Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
PENGARUH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN DAN PERAN PENGRAJIN DALAM PENGELOLAAN LIMBAHNYA Diana Ningrum Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
[email protected]
ABSTRAK Proses Industri Penyamakan Kulit (IPK) menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padatnya tidak mengganggu lingkungan karena dapat didaur ulang, tetapi air limbah proses pemakaian bahan penyamak kulit yang berupa krom ini sangatlah mengkhawatirkan. Dalam proses penyamakan kulit dipakai bahan penyamak kulit Krom dan Sulfida yang merupakan Bahan Beracun Berbahaya (B3). Dengan metoda kajian pustaka dan survey lapangan penelitian ini dilaksanakan. Sehingga hasil penelitian didapatkan besarnya pengaruh Proses Industri Penyamakan Kulit (IPK) terhadap kualitas lingkungan, yaitu meliputi konsentrasi logam berat di air, di endapan lumpur sungai, serta pada biota perairan di sekitar Sentra Industri Kecil Penyamakan Kulit {SIKPK) Sukaregang Garut, yaitu di sungai Ciwalen dan Sungai Cigulampeng yang mengapit SIKPK Sukaregang tersebut. Serta didapatkan upaya peningkatan peran pengrajin IPK Sukaregang dalam Pengelolaan Limbah. Kata kunci : industri penyamakan kulit (IPK), kualitas lingkungan, pengrajin, pengelolaan limbah.
PENDAHULUAN Proses Industri Penyamakan Kulit (IPK) menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padatnya tidak mengganggu lingkungan karena dapat didaur ulang, antara lain kulit sasapan untuk makanan; serbuk kulit proses shaving untuk bahan baku eternit, dan potongan kulit proses finishing sebagai bahan baku barang souvenir. Air limbah proses pemakaian bahan penyamak kulit yang berupa krom ini sangatlah mengkhawatirkan. Sesuai berita harian Pikiran Rakyat, edisi Jabar, 1 September 2001, para petani di hilir IPK Sukaregang, Garut yang mengeluh karena produksi hasil sawah mereka menurun dan sumur penduduk terkontaminasi air limbah IPK. Saat ini sebagian IPK di Sugaregang telah dilengkapi dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) industri secara kolektif, tetapi zone III, IV dan V belum. Sehingga pada makalah ini akan dibahas dampak IPK terhadap lingkungan, seperti konsentrasi logam berat di air, di endapan lumpur sungai, serta pada biota perairan di sekitar Sentra Industri Kecil Penyamakan Kulit {SIKPK) Sukaregang Garut, yaitu di sungai Ciwalen dan Sungai Cigulampeng yang mengapit SIKPK Sukaregang tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah pengaruh Industri Penyamakan Kulit (IPK) terhadap kualitas lingkungan (air, endapan lumpur sungai dan biota perairan) di Sungai Ciwalen dan Sungai Cigulampeng yang merupakan sungai penampung limbah IPK ? 2. Bagaimanakah peran pengrajin Industri Penyamakan Kulit (IPK) dalam Pengelolaan Limbah? HASIL DAN DISKUSI Industri Penyamakan Kulit Sukaregang Kegiatan IPK di Sukaregang Kabupaten Garut telah berlangsung sejak tahun 1920, terdiri dari tiga unit usaha industri rumah. Industri ini telah mencapai 290 unit, dengan tenaga kerja 1.300 orang, sehingga disebut Sentra Industri Kecil Penyamakan Kulit Sukaregang. Pada mulanya proses penyamakan kulit menggunakan bahan nabati, tetapi sejak tahun 1977 diganti dengan penyamak kimia dan peralatan dengan mesin. Proses penyamakan kulit adalah proses mengubah kulit mentah (hide/skine) menjadi kulit termasak (leather) dengan menggunakan bahan kimia untuk bahan tas, sepatu, yang memerlukan waktu sampai 11 hari. Bahan penyamak yang digunakan adalah bahan kimia Choomosal B, sehingga waktu penyamakan menjadi lebih singkat, tetapi limbah yang dihasilkan akan mengandung logam berat kromium. Proses awal penyamakan kulit adalah membersihkan kotoran; darah dan sisa protein, agar aman dalam proses persiapan dan penyimpanan. Dengan tingginya kandungan protein pada kulit, diperlukan penghentian aktifitas enzym proteolitis, yaitu proses pemecahan protein menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hal ini dilakukan dengan mengeringkan kulit di udara terbuka dan ditambah garam dapur. Fleshing, yaitu pembuangan daging untuk meratakan kulit dilakukan secara mekanis. Proses pencucian dan perendaman untuk menghilangkan garam, sisa darah, kotoran lain dan protein serta mengembalikan kadar air yang hilang (rehidrasi) pada proses persiapan dan penyimpanan. Untuk memudahkan penghilangan bulu dilakukan penambahan kapur yang meresap ke pori kulit, dan penambahan natrium sulfida agar struktur serat kulit membuka. Proses pengasaman dilakukan sebelum penyamakan krom untuk mengakhiri aktifitas enzym, sehingga penyerapan krom sempurna. Tahapan proses selanjutnya adalah pewarnaan, pengawetan dengan Certimol supaya tidak berjamur, pengeringan, pementangan, dan akhirnya penyempurnaan dengan bahan kimia dicampur air (pigmen dan Relcosyn). Karakteristik Limbah Industri Penyamakan Kulit Industri penyamakan kulit menghasilkan limbah padat, cair dan gas/bau. Limbah yang dihasilkan ditentukan oleh penggunaan bahan baku (ukuran kulit), bahan pembantu (obat-obatan kimia), teknologi proses, kapasitas dan jenis produk yang dihasilkan. Limbah cair yang dihasilkan berasal dari proses penyamakan kulit itu sendiri, selain itu ditambah dari limbah yang berasal dari setiap tahapan proses yang menggunakan bahan kimia, seperti proses perendaman; pengapuran; pembuangan kapur; pengasaman; penyamakan; pencelupan; peminyakan; pengawetan dan penyempurnaan.
ISBN : 978979-99735-9-7 D-3-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
Kualitas air limbah yang berasal dari setiap proses relatif lebih jelek dari limbah gabungan, karena air limbah gabungan merupakan pencampuran seluruh proses, sehingga telah saling menetralkan. Sifat dan karakteristik limbah cair IPK pada setiap tahapan proses tanpa diolah ditunjukkan dalam tabel 1: Tabel 1: Karakteristik Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit Berdasarkan Proses Proses Perendaman
Komposisi Limbah -Kotor, bau busuk (mengandung sisa darah, daging, lemak, bulu, garam, dsb) - pH: 7,5 - 8; TS : 8.000 - 28.000 mg/L Pengapuran -Warna putih kehijauan, bau busuk, mengandung kalsium; natrium; sulfida; albumin; bulu; sisa daging; lemak; kotoran;dsb) - pH :9–12,5; TS: 16.000 – 45.000 mg/L; SS: 4.500 – 6.500 mg/L;BOD: 1000 – 2000 mg/L Pembuangan -Air limbah ini relatif lebih baik daripada limbah proses pengapuran. kapur - pH :3 – 9 ; TS: 1.200 – 12.000 mg/L; SS: 200 – 1.200 mg/L;BOD: 1000 – 2000 mg/L Pengasaman - Mengandung protein, sisa garam, asam mineral dan kroom - -pH :2,9 – 4; TS: 16.000 – 45.000 mg/L; SS: 6.000 mg/L;BOD: 800-2.200 mg/L Penyamakan pH :2,6 – 3; TS: 2.400 – 12.000 mg/L; SS: 300 – 1.000mg/L Air limbah pH :7,5 –10; TS: 10.000 – 25.000 mg/L; SS: 1.250 – 6.000 mg/L;BOD: 2000 – campu 3000 mg/L ran/seluruh proses Keterangan: TSS: Total Solid, Jumlah Padatan; SS: Suspended Solid, Padatan Tersuspensi Sumber: “Sinopsis Sentra Industri Kecil Perkulitan Sukaregang Kabupaten Garut” tahun 1999
Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Penyamakan Kulit (IPK) Saat Sekarang IPK Sukaregang terdiri dari 6 Zone, masing-masing zone meliputi 14 – 60 unit usaha dan kapasitas limbah yang dihasilkan sekitar 300 – 840 m3/hari (tabel 2). Tabel 2. Rincian Industri Kulit Sukaregang berdasarkan Zona Industri Zona
Jumlah Unit Usaha
Kapasitas Limbah (M3/hari) 300 720 840
I 14 II 60 III 48 IV 25 V 25 360 VI 14 300 Keterangan: (+) IPAL yang telah dibangun
Keterangan (+) (+) Zone III & IV digabung (+)
Sampai saat ini beberapa zone sudah dibangun IPAL-nya seperti Zone I, II dan VI, sedangkan zone III, IV dan V masih dalam perencanaan. Penurunan Kualitas Air Sungai Pada IPK Sukaregang dipergunakan bahan kimia antara lain: Chrom (Cr2O3) dan Sulfida (Na2S) yang termasuk kelompok Bahan Beracun Berbahaya (B3) dengan tingkat toksisitas tinggi, sehingga sangat berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan lingkungan.
ISBN : 978979-99735-9-7 D-3-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
Berdasarkan pemeriksaan kualitas air yang telah dilakukan oleh Puslitbang Sumber Daya Air; Bandung pada tahun 2001 telah terjadi penurunan kualitas air pada S. Ciwalen hilir dan S. Cigulampeng hilir, walaupun kadar logam berat krom (Cr) tidak terdeteksi. Terjadi kenaikan DHL masing-masing 567 % di S. Ciwalen hilir dan 60% di S. Cigulampeng. Parameter lainnya yang merupakan indikasi tercemar oleh limbah IPK Sukaregang ditunjukkan dengan meningkatnya kadar organik di hilir dari kedua sungai tersebut, seperti di S. Ciwalen hilir terjadi peningkatan: Amoniak: 197%; Nitrit: 167%; Nitrat: 145%; N-Organik: 289%; KmnO4: 433%; BOD: 477% dan COD: 404%, sedangkan di S. Cigulampeng : Amoniak: 210%; Nitrit: 439%; Nitrat: 106%; NOrganik: 400%; KmnO4: 131%; BOD: 166% dan COD: 150%. Demikian juga dengan sulfida di bagian hulu kadarnya tidak terdeteksi sedangkan di S. Ciwalen hilir meningkat menjadi 2,4 mg/L dan S. Cigulampeng menjadi 2 mg/L; hal ini juga sesuai dengan keluhan masyarakat oleh bau menusuk pada saat pabrik membuang limbah. Air sungai tersebut berubah warnanya menjadi kotor (abu-abu atau putih), padahal di hilir pabrik mengalir melewati daerah hunian, dan digunakan untuk sawah. Penurunan kualitas antara hulu dan hilir dari kedua sungai ini ditunjukkan pada tabel 3. Tabel 3. Kualitas Air di S. Ciwalen dan S. Cigulampeng pada bagian Hulu dan Hilir S. Ciwalen Parameter
Satuan
Hulu
Hilir
S. Cigulampeng % Kenaikan 140% 128% 197% 167% 145% 289% 433% 477% 404% -
1. pH 7,6 7,0 2. DHL 236 567 mhos/cm 3. ZPT 149 340 mg/L 4. Amoniak, NH4 0,90 2,67 mg/L 5. Nitrit, NO2 0,033 0,088 mg/L 6. Nitrat, NO3 0,22 0,54 mg/L 7. N- Organik 0,37 1,44 mg/L 8. K MnO4 12 64 mg/L 9. BOD 5,2 30 mg/L 10. COD 13,3 67 mg/L 11. Sulfida tt 2,4 mg/L 12. Logam Cr tt tt mg/L Keterangan: Pengukuran 12 Juni 2001 Sumber: “Penelitian oleh Puslitbang Sumber Daya Air; Bandung
Hulu
Hilir
7,2 192 119 0,58 0,030 0,18 0,21 13 6,4 15,2 tt tt
8,0 308 185 1,80 0,178 0,37 1,05 30 17 38 2,0 tt
% Kenaikan 11% 60% 55% 210% 493% 106% 400% 131% 166% 150% -
Logam Berat Cr dalam Air, Lumpur Endapan Sungai dan Biota Perairan Logam Krom (Cr) yang diperiksa dari lumpur endapan sungai dan biota perairan adalah dalam bentuk tercuci dan residu. Menurut Hoogrstraten, Van R.J and Nolthing, R.F, 1991 (Daftar Pustaka No. 3) adalah: a). Logam berat adalah kandungan logam, dari filtrat hasil saringan dengan membram selulosa nitrat 0,45 m dari 0,1 g contoh yang diekstraksi dengan 50 mL HCL 0,1N selama 18 jam pada suhu 20o C, apabila terdeteksi dalam lumpur endapan sungai/biota perairan berarti ada indikasi pencemaran logam Cr. b). Logam residu adalah kandungan logam dari kertas saring dari proses butir a), yang diekstrasi dengan 1,0 mL aqua regia, dan 5,0 mL, asam fluorida, dioven dalam teflon bom 2 jam., pada suhu 110o C. Setelah dingin ditambahkan 30 mL asam borat jenuh, yang ditempatkan dengan aquabides sampai 50 mL.
ISBN : 978979-99735-9-7 D-3-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
(1). Logam Cr Dalam Air Dalam air, kadar logam tidak terdeteksi baik di bagian hulu maupun hilir sungai. Hal ini disebabkan kadar logam terlarut sangat kecil dan juga pada waktu pengambilan contoh air, kemungkinan pabrik kulit sedang tidak membuang air limbahnya. Untuk membuktikan kemungkinan tersebut maka diperlukan pemantauan kualitas air di bagian hilir selama 24 jam dalam selang waktu setiap 1 jam. Pemantauan ini harus dilanjutkan selama 3 hari berturut-turut dalam selang waktu setiap 4 jam . Umumnya pada penelitian karakteristik air limbah industri siang hari, kita tidak dapat mendeteksi parameter pencemar kimia yang dominan, karena waktu pengambilan contoh industri tersebut dilakukan pada waktu pabrik tidak beroperasi, sehingga air yang diperiksa hanya air lamiah saja. (2). Logam Cr Dalam Lumpur Endapan Sungai Logam Cr tercuci pada lumpur endapan kedua sungai bagian hulu tidak terdeteksi, tetapi mengalami kenaikan konsentrasi setelah mendapan buangan limbah. Pada bagian hilir S. Ciwalen meningkat menjadi 0,04 mg/L, S. Cigulampeng hilir meningkat menjadi 0,02 mg/L. Sebaliknya dengan logam Cr residu karena sejak di bagian hulu kedua sungai tersebut telah ditemukan dan dibagian hilir terjadi peningkatan sebagai indikasi buangan limbah IPK. Logam Cr residu pada S. Ciwalen hulu semula 0,20 mg/L, meningkat di hilir menjadi 0,22 mg/L, di S. Cigulampeng hulu semula 0,13 mg/L, meningkat di hilir menjadi 0,22 mg/L (pada tabel 4). Kemungkinan terdapatnya logam Cr residu di bagian hulu berasal dari sebaran yang terdapat di tanah yang terbawa ke sungai ketika turun hujan. Hal ini karena kromium secara alami tersebar luas di permukaan bumi. Tabel 4. Konsentrasi Logam Berat Kromium di Air dan Lumpur Endapan Sungai
No
Lokasi
Kadar Logam Berat Kromium Lumpur Endapan Sungai, mg/Kg Air Sungai, mg/L Tercuci Residu Cr Cr Cr6 Cr Cr6 tt tt tt 0,20 tt tt 0,04 tt 0,22 tt tt tt tt 0,13 tt tt 0,02 tt 0,22 tt
1. S. Ciwalen Hulu 2. S. Ciwalen Hilir 3. S. Cigulampeng Hulu 4. S. Cigulampeng Hilir Pengukuran 12 Juni 2001 Sumber: “Penelitian oleh: Puslitbang Sumber Daya Air; Bandung
(3) Logam Cr dalam Biota Perairan Tabel 5. Konsentrasi Logam Kromium pada Biota Perairan Lokasi Kadar Logam berat Kromium dalam Biota Perairan, mg/Kg Jenis biota Tercuci Residu 6 Cr Cr Cr Cr6 1. S. Ciwalen Hulu Ikan kecil tt tt 0,09 tt 2. S. Ciwalen Hilir Cacing 0,16 tt 0,24 tt 3. S. Cigulampeng Hulu Ikan kecil tt tt 0,04 tt 4. S. Cigulampeng Hilir Ikan (anak mujair) 0,07 tt 0,09 tt Pengukuran 12 Juni 2001 Sumber: “ Penelitian oleh: Puslitbang Sumber Daya Air; Bandung No.
ISBN : 978979-99735-9-7 D-3-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
Berdasarkan tabel 5. ada indikasi dari buangan limbah IPK terhadap biota perairan. Untuk logam berat Cr tercuci di bagian hulu kedua sungai tidak terdeteksi tetapi terjadi peningkatan kadar logam Cr di S. Ciwalen hilir menjadi 0,16 mg/L, dan di S. Cigulampeng hilir menjadi 0,07 mg/L. Sebaliknya logam berat Cr residu, sejak di bagian hulu dari kedua sungai tersebut telah ditemukan. Pada bagian hulu S. Ciwalen kadar logam berat Cr residu 0,09 mg/L, meningkat menjadi 0,24 mg/L di bagian hilir. Demikian juga di S. Cigulampeng semula di bagian hulu 0,04 mg/L, meningkat menjadi 0,09 mg/L di bagian hilir. Dampak Logam Berat Kromium Terhadap Kesehatan Manusia Berdasarkan pengukuran contoh air, lumpur endapan sungai dan biota perairan di S. Ciwalen dan S. Cigulampeng, logam berat Cr terdapat pada lumpur endapan sungai dan biota perairan, sedangkan dalam contoh air kadarnya tidak terdeteksi. Dari pemeriksaan terhadap lumpur sungai dan biota perairan baik dalam bentuk tercuci maupun residu, kadar logam berat Cr valensi VI (heksavalent) tidak terdeteksi. Karena yang diperiksa dalam contoh-contoh tersebut kadar Cr total, maka kandungan Cr dalam lumpur sungai dan biota kemungkinan terdiri dari logam Cr valensi dua dan Cr valensi tiga (trivalent). Dampak logam berat Cr terhadap kesehatan melalui oral relatif kecil, dan tergantung tingkat oksidasinya. Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC), Cr heksavalent termasuk klasifikasi kelompok 1 (bersifat karsinogenik pada manusia), sedangkan Cr trivalent termasuk dalam kelompok 3 (tidak diklasifikasikan karsinogenik bagi manusia). Pengaruh Cr trivalent yang terdapat dalam makanan relatif aman pada batas 0,20 mg/hari. Cr heksavalent meracuni hati, ginjal dan organ pernafasan yang berpengaruh dengan terjadinya pendarahan dan luka yang bernanah kronis pada kulit. Menurut John De Zuane, P.E. dalam Handbook of Drinking Water Quality, 1997 dari penelitian hewan percobaan Cr heksavalent dalam 60 hari mempunyai No Observed Adverse Effect Level (NOAEL), yaitu kadar tertinggi di mana dampak negatif tidak teramati sebesar 14,4 mg/Kg/hari untuk mencit. Dengan perkiraan faktor keamanan sebesar 100, maka dalam 10 hari ditetapkan untuk anak-anak kadar sebesar 1,4 mg/L, dan untuk dewasa 5 mg/L adalah merupakan batas aman. Peran Pengrajin Industri Penyamakan Kulit dalam Pengelolaan Limbah Ketersediaan air di dunia dinyatakan dalam bentuk Indeks Ketersediaan Air (IKA) yang menyatakan berapa ribu m3 ketersediaan air alami per orang per tahun. IKA air di P. Jawa adalah 1,6 sedangkan secara nasional 16,8. Seiring dengan pertambahan penduduk dan kesejahteraan maka kebutuhan air makin lama makin meningkat. Sebagai gambaran kebutuhan air di P. Jawa adalah 3.931 juta m3 tahun 1990, meningkat menjadi 4.234 juta m3 pada tahun 2000, dan diperkirakan menjadi 4.595 juta m3 pada tahun 2015. Padahal ketersediaan air di musim kering hanya 1.560 juta m3 ( Badruddin, 2000). Dengan melihat rendahnya IKA di Jawa, yaitu 1,6 khususnya DPS Cimanuk, maka kualitas air yang berasal dari anak-anak sungai DPS Cimanuk di daerah Garut harus dikelola, antara lain dengan mengolah air IPK Sukaregang. Hal ini dapat dilakukan apabila para pengrajin diberi pengertian tentang ketersediaan air secara kualitas dan kulaitas yang setiap tahun makin menurun, sedangkan kebutuhan air makin makin meningkat terutama di musim kemarau.
ISBN : 978979-99735-9-7 D-3-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
Saat ini sebanyak 3 zone IPK Sukaregang, Garut, telah dilengkapi dengan IPAL yaitu pada zone I, II dan VI yaitu sekitar 52,38 % limbah telah tertangani, tetapi logam berat Cr terdapat pada lumpur endapan sungai dan biota perairan di Sungai Ciwalen dan Cigulampeng. Ini berarti peran pengajin IPK masih harus ditingkatkan. Peningkatan peran pengrajin IPK Sukaregang terdiri dari: Penambahan Bangunan Fisik Saat ini jumlah Bak Pra Sedimentasi di IPK Sukaregang berdasarkan zone berkisar 6 – 14,30 % (tabel 6), setiap pengrajin diharapkan dapat membangun bak Pra Sedimentasi karena relatif murah. Fungsi pra sedimentasi untuk pengolahan awal sebelum diolah ke IPAL gabungan. Tabel 6. Rincian Industri Kulit Sukaregang berdasarkan Zona Industri Zone
Bak Pra Sedimentasi
Jumlah Unit Usaha
I II III IV V VI
2 7 3 4 3 2
14 60 48 25 25 14
Persentase Bak Pra Sedimentasi per Zone 14,30 % 11,70 % 6,25 % 16 % 12 % 14,30 %
Dengan adanya bak Pra Sedimentasi ini, maka beban limbah yang diolah di IPAL gabungan menjadi ringan, disamping itu dapat mengurangi jumlah logam Cr ke IPAL, karena terendapkan bersama kotoran / lumpur lainnya. Tetapi di sini harus diperhatikan, karena lumpur yang terkumpul harus diolah lebih lanjut karena mengandung logam Cr. Peningkatan Pengetahuan Sumber Daya Manusia (SDM): Kemampuan dan pengetahuan SDM pemilik pabrik atau pengrajin harus ditingkatkan dengan berbagai kursus tentang pengelolaan dan dampak limbah, sumber daya air serta lingkungan, sehingga kepedulian terhadap kelestarian lingkungan meningkat. Pengetahuan pengrajin belum memadai untuk pengelolaan limbah penyamakan kulit, padahal limbah IPK mengandung logam berat Cr yang berbahaya bagi lingkungan terutama bentuk Cr6 (hexavalent). Menerapkan Konsep Daur Ulang: IPAL bukan salah satu penyelesaian dalam menanggulangi pencemaran IPK, karena IPAL sendiri memproduksi lumpur secara berkala yang mengandung logam berat Cr. Pengrajin dapat mendaur ulang lumpur IPAL menjadi bata sebagai bahan bangunan, sehingga kelestarian sungai terjaga, karena lumpur IPAL yang mengandung logam berat Cr tidak dibuang ke sungai. KESIMPULAN 1. Dalam proses penyamakan kulit dipakai bahan penyamak kulit Krom dan Sulfida yang merupakan Bahan Beracun Berbahaya (B3). 2. Terjadi penurunan kualitas air sungai di hilir industri setelah menerima buangan limbah, yang ditunjukkan dalam peningkatan kadar pencemar, yaitu di SungaiCiwalen : DHL: 140%; ZPT: 128%; Amoniak: 197%; Nitrit: 167%; Nitrat:
ISBN : 978979-99735-9-7 D-3-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XI Program Studi MMT-ITS, Surabaya 6 Pebruari 2010
145%; N-Organik: 289%; KmnO4: 433%; BOD: 477% dan COD: 404%, sedangkan di Sungai Cigulampeng: DHL: 60%; ZPT: 55%; Amoniak: 210%; Nitrit: 493%; Nitrat: 106%; N-Organik: 400%; KmnO4: 131%; BOD: 166% dan COD: 150%. 3. Logam berat Cr tidak terdeteksi dalam air. Kadar Cr tercuci dalam lumpur di S. Ciwalen hilir: 0,04 mg/kg, dan di S. Cigulampeng hilir: 0,02 mg/kg; sedangkan logam Cr tercuci dalam biota perairan di S. Ciwalen hilir 0,16 mg/kg dan S. Cigulampeng hilir 0,07 mg/kg. 4. Tiga dari enam Zone industri telah dilengkapi dengan IPAL, yaitu di Zone I, II dan VI, dengan jumlah limbah yang telah diolah 52,40% dari total yang dihasilkan. Sehingga peran pengajin IPK masih harus ditingkatkan, yaitu dengan cara: (a)penambahan bangunan fisik; (b) peningkatan pengetahuan sumber daya manusia (SDM); (c) menerapkan konsep daur ulang. DAFTAR PUSTAKA Anonim. Departemen Kesehatan “ Dasar Penetapan Dampak Kualitas Air Terhadap Kesehatan Masyarakat”. Jakarta: 1996. Badruddin, Machbub. “Pengelolaan Sumber Daya Air Berwawasan Lingkungan pada Pengembangan Wilayah”. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Jakarta: 6 Juni, 2000. Hoogrstraten, Van R.J. and Nolting, R.F. “Trace and Major Element in Sediment and in Porewater from the North Western Basin of the Medditerranean Sea”. NIOZ Repport no. 1991-10. The Netherlands. 1991. John De Zuane, P.E. “Handbook of Drinking Water Quality”. Van Nostrand Reinhold. New York. 1997. Hidayat, Ratna dan Simon S. Brahmana. “Pengelolaan Sumberdaya Air Di Era Otonomi Daerah”. Penelitian Puslitbang Sumber Daya Air, Bandung: 12 Juni 2001.
ISBN : 978979-99735-9-7 D-3-8