PENGARUH APLIKASI PEMUPUKAN MELALUI LUBANG RESAPAN BIOPORI TERHADAP VIGOR BIBIT TANAMAN PEPAYA (Carica papaya L.)
FEFIN IRIANTI A24050653
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN FEFIN IRIANTI. Pengaruh Aplikasi Pemupukan Melalui Lubang Resapan Biopori terhadap Vigor Bibit Tanaman Pepaya (Carica papaya L.). (Dibimbing oleh ABDUL QADIR dan M. R. SUHARTANTO). Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh aplikasi pemupukan melalui Lubang Resapan Biopori (LRB) terhadap vigor bibit tanaman pepaya (Carica papaya L.). Percobaan dilaksanakan di lahan percobaan IPB Leuwikopo, Darmaga, Bogor pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2010 dengan menggunakan bibit tanaman pepaya varietas Sukma (IPB 6C) yang berumur 2 BST. Percobaan di lapang menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) satu faktor. Faktor perlakuan tersebut adalah metode aplikasi pemupukan yang terdiri dari perlakuan L0S (perlakuan tanpa LRB dan aplikasi pupuk dengan alur melingkar di bawah tajuk tanaman), L2S (perlakuan dengan 2 LRB/tanaman dengan aplikasi pupuk tetap melalui alur melingkar di bawah tajuk tanaman), L2M (perlakuan dengan 2 LRB/tanaman dan aplikasi pupuk dimasukkan ke dalamnya), L3S (perlakuan dengan 3 LRB/tanaman namun aplikasi pupuk tetap melalui alur melingkar di bawah tajuk tanaman), L3M (perlakuan dengan 3 LRB/tanaman dan aplikasi pupuk dimasukkan ke dalamnya). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 15 satuan percobaan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi pemupukan dapat memperbaiki pH, ketersediaan P, dan kelas tekstur tanah. Perlakuan aplikasi dengan memasukkan pupuk ke dalam LRB memberikan pengaruh yang lebih baik daripada perlakuan aplikasi pupuk dengan hanya dialur di sekitar penutupan tajuk tanaman. Pada peubah tinggi tanaman, aplikasi L2S yang paling memenuhi tujuan budidaya pepaya, yaitu kriteria di mana saat awal pindah tanam (fase vegetatif) memberikan pengaruh positif dan pada saat akhir pengamatan tidak begitu berpengaruh (pohon dwarf). Pada peubah jumlah daun, aplikasi L2M merupakan
perlakuan yang paling sesuai dengan tujuan yang diharapkan untuk perkembangan jumlah daun yang optimal pada fase bibit. Begitu juga dengan peubah diameter batang, perlakuan aplikasi L2M menunjukkan pengaruh yang relatif lebih baik. Hasil rata-rata uji korelasi menunjukkan bahwa peubah jumlah daun sangat nyata berkorelasi positif dengan peubah tinggi tanaman (r = 0,826**) dan diameter batang tanaman (r = 0,887**). Begitu juga dengan tinggi tanaman yang nyata berkorelasi dengan diameter batang (r = 0,81*).
PENGARUH APLIKASI PEMUPUKAN MELALUI LUBANG RESAPAN BIOPORI TERHADAP VIGOR BIBIT TANAMAN PEPAYA (Carica papaya L.)
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
FEFIN IRIANTI A24050653
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul : PENGARUH APLIKASI PEMUPUKAN MELALUI LUBANG RESAPAN BIOPORI TERHADAP VIGOR BIBIT TANAMAN PEPAYA (Carica papaya L.) Nama : FEFIN IRIANTI NIM : A24050653
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
(Ir. Abdul Qadir, MS)
(Dr. Ir. M. R. Suhartanto, MS)
NIP. 19620927 198703 1 001
NIP. 19630923 198811 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
(Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr.) NIP 19611101 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal 26 Februari 1987 dari pasangan Bapak M. Toha dan Ibu Giarini. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar di SD Negeri III Kaliboto, Kecamatan Tarokan, Kabupaten Kediri, Jawa Timur pada tahun 1999. Kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTP Negeri 1 Grogol, Kecamatan Grogol, Kabupaten Kediri, Jawa Timur dan lulus pada tahun 2002. Selanjutnya penulis melanjutkan ke sekolah lanjutan SMA Negeri 1 Kediri, Jawa Timur dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2006 penulis tercatat sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH), Fakultas Pertanian. Sebagai salah satu penerima beastudi ETOS Dompet Dhuafa, penulis aktif menulis dan mengikuti Lomba Kreativitas Mahasiswa. Selain itu penulis juga aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah. Diantaranya asisten praktikum Pendidikan Agama Islam (2007), asisten praktikum Biologi (2007), dan asisten praktikum Dasar Hortikultura (2008). Selama menempuh studi di IPB, penulis aktif berorganisasi. Pada tahun 2005-2006 penulis menjabat sebagai Ketua Divisi Inventarisasi dan Kekeluargaan di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tingkat Persiapan Bersama sekaligus Pengurus Gedung dan Mushola Asrama Putri TPB. Selanjutnya pada tahun 20062007 penulis bergabung dalam Kabinet IPB Bersatu Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB dan mendapat amanah sebagai Sekretaris Menteri Kebijakan Nasional. Pada tahun selanjutnya penulis bergabung di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian dan menjabat sebagai Menteri Pembinaan Sumber Daya Manusia (PSDM) Kabinet Matahari tahun kepengurusan 2007-2008.
KATA PENGANTAR Puji syukur atas segala rahmat dan karunia Allah SWT yang senantiasa terlimpah sehingga memberikan kekuatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dengan baik. Penelitian aplikasi pemupukan melalui lubang resapan biopori ini dilaksanakan terdorong oleh keinginan untuk mengetahui cara pemupukan yang efektif guna meningkatkan vigor bibit tanaman pepaya (Carica papaya L.). Penulis menyampaikan terima kasih kepada 1. Bapak M.Toha, Ibu Giarini dan kakak-kakak tercinta (Mbak Endri dan Mas Sigit) yang telah memberikan dukungan moril dan materiil pada penulis. 2. Ir. Abdul Qadir, MS dan Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MS yang telah memberikan bimbingan, dukungan dan pengarahan selama penyusunan laporan hasil penelitian ini. 3. Dr. Ir. Winarso D. Widodo, MS yang telah memberikan saran dan pengarahan dalam rangka menyempurnakan laporan hasil penelitian ini. 4. Dr. Ir. Anas D. Susila MS yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan akademik selama penulis menempuh studi di Departemen Agronomi dan Hortikultura. 5. Pusat Kajian Buah Tropika dan pekerja lapang yang telah membantu teknis penelitian sehingga penulis dapat melakukan pengamatan dengan seksama. 6. Dra. Ulfatul Mufida dan keluarga, Dr. Ir. Titik Sumarti MC, MS dan keluarga, Ustadz Asep Nurhalim dan keluarga, serta segenap keluarga besar Beastudi ETOS Dompet Dhuafa yang telah memberikan dukungan yang sangat berharga bagi penulis. 7. teman-teman di AGH, di Faperta, dan secara umum civitas akademika IPB, serta kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Penulis berharap semoga laporan penelitian ini bermanfaat. Amin. Bogor, September 2010 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan .................................................................................................... Hipotesis..................................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Pepaya (Carica papaya L.) ..................................................................... Vigor Tanaman ....................................................................................... Tanah dan Kesuburan.............................................................................. Pupuk dan Efisiensi Penggunaannya ...................................................... Lubang Resapan Biopori .........................................................................
4 7 8 10 13
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ................................................................................. Bahan dan Alat ....................................................................................... Metode Percobaan .................................................................................. Pelaksanaan Percobaan .......................................................................... Pengamatan ............................................................................................
15 15 16 17 19
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum...................................................................................... Hasil Uji Tanah ..................................................................................... Tinggi Tanaman .................................................................................... Jumlah Daun ......................................................................................... Diameter Batang ................................................................................... Korelasi Antar Peubah Pengamatan .......................................................
21 22 25 29 34 37
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................... Saran ......................................................................................................
39 39
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
39
LAMPIRAN .................................................................................................
44
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah .................................................
10
2. Data Hasil Uji Tanah ...........................................................................
23
3. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman di Setiap Pengamatan ...............................................
25
4. Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman di Setiap Pengamatan ...........................................................................
26
5. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun di Setiap Pengamatan ...................................................
29
6. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun di Setiap Pengamatan ....
30
7. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Diameter Batang di Setiap Pengamatan ..............................................
34
8. Pengaruh Perlakuan terhadap Diameter Batang di Setiap Pengamatan ..........................................................................
35
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Keadaan Persemaian (a) Saat Awal Persemaian (b) Persemaian 2 BST .............................
15
2. Media Penelitian (a) Bor LRB (b) Sumur Tandon Air…………………………………..
17
3. Jumlah dan Posisi Lubang Resapan Biopori (a) 3 LRB (b) 2 LRB............................................................................
18
4. Kondisi Lahan Sebelum Diolah ...........................................................
21
5. Kondisi LRB Selama Pengamatan (a) Kondisi Baik (b) Tertutup/rusak ...................................................
22
6. Pengaruh Perlakuan Aplikasi Pemupukan terhadap Tinggi Tanaman ...................................................................................
28
7. Pengaruh Perlakuan Aplikasi Pemupukan terhadap Jumlah Daun .........................................................................................
31
8. Pengaruh Perlakuan Aplikasi Pemupukan terhadap Diameter Batang ...................................................................................
36
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Rekapitulasi Analisis Ragam dan Uji Lanjut BNJ Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman di Setiap Pengamatan…………
45
2. Rekapitulasi Analisis Ragam dan Uji Lanjut BNJ Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun di Setiap Pengamatan…………….
45
3. Rekapitulasi Analisis Ragam dan Uji Lanjut BNJ Pengaruh Perlakuan terhadap Diameter Batang di Setiap Pengamatan…………
46
4. Data Luas Tanam dan Hasil Produksi Pepaya Dunia………………...
46
5. Denah Lapang Penelitian……………………………………………..
47
6. Tampilan Tampilan Media Penelitian dan Pelaksanaan Pengamatan (a) Bor LRB (b) Pengukuran Tinggi Tanaman (c) Jangka Sorong Digital (d) Bagian Dalam LRB (e) dan (f) Pengambilan Sampel Tanah……..
48
7. Pertumbuhan Tanaman (a) Awal Persemaian (b) Persemaian 2 BST (c) Kondisi Awal Pindah Tanam (d) 3 MST (e) 8 MST (f) 11 MST…………………………………………………………….
49
8. Hama dan Penyakit yang Menyerang Tanaman Pepaya (a) ulat (b) walang (c) kumbang (d) kutu putih (e) kutu daun (f) jamur………………………………………………...
50
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman buah yang mudah tumbuh di mana saja dan disukai hampir oleh semua lapisan masyarakat. Selain untuk konsumsi buah segar, buah pepaya matang juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan, minuman, kosmetika dan obat-obatan. Menurut data Deptan (2006), konsumsi pepaya pada tahun 2005 mencapai 2,28 kg/kapita/tahun. Menurut Sujiprihati dan Suketi (2009) meskipun upaya pemenuhan kebutuhan buah pepaya terus mengalami peningkatan, ternyata masih banyak kendala yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kemampuan adaptasi tanaman yang rendah terhadap cekaman lingkungan. Kondisi tanah yang kurang subur dan drainase yang kurang baik akan menyebabkan tanaman mudah layu dan akhirnya mati. Tanah yang subur adalah tanah yang secara konsisten dapat memberikan hasil tanpa penambahan pupuk. Jenis tanah tertentu mempunyai potensi kesuburan yang tinggi, tapi karena tidak dilakukan perbaikan terhadap tingkat kesuburannya maka hanya diperoleh hasil dengan aras sedang. Hasil akan dapat ditingkatkan diantaranya dengan pemupukan dan perbaikan sistem pertanaman (Sutanto, 2005). Kesuburan tanah ini, baik di daerah beriklim sedang maupun tropis, ditentukan oleh komponen biotik dan abiotik dalam ekosistem pertanian yang saling mempengaruhi (Robertson dan Grandy, 2006). Menurut Sitompul dan Guritno (1995) istilah pengaruh merupakan perkataan yang umum digunakan untuk menggambarkan kejadian yang mungkin terjadi pada tanaman dengan perubahan lingkungan.
Penggunaan
istilah
pengaruh
memberikan
penekanan
pada
lingkungan (apakah faktor lingkungan tersebut berpengaruh, bagaimana pengaruhnya dan sampai sejauh mana pengaruhnya). Sanchez (1976) menyampaikan bahwa penggunaan pupuk untuk memperbaiki hasil dan memperpanjang masa pertanaman seharusnya ekonomis dalam keadaan tertentu. Namun, usaha pemupukan saja, baik organik mupun kimia ataupun kombinasi keduanya, belum cukup untuk menunjang optimalisasi
pertumbuhan tanaman terkait dengan daya tahan tumbuhnya di lingkungan yang suboptimum terutama saat masih bibit. Berdasarkan perhitungan ternyata biaya pemupukan mencapai 40% sampai 60% dari seluruh biaya perawatan. Mengingat jumlah biaya yang dipakai sangat tinggi, maka suatu sistem pengendalian dan pelaksanaan pemupukan yang rasional sangat diperlukan, sehingga efektivitas sebagai sasaran utama pelaksanaan pemupukan dapat tercapai. Pelaksanaan pemupukan yang buruk juga akan berakibat menurunnya jumlah produksi bahkan akan mengakibatkan kerusakan. Perlu diterapkan cara aplikasi pupuk yang tepat dan efisien agar tanaman dapat menyerap lebih banyak unsur hara secara sempurna sehingga dapat meningkatkan asupan hara tanaman tanpa mengubah dosis yang telah ditetapkan sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, telah ditemukan teknologi baru sistem konservasi tanah yang dinamakan Lubang Resapan Biopori (LRB). Teknik ini mempunyai
banyak
keunggulan,
salah
satunya
adalah
sebagai
tempat
pengomposan praktis di lapang dan sebagai sarana perbaikan drainase lahan. Lubang yang dibentuk dapat mencegah terjadinya aliran permukaan dan kompos yang terdapat di dalam LRB dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai pupuk tambahan yang dapat membantu mengoptimalkan pertumbuhan tanaman (Tim Biopori IPB, 2007). Di sisi lain, bibit pepaya yang bersifat rentan saat pindah tanam membutuhkan asupan hara yang cukup dengan kondisi tanah yang optimal untuk pertumbuhannya. Permintaan pasar yang tinggi dan semakin banyak penelitian terkait pemuliaan tanaman pepaya mendorong ketersediaan lahan yang subur untuk pertanaman pepaya. Penggunaan LRB sebagai alternatif perbaikan kesuburan tanah perlu dikaji lebih lanjut terutama terkait jumlahnya per tanaman dan pengaruhnya terhadap vigor bibit tanaman pepaya.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi pemupukan melalui lubang resapan biopori terhadap vigor bibit tanaman pepaya (Carica papaya L.)
Hipotesis 1. Perlakuan aplikasi pupuk memberikan pengaruh yang berbeda terhadap vigor bibit tanaman pepaya. 2. Perlakuan aplikasi memasukkan pupuk ke dalam 3 LRB/tanaman memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan tanpa LRB (0 LRB/tanaman) maupun 2 LRB/ tanaman.
TINJAUAN PUSTAKA Pepaya (Carica papaya L.) Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman buah herba yang termasuk ke dalam famili Caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar Mexsiko dan Coasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam orang, baik di daeah tropis maupun sub tropis, di daerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah dataran dan pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya merupakan buah meja bermutu dan bergizi tinggi (Tohir, 1978). Pepaya dapat tumbuh pada dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian 700 m dpl dengan pertumbuhan optimal pada ketinggian 200 – 500 m dpl,
curah hujan 1000 - 2000 mm/tahun, kisaran suhu udara 21 - 33°C,
kelembaban udara sekitar 40% dan angin yang tidak terlalu kencang sangat baik untuk penyerbukan. Tanah subur, gembur, mengandung humus dan harus banyak menahan air, pH tanah yang ideal adalah netral dengan pH 6,0 -6,5. Pepaya juga merupakan tanaman yang sangat sensitif, sehingga sedikit toleran terhadap stres garam. Tahap persemaian dan bibit merupakan tahap yang paling sensitif dalam siklus pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada tahap pertumbuhan selanjutnya tanaman sedikit sensitif terhadap garam (Villegas, 1997). Tanaman pepaya di Indonesia tersebar dimana-mana bahkan telah menjadi tanaman perkarangan. Sentra penanaman buah pepaya di Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi), Jawa Timur (Kabupaten Malang), Pasar Induk Kramat Jati DKI, Yogyakarta (Sleman), Lampung Tengah, Sulawesi Selatan (Toraja), Sulawesi Utara (Manado). Pepaya Indonesia menempati urutan kelima dalam produksi dunia. Produktivitasnya pada tahun 2004 mencapai 73,26 ton/ha dan menurun menjadi 64,67 ton/ha pada tahun 2005 (FAOSTAT, 2005). Besarnya produksi pepaya di Indonesia dikarenakan pepaya mempunyai beberapa keistimewaan dibandingkan tanaman buah-buahan lainnya, yaitu mudah dibudidayakan, cepat berproduksi, buahnya tersedia sepanjang tahun dan tidak memerlukan lahan luas sehingga dapat ditanam di pekarangan rumah (Rusnas, 2004).
Telah banyak dilakukan penelitian untuk meningkatkan produktivitas pepaya melalui perbaikan teknis budidaya. Usaha perbaikan tersebut meliputi penggunaan bibit berkualitas, pemeliharaan tanaman secara optimal, penentuan jenis dan dosis pupuk tepat, serta pengendalian hama secara tepat (Rusnas, 2004). Tanaman pepaya memerlukan cukup air tetapi tidak tahan air yang tergenang. Maka pengairan dan pembuangan air harus diatur dengan seksama. Apalagi di daerah yang banyak turun hujan dan bertanah liat harus dibuatkan parit-parit. Kebutuhan air ideal pada tanaman pepaya adalah sekitar 70 liter/minggu. Tanaman pepaya bila kelebihan air atau akar terlalu lama tergenang air, dapat mengakibatkan akar akan membusuk dan tanaman layu, dan pada akhirnya akan dapat mengakibatkan kematian (Ashari, 2006). Pada musim kemarau, intensitas pengairan ditingkatkan untuk mencegah kekeringan. Pengairan pada musim kemarau berkisar anatara 120-140 liter/tanaman/minggu. Oleh karena itu penyediaan bak penampung air sangat diperlukan pada musim kemarau. Pepaya tidak dapat tumbuh dengan sempurna pada kondisi kekurangan air dan jika berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan tanaman layu dan akhirnya mati (Gunawan et al., 2007). Menurut Tohir (1978) pohon pepaya memerlukan pupuk yang banyak, khususnya pupuk organik. Pemupukan akan memberikan zat-zat makanan yang diperlukan dan dapat menjaga kelembaban tanah. Cara pemberian pupuk pada tanaman pepaya (dosis per tanaman) sebagai berikut: 1. Setiap minggu setelah tanam (1 MST s.d. 4 MST) diberi pupuk kimia, 50 gram ZA, 25 gram Urea, 50 gram TSP dan 25 gram KCl, dicampur dan ditanam melingkar. 2. Satu bulan kemudian (5 MST) dilakukan pemupukan kedua dengan komposisi 75 gram ZA, 35 gram Urea, 75 gram TSP, dan 40 gram KCl. 3. Saat umur 3-5 bulan (14 MST s.d. 21 MST) dilakukan pemupukan ketiga dengan komposisi 75 gram ZA, 50 gram Urea, 75 gram TSP, 50 gram KCl. 4. Umur 6 bulan dan seterusnya 1 bulan sekali diberi pupuk dengan 100 gram ZA, 60 gram Urea, 75 gram TSP, dan 75 gram KCl. Pepaya untuk pertumbuhannya membutuhkan Fosfor, Nitrogen dan Kalium. Fosfor diperlukan untuk pembentukan bunga dan mempercepat
pemasakan buah. Nitrogen dibutuhkan dalam jumlah banyak karena diperlukan pertumbuhan vegetatif yang cepat. Kalium diperlukan untuk pembentukan gula buah dan memberi daya tahan akan kekeringan (Marsono dan Sigit, 2001). Pepaya yang ditanam dalam kondisi baik dapat bertahan hidup hingga umur 3 sampai 4 tahun. Agar tanaman pepaya dapat berproduksi optimal ada beberapa faktor yang harus dipenuhi antara lain kebun terbebas dari rumput, tidak kekurangan sinar matahari, penanaman bersifat monokultur dan lubang tanam cukup besar hingga mampu menampung pupuk organik yang cukup banyak. Agar pepaya yang dibudidayakan dapat memberikan hasil yang memuaskan maka yang harus dilakukan dalam pemeliharaan adalah menggunakan tanaman yang sudah disemaikan, melakukan penyiangan dan pemupukan, mengatur pengairan dan menentukan ketepatan waktu untuk proses pemanenan (Agromedia, 2007). Tanaman pepaya termasuk tanaman yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Menurut Villegas (1997), Organisme Pangganggu Tanaman (OPT) pada tanaman pepaya selain gulma antara lain jamur penyebab antraknosa (Colletotrichum gloiosporioides), kutu putih (Paracoccus marginatus), kutu daun (Myzus persicae) penyebab Pepaya Mosaic Virus (PMV) dan penyakit bercak cincin pepaya, cendawan Cercospora pepayae penyebab bercak daun cercospora. Corynespora casiicola penyebab bercak daun corynespora dan cendawan Fusarium oxysporum penyebab layu fusarium. Berbagai OPT tersebut sangat merugikan pertanaman pepaya karena dapat menurunkan hasil produksi baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Villegas (1997) menyatakan bahwa tanaman pepaya dapat mencapai usia 25 tahun jika tidak terserang hama dan penyakit, namun hal ini jarang dijumpai. Untuk produksi buah segar sebaik produksi papain yang paling baik adalah meremajakan tanaman setiap 3 tahun. Semakin tua umur tanaman, buah yang dihasilkan akan semakin menurun, baik kualitas maupun kuantitasnya. Secara umum, pepaya yang telah berumur empat tahun sudah harus dibongkar.
Vigor Bibit Tanaman Vigor adalah sejumlah sifat-sifat benih atau bibit yang mengindikasikan pertumbuhan dan perkembangan kecambah yang cepat dan seragam pada cakupan kondisi lapang yang luas (Sadjad et al., 1999). Bibit adalah tumbuhan muda yang makanannya tergantung kepada persediaan bahan makanan yang terdapat dalam biji. Pada kondisi yang menguntungkan, suatu biji akan berkecambah. Apabila biji tersebut dikecambahkan pada medium tanah maka akan terjadi suatu peristiwa dimana bibit muncul di atas pemukaan tanah. Peristiwa ini disebut emergence of seedlings yang selanjutnya akan diikuti dengan pertumbuhan bibit menjadi tanaman dewasa. Uji vigor banyak dilakukan pada tingkat benih. Vigor kekuatan tumbuh merupakan parameter yang menunjukkan bahwa benih tersebut kuat atau tidak mengalami hambatan berarti ketika ditanam dalam kondisi suboptimum. Benih yang mempunyai vigor kekuatan tumbuh tinggi dapat menghasikan tanaman kuat di lapang, walaupun kondisi lapang atau lingkungan tumbuhnya suboptimum. Vigor kekuatan tumbuh benih dapat diungkapkan oleh 3 peubah, yaitu kecepatan tumbuh (KCT), keserempakkan tumbuh (KST) dan vigor spesifik. Peubah KCT dapat diungkapkan dengan tolak ukur waktu yang diperlukan untuk mencapai perkecambahan sebesar 50% atau waktu rata-rata yang diperlukan untuk mencapai perkecambahan sebesar 10 - 90%, keduanya diperhitungkan dari perkecambahan maksimal yang bisa dicapai. Peubah KST merupakan peubah untuk parameter VKT yang unitnya berupa persentase kecambah yang tumbuh kuat dan memperlihatkan keserempakkan pada media pengujian (Sadjad et al., 1999). Pratiwi (1999) menyatakan bahwa pada tingkat bibit, secara umum kadar air medium tanaman menurunkan vigor bibit yang diukur melalui tolak ukur bobot kering akar, panjang akar, bobot kering tajuk dan jumlah daun. Selain itu, Wulandari (2008) juga menggunakan jumlah tunas dan tinggi tanaman sebagai peubah vigor bibit.
Tanah dan Kesuburan Menurut Notohadiprawiro et al. (2000), fungsi-fungsi vital yang dikerjakan tanah dalam ekosistem mencakup : (1) memberlanjutkan kegiatan, keanekaan, dan produktivitas hayati; (2) mengatur dan membagi-bagi aliran air dan larutan; (3) menyaring, menjaga, mendegradasi, imobilisasi, dan detoksifikasi bahan-bahan organik dan anorganik, termasuk hasil samping industri dan kota serta endapan atmosfer; (4) menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur-unsur lain di dalam biosfer bumi; dan (5) memberikan topangan bagi bangunan sosioekonomi dan perlindungan bagi khasanah arkeologi yang berhubungan dengan pemukiman manusia. Tanah, dalam lingkup khusus pertanian, mempunyai peran dalam mendukung daya tumbuh tanaman. Tanah dalam hal ini menjadi media tumbuh tempat penetrasi akar yang berfungsi menyerap nutrisi dan zat hara dari dalam tanah yang kemudian diteruskan ke jaringan tanaman (Agustina, 2004). Hanafiah (2005) menyatakan bahwa tanah mineral yang dapat berfungsi sebagai media tumbuh ideal secara material tersusun oleh 4 komponen, yaitu bahan padatan, berupa 45% bahan mineral dan 5% bahan organik, dan 50% ruang berpori berisi 25% air dan 25% udara. Kualitas tanah sebagai media tumbuh ini secara umum dipengaruhi oleh sifat fisik, kimiawi dan biologis dari tanah itu sendiri dimana ketiganya terangkum dalam konsep kesuburan. Menurut Notohadiprawiro et al. (2006) kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh interaksi sejumlah sifat fisika, kimia, dan biologi bagian tubuh tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif tanaman. Kesuburan tanah dibedakan menjadi dua. Pertama adalah kesuburan tanah aktual, yaitu kesuburan tanah hakiki atau alamiah. Kedua adalah kesuburan tanah potensial yaitu kesuburan tanah maksimal yang dapat dicapai dengan intervensi teknologi yang mengoptimumkan semua faktor. Tanah yang baik (subur) adalah tanah yang mampu menyediakan unsurunsur hara secara lengkap untuk optimalisasi pertumbuhan tanaman (Agromedia, 2007). Diperlukan usaha pengelolaan kesuburan tanah untuk memperoleh hasil produksi tanaman yang optimal dan akhirnya dapat memenuhi kebutuhan pangan.
Menurut Notohadiprawiro et al. (2006), pengelolaan kesuburan tanah tidak mungkin diselenggarakan dalam paket umum. Suatu paket tertentu hanya berlaku untuk suatu wilayah tertentu, sehingga setiap macam wilayah memerlukan paket pengelolaan kesuburan tanah tersendiri. Terutama bila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan hara yang dapat disediakan tanah untuk pertumbuhan tanaman. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman ada banyak jumlahnya. Menurut Sillanppa (1972) sebagian peneliti mengategorikan unsur hara dalam tiga kelas, yaitu: 1. Unsur hara primer (N, P, K) karena diperlukan tanaman relatif dalam jumlah besar dan secara beraturan diberikan ke dalam tanah melalui pemupukan. 2. Unsur hara sekunder (Ca, Mg, S), karena relatif banyak terdapat di dalam tanah dan tanaman dalam pemupukan sebagai elemen pengering atau sebagai kapur. 3. Trace elements atau micro elements (Fe, B, Mn, Zn, Cu, Mo). Elemenelemen yang baik di dalam tanah maupun dalam tanaman jumlahnya sedikit. Kriteria terhadap ketersediaan unsur hara di dalam tanah dengan selang tertentu dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh pH (derajat kemasaman) tanah. Dengan pH yang sesuai, maka ketersediaan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman untuk tumbuh optimal juga akan terpenuhi. Derajat kemasaman tanah optimum untuk pertumbuhan sebagian besar tanaman berkisar pada nilai 6 – 6,5. Menurut Agustina (2004), spesies tanaman yang berbeda mempunyai perbedaan kebutuhan elemen esensialnya, karena pH optimumnya bervariasi untuk setiap spesies tanaman. Tanaman buah-buahan mempunyai pH optimum berkisar antara 6 – 7,8. Tanah mempunyai sifat-sifat diantaranya sifat fisik, biologi dan kimia. Beberapa kriteria penilaian sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Sifat tanah
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
< 0,1
1,00-2,00
2,01-3,00
3,01-5,00
> 5,00
Nitrogen (%)
< 0,10
0,10-0,20
0,21-0,50
0,51-0,75
> 0,75
C/N
<5
5-10
11-15
16-25
>25
P2O5 HCl (mg/100g)
<10
10-20
21-40
41-60
>60
P2O5 Bray-1 (ppm)
<10
10-15
16-25
26-35
>35
P2O5 Olsen (ppm)
<10
10-25
26-45
45-60
>60
K2O HCl 25% (mg/100g)
<10
10-20
21-40
41-60
>60
KTK (me/100g)
<5
5-16
17-24
25-40
>40
K (me/100g)
<0,1
0,1-0,2
0,3-0,5
0,6-1,0
>1,0
Na (me/100g)
<0,1
0,1-0,3
0,4-0,7
0,8-1,0
>1,0
Mg (me/100g)
<0,4
0,4-1,00
1,1-2,0
2,1-8,0
>8,0
Ca (me/100g)
<0,2
2-5
6-10
11-20
>20
Kejenuhan Basa (%)
<20
20-35
36-50
51-70
>70
Aluminium (%)
<10
10-20
21-30
31-60
>60
C -Organik (%)
Susunan Kation :
Sumber : Hardjowigeno, S. (1995).
Pupuk dan Efisiensi Penggunaannya Pupuk merupakan faktor produksi yang vital dalam pertanian modern yang sudah mulai dipergunakan di sektor pertanian rakyat di Indonesia terutama melalui program intensifikasi sejak tahun 1959. Pupuk juga memainkan peran penting dalam sektor produksi pangan di Indonesia mengingat keterbatasan lahan bagi perluasan pertanian pangan. Di samping itu, penggunaan pupuk ikut pula menentukan koefisien penggunaan air irigasi, suatu sumber yang keterbatasannya juga semakin terasa. Penggunaan pupuk ini menyangkut informasi tentang berbagai koefisien respon untuk setiap jenis komoditi pertanian di setiap keadaan agroekologi yang spesifik (Litbang Pertanian, 1980).
Secara umum manfaat pupuk adalah menyediakan unsur hara yang kurang atau bahkan tidak tersedia di tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Manfaat pupuk ini dapat dibedakan menjadi tiga fungsi yaitu berkaitan dengan perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisika tanah menyangkut perbaikan struktur tanah dari padat menjadi gembur. Untuk perbaikan sifat kimia antara lain yang menyangkut penyediaan unsur hara bagi tanaman, membantu mencegah kehilangan unsur hara, dan memperbaiki keasaman tanah. Dalam perbaikan sifat biologi tanah sendiri terjadi peningkatan jumlah mikroorgnisme di dalam tanah (Marsono dan Sigit, 2001). Pemupukan merupakan cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi ketersediaan unsur hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Adanya pemupukan menyebabkan tanaman dapat tumbuh optimal dan berproduksi maksimal (Agromedia, 2007). Pemupukan tidak selamanya memberikan jaminan kesuburan bagi tanaman. Marsono dan Sigit (2001) menyatakan bahwa pupuk akan sampai pada sasarannya jika diaplikasikan secara benar. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam aplikasi pupuk adalah jenis tanaman yang akan dipupuk dan jenis pupuk yang digunakan. Jika pupuk diaplikasikan dengan tepat dan benar, maka diperoleh efisiensi dan efektivitas pemupukan. Aplikasi pupuk di lapangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1. Ditebarkan langsung ke permukaan tanah. Umumnya dilakukan dengan jarak tanam yang rapat sehingga permukaan tanah hampir tertutup seluruhnya maupun renggang. Kelebihan dari cara aplikasi ini adalah menghemat waktu dan tenaga pemupukan. Namun kekurangannya antara lain kemungkinan kehilangan pupuk karena penguapan dan pencucian, pupuk kurang mencapai sasaran perakaran tanaman. Cara pemupukan ini juga mempercepat pertumbuhan rumput dan gulma yang merugikan tanaman budidaya. 2. Ditabur ke dalam larikan atau barisan antar tanaman. Dilakukan dengan memberikan pupuk ke dalam parit kecil atau larikan di antara barisan tanaman kemudian pupuk ditutup dengan tanah. Cara aplikasi ini dapat menekan kehilangan pupuk yang bersifat mudah hilang karena evapotranspirasi maupun erosi. Kekurangan cara aplikasi ini adalah memerlukan tambahan waktu, biaya
dan tenaga dalam teknis di lapangan dan masih dibutuhkan perkembangan akar ke tempat pupuk ditaburkan agar pupuk dapat diserap dengan baik. 3. Ditempatkan dalam lubang. Dilakukan dengan menempatkan pupuk di dalam lubang-lubang yang dibuat melingkari tanaman di bawah tajuk terluar tanaman tersebut. Lubang yang sudah diberi pupuk segera ditutup dengan tanah galian dan disiram agar pupuk cepat mencapai sasaran. 4. Dicampurkan merata dengan tanah pada lahan olah. Diaplikasikan dengan mencampurkan pupuk ke dalam tanah 1-2 minggu sebelum tanam. Pupuk yang diberikan harus sudah matang sehingga langsung dapat diserap oleh tanaman. Cara aplikasi ini banyak diterapkan pada tanaman sayuran dan hortikultura. 5. Dibenamkan dalam lubang dekat perakaran. Hal ini bertujuan agar pupuk tidak terbuang percuma jika dilakukan penyiraman dan menjadi lebih dekat dengan perakaran. Pupuk yang belum matang dapat digunakan karena proses pelapukan masih dapat berlangsung di dalam lubang pupuk. Cara aplikasi ini banyak diterapkan pada tanaman tahunan. 6. Ditanam di larikan di sebelah lubang tanam. Cara aplikasi ini pupuk hanya berada di dekat tanaman sehingga lebih efisien diserap tanaman, terutama tanaman semusim. 7. Dikocor di dekat batang tanaman. Pupuk dicampur dengan air yang digunakan untuk menyiram tanaman. Campuran dapat berupa pupuk kandang, air kencing hewan, pupuk kimia dan air. Petani tradisional masih sering menggunakan cara ini untuk mengatasi gejala kekurangan hara pada tanaman semusim. 8. Dicampurkan dengan tanah penutup lubang tanam. Cara aplikasi ini dilakukan untuk pemupukan dasar tanaman yang akan ditanam di dalam lubang besar, misalnya tanaman buah dalam pot yang akan dipindah ke lahan. Tanah galian dicampur dahulu dengan pupuk kandang sebelum dipakai untuk menutup. Pemupukan susulan dapat diberikan lewat lubang pupuk di sebelah tanaman.
Lubang Resapan Biopori Tim Biopori IPB (2007) menjelaskan bahwa biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat aktivitas berbagai organisme di dalamnya seperti cacing, perakaran tanah, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Dengan lubang tersebut diharapkan kemampuan sebidang tanah dalam meresapkan air juga akan meningkat sehingga akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah. Jumlah biopori dalam tanah dapat ditingkatkan dengan membuat lubang vertikal ke dalam tanah. Kesinergisan antara lubang vertikal yang dibuat dengan biopori yang terbentuk tersebut kemudian disebut sebagai Lubang Resapan Biopori (LRB). Dipertajabar (2010) menyebutkan bahwa teknik ini mempunyai banyak keunggulan, diantaranya adalah: 1. Terbentuknya biopori-biopori alami oleh aktivitas mikroorganisme tanaman 2. Meningkatkan daya serap tanah terhadap air 3. Menjaga keberadaan air didalam tanah 4. Meningkatkan kesuburan tanah 5. Sebagai tempat dekomposisi sampah organik 6. Menanggulangi banjir pada area lingkungan yang terbatas Sebagai tempat dekomposisi sampah organik, LRB adalah tempat pengomposan praktis di lapang dengan cukup memasukkan sampah organik ke dalamnya dan membiarkannya membusuk akibat aktivitas organisme tanah. Kompos yang terbentuk tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai pupuk tambahan yang dapat membantu mengoptimalkan pertumbuhan tanaman itu sendiri. Mulyadi (2008) menyatakan bahwa teknik LRB ini dikembangkan atas dasar prinsip ekohidrologis, yaitu dengan memperbaiki kondisi ekosistem tanah untuk perbaikan fungsi hidrologis ekosistem tersebut. Pemanfaatan sampah organik ke dalam lubang yang kecil dan dalam, ternyata dapat menciptakan habitat yang baik bagi beraneka ragam organisme tanah, khususnya cacing tanah. Studi yang ada menyebutkan bahwa cacing tanah efektif membuat lubang hanya
pada lapisan topsoil (0-25 cm) dan lapisan subsoil (25-50 cm), sedang di bawah itu dan lebih dalam lagi praktis tidak terpengaruh oleh adanya cacing tanah. Dengan asumsi rongga yang ada dalam lubang 30% sampai 40% dari volume sampah yang diisikan ke dalam lubang, diperoleh hasil analisis bahwa pada saat intensitas hujan kecil hampir semua air hujan terserap, tetapi pada saat intensitas hujan lebih besar persentase air yang melimpah lebih besar. Lubang resapan biopori hanya efektif pada jenis tanah sandy clay, dibandingkan jenis tanah clayey silt, organic clay, dan silty clay dengan volume resapan 30% lebih besar daripada tanpa LRB (Mulyadi, 2008). Cara membuatnya yaitu dengan membuat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm. Kedalaman kurang lebih 100 cm atau tidak sampai melampaui muka air tanah bila air tanahnya dangkal. Jarak antar lubang antara 50 - 100 cm. Mulut lubang dapat diperkuat dengan semen selebar 2 - 3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling mulut lubang. Lubang kemudian diisi dengan sampah organik yang dapat berasal dari sampah dapur, sisa tanaman, dedaunan atau pangkasan rumput. Sampah tersebut akan menjadi kompos yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kesuburan tanaman. Tim Biopori IPB (2007) telah membuat rumusan jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan persamaan:
Jumlah LRB =
intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap (m2) Laju peresapan air per lubang (liter/jam)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan April 2009 sampai dengan bulan Mei 2010 berlokasi di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor.
Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah bibit tanaman pepaya varietas Sukma (IPB 6C) umur 2 BST (Bulan Setelah Tanam) sebanyak 180 tanaman. Bahan lainnya adalah tanah, kapur dolomit, pupuk kandang sapi, pupuk Urea, SP18, dan KCl. Alat-alat yang digunakan meliputi alat budidaya tanaman seperti cangkul, koret, dan gembor. Untuk pengamatan digunakan meteran/tali rafia dan jangka sorong. Sedangkan untuk pembuatan LRB digunakan alat bor khusus LRB. Kondisi bibit saat persemaian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Keadaan Persemaian (a) Saat Awal Persemaian (b) Persemaian 2 BST Semua bibit hasil persemaian diangkut ke lapang menggunakan mobil bak terbuka dengan penutup plastik untuk mencegah keringnya bibit dalam perjalanan. Bibit yang dipilih untuk pindah tanam adalah bibit yang sehat dengan ketinggian dan jumlah daun relatif sama. Sisa bibit yang tidak terpilih kemudian diseleksi lagi untuk persediaan penyulaman dan diletakkan di naungan yang terpisah dari lokasi pindah tanam atau lahan percobaan.
Metode Percobaan Percobaan ini menggunakan metode Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) satu faktor. Faktor tersebut adalah metode aplikasi pemupukan, yaitu: 1. L0S, adalah perlakuan tanpa LRB dan aplikasi pupuk dengan alur melingkar di bawah tajuk tanaman. 2. L2S, adalah perlakuan dengan 2 LRB/tanaman namun aplikasi pupuk tetap melalui alur melingkar di bawah tajuk tanaman. 3. L2M, adalah perlakuan dengan 2 LRB/tanaman dan aplikasi pupuk dimasukkan ke dalam LRB tersebut. 4. L3S, adalah perlakuan dengan 3 LRB/tanaman namun aplikasi pupuk tetap melalui alur melingkar di bawah tajuk tanaman. 5. L3M, adalah perlakuan dengan 3 LRB/tanaman dan aplikasi pupuk dimasukkan ke dalam LRB tersebut. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga menghasilkan 15 satuan percobaan. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Yij = µ + αi +βj + εij dimana : Yij
: nilai pengamatan pada perlakuan LRB ke-i dan kelompok ke-j
µ
: nilai rataan umum
αi
: pengaruh ulangan (kelompok) ke-i
βj
: pengaruh perlakuan ke-j
εij
: pengaruh galat percobaan i = 1, 2, 3
j = 1, 2, 3, 4, 5
Pengolahan data dilakukan dengan Uji-F. Apabila menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji BNJ pada taraf 5%.
Pelaksanaan Percobaan Pengolahan Lahan dan Penanaman Lahan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki luas total 2000 m2 yang berjumlah 6 petakan dengan ukuran masing-masing petak adalah 20 m x 15 m dan jarak antar petak sekitar 1,5 m. Jarak tanam yang digunakan adalah 250 cm x 250 cm dengan ukuran lubang tanam yaitu 50 cm x 50 cm x 40 cm. Pada setiap petakan terdapat 3 perlakuan dengan 10 tanaman tiap perlakuan. Sebelum ditanam ke lapang, dilakukan penyemaian benih pepaya menjadi bibit di tempat terpisah. Bibit yang siap pindah tanam yaitu yang berumur sekitar 2 BST dari persemaian. Tanaman contoh yang diamati sebanyak 9 tanaman untuk setiap perlakuan. Lahan yang digunakan untuk pindah tanam diolah kemudian dibentuk bedengan dan lubang tanam sesuai ukuran yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk mengantisipasi kemasaman tanah diaplikasikan kapur dolomit dengan dosis 5 ton/ha atau 0,5 kg/tanaman (Agromedia, 2007). Kemudian diaplikasikan pupuk kandang sapi dengan dosis 20 ton/ha atau setara dengan 1 karung pupuk kandang untuk 2 lubang tanam dengan ketentuan aplikasi sesuai dengan jenis perlakuan. Sekitar 1 minggu setelah aplikasi pupuk kandang, maka bibit pepaya siap untuk dipindah tanam. Penanaman dilakukan satu bibit per lubang. Selanjutnya dibuat LRB di sekitar lubang tanam dengan menggunakan alat bor khusus LRB sekaligus bak penampungan air di tengah salah satu petakan seperti yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Media Penelitian (a) Bor LRB
(b) Sumur Tandon Air
Jumlah LRB yang dibuat disesuaikan dengan perlakuan dan ulangan seperti yang terlihat pada Gambar 3. Setelah LRB siap, dimasukkan ke dalamnya sampah organik berupa serasah dedaunan dan sisa tanaman yang terdapat di sekitar lahan percobaan. Sampah tersebut dimasukkan dengan jumlah sama tiap lubang dengan perkiraan genggaman tangan.
Gambar 3. Jumlah dan Posisi Lubang Resapan Biopori (a) 3 LRB (b) 2 LRB
Pemeliharaan 1) Penyulaman Penyulaman dilakukan karena pada rentang waktu 2 minggu setelah pindah tanam ada bibit yang tidak tumbuh atau mati di lapang. Pada percobaan ini penyulaman dilakukan sebanyak 5 tanaman. 2) Penyiangan Kegiatan pembersihan areal kebun dari gulma dilakukan sejak bibit ditanam sampai akhir pengamatan secara intensif. Kegiatan pembersihan ini juga termasuk pembentukan saluran air di tengah bumbunan areal tanam pepaya. Namun kegiatan ini disesuaikan dengan kondisi lapang yang ada, dilakukan apabila dirasa perlu. 3) Pembubunan Kebun
pepaya
memerlukan
pembubunan
tanah
untuk
merawat
pertumbuhan akar tanaman. Kegiatan pembubunan dilakukan seteliti mungkin agar tidak menutupi tanda pengukuran pada batang pohon pepaya yang berfungsi sebagai tolok ukur pengukuran tinggi tanaman dan diameter batang.
4) Pemupukan Pohon pepaya memerlukan pupuk yang banyak, khususnya pupuk organik yang memberikan zat-zat makanan yang diperlukan dan dapat menjaga kelembaban tanah. Selang waktu pemberian pupuk (setelah konversi dari dosis dan jenis pupuk yang disarankan) pada tanaman papaya adalah sebagai berikut: a) Setiap minggu setelah tanam (1 MST s.d. 4 MST) diberi pupuk kimia 25 gram Urea, 125 gram SP-18 dan 25 gram KCl, dicampur dan diaplikasikan sesuai dengan perlakuan yang telah ditetapkan. b) Satu bulan kemudian (5 MST) dilakukan pemupukan kedua dengan komposisi 35 gram Urea, 187,5 gram SP-18, dan 40 gram KCl. c) Saat umur 3 bulan (12 MST) dilakukan pemupukan ketiga dengan komposisi 50 gram Urea, 187,5 gram SP-18, 50 gram KCl. Aplikasi pemupukan dilakukan sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. Pada aplikasi L2M dan L3M pupuk diberikan dengan cara memasukkan pupuk ke dalam lubang biopori. Sedangkan pada aplikasi L0S, L2S dan L3S pupuk diberikan dengan cara membuat alur pupuk sedalam 5 cm sampai 10 cm melingkar tajuk tanaman, baik pada tanaman tersebut ada atau tidak ada biopori. 5) Pengairan dan Penyiraman Tanaman pepaya memerlukan cukup air namun tidak tahan terhadap kondisi air yang tergenang sehingga antar petakan dibuat saluran air yang memadai. Selain itu, untuk menjaga ketersediaan air di lapang, dibuat sumur buatan tempat menampung air. Air tersebut digunakan setiap hari untuk kegiatan penyiraman. Pengamatan Pengamatan dibagi menjadi dua, yaitu pengamatan tentang kandungan tanah, sehingga dilakukan uji tanah, dan pengamatan pada peubah vigor tanaman. Pengujian tanah dilakukan dua kali, yaitu pada awal sebelum percobaan dilakukan dan yang kedua adalah saat tanaman berumur 12 MST. Tanah yang diuji diambil secara acak dan sesuai dengan petak tanah perlakuan.
Hasil uji tanah yang kedua dibedakan menjadi dua jenis, yaitu uji tanah pada aplikasi pupuk melalui LRB dan uji tanah pada aplikasi pupuk dialur di permukaan perakaran. Tanah dengan perlakuan aplikasi memasukkan pupuk ke dalam LRB diambil dengan memasukkan sebatang kayu sampai menyentuh permukaan tanah dalam LRB dan masuk sampai kedalaman sekitar 15 cm. Tanah yang terikut di batang kayu lalu dimasukkan ke dalam plastik. Begitu pula dengan pengambilan contoh tanah dengan perlakuan aplikasi pupuk dengan alur sekitar, tanah yang diambil adalah tanah yang berada di permukaan tempat aplikasi pupuk diterapkan Pengamatan peubah dilakukan setiap minggu sekali dimulai sejak awal pindah tanam (1 MST) sampai 12 minggu setelah pindah tanam (12 MST) dilanjutkan pada umur tanaman 52 MST. Peubah yang diamati meliputi: 1. Tinggi tanaman, yang diukur dari permukaan tanah hingga titik tumbuh. Untuk mencegah terjadinya bias pengukuran karena kondisi tanah yang labil, maka dibuat tanda permanen pada batang di mana dari tanda tersebut pengamatan selanjutnya dilakukan. 2. Diameter batang, yang diukur pada batang setinggi 10 cm sampai 20 cm dari permukaan tanah menggunakan jangka sorong. 3. Jumlah daun per tanaman, yang diukur dengan menghitung banyaknya jumlah daun pada tiap tanaman. Tunas daun yang sudah terlihat membuka mulai dihitung meskipun warnanya masih muda. Peubah tinggi tanaman dan jumlah daun mulai diamati saat umur tanaman 1 MST, sedangkan peubah diameter baru dapat diamati saat tanaman berumur 2 MST karena tubuh batang belum cukup kuat untuk diukur dengan jangka sorong digital.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Kondisi lahan sebelum diolah berupa semak belukar yang dipenuhi alangalang dan beberapa jenis gulma. Kemudian dibersihkan dengan cara babat merah dan menggunakan herbisida untuk membantu mematikan gulma. Naungan merata di sepanjang tiga sisi lahan namun tidak memberikan pengaruh naungan yang berarti, sedangkan satu sisi berupa jalan. Keadaan lahan sebelum diolah dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kondisi Lahan Sebelum Diolah
Selama penelitian berjalan, beberapa tanaman pepaya mengalami gangguan hama. Diantara hama yang paling banyak menyerang adalah ulat, kutu putih, kutu daun dan kumbang. Terlihat beberapa daun tanaman muda menggulung dan timbul bercak kecoklatan pada daun akibat terserang penyakit. Beberapa tanaman terserang jamur sehingga daun membusuk dimulai dari ujung daun bagian atas dan menyebar ke daun yang berada di bawahnya. Penanganan patogen ini menggunakan pestisida alami dan penanganan mekanis, yaitu dengan membuang daun yang sakit. Contoh tanaman yang daunnya berkurang tidak secara alami dihitung sebagai konsekuensi gugur akibat tidak tahan terhadap hama maupun penyakit. Untuk tanaman yang terserang pada bagian tubuh batang maka bagian tersebut menjadi kerdil dan mengalami layu pucuk sehingga tidak layak dijadikan sebagai tanaman contoh untuk diamati.
Saat pengamatan berlangsung, terdapat kerusakan beberapa LRB karena tertimbun massa tanah yang terkena aliran air permukaan hujan. Selanjutnya dilakukan perbaikan LRB dengan menggali lubang kembali tanpa membuang masa tanah di dalamnya sehingga tidak signifikan mempengaruhi data pengamatan. Kondisi LRB selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Kondisi LRB Selama Pengamatan (a) Kondisi Baik (b) Tertutup/rusak Pengamatan pada umur tanaman 6 MST tidak dilakukan karena terjadi hujan deras sepanjang hari dalam sepekan tersebut. Pengamatan terakhir merupakan pengamatan tambahan yang dilakukan pada umur 52 MST. Pengamatan ini dilakukan untuk melihat kondisi data terakhir sebagai informasi tambahan saat tanaman sudah berumur lebih dari fase bibit dan sudah menghasilkan buah.
Hasil Uji Tanah Uji tanah dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi di dalam tanah terkait pengaruh aplikasi pemupukan. Uji tanah dibedakan menjadi tiga, yaitu sebelum aplikasi perlakuan pemupukan, setelah aplikasi perlakuan pupuk alur sekitar dan setelah aplikasi perlakuan pupuk masuk LRB. Hasil uji ketiganya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Data Hasil Uji Tanah Faktor uji tanah
Satuan
Kadar A*
M*
Kategori S*
A*
M*
S*
pH H2O
-
5,2
7,2
5,2
Masam
Netral
Masam
pH KCl
-
4,0
7,0
4,7
-
-
-
C Organik
%
1,68
1,27
0,16
Rendah
Rendah
Sangat Rendah
C/N N Total
%
P
ppm
-
14
8
0,17
0,09
0,02
9,1
154
95,9
K
Me/100 g
0,26
Tekstur pasir Tekstur debu
%
9,45
18
19
%
48,16
61
36
%
42,39
21
45
Tekstur liat
-
-
-
Sedang
Rendah
Rendah
Sangat
Sangat
Rendah
Rendah
Sangat
Sangat
Sangat
Rendah
Tinggi
Tinggi
Rendah
-
-
Liat berdebu (siltyclay)
Lempung berdebu (silty loam)
Liat berdebu (siltyclay)
*Ket: A = Hasil analisis tanah awal (sebelum perlakuan) M = Hasil analisis tanah pada perlakuan pupuk dimasukkan ke LRB S = Hasil analisis tanah pada perlakuan pupuk dialur melingkar permukaan sekitar tajuk
Berdasarkan data uji tanah sebelum percobaan dilakukan, kondisi pH tanah termasuk masam. Kemasaman tanah yang diuji termasuk pH H2O (pH alami) dan pH KCl (pH potensial). Hasil uji tanah setelah perlakuan diaplikasikan menunjukkan pH tanah pada aplikasi pupuk masuk LRB lebih baik (nilai pH tergolong netral) dibandingkan dengan aplikasi pupuk alur sekitar yang nilai pH nya tergolong masam. Menurut Hanafiah (2005), tanah dengan nilai pH netral menyediakan unsur hara lebih optimum karena pada kategori pH ini semua unsur hara makro tersedia secara maksimum sedangkan unsur hara mikro tidak maksimum kecuali Mo, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas unsur hara mikro tertekan.
Perbedaan hasil tersebut diduga karena pada aplikasi pupuk masuk LRB pupuk lebih efektif diserap oleh tanaman dibandingkan pada aplikasi pupuk alur sekitar sehingga unsur hara dalam pupuk yang menyebabkan kemasaman tanah dapat diminimalisir sekecil mungkin. Menurut Syukur dan Harsono (2008), pupuk NPK bersifat agak masam. Selain itu, aktifitas organisme lebih optimal pada tanah dengan aplikasi pupuk masuk LRB dibandingkan dengan tanah pada aplikasi pupuk alur sekitar. Menurut Syukur dan Harsono (2008), hasil proses dekomposisi oleh mikroorganisme antara lain menghasilkan ion CO3¯ dan OH¯ yang menunjang peningkatan kebasaan sehingga akhirnya dapat meningkatkan pH tanah. Untuk kadar C organik, data hasil uji setelah aplikasi perlakuan memperlihatkan penurunan nilai. Namun nilai kadar C pada aplikasi pupuk masuk LRB menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan aplikasi pupuk alur sekitar yang nilai kadar C organiknya di bawah 1%. Menurut Sumarsono et al. (2006) kandungan C organik kurang dari 1% menyebabkan tanah tidak mampu menyediakan unsur hara yang cukup, disamping itu unsur hara yang diberikan melalui pupuk tidak mampu dipegang oleh komponen tanah sehingga mudah tercuci, kapasitas tukar kation menurun, agregasi tanah melemah , unsur hara mikro mudah tercuci dan daya mengikat air menurun. Oleh karena itu, nisbah C/N pada aplikasi pupuk masuk LRB juga lebih baik dibandingkan dengan aplikasi pupuk alur sekitar. Pada tanah dengan kandungan C organik rendah menyebabkan kebutuhan pemupukan nitrogen makin meningkat karena efisiensinya yang merosot akibat tingginya tingkat pencucian (Sumarsono et al., 2006). Hal ini terlihat dalam hasil uji tanah pada aspek kandungan N Total. Terjadi penurunan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan kandungan N Total sebelum ada perlakuan yang sudah termasuk dalam kategori rendah. Namun nilai N Total pada tanah dengan aplikasi pupuk masuk LRB menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan tanah pada aplikasi pupuk alur sekitar. Pada aspek tekstur tanah, tanah dengan perlakuan aplikasi pupuk masuk LRB menunjukkan kombinasi proporsional untuk pertumbuhan tanaman yaitu tekstur lempung berdebu. Aplikasi ini diduga dapat meningkatkan aktivitas
mikroorganisme dalam tanah yang berpengaruh terhadap perbaikan struktur tanah. Swaby (1949) menyatakan bahwa mikroorganisme yang tumbuh dalam tanah mampu mengikat tanah dalam agregat-agregat yang stabil. Gilmour (1949) juga menyatakan bahwa penambahan bahan organik akan sangat menurunkan persentase ketidaklekatan lumpur dan lempung. Menurut Hanafiah (2005) tekstur lempung berdebu mempunyai ketersediaan air dan udara yang lebih optimum bagi tanaman dibandingkan tekstur liat berdebu. Sehingga perlakuan aplikasi pupuk masuk LRB lebih memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman jika dibandingkan dengan perlakuan aplikasi pupuk alur sekitar yang pada saat dilakukan uji tanah diperoleh hasil tekstur tanah liat berdebu. Tinggi Tanaman Berdasarkan Tabel 3 perlakuan aplikasi pupuk secara nyata berpengaruh pada umur tanaman 5 MST dan 7 MST. Waktu pengaruh nyata ini sangat dipengaruhi oleh efektivitas penyerapan hara oleh tanaman dan kondisi lingkungan. Tabel 3. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman di Setiap Pengamatan Pengamatan 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 Ket : * tn
Uji F F-Hitung KK(%) tn 9.70 tn 9.69 tn 9.18 tn 6.84 * 4.20 * 5.19 tn 6.21 tn 6.97 tn 9.02 tn 8.20 tn 22.03
= berbeda nyata taraf 5% = tidak nyata
Dari Tabel 4 dapat diketahui pada umur tanaman 5 MST perlakuan L2S, L2M dan L3M tidak berbeda nyata dan menunjukkan pengaruh yang lebih
baik dibanding dua perlakuan lainnya. Ketiga perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan L3S yang memiliki nilai tinggi tanaman paling kecil. Untuk umur tanaman 7 MST hanya perlakuan aplikasi L2M dan L3S yang menunjukkan perbedaan nyata dimana perlakuan L2M yang lebih baik. Pemupukan dilakukan pada empat pekan pertama awal pindah tanam dan pengaruhnya diduga terlihat berbeda nyata pada tinggi tanaman umur 5 MST. Aplikasi pupuk pada 5 MST diduga baru memberikan pengaruhnya pada umur tanaman 7 MST dan seterusnya. Tabel 4. Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman di Setiap Pengamatan PRLK/MST
5
7
52
L0S
58.68ab 73.84ab 311.77ab
L2S
62.99a
79.09ab
283.40b
L3S
51.95b
64.68b
345.30a
L2M
62.83a
81.58a
343.70a
L3M
64.20a
79.61ab 292.40ab
Ket.: nilai tengah yang mengandung huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata.
Perlakuan aplikasi L2M memberikan pengaruh yang paling baik dari awal sampai akhir pengamatan. Pada pengamatan tambahan pada umur tanaman 52 MST, didapatkan data bahwa perlakuan aplikasi L2M dan L3S lebih baik daripada perlakuan aplikasi L2S namun pada saat tanaman berumur 5 MST perlakuan aplikasi L3S memberikan pengaruh nilai tinggi tanaman yang paling rendah. Dari uraian tersebut didapatkan gambaran bahwa respon tanaman pada perlakuan L3S pada umur 5 MST berbeda dengan saat tanaman berumur 52 MST. Perbedaan yang terjadi diduga disebabkan oleh pengaruh aplikasi pupuk yang diujikan. Perlakuan aplikasi pupuk dengan menaburkan ke larikan sekitar tanaman kurang efektif dibandingkan dengan perlakuan aplikasi dengan memasukkan pupuk ke dalam LRB. Hal ini sesuai dengan pendapat Marsono dan Sigit (2001) bahwa aplikasi pupuk dengan hanya menaburkan ke larikan atau parit kecil di sekitar tanaman masih membutuhkan perkembangan akar ke tempat pupuk ditaburkan agar pupuk dapat diserap dengan baik.
Kemungkinan penguapan pada aplikasi pupuk dialur juga mempunyai peluang lebih besar dibandingkan dengan aplikasi pupuk dimasukkan ke dalam LRB. Penguapan tersebut menyebabkan berkurangnya kandungan hara. Sedangkan dengan memasukkan pupuk ke dalam LRB dinilai dapat memberikan cadangan pupuk yang lebih baik untuk pertumbuhan tanaman dalam waktu relatif lebih lama. Disamping sebab tersebut, aplikasi dengan cara memasukkan pupuk ke lubang dekat perakaran menyebabkan zat hara dalam pupuk menjadi lebih dekat dengan perakaran sehingga efektivitas akar dalam menyerap hara pupuk juga lebih baik. Hal ini juga dibuktikan pada hasil uji tanah dimana aplikasi pupuk masuk LRB menunjukkan pengaruh nilai pH yang lebih baik dibandingkan dengan aplikasi pupuk alur biasa. Sehingga pada pelakuan aplikasi L2M tinggi tanaman pepaya menunjukkan nilai lebih baik dibandingkan pada perlakuan aplikasi L2S maupun L3S. Perbedaan pengaruh pada jumlah LRB antara L2M dengan L3M dimana L2M menunjukkan pengaruh yang lebih baik diduga disebabkan oleh adanya pembatasan jumlah LRB dalam suatu areal. Tim Biopori IPB (2007) telah membuat rumusan jumlah LRB yang disarankan untuk luasan areal tertentu dalam tujuannya mencegah banjir. Jumlah LRB yang terlalu banyak kurang begitu baik untuk kondisi tanah sendiri, baik secara fisik maupun kimia. Selain itu jumlah LRB yang lebih banyak juga akan membutuhkan tenaga dan biaya yang lebih besar sehingga kurang efisien dalam pembiayaan. Peningkatan tinggi tanaman memang diharapkan akan menunjukkan vigor bibit yang lebih baik, tapi hanya pada saat fase vegetatif. Karena pada fase generatif yang diharapkan adalah sebaliknya. Kegiatan Rusnas Pepaya menunjukkan bahwa sifat pohon yang dwarf (pendek) lebih menguntungkan daripada sifat pohon yang tinggi (Rusnas, 2004). Terutama pada saat pemanenan buah. Pohon yang dwarf ini juga lebih tahan terhadap gangguan angin. Sedangkan pohon yang mempunyai sifat terus tumbuh tinggi akan mempersulit kegiatan panen karena posisi buah yang terlalu tinggi dan lebih rentan terhadap terpaan angin dan goncangan. Sujiprihati dan Suketi (2010) menyatakan bahwa sifat pohon dwarf
merupakan salah satu kriteria pepaya unggul. Selain
menguntungkan pada aspek perawatan dan pemanenan, sifat ini juga memungkinkan tanaman pepaya dapat dijadikan sebagai tanaman hias yang eksotik. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada umur tanaman 1 MST sampai dengan 12 MST perlakuan aplikasi L3S selalu berada paling bawah yang berarti pengaruh perlakuan tersebut adalah yang paling rendah dibanding perlakuan aplikasi yang lain. Pada pengamatan tambahan (umur tanaman 52 MST) data tinggi tanaman menunjukkan pengaruh aplikasi L3S adalah yang paling tinggi. 140
Tinggi
Tanaman (cm)
120 100 80 L0S
60
L2S L3S
40
L2M
20
L3M
0 1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
Umur Tanaman (MST) Gambar 6. Pengaruh Perlakuan Aplikasi Pemupukan terhadap Tinggi Tanaman Aplikasi pupuk yang ideal untuk kedua fase tersebut (vegetatif dan generatif) adalah aplikasi yang memberikan pengaruh tinggi tanaman secara positif (tanaman terus tinggi) saat fase vegetatif namun tidak berpengaruh atau berpengaruh kecil saat tanaman berada pada fase generatif. Dari data pada tabel 4 diketahui aplikasi L2S memenuhi kriteria tersebut di mana saat awal pindah tanam (fase vegetatif) memberikan pengaruh positif dan pada saat akhir pengamatan berpengaruh kecil meskipun grafik pada gambar tidak begitu berbeda (berhimpit) dengan aplikasi L2M. Aplikasi L3S memperlihatkan data sebaliknya. Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa pada saat fase vegetatif aplikasi L3S kurang berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
tinggi
tanaman.
Tetapi
pada
akhir
pengamatan
tinggi tanaman pada aplikasi tersebut menunjukkan hasil yang paling tinggi sehingga aplikasi ini kurang baik diterapkan jika yang menjadi tujuan utama adalah tinggi tanaman yang terus meningkat pada fase vegetatif tapi tidak terus tumbuh tinggi pada fase generatif.
Jumlah Daun Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa pengaruh perlakuan aplikasi pemupukan terhadap jumlah daun terlihat berbeda sangat nyata pada umur tanaman 4 MST dan berbeda nyata pada umur tanaman 9, 10, dan 11 MST . Tabel 5. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun di Setiap Pengamatan Pengamatan 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 Ket :
Uji F F-Hitung KK(%) tn 6.74 tn 4.78 tn 2.83 ** 1.70 tn 9.64 tn 14.41 tn 13.29 * 12.20 * 11.74 * 14.63 tn 17.11
** = berbeda nyata taraf 1% * = berbeda nyata taraf 5% tn = tidak nyata
Pada umur tanaman 4 MST, 9 MST dan 10 MST masing-masing perlakuan menunjukkan pengaruh yang tetap pada pertumbuhan jumlah daun. Hal ini ditunjukkan oleh huruf mutu (hasil uji lanjut) yang relatif sama dari ketiga umur tersebut yang dapat dilihat pada Tabel 6. Dari Tabel 6 juga dapat diketahui bahwa pada ketiga umur tanaman tersebut hanya perlakuan aplikasi L3S yang menunjukkan nilai jumlah daun yang paling rendah, berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi L2M.
Jumlah daun tanaman pepaya, terutama pada fase bibit (vegetatif) sangat berpengaruh pada kecepatan tumbuh tanaman. Karena selain sebagai tempat asimilasi unsur hara, daun juga berperan sebagai tempat menyerap bahan asimilasi yang ada di udara antara lain CO2. Selain itu, daun juga menjadi salah satu tempat hilangnya hara dari dalam tanaman. Kehilangan hara tersebut dapat terjadi karena pencucian, gutasi, ekskresi garam dan gugur daun (Sopandie, 1993). Sehingga
diperlukan
tambahan
unsur
hara
seperti
pemupukan
untuk
menggantikan kehilangan tersebut. Pada pengamatan tambahan diperoleh data bahwa perlakuan aplikasi L3S menunjukkan jumlah daun tanaman yang paling tinggi, berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi L0S dan L3M. Sedangkan perlakuan lainnya tidak berbeda nyata dengan data perlakuan aplikasi L3S. Data perlakuan aplikasi L3S pada umur tanaman 52 MST ini berbanding terbalik dengan data perlakuan yang sama pada umur tanaman 4, 9, 10 dan 11 MST.
Tabel 6. Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun di Setiap Pengamatan PRLK/Pgamatan
4
9
10
11
52
L0S
17.72a
21.05ab 20.35ab
19.72b
24.07b
L2S
17.56a
24.56ab 25.25ab 23.33ab 26.80ab
L3S
16.28b
17.22b
15.89b
16.17b
29.60a
L2M
17.99a
29.80a
28.88a
29.35a
25.67ab
L3M
17.44ab 26.59ab 26.37ab 24.69ab
22.40b
Ket.: nilai tengah yang mengandung huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata.
Pada Gambar 7 dapat diketahui bahwa garis pertumbuhan jumlah daun pada perlakuan aplikasi L3S, L0S dan L2S berada di bawah grafik L2M maupun L3M. Data jumlah daun pada perlakuan aplikasi L3S menunjukkan garis pertumbuhan paling rendah. Hasil perolehan data jumlah daun dari perlakuan aplikasi L2M menunjukkan garis pertumbuhan yang paling tinggi dibanding aplikasi perlakuan yang lain. Untuk perlakuan aplikasi L3M grafik nilainya berada tepat di bawah grafik nilai perlakuan aplikasi L2M.
Dari Gambar 7 juga dapat diperoleh informasi bahwa penurunan jumlah daun dimulai saat tanaman berumur 9 MST. Saat pengamatan berlangsung pada umur tanaman tersebut mulai terjadi serangan hama dan penyakit ditambah curah hujan yang cukup tinggi. Sebab-sebab tersebut diduga menjadi faktor menurunnya jumlah daun, baik karena kerusakan maupun patah atau gugur.
35
Jumlah Daun (tangkai)
30 25 20 15 L0S L2S
10
L3S L2M
5
L3M
0 1
2
3
4
5
7
8
9
10
Umur Tanaman (MST)
11
12
Gambar 7. Pengaruh Perlakuan Aplikasi Pemupukan terhadap Jumlah Daun Perbedaan perkembangan data jumlah daun di antara perlakuan aplikasi disebabkan oleh faktor gugur daun, baik yang diakibatkan oleh serangan hama penyakit maupun karena secara alami gugur karena proses fisiologi yang terjadi dalam tubuh tanaman. Tanaman yang dapat mempertahankan daunnya dalam waktu lebih lama yang berarti jumlah daunnya tidak banyak berkurang, maka aktivitas fotosintesis dan fungsi-fungsi lain yang dilakukan oleh daun sesuai dengan perannya dalam mendukung pertumbuhan tanaman, akan berjalan baik. Tjitrosoetomo (2007) menyampaikan bahwa fungsi daun bagi tumbuhan adalah sebagai tempat resorbsi (pengambilan zat-zat makanan, terutama CO2), asimilasi (pengolahan zat-zat makanan), transpirasi (penguapan air), dan respirasi (pernafasan). Sehingga tanaman pada fase bibit (vegetatif) dengan pengembangan jumlah daun yang kurang optimal akan memberikan pengaruh pada pertumbuhan organ lain yang kurang optimal pula.
Menurut Goldsworthy dan Fisher (1992), pengembangan daun adalah hasil akhir dari laju pembentukan daun dan laju pengembangan daun yang telah terbentuk. Laju pembentukan daun ini sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, cekaman air dan ketersediaan zat hara. Pada faktor terakhir tersebut, maka dari hasil pengamatan dapat diketahui bahwa aplikasi pemupukan memberikan pengaruh positif terhadap penyediaan hara untuk perkembangan jumlah daun hampir pada semua umur tanaman, namun pada perlakuan aplikasi pupuk masuk LRB (L2M dan L3M) perkembangan jumlah daun menurun pada pengamatan tambahan (umur tanaman 52 MST) yang pada saat tersebut tanaman sudah memasuki fase generatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Warisno (2003) yang menyatakan bahwa pada tanaman muda, terutama pada tanaman semaian yang baru saja tumbuh, pertumbuhan vegetatif masih sangat besar. Berbeda halnya dengan tanaman yang sudah dewasa/tua, pertumbuhan vegetatifnya lambat
karena
sebagian besar zat-zat makanan diserap yang dihasikan digunakan untuk memenuhi kebutuhan untuk pembentukan bunga dan buah (generatif). Berdasarkan data hasil pengamatan, perkembangan optimal pada fase bibit dan perlakuan aplikasi pemupukan
jumlah daun yang L2M dan L3M
merupakan perlakuan aplikasi yang sesuai dengan tujuan pertumbuhan jumlah daun pada teknik budidaya yang diharapkan. Teknik budidaya yang dilakukan termasuk kegiatan pemangkasan daun. Kegiatan ini sangat mempengaruhi data hasil perkembangan jumlah daun. Namun, pemangkasan daun ini sangat penting terutama pada daun tanaman yang terserang hama penyakit dan daun tua. Menurut Setyawan dan Kusuma (2008), pemangkasan wiwilan juga dilakukan terhadap tunas-tunas vegetatif maupun tanaman yang terlalu rimbun sehingga nantinya buah pepaya yang tumbuh memiliki kecerahan warna yang menarik karena penyinaran matahari yang cukup. Jumlah daun juga dipengaruhi oleh genotipe tanaman itu sendiri atau jumlah daun merupakan ciri-ciri botanis dari suatu tanaman. Hal ini dijelaskan oleh Gardner et al. (1991) bahwa jumlah bakal daun yang terdapat pada embrio biji yang masak merupakan karakteristik spesies. Jumlah dan ukuran daun dipengaruhi oleh genotipe dan lingkungan.
Lingkungan pada penjelasan di atas termasuk dalam beberapa peristiwa alami maupun perlakuan buatan yang sengaja diberikan oleh manusia. Dalam hal ini, perlakuan aplikasi pemupukan saat penelitian berlangsung juga memberikan dampak tersendiri bagi pertumbuhan jumlah daun yang mempunyai implikasi terhadap vigor tanaman pepaya yang diamati. Menurut Sopandie (2003) selama pertumbuhan tanaman, daun-daun menampung garam-garam yang terbawa oleh aliran transpirasi. Proses ini mungkin juga menyebabkan penuaan daun dan kemudian pengguguran daun. Oleh karena itu, secara alami daun tanaman pepaya yang sudah tua akan berubah warna, tekstur dan kelembabannya, secara perlahan mengalami kekeringan dimulai dari ujung daun sampai ke pangkal tangkai daun dan akhirnya gugur. Goldsworthy dan Fisher (1992) menyatakan bahwa penuaan daun ini adalah suatu kejadian progresif dan terprogram secara genetik yang seringkali berkaitan dengan translokasi zat hara mineral. Faktor lingkungan seperti panjang hari atau suhu yang lebih tinggi akan mempercepat penuaan daun. Terdapat dua kemungkinan proses yang mengakibatkan gugur daun yang disebabkan oleh serangan hama dan penyakit yaitu terjadi secara alami dan sengaja digugurkan untuk mencegah tersebarnya penyakit tersebut ke tanaman lain. Secara alami maka daun yang sudah terserang tersebut dibiarkan layu sendiri karena dianggap tidak membahayakan tanaman lain. Atau sengaja digugurkan karena tingkat serangannya yang sudah parah dan berpotensi menyebar ke tanaman lain. Proses pengguguran daun yang disengaja karena serangan hama dan penyakit dalam penelitian ini dilakukan dengan pematahan dari tangkai daun tanpa merusak bagian daun yang menempel pada batang tanaman. Sehingga tidak termasuk dalam perhitungan jumlah daun. Namun apabila tingkat serangan diperkirakan tidak begitu berpengaruh terhadap kemampuan daun berfotosintesis, maka daun tersebut tetap disertakan dalam perhitungan jumlah daun. Tingkat serangan hama dan penyakit berbeda pada setiap tanaman. Tanaman yang berada di tepi lahan cenderung rentan serangan hama, sedangkan tanaman di tengah lahan lebih rentan terhadap serangan penyakit/cendawan.
Dari data hasil pengamatan, meskipun perlakuan aplikasi L2M dan L3M adalah aplikasi yang memberikan pengaruh yang baik namun jika dilihat dari efisiensi tenaga dan biaya maka aplikasi L2M adalah aplikasi yang paling sesuai. Diameter Batang Berdasarkan data pada Tabel 7 dapat diketahui bahwa selama pengamatan berlangsung, data pada umur tanaman 11 MST menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Pada umur tanaman 1 MST tidak diperoleh data karena pada umur tanaman tersebut diameter batang bibit belum dapat diukur menggunakan jangka sorong digital. Tabel 7. Rekapitulasi Analisis Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Diameter Batang di Setiap Pengamatan Pengamatan 1 2 3 4 5 7 8 9 10 11 12 Ket : * tn
Uji F F-hitung KK(%) tn 5.40 tn 6.73 tn 5.76 tn 9.12 tn 22.89 tn 12.94 tn 13.02 tn 17.83 * 13.33 tn 36.33
= berbeda nyata taraf 5% = tidak nyata
Fase pertumbuhan pada tanaman pepaya dapat langsung dilihat dari pertambahan diameter batangnya. Diameter batang tanaman merupakan salah satu parameter dalam pengukuran vigor bibit. Parameter vegetatif ini banyak dipakai sebagai tolok ukur bahwa tanaman pada fase bibit dengan diameter yang semakin besar akan memperlihatkan tanaman yang lebih vigor dan tahan terhadap tekanan lingkungan seperti serangan hama penyakit maupun cekaman lingkungan lainnya. Seperti pada daun, pertambahan diameter batang juga dipengaruhi oleh genotipe tanaman sendiri maupun pengaruh lingkungan. Pertambahan diameter batang juga
memperlihatkan bahwa tanaman tersebut mempunyai saluran pembuluh yang baik. Sesuai dengan fungsi fisiologis batang tanaman yang berkaitan dengan aliran hara yang baik dari akar ke daun dan aliran fotosintat dari daun ke bagian tubuh tanaman yang lain. Dari data pada umur tanaman 11 MST dapat diketahui bahwa perlakuan aplikasi L2M mempunyai pengaruh pada nilai diameter batang tanaman yang berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi L3S namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi lainnya (Tabel 8). Pada umur 52 MST semua perlakuan aplikasi menunjukkan nilai yang berbeda nyata dan aplikasi L2M berada pada urutan kedua setelah L3S. Tabel 8. Pengaruh Perlakuan terhadap Diameter Batang di Setiap Pengamatan PRLK/Pgamatan
11 MST
52 MST
L0S
35.77ab
86.07c
L2S
40.81ab
84.73d
L3S
29.43b
111.21a
L2M
42.46a
93.72b
L3M
35.26ab
77.61e
Ket.: nilai tengah yang mengandung huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata.
Tanaman sebagai mahluk hidup memiliki fase-fase pertumbuhan dan perkembangannya. Pertumbuhan tanaman di tandai dengan bertambahnya sel-sel di dalam jaringan tanaman sehingga menjadi semakin besar sedangkan perkembangan di tandai dengan semakin matang atau dewasanya tanaman. Fase pertumbuhan tanaman dibagi menjadi empat antara lain fase pembibitan, fase pertumbuhan vegetatif atau pertumbuhan daun dan akar, serta fase pertumbuhan generatif atau pertumbuhan bunga dan fase pembesaran buah atau umbi (Halomoan, 2009). Dari data keseluruhan pada Gambar 8 dapat diketahui bahwa selama umur tanaman 2 MST sampai 12 MST garis pertumbuhan diameter batang pada perlakuan aplikasi L3S selalu berada di bawah garis pertumbuhan diameter perlakuan aplikasi yang lain. Hal ini berarti selama umur tanaman tersebut
perlakuan aplikasi L3S memberikan pengaruh nilai pertumbuhan diameter batang yang terendah meskipun secara pengujian BNJ tidak seluruhnya menunjukkan nilai yang berbeda nyata. Pada Gambar 8 dapat diketahui pula bahwa perlakuan aplikasi L2M menunjukkan pengaruh yang relatif lebih baik terhadap pertumbuhan diameter batang. Garis pertumbuhan diameter pada perlakuan aplikasi tersebut hampir selalu berada di atas garis pertumbuhan yang ditunjukkan oleh perlakuan aplikasi yang lain meskipun secara pengujian BNJ hanya pada 11 MST menunjukkan nilai yang berbeda nyata dan 52 MST menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata. 70
Diameter Batang (mm)
60 50 40 30 L0S L2S
20
L3S L2M
10
L3M
0 2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
Umur Tanaman (MST) Gambar 8. Pengaruh Perlakuan Aplikasi Pemupukan terhadap Diameter Batang Dari data keseluruhan perkembangan diameter batang, perlakuan aplikasi L2M menunjukkan nilai yang relatif lebih baik daripada perlakuan aplikasi yang lain meskipun pada akhir pengamatan tersebut nilai diameter batangnya bukan merupakan nilai yang tertinggi. Sehingga, untuk tujuan pertumbuhan diameter batang yang optimal selama
fase vegetatif (bibit)
dan berpengaruh relatif
konstan pada kedua fase pertumbuhan tanaman(vegetatif maupun generatif), maka perlakuan aplikasi L2M dianggap sebagai perlakuan aplikasi yang memberikan pengaruh paling baik terhadap perkembangan diameter batang tanaman pepaya.
Korelasi Antar Peubah Pengamatan Berdasarkan uji korelasi antara jumlah daun dengan tinggi tanaman, parameter jumlah daun sangat nyata berkorelasi positif dengan parameter tinggi tanaman pada umur tanaman 5 MST sampai 11 MST (r = 0,826**), artinya pada umur tanaman tersebut dengan semakin bertambahnya jumlah daun maka tinggi tanaman juga semakin berkembang. Namun, uji korelasi tersebut menunjukkan hasil yang tidak nyata pada umur tanaman 12 MST. Hal ini berarti pertambahan tinggi tanaman pada umur tanaman tersebut tidak nyata dipengaruhi oleh jumlah daun. Berdasarkan hasil uji korelasi, parameter jumlah daun juga sangat nyata berkorelasi positif dengan perkembangan diameter batang (r = 0,887**) mulai dari umur tanaman 3 MST sampai 12 MST, bahkan ketika dilakukan pengamatan akhir pada umur tanaman 52 MST. Hal ini menggambarkan bahwa dengan jumlah daun yang semakin bertambah, maka diameter batang juga berkembang dengan baik. Pada uji korelasi antara parameter tinggi tanaman dengan parameter diameter batang menunjukkan bahwa kedua parameter tersebut secara nyata berkorelasi positif (r = 0,81*) pada umur tanaman 3 MST sampai 10 MST. Hal ini berarti pada umur tanaman tersebut seiring pertumbuhan tinggi tanaman maka semakin besar pula pertambahan dimater batang tanaman. Pada fase tanaman masih bibit, yang diharapkan adalah perkembangan vegetatif
yang
optimal.
Sebaliknya,
ketika
tanaman
menginjak
fase
generatif
maka tanaman diharapkan lebih menunjukkan perkembangan yang
optimal pada organ reproduktifnya seperti inisiasi bunga, pembentukan dan pembesaran buah. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), pada awal pertumbuhan tanaman yang memiliki daun muda yang belum aktif berfotosintesis, daun dapat dimasukkan sebagai bagian dari batang. Dalam perkembangan selanjutnya, sumbangan tangkai daun pada proses fotosintesis dapat cukup besar pada suatu fase tertentu yang akan menjadi sumber keragaman pada tingkat fotosintesis yang didasarkan hanya atas luas lamina daun. Dengan anggapan bahwa pada fase bibit jumlah daun sangat berpengaruh pada perkembangan organ lain pada tanaman, maka pada fase selanjutnya
(generatif), diduga perkembangan jumlah daun tidak memberikan pengaruh nyata pada aktivitas perkembangan organ vegetatif yang lain. Sebaliknya, pada fase generatif diharapkan tidak terlalu banyak jumlah daun, terutama daun yang secara fisik tidak mampu melakukan fungsi fotosintesis secara optimal, baik karena serangan hama penyakit maupun karena umur, yang akhirnya akan menjadi organ penyerap asimilat/fotosintat.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perlakuan aplikasi pemupukan memberikan pengaruh terhadap setiap peubah pengamatan pada umur tanaman yang berbeda. Perlakuan aplikasi pemupukan dengan memasukkan pupuk ke dalam LRB memberikan pengaruh yang lebih baik pada faktor perbaikan pH tanah, ketersediaan P, dan kelas tekstur tanah serta kesesuaian dengan tujuan budidaya dibandingkan aplikasi pemupukan alur biasa. Perlakuan aplikasi pemupukan dengan memasukkan pupuk ke dalam LRB memberikan pengaruh yang relatif konsisten pada setiap peubah pengamatan dibandingkan pemupukan alur biasa yang menunjukkan pengaruh yang berfluktuasi pada setiap peubah pengamatan di setiap umur tanaman. Pada aplikasinya, jumlah 2 LRB/tanaman memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan jumlah 3 LRB/tanaman, maupun 0 LRB/tanaman.
Saran Analisis tanah perlu dilakukan sebelum ditentukan dosis pupuk atau kapur yang akan digunakan dalam teknik budidaya. Perawatan khusus pada LRB perlu dilakukan agar tidak rusak dan tertutup antara lain dengan sementasi permukaan atas lubang maupun pembaruan sampah organik yang dimasukkan. Komposisi serasah atau bahan organik yang dimasukkan ke dalam LRB perlu dikaji ulang agar diketahui jumlah dan komposisi bahan organik yang optimum untuk pertumbuhan tanaman.
DAFTAR PUSTAKA
Agromedia. 2007. Petunjuk Pemupukan. Redaksi Agromedia Pustaka. Tangerang. 100 hlm. Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 80 hlm. Ashari, S. 2006. Hortikultura : Aspek Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 371-375. Dipertajabar. 2010. Lubang Resapan Biopori sebagai Salah Satu Solusi Permasalahan Sampah. http://www.dipertajabar.org. [24 September 2010] Deptan. 2006. Konsumsi Pepaya Indonesia. http://www.database.deptan.go.id [12 September 2010] FAOSTAT. 2005. Produksi Pepaya Dunia, Statistical Division. Food and Agriculture Organitation. http://faostat.fao.org/faostat. [ 12 Februari 2009] Gardner, F.P., R.B. Pearce, dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428 hlm. Gilmour. (1949). Soil Aggregation as Influences by the Growth of Mold Species, Kind of Soil and Organicmatter.. Dalam Sutedjo M., A.G. Kartasapoetra dan S. Sastroatmojo. Mikrobiologi Tanah. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Hal. 436-437. Goldsworthy. P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal. 193. Gunawan, E., S. Sujiprihati, dan I.O. Sumaraw. 2007. Acuan Standar Operasional Produksi Pepaya. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, LPPM-IPB. Bogor. Halomoan, Y. 2009. Pertumbuhan Vegetatif Versi ABG Daun. http:// goagro-abg.blogspot.com.mht [ 10 Juni 2010] Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 hlm. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta. Hal. 126.
Litbang Pertanian. 1980. Rumusan Hasil Lokakarya Nasional Efisiensi penggunaan Pupuk. Badan Pusat dan Pengembangan Pertanian, Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Industri Kimia Dasar PT. Pupuk Sriwidjaja. Jakarta. 49 hlm. Marsono dan P. Sigit. 2001. Pupuk Akar, Jenis & Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hlm. Mulyadi, I. 2008. Analisis Efektivitas Lubang Resapan Biopori. http://www.tarumanagara.ac.id [24 september 2010] Notohadiprawiro, T., S. Soekodarmodjo dan E. Sukana. 2006. Pengelolaan Kesuburan Tanah dan Peningkatan Efisiensi Pemupukan. Repro Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Pratiwi, W.M. 1999. Studi Vigor kekuatan Tumbuh Benih beberapa Nomor Jambu Mente (Anacardium occidentale L.) terhadap Kekeringan. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas pertanian. IPB. Bogor. Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Penerjemah: Susilo, H. Edisi Kedua. Penerbitr Universitas Indonesia. Jakarta. Robertson, G.P. dan A.S. Grandy. 2006. Soil System Management in Temperate Region. Kellogg Biological Station and Department of Crop and Soil Science, Michigan University. Dalam Uphoff, N. Biological Approaches to Sustainable Soil System. CRC Press. Boca Raton. Rusnas. 2004. Executive Summary Pepaya, Laporan Akhir Riset Unggulan Strategis Nasional. http://pkbt.ipb.ac.id/pages/exsum/2004-pepaya.pdf. [ 12 Februari 2009] Sadjad, S., E. Murniati, S. Ilyas. 1999. Parameter Pengujian Vigor Benih dari Komparatif ke Stimulatif. Grafindo. Jakarta. 185 hlm. Sanchez, P.A. 1976. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Penerbit ITB. Bandung. Setyawan, D. dan Z. Kusuma. 2008. Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Kebun Pepaya di Ponorogo. http://soemarno.multiply.multiplycontent.com [ 12 Juni 2010] Sillanpa, M. 1972. Trace Elements in Soil and Agriculture. FAO Soils Bulletin dalam Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 412 hlm. Sopandie, D. 1993. Penyerapan Hara, Angkutan Jarak dekat dan Jarak Jauh dalam Xilem dan Floem. Diktat Kuliah AGR 639 Interaksi antara Hara dan Tanaman. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hlm. Stoate C., ND. Boatman, RJ. Borralho, CR. Carvalho, GR. de Snoo, P. Eden. 2001. Ecological Impact of Erable Intensification in Europe. J Environ Manage. 63(4) : 337-65 Sujiprihati, S. dan K. Suketi. 2009. Budidaya Pepaya Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. 91 hlm. Sumarsono, S., D.W. Widjajanto dan S. Budianto. 2006. Penerapan Pupuk Organik untuk Perbaikan Penampilan dan Produksi Hijauan Rumput Raja pada Tanah Masam. http://eprints.undip.ac.id/406/Rumput_Raja_Sumarsono.doc. [ 9 Juni 2010] Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Swaby. (1949). The Relationship between Microorganisma and Soil Aggregation. Dalam Sutedjo M., A.G. Kartasapoetra dan S. Sastroatmojo. Mikrobiologi Tanah. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Hal. 436. Syukur, A. dan E.S. Harsono. 2008. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan NPK terhadap beberapa Sifat Kimia dan Fisika Tanah Pasir Pantai Samas Bantul. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 8, No 2 (2008) p: 138-145. http://soil.faperta.ugm.ac.id [ 21 Juni 2010] Tim Biopori IPB. 2007. Biopori. http://www.biopori.com . [ 12 Februari 2009] Tjitrosoetomo, G. 2007. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. 268 hlm. Tohir, K.A. 1978. Bercocok Tanam Pohon Buah-Buahan. Dalam K. Prihatman (Ed.). Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan : Pepaya. 2000. BAPPENAS. Jakarta. http:// www.ristek.go.id [ 12 Februari 2009] Villegas, V.N. 1992. Carica papaya L. Dalam Verheij, E.W.M. dan R.E. Coronel. (Eds.). Plant Resources of South East Asia 2: Edible Fruits and Nuts. Prosea Foundation. Bogor. Hal. 108-113
Warisno. 2003. Budidaya Pepaya. Kanisius. http:// www.googlebooks.com [13 Mei 2010] Wulandari, A. 2008. Penentuan Kriteria Kecambah Normal yang Berkorelasi dengan Vigor Bibit Jarak Pagar ( Jatropha curcas Linn.). Skripsi. Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 43 hlm.
Lampiran 1. Rekapitulasi Analisis Ragam dan Uji Lanjut BNJ Pengaruh Perlakuan terhadap Tinggi Tanaman di Setiap Pengamatan PRLK/Pengamatan
1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
52
L0S
31.30 39.27 43.34 49.73 58.68ab 73.84ab
80.57
87.81
96.61
L2S
31.84 34.90 44.97 58.81
62.99a
79.09ab
86.92
94.30
102.46 111.34 117.63
283.40b
L3S
28.35 33.45 40.30 46.03
51.95b
64.68b
69.83
75.81
80.84
92.62
345.30a
L2M
30.18 37.40 44.47 53.65
62.83a
81.58a
88.18
97.16
105.24 112.93 118.55
343.70a
L3M
30.74 37.63 46.84 54.36
64.20a
79.61ab
86.37
94.48
102.97 108.75 113.31 292.40ab
*
*
tn
tn
Uji F
tn
tn
tn
tn
102.88 130.78 311.77ab 88.95
tn
tn
tn
*
Ket. : tn = tidak nyata , * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Lampiran 2. Rekapitulasi Analisis Ragam dan Uji Lanjut BNJ Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Daun di Setiap Pengamatan PRLK/Pengamatan
1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
52
19.72b
20.65
24.07b
L0S
8.33 11.35 14.89
17.72a
20.89 23.09 23.06 21.05ab 20.35ab
L2S
8.00 11.22 14.00
17.56a
21.56 25.78 26.56 24.56ab 25.25ab 23.33ab 23.00 26.80ab
L3S
7.50 11.06 14.06
16.28b
16.61 18.39 19.45
17.22b
15.89b
16.17b
16.00
L2M
8.33 11.78 14.78
17.99a
21.77 27.68 29.69
29.80a
28.88a
29.35a
30.00 25.67ab
L3M
8.00 12.22 14.29 17.44ab 21.04 26.24 27.71 26.59ab 26.37ab 24.69ab 25.04
Uji F
tn
tn
tn
**
tn
tn
tn
*
*
tn
22.40b ** 45
Ket. : tn = tidak nyata , * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1%
*
29.60a
Lampiran 3. Rekapitulasi Analisis Ragam dan Uji Lanjut BNJ Pengaruh Perlakuan terhadap Diameter Batang di Setiap Pengamatan PRLK/Pengamatan
2
3
4
5
7
8
9
10
L0S
5.78
9.01
12.65
17.19
29.30
27.83
31.35
36.36 35.77ab 37.04
86.07c
L2S
6.61
8.06
11.85
17.49a
25.62
29.35
34.16
36.94 40.81ab 40.95
84.73d
L3S
6.05
8.08
10.62
13.57
20.41
22.18
25.18
27.38
29.43b
30.63 111.21a
L2M
5.87
8.71
12.93
18.39
36.69
31.16
35.91
41.71
42.46a
60.66
93.72b
L3M
6.64
8.59
12.42
17.74
25.34
27.94
31.74
35.05 35.26ab 37.84
77.61e
Uji F
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
tn
11
*
12
tn
52
**
Ket. : tn = tidak nyata , * = berbeda nyata pada taraf 5%, ** = berbeda nyata pada taraf 1% Lampiran 4. Data Luas Tanam dan Hasil Produksi Pepaya Dunia
46
Lampiran 5. Denah Lapang Penelitian L0MU3
L3SU3
L0SU3
L2MU3
L3MU3
L2SU3
L3SU2
L2MU2
L3MU2
L0SU2
L2SU2
L0MU2
L0SU1
L2SU1
L3MU1
L2MU1
L0MU1
L3SU1
U
Keterangan : L = jumlah LRB/tanaman, S = aplikasi pupuk alur biasa, M = aplikasi pupuk masuk LRB, U = ulangan Lahan L0M tidak diamati karena tidak termasuk dalam perlakuan 47
Lampiran 6. Tampilan Media Penelitian dan Pelaksanaan Pengamatan (a) Bor LRB (b) Pengukuran Tinggi Tanaman (c) Jangka Sorong Digital (d) Bagian Dalam LRB (e) dan (f) Pengambilan Sampel Tanah
Lampiran 7. Pertumbuhan Tanaman (a) Awal Persemaian (b) Persemaian 2 BST (c) Kondisi Awal Pindah Tanam (d) 3 MST (e) 8 MST (f) 11 MST
Lampiran 8. Hama dan Penyakit yang Menyerang Tanaman Pepaya (a) ulat (b) walang (c) kumbang (d) kutu putih (e) kutu daun (f) jamur