PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KREDIT BERMASALAH BANK UMUM KONVENSIONAL DAN PEMBIAYAAN BERMASALAH BANK UMUM SYARIAH
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Elsa Pradika Putri 125020407111012
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2016
PENGARUH FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL TERHADAP KREDIT BERMASALAH BANK UMUM KONVENSIONAL DAN PEMBIAYAAN BERMASALAH BANK UMUM SYARIAH Elsa Pradika Putri Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
ABSTRACT Credit or financing become important part to affect stability of banking business, so it needs a good management of credit or financing to reduce credit or finance risk as much as can. The occurrence of credit or financing problems can be influenced by internal and external factors. Internal factors related to the policy or management from the bank, while external factors related to macroeconomic situation in Indonesia. This research attempts to find out impact of internal factors such as LDR or FDR and CAR and external factors such as GDP, inflation, and BI rate to non performing loan of conventional bank and non performing financing of sharia bank. The data analysis method used the multiple linear regression with Error Correction Model (ECM). The results showed that LDR or FDR, CAR, GDP, inflation, and the BI rate affects simultaneously on non performing loan of conventional bank and non performing financing of sharia bank in short term and long term. LDR or FDR has negative effect of non performing loan and non performing financing in long term, but has no effect in short term. CAR has positive effect on non performing loan of conventional bank in short term and long term, while for sharia bank CAR has no effect in short term but has negative effect in long term. GDP has positive effect on non performing loan of conventional bank in short term and long term, while in non performing financing of sharia bank, GDP does not affect in short term but has positive effect in long term. Inflation does not affect on non performing loan of conventional bank in short term and long term, while for sharia bank inflation has negative effect to non performing financing in short term but has no effect in long term. BI rate has no effect on non performing loan of conventional bank and non performing financing of sharia bank in short term, but has positive effect on non performing loan of conventional bank and negativel effect on non performing financing of sharia bank in long term. Keywords: NPL, NPF, LDR, CAR, macroeconomic, ECM.
A. LATAR BELAKANG Bank merupakan lembaga intermediasi yang berfungsi untuk menghimpun dana dari pihak-pihak yang kelebihan dana dan menyalurkan kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Sampai saat ini, kredit masih menjadi sumber pendapatan utama bank untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Oleh karena itu, stabilitas usaha bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan pengelolaan kredit mereka. Pentingnya kredit bagi perbankan menjadikan bank selalu mengembangkan pengelolaan kreditnya untuk dapat memaksimalkan pendapatan yang diterima bank termasuk menekan risiko terjadinya kredit bermasalah. Indonesia sendiri menerapkan Dual Banking System, yang berarti menerapkan perbankan konvensional dan juga perbankan syariah. Pada bank umum konvensional tingkat kredit bermasalah dapat diukur dari rasio Non Performing Loans (NPL), sementara pada bank umum syariah dikenal dengan Non Performing Financing (NPF). Kredit atau pembiayaan bermasalah dapat dipengaruhi dari faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kebijakan yang ada dalam bank itu, sedangkan faktor eksternal lebih mengarah kepada kegiatan usaha debitur ataupun kondisi makroekonomi secara keseluruhan. Faktor internal diantaranya bisa dilihat dari hasil laporan keuangan bank tersebut seperti
LDR dan CAR, sedangkan faktor eksternal diantaranya dilihat dari data makroekonomi seperti inflasi, pertumbuhan GDP, dan tingkat suku bunga. Faktor internal maupun eksternal tersebut dapat mempengaruhi tingkat kredit atau pembiayaan bermasalah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel-variabel yang digunakan memiliki volatilitas yang beragam sehingga perilaku variabel-variabel tersebut dalam mempengaruhi kredit atau pembiayaan bermasalah akan berbeda pada jangka pendek dan jangka panjang. Dari uraian di atas, sekecil apapun selama masa hidupnya bank tidak terlepas dari risiko terjadinya kredit bermasalah. Oleh karena itu, bank tidak harus terpaku menghindari kredit bermasalah, melainkan menekan risiko munculnya kasus itu serendah mungkin. Selain itu beberapa hasil penelitian tentang pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap NPL bank umum konvensional dan NPF bank umum syariah menunjukkan hasil yang beragam. Sehingga pada kesempatana ini, peneliti tertarik untuk membuktikan kembali bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kredit bermasalah. Dari penjelasan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh faktor internal (LDR atau FDR, CAR) terhadap NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah? 2. Bagaimana pengaruh faktor eksternal (GDP, inflasi, BI rate) terhadap NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah? B. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Rollin G Thomas, kredit didasarkan pada kepercayaan atas kemampuan si peminjam untuk membayar sejumlah uang pada masa yang akan datang. Menurut Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Perbedaan mendasar antara kredit bank konvensional dan pembiayaan bank syariah terletak pada prinsip bunga dan bagi hasil yang diterapkan. Pada perbankan syariah, bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dibiayai, jika usaha tersebut merugi maka juga ditanggung bersama, tidak seperti di bank konvensional yang sepenuhnya menanggung kerugian usaha adalah debitur. Prinsip pembiayaan pada bank syariah pun juga lebih beragam karena disesuaikan dengan hukum Islam. Pada perbankan syariah, uang bukanlah suatu komoditas melainkan sebagai media pertukaran dimana uang tidak bisa berjalan sendiri tanpa kaitannya dengan barang, jasa atau usaha. Hal inilah yang menjadi alasan pembiayaan bank syariah lebih mengarah pada usaha di sektor riil, sedangkan kredit bank konvensional lebih mengarah pada pasar uang. Meskipun terdapat beberapa perbedaan, namun juga terdapat persamaan antara kredit dan pembiayaan yaitu pada prosedur pengajuan kredit atau pembiayaan, prinsip-prinsip dalam memberikan kredit atau pembiayaan, dan manajemen risiko yang diterapkan. Kredit bermasalah sendiri diartikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan akibat adanya faktor kesengajaan dan atau faktor eksternal di luar kemampuan debitur. Sedangkan pembiayaan bermasalah diartikan sebagai penyediaan dana yang tidak terbayarkan karena adanya kesengajaan maupun gagal bayar akibat alasan-alasan yang diakui syariah (Rustam, 2013:55). Indikator kredit bermasalah pada perbankan konvensional adalah Non Performing Loans (NPL), sedangkan pada perbankan syariah menggunakan Non Performing Financing (NPF). Menurut Siamat (2005: 360) faktor yang mempengaruhi kredit bermasalah berasal dari faktor internal yang berkaitan dengan pemberlakuan kebijakan dan regulasi yang berada dalam lingkup bank itu sendiri seperti kebijakan perkreditan yang ekspansif dan lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit, sementara faktor eksternal ini terkait dengan penurunan kegiatan ekonomi dan tingginya tingkat bunga kredit, pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur, kegagalan usaha debitur, dan musibah seperti bencana. Manajemen Aktiva-Pasiva (Asset Liability Management) Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, bank dapat menyalurkan seluruh dana yang dihimpunnya, akan tetapi hal ini juga menimbulkan risiko apabila sewaktu-waktu pemilik dana ingin
menarik dananya yang berada di bank. Namun jika bank tidak menyalurkan dananya, maka bank juga terkena risiko dari hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan (Rusyamsi 1999: 6). Disini lah diperlukan suatu pengelolaan yang tepat untuk menyeimbangkan antara aset dan kewajiban yang dimiliki suatu bank. Manajemen aktiva-pasiva adalah suatu aktivitas yang terus menerus untuk mengkombinasikan sumber dana dan penggunaan dana (asset dan liability) secara efektif dan efisien untuk mencapai laba atau keuntungan yang optimum (Rusyamsi, 1999:16). Terdapat dua pendekatan dalam pengelolaan aktiva-pasiva bank, yaitu: a. Pool of funds approach Metode pendekatan ini berasumsi bahwa seluruh kewajiban bank yang berasal dari berbagai sumber digabung secara bersama-sama dan diperlakukan sebagai sumber dana tunggal tanpa membedakan masing-masing sumber dana secara individual (Siamat 2005:329). Jadi seluruh dana digabungkan menjadi satu untuk kemudian dialokasikan berdasarkan prioritas penggunaan dana sesuai dengan kebijakan yang berlaku baik dari dalam perusahaan maupun dari pemerintah. b. Asset allocation approach Sering juga disebut dengan conversion of funds approach. Pendekatan ini menganggap bahwa dalam pengalokasian dana harus melihat karakteristik masing-masing sumber dana. Dana yang memiliki perputaran cukup tinggi hendaknya diprioritaskan dalam cadangan primer dan sekunder. Sedangkan dana yang perputarannya relatif rendah diprioritaskan pada pemberian kredit dan aktiva jangka panjang lainnya (Siamat, 2005:331). Teori Pertumbuhan Ekonomi Terdapat beberapa teori mengenai pertumbuhan ekonomi suatu negara, diantaranya adalah: 1. Teori Pertumbuhan Merkantilisme Menurut aliran ini, pertumbuhan ekonomi ditandai dengan adanya peningkatan perdagangan internasional dan peningkatan hasil industri serta adanya surplus neraca perdagangan suatu negara. 2. Teori Pertumbuhan Klasik Aliran ini dibawa oleh Adam Smith dan David Ricardo. Dimana menurut kaum ini, pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan output total. 3. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik Adapun tokoh aliran neo-klasik antara lain: a. Schumpeter Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi akan meningkat jika pengusaha terus menerus berinovasi dalam perekonomian sehingga produktivitasnya dapat meningkat. b. Harrod-Domar Menurut pandangan Harrod dan Domar, pembentukan modal merupakan hal utama dalam mencapai steady growth. Bila pembentukan modal telah dilakukan suatu masa, maka masa selanjutnya perekonomian akan sangup memproduksi barang-barang dalam jumlah besar. Keinginan masyarakat untuk berinvestasi ditentukan dari permintaan agregat dari masyarakat. c. Sollow-Swan Menurut Sollow-Swan, pertumbuhan ekonomi ditandai dengan pertumbuhan output didasarkan dari modal dan tenaga kerja, adanya kecenderungan menabung dari masyarakat, dan semua tabungan masyarakat akan diinvestasikan. Teori Suku Bunga Boediono (1985:75) menjelaskan tingkat bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu. Sedangkan Sukirno (1994:377) mengatakan bahwa bunga merupakan pembayaran atas modal yang dipinjam dari pihak lain. Terdapat beberapa teori terkait dengan suku bunga, antara lain: 1. Teori Suku Bunga Klasik Menurut teori klasik, bunga merupakan harga dari loanable funds atau bisa dikatakan harga dari dana yang tersedia untuk dipinjamkan. Tingkat bunga di sini dapat mempengaruhi tabungan dan investasi. Semakin tinggi suku bunga maka akan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank. Sementara pada sisi investasi, kenaikan suku bunga akan menyebabkan
investasi berkurang dikarenakan investor akan bersedia menambah pengeluaran investasinya hanya jika keuntungan yang diperolehnya lebih besar dari suku bunga yang harus dibayar untuk biaya penggunaan dana tersebut. 2.
3.
4.
Teori Suku Bunga Keynes Menurut aliran Keynes, tingkat bunga merupakan fenomena moneter sebagai akibat permintaan dan penawaran uang di pasar uang. Perubahan tingkat bunga akan mempengaruhi keinginan untuk mengadakan investasi dengan demikian akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada lingkup ini uang akan mempengaruhi kegiatan ekonomi, sepanjang uang mempengaruhi tingkat bunga. Alasan seseorang memegang uang tunai ada tiga yaitu untuk motif transaksi, berjaga-jaga, dan spekulasi (lebih dikenal dengan istilah “liquidity preference”). Tiga motif itulah yang menyebabkan terjadinya permintaan uang. Menurut liquidity preference, terdapat dua kemungkinan yang terjadi pada investor yaitu memegang uang dalam bentuk surat berharga atau kas. Jika memegang surat berharga pada waktu tingkat bunga naik (harga turun) mereka akan menderita kerugian. Mereka akan menghindari kerugian tersebut dengan mengurangi surat berharga yang dipegangnya, yang berarti akan menambah uang kas yang dipegang. Sementara semakin tinggi tingkat bunga maka semakin besar biaya memegang uang kas sehingga keinginan memegang uang kas menurun. Teori Suku Bunga Hicks Menurut teori ini, tingkat bunga akan seimbang pada perekonomian bila tingkat bunga tersebut memenuhi keseimbangan sektor moneter dan riil. Jadi teori ini merupakan gabungan dari teori klasik dan Keynes. Dimana menurut aliran klasik, bunga timbul karena uang adalah produktif, artinya jika seseorang memiliki dana mereka akan menambah alat produksinya agar keuntungan meningkat. Jadi uang dapat meningkatkan produktivitas sehingga orang bersedia membayar bunga. Sementara menurut Keynes, uang bisa produktif dengan metode spekulasi di pasar uang dengan kemungkinan memperoleh keuntungan, sehingga orang bersedia membayar bunga. Teori Loanable Funds oleh Knutt Wicksell Teori ini merupakan pengembangan dari teori klasik dimana tingkat bunga merupakan harga dari loanable fund. Tingkat bunga adalah harga yang menyeimbangkan permintaan dan penawaran dana pinjaman. Disini besarnya kredit akan dipengaruhi oleh saving masyarakat. Pada keadaan tingkat bunga tinggi akan mendorong masyarakat untuk meningkatkan saving mereka, yang pada gilirannya akan menaikkan penawaran dana yang tersedia untuk dipinjamkan (loanable funds).
Hubungan antara LDR dan NPL atau NPF Loan to Deposit Ratio merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan dana pihak ketiga. LDR dalam perbankan syariah disebut dengan FDR atau Finance to Deposit Ratio. Rasio ini mengukur likuiditas suatu bank. Dimana semakin tinggi rasio LDR, maka semakin tidak likuid bank tersebut dikarenakan hampir seluruh dana yang dimiliki digunakan untuk kredit atau pembiayaan. Jadi semakin tinggi rasio LDR, maka kemungkinan terjadi kredit bermasalah juga akan semakin tinggi. Hubungan antara CAR dan NPL atau NPF Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio perbandingan jumlah modal baik modal inti maupun modal pelengkap terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). CAR merupakan indikator yang digunakan Bank Indonesia dalam upaya menetapkan ketentuan penyediaan modal minimum bank. Semakin tinggi CAR maka semakin besar pula modal yang dimiliki. Dengan banyaknya modal, maka penyaluran kredit juga akan mengalami peningkatan, sehingga risiko terjadinya kredit bermasalah juga ikut meningkat. Jadi semakin tinggi CAR, maka semakin tinggi pula kredit bermasalah. Hubungan antara Inflasi dan NPL atau NPF
Inflasi adalah kenaikan tingkat harga yang terjadi secara terus-menerus, mempengaruhi individu, pengusaha, dan pemerintah (Mishkin 2010: 13). Saat terjadi cost push inflation, biaya bahan baku biasanya naik sehingga biaya produksi ikut naik dan diikuti dengan kenaikan harga barang yang dijual oleh produsen. Karena kenaikan harga jual inilah maka masyarakat membatasi konsumsi mereka sehingga penjualan produsen akan mengalami penurunan diikuti keuntungannya menurun, maka produsen sebagai debitur akan mengalami kesulitan dalam mengembalikan kredit, sehingga terjadinya risiko kredit bermasalah akan meningkat. Sementara dari sisi demand pull inflation, inflasi terjadi akibat permintaan tinggi sementara ketersediaan barang terbatas sehingga harganya akan naik. Kenaikan harga barang dan jasa akan mengakibatkan naiknya biaya hidup masyarakat. Dengan pendapatan yang tetap, kenaikan harga akan semakin membebani hidup masyarakat sehingga kemampuan dalam mengembalikan kredit atau pembiayaan akan menurun dan menyebabkan tingginya risiko kredit atau pembiayaan bermasalah. Hubungan antara PDB dan NPL atau NPF Produk Domestik Bruto (PDB) atau biasa disebut dengan Gross Domestic Product (GDP) adalah indikator yang mengukur nilai output barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara, tanpa mempertimbangkan asal (nationality) perusahaan yang menghasilkan barang atau jasa tersebut, selama berada dalam batas-batas negara tersebut. GDP menjadi indikator untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara. Peningkatan pertumbuhan ekonomi menunjukkan terjadinya peningkatan output seperti yang dijelaskan pada teori pertumbuhan ekonomi. Dimana output yang dimaksud dapat berarti peningkatan produktivitas kegiatan usaha produsen. Ketika penjualan produsen meningkat maka akan menaikkan keuntungan yang diterimanya. Penjualan yang meningkat juga dapat meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Sehingga baik produsen selaku debitur ataupun masyarakat yang menjadi pekerja selaku debitur sama-sama dapat mengembalikan atau melunasi kredit sesuai dengan perjanjiannya di bank sehingga risiko terjadinya kredit atau pembiayaan bermasalah menjadi rendah. Hubungan antara BI Rate dan NPL atau NPF BI rate didefinisikan sebagai suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan Bank Indonesia. Jadi dengan kata lain BI rate merupakan suku bunga acuan yang menjadi patokan suku bunga lainnya. Menurut teori suku bunga Loanable Funds, ketika tingkat bunga naik maka keinginan masyarakat untuk menabung juga akan ikut naik, ketika bank memiliki dana yang lebih banyak maka hal ini akan meningkatkan penawaran terhadap kredit ataupun pembiayaan. Jika kredit atau pembiayaan meningkat maka akan menyebabkan risiko terjadinya kredit atau pembiayaan bermasalah meningkat. Di sisi lain untuk debitur yang sudah meminjam dana, menurut Sutoyo (1998:18) dan Siamat (2005: 360) kenaikan suku bunga akan memberatkan mereka untuk melunasi kredit yang telah dipinjamnya (terutama yang menggunakan acuan floating rate), sehingga dapat menyebabkan kredit bermasalah meningkat.
C. METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian Pendekatan pada penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Yang dimaksud penelitian kuantitatif ialah penelitian yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu dengan analisis data statistik untuk menguji hipotesis yang telah ditentukan (Sugiyono, 2012: 7). Pemilihan pendekatan ini didasarkan dari data variabel yang digunakan. Variabel independen yang digunakan yaitu berupa faktor internal (LDR atau FDR, CAR) dan faktor eksternal (PDB, Inflasi, BI rate), sedangkan variabel dependennya adalah NPL bank konvensional dan NPF bank syariah. Variabelvariabel tersebut semuanya berupa angka-angka. Jenis dan Sumber Data Menurut sumbernya, data dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Pada penelitian ini menggunakan jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang tidak
diperoleh peneliti secara langsung, melainkan diperoleh dari literatur buku, catatan, atau publikasi yang diperoleh dari internet (Sugiyono, 2005: 62). Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari hasil publikasi situs resmi Bank Indonesia dalam laporan Statistik Perbankan Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Metode Analisis Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi berganda dengan model koreksi kesalahan atau Error Correction Model (ECM). Model ECM adalah model dinamis yang digunakan untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Model ECM dipilih karena dianggap mampu mengatasi adanya regresi lancung yang biasanya terjadi pada analisis regresi data time series pada umumnya. Selain itu, fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi biasanya mengalami ketidakseimbangan dimana fenomena yang diinginkan oleh pelaku ekonomi belum tentu sama dengan kenyataannya. Namun dengan model ECM ini ketidakseimbangan tersebut dapat dikoreksi dengan memasukkan variabel penyesuaian sehingga dapat diketahui hubungan jangka panjang maupun jangka pendek yang valid. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Estimasi Model Non Performing Loan (NPL) Uji Stasioneritas Dalam pengujian ECM langkah awal yang harus dilakukan adalah melihat kestasioneran data. Data dikatakan stasioner apabila rerata dan variansnya konstan. Hasil uji stasioneritas dengan menggunakan uji Phillips-Perron dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1: Hasil uji stasioneritas Phillips-Perron Test model NPL Variabel
Level (prob)
Kesimpulan
First Difference (prob)
Kesimpulan
NPL
0.9158
Tidak stasioner
0.0000
Stasioner
LDR
0.0564
Tidak stasioner
0.0000
Stasioner
CARK
0.7118
Tidak stasioner
0.0000
Stasioner
PDB
0.8970
Tidak stasioner
0.0425
Stasioner
INF
0.0006
Stasioner
0.0000
Stasioner
BIR
0.8030
Tidak stasioner
0.0049
Stasioner
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari tabel 1, pada uji stasioner derajat level terdapat satu dari enam variabel yang stasioner yaitu variabel inflasi. Maka dilakukan pengujian kembali pada derajat 1 (first difference) dan diperoleh hasil bahwa semua variabel stasioner pada derajat satu (first difference) karena semua probabilitasnya lebih kecil dari tingkat signifikansi yang digunakan yaitu 5%. Uji Kointegrasi Pada analisis regresi berganda model ECM sangat penting untuk diuji kointegrasi. Adanya hubungan jangka panjang antar variabel ini dapat digunakan untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek. Pada Engle Granger dua tahap, uji kointegrasi yang digunakan adalah dengan pendekatan residual, dimana residual jangka panjang tersebut harus lolos uji stasioner pada derajat level. Tabel 2: Hasil Uji Kointegrasi model NPL Null Hypothesis: ECT01 has a unit root Exogenous: Constant
Bandwidth: 3 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Phillips-Perron test statistic Test critical values:
1% level 5% level 10% level Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Adj. t-Stat
Prob.*
-3.157943 -3.588509 -2.929734 -2.603064
0.0295
Dari output di atas, residual pada persamaan jangka panjang yaitu ECT01 memiliki probabilitas sebesar 0.0295, ini berarti residual ECT01 terbebas dari masalah unit root pada derajat level. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan kointegrasi pada model NPL dengan variabel independen yaitu LDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate. Model ECM Setelah memenuhi syarat stasioner dan kointegrasi, selanjutnya dilakukan regresi linier berganda dengan model ECM untuk melihat bagaimana pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dalam jangka pendek. Tabel 3: Hasil uji ECM NPL Variabel
Koefisien
Std. Error
t-statistic
Prob
C
-0.016379
0.013367
-1.225344
0.2282
D(LDR)
-0.021661
0.017585
-1.231801
0.2258
Tidak signifikan
D(CARK)
0.075168
0.023977
3.135021
0.0034
Signifikan
D(PDB)
2.43E-06
7.90E-07
3.074031
0.0040
Signifikan
D(INF)
-0.005214
0.014713
-0.354353
0.7251
Tidak signifikan
D(BIR)
-0.038905
0.079193
-0.491266
0.6261
Tidak signifikan
ECT01(-1)
-0.276259
0.125140
-2.207594
0.0336
Signifikan
R-squared
0.410697
Adj. R-squared
0.315134
F- statistic
4.297664
Prob (F- statistic)
0.002201
Kesimpulan
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari pengolahan data di atas, dapat ditulis persamaan jangka pendek sebagai berikut: D(NPL) = -0.00016379 – 0.021661*D(LDR) + 0.075168*D(CARK) + 0.00000243*D(PDB) – 0.005214*D(INF) – 0.038905*D(BIR) – 0.276259*ECT01 Berdasarkan tabel 3, residual ECT01 memiliki probabilitas sebesar 0.0336 lebih kecil dari tingkat signifikansi 5% dan memiliki koefisien sebesar 0.276259 bertanda negatif sehingga dari hasil estimasi tersebut dapat disimpulkan bahwa model ECM sudah valid dalam mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek untuk mencapai keseimbangan jangka panjang. Dari persamaan di atas, besaran koefisien ECT01 mengindikasikan bahwa sebesar 27.6% ketidaksesuaian jangka pendek dan jangka panjang akan dikoreksi setiap periodenya. Untuk mengetahui keabsahan dari analisis regresi yang digunakan maka sebelum menginterpretasikan hasilnya, lebih dahulu mengetahu hasil uji asumsi klasik sebegai berikut: 1. Normalitas
Model regresi yang baik diharuskan memiliki residual yang berdistribusi normal. Oleh karena itu diperlukan uji normalitas untuk mengetahui apakah residual yang digunakan pada model ini sudah terdistribusi normal. Penelitian ini menggunakan uji Jarque-Bera dengan hasil sebagai berikut: Tabel 4: Hasil uji Jarque-Bera model NPL jangka pendek Mean
1.26e-17
Median
0.003405
Maximum
0.114443
Minimum
-0.149513
Std. Dev
0.064282
Skewness
-0.359300
Kurtosis
2.572026
Jarque-Bera
1.282505
Probability
0.526632
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Pada tabel 4 nilai probabilitas untuk Jarque-Bera statistik adalah sebesar 0.526632 yang berarti nilainya lebih besar dari tingkat signifikansi 5% sehingga dapat dinyatakan bahwa residual pada model jangka pendek untuk NPL bank umum konvensional sudah terdistribusi dengan normal. 2. Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk melihat hubungan linear antar variabel independen yang digunakan. Pada penelitian ini uji multikolinearits dilakukan dengan melihat nilai korelasi antar variabel independen, dimana jika korelasinya berada di bawah 0.9 maka dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas. Hasil uji korelasi pada model ini dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5: Hasil uji korelasi model NPL jangka pendek D(LDR)
D(CARK)
D(PDB)
D(INF)
D(BIR)
D(LDR)
1.000000
-0.194815
0.139125
0.406171
0.219696
D(CARK)
-0.194815
1.000000
-0.251839
-0.171827
-0.068722
D(PDB)
0.139125
-0.251839
1.000000
-0.114477
0.100986
D(INF)
0.406171
-0.171827
-0.114477
1.000000
0.091722
D(BIR) 0.219696 -0.068722 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
0.100986
0.091722
1.000000
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa semua variabel independen yaitu LDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate memiliki nilai korelasi di bawah 0.9 dengan variabel independen lain sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan sudah terbebas dari masalah multikolinearitas. 3. Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi antar residual pada model regresi. Hasil dari uji autokorelasi menggunakan Serial Correlation LM Test dapat dilihat pada tabel 6. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi karena nilai probabilitas chisquare sebesar 0.7878 lebih besar dari tingkat signifikansi 5%.
Tabel 6: Hasil Breusch Godfrey Serial Correlation LM test model NPL jangka pendek F-statistic 0.191764 Prob. F(2,35) 0.8264 Obs*R-squared 0.476922 Prob. Chi-Square(2) 0.7878 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016) 4. Heterokedastisitas Salah satu asumsi penting dalam regresi linier adalah residualnya harus memiliki varians yang sama (homokedastisitas). Jika asumsi ini tidak terpenuhi maka terjadi masalah heterokedastisitas. Uji heterokedastisitas pada penelitian ini menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey Test dengan hasil sebagai berikut: Tabel 7: Hasil Uji Heterokedastisitas Breusch-Pagan-Godfrey model NPL jangka pendek F-statistic 0.410368 Prob. F(6,37) 0.8674 Obs*R-squared 2.745338 Prob. Chi-Square(6) 0.8401 Scaled explained SS 1.525891 Prob. Chi-Square(6) 0.9578 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016) Pada tabel 7 nilai prob. Chi-square pada Obs*R-squared adalah 0.8401, lebih besar dari tingkat signifikansi 5% sehingga asumsi homokedastisitas terpenuhi atau dengan kata lain terbebas dari masalah heterokedastisitas. Uji Hipotesis Jangka Pendek Nilai koefisien determinasi (R-squared) jangka pendek adalah sebesar 0.410697 yang berarti kemampuan variabel independen yaitu LDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate dalam menjelaskan variasi variabel NPL dalam jangka pendek adalah sebesar 41.07% dan sisanya ditentukan oleh variabel bebas lain di luar model. Nilai probabilitas F-statistik 0.002201 lebih kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang meliputi Loan to Deposit Ratio, Capital Adequacy Ratio, Produk Domestik Bruto, inflasi dan BI rate secara simultan mempengaruhi NPL bank umum konvensional dalam jangka pendek. Secara parsial, dapat diketahui bahwa variabel LDR memiliki koefisien sebesar -0.021661 dan tstatistik sebesar -1.231801. Jika dibandingkan dengan t-tabel, |-1.231801| lebih kecil dari t-tabel pada tingkat signifikansi 5% dan derajat bebas 37 yaitu 1.687 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara parsial variabel Loan to Deposit Ratio (LDR) tidak berpengaruh positif terhadap NPL dalam jangka pendek. Variabel CAR memiliki koefisien sebesar 0.075168 dan t-statistik sebesar 3.135021 yang lebih besar dari t-tabel pada tingkat signifikansi 5% sehingga kesimpulannya secara parsial CAR berpengaruh signifikan positif terhadap NPL dalam jangka pendek. Untuk variabel PDB, t-statistik yang dimiliki adalah sebesar 3.074031 yang berarti lebih besar dari t-tabel dan nilai koefisien sebesar 0.00000243. Ini berarti secara parsial, PDB bepengaruh positif terhadap NPL dalam jangka pendek. Variabel inflasi (INF) memiliki nilai koefisien sebesar -0.005214 dan t-statistik sebesar -0.354353, ini artinya secara parsial inflasi tidak berpengaruh positif terhadap NPL dalam jangka pendek. Variabel BI Rate (BIR) memiliki koefisien sebesar -0.038905 dan t-statistik sebesar -0.491266 sehingga dapat disimpulkan bahwa BI rate tidak berpengaruh positif terhadap NPL dalam jangka pendek. Model Jangka Panjang Selain melihat pengaruh dalam jangka pendek, regresi linier berganda model ECM dengan metode Engle Granger dua tahap juga dapat melihat pengaruh jangka panjang dari hasil uji kointegrasi menggunakan OLS biasa.
Tabel 8: Hasil regresi berganda model NPL jangka panjang Variabel
Koefisien
Std. Error
t-statistic
Prob
C
4.329284
0.007578
5.712627
0.0000
LDR
-0.092644
0.010812
-8.568241
0.0000
Signifikan
CARK
0.050240
0.024924
2.015711
0.0508
Signifikan
PDB
1.93E-06
3.03E-07
6.351026
0.0000
Signifikan
INF
-0.014133
0.026051
-0.542527
0.5905
Tidak signifikan
BIR
0.137125
0.053525
2.561897
0.0144
Signifikan
R-squared
0.801884
Adj. R-squared
0.776485
F- statistic
31.57090
Prob (F- statistic)
0.000000
Kesimpulan
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari pengolahan data tersebut, dapat ditulis persamaan jangka panjang sebagai berikut: NPL = 4.329284 – 0.092644*LDR + 0.050240*CARK + 0.00000193*PDB – 0.014133*INF + 0.137125*BIR Sama halnya pada model jangka pendek, sebelum menginterpretasikan hasilnya, lebih dahulu mengetahui hasil uji asumsi klasik sebegai berikut: 1. Normalitas Untuk model NPL jangka panjang, hasil pengujian normalitas menggunakan uji Jarque-Bera ditunjukkan pada tabel 9. Tabel 9: Hasil uji Jarque-Bera model NPL jangka panjang Mean
4.83e-16
Median
0.007793
Maximum
0.277877
Minimum
-0.222866
Std. Dev
0.106485
Skewness
0.251121
Kurtosis
2.559233
Jarque-Bera
0.837247
Probability
0.657952
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Pada tabel 9 tersebut, nilai probabilitas Jarque-Bera adalah sebesar 0.657952 yang berarti nilainya lebih besar dari tingkat signifikansi 5% sehingga dapat dinyatakan bahwa residual pada model jangka panjang NPL bank umum konvensional sudah terdistribusi dengan normal. 2. Multikolinearitas Hasil uji multikolinearitas dengan melihat nilai korelasi antar variabel independen dapat dilihat pada tabel 10 berikut.
Tabel 10: Hasil uji korelasi model NPL jangka panjang LDR
CARK
PDB
INF
BIR
LDR
1.000000
0.568464
0.802799
0.111121
0.871279
CARK
0.568464
1.000000
0.750497
-0.094515
0.744118
PDB
0.802799
0.750497
1.000000
0.051360
0.853329
INF
0.111121
-0.094515
0.051360
1.000000
0.026618
BIR
0.871279
0.744118
0.853329
0.026618
1.000000
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari tabel 10, dapat dilihat bahwa variabel LDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate masingmasing memiliki nilai korelasi di bawah 0.9 dengan variabel independen lain sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen untuk model NPL jangka panjang yang digunakan sudah terbebas dari masalah multikolinearitas. 3. Autokorelasi Hasil dari uji autokorelasi untuk model NPL jangka panjang menggunakan Serial Correlation LM Test dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 11: Hasil Breusch Godfrey Serial Correlation LM test model NPL jangka panjang F-statistic 0.196555 Prob. F(2,35) 0.7491 Obs*R-squared 1.522652 Prob. Chi-Square(2) 0.6924 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari tabel 11 dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi pada model NPL jangka panjang karena nilai probabilitas chi-square sebesar 0.6924 lebih besar dari tingkat signifikansi 5%. 4. Heterokedastisitas Hasil uji heterokedastisitas untuk model NPL jangka panjang dengan menggunakan BreuschPagan-Godfrey Test dapat dilihat pada tabel 12 berikut ini. Tabel 12: Hasil Uji Heterokedastisitas Breusch-Pagan-Godfrey model NPL jangka panjang F-statistic 0.936856 Prob. F(6,37) 0.4680 Obs*R-squared 4.825363 Prob. Chi-Square(6) 0.4376 Scaled explained SS 2.825612 Prob. Chi-Square(6) 0.7268 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Pada tabel 12 nilai prob. Chi-square pada Obs*R-squared adalah 0.4376, lebih besar dari tingkat signifikansi 5% sehingga asumsi homokedastisitas terpenuhi atau dengan kata lain model NPL jangka panjang sudah terbebas dari masalah heterokedastisitas. Uji Hipotesis Jangka Panjang Nilai koefisien determinasi (R-squared) adalah sebesar 0.801884 yang berarti kemampuan variabel independen yaitu LDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate dalam menjelaskan variasi variabel NPL dalam jangka panjang adalah sebesar 80.2% dan sisanya sebesar 19.2% ditentukan oleh variabel bebas di luar model. Untuk nilai probabilitas F-statistik 0.000000 lebih kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang meliputi Loan to Deposit Ratio, Capital Adequacy Ratio, Produk Domestik Bruto, inflasi dan BI rate secara bersama-sama mempengaruhi NPL bank umum konvensional dalam jangka panjang. Secara parsial, variabel LDR memiliki koefisien sebesar -0.092644 dan t-statistik sebesar -8.568241. Nilai absolut t-statistik tersebut lebih besar daripada t-tabel 1.686 dengan derajat bebas 38
dan tingkat signifikansi 5% sehingga disimpulkan secara parsial variabel Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh negatif terhadap NPL dalam jangka panjang. Variabel CAR memiliki koefisien sebesar 0.050240 dan t-statistik sebesar 2.015711 yang berarti lebih besar dari t-tabel sehingga dapat dikatakan bahwa secara parsial, CAR berpengaruh signifikan positif terhadap NPL dalam jangka panjang. Variabel PDB memiliki nilai koefisien sebesar 0.00000193 dan t-statistik sebesar 6.351026 yang berarti lebih besar dari t-tabel sehingga pada jangka panjang PDB berpengaruh signifikan terhadap NPL dengan arah hubungan positif. Variabel inflasi memiliki nilai koefisien sebesar -0.014133 dan t-statistik sebesar -0.542527 yang secara absolut lebih kecil dari t-tabel sehingga disimpulkan bahwa secara parsial inflasi tidak berpengaruh positif terhadap NPL dalam jangka panjang. Variabel BI Rate (BIR) memiliki koefisien sebesar 0.137125 dengan t-statistik sebesar 2.561897 yang berarti lebih besar dari t-tabel sehingga dapat dinyatakan bahwa secara parsial BI rate berpengaruh positif terhadap NPL dalam jangka panjang. Estimasi Model Non Performing Financing (NPF) Uji Stasioneritas Sama halnya dengan pengujian pada model NPL, pada model NPF juga perlu dilakukan uji stasioneritas dengan hasil sebagai berikut: Tabel 13: Hasil uji stasioneritas Phillips-Perron Test model NPF Variabel
Level (prob)
Kesimpulan
First Difference (prob)
Kesimpulan
NPF
0.8970
Tidak stasioner
0.0000
Stasioner
FDR
0.8427
Tidak stasioner
0.0000
Stasioner
CARS
0.0074
Stasioner
0.0000
Stasioner
PDB
0.8970
Tidak stasioner
0.0425
Stasioner
INF
0.0006
Stasioner
0.0000
Stasioner
BIR
0.8030
Tidak stasioner
0.0049
Stasioner
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari hasil olah data tersebut, semua variabel tidak stasioner pada derajat level kecuali variabel CAR dan inflasi. Sehingga dilakukan pengujian lagi pada first difference dan hasilnya semua variabel yang digunakan untuk model NPF jangka pendek telah stasioner pada first difference Uji Kointegrasi Setelah semua variabel stasioner pada first difference, langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi untuk melihat hubungan jangka panjang antar variabel. Hasil uji kointegrasi pada tabel 14 tersebut menyatakan bahwa residual model NPF jangka panjang yang disebut ECT02 sudah stasioner pada derajat level dengan menggunakan uji Phillips-Perron sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat kointegrasi antar variabel penelitian.
Tabel 14: Hasil Uji Kointegrasi model NPF Null Hypothesis: ECT02 has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 3 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel Adj. t-Stat
Prob.*
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
-3.983227 -3.588509 -2.929734 -2.603064
0.0034
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Model ECM Karena variabel yang digunakan sudah stasioner pada first difference dan berkointegrasi, maka analisis regresi berganda dengan model ECM dapat diterapkan pada model NPF. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 15: Hasil uji ECM NPF Variabel
Koefisien
Std. Error
t-statistic
Prob
C
0.033948
0.038877
0.873223
0.3882
D(FDR)
0.006015
0.008749
0.687437
0.4961
Tidak signifikan
D(CARS)
-0.025340
0.037622
-0.673541
0.5048
Tidak signifikan
D(PDB)
1.58E-06
2.02E-06
0.783184
0.4385
Tidak signifikan
D(INF)
-0.077384
0.040711
-1.900802
0.0651
Signifikan
D(BIR)
-0.044189
0.228855
-0.193087
0.8479
Tidak signifikan
ECT02(-1)
-0.353608
0.104439
-3.385786
0.0017
Signifikan
R-squared
0.366029
Adj. R-squared
0.263223
F- statistic
3.560384
Prob (F- statistic)
0.006960
Kesimpulan
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari hasil tersebut maka dapat ditulis persamaan jangka pendek sebagai berikut: D(NPF) = 0.033948 + 0.006015*D(FDR) – 0.025340*D(CARS) + 0.00000158*D(PDB) – 0.077384*D(INF) – 0.044189*D(BIR) – 0.353608*ECT02 Variabel residual ECT02 memiliki koefisien sebesar -0.353608 dengan probabilitas sebesar 0.0017 yang berarti residual sudah dianggap signifikan sehingga model ECM dikatakan valid. Besaran koefisien ECT02 mengindikasikan bahwa sebesar 35.4% ketidaksesuaian jangka pendek dan jangka panjang akan dikoreksi setiap periodenya. Untuk mengetahui keabsahan dari analisis regresi yang digunakan maka sebelum menginterpretasikan hasilnya, lebih dahulu mengetahu hasil uji asumsi klasik sebegai berikut: 1. Normalitas Untuk melihat distribusinya sudah normal atau belum maka dilakukan pengujian normalitas dengan uji Jarque-Bera. Hasil pengujian untuk model NPF jangka pendek dapat dilihat pada tabel 16.
Tabel 16: Hasil uji Jarque-Bera model NPF jangka pendek Mean -3.78e-18 Median
0.030736
Maximum
0.382279
Minimum
-0.371377
Std. Dev
0.190266
Skewness
-0.186706
Kurtosis
2.241390
Jarque-Bera
1.310697
Probability
0.519261
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Pada tabel tersebut nilai probability Jarque-Bera adalah sebesar 0.519261 yang berarti nilainya lebih besar dari tingkat signifikansi 5% sehingga dapat dinyatakan bahwa residual pada model NPF jangka pendek sudah terdistribusi dengan normal. 2. Multikolinearitas Korelasi antara variabel independen digunakan sebagai indikator uji multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada tabel 17. Tabel 17: Hasil uji korelasi model NPF jangka pendek D(FDR)
D(CARS)
D(PDB)
D(INF)
D(BIR)
D(FDR)
1.000000
-0.376208
0.258237
-0.179639
-0.033215
D(CARS)
-0.376208
1.000000
-0.035513
0.279073
0.032906
D(PDB)
0.258237
-0.035513
1.000000
-0.114477
0.100986
D(INF)
-0.179639
0.279073
-0.114477
1.000000
0.091722
D(BIR) -0.033215 0.032906 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
0.100986
0.091722
1.000000
Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa semua variabel independen yaitu FDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate memiliki nilai korelasi di bawah 0.9 sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas yang digunakan pada model NPF jangka pendek sudah terbebas dari masalah multikolinearitas. 3. Autokorelasi Uji autokorelasi digunakan untuk melihat korelasi antar residual pada model regresi. Hasil dari uji autokorelasi untuk model NPF jangka pendek dengan menggunakan Serial Correlation LM Test dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18: Hasil Breusch Godfrey Serial Correlation LM test model NPF jangka pendek F-statistic 0.033778 Prob. F(2,35) 0.9668 Obs*R-squared 0.084764 Prob. Chi-Square(2) 0.9585 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari tabel 18 dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi pada model NPF jangka pendek karena nilai probabilitas chi-square sebesar 0.9585 lebih besar dari tingkat signifikansi 5%.
4. Heterokedastisitas Uji heterokedastisitas untuk model NPF jangka pendek pada penelitian ini menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey Test dimana hasilnya dapat dilihat pada tabel 19. Pada tabel tersebut, nilai prob. Chi-square pada Obs*R-squared adalah 0.3761, yang berarti lebih besar dari tingkat
signifikansi 5% sehingga heterokedastisitas.
model
NPF jangka
pendek
sudah terbebas dari
masalah
Tabel 19: Hasil Uji Heterokedastisitas Breusch-Pagan-Godfrey model NPF jangka pendek F-statistic 1.056742 Prob. F(6,37) 0.4056 Obs*R-squared 6.436942 Prob. Chi-Square(6) 0.3761 Scaled explained SS 2.825244 Prob. Chi-Square(6) 0.8304 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Uji Hipotesis Jangka Pendek Nilai koefisien determinasi (R-squared) adalah sebesar 0.366029 yang berarti kemampuan variabel independen yaitu FDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate dalam menjelaskan variasi variabel NPF dalam jangka pendek adalah sebesar 36.6% dan sisanya sebesar 63.4% ditentukan variabel bebas di luar model. Dari tabel 15, dapat dilihat bahwa nilai probabilitas F-statistik adalah sebesar 0.006960, yang berarti lebih kecil dari 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang meliputi Finance to Deposit Ratio, Capital Adequacy Ratio, Produk Domestik Bruto, inflasi dan BI rate secara simultan mempengaruhi NPF bank umum syariah dalam jangka pendek. Secara parsial, dapat diketahui bahwa variabel FDR memiliki koefisien sebesar 0.006015 dan tstatistik sebesar 0.687437 yang berarti lebih kecil dari t-tabel sebesar 1.687 sehingga kesimpulannya secara parsial variabel FDR tidak berpengaruh positif terhadap NPF dalam jangka pendek. Variabel CAR memiliki t-statistik sebesar -0.673541 dan koefisien sebesar -0.025340 sehingga dapat dikatakan bahwa secara parsial, CAR tidak berpengaruh signifikan positif terhadap NPF jangka pendek. Variabel PDB nilai t-statistik adalah sebesar 0.783184 dan nilai koefisien sebesar 0.00000158 sehingga dapat disimpulkan bahwa secara parsial PDB tidak berpengaruh negatif terhadap NPF dalam jangka pendek. Variabel inflasi memiliki nilai t-statistik sebesar 1.900802 yang lebih besar dari t-tabel dan koefisien sebesar -0.077384 sehingga secara parsial inflasi berpengaruh negatif terhadap NPF jangka pendek. Variabel BI Rate (BIR) memiliki koefisien sebesar -0.044189 dan t-statistik sebesar 0.193087 sehingga dapat dikatakan bahwa BI rate tidak berpengaruh positif terhadap NPF dalam jangka pendek. Model Jangka Panjang Hasil estimasi model jangka panjang untuk NPF dapat dilihat pada tabel 20 sebagai berikut.
Tabel 20: Hasil Regresi Berganda Model NPF Jangka Panjang Variabel
Koefisien
Std. Error
t-statistic
Prob
C
5.793839
0.030744
1.884523
0.0670
Kesimpulan
FDR
-0.052085
0.008449
-6.164508
0.0000
Signifikan
CARS
-0.116881
0.062753
-1.862553
0.0701
Signifikan
PDB
3.39E-06
9.56E-07
3.542460
0.0010
Signifikan
INF
-0.038127
0.080847
-0.471595
0.6398
Tidak signifikan
BIR
-0.296359
0.137144
-2.160934
0.0369
Signifikan
R-squared
0.872402
Adj. R-squared
0.856043
F- statistic
53.32948
Prob (F- statistic)
0.000000
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari hasil estimasi di atas, maka dapat ditulis persamaan NPF jangka panjang sebagai berikut: NPF = 5.793839 – 0.052085*FDR – 0.116881*CARS + 0.00000339*PDB – 0.038127*INF – 0.296359*BIR Sama halnya pada model jangka pendek, sebelum menginterpretasikan hasilnya, lebih dahulu mengetahui hasil uji asumsi klasik sebegai berikut: 1. Normalitas Penelitian ini menggunakan uji Jarque-Bera dengan hasil uji normalitas untuk model NPF jangka panjang dapat dilihat pada tabel 21 berikut: Tabel 21: Hasil uji Jarque-Bera model NPF jangka panjang Mean
6.90e-16
Median
0.021295
Maximum
0.599094
Minimum
-1.224761
Std. Dev
0.324775
Skewness
-0.160463
Kurtosis
5.804980
Jarque-Bera
2.318671
Probability
0.139637
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Pada tabel 21, nilai probabilitas Jarque-Bera adalah sebesar 0.139637 yang berarti nilainya lebih besar dari tingkat signifikansi 5% sehingga dapat dinyatakan bahwa residual pada model NPF jangka panjang sudah terdistribusi dengan normal. 2. Multikolinearitas Hasil uji multikolinearitas dengan mengunakan korelasi antar variabel independen untuk model NPF jangka panjang dapat dlihat pada tabel 4.22 berikut: Tabel 4.22: Hasil uji korelasi model NPF jangka panjang FDR
FDR
CARS
PDB
INF
BIR
1.000000
-0.241572
-0.791499
-0.000788
-0.841403
CARS
-0.241572
1.000000
-0.109773
0.197074
0.047786
PDB
-0.791499
-0.109773
1.000000
0.051360
0.853329
INF
-0.000788
0.197074
0.051360
1.000000
0.026618
BIR
-0.841403
0.047786
0.853329
0.026618
1.000000
Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari tabel 22, dapat dilihat bahwa semua variabel independen yaitu FDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate memiliki nilai korelasi di bawah 0.9 dengan variabel independen lain sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan pada model NPF jangka panjang sudah terbebas dari masalah multikolinearitas. 3. Autokorelasi Hasil dari uji autokorelasi menggunakan Serial Correlation LM Test dapat dilihat pada tabel 23. Tabel 23: Hasil Breusch Godfrey Serial Correlation LM test model NPF jangka panjang F-statistic 0.334310 Prob. F(2,35) 0.7343 Obs*R-squared 1.147783 Prob. Chi-Square(2) 0.7732 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa tidak terdapat masalah autokorelasi pada model NPF jangka panjang karena nilai probabilitas chi-square sebesar 0.7732 lebih besar dari tingkat signifikansi 5%. 4. Heterokedastisitas Salah satu asumsi penting dalam regresi linier adalah residualnya harus memiliki varians yang sama (homokedastisitas). Uji heterokedastisitas pada penelitian ini menggunakan Breusch-PaganGodfrey Test dengan hasil sebagai berikut: Tabel 24: Hasil Uji Heterokedastisitas Breusch-Pagan-Godfrey model NPF jangka panjang F-statistic 1.694151 Prob. F(6,37) 0.1589 Obs*R-squared 8.029869 Prob. Chi-Square(6) 0.1546 Scaled explained SS 14.49020 Prob. Chi-Square(6) 0.0128 Sumber: Hasil output EViews 8 (2016)
Pada tabel 24 nilai prob. Chi-square pada Obs*R-squared adalah 0.1546, lebih besar dari tingkat signifkansi 5% sehingga asumsi homokedastisitas terpenuhi atau dengan kata lain residual pada model NPF jangka panjang terbebas dari masalah heterokedastisitas. Uji Hipotesis Jangka Panjang Nilai koefisien determinasi sebesar 0.872402 mengindikasikan bahwa kemampuan variabel independen yaitu FDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate dalam menjelaskan variasi variabel NPF dalam jangka panjang adalah sebesar 87.2% dan sisanya ditentukan oleh variabel independen lain di luar model. Sementara secara simultan, FDR, CAR, PDB, inflasi dan BI rate secara mempengaruhi NPF dalam jangka panjang dilihat dari probabilitas F-statistik adalah 0.000000 lebih kecil dari 5%. Secara parsial, variabel FDR memiliki koefisien sebesar -0.052085 dengan t-statistik sebesar 6.164508. Nilai t-statistik tersebut lebih besar dari t-tabel 1.686 pada derajat bebas 38 dan tingkat signifikansi 5% sehingga disimpulkan bahwa variabel FDR berpengaruh negatif terhadap NPF dalam jangka panjang. Variabel CAR memiliki t-statistik sebesar 1.862553 yang lebih besar dari t-tabel pada tingkat signfikansi 5% dan koefisien sebesar -0.116881. Sehingga secara parsial, CAR berpengaruh signifikan positif terhadap NPF dalam jangka panjang.
Untuk variabel PDB, nilai t-statistik sebesar 3.542460 dan nilai koefisien sebesar 0.00000339. Jadi pada jangka panjang PDB berpengaruh signifikan terhadap NPF dengan arah hubungan positif. Variabel inflasi (INF) memiliki nilai koefisien sebesar -0.038127 dan nilai t-statistik sebesar 0.471595 sehingga secara parsial inflasi tidak berpengaruh positif terhadap NPF dalam jangka panjang. Variabel BI Rate (BIR) memiliki koefisien sebesar -0.296359 dengan t-statistik 2.160934 sehingga kesimpulannya secara parsial BI rate berpengaruh negatif terhadap NPF bank umum syariah pada jangka panjang. Pembahasan Pengaruh LDR atau FDR terhadap NPL atau NPF Menurut hasil penelitian, dalam jangka pendek variabel Loan to Deposit Ratio tidak mempengaruhi NPL yang mewakili kredit bermasalah bank umum konvensional. Hasil ini bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio berpengaruh positif terhadap NPL. Dapat dilihat pada tabel 25, pada saat Loan to Deposit Ratio naik tidak selalu diikuti dengan kenaikan NPL pada jangka pendek. Ada kalanya saat LDR naik justru NPL-nya turun, namun ada kalanya ketika LDR naik NPL juga ikut naik, karena ketidakpastian hubungan antara keduanya sehingga dalam penelitian ini hasil pengujian menunjukkan bahwa Loan to Deposit Ratio tidak berpengaruh terhadap NPL dalam jangka pendek. Fluktuasi dana pihak ketiga yang tidak menentu dibandingkan dengan penyaluran kredit yang meningkat secara terus-menerus juga dapat menyebabkan hubungan keduanya tidak signifikan. Tabel 25: Perbandingan NPL dan LDR Bank Umum Konvensional Tahun Bulan NPL LDR 2012
2013
2014
2015
March
2.30
79.89
June
2.07
82.57
September
2.05
83.30
December
1.87
83.58
March
1.92
84.93
June
1.83
86.80
September
1.83
88.91
December
1.80
89.70
March
2.02
91.17
June
2.15
90.25
September
2.28
89.93
December
2.08
89.42
March
2.30
87.58
June
2.51
88.46
September
2.66
88.54
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2015), data diolah
Selain itu, kemungkinan peningkatan kredit bermasalah disebabkan karena faktor debitur atau faktor makroekonomi lain selain dari rasio likuiditas ini. Hasil penelitian ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Vasiliki Makri (2014) yang menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap kredit bermasalah. Dalam jangka panjang, Loan to Deposit Ratio berpengaruh negatif terhadap tingkat kredit bermasalah bank umum konvensional sehingga bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa LDR berpengaruh positif terhadap NPL. Penelitian ini memiliki hasil yang sama dengan temuan yang dilakukan oleh Soebagio (2005), Faiz (2010), dan Poetry dan Sanrego (2011)
dimana hasilnya LDR memiliki pengaruh negatif terhadap kredit bermasalah. LDR yang tinggi dapat disebabkan oleh kebijakan bank yang cenderung bersifat agresif dimana ekspansi kredit dilakukan sebisa mungkin dengan tetap mempertahankan kualitas kredit. Sedangkan dana yang masuk berupa DPK tidak terlalu banyak, karena keduanya tidak seimbang maka dapat mengakibatkan LDR menjadi tinggi. Di sisi lain, kredit terus meningkat namun bukan berarti dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit memiliki kualitas yang rendah pula. Sehingga kenaikan pada LDR tidak membuat NPL ikut naik. Dapat dilihat pada tabel sebelumnya, bahwa saat Loan to Deposit ratio mengalami kecenderungan naik, tingkat kredit bermasalah malah cenderung turun. Sama halnya dengan LDR pada bank umum konvensional, Finance to Deposit Ratio juga tidak berpengaruh signifikan terhadap Non Performing Financing bank umum syariah pada jangka pendek. Hal ini disebabkan karena kenaikan pada FDR dalam jangka pendek tidak selalu diikuti dengan kenaikan NPF bank syariah begitupun saat terjadi penurunan FDR bukan berarti NPF juga ikut turun. Inilah yang menyebabkan hasil penelitian menjadi tidak signifikan pada jangka pendek. Terjadinya pembiayaan bermasalah pada jangka pendek bisa saja disebabkan faktor lain seperti yang dijelaskan pada sebelumnya. Untuk lebih memudahkan memahami perbandingan antara rasio NPF dan FDR dapat dilihat pada grafik 1. Grafik 1: Perbandingan NPF dan FDR Bank Umum Syariah
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2015), data diolah
Dalam jangka panjang, Finance to Deposit Ratio memiliki pengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah sama seperti pada bank umum konvensional. Dapat dilihat pada grafik 1, ketika FDR tinggi justru rasio NPF-nya turun. Hal ini disebabkan karena jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun bank syariah masih sangat terbatas. Prinsip bagi hasil yang diterapkan pada bank umum syariah menyebabkan masyarakat masih merasa enggan untuk menyimpan dananya di bank syariah. Sementara pembiayaan masih tetap berkembang dikarenakan bank umum syariah memiliki ruang terbatas dalam penyaluran dana dibandingkan dengan bank umum konvensional. Untuk menjaga posisi likuiditasnya, bank syariah berupaya hingga dapat menekan rasio FDR pada dua tahun terakhir. Namun hal tersebut tidak menyebabkan pembiayaan bermasalah juga ikut turun. Pembiayaan bermasalah terus naik seiring dengan semakin banyaknya pembiayaan yang disalurkan bank umum syariah dari tahun ke tahun. Hasil temuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Poetry dan Sanrego (2011). Pengaruh CAR terhadap NPL atau NPF Sesuai dengan hipotesis penelitian, variabel Capital Adequacy Ratio terbukti berpengaruh positif terhadap kredit bermasalah pada bank umum konvensional baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil yang diperoleh ini semakin mendukung teori yang menyatakan bahwa semakin tinggi Capital Adequacy Ratio maka akan semakin tinggi pula terjadinya kredit bermasalah. Capital Adequacy Ratio menunjukkan besarnya kemampuan bank dalam mempertahankan kecukupan modal (Suhardjono, 2011). Semakin tinggi CAR yang dimiliki suatu bank, maka menunjukkan bahwa modal
yang dimiliki bank juga semakin besar. Dengan semakin banyaknya modal yang dimiliki maka akan membuat bank menyalurkan kredit dalam jumlah yang lebih besar pula sehingga risiko terjadinya kredit bermasalah juga akan meningkat. Selama periode penelitian, pergerakan CAR bank umum konvensional berada di kisaran 15%20%, jauh di atas ketentuan Bank Indonesia yang mengatur batas minimal sebesar 8%. Besarnya permodalan yang dimiliki oleh bank umum konvensional tentunya tidak akan disia-siakan begitu juga. Oleh karena itu, maka bank umum konvensional akan menambah jumlah kredit yang disalurkannya kepada masyarakat. Peningkatan jumlah kredit yang disalurkan akan mengakibatkan kemungkinan terjadinya risiko kredit bermasalah juga semakin meningkat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Chang (2006) dan Adisaputra (2012) yang menyatakan bahwa kenaikan CAR akan mengakibatkan kenaikan pada NPL. Pada bank umum syariah, Capital Adequacy Ratio (CAR) tidak berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah yang diwakili oleh variabel Non Performing Financing (NPF) dalam jangka pendek. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian yang menduga bahwa CAR akan berpengaruh positif terhadap NPF. Menurut hasil penelitian, dalam jangka pendek CAR tidak mampu menerangkan pembiayaan bermasalah pada bank umum syariah. Hal ini dapat disebabkan karena permodalan yang dimiliki bank umum syariah masih lemah pada jangka pendek, sementara pembiayaan terus berkembang dari waktu ke waktu. Grafik 2: Perbandingan antara CAR dan NPF Bank Umum Syariah
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2015), data diolah
Seperti yang terlihat pada grafik 2, permodalan bank syariah masih sangat fluktuatif pada jangka pendek. CAR bank umum syariah cenderung turun dan hanya mengalami peningkatan beberapa kali saja dalam jangka pendek, sementara NPF bank syariah selalu meningkat. Peningkatan terjadinya pembiayaan bermasalah ini diduga disebabkan adanya faktor kegagalan usaha debitur yang dapat mengancam kredibilitas debitur dalam mengembalikan pembiayaannya. Inilah mengapa hasil penelitian menunjukkan bahwa CAR tidak mampu mempengaruhi NPF bank umum syariah dalam jangka pendek. Temuan ini sejalan dengan temuan Rahmadani (2015) yang menyatakan bahwa CAR tidak berpengaruh terhadap pembiayaan. Bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa CAR berpengaruh positif terhadap NPF, pada jangka panjang CAR malah berpengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah bank umum syariah. Hasil ini didukung dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Makri (2013) yang menemukan bahwa rasio permodalan ini berpengaruh negatif terhadap kredit bermasalah. Peningkatan permodalan yang dimiliki bank umum syariah akan menurunkan risiko terjadinya pembiayaan bermasalah pada jangka panjang, sebaliknya jika permodalan terus menurun dari waktu ke waktu maka akan menyebabkan pembiayaan bermasalah semakin meningkat. Dapat dilihat pada grafik 2 bahwa permodalan yang dimiliki bank umum syariah masih lemah selama periode penelitian,
sementara pembiayaan bermasalah terus meningkat. Rasio CAR bank umum syariah yang rendah menggambarkan bahwa risiko atas aktiva yang dimiliki bank syariah masih tinggi sedangkan permodalan yang dimiliki masih belum mumpuni dalam menutupi risiko tersebut. Akibatnya pembiayaan bermasalah pun ikut meningkat seiring dengan ketidakmampuan modal yang dimiliki dalam menutupi setiap risiko yang mungkin terjadi. Pengaruh PDB terhadap NPL atau NPF Menurut hasil penelitian, variabel PDB berpengaruh positif terhadap NPL baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. Hasil ini bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa PDB berpengaruh negatif terhadap kredit bermasalah. PDB merupakan variabel makroekonomi yang menggambarkan pertumbuhan suatu negara. Seperti yang kita tahu, jumlah PDB Indonesia dari tahun ke tahun memang selalu meningkat dalam segi nominal. Meskipun pada dua tahun belakangan ini pertumbuhannya agak melambat dibandingkan tahun sebelumnya. Seiring dengan PDB yang meningkat, terjadinya kredit bermasalah yang melanda bank umum konvensional juga meningkat seperti yang terlihat pada grafik 3. Baik PDB dan NPL memiliki tren naik selama periode penelitian. Grafik 3: Pergerakan PDB dan NPL BUK
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2015), data diolah Kenaikan Produk Domestik Bruto Indonesia akan menyebabkan kenaikan adanya kredit bermasalah pada bank umum konvensional. Hasil ini tidak sesuai dengan hipotesis penelitian maupun penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa kenaikan PDB akan dapat menekan risiko kredit bermasalah. Terjadinya kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa semua bidang usaha sedang dalam kondisi baik yang ditandai dengan peningkatan produktivitas. Saat pertumbuhannya naik, biasanya kegiatan usaha juga akan menguntungkan sehingga pendapatan yang diterima masyarakat akan meningkat. Ketika pendapatan meningkat maka akan mendorong masyarakat untuk meningkatkan saving. Seperti teori pertumbuhan neo klasik yang dibawa oleh Sollow-Swan, dimana pertumbuhan ekonomi ditandai dengan pertumbuhan output dan adanya kecenderungan menabung dari masyarakat. Semakin tingginya dana yang masuk pada perbankan sebagai akibat kenaikan saving masyarakat maka akan menyebabkan terjadinya penawaran kredit yang lebih tinggi. Pada akhirnya hal ini dapat meningkatnya risiko kredit bermasalah sehingga rasio NPL akan ikut naik.
Grafik 4: Pergerakan PDB dan NPF BUS
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2015), data diolah
Sementara pada bank umum syariah, PDB tidak mempengaruhi adanya pembiayaan bermasalah pada jangka pendek. Kenaikan PDB pada jangka pendek tidak selalu diikuti dengan kenaikan pembiayaan bermasalah. Dapat dilihat pada grafik 4 bahwa fluktuasi antara keduanya berbeda pada jangka pendek meskipun terdapat kecenderungan naik dalam jangka panjang. Peningkatan PDB yang terjadi tidak mempengaruhi adanya pembiayaan yang disalurkan oleh bank umum syariah. Meskipun kenaikan PDB dapat mengakibatkan kenaikan di sisi penghimpunan dana, namun bank syariah sepertinya masih belum terlalu diminati masyarakat sehingga kenaikan pada DPK tidak terlalu besar dan tidak begitu berpengaruh dalam penawaran pembiayaan bank umum syariah. Sedangkan pada jangka panjang, PDB berpengaruh positif terhadap pembiayaan bermasalah bank umum syariah. Sama halnya yang terjadi pada bank umum konvensional, dengan adanya kenaikan pada PDB menunjukkan bahwa iklim usaha memang sedang bagus. Peningkatan kegiatan usaha tersebut meningkatkan pendapatan yang diterima masyarakat sehingga mendorong kenaikan tabungan. Meskipun pada jangka pendek kenaikannya tidak berpengaruh, namun pada jangka panjang baru terlihat pengaruh yang sebenarnya. Dimana makin tinggi dana yang masuk pada bank syariah maka akan menyebabkan terjadinya penawaran pembiayaan yang lebih tinggi sehingga risiko pembiayaan bermasalah pun ikut meningkat. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Poetry dan Sanrego (2011) dengan hasil bahwa NPF merespon positif adanya pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pengaruh variabel inflasi terhadap NPL atau NPF Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, variabel inflasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil ini bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa inflasi memiliki pengaruh positif terhadap kredit bermasalah. Indonesia sebagai negara berkembang memang sangat rentan terhadap masalah-masalah global, seperti kenaikan harga minyak dunia. Hal-hal seperti itu dapat mempengaruhi kestabilan harga barang dan jasa yang ada di dalam negeri. Akibatnya, inflasi di Indonesia sangat fluktuatif baik dalam periode bulanan maupun tahunan. Selama kurun waktu penelitian, inflasi di Indonesia pernah menyentuh hingga 3.29% pada Juli 2013, namun juga pernah menyentuh harga terendah hingga -0.36% pada Februari 2015 (m/m). Penurunan inflasi pada tahun ini didukung karena adanya penurunan harga minyak mentah dunia. Meskipun inflasi turun, hal ini tidak membuat kredit bermasalah juga ikut turun. Kredit bermasalah pada bank umum konvensional cenderung naik dari tahun ke tahun, sementara inflasi tidak dapat diprediksi secara pasti. Ketidakstabilan tingkat harga di Indonesia ini dianggap tidak dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional. Hasil ini sejalan dengan penelitian Haddad (2003), Khemraj dan Pasha (2009), Makri (2013), Tanaskovic dan Jandric (2014).
Begitu juga pada pembiayaan bermasalah bank umum syariah tidak dipengaruhi oleh inflasi di Indonesia dalam jangka panjang. Naik turunnya inflasi tidak mempengaruhi pergerakan kredit maupun pembiayaan bermasalah. Meskipun inflasinya naik, hal ini tidak mempengaruhi kewajiban debitur untuk mengembalikan kredit ataupun pembiayaan yang dipinjamnya. Masyarakat di Indonesa ternyata memiliki kecenderungan untuk tetap mengonsumsi barang dan jasa meskipun harganya naik, sehingga tidak terjadi penurunan daya beli masyarakat yang dapat menyebabkan penurunan penjualan produsen. Sehingga meskipun inflasinya naik, tidak akan menganggu pendapatan dan keuntungan produsen selaku debitur sehingga tidak berdampak pada kemampuannya dalam membayar kredit. Adanya peningkatan pada kredit maupun pembiayaan bermasalah bisa disebabkan oleh faktor lain, seperti itikad baik tidaknya masing-masing debitur dalam mengembalikan pinjamannya tersebut. Sementara pada jangka pendek, inflasi berpengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah bank umum syariah. Dapat dilihat pada grafik 5 pada jangka pendek ketika inflasi mengalami kenaikan, NPF justru mengalami hal sebaliknya. Hal ini disebabkan karena ekspektasi inflasi pada jangka pendek, dimana masyarakat percaya bahwa akan terjadi kenaikan inflasi di kemudian hari. Ketika inflasi naik, harga barang dan jasa menjadi lebih mahal. Akibatnya masyarakat akan membatasi konsumsi mereka, termasuk permintaan pembiayaan juga akan ikut turun. Karena masyarakat tidak ingin menambah beban biaya hidup mereka. Oleh karena itu, ketika inflasi naik, risiko pembiayaan bermasalah akan turun seiring dengan menurunnya permintaan pembiayaan pada bank umum syariah. Grafik 5: Pergerakan NPF dan inflasi
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2015), data diolah
Pengaruh variabel BI rate terhadap NPL atau NPF Hasil penelitian pada jangka pendek menunjukkan bahwa variabel BI rate yang mewakili suku bunga di Indonesia tidak berpengaruh terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional. Hasil ini bertentangan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa BI rate berpengaruh positif terhadap kredit bermasalah. Dalam jangka pendek, BI rate memang tidak banyak berubah-ubah dan tergolong stabil, sehingga bank pun tidak akan merespon dengan menaikkan atau menurunkan suku bunga kreditnya. Hal inilah yang menyebabkan BI rate tidak bepengaruh signifikan terhadap kredit bermasalah. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Febrianti (2015). Sesuai dengan hipotesis penelitian, dalam jangka panjang variabel BI rate memiliki pengaruh positif terhadap NPL bank umum konvensional. Kenaikan yang terjadi pada BI rate akan menyebabkan suku bunga simpanan maupun kredit ikut meningkat. Seperti pada teori Loanable Funds, ketika suku bunga naik maka suku bunga simpanan juga akan ikut naik dan mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya di bank sehingga dana yang masuk di bank meningkat. Peningkatan dana tersebut akan dimanfaatkan bank untuk melakukan penawaran kredit lebih tinggi lagi sehingga risiko terjadinya kredit bermasalah akan ikut meningkat. Selain itu, menurut Sutoyo (1998:18) dan Siamat (2005: 360) peningkatan suku bunga kredit tersebut juga akan menyebabkan menurunnya kemampuan debitur (yang sudah meminjam dana di bank) dalam membayar kredit yang telah dipinjamnya sehingga risiko terjadinya kredit bermasalah bank umum konvensional akan ikut meningkat. Apalagi pada bank
umum konvensional biasanya menerapkan floating rate yang berubah-ubah sesuai dengan aturan suku bunga terbaru. Hasil penelitian ini sejalan dengan temuan Khemraj dan Pasha (2009), Adebola (2011), Poetry dan Sanrego (2011), Farhan (2012), dan Messai (2013). Sementara pada perbankan syariah, BI rate tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap NPF dalam jangka pendek. Hasil ini sama dengan apa yang terjadi bank kredit bermasalah bank umum konvensional pada jangka pendek. Apalagi bank syariah dalam kegiatan operasionalnya memang tidak menggunakan suku bunga, melainkan menggunakan bagi hasil. Namun pada jangka panjang, BI rate memiliki pengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah pada bank umum syariah. Bank syariah yang menggunakan sistem bagi hasil ternyata juga dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga. Terjadinya peningkatan pada BI rate akan menyebabkan pembiayaan bermasalah menurun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Poetry dan Sanrego (2011) dan Irum (2012). Jika dihubungkan dengan teori Loanable Funds, kenaikan suku bunga dapat menyebabkan kenaikan pada sisi penghimpunan dana dimana masyarakat akan terdorong untuk saving di bank. Jika bank tersebut memiliki excess liquidity (kelebihan dana) maka bank akan melakukan penawaran kredit lebih banyak lagi seperti yang terjadi di bank konvensional. Namun bank syariah di Indonesia memang cenderung memiliki DPK yang rendah seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Jadi pada bank umum syariah, tidak diterapkan kebijakan yang agresif dimana penawaran pembiayaan ditingkatkan dari sebelumnya, di sisi lain ketika suku bunga naik permintaan kredit akan membuat masyarakat enggan untuk meminjam dana sehingga pada bank umum syariah kenaikan suku bunga membuat risiko terjadinya pembiayaan bermasalah menurun karena permintaan pembiayaannya rendah.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor internal bank yang meliputi Loan to Deposit Ratio atau Finance Deposit Ratio dan Capital Adequacy Ratio mempengaruhi kredit bermasalah bank umum konvensional dan pembiayaan bermasalah bank umum syariah pada jangka panjang. Sementara pada jangka pendek, hanya Capital Adequacy Ratio yang berpengaruh terhadap kredit bermasalah pada bank umum konvensional. 2. Loan to Deposit Ratio memiliki pengaruh negatif terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional pada jangka panjang, namun pada jangka pendek tidak berpengaruh terhadap kredit bermasalah. Begitu halnya pada bank umum syariah, Finance to Deposit Ratio tidak berpengaruh terhadap pembiayaan bermasalah jangka pendek namun berpengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah pada jangka panjang. 3. Capital Adequacy Ratio memiliki pengaruh positif terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara untuk bank umum syariah, CAR tidak berpengaruh pada jangka pendek namun berpengaruh secara negatif terhadap pembiayaan bermasalah pada jangka panjang. 4. Untuk faktor eksternal yang meliputi Produk Domestik Bruto, inflasi dan BI rate, menurut hasil penelitian hanya Produk Domestik Bruto dan BI rate yang memiliki pengaruh pada kredit bermasalah bank umum konvensional dan pembiayaan bermasalah bank umum syariah pada jangka panjang. Sementara pada jangka pendek, hanya PDB yang berpengaruh terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional dan inflasi yang berpengaruh pada pembiayaan bermasalah bank umum syariah. 5. Produk Domestik Bruto yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, menunjukkan pengaruh positif terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara pada pembiayaan bermasalah bank umum syariah, PDB tidak berpengaruh pada jangka pendek dan berpengaruh positif pada jangka panjang. 6. Pada bank umum konvensional, inflasi tidak memiliki pengaruh terhadap kredit bermasalah baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara pada bank umum syariah, inflasi
7.
berpengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah pada jangka pendek namun tidak berpengaruh pada jangka panjang. BI rate tidak berpengaruh terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional dan pembiayaan bermasalah bank umum syariah pada jangka pendek. Namun pada jangka panjang, BI rate memiliki pengaruh positif terhadap kredit bermasalah bank umum konvensional dan berpengaruh negatif terhadap pembiayaan bermasalah bank umum syariah.
Saran Dari hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dijelaskan, maka saran yang dapat penulis sampaikan antara lain: 1. Baik bank konvensional maupun bank syariah di Indonesia harus selalu memperhatikan faktor fundamental perbankan yang dapat berpengaruh terhadap risiko terjadinya kredit atau pembiayaan bermasalah. Terutama pada perbankan syariah yang mana memiliki rasio likuiditas yang terlampaui tinggi yang mencerminkan bahwa dana pihak ketiga yang masuk masih rendah sementara pembiayaannya terus naik dari waktu ke waktu. Diharapkan manajemen aktiva-pasiva lebih diperbaiki lagi dengan cara membuat kebijakan-kebijakan yang dapat menstimulasi pertumbuhan dana pihak ketiga sehingga antara penghimpunan dan penyaluran dana dapat diseimbangkan. 2. Bukan hanya dari segi aktiva-pasiva saja, namun pada manajemen kredit juga harus diperbaiki lagi. Untuk memaksimalkan pendapatan yang diterima bank dari kredit atau pembiayaannya, bank memang dapat melakukan ekspansi kredit, namun diharapkan ekspansi tersebut juga melihat kondisi kesehatan bank dan diimbangi dengan analisis kredit yang lebih ketat lagi. Hal itu termasuk pada pengetatan pengawasan usaha debitur maupun kondisi debitur dalam pengajuan kredit atau pembiayaan sehingga kredit atau pembiayaan bermasalah dapat ditekan sebisa mungkin. 3. Pemerintah dalam artian Bank Indonesia harus dapat mengendalikan kestabilan inflasi di Indonesia sehingga dapat membendung ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan barang dan jasa. Selain itu Bank Indonesia diharapkan segera membuat peraturan terkait kesehatan bank untuk bank syariah mengingat selama ini peraturannya masih disamakan dengan bank konvensional yang secara manajerial sudah mumpuni di bidang perbankan ketimbang bank syariah yang masih baru berkembang di Indonesia. 4. Dikarenakan penelitian ini masih penuh keterbatasan, diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat menyempurnakan dengan menambah variabel yang digunakan dimana variabel baik dari sisi internal maupun eksternal yang mungkin berpengaruh terhadap kredit bermasalah masih sangat banyak yang belum dimasukkan pada penelitian ini. Penambahan periode penelitian juga perlu dilakukan sehingga hasil penelitian menjadi lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan analisis data dengan model lain untuk mengetahui model mana yang lebih tepat dalam menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kredit bermasalah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Masyhud. 2006. Manajemen Resiko. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ariefianto, M.Doddy. 2012. Ekonometrika: Esensi dan Aplikasi dengan Menggunakan EViews. Jakarta: Erlangga. Badan Pusat Statistik. 2015. Data Inflasi. http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/907 diakses pada 3 Desember 2015. ______________________________. 2015. Produk Domestik http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/827 diakses pada 3 Desember 2015.
Bruto.
Bank Indonesia. 2015. BI rate. http://www.bi.go.id/id/moneter/bi-rate/data/Default.aspx diakses pada 3 Desember 2015. _______________. 2015. Statistik Perbankan Indonesia. http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/indonesia/Default.aspx diakses pada 20 November 2015. Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Firmansyah, Irman. 2014. “Determinant of Non Performing Loan: The Case Of Islamic Bank In Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Vol. 17, (No. 2), Oktober. http://www.bi.go.id/id/publikasi/jurnalekonomi/Documents/Determinant%20of%20Non%20Perf orming%20Loan%3B%20The%20Case%20of%20Islamic%20Bank%20in%20Indonesia.pdf diakses pada 26 September 2015. Greening, Hennie van dan Sonja Brajovic Bratanovic. 2011. Analisis Risiko Perbankan. Jakarta: Salemba Empat Kasmir. 2012. Manajemen Perbankan. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Khemraj, Tarron and Sukrishnalall Pasha. 2014. The Determinants Of Non-Performing Loans: An Econometric Case Study Of Guyana. MPRA Paper No. 53128, posted on 23 January. https://ideas.repec.org/p/pra/mprapa/53128.html diakses pada 26 September 2015. Makri, Vasiliki, Athanasios Tsagkanos, dan Athanasios Bellas. Determinants of Non-Performing Loans: The Case of Eurozone. Panoeconomicus No.2. http://www.doiserbia.nb.rs/img/doi/1452595X/2014/1452-595X1402193M.pdf diakses pada 26 September 2015. Poetry, Zakiyah Dwi dan Yulizar D Sanrego. 2011. “Pengaruh Variabel Makro dan Mikro Terhadap NPL Perbankan Konvensional dan NPF Perbankan Syariah”. Jurnal TAZKIA Islamic Finance & Business Review Vol. 6 (No. 2) Agustus – Desember. http://tifbrtazkia.org/index.php/TIFBR/article/download/53/ diakses pada 22 Agustus 2015. Rusyamsi, Imam. 1999. Assets Liability Management: Strategi Pengelolaan Aktiva Pasiva Bank. Yogyakarta: AMP YKPN. Siamat, Dahlan. 2005. Manajemen Lembaga Keuangan: Kebijakan Moneter dan Perbankan. Jakarta: FE UI. Soebagio, H. 2005. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Non Performing Loan (NPL) Pada Bank Umum Komersial. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana Universitas Dipenogoro. http://core.ac.uk/download/pdf/11711890.pdf diakses pada 18 Oktober 2015. Sutojo, Siswanto. 1998. Menangani Kredit Bermasalah: Konsep, Teknik, dan Kasus. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Tanasković, Svetozar dan Maja Jandrić. Macroeconomic and Institutional Determinants of Nonperforming Loans. Journal of Central Banking Theory and Practice, No.1. http://www.cbcg.me/repec/cbk/journl/vol4no1-4.pdf diakses pada 26 September 2015