WP/16/2013
WORKING PAPER
PENGARUH HARI BESAR PADA KOMODITAS UTAMA INFLASI DI INDONESIA
Wijoyo Santoso (advisor senior) Sri Liani Suselo Nurhemi Guruh Suryani R.
2013
Simpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
1
PENGARUH HARI BESAR PADA KOMODITAS UTAMA INFLASI DI INDONESIA Wijoyo Santoso, Sri Liani Suselo, Nurhemi, Guruh Suryani R.
Abstrak Penelitian ini mengkaji pengaruh hari besar, khususnya Ramadan pada tingkat inflasi untuk komoditas utama inflasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan dua data, yakni data inflasi bulanan BPS dan data inflasi mingguan dari Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia dengan periode pengamatan tahun 2006–2012. Penentuan komoditas dan kota didasarkan pada bobot dalam perhitungan inflasi, yakni komoditas beras, minyak goreng, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan emas perhiasan; sedangkan untuk kota dipilih Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar. Analisis dilakukan dengan metode ARMA. Untuk data inflasi bulanan BPS, Ramadan berpengaruh signifikan untuk komoditas daging sapi, daging ayam, dan telur ayam, sedangkan untuk data inflasi mingguan Bank Indonesia, diperoleh hasil bahwa Ramadan signifikan berpengaruh pada inflasi adalah berbeda-beda antarkota, tetapi komoditas yang selalu signifikan di enam kota adalah daging sapi. Key word
: Ramadan, inflasi, komoditas utama
JEL Classification : E10
2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hari besar/hari libur memberi pengaruh yang berbeda-beda antarnegara. Di Amerika hari besar (Natal dan Thanksgiving) tidak berpengaruh terhadap inflasi, sedangkan di Turki dan Pakistan hari besar (Ramadan) secara umum tidak berpengaruh pada inflasi nasional, tetapi berpengaruh pada inflasi beberapa komoditas. Pengaruh itu disebabkan adanya pola perubahan konsumsi masyarakat terhadap beberapa komoditas tertentu yang pada akhirnya berpengaruh pada permintaan dalam komoditas tersebut. Tingkat konsumsi yang meningkat mendorong kenaikan harga beberapa harga barang-barang konsumsi. Pada akhirnya tingkat inflasi juga terdorong naik akibat dari kenaikan barang-barang konsumsi tersebut. Di Indonesia fenomena kenaikan beberapa harga barang konsumsi juga terjadi. Kenaikan harga barang terjadi pada barang-barang kebutuhan pokok, yakni pangan, seperti telur, beras, cabai merah, minyak goreng, daging sapi, dan daging ayam. Kenaikan itu dipengaruhi oleh budaya masyarakat dalam menghadapi bulan Ramadan. Berdasarkan Survei Mekanisme Pembentukan Harga 2001, tambahan inflasi pada periode Idulfitri, terutama di Indonesia disebabkan oleh tingginya permintaan dan kecenderungan perilaku permintaan yang kurang elastis terhadap harga pada periode tersebut. Penyebab lainnya adalah faktor dorongan pesaing yang menaikkan harga akibat naiknya ekspektasi para pedagang terhadap inflasi. Sementara itu, keterbatasan pasokan bukan penyebab yang utama kenaikan harga pada kurun waktu tersebut. Peningkatan harga selama bulan Ramadan di Indonesia juga dipengaruhi adanya perubahan pola konsumsi masyarakat. Oleh sebab itu, pada umumnya harga yang terdorong naik adalah harga-harga kebutuhan pokok, khususnya yang terkait dengan pangan. Pola konsumsi yang berubah selama bulan Ramadan juga terkait dengan preferensi masyarakat yang cenderung berubah karena adanya pertimbangan kepraktisan dan ketahanan bahan pangan untuk dikonsumsi. Data terbaru BPS untuk harga pangan jelang Ramadan, secara nasional pada akhir pekan ketiga Juni 2013 hingga pekan pertama Juli 2013 menunjukkan tren penaikan, khususnya untuk beras, cabai rawit, bawang merah, daging sapi, daging 3
ayam ras, dan telur ayam. Kenaikan tertinggi terjadi pada cabai rawit. Pada pekan ketiga Juni harga cabai rawit per kilogram sekitar Rp35.286,00 dan naik menjadi Rp41.609,00 atau naik 75,6 persen sampai dengan minggu pertama Juli 2013. Kemudian, bawang merah pada periode sama naik dari Rp33.815,00/kg menjadi Rp41.704,00/kg atau naik 27,6 persen. Meskipun begitu, pemerintah menyatakan bahwa kenaikan yang terjadi tidak hanya sebagai dampak Ramadan murni melainkan sebagai akibat adanya kenaikan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah pada awal bulan Juli 2013. Sementara itu bulan Ramadan dimulai pada minggu kedua bulan Juli 2013. Untuk mengatasi lonjakan harga selama bulan Ramadan, pemerintah telah berupaya untuk mencukupi pasokan komoditas yang mengalami lonjakan harga tersebut. Beberapa hal yang dilakukan pemerintah, antara lain adalah operasi pasar dan penambahan cadangan stok melalui impor beberapa komoditas, seperti daging sapi dan cabai rawit. Kajian yang dilakukan Wimanda et al. (2010) mengonfirmasi bahwa faktor hari raya Idulfitri (termasuk bulan puasa) menjadi salah satu determinan inflasi. Penelitian menggunakan data inflasi bulanan periode 2002–2004. Tabel berikut menjelaskan adanya peningkatan inflasi selama bulan puasa pada jenis bahan pangan dan bahan pangan olahan.
Tabel 1. Peningkatan inflasi pada bulan Ramadan
Sumber: Wimanda et al., 2010
4
Dampak Ramadan memang tidak hanya terjadi di Indonesia. Hutabarat (2005) membandingkan kenaikan inflasi sebagai dampak Idulfitri di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Pakistan. Dari hasil yang diperoleh, dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Pakistan, kenaikan inflasi Indonesia sebagai dampak adanya hari raya Idulfitri lebih besar, yakni 1,5% dalam triwulan yang di dalamnya terdapat Idulfitri berlangsung. Kenaikan harga yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan inflasi yang terjadi di bulan Ramadan dan Idulfitri terus terjadi sepanjang tahun dan telah dianggap sebagai siklus tahunan oleh masyarakat. Penelitian-penelitian terdahulu juga telah mengonfirmasi bahwa adanya bulan Ramadan dan Idulfitri memang secara statistik berpengaruh pada tingkat harga, khususnya harga pangan. Untuk itu, penelitian ini akan mengkaji lebih dalam pada beberapa komoditas di beberapa kota besar dalam perhitungan inflasi di Indonesia. Pada penelitian yang telah ada, analisis yang dilakukan masih bersifat agregat komoditas. Untuk itu, perlu dipilah komoditas yang secara umum terpengaruh harganya oleh Ramadan untuk diketahui apakah bulan Ramadan memberi dampak yang signifikan terhadap harga pada periode tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Fenomena kenaikan beberapa barang konsumsi terjadi pada hari libur besar, khususnya lebaran, terus
terjadi
dalam beberapa periode. Hal
ini
akan
mempengaruhi pencapaian Bank Indonesia dalam menstabilkan harga yang menjadi tugas pokok Bank Indonesia. Untuk itu, perlu adanya kajian untuk melihat pengaruh Ramadan pada beberapa komoditas utama penyumbang inflasi.
1.3 Tujuan Penelitian Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh Ramadan terhadap enam komoditas utama penyumbang inflasi, yakni daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, minyak goreng, dan emas perhiasan, baik secara nasional maupun di tujuh kota utama dalam perhitungan inflasi di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar.
5
1.4 Metodologi Metodologi yang akan dipakai untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah analisis kuantitatif terhadap harga beberapa komoditas inflasi dan akan diolah dengan series (ARMA) per kota untuk mengetahui pengaruh seasonal dari Ramadan serta analisis nasional untuk mengetahui pengaruh Ramadan pada tiap komoditas secara nasional. Data yang digunakan adalah data mingguan untuk data inflasi mingguan dari Bank Indonesia dan data inflasi bulanan dari BPS. Komoditas yang dipilih adalah beras, minyak goreng, daging sapi, daging ayam, telur ayam, dan emas perhiasan yang merupakan enam komoditas utama dilihat dari bobot dalam perhitungan inflasi
Indonesia,
yakni
Jakarta,
Bandung,
Surabaya,
Semarang,
Medan,
Palembang, dan Makassar.
1.5 Pembatasan Masalah Penelitian hanya melihat pengaruh bulan Ramadan dan tidak mengkaji hari besar lainnya.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan terjadi tidak hanya pada satu atau dua barang dan jasa saja, tetapi meluas pada harga barang dan jasa yang lain. Kenaikan harga ini akan cenderung terjadi secara tajam dan berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama. Bersamaan dengan kenaikan harga tersebut, nilai mata uang juga turun secara tajam sebanding dengan kenaikan harga yang terjadi. Kondisi yang merupakan lawan dari inflasi adalah deflasi, yaitu kondisi harga-harga barang dan jasa terus menurun dengan tajam. Penurunan itu sebenarnya dimaksudkan untuk menggairahkan produksi, industri, kesempatan kerja, dan meningkatkan nilai uang. Akan tetapi, penurunan yang terus menerus dan tak terkendali justru akan meyebabkan kondisi ekonomi menjadi tidak menguntungkan karena uang menjadi tidak berharga. Baik inflasi maupun deflasi dapat menganggu stabilitas perekonomian suatu negara. Indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga adalah indeks harga konsumen (IHK). IHK mencakup barang dan jasa yang dijual secara eceran dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat yang dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283–397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri atas 742 komoditas. Selain inflasi IHK, inflasi masih mempunyai beberapa cara pengukuran, antara lain adalah inflasi indeks harga perdagangan besar (IHPB) dan inflasi pendapatan domestik bruto (PDB) deflator. Namun, indikator yang paling sering digunakan dalam pengukuran inflasi adalah inflasi IHK karena inflasi IHK mencerminkan perubahan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat luas. Dalam kehidupan nyata inflasi IHK merupakan inflasi yang secara langsung mempengaruhi keputusan bisnis dan konsumen.
2.1.1 Teori dan Faktor yang Menyebabkan Inflasi 7
Secara garis besar ada tiga kelompok teori mengenai inflasi, yaitu teori kuantitas, teori Keynes, dan teori strukturalis. A. Teori Kuantitas Teori tentang inflasi pada awalnya berkembang dari teori yang dikenal dengan teori kuantitas (tentang uang). Teori kuantitas pada dasarnya merupakan suatu hipotesa tentang faktor yang menyebabkan perubahan tingkat harga, yaitu kenaikan jumlah uang beredar merupakan faktor penentu atau faktor yang mempengaruhi kenaikan tingkat harga. Teori kuantitas tidak hanya menyatakan bahwa jumlah uang beredar sebagai faktor penyebab perubahan tingkat harga. Teori kuantitas uang juga terkait dengan teori tentang (1) proporsionalitas jumlah uang dengan tingkat harga, (2) mekanisme transmisi moneter, (3) netralitas uang, dan (4) teori moneter tentang tingkat harga. Ahli ekonomi moneter yang menganut teori kuantitas, dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai ahli ekonomi yang beraliran monetaris. Salah satu tokoh aliran monetaris ini adalah ekonom Milton Friedman yang mendapatkan hadiah Nobel di bidang ekonomi pada tahun 1976. Tokoh ini membuat pernyataan yang sangat terkenal, yaitu bahwa inflation is always and everywhere a monetary phenomenon. Milton Friedman adalah ekonom yang menyempurnakan teori kuantitas dan memformulasikan lebih lanjut teori kuantitas uang serta menyusun teori tentang permintaan uang. Teori permintaan uang tersebut dalam perkembangannya menjadi teori yang sangat penting dalam teori ekonomi makro. Teori permintaan uang dalam perkembangannya juga telah mengalami banyak variasi serta perkembangan yang sangat pesat. Teori permintaan uang pada dasarnya menyatakan bahwa permintaan uang masyarakat ditentukan oleh sejumlah variabel ekonomi, antara lain adalah pertumbuhan ekonomi, suku bunga, dan tingkat harga. Sejalan dengan teori permintaan uang, tingkat harga atau laju inflasi hanya akan berubah apabila jumlah uang beredar tidak sesuai dengan jumlah yang diminta atau diperlukan oleh suatu perekonomian. Apabila jumlah uang yang beredar lebih besar dibandingkan dengan jumlah uang yang diminta atau dibutuhan oleh masyarakat, tingkat harga akan meningkat dan terjadilah inflasi. Sebaliknya, apabila jumlah uang yang beredar lebih kecil dengan jumlah uang yang dibutuhkan oleh masyarakat, tingkat harga akan turun dan terjadi apa yang disebut sebagai deflasi.
8
Banyak kajian empiris yang membuktikan bahwa pertumbuhan uang beredar dan laju inflasi yang tinggi mempunyai korelasi yang tinggi, misalnya kajian yang dilakukan oleh Fisher, Sahay, dan Vegh (2002, hal. 847). Mereka menyatakan bahwa dalam jangka panjang hubungan antara pertumbuhan uang beredar dan laju inflasi menjadi semakin kuat (erat). Dalam hal jangka pendek pertumbuhan uang beredar dan laju inflasi masih mempunyai korelasi yang cukup signifikan, terutama untuk mengetes hubungan kedua variabel tersebut dengan mempergunakan data lag, misalnya dengan data satu atau dua periode sebelumnya. Meskipun begitu, kajian tersebut juga menyatakan bahwa hubungan dua variabel tersebut tidaklah instan dan juga tidak persis berhubungan langsung satu satu. Kajian itu juga menemukan bahwa laju inflasi yang tinggi cenderung tidak stabil, dan sebaliknya, laju inflasi yang rendah cenderung lebih stabil.
B. Teori Keynes Dalam perkembangannya tidak semua ekonom sependapat dengan teori kuantitas uang. Sebagai contoh para ekonom aliran Keynesian tidak sepenuhnya sependapat dengan teori tersebut. Ekonom Keynesian menyatakan bahwa teori kuantitas tidak valid karena teori tersebut mengasumsikan ekonomi dalam kondisi full employment (kapasitas ekonomi penuh). Dalam kondisi kapasitas ekonomi yang belum penuh, ekspansi (pertambahan) uang beredar justru akan menambah output (meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja) dan tidak akan meningkatkan harga. Lebih lanjut dikatakan bahwa uang tidak sepenuhnya netral, pertambahan uang beredar dapat mempunyai pengaruh tetap (permanen) terhadap variabel-variabel riil seperti output dan suku bunga. Pendekatan
Keynes
juga
menyatakan
bahwa
teori
kuantitas
yang
mengasumsikan elastisitas dan perputaran uang (velocity of circulation) adalah tetap juga tidak benar. Elastisitas dan perputaran uang sangat sulit diprediksi dan banyak dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat serta perubahan barang yang merupakan substitusi uang (financial assets). Hal tersebut terbukti bahwa dalam suatu perekonomian yang sektor keuangannya telah maju dan terdapat instrumeninstrumen keuangan yang berfungsi sebagai substitusi uang, perputaran uang akan menjadi semakin sulit diprediksi. Perbedaan pendapat antara ekonom aliran monetaris, aliran Keynesian, dan yang lain dalam perkembangannya semakin kecil, atau terjadi konvergensi antara 9
berbagai aliran tersebut. Mishkin (1984, 2001) menyatakan bahwa sepanjang inflasi dilihat sebagai sustained inflation atau inflasi yang terus menerus dan berjangka panjang, baik ekonom aliran monetaris maupun ekonom aliran Keynesian sependapat bahwa inflasi adalah suatu gejala moneter. Untuk membuktikan bahwa inflasi adalah suatu gejala moneter, berbagai kajian yang dipelopori oleh Friedman (1963) dan dilanjutkan oleh berbagai kajian selanjutnya, telah dapat membuktikan bahwa dalam jangka panjang memang terdapat keterkaitan yang erat antara inflasi dan jumlah uang yang beredar. Dalam pengertian umum dapat dikatakan bahwa inflasi
timbul
terutama karena jumlah uang
yang
beredar dalam suatu
perekonomian melebihi jumlah uang beredar yang diminta atau diperlukan oleh perekonomian bersangkutan. Pengertian tersebut tidak mengatakan bahwa tidak terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan laju inflasi. Banyak faktor lain yang dapat menjadi penyebab timbulnya inflasi, tetapi inflasi terutama disebabkan oleh jumlah uang beredar atau likuiditas yang berlebihan.
C. Teori Struktural Teori ini lebih didasarkan pada pengalaman negara-negara di Amerika Latin. Pendekatan ini menyatakan bahwa inflasi, terutama di negara berkembang, terutama lebih disebabkan oleh faktor struktural dalam perekonomian. Menurut teori ini ada 2 masalah struktural di dalam perekonomian negara berkembang yang dapat mengakibatkan inflasi. Pertama, penerimaan ekspor tidak elastis, yaitu pertumbuhan nilai ekspor yang lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan sektor lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh terms of trade yang memburuk dan produksi barang ekspor yang kurang responsif terhadap kenaikan harga. Pelambatan pertumbuhan ekspor akan menghambat kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan. Sering kali negara berkembang melakukan kebijakan substitusi impor meskipun dengan biaya yang tinggi dan mengakibatkan harga barang yang tinggi sehingga menimbulkan inflasi. Kedua, masalah struktural perekonomian negara berkembang lainnya adalah produksi bahan makanan dalam negeri yang tidak elastis, yaitu pertumbuhan produksi makanan dalam negeri tidak secepat pertambahan penduduk dan pendapatan perkapita sehingga harga makanan dalam negeri cenderung meningkat lebih tinggi daripada kenaikan harga barang-barang lainnya. Hal ini mendorong timbulnya tuntutan kenaikan upah dari pekerja sektor industri yang selanjutnya akan meningkatkan biaya produksi dan pada gilirannya akan menimbulkan inflasi. 10
Sementara itu, proses inflasi, dalam praktiknya, kemungkinan dapat mengandung aspek-aspek dari ketiga teori inflasi tersebut.
2.1.2 Faktor Pembentuk Inflasi Inflasi dapat timbul karena tiga hal yaitu adanya tekanan dari sisi supply (cost push), tekanan dari sisi permintaan (demand pull), dan dari sisi ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi (melemahnya) nilai tukar, dampak inflasi yang terjadi di luar negeri, terutama di negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), serta adanya gangguan tiba-tiba pada sisi penawaran (negative supply shocks) akibat bencana alam yang terjadi di suatu daerah dan/atau terganggunya distribusi barang. Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa dibandingkan dengan kapasitas
ketersediaannya
(penawaran).
Secara
makroekonomi
kondisi
itu
digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian yang akhirnya menimbulkan output gap. Gap inilah yang pada akhirnya memicu kenaikan harga barang. Hal itu sesuai dengan hukum ekonomi, jika permintaan melebihi penawaran, harga akan naik. Dengan menggunakan permintaan dan penawaran agregat, selanjutnya akan digambarkan kenaikan tingkat harga umum yang terjadi atau yang disebut sebagai inflasi. Dalam Grafik 1 perekonomian dalam tingkat keseimbangan jangka panjang yang digambarkan pada titik Y*, yaitu pada saat kurva permintaan agregat (AD1) berpotongan dengan kurva penawaran agregat (baik untuk penawaran jangka pendek (SRAS1) maupun penawaran jangka panjang (LRAS)), yaitu pada titik A.
11
P LRAS SRAS2
P2
SRAS1
C B
P1 AD2
A
AD1
y y
Grafik 1. Permintaan dan Penawaran
Dalam jangka panjang penawaran agregat dianggap tetap karena seluruh kapasitas produksi telah dipergunakan. Pada titik tersebut tingkat harga terjadi pada tingkat P1. Apabila jumlah uang beredar bertambah, sebagai akibatnya jumlah permintaan agregat akan bertambah sehingga kurva permintaan agregat akan bergeser ke kanan dan menjadi AD2. Pada awalnya (dalam jangka pendek) perekonomian akan bergeser ke titik B. Akan tetapi, pada titik tersebut perekonomian telah melampaui kapasitas yang tersedia sehingga kurva penawaran agregat akan bergeser ke kiri menjadi SRAS2 sampai pada keseimbangan semula dan berhenti pada titik C. Pada keseimbangan baru tersebut tingkat harga akan meningkat dan tercapai pada titik P2. Apabila pertambahan uang beredar terus berlanjut, yang terjadi adalah kenaikan harga pada titik P3, P4, dan seterusnya dan tidak menambah besarnya output. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa inflasi terjadi karena pertambahan jumlah uang beredar. Inflasi yang disebabkan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran agregat tersebut pada dasarnya mengatakan bahwa apabila jumlah permintaan agregat melebihi penawaran agregat (yang merupakan potensi yang tersedia), hargaharga akan meningkat. Secara sederhana dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: P = D/S Apabila P adalah harga, sedangkan D dan S masing-masing adalah permintaan dan penawaran agregat, P akan naik selama jumlah D lebih besar dibandingkan dengan jumlah S. Hal tersebut dapat terjadi apabila D meningkat, sedangkan S tetap atau kenaikan S tidak sebanding dengan kenaikan D. Hal yang sama juga akan terjadi 12
apabila S berkurang, sedangkan D tetap atau penurunan D tidak sebanding dengan penurunan S. Inflasi yang disebabkan oleh sisi permintaan maupun penawaran mempunyai kesamaan dalam hal menaikkan tingkat harga output (kenaikan harga secara umum—inflasi). Akan tetapi, kedua faktor tersebut mempunyai dampak yang berbeda terhadap volume output (PDB riil). Dalam hal inflasi yang lebih disebabkan oleh sisi permintaan, ada kecenderungan output akan meningkat sejalan dengan kenaikan harga. Besaran kenaikan output tersebut sejalan dengan elastisitas penawaran agregat. Sebaliknya pada inflasi yang disebabkan oleh sisi penawaran, kenaikan harga sering kali justru diikuti dengan menurunnya barang yang tersedia. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Untuk negara-negara berkembang, pelaku ekonomi biasanya masih bersifat adaftif, yang artinya akan segera dilakukan penyesuaian sesaat jika memasuki bulan-bulan ketika permintaan barang akan meningkat, seperti menjelang hari-hari besar keagamaan atau hari libur sekolah. Penyesuaian harga pada tipe masyarakat atau pelaku ekonomi seperti di atas biasanya juga akan dilakukan pada pengumuman kenaikan gaji atau upah minimum regional. Biasanya pada kondisi-kondisi di atas itulah inflasi akan melonjak. Pada masyarakat atau pelaku ekonomi dengan perilaku forward looking, inflasi relatif tidak begitu fluktuatif. Selain itu, tekanan inflasi juga dapat dibedakan menjadi domestic pressures (tekanan dari dalam negeri) dan external pressures (tekanan dari luar negeri). Tekanan yang berasal dari dalam negeri merupakan segala sesuatu yang terjadi di dalam negeri yang mempengaruhi harga barang. Tekanan itu dapat diakibatkan oleh adanya gangguan dari sisi penawaran dan permintaan dalam negeri yang akan berpengaruh pada pembentukan harga barang di pasar atau kebijakan yang diambil oleh instansi di luar bank sentral, misalnya kebijakan pengetatan anggaran belanja pemerintah dengan melakukan penghapusan subsidi pemerintah, kenaikan pajak, atau kenaikan harga barang oleh pemerintah yang berimbas pada kenaikan harga barang-barang yang lain. Tekanan dari luar negeri dapat berupa inflasi di negara lain yang akan berpengaruh pada ekspor, impor, atau neraca pembayaran antarnegara, kenaikan harga barang impor yang juga akan menyebabkan kenaikan harga produk dengan bahan baku impor, serta kenaikan nilai tukar mata uang asing yang secara otomatis akan berpengaruh pada kinerja neraca pembayaran.
13
2.1.3 Jenis-jenis Inflasi Inflasi dapat dibedakan dari penyebab terjadinya. Berikut adalah jenis-jenis inflasi berdasarkan faktor penyebabnya. a. Inflasi inti (core inflation) Inflasi inti ialah inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental perekonomian suatu negara, yaitu interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang), serta ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen. Inflasi inti pada dasarnya merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan bahan makanan dengan harga yang sangat berfluktuasi (volatile foods), dan barang-barang dengan harga ditentukan pemerintah (administered goods). b. Inflasi non-inti Inflasi non-inti ialah inflasi di luar inflasi inti yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental yang terdiri atas (1) inflasi volatile food, (2) inflasi administered prices, dan (3) inflasi IHK. 1. Inflasi volatile food Inflasi volatile food adalah inflasi yang dipengaruhi goncangan (shock), yang biasanya terjadi pada produk-produk pertanian karena sifatnya yang musiman dan rentan terhadap gagal panen akibat gangguan alam dan penyakit, serta yang berpengaruh terhadap harga. Pada masa panen, harga akan cenderung rendah, tetapi pada masa tanam atau musim kemarau atau pada saat terjadi gagal panen, harga akan melonjak tinggi. Karena umur tanam komoditas pertanian biasanya pendek, volatilitas harga menjadi sangat tinggi. 2. Inflasi administered prices Inflasi administered prices adalah inflasi yang dipengaruhi goncangan (shock) akibat kebijakan harga pemerintah, seperti penetapan harga BBM, harga gas, tarif listrik, dan/atau tarif angkutan. Adanya kenaikan pada harga suatu barang akibat kebijakan pemerintah akan berimbas pada kenaikan barangbarang yang lain yang pada akhirnya akan menimbulkan inflasi. 3. Inflasi IHK
14
Inflasi IHK adalah inflasi yang dihitung dengan keseluruhan indeks harga konsumen, baik inti maupun non-inti. Inflasi IHK dikenal juga sebagai headline inflation yang sama artinya dengan inflasi inti dengan memasukkan unsur harga barang yang volatile dan administered price. Inflasi IHK dapat lebih tinggi atau lebih rendah jika dibandingkan dengan inflasi inti. Hal itu tergantung dari inflasi volatile food dan inflasi administered price.
2.2 Karakteristik Inflasi Indonesia Determinan inflasi di Indonesia menjelaskan hubungan antara output gap, inflasi administered, perubahan nilai tukar, inflasi volatile food, dan ekspektasi inflasi.
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 1. Determinan Inflasi di Indonesia
Inersia inflasi (kesulitan ekspektasi inflasi untuk diubah akibat adanya kecenderungan untuk menjadikan tingkat inflasi atau perkembangan nilai tukar dan perkembangan harga tahun lalu sebagai dasar ekpektasi inflasi tahun berikutnya), target inflasi yang diumumkan Bank Indonesia, dan nilai tukar rupiah akan berpengaruh langsung terhadap ekspetasi inflasi dari para pelaku pasar. Ekspektasi pelaku pasar terhadap inflasi juga akan dipengaruhi oleh inflasi harga15
harga yang ditentukan pemerintah (administered price). Sementara itu, nilai tukar rupiah dan inflasi yang terjadi pada mitra dagang akan berpengaruh terhadap kenaikan harga barang impor (inflasi barang impor) yang akan menimbulkan output gap. Ekspektasi inflasi, output gap, dan inflasi harga impor akan mempengaruhi inflasi inti. Jika inflasi inti digabungkan dengan inflasi administered dan inflasi volatile foods, akan terbentuk inflasi IHK. Pergerakan core inflation dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, output gap, dan import price. Output gap merepresentasikan tekanan inflasi dari sisi permintaan. Meskipun begitu, pergerakan level output gap tidak selalu dapat menjelaskan pergerakan inflasi inti. Tekanan inflasi dari output gap dapat bersumber dari kondisi likuiditas perekenomian, harga minyak mentah, pass–through tidak langsung nilai tukar, dan perilaku permintaan musiman (Wimanda et al., 2011). Inflasi IHK dapat diagregeasi menjadi tiga komponen, yakni core inflation, volatile food inflation, dan administered price inflation. Total komoditas yang disurvei oleh BPS sebesar 774 komoditas yang terdiri atas 692 komoditas core (63,64%), 61 komoditas volatile food (18,69%), dan 21 komoditas administered price (17,67%).
2.3 Studi Terdahulu Penelitian mengenai dampak dari hari besar pada inflasi sudah banyak dilakukan di berbagai negara. Hari besar yang diteliti antara lain Ramadan, Natal, Thanksgiving Day, dan Galungan. Dari keseluruhan hari besar yang diteliti, secara umum dampak hari besar tidak terlalu signifikan terlihat pada CPI umum. Akan tetapi, terlihat pada CPI beberapa komoditas yang memang mengalami perubahan pola konsumsi pada saat hari besar berlangsung. Adapun tiap-tiap penelitian dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut. Akmal dan Abbasi (2010) meneliti dampak bulan Ramadan pada pergerakan harga di Pakistan. Data yang digunakan dalam penelitian itu adalah data CPI yang dikelompokkan menjadi tiga, yakni CPI umum, CPI food, dan CPI non-food dengan rentang waktu Juli 1991 sampai dengan Desember 2008. Model yang digunakan adalah model ARIMA dengan menggunakan ketiga variabel tersebut. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya bulan Ramadan tidak berpengaruh signifikan terhadap CPI di Pakistan, tetapi berpengaruh pada beberapa komoditas tertentu saja. Komoditas yang terpengaruh oleh bulan Ramadan, antara lain, adalah
16
buah-buahan, tetapi karena bobot buah-buahan dalam keranjang, inflasi relatif kecil dan pengaruhnya tidak signifikan terhadap CPI secara umum. Arini (2005) meneliti dampak hari raya Galungan pada inflasi di Bali dengan judul “Pengaruh Hari Raya Galungan pada Seasonal Adjustment IHK dan Penentuan Komoditas Utama yang Mempengaruhi Inflasi di Provinsi Bali: Analisis ARIMA”. Data yang digunakan adalah IHK, inflasi, indeks harga komoditas, harga di tingkat produsen, dan harga di tingkat konsumen dengan range waktu 1990–2011. Metode yang digunakan adalah metode dekomposisi x-12 ARIMA dan untuk peramalan digunakan SARIMA. Hasil dari penelitian menyimpulkan bahwa hari raya Galungan tidak signifikan sebagai komponen musiman yang mempengaruhi IHK Provinsi Bali dan peramalan terhadap nilai inflasi di Bali tahun 2012 adalah sebesar 6,23%. Levy et al. (2008) meneliti persistensi harga pada saat hari libur (Natal dan Thanksgiving) dan penyesuaian biaya dengan menggunakan data harga mingguan dari 4.500 barang yang berdasar 18 kategori yang ditentukan yang diperoleh dari supermarket besar yang memiliki cabang di beberapa daerah untuk periode 1989– 1993. Alasan lebih tingginya lalu lintas barang seperti penyesuaian stok di rak display, menjawab pertanyaan pelanggan, kesibukan di kasir, serta pembersihan dan pengantongan, hal ini menjadi sesuatu yang lebih penting untuk diperhatikan selama hari libur. Sebagai dampaknya cost opportunity untuk penyesuaian harus secara dramatis meningkat di toko eceran yang menyebabkan meningkatnya price rigidity pada hari libur. Yucel (2005) meneliti mengenai dampak Ramadan pada harga makanan di Turki. Yucel akan membandingkan hasil pengolahan data dengan menggunakan sistem penanggalan Masehi dan sistem penanggalan Islam karena dengan menggunakan kalender Islam, bulan terjadinya Ramadan adalah tetap, hal ini berbeda dengan kalender Masehi yang terus bergerak antarbulan. Model menggunakan X-11 dan X-12 ARIMA. Data yang digunakan adalah food price index bulan Januari 1994–Desember 2004. Hasil pengolahan data dengan menggunakan sistem penanggalan Islam menunjukkan bahwa Ramadan signifikan mempengaruhi tingkat harga, sedangkan menggunakan sistem penanggalan masehi memberi hasil yang tidak signifikan. Hutabarat (2005) dan Wimanda et al., (2010) menyebutkan bahwa faktor musiman, terutama hari Idulfitri menjadi salah satu determinan inflasi di Indonesia. Jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand Selatan, dan Pakistan, Indonesia
17
memiliki dampak inflasi yang lebih tinggi, yaitu 1,5% dalam triwulan ketika hari Idulfitri berlangsung. Darsono et al., (2001) juga melakukan survei mengenai penyebab inflasi musiman di hari Idulfitri sebagian besar dipengaruhi oleh tingginya permintaan.
Sumber: Darsono et.al (2011).
Grafik 2. Penyebab Kenaikan Harga pada Idulfitri
Dalam survei tersebut disimpulkan bahwa kenaikan inflasi pada periode menjelang hari raya pada umumnya tidak dipandang sebagai ketidakmampuan sisi penawaran memenuhi kenaikan permintaan, melainkan sebagai akibat dari aksi ambil untung pedagang. Dari sisi pedagang, aksi ambil untung itu dilakukan karena tidak adanya gaji ke-13 seperti yang diterima pegawai negeri. Survei ini juga menemukan bahwa kenaikan harga pada periode tersebut bukan disebabkan oleh keterbatasan penawaran, tetapi disebabkan oleh berkurangnya elastisitas terhadap kenaikan harga. Dari penelitian terdahulu pengaruh Ramadan pada inflasi lebih disebabkan oleh adanya pola perubahan konsumsi dan pada umumnya pengaruh Ramadan tidak signifikan terlihat pada inflasi secara umum, tetapi terlihat pada beberapa komoditas saja.
III. DATA DAN METODOLOGI
18
3.1 Data Data yang digunakan adalah data inflasi mingguan yang diperoleh dari survei pemantauan harga (SPH). SPH merupakan survei yang dilakukan Bank Indonesia sejak tahun 2006 pada tujuh kota yang memiliki bobot yang besar dalam perhitungan inflasi, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, dan Makassar (bobot 60,70% dari total bobot kota secara nasional) dan mencakup 40 komoditas. Pada Juni 2009
SPH dilakukan pada 14 kota dan
mencakup 48 komoditas. Pada penelitian ini dari data SPH dipilih enam komoditas dan tujuh kota yang disurvei sejak tahun Juni 2006 dengan mempertimbangkan panjang data, yakni beras, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, serta minyak goreng untuk kelompok makanan dan emas perhiasan untuk kelompok nonmakanan yang diwakili oleh emas perhiasan. Komoditas dipilih berdasarkan bobotnya dalam perhitungan inflasi karena bobot relatif tetap dalam kurun waktu observasi. Sementara itu, jika pemilihan komoditas didasarkan pada sumbangan terhadap inflasi, komoditas yang muncul tiap tahun dapat berbeda-beda. Periode data adalah data mingguan untuk periode 2006–2012. Selain itu, untuk komparasi hasil akan digunakan pula data inflasi BPS. Hasil itu akan menjadi pembanding dan komparasi dari temuan hasil dari data SPH Bank Indonesia. Data BPS yang digunakan adalah data bulanan dengan periode waktu yang sama dengan data SPH Bank Indonesia. Selain itu, akan digunakan pula indikator-indikator ekonomi lainnya sebagai pendukung pada saat analisis per wilayah, seperti GDP, pertumbuhan ekonomi, dan fact finding lain untuk mempertajam analisis.
3.2 Metodologi Penelitian ini tidak hanya melihat signifikansi dampak bulan Ramadan secara nasional, tetapi juga melihat per komoditas dan per kota. Selain itu, akan dilihat dampak inflasi pada komoditas yang berdasarkan pengamatan umum mengalami kenaikan harga pada saat bulan Ramadan pada tiap-tiap komoditas, yakni beras, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, minyak goreng, dan emas perhiasan. Metode yang digunakan untuk melihat pengaruh bulan Ramadan adalah ARMA karena ARMA merupakan metodologi yang dapat melihat pengaruh seasonal 19
dalam kurun waktu data tertentu. Untuk melihat dampak bulan Ramadan, dalam model akan dimasukkan dummy variabel, yakni minggu dalam Ramadan (minggu Ramadan=1, minggu non-Ramadan=0). Jika melihat hasil uji stasioneritas yang menunjukkan bahwa seluruh data yaang digunakan stasioner pada level atau I (0) pada tingkat signifikansi 5%, teknik analisis yang digunakan akan berbasis pada ordinary least square (OLS). Adapun analisis yang dilakukan adalah analisis secara nasional dan analisis per kota. Analisis ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh bulan Ramadan terhadap inflasi komoditas penelitian pada setiap kota. Jenis data yang digunakan adalah data time series dengan teknik analisis yang digunakan adalah autoregressive moving average (ARMA) untuk melihat pengaruh seasonal harga. Teknik ini dipilih karena sifat seluruh data yang telah stasioner pada level. Time series adalah serangkaian pengamatan terhadap suatu variabel yang diambil dari waktu ke waktu dan dicatat secara berurutan menurut urutan waktu kejadian dengan interval waktu yang tetap (Wei, 1994). Data yang dianalisis time series haruslah stasioner dalam varian dan mean. Beberapa model time series di antaranya ialah model autoregressive (AR), model moving average (MA), dan model autoregressive moving average (ARMA). Model autoregressive moving average merupakan model campuran dari model autoregressive dan moving average. Adapun model yang dibangun adalah sebagai berikut. 𝑝
𝑞
6
𝑌𝑡 = 𝛼0 + ∑ 𝜃𝑝 𝑌𝑡−𝑝 + ∑ 𝛽𝑖 𝐷𝑖 + ∑ 𝛿𝑞 𝜀𝑡− 𝑞 + 𝜇𝑖 𝑝=1
𝑖=1
𝑞=1
Keterangan: Yt
= inflasi komoditas pembentuk inflasi (beras, daging ayam, daging sapi, telur, minyak goreng, dan emas perhiasan)
Di
= dummy variabel untuk penanggalan masehi (1=minggu yang jatuh pada Ramadan, 0=bukan Ramadan, i =2006–2012)
θp
= koefisien autoregressive (AR)
δq
= koefisien moving average (MA)
μi
= white noise dari ARMA model
p,q = ordo ARMA
Selanjutnya dilakukan analisis yang sama dengan menggunakan data inflasi bulanan dari BPS yang datanya bersifat nasional. Model yang digunakan adalah sama dengan model sebelumnya, hanya periode data adalah bulanan sehingga untuk perhitungan
dummy
Ramadan
dilakukan
dengan
memperhitungkan
banyaknya hari yang masuk dalam bulan Ramadan sebagaimana yang dilakukan 20
oleh Akmal. Adapun teknis penghitungannya menggunakan teknik penghitungan proposial dummy yang digunakan oleh Akmal dan Abassi (2010).
IV. KOMPARASI INDIKATOR EKONOMI
4.1 Beberapa Indikator Terkini a. Jumlah Penduduk
21
Berdasarkan Grafik 3 wilayah Indonesia yang banyak dihuni oleh penduduk adalah wilayah Indonesia bagian barat. Sementara itu, wilayah yang sedikit dihuni oleh penduduk adalah wilayah Indonesia bagian timur. Salah satu pulau terbesar di wilayah Indonesia bagian barat, yaitu Pulau Jawa, merupakan salah satu daerah dengan jumlah penduduk terpadat di dunia, yaitu dengan dihuni lebih dari 107 juta jiwa.
Pulau
dengan
kepadatan
penduduk
terendah
adalah
Pulau
Papua.
Meningkatnya jumlah penduduk di wilayah Indonesia bagian barat diakibatkan semakin berkembangnya kota besar di wilayah ini.
Jumlah Penduduk 14,000
dalam ribu
12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
Indonesia Barat
Indonesia Tengah
Sumber: BPS, 2013
Grafik 3. Jumlah Penduduk Indonesia per Wilayah
b. Produk Domestik Regional Bruto Pertumbuhan ekonomi suatu daerah tercermin dari kenaikan PDRB daerah tersebut. Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingginya PDRB suatu daerah, seperti penanaman modal asing (PMA), penanaman modal dalam negeri (PMDN), angkatan kerja, dan ekspor. Namun, hal tersebut pun dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah infrastruktur yang menunjang. Tingginya PDRB rata-rata di wilayah Indonesia bagian barat dapat dipengaruhi oleh banyaknya kota besar yang menjadi pusat perekonomian dengan infrastruktur yang menunjang.
22
Produk Domestik Regional Bruto Rata-rata 120000 100000 80000 60000 40000 20000
WIB
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
1991
1989
1987
1985
1983
0
WITA
Sumber: BPS, 2013
Grafik 4. Produk Domestik Regional Bruto
PDRB rata-rata untuk setiap wilayah bagian memiliki tren yang semakin meningkat, tetapi pada tahun 1997–1998 terjadi penurunan yang cukup tajam, khususnya pada wilayah Indonesia bagian barat. Penurunan yang tajam pada wilayah Indonesia bagian barat itu disebabkan oleh banyaknya daerah yang telah memiliki sektor moneter yang berkembang, seperti industri perbankan, pasar modal, dan asuransi. Ketika terjadi krisis moneter, wilayah itulah yang mengalami guncangan yang lebih kuat daripada wilayah Indonesia lainnya.
c. Pemilihan Komoditas Strategis Secara sederhana inflasi dapat diartikan sebagai peningkatan harga secara umum dan terus-menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang dapat dikatakan inflasi apabila kenaikan itu meluas atau mengakibatkan kenaikan harga pada barang lainnya. Di Indonesia inflasi yang diukur dengan IHK dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu (i) kelompok bahan makanan: (ii) makanan jadi, minuman, dan tembakau; (iii) perumahan; (iv) sandang; (v) kesehatan; (vi) pendidikan dan olah raga; (vii) transportasi dan komunikasi. Untuk
dapat
menghasilkan
suatu
indikator
inflasi
yang
mampu
menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental, saat ini BPS juga melakukan
perhitungan
inflasi
berdasarkan
pengelompokan
lainnya
yang
dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi IHK dikelompokkan menjadi inflasi inti dan inflasi non-inti. Inflasi non-inti itu terbagi menjadi inflasi komponen 23
bergejolak (volatile food) dan inflasi komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices). Berdasarkan Survei Biaya Hidup 2007 yang dilakukan BPS terdapat 774 komoditas yang disurvei yang terdiri atas 692 komoditas core (63,64%), 61 komoditas volatile food (18,69%), dan 21 komoditas administered price (17,67%). Sebagaimana tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini berupaya menangkap pola perubahan harga komoditas inflasi pada bulan Ramadan. Oleh karena itu, pemilihan komoditas strategis dipilih dari kelompok komoditas volatile food yang tingkat inflasinya dominan dipengaruhi oleh kejutan (shocks) dalam kelompok bahan makanan. Selain itu, dipilih pula satu komoditas durable goods yang juga terpengaruh pada bulan Ramadan. Pemilihan komoditas strategis dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa kriteria berikut. a) Komoditas memiliki permintaan yang tinggi pada bulan Ramadan. b) Komoditas memiliki bobot yang tinggi dalam perhitungan inflasi. c) Komoditas tersebut juga merupakan komoditas dengan kontribusi yang cukup tinggi terhadap inflasi nasional.
Grafik 5 menggambarkan bobot inflasi pada beberapa komoditas. Pada grafik tersebut tampak bahwa beras memiliki bobot paling besar, yaitu 4,19%. Tingginya bobot beras tidak terlepas dari tingginya konsumsi masyarakat sebagai bahan makanan pokok utama. Kelompok bahan makanan lain yang memiliki bobot terhadap inflasi cukup tinggi adalah minyak goreng (1,22%), daging ayam ras (1,21%), telur ayam ras (0,92%), dan daging sapi (0,90%). Sementara itu, emas perhiasan memiliki bobot yang cukup tinggi pula, yaitu sebesar 1,43%.
24
4.50
4.19
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50
1.43
1.22 1.21
1.00
0.92 0.90 0.52 0.47 0.44 0.40 0.40
0.50
0.28 0.27 0.21 0.17
0.13
-
Sumber: BPS, 2013
Grafik 5. Bobot Inflasi Komoditas di Indonesia Menurut SBH 2007
Dari grafik di atas didapatkan beberapa komoditas dengan bobot yang besar, yaitu beras, emas perhiasan, minyak goreng, daging ayam ras, telur ayam ras, dan daging sapi. Keenam komoditas tersebut akan diteliti dalam penelitian ini. Total dari bobot 6 komoditas ini adalah 9,87. Tabel berikut menunjukkan besarnya sumbangan masing-masing komoditas tersebut terhadap inflasi nasional. Secara umum, beras merupakan komoditas yang memberikan sumbangan terhadap inflasi nasional terbesar jika dibandingkan dengan komoditas volatile food lainnya. Namun, jika dibandingkan dengan keseluruhan komoditas dalam penelitian ini, pada 2007 dan 2008 sumbangan terbesar terhadap inflasi nasional adalah komoditas emas perhiasan. Sementara itu, pada tahun 2009 terjadi deflasi untuk komoditas telur ayam ras dan minyak goreng.
Tabel 2. Sumbangan Komoditas Terhadap Inflasi Nasional
Sumber : BPS, 2013
25
Selain melihat perilaku komoditas inflasi pada bulan Ramadan secara nasional, penelitian ini juga melihat perilaku komoditas inflasi tersebut dalam tingkat kota. Sesuai dengan SBH 2007, terdapat 66 kota yang disurvei oleh BPS. Namun, terdapat sepuluh kota dengan bobot inflasi terbesar yang mencapai 53,71%, yaitu Jakarta (22,49%), Surabaya (6,47%), Bandung (5,38%), Medan (4,67%), Semarang (3,48%), Palembang (2,96%), dan Makassar (2,56%), Batam (2,02%), Bandar Lampung (1,91%), dan Malang (1,77%). Pada penelitian ini, pemilihan kota didasarkan pada besarnya bobot inflasi sehingga didapatkan tujuh kota yang akan diteliti.
22.49 46.29
6.47
5.38 4.67 1.77
1.91 2.02 2.56
2.96
3.48
Jakarta
Surabaya
Bandung
Medan
Semarang
Palembang
Makassar
Batam
Bandar Lampung
Malang
Gab 56 Kota
Sumber: BPS, 2013
Grafik 6. Bobot Inflasi Kota di Indonesia Menurut SBH 2007
4.2 Karakteristik dan Tata Niaga Komoditas Inflasi a. Komoditas Beras Beras merupakan makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun 1950 yang perannya tidak tergantikan dengan komoditas pangan lain hingga saat ini. Hal itu terlihat dengan semakin meningkatnya konsumsi beras nasional sebagai sumber karbohidrat dari 53% pada tahun 1950 menjadi 95% pada tahun 2011. Pada tahun 2011 data BPS menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras mencapai 139 kg per kapita per tahun. Nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65 kg–70 kg per kapita per tahun. Tingginya tingkat konsumsi itu diiringi pula dengan peningkatan produksi dalam 26
negeri. Capaian produksi komoditas padi selama tahun 2006–2012 telah menunjukkan prestasi yang baik, antara lain dengan meningkatnya produksi padi dari 54,45 juta ton pada tahun 2006 menjadi 69,04 juta ton pada tahun 2012. Tingginya tingkat produksi itu membawa Indonesia menduduki urutan ketiga di dunia setelah Cina dan India. Selain itu, tingkat produktivitas per hektare pun sangat baik, yaitu mencapai 5,13 ton/hektare, di atas produktivitas rata-rata negara Asia lainnya. Produksi padi terpusat di Pulau Jawa dengan lahan yang subur dan juga infrastruktur pertanian yang memadai, yaitu mencapai 52,90% pada tahun 2012. Provinsi Jawa Timur merupakan penyumbang padi terbesar dengan porsi 17,67%, kemudian diikuti Jawa Barat sebesar 16,33%, Jawa Tengah 14,82%, Sulawesi Selatan 7,25%, dan Sumatera Utara 5,38%. Sementara itu, provinsi yang memberikan sumbangan terkecil adalah Kepulauan Riau, yaitu sebesar 0,0019%. Kegiatan produksi yang terpusat di Pulau Jawa menjadikan proses distribusi menjadi faktor penting. Hal itu sejalan dengan hasil pengamatan di lapangan yang dilakukan oleh Ridhwan et al. (2012) bahwa DKI Jakarta dan Surabaya merupakan pasar induk yang menjadi referensi bagi daerah lain dalam mementukan harga jual di pasar setempat. Untuk wilayah Indonesia bagain barat, khususnya Sumatera terjadi hubungan perdagangan yang intensif dengan DKI Jakarta, sedangkan untuk wilayah Indonesia Timur hubungan perdagangan dilakukan melalui Surabaya. Dalam pendistribusiannya tersebut tata niaga beras diatur melalui Inpres Nomor 2 Tahun 1997 tentang Penetapan Harga Dasar Gabah dijelaskan bahwa koperasi bertugas dalam pembelian gabah petani. KUD ditugasi membeli gabah petani sesuai dengan harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah. KUD juga dapat menjual beras kepada Bulog sesuai dengan harga pembelian beras yang ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan Bulog ditugasi untuk membeli gabah dan beras dari KUD dan non-KUD (swasta) sesuai dengan harga penetapan pemerintah. Dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2001 dan Inpres Nomor 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan, dilakukan perubahan sehingga tidak terdapat lagi harga dasar gabah pada tingkat petani dan KUD tidak lagi diberikan tugas dalam pembelian gabah dan penjualan beras. Harga dasar pembelian gabah dan beras hanya diberikan pada tingkat gudang Bulog dan dilaksanakan oleh Bulog. Secara umum jalur tata niaga beras dapat dilihat pada gambar berikut.
27
BULOG/DOLOG
Petani
Pedagang Desa/ Penggilingan
KUD/ Pedagang Kecamatan
Pedagang Besar Kabupaten
Pasar Induk/ Grosir
Pengecer
Konsumen
Sumber: Surono, 1998
Gambar 2. Jalur Tata Niaga Komoditas Beras
Gambar di atas menunjukkan jalur distribusi beras dari produsen hingga akhirnya sampai ke konsumen yang relatif panjang. Panjangnya rantai tata niaga beras itu merugikan konsumen dan produsen karena semakin panjang rantai pemasaran akan semakin besar selisih harga yang harus dibayar konsumen dari harga petani. Selain itu, panjangnya rantai tata niaga beras memungkinkan probabilitas terjadinya fluktuasi harga menjadi lebih besar dengan banyaknya pihak yang berperan di dalamnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prastowo et al. (2008), faktor yang paling berpengaruh terhadap fluktuasi harga eceran beras di pasaran
menurut
pedagang
adalah
ketersediaan
beras
karena
kendala
cuaca/musim (50%), peningkatan biaya angkut/transportasi (15%), ketersediaan beras karena kendala transportasi (13%), operasi pasar yang dilakukan Bulog (9%), tingkat persaingan antarpedagang (8%), dan perubahan harga beras di pasar internasional (8%). Sebagai negara kepulauan, transportasi dan sarana pendukung menjadi faktor utama kelancaran mata rantai perdagangan. Namun, dalam penelitian yang dilakukan Prastowo et al. (2008) dijelaskan bahwa sebagian besar pedagang yang menjadi responden tidak pernah mengalami hambatan/kendala transportasi dalam melakukan kegiatan distribusi beras. Hal itu mengindikasikan bahwa sarana angkutan/transportasi bukan merupakan masalah krusial dalam pendistribusian beras. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa komoditas beras bersifat tahan lama dan manajemen inventori di bawah koordinasi Bulog telah berjalan dengan baik. Sementara itu, masih berdasarkan pendapat Prastowo et al. (2008) jenis hambatan/kendala transportasi yang paling sering dihadapi adalah peningkatan biaya angkutan (30%), keterbatasan jumlah armada (26%), kerusakan infrastruktur jalan (22%), dan hambatan cuaca seperti banjir dan tanah logsor (22%). Faktor utama terjadinya peningkatan biaya angkutan adalah kenaikan BBM. Besarnya biaya angkut tergantung pada jarak tempuh yang dituju. Beberapa hasil survei 28
menunjukkan bahwa perubahan biaya angkut di beberapa kota berbeda-beda sehingga perubahan harga eceran beras pada tiap kota tentu akan berbeda pula.
b. Komoditas Daging Sapi Daging sapi merupakan satu dari lima komoditas yang ditetapkan sebagai komoditas strategis dalam RPJMN 2010–2014. Pada tahun 1970–1980 Indonesia merupakan negara pengekspor ternak sapi dan kerbau dengan negara tujuan Singapura dan Hongkong. Namun, karena permintaan dalam negeri terus meningkat, pemerintah mengambil kebijakan untuk menghentikan ekspor ternak sapi dan kerbau pada tahun 1979. Sesuai dengan komitmen kesepakatan perdagangan internasional, pada tahun 1995 pemerintah membuka diri terhadap produk dan komoditas pertanian impor. Kebijakan impor tersebut dilakukan karena produksi daging sapi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus dicukupi. Pertumbuhan sapi potong dari tahun ke tahun sangat rendah dengan rata-rata pertumbuhan populasi sapi nasional hanya sebesar 1,6% pada kurun waktu 2003–2007. Sementara itu, jumlah sapi impor selama kurun waktu lima tahun (2002–2006) meningkat tajam, yaitu sebesar 77% atau rata-rata 15,5% per tahun. Komoditas ternak sapi di Indonesia memiliki jenis sapi lokal yang cukup potensial seperti sapi yang berasal dari Bali, Madura, dan Aceh. Populasi sapi potong tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan sentra terbesar berada di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Jawa Timur dan Jawa Tengah merupakan penyumbang sapi potong terbanyak dengan porsi masing-masing sebesar 23,17% dan 12,43% pada tahun 2011. Sentra produsen sapi potong yang tersebar pada berbagai daerah tersebut sebagian besar bermuara pada sentra konsumen di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Hal itu mengakibatkan terbentuknya pola distribusi sedemikian rupa sehingga harga eceran daging sapi pada beberapa daerah di pasar domestik bergerak harmonis dengan perbedaan margin tertentu (Ilham, 2009).
Tabel 3. Populasi dan Produksi Sapi Potong Tahun 2011 29
Provinsi
Populasi (%) Produksi (%)
Jawa Timur
31.89
23.17
Jawa Tengah
13.07
12.43
Sulawesi Selatan
6.64
2.27
Nusa Tenggara Timur
5.25
1.79
Lampung
5.01
2.07
Jawa Barat
2.85
16.17
Sumatera Barat
2.21
4.18
Banten
0.32
5.32
DKI Jakarta
0.01
1.94
Sumber: Ditjennak, 2013
Menurut Prastowo et al. (2008), hampir semua provinsi dapat memenuhi kebutuhan daging sapi dari pemeliharaan sapi setempat, kecuali untuk wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta yang sangat besar permintaannya terhadap daging sapi sehingga kedua wilayah itu harus mendatangkan produksi dari daerah lain. Hal itu didukung pula dengan masih tingginya perilaku masyarakat yang menginginkan daging segar sehingga mengharuskan distribusi produk dalam bentuk hewan ternak sapi dan pemotongan sapi dilakukan di daerah sentra konsumsi. Pada tabel di atas, populasi sapi potong di Jawa Barat hanya sebesar 2,85%, sedangkan produksi daging sapi yang dihasilkan mencapai 16,17% dari total produksi nasional. Hal itu mengindikasikan adanya distribusi ternak hidup dari wilayah lain ke Jawa Barat. Kegiatan distribusi tersebut akan mendorong tingginya biaya (Ilham dan Yusdja, 2004). Selain itu, tingginya harga daging sapi di DKI Jakarta dan Jawa Barat dibandingkan dengan wilayah lain disebabkan oleh tingginya ketergantungan akan pasokan daging dari wilayah lain (Prastowo et al., 2008). Dalam menjalankan kegiatan perdagangan daging sapi potong antardaerah, dibutuhkan sarana dan prasarana transportasi dalam pendistribusiannya. Menurut Prastowo et al. (2008) terdapat setidaknya tiga permasalahan utama dalam pemasaran ternak sapi di Indonesia, yaitu transportasi ternak antardaerah, khususnya antarpulau; pungutan pemda pada ternak yang melewati daerahnya; dan banyak peternak yang menjual ternak pada pedagang pengumpul daripada ke pasar hewan.
30
RPH Wilayah Lain Pedagang Pengumpul Desa
Peternak
RPH
Pedagang Besar
Pedagang Eceran
Konsumen
Importir Jalur Distribusi Utama
Pedagang Wilayah Lain
Jalur Distribusi Sekunder Impor
Sumber: Ilham dan Yusdja (2004)
Gambar 3. Jalur Tata Niaga Komoditas Daging Sapi
Selama ini sarana transportasi yang digunakan mencakup angkutan darat, yaitu truk dan kereta api serta angkutan laut. Namun, belum adanya penataan sistem transportasi sapi potong menyebabkan biaya pemasaran yang tinggi, baik disebabkan oleh ketidakteraturan jadwal angkutan laut, sistem angkutan yang bersifat paket, maupun pungutan resmi dan tidak resmi yang semakin meningkat. Selain sarana transportasi, distribusi ternak dan daging sapi juga membutuhkan infrastruktur pemasaran yang tidak sedikit. Semakin panjang jarak tempuh pengangkutan ternak dari sentra produksi ke sentra konsumsi, semakin banyak infrastruktur yang dibutuhkan sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan biaya. Kelemahan dalam sistem tata niaga sapi potong ialah penyebarannya yang luas. Oleh karena itu, dibutuhkan infrastruktur transportasi ternak yang tahan terhadap perubahan cuaca, terutama gelombang laut. Infrasruktur tersebut masih lemah sehingga harga jual selalu dipengaruhi oleh kondisi cuaca dan musim.
c.
Komoditas Daging Ayam Ras Sebagai negara agraris, produksi daging ayam ras di Indonesia masih rendah
jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Cina dan Amerika Serikat. Pada tahun 2010 populasi ayam ras pedaging di Indonesia mencapai hampir 1.000 31
juta ekor. Namun, produksi dalam negeri itu tidak mampu mengimbangi tingginya laju pertumbuhan permintaan sehingga permintaan terhadap daging ayam impor semakin meningkat. Meskipun demikian, produksi daging ayam ras nasional mengalami perkembangan yang cukup tinggi. Pada tahun 2000 produksi daging ayam ras baru mencapai 515.300 ton dan pada tahun 2011 melonjak tajam menjadi 1.337.911 ton. Pertumbuhan rata-rata dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2008–2011) adalah sebesar 9,5%. Peningkatan produksi daging ayam ras ini seiring dengan meningkatnya permintaan masyarakat. Jawa Barat merupakan daerah dengan populasi ayam ras pedaging terbanyak, yaitu mencapai hampir 50% dari total populasi ayam ras pedaging nasional, sedangkan sisanya tersebar di beberapa daerah. Meskipun begitu, produksi daging ayam ras di Jawa Barat menyumbang sebesar 38,80% dari produksi nasional, sedangkan DKI Jakarta yang memiliki populasi ayam ras pedaging hanya 0,01%
menyumbang
produksi
daging
ayam
ras
sebesar
8,12%.
Hal
itu
mengindikasikan adanya pendistribusian ternak ayam hidup dari wilayah lain ke DKI Jakarta.
Tabel 4. Populasi Ayam Ras dan Produksi Daging Ayam Ras Tahun 2011 Provinsi
Populasi (%) Produksi (%)
Jawa Barat
49.51
36.80
Jawa Timur
12.70
11.95
Jawa Tengah
5.62
7.83
Banten
4.44
8.56
Kalimantan Selatan
3.71
2.94
DKI Jakarta
0.01
8.12
Sumber: Ditjennak
Secara umum struktur pasar komoditas daging ayam ras pada tingkat produsen dan pedagang memiliki struktur pasar oligopoli, yaitu terdapat produsen yang menguasai pasar, baik secara independen (sendiri-sendiri) maupun secara diam-diam bekerja sama dalam mempengaruhi harga pasar. Jalur distribusi komoditas daging ayam ras dimulai dari produsen (peternak inti/plasma), kemudian disalurkan ke rumah potong ayam (RPA) yang selanjutnya disalurkan lagi ke pedagang pengecer. Selain melalaui RPA, sebagian ayam hidup juga dijual langsung
32
melalui pedagang besar. Pada tingkat pedagang besar, ayam ras selain dijual dalam bentuk daging utuh per ekor juga dijual dalam bentuk potongan ayam.
Konsumen
Pedagang Eceran (Tradisional)
Pedagang Eceran (Modern)
Rumah Potong Ayam (RPA)
Pedagang Besar
Peternak Inti/Plasma
Sumber: Daud et al., 2000
Gambar 4. Jalur Tata Niaga Komoditas Daging Ayam Ras
d.
Komoditas Telur Ayam Ras Telur ayam merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Meskipun begitu, konsumsi telur di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Sementara itu, pada sisi penawaran, berdasarkan data FAO (2007), Indonesia termasuk negara produsen telur dunia pada tahun 2005 setelah Cina dan Thailand. Sentra produksi telur ayam ras di Indonesia tersebar luas di berbagai daerah. Provinsi dengan produksi telur ayam ras terbanyak berada di Pulau Jawa dengan tiga daerah penghasil utama, yaitu Jawa Timur 22,94%, Jawa Tengah 17,51%, dan Jawa Barat 11,27%. Sementara itu provinsi utama penghasil telur ayam ras di luar Pulau Jawa adalah Sumatera Utara sebesar 7,71% dan Sumatera Barat 5,85%.
Tabel 5. Populasi Ayam Ras Petelur dan Produksi Telur Ayam Ras Tahun 2011 Provinsi
Populasi (%) Produksi(%)
Jawa Timur
29.71
22.94
Jawa Tengah
14.76
17.51
9.57
11.27
Jawa Barat
33
Provinsi
Populasi (%) Produksi(%)
Sumatera Utara
7.22
7.71
Sumatera Barat
6.27
5.85
Sumber: FAO, 2007
Pemasaran telur ayam ras memiliki sebaran yang lebih merata karena telur merupakan jenis komoditas pangan yang lebih dapat diakses oleh masyarakat sehingga tingkat permintaannya tidak terkonsentrasi hanya di satu wilayah (Daud dan Arief, 2001). Meskipun begitu, DKI Jakarta tetap menjadi pasar terbesar untuk telur ayam ras dengan produsen utama dari Jawa Timur. Masih menurut penelitian yang dilakukan Daud dan Arief (2001), selain menguasai pangsa pasar telur ayam ras di DKI Jakarta, produsen Jawa Timur pun memiliki dominasi yang kuat di wilayah Bandung dan sekitarnya. Pemasaran telur pada umumnya dapat disalurkan kepada pedagang pengumpul terlebih dahulu atau langsung ke pedagang di pasar konvensional (supplier). Gambar 4 menunjukkan rantai pasok komoditas telur ayam ras. Pihakpihak yang terlibat adalah peternak, pedagang pengumpul, supplier, agen telur, pengecer di pasar konvensional dan modern, serta konsumen seperti rumah tangga, hotel, restoran, dan rumah sakit. Jalur distribusi yang panjang dari produsen sampai ke konsumen menyebabkan jalur distribusi komoditas telur ayam ras menjadi kurang efisien.
Konsumen
Pengecer/ Pasar Konvensional
Agen Telur
Pedagang Pengumpul
Pasar Modern
supplier
Peternak
Sumber: Santoso (2005) dan Sejati (2011)
Gambar 5. Jalur Tata Niaga Komoditas Telur Ayam Ras
34
Kurang efisiennya pemasaran telur dapat mengakibatkan terjadinya fluktuasi harga karena banyaknya pihak yang terlibat dalam pendistribusian. Berdasarkan beberapa penelitian, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan harga adalah penawaran dan permintaan (terutama pasar-pasar besar di Jakarta), harihari besar, infrastruktur/transportasi, dan harga kebutuhan pokok lainnya. Menurut Sejati (2011), pembentukan harga telur lebih banyak ditentukan oleh ketersediaan telur yang ada di Jakarta. Hal itu didukung oleh Pinsar (2005) yang menyatakan bahwa Jakarta merupakan barometer terhadap harga telur di Indonesia. Jumlah telur yang ada di Jakarta jika melebihi kapasitas akan berdampak terhadap akses pasar dan penurunan harga telur pada tingkat peternak di wilayah produsen. Sementara itu, dari sisi penawaran, ketersediaan telur dipengaruhi oleh pasokan telur dari Jawa Timur dengan harga yang relatif murah jika dibandingkan dari Jawa Barat. Hal itu disebabkan banyak peternak di Jawa Timur yang mengelola ayam dengan menggunakan pakan hasil ramuan sendiri.
e.
Komoditas Minyak Goreng Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia setelah
Malaysia dengan tingkat produksi 10 juta ton per tahun. Jumlah tersebut jauh di atas kebutuhan domestik, yaitu hanya sekitar 3,8 juta ton per tahun sehingga pengadaan bahan baku minyak goreng sawit dalam negeri pada dasarnya tercukupi. Melimpahnya ketersediaan CPO di dalam negeri menjadikan komoditas ini sebagai andalan ekspor. Areal perkebunan kelapa sawit tersebar di delapan belas provinsi, yaitu (1) Nangro Aceh Darussalam, (2) Sumatera Utara, (3) Riau, (4) Jambi, (5) Sumatera Barat, (6) Sumatera Selatan, (7) Lampung, (8) Bengkulu, (9) Bangka Belitung, (10) Kalimantan Barat, (11) Kalimantan Selatan, (12) Kalimantan Tengah, (13) Kalimantan Timur, (14) Sulawesi Selatan, (15) Sulawesi Tengah, (16) Sulawesi Tenggara, (17) Jawa Barat, dan (18) Papua, termasuk Irian Jaya Barat. Pada tahun 2005 luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera mencapai 4,27 juta hektare atau sekitar 77% dari total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sedangkan provinsi dengan luas area perkebunan kelapa sawit terbesar adalah Riau dengan luas area mencapai 1,46 juta hektare atau sekitar 26% dari total area perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
35
Meskipun bahan baku minyak goreng sawit berasal dari luar Pulau Jawa, tetapi karena industri pengolahannya berada di Pulau Jawa, sentra perdagangannya pun terkonsentrasi pada daerah utama di Pulau Jawa, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur (Ridhwan et al., 2012). Daerah produsen bahan baku mentah minyak goreng, seperti Sumatera dan Kalimantan membawa hasil produksinya ke daerah-daerah utama di Pulau Jawa tersebut. Sebagian besar CPO diolah dan didistribusikan oleh perusahaan yang berlokasi di Jawa. Berbeda dengan komoditas sebelumnya yang dapat diproduksi dan didistribusikan secara perseorangan, komoditas minyak goreng hanya dapat diproduksi oleh industri sehingga titik awal jalur distribusi lebih fokus. Selain itu, kuatnya pengaruh jalur distribusi binaan Bulog sebelum dilakukan liberalisasi pada tahun 1998 membuat jalur distribusi minyak goreng lebih efisien. Secara umum jalur tata niaga minyak goreng dapat dilihat pada gambar berikut.
Konsumen Industri
Petani Kelapa sawit
Industri Minyak Goreng
Pedagang Besar/ Grosir
Pedagang Eceran
Konsumen
Ekspor CPO Jalur Distribusi Utama Jalur Distribusi Sekunder
Sumber: Anindito, 2007
Gambar 6. Jalur Tata Niaga Komoditas Minyak Goreng
Struktur pasar minyak goreng yang terintegrasi dengan pasar input-nya berimplikasi pada pentingnya peran pemerintah dalam pengendalian harga pada tingkat konsumen. Sebelum tahun 1998 harga minyak goreng eceran cenderung stabil, tetapi seiring dengan dilepasnya peran Bulog sebagai stabilisator harga, perkembangan harga minyak goreng pada tingkat konsumen menjadi lebih fluktuatif dengan tren yang terus meningkat. Sejak Maret 2006 sampai Desember 2007 terjadi lonjakan harga yang tajam yang dipicu oleh kenaikan harga CPO di pasar internasional seiring dengan meningkatnya permintaan CPO untuk biodiesel.
36
V. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh bulan Ramadan terhadap inflasi di Indonesia. Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis yang lebih mendalam untuk mengetahui pengaruh Ramadan per kota dan per komoditas. Untuk itu, perlu dipilah komoditas yang harganya secara umum terpengaruh oleh Ramadan sehingga diketahui apakah bulan Ramadan memberi pengaruh seasonal yang signifikan terhadap harga.
5.1 Data Inflasi BPS Untuk melihat pola pergerakan inflasi per komoditas, dilakukan plotting pergerakan dengan menggunakan data inflasi bulanan yang bersumber dari BPS. Adapun secara umum pergerakan inflasi tujuh komoditas adalah sebagai berikut.
37
-15 Januari 2006 Maret 2006 Mei 2006 Juli 2006 Sep-06 Nov-06 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Juli 2007 Oct-06 Dec-06 Januari 2008 Maret 2008 Mei 2008 Januari 2008 Maret 2008 Mei 2008 Juli 2008 Nov-06 Jan-07 Januari 2009 Maret 2009 Mei 2009 Januari 2009 Maret 2009 Mei 2009 Juli 2009 Dec-06 Feb-07 Januari 2010 Maret 2010 Mei 2010 Januari 2010 Maret 2010 Mei 2010 Juli 2010 Jan-07 Mar-07
-10
Januari 2006 Maret 2006 Mei 2006 Juli 2006 Sep-06 Nov-06 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Juli 2007 Oct-06 Dec-06 Januari 2008 Maret 2008 Mei 2008 Januari 2008 Maret 2008 Mei 2008 Juli 2008 Nov-06 Jan-07 Januari 2009 Maret 2009 Mei 2009 Januari 2009 Maret 2009 Mei 2009 Juli 2009 Dec-06 Feb-07 Januari 2010 Maret 2010 Mei 2010 Januari 2010 Maret 2010 Mei 2010 Juli 2010 Jan-07 Mar-07
15
10
5
0
-5
daging ayam
telur ayam Beras
minyak goreng daging sapi
Sumber: data BPS, 2013
Grafik 7. Pergerakan Inflasi Nasional untuk 6 Komoditas Tahun 2006–2012 (bulanan)
Pergerakan inflasi daging ayam, beras, dan daging sapi cenderung sama
hanya dengan ketajaman fluktuasi yang berbeda. Dari grafik di atas daging ayam
cenderung lebih fluktuatif jika dibandingkan dengan daging sapi dan beras.
15
10
5
0
-5
-10
emas perhiasan
Sumber: data BPS, 2013
Grafik 8. Pergerakan Inflasi Nasional untuk 6 Komoditas Tahun 2006–2012 (bulanan)
38
Untuk inflasi telur ayam, minyak goreng, dan emas perhiasan juga relatif sama pergerakannya. Karena seluruh komoditas (kecuali emas perhiasan) masuk dalam kelompok volatile food, tingkat inflasi dari 6 komoditas ini tampak berfluktuasi sepanjang periode pengamatan. Harga emas perhiasan juga cenderung fluktuatif karena mengikuti perubahan nilai tukar dan harga emas dunia. Untuk melihat pergerakan tiap-tiap komoditas, dihitung juga standar deviasi dan variance dari tiap-tiap komoditas dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 6. Standar Deviasi dan Varian dari 6 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi
Sumber: olah data BPS
Standar deviasi merupakan ukuran yang sederhana untuk melihat volatilitas suatu komoditas. Dari 6 komoditas yang diteliti, komoditas yang paling volatile adalah telur ayam dan daging ayam, sementara komoditas yang relatif rendah volatilitas harganya adalah daging sapi, minyak goreng, dan beras (volatilitas di bawah 3). Hal itu dapat dipahami karena minyak goreng dan beras merupakan komoditas yang pergerakan harganya relatif dijaga secara ketat oleh pemerintah. Sementara itu, untuk daging sapi, permintaannya juga relatif stabil.
5.2 Data Inflasi SPH Bank Indonesia Untuk melihat pergerakan tiap-tiap komoditas, dihitung juga standar deviasi dan variance rata-rata tiap-tiap komoditas di tujuh kota observasi dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 7. Standar Deviasi dan Varian dari 6 Komoditas Utama Penyumbang Inflasi
39
Sumber: olah data SPH
Daging ayam, telur ayam, dan emas perhiasan merupakan komoditas yang menduduki 3 peringkat utama dari sisi volatilitas harga. Jika merujuk penelitian data Dirjen Peternakan, harga daging ayam dan telur ayam dipengaruhi oleh sifat produk yang tidak tahan lama dan juga adanya perdagangan antardaerah yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan harga yang berkaitan dengan biaya distribusi.
Struktur
pasar
yang
oligopoli
juga
menyebabkan
harga
lebih
dikendalikan oleh sekelompok pedagang. Telur ayam juga merupakan komoditas dengan rantai pemasaran yang relatif panjang
sehingga
kurang
efisien
jalur
distribusinya
yang
pada
akhirnya
mempengaruhi harga telur ayam di tingkat konsumen. Sesuai dengan penelitian Pinsar (2005), Jakarta merupakan barometer pembentukan harga telur. Selanjutnya, dihitung pula perbedaan rata-rata inflasi bulan Ramadan dengan inflasi mingguan dan bulanan dari tiap komoditas di tiap kota observasi dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 8. Rata-Rata Inflasi Mingguan Umum vs Inflasi Mingguan pada Bulan Ramadan
40
Sumber: olah data SPH BI
Tanda hijau menunjukkan tingkat inflasi yang lebih tinggi. Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa untuk enam komoditas yang diamati, dari 7 kota observasi, sebagian besar rata-rata tingkat inflasi mingguan pada saat bulan Ramadan lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata mingguan sepanjang periode waktu pengamatan, kecuali untuk komoditas minyak goreng. Minyak goreng merupakan salah satu komoditas pangan olahan yang relatif aman untuk disimpan dalam jangka waktu lama dan masyarakat cenderung menggunakan lebih dari satu kali. Faktor itu diperkirakan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat inflasi minyak goreng. Namun, daging sapi justru memiliki pola yang sebaliknya. Hampir di seluruh kota yang diamati, rata-rata tingkat inflasi mingguan pada bulan Ramadan lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat inflasi mingguan sepanjang periode pengamatan. Hal itu dipicu oleh peningkatan konsumsi daging pada bulan Ramadan terkait dengan pola perubahan jadwal makan. Di samping itu, karena daging sapi merupakan komoditas yang tidak dapat diawetkan dan cenderung untuk diolah dalam keadaan segar, peningkatan konsumsi itu mendorong adanya peningkatan inflasi daging sapi. 41
Terkait dengan volatilitas tiap-tiap komoditas, dihitung standar deviasi dan varian tiap-tiap komoditas pada setiap kota tampak sebagai berikut.
Tabel 9. Volatilitas Inflasi Mingguan untuk Enam Komoditas di Tujuh Kota Sdev. variance 1.43 2.04 1.67 2.77 1.71 2.91 2.01 4.04 2.23 4.97 2.76 7.64 3.13 9.78
Sdev. 0.72 0.72 0.82 0.83 1.62 1.71 2.07
variance 0.51 0.52 0.68 0.69 2.63 2.93 4.27
5.00 5.28 5.80 6.05 6.27 6.86 8.51
24.95 27.88 33.60 36.57 39.27 47.13 72.35
2.27 4.19 5.18 5.69 6.13 7.36 8.35
5.17 17.56 26.86 32.37 37.62 54.22 69.77
1.43 1.45 1.79 2.30 2.43 2.60 2.74
2.05 2.11 3.21 5.10 5.90 6.78 7.53
1.22 1.99 2.14 2.43 2.78 2.86 3.20
1.48 3.98 4.56 5.89 7.72 8.18 10.26
4.58 5.55 5.60 5.77 6.72 7.24 7.46
21.01 30.85 31.31 33.33 45.18 52.45 55.60
4.55 5.03 5.95 6.64 7.25 8.09 8.88
20.74 25.34 35.44 44.11 52.53 65.39 78.78
2.54 2.55 2.67 2.92 2.94 2.95 3.69
6.43 6.49 7.15 8.55 8.67 8.68 13.61
1.21 1.51 1.58 1.73 1.78 1.84 2.05
1.46 2.29 2.51 3.00 3.15 3.37 4.20
2.86 3.00 3.20 3.22 3.58 3.89 4.54
8.19 9.00 10.23 10.38 12.80 15.10 20.63
2.22 2.82 3.55 3.63 3.73 4.08 6.59
4.93 7.96 12.62 13.19 13.92 16.66 43.49
Sumber: olah data SPH
Dari tabel di atas, dapat dijelaskan hal sebagai berikut. 1. Beras Kota dengan volatilitas inflasi beras tertinggi adalah Jakarta. Hal itu dapat dipahami karena pemenuhan kebutuhan beras di kota Jakarta sangat bergantung dari suplai daerah lain sehingga akhirnya berpengaruh pada pembentukan harga beras di kota Jakarta yang kompleks jika dibandingkan 42
dengan daerah yang tingkat produksi berasnya relatif tinggi seperti Surabaya. Akan tetapi, apabila dilihat pada minggu Ramadan, volatilitas inflasi beras tertinggi adalah di kota Semarang, sedangkan Jakarta tidak lagi menjadi kota yang tertinggi volatilitas inflasi berasnya. Hal itu dipengaruhi oleh operasi pasar yang relatif cepat dilakukan di kota Jakarta daripada kota-kota lainnya. 2. Daging Ayam Untuk inflasi daging ayam, kota dengan standar deviasi tertinggi adalah Medan, sedangkan kota dengan standar deviasi terendah adalah Jakarta. Sementara itu, pada minggu Ramadan, kota dengan standar deviasi inflasi ayam yang tertinggi adalah Palembang dan yang terendah adalah Surabaya. Palembang merupakan kota dengan volatilitas yang relatif tinggi untuk daging ayam, baik pada minggu normal maupun pada minggu pada bulan Ramadan. 3. Daging Sapi Untuk inflasi daging sapi, kota dengan volatilitas tertinggi untuk inflasi daging sapi adalah Medan, sedangkan yang terendah adalah kota Surabaya. Sementara itu, untuk minggu Ramadan, kota dengan volatilitas tertinggi adalah Jakarta dan terendah adalah Makassar. Tingkat konsumsi yang tinggi di Jakarta untuk daging sapi pada saat Ramadan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya pergerakan inflasi di Jakarta pada saat Ramadan. Surabaya dan Makassar merupakan kota yang relatif rendah volatilitas inflasi daging sapi, baik pada minggu normal maupun pada minggu Ramadan. 4. Telur Ayam Standar deviasi telur ayam yang tertinggi adalah kota Semarang, sedangkan yang terendah adalah Medan. Namun, untuk minggu Ramadan, standar deviasi yang tertinggi adalah kota Semarang dan yang terendah adalah kota Medan. Apabila dibandingkan antara sebelum dan pada saat Ramadan, volatilitas inflasi telur ayam di Medan selalu yang terendah. 5. Minyak Goreng Standar deviasi untuk inflasi minyak goreng relatif rendah setelah beras dan daging sapi. Kota dengan standar deviasi yang tinggi adalah kota Jakarta dan terendah adalah Surabaya. Namun, pada minggu-minggu Ramadan, standar deviasi tertinggi adalah Medan dan terendah adalah Palembang. 6. Emas Perhiasan 43
Standar deviasi untuk emas perhiasan selalu tinggi di kota Medan, baik pada minggu normal maupun pada minggu setelah minggu Ramadan. Sementara itu, Semarang merupakan kota yang relatif rendah standar deviasi untuk inflasi emas perhiasan, baik pada minggu normal maupun pada minggu Ramadan.
5.3 Pengaruh Ramadan 5.3.1 Analisis dengan Menggunakan Data SPH Penelitian ini memilih beberapa komoditas konsumsi dan kota untuk dijadikan objek penelitian. Komoditas tersebut adalah beras, daging ayam, daging sapi, telur, minyak goreng, dan emas perhiasan. Pemilihan komoditas didasarkan pada besarnya bobot dari enam komoditas tersebut di antara seluruh komoditas inflasi. Sementara itu, untuk pilihan kota digunakan tujuh kota besar di Indonesia yang meliputi Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Palembang, dan Makassar. Pemilihan kota juga didasarkan pada besarnya bobot kota dalam perhitungan inflasi Indonesia, yakni 60% dari seluruh bobot kota. Data yang digunakan adalah data mingguan dengan periode waktu Juni 2006–Desember 2012 (sesuai dengan ketersediaan data) yang merupakan data hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) Bank Indonesia Langkah pertama adalah menguji stasioneritas data dengan menggunakan augmented dickey-fuller (ADF) test. Dari hasil uji ADF, dapat disajikan hasil sebagai berikut.
Tabel 10. Hasil Tes Stasioneritas Data SPH Bank Indonesia Augmented Dickey-Fuller Test Statistic Beras
Minyak
Sapi
Ayam
Telur
Emas
JKT
-7.211
-6.693
-5.771
-7.236
-7.943
-6.360
BDG
-7.038
-5.548
-6.816
-7.400
-9.549
-6.718
44
SBY
-6.643
-6.833
-6.883
-5.878
-9.701
-6.836
PLG
-5.869
-6.282
-8.382
-8.642
-9.794
-7.353
SMG
-5.695
-6.169
-7.789
-6.717
-9.161
-6.258
MDN
-6.343
-6.851
-7.991
-8.475
-5.569
-8.079
MKS
-5.057
-5.345
-6.887
-7.357
-8.491
-8.008
Sumber: olah data
Semua data yang akan digunakan stasioner pada level atau I(0) pada tingkat signifikansi 5%. Oleh karena itu, data dapat diolah dengan menggunakan teknik analisis berbasis ordinary least square (OLS). Dengan melihat hasil panel komoditas, akan dilihat pengaruh Ramadan pada tujuh kota obeservasi secara terpisah, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar. Hal itu didasarkan pada adanya karakteristik dan faktor budaya yang memungkinkan adanya pengaruh yang berbeda pada tiap kota. Pengolahan data adalah pengolahan time series dengan menggunakan autoregressive moving average (ARMA). Teknik ini dipilih karena seluruh data stasioner pada level. Time series adalah serangkaian pengamatan terhadap suatu variabel yang diambil dari waktu ke waktu dan dicatat secara berurutan menurut urutan waktu kejadiannya dengan interval waktu yang tetap (Wei, 1994). Data yang dianalisis time series haruslah stasioner dalam varian dan mean. Beberapa model time series di antaranya ialah model autoregressive (AR), model moving average (MA), dan model autoregressive moving average (ARMA). Model autoregressive moving average merupakan model campuran dari model autoregressive dan moving average. Penentuan dummy menjadi faktor penting dalam analisis ini. Dummy dihitung
dengan
melihat
pola
terjadinya
Ramadan
di
sepanjang
periode
pengamatan. Dari hasil pengamatan ini, diperoleh rata-rata jarak Ramadan satu ke Ramadan berikutnya adalah 47 minggu. Selanjutnya dummy disusun setiap 47 minggu dari Ramadan pertama pada periode pengamatan pertama, yakni tahun 2006. Sementara penentuan lag optimal dilakukan dengan melihat hasil AIC, swarch criterion, dan hannan quinn criterion. Dari hasil pengolahan data, signifikansi Ramadan pada inflasi komoditas pada tiap kota beserta ordonya disajikan sebagai berikut.
45
Tabel 11. Hasil ARMA untuk Tujuh Kota dan Enam Komoditas Kota
Beras
Daging Ayam
Daging Sapi
Telur ayam
Minyak goreng
Emas perhiasan
Jakarta
(1,1)
(1,0)
(2,1)
(2,1)
(1,0)
(1,0)
Bandung
(2,2)
(2,1)
(1,1)
(2,1)
(1,1)
(2,1)
Medan
(2,1)
(2,1)
(2,1)
(2,0)
(2,1)
(2,1)
Makassar
(2,1)
(2,1)
(2,1)
(2,1)
(1,0)
(2,1)
Palembang
(2,1)
(2,1)
(2,1)
(2,1)
(2,1)
(2,1)
Surabaya
(2,2)
(1,0)
(2,1)
(2,1)
(2,1)
(2,1)
Semarang
(2,1)
(2,2)
(2,2)
(2,1)
(2,1)
(2,1)
Tingkat signifikansi: α= 10% Sumber: olah data
Tabel 12. Pengaruh Bulan Ramadan pada Inflasi Komoditas Kota
Jakarta
Bandung
Medan
Makassar
Palembang
Surabaya
Semarang
Beras
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Daging Ayam
signifikan
tidak
tidak
signifikan
tidak
tidak
signifikan
Daging Sapi
signifikan
signifikan
signifikan
tidak
signifikan
signifikan
signifikan
Telur ayam
signifikan
tidak
tidak
signifikan
tidak
tidak
tidak
Minyak goreng
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Emas perhiasan
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
Tingkat signifikansi: α= 10% Sumber: olah data
Hasil running data selengkapnya terlampir pada bagian akhir working paper. Dari hasil di atas, tampak bahwa signifikansi pengaruh Ramadan untuk tiap komoditas berbeda pada tiap kota. Akan tetapi, untuk beras, minyak goreng, dan emas perhiasan, pengaruh Ramadan terhadap inflasi adalah tidak signifikan di seluruh kota. Lag optimal dari tiap-tiap komoditas pada tiap kota berbeda-beda. Untuk kota yang memiliki pengaruh Ramadan yang signifikan, inflasi ayam memiliki lag optimal 1 di Jakarta dan 2 di Makassar dan Semarang. Inflasi daging sapi memiliki lag optimal 1 di Bandung dan 2 di Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Semarang. Namun, inflasi telur ayam memiliki lag optimal 2 di Jakarta dan Makassar.
46
5.3.2 Analisis Data Inflasi Bulanan dari BPS Pada dua analisis di atas, data yang digunakan adalah data hasil Survei Perubahan Harga Bank Indonesia. Untuk itu, akan dilakukan konfirmasi hasil melalui pengolahan data BPS yang tersedia untuk nasional (karena keterbatasan data). Data diolah dengan menggunakan ARMA dan spesifikasi model seperti pada pengolahan per kota. Perbedaannya adalah pada penentuan dummy Ramadan. Karena data ini merupakan data bulanan, dimungkinkan adanya dua bulan berbeda yang terkena Ramadan. Untuk itu, penentuan dummy menggunakan metode perhitungan yang digunakan oleh Akmal dan Abassi (2010) dengan melihat porsi Ramadan pada tiap bulan. Sebelum dilakukan running data, dilakukan uji stasioneritas data inflasi BPS. Dari hasil uji unit root dengan ADF, data inflasi BPS stasioner pada level dengan membandingkan t-stat dengan nilai kritis pada α=5%. Adapun keseluruhan hasil ADF data inflasi bulanan pada level adalah sebagai berikut.
Tabel 13. Stasioneritas Data BPS Beras
Daging Ayam
Daging Sapi
Telur ayam
Minyak goreng
Emas perhiasan
t-stat
-8.482587
-7.107047
-7.554418
-9.052031
-5.367656
-7.356423
Nilai kritis (α = 5%)
-2.897223
-2.896779
-2.896779
-2.897223
-2.896779
-2.896779
Kesimpulan
stasioner
stasioner
stasioner
stasioner
stasioner
stasioner
Sumber: olah data
Selanjutnya dilakukan perhitungan dummy Ramadan dengan metode perhitungan Akmal dan Abassi (2010), kemudian dimasukkan dalam model dan selanjutnya diolah dengan hasil sebagai berikut.
Tabel 14. Hasil ARMA dengan Data BPS
47
Nasional Beras (1,1) Ramadhan AR
Ayam (1,0)
0.029
5.949
0.06
4.29
0.990
0.969
70.63
*
41.72
Sapi (1,1)
Telur (1,0)
2.035
*
4.76
*
1.026
*
82.67
Minyak (1,1)
4.470 2.83
*
0.980
*
43.49
*
Emas (2,1)
Umum (1,1)
0.302
1.896
0.53
1.36
1.93
0.955
0.429
0.990
39.40
*
2.50
0.211
*
176.99
MA
0.630
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Heteroskedasticity Test White (p-value) Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
0.990
0.957
0.992
0.959
0.979
0.989
0.998
2.305
5.110
1.504
5.857
2.387
4.901
0.452
1.900
1.870
1.984
1.894
1.884
2.083
1.866
0.401
0.915
0.102
0.181
0.517
0.347
0.670
0.831
0.218
0.880
0.727
0.429
0.611
7.61
4387.700
0.227
*
*
1.83
891.870
*
3396.607
0.535
*
*
5.59
952.554
*
1257.360
0.836
*
*
7.11
1832.867
*
0.472
*
4.62
*
0.446
*
Sumber: olah data
Berdasarkan running ARMA dengan menggunakan data BPS, diperoleh hasil bahwa Ramadan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi daging ayam, inflasi daging sapi, dan inflasi telur ayam dengan lag optimal 1 dengan tingkat α=10%. Tanda bintang menunjukkan signifikan pada tingkat α dimaksud. Dari running data inflasi, baik data inflasi mingguan dari Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia maupun inflasi bulanan yang bersumber dari BPS, hasilnya adalah sama, yaitu bahwa Ramadan signifikan berpengaruh pada inflasi daging ayam, inflasi daging sapi, dan inflasi telur ayam. Namun, untuk inflasi beras, inflasi minyak goreng, dan inflasi emas perhiasan, tidak signifikan terpengaruh oleh Ramadan. Akan tetapi, lag yang dihasilkan adalah berbeda. Apabila running data inflasi mingguan menggunakan data SPH BI, lag dari inflasi pada tiap-tiap kota sebagian besar adalah 2 yang berarti lag optimal adalah 2 minggu. Sementara itu, jika menggunakan data inflasi bulanan BPS, lag optimal adalah 1 yang berarti 1 bulan. Beras dan minyak goreng merupakan bagian dari komoditas yang harganya dikendalikan oleh pemerintah melalui operasi pasar. Keduanya merupakan komoditas pangan yang relatif aman untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama. Karena itulah, masyakarat memiliki tingkat konsumsi terhadap beras dan minyak goreng yang relatif stabil jika dibandingkan dengan komoditas pangan segar, seperti daging sapi, daging ayam, dan telur. Pemerintah juga cenderung mudah untuk melakukan intervensi terhadap kedua komoditas itu karena adanya sifat yang aman untuk disimpan dalam waktu yang lama. Pemerintah dapat melakukan stocking untuk kedua komoditas itu yang akan dikeluarkan ke pasar apabila terjadi lonjakan harga yang tinggi. Selain itu, pergerakan harga minyak goreng Indonesia
48
22365.130
*
juga mengikuti pergerakan harga CPO dunia. Hal itu menjadi wajar jika berdasarkan hasil analisis Ramadan tidak signifikan mempengaruhi inflasi beras dan inflasi minyak goreng. Daging ayam, daging sapi, dan telur ayam merupakan komoditas yang mudah rusak dan memerlukan perlakukan khusus apabila akan disimpan dalam jangka waktu yang lama. Sementara itu, budaya masyarakat Indonesia lebih menyukai konsumsi dalam bentuk segar daripada olahan/awetan. Pemerintah juga tidak memiliki sediaan (stock) untuk melakukan intervensi apabila terjadi lonjakan harga pada komoditas-komoditas ini. Oleh karena itu, dalam melakukan respons, pemerintah biasanya akan melakukan kebijakan impor yang berimplikasi adanya lag waktu untuk pengadaan. Di samping itu, masyarakat pada umumnya memiliki perilaku untuk membeli daging sapi, daging ayam, dan telur untuk memenuhi kebutuhan dalam jangka pendek. Daging sapi, daging ayam, dan telur juga merupakan produk yang mudah rusak apabila disimpan dalam jangka waktu yang lama tanpa adanya perlakuan khusus. Hal itu menjadi wajar jika tingkat inflasi ketiga komoditas ini signifikan terpengaruh oleh Ramadan. Demikian pula untuk emas perhiasan, pengaruh Ramadan juga tidak signifikan karena berdasarkan hasil fact finding singkat dengan pedagang emas perhiasan dan juga ANTAM, harga emas perhiasan di Indonesia lebih dipengaruhi oleh harga emas dunia dan kurs rupiah terhadap dolar. Pergerakan emas perhiasan di Indonesia mengikuti pergerakan emas dunia. Pedagang emas juga menyatakan bahwa harga emas tidak dapat dipastikan akan berubah pada saat Ramadan dan pada beberapa kurun waktu terakhir cenderung stabil pada bulan Ramadan. Demikian pula dalam penelitian “Kelayakan Emas Perhiasan dalam Perhitungan Inflasi di Indonesia” yang dilakukan oleh Wijoyo et al. (2012) juga mengonfirmasi bahwa masyarakat menghindari untuk menjual emas perhiasan pada saat membutuhkan dana, tetapi lebih memiliih untuk menggadaikan emas perhiasan di pegadaian untuk kemudian dapat ditebus kembali apabila sudah memiliki dana pengganti. Dengan demikian, apabila membutuhkan dana tambahan pada saat bulan Ramadan, masyarakat lebih memilih untuk menggadaikan emas perhiasan daripada menjualnya sehingga harga emas perhiasan relatif tidak terpengaruh oleh Ramadan.
49
VI. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Simpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Dengan berdasarkan pada perhitungan standar deviasi dan varian serta berdasarkan data inflasi bulanan BPS, urutan komoditas berdasarkan volatilitas terbesar adalah telur ayam, daging ayam, emas perhiasan, beras, minyak goreng, dan daging sapi. Namun, jika menggunakan data inflasi mingguan SPH Bank Indonesia, urutan komoditas adalah daging ayam, telur ayam, emas perhiasan, beras minyak goreng, dan daging sapi. 2. Jika dilakukan perhitungan terhadap rata-rata inflasi mingguan SPH BI dan dibandingkan dengan rata-rata inflasi mingguan yang masuk pada bulan Ramadan, kota-kota yang memiliki rata-rata inflasi mingguan di bulan Ramadan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata inflasi mingguan secara umum adalah a) beras: Surabaya, Bandung, Semarang, dan Palembang; b) daging ayam: Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang; c) daging sapi: Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar; d) telur ayam: Jakarta, Semarang, Medan, Palembang, dan Makassar; e) minyak goreng: tidak ada; dan f)
emas perhiasan: Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Palembang.
3. Apabila dilihat dari perhitungan standar deviasi dan varian inflasi mingguan, jika dibandingkan antara rata-rata umum dan rata-rata di bulan Ramadan, dapat disimpulkan bahwa kota-kota yang memiliki volatilitas inflasi mingguan di bulan Ramadan yang lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi mingguan secara umum adalah a) beras: tidak ada; b) daging ayam: Semarang, Surabaya, dan Palembang; c) daging sapi: Surabaya, Bandung, Jakarta, dan Semarang; d) telur ayam: Jakarta, Palembang, Surabaya, dan Semarang; e) minyak goreng: tidak ada; dan f)
emas perhiasan: Surabaya, Palembang, Bandung, dan Jakarta. 50
4. Dari hasil running model ARMA dengan menggunakan data inflasi bulanan BPS, secara umum Ramadan tidak berpengaruh secara signifikan pada inflasi nasional, sedangkan apabila dilihat pada enam komoditas utama penyumbang inflasi, yakni beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, minyak goreng, dan emas perhiasan, Ramadan berpengaruh secara signifikan pada inflasi pada tiga komoditas saja, yakni komoditas daging ayam, daging sapi, dan telur ayam. Sementara itu, untuk emas perhiasan, minyak goreng, dan beras, Ramadan tidak berpengaruh secara signifikan. Adapun lag optimal dari seluruh komoditas adalah 1. 5. Dari hasil running model ARMA dengan menggunakan data inflasi mingguan Survei Pemantauan Harga Bank Indonesia yang merupakan data inflasi per komoditas dan per kota, pengaruh Ramadan pada tiap komoditas berbeda pada tiap kota, yakni a) Jakarta: signifikan untuk komoditas daging ayam (lag optimal 1), daging sapi, dan telur ayam (lag optimal 2); b) Bandung: signifikan untuk komoditas daging sapi (lag optimal 1); c) Medan: signifikan untuk komoditas daging sapi (lag optimal 2); d) Makassar: signifikan untuk daging ayam dan telur ayam (lag optimal 2); e) Palembang: signifikan untuk daging sapi (lag optimal 2); f) Surabaya: signifikan untuk daging sapi (lag optimal 2); dan g) Semarang: signifikan untuk daging ayam dan daging sapi (lag optimal 2).
6.2 Rekomendasi 1. Dengan melihat simpulan di atas bahwa dari enam komoditas yang diamati, perlu adanya cadangan stock yang kuat untuk tiga komoditas yang signifikan terpengaruh Ramadan, yaitu daging ayam, daging sapi, dan telur ayam. Hal itu penting untuk mengantisipasi adanya lonjakan harga pada awal Ramadan, khususnya pada saat pemerintah akan melakukan operasi pasar. 2. Dalam jangka panjang, perlu adanya perbaikan sisi supply melalui perbaikan pada sisi produksi antara lain dengan perbaikan teknologi pertanian dan peternakan di kota-kota besar yang terpengaruh secara signifikan oleh adanya bulan Ramadan. Selain itu, perlu adanya perbaikan pada jalur distribusi untuk memperlancar aliran barang, khususnya menjelang hari-hari besar. Perbaikan sisi produksi dan distribusi penting karena produk pertanian dan peternakaan 51
sangat rentan terhadap gangguan musim, bencana alam, dan kendala transportasi. 3. Operasi pasar menjelang Ramadan menjadi penting untuk mempengaruhi ekspektasi pedagang terhadap inflasi sehingga lonjakan harga dapat diredam sejak awal. Untuk itu, perlu dilihat waktu yang tepat untuk melakukan operasi pasar, yakni sebelum terjadinya lonjakan harga.
52
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, Muhammad; Abbasi, Muhammad Usman (2010). Ramadan Effect on Price Movements: Evidence from Pakistan, SBP Working Paper Series, State Bank of Pakistan Arini, Putu Simpen (2012). “Pengaruh Hari Raya Galungan pada Seasonal Adjustment IHK dan Penentuan Komoditas Utama yang Mempengaruhi Inflasi di Provinis Bali: Analisis ARIMA”. Dalam Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan Vo. 5 No. 2, Udayana-Bali. Anindito, Istasius. (2007). “Pertumbuhan Industri Kelapa Sawit dan Minyak Goreng Sawit”. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Daud, Andre & Hasni Arief. (2000). “Kajian Ekonomi Wilayah dan Kelembagaan Usaha Peternakan Ayam Ras Petelur di Kabupaten Tasikmalaya.” Fakultas Peternakan, Universitas Padjajaran. Direktorat Kebijakan Moneter (2005). Kerangka Kerja Kebijakan Moneter dengan Sasaran Akhir Kestabilan Harga. Jakarta: Bank Indonesia. Hutabarat, Akhlis. R.,"Determinan Inflasi Indonesia”, BI, Occasional Paper, Juni, 2005. Ilham, Nyak. (2009).“Kebijakan Pengendalian Harga Daging Sapi Nasional”. Dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 7 No. 3, September 2009: 211–221. Ilham, Nyak & Yusmichad Yusdja. (2004). “Sistem Transportasi Perdagangan Ternak Sapi dan Implikasi Kebijakan di Indonesia.” Dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 2 No. 1, Maret 2004: 37–53. Levy, Daniel et al. (2008). Holiday Price Rigidity and Cost of Price Adjustment. Economica. London: The London School of Economics and Political Science. Lantarsih, Retnodkk. (2011). “Sistem Ketahanan Pangan Nasional : Kontribusi Ketersediaan dan Konsumsi Energi Serta Optimalisasi Distribusi Beras.” Dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 9 No. 1, Maret 2011: 33–51. Khalwati, MS Tajul. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mishkin, Frederic S., “The Cause of Inflation”, Dalam NBER Working Paper Series No. 1453, National Bureau of Economic Research, September, 1984. Prastowo, Joko Nugroho et al. (2010). :”Perilaku Pembentukan Harga Komoditas di Indonesia: Sebuah Ringkasan” Dalam Occasional Paper No. 1, Biro Riset Ekonomi, Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Jakarta. Prastowo, Nugroho., Tri Yanuarti & Yoni Depari. (2008). “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi”. Dalam Working Paper No. WP/07/2008, Bank Indonesia. Ridhwan, Masagus., M. Noor Nugroho., dkk. (2012). “Analisis Status Ketahanan Pangan di Indonesia dengan Aplikasi Model Panel Data Spasial.” Dalam Working Paper No. WP/ /2012. Bank Indonesia. Ridhwan, Masagus., Ibrahim., dkk. (2012). “Perdagangan Antardaerah, Distribusi, Transportasi, dan Pengelolaan Stok Komoditas Pangan Strategis di Indonesia”. Dalam Working Paper No. WP/ /2012, Bank Indonesia. 53
Santosa, Mukson., dkk. (2005). “Analisis Efisisnesi Pemasaran Telur Ayam Ras di Kabupaten Kendal Jawa Tengah.” Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Sejati, Wahyuning. (2011). “Analisis Kelembagaan Rantai Pasok Telur Ayam Ras Peternakan Rakyat di Jawa Barat.” Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 9 No. 2, Juni 2011: 183–198. Silalahi, Tumpak et al. (2011). “Pemetaan Struktur Pasar dan Pola Distribusi Komoditas Strategis Penyumbang Inflasi Daerah serta Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Harga Komoditas Daerah.” Dalam Working Paper No. WP/ /2011. Bank Indonesia. Surono, Indro. “Inefisiensi Tataniaga Beras dan Nasib Petani”. Dalam Wacana, No. 13/ September–Oktober 1998. Talib, Chalid & Yudi Guntara Noor. (2008). “Penyediaan Daging Sapi Nasional Dalam Ketahanan Pangan Indonesia“. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Wimanda, Rizki et al. (2011). “Karakteristik Inflasi Indonesia: Sebuah Rangkuman Studi yang Komprehensif dan Pelajaran yang Dapat Dipetik”., Dalam Occcasional Paper No. 4, Biro Riset Ekonomi, Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Jakarta. Yucel, Eray M (2005). “Does Ramadan Have Any Effect on Food Prices: A Dual– Calender Perspective on the Turkish Data”. Dalam MPRA Paper No. 11, Munich.
LAMPIRAN 54
Hasil ARMA untuk data SPH Bank Indonesia Jakarta Beras (1,1) Ramadhan AR
Ayam (1,0)
Sapi (2,1)
-0.065
2.403
2.191
-0.110
2.459
0.802
0.718
-0.502
17.759
-3.623
18.479
MA
-0.144 -2.007
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
*
*
5.238
Telur (2,1) Minyak (1,0) Emas (1,0) 2.155
*
-2.076
*
-0.696
*
-0.442
*
2.070 -10.423
0.351
1.098
-0.519
1.601
0.766
*
22.042
0.792
*
23.740
*
-6.983
*
0.548
0.539
0.603
0.603
0.589
0.626
2.113
3.404
1.431
3.536
2.372
2.386
2.002
1.851
2.033
2.047
1.979
1.909
0.930
0.116
0.060
0.551
0.152
138.207
*
200.446
*
128.884
*
-0.766
*
129.105
*
245.817
0.324
*
286.063
*
Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%
Bandung Beras (2,2) Ramadhan AR
0.258
2.059
0.464
0.232
6.886
-0.766
-0.606
0.665
*
-0.167 -2.592
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
Sapi (1,1)
0.215
-18.218
MA
Ayam (2,1)
-5.512
*
-0.582
*
-3.432
12.113
Telur (2,1) Minyak (1,1) Emas (2,1) * *
0.188
*
2.669
0.439
0.125
0.377
0.296
0.503
-0.713
0.796
-0.657
-12.159
*
-0.614
*
-6.239
20.313
0.335
*
0.126
*
1.968
-7.694
*
-5.208
0.679
0.618
0.669
0.660
0.698
0.605
1.578
3.769
1.034
3.950
1.478
2.265
1.986
1.993
1.994
2.008
1.983
2.028
0.521
0.990
0.082
0.805
0.335
143.363
*
137.201
*
230.425
*
164.934
*
262.545
*
-0.705
*
0.596
* 129857.000 *
Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%
55
Medan Beras (2,1) Ramadhan AR
Ayam (2,1)
Sapi (2,1)
-0.083
-0.888
1.898
-0.234
-0.594
3.264
-0.686
-0.809
-0.474
-8.353
MA
-6.342
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
*
-24.393
-0.763
*
-0.921
*
-29.299
-2.335
Telur (2,0) Minyak (2,1) Emas (2,1) * *
-0.866
-0.261
-1.074
-0.466
2.582
-0.160
-0.507
-0.632
-2.984
*
-0.573
*
-1.724
-2.448
2.291
*
-0.551
*
-1.830
-7.340
*
-4.907
-0.649
0.473
0.645
-0.578
0.562
1.221
5.070
2.009
2.743
1921.000
3.022
2.068
1.938
2.049
2.053
2.072
2.084
0.525
0.307
0.162
0.067
0.102
*
157.155
*
76.065
*
206.305
*
116.057
*
-0.704
0.636
148.077
*
*
0.173
*
108.665
*
Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%
Makassar Beras (2,1) Ramadhan AR
0.330
3.762
1.604
3.526
-0.867
-0.792
-32.216
MA
*
-0.994 -231.264
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
Ayam (2,1)
-23.129
Sapi (2,2) * *
-0.922
*
-25.381
Telur (2,1) Minyak (1,0) Emas (2,1)
-0.092
1.641
0.353
1.715
0.720
-0.764
14.975
*
0.128
*
1.850
-17.045
*
0.179
-0.058
0.461
-0.097
0.844
*
28.882
-0.556
*
-0.799
*
-11.475
-4.686
*
-2.842
0.753
0.674
0.614
0.664
0.708
0.608
0.715
3.598
0.907
3.266
1.379
2.029
1.874
1.908
1.976
1.948
1.832
2.051
0.460
0.480
0.110
0.089
0.096
259.064
*
175.080
*
107.765
*
168.075
*
-0.512
*
416.371
*
0.198
*
131.693
*
Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%
Palembang Beras (2,1) Ramadhan AR
1.870
-0.038
0.299
3.306
-0.590
-0.619
-0.631
*
-0.682 -6.289
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
Sapi (2,1)
0.405
-7.046
MA
Ayam (2,1)
-0.010
-7.511
*
-0.602
*
-4.352
-14.462
Telur (2,1) Minyak (2,1) Emas (2,1) * *
-0.989
*
-105.604
0.230
-0.446
0.236
-0.864
0.577
-0.761
-0.490
-0.592
-16.213
*
-0.709
*
-8.981
-2.592
0.306
*
-0.455
*
-1.727
-5.784
*
-3.263
0.712
0.562
0.446
0.678
0.638
0.677
0.909
4.577
1.954
3.300
1.771
1.815
2.016
2.011
2.002
2.048
2.029
2.029
0.795
0.933
0.561
0.691
0.311
209.539
*
109.168
*
68.297
*
179.091
*
149.874
*
-0.496
*
0.254
*
177.892
*
Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%
56
Surabaya Beras (2,2) Ramadhan AR
0.743
0.813
0.465
2.903
-0.545
-0.512
-0.646
-10.957
-6.459
*
0.142 1.838
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
Sapi (2,1)
0.457
-3.648
MA
Ayam (1,0)
0.242
Telur (2,1) Minyak (2,1) Emas (2,1) * *
-0.661
*
*
-4.351
-0.140
0.170
-0.111
0.400
0.079
-0.765
-0.535
-0.573
-17.643
*
-0.761
*
-10.633
-3.678
0.038
*
-0.441
*
-2.153
-3.728
*
-2.521
0.639
0.633
0.631
0.655
0.673
0.675
1.008
3.533
0.875
4.288
1.463
1.633
1.994
1.979
2.022
1.993
2.027
2.019
0.597
0.937
0.887
0.632
0.434
119.753
*
146.921
*
145.172
*
161.178
*
174.316
*
-0.542
*
0.673
*
176.231
*
Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%
Semarang Beras (2,1) Ramadhan AR
1.686
1.555
1.926
-0.856
-0.773
-28.679
MA
*
-0.946 -34.708
R-squared S.E of Regression Durbin-Watson stat Serial Correlation LM test (p-value) F- stat
Ayam (2,2)
0.501
-18.452
Sapi (2,2) *
-1.804
3.945
0.712
*
-0.545
*
-0.119
*
Telur (2,1) Minyak (2,1) Emas (2,2)
1.648
-5.014
*
0.232
*
2.964
-0.095 -0.186
0.822
-0.765
-0.568
-0.683
-18.049
*
-0.788
*
0.432
0.539
-11.482
-3.266
*
-0.569
*
-2.310
-6.370
*
1862.000
0.752
0.692
0.658
0.646
0.645
0.644
1.118
2.960
1.433
4.476
1.769
1.806
1.859
1.989
1.964
1.991
2.072
2.003
0.276
0.608
0.121
0.983
0.104
257.169
*
151.909
*
130.151
*
154.575
*
154.463
*
0.135
*
0.865
*
122.424
*
Catatan: nilai yang dicetak tebal adalah t-statistik dan yang tidak adalah koefisien parameter dari model yang diestimasi Nilai dengan tanda * menandakan t-statistik signifikan pada tingkat signifikansi sebesar 10%
57