1 PENGARUH EMPLOYEE ENGAGEMENT DAN WORKPLACE WELL-BEING TERHADAP TURNOVER INTENTION Studi pada Kantor Akuntan Publik ABC & Rekan
Stefanus Sadana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perbanas Institute
[email protected]
Echy Alsep Vany Kantor Akuntan Publik Price Waterhouse Cooper
[email protected]
Abstract Employee engagement and workplace well-being are two important factors that can affect to turnover intention. The purpose of this study was to analyze how much influence engagement (X1) and workplace well-being (X2) on employee turnover intentions (Y) at Public Accounting Firm ABC & Partners in Jakarta. This study used quantitative method and the research tool used questionnaires of employee engagement and workplace wellbeing on turnover intention were spread to 70 respondent. Data analysis is using multiple linear analysis with additional supported application SPSS 20. The result showed that X1 has score -thitung < -ttabel (-2,346 < 1,996) which is partially affected Y. X2 has score -thitung < -ttabel (-2,628 < -1,996) which is partially affected Y. X1 and X2 have score F hitung > F tabel (7,458 > 3,134) which is simultaneously affected Y. The higher engagement and workplace well-being of an employee, the better they will work and turnover intentions of employees in the organization will be decrease. Keywords: employee engagement, workplace well-being, turnover intentions 1. Pendahuluan Masalah turnover intention pada bagian tertentu, seperti penjualan sering dianggap wajar. Namun demikian, tingkat pengunduran diri auditor rata-rata 25,4% per tahun selama tiga tahun terakhir pada kantor akuntan publik (KAP) ABC dapatkah dianggap wajar? Keberlangsungan dan reputasi organisasi terletak pada modal intelektual, sebagai akumulasi dari pengetahuan, pengalaman, pemahaman, hubungan, proses, inovasi, dan penemuan (Daft, 2010). Oleh karena itu, KAP harus menjaga agar para thought leaders (partners dan experts), staf senior, seperti manajer dan auditor senior, dan staf auditor yunior dapat memberikan layanan jasa terbaik dan berkelanjutan (sustainability) bagi klien. 1.1 Identifikasi Permasalahan Pengunduran diri staf dapat menyebabkan hubungan kerja dengan klien terganggu sehingga target bisnis meleset. Klien merasa tidak puas karena staf audit
2
sering berganti dari tahun ke tahun. Akibatnya, terjadi ketidakefisienan proses audit karena harus menjelaskan kembali proses bisnis kepada auditor yang baru. Pengunduran diri staf secara langsung mengakibatkan peningkatan biaya rekruitmen dan biaya pelatihan. Secara tidak langsung biaya lain-lain seperti lembur dan insentif juga meningkat. Di samping itu, penggantian dan penolakan penugasan membuat suasana keresahan dan kelelahan meningkat . Tabel 1 Angka Pengunduran Diri Staf KAP ABC & Rekan 2008-2011 Tahun Tingkat Pengunduran Diri Staf 2009 2010 2011 Rata-Rata Sumber : KAP ABC & Rekan (2012)
28,2% 33,2% 18,5% 25,4%
Salah satu upaya mencegah turnover adalah program keterikatan pegawai (employee engagement). Program employee engagement dapat memberikan hasil yang positif bagi perusahaan (Saks, 2005). Hasil penelitian Gallup Management Semiannual Employee Engagement Indeks (Ulrich & Ulrich, 2010) menunjukkan bahwa 29% karyawan merasakan keterikatan terhadap pekerjaan dan perusahaannya, sementara 54% merasa tidak ada keterikatan dan 17% secara aktif merasa tidak ada keterikatan. Untuk mengurangi turnover intention, perusahaan dapat juga melakukan sejumlah program, antara lain pengelolaan kenyamanan tempat kerja (workplace wellbeing). Judit dan Csikszentmihalyi (Shahar, 2010) mengungkapkan bahwa setiap orang menginginkan adanya waktu luang dalam bekerja. Temuan lainnya adalah setiap orang ingin memiliki ‘flow’ sendiri pada saat bekerja. Pengertian flow adalah ‘the zone’ yaitu menyatu dengan apa yang dikerjakan, melakukan yang terbaik (peak performance) dan menikmati diri sendiri (peak experience). Untuk menjadi lebih nyaman, karyawan harus memiliki emosi positif dan mampu mengevaluasi setiap pekerjaan yang dilakukan.
3 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini merupakan studi empiris untuk mencari tahu lebih lanjut
pengaruh program keterikatan karyawan (employee engagement) dan kenyamanan tempat kerja (workplace well-being) pada auditor KAP ABC & Rekan terhadap turnover intention. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pengaruh keterikatan karyawan (employee engagement) terhadap turnover intention pada auditor KAP ABC & Rekan? 2) Bagaimana pengaruh workplace well-being terhadap turnover intention pada auditor KAP ABC & Rekan? 3) Bagaimana pengaruh workplace well-being dan employee engagement terhadap turnover intention pada auditorKAP ABC & Rekan? 2. Kajian Teori 2.1 Intensi Keluar (Turnover Intention) Ketika seorang pekerja merasa tidak puas dengan pekerjaannya, akan muncul keinginan untuk keluar sebelum pada akhirnya ia akan benar-benar keluar dari perusahaan. Intensi keluar sebagai satu perilaku muncul akibat adanya intensi untuk berhenti.
Sedangkan, menurut Mobley (Munandar, 2011) turnover intention
adalah:‘the withdrawal decision process presented here suggests that thinking of quittingis the next logical step after experienced dissatisfaction and that intention to leave’. Dengan kata lain, intensi keluar adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari suatu pengalaman mengecewakan yang dialami individu dalam suatu organisasi. Menurut Chang & Chang (2008), intensi ke luar merupakan proses berpikir sebelum munculnya perilaku turnover. Tett & Meyer (dalam Marsi, 2009) mengartikan intensi keluar, “the conscious and deliberate wilfulness of the workers to leave the organization”, yaitu keinginan dan kesadaran dari karyawan untuk
4
meninggalkan perusahaan tempat dia bekerja. Intensi juga diartikan sebagai satu perilaku khusus dengan arti, tujuan atau pun rencana tertentu di dalam pikiran seseorang (Chang & Chang, 2008). Sebuah studi yang dilakukan oleh Mobley (Morris, 2009), menunjukkan bahwa munculnya pikiran untuk berhenti atau keluar dari perusahaan merupakan langkah lanjutan setelah seseorang merasa tidak puas sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai “intention to leave”. Intensi keluar merupakan sebuah kecenderungan. Jika di dalam sebuah perusahaan terdapat banyak karyawan yang memiliki intensi keluar maka perusahaan harus mencari tahu penyebab permasalahan tersebut. Dalam penelitian ini, definisi intensi keluar yang digunakan adalah penggabungan dari definisi yang telah diajukan oleh Mobley (Hung & Tsai, 2005) dan Tett & Meyer (Marsi, 2009). Intensi keluar dalam penelitian ini didefinisikan, “proses pengambilan keputusan seseorang untuk meninggalkan perusahaan tempat dia bekerja.” 2.2 Keterikatan Karyawan (employee engagement) Keterikatan karyawan (employee engagement) adalah sebuah konsep yang relatif baru dan belum ada konsep yang disepakati (Saks, 2006). Schaufeli et al (2002) menyatakan bahwa keterikatan karyawan mengacu pada pikiran yang ditandai dengan persepsi optimistis untuk memenuhi tugas. Pendapat lain menambahkan bahwa keterikatan karyawan adalah keterlibatan, kepuasan, dan antusiasme individu dalam melakukan pekerjaan (Harter, Schmidt, dan Keyes 2002). Sementara itu, May (2004) mengidentifikasikan bahwa kepemimpinan yang efektif, hubungan dengan rekan kerja, tugas yang menarik dan pekerjaan yang efektif mampu memprediksi keterikatan karyawan. Kular (2008) berpendapat keterikatan
5
mengacu pada tingkat energi pekerjaan, keyakinan yang positif dan perasaan tentang organisasi, serta kondisi kerja dan nilai pekerjaan. Di sisi lain, The Gallup Organization, Lucey, Bateman, dan Hines (Little & Little, 2006) mengembangkan indeks keterikatan karyawan sebagai pengukuran sejauh mana karyawan merasa terhubung dengan pihak perusahaan dan sejauh mana karyawan merasa terhubung dengan pelanggan perusahaan. Selanjutnya, Wellins, Bernthal, dan Phelps (2008) mengartikan keterikatan karyawan sebagai sejauh mana individu merasa memiliki nilai (value), kenyamanan (enjoy), dan keyakinan (belief) tentang apa yang mereka kerjakan. Dalam value dijelaskan sebagai sejauh mana individu diakui dan dihargai atas kontribusi yang telah mereka berikan kepada perusahaan. Sementara itu, kenyamanan (enjoyment) terjadi ketika individu merasa senang dan puas atas apa yang telah ia kerjakan karena pekerjaan dan perannya sesuai dengan minat dan kemampuan yang ia miliki. Keyakinan atau belief adalah perasaan individu bahwa ia telah memberikan kontribusi yang bermakna bagi pekerjaannya, organisasinya, dan masyarakat secara keseluruhan. Semakin tinggi pemaknaannya tentang kontribusi yang telah diberikan, semakin tinggi pula keterikatannya. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan yang diajukan oleh Schaufeli dan Bakker (2003). Mereka berpendapat bahwa keterikatan dikaitkan dengan kelelahan mental (burnout). Keterikatan dan kelelahan mental tidak bisa dipandang sebagai dua kutub berbeda pada satu kontinum. Burnout dan keterikatan karyawan adalah dua hal yang terpisah satu sama lain, meskipun keduanya berhubungan erat. Schaufeli dan Bakker (2003) menggunakan istilah keterikatan kerja (work engagement) dalam menjelaskan keterikatan karyawan dan mendefinisikannya sebagai keadaan pikiran berkaitan dengan pekerjaan yang bernilai positif. Dalam hal
6
ini keterikatan kerja bertujuan untuk pemenuhan diri (self actuality) dan dicirikan oleh semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan absorpsi (absorption). Selanjutnya, keterikatan kerja merujuk pada keadaan afektif dan kognitif yang persisten dan menetap, serta tidak terfokus pada satu objek, kejadian, perilaku, atau individu tertentu. Dengan kata lain, keterikatan karyawan bukan merupakan suatu keadaan yang terjadi dalam waktu singkat dan spesifik. Hal ini sejalan dengan temuan Ferguson (2007) bahwa salah satu hal yang menjadi kunci untuk membentuk sebuah organisasi agar performa terus meningkat adalah employee engagement. Pada penelitian sebelumnya, employee engagement terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan performa kerja karyawan dan keuntungan organisasi (The Gallup Organization, 2005). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CPID) juga menunjukkan pentingnya hubungan cara pengaturan karyawan, sikap karyawan terhadap pekerjaan, dan performa organisasi (Truss et al dalam Kular et al, 2008). Melalui penelitian tersebut diketahui pula bahwa perusahaan dengan karyawan yang memiliki keterikatan tinggi menghasilkan performa organisasi yang lebih baik dari pada perusahaan dengan karyawan yang memiliki keterikatan rendah. Dalam penelitian ini, digunakan konsep keterikatan karyawan dengan pendekatan yang dikembangkan oleh Schaufeli dan Bakker (2003). Konsep ini dipilih berdasarkan pada beberapa alasan. Alasan pertama keterikatan karyawan sebagai konstruk independen karena dipisahkan dari konsep terkait, yaitu burnout. Dengan demikian, peneliti menganggap konsep ini lebih jelas karena pengukuran keterikatan dianggap sebagai konstruk mandiri yang tidak bergantung pada pengukuran konstruk lain. Alasan kedua adalah aspek kognitif sekaligus afektif tercakup dalam keterikatan
7
karyawan. Keterikatan karyawan juga meliputi pemanfaatan aktif aspek emosi dan perasaan menurut Salanova dan Schaufeli (Chughtai & Buckley, 2008). Keterikatan karyawan dibagi ke dalam tiga dimensi yang didefinisikan secara jelas, yaitu semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan absorpsi (absorption). Hal ini menjadi kelebihan tersendiri karena ketiga dimensi tersebut dianalisis secara terpisah. Dengan demikian, dalam mengukur keterikatan karyawan, peneliti dapat mencari tahu lebih dalam mengenai tingkat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing dimensi sehingga dapat menganalisis mengapa tingkat keterikatan karyawan di suatu organisasi tinggi atau rendah. 2.3 Kenyamanan di Tempat Kerja (Workplace Well-being) Kenyamanan karyawan di tempat kerja (workplace well-being) adalah sebuah konsep yang relatif baru dalam ilmu manajemen sehingga konseptualisasi dan definisinya berbeda-beda (Brunetto, 2013). Workplace well-being memiliki berbagai definisi yang dikembangkan karena menggunakan pendekatan yang berbeda-beda. Danna dan Griffin (1999) menggunakan istilah kesehatan dan kenyamanan (health and well-being) kerja untuk melihat kenyamanan kerja (workplace well-being) karyawan. Menurut Danna dan Griffin (1999), workplace well-being meliputi health, yaitu mencakup gejala fisiologis dan psikologis yang berkaitan dengan konteks medis. Selanjutnya
workplace
well-being,
yaitu
mencakup
pengukuran
terhadap
kesejahteraan berdasarkan pengalaman hidup dan pengalaman yang berkaitan dengan pekerjaan. Sementara itu, Sivanathan, Arnold, Turner, dan Barling (2004) mendefinisikan workplace well-being sebagai peningkatan kesehatan pada karyawan, baik kesehatan psikologis maupun fisik. Di sisi lain, Harter, Schmidt, dan Keyes (2002) mendefinisikan workplace well-being sebagai kesehatan mental karyawan
8
yang dipengaruhi oleh pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan, integrasi sosial, dan kontribusi sosial. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi workplace well-being yang dikembangkan oleh Page (2005). Berdasarkan Page (2005), workplace wellbeing memiliki definisi sebagai: ”...as the sense of well-being that employees gain from their work. It is conceptualized as core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values”. Dari penjelasan tersebut, Page (2005) mendefinisikan sebagai kesejahteraan (well-being) yang diperoleh karyawan dari hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaannya yang terdiri atas perasaan individu secara umum (core affect) disertai dengan kepuasan terhadap nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik pekerjaan (work values). Gambar 1 Teori Employee Mental Health Employee Mental Health
Sebjective Well-being
Dispositional Affect
Workplace well-being
Life Satisfaction
Job satisfaction
Pyschological well-being
Work related affet
Sumber: Page & Veila Brodrick, 2009
Gambar di atas, memperlihatkan bahwa workplace well-being merupakan salah satu konstruk yang memengaruhi employee mental health. Kedudukan workplace
well-being
paralel
dengan
konstruk
subjective
well-being
dan
psychological well-being. Workplace well-being menitikberatkan pada kepuasan terhadap domain-domain pekerjaan serta afeksi yang berkaitan dengan pekerjaan. Workplace well-being sesungguhnya merupakan aplikasi dari subjective wellbeing di tempat kerja. Subjective well-being adalah kondisi pikiran yang positif yang
9
melibatkan seluruh pengalaman hidup. Komponen subjective well-being mencakup kepuasan hidup, afeksi positif dan afeksi negatif (Diener, Lucas & Smith, 1999 dalam Page, 2005). Subjective well-being didasari oleh teori subjective well-being homeostatis. Menurut teori ini, setiap individu telah memiliki satu ‘set point’ subjective well-being yang diturunkan secara genetik dan dijaga serta dipertahankan secara internal (Diener & Fujita dalam Page, 2005). Pengertian mengenai workplace well-being tersebut selaras dengan pengertian mengenai perasaan sejahtera yang dimaknai sebagai kehadiran perasaan dan fungsi yang positif (Jahoda; Keyes dalam Page dan Vella-Brodrick, 2009). Keduanya berdasar pada pendekatan kesehatan positif, yang menekankan workplace well-being sebagai suatu kondisi hadirnya perasaan dan fungsi yang positif.
2.4 Kerangka Pemikiran Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh employee engagement dan workplace well-being terhadap turnover intention. Model penerapan engagement terkait karyawan-pelanggan-laba Rucci dkk. di Roebuck (Baron & Armstrong, 2013) digunakan di sini sebagian. Prinsipnya, jika karyawan puas, maka karyawan akan membuat pelanggan puas, dan jika pelanggan puas maka laba perusahaan juga meningkat. Dalam hal ini laba diganti dengan intensi turnover. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini terlihat dalam skema berikut : Gambar 2 Kerangka Pemikirian Employee engagement (X1) Turnover intention (Y)
Workplace well-being (X2)
Sumber: peneliti 2014
10 Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dibentuk hipotesis sebagai
berikut: 1) employee engagement berpengaruh terhadap turnover intention pada KAP ABC & Rekan. 2) Workplace well-being berpengaruh terhadap turnover intention. 3) Secara bersama-sama employee engagement dan workplace well-being berpengaruh signifikan terhadap turnover intention.
3. Metode Penelitan Penelitian ini bersifat analisis deskriptif untuk mendapatkan gambaran dan penjelasan secara akurat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan employee engagement (X1) dan workplace well-being (X2) dan turnover intention (Y). Objek penelitian ini, KAP ABC dan Rekan, adalah hasil penggabungan usaha dari dua konsultan sejak abad ke-19 dan salah satu yang terbesar di dunia. Visinya adalah, “menjadi satu-satunya Kantor Akuntan Terbaik di dunia.” Diuji dalam penelitian pada divisi auditing atau assurance. Sedangkan waktu penelitian kurang lebih dua bulan terhitung sejak awal bulan April hingga akhir bulan Mei 2014.
3.2 Operasional Variabel Operasionalisasi konsep dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Tabel 2 Dimensi Operasional Employee Engagement, Workplace Well-being, dan Turnover Intention Variabel Employee engagement
Workplace well-being
Konsep Variabel Keadaan pikiran individu yang berkaitan dengan pekerjaan yang bernilai positif. Skor total dari dimensi –dimensi yang sudah ditetapkan yang diperoleh dari responden dari alat ukur keterikatan karyawan. Perasaan sejahtera yang terdiri atas Individu dan nilai intrinsik dan ekstrinsik. Skor total dari domain yang sudah ditetapkan.
Dimensi Semangat Dedikasi Absorpsi (Schaufeli & Bakker 2004) Intrinsik
Indikator 1.Tingkat Energi 2.Ketahanan mental 3.Persisten terhadap kesulitan 4.Antusiasme 6.Kebanggaan 7.Konsentrasi 8.Perasaan Senang 1.Tanggung Jawab 2.Penggunaan kemampuan & pengetahuan 3.Makna Kerja (Page,2005) 4.Perfectionism & Optimalism 5.Peak experience (Shahar 2010)
11 Ekstrinsik
Turnover intention
Keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain.
Challenge
Abundant mental (Ulrich, 2010) Sumber : berbagai sumber diolah peneliti, 2014
1.Convenience time 2.Iklim kerja 3.Peluang Promosi 4.Pengakuan terhadap kinerja 5.Keamanan kerja (Page,2005) 1.Complexity of work 2.Ketidaknyamanan dalam bekerja 3.Pertumbuhan dan Perkembangan 1.Employee engagement 2.Positive of workplace
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh junior auditor yang berjumlah 80 orang yang merupakan jumlah dari junior auditor di dalam divisi X. Untuk menentukan ukuran sampel dari populasi, peneliti menggunakan rumus Slovin sebagai populasi (N) sebanyak 80 orang dan tingkat kesalahan sebesar 5% maka besarnya sampel 70. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Uji validitas dilakukan dengan Pearson product moment dengan nilai r tabel n=30 atau df = n-2 = 28 dan dengan signifikansi 0,05 maka didapat nilai r tabel = 0,361. Dari hasil penghitungan dapat diketahui bahwa 2 item tidak valid untuk variabel employee engagement, 1 item untuk variabel workplace well-being, dan 1 item untuk variabel turnover intention. Dengan ini maka pernyataan yang tidak valid tersebut dihapus dan tidak diikutkan pada pengujian selanjutnya. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach. Setelah dihitung dengan bantuan program SPSS maka dapat diketahui nilai reliabilitas (cronbach’s alpha): Tabel 3 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Employee engagement (X1) Workplace Well-being (X2) Turnover Intention (Y) Sumber: data diolah, 2014
Alpha 0,924 0,885 0,788
Batas r 0,600 0,600 0,600
Keputusan Reliabel Reliabel Reliabel
Karena nilai tersebut lebih besar dari 0,600 maka alat ukur kuisioner telah memenuhi syarat reliabilitas.
12
4. Hasil Penelitian Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi responden penelitian ini dapat dijelaskan bahwa responden dengan jenis kelamin wanita sebanyak 37 orang atau 52.8% sedangkan responden dengan kelamin pria sebanyak 33 orang atau 47.2%. Jumlah responden yang memiliki latar belakang pendidikan S1 paling besar dengan jumlah 61 orang atau 87.1%, dan sisanya adalah S2/profesi akuntansi sebesar 12.9 % atau 9 orang. Sebagian besar karyawan berusia 20-25 tahun sebesar 53 orang atau 75.7% hal ini didukung dengan penelitan yang diambil hanya diperuntukkan bagian karyawan dengan posisi associate 2. Penelitian ini juga membagi jenis perguruan tinggi. Sebagian besar karyawan yang diteliti berasal dari kampus swasta sebesar 41 orang atau 58.6% dan dari kampus negeri sebesar 29 orang atau 41.4%. Deskripsi variabel per dimensi dibuat dalam lima interval menghasilkan gambaran hasil penelitian yang kurang detail. Tabel 4 Variabel dan Dimensi Penelitian Variabel Dimensi Employee Engagement (X1) Semangat Dedikasi Absorpsi Workplace well-being (X2) Intrinsik Ekstrinsik Turnover Intention (Y) Challenge Abundant mental Sumber : data diolah 2014
Nilai 584 1105 1084 1408 1870 1068 801
Rata-rata 292 276 271 282 267 267 267
Keterangan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Variable Employee Engagement berdasarkan dimensi: semangat, dedikasi, dan absorbsi. Variabel workplace well-being dikelompokkan berdasarkan dimensi: intrinsik dan ekstrinsik. Hal-hal yang terkait dengan pekerjaan memberikan kontribusi besar dalam menciptakan workplace well-being. Variabel turnover intention (keinginan untuk berpindah) dikelompokkan berdasarkan dimensi: Challenge dan abundance mental.
13
Tabel 5 Deskripsi Variabel Employee Engagement No
1 2
3
STS
TS
N
S
SS
Dimesi
Item Pertanyaan
F
%
F
%
F
%
F
%
F
Semangat
3
0
0.0
0
0.0
14
20.0
28
40.0
4
0
0.0
0
0.0
11
15.7
38
5
1
1.4
0
0.0
11
15.7
6
0
0.0
8
11.4
10
7
0
0.0
2
2.9
8
1
1.4
1
9
1
1.4
10
7
11 12
Dedikasi
Absorpsi
Jumlah ∑F
∑%
28
% 40.0
70
100
54.3
21
30.0
70
100
28
40.0
30
42.9
70
100
14.3
36
51.4
16
22.9
70
100
21
30.0
37
52.8
10
14.3
70
100
1.4
14
20.0
41
58.6
13
18.6
70
100
3
4.3
7
10.0
49
70.0
10
14.3
70
100
10.0
1
1.4
6
8.6
34
48.6
22
31.4
70
100
0
0.0
7
10.0
15
21.4
34
48.6
14
20.0
70
100
2
2.9
1
1.4
16
22.9
35
50.0
16
22.9
70
100
Sumber : data diolah 2014
Pernyataan item no.3 menunjukkan rasa puas dan tanggung jawab yang dilimpahkan perusahaan kepadanya. Pernyataan no.4 menunjukan rasa puas dalam bekerja sehingga mampu menggunakan pengetahuan dan keterampilannya dalam bekerja. Hal ini didasari karena mereka setelah lulus kuliah langsung bekerja sebagai auditor sehingga pengetahuan yang didapatkan selama kuliah dapat dipergunakan maksimal. Untuk dimensi dedikasi pernyataan no.5 menunjukkan mereka sangat menginginkan untuk bekerja sepanjang karir di KAP ABC & Rekan. Hasil statistik menunjukkan bahwa KAP ABC adalah kantor impian reponden dan mereka merasa puas dengan pekerjaan mereka. Pernyataan no.6 dan pernyataan no. 8 menunjukkan mereka bangga dengan perusahaan tempatnya bekerja. Pernyataan no.9 menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut sangat menantang. Tabel 6 Deskripsi Variabel Workplace Well-being No
1
2
STS
TS
N
S
SS
Jumlah
Dimesi
Item Pertanyaan
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
∑F
∑%
Intrinsik
1
0
0.0
1
1.4
9
12.9
51
72.9
9
12.9
70
100
2
0
0.0
0
0.0
12
17.1
34
48.6
24
34.3
70
100
3
0
0.0
2
2.9
11
15.7
45
64.3
12
17.1
70
100
4
0
0.0
0
0.0
15
21.4
34
48.6
21
30.0
70
100
5
0
0.0
3
4.3
12
17.1
42
60.0
13
18.6
70
100
6
3
4.3
9
12.9
14
20.0
30
42.9
14
20.0
70
100
7
7
10.0
0
0.0
10
14.3
44
62.9
9
12.9
70
100
8
1
1.4
9
12.9
8
11.4
34
48.6
18
25.7
70
100
9
0
0.0
4
5.7
14
20.0
41
58.6
11
15.7
70
100
10
1
1.4
7
10.0
15
21.4
32
45.7
15
21.4
70
100
11
0
0.0
3
4.3
16
22.9
37
52.9
14
20.0
70
100
12
0
0.0
0
0.0
8
11.4
48
68.6
14
20.0
70
100
Ekstirnsik
Sumber : data diolah 2014
14
Pernyataan
no.1
menunjukkan
mereka
memiliki
kemampuan
untuk
mengerjakan pekerjaan mandiri. Pernyataan no 2 menunjukkan pekerjaan tersebut membanggakan karena dapat menerapkan pemahaman yang mereka miliki.. Pekerjaan sebagai auditor memberikan rasa senang tersendiri (pertanyaan 3) sehingga keberhasilan menyelesaikan tugas mencapai hasil optimal (pertanyaan 5). Dari pernyataan ini, dapat disimpulkan karyawan mampu beradaptasi dengan pekerjaan yang mereka terima dari atasan. Tabel 7 Deskripsi Variabel Turnover Intention No
Dimesi
1
Challenge
2
Abundance) mental
Item Pertanyaan 1 2 3 4 5 6 8
STS F 1 1 3 0 3 1 1
% 1.4 1.4 4.3 0.0 4.3 1.4 1.4
TS F 5 7 6 7 6 8 10
% 7.1 10.0 8.6 10.0 8.6 11.4 14.3
N F 10 13 14 17 14 10 12
S % 14.3 18.6 20.0 24.3 20.0 14.3 17.1
F 36 32 30 31 34 30 21
SS % 51.4 45.7 42.9 44.3 48.6 42.9 30.0
F 18 17 17 15 13 21 26
% 25.7 24.3 24.3 21.4 18.6 30.0 37.1
Jumlah ∑F ∑% 70 100 70 100 70 100 70 100 70 100 70 100 70 100
Sumber : data diolah 2014
Dari sisi ekstrinsik, lingkungan kerja dipersepsikan dengan beragam. Tekanan waktu (no 6) ditanggapi sangat beragam: 4.3% di antaranya sangat tidak setuju namun 42.9% setuju. Demikian juga jumlah jam kerja (no 8) menyulitkan mereka untuk menikmati waktu bersama keluarga sebanyak 25.7%. Sekitar 12.9% kesulitan untuk menikmati waktu bersama keluarga dikarenakan jumlah jam kerja. Meskipun demikian upaya pembagian pekerjaan dalam team dan pribadi dibuat fun. Sehingga, deadline tidak begitu terasa. Tantangan pekerjaan (pertanyaan 1) dianggap menyenangkan oleh sebab itu mereka tidak memiliki intention untuk berpindah. Keterikatan tercermin melalui kompetensi dan komitmen tetapi juga dari kontribusi (pertanyaan 8) yang diberikan ke perusahaan cukup besar (37,1% sangat setuju). Dapat disimpulkan latar belakang pendidikan akuntansi dan pekerjaan auditing sebagai impian sehingga pilihan tetap
15
KAP ABC & Rekan merupakan KAP impian buat auditor untuk belajar. Kontribusi yang diberikan responden kepada perusahaan merupakan wujud keterikatan yang nyata.
4.3 Analisis Deskriptif Statistik Analisis ini untuk mengetahui deskripsi data seperti mean, nilai minimum, nilai maksimum, dan standar deviasi. Hasilnya adalah sebagai berikut: Tabel 8 Hasil Analisis Deskriptif Statistik N Employee engagement (X1) Workplace well-being (X2) Turnover intention (Y) Valid N (listwise)
Minimum 70 70 70 70
24 33 15
Maximum 48 55 32
Mean 39.61 46.83 26.70
Std. Deviation 6.058 6.633 5.385
Sumber: Data diolah, 2014 Dari tabel di atas, dapat diketahui deskripsi statistik tentang skor total dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Skor total adalah penjumlahan skor dari pertanyaan no.1 sampai terakhir untuk masing-masing variabel. Untuk variabel employee engagement (X1) jumlah data 70, nilai minimum 24, nilai maksimum 48, rata-rata 39,61, dan standar deviasi 6,058. Untuk variabel workplace well-being (X2) jumlah data 70, nilai minimum 33, nilai maksimum 55, rata-rata 46,83, dan standar deviasi 6,633. Untuk variabel Turnover intention (Y) jumlah data 70, nilai minimum 15, nilai maksimum 32, rata-rata 26,70, dan standar deviasi 5,385.
4.3.1 Analisis Korelasi Sederhana (Korelasi Pearson) Analisis korelasi sederhana atau korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara satu variabel dengan variabel lain. Hasil analisis korelasi sebagai berikut:
16 Tabel 9 Hasil Analisis Korelasi Turnover intention Employee Workplace well(Y) engagement (X1) being (X2)
Pearson Correlation Turnover intention (Y)
Sig. (1-tailed)
N
1.000
-.365
-.427
Employee engagement (X1)
-.365
1.000
.861
Workplace well-being (X2)
-.427
.861
1.000
.
.001
.000
Employee engagement (X1)
.001
.
.000
Workplace well-being (X2)
.000
.000
.
Turnover intention (Y)
70
70
70
Employee engagement (X1)
70
70
70
Workplace well-being (X2)
70
70
70
Turnover intention (Y)
Sumber : Data diolah, 2014
Dari output di atas dapat disimpulkan bahwa employee engagement memiliki hubungan negatif yang rendah terhadap turnover intention (nilai korelasi -0,365). Nilai negatif artinya semakin tinggi atau baik employee engagement maka turnover intention semakin turun. Untuk output kedua dapat disimpulkan bahwa workplace well-being memiliki hubungan negatif yang sedang terhadap turnover intention (nilai korelasi -0,427). Nilai negatif artinya semakin tinggi atau baik Workplace well-being maka Turnover intention semakin turun.
4.3.2 Analisis Regresi Linier dan Uji Hipotesis Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh dua atau lebih variabel independen terhadap satu variabel dependen baik secara parsial maupun secara simultan. Hasil yang diperoleh disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 10 Analisis Regresi Linear Berganda Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
42.896
4.276
Employee engagement (X1)
-.362
.154
Workplace well-being (X2)
-.413
.157
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
10.033
.000
-.427
-2.346
.017
-.583
-2.628
.008
17
Dengan persamaan regresi: Y = 42,896- 0,362X2-0,413X2, konstanta sebesar 42,896; jika employee engagement dan workplace well-being nilainya adalah 0, maka dapat disimpulkan besarnya turnover intention (Y) nilainya sebesar 42,896. Sementara itu, koefisien regresi variabel Employee engagement (X1) sebesar -0,362; artinya setiap peningkatan Employee engagement sebesar 1 satuan, maka akan menurunkan Turnover intention sebesar 0,362 satuan, dengan asumsi variabel independen lain nilainya tetap. Selanjutnya, koefisien regresi variabel workplace well-‐being (X2) sebesar -‐0,413. Artinya setiap peningkatan workplace well-‐being sebesar 1 satuan, maka akan menurunkan turnover intention sebesar 0,413 satuan, dengan asumsi variabel independen lain nilainya tetap. Uji t digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara parsial berpengaruh terhadap variabel dependen atau tidak. Hasil uji t yang diperoleh disajikan sebagai berikut: Tabel 11 Hasil uji t (uji secara parsial) Model
t
Sig.
(Constant)
10.033
.000
Employee engagement (X1)
-2.346
.017
Workplace well-being (X2)
-2.628
.008
Sumber : Data diolah, 2014
Pengujian
terhadap
koefisien
Berdasarkan tabel di atas diperoleh t
hitung
variabel
Employee
engagement
sebesar -2,346; Menentukan t
tabel
(b1):
dengan
menggunakan α = 0,05; Tabel distribusi t dapat dilihat pada tabel t statistik dengan signifikansi = 0,05 : 2 = 0,025 (uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n-k-1 atau 70-2-1 = 67. Dengan pengujian 2 sisi hasil diperoleh untuk ttabel sebesar 1,996 / 1,996.; Membandingkan thitung dengan ttabel. Nilai -thitung<-ttabel (-2,346<-1,996), maka Ho ditolak. Oleh karena nilai -thitung<-ttabel (-2,346<-1,996), maka Ho ditolak. Artinya bahwa Employee engagement secara parsial berpengaruh terhadap turnover intention
18
pada auditor KAP ABC & Rekan. Nilai t hitung negatif, artinya berpengaruh negatif yaitu jika Employee engagement semakin meningkat maka turnover intention akan menurun. Pengujian terhadap koefisien variabel Workplace well-being (b2): Berdasarkan tabel di atas diperoleh t
hitung
sebesar -2,628; Menentukan t
tabel
dengan menggunakan
α = 0,05; Tabel distribusi t dapat dilihat pada tabel t statistik dengan signifikansi = 0,05 : 2 = 0,025 (uji 2 sisi) dengan derajat kebebasan (df) n-k-1 atau 70-2-1 = 67. Dengan pengujian 2 sisi hasil diperoleh untuk ttabel sebesar 1,996 / -1,996.; Membandingkan thitung dengan ttabel. Nilai -thitung<-ttabel (-2,628 <-1,996), maka Ho ditolak. Oleh karena nilai -thitung<-ttabel (-2,628 <-1,996), maka Ho ditolak, artinya bahwa Workplace well-being secara parsial berpengaruh terhadap turnover intention pada auditor KAP ABC & Rekan. Nilai t hitung negatif, artinya berpengaruh negatif yaitu jika workplace well-being semakin meningkat maka turnover intention akan menurun. a. Uji F (uji koefisien regresi secara bersama-sama) Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel independen secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen atau tidak. Hasil uji F yang diperoleh setelah data diolah disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 12 Hasil Uji F (Koefisien Regresi Secara Bersama-sama) Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
364.309
2
182.154
7.458
.001a
Residual
1636.391
67
24.424
Total
2000.700
69
Regression
a. Predictors: (Constant), Workplace well-being (X2), Employee engagement (X1) b. Dependent Variable: Turnover intention (Y) Sumber: Data diolah, 2014
19
Tahap-tahap untuk melakukan uji F sebagai berikut: Berdasarkan tabel di atas diperoleh F
hitung
sebesar 7,458; F tabel dapat dilihat pada lampiran table statistik,
dengan menggunakan tingkat signifikansi 0,05, dengan df1 (jumlah variabel –1) atau 3-1 = 2 dan df 2 (n-k-1) atau (70-2-1) = 67. Hasilnya diperoleh untuk F tabel sebesar 3,134. Nilai F
hitung>
F
tabel
(7,458 >3,134), maka Ho ditolak. Karena F
(7,458 >3,134), maka Ho ditolak.
hitung>
F
tabel
Artinya bahwa employee engagement dan
workplace well-being secara bersama-sama berpengaruh terhadap turnover intention pada auditor KAP ABC & Rekan.
4.4 Diskusi Penelitian Berdasarkan hasil olah data ditemukan bahwa turnover intention merupakan masalah yang menjadi perhatian besar bagi organisasi saat ini. Tingginya turnover intention dapat mengakibatkan terganggunya aktitas dan produktivitas serta menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi organisasi/perusahaan. Meski secara umum KAP ABC sudah menerapkan berbagai praktik yang baik dalam manajemen pengetahuan, profesi auditor adalah salah satu profesi dengan tingkat pengunduran diri tinggi. Di Singapura, bahkan tingkat pengunduran diri staf di KAP empat terbesar (big four) rata-rata 40% setahun (Fung, 2011). Di sisi lain, menurut The Economist (2007) pengunduran diri staf KAP secara internasional berkisar 15-20% per tahun, sementara industri keuangan lainnya, hanya sekitar 5%. Dalam penelitian ini ditemukan pengaruh arah yang negatif di mana tingkat kecenderungan employee engagement dan workplace well-being tinggi dan turnover intention yang menurun. Data distribusi frekuensi responden yang sebagian besar masa kerjanya antara 0-1 tahun. Dalam tahap ini ditemukan bahwa level associate 2 kurang dari 1 tahun menjadi bagian dari suatu company yang masih sangat excited
20
dengan lingkungan kerjanya yang baru. Dapat dilihat bahwa turnover intention untuk associate cukup rendah dominasinya daripada posisi senior. Serta status pernikahan berpengaruh signifikan terhadap intensi untuk berpindah bagi employee perempuan. KAP ABC & Rekan memberikan training dan technical skill untuk seluruh karyawan baru di posisi associate 2, yang mana hal ini sangat mendukung karyawan baru dalam praktik kerjanya. Setiap new hire associate 2 di Buddy Program. Program ini dibuat dengan maksud untuk masa orientasi dan retention karyawan baru sebagai bagian dari KAP ABC & Rekan secara menyeluruh. Tujuan dari Buddy Program sendiri adalah sebagai berikut : 1) The new employee will feel more at home with the Firm. 2) Menciptakan pengalaman yang menarik untuk semua karyawan baru. 3) Karyawan baru mampu mendapatkan nilai tambah dari perusahaan dan meningkatkan rasa percaya diri. Program ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan topik dan kegiatan berbeda. KAP ABC & Rekan juga menyediakan coach untuk tiap karyawan baru. Peran coach membimbing karyawan baru dari segi pekerjaan secara technical dan career goals. Observasi menunjukkan bahwa tingkat employee engagement dan workplace well-being karyawan baru sangat tinggi. Berdasarkan data yang tidak dipublikasikan, tingkat resignation didominasi oleh associate 2 yaitu mereka dengan masa kerja 1-2 tahun. Data Universum, yang didirikan oleh Lars Henrik 1998, strategi employer branding digunakan untuk mencapai talent yang diharapkan. Misi dari organisasi ini adalah untuk menawarkan produk dan jasa dalam, attract, recruit, dan retain ideal talent. Universum memiliki 1200 clients worldwide dan pada Universum 2014, KAP ABC & rekan berada di urutan teratas kategori business & professional service. Survey ini dilakukan terhadap 20 universitas terkenal di seluruh Indonesia dengan
21
jumlah responden 12.435 mahasiswa dengan background pendidikan business, management, accounting dan economics.
Berdasarkan faktor pendukung utama
mengapa responden memilih KAP ABC & rekan menjadi perusahaan yang ideal. Alasannya: 1) KAP ABC & Rekan memiliki program worklife balance; 2) KAP ABC & Rekan menjadi career advancement; 3) KAP ABC & Rekan memiliki lingkungan yang friendly; 4) KAP ABC & Rekan mampu memberikan remunerasi lebih baik dari company lainnya; 5) KAP ABC & Rekan memiliki training dan pengembangan bagi karyawanya. Dari 5 faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa harapan tersebut terbukti dan sejalan dengan hasil penelitian ini yang mana associate 2 memiliki tingkat employee engagement dan workplace well-being yang tinggi yang mengakibatkan tingkat turnover intention menjadi turun. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara turnover dan jenis kelamin. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Siagian (1999), bahwa tidak ada bukti ilmiah yang konklusif yang menunjukkan ada perbedaan antara pria dan wanita dalam segi kehidupan organisasi, seperti analitik, kepemimpinan dan berkembang secara intelektual. Jumlah responden yang memiliki latar belakang pendidikan S1 paling besar dengan jumlah 61 orang atau 87.1%,dan sisanya adalah S2/profesi akuntansi sebesar 12.9 % atau 9 orang. Laporan 2011 menunjukkan bahwa karyawan yang keluar kebanyakan mereka yang memiliki latar belakang pendidikan S1. Penelitian ini relevan dengan Mowday et. all (1982) yang berpendapat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh pada dorongan untuk melakukan turnover. Dikatakan bahwa tingkat intelegensi tertentu memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan sumber kecemasan. Mereka mudah merasa gelisah dan tidak aman karena tanggung jawab yang diberikan padanya.
22 Sebagian besar karyawan berusia 20-25 tahun sebesar 53 orang atau 75.7% hal
ini didukung dengan penelitan yang diambil hanya diperuntukkan bagian karyawan dengan posisi associate 2, yang mana mereka merupakan new hire dan rentang usia pun tergantung dari kelulusan S1 yang mana berkisar di angka 20-21 tahun. Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka masih memiliki keinginan untuk mencoba-coba mencari pekerjaan. Selain itu karyawan yang lebih muda mungkin mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk mendapatkan pekerjaan baru.
11. Kesimpulan Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini sebagai berikut: 1)
Employee engagement
mempengaruhi turnover intention. Employee engagement secara parsial berpengaruh terhadap turnover intention pada auditor KAP ABC & Rekan. Hal ini ditunjukkan oleh uji t yang didapat nilai -thitung < -ttabel (-2,346 < -1,996), sehingga Ho ditolak. Nilai t hitung negatif, artinya berpengaruh negatif yaitu jika Employee engagement semakin meningkat maka turnover intention akan menurun. 2) Workplace well-being secara parsial berpengaruh terhadap turnover intention pada auditor KAP ABC & Rekan. Hal ini ditunjukkan oleh uji t yang didapat nilai -thitung < -ttabel (-2,628 < 1,996), sehingga Ho ditolak. Nilai t hitung negatif, artinya berpengaruh negatif yaitu jika workplace well-being semakin meningkat maka turnover intention akan menurun. Berdasarkan hasil pengolahan data sesuai dengan hipotesis penulis yaitu workplace well-being mempengaruhi turnover intention.
3) Employee engagement dan
Workplace well-being secara bersama-sama berpengaruh terhadap turnover intention
23
pada auditor KAP ABC & Rekan. Hal ini ditunjukkan oleh uji F yang didapat nilai F hitung
> F tabel (7,458 > 3,134), sehingga Ho ditolak.
12. Saran
Setelah melakukan analisis dan pengamatan terhadap semua keterbatasan yang ada, peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Penelitian ini hanya terbatas pada jumlah sampel yaitu sebanyak 70 responden dengan masa kerja kurang dari 1 tahun dan terbatas pada auditor KAP ABC & Rekan saja. Untuk penelitian selanjutnya bisa menggunakan sampel yang lebih banyak dan diperluas pada empat big four KAP lainnya dengan masa kerja sampai 3 atau 5 tahun. 2. Penelitian ini hanya terbatas pada variabel employee engagement dan workplace well-being, mengingat masih banyak faktor lain yang juga mempengaruhi turnover intention. Untuk penelitian selanjutnya bisa menggunakan variabel yang lebih banyak lagi. DAFTAR PUSTAKA Baron, Angela & Michael Armstrong.(2013), Human Capital Management, Jakarta, Penerbit PPM. Berry, Mary Lynn.(2008). The impact of Employee Engagement Factors and Job Satisfaction on Turnover Intention. Berry, Mary L., "Predicting Turnover Intent: Examining the Effects of Employee Engagement, Compensation Fairness, Job Satisfaction, and Age.. " PhD diss., University of Tennessee, 2010. http://trace.tennessee.edu/utk_graddiss/678 Daft, Richard L. (2010), Organization Theory and Design, Cengage Danna, Karen and Griffin, Ricky. (1999). Health and Well-being in the workplace. Journal of Management 357-384.
24
Daryoto, Dwi Wahyu.(2010). Penerapan Intervensi Flexible Working Arrangement (FWA) dan Community of Practice (CoP) untuk Menurunkan Tingkat Pengunduran Diri Karyawan di Kantor Akuntan Publik (KAP) EFG & Rekan. Tesis diterbitkan di Lontar Universitas Indonesia. Depok : Program Master Pskilogi UI. Elliot,J.P. (2001). An Exploratory of The Relationshop Between Organizational Commitment and Turnover In Industries With High Employee Turnover. Herter,J.K, Schmidt.,& Keyes. (2002). Well-being In The Workplace And Its Relationship to Business Outcome : A Review Of The Gallup Studies. Kalbers, Lawrence P. dan William J. Cenker, (2007) Organizational commitment and auditors in public accounting, Managerial Auditing Journal, Vol. 22 Iss: 4, pp.354 – 375 Lockwood, Nancy R. (2003) Work/Life Balance Challenges and Solutions. SHRM Research Quarterly. McClellan C.M. and Chang C. (2008) The role of protein turnover in ethylene biosynthesis and response. Plant Science 174: 24-31. Mobley, W. H. (1982). Some Unanswered Questions in Turnover Research, Academy of Management Review. 7, 111-116. Munandar, Ashar Sunyoto. (2011). Psikologi Industri Dan Organisasi.Jakarta. Universitas Indonesia. Page, Kathryn.(2005). Subjective Well-Being In The Workplace.Deakin University. Saks, Alan M. (2005). Antecedents And Consequences Of Employee Engagement. Schaufeli, Arnold B.,Wilmar B, Leiter,Michael.Taris, Toon W.(2003). Work Engagement:An Emerging Concept In Occupational Health Psychology.Rotterdam.Erasmus University. Shahar, Tal Ben. (2010). Even Happier. United States.The McGrawill. Ulrich, Dave. (2010). The Why Of Work. United States. The McGrawi