Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
PENELITIAN PENGGUNAAN ANTI BUIH TERHADAP DETERJEN (DEGREASING AGENT) DAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT Sri sutyasmi Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian RI
ABSTRACT Has done research on the anti-foam to reduce foam to 4 (four) kinds of detergents commonly used for degreasing agent (a type of detergent) in the leather tanning process. This study aims to find ways to overcome foaming problems that occur in wastewater treatment (WWTP) in which the leather tanning industry in the leather tanning process using a degreasing agent always to eliminate fat in the skin. Two kinds of anti-foam used in this study to reduce foaming of the four kinds of detergents (degreasing agent) is neopalin, gelon PK, teepol and tergolik A. To four different Deterjent made solution with a concentration of 0.1, 0.2 and 0.3%, then drops anti froth until its volume is stable. Teepol at least cause frothing and buihnya easily overcome. Studies continue to try to apply the anti froth into the skin in wastewater aeration and activated sludge plus. Basically all foam anti foam can be lowered. Experiment with using leather waste water and activated sludge showed that the larger the activated sludge is used then the scum that arises less and less, and of course this reduces the use of anti-foam. Keywords: anti-foaming, detergent, handling, waste water skin
169
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
PENELITIAN PENGGUNAAN ANTI BUIH TERHADAP DETERJEN (DEGREASING AGENT) DAN PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT Sri sutyasmi Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian RI
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai anti buih yang dapat mengurangi buih terhadap 4 (empat) macam deterjen yang biasa digunakan untuk degreasing agent (sejenis deterjen) pada proses penyamakan kulit. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara dalam mengatasi masalah buih yang terjadi pada pengolahan air limbah (IPAL) industri penyamakan kulit dimana dalam proses penyamakan kulit selalu menggunakan degreasing agent untuk menghilangkan lemak yang ada pada kulit. Dua macam anti buih digunakan dalam penelitian ini untuk menurunkan buih dari 4 macam deterjen (degreasing agent) yaitu neopalin, gelon PK, teepol dan tergolik A. Ke-empat macam Deterjent dibuat larutan dengan konsentrasi 0,1, 0,2 dan 0,3 %, kemudian ditetesi anti buih sampai volumenya stabil. Teepol paling sedikit menimbulkan buih dan buihnya mudah diatasi. Penelitian dilanjutkan dengan mencoba menerapkan anti buih kedalam air limbah kulit yang di aerasi dan di ditambah dengan lumpur aktif. Pada dasarnya semua anti buih bisa menurunkan buih. Percobaan dengan menggunakan air limbah kulit dan lumpur aktif menunjukkan bahwa semakin besar lumpur aktif yang digunakan maka buih yang timbul semakin sedikit, dan tentu saja ini mengurangi penggunaan anti buih.
Kata Kunci: anti buih, deterjen, penanganan, air limbah kulit
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
170
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
PENDAHULUAN Kendala utama dalam mengolah air limbah industri penyamakan kulit ialah sulitnya memperoleh hasil yang diharapkan dalam memenuhi ambang batas yang dipersyaratkan. Kesulitan tersebut lebih disebabkan karena sangat kompleknya kandungan bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah industri penyamakan kulit. Bahan pencemar yang ada sangat ditentukan oleh bahan baku dan bahan pembantu yang digunakan untuk proses produksi. Sebagai contoh misalnya penggunaan wetting agent atau deterjen dan sejenisnya, selama proses produksi akan menimbulkan buih di dalam air limbahnya. Pada dasarnya buih terbentuk akibat adanya sebaran gelembung udara di dalam air ( Brian kiepper, 2011) Azis Tejpan 2013, menyatakan bahwa buih terjadi karena pengaruh adanya intervensi udara yang besar kedalam cairan. Akibatnya buih akan terjadi dengan adanya substansi di dalam cairan yang menurunkan tegangan permukaan cairan dan mengurangi pekerjaan yang harus di laksanakan untuk memperluas permukaan. Yang berhubungan erat dengan kecepatan pembentukan buih suatu cairan adalah stabilitas buih itu sendiri. Apabila tegangan permukaan cairan cenderung konstan untuk mengurangi tegangan permukaan, maka tegangan permukaan rendah akan menimbulkan buih yang stabil (Watson E.G. 2011). Buih tidak akan menjadi masalah apabila segera pecah setelah mencapai permukaan air. Namun pada prakteknya buih sering kali tidak segera pecah, dan bahkan ikut terbawa aliran air.sungai, sehingga mengganggu pemandangan. Buih dalam unit pengolahan air limbah dapat
mengganggu proses
pengolahannya, terutama untuk proses biologi. Terjadinya buih yang berlebihan di permukaan air akan menghambat proses sirkulasi udara dan juga mengganggu masuknya sinar matahari yang dibutuhkan untuk perkembangan mikrobia dalam lumpur aktif, sehingga juga mengganggu perkembangan mikrobia (Manh, L.D, 2008). Apabila tertiup angin, maka buih di dalam bak biologi dapat tersebar luas dengan membawa lumpur aktif. Buih yang menempel di permukaan tanah, dinding dan lainlainnya akan mengering dan kelihatan kecoklataan, terkesan kotor dan mengganggu pemandangan. Oleh karena itu perlu adanya upaya untuk mengeliminir buih agar pengolahaan air limbah dapat berhasil dengan baik sehingga perlu penelitian skala
171
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
laboratorium untuk mengeliminasi buih dalam pengolahan air limbah. Berikut adalah gambar buih yang terdapat dalam pengolahan air limbah.
Gambar 1 : IPAL yang banyak biuhnya. Detergen adalah campuran berbagai bahan yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun, detergen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air .(Widiyani, P, 2010) Detergen mempunyai ikatan – ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah ikatan tersebut membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan menghasilkan haloform dan trihalomethans jika zat organiknya berlebih (Arifin, 2008). Azis (2011), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan buih ialah dispersi gas dalam cairan seperti biasa terjadi dalam air yang mendidih. Seperti halnya emulsi dan suspensi, maka buih merupakan penyebaran gas dalam cairan yang berkelanjutan. Secara umum luas jarak antara sebaran dengan phase berkelanjutan (continous phase) adalah besar. Faktor yang menstabilkan untuk dispersi adalah sifat tegangan permukaan, gerakan suhu partikel, resistensi medium, elastisitas permukaan yang tinggi dari partikel cairan dan films (Savarino, 2010) Di lain pihak faktor yang tidak menstabilkan sebaran ialah kekuatan tarik permukaan, factor yang menekan tegangan permukaan, elastisitas permukaan yang
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
172
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
rendah, gravitasi, dan factor luar lainnya yang cenderung untuk memisahkan phase tersebut. (Tolley, 1971) Wahyudi, 2010, menjelaskan bahwa istilah surfaktan, detergent dan adalah bahan yang digunakan
sabun,
untuk mengurangi ketegangan permukaan cairan.
Surfaktan dapat dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan atas kelakuan ion dalam larutan cairan, sebagai berikut: an ionic; kathionik; non ionik dan amphoterik. Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk deterjen (hingga 15-40 % dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaikkan dan menurunkan tegangan permukaan. Dengan surfaktant dapat terjadi perubahan dalam tegangan permukaan yang menyertai proses pembasahan, daya busa yang stabil, daya emulsi yang stabil (Chantraine, et all. 2009 ) Menurut Kraichevsky, (2003) bahwa : Tegangan Permukaan dari Larutan Surfaktan merupakan tegangan permukaan yang statis. Secara teori sebaran zat cair dan gas (emulsi, buih) distabilkan oleh lapisan – lapisan adsorpsi dari molekul aphipilik. Ini bisa surfaktan ionic dan nonionic, lemak, protein,
nonionic, dsb. Semua itu
mempunyai sifat untuk bisa menurunkan tegangan permukaan. Sukla 1979, menyatakan bahwa mekanisme anti buih yang bekerja adalah kekuatan interpartikel yang menentukan stabilitas system koloidal dan beberapa mekanisme yang dihasilkan dalam ketidak stabilan suspensi
dan emulsi. Dalam
beberapa teknologi (seperti pabrik kertas, pulp, minuman, pewarnaan tekstil, proses limbah minyak, dll), dapat timbul buih yang sangat besar dan stabil, yang menghalangi teknologi proses yang normal, oleh karena itu dalam banyak hal timbulnya buih ini tidak disenangi. Dalam kasus ini, berbagai macam minyak dan campuran minyak-padatan dimasukkan ke media buih dan digunakan sebagai pengontrol buih atau pencegah buih yang efisien. Anti buih digunakan juga dalam produk-produk seperti sabun, minuman dsb. Sering kali minyak dicampurkan dalam bahan surfaktan, sehingga dapat mencegah timbulnya buih, seperti misalnya penggunaan minyak silicon sebagai hair conditioner dalam shampo. Dikatakan lebih lanjut bahwa pengaruh mekanisme perusakan buih oleh anti buih dari minyak tidak sepenuhnya dimengerti dan merupakan subyek penelitian yang intensif.(Ponda, 2013)
173
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Menurut
Stephen
A.von
Phul
2004,
anti
buih
terdiri
dari
minyak
(polydimethylsiloxane atau hidrokarbon), sebaran partikel-partikel padatan yang hidrophobik (contoh: silica yang hidrophobik), atau campuran keduanya. Campuran antara minyak dengan padatan biasa disebut campuran anti buih. Berat konsentrasi partikel padatan dalam campuran adalah sekitar beberapa persen (2 – 8%). Pengaruh sinergis yang kuat antara minyak dengan padatan telah diketahui jauh lebih efektif dibanding apabila minyak atau padatan digunakan secara terpisah (individu). Campuran tersebut digunakan dengan konsentrasi kurang dari 0,1% dari berat, di mana minyak digunakan dengan konsentrasi lebih besar karena efisiensi/daya untuk memecah buihnya lebih rendah (Pandey, 2003).
Anti buih ini bisa di pre-emulsi dahulu, dalam
bentuk tetesan minyak atau campuran minyak-kristal padatan dalam ukuran mikro. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara mengatasi masalah buih dalam unit pengolahan air limbah
industri penyamakan kulit, sehingga tidak mencemari
lingkungan.
BAHAN DAN METODE Dalam penelitian ini
digunakan
bahan yang meliputi surfaktan (degreasing
agent/deterjen), dan anti buih yang diperoleh dari beberapa industri penyamakan kulit serta air limbah kulit dan lumpur aktif. Surfaktan yang dimaksud adalah neopalin, gelon PK, teepol, dan tergolik A. Sedangkan anti buih yang dimaksud ada dua jenis yaitu: Anti buih Defoamer 5050 dan anti buih Silicone Peralatan yang digunakan adalah Gelas ukur, pipet volume, pengaduk dan peralatan gelas lainnya. Pertama-tama adalah kharakterisasi terhadap bahan deterjen (Neopalin, Gelon PK, Teepol dan Tergolik A) yakni. dengan diperlakukannya penambahan anti buih (demoamer 5050 dan anti buih silicone), dengan cara membuat larutan yang terdiri dari surfaktan/deterjen dalam akuades dengan konsentrasi 0,1%; 0,2% dan 0,3%. Ambil dan masukkan 200 ml larutan tersebut ke dalam labu ukur volume 1000 ml, selanjutnya diberi udara agar terjadi buih. Buih yang terjadi diamati setiap dua menit, dan ke dalam labu ukur tersebut ditambahkan 3 tetes bahan anti buih.
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
174
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Volume buih yang terjadi dicatat pada setiap pengamatan dan perlakuan yang satu dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pengamatan dihentikan setelah volume buih konstan. Selanjutnya anti buih diuji cobakan terhadap air limbah kulit yang diberi lumpur aktif yang divariasi dan diaerasi agar keluar buih.
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakakan penelitian serta pengamatan terhadap serangkaian percobaan, maka dapat disampaikan hasil-hasil sebagai terlihat dalam grafik berikut. 1. Percobaan dengan anti buih defoamer 5050 terhadap 4 jenis deterjen a.
Percobaan dengan anti buih defoamer 5050, terhadap 4 jenis deterjen dengan konsentrasi 0.1 %. (gambar 1)
Gambar 1 Pengamatan volume buih menggunakan anti buih Defoamer 5050 terhadap 4 jenis deterjen dengan konsentrasi 0.1 %. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa: pada penggunaan neopalin 0,1% pada awal perlakuan hanya menimbulkan buih sebesar 30 ml, selanjutnya dengan penambahan 3 tetes anti buih pada interval waktu 2 menit volume buih menurun. Pada pengamatan 8 menit perlakuan dengan penambahan 12 tetes anti buih, terlihat buih yang terjadi hanya sekitar 5 ml, dan keadaan ini konstan hingga akhir percobaan, yakni pada pengamatan 14 menit. Perlu diketahui bahwa sejak pengamatan ke IV (8 menit), pada percobaan dengan menggunakan neopalin ini sudah tidak lagi ada penambahan anti buih.
175
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Pada percobaan dengan gelon PK 0,1% terlihat buih yang terjadi pada 4 menit pertama adalah 40 ml dan selanjutnya buih turun menjadi 10 ml
setelah 8 menit
perlakuan. Selanjutnya volume buih ini konstan sampai pada pengamatan ke VIII. Seperti halnya pada percobaan dengan menggunakan neopalin, maka pada percobaan ini sejak pengamatan ke VI sudah tidak ada lagi penambahan anti buih. Pada percobaan dengan Teepol 0,1% tidak menunjukkan terjadinya buih, walau hanya dengan 3 tetes anti buih, sampai akhir pengamatan.Hal ini menunjukkan bahwa Teepol adalah jenis deterjen yang tidak banyak menimbulkan buih sehingga pemakaian dalam industri penyamakan kulit untuk degreasing agent
perlu volume yang lebih
banyak dari pada degreasing agent yang lain. Pada percobaan dengan
Tergolix A 0,1%, buih yang terjadi pada 2 menit
pertama adalah sebesar 650 ml. Buih semakin menurun dengan semakin banyaknya anti buih yang diberikan. Volume buih menjadi 10 ml pada menit ke 7 dan tetap stabil pada menit ke 8 dan sampai akhir pengamatan. b.
Percobaan dengan anti buih defoamer 5050, terhadap 4 jenis deterjen dengan konsentrasi 0.2 %. (Gambar 2)
Gambar 2. Pengamatan volume buih menggunakan anti buih defoamer 5050 terhadap 4 jenis deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,2% Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada penggunaan neopalin 0,2% buih yang timbul pada 2 menit pertama, adalah sebesar 600 ml, selanjutnya dengan penambahan anti buih sebanyak 3 tetes setiap interval waktu 2 menit, terlihat volume buih semakin menurun. Pada pengamatan ke 13 atau selama 26 menit perlakuan buih kelihatan
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
176
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
stabil sampai akhir percobaan yaitu pada 2 ml. Dengan kata lain penggunaan anti buih defoamer 5050 0,2 % masih lebih baik dari pada penggunaan neopalin 0,1 %. Pada percobaan dengan gelon PK 0,2% terlihat buih yang terjadi pada 2 menit pertama sebesar 700 ml. Buih yang terjadi turun menjadi 10 ml setelah 20 menit perlakuan. Selanjutnya volume buih ini konstan pada volume 10 ml sampai pada pengamatan 16 menit tanpa ada penambahan anti buih. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan Gelon PK 0,2 % paling banyak menimbulkan buih namun cepat hilang dengan penambahan anti buih defoamer 5050. Pada percobaan dengan teepol 0,2 % tetap tidak menunjukkan terjadinya buih sejak awal sampai akhir pengamatan. Pada percobaan dengan
tergolix A 0,2%, buih yang terjadi pada 2 menit
pertama adalah sebesar 450 ml. Buih semakin menurun dengan semakin banyaknya anti buih yang diberikan. Volume buih menjadi 20 ml pada menit ke 18 dan tetap stabil sampai akhir pengamatan. Penggunaan anti buih defoamer 5050 sebesar 0,2 % cepat mengatasi buih yang ditimbulkan dalam pengolahan air limbah. c.
Percobaan dengan anti buih Defoamer 5050, terhadap 4 jenis deterjen dengan konsentrasi 0.3 %. (Gambar 3)
Gambar 3. Pengamatan buih menggunakan anti buih defoamer 5050, terhadap 4 jenis deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,3%.
177
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Dari gambar 3 diatas dapat dilihat bahwa: pada penggunaan neopalin 0,3% buih yang timbul pada 2 menit pertama, adalah sebesar 50 ml. Selanjutnya volume buih semakin menurun menjadi 5 ml dan stabil setelah 24 menit pengamatan, sampai akhir pengamatan. Pada percobaan dengan gelon PK 0,3 % terlihat buih yang terjadi pada 2 menit pertama sebesar 250 ml. Buih yang terjadi turun menjadi 5 ml
setelah 16 menit
perlakuan. Selanjutnya volume buih ini konstan sampai pada akhir pengamatan yaitu 24 menit. Pada percobaan dengan Teepol , 0,3 % terlihat bahwa pada pengamatan awal, ada 70 ml buih yang terjadi, selanjutnya buih hilang pada pengamatan 6 menit dan stabil atau konstan sampai akhir pengamatan atau setelah 26 menit. Dengan demikian pemakaian Teepol sebagai degreasing agent harus lebih banyak dari yang lain. Pada percobaan dengan
tergolix A 0,3 %, buih yang terjadi pada 2 menit
pertama adalah sebesar 170 ml. Volume buih kelihatan menurun sejak pengamatan 4 menit. Pada pengamatan menit ke 10, volume buih menjadi 10 ml dan stabil sampai akhir pengamatan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari 4 jenis deterjen yang digunakan terlihat Teepol menghasilkan buih paling sedikit dan tidak sebanyak seperti deterjen yang lain. Besarnya volume buih setiap deterjen secara kwantitatif dan kwalitatif tidak sama. Hal ini menunjukkan bahwa bahan penyusun atau komponen deterjen yang satu berbeda dengan yang lain, sehingga mengakibatkan kelakuan yang berbeda dari setiap deterjen, walau pada perlakuan yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Xia He (2011) yang menyatakan bahwa terbentuknya buih sangat dipengaruhi oleh komponen penyusun deterjen, media dan aerasinya. Semakin besar jumlah zat aktif pembentuk buih, semakin banyak buih yang terbentuk. Semakin besar udara atau oksigen yang dihembuskan kedalam media akan semakin besar volume buih. Demikian pula apabila dalam media terdapat banyak kandungan protein, lemak, karbohidrat, dan minyak maka kemungkinan akan timbul buih sangat besar. Ternyata sampai sekarang masih belum jelas mengenai mekanisme distruksi buih, manakah yang dirusak: apakah film buihnya atau Platau Bordernya? Atau apakah strukturnya atau elemennya? Struktur dan ketahanan lapisan film buih sangat bervariasi
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
178
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Dengan demikian dari percobaan 1 di atas dapat disarikan sebagai berikut: a. Penggunaan anti buih Defoamer 5050 terhadap deterjen dengan konsentrasi 0,1% dapat menurunkan terjadinya buih bervariasi antara 75 – 98% dalam waktu kurang dari 20 menit, dengan pemakaian anti buih 12 tetes. b. Pemakaian teepol pada konsentrasi 0,1 %, tidak menimbulkan buih. Pada awal perlakuan buih paling besar terjadi pada penggunaan tergolik A yaitu sebesar 650 ml dan stabil pada 10 ml. c. Penggunaan anti buih Defoamer 5050 terhadap deterjen dengan konsentrasi 0,2% dapat menurunkan terjadinya buih bervariasi 95 – 100%. Pada umumnya volume buih sudah mulai konstan/stabil pada pengamatan 16 menit. d. Penggunaan anti buih Defoamer 5050 terhadap deterjen dengan konsentrasi 0,3 % dapat menurunkan terjadinya buih bervariasi 90 – 100%. Buih yang terjadi tertinggi pada perlakuan deterjen Gelon PK yaitu sebesar 250 ml. Penghilangan buih baru kelihatan jelas pada pengamatan ke VI (setelah 32 menit perlakuan). Volume buih terendah terjadi pada perlakuan dengan Teepol.
2. Percobaan dengan anti buih Silicon terhadap 4 jenis deterjen. a.
Percobaan dengan anti buih Silikon terhadap 4 jenis deterjen dengan konsentrasi 0.1 %. (Gambar 4)
Gambar 4. Pengamatan volume buih menggunakan anti buih silicon terhadap 4 jenis deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,1%.
179
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Dari Gambar 4 diatas dapat diketahui bahwa: perlakuan dengan deterjen neopalin 0,1%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 1.200 ml. Selanjutnya buih terlihat stabil pada pengamatan 20 menit atau sampai akhir pengamatan. Perlakuan dengan deterjen gelon PK 0,1%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 250 ml. Volume buih ini akan semakin berkurang menjadi 20 ml, pada pengamatan 20 menit. Selanjutnya kondisi tersebut menjadi stabil sampai akhir pengamatan. Perlakuan dengan deterjen Teepol 0,1%, tanpa anti buih, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 10 ml. Buih terlihat bertambah menjadi 50 ml, pada pengamatan 6 menit. Setelah diberi 3 tetes anti buih, maka pada pengamatan 8 menit, buih menjadi 20 ml dan tetap stabil sampai akhir pengamatan.. Perlakuan dengan deterjen tergolik A, 0,1%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah yang paling
banyak yakni 1.300 ml.
Volume buih ini semakin berkurang hingga mencapai 30 ml, pada pengamatan ke XV dan stabil sampai akhir pengamatan. b.
Percobaan dengan anti buih Silikon, terhadap 4 jenis deterjen dengan konsentrasi 0.2 %. (Gambar 5)
Gambar 5. Pengamatan volume buih dengan menggunakan anti buih silikon terhadap 4 jenis deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,2%.
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
180
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Dari gambar 5 dapat diketahui bahwa: perlakuan dengan deterjen neopalin 0,2%, terlihat buih yang terjadi
pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah
sebesar 580 ml. Selanjutnya buih berkurang terus sampai menjadi stabil pada 20 ml yaitu pada pengamatan 22 menit Perlakuan dengan deterjen gelon PK 0,2%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 370 ml. Volume buih ini akan semakin berkurang dan menjadi 30 ml, pada waktu pengamatan 24 menit. Selanjutnya kondisi tersebut menjadi stabil sampai akhir pengamatan.. Perlakuan dengan deterjen Teepol 0,2%, tanpa anti buih, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 10 ml. Buih terlihat bertambah menjadi 50 ml, pada pengamatan 4 menit perlakuan. Setelah diberi 3 tetes anti buih, maka pada pengamatan 20 menit, buih turun menjadi 10 ml dan tetap stabil sampai akhir pengamatan.Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian Teepol pada industri penyamakan kulit tidak banyak menimbulkan buih. Perlakuan dengan deterjen Tergulik A, 0,2%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 1.300 ml. Volume dari pada buih terus menurun dengan penambahan anti buih tiap 2 menit dan pada akhirnya stabil pada 30 ml, pada pengamatan
selama 24 menit. Kondisi ini tetap stabil sampai
akhir pengamatan. c.
Percobaan dengan anti buih Silikon terhadap 4 jenis deterjen dengan konsentrasi 0.3 %. (Gambar 6) Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa: Perlakuan dengan deterjen neopalin
0,3%, terlihat buih yang terjadi
pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah
sebesar 550 ml. Selanjutnya buih berkurang menjadi 20 ml dan mulai terlihat stabil pada pengamatan 22 menit Perlakuan dengan deterjen gelon PK 0,3%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 750 ml. Volume buih ini akan semakin berkurang dan menjadi 40 ml, pada pengamatan 30 menit. Selanjutnya kondisi tersebut tetap stabil sampai akhir pengamatan. Perlakuan dengan deterjen Teepol 0,3%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 50 ml. Buih terlihat berkurang menjadi 10 ml, pada pengamatan 16 menit. Kondisi ini stabil sampai akhir pengamatan.
181
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Gambar 6. Pengamatan volume buih dengan menggunakan anti buih Silikon terhadap 4 jenis deterjen (neopalin, gelon PK, teepol, tergulik A) dengan konsentrasi 0,3%. Perlakuan dengan deterjen Tergulik A 0,3%, terlihat buih yang terjadi pada awal perlakuan (2 menit pertama) adalah sebesar 1.900 ml. Volume buih menurun/berkurang menjadi 30 ml, pada pengamatan 30 menit. Kondisi ini tetap stabil sampai akhir pengamatan. Dari kedua anti buih yang digunakan untuk menghilangkan buih dari deterjen konsentrasi 0,1 % maka aanti buih defoamer 5050 terlihat lebih bisa menghambat terjadinya buih dari pada anti buih silicon. Sedangkan pada konsentrasi deterjen 0,2 % maka anti buih defoamer 5050 hampir sama dengan anti buih Silikon yaitu dapat menstabilkan buih pada pengamatan 18 menit dan 24 menit. Untuk konsentrasi deterjen 0,3 % , anti buih Silikon mempunyai waktu yang lebih lama untuk menstabilkan buih yaitu pada pengamatan 20 menit, dari pada anti buih Defoamer 5050 yang terlihat stabil paada pengamatan 16 menit. 3. Percobaan Anti Buih Defoamer 5050 terhadap air limbah Kulit yang diaerasi Dari percobaan diatas dapat dilihat bahwa pemberian anti buih defoamer 5050 pada air limbah yang diberi lumpur aktif dan di aerasi terlihat bahwa air limbah yang tidak diberi lumpur aktif, volume buih pada akhir pengamatan masih tinggi yaitu 60 ml, sedangkan penambahan lumpur aktif yang tinggi yaitu dari setengah sampai ¾ bagian dari air limbah menunjukkan bahwa volume buih pada akhir pengamatan
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
182
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
menurun yaitu 20 ml. Sedangkan volume buih yang terkecil terlihat pada penambahan lumpur aktif 50 ml. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak lumpur aktif dalam air limbah tidak bisa menekan volume buih, namun yang terbaik untuk komposisi lumpur aktif dan air limbah adalah seperempatnya (150 ml air limbah + 50 ml Lumpur aktif)
Gambar 7: Penggunaan Anti Buih Defoamer 5050 terhadap air limbah Kulit Keterangan : A: 200 ml Air Limbah Kulit + 0 ml Lumpur aktif B: 150 ml Air limbah Kulit + 50 ml Lumpur aktif C: 100 ml Air limbah kulit + 50 ml Lumpur aktif D: 50 ml Air limbah kulit + 150 ml Lumpur aktif
4.
Percobaan Anti Buih Silikon terhadap air limbah Kulit yang diaerasi
Gambar 8 : Percobaan Anti Buih Silikon, terhadap air limbah kulit yang diaerasi
183
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Keterangan :
A: 200 ml Air Limbah Kulit + 0 ml Lumpur aktif B: 150 ml Air limbah Kulit + 50 ml Lumpur aktif C: 100 ml Air limbah kulit + 50 ml Lumpur aktif D: 50 ml Air limbah kulit + 150 ml Lumpur aktif
Dari percobaan diatas (Gambar 8) dapat dilihat bahwa anti buih Silikon langsung dapat menurunkan buih pada 2 menit pertama. Semakin besar penambahan lumpur aktif maka volume buih yang terjadi semakin kecil. Hal ini bisa dilihat pada percobaan/pengamatan D (50 ml air limbah + 150 ml lumpur aktif). Dengan kata lain penambahan lumpur aktif 150 ml buih dalam air limbah tidak timbul.
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ign Sunaryo dan Bapak Isananto Winursito yang sudah membimbing dan ikut serta melaksanakan penelitian ini sampai selesai dan berhasil.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan atas hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Semua zat anti buih pada dasarnya dapat mengurangi buih. b. Degreasing agent yang banyak menimbulkan buih adalah Tergolik A, dan yang paling sedikit menimbulkan buih adalah Teepol dan buihnya paling mudah diatasi. c. Anti buih Defoamer 5050 mempunyai pengaruh menurunkan volume buih lebih baik dibanding anti buih silicon d. Pemberian anti buih defoamer 5050 pada air limbah kulit mempunyai volume buih terkecil pada penambahan lumpur aktif sebesar 50 ml. e. Semakin banyak lumpur aktif yang digunakan pada penggunaan anti buih silicon . maka buih yang ditimbulkan.semakin sedikit.
DAFTAR PUSTAKA Arifin. 2008. Metode Pengolahan Deterjen. http://.wordpress.com [8 Desember 2010].
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
184
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Azis T, Holt, L, keener, K, Groninger J, (2011), Performance of Grease Abatement Devices for Removal of Fat oil, and Grease, “ J Environ Eng 137(1) 84-92 Azis T , (2013), Fat, Oil and Grease in pipelines and sewer cost billions in repair, Industrial water World England Brian Kiepper , 2011, Characterization 0f Spent Fat, oil and Grease, Collecge of Agricultural & Environmental Sciences department of Biological & Agricultural Engeerin, Atlanta. Chantraine, F et all. 2009. Drawbacks of Surfactant Presence on The Dissolution and Mechanical Properties of Detergent Tablets : How to Control Interfaces by Surfactan Localization. Journal of Surfactan and Detergent. 12:59-71. Manh,L.D, 2008, Bioremediation of vegetable oil and grease from polluted wastewater in dairy factory, Food Industries Research Institute (FIRI), 301 Nguyen Trai, Hanoi, Vietnam Panda, S ( 2013) Silicone Defoamer / Silicone Antifoams http://www.omtexchem.com/silicone-defoamer-antifoams.html, India Kralchevsky, PA., Krassimir D. Danov, dan Nikolai D. Denkov,2003.
Chemical
Physics of Colloid Systems and Interfaces. In K.S. Birdi (Edited),
2003.
Handbook of Surface and Colloid Chemistry. Second Edition. By CRC Press LLC, Florida, USA 33431. Jha,B.K.SP. Christiano and DO Shah (2000), Silicone Antifoam Performance Coreelation with Spreading and Surfactant Monolayer Packing, Langmuir, Desember 26 2000 vol 16 No.26 Savarino. P, Motoneri. G, Musso. G, Boffe. V. 2010. Biosurfactan from urban waste for detergent formulation : surface activity and washing performance. Journal Surfactant Detergent. 13:59-68. Stephen A.von Phul, Lon Stern, 2004, Antifoam,What is it?, Why Do They Say to limit its Use, Incorporated, weather ford, Texas Sukla SD, 1979. A Textbook of Chemical Technology Vol. II. Vikas Publishing House PVI. LTD. Tooley, P.1971. Fat, Oil and Waxes, Chemistry in Industry, John Murray Albemarle Street London.
185
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-3 Yogyakarta, 29 Oktober 2014
Wahyudi, 2010, Perbedaan antara surfaktan anionic dan kationik dan penerapannya pada detergent, Watson E.G, (2011), Frying Up Energy Endependence The Feasibility of Fats, Oil & Grease (FOG). Derived Biofeel Production, Florida Water Resources journal. Widiyani, P (2010), Dampak dan Penanganan Limbah Deterjen, Program studi kesehatan masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Xia He, Mahbuba lasmin, Lisa O, Dian Simon Lappi S, Joel J, Ducost, and Francis L. De los reyes (2011), Envidence for Fat, Oil and Grease (FOG) Deposit Fromotion Mechanisms in Sewer Lines, American Chemical Society.
Penelitian Penggunaan Anti Buih ..., Sri Sutyasmi
186