PENGARUH CHARACTER LEARNING EDUCATION TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA
DOSEN : LEONARD SIMANGUNSONG,M.M.,M.Pd
Diajukan untuk memenuhi tugas Seminar Praskripsi.
OLEH: NAMA
:
MAYA UMAMI
NPM
:
200913500674
KELAS
:
S7C
FAKULTAS TEKNIK, MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA TAHUN 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
i
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ii
DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
iii
BAB 1
BAB 2
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang .....…………………………..................
1
B.
Identifikasi Masalah .....….……………………………
5
C.
Pembatasan Masalah .....….…………………………...
5
D.
Perumusan Masalah ...………………………………...
5
E.
Tujuan Penelitian ..………………………………….....
6
F.
Manfaat Penelitian..................…………………………
6
G.
Sistematika Penulisan..………………………………...
7
TINJAUAN PUSTAKA A.
Landasan Teori.…………………………………….
8
1.
8
Hakikat Hasil Belajar Matematika ………….. Hakikat
Pendidikan
Karakter
(Character
2.
19 Learning Education) ………………………....
BAB 3
B.
Kerangka Berfikir ………………………………….
31
C.
Hipotesis Penelitian ………………………………..
32
METODOLOGI PENELITIAN A.
Tempat dan Waktu Penelitian ................................... 33 1.
Tempat Penelitian …………………………….
ii
33
2. B.
C.
D.
E.
F.
G.
Waktu Penelitian ……………………………..
33
Metode Penelitian ………………………………….
34
1.
Jenis Penelitian ……………………………….
34
2.
Desain Penelitian ……………………………..
35
Populasi dan Sampel ………………………………. 36 1.
Populasi Penelitian …………………………… 36
2.
Sampel Penelitian …………………………….. 36
Metode Pengumpulan Data ………………………... 37 1.
Variabel Penelitian ……………………………
2.
Sumber Data ………………………………….. 39
3.
Teknik Pengumpulan Data ……………………
39
Instrumen Penelitian ……………………………….
40
1.
Definisi Konseptual …………………………..
40
2.
Definisi Operasional ………………………….
41
3.
Kisi-Kisi Instrumen …………………………..
41
4.
Pengujian Instrumen ………………………….
41
Teknik Analisis Data ………………………………
44
1.
Teknik Analisis Deskriptif…………………….
45
2.
Teknik Analisis Persyaratan Data …………….
46
3. Pengujian Hipotesis …………………………..
48
Hipotesis Statistik …………………………………
50
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . LAMPIRAN
ii
37
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1.
Jadual Kegiatan Penelitian ..……………………………..
33
Tabel 3.2.
Desain Penelitian ..…………………………….…………
35
iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan merupakan pondasi utama dalam membentuk keberhasilan suatu bangsa, diperlukan adanya perhatian yang lebih untuk menanganinya. Seperti yang dikemukakan oleh Hamzah dan Junaedi (2007:38) bahwa Pendidikan adalah masalah hari depan yang harus dipersiapkan dan ditanggulangi mulai sekarang dan apabila terjadi penundaan, maka akan mendekatkan suatu bangsa pada jurang kehancuran. Krisis moral yang terjadi di tiap-tiap negara merupakan salah satu faktor kehancuran bangsa. Oleh karena itu pendidikan menjadi perhatian serius di masyarakat. Menurut Al-Qarni (2012:10) Pendidikan kita belum berubah dari paradigma lama yang bertumpu pada score atau nilai ujian nasional sebagai patokan pendidikan. Pendidikan saat ini hanya semata-mata dipandang dari segi intelektualitasnya saja padahal pada esensinya pendidikan merupakan sebuah upaya dalam rangka membangun kecerdasan manusia, baik kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Alhasil, kini dekadensi moral yang dialami oleh bangsa Indonesia ditandai dengan maraknya aksi kekerasan, korupsi, pembalakan liar, bahkan sampai pada praktik-praktik kebohongan dalam dunia pendidikan seperti menyontek pada saat ujian dan plagiatisme. Theodore Roosevelt mengatakan (dalam Wiyani, 2012:5) “To educate a person mind and not in morals is to educate a menace to society” 1
2
(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya kepada masyarakat). Dari pernyataan diatas maka perlu adanya keseimbangan antara kecerdasan otak dan aspek moral. Rendahnya moralitas di masyarakat terbukti dengan adanya berbagai tindak kriminal. Hal ini dapat dengan mudah kita jumpai, baik melalui tayangan televisi maupun secara langsung kita lihat dengan mata kepala kita sendiri. Belum lagi permasalahan yang sedang marak diberitakan seperti tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di lingkungan Pemerintahan, BUMN, dan perusahaan swasta. Para koruptorpun sulit untuk dijerat pasal dikarenakan pasal-pasal itu sendiri seperti karet yang elastis dan mudah sekali terputus. Tak heran bila kasus korupsi di negeri ini menjadi kasus yang mudah dilihat, tapi tak bisa dipegang. Sebab, sekali dipegang maka akan banyak tangan yang terpegang. Dengan keadaan yang seperti ini, sulit sekali untuk menentukan mana yang benar-benar koruptor dan mana yang hanya sebatas korban karena semua itu harus teruji di meja hijau atau pengadilan. Melihat sketsa wajah negeri seperti di atas, hal itu tentu akan menjadi tidak baik bila dilihat oleh anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Mereka tentu akan kecewa karena penegakan hukum tak sesuai dengan harapan. Sedangkan mereka selalu mendapatkan nasehat dari para guru untuk berlaku jujur dalam situasi dan keadaan apapun. Apa yang kita dengar dan kita lihat tersebut mengacu pada satu hal, yaitu karakter. Semua sekolah umum diharapkan untuk mampu menjadi sekolah yang cerdas dan berkarakter. Tentu dalam proses pelaksanaanya tak semudah
3
membalikan telapak tangan. Ada saja tantangan dan rintangan yang pasti harus dihadapi. Sekolah berkarakter itu seperti sekolah laskar pelangi. Sekolah dengan fasilitas apa adanya mampu bersaing dan melahirkan peserta didik yang sangat luar biasa. Suatu kisah nyata dari sebuah sekolah yang mampu menjaga sekolahnya tetap unggul walaupun ketiadaan fasilitas dan ketidakadanya dana, tetap menjaga karakter sekolahnya dan membangun kejujuran. Dari sini dapat kita lihat bahwa pendidikan karakter (character learning education) merupakan bentuk solving problem dalam mengatasi paradigma berfikir kebanyakan orang bahwa pendidikan lebih mengacu pada ranah kognitif. Dalam realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, namun pada kenyataannya yang lebih dominan adalah ranah kognitif kemudian psikomotorik. Akibatnya, peserta didik kaya akan kemampuan yang bersifat hard skill
namun miskin soft skill output karena ranah afektif yang
terabaikan. Keadaan ini seakan sudah menjadi suatu budaya yang mana perlu adanya peran aktif dari berbagai pihak seperti pihak keluarga, sekolah, dan lingkungan. Pada dasarnya keluarga memegang peranan penting dalam penanaman pendidikan karakter, namun sekolah juga merupakan wahana yang tepat untuk ini. Di sekolah anak mengalami perubahan tingkah laku. Proses perubahan tingkah laku dalam diri anak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan kebudayaan yang tertuang dalam kurikulum sekolah. Kurikulum
4
pendidikan yang dilaksanakan oleh guru salah satunya berfungsi untuk membentuk tingkah laku menuju kepribadian yang dewasa secara optimal. Pada saat ini, untuk menciptakan kurikulum berkarakter di sekolah tidaklah mudah seperti yang dapat dibayangkan. Apalagi membangunya pada zaman yang edan seperti sekarang. Kurikulum baru ini akan melibatkan beberapa komponen pendidikan lainnya seperti: isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ekstrakurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Dari semua komponen tersebut, guru merupakan
media
yang
efektif
dalam
mendistribusikan
pendidikan
berkarakter kepada siswa. Dalam hal ini guru harus memulai desain pembelajaran baru. Desain pembelajaran yang kemudian akan diterapkan kepada siswa dengan menginternalisasi ke materi maupun ke dalam bentuk tindakan. Desain ini akan diimplementasikan melalui metode dan strategi yang akan digunakan oleh guru dan komponen pendukung sekolah lainnya. Sekolah akan dikatakan berhasil apabila hasil belajar matematika memuaskan dengan penilaian atau skor yang rata-ratanya bagus. Berkaitan dengan pendidikan karakter terhadap hasil belajar matematika dilakukan sebuah eksperimen oleh para expert. Buku Joseph Zins, dkk (dalam Wiyani, 2012:17) kecerdasan emosional yang di dalamnya terkait erat dengan pendidikan karakter, ternyata berpengaruh sangat kuat dengan keberhasilan belajar. Dengan adanya pendidikan karakter, anak akan memiliki kecerdasan
5
emosional.
Kecerdasan
emosional
adalah
bekal
terpenting
dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan karena denganya seseorang akan dapat berhasil menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan dalam bidang akademik. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diidentifikasikan masalah sebagai berikut: a. Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter? b. Bagaimana metode dan strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang digunakan guru di sekolah? c. Bagaimana bentuk implementasi pendidikan karakter pada siswa di sekolah? d. Bagaimana hubungan pendidikan karakter dengan kecerdasan emosional? e. Apakah pendidikan karakter dapat berpengaruh terhadap hasil belajar matematika? C. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, permasalahan dibatasi hanya pada: pengaruh character learning education terhadap hasil belajar matematika. D. Perumusan Masalah Secara umum dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: adakah pengaruh character learning education terhadap hasil belajar matematika?
6
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan pendidikan karakter (character learning education) di sekolah terhadap hasil belajar matematika. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis: Diharapkan dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan terutama dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang handal dan kokoh melalui pendidikan karakter. 2. Manfaat Praktis: a. Bagi Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah dapat dijadikan referensi untuk melaksanakan kurikulum baru. b. Bagi Guru adalah dapat dijadikan acuan selanjutnya untuk lebih menekankan pada pengajaran berkarakter. c. Bagi Siswa adalah agar mendapatkan hasil belajar yang baik dengan adanya pembentukan karakter siswa. d. Bagi Penulis adalah akan memberi manfaat yang sangat berharga berupa pengalaman praktis dalam penelitian ilmiah. Sekaligus dapat dijadikan referensi ketika mengamalkan ilmu terutama di lembaga pendidikan. e. Bagi Almamater adalah agar dapat memberi sumbangan yang berarti serta dapat menjadi bahan acuan dalam penelitian selanjutnya.
7
G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini tersusun menjadi 3 (tiga) bab, yang terdiri dari: BAB I : PENDAHULUAN Dalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : LANDASAN TEORI Pada bab ini peneliti membahas tentang landasan teori yang terdiri dari hakikat hasil belajar dengan sub-sub nya yaitu: hasil belajar serta hakikat pendidikan karakter dengan sub-sub nya yaitu: karakter, pendidikan dan pendidikan karakter (character learning education). BAB III : METODOLOGI PENELITIAN Pada bab III ini penelitian berpusat pada metodologi penelitian, meliputi: tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, populasi dan sample, metode pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisa data, dan hipotesis statistik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Hakikat Hasil Belajar Matematika Belajar merupakan proses penting bagi perubahan perilaku manusia dan mencakup segala sesuatu yang dipikirkan dan dikerjakan. Belajar
memegang
peranan
penting
di
dalam
perkembangan,
kebiasaan,sikap, keyakinan, tujuan, kepribadian, dan bahkan persepsi manusia. Bagi siswa, ia akan belajar sesuai dengan keinginan dan perilakunya masing-masing. Seperti
yang
dikatakan
oleh
Skinner
(dalam Dimyati, 2009 : 9) bahwa belajar adalah sebuah perilaku. Pada saat belajar, respon menjadi
lebih baik
begitupun sebaliknya ketika
respon menurun dikarenakan tidak belajar. Berkaitan dengan respon, belajar menurut Budiningsih (2005:21) adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Hasil dari perilaku yang membuat respon menjadi lebih baik adalah kepandaian. Semakin banyak belajar maka semakin pandai juga orang tersebut. Lalu didapatkan pengertian bahwa belajar adalah
usaha
untuk
mendapatkan
kepandaian
(Suardi,
2012:9).
Kepandaian didapat atas kesadaran dari si pembelajar sebagai subyek. Dalam memperoleh kepandaian dibutuhkan sebuah media. Menurut Burton (dalam Aunurahman, 2010:35) yaitu perubahan tingkah laku
8
9
pada diri individu berkat adanya interaksi dengan lingkungan sehingga mereka mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Disini media yang berfungsi untuk mencapai kepandaian adalah interaksi dengan lingkungan. Lingkungan yang bisa saja berbentuk pengalaman melalui sebuah praktik. Dari berbagai macam pengertian belajar yang sebelumnya telah dikemukakan, dalam buku Aunurrahman yang berjudul Belajar dan Pembelajaran dituliskan bahwa ada beberapa kelompok teori yang memberikan pandangan khusus tentang belajar diantaranya: Pertama Behaviorisme, Para penganut teori behaviorisme meyakini bahwa manusia
sangat
dipengaruhi
oleh
kejadian-kejadian
di
dalam
lingkungannya yang memberikan pengalaman-pengalaman tertentu kepadanya. Behaviorisme menekankan pada apa yang dapat dilihat, yaitu tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang terjadi adalah berdasarkan paradigma S-R (Stimulus-Respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap suatu yang datang dari luar. Tokoh aliran behaviorisme adalah Thordike. Ia merupakan orang pertama yang menerangkan hubungan S-R. Kedua Kognitifisme, Belajar menurut kognitifisme diartikan sebagai perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman ini tidak selalu dapat dilihat sebagaimana perubahan tingkah laku. Teori ini menekankan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi tersebut. Ketiga Teori belajar psikologi sosial, Menurut
10
teori belajar psikologi sosial, proses belajar jarang sekali merupakan proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri, akan tetapi melalui interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat: (1) Searah (one directional), yaitu bilamana adanya stimuli dari luar menyebabkan timbulnya respons, (2) dua arah, yaitu apabila tingkah laku yang terjadi merupakan hasil interaksi antara individu yang belajar dengan lingkungannya, atau sebaliknya, dan keempat Teori belajar Gagne, Teori belajar yang disusun oleh Gagne merupakan teori Perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitifisme yang berpangkat pada teori informasi. Menurut Gagne cara berpikir seseorang tergantung pada: (a) keterampilan apa yang telah dimilikinya, (b) keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas. Dengan demikian menurut Gagne dalam proses belajar terdapat dua fenomena yaitu: meningkatnya keterampilan intelektual sejalan dengan meningkatnya umur serta latihan yang diperoleh individu, dan belajar akan lebih cepat bilamana strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara lebih efisien. Berbagai teori tentang belajar telah dikemukakan oleh banyak ahli. Dari sejumlah pandangan dan definisi tentang belajar, kita dapat menemukan beberapa ciri umum kegiatan belajar. Menurut Wragg (dalam Aunurrahman, 2010:35) ciri umum kegiatan belajar adalah Pertama, belajar menunjukan suatu aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau disengaja. Aktivitas ini menunjuk pada keaktifan
11
seseorang dalam melakukan sesuatu kegiatan tertentu, baik pada aspekaspek jasmaniah maupun aspek mental yang memungkinkan terjadinya perubahan pada dirinya. Kedua, belajar merupakan interaksi individu dengan lingkunganya. Lingkungan dalam hal ini dapat berupa manusia atau
obyek-obyek
lainnya.
Adanya
interaksi
individu
dengan
lingkungan, mendorong seseorang untuk lebih intensif mengingkatkan keaktifannya. Ketiga, hasil belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku. Walupun tidak semua tingkah laku merupakan hasil belajar, akan tetapi aktivitas belajar umumnya disertai perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku dapat berupa kognitif, afektif maupun psikomotorik. b. Hasil Belajar Dari pengertian belajar diatas maka hasil belajar merupakan perubahan pemahaman, pengetahuan, keterampilan, kecakapan, dan sikap yang terjadi setelah siswa melakukan proses belajar. Hal ini sependapat dengan Dimyati (2009:12) bahwa hasil belajar adalah kapabilitas siswa yang terdiri dari infomasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan siasat kognitif. Berdasarkan pada teori belajar yang dikemukakan Gagne, Gagne menyimpulkan ada lima macam hasil belajar (Aunurrahman, 2010:47) yaitu: (1) Keterampilan intelektual, atau pengetahuan prosedural yang mencakup belajar konsep, prinsip, dan pemecahan masalah yang diperoleh melalui penyajian materi di sekolah, (2) Strategi kognitif,
12
yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat, dan berfikir, (3) Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi
yang relevan, (4)
Keterampilan Motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan garakan-gerakan yang berhubungan dengan otot, dan (5) Sikap, yaitu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor intelektual. Dari kedua pengertian yang dijabarkan oleh Dimyati dan Gagne menyatakan bahwa hasil belajar bukan hanya dilihat dalam ranah kognitif saja, melainkan dilihat dari afektif dan psikomotoriknya. Salah satu perubahan yang terjadi sebagai bentuk hasil belajar matematika adalah sikap. Sikap menurut Gagne pada teori belajar yang sudah
dikemukakan
diatas,
menyebutkan
bahwa
sikap
yaitu
kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang yang didasari oleh emosi. Untuk itu perlu adanya pengkajian kecerdasan emosi dari seseorang yang menginginkan hasil belajar yang baik. Salovey dan Mayer (dalam Aunurrahman, 2010:87) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan
13
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan. Dengan mengkaji kecerdasan emosional ini, diharapkan kita dapat memiliki pemahaman yang baik sebagai bagian penting dari proses pembelajaran, dan untuk mewujudkan hasil belajar yang diharapkan. Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire menurut Shapiro (dalam Aunurrahman, 2010:85) yang mengatakan bahwa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat. Adanya bentuk kualitas emosional tersebut merupakan hasil belajar yang hakiki dimana terjadi perkembangan secara signifikan yang juga berpengaruh hebat terhadap IQ (Intelligent Quotients) dan EQ (Emotional Quotients) . Seperti yang dikatakan oleh Goleman (dalam Aunurrahman, 2010:86) bahwa tidak seperti IQ yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja, kecerdasan emosi lebih banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri sehingga kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini akan terus tumbuh.
14
c. Konsep Matematika Konsep, menurut W. S. Winkel (1996: 44) dapat diartikan sebagai suatu sistem satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Gagne, Robert M. (Bell, Frederick H, 1981: 108) menyatakan bahwa konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan objek ke dalam contoh dan non contoh. Konsep matematika yaitu segala yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat dan inti /isi dari materi matematika (Budiono, 2009: 4). Pemahaman konsep adalah kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat, inti /isi
dari
suatu
materi
dan
kompetensi dalam melakukan prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien dan tepat (Tim Penyusun, 2006: 142). Konsep matematika disusun secara berurutan sehingga konsep sebelumnya akan digunakan untuk mempelajari konsep selanjutnya. Misalnya konsep luas persegi diajarkan terlebih dahulu daripada konsep luas permukaan kubus. Hal ini karena sisi kubus berbentuk persegi sehingga konsep luas persegi akan digunakan untuk menghitung luas permukaan kubus. Pemahaman terhadap konsep materi prasyarat sangat penting karena apabila siswa menguasai konsep materi prasyarat maka siswa akan mudah untuk memahami konsep materi selanjutnya. Menurut Bell
15
(1981: 117), siswa yang menguasai konsep dapat mengidentifikasi dan mengerjakan soal baru yang lebih bervariasi. Selain itu, apabila anak memahami suatu konsep maka ia akan dapat menggeneralisasikan suatu obyek dalam berbagai situasi lain yang tidak digunakan dalam situasi belajar (S.Nasution, 2005: 164). Siswa
dibiasakan
untuk
memperoleh
pemahaman
melalui
pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek. Siswa
diharapkan
mampu
pengertian suatu konsep melalui pengamatan
menangkap
terhadap
contoh-
contoh dan bukan contoh (Erman Suherman, dkk, 2003: 57). Sedangkan menurut Orlich C. Donald, et al (2007 : 151) salah satu pembelajaran konsep yang bisa dilakukan adalah mengemukakan contoh/fakta yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari dan memberi kesempatan siswa untuk menemukan sendiri konsep tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika adalah kemampuan bersikap, berpikir dan bertindak yang ditunjukkan oleh siswa dalam memahami definisi, pengertian, ciri khusus, hakikat dan inti /isi dari materi matematika dan kemampuan dalam memilih serta menggunakan prosedur secara efisien dan tepat. Pemahaman konsep materi prasyarat sangat penting untuk memahami konsep selanjutnya. Selain itu pemahaman konsep dapat digunakan untuk menggeneralisasikan suatu obyek. Konsep matematika harus
16
diajarkan secara berurutan. Hal ini karena pembelajaran matematika tidak dapat dilakukan secara melompat-lompat tetapi harus tahap demi tahap, dimulai dengan pemahaman ide dan konsep yang sederhana sampai ke tahap yang lebih kompleks. d. Ruang Lingkup Matematika Matematika termasuk salah satu disiplin ilmu yang memiliki kajian yang sangat luas sehingga masing-masing ahli bebas mengemukakan pendapatnya
tentang
matematika
berdasarkan
sudut
pandang,
kemampuan, pemahaman, dan pengalamannya masing-masing. Namun menurut kamus umum bahasa Indonesia, “Matematika adalah ilmu menghitung
dengan
menggunakan
bilangan-bilangan”
(Badudu,
1996:875). Menurut definisi ini matematika hanya dianggap tentang ilmu yang berkaitan dengan angka-angka atau bilangan. Sehingga jika bicara matematika itu berarti bicara angka dan hitung menghitung. Pendapat senada dikemukakan oleh Ruseffendi, beliau mengatakan: “Matematika terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran” (Ruseffendi, 1990:149). Pendapat ini menganggap matematika sebagai pengetahuan tentang hitung ruang dan peluang yang diperlukan sebagai sarana untuk berfikir logis, rasional, dan eksak agar mampu memecahkan masalah. Seiring
berkembangnya
zaman,
berkembang
pula
konsep
matematika dari berbagai ahli khususnya mengenai ruang lingkup dari matematika itu sendiri. Menurut Nugroho (1990:198), “matematika
17
merupakan alat dan bahasa dasar banyak ilmu”. Hal ini mengatakan bahwa matematika merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tidak merupakan cabang dari ilmu pengetahuan alam. Sepaham dengan pernyataan diatas, pengembangan dari E.T. Ruseffendi mengenai konsep matematika mengatakan bahwa “Matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan pengetahuan alam” (Ruseffendi, 1990:29). Bukan hanya dalam hal hitung menghitung ternyata pengaruh dari matematika cukup meluas ke ilmu-ilmu lainnya. Lebih ditegaskan lagi oleh Jujun S. Suriasumantri (1993:193) yang mengatakan bahwa “matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif”. Dari pengertian tersebut, matematika dapat merupakan alat bantu yang efisien dan diperlukan oleh setiap ilmu pengetahuan. Dari uraian konsep matematika diatas dengan adanya pelebaran makna matematika dapat kita ketahui bahwa ruang lingkup matematika tidak hanya mengenai hitung menghitung atau yang berhubungan dengan angka melainkan dapat digunakan sebagai alat bantu untuk kehidupan manusia sehari-hari misalnya mengatur komposisi pupuk, jual beli, memasak, sensus penduduk, dan lain-lain.
18
e. Hasil Belajar Matematika Tujuan proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah adanya perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah menerima atau menempuh pengalaman belajar. Perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai siswa yang biasa disebut dengan hasil belajar. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa penguasaan ilmu pengetahuan, sikap, kebiasaan, tindakan, atau keterampilan tertentu. Sudjana mengemukakan, “Hasil belajar adalah kemampuankemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya” (Sudjana, 2010:22). Kemudian dipertegas oleh Winkel, beliau mengatakan: “hasil belajar adalah perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat konstan/menetap” (Winkel, 1996:15). Oleh karenanya, hasil belajar matematika
dapat
diartikan
sebagai
perwujudan
dari
proses
keberhasilan pembelajaran matematika yang dicerminkan dengan perubahan tingkah laku dalam bentuk kognitif, afektif maupun psikomotorik seseorang setelah mendapatkan pengalaman belajar matematika atau secara singkat hasil belajar matematika merupakan suatu indikator untuk mengukur keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran matematika.
19
2. Hakikat Pendidikan Karakter (Character Learning Education) a. Karakter Secara harfiah karakter menurut Hornby dan Parnwell (dalam Hidayatullah, 2010:9) adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Disini dinyatakan bahwa kata karakter tak lepas dari kata moral yang mana karakter lebih menekankan adanya kualitas yang terdapat pada kekuatan moral itu sendiri. Sedangkan arti moral adalah nilai-nilai atau norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens, 2007:7). Seseorang dapat dikatakan berkarakter apabila telah berhasil menyerap nilai atau norma untuk mengatur tingkah lakunya sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Dikembangkan oleh Kemdiknas (dalam Sahlan dan Prasetyo, 2012:13) bahwa karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berfikir, bersikap, dan bertindak. Berkarakter artinya mempunyai watak, mempunyai kepribadian. Hal ini mengandung makna bahwa karakter merupakan kebajikan yang ditanamkan melalui internalisasi atau memasukan materi dan nilai-nilai yang memiliki keterkaitan dalam membangun sistem berfikir dan berperilaku. Berkaitan dengan kata membangun sistem berfikir, (Koesoema, 2007:3) mengatakan bahwa karakter merupakan kondisi dinamis
20
struktur antropologis individu yang tidak mau sekedar berhenti atas determinasi kodratinya. Dari sini dapat terlihat bahwa adanya pembangunan atau peningkatan dalam sistem berfikir yang mana dijadikan sebuah usaha untuk menjadi semakin integral dalam mengatasi determinasi alam di dirinya demi proses penyempurnaan secara terus-menerus. Sama halnya dengan karakter yang dimiliki oleh siswa. Siswa yang berkarakter akan berusaha memperkuat karakternya apabila
karakter
itu
sendiri
diajarkan
dengan
mengenalkan,
memahamkan hingga mengajak siswa sehingga pada akhirnya mereka mampu mempraktekan dan memaknainya sebagai sesuatu yang melekat dan menjadi tindakan perenungan serta mengembangkanya menjadi pusat keunggulan insani. Watak atau karakter siswa terbangun ketika ada sebuah system yang kuat dalam mengembangkan budaya sekolah atau school culture (Kadarsih, 2012:48). Pernyataan Kadarsih diatas dimaksud bahwa adanya budaya sekolah yang memiliki nilai unggul. Nilai unggul sebuah sekolah terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan oleh para civitas sekolah (stakeholder) dalam mengembangkan potensi unik dari para siswa dan potensi ini yang dikembangkan dalam pendidikan karakter melalui budaya sekolah. Selain budaya sekolah, karakter yang diajarkan kepada siswa akan dapat bersinergi dengan baik apabila guru sebagai pendidik juga berkarakter. Pendidik yang berkarakter memiliki kepribadian
yang
21
ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah, keteladanan, ataupun sifat-sifat lain yang harus melekat pada diri pendidik. Pendidik yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki kemampuan
mengajar
dalam
arti
sempit
(hanya
mentransfer
pengetahuan/ ilmu kepada siswa) melainkan ia juga memiliki kemampuan mendidik dalam arti luas. Tak ada bedanya dengan sifat sebagai organ pembentukan karakter, sikap juga memegang peranan penting dalam hal ini. Ketika siswa memiliki sifat yang baik, maka siswa tersebut secara berkesinambungan akan membentuk sikap yang baik pula. Jika dihubungkan dengan sikap sebagai pembentuk hasil belajar, maka sikap menurut Gagne yang berkaitan dengan emosi merupakan salah satu pembentukan karakter. Kecerdasan emosi yang telah kita bahas di atas secara tidak langsung merupakan kesatuan dari karakter. Apabila seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka seseorang tersebut dapat dikatakan berkarakter yang pada nantinya kecerdasan emosional ini seharusnya akan berpengaruh positif terhadap hasil belajar matematika. b. Pendidikan Pendidikan merupakan sarana yang menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaan untuk bermasyarakat dan menjadi manusia yang sempurna (Suardi, 2012:1). Manusia yang sempurna adalah ketika manusia tersebut dapat dibedakan dari makhluk lainnya
22
yang mana manusia memiliki kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksitensi, pemilikan kata hati, moral, kemampuan bertanggung jawab, rasa kebebasan, kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak, dan kemampuan menghayati kebahagiaan. Oleh karena itu perlu adanya pendidikan agar semuanya itu dapat dikembangkan. Pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang didalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukan bagi generasi yang sedang bertumbuh (Koesoema, 2007:3). Dalam kegiatan mendidik ini, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan adalah seperangkat hasil pendidikan yang dicapai oleh peserta didik setelah diselenggarakan kegiatan pendidikan (Suardi, 2012:6). Dalam konteks ini tujuan pendidikan merupakan komponen dari sistem pendidikan yang menempati kedudukan dan fungsi sentral. Itu sebabnya setiap tenaga pendidikan perlu memahami dengan baik tujuan pendidikan. Selain tujuan pendidikan, adapun fungsi pendidikan yang perlu kita ketahui. Menurut UU RI No.20 Tahun 2003, pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan fungsi pendidikan nasional diatas, maka peran guru menjadi penentu keberhasilan misi pendidikan dan pembelajaran di
sekolah. Guru bertanggung jawab mengatur,
mengarahkan, dan menciptakan suasana kondusif yang mendorong
23
siswa melaksanakan kegiatan diatas. Pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuh-kembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia. Pendidikan menurut Charles E. Siberman (dalam Suardi, 2012:5) tidak sama dengan pengajaran, karena pengajaran hanya menitik beratkan pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. Dari sini terlihat bahwa pendidikan mempunyai makna yang lebih luas dari pengajaran, tetapi pengajaran merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan dapat kita peroleh dari keluarga, sekolah, maupun di lingkungan/masyarakat. Pendidikan yang kita peroleh dikeluarga berlangsung sejak dalam kandungan sampai masuk sekolah. Pendidikan yang diberikan orangtua hanya berkisar tentang perkembangan jasmani dan rohani, pembiasaan dan pendidikan yang sederhana. Dan pada tahap ini orangtua mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan fisiknya. Selanjutnya Pendidikan di sekolah yang merupakan kelanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Seperti yang kita sering dengar bahwa guru disekolah merupakan orangtua kedua siswa karena selama di sekolah guru lah yang sangat berperan dalam perkembangan anak. Pendidikan terakhir adalah dari lingkungan. Sekolah bagaimanapun majunya tidak mungkin mampu memberikan semua tuntutan perkembangan manusia. Oleh sebab itu selain
24
pendidikan di sekolah dan di keluarga, diperlukan juga pendidikan di masyarakat. c. Pendidikan Karakter (Character Learning Education) Mengingat akan peranan penting individu yang berkarakter, maka perlu adanya tindak lanjut dengan adanya penerapan pendidikan karakter di negera kita. Pendidikan karakter merupakan salah satu elemen penting dalam mewujudkan pilar-pilar kebangkitan bangsa (Sahlan dan Prastyo, 2012:30). Adapun fungsi dari pendidikan karakter yang
memang
sepaham
dengan
fungsi
pendidikan
nasional,
sebagaimana dalam pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yaitu mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengertian lainya menurut
Ratna Megawani (dalam Wiyani,
2012:42) pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mereka dapat memberikan kotribusi positif terhadap masyarakat. Pendidikan karakter menurt Ratna ini mematahkan statement bahwa pendidikan karakter sama dengan mata pelajaran agama dan kewarganegaraan, pendidikan karakter hanya menjadi tanggung jawab keluarga bukan sekolah, dan lain sebagainya.
25
Sebelum melaksanakan pendidikan karakter, perlunya kita tahu mengenai pilar-pilar yang terdapat didalamnya. Heritage Foundation dalam Wiyani (2012:66) menyatakan bahwa terdapat sembilan pilar pendidikan karakter antara lain: cinta kepada tuhan dan semesta beserta isinya; tanggung jawab, disiplin, serta mandiri; jujur; hormat dan santu; kasih sayang, peduli, dan kerjasama; percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Untuk mencapai pertumbuhan integral dalam pendidikan karakter perlu dipertimbangkan berbagai macam metode yang membantu mencapai idealisme dan tujuan pendidikan karakter. Metode ini bisa dijadikan unsur yang sangat penting bagi pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan yang mengakarkan dirinya pada konteks sekolah akan mampu menjiwai dan mengarahkan sekolah pada penghayatan pendidikan karakter yang realistis, konsisten, dan integral. Menurut Wiyani (2012:73) terdapat lima unsur yang perlu dipertimbangkan yaitu mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas,praksis prioritas, dan refleksi. Dari kelima unsur tersebut digunakan beberapa metode. Masih menurut Wiyani (2012:76) ada dua metode dasar untuk mencapai tujuan pendidikan karakter yaitu: (1) Metode deduksi, dalam pelaksanaan metode ini kepala sekolah dan guru harus memiliki kepekaan terhadap perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki dinamika yang tinggi, komitmen terhadap
26
masa depan, serta tidak bersikap seenaknya, (2) Metode induksi konsultasi, dalam pelaksanaan metode ini kepala sekolah dan guru harus bekerja secara maksimal dan teliti serta berkomitmen terhadap proses dan hasil pelaksanaan pendidikan karakter. Dari metode di atas diperlukan juga strategi yang tepat dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah, komponen-komponen pendidikan (isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau
kegiatan
ekstrakurikuler,
pemberdayaan
sarana
prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah) semua harus ikut terlibat. Penerapan pendidikan di sekolah setidaknya dapat ditempuh melalui empat alternatif strategi secara terpadu. Empat alternatif strategi menurut Ali Mustadi (dalam Wiyani, 2012:78) tersebut pertama, mengintegrasikan konten pendidikan karakter yang telah di rumuskan ke dalam seluruh mata pelajaran. Kedua, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan sehari-hari di sekolah. Ketiga, mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kegiatan yang diprogramkan atau direncanakan. Keempat, membangun komunikasi dan kerjasama antara sekolah dengan orangtua peserta didik. Dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, peran guru tak lepas dari Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005,
27
disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dengan demikian, peran guru dalam pelaksanakan pendidikan karakter di sekolah antara lain: (1) Keteladanan, kedeladanan yang diberikan adalah teladan yang baik, baik itu masalah moral, etika atau akhlak, dimanapun ia berada, (2) Inspirator, seorang guru akan menjadi sosok inspirator jika ia mampu membangkitkan semangat untuk maju dengan menggerakan segala potensi yang dimiliki guna meraih prestasi spektakuler bagi dirinya dan masyarakat, (3) Motivator, motivator yang dilakukan oleh guru baik disengaja ataupun tidak sehingga menjadikan siswa semakin bersemangat dalam meraih cita-citanya, (4) Dinamisator, artinya guru tidak hanya membangkitkan semangat tetapi juga menjadi lokomotif yang benar-benar mendorong ke arah tujuan pendidikan berkarakter,
(5)
Evaluator,
guru
harus
mengevaluasi
metode
pembelajaran yang selama ini dipakai dalam pendidikan karakter. Dengan adanya peran guru yang sangat strategis, guru juga harus memiliki komitmen dalam pelaksanaannya. Tanpa komitmen yang kuat, suatu tujuan tidak akan tercapai secara optimal bahkan dapat menuai kegagalan. Wujud komitmen dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah menurut Hidayatullah (2010:58) adalah (1) melaksanakan sosialisasi pendidikan karakter dan melakukan komitmen bersama
28
antara seluruh komponen warga sekolah, (2) Membuat komitmen dengan semua stakeholders, (3) Melakukan analisis konteks terhadap kondisi sekolah (internal dan eksternal) yang dikaitkan dengan nilainilai karakter yang dikembangkan pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai dan indikator keberhasilan yang diprioritaskan, sumber daya, sarana yang diperlukan, serta prosedur penilaian keberhasilan, (4)Menyusun rencana aksi sekolah berkaitan dengan penetapan nilai-nilai pendidikan karakter, (5) Membuat perencanaan dan program pelaksanaan pendidikan karakter yang berisi pengintegrasian melalui pembelajaran, penyusunan mata pelajaran muatan lokal, penjadwalan dan penambahan jam belajar di sekolah, (6) Melakukan pengondisian, seperti penyediaan sarana, keteladanan, penghargaan dan pemberdayaan, (7) Melakukan penilaian keberhasilan dan supervisi. Adanya komitmen guru poin 5 (lima) yang menerangkan pengintegrasian melalui mata pelajaran dapat kita lihat di toko buku, adanya buku pendidikan karakter yang dijadikan sebagai materi dalam mata pelajaran baru di Sekolah Dasar (SD) dan pengaplikasian dalam bentuk tindakan di Rencana Proses Pembelajaran (RPP) berkarakter. Pada RPP dewasa ini sedikit demi sedikit telah diterapkan oleh guru sebagai pendidik. Dewasa ini, kurikulum pendidikan karakter sedang digalakkan seperti yang dilakukan oleh Totok Suprayitno sebagai Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA) Direktorat Jenderal
29
Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang melakukan ujicoba Pendidikan Karakter di 25 SMA negeri dan swasta di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi pada tanggal 13 - 18 Maret 2012 (Kompas.com:15/03/2012). Selain pemerintah yang bersinergi terhadap kurikulum ini, nyatanya seluruh pihak juga harus ikut andil sepeti
yang
dikatakan
oleh
Mahdiansyah
(2011:48)
bahwa
Pembangunan karakter bangsa jelas memerlukan komitmen dari segenap pihak, dilakukan secara intensif, integratif, dan sinergis. Selain butuhnya dukungan dari segenap pihak, pengembangan karakter juga harus dilakukan secara terus menerus secara stabil. Selain pemerintah yang terlihat memberikan dukungan, bentuk apresiasi masyarakat luas ikut turut mendukung perubahan kurikulum ini. Kurikulum yang menambahkan pembelajaran moral terkait dengan karakter membuat Kementerian Pendidikan dan Budaya mendatangkan para pakar dan tokoh seperti Franz Magnis Suseno, Prof Juwono Sudarsono, serta lainnya untuk menyusun kurikulum pendidikan karakter yang sudah direncanakan pada tahun 2010. Kurikulum ini diprediksi akan selesai disusun pada Februari 2013 (Kompas.com:27/09/2012). Gambaran kualifikasi yang diharapkan melekat pada setiap lulusan sekolah akan tercemin dalam racikan kurikulum yang dirancang pengelola sekolah yang berdangkutan. Kurikulum sendiri merupakan ruh sekaligus guide dalam praktik pendidikan di lingkungan satuan sekolah (Wiyani,
30
2012:93). Kurikulum yang dirancang harus mencerminkan visi, misi, dan tujuan sekolah yang berkomitmen terhadap pendidikan karakter. Kurikulum yang dirancang oleh pemerintah tiap waktu mengalami perubahan ke arah lebih baik mengikuti kemajuan zaman. Kurikulum pendidikan karakter juga harus mengalami pengembangan yang mana pengembangan itu disertai oleh langkah-langkah pembentunya. Menurut Ali Muhtadi (dalam Wiyani, 2012:95) terdapat tujuh langkah dalam pengembangan kurikulum pendidikan karakter yaitu: (1) Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan pendidikan karakter. Ada kebiasaan-kebiasaan kecil yang dapat menghacurkan bangsa. Kebiasaan mempermalukan diri sendiri seperti meremehkan waktu, bangun kesiangan, dan lain-lain, kebiasaan memperlakukan lingkungan seperti membuang sampah di sembarang tempat, kebiasaan yang merugikan ekonomi seperti konsumtif, pamer, boros listrik, dan lain sebagainya, kebiasaan dalam bersosial seperti demo upah gaji, tawuran, suap-menyuap dan lain-lain, (2) Merumuskan visi, misi dan tujuan sekolah. Statement visi mengisyaratkan tujuan puncak dari sebuah intuisi dan untuk apa visi itu dicapai sedangkan misi merupakan hal-hal yang digunakan untuk mencapai visi tersebut, (3) Merumuskan indikator perilaku peserta didik. Indikator dirumuskan dalam bentuk perilaku peserta didik di kelas dan kegiatan sekolah yang dapat diamati, (4) Mengembangkan silabus dan rencana pembelajaran berbasis pendidikan karakter. Silabus yaitu garis besar, ringkasan, ikhtisar atau
31
garis-garis besar program pembelajaran dan RPP merupakan pegangan bagi
guru
dalam
melaksanakan
pembelajaran
baik
di
kelas,
laboratorium, dan/ atau lapangan untuk setiap kompetensi dasar, (5) Mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan karakter ke seluruh mata pelajaran, (6) Mengembangkan instrumen penilaian pendidikan untuk mengukur ketercapaian program pendidikan karakter, (7) Membangun komunikasi dan kerjasama sekolah dengan orang tua peserta didik. B. Kerangka Berfikir Krisis moral yang terjadi di negara kita ini sudah menjadi makanan publik sehari-hari. Berbagai macam pertanyaan dilontarkan karena kemirisan kita melihat bangsa yang semakin tidak terkontrol. Berkaitan dengan moral, kata karakter melekat didalamnya. Karakter yang merupakan penyerapan nilai atau norma untuk mengatur tingkah laku sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Karakter sendiri dibentuk dari beberapa aspek salah satunya sikap. Sikap yang lebih cenderung berkaitan dengan emosi membutuhkan kecerdasan dalam pengelolaanya. Kecerdasan emosional diperlukan dalam belajar yang kemudian memiliki peran yang strategis dalam peningkatan hasil belajar. Kecerdasan emosional yang berkaitan dengan karakter tidak begitu saja dengan mudah didapat. Butuh adanya pendidikan yang dapat bersinergi terhadap pembentukanya. Pendidikan yang tidak menilai dari aspek kognitif melainkan melalui aspek afektif serta psikomotorik. Pendidikan yang
32
mencakup ketiga aspek tersebut adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter bukan hanya dapat dilakukan di keluarga maupun masyarakat melainkan pendidikan ini dapat di terapkan di sekolah sebagai rumah kedua untuk siswa. Keberadaan kurikulum pendidikan karakter merupakan bentuk apresiasi dari pemerintah yang turut mendukung untuk memperbaiki moral bangsa kita. Setelah adanya peneliti sebelumnya mengenai pelaksanaan pendidikan karakter mulai dari adanya penerapan langsung menginternalisasi ke mata pelajaran, silabus dan RPP berkarakter, metode yang dapat digunakan, strategi pelaksanaan yang tentunya itu semua merupakan disain yang dibuat untuk melaksanakan kurikulum pendidikan karakter ini. Oleh karena itu, penulis menduga bahwa adanya pengaruh character learning education terhadap hasil belajar matematika. C. Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir diatas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan yaitu terdapat pengaruh positif character learning education terhadap hasil belajar matematika.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian ini akan dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 107 Jakarta kelas VIII yang dipimpin oleh Ibu Dra. Ida Farida, M.Pd sebagai Kepala Sekolah. 2. Waktu Penelitian Kegiatan ini akan dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013/2014 selama 6 (enam) bulan yaitu dari bulan Januari 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 dengan pembagian waktu sebagai berikut: Tabel 3.1. Jadual Kegiatan Penelitian Kegiatan
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengajuan masalah dan judul Menentukan lokasi dan sampel Studi pendahuluan Penyusunan instrumen Pengujian Instrumen Pengumpulan dan pengelompokan data Membuat laporan hasil penelitian Sidang Skripsi
33
34
B. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2008:2). Dari Pernyataan diatas, dikemukakan terdapat empat kata kunci yang harus diperhatikan yaitu: cara ilmiah, data, tujuan dan kegunaan. Dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah penelitian, untuk mendapatkan suatu keberhasilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka penulis perlu menggunakan metode yang dianggap sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini penulis memilih metode eksperimen kuasi atau disebut juga dengan metode eksperimen semu. Eksperimen sendiri adalah observasi dibawah kondisi buatan (artificial condition) dimana kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh si peneliti (Nazir, 2009:63). Dalam eksperimen ini masih adanya perlakuan dari lingkungan yang turut berkecimpung. Disini peneliti akan terjun langsung ke dalam penelitianya selama batas waktu yang ditentukan. Sedangkan metode eksperimen kuasi adalah metode penelitian yang mendekati percobaan sungguhan dimana tidak mungkin mengadakan kontrol/ memanipulasikan semua variabel yang relevan (Nazir, 2009:73). Sama hal nya dengan metode eksperimen murni hanya saja karena berbagai
hal
terutama
berkenaan
dengan
pengontrolan
variabel
kemungkinan sukar sekali dapat digunakan metode eksperimen murni atau
35
sungguhan. Dan biasanya metode eksperimen murni hanya digunakan oleh peneliti dibidang SAINS dimana tidak adanya perlakuan dari lingkungan. 2. Desain Penelitian Berdasarkan pada metode eksperimen digunakan dalam penelitian ini, maka desain eksperimen yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 3.2. Desain Penelitian
Kelompok
Symbol
Perlakuan
Tes
Eksperimen
Re
X1
O
Kontrol
Rc
X2
O
Keterangan: R
: Simbol Penelitian kelas eksperimen dan kelas kontrol dua kelompok yang ekuivalen
X1
: “Perlakuan kelas eksperimen” yaitu pemberian character learning education
X2
: “Perlakuan kelas kontrol” yaitu pemberian metode konvensional
Dalam desain ini, hasil belajar yang merupakan data dari penelitian itu dikelompokan menjadi hasil belajar kelas eksperimen dan hasil belajar kelas kontrol. Manipulasi variabel dalam penelitian ini dilakukan pada variabel bebas yaitu pembelajaran matematika dengan pemberian
36
character learning education pada kelas eksperimen dan metode pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Sebelum diberi perlakuan, terlebih dahulu akan dilihat kemampuan awal dari sampel penelitian yang akan dikenai perlakuan, baik dari kelompok eksperimen maupun control. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan khusus yaitu pada pembelajaran matematika dengan pemberian character learning education, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan pembelajaran matematika dengan menggunakan metode konvensional. Pada akhir eksperimen kedua kelompok tersebut diukur dengan menggunakan alat ukur yang sama, yaitu tes hasil belajar matematika. Hasil pengukuran tersebut diukur kemudian dibandingkan dengan tabel statistik yang digunakan. C. Populasi dan Sample 1. Populasi Penelitian Populasi
adalah
keseluruhan
subjek
penelitian
(Arikunto,
2010:173). Berdasarkan pada pengertian di atas, maka yang menjadi Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 107 Jakarta Tahun ajaran 2013/2014. 2. Sampel Penelitian a. Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2008:81). Dalam penelitian ini diambil
37
sampel siswa kelas VIII-1 dan VIII-2 dengan peringkat 11-20 SMP Negeri 107 Jakarta dengan jumlah siswa 20 orang. b. Teknik Sampling Setelah sampel diketahui, maka langkah selanjutnya adalah pemilihan teknik
sampling.
Teknik
sampling
merupakan
teknik
untuk
pengambilan sampel. Teknik Sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah Teknik Sampling Purposive yang mana teknik ini digunakan dengan memilih sampel sesuai dengan kebutuhan seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2008:81) bahwa teknik sampling purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Contohnya saja dalam penelitian ini, sampel yang diambil hanya kelas VIII yang memiliki peringkat 11-20 karena tingkat kecerdasannya menengah. Apabila diberikan perlakuan character learning education akan mempermudah peneliti melakukan penelitian dan memberikan kesimpulan. Lain halnya dengan siswa yang memiliki peringkat atas yang mana memang pada dasarnya siswa tersebut sudah rajin. Apapun perlakuan yang diberikan akan tetap rajin dikarenakan karakter yang sudah menempel di diri siswa. Sama halnya dengan siswa yang memiliki peringkat bawah. D. Metode Pengumpulan Data 1. Variabel Penelitian Secara teoritis menurut Hatch dan Farhady (dalam Sugiyono, 2008:38) variabel dapat didefinisikan sebagai atribut seseorang atau obyek
38
yang mempunyai “variasi” antara yang satu dengan yang lain atau satu obyek dengan obyek yang lain. Jadi, dinamakan variabel karena ada variasinya. Misalnya berat badan sekelompok orang itu bervariasi antara satu orang dengan yang lain dan lain sebagainya. Oleh karena itu Sugiyono (2008:38) mengatakan bahwa variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Dari berbagai macam variasi yang ada, maka akan ditentukan salah satu yang kemudian akan diteliti untuk lebih concern terhadap informasi yang didapatkan yang kemudian ditarik kesimpulan dari hasil penelitianya. a. Variabel Independen atau Variabel Bebas (X) Menurut Sugiyono (2008:39) Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (variabel terikat). Variabel bebas pada penelitian ini adalah character learning education. b. Variabel Dependen atau Variabel Terikat (Y) Masih menurut Sugiyono (2008:39) Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel independen (variabel bebas). Variabel terikat pada penelitian ini adalah hasil belajar.
39
2. Sumber Data Arikunto (2010:172) mengemukakan bahwa : sumber data adalah subjek darimana data dapat diperoleh. Berdasarkan pengertian di atas, maka yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 107 Jakarta kelas VIII-1 dan VIII2 peringkat 11-20. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 2009:174). Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian karena tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut : a. Studi Dokumentasi Studi ini digunakan untuk memperoleh informasi atau data yang ada kaitannya dengan masalah penelitian. Dengan studi dokumentasi diharapkan dapat mengetahui prestasi akademik siswa yaitu melalui nilai yang diperoleh dari buku raportnya. b. Studi Literatur Studi ini digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai teori atau pendekatan yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang diteliti.
40
c. Tes Tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapatkan jawaban dari siswa dalam bentuk lisan, tulisan, maupun perbuatan (Sudjana, 2010:35). Adapun tes yang digunakan dalam teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah : Tes awal (pretest) adalah tes kegiatan belajar diberikan.
Tes
mengajar ini
yang dilaksanakan sebelum
dengan
digunakan
suatu
untuk
perlakuan
mengetahui
yang tingkat
pengetahuan awal siswa sebelum pengajaran berkarakter diberikan. Tes akhir (posttest) adalah tes yang dilakukan setelah proses belajar mengajar selesai, tujuannya adalah untuk mengetahui sejauh mana peningkatan siswa terhadap pengajaran berkarakter yang telah diberikan. E. Instrumen Penelitian 1. Definisi Konseptual Hasil belajar merupakan tingkat penguasaan siswa setelah belajar dengan memasukan character learning education dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat meningkatkan kecerdasan emosionalnya yang kemudian akan berdampak terhadap prestasi kognitif, afektif serta psikomotorik siswa itu sendiri.
41
2. Definisi Operasional Hasil belajar adalah skor tentang kemampuan pelajaran yang diperoleh siswa dari hasil tes belajar berbentuk pilihan ganda sebanyak 20 soal kognitif serta 5 soal dalam bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan afektif. Sedangkan untuk Hasil belajar secara afektif dan psikomotorik didapat melalui pengamatan langsung dengan diterapkanya Silabus dan RPP Berkarakter oleh peneliti dibantu guru bidang studi kelas VIII-1 dan VIII-2 SMP Negeri 107 Jakarta. 3. Kisi-Kisi Instrumen Instrumen variabel hasil belajar disusun berdasarkan tes hasil belajar dalam bentuk soal pilihan ganda yang didasarkan atas materi yang telah disampaikan oleh peneliti dibantu dengan guru bidang studi kelas VIII-1 dan VIII-2 SMP Negeri 107 Jakarta. 4. Pengujian Instrumen a. Pengujian validitas keshahihan atau validitas butir soal. Pada penelitian ini, perhitungan validitas butir soal menggunakan Product Moment Pearson angka kasar, kemudian dilanjutkan dengan rumus Spearman Brown, dengan rumus:
Keterangan: N
: Jumlah sampel responden
X
: Nilai ulangan harian 1
Y
: Nilai uji coba yang dapat dijumlah tiap item genap dan ganjil
42
X2 : Jumlah Kuadrat nilai ulangan harian 1 Y2 : Jumlah kuadrat nilai uji coba XY : Jumlah perkalian antara X dan Y Validitas butir soal untuk tes hasil belajar matematika yang berbentuk pilihan ganda diisi dengan menggunakan rumus korelasi biserial, yaitu sebagai berikut:
Dimana: rbis : Koefisien korelasi biserial antara skor butir soal nomor i dengan skor total Xi : Rata-rata skor total responden yang menjawab benar butir soal nomor i Xt : Rata-rata skor total semua responden St
: Standart deviasi skor total semua responden
Pi
: Proporsi jawaban benar untuk butir soal nomor i
Qi : Proporsi jawaban salah untuk butir soal i Untuk menentukan soal valid/ tidak, selanjutnya koefisien rbis (rhitung) di interpretasikan dengan kriteria: Jika nilai
rhitung ≥ rtabel berarti valid rhitung ≤ rtabel berarti tidak valid
43
b. Pengujian reliabilitas Suatu tes dikatakan reliabel atau ajeg apabila beberapa kali pengujian menunjukan hasil yang relatif sama (Sudjana, 2010:148). Untuk menguji keterhandalan (reliabilitas) perangkat soal untuk pilihan ganda diuji dengan menggunakan Product Moment Person dengan teknik belah dua (genap-ganjil), dengan rumus: Keterangan: N
: Jumlah sampel (responden)
X
: Jumlah skor tiap item ganjil
Y
: Jumlah skor tiap item genap
X2 : Jumlah Kuadrat dari tiap item ganjil Y2 : Jumlah Kuadrat dari tiap item genap c. Pengujian taraf kesukaran Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui soal-soal yang mudah, sedang, dan sukar. Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar (Arikunto, 2010:230). Cara mengetahui tingkat kesukaran soal dengan menggunakan rumus:
Keterangan: P
: Indeks kesukaran
B
: Banyaknya siswa yang menjawab butir soal dengan benar
JS : Jumlah seluruh siswa peserta test Menentukan indeks kesukaran soal sebagai berikut:
44
P
: 0,00 - 0,30 adalah soal sukar
P
: 0,31 - 0,70 adalah soal sedang
P
: 0,71 - 1,00 adalah soal mudah
d. Daya Pembeda Soal Daya pembeda soal bertujuan untuk mengetahui kesanggupan soal dalam membedakan siswa yang tergolong kurang atau lemah prestasinya. Adapun rumus yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
DP = Indeks daya pembeda butir soal BA = Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal benar BB = Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal benar JA = Banyaknya peserta kelompok atas JB
= Banyaknya peserta kelompok bawah
PA = Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar PB = Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar Untuk menentukan kelompok atas dan kelompok bawah, maka siswa diperingkat berdasarkan total skor yang diperoleh kemudian diambil 27% kelompok atas (peringkat atas) dan 27% kelompok bawah (peringkat bawah). F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data merupakan inti menulisan proposal dikarenakan bagian ini akan membuktikan kebenaran hasil dari hipotesis seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2008:243) bahwa Teknik analisis data pada
45
penelitian kuantitatif diarahkan untuk menjawab rumusan masalah atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan dalam proposal. Karena datanya kuantitatif, maka teknik analisis data menggunakan metode statistik yang sudah tersedia. 1. Teknik Analisis Deskriptif Teknik Analisis Deskriptif merupakan teknik analisis data yang dapat dinyatakan dengan angka (kuatitatif). Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: a. Menentukan rentang, ialah data terbesai dikurangi data terkecil; b. Menentukan banyak kelas interval yang diperlukan. Banyak kelas cukup bagus dengan menggunakan aturan Struges, yaitu: Banyak kelas = 1 + (3,3) log n c. Menentukan panjang kelas interval;
d. Menentukan tabel distribusi frekuensi skor; e. Menghitung rata-rata (mean); Keterangan: = frekuensi = nilai tengah f. Menentukan nilai tengah data/ median (Me);
46
Keterangan: b = batas bawah kelas median, ialah kelas median terletak n = jumlah data f = frekuensi kelas median F = frekuensi komulatif sebelum kelas median P = panjang jelas median g. Menentukan modus (Mo);
Keterangan: P = panjang jelas median b = batas bawah kelas modus, ialah kelas modus terletak d1 = selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas modus sebelumnya. d2 = selisih frekuensi kelas modus dengan frekuensi kelas modus sesudahnya. h. Mencari simpangan baku (S);
i. Membuat histogram. 2. Teknik Analisis Persyaratan Data a. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang sedang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau
47
bukan. Sedangkan pengujian normalitas yang dilakukan dengan menggunakan uji x2 (chi kuadrat). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1) Sajikan data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi; 2) Menentukan rata-rata ( ); 3) Menentukan simpangan baku (S); 4) Menentujan batas kelas interval; 5) Mencari Zscore dengan rumus;
6) Mencari luas O - Z dari tabel kurva normal dari O - Z dengan menggunakan angka-angka untuk batas kelas lalu mencari luas tiap kelasnya; 7) Mencari frekuensi yang diharapkan (Fe) dengan cara mengalihkan luas tiap interval dengan jumlah responden; 8) Menghitung chi-kuadrat (x2 hitung);
Keterangan: fe = frekuensi yang diharapkan fo = frekuensi yang diperoleh 9) Membandingkan x2 hitung dangan x2 tabel. x2 hitung ≤ x2 tabel maka distribusi data normal x2 hitung ≥ x2 tabel maka distribusi data tidak normal
48
b. Uji Homogenitas Untuk pengujian homogenitas pada penelitian ini digunakan hipotesis sebagai berikut: Ho : H1 : Dimana
adalah varian dari sampel pertama dan
adalah varian
sampel kedua. Hipotesis tersebut diuji dengan menggunakan rumus Fisher yaitu sebagai berikut:
Dimana: S12 = Varian terbesar S22 = Varian terkecil Kriteria Pengujian: Terima Ho Jika FHitung < FTabel Tolak Ho Jika FHitung > FTabel 3. Pengujian Hipotesis Setelah diketahui bahwa data tersebut berdistribusi normal dan homogen, maka dilakukan uji lanjut sesuai dengan hipotesis yaitu: a. Hipotesis statistik Ho : H1 :
49
Keterangan: : Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test : Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test b. Analisa data Pengujian hipotesis penelitian dengan rumus hipotesis statistik diatas dengan derajat kebebasan V=Na + Nb - 2 dengan taraf α menggunakan uji perbedaan 2 rata-rata dengan uji t (t-test) yang rumusnya sebagai berikut:
Dimana: = Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test = Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test SA = Simpangan baku siswa pada saat pre test SB = Simpangan baku siswa pada saat post test N
= Jumlah siswa
t = Hasil hitung t/ perbedaan antara pre test dan post test Adapun kriterianya adalah jika harga mutlak thitung > ttabel pada taraf α, maka tidak ada yang berarti. Sedangkan jika harga mutlak thitung < ttabel pada taraf α, maka ada perbedaan yang berarti.
50
G. Hipotesis Statistik Ho: H1 : Dimana: : Rata-rata hasil belajar matematika pada saat pre test. : Rata-rata hasil belajar matematika pada saat post test. Ho: Hasil belajar matematika yang diajarkan menggunakan character learning education sama dengan yang konvensional. H1 : Hasil belajar matematika yang diajarkan menggunakan character learning education lebih baik dari yang dengan konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qarni, Aidh.2012.La Tahzan:For Smart Teachers. Yogyakarta: Lafal Indonesia. Arikunto, Suharsimi.2010.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Cetakan Keempatbelas.Jakarta:Rineka Cipta. Aunurrahman.2010. Belajar Bandung:Alfabeta
dan
Pemberlajaran.
Cetakan
Keempat.
Bell, Frederick H. (1981). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: Brown Company Publishers Bertens, K.2007.Etika.Cetakan Kesepuluh.Jakarta:Gramedia Pustaka. Budiningsih, C.Asri.2005.Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta Budiono. (2009). Panduan Pengembangan Materi Pembelajaran. Tersedia di http://www.scribd.com/doc/21684083/Pengemb-Materi-Pembelaj Budiono- SMANEJA-Blitar. Diakses pada tanggal 11 Februari 2013 Dimyati.2009.Belajar dan Pembelajaran.Jakarta:Rineka Cipta. E.T. Ruseffendi.1990.Pengajaran Matematika Modern.Bandung:Tarsito Erman
Suherman, dkk. (2003). Strategi Pembelajaran Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Matematika
Hamzah, Mustadi, dan Junaedi.2007.Pendidikan Sejarah Perjuangan PGRI (PSP - PGRI). Jakarta:Universitas Indraprasta PGRI. Hidayatullah, M Furqon.2010.Guru Sejati:Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.Cetakan Ketiga.Surakarta:Yuma Pustaka. J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain.1996.Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta:Pustaka Sinar Harapan. Jujun
S. Suriasumantri.1993.Filsafat Ilmu Populer).Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.
(Sebuah
Pengantar
Kadarsih, Liani.2012.Power Full in Education: Jurus-Jurus Dasyat Menjadi Guru Super. Yogyakarta:Araska.
iv
Koesoema, Doni.2007.Pendidikan Karakter:Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:Grasindo. Mahdiansyah.2011.Pendidikan Membangun Karakter Bangsa.Jakarta:Bestari. Nazir, Moh.2009.Metode Penelitian.Cetakan Ketujuh.Bogor:Ghalia Indonesia. Nugroho.1990.Ensiklopedi Nasional Indonesia.Jilid 10.Jakarta:PT. Cipta Adi Pustaka Orlich, C. Donald, et al. 2007. Teaching Strategies : A Guide to Effective Instruction. USA: Houghton Mifflin Company S. Nasution. (2005). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara Sahlan, Asmaun, dan Prastyo, Angga Teguh.2012.Desain Pembelajaran Berbasis Pendidikan Karakter. Yogyakarta:Ar-Ruzz Media. Suardi.2012.Pengantar Pendidikan (Teori dan Aplikasi).Jakarta:Indeks. Sudjana,
Nana.2010.Penilaian Hasil Proses Belajar Kelimabelas.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Mengajar.Cetakan
Sugiyono.2008.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Cetakan Keempat.Bandung: Alfabeta. Tim Penyusun. (2006). Pedoman Model Penilaian Kelas KTSP TK-SDSMP- SMA-SMK-MI-MTs-MA-MAK. Jakarta: BP. Cipta Jaya Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. W.S.
Winkel.1996.Psikologi Pendidikan Pendidikan.Jakarta:Gramedia.
dan
Evaluasi
Wiyani, Novan Ardy.2012.Manajemen Pendidikan Karakter.Yogyakarta: Pedagogia. http://edukasi.kompas.com/read/2012/03/15/07253564/Uji.Coba.Pendidikan.Ka rakter.di.25.Sekolah pukul 15.18 tanggal 5/10/2012 http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/27/22554991/Kurikulum.Baru.Pangka s.Jumlah.Mata.Pelajaran pukul 10.53 tgl 28/9/2012 iv