah
(1) dapat
menampilkan gerakan aslinya, (2) dapat memperlihatkan suatu proses lengkap dan memungkinkan mempelajari secara mendetail dari suatu proses yang tidak dilihat dengan mata, (3) efek visualnya sangat mempengaruhi aspek kognitif, afektif dan konatif, tetapi terdapat pula kelemahannya, (1) tidak bisa mengamati suatu gambar secara mendetail, sebab obyek bergerak dan terus berubah, (2) dalam merekam maupun memutar ulang diperlukan keahlian khusus (Wittich dan Schulller, 1979). Fungsi utama ilustrasi visualisasi dalam medium video adalah untuk mendukung serta memperjelas informasi yang disajikan, seperti apa yang diungkapkan oleh Jahi (2003) unsur utama pada program video adalah gambar yang bergerak, sedangkan gambar yang diam hanyalah pelengkap atau tambahan yang disisipkan pada saat-saat tertentu dan gambar gerak membuat subyek menjadi lebih menarik dan memikat perhatian. Hasil penelitian Brown (1977) mengemukakan bahwa: (1) penggunaan gambar gerak dapat merangsang minat atau perhatian siswa, (2) gambar-gambar yang dipilih dan diadaptasi secara tepat, membantu siswa memahami dan mengingat isi informasi bahan-bahan verbal yang menyertainya, (3) penayangan gambar realistik pada televisi, sepenuhnya dapat membanjiri pemirsa dengan informasi visual yang terlalu banyak, ternyata kurang baik sebagai perangsang belajar dibandingkan dengan visual grafis yang sederhana, (4) dan kalau bermaksud mengajar konsep yang menyangkut soal gerak, sebuah gambar-gambar diam kurang efektif dibandingkan dengan gambar bergerak. Hasil penelitian SOVOCOM Company dari Amerika (dalam Siswosumarto, 1999) tentang peran visualisasi peran visualisasi dalam proses pemahaman manusia, yang dinyatakan bahwa manusia belajar memahami sesuatu melalui indera penglihatan 83%, indera pendengaran 11% dan indera yang lain 62% sedangkan kemampuan mengingat pada manusia, menggunakan audio 10 % saja, 40 % dan
20
audiovisual 50%.
Hal ini menunjukkan bahwa unsur visual (apa yang dilihat)
mempunyai persentasi yang lebih tinggi dari audio (apa yang didengar), oleh karena itu sangat dianjurkan bahwa visualisasi dari lambang-lambang verbal baik itu tulisan ataupun apa yang bisa didengarkan saja mendapat porsi yang lebih sedikit dari sajian visual. Dwyer (1979) yang menyatakan medium televisi instruksional mencoba menyelidiki apakah kerealistikan ilustrasi visual dapat menjadikan petunjuk tentang keefektifannya dalam menunjang keberhasilan belajar para siswa. Hasil penemuannya bahwa kerealistikan ilustrasi visual tidak dapat dijadikan petunjuk untuk menduga keefektifannya dalam menunjang proses belajar. Artinya suatu ilustrasi visual yang lebih realistik belum efektif dalam penyampaian informasi dengan visualisasi yang kurang realistik Visualiasasi Grafis (Gambar Diam) Visualisasi grafis adalah semua bentuk visual dua dimensi yang khusus disiapkan untuk keperluan media visual (Zettl, 1969). Artinya adalah semua jenis atau simbol-simbol visual yang telah diproyeksikan dalam bidang datar. Wujud visual grafis dalam medium video dapat berupa gambar foto atau gambar ilustrasi, sketsa, kata tercetak atau ilustrasi visual lainnya (Efrein, 1979). Karakteristik utama gambar grafis adalah dapat dimodifikasi pesan visual sesuai dengan tujuan yang ingin ditonjolkan. Bentuk-bentuk ilustrasi grafis yang biasa digunakan untuk mendukung presentasi pesan pada medium video adalah: 1. Simbol piktorial berupa foto atau gambar ilustrasi 2. Simbol grafis berupa gambar sketsa, diagram, bagan dan grafis 3. Simbol verbal berupa judul, sub judul, teks uraian singkat. Penggunaan berbagai bentuk ilustrasi grafis tersebut, uraian verbal dikombinasikan dengan penjelasan visual baik yang termasuk dalam jenis simbol grafis, simbol piktorial maupun simbol verbal. Rinaldi (2003) mengemukakan bahwa informasi yang dilengkapi dengan bahasa grafis dan visual dapat meningkatkan
21
hampir dua kali lipat kemungkinan informasi yang disampaikan dapat dipahami dan dimengerti oleh khalayak. Dimana kemampuan mengingat bentuk komunikasi visual dan verbal, sesudah tiga jam yaitu 80% dan sesudah tiga hari 65%, sedangkan bentuk komunikasi visual saja hanya memiliki kemampuan 72% sesudah tiga hari dan 20 % sesudah tiga hari. Kegiatan pengajaran mengenai suatu gerak, konsep gambar hidup (motion picture) merupakan jenis visualisasi yang paling efektif. Gambar grafis atau diam dapat mengurangi terlalu banyak informasi yang dapat ditampilkan oleh suatu film bergerak (Brown, 1977). Hartley (1978) menunjukkan bahwa ilustrasi sederhana lebih mudah dipahami dan dilihat, demikian juga dengan ”caption’ yang menjelaskan gambar tersebut. Gambar sederhana seringkali efektif untuk memperjelas konsep atau obyek yang diterangkan, karena dia dapat memperlihatkan bagian yang penting saja dan membuang bagian lain yang tidak perlu. Hasil penelitian Supriadi (1986), menunjukan penggunaan ilustrasi grafis sangat efektif untuk mendukung cara penyajian pesan dalam medium video yang bersifat penuturan langsung. Dengan kata lain penggunaan ilustrasi grafis dalam presentasi pesan melalui video itu dapat mempertinggi efektifitas peningkatan pengetahuan. Seiring dengan berkembangnya teknologi, kini gambar grafis (diam) bisa dimanipulasi dengan komputer, dengan kecanggihan media yang satu ini semua pekerjaan yang menyangkut dengan media audio visual akan lebih mudah dikerjakan. Komputer membuat semuanya mudah. Apakah import gambar atau suara dari film atau video oleh komputer pengolahannya dapat dengan mudah dan hasil seketika secepat yang dibayangkan sudah tersaji di monitor (e-edukasi.net). Digitized picture adalah gambar yang dicapture dari video kamera, VCR, kamera digital (inherent.brawijaya.ac.id). Teknologi komputer sangat membantu bagi kita yang bekerja di dunia audio visual. Sekarang banyak dikenal program audio visual yang dihasilkan oleh komputer. Kemajuan sinematografi sudah sampai pada tahap puncaknya dan
22
perkembangan televisi sudah pada era digital yang mampu memotret hal paling abstrak sekalipun. Kreatifitas manusia bukan pada alatnya melainkan pada niatnya (eedukasi.net). Kemajuan teknologi memungkinkan kita dalam memanipulasi segala macam foto atau gambar. Adapun ekstensi/format file dari gambar diam atau foto adalah,
gif,
jpg/jpeg,
png,
bmp,
art,
djvu,
mng,
msp,
jng,
jp2,
pbm
yaitu:
1)
tahap
(inherent.brawijaya.ac.id). Tahap Pengembangan Pesan Pada Video Pengembangan
pesan
dibagi
kedalam
tiga
tahap
pengembangan ide, meliputi pengumpulan materi pesan, penyeleksian dan penyusunan pesan kedalam medium yang telah ditetapkan, 2) tahap penetapan tujuan yang akan dicapai, yaitu apakah pesan yang akan dikembangkan itu akan mempengaruhi rana kognitif, afektif atau psikomotorik khalayak, 3) tahap analisa khalayak, yaitu menyangkut karakteristik khalayak yang dituju. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik khalayak dalam pengembangan suatu pesan diperhatikan. Disarankan Lazarfeld dalam Schramn (1984) yaitu agar pengembangan pesan dapat efektif sesuai dengan khalayak yang dituju, disarankan sebelumnya untuk mempelajari karakteristik khalayak yang akan dituju, seperti: pendidikan, umur, pekerjaan dan saluran komunikasi yang digunakan. Lionberger (1982) mengemukakan beberapa karakteristik individu yang berpengaruh terhadap adopsi adalah: umur, tingkat pendidikan dan psikologis, sehubungan dengan karakteristik khalayak, karakteristik psikologis menurut Lionberger adalah faktor rasionalitas. Fleksibilitas mental, dogmatis, orientasi pada usaha tani sebagai bisnis kemudahan menerima inovasi. Peningkatan Pengetahuan Salah satu peubah tak bebas dalam penelitian ini adalah peningkatan pengetahuan. Pengetahuan menurut Soekanto (1970) adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya.
23
Berdasarkan pendapat diatas, disimpulkan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui atau dicamkan sebagai hasil penggunaan panca indera. Menurut Rakhmat (1986), apabila kita merangkai huruf kalimat dan mulai menangkap makna dari apa yang dilihat dan didengar maka terjadilah persepsi. Persepsi adalah pengalaman tentang obyek peristiwa atau hubungan yang diperoleh melaui kesimpulan informasi dan penafsiran pesan. Proses penerimaan stimuli atau sensasi dan memberi arti (persepsi) pada sensasi sangat diperlukan dalam memperoleh pengetahuan baru.
Efek Media Audiovisual (Video) Perencanaan pesan komunikasi merupakan hal penting dan berkaitan langsung dengan penetapan tujuan komunikasi, ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: 1) efek kognitif, 2) efek afektif, 3) efek konatif (Gonzales dalam Jahi, 1988). Tujuan komunikasi sangat berkaitan dengan efek apa yang diharapkan akan terjadi pada sasaran. Efek kognitif yaitu meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan ilmu pengetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan dan attitude (sikap) dan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Hal ini juga didukung oleh pendapat Lionberger (1982), yang mengatakan bahwa ada tiga jenis efek yang dihasilkan oleh keterdedahan pada media massa. Pertama efek kognitif yaitu dapat merubah atau menambah informasi orang yang terdedah. Kedua efek afektif, yaitu merubah sikap, kepercayaan atau opini orang terhadap sesuatu termasuk bagaimana mereka merasakan dirinya, ketiga efek behavioral yaitu dapat membawa kepada perubahan perilaku. Rakhmat (2000) mengemukakan efek pesan media massa meliputi: 1) efek kognitif, terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi, 2) efek afektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi,
24
sikap atau nilai, 3) efek behavioral, merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati meliputi pola-pola tindakan kegiatan atau kebiasaan berperilaku. Berdasarkan dari uraian diatas, maka media audiovisual (video) dapat dikategorikan sebagai media dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan ingin belajar dan diharapkan adanya pengetahuan. Penelitian ini, untuk efek kognitif diarahkan pada peningkatan pengetahuan khalayak. Peningkatan pengetahuan dalam penelitian ini dinyatakan sebagai skor tambahan pengetahuan yang diperoleh dari selisih antara skor pengetahuan sebelum melihat video dengan skor pengetahuan setelah melihat video tentang penyakit Chikungunya. Chikungunya Virus Chikungunya pertama kali diidentifikasi di Afrika Timur tahun 1952. Tidak heran bila namanya pun berasal dari bahasa Swahili, artinya adalah yang berubah
bentuk
atau
bungkuk.
Postur
penderitanya
memang
kebanyakan
membungkuk akibat nyeri hebat di persendian tangan dan kaki. Virus ini termasuk keluarga Togaviridae, Genus alphavirus, dan ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti. Gejalanya adalah demam tinggi, sakit perut, mual, muntah, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, serta bintik-bintik merah terutama di badan dan tangan, meski gejalanya mirip dengan Demam Berdarah Dengue, pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan ( Schok ) maupun kematian. Masa inkubasi : dua sampai empat hari, sementara manifestasinya tiga sampai sepuluh hari. Virus ini tidak ada vaksin maupun obat khususnya, dan bisa hilang sendiri. Namun, rasa nyeri masih tertinggal selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Sekitar 200-300 tahun lalu virus Chikungunya (CHIK) merupakan virus pada hewan primata di tengah hutan atau savana di Afrika. Satwa primata yang dinilai sebagai pelestari virus adalah bangsa baboon (Papio sp), Cercopithecus sp. Siklus di hutan (sylvatic cycle) di antara satwa primata dilakukan oleh nyamuk Aedes sp (Ae africanus, Aeluteocephalus, Ae opok, Ae. furciper, Ae taylori, Ae cordelierri). Pembuktian ilmiah yang meliputi isolasi dan identifikasi virus baru berhasil
25
dilakukan ketika terjadi wabah di Tanzania 1952-1953. Baik virus maupun penyakitnya kemudian diberi nama sesuai bahasa setempat (Swahili), berdasarkan gejala pada penderita. Maka hadirlah Chikungunya yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung (that which contorts or bends up). Setelah beberapa lama, perangai virus Chikungunya yang semula bersiklus dari satwa primata-nyamuk-satwa primata, dapat pula bersiklus manusia-nyamuk-manusia. Tidak semua virus asal hewan dapat berubah siklusnya seperti itu. Di daerah permukiman (urban cycle), siklus virus Chikungunya dibantu oleh nyamuk Aedes aegypti. Beberapa negara di Afrika yang dilaporkan telah terserang virus Chikungunya adalah Zimbabwe, Kongo, Burundi, Angola, Gabon, Guinea Bissau, Kenya, Uganda, Nigeria, Senegal, Central Afrika, dan Bostwana. Sesudah Afrika, virus Chikungunya dilaporkan di Bangkok (1958), Kamboja, Vietnam, India dan Sri Lanka (1964), Filipina dan Indonesia (1973). Chikungunya pernah dilaporkan menyerang tiga korp sukarelawan perdamaian Amerika (US Peace Corp Volunteers) yang bertugas di Filipina, 1968. Tidak diketahui pasti bagaimana virus tersebut menyebar antarnegara. Mengingat penyebaran virus antarnegara relatif pelan, kemungkinan penyebaran ini terjadi seiring dengan perpindahan nyamuk. Hasil penelitian terhadap epidemiologi penyakit Chikungunya di Bangkok (Thailand) dan Vellore, Madras (India) menunjukkan bahwa terjadi gelombang epidemi dalam interval 30 tahun. Satu gelombang epidemi umumnya berlangsung beberapa bulan, kemudian menurun dan bersifat ringan sehingga sering tidak termonitor. Gelombang epidemi berkaitan dengan populasi vektor (nyamuk penular) dan status kekebalan penduduk. Pengujian darah (serologik) penyakit Chikungunya sering tidak mudah karena serum Chikungunya mempunyai reaksi silang dengan virus lain dalam satu famili. Untuk memperoleh diagnosis akurat perlu beberapa uji serologik antara lain uji hambatan aglutinasi (HI), serum netralisasi, dan IgM capture ELISA.
26
Gejala- Gejala Para penderita umumnya mengalami demam tinggi mencapai 30-40 derajat celcius dan penderita merasakan nyeri di persendian tulang yang bisa membuatnya tidak mampu berjalan untuk sementara Demam tinggi mendadak selama 2 – 4 hari, disertai nyeri sendi, bengkak dan kemerahan di daerah lutut, pergelangan kaki, pinggul, siku dan jari-jari kaki maupun tangan. Bila bergerak rasa sakit pada sendi bertambah parah. Gejala lainnya adalah muka kemerahan, nyeri dibelakang bola mata dan konyungtiva kemerahan. Nyeri kepala, nyeri otot dan terdapat pembesaran kelenjar didaerah leher. Gejala lainnya yang dapat timbul adalah mual, muntah, bintik-bintik kemerahan seluruh badan, bisa disertai gatal. Gejala nyeri sendi dapat bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Penyakit ini tidak menyebabkan kematian. Klinis tersangka Chikungunya, yaitu: (1) demam, (2) nyeri sendi atau otot, (3) ruam kulit atau bercak merah, (4) nyeri kepala dan (5) malaise atau lelah.
Pemeriksaan Laboratorium Untuk memastikan penyakit ini dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan teknik ELISA, maupun pemeriksaan virusnya. Tempat Nyamuk Berkembang Biak Nyamuk Aedes berkembang biak di tempat penampungan air bersih didalam rumah maupun di sekitar rumah seperti bak mandi, tempayan, vas bunga, tempat minum burung, ban bekas, drum, kaleng, pecahan botol, potongan bambu dan tempat lainnya. Pada musim hujan lebih banyak lagi tempat-tempat yang menampung air. Cara Pencegahan Jangan biarkan jentik-jentik nyamuk berkembang biak dilingkungan perumahan. Lakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan melakukan “3 M” (Menguras, Menutup, dan Mengubur) barang-barang bekas, tempat-tempat penampungan air seminggu sekali secara teratur atau menaburkan larvasida serta memasukkan ikan pada kolam atau aquarium. Lindungi diri anda jangan sampai
27
tergigit nyamuk terutama pada siang hari dengan menggunakan repellent (obat nyamuk oles), obat nyamuk coil, memakai kelambu atau memasang kawat kasa dirumah. Pengobatan Seperti halnya penyakit virus tidak ada obat untuk membunuh virusnya. Pengobatan yang diberikan terhadap penderita adalah obat penurun panas dan obat nyeri sendi dan pasien dianjurkan untuk beristirahat. Penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya. Penanganan Kasus Bila menemukan kasus Chikungunya, lakukan : 1. Segera laporkan ke Puskesmas atau Dinas Kesehatan setempat. 2. Hindari penderita dari digigit nyamuk (tidur memakai kelambu) agar tidak menyebarkan ke orang lain. 3. Anjurkan penderita untuk beristirahat selama fase akut. 4. Pada keadaan luar biasa (KLB) perlu dilakukan penyemprotan atau pengasapan. 5. Lakukan pemeriksaan jentik di rumah dan sekitar rumah. Para penderita umumnya mengalami demam tinggi mencapai 30-40 derajat celcius dan penderita merasakan nyeri di persendian tulang yang bisa membuatnya tidak mampu berjalan untuk sementara. Gejala lainnya, penderita akan merasakan pusing dan mual serta muntah-muntah. (DEPKES)
28
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pesan tentang penyakit Chikungunya yang dikemas dalam bentuk media video, dirancang
untuk mengungkapkan berbagai aspek video yang dapat
mempengaruhi potensi video tersebut dalam peranannya sebagai media penyebaran informasi penyakit Chikungunya. Aspek video tersebut meliputi (1) jenis bahasa narasi, dan (2) bentuk pesan visual. Kedua aspek tersebut besar pengaruhnya terhadap keefektifan penggunaan video sebagai media penyebaran informasi penyakit Chikungunya, karena itu kedua aspek tersebut perlu dibahas secara mendalam. Bahasa Narasi Sunda versus Bahasa Narasi Indonesia Aspek pertama yang dibahas dalam penelitian ini adalah menyangkut penggunaan jenis bahasa narasi yang digunakan pada medium video. Penentuan jenis bahasa narasi ini perlu dilakukan, karena hal ini akan berpengaruh pada tingkat keefektifan penerimaan pesan penonton terhadap isi pesan yang disampaikan medium ini. Bahasa yang digunakan haruslah jelas, mudah dimengerti dan dikenal dengan baik oleh khalayak. Narasi bahasa yang ingin dilihat keefektifannya adalah narasi bahasa Indonesia dan bahasa narasi Sunda. Bagi penerima pesan, dua narasi bahasa ini mana yang lebih efektif menyampaikan pesan melalui media video belumlah terungkapkan. Pesan narasi menjadi lebih persuasif dan akrab dengan khalayak, harus didesain dengan memperhatikan faktor bahasa yang dipergunakan.
Hal ini juga
diungkapkan Wohrf (dalam Rakhmat 1999) yang mengemukakan bahwa khalayak tertentu akan memberikan arti kepada apa yang mereka lihat, dengar atau rasakan sesuai dengan kategori-kategori yang ada pada bahasa mereka. Karenanya, pemilihan dan penggunaan bahasa perlu diperhatikan sehingga narasi dapat efektif untuk menunjang film video. Ada kecendrungan bahasa Sunda lebih mudah diterima pada khalayak yang menetap di Jawa Barat termasuk siswa SMA di Ciampea yang menggunakan bahasa
29
tersebut untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga dan lingkungan sosialnya. faktor kesamaan budaya, status sosial, pendidikan dan ideologi sangat menentukan dalam kesamaan makna khalayak terhadap suatu kata atau simbol. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional telah menjadi kesepakatan bangsa, yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaannya, bahasa Indonesia selalu dipergunakan pada bahasa pengantar kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah termasuk SMA.
Sehingga bahasa
Indonesia masih digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, bahasa daerah seperti bahasa Sunda masih dominan dipergunakan masyarakat Jawa Barat karena bahasa ini telah diperkenalkan sejak individunya lahir (biasa disebut dengan bahasa ibu) dan digunakan dalam percakapan sehari-hari dilingkungan keluarga dan lingkungan sosial mereka.
Kondisi ini juga
mencerminkan perilaku budaya masyarakat setempat, dimana bahasa Sunda merupakan salah satu identitas budaya masyarakat Jawa Barat sehingga mereka lebih mudah menerima pesan dengan menggunakan bahasa yang biasa mereka gunakan. Seperti yang diungkapkan Liliweri (2007) bahwa bahasa merupakan komponen budaya yang sangat penting yang mempengaruhi penerimaan, perilaku, perasaan dan kecendrungan manusia untuk bertindak menanggapi dunia sekeliling. Memperkuat
pernyataan
di
atas,
beberapa
penelitian
sebelumnya
menunjukkan bahwa penggunaan bahasa daerah (Sunda) lebih efektif digunakan daripada bahasa Indonesia.
Seperti hasil penelitian Pambudy (1988) yang
menunjukkan penggunaan Bahasa Sunda lebih efektif digunakan dalam presentasi film bingkai daripada menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebarkan inovasi model Farm kepada petani. Penelitian lainnya, dilakukan Bahroeddin (1989) menunjukkan penggunaan bahasa Sunda dalam teks yang menyertai gambar seri lebih efektif digunakan untuk menyebarkan informasi tentang inovasi model farm dibanding menggunakan bahasa Indonesia di daerah aliran sungai Citanduy Jawa Barat. Dari beberapa uraian diatas, penulis berpendapat ada kecendrungan bahasa narasi Sunda lebih berpengaruh dari bahasa narasi Indonesia pada medium video.
30
Visual Gambar Realistik (bergerak) versus Visual Gambar Diam Aspek kedua yang dilihat dalam penelitian ini adalah penggunaan bentuk pesan visual yang juga akan mempengaruhi keefektifan penerimaan pesan penontonnya. Dalam medium video, biasanya hanya dikenal dua jenis visualisasi yaitu visualisasi gambar realistik dan visualisasi gambar diam. Keistimewaan visualisasi realistik (bergerak) biasanya lebih dapat diatur sesuai dengan keinginan kita dan menampilkan obyek sesungguhnya sehingga dalam proses penerimaan pesan, tahapan informasi yang akan disampaikan lebih mudah dan jelas diterima. Secara lebih terperinci Wittich dan Schuller (1979) menggambarkan keistimewaan visual gambar realistik (bergerak) yang digunakan pada medium video untuk menyampaikan suatu informasi, yaitu (1) dapat menampilkan gerakan aslinya, (2) dapat memperlihatkan suatu proses lengkap dan memungkinkan mempelajari secara mendetail dari suatu proses yang tidak dilihat dengan mata, (3) efek visualnya sangat mempengaruhi aspek kognitif, afektif dan konatif penerima pesannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka ilustrasi yang berupa gambar hidup seringkali lebih efektif dalam menyampaikan pesan visual. Hasil penelitian Brown (1977) mengungkapkan bahwa, (1) penggunaan gambar gerak dapat merangsang minat atau perhatian siswa, (2) gambar-gambar yang dipilih dan diadaptasi secara tepat, membantu siswa memahami dan mengingat isi informasi bahan-bahan verbal yang menyertainya, (3) penayangan gambar realistik pada televisi, sepenuhnya dapat membanjiri pemirsa dengan informasi visual yang terlalu banyak, ternyata kurang baik sebagai perangsang belajar dibandingkan dengan visual diam yang sederhana, (4) dan kalau bermaksud mengajar konsep yang menyangkut soal gerak, sebuah gambar-gambar diam kurang efektif dibandingkan dengan gambar bergerak. Wujud visual grafis dalam medium video dapat berupa gambar foto atau gambar ilustrasi, sketsa, kata tercetak atau ilustrasi visual lainnya (Efrein, 1979). Karakteristik utama gambar diam adalah dapat dimodifikasi pesan visual sesuai dengan tujuan yang ingin ditonjolkan. Namun, kegiatan pengajaran mengenai suatu gerak, konsep gambar hidup (motion picture) merupakan jenis visualisasi yang paling efektif. Gambar grafis atau
31
diam dapat mengurangi terlalu banyak informasi yang dapat ditampilkan oleh suatu film bergerak (Brown, 1977). Seiring dengan berkembangnya teknologi, kini gambar diam (foto) bisa dimanipulasi dengan komputer, dengan kecanggihan media yang satu ini semua pekerjaan yang menyangkut dengan media audio visual akan lebih mudah dikerjakan. Komputer membuat semuanya mudah. Apakah import gambar atau suara dari film atau video oleh komputer pengolahannya dapat dengan mudah dan hasil seketika secepat yang dibayangkan sudah tersaji di monitor (e-edukasi.net). Visual realistik (bergerak) dapat diatur sesuai dengan kebutuhannya sehingga penonton dapat langsung melihat proses lengkap tahapan informasi yang disampaikan dan memungkinkan mempelajari secara mendetail dari suatu proses yang tidak dilihat dengan mata. Dari beberapa uraian diatas maka visual gambar realistik (bergerak) lebih dinamis penampilannya daripada visual gambar diam. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dibuat alur pikir yang merangkum dan menggambarkan gagasan yang muncul.
Alur pikir ini mencoba memberikan visualisasi terhadap
kerangka pemikiran yang ada dalam penulis agar bisa dipahami. Alur pemikiran dapat dilihat dalam Gambar 1.
32
Gambar 1. Kerangka penelitian yang mempengaruhi peningkatan pengetahuan siswa SMAN 1 Ciampea tentang chikungunya. Informasi Chikungunya
Diformat
Video
Didesain
Variabel bebas
Bahasa 1. Bahasa Sunda (BS) 2. Bahasa Indonesia (BI) Jenis pesan visual 1. Visualisasi Realistik (Gambar Bergerak) (VR) 2. Visualiasasi diam (Gambar tidak bergerak). (VG)
Variabel tidak bebas
Peningkatan pengetahuan Siswa SMAN 1 Ciampea tentang Chikungunya
33
Hipotesis Berdasarkan hasil pemikiran dan tinjauan pustaka tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: •
Hipotesis Pertama (1) Media video mampu meningkatkan pengetahuan siswa SMAN 1 Ciampea tentang informasi Chikungunya.
•
Hipotesis kedua (2) Skor peningkatan pengetahuan siswa yang menyaksikan video dengan menggunakan jenis Bahasa Narasi Sunda berbeda nyata dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan Bahasa Indonesia.
•
Hipotesis ketiga (3) Skor peningkatan pengetahuan siswa yang meyaksikan video dengan menggunakan visualisasi realistik
berbeda nyata dari mereka yang
menyaksikan dalam penggunaan visualisasi diam. •
Hipotesis keempat (4) Skor peningkatan pengetahuan siswa yang meyaksikan video dengan menggunakan visualisasi realistik dengan menggunakan narasi Bahasa Sunda berbeda nyata dari mereka yang menyaksikan penyajian video bentuk lain.
34
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Riset khalayak ini dilakukan di SMAN 1 Ciampea, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa SMA tersebut berlokasi di daerah Bogor (Jawa Barat) dan daerah ini pun dekat ke perkotaan (Bogor Kota) serta wilayah pedesaan. Pemilihan lokasi penelitain ini dilakukan dengan secara sengaja (purposive). Populasi Dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah siswa SMAN 1 Ciampea, sampel penelitian adalah siswa kelas X (sepuluh). Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling, jumlah responden yang didapat sebanyak 80 siswa dengan pembagian kelas X1 dan X2. Desain Penelitian Penelitian ini dirancang dengan metode “ Quasi Eksperimental “ dengan desain faktorial 2 x 2 yang mempunyai dua peubah bebas. Dua peubah bebas dalam penelitian ini, yaitu jenis bahasa narasi dan jenis bentuk pesan visual. Setiap peubah bebas terdiri dari dua taraf. Jenis bahasa narasi terdiri dari bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, jenis bentuk pesan visual terdiri dari visualisasi realistik (gambar bergerak) dan visualiasasi diam (gambar tidak bergerak). Dari kedua peubah bebas yang masing-masing terdiri dari dua taraf tadi akan diperoleh empat macam kombinasi perlakuan yaitu : 1. Bahasa Sunda dan Visualisasi Realistik (BS VR) 2. Bahasa Sunda dan Visualisasi Diam (BI VD) 3. Bahasa Indonesia dan Visualisasi Realistik (BS VR) 4. Bahasa Indonesia dan Visualisasi Diam (BI VD) Untuk lebih jelasnya penelitian dengan desain faktorial 2 x 2 dan perlakuan format pesan bahasa narasi dan pesan visual disajikan pada matrik tabel berikut ini :
35
Format Pesan
Visualisasi Visualisasi Realistik
Visualisasi Diam
Bahasa Sunda
BS VR
=
20 Siswa BS
VD
= 20 Siswa
Bahasa Indonesia
BI
=
20 Siswa
VD
= 20 Siswa
Bahasa VS
BI
Sedangkan peubah tidak bebas dalam penelitian ini adalah peningkatan pengetahuan siswa SMA tentang informasi penyakit Chikungunya yang diukur dari hasil perbedaan pre-test dan post-test.
Tahapan Penelitian Secara keseluruhan rencana penelitian ini melalui tiga tahapan yang secara terinci diuraikan sebagai berikut: 1.
Tahap Pertama, yaitu tahap penyiapan materi penelitian, tahapan ini mencakup dua kegiatan utama yakni: a. Observasi Awal Kegiatan
ini
merupakan
tahap
pengumpulan
data
dalam
rangka
mengidentifikasi permasalahan khalayak untuk merumuskan “subjek matter” yang paling sesuai untuk materi penelitian. Penjajakan ini diperlukan dalam menentukan. isi materi video yang paling tepat digunakan dalam penelitian. Video penelitian diusahakan menyampaikan informasi yang belum banyak diketahui khalayak, sehingga peningkatan pengetahuan akan cukup jelas untuk diukur dan dianalisa b. Pembuatan materi penelitian Meliputi aktifitas penyusunan skrip atau naskah,
pengambilan gambar
(bergerak dan diam) dan narasi, editing dan produksi. Pembuatan disesuaikan dengan kebutuhan informasi khalayak, preferensi dan kemampuan penerimaan informasi mereka.
36
2.
Tahap Kedua adalah uji coba materi pesan video dan instrument, pengumpulan data uji coba dilakukan pada kelompok lain yang tidak dilibatkan dalam penelitian.
3.
Tahap Ketiga adalah pelaksanaan penelitian yang meliputi: a. Pengukuran awal (pre-test) terhadap pengetahuan responden. Pengukuran dilakukan terhadap responden subyek penelitian dengan menggunakan kuesioner pengukur tingkat pengetahuan responden. b. Pemberian perlakuan. c. Pengukuran akhir (post-test). Pengukuran ini juga dilakukan untuk mengukur tingkat pengetahuan responden. Metode Pengambilan Data Data yang diperlukan dihimpun dari sumber primer yaitu langsung dari
sampel yang dikenakan perlakuan melalui instrument yang telah disusun, sedangkan data sekunder didapatkan dari dinas pendidikan dan dinas kesehatan Kota Bogor dan sumber-sumber lain yang layak dipercaya, seperti: kantor Kelurahan, Kecamatan, dan Sekolah. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara terstruktur berpedoman kepada kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang relevan dengan variabel yang akan diteliti. Instrumen Untuk memperoleh data tentang peubah-peubah dalam recana penelitian ini digunakan instrument berisi pertanyaan yang akan dijawab oleh responden. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Tiga macam kuesioner yang digunakan meliputi: 1.
Kuesioner A yang digunakan untuk mengumpulkan data karakteristik responden dan perilaku komunikasi mereka.
2.
Kuesioner B yang digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan responden pada kedua kelompok. Kuesioner ini digunakan sebanyak dua kali yaitu pada saat pengukuran awal (pre-test) sebelum masa perlakuan video, sedangkan
37
kedua kalinya pada pengukuran akhir (post-test) setelah selesai masa perlakuan video. 3.
Kuesioner C yang digunakan untuk mengukur persepsi responden pada kelompok perlakuan tentang video yang mereka saksikan. Instrumen ini dibuat khusus dengan melalui beberapa pengembangan yang
dilakukan atas dasar sejumlah kuesioner-kuesioner yang pernah digunakan untuk penelitian sejenis juga dibuat sendiri pertanyaan yang sesuai dengan apa yang akan diteliti. Kuesioner ini kemudian di uji untuk mengetahui reliabilitasnya, karena reliabilitas instrumen turut menjamin kestabilan pengukuran. Uji coba dilakukan kepada sejumlah responden yang mempunyai karakteristik sama dengan responden rencana penelitian. Analisis Data Data yang akan diperoleh dari hasil penelitian ini, selanjutnya dianalisa dengan beberapa prosedur statistik yang relevan yaitu: 1. Data tentang karakteristik responden dianalisa dengan nilai tengah dan frekuensi. 2. Data kebutuhan informasi Chikungunya dengan statistik deskriptif. 3. Data tentang skor pre-test dan post-test
Siswa SMA dianalisa dengan
uji t dua sampel berpasangan (paired sample t-test). 4. Data perbedaan pengaruh perlakuan media video terhadap peningkatan pengetahuan responden, digunakan analisa sidik ragam (Analysis of varians). 5. Data untuk nilai tengah yang sama dengan yang tidak sama diantara nilai-nilai tengah peningkatan pengetahuan responden, dianalisis dengan uji wilayah berganda duncan (Duncan’s Mulltiple Range Test).
Validitas dan Reliabilitas Menurut Kerlinger (1990), validitas instrumen menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur itu telah mengukur apa yang akan diukur. Titik berat dari uji coba validitas instrumen adalah pada validitas isi, yang dapat dilihat dari (1) apakah
38
instrumen tersebut telah mampu mengukur apa yang akan diukur dan (2) apakah informasi yang dikumpulkan sudah sesuai dengan konsep yang digunakan. Karena itu untuk mengukur pengetahuan responden maka pertanyaan disesuaikan dengan istilah atau materi yang ada di dalam video. Seluruh pertanyaan mengenai pengetahuan responden, dibuat dalam bahasa yang mudah dipahami oleh responden dan menghindarkan pertanyaan yang mempunyai makna ganda. Kuesioner dapat mempunyai validitas tinggi, dengan menyusun daftar pertanyaan dengan cara: (1) mempertimbangkan teori-teori dan kenyataan yang telah diungkapkan berbagai pustaka empiris, (2) menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden dan (3) memperhatikan masukan para pakar (Ancok, 1995). Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relative konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih. Reliabilitas instrumen dilakukan uji coba kuesioner untuk mengukur peningkatan pengetahuan responden. Data yang dikumpulkan berdasarkan uji coba instrumen dianalisa menurut prosedur “Kuder Richardson” (Kerlinger, 1990), dan diperoleh nilai r = 0.72 berarti ini menunjukkan instrumen yang digunakan adalah reliabel. Uji Coba dan Evaluasi Media Terhadap media video yang akan digunakan, sebelumnya dilakukan uji coba dan evaluasi media terlebih dahulu. Kegiatan ini dilaksanakan agar dapat mengetahui apakah video yang telah didesain dapat memiliki nilai efektivitas untuk kelayakan media. Uji coba dan evaluasi media dilaksanakan dalam dua tahap berdasarkan Bertran (1978) yaitu: 1. Metode Face Validity dan In House Metode ini dilaksanakan pada komisi pembimbing sebagai ahli di bidang komunikasi. Metode ini dilakukan dengan uji coba produk berupa draft yang berisi rancangan video, lalu dilanjutkan dengan menggunakan final produk berupa program video.
39
2. Metode Open House Metode ini dilakukan dengan menggunakan final produk berupa program video yang sudah jadi. Dari hasil uji coba dan evaluasi media dengan faktor penilaian mengenai daya tarik media, penggunaan suara dan narasi, pemahaman pesan, keterlibatan subyek waktu serta musik latar, lalu diperoleh nilai reliabilitas r = 0.82 dengan menggunakan rumus belah dua Kuder Ricardson. Nilai ini menunjukkan penggunaan video mampu meningkatkan pengetahuan responden tentang Chikungunya Tabel 2. Distribusi hasil Uji coba dan evaluasi Video pada berbagai kelompok perlakuan. Faktor penilaian
Persentasi penilaian (%)
Daya tarik media
93%
Penggunaan suara dan narasi
95 %
Pemahaman pesan
90 %
Keterlibatan subyek waktu serta musik latar
87 %
Tabel 2 menunjukkan pada setiap kelompok responden yang diberikan tayangan video tentang Chikungunya rata-rata responden menilai baik. Hal ini ditunjukkan dengan angka persentase yang mendekati 100 persen Definisi Operasional Secara operasional peubah-peubah penelitian dapat didefinisikan sebagai berikut: 1.
Video adalah suatu medium audiovisual yang dapat merekam dan menayangkan kembali gambar dan suara dilayar monitor.
2.
Jenis bahasa narasi adalah bentuk penyampaian pesan dalam bentuk video dengan penjelasan secara verbal, terutama dilakukan untuk mendukung pesan visual. Jenis bahasa narasi dalam penelitian ini adalah:
40
a. Narasi bahasa Sunda adalah penyampaian pesan dalam bentuk verbal di dalam video dengan menggunakan bahasa Sunda. b. Narasi bahasa Indonesia adalah penyampaian pesan dalam bentuk verbal di dalam video dengan menggunakan bahasa nasional. 3.
Penyajian bentuk pesan visual adalah elemen-elemen visual yang menunjang penyajian pesan pada medium video. Bentuk penyajian bentuk visual dalam penelitian ini adalah: a. Visualisasi realistik yaitu gambar hidup atau visualisasi gerak dari hasil rekaman kamera video tentang benda, obyek atau peristiwa yang sebenarnya, dengan frame rate per second 25.00 fps. b. Visual diam adalah gambar realistik yang telah dicapture ke dalam bentuk visual dua dimensi dan terdapat 111 gambar diam.
4.
Peningkatan pengetahuan dapat dilihat dari jumlah tambahan pengetahuan setelah menyaksikan media video dengan mengacu pada selisih skor antara pre-test dan post-test.
5.
Chikungunya adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albapictus dengan gejala utama demam mendadak, bintik-bintik kemerahan, nyeri sendi terutama sendi lutut dan pergelangan kaki sehingga orang tersebut tidak dapat berjalan untuk sementara waktu.
41
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum SMAN 1 Ciampea SMAN 1 Ciampea, merupakan salah satu sekolah negeri yang terdapat di kota Bogor beralamat di Jl. Raya Cibadak Km 15 Ciampea Bogor. Visi dari sekolah ini adalah: “Terbentuknya peserta didik yang berprestasi berlandaskan iman dan taqwa”. Sedangkan misinya adalah: 1. Melaksanakan pembelajaran yang efektif bagi semua guru dan peserta didik. 2. Menumbuhkan semangat berprestasi warga sekolah dalam berkarya. 3. Mendukung peserta didik mengenali potensi dirinya unutk meningkatkan motivasi berprestasi . 4. Menumbuhkan penghayatan dan pengalaman terhadap ajaran agama yang dianut. SMAN 1 Ciampea dipimpin oleh ibu Dra. Ai Nurhayati, sekolah ini mempunyai 31 guru dan siswa Kelas X terdapat 234 siswa (116 perempuan dan 119 laki-laki) , kelas XI terdapat 243 siswa (137 perempuan dan 109 laki-laki), kelas XII terdapat 221 siswa (109 perempuan dan 112 laki-laki). Fasilitas yang terdapat di sekolah ini antara lain, lab komputer, perpustakaan, mushola, ruang guru, ruang OSIS, ruang wakasek, ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, lapangan parkir dan lapangan upacara, serta terdapat 18 kelas. Karakteristik Responden Responden penelitian adalah siswa kelas X (sepuluh) SMA, dengan distribusi responden menurut karakteristik yang sangat beragam (tabel 3). Hasil penelitian terhadap 80 siswa di SMAN 1 Ciampea memperlihatkan, bahwa umur rata-rata siswa adalah 17-19 tahun serta sebagian berumur 14-16 tahun. pengetahuan terhadap penyakit Chikungunya dikategorikan rendah, dimana sebanyak 81.25 persen siswa SMA tidak memahami apa itu Chikungunya.
42
Tabel 3. Karakteristik Responden Karakteristik Responden
Kategori
Frekuensi (orang) 38 42 80
Persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Jumlah 14 – 16 tahun 17 – 19 tahun > 19 tahun Jumlah
35 45
43.75 56.25
Pengetahuan tentang Chikungunya
Tahu Tidak Tahu Jumlah
15 65 80
100 18.75 81.25 100
Kebutuhan informasi tentang Chikungunya.
Sangat diperlukan Cukup diperlukan Kurang diperlukan Tidak diperlukan Jumlah
63 17
78.75 21.25
80
100
Kepemilikan media masssa
Surat kabar Majalah/tabloid Radio Televisi VCD/DVD Komputer
48 40 80 80 72 32
60 50 100 100 90 40
Frekuensi keterdedahan terhadap media rata-rata sehari dalam 1 minggu
Surat kabar < 1 Jam I jam–3 jam > 3 jam Jumlah
66 14
82.5 17.5
80
100
41 39
52.25 48.75
80
100
17
21.25
47.5 52.5 100
Umur
Majalah/tabloid < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah Radio < 1 Jam
80
43
I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah
58 5 80
72.5 6.25 100
Televisi < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah
2 51 27 80
2.5 63.75 33.75 100
VCD/DVD < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah
15 55 10 80
18.75 68.75 12.5 100
Internet < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah
5 61 14 80
6.25 76.25 17.5 100
Tabel 3 menunjukkan bahwa ada 6 jenis media yang diteliti dalam keterkaitannya pada keterdedahan media terhadap responden, yaitu: surat kabar, majalah/tabloid, radio, televisi, VCD/DVD, dan internet. Dengan frekuensi rata-rata berapa jam dalam sehari selama satu minggu, mereka terdedah oleh media tersebut. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa siswa SMA sangat terbuka terhadap informasi, hal ini terlihat dari frekuensi siswa yang sering mengakses media serta mudah menerima berbagai informasi. Kepemilikan akan media menjadi salah satu faktor yang menunjang kondisi tersebut, dimana dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki media televisi dan radio (100 persen). Sedangkan frekuensi keterdedahan media diperoleh dari penggunaan media oleh responden yaitu: televisi, majalah, radio, VCD/DVD, dan internet selama satu minggu. Keterdedahan akan media digunakan untuk mengetahui penggunaan media responden dalam mendapatkan informasi yang dihitung perjam (< 1 jam, 1- 3 jam dan
44
> 3 jam), pengukuran ini menggunakan skala ordinal yaitu jumlah satuan waktu yang digunakan responden dalam menggunakan media massa. Untuk kepemilikan dan keterdedahan responden pada surat kabar, menunjukkan ada 60 persen siswa yang biasanya secara rutin di dalam keluarganya membeli surat kabar, kepemilikan majalah/tabloid 50 persen responden selalu rutin membeli majalah atau tabloid, pada kepemilikan radio dan televisi mencapai 100 persen serta kepemilikan VCD/DVD 90 persen respoden memilikinya. Dari data di atas terlihat bahwa untuk kepemilikan media massa elektronik sangat tinggi dibanding media cetak. Kepemilikan media sangatlah beragam, artinya bahwa masyarakat lebih menyukai media yang mempunyai unsur audio dan visual, secara tidak langsung responden yang sering melihat atau meyaksikan media elektronik terbiasa dengan simbol-simbol yang diberikan oleh media elektronik ini. Angka kepemilikan komputer merupakan skor yang paling rendah dari media yang lain yaitu hanya sebesar 40 persen. Walaupun siswa SMA yang memiliki komputer tidak terlalu banyak, akses dan frekuensi siswa pada penggunaan internet cukup tinggi, dimana siswa yang mengakses media ini mencapai
76.25 persen
dengan frekuensi 1 jam sampai dengan 3 jam apabila mereka sedang menggunakan internet. Kini internet sudah menjangkau segala penjuru daerah, masyarakat khususnya para remaja pada saat ini terbiasa dalam menggunakan media massa yang satu ini. Terbiasanya responden dalam mengakses media sangat berpengaruh dalam proses pensimbolan (decoding) dari suatu isi pesan yang diterima oleh khalayak. Pengetahuan Awal dan Akhir Responden Pengukuran pengetahuan awal responden tentang informasi Chikungunya, dilakukan sebelum diberikan perlakuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum pengetahuan awal responden relatif rendah, dengan skor terendah 12 dan skor tertinggi 30. Skor terendah 12 diperoleh pada kelompok responden dengan menggunakan perlakuan bahasa Indonesia dan penggunaan pesan visual realistik, sedangkan skor tertinggi didapatkan oleh kelompok perlakuan bahasa Sunda dan visual realistik. Perolehan skor diukur sebelum responden menyaksikan tayangan
45
video, sehingga dalam kondisi ini responden sama sekali belum mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit Chikungunya. Tabel 4 menunjukkan bahwa ada perbedaan rataan pengetahuan awal pada tiap kelompok responden. Untuk mengetahui apakah perbedaan pengetahuan awal responden tersebut berbeda nyata atau tidak nyata, maka pada tahap selanjutnya dilakukan analisa sidik ragam (tabel 4). Tabel 4. Skor pengetahuan awal responden menurut kelompok perlakuan Visualisasi
Faktor Perlakuan Bahasa
R
Rata-rata
D
Indonesia
12.75
12.85
12.80
Sunda
13.15
13.10
13.13
Rata-Rata
12.95
12.98
12.96
Tabel 5. Hasil analisa sidik ragam terhadap skor pengetahuan awal responden Sumber Keragaman
db
JK
KT
Antar Kelompok
3
2.238
0.746
Dalam Kelompok
76
318.650
4.193
Total
79
320.888
F-Hit 0.178tn
F-Tabel
Nilai-P
2.727
0.911
Ket : tn = tidak berbeda nyata Hasil analisa sidik ragam pada tabel 5 di atas menunjukkan bahwa nilai ratarata pengetahuan awal responden pada keempat perlakuan tidak berbeda nyata (F hitung < F tabel pada tabel 0.05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan awal responden pada setiap kelompok perlakuan terhadap penyakit Chikunguya adalah sama. Mereka sama-sama belum terlalu mengerti apa yang dimaksud dengan Chikungunya serta bagaiman pencegahan dan pengobatannya. Setelah dilakukan pengujian serta pengukuran awal (pre-test) kepada setiap kelompok, selanjutnya diberikan perlakuan perkelompok responden berupa presentasi
46
video
informasi
Chikungunya,
kemudian
dilanjutkan
dengan
pengukuran
pengetahuan akhir (post-test) responden. Skor rataan post-test berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 menunjukkan skor rataan responden pada tiap kelompok perlakuan tidak terlalu berbeda, skor yang cukup tinggi adalah kombinasi perlakuan video visual diam dengan bahasa narasi Indonesia (DI), dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Untuk mengetahui signifikansi beda pengetahuan akhir (post-test) responden pada tiap kelompok perlakuan, tahap selanjutnya dilakukan analisa sidik ragam (tabel 7). Tabel 6. Skor pengetahuan akhir (post-test) respoden menurut kelompok perlakuan Visualisasi
Faktor Perlakuan Bahasa
R
Total
D
Indonesia
27.60
26.60
27.10
Sunda
27.70
26.65
27.18
Total
27.65
26.63
27.14
Tabel 7. Hasil analisa sidik ragam terhadap skor pengetahuan akhir responden Sumber Keragaman Antar Kelompok
db 3
JK
KT
21.138
7.046
Dalam Kelompok
76 534.350
7.031
Total
79 555.488
F-Hit 1.002tn
F-Tabel 2.727
Nilai-P 0.397
Ket : tn = tidak berbeda nyata Hasil analisa sidik ragam pada tabel 7, memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada skor pengetahuan akhir (post-test) responden. Pada taraf P = 0.05 menunjukkan tidak ada pengaruh diantara keempat perlakuan terhadap peningkatan pengetahuan responden.
47
Peningkatan Pengetahuan Responden Penelitian ini merancang 4 taraf perlakuan pesan video yang diujikan pada responden, yaitu: penggunaan bahasa narasi dengan dua perlakuan, terbagi atas Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia, serta penggunaan pesan visual yang terdiri dari visual realistik dan visual diam. Data peningkatan pengetahuan responden diperoleh dari selisih skor pre-test dan post-test setelah mendapat perlakuan (tabel 8). Tabel 8. Skor pre-test, post-test dan peningkatan pengetahuan Nomor
Faktor Perlakuan
Pre test
Post test
Peningkatan pengetahuan
1 2 3 . . .
Diam dan Indonesia
15 13 13
29 27 29
14 14 16
21 22 23 . . .
Diam dan Sunda
15 13 14
28 29 26
13 16 12
41 42 43 . . .
Realistik dan Indonesia
13 15 14
28 22 27
15 7 13
61 62 63 . . .
Realistik dan Sunda
15 15 14
29 27 27
14 12 13
Total
1037
2171
1134
Rata-rata
12.96
27.14
14.17
48
Tabel 8 menunjukkan skor rataan pengetahuan responden sebelum menerima perlakuan adalah 12.96 dan nilai rata-rata setelah menerima perlakuan (post-test) adalah 27.13. Rata-rata peningkatan pengetahuan memperoleh nilai 14.17. Untuk mengetahui apakah perbedaan skor pre-test dan post-test tersebut berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji dua sampel berpasangan (Paired Sample T-Test). Tabel 9. Hasil analisa t test skor rataan pre-test dan post-test responden Nilai Rata-rata Postest 27.14
Pretest 12.96
Thit 38.078**
T-tabel
T-tabel
α=0.05
α=0.01 1.96
2.576
Ket : berbeda nyata pada taraf α=0.01 Hasil uji t Test menunjukkan bahwa nilai pre-test dan post-test berbeda sangat nyata yakni 2.576 pada α=0.01 dan nilai t hitung (38.078) dengan t tabel (2.576). Nilai t hitung yang lebih besar dari t tabel dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata dari penggunaan video dalam proses penyampaian pesan. Penggunaan bahasa narasi (Sunda dan Indonesia) dan bentuk pesan visual (realistik dan diam) dapat meningkatkan pengetahuan responden (siswa SMA) tentang penyakit Chikungunya. Sehubungan dengan hasil peningkatan pengetahuan yang diperoleh dari data di atas, hipotesis pertama ini adalah: H1=
Media video mampu meningkatkan pengetahuan siswa SMA tentang informasi Chikungunya. Hipotesis dapat diterima. Hasil yang diperoleh dari pengujian diatas, sejalan dengan pendapat Tiffon
dan Combes dalam Schramn (1974) yang menyatakan bahwa video mampu menyampaikan pesan dengan cara-cara yang lebih konkrit dan jelas daripada pesan yang disampaikan melalui kata-kata yang terucap atau kata-kata yang tercetak. Dalam sebuah tulisannya Fardiaz dalam Jahi (1988) mengemukakan, video telah banyak dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi dibidang pendidikan dan
49
kesehatan di negara-negara dunia ketiga. Medium ini juga digunakan secara efektif untuk merangsang motivasi penduduk pedesaan agar berpartipasi aktif dalam proses pembangunan. Pembuatan video yang didesain semudah mungkin untuk dicerna, merupakan salah satu faktor yang membuat para siswa mudah dalam penerimaan pesan. Penggunaan bahasa yang tidak terlalu sulit dan penggunaan visual yang mudah dipahami, menimbulkan daya tarik bagi responden. Kondisi inilah yang merupakan faktor penentu dalam proses penerimaan pesan informasi Chikungunya.
Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian serupa yang dilakukan sebelumnya, dimana penelitian Iskandar (2005) mengungkapkan bahwa medium video yang mengandung unsur suara dan pesan visual dapat meningkatkan pengetahuan petani tentang pupuk Agrodyke di Kecamatan Mandonga Kota Kendari. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Muhammad Nasir (2006) terhadap petani Kakao di kecamatan Amahi, Maluku Tengah. Grafik rata-rata peningkatan pengetahun responden berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 2. 30 25
26.6
26.65
27.7
27.6
20 15 12.85
13.1
12.75
13.15
Pre-test post-test
10 5 0 DI
DS
RI
RS
Tabel 10. Hasil Rataan skor peningkatan pengetahuan responden menurut kelompok perlakuan Faktor Perlakuan Bahasa
Indonesia Sunda Rata-rata
Visualisasi R
Rata-rata
D 14.85 14.55
14.70
13.75 13.55 13.65
14.30 14.05 14.18
50
Tabel 10 memperlihatkan bahwa secara keseluruhan skor rata-rata peningkatan pengetahuan kelompok responden yang melihat video menggunakan bahasa Indonesia sedikit lebih tinggi dari kelompok responden yang melihat video menggunakan bahasa daerah (Sunda). Responden yang melihat video dengan video realistik sedikit lebih tinggi dibanding mereka yang melihat video dengan visual diam. Untuk mengetahui tingkat signifikansi dari faktor bahasa dan ilustrasi serta interaksinya terhadap peningkatan pemahaman responden, selanjutnya dilakukan analisa sidik ragam dua arah (tabel 11) Tabel 11.
Hasil analisa sidik ragam dua arah skor peningkatan pengetahuan responden.
Peningkatan Pengetahuan Sumber Keragaman FAKTOR BAHASA JENIS PESAN VISUAL INTERAKSI BAHASA*JENIS PESAN VISUAL GALAT PERCOBAAN T0TAL
db
KT
F-Hit
F-Tabel 0.05 0.01
1.250 22.050
1.250 22.050
0.115tn 2.033tn
3.969 3.969
6.986 6.986
0.735 0.158
1 0.050 76 824.200 79 847.550
0.050 10.845
0.005tn
3.969
6.986
0.946
1 1
JK
NilaiP
Ket : tn = tidak berbeda nyata Berdasarkan hasil analisa ragam pada tabel 11, berikutnya akan dilakukan pengujian hipotesa terhadap faktor bahasa, pesan visual dan interaksinya.
Pengaruh Bahasa Narasi Bahasa yang digunakan di duga berpengaruh nyata terhadap peningkatan pengetahuan responden (siswa) di SMAN 1 Ciampea. Bahasa narasi terbagi atas dua jenis, yaitu bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia.
51
H2 = Skor peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menyaksikan video dengan menggunakan jenis bahasa narasi Sunda lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan bahasa Indonesia. Hasil penelitian (tabel 11) menunjukkan skor rata-rata peningkatan pengetahuan yang disebabkan oleh faktor bahasa narasi (Sunda dan Indonesia) tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan oleh nilai f hitung (0.115) < dari f tabel pada tingkat kepercayaan 0.05 dan 0.01. Secara statistik ini artinya bahasa yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan pemahaman responden. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis kedua dalam penelitian ini ditolak. Penelitian
ini
mengungkapkan
bahwa
informasi
tentang
penyakit
Chikungunya yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA. Pendugaan awal bahasa Sunda lebih efektif dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kesehatan, khususnya tentang penyakit Chikungunya ternyata tidak terbukti. Hasil penelitian ini merupakan pengujian penggunaan narasi bahasa dengan menggunakan media yang berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan menggunakan media video.
Sebelumnya, beberapa
penelitian telah melakukan pengujian pada narasi bahasa dengan menggunakan medium folder dan buklet, serta format kaset audio. Penelitian yang dilakukan oleh Linda Yanti di Jambi, menunjukkan bahasa Indonesia lebih efektif dibanding bahasa daerah (Jambi) sebagai bahasa pengantar melalui medium buklet yang memuat pesan tentang pendayagunaan melinjo. Sejalan dengan penelitian Linda Yanti, penelitian Evanita (1992) di Sumatera Barat mengungkapkan medium folder dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia lebih efektif dibanding bahasa daerah (Minang). Demikian pula dengan hasil penelitian Bakar (1999) yang menggunakan bahasa Sunda pada rekamaan audio, menunjukkan hasil yang kurang efektif dibanding bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan kepada petani di Sukabumi. Perbedaan bahasa pada hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, dimana hasilnya
52
memang agak sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan terlihat perbedaan nyata pada kedua jenis bahasa narasi tersebut. Hasil tersebut dapat kita terima karena, bila melihat kepemilikan atas media yang cukup tinggi, dimana kepemilikan televisi dan radio mencapai 100 persen serta frekuensi menonton, mendengar radio dan mengakses internet juga dikategorikan tinggi yaitu 1-3 jam (Internet 76.25 persen,
Televisi 63.75 persen, Radio 72.5 persen). Hal ini
menunjukkan bahwa semakin sering siswa mengakses media massa, maka semakin tinggi juga keterbukaan siswa terhadap segala macam informasi.
Kondisi ini
mengakibatkan keterdedahan terhadap media tidak dapat dihindari, dimana pada tahap selanjutnya penerima pesan media (siswa) mulai akrab dan mudah menerima informasi dengan penggunaan bahasa yang disajikan media tersebut. Hal ini juga mempengaruhi siswa dalam praktek penggunaan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari di lingkungannya. Selain itu lokasi penelitian yang lebih dekat dengan kota Jakarta, dimana penduduknya heterogen, sehingga penggunaan bahasa Indonesia lebih dominan dipakai dalam percakapan sehari-hari juga banyak mempengaruhi penggunaan bahasa pada siswa SMAN 1 Ciampea. Hal lain yang juga mempengaruhi keberadaan penggunaan bahasa daerah bagi siswa SMA adalah bahasa pengantar yang wajib dipakai dalam proses belajar dengan menggunakan bahasa Indonesia. Fenomena penggunaan bahasa ini bisa dikaji lebih lanjut, apakah ada indikasi mulai terjadinya transformasi budaya terutama bahasa pada era globalisasi ini. Bila ditinjau dari segi aspek demografis dan kehidupan sosial masyarakat di SMAN1 Ciampea, selain lebih dekat ke Ibukota Negara (Jakarta) siswa SMAN 1 Ciampea juga banyak yang bukan berasal dari daerah Ciampea, ada yang berasal dari Bogor Kota, Cimanggu, Dramaga, serta daerah-daerah diluar Ciampea. Dari segi sosial masyarakat, siswa SMAN 1 Ciampea lebih banyak menerima informasi dari media massa seperti televisi dan internet. Penggunaan bahasa “Betawi” (identik dengan pemakaian kata lu-gue) pun banyak digunakan oleh siswa SMA, ini dikarenakan penggunaan bahasa tersebut saat ini lebih bisa disebut “keren” dibandingkan bahasa daerah.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa media massa
53
berpengaruh sangat besar pada perilaku siswa SMA yang setiap harinya selalu mengakses media massa untuk memenuhi kebutuhan informasinya, sehingga secara langsung juga mempengaruhi penggunaan bahasa yang dipakai dalam lingkungan sosialnya. Keadaan ini tidaklah mengherankan, karena seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang penelitian ini, bahwa siswa SMA merupakan saluran komunikasi yang tepat untuk menyebarkan informasi dimana pada usianya yang menginjak remaja merupakan masa usia yang mudah untuk dipengaruhi, selalu ingin tahu dan selalu ingin mencoba, serta ingin selalu diperhatikan orang lain dan tidak mau dikatakan ketinggalan jaman.
Perkembangan era globalisasi yang membuka
keterbukaan informasi menjadi lebih luas dan mudah diakses, berimplikasi pada perubahan budaya yang memang tidak dapat dihindarkan lagi. Perubahan-perubahan yang terjadi, secara tidak langsung dapat merubah masyarakat khususnya generasi muda dalam mempertahankan budayanya (bahasa) Hasil yang ditunjukkan dalam penelitian ini, juga sejalan dengan pendapat Gunarwan dalam Bakar (1999) yang menunjukkan bahwa sejumlah bahasa daerah (terutama Lampung dan Jawa) mengalami pergeseran yang cukup berarti, karena terdesak oleh bahasa Indonesia. Artinya bahwa ada kecendrungan pergeseran bahasa daerah juga terjadi pada keberadaan bahasa Sunda. Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pemberitaan dari koran Kompas (13 November 2007), yang mengungkapkan saat ini sebanyak 726 bahasa daerah dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Itu terjadi akibat keengganan generasi muda penutur memakai bahasa daerah itu. Saat ini di Indonesia hanya ada 13 bahasa daerah dengan lebih dari satu juta penutur. Di antaranya bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Sunda, dan bahasa Lampung. Namun, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta bahkan hanya tinggal puluhan penutur. Di antaranya bahasa di Halmahera, Maluku Utara, yang jumlah penuturnya hanya 40 orang, akibatnya, kini semakin banyak bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur kurang dari satu juta. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana pengaruh budaya globalisasi menjadi salah satu faktor penyebab penurunan jumlah penutur bahasa
54
daerah. Pengaruh budaya tersebut menyebabkan generasi muda cenderung lebih suka berbicara menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia yang sesekali diselingi menggunakan bahasa asing, daripada menggunakan bahasa daerah.
Pengaruh Pesan Visual Jenis pesan visual adalah faktor ketiga yang diduga mempunyai perbedaan nyata terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA. Ada dua jenis pesan visual yang diberikan perlakuan yaitu visual realistik (bergerak) dan visual diam (tidak bergerak). Hasil penelitian (tabel 10) menunjukkan bahwa skor rata-rata peningkatan pengetahuan responden yang melihat video realistik (14.70) lebih tinggi dibanding responden yang melihat video dengan visual diam (13.65). Hipotesis ketiga penelitian tentang pengaruh pesan visual terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA adalah: H3 = Skor peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menyaksikan video dengan menggunakan visualisasi realistik lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan visualisasi diam. Selanjutnya untuk menguji apakah pengaruh pesan visual ini nyata maka di uji dengan analisa sidik ragam dua arah (tabel 9). Hasil analisa menunjukkan bahwa skor rata-rata peningkatan pengetahuan yang disebabkan oleh jenis pesan visual tidak berbeda nyata. Ini terlihat dengan f hitung (2.033) < dari f tabel pada tingkat kepercayaan 0.05 dan 0.01. Secara statistik berarti jenis pesan visual menunjukkan pengaruh yang tidak nyata, tetapi apabila ditelusuri lebih lanjut, skor rata-rata video dengan menggunakan jenis visual
realistik (14.70) lebih tinggi dibandingkan
responden yang melihat video dengan visual diam (13.65). Dengan demikian siswa SMA yang menyaksikan video dengan menggunakan visualisasi realistik lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan visualisasi diam, tetapi tidak ada pengaruh nyata dalam penggunaannya pada media video. Dari uji hipotesa ketiga ini, maka hipotesa ditolak.
55
Meskipun skor responden yang melihat
video dengan menggunakan
visualisasi realistik lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan visualisasi diam, tetapi diantara keduanya tidak ada perbedaan yang nyata. Wikinanxon (1974) dan Dwyer (1978) mengemukakan bahwa dalam pendidikan formal menemukan cukup bukti yang menunjukkan bahwa pemakaian video efektif untuk untuk memperlancar proses belajar siswa. Hal itu dapat terjadi karena medium video memiliki karakteristik dapat merangsang minat belajar siswa, menarik dan dapat mempertahankan perhatian mereka, serta mempertinggi daya ingat yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi mereka. Pendapat tersebut diatas, sejalan dengan kondisi yang ditunjukkan dari penelitian ini dimana siswa SMA ternyata lebih mudah menerima segala informasi, baik secara gambar bergerak ataupun diam (foto/tidak bergerak). Hal ini juga dapat dilihat dari frekuensi responden dalam mengakses media dan juga pada kepemilikan atas media yang dikategorikan cukup tinggi. Dimana kepemilikan televisi dan radio mencapai 100 persen, koran (60 persen), majalah (50 persen) serta frekuensi menonton dan mendengar radio, membaca dan mengakses internet juga termasuk tinggi yaitu rata-rata 1-3 jam perhari dalam seminggu (internet 76.25 persen, televisi 63.75 persen, radio 72.5 persen) sedangkan frekuensi penggunaan media kurang dari 1 jam perhari dalam seminggu adalah surat kabar (82.5 persen) dan majalah (43.34 persen). Data di atas memperlihatkan bahwa frekuensi penggunaan media dapat menjadi salah satu faktor tidak adanya pengaruh yang nyata diantara kedua jenis pesan visual. Karena semakin seringnya siswa mengakses media, maka semakin mudah siswa menerima berbagai jenis pesan atau informasi. Siswa menjadi lebih familiar atau terbiasa dan akrab dengan lambang-lambang yang disajikan media, khususnya lambang visual sehingga mereka mudah mengenali dan menangkap pesan yang disampaikan media tersebut. Sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh, penelitian Olson dalam Solomon (1974) menunjukkan bahwa kecerdasan juga berpengaruh pada penguasaan sistem-sistem simbol yang digunakan untuk membuat ilustrasi. Dalam hal ini bahwa
56
semakin tinggi pendidikan dan akses terhadap media, semakin tinggi pula pengusaan dengan berbagai macam bentuk ilustrasi sehingga menghasilkan suatu interpretasi yang tepat jika menyaksikan ilustrasi tersebut. Pambudy (1988) menyatakan bahwa pengalaman sangat penting dalam memahami suatu sistem simbol yang digunakan dalam penyampaian pesan visual. Pemahaman seseorang terhadap suatu sistem simbol yang digunakan dalam suatu visual akan menghasilkan persepsi yang tepat dari suatu ilustrasi. Penjelasan diatas bertentangan dengan penelitian Iskandar (2005), yang mengatakan bahwa medium video yang mengandung unsur suara dan pesan visual dapat meningkatkan pengetahuan petani tentang pupuk Agrodyke di Kecamatan Mandonga Kota Kendari. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Muhammad Nasir (2006) terhadap petani Kakao di Kecamatan Amahi, Maluku Tengah serta penelitian Pera Nurfatiyah (2006) terhadap ibu tani tentang pengolahan dodol nanas dengan media web . Hasil penelitian sebelumnya mengungkapkan ada perbedaan nyata antara gambar bergerak dan diam, ini dikarenakan karakteristik respondennya yang belum semua mengakses segala macam media. Selain itu informasi yang disampaikan bersifat instruksional bukan bersifat informatif. Medium video yang bersifat instruksional merupakan video yang harus dibuat secara bergerak, karena apabila pesan yang disampaikan secara diam, responden akan lebih cepat lupa dan tidak bisa menerima pesan secara optimal. Hasil penelitian sebelumnya banyak mengungkap, penggunaan visual dalam penjelasan materi intsruksional melalui media apapun cenderung memperlancar proses belajar (AECT, 1997). Dengan demikian frekuensi responden dalam mengakses media massa, merupakan salah satu faktor yang menentukan pengaruh penerimaan pesan visual baik visual realistik maupun visual diam.
Dimana penggunaan visual memang
dirancang untuk membuat konsep atau obyek yang diterangkan menjadi lebih jelas, sederhana dan mudah dimengerti. Dengan adanya visual dalam medium ini proses komunikasi akan lebih mudah dicerna, apalagi dengan responden yang mempunyai pendidikan, serta akses terhadap media cukup tinggi.
57
Diketahui selain faktor jenis pesan visual (gambar) pada medium video yang menyebabkan peningkatan pengetahuan responden, terdapat pula unsur-unsur karakteristik responden yang secara langsung dapat mempengaruhi penenerimaan informasi seperti umur, kepemilikan media, serta frekuensi keterdedahan media. Siswa yang memiliki media massa dan frekuensi keterdedahan akan media massa yang tinggi memiliki skor peningkatan pengetahuan lebih tinggi. Faktor lainnya yang cukup mendukung dalam jenis pesan visual realistik dan diam adalah adanya narator (narasi). Penyajian pesan oleh kedua narator lebih cenderung sama antara kecepatan dan kejelasan suara, yang membedakan hanyalah irama, bahasa dan intonasi. Penggunaan jenis pesan visual dalam memvisualkan ide merupakan usaha untuk merangsang emosi individu agar terlibat dan memiliki persepsi, dan apabila informasi melalui visual dapat dipersepsikan secara jelas, konkrit dan sesuai dengan yang diketahui maka akan lebih mudah untuk diingat. Hal ini diperkuat oleh Haryono dalam Erlina (2001) bahwa daya ingat individu melalui stimuli visual mencapai 72 persen setelah 3 jam dan respon hasil belajar 32 persen. Selain karena tingginya frekuensi siswa SMA terhadap akses media, pada video yang menggunakaan visualisasi diam (tidak bergerak) ini, proses pengambilan gambar diambil dengan mengcapture langsung dari video realistik, Pada visualisasi realistik frame per secondnya adalah 25 fps, lalu dari visualisasi realistik ini di ambil (capture) gambarnya untuk dijadikan gambar diam, lalu di dapat 111 gambar diam dan frame per second 1.85 fps, dengan durasi yang sama antara visualiasai realistik dan visualisasi diam, yaitu 10 menit. dari segi isi pesan dan gambar tidak ada perbedaan yang mencolok diantara kedua jenis pesan visual ini, penggunaan visualiasasi tidak kontras atau gambar yang disajikan tidak jauh berbeda satu sama lainnya, pembuatan media video yang mudah dimengerti pun berpengaruh dalam penerimaan pesan informasi, selain itu dengan samanya durasi antara visualiasai realistik dan visualisasi diam juga berpengaruh, dengan adanya suara nasari dalam video ini, mampu mendeskripsikan visual ke dalam bentuk suara atau narasi
58
Berkenaan dengan hasil penelitian, maka ada perbedaan skor antara pesan visual realistik dengan visual diam, tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata. Faktor lainnya yang mempengaruhi hasil tersebut adalah siswa SMA lebih terbuka terhadap media sehingga menyebabkan tidak ada pengaruh yang nyata antara penggunaan jenis pesan visual. Dengan demikian, dari hasil penelitian yang diperoleh meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata pada penggunaan kedua jenis pesan visual bagi siswa SMA, tetapi hasil tersebut bisa dijadikan referensi bagi perancang media komunikasi untuk menyebarkan informasi melalui media visual dengan waktu yang lebih singkat. Dimana visual diam dengan kualitas gambar yang sama dengan visual realistik dapat digunakan untuk pengiriman pesan pada khalayak dan memperoleh hasil yang sama dengan penggunaan visual realistik.
Sehingga kelebihannya adalah waktu yang
digunakan dapat lebih cepat, khususnya apabila pesan tersebut disebarkan kembali melalui media internet, khalayak dapat dengan mudah mengakses pesan yang disampaikan dengan waktu yang relatif singkat dibandingkan apabila pesan diakses dengan visual realistik. Dengan waktu yang lebih singkat isi pesan diharapkan bisa diterima dengan baik Pengaruh Interaksi Bahasa Narasi dan Bentuk Pesan Visual Hasil analisa sidik ragam pada tabel 11 menunjukkan bahwa secara statistik interaksi bentuk bahasa narasi dan bentuk pesan visual tidak berbeda nyata pada p = 0.05. Hal ini ditunjukkan oleh F hitung (0.005) < dari F tabel. Dapat diartikan bahwa pengaruh bahasa narasi dengan bentuk pesan visual tidak terkait satu sama lain terhadap peningkatan pengetahuan responden. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.
59
Gambar 3. Peningkatan pengetahuan Peningkatan pengetahuan 14.85 15 14
14.55 13.75 13.5
13 12
11 Diam
Visual
Realistik
Keterangan _______________ = Perlakuan dengan bahasa Indonesia ----------------------- = Perlakuan dengan bahasa Sunda Gambar 3 menunjukkan perlakuan bahasa narasi Indonesia memberikan skor agak tinggi dibanding penggunaan bahasa Sunda, demikian pula dengan penggunaan visual realistik memberikan skor agak tinggi dibanding visual diam. Tetapi untuk membuktikan skor tersebut berbeda nyata atau tidak, maka digunakanlah uji wilayah berganda Duncan (tabel 11). Tabel 12. Hasil Uji Wilayah Berganda Duncan Perlakuan
N
Subset for alpha = .05 1
DS
20
13.55
DI
20
13.75
RS
20
14.55
RI
20
14.85
Sig.
.262
Keterangan : Skor rata-rata semua perlakuan tidak berbeda nyata pada p:0.05
60
Dari tabel 12 dan tabel 11 diatas, dapat disimpulkan hipotesa keempat yakni : H4 =
Skor peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menyaksikan video dengan menggunakan visualisasi realistik dengan menggunakan narasi bahasa Sunda lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan penyajian video dalam bentuk lain. Hipotesa ini ditolak. Pada tabel 10 menunjukkan bahwa F hitung (0.05) < dari F tabel, artinya tidak
ada perbedaan nyata antara semua perlakuan (faktor bahasa dan faktor pesan visual). Selain itu pada tabel 11 terlihat skor rata-rata peningkatan pengetahuan siswa SMA juga tidak berbeda nyata diantara keempat kelompok perlakuan pada taraf p= 0.05. Artinya bahwa hipotesa keempat ditolak, dengan demikian peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menggunakan visualisasi realistik dengan menggunakan narasi bahasa Sunda tidak berbeda dengan kelompok lainnya. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa kemungkinan siswa SMA atau responden lebih cenderung sama (homogen) terhadap terpaan medianya serta lebih banyak yang sebaya atau berumur sama. Selain itu, karakteristik yang sama juga bisa meyebabkan tidak adanya pengaruh diantara kelompok perlakuan. Kepemilikan dan frekuensi terhadap terpaan media merupakan faktor yang paling penting dalam proses penyampaian informasi, semakin sering siswa SMA mengakses media, maka semakin tinggi juga keterbukaan siswa SMA terhadap segala jenis informasi. Disinilah peran media massa sangat mempengaruhi pembentukan persepsi dan pengetahuan yang mengarah pada perubahan perilaku. Faktor pendidikan siswa SMA merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dalam mempengaruhi intrepertasi suatu sistem simbol yang digunakan untuk memberi ilustrasi media visual. Dimana semakin tinggi pendidikan, makin tinggi penguasaan materi yang disampaikan melalui media visual tersebut (Penelitian LPSP-IPB dan DEPPENRI, 1977). Tabel 12 memperlihatkan juga adanya indikasi skor rata-rata kelompok perlakuan yang menggunakan kombinasi bahasa narasi Indonesia dan pesan visual realistik agak tinggi dibanding yang lain, meskipun skor ini tidak bisa dikatakan
61
berpengaruh diantara keempatnya. Tetapi hasil ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi ini bisa dikatakan paling efektif dibanding yang lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan pengaruh bahasa narasi Indonesia dan Sunda tidak berbeda adalah sudah mulai berkurangnya penggunaan bahasa Sunda dikalangan siswa SMA. Penggunaan visual realistik dan visual diam yang cenderung tidak jauh berbeda atau tidak berbeda nyata, dikarenakan proses pengambilan gambar (visualisasi diam) langsung mengcapture langsung dari visualisasi realistik sehingga gambar yang disajikan tidak jauh berbeda satu sama lainnya. Ini dilakukan agar tidak ada perbedaan yang mencolok dari segi isi pesan diantara keduanya. Perlakuan pesan visual realistik dan visual diam menunjukkan hasil tidak ada perbedaan yang nyata, penyebabnya antara lain adalah isi pesan yang bersifat informatif bukan instruksional, dan siswa SMA atau responden yang lebih terbuka akan media serta frekuensi mengakses media yang lebih sering atau lebih lama. Dihubungkan
dengan
faktor
karakteristik
responden,
penelitian
ini
menunjukkan bahwa semua jenis perlakuan yang diberikan sangat efektif bagi siswa SMAN I Ciampea, selain itu kepemilikan dan frekuensi keterdedahan media massa, mempunyai peran besar dalam penerimaan pesan informasi penyakit Chikungunya.
62
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penggunaan
video
dalam
menyampaikan
informasi
tentang
penyakit
Chikungunya sangat efektif untuk meningkatkan pengetahuan siswa SMAN I Ciampea.
Hal ini ditunjukkan dengan terdapatnya peningkatan pengetahuan
responden setelah melihat video. 2. Penggunaan Bahasa Narasi Sunda dan Bahasa Narasi Indonesia pada medium video tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMAN I Ciampea tentang Chikungunya, ini dikarenakan frekuensi keterdedahan siswa akan media tinggi, selain itu keengganan siswa mempergunakan bahasa sunda merupakan salah satu faktor yang dominan. 3. Pada penggunaan jenis pesan visual realistik dan visual diam pada medium video tidak ada perbedaan yang nyata diantara keduanya terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMAN I Ciampea tentang Chikungunya, ini dikarenakan tingkat kepemilikan media massa dan frekuensi keterdedahan siswa akan media tinggi, selain itu proses pengambilan gambar diam dilakukan dengan cara mengcapture (mengambil) langsung dari video realistik. Faktor lainnya yang cukup mendukung adalah adanya narator (narasi). 4.
Dari keempat kombinasi pada medium video ini, tidak ada perbedaan yang nyata terhadap
peningkatan
pengetahuan
siswa
SMAN
I
Ciampea
tentang
Chikungunya, tetapi kombinasi visual realistik dengan bahasa narasi Indonesia mempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan kombinasi yang lain.
63
Saran Ada beberapa saran yang perlu diperhatikan dalam upaya mengefektifkan penggunaan medium video. 1. Dalam upaya mengefektifkan penyebaran informasi kepada siswa SMA medium video merupakan medium komunikasi yang cukup efektif. 2. Penggunaan bentuk pesan visual diam yang di capture dari visual realistik video dapat dijadikan pertimbangan bagi perancang media komunikasi yang ingin menyebarluaskan informasi dengan waktu yang relatif lebih singkat. 3. Ada baiknya untuk penelitian selanjutnya untuk mengetahui efektifitas medium video ini dicoba dengan responden yang berbeda, tema yang berbeda atau dengan format pesan yang berbeda.
64
DAFTAR PUSTAKA Buku AECT, 1977. The Definition Of Educational Technology. Washington: Assocation for educational communications dan technlogy. Ancok, J. 1995. Validitas Dan Realibitas Instrument Penelitian Didalam Singarimbun M dan S. Effendi. Metoda Penelitian Survey. LP3S Jakarta. Badudu, J.S. 1993. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar III. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bajari, A. 2001. Strategi Penggunaan Media Komunikasi. Di dalam Syam Nina Winangsih. Perencanaan Pesan dan Media. Jakarta. Universitas Terbuka. Berlo, D.K. 1960. The Process Of Communication An Introduction Theory And Practice, New York. Holt Rinnehart and Winston. Inc. Bettrand, J.T, 1978. Communication presenting. Chicago. Communication Laboratory: Coomunity and Family Study Center, Universitas Chicago. Bertz, R. 1971. A Taxomony Of Communication Media Educational-Technology New York Englewood Cliffs Publications. Besinger, C. 1981. The Video Guide. Santa Barbara, California. Video Info Publications. Brown, J.W, et al. 1997. Instructional: Technology, Media And Methods 5th ed. New York Mc Graw Hill. Cangara, H. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Raja Grafindo. Jakarta. Edmonds, R. 1978 , Script Writing for audio visual: Media radio-film television, filmstrips, slide film, New York: Teachers College. Effendy, O.U. 1986. Dinamika Komunikasi. Remaja Rosdakarya Bandung. Efrein. 1979. Video Tape Production And Communication Techniques, London Taad Book Blue Bidge Summit. Gaerlach, V.S, Ely D.P. 1972. Teaching and Media. Englewood, N.J. Pretice Hall. Gozali, dkk. 1986. Motion As an Instructional Cue: Educational Broadcasting Review 2.
65
Hanafi, A. 1984. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Usaha Nasional Surabaya. Hartley, J. 1978. Designing Instructional Text. New York. Cogan Page Publishing. Jahi, A. 1988. Komunikasi Massa Dan Pembangunan Pedesaan Di Negara-Negara Dunia Ketiga PT. Gramedia Jakarta. Karlinah, S. 2000. Komunikasi Massa. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta. Kuswandi, W. 1996. Komunikasi Massa, Sebuah Analisis Media Televisi, Penerbit Reneka Cipta. Jakarta. Kemp, J.E. 1988. Planning And Producing Audio Visual Material, 3rd ed. New York: Thomas Y. Crowell Company Inc. Kerlinger. 1990. Azas-Azas Penelitian Behavioral Edisi Ketiga Penerjemah Landung R Simatupang. Gajah Mada University Press. Liliweri, A. 2007. Komunikasi Antar Budaya. LP3IS. Yogyakarta. Lionberger, H.F and Gwin P.H. 1982. Communication strategies aguide for agriculture change agent. Danville illionis. The Interstate Printers And Publishers. Inc. Miller, J.G. 1973 Research And Development Priorities In Instructional Technologies For The Less Developed Countries, Washington. Parker, N.S. 1968. Audio visual script writing. Englewood New Jersey: rutgers University Press. Rakhmat, J. 2000. Metoda Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya Bandung. Rosdakarya Bandung. Rakhmat, J. 2005. Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya Bandung. Rogers, E dan Shoemaker. F. 1986. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Alih bahasa Abdillah Hanafi Cetakan III. Usaha Nasional Surabaya. Samsuri. 1978. Analisa Bahasa. Memahami Bahasa Secara Ilmiah. Erlangga Jakarta. Sceder. R. 1991, Perihal Cetak Mencetak, Kanisius Yogyakarta. Schramm, W. 1974. Media besar dan media kecil. Alat dan tekhnologi untuk pendidikan (terjemahan Agafur) FKIS-IKIP Yogyakarta. Penerbitan IKIP Semarang.
66
Singarimbun M dan Effendi. S. Metode Penelitain Survey Edisi Revisi LP3ES Jakarta. Siswosumarto, S. 1999. Modul Pelatihan Produksi Media Televisi/Video Visualiasai Ide. Jakarta. Pusat tekhnologi komunikasi pendidikan dan kebudayaan. Soekanto S. 1970. Sosiologi Suatu Pengantar. UI Press Jakarta. Van Den Ban, A.W, Hawkins, H.S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius Yogyakarta. Walpole, R E. 1995. Pengantar statistik: Edisi Ke-3. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Wills, E.E. 1967. Writing Television And Radio Program. New York: Holt Rinehart and Winton inc. Wittich, S. 1979. Instructional Technology: its nature adn use. Sixth edition. New york Hagerstown Philedelphia San Fransisco London Harper & Row, Publisher Zettl, H. 1969. Televison Production Handbook. Belmont Californis, Wadsworth Publishing Company, Inc
Buletin, Jurnal dan Koran _________
Medika Jurnal Kedokteran Indonesia; 2006 No. 03 Tahun Ke XXXII,
Maret 2006 Dwyer, F.M. 1969. “Motion As And Instructional Cue:.Educational Broadcasting Review 2 (34-43). Gozalli, T 1986 “Visual Primacy, Realty and the Implying Image in Motion Pictures and TV” Instructional Media 12 (157-165). Nielson, LA. 1981. “A Comparison of The Relative Effectiveness of A Videotape and a Slide Set For Ilustrating Natural Resource Technigues Int” 1 J. Instructional Media 9 (83-89). Shrivastava. 1978. What Language For Literacy. Development Communication Report Vol.5. Kompas. 13-11-2007.
67
Tesis Bakar, B. A. 1999. Pengaruh Pesan Rekaman Audio dan Poster Visual Terhadap Peningkatan Pengetahuan Petani Tentang PHT di Desa Sukamulya Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Evanita, S. 1992. Pengaruh Penggunaan Bahasa dan Kumpulan Huruf Folder Pada Peningkatan Pengetahuan Petani Sutera Tentang Cara Pemeliharaan Ulat Sutera di Kabupaten Agam Sumatera Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Iskandar. 2005. Pengaruh Desain Pesan Pupuk Agrodyke Melalui Video Terhadap Peningkatan Pengetahuan Petani. Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Lindayanti. 2002. Pengaruh Bahasa dan Jenis Ilustrasi Pada Booklet Terhadap Peningkatan Pemahaman Petani Tentang Pendayagunaan Melinjo Di Muaro Jambi. Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Nasir, M.B 2006. Efektivitas Video Instruksional Dalam Diseminasi Informasi Pertanian (Eksperimen Lapangan : Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) Pada Petani Kakao Di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah). Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Pambudy, R. Pengaruh penggunaan Bahasa dan Bentuk Ilustrasi Film Bingkai Pada Peningkatan Pengetahuan Tentang Tekhnologi Model Farm Petani-Petani di Desa Sukaresik, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. . Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Surya, H. 1989. Pengaruh Frekuensi Mendengar Bahasa dan Bentuk Penyajian Pesan Kaset Audio Tentang Pemupukan Berimbang Pada Peningkatan Pengetahuan Petani Peserta Model Farm di Desa Cikondang Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Supriadi, M. 1986. Pengaruh Bentuk Penyajian Pesan dan Penggunaan Ilustrasi Grafis Dalam Peningkatan Pengetahuan. Penyuluh Lapangan Proyek Pengembangan Karet Rakyat Unit Prabumulih dan Tanjung Agung Sumatera Selatan. Tesis Program Pasca Sarjana IPB Bogor.
68
Materi Lain Yang Tidak Dipublikasikan Anas, A. 2000. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Risalah Kongres Bahasa Vi. Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Jahi, A. 2003. Desain Pesan. Di dalam materi pelatihan penulisan naskah TV/Video Instruksional. Kerjasama antara PKSDM. Dikti, Seomeo-Seamolec, PPSDMAT Fakultas Kedokeran Hewan, IPB. Kartasasmita, G. 2000. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Risalah Kongres Bahasa Vi. Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Pribadi, B. 2003, teori Produksi Film dan Video. Di dalam Materi pelatihan penulisan naskah TV/Video Instruksional. Kerjasama antara PKSDM. Dikti, Seomeo-Seamolec, PPSDMAT Fakultas Kedokeran Hewan, IPB. Rinaldi. 2003. Visualisasi ide. Di dalam materi pelatihan penulisan naskah program TV/Video instrusional . Kerjasama antara PKSDM. Dikti, Seomeo-Seamolec, PPSDMAT Fakultas Kedokeran Hewan, IPB. Sutanto, A. 1980. Bahasa Indonesia Sebagai Sarana Komunikasi. Dalam kongsres bahasa III jakarta; PPPBI Jakarta
Web Site www. bogoronline.com. www. brawijaya.ac.id www. depkes.go.id www. e-edukasi.net www.indomedia.com