Pengarah: Deddy Koespramoedyo Tim Penyusun: Christian Dwi Prasetijaningsih Daryll Ikhwan Antonius Tarigan Pung Permadi Samsul Widodo Sudira Asep Saepudin Mohammad Roudo Bakat Supradono Jayadi Khusaini Tim Pendukung : Bakat Supradono Mira Berlian Tukirin Diterbitkan Oleh : Direktorat Otonomi Daerah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289 http://www.bappenas.go.id
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
KATA PENGANTAR
Perubahan kebijakan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 menjadi Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa implikasi meningkatnya tugas dan beban provinsi sebagai daerah otonom, sebagai wakil pemerintah pusat, serta koordinator pembangunan kabupaten/kota. Meningkatnya tugas dan beban ini tentunya membutuhkan aparatur yang memadai baik dari sisi jumlah maupun kompetensi. Karena, dengan jumlah aparatur yang ideal dan kompetensi yang baik, maka aparatur pemerintah daerah provinsi akan mampu meningkatkan layanan pemarintah kepada masyarakat. Sebaliknya, jika jumlah aparatur terlalu banyak, maka akan banyak aparatur yang menganggur dan mengakibatkan pemborosan anggaran negara. Dan jika kompetensi aparatur rendah, maka pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan baik dan layanan kepada masyarakat akan terhambat. Hingga tahun 2006, data yang tercatat di BKN menunjukkan bahwa secara nasional jumlah PNS di Indonesia mencapai 3.541.961 orang. Dari jumlah tersebut, masih belum dapat memberikan informasi bahwa jumlah PNS secara nasional telah berkecukupan atau
masih berkekurangan
atau telah berkelebihan.
Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk, jumlah PNS di Indonesia hanya 1,7 persen. Persentase ini masih di bawah angka pegawai negeri yang ada di Thailand, yakni 2,81 persen, Singapura (3,67 persen), dan Brunei Darussalam sekitar 12,9 persen. Atas dasar itulah, Direktorat Otonomi Daerah – Bappenas bermaksud melakukan kajian tentang aparatur pemerintah daerah. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan aparatur pemerintah daerah. Di samping itu, hasil kajian ini juga diharapkan memperoleh formulasi
jumlah
optimal
pegawai
pemerintah
daerah
provinsi,
sehingga
pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menentukan jumlah pegawai yang ideal. Kegiatan kajian ini tentunya tidak lepas dari kelemahan baik dari sisi penentuan metodologi kajian, struktur penulisan, maupun analisis kajian. Untuk itu, kami Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
ii
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan/ kritikan guna perbaikan kegiatan kajian di masa yang akan datang. Tak lupa ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terseleseinya laporan kajian ini. Mudah-mudahan laporan kajian ini dapat bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparatur dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga layanan yang diberikan lebih optimal.
Jakarta,
2007.
Direktur Otonomi Daerah,
Deddy Koespramoedyo
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................
ii
DAFTAR ISI .........................................................................................
iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vii
BAB I
BAB II
Pendahuluan ........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...............................................................
1
1.2. Tujuan dan Sasaran .........................................................
3
1.2.1. Tujuan ................................................................
3
1.2.2. Sasaran ................................................................
4
1.3. Ruang Lingkup Penelitian . .................................................
4
1.4. Lingkup Program dan Kegiatan ............................................
4
1.5. Manfaat Penelitian ...........................................................
5
Metodologi Kajian .................................................................
7
2.1. Metode Penelitian. ...........................................................
7
2.2. Lokasi Studi ...................................................................
8
2.3. Data ...........................................................................
8
2.3.1. Data dan Sumber Data ..............................................
8
2.3.2. Teknik Pengumpulan Data .........................................
9
2.4. Instrumen Penelitian.........................................................
11
2.4.1. Teknik Analisa Data .................................................
13
2.4.2. Penerapan Balance Scorecard Dalam Analisis Kinerja BAB III
Sektor Publik .........................................................
24
Tinjauan Pustaka dan Gambaran Umum Daerah Studi .....................
33
3.1. Landasan Teoritis.............................................................
33
3.1.1. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah .....................
33
3.1.2. Pembagian Urusan Pemerintah Daerah Provinsi ................
37
3.1.3. Manajemen Sumber Daya Manusia ................................
39
3.2. Gambaran Umum Daerah Studi.............................................
61
3.2.1. Provinsi D.I. Yogyakarta ............................................
61
3.2.2. Provinsi Sumatera Utara............................................
64
3.2.3. Provinsi Banten ......................................................
69
3.2.4. Provinsi Bangka Belitung ...........................................
73
iv
BAB IV
3.2.5. Provinsi Riau..........................................................
76
Landasan Kebijakan ...............................................................
82
4.1. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 .......................................
82
4.1.1. Pemerintahan Daerah...............................................
82
4.1.2. Kewenangan Daerah Provinsi ......................................
88
4.1.3. Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Antar Daerah .........................................................
98
4.1.4. Hubungan dalam Bidang Kepegawaian ........................... 103 4.1.5. Organisasi Pemerintah Provinsi ................................... 104 4.2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ....................................... 108 4.2.1. Pemerintahan Daerah............................................... 108 4.2.2. Urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi ............ 111 4.2.3. Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah Provinsi ............. 115 4.2.4. Manajemen Kepegawaian Daerah ................................. 117 BAB V
Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi ......................... 122 5.1. Identifikasi Tugas, Fungsi, dan Beban Kerja Pemerintah Daerah Provinsi......................................................................... 122 5.2. Identifikasi Permasalahan Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi Akibat Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ......................... 126 5.3. Penentuan Jumlah Optimal Pegawai ...................................... 144 5.3.1. Pendekatan Penentuan Jumlah Optimal Pegawai Dengan Beban Kerja .......................................................... 144 5.3.2. Pendekatan Estimasi ................................................ 150 5.4. Kompetensi Jabatan Struktural Eselon III dan IV ........................ 154 5.5. Implikasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Beban Kerja, Jumlah dan Kompetensi Pegawai Provinsi ......................................... 163
BAB VI
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan...................................... 167 6.1. Kesimpulan Studi. ............................................................ 167 6.2. Rekomendasi. ................................................................. 169
LAMPIRAN
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.
Halaman Kerangka Pikir Penelitian ................................................... 14
Gambar 2.2.
Empat Perspektif Dalam Analisa Balanced Scorecard ..................
17
Gambar 2.3.
Penerapan Balanced Scorecard dalam Organisasi Publik...............
25
Gambar 2.4.
Penjabaran Visi dan Misi Organisasi Publik ...............................
26
Gambar 2.5.
Analisis Sektor Publik di Bidang Kesehatan...............................
26
Gambar 3.1.
Faktor Internal dan Eksternal ..............................................
44
Gambar 3.2.
Prosedur Seleksi ..............................................................
49
Gambar 3.3.
Sistem Penilaian Prestasi Kerja ............................................
53
Gambar 3.4.
Analisis Kerja ................................................................
57
Gambar 3.5.
Sistem Model Pelatihan......................................................
58
Gambar 3.6. Grafik Konstribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Banten Tahun 2005 (%) ................................................................
71
Gambar 5.1. Plotting Jumlah Penduduk dengan Jumlah Pegawai ...................... 151 Gambar 5.2. Plotting Luas Wilayah dengan Jumlah Pegawai ............................ 151 Gambar 5.3. Plotting PAD dengan Jumlah Pegawai ....................................... 151 Gambar 5.4. Plotting PDRB dengan Jumlah Pegawai ..................................... 151 Gambar 5.5. Pilihan Kompetensi Integritas Eselon III dan IV ............................ 156 Gambar 5.6. Pilihan Kompetensi Kepemimpinan Eselon III dan IV ...................... 157 Gambar 5.7. Pilihan Kompetensi Manajerial Eselon III dan IV ........................... 158 Gambar 5.8. Pilihan Kompetensi Team Work Eselon III dan IV .......................... 159 Gambar 5.9. Pilihan Kompetensi Sosial Eselon III dan IV ................................. 160 Gambar 5.10 Pilihan Kompetensi Teknis Eselon III dan IV ................................ 161
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.
Halaman Ukuran dan Sasaran Strategis dengan Balanced Scorecard .............. 27
Tabel 2.2.
Batas-Batas Kontrol 6-Sigma ..................................................
30
Tabel 3.1.
Jumlah Aparatur Provinsi D.I.Y ...............................................
63
Tabel 3.2.
Target dan Realisasi Beberapa PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 ........................................
67
Tabel 3.3
Jumlah Aparatur Provinsi Sumatera Utara 2003 - 2007...................
68
Tabel 3.4.
PDRB Banten Lapangan Usaha Utama Tahun 2005.........................
70
Tabel 3.5.
Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2002-2005 .....................
72
Tabel 3.6.
Tabel 3.6 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2005................
72
Tabel 3.7.
Hasil Kelautan dan Perikanan 2005 – 2006..................................
75
Tabel 3.8.
Potensi Perikanan Tahun 2006................................................
75
Tabel 3.9.
Jumlah Aparatur Provinsi Bangka Belitung 2003 – 2007 ..................
76
Tabel 3.10.
Kontribusi (Share) Per-Sektor Terhadap Pembentukan PDRB (2001 – 2005) ................................................................
79
Tabel 3.11.
Laju Pertumbuhan PDRB Tahun 2001-2005 .................................
80
Tabel 3.12.
Jumlah Aparatur Provinsi Kepulauan Riau 2005- 2007 ....................
80
Tabel 5.1.
Kekurangan Jabatan Struktural............................................... 135
Tabel 5.2.
Hasil Estimasi Model Penentuan Jumlah Pegawai Dengan OLS .......... 152
Tabel 5.3.
Kelebihan dan Kekurangan Jumlah Pegawai (Pendekatan OLS) ......... 153
Tabel 5.4.
Jenis Kompetensi dan Skala Prioritas........................................ 155
vi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perwujudan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
memberikan
menyelenggarakan
wewenang
yang
pemerintahannya
lebih
secara
luas
kepada
otonom.
daerah
Penyerahan
untuk
sebagian
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Selain itu, perubahan kebijakan di dalam UU No 32 tahun 2004 khususnya di dalam pasal 37 dan 38, memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Propinsi sebagai wakil dari Pemerintah Pusat dan koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di dalam propinsi tersebut. Khususnya Bab V di dalam UU 32 Tahun 2004 mengenai kepegawaian daerah, perlu dilihat sejauh mana perubahan peningkatan peran propinsi tersebut terhadap aparatur pemerintah daerah, agar aparatur pemda yang ada dapat dioptimalkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Peran aparatur pemerintah daerah yang kompeten dan handal menjadi sebuah kebutuhan. Ironisnya, saat ini kemampuan aparatur pemerintah daerah dirasakan belum optimal di dalam memberikan pelayanan publik. Belum optimalnya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diakibatkan oleh dua hal mendasar, yaitu perbedaan penafsiran dan peletakan kewenangan. Perbedaan penafsiran terhadap terhadap kebijakan yang
mengatur
kewenangan
antara
tiap
level
pemerintahan
(pusat/provinsi/kabupaten/ kota). Perbedaan penafsiran seringkali mengakibatkan terjadinya
tumpang-tindih
pembangunan
gedung
(overlapping).
sekolah
antara
Misalnya
pemerintah
tumpang-tindih kabupaten/kota
dalam dengan
pemerintah provinsi. Adapun peletakan kewenangan, misalnya dalam penetapan kondisi KLB (Kejadian Luar Biasa). Kewenangan penetapan kondisi KLB masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Akibatnya manakala terjadi wabah penyebaran penyakit yang meluas (lintas wilayah) tidak dapat ditangani lebih efektif oleh pemerintah daerah. Penetapan KLB oleh daerah diperlukan untuk
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
1
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kebijakan penggunaan dana tidak tersangka (keadaan darurat) dalam APBD melalui persetujuan DPRD. Di sisi lain, dalam proses pelimpahan tersebut ternyata berimplikasi langsung terhadap meningkatnya tanggung jawab dan tantangan yang harus dipikul oleh aparatur. Mengingat hasil temuan penelitian yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur pemerintah daerah yang dilakukan oleh Yappika (2005) menunjukkan bahwa kurangnya jumlah dan kualifikasi SDM aparatur merupakan masalah utama yang dihadapi oleh beberapa daerah. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi. Temuan tersebut sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Pusat Kajian Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara (PKSDA LAN) 2006 yang menunjukkan bahwa adanya pelimpahan pegawai dari instansi vertikal sebagai dampak pelaksanaan otonomi daerah (Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000 dan perubahannya Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah) menyebabkan pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam penataan pegawainya, khususnya dalam kegiatan perencanaan kebutuhan pegawai. Distribusi pegawai dan penempatan pegawai sesuai kebutuhan pegawai menjadi permasalahan dalam penataan pegawai karena kompetensi pegawai limpahan tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Disamping itu, terkait dengan insentif, di semua daerah insentif diberikan tidak berdasarkan kepada prestasi, melainkan lebih berdasarkan pangkat dan jabatan seseorang. Karena insentif yang diberikan tidak berdasarkan kepada kinerja dan prestasi, tetapi kepada pangkat dan jabatan, juga karena jumlah insentif terlalu kecil, maka tidak terlihat dampak signifikan dari insentif terhadap peningkatan kinerja pemerintahan daerah. Dari studi tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah masih belum mampu mengubah tatanan dan pengelolaan aparatur daerah semakin baik. Akibatnya
kejelasan terhadap pengelolaan aparatur
pemerintah daerah propinsi, baik dari sisi karir maupun tunjangan yang memadai sesuai dengan beban kerja belum terealisasi dan pembedaan secara spesifik dengan aparatur
yang
hanya
melaksanakan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
kegiatan
di
tingkat
kabupaten/kota.
2
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Implikasinya, masalah yang timbul dengan pengelolaan aparatur daerah semakin banyak baik yang sifatnya lintas kabupaten/kota maupun di tingkat propinsi itu sendiri. Bukti lain yang menunjukkan masih belum membaiknya aparatur
daerah,
khususnya PNS adalah hasil penelitian UGM dan JICA yang dikutip oleh Thoha (2005) menyebutkan bahwa PNS Indonesia yang produktif hanya 60% saja. Artinya 40% sisanya tidak produktif dan hanya menerima gaji saja tanpa hasil yang berarti (LAN, 2006). Jadi rendahnya produktivitas pegawai tersebut diakibatkan oleh rendahnya kompetensi dan kinerja aparatur daerah, akibatnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tidak optimal. Jadi, dengan banyaknya permasalahan yang lintas kabupaten/kota yang memerlukan koordinasi seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diperlukan pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi. Harapannya agar pengelolaan aparatur
tersebut dapat lebih optimal dengan
mempertimbangkan antara kompetensi aparatur pemda yang ada dengan beban kerja yang menjadi tugas pokok dan funginya. 1.2 Tujuan dan Sasaran 1.2.1 Tujuan Kajian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai ”koordinator dan fasilitator” kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, maka secara rinci kajian ini diarahkan untuk mengetahui dan menganalisis: a. Tugas, fungsi dan beban kerja pemerintah provinsi merupakan
skala
provinsi
(lintas
kabupaten/kota)
pada urusan yang serta
sebagai
wakil
pemerintah pusat di daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. b. Berbagai permasalahan pengelolaan aparatur pemerintah provinsi sejak diberlakukannya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
3
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
c. Jumlah/pola optimal aparatur pemda provinsi berdasarkan beban kerja serta tugas dan fungsinya,
termasuk kompetensi yang dibutuhkan
untuk bidang-
bidang yang mewakili pemerintah pusat dari bidang/urusan yang berskala lintas kabupaten/kota maupun yang berdampak lintas kabupaten/kota. d. Rekomendasi
kebijakan
yang
berkaitan
dengan
pengelolaan
aparatur
pemerintah daerah (provinsi) agar dapat bekerja secara efektif, efisien, dan sistematik, sebagai akibat perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. 1.2.2 Sasaran Sasaran dari kajian ini adalah: a. Teridentifikasikannya tugas, fungsi dan beban kerja pemerintah provinsi pada urusan yang merupakan skala provinsi (lintas kabupaten/kota) serta sebagai wakil pemerintah pusat di daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. b. Teridentifikasikannya berbagai permasalahan pengelolaan aparatur pemerintah provinsi sejak diberlakukannya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. c. Terumuskannya jumlah/pola optimal aparatur pemda provinsi berdasarkan beban kerja serta tugas dan fungsinya, termasuk kompetensi yang dibutuhkan untuk bidang-bidang yang mewakili pemerintah pusat dari bidang/urusan yang berskala lintas kabupaten/kota maupun yang berdampak lintas kabupaten/kota. d. Tersusunnya rekomendasi kebijakan
yang berkaitan dengan pengelolaan
aparatur pemerintah daerah (provinsi) agar dapat bekerja secara efektif, efisien, dan sistematik, sebagai akibat perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian Untuk dapat menghasilkan kajian yang baik dan optimal sesuai dengan yang diharapkan, maka kajian ini terbatas
pada lingkup
perubahan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah terhadap pengelolaan aparat. Pengelolaan aparatur meliputi a) formasi PNS; b) pengadaan PNS; c) pengangkatan CPNS; d)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
4
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pengangkatan CPNS menjadi PNS; e) pendidikan dan latihan; f) kenaikan pangkat; g) pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan; h) perpindahan PNS antar instansi; i) pemberhentian sementara dari jabatan negeri; j) pemberhentian PNS atau calon PNS; k) pemutakhiran data pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan PNSD untuk penghitungan dan penyesuaian alokasi dasar gaji dan tunjangan; dan l) pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD, serta rekomendasi pengelolaan aparatur pemerintah daerah yang efektif, efisien, dan sistematis. Adapun ruang lingkup kegiatan kajian secara rinci, meliputi: a. Melakukan survey untuk mengidentifikasi jumlah/pola aparatur pemda propinsi, dari segi kompetensi dan beban kerja. b. Melakukan studi pustaka dan literatur mengenai peraturan perundangundangan, kebijakan, dan program mengenai pengelolaan aparatur Pemda maupun kebijakan/peraturan sektoral yang mengatur kewenangan/peranan pemerintah provinsi, khususnya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan kaitannya dengan fungsi ”koordinasi dan fasilitasi” antar pemerintah daerah. c. Melakukan diskusi dalam bentuk FGD (Focus Group Discussion) dengan tim ahli, Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Perguruan Tinggi sebagai masukan untuk memformulasikan atau merumuskan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur Pemda yang efektif, efisien, dan sistematik. d. Melakukan pengolahan data dan analisis data dengan metode yang telah ditetapkan, serta merumuskan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan sebagai hasil dari analisis kajian. e. Menyusun laporan pendahuluan, pertengahan dan laporan akhir kajian, masingmasing disampaikan 5 eksemplar. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: a. Masukan terhadap beberapa Peraturan Pemerintah yang saat ini sedang dalam tahap penyusunan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan aparatur daerah; b. Masukan terhadap rencana penyusunan ”Rencana Aksi Nasional” bidang aparatur pemda sebagai salah satu penjabaran ”Grand Strategy” otonomi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
5
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
daerah. Rencana aksi ini akan memberikan pedoman bagi pelaksanaan kerja bagi kerja aparatur Pemda yang efektif, efisien, dan sistematis.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
6
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
BAB II METODOLOGI KAJIAN 2.1
Metode Penelitian Metode
penelitian
merupakan
cara
ilmiah
yang
digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu (Karsady: 2004:2). Cara ilmiah berarti bahwa kegiatan itu dilandasi oleh metode keilmuan. Metode keilmuan ini merupakan
gabungan
antara
pendekatan
rasional
dan
empiris. Pendekatan rasional memberikan kerangka berpikir yang koheren dan logis. Sedangkan pendekatan empiris memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Dalam pelaksanaan penelitian, metode penelitian menjadi bagian penting yang menentukan sukses tidaknya suatu penelitian, sebab metode penelitian merupakan panduan bagi peneliti sehingga gejala dari obyek yang diteliti dapat dirumuskan secara obyektif, rasional dan sistematis. Sebagaimana dikemukakan oleh Nawawi (1985:25) bahwa untuk
menjamin
ditemukan
adanya
kebenaran
ilmiah,
metode penelitian memberikan cara kerja yang sangat cermat
dan
syarat-syarat
yang
sangat
keras.
Dengan
demikian berarti metode penelitian tidak saja bertujuan Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
7
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
memberikan
peluang
sebesar-besarnya
bagi
penemuan
kebenaran yang objektif, tetapi juga untuk menjaga agar pengetahuan dan pengembangannya memiliki nilai tambah ilmiah yang tinggi. Dengan demikian metode penelitian merupakan cara ilmiah yang penulis gunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki sesuai dengan tujuan tertentu. Cara ilmiah di sini berarti bahwa kegiatan penelitian yang dilakukan dengan dilandasi
oleh
metode
keilmuan
yang
telah
teruji.
Berdasarkan pendapat diatas, maka jelaslah bahwa metode penelitian memegang peranan penting bagi keberhasilan pelaksanaan penelitian ilmiah. Dikarenakan tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan
saran
kebijakan
(policy
advice),
maka
penelitian ini dapat dikelompokkan/dinyatakan pula sebagai studi
pengembangan
(development
studies).
Studi
pengembangan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan suatu masalah yang ada pada masa sekarang, dalam hubungannya dengan
kondisi
waktu
yang
terus
berjalan
secara
kerkesinambungan. Kekurangan, kelemahan, kesenjangan, kekeliruan dan lain-lain yang mejadi masalah dalam aspek kehidupan
tertentu,
akan
diungkapkan
urutan
atau
perkembangannya selama angka waktu tertentu (Nawawi, 1996 : 117). Pendapat lain menyatakan bahwa studi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
8
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pengembangan
yaitu
penelitian
yang
bertujuan
mengembangkan, yaitu menggali dan memperdalam suatu gejala atau masalah dari suatu bidang ilmu pengetahuan. Dapat diartikan pula sebagai penelitian yang mencari kaitan dengan ilmu pengetahuan yang telah ada, atau yang sedang digali perluasannya. Dapat pula diartikan sebagai penelitian dimana masalahnya didudukperkarakan pada kerangka teori yang telah ada (Ali, 1997 : 53). Penelitian
ini
bersifat
deskriptif-analitis.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk mendeskripsikan gambaran suatu kondisi, karakteristik suatu fenomena atau objek termasuk keadaan berbagai variabel yang saling berkaitan. Sedangkan penelitian analitis dimaksudkan untuk melihat hubungan antara keadaan variabel atau variabel yang terjadi dengan faktor-faktor atau variabel-variabel lain yang mempengaruhinya.
2.2
Lokasi Studi Kegiatan studi lapangan ini dilakukan di 5 (lima)
provinsi, di mana 2 (dua) provinsi yang sudah lama terbentuk dan merupakan provinsi yang diharapkan dapat memberikan gambaran beban kerja, jumlah optimal pegawai, dan komptensi aparatur pemda yang relatif baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Adapun lokasi tersebut adalah: 1)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
9
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Provinsi DI Yogjakarta; dan 2) Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan 3 (tiga) provinsi lainnya mewakili propinsi yang merupakan hasil pemekaran (Daerah Otonom Baru), yaitu: 1) Provinsi Bangka Belitung; 2) Provinsi Kepulauan Riau; dan 3) Provinsi Banten. 2.3
Data
2.3.1
Data dan Sumber Data Jenis data dan informasi yang digunakan meliputi
data primer dan sekunder. Data primer akan dikumpulkan melalui
wawancara,
daftar
pertanyaan/kuesioner,
FGD
daerah dan observasi yang memuat beberapa isu seperti permasalahan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi,
analisis
pekerjaan, beban kerja, kompetensi
pegawai.
Responden
yang
dibutuhkan
sebagai
sumber
informasi beban kerja adalah seluruh Dinas, Kantor, Badan, dan Inspektorat Pemda Provinsi dengan jabatan struktural minimal eselon III. Sedangkan responden yang dibutuhkan sebagai
sumber
informasi
kompetensi
pegawai
adalah
instansi Bappeda, Dinas Pendidikan, Biro Organisasi, Biro Kepegawaian, dan Dinas Pekerjaan Umum. Data sekunder akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan dokumentasi. Studi kepustakaan merupakan pengumpulan data dan informasi melalui sumber data dalam bentuk buku, hasil kajian, karya tulis, hasil seminar, jurnal, Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
10
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dan lain-lain tentang pengelolaan aparatur pemerintah pemerintah daerah provinsi. Sedangkan dokumentasi yang dikumpulkan berupa arsip-arsip, data statistik dari institusi formal seperti Badan Pusat Statistik (BPS), BAPPEDA, serta institusi relevan lainnya. Dokumen data sekunder yang digunakan adalah undang-undang dan peraturan pemerintah, visi, misi, renstra, program pemerintah daerah, jumlah pegawai, PDRB Provinsi, luas wilayah, jumlah penduduk, jam kerja, dan APBD. 2.3.2
Teknik Pengumpulan Data Dalam proses pengumpulan data, hal yang harus
menjadi pertimbangan adalah data apa saja yang akan dikumpulkan, bagaimana proses pengumpulannya, serta siapa darimana data yang dibutuhkan akan diperoleh. Aspek jenis data yang dibutuhkan pada dasarnya akan berkaitan dengan subtansi kajian sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub bab 2.4.1. Sedangkan bagaimana proses pengumpulan data bekaitan dengan teknis atau instrumen pengumpulan data yang akan digunakan. Sedangkan aspek darimana data akan diperoleh berkaitan dengan siapa yang menjadi responden atau sumber data. Sesuai dengan lingkup data yang dibutuhkan, maka pengumpulan
data
dalam
kerangka
pelaksanaan
studi
menggunakan pendekatan survey pengumpulan data primer Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
11
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dan sekunder, baik untuk data kualitatif maupun data kuantitatif. Pengumpulan data primer dilakukan teknis/instrumen pengumpulan data berupa
melalui
pelaksanaan
diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD), wawancara mendalam (in depth interview), dan penyebaran angket/kuesioner. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur. Proses pengumpulan bahan kajian dilakukan dengan berbagai cara, sebagai berikut:
(1) Review Literature (Kajian Literatur). Merupakan tahapan penelitian yang akan mencakup beberapa kegiatan di dalamnya, yaitu: a. Menggali dan menghimpun data dari berbagai sumber tertulis
mengenai
kelembagaan propinsi
informasi
ilmiah
tentang
pemerintah terutama pemerintah
dalam
kaitan
tugasnya
sebagai
wakil
Pemerintah Pusat dan sebagai koordinator dan fasilitator bagi Kabupaten/Kota di wilayahnya ; b. Menganalisa dengan
berbagai
pengaturan
peraturan kelembagaan
yang
berkaitan
pemerintahan
daerah dan pengelolaan aparat pemerintah.
(2) Wawancara Wawancara yang akan dilaksanakan menggunakan tipe wawancara bebas terpimpin, dimana interviewer membawa pedoman yang hanya berupa garis besar tentang materi yang akan ditanyakan dari narasumber. Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
12
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Wawancara yang akan dilakukan Tim kajian akan melakukan kegiatan wawancara dengan berbagai nara sumber
untuk
memperoleh
masukan
mengenai
permasalahan organisasi pemerintah propinsi. Pihakpihak tersebut antara lain adalah : a. Pihak praktisi yang meliputi pejabat di lingkungan pemerintahan Propinsi pada seluruh SKPD meliputi secretariat daerah, dinas dan badan daerah; b. Komunitas dan Lembaga yang mempunyai komitmen dalam bidang penataan
kelembagaan organisasi
pemerintah, pihak akademisi, dalam hal ini adalah pakar
dari
universitas
dengan
latar
belakang
keilmuan administrasi negara dan hukum administrasi Negara.
(3) Forum
Diskusi
Terarah
(Focused
Group
Discussion/FGD) Forum
diskusi
terarah
(Focused
Group
Discussion/FGD) dilakukan untuk memperoleh masukan secara menyeluruh tentang tugas, fungsi dan beban kerja serta kinerja pemerintahan provinsi. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan pengumpulan data sebelumnya, diadakan FGD dengan melibatkan berbagai narasumber, terdiri wakil lembaga/instansi terkait yang berasal dari: a. Sekretariat Daerah; b. Pejabat dari lembaga/instansi pemerintah lain (Dinas Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
13
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
maupun lembaga); Dalam
konteks
penelitian
kualitatif,
FGD
banyak
digunakan karena beberapa keuntungan: a. Interaksi kelompok. Adanya interaksi di dalam kelompok memungkinkan munculnya respons yang lebih
kaya
dan
juga
memungkinkan
timbulnya
pemikiran-pemikiran baru yang berharga. b. Observasi. Peneliti akan dapat langsung mengamati diskusi serta mendapatkan insight mengenai perilaku, sikap, bahasa, dan perasaan responden. c. Biaya dan waktu. DKT dapat diselesaikan lebih cepat
dan
biasanya
lebih
mudah
dibanding
wawancara mendalam (depth interview).
(4) Penyebaran Angket/Kuesioner Angket/kuesioner
disusun
untuk
membantu
pelaksanaan pengumpulan data primer pada aspek-aspek kajian
yang
cenderung
(sebagian
besar)
bersifat
kuantitatif (atau dapat dikuantitatifkan). Kuesioner juga digunakan untuk menggali persepsi kualitatif responden secara individual, yang mungkin belum terakomodasi atau tersalurkan pada saat pelaksanaan FGD. Responden yang
bertindak
angket/kuesioner
sebagai adalah
narasumber stakeholder
pengisian dari
unsur
pemerintah propinsi dari seluruh SKPD dan dari unsur
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
14
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pemerintah
Kabupaten/Kota
(yang
ada
di
ibukota
secara
simple
Propinsi). Penarikan
sampel
dilakukan
random sampling artinya cara p e n g a m b i l a n s a m p l e dari semua anggota populasi dilakukan secara t a n p a memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi
itu
(Sugiyono,2002:59).
Sedangkan
untuk
jumlah sampel sesuai pendapat Gay sebagaimana dikutip Umar (1999:108) ukuran minimal sampel yang dapat diterima untuk metode analisis deskriptif adalah 30 subjek dari jumlah populasi. Oleh karenanya minimal dalam 1 Propinsi akan diambil 30 sampel tergantung
jumlah
SKPD
yang
ada
pada
tiap
Propinsi.
(5) Form Dokumentasi Instrumen ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder, yang bisa diambil dari peraturan terkait, dokumen-dokumen dari pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota pada wilayah propinsi kajian, maupun dari berbagai tulisan seperti; journal ilmiah, hasil penelitian, dan majalah ilmiah popular.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
15
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
2.4 Instrumen Penelitian Instrumen
penelitian
dalam
bentuk
kuesioner.
Ada
4
kuesioner untuk mejawab pertanyaan studi dan mencapai tujuan dari studi. Kuesioner terlampir pada lampiran laporan ini. Aspek yang termuat dalam kuesioner meliputi : 1) Formula Perhitungan Pegawai Optimal Pendekatan Beban Kerja •
Rumus Penghasilan Jumlah Pegawai yang Optimal
Beban kerja pegawai Riel x Jumlah Pegawai yang riel Beban kerja pegawai sesuai aturan •
Penghitungan Beban Kerja Pegawai Riel Prakiraan Jumlah Pegawai yg melaksanakan pekerjaan x Prakiraan Rata-Rata Jam kerja Pegawai
•
Penghitungan Beban Kerja Sesuai Aturan Jumlah Pegawai yang Riel x Jam Kerja sesuai aturan
2) Perhitungan Pegawai Pendekatan Estimasi (Ekonometrik) lnJP = β0 + β1lnPop + β2lnL + β3lnPAD + β4lnPDRB
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
16
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
3) Penetapan Standar Kompetensi Jabatan Mengidentifikasi kompetensi yang dibutuhkan untuk pejabat Eselon III dan IV dengan variabel identifikasi meliputi (untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada kuesioner yang diampirkan) : • aspek integritas • aspek kepemimpinan • aspek kemampuan manajerial • aspek kemampuan team work • aspek kemampuan social • aspek kemampuan teknik 4) Permasalahan Manajemen Kepegawaian Permasalahan
manajemen
kepegawaian
menjadi
acuan bahasan dalam FGD dengan pejabat Eselon III dan IV pada instansi terpilih. Aspek yang dikaji meliputi: •
Formasi Pegawai
•
Rekruitmen
•
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian
•
Remunerasi
•
Penegakan Disiplin dan Etika Pegawai
•
Standard Kompetensi dan Penilaian Kinerja
•
Permasalahan Umum Kepegawaian Umumnya
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
17
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
2.4.1
Teknik Analisa Data
Sesuai dengan data yang diperoleh, maka proses analisis dalam kegiatan studi ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi
pendekatan
analisis
kualitatif
dan
analisis
kuantitatif/analisis inferensial. Kedua pendekatan tersebut tidak menjadikan hasil analisis akan bersifat saling terpisah, melainkan bersifat saling melengkapi satu sama lainnya. Anlisis dilakukan meliputi empat perspektif dalam Balanced Scorecard meliputi perspektif kinerja keuangan, perspektif kinerja pelayanan pelanggan, perspektif kinerja bisnis internal
dan
perspektif
kinerja
pembelajaran
dan
pertumbuhan yang varibelnya kajiannya telah dibahas pada sub bab 2.4.1.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
18
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Persiapan Umum Pelaksanaan Pekerjaan 1. Mobilisasi dan & Konsolidasi Personil 2. Mobilisasi Prasarana & Sarana Pendukung Kegiatan 3. Koordinasi dengan Tim Teknis/Pemberi Kerja: 4. Studi Leteratur Pendukung 5. Penyusunan Rencana Kerja Komprehensif
Pembahasan Rencana Kerja & Metodologi
L a p o r a n R e n c a n a K e r j a Pengembangan Metodologi & Survey & Analisis Identifikasi Kelembagaan & Komunitas: 1. Instrumen: Kuesioner, Wawancara, FGD, Data Sekunder Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 2. Responden/nara Sumber 3. Metode Kualitatif: Deskriptif 4. Metode Analisis Kuantitatif: Balanced Scorecard, Six Sigma, atau Beban Kerja dan Regresi
19
Survey Identifikasi Beban Kerja, Jumlah Optimal, dan Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah terhadap Dinas dan Lembaga Teknis Daerah n (2 Provinsi Lama: DIY dan Sumatera Utara; 3 Provinsi Baru: Banten, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau
Kompilasi Data Hasil Survey
L a p o
Pembahasan Hasil Survey
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
a. Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis data secara kualitatif bersifat memaparkan hasil temuan secara mendalam melalui
pendekatan
nonstatististik.
bukan
Analisis
angka
ini
atau
cenderung
mengakomodasi setiap data atau tanggapan responden yang diperoleh selama pengumpulan data agar mampu memperkaya wawasan (insight) manajer
(Istijanto,
digunakan
2005:
untuk
menggambarkan
85).
Metode
menjabarkan
secara
sistematik
ini dan dan
komprehensif data-data kualitatif diperoleh dari FGD
(Focus
Group
Discussion),
wawancara
mendalam (depth interview), dan observasi. Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
20
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Analisis ini dilakukan untuk memperoleh deskripsi utuh atas permasalahan yang menjawab tujuan dan sasaran dari sebuah kajian. Data atau kata-kata yang diungkapkan oleh
aparat
selanjutnya
dianalisis
dengan
merangkum atau meringkas untuk menghasilkan temuan
yang
lebih
bermakna
dan
mudah
dipahami. Rangkuman/ringkasan dapat berupa faktor-faktor
yang
melandasi
variabel
pengelolaan aparat (SDM daerah), dugaan adanya hubungan antar variabel pengelolaan aparatur, atau komponen-komponen pembentuknya. b. Analisis Kuantitatif Metode analisis kuantitatif digunakan untuk penentuan jumlah/pola optimal dalam penentuan
aparatur
indikator-indikator
pemda
yang
propinsi
bersifat
dari
kuantitatif.
Analisis ini diperlukan untuk menunjang dan menajamkan narasi dari analisis deskriptif yang bersifat
kualitatif
adalah
Metode
Balance
Scorecard, Metode Six Sigma, Analisis Multiple Regression, digunakan manusia
atau untuk
(Human
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
metode
lain
menganalisis Resources
yang
dapat
sumberdaya Development).
21
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Metode
analisis
tersebut
sifatnya
masih
alternatif, karena perlu dilakukan pengujian dan kelayakan
agar
hasil
kajian
sesuai
dengan
harapan. 1) Metode Balanced Scorecard Balanced Scorecard system (sistem pengukuran kinerja berimbang) merupakan sistem pengukuran yang efektif yang menjadi bagian integral proses manajemen yang dapat
memotivasi
bidang
penting
produksi,
peningkatan
seperti
kepuasan
dibidang-
produk,
proses
konsumen,
serta
pengembangan pasar. Dalam
proses
pengembangannya
Balanced Scorecard meliputi langkah-langkah sebagai berikut: a)
Pada langkah pertama, yaitu persiapan dimana
suatu
menentukan
dan
organisasi
harus
mendefinisikan
unit
bisnis yang sesuai dengan unit balanced scorecard
system
yang
akan
dikembangkan biasanya unit bisnis yang memiliki
sendiri
konsumen,
saluran
distribusi, fasilitas produksi dan tolok Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
22
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
ukur
keuangan
sendiri.
Langkah
penentuan dan pengembangan visi, misi dan strategi perusahaan. Visi perusahaan ialah kemampuan atau daya perusahaan untuk melihat atau mengimajinasikan dirinya
sendiri
dimasa
depan.
Misi
perusahaan artinya tugas khusus yang akan diemban oleh perusahaan dalam mencapai
tujuannya
memberikan
arah
sehingga
dan
fokus
manajemen
terhadap
aktivitasnya.
Sedangkan
perusahaan didefinisikan yang
sedang
dan
bagi
aktivitasstrategi
sebagai apa
akan
dikerjakan
organisasi; b) Langkah selanjutnya, memformulasikan balanced
scorecard
dimana
dapat
mengintegrasikan tolok ukur keuangan sebagai satu kesatuan tolok ukur kinerja. Selanjutnya balanced
mengimplementasikan scorecard
mengintegrasikannya manajemen
dan
dengan kedalam
budaya
cara filosofi
perusahaan,
mengkomunikasikannya kepada karyawan dan mengembangkan sistem informasi Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
23
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
yang
mendukung
pengukuran
kinerja
menurut balanced scorecard system serta mengimplementasikan scorecard
balanced
kedalam
aktivitas-aktivitas
perusahaan sehari-hari; c)
Langkah terakhir mengevaluasi balanced scorecard
pada
setiap
akhir
suatu
periode yang telah ditetapkan sebagai saat
evaluasi
semesteran
misalnya
atau
mendiskusikannya
bulanan,
tahunan kepada
dan seluruh
jenjang manajemen sebagai bagian dari penetapan tujuan strategi perusahaan dan proses alokasi sumber daya. Fokus dari Balanced Scorecard adalah untuk
meningkatkan
proses
manajemen
dalam:
Klarifikasi dan translasi dari visi dan strategi;
Komunikasi dan hubungan tujuan dan ukuran strategi;
Rencana set target dan aliansi inisiatif strategi;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
24
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Mencapai
dan
mempelajari
strategi
feedback. Balance penilaian
Scorecard
dalam
melakukan
penaksiran
kinerja
perusahaan dengan 4 perspektif yaitu : a) Perspektif Keuangan (finansial) Perspektif perhatian karena
keuangan dalam
ukuran
tetap
balanced keuangan
menjadi scorecard
merupakan
ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang terjadi akibat keputusan dan tindakan Gambar 2.2 Empat Perspektif Dalam Analisis Balance Scorecard
Sumber : Kaplan and Norton (1996)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
25
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian kinerja keuangan yang baik merupakan fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran perspektif
keuangan
dibedakan
pada
masing-masing tahap dalam siklus bisnis yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan menjadi tiga tahap: ;
Growth
(Berkembang),
berkembang
merupakan
dimana tahap
pertama dan tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap ini suatu perusahaan memiliki tingkat pertumbuhan yang sama sekali atau peling tidak memiliki potensi untuk berkembang.
Untuk
menciptakan
potensi ini, kemungkinan seorang manajer
harus
terikat
komitmen
untuk mengembangkan suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan fasilitas produksi, menambah
kemampuan
mengembangkan
operasi, sistem,
infrastruktur dan jaringan distribusi yang Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
akan
mendukung
hubungan
26
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
global,
serta
mengasuh
dan
mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Perusahaan dalam tahap pertumbuhan mungkin secara aktual beroperasi dengan cash flow negatif dan tingkat pengembalian atas modal yang rendah. Investasi yang ditanam untuk
kepentingan
masa
depan
sangat memungkinkan memakai biaya yang
lebih
besar
dibandingkan
dengan jumlah dana yang mampu dihasilkan dari basis operasi yang ada sekarang, dengan produk dan jasa dan konsumen yang masih terbatas. Sasaran keuangan untuk growth stage menekankan
pada
pertumbuhan
penjualan di dalam pasar baru dari konsumen baru dan atau dari produk dan jasa baru. ;
Sustain Stage (Bertahan), merupakan tahap
kedua
yaitu
suatu
tahap
dimana perusahaan masih melakukan investasi
dan
reinvestasi
mempersyaratkan
dengan tingkat
pengembalian yang terbaik, Dalam Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
27
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
tahap
ini
perusahaan
berusaha
mempertahankan pangsa pasar yang ada dan mengembankannya apabila mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya
diarahkan
menghilangkan
untuk kemacetan,
mengembangkan
kapasitas
dan
meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Pada tahap ini perusahaan tidak lagi bertumpu pada strategi-stratei
jangka
panjang.
Sasaran keuangan tahap ini lebih diarahkan
pada
besarnya
tingkat
pengembalian atas investasi yang dilakukan. ;
Harvest
(Panen),
merupakan
tahap
tahap
(mature),
suatu
perusahaan
ini
kematangan tahap
dimana
melakukan
panen
(harvest) terhadap investasi mereka. Perusahaan
tidak
lagi
melakukan
investasi lebih jauh kecuali hanya untuk
memelihara
fasilitas,
tidak
ekspansi
atau
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
dan
untuk
perbaikan melakukan
membangun
suatu
28
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kemampuan dalam
baru.
Tujuan
tahap
memaksimumkan masuk
ke
utama
ini arus
adalah kas
perusahaan.
yang
Sasaran
keuangan untuk harvest adalah cash flow
maksimum
yang
mampu
dikembalikan dari investasi dimasa lalu. b) Perspektif Pelanggan. Pada masa lalu seringkali perusahaan mengkonsentrasikan diri pada kemampuan internal dan kurang memperhatikan konsumen.
kebutuhan Sekarang
strategi
perusahaan telah bergeser fokusnya dari internal ke eksternal. Jika suatu unit bisnis inin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka panjang, mereka harus menciptakan dan menyajikan suatu produk atau jasa
yang
bernilai
dari
biaya
perolehannya. Dan suatu produk akan semakin bernilai apabila kinerjanya semakin
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
mendekati
atau
bahkan
29
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
melebihi dari apa yang diharapkan dan persepsikan konsumen (Heppy Julianto, 2000). Tolok ukur kinerja pelanggan
dibagi
menjadi
dua
kelompok (Budi W. Soejtipto, 1997): ;
Kelompok Inti
Pangsa pasar: mengukur seberapa besar
pororsi
tertentu
yang
segmen
pasar
dikuasai
oleh
perusahaan.
Tingkat perolehan para pelanggan baru: mengukur seberapa banyak perusahaan
berhasil
menarik
pelanggan-pelanggan baru.
Kemampuan mempertahankan para pelanggan seberapa
lama:
mengukur
banyak
perusahaan
berhasil
mempertahankan
pelangan-pelanggan lama.
Tingkat
kepuasan
pelanggan:
mengukur seberapa jauh pelanggan merasa
puas
terhadap
layanan
perusahaan.
Tingkat
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
profitabilitas
pelanggan:
30
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
mengukur
seberapa
besar
keuntungan yang berhasil diraih oleh perusahaan dari penjualan produk kepada para pelanggan. ;
Kelompok Penunjang.
Atribut-atribut
produk
(fungsi,
harga dan mutu), dimana tolok ukur atribut produk adalah tingkat harga eceran relatif, tingkat daya guna produk, tingkat pengembalian produk
oleh
pelanggan
sebagai
akibat ketidak sempurnaan proses produksi,
mutu
peralatan
dan
fasilitas produksi yang digunakan, kemampuan sumber daya manusia serta tingkat efisiensi produksi.
Hubungan dengan pelanggan, tolok ukur yang termasuk sub kelompok ini, tingkat fleksibilitas perusahaan dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan
para
pelanggannya,
penampilan fisik dan mutu layanan yang diberikan oleh pramuniaga serta
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
penampilan
fisik
fasilitas
31
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
penjualan.
Citra
dan
reputasi
perusahaan
beserta produk-produknya dimata para pelanggannya dan masyarakat konsumen. c) Perspektif Proses Bisnis Internal. Menurut Kaplan dan Norton 1996, dalam proses bisnis internal, manajer harus bisa mengidentifikasi proses internal yang penting dimana perusahaan
diharuskan
melakukan
dengan baik karena proses internal tersebut mempunyai nilai-nilai yang diinginkan
konsumen
memberikan diharapkan
dan
dapat
pengembalian
yang
oleh
para
pemegang
saham. Tahapan dalam proses bisnis internal meliputi: ;
Inovasi, dilakukan
dimana
inovasi
dalam
yang
perusahaan
biasanya dilakukan oleh bagian riset dan pengembangan. Dalam tahap inovasi ini tolok ukur yang digunakan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
adalah
besarnya
32
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
produk-produk baru, lama waktu yang
dibutuhkan
mengembangan
untuk
suatu
produk
secara relatif jika dibandingkan perusahaan
pesaing,
besarnya
biaya, banyaknya produk baru yang berhasil dikembangkan. ;
Proses
Operasi,
tahapan
merupakan
tahapan
perusahaan
berupaya
ini
dimana untuk
memberikan solusi kepada para pelanggan
dalam
memenuhi
kebutuhan
dan
keinginan
pelanggan.
Tolok
digunakan
ukur
antara
lain
Manufacturing Effectiveness
yang Cycle
(MCE),
tingkat
kerusakan produk pra penjualan, banyaknya bahan baku terbuang percuma, frekuensi pengerjaan ulang
produk
sebagai
akibat
terjadinya kerusakan, banyaknya permintaan para pelanggan yang tidak
dapat
penyimpangan Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
biaya
dipenuhi, produksi
33
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
aktual terhadap biaya anggaran produksi serta tingkat efisiensi per kegiatan produksi. ;
Proses Penyampaian Produk atau Jasa pada Pelanggan, aktivitas penyampaian produk atau jasa pada
pelanggan
meliputi
pengumpulan, penuimpanan dan pendistribusian produk atau jasa serta layanan purna jual dimana perusahaan
berupaya
memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan yang telaah membeli
produknya
seperti
layanan
pemeliharaan
layanan
perbakan
layanan
produk,
kerusakan,
penggantian
cadang,
dan
suku
perbaikan
pembayaran.
d) Perspektif
Pembelajaran
dan
Pertumbuhan. Perspektif
keempat
dalam
balanced scorecard mengembangkan pengukuran Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
dan
tujuan
untuk
34
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
mendorong organisasi agar berjalan dan tumbuh. Tujuan dari perspektif pembelajaran adalah
dan
pertumbuhan
menyediakan
infrastruktur
untuk mendukung pencapaian tiga perspektif
sebelumnya.
Perspektif
keuangan, pelanggan dan sasaran dari proses bisnis internal dapat mengungkapkan kesenjangan antara kemampuan yang ada dari orang, sistem dan prosedur dengan apa yang dibutuhkan untuk mencapai suatu kinerja
yang
handal.
Untuk
memperkecil kesenjangan tersebut perusahaan investasi
harus
dalam
melakukan
bentuk
reskilling
employes. Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah (Kaplan dan Norton, 1996): ;
Karyawan,
hal
ditinjau
adalah
karyawan
dan
kerja
yang
perlu
kepuasan produktivitas
karyawan.
Untuk
mengetahui tingkat kepuasan karyawan Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
perusahaan
perlu
35
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
melakukan reguler.
survei
secara
Beberapa
elemen
kepuasan
karyawan
adalah
keterlibatan
dalam
pengambilan
keputusan,
pengakuan,
akses
untuk
memperoleh
informasi,
dorongan
melakukan
untuk
kreativitas dan inisiatif serta dukungan
dari
atasan.
Produktivitas kerja merupakan hasil dari pengaruh agregat peningkatan inovasi,
keahlian
perbaikan
moral, proses
internal dan tingkat kepuasan konsumen. Di dalam menilai produktivitas
kerja
karyawan pemantauan
setiap
dibutuhkan secara
terus
menerus. ;
Kemampuan Sistem Informasi, perusahaan
perlu
memiliki
prosedur informasi yang mudah dipahami
dan
mudah
dijalankan. Tolok ukur yang Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
36
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
sering digunakan adalah bahwa informasi
yang
dibutuhkan
mudah diperoleh, tepat dan tidak memerlukan waktu lama untuk
mendapat
informasi
tersebut Balanced sistem kinerja
yang
Scorecard
dipakai
untuk
perusahaan
merupakan pengukuran
yang
mampu
menyediakan informasi bagi manajemen dan pemegang saham untuk memberikan jawaban atas empat pertanyaan pokok, yaitu : a) Bagaimana pandangan pemegang saham atas
kinerja
perusahaan?
(financial
perspective); b) Bagaimana terhadap
pandangan
customers
perusahaan?
(customers
perspective); c) Apa yang dapat diunggulkan perusahaan? (internal perspective); d) Dapatkah
manajemen
melakukan
perbaikan dan menciptakan value secara berkesinambungan? (learning and growth perspective).
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
37
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Sistem pengukuran yang menyajikan informasi
dari
empat
berbeda
tersebut
informasi
yang
perspektif
dapat
yang
memaksimalkan
diperlukan
oleh
top
management. Keempat perspektif tersebut harus diberikan cakupan yang seimbang (balanced) dan terjadinya suboptimalisasi pada satu perspektif harus dihindarkan. Ada 4 langkah yang harus dilalui untuk
menggunakan
Balanced
Scorecard
dalam perencanaan strategi jangka panjang yang
terintegrasi
dan
proses
budget
operasional antara lain : 1) Set
stretch
ditetapkan
targets; harus
target
yang
mencerminkan
discontinuity dalam kinerja unit bisnis. Bila target tersebut telah dicapai maka dimplementasikan
dalam
marketing
untuk inovasi dan untuk jasa pelanggan yang diikuti oleh profit yang besar. Sebagai driver kinerja Balanced sorecard akan
membantu
mengindentifikasi dapat
memicu
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
manajer driver
ukuran
utama kinerja
untuk yang hasil,
38
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dalam faktor operasional seperti strategi investasi,
market
research,
inovasi
produk dan jasa, reskilled employees dan penggunaan sistem informasi yang akan menciptakan ambisius
target
keuangan
yang
dicapai
serta
yang
akan
and
rationalize
pelanggan. 2) Identify initiative;
dalam
balanced
strategic scorecard
inisiatif akan terfokus untuk mencapai tujuan organisasi, ukuran dan target yang menyempurnakan
channel
kreativitas
meliputi program ukuran yang hilang, penyempurnaan program yang kontinu dihubungkan dengan rate of change metrics dan inisiatif strategi seperti reengineering dan program transformasi yang
dihubungkan
penyempurnaan
yang
dengan radikal
dalam
kinerja kunci dari driver. 3) Identify critical cross-business initiative; perusahaan dapat menggunakan Balanced sorecard
untuk
mendorong
fungsi
corporate level sehingga semakin efisien dan terfokus pada pelanggan dan dapat Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
39
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
mengidentifikasi
inisiatif
yang
akan
memberikan keuntungan kepada strategi unit bisnis. 4) Link to annual resources allocations and budgets;
strategi
dijalankan
dengan
menghubungkan 3 atau 5 tahun rencana strategi ke discreationary expense dan kinerja budget untuk tahun mendatang dan kemudian menelusurinya kembali ke unit bisnis sesuai dengan perjalanan strategi Dalam
aplikasinya,
balanced
scorecard diciptakan untuk menetapkan goals dan selanjutnya mengukur pencapaian goals tersebut,
sehingga
sistem
ini
dapat
membantu perusahaan dalam menetapkan strategi
yang
akan
dipakai.
Balanced
Scorecard bukan merupakan suatu pola yang dapat diaplikasikan pada semua perusahaan secara umum. Situasi pasar, produk/jasa dan kompetisi yang berbeda akan menyebabkan penatapan, Perusahaan
scorecard seharusnya
yang
berbeda.
menciptakan
scorecard yang disesuaikan dengan misi,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
40
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
teknologi
serta
budaya
perusahaan. Sistem
masing-masing
baru
ini
lebih
dari
sekedar alat ukur kinerja, karena sistem manajemen ini dapat menumbuhkan motivasi untuk
perbaikan
dalam
proses,
customers
produk,
pengembangan dan
lainnya.
Dengan mengkombinasikan empat perspektif, yaitu financial, customers, internal process dan learning and growth, balanced scorecard akan
membantu
pembuatan
dan
manajemen
dalam
hal
pengambilan
keputusan,
dengan lebih melihat masa depan dibanding kejadian yang telah terjadi. 2.4.2. Penerapan Balance Scorecad Dalam Analisis Kinerja Sektor Publik Secara
umum,
penerapan
konsep
balanced
socrecard dalam organisasi publik dapat dilakukan mulai dari proses pembelajaran dibidang keahlian, pengetahuan,
data,
maupun
masyarakat.
Proses
pembelajaran ini akan mempengaruhi proses internal organisasi.
Proses
internal
akan
mewarnai
mutu
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat maupun para wakil rakyat, mempengaruhi nilai dan manfaat, serta mempengaruhi keuangan dan biaya sosial, dan Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
41
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
secara keseluruhan akan bermuara pada misi organisasi yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Secara diagram, dapat dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar 2.3 Penerapan Balanced Scorecard dalam Organisasi Publik
Beberapa pertanyaan pokok yang perlu dijawab Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
42
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dalam menjabarkan misi organisasi menjadi strategi dalam empat perspektif balance scorecard dapat dijabarkan berikut ini. 1) Misi : ;
Apa misi organisasi?
;
Jasa pelayanan dan program apa saja yang dipersyaratkan dan dibutuhkan?
2) Pelanggan dan Pihak Berkepentingan : ;
Bagaimana organisasi mencipta nilai?
;
Manfaat apa saja yang dibutuhkan untuk penyediaan jasa tersebut?
3) Karyawan dan Kapasitas Organisasi: ;
Bagaimana
kita
merubah
dan
mengembangkan kemampuan? 4) Proses Bisnis Internal: ;
Untuk memuaskan para pembayar pajak, wakil
rakyat
dan
pihak
berkepentingan
lainnya, proses bisnis mana yang harus ditonjolkan? 5) Finansial: ;
Untuk
kehati-hatian
pengelolaan
sumber
daya publik, bagaimana cara mengalokasikan dana dan mengontrol belanja?
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
43
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambar 2.4 Penjabaran Visi dan Misi Organisasi Publik
Berdasarkan
alur
pertanyaan
tersebut.
Selanjutnya dapat disusun bagan analisis dari Balance sorecard. Sebagai contoh adalah dalam konteks analisis sektor publik di bidang kesehatan, dijelaskan pada gambar 2.5. Gambar 2.5: Analisis Sketor Publik di Bidang Kesehatan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
44
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Sedangkan sasaran dan ukuran strategik dari penerapan metode ini, dapat dilihat pada taabel berikut: Tabel 2.1 Ukuran dan Sasaran Strategis dengan Balanced Scorecard
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
45
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
46
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
2) Metode Six Sigma Six Sigma merupakan sebuah metodologi terstruktur
untuk
memperbaiki
proses
yang
difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses (process variances) sekaligus mengurangi cacat (produk/jasa yang diluar spesifikasi) dengan menggunakan statistik dan problem solving tools secara intensif. Secara harfiah, Six Sigma (6σ) adalah suatu besaran yang bisa kita terjemahkan secara gampang sebagai sebuah proses yang memiliki kemungkinan sebanyak
cacat
3.4
(defects
buah
dalam
opportunity) satu
juta
produk/jasa. Ada banyak kontroversi di sekitar penurunan angka Six Sigma menjadi 3.4 dpmo (defects per million opportunities). Namun bagi kita, yang penting intinya adalah Six Sigma sebagai metrics merupakan sebuah referensi untuk mencapai suatu keadaan yang nyaris bebas cacat. Dalam perkembangannya, 6σ bukan hanya sebuah
metrics,
namun
telah
berkembang
menjadi sebuah metodologi dan bahkan strategi bisnis.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
47
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Peter S. Pande & Larry Holpp (2003:3) menyatakan Six Sigma (6σ) adalah cara mengukur proses, tujuan mendekati sempurna, disajikan dengan
3,4
DMPO
(defect
per
million
opportunities); mengubah budaya organisasi. Atau lebih tepat six sigma difinisikan sebagai sebuah system yang luas dan komprehensif untuk membangun dan menopang kinerja, sukses, dan kepimpinan bisnis. Masish menurut Peter Pande,dkk, dalam bukunya The Six Sigma Way: Team Fieldbook, ada enam komponen utama konsep Six Sigma sebagai strategi bisnis: 1. Benar-benar mengutamakan layanan pada masyarakat: seperti kita sadari bersama, masyarakat bukan hanya penerima layanan, tapi bisa juga berarti mitra kerja aparat, kelompok yang menerima hasil kerja aparat, masyarakat lainnya pengguna jasa, dll. 2. Manajemen yang berdasarkan data dan fakta: bukan berdasarkan opini, atau pendapat tanpa dasar. 3.
Fokus pada proses, perbaikan:
Six
kemampuan Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
kita
Sigma
manajemen
dan
sangat tergantung
mengerti
proses
yang
48
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dipadu dengan manajemen yang bagus untuk melakukan perbaikan. 4.
Manajemen yang proaktif: peran pemimpin dan
manajer
sangat
penting
dalam
mengarahkan keberhasilan dalam melakukan perubahan. 5. Kolaborasi tanpa batas: kerja sama antar tim yang harus mulus. 6. Selalu mengejar kesempurnaan. Six Sigma adalah suatu metode yang sangat terstruktur yang terdiri dari terdiri dari lima tahapan yang disingkat DMAIC (Define, Analyze, Improve, Control). Define: pada tahap ini
team
pelaksana
permasalahan,
mengidentifikasikan
mendefiniskan
spesifikasi
pelanggan, dan menentukan tujuan (pengurangan cacat/biaya dan target waktu). Measure: tahap untuk
memvalidasi
permasalahan,
mengukur/menganalisis permasalahan dari data yang ada. Analyze: menentukan faktor-faktor yang paling mempengaruhi proses; artinya mencari satu atau dua faktor yang kalau itu diperbaiki akan memperbaiki proses kita secara dramatis.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
49
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Improve: nah, di tahap ini kita mendiskusikan ide-ide
untuk
memperbaiki
sistem
kita
berdasarkan hasil analisa terdahulu, melakukan percobaan untuk melihat hasilnya, jika bagus lalu dibuatkan
prosedur
bakunya
(standard
operating procedure-SOP). Control: di tahap ini kita
harus
membuat
rencana
dan
desain
pengukuran agar hasil yang sudah bagus dari perbaikan team kita bisa berkesinambungan. Dalam tahap ini kita membuat semacam metrics untuk selalu dimonitor dan dikoreksi bila sudah mulai
menurun
ataupun
untuk
melakukan
perbaikan lagi. Langkah-langkah penggunaan pendekatan Six Sigma dalam Pengelolaan Aparatur Pemda: 1. Identifikasi kualitas pengelolaan aparatur yang efektif dan efisien 2. Mengklasifikasi
karakteristik
kualitas
pengelolaan aparatur 3. Menentukan kendali (part dan/ proses) 4. Toleransi maksimum karakteristik kualitas 5. Menentukan
variasi
proses
untuk
karakteristik yang telah diklasifikasi 6. Penentukan Indeks kapabilitas CP lebih besar dari sama dengan 2. Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
50
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Tabel 2.2: Batas-Batas Kontrol 6σ Peta Kontrol X-Bar (Batas-Batas Kontrol 6-Sigma atau 6σ) CL = nilai target (T)
Peta Kontrol S (Batas-B 6σ) UCL = SMaksimal
UCL= T + 1,5σ
LCL = 0
LCL= T – 1,5 σ Sumber: Gaspersz (2001) Keterangan: T = target yang diinginkan Adapun keuntungan menggunakan DMAIC sebagai analisis adalah: 1) membuat awal yang baik 2) memberikan konteks yang baru terhadap alat-alat yang familiar 3) menciptakan
sebuah
pendekatan
yang
konsisten 4) memprioritaskan pelanggan dan pengukuran 5) menawarkan jalur proses dan perancangan ulang untuk perbaikan perbaikan. Tabel 2.3: Komponen dan Indikator 6σ Komponen 6σ Fokus yang sungguh kepada pelanggan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Perusahaan Kinerja pelanggan, kepuasan pelanggan, dan nilai pelanggan
51
Pengel peme Kinerja (kua kehandalan, pengembang
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Manajemen digerakkan oleh data fakta Fokus proses, manajemen, dan perbaikan
Pengukuran kinerja perusahaan dan menganalisis variabelvariabel kunci Fokus proses, manajemen, dan perbaikan
Proaktif
Manajamen proaktif
Kolaborasi tanpa batas
Kerja sama antara kelompok internal dengan para pelanggan, pemasok, mitra rantai persediaan. Mengelola resiko dan belajar dari kesalahan
Dorongan untuk sempurna, tetapi teleransi terhadap pelanggan Sumber: diolah dari berbagai sumber
Pengukuran instrumen; skala interval dan ordinal. Dalam Six Sigma, konsep Variance dan Standar Deviasi memegang peran yang sangat penting dalam analisis. Ini karena dari pengalaman pada proses-proses produksi barang dan jasa, variasi adalah MUSUH. Fokus Six Sigma adalah mengurangi
variasi.
Kenapa?
Karena
setiap
individu/organisasi yang menjadi pelanggan kita ‘merasakan’ variasi itu, bukan merasakan rata-rata. Tabel 2.4: Kriteria Konversi 6σ
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
52
perencanaan jumlah) laya layanan publ Kinerja peng analisis varia Proses penge pengembang aparat, dan aparat, kom jumlah apara motivasi apa Kepekaan ap daerah Kerja sama a internal dan horizontal, r Pengelolaan mengurangi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Sumber: Pande & Holpp (2003) dalam Rahman (2005) 3) Metode Regresi Linier Teknik regresi adalah pendekatan yang digunakan untuk mendefinisikan relasi matematis antara variabel output (y) dan satu atau lebih variabel
input
(x).
Diantara
banyak
model
regresi, analisis yang paling umum digunakan dalam statistik oleh masyarakat luas adalah regresi linear. Analisis ini memang sangat luas aplikasinya karena hubungan antara dua variabel merupakan sesuatu yang jamak dalam hidup sehari-hari. Dalam kajian ini, teknik regresi dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya jumlah optimal pegawai dengan mengetahui jumlah
beban
kerja
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
pegawai.
Beban
kerja
53
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pegawai sebagai variabel bebas (X) dan jumlah pegawai adalah variabel terikat (Y). Dalam regresi linear, ada dua komponen yang mendasari analisis-nya: - pasangan dua variabel - perkiraan alasan tentang hubungan antara dua variabel tersebut. Konsep regresi sendiri walaupun sangat lazim digunakan, namun tidak banyak yang menyadari bahwa konsep ini sangat dekat dengan hypothesis test dalam menentukan apakah dua variabel yang kita analisa saling berkaitan. Menentukan bentuk regresi dapat dilakukan dengan
beberapa
cara.
Cara
yang
paling
sederhana adalah membuat grafik dalam diagram scatter, atau dengan cara operasi matematis. Dengan menggunakan diagram scatter, data yang telah di-plot secara sederhana dapat dilihat kumpulan
apakah
kumpulan
data
dapat
dinyatakan berada pada suatu garis lurus (linier) atau tidak lurus (non linier). Sedangkan dengan cara matematis dapat untuk mengetahui data
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
54
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dengan bermacam-macam diantaranya Ordinary Least Square (OLS). Persamaan umum untuk regresi linear sederhana dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana:
Yˆi adalah nilai perkiraan dari variabel output Yˆi b0 adalah titik singgung persamaan dengan sumbu y ( nilai y jika x = 0) b1
adalah
koefisien
yang
menunjukkan
gradien persamaan tersebut xi adalah nilai variabel input ei
adalah
nilai
residual,
nilai
yang
menunjukkan perbedaan antara nilai actual (Y) dan nilai perkiraan ( Yˆi ) yang dihasilkan oleh model tersebut. Harga bo dihitung dengan rumus:
b0 =
ΣY (ΣX 2 ) − ΣY .ΣXY nΣ X 2 − ( Σ X ) 2
Harga b1 dihitung dengan rumus:
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
55
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
b1 =
nΣXY − ΣX .ΣY nΣX 2 − (ΣX ) 2
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
56
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI 3.1
Landasan Teoritis Dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya pada bab
I, maka pada bagian ini akan diuraikan konsep dan kebijakan desentralisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Dengan menguraikan kedua hal tersebut, diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang kompetensi pegawai, analisis pekerjaan, beban kerja pegawai,
sjumlah/pola optimal pegawai, serta tentang
pengelolaan kepegawaian. 3.1.1 Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah Definisi desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua istilah yang berbeda tetapi merupakan satu kesatuan. Menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah: -
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan a. Konsep Desentralisasi Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Beberapa wujud pelaksanaan desentralisasi adalah adanya pelimpahan kewenangan
kepada
tingkat
pemerintahan
yang
lebih
rendah
untuk
melakukan pembelanjaan dan kewenangan untuk memungut pajak (taxing Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Konsep desentralisasi menurut PBB (1962) didefinisikan sebagai: 1.
Dekonsentrasi yang disebut juga sebagai desentralisasi birokrasi atau administrasi, dan
2. Devolusi yang sering disebut juga sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal. Sedangkan menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945, desentralisasi mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintah di daerah harus melibatkan rakyat. Untuk itu dalam realisasinya pemerintah daerah harus mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuan penerapan asas desentralisasi di dalam negara kesatuan adalah agar tidak terjadi pemusatan (sentralisasi) kekuasaan di tangan pemerintah pusat dan agar kebijakan pemerintah lebih sesuai dengan kondisi wilayah dan aspirasi masyarakat di daerah. Secara umum, alasan mengapa desentralisasi itu penting yaitu: 1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani. 2.
Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian untuk mengikutsertakan rakyat di dalam pemerintahan.
3. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. 4. Dari sudut kultural, desentralisasi diperlukan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi atau latar belakang sejarahnya. 5.
Dari
sudut
kepentingan
pembangunan
ekonomi,
desentralisasi
diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
34
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Pada akhir abad ini, desentralisasi telah dilakukan oleh banyak negara, demikian dinyatakan oleh Bank Dunia dalam Decentralization Briefing Notes, seperti yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia. Masing-masing negara mempunyai tujuan yang sama namun demikian mereka mempunyai alasan dan motivasi yang berbeda untuk melakukan desentralisasi itu. 1. Alasan ekonomi yang pertama dari desentralisasi adalah alokasi efisiensi. Di mana, keputusan tentang pengeluaran publik yang dibuat oleh pemerintah lebih dekat dan lebih bertanggunggjawab dengan permintaan dari daerah, oleh karenanya desentralisasi labih rasional dari pada desentralisasi. 2. Alasan ekonomi yang kedua adalah untuk meningkatkan kemampuan bersaing pemerintah dan mendorong inovasi, oleh karenanya pemerintah daerah akan selalu berusaha untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan penduduknya. Keuntungan yang lain adalah penduduk menjadi lebih suka
untuk
membayar
kewajiban-kewajibannya
untuk
prioritas
kemauannya, sehingga masyarakat ikut berpartisipasi memberikan pelayanan. Effendi (2002) mengatakan bahwa untuk mendefinsikan istilah desentralisasi tidaklah mudah, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik
(Political
(Administrative
Decentralization); Decentralization);
Desentralisasi Desentralisasi
Administratif Fiskal
Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic
or
(Fiscal Market
Decentralization). Dalam hal ini hanya akan dikemukakan pengertian desentralisasi administratif. Effendi (2002) mendefinisikan Desentralisasi Adminitratif, yaitu pelimpahan wewenang yang dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan,
tanggung
jawab,
dan
sumber-sumber
keuangan
untuk
menyediakan pelayanan publik. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama
menyangkut
perencanaan,
pendanaan,
dan
pelimpahan
manajemen fungsi–fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
35
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu. Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Konsep desentralisasi menurut Undang-undang sudah
mencakup
aspek
fiskal,
politik,
administrasi
dan
sistem
pemerintahan, dan pembangunan sosial ekonomi. Jadi dari berbagai pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan wewenang dari pemerintah Pusat ke pemerintah daerah otonom dengan tujuan agar daerah dapat mengatur dan mengelola pemerintahan dengan alasan sosial, ekonomi, politik, maupun administrasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Konsep Otonomi Daerah UU 5 tahun 1974 memperkenalkan sistem pemerintahan daerah otonomi bertingkat dengan titik berat Otonomi Daerah diletakan pada Daerah Tingkat II. Daerah Tingkat I adalah menjadi atasan Derah Tingkat II dan selanjutnya. Pusat adalah menjadi atasan Daerah Tingkat I. Penyerahan urusan (desentralisasi) yang menjadi tanggung jawab daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Urusan yang telah diserahkan dapat ditarik kembali dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat. Terlambatnya penyerahan urusan oleh Pusat pada Daerah Otonom merupakan
masalah
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
utama
dalam
pelaksanaan
Otonomi
Daerah.
36
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Keterlambatan ini dipengaruhi pula oleh kesulitan penentuan urusan yang akan diserahkan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut dan atas desakan dari berbagai daerah dibentuklah undang-undang tentang sistem pemerintahan daerah yang lebih komprehensif yang dikenal dengan UU 22 tahun 1999 yang mulai berlaku tahun 2001. Seiring dengan undang-undang ini, diterbitkan pula UU 25 tahun 1999 yang mengatur hubungan keuangan Pusat-Daerah. Dengan diterbitkannya kedua undang-undang ini berarti pelaksanaan sistem desentralisasi
semakin
jelas,
baik
ditinjau
dari
sisi
administrasi
pemerintahan maupun dilihat dari segi pembiayaan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Untuk mengakomodasi kelemahan peraturan dan perundang-undangan yang lama dan aspirasi dari masyarakat bahwa otonomi daerah harus lebih mengutamakan pelayanan menjadi mudah, kesejahteraanm masyarakat meningkat, maka perlu dilakukan revisi undang-undang. Di samping itu perlu ada kejelasan tentang pembagian urusan pemerintahan yang jelas agar otonomi dapat dijalankan sesuai dengan tujuan semula dan semangat NKRI. Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal pasal 1 ayat 5, bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. 3.1.2 Pembagian Urusan Pemerintah Daerah Provinsi Restrukturisasi urusan pemerintahan daerah merupakan salah satu unsur terpenting
yang perlu segera ditangani (melalui UU 32/2004 dan peraturan
pelaksananya). Pembagian urusan belum dilakukan secara jelas bagi pemerintahan kabupaten/kota dalam reformasi desentralisasi tahun 1999. Bahkan jika pembagian urusan telah jelas, beberapa departemen Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) lainnya masih berkeberatan dalam menyerahkan sejumlah urusan strategis,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
37
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
maupun urusan yang dapat menjadi sumber pendapatan daerah, yang selanjutnya akan menyebabkan ketegangan antar tingkatan pemerintahan. Berbeda jauh dengan UU 22 tahun 1999, UU 32 tahun 2004 mencoba menghilangkan urusan sisa (residu) kepada pemerintah daerah (kabupaten/kota). Undang-undang ini kemudian mencantumkan ”positive list” dari urusan wajib bagi propinsi dan kabupaten/ kota, dengan rincian dilanjutkan di dalam Peraturan Pemerintah. Undang-undang ini membedakan antara ”urusan wajib” dan ”urusan pilihan”. Urusan wajib yang ditentukan dalam UU 32/2004 bentuknya kurang konsisten; ada yang berbentuk sektor dan yang bersifat urusan dengan ruang lingkup sempit. Daftar untuk propinsi hampir sama dengan daftar kabupaten/kota, hanya ada tambahan urusan lintas kabupaten/kota. Lebih lagi, penentuan apa yang menjadi urusan wajib maupun pilihan ditentukan atas serangkaian sektor, daripada penentukan yang berdasar hakekat urusan itu sendiri. Dalam Penjelasan PP 38 Tahun 2007 diuraikan bahwa penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan
Pemerintahan
Daerah.
Urusan
pemerintahan
terdiri
dari
urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah. Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
38
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(basic services) bagi masyarakat. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk
diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah, sepanjang
menjadi
kewenangan
daerah
yang
bersangkutan
tetap
harus
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang bersangkutan. Adapun urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi adalah seperti yang tertulis pada PP No. 38 Tahuan 2007, pasal 7 ayat (2) adalah terdiri dari 32 sektor yang terdiri dari dari: pendidikan; kesehatan; lingkungan hidup; pekerjaan umum; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perumahan; kepemudaan dan olahraga;
penanaman
kependudukan
dan
modal; catatan
koperasi sipil;
dan
usaha
kecil
ketenagakerjaan;
dan
menengah;
ketahann
pangan;
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; perhubungan; komunikasi dan informatika; pertanahan; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa; sosial; kebudayaan; statistik; kearsipan; dan perpustakaan. Sedangkan yang menjadi urusan pilihan pemerintah daerah provinsi adalah sesuai dengan PP No 38 Tahun 2007 pasal 7 ayat (4) antara lain adalah: kelautan dan perikanan; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; pariwisata; industri; industri; perdagangan; dan ketransmigrasian. 3.1.3 Manajemen Sumber Manusia a. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan sebuah organisasi guna mencapai tujuannya. Menurut Kinggudu dalam Suharyanto dan Heruanto (2005) bahwa definisi MSDM adalah: Human resource management ... is the development and utulization of personnel for effective achievement of individual, organizational, community, national and international goals and objectives.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
39
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Sementara Irawan (1997) menyebutkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah ilmu untuk mengatur atau mengelola sumber daya manusia yang ada dalam organisasi sehingga dapat berkinerja maksimal dan optimal untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Sedangkan pendapat Tulus yang lebih melihat dari definisi mikro menyatakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan atau pengadaan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan tenaga kerja dimaksud membantu mencapai tujuan organisasi, individu, dan masyarakat. Dari berbagai definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu ilmu untuk memberdayakan sumber daya manusia agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan organisasi. Definsi di atas juga menyebutkan kegiatan atau fungsi manajemen sumber daya manusia yang mengarahkan pada sebuah organisasi untuk melaksanakan seluruh kegiatan pengelolaan kepegawaian. Fungsi utama MSDM yaitu mengatur hubungan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan
organisasi
yang
selaras
dan
seimbang.
Menurut
Flippo
sebagaiamana dikutip oleh Prasetya (1997) menyebutkan terdapat 10 fungsi MSDM, yaitu; (1) planning; (2) organizing; (3) directing; (4) controlling; (5) procurement; (6) development; (7) compensation; (8) integration; (9) maintenance; dan (10) separation. Sedangkan Yoder dalam Prasetya (1997) membagi fungsi MSDM kedalam 6 fungsi, yaitu: (1) staffing, terdiri dari recruitment, selection, promotion, dan placement; (2) employee development and training; (3) labour relation; (4) wage and salary administration; (5) employee benefit service; dan (6) research. Sementara itu Mondy (1990) menyebutkan adanya 7 fungsi dalam human resource management (HRM), yaitu (1) human resource planning; (2) recruitment
and
selection;
(3)
human
resource
development;
(4)
compensation and benefits; (5) safety and health; (6) employee and labour relation; and (7) human resource research. Hal yang menarik dari pendapat Mondy adalah dimasukkannya keselamatan dan kesehatan kerja, karena
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
40
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pekerja/pegawai yang bekerja membutuhkan kondisi yang aman dan terjamin kesehatan maupun keselamatannya. Hal ini dapat berakibat pada meningkatnya produktivitas kerja yang akhirnya dapat meningkatkan keuntungan organisasi. Menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995) menyebut fungsi MSDM dengan personnel management function. Mereka membagi fungsi personnel management kedalam 9 (sembilan) fungsi, yaitu : human resource planning, recruitment, selection, performance appraisal, training, reward, industrial relation, employee communications and participation dan personnel records (1995; 5-7). Beragamnya fungsi-fungsi yang didefinisikan oleh para pakar tersebut merupakan penekanan yang diberikan sesuai kepakaran masing-masing, dan apabila dikaji dalam keragaman tersebut terdapat tujuh (7) fungsi utama yang selalu muncul dalam pembahasan MSDM, yaitu : (1) perencanaan pegawai, (2) seleksi dan orientasi pegawai, (3) pengembangan pegawai, (4) manajemen karier, (5) penilaian prestasi kerja, (6) kompensasi dan (7) pemutusan hubungan kerja. Fungsi-fungsi ini diyakini dapat mewakili semua fungsi yang diberikan oleh para pakar sebagaimana telah dijelaskan. Dari fungsi dan ruang lingkup MSDM yang beragam di atas menunjukkan bahwa masalah pengelolaan kepegawaian sangat kompleks. Untuk itu, jika ditarik kesimpulan bahwa fungsi-fungsi MSDM mencakup; (1) perencanaan pegawai; (2) seleksi dan orientasi pegawai; (3) pengembangan pegawai; (4) manajemen karir; (5) penilaian prestasi kerja; (6) kompensasi; dan (7) pemutusan kerja. Fungsi-fungsi ini diyakini dapat mewakili semua fungsi yang
dikemukakan
oleh
para
ahli
sebagai
mana
telah
dijelaskan
sebelumnya. Dalam kajian ini fungsi yang dibahas dibatasi pada fungsi perencanaan pegawai dan pengembangan pegawai dengan tidak mengurangi pentingnya fungsi yang lain. b. Perencanaan Pegawai Pegawai adalah sumber daya yang dimiliki oleh organisasi, yang digunakan untuk menggerakkan atau mengelola sumber daya lainnya sehingga harus benar-benar dapat digunakan secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan riil organisasi. Dalam hal ini perlu dilakukan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
41
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
perencanaan kebutuhan pegawai secara tepat sesuai beban kerja yang ada dengan didukung adanya proses rekruitmen yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Sebagaimana dijelaskan oleh Suharyanto dan Heruwanto (2005): Perencanaan pegawai dimaksudkan untuk menjamin bahwa kebutuhan pegawai bagi organisasi tetap terpenuhi secara konstan dan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam melakukan perencanaan pegawai harus mengacu pada isu-isu strategis sebagai hasil penelaahan lingkungan internal dan eksternal organisasi. Dari telaahan ini akan dapat diketahui kekuatan dan kelemahan SDM yang dimiliki dalam sebuah organisasi, sehingga dapat diambil langkah-langkah yang tepat dalam menghadapi berbagai
peluang
perencanaan
dan
tantangan
kepegawaian
atau
yang
ada.
analisis
Dengan
kebutuhan
dilakukannya SDM,
naka
perusahaan/organisasi dapat meningkatkan kinerjanya dan memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya dengan lebih efektif dan efisien. Prasetya (1997) menyatakan bahwa dalam melakukan perencanaan pegawai atau sumber daya manusia perlu dipahami beberapa hal, yaitu: makna dan cakupan perencanaan pegawai, metode-metode perencanaan, analisis pekerjaan/ jabatan, perhitungan beban kerja, dan perhitungan angkatan kerja (jumlah pegawai). Amstrong (2003) menyebutkan dalam merencanakan kebutuhan pegawai berkaitan dengan: mendapatkan dan mempertahan jumlah dan mutu pegawai yang diperlukan, mengidentifikasi tuntunan keterampilan dan cara memenuhinya, menghadapi kelebihan atau kekurangan pegawai, mengembangkan tatanan kerja yang fleksibel dan meningkatkan pemanfaatan pegawai. Dalam bukunya The Essence of Human Resource Management (1995; 78), Eugene F. McKenna dan Nic Beech menulis : Employee resourcing, the process of acquiring and utilizing human resources in the organization, consist of a number of specialist activities which need to act in harmony to ensure that human resources of the quantity and quality are available to meet the overall objectives of the company.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
42
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Dari
pendapat
tersebut
dapat
dipahami
bahwa
tujuan
dari
perencanaan pegawai adalah menyeimbangkan antara kebutuhan dan persediaan akan tenaga kerja agar tujuan organisasi dapat tercapai secara efektif, efisien dan maksimal. Sementara itu, definisi perencanaan pegawai yang diberikan oleh Bernardin adalah sebagaimana berikut : HR planning is the forecasting of HR needs in the context of strategic business planning. The HR planning process of the past was typically reactive in nature, with business needs defining personnel needs. However, with major changes in the business environment and increasing uncertainty, many organizations have adopted a longer-term perspective and integrating HR planning with strategic business planning centered on a concideration of core business competencies. Sementara itu, recruitment is the process of attracting applicants for the positions needed. (2003; 82). Menurut Bernardin, proses ini haruslah terintegrasi dengan proses perencanaan pegawai dan kegiatan manajemen kepegawaian lainnya, terutama
kegiatan
seleksi.
Kegiatan-kegiatan
dalam
manajemen
kepegawaian, misalnya rekrutmen, seleksi atau kegiatan lainnya adalah saling tergantung atau terkait secara erat. Misalnya rekrutmen yang sukses akan menyebabkan proses seleksi yang sukses dan demikian pula sebaliknya. Bernardin memberikan bagan yang menjelaskan proses rekrutmen dengan memperhatikan faktor internal dan eksternal sebagaimana digambarkan berikut.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
43
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambar 3.1 Faktor Internal dan Eksternal
Simplified Model of External and Internal Factors that Influence Recruitment External Factors
Internal Factors
Legal Environment
Strategic Business Planning
Labor Markets
Operational Planning
Business Environment
Human Resource Planning
Recruitment Planning
Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 82
Dari bagan tersebut nampak bahwa dalam melakukan perencanaan rekrutmen pegawai harus dikaitkan dengan faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal. Perencanaan pegawai yang efektif seharusnya mencakup 6 (enam) kegiatan, yaitu (1) environmental scanning, (2) labor demand forecast, (3) labor supply forecast, (4) gap analysis, (5) action programming, dan (6) control and evaluation. Sedangkan Syafri Mangkuprawira (2004) mengistilahkan perencanaan kepegawaian dengan istilah analisis kebutuhan SDM. Menurut Syafri, manfaat analisis kebutuhan SDM sebagai organisasi meliputi: (1) optimalisasi system manajemen informasi, utamanya tentang data karyawan; (2) memanfaatkan
SDM
secara
optimal;
(3)
mengembangkan
system
perencanaan SDM secara efisien dan efektif; (4) mengkoordinasikan fungsi-
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
44
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
fungsi manajemen SDM secara optimal; dan (5) membuat perkiraan kebutuhan SDM secara akurat dan cermat. c. Job Analysis dan Beban Kerja Pegawai Dalam setiap organisasi terdapat sejumlah jabatan yang harus diisi oleh orang yang tepat. Job analysis merupakan prosedur untuk menentukan tugas dari jabatan-jabatan tadi dan jenis orang yang mengisi tersebut. Job analysis menghasilkan job description dan job spesification. Informasi yang digunakan untuk menulis uraian tugas (job description). Job description merupakan salah satu produk dari job analysis yang merupakan daftar mengenai suatu pekerjaan. Job description adalah daftar tugas dari suatu jabatan/pekerjaan, tanggung jawab, hubungan pelapor, kondisi kerja dan tanggung jawab supervisi. Tujuan dari rekruitmen, seleksi dan penempatan adalah mencocokkan (to match) antara karaketristik individu (pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan lain-lain) dengan persyaratan jabatan yang harus dimiliki individu tersebut dalam memegang suatu jabatan. Kegagalan dalam mencocokkan kedua hal tersebut dapat menyebabkan kinerja karyawan tidak optimal dan kepuasan kerja sangat rendah, sehingga tidak jarang hal ini membuat individu dan organisasi menjadi frustasi. Dalam usaha mencari individu yang tepat dan sesuai untuk jabatan tertentu maka pihak manajemen harus melakukan pengukuran (assesment) terhadap tuntutantuntutan (demands) dan persyaratan-persyaratan (requirements) dari jabatan tersebut. Proses pengukuran kegiatan-kegiatan yang ada dalam suatu jabatan tersebut dinamakan analisis jabatan (Robbin, 1993). Analisis jabatan merupakan hal mendasar dalam proses pengembangan sumber daya manusia. Tanpa adanya data yang akurat tentang profil dari masing-masing jabatan, jenis-jenis kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan, serta pengalaman dan pendidikan yang dipersyaratkan untuk menduduki jabatan tersebut, maka proses pengembangan SDM akan menjadi sulit. Rekruitmen seleksi, dan penempatan akan ditimpang karena tidak diimbangi informasi yang memadai dan akurat, pengembangan dan pelatihan mungkin tidak dapat mencapai tujuan, begitu juga halnya dengan manajemen penilaian kinerja.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
45
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Secara umum analisis jabatan merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan menentukan secara rinci tugas-tugas (duties) dan persyaratan dari suatu jabatan tertentu. Robbin (1993) mendefinisikan analisis jabatan sebagai suatu bentuk pengembangan uraian terperinci dari tugas-tugas yang harus dilakukan dalam suatu jabatan, penentuan hubungan dari satu jabatan dengan jabatan lain yang ada, dan penentuan tentang pengetahuan,
keterampilan,
dan
kemampuan-kemapuan
lain
yang
diperlukan karyawan untuk melakukan pekerjaan secara efisien dan efektif. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis jabatan merupakan suatu proses pengumpulan dan pencatatan informasi terpercaya dan sahih dengan suatu prosedur tertentu terhadap suatu jabatan terteentu dan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh si pemegang jabatan. Termasuk disini adalah: 1. Semua tugas, kegiatan dan tanggung jawab; 2. Pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan karakter-karakter lain yang dibutuhkan oleh si pemegang jabatan agar dapat bekerja dengan efektif; 3. Alasan terhadap adanya suatu jabatan tertentu dan apa yang membuatnya berbeda dari jabatan yang lain; 4. Standar kerja atau target yang dapat dijadikan dasar untuk mengukurb kinerja. Suatu konsep yang penting dalam analisis jabatan adalah bahwa analisis dilakukan terhadap jabatan (the job), bukan terhadap orang (person). Meskipun data diperoleh dari si pemegang jabatan (incumbent) melalui pengamatan, wawancara ataupun kuesioner/angket, produk yang menjadi hasil analisis jabatan adalah berupa uraian jabatan (job description) atau spesifikasi jabatan (spesification of the job), bukan suatu uraian tentang orang (description of the person). Uraian jabatan adalah suatu pernyataan tertulis yang berisi uraian atau gambaran tentang apa saja yang harus dilakukan oleh si pemegang jabatan (job holder/incumbent), bagaiamana suatu pekerjaan dilakukan dan alasan-alasan mengapa pekerjaan tersebut dilakukan. Uraian tersebut berisi tentang hubungan antara suatu posisi tertentu dan poisisi lainnya di dalam dan di luar organisasi dan ruang lingkup pekerjaan di mana si
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
46
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pemegang pekerjaan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memberikan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan oleh divisi/unit kerja atau tujuan organisasi secara keseluruhan. Spesifikasi jabatan adalah suatu pernyataan tentang kemampuan, keterampilan, pengetahuan dan sikap-sikap yang dibutuhkan agar dapat bekerja secara efektif, lengkap dengan kualifikasi khusus, pengalaman atau hal-hal yang lain yang berhubungan dengan pekerjaan yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum menduduki jabatan tertentu. Spesifikasi jabatan sangat berguna dalam mencocokkan seseorang dengan posisi atau jabatan tertentu,
dan
mengidentifikasi
pelatihan
dan
pengembangan
yang
dibutuhkan. d. Rekruitmen dan Seleksi Pegawai Stoner, et. El (1995) mendefinisikan rekruitmen sebagai suatu proses pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai dengan rencan sumber daya manusia untuk menduduki suatu jabatan tetentu. Tujuan dari rekruitmen adalah
mendapatkan calon
karyawan
sebanyak mungkin
sehingga memungkinkan pihak manajemen untuk memilih atau menyeleksi calon sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh perusahaan. W. F Casio memberikan pengertian bahwa seleksi adalah proses untuk memperoleh pegawai/karyawan baru dengan menetapkan diterima atau ditolak untuk mengisi jabatan/pekerjaan yang kosong. Di smping itu, W. B. Wertber dan Keith Davis mendefinisikan bahwa seleksi adalah rangkaian kegiatan dan langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk menetapkan pegawai yang direkrut atau ditolak dan berhak memproleh gaji/upah. Sebelum karyawan dapat direkrut untuk mengisi jabatan tertentu, pihak yang mempekerjakan (recruiter) harus memiliki gambaran yang jelas tentang tugas-tugas dan kewajiban yang dipersyaratkan untuk mengisi jabatan yang ditawarkan. Oleh sebab itu analisis jabatan merupakan langkah pertama dalam proses rekruitmen dan seleksi. Sekali suatu jabatan telah dianalisis, maka uraian atau pernyataan tertulis tentang jabatan dan posisi jabatan tersebut dalam perusahaan/oerganisasi akan tertuang dengan jelas. Uraian atau pernyataan tertulis tersebut dinamakan uraian jabatan. Jika uraian jabatan telah tersusun dengan baik, maka spesifikasi jabatan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
47
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
atau
disebut
juga
hiring
spesification
akan
dikembangkan.
Hiring
spesification didefinisikan sebagai suatu uraian tertulis tentang pendidikan, pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat mengisi suatu jabatan tertentu sehingga dapat berfungsi dengan efektif. Job description dan hiring spesification inilah yang seharusnya dijadikan informasi dasar untuk memulai rekruitmen dan seleksi dan penempatan. Metode atau prosedur yang digunakan dalam melakukan seleksi untuk menyaring pegawai menurut Prasetya (1997; 74) meliputi beberapa tahap, yaitu : (1) penerimaan pendahuluan, (2) tes penerimaan, terdiri dari tes pengetahuan (TPA/Tes Potensi Akademik), tes psikologi, tes pelaksanaan pekerjaan, (3) wawancara seleksi, (4) pemeriksaan referensi, (5) evaluasi medis (tes kesehatan), (6) wawancara oleh calon atasan langsung (supervisor), dan (7) keputusan penerimaan. Sementara menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995; 103) ada 7 (tujuh) teknik yang dapat digunakan dalam melakukan seleksi, yaitu : (1) interviews, (2) psychological tests, (3) work-based test, (4) assessment centres, (5) biodata, (6) references dan (7) graphology. Sementara David A. DeCenso dan Stephen P. Robbins mengidentifikasi 8 (delapan) steps, yaitu : (1) initial screening interview, (2) completing the application form, (3) employment tests, (4) comprehensive interview, (5) background investigation, (6) a conditional job offer, (7) medical or psysical examinitation, dan (8) the permanent job offer. Bernardin (2003) memberikan suatu tahapan dalam melakukan prosedur seleksi sebagaimana dapat dicermati dalam bagan berikut ini :
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
48
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambar 3.2 Prosedur Seleksi
Steps in the Development and Evaluation of a Selection Procedure Job Analysis/HR Planning Identify knowledge, abilities, skills and others characteristics (KASOCs) Recruitment Strategy: Selection/Develop Selection Procedures Review options for assessing applicants on each of the KASOCs: standardized test (cognitive, personality, motivational, psychomotor), Applicants blanks, biographical data, Performance test, assessment center, interview Determine Validity for Selection Methods Criterion-related validation, Expert judgment (content validity), Validity generalization Determine Weighting System for Selection Methods and Resultant Data Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 112
Setelah pegawai berhasil diseleksi, biasanya mereka tidak langsung dipekerjakan, tetapi dilakukan orientasi terlebih dahulu dengan pembekalan berbagai pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan tugas pekerjaannya. Seperti dijelaskan oleh Prasetya (1997; 80), orientasi adalah program yang dirancang untuk menolong pegawai baru (yang baru lolos seleksi) untuk mengenal pekerjaan dan organisasi tempatnya bekerja. Orientasi ini sangat bermanfaat untuk memperkenalkan peranan dan kedudukan baru yang diperoleh pegawai baru, menambah wawasan mereka serta memperkenalkan dengan organisasi dan rekan kerja sehingga dapat cepat beradaptasi dalam dunia kerja. Orientasi dapat berjalan singkat (dalam beberapa hari) tapi bisa juga berjalan lama (beberapa minggu atau bulan), selain dapat meliputi satu unit organisasi atau beberapa unit organisasi.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
49
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
e. Jumlah/Pola Optimal Pegawai Seperti dijelaskan sebelumnya, Amstrong (2003) menyatakan bahwa perencanaan pegawai merupakan kegiatan menentukan jumlah karyawan yang diperlukan. Dalam kegiatan penentuan jumlah inilah perlu dilakukan peramalan jumlah penawaran dan permintaan jumlah pegawai. Dalam melakukan peramalan kebutuhan atau permintaan jumlah pegawai ada beberapa teknik yang bisa dipakai, yaitu: kepetusan manajerial, analisi rasio kecenderungan dan teknik studi kerja. Sementara untuk melakukan peramalan ketersediaan atau penawaran jumlah pegawai, dilakukan dengan beberapa pertanyaan berikut ini: 1. Berapa jumlah pegawai yang ada saat ini, dan apa keterampilan / kompetensi yang dimiliki? 2. Berapa perkiraan angka turn over (keluar masuk) pegawai saat ini dan di masa datang? 3. Berapa perkiraan angka ketidak-hadiran pegawai saat ini dan di masa datang? 4. Dari pegawai yang ada saat ini, berapa jumlah pegawai yang mempunyai keterampilan/kompetensi yang sesuai kebutuhan? Berapa jumlah yang mempunyai potensi untuk dikembangkan keterampilan/kompetensinya? 5. Berapa
perkiraan
jumlah
pegawai
yang
dibutuhkan
dengan
keterampilan/kompetensi yang dibutuhkan? 6. Dari mana pegawai-pegawai baru tersebut dapat direkrut? Mondy (1990) memberikan beberapa teknik yang dipergunakan untuk meramalkan atau merencanakan kebutuhan pegawai, yaitu: (1) zero-base forecasting, yang menggunakan kondisi organisasi saat ini sebagai dasar perhitungan kebutuhan pegawai di masa depan. Berapa jumlah pegawai yang dimiliki saat ini, berapa yang akan memasuki usia pensiun, berapa yang akan keluar, berapa posisi yang lowong merupakan gambaran kondisi yang harus diperhatikan dalam pendekatan zero-base forecasting; (2) bottom up approach, pendekatan ini mendasarkan pada pemikiran bahwa manajer di masing-masing unit adalah yang paling paham mengenai kebutuhan pegawainya. Manajer dari unit yang paling bawah merencanakan kebutuhan pegawainya yang selanjutnya dikumpulkan menjadi kebutuhan organisasi;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
50
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(3) use of predictor variable, dalam penetapan ini digunakan beberapa variabel untuk menentukan kebutuhan pegawai di masa depan. Salah satu contoh variabel yang kerap digunakan untuk melakukan perencanaan kebutuhan pegawai adalah jumlah penjualan atau permintaan barang. Kedua variabel ini berhubungan positif artinya setiap ada kenaikan permintaan barang maka jumlah pegawai juga naik sehingga dengan menggunakan regression analysis akan dapat diperkirakan kebutuhan pegawai di masa depan selain permintaan barang dimungkinkan juga memasukkan variabel-variabel lain menjadi dependent variable atau variabel pengaruh dari jumlah pegawai. Untuk keperluan maka yang dipergunakan sebagai alat analisis adalah multiple regression. f. Penilaian Prestasi Kerja Developing an effective performance appraisal system is most difficult (Mondy, 1990; 382). Meskipun ada kesulitan dalam melakukan penilaian atau pengukuran kinerja pegawai karena terkait dengan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan, tapi tetap dapat diukur dengan melihat pada output atau hasil produksi. Kinerja atau performance menurut Bernardin (2003; 143) adalah the record of outcomes produced on specified job functions or activities during a specified time period. Penilaian prestasi kerja menurut Prasetya (1997; 188) adalah suatu cara dalam melakukan evaluasi terhadap prestasi kerja para pegawai dengan serangkaian tolok ukur tertentu yang objektif dan berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta dilakukan secara berkala. Prestasi
kerja
pegawai
harus
selalu
dievaluasi
secara
berkesinambungan dan hasilnya dapat dipergunakan untuk berbagai, beberapa diantaranya diidentifikasi oleh Prasetya (2003; 189), yaitu : untuk peningkatan imbalan (dengan sistem merit), feed back atau umpan balik bagi pegawai yang bersangkutan, promosi, PHK atau pemberhentian sementara,
melihat
potensi
kinerja
pegawai,
rencana
suksesi,
transfer/mutasi pegawai, perencanaan pengadaan pegawai baru, pemberian bonus, perencanaan karier, evaluasi dan pengembangan diklat, komunikasi internal, kriteria untuk validasi prosedur suksesi dan kontrol pengeluaran. Dalam melakukan penilaian kinerja pegawai beberapa hal yang harus
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
51
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dipahami adalah mengenai pengertian dan tujuan penilaian kinerja pegawai, metode dan instrumen penilaian yang digunakan, serta kendalakendala yang ada dalam pelaksanaan penilaian kinerja pegawai. Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya data kinerja pegawai adalah untuk keperluan penggajian (compensation), pengembangan kinerja (performance improvement), selain itu juga dapat dipergunakan untuk keperluan pengembangan pegawai, seperti mutasi, promosi, demosi, diklat, evaluasi dan lain sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian kinerja pegawai khususnya dalam mendesain sistem penilaian kinerja adalah adanya keterlibatan berbagai pihak, yaitu pimpinan, pegawai, bagian kepegawaian, serta pelanggan internal dan eksternal. Keterlibatan ini mencakup kegiatan dalam mendesain konten/substansi pengukuran, proses pengukuran, menentukan ukuran, menentukan level, menentukan teknis administrasi dan lain sebagainya. Paling tidak ada 6 (enam) kriteria yang ditawarkan oleh Bernardin (2003; 147) yang harus diukur atau dinilai dalam kinerja, yaitu : (1) Quality, (2) Quantity, (3) Timeliness, (4) Cost-effectiness, (5) Need for supervision, dan (6) Interpersonal impact. Prasetya (1997; 193) memberikan suatu bagan yang menjelaskan sistem penilaian prestasi kerja pegawai. Dalam bagan ini terlihat adanya hubungan yang erat antara tujuan organisasi dengan tujuan pegawai serta penilaian prestasi kerja pegawai. Secara lengkap digambarkan sebagai berikut:
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
52
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambar 3.3 Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Tujuan Organisasi
Standar Kinerja
Penilaian Prestasi Kerja
dibangun dari uraian kerja & tujuan organisasi
merupakan evaluasi terhadap kemampuan & motivasi pegawai
Penggunaan : - perencanaan SDM, - kompetensi, upah, bonus, - program diklat, - motivasi
Tujuan Individu Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia, Prasetya Irawan, 1997, 193
Dalam melakukan penilaian prestasi kerja seringkali terjadi bias yang menyebabkan tidak validnya suatu hasil penilaian. Beberapa bias yang berhasil diidentifikasi oleh Mondy (1990; 406-408) adalah : halo error, leniency, strictness, central tendency, recent behavior bias, personal bias, judgmental role of the evaluator. Untuk meminimalisir bias-bias tersebut maka perlu disusun suatu instrument penilaian prestasi kerja yang baik, valid dan transparan yang dapat mengukur kinerja riil seorang pegawai selama periode tertentu. g. Kompetensi Pegawai Banyak pengertian mengenai kompetensi yang dikemukakan oleh para ahli maupun institusi. Beberapa pakar manajemen SDM berpendapat bahwa SDM yang berkualitas adalah SDM yang minimal memiliki empat karakteristik yaitu (1) memiliki kompetensi (knowledge, skill, abilities dan experience) yang memadai; (2) komitmen pada organisasi; (3) selalu bertindak cost effectiveness dalam setiap aktivitasnya, dan (4) congruence of goals yaitu
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
53
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
bertindak selaras antara tujuan pribadinya dengan tujuan organisasi (Lako dan Sumaryati, 2002 : 37). Konsep kompetensi merupakan kelanjutan dari konsep behavioral objective yang bersumber dari pemikiran para pendidik seperti Benjamin Bloom pada Tahun 1950 di Amerika (Susanto, 2002). Konsep behavioral objective ini menjelaskan bahwa spesifikasi tujuan sebagai perilaku yang dapat diobservasi secara langsung dan dapat dicatat. Pada hakikatnya konsep ini menggunakan pendekatan melakukan observasi dan menarik kesimpulan yang dapat dipercaya dengan prinsip operasional, observasi yang dapat dipercaya, dan tidak ada tenggang waktu interpretasi. Kemudian
sejak
akhir
Tahun
1960,
konsep
kompetensi
mulai
diterapkan di Amerika Serikat untuk program pendidikan guru. Pada Tahun 1970, dikembangkan untuk program pendidikan profesional lainnya, untuk program pelatihan kejuruan di Inggris dan Jerman pada Tahun 1980 serta untuk pelatihan kejuruan dan pengenalan keterampilan profesional di Australia pada Tahun 1990. Konsep kompetensi mulai menjadi trend dan banyak dibicarakan sejak Tahun 1993 dan saat ini menjadi sangat populer terutama di lingkungan perusahaan multinasional dan nasional yang modern. Definisi kompetensi dari Spencer & Spencer tersebut banyak dianut oleh para praktisi manajemen SDM. Termasuk praktisi di Indonesia, salah satunya adalah The JakartaConsulting Group (Susanto, 2002) memberikan batasan bahwa kompetensi adalah segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama agar mampu melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik atau yang membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Pendekatan ini dilihat dari sudut pandang individual (BKN, 2004) Sementara itu, dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 46A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 ditentukan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional, efektif, dan efisien.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
54
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Berdasarkan definisi kompetensi di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen
atau
karakteristik
mengenai
kompetensi
dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik meliputi unsur-unsur sebagai
berikut;
1)
pendidikan;
2)
pengetahuan;
3)
keahlian;
4)
keterampilan; dan 5) sikap profesional. g. Pengembangan Pegawai Pengembangan pegawai identik dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) atau training and development. Fungsi ini merupakan fungsi yang tidak kalah penting dengan fungsi lainnya dalam MSDM. Fungsi ini sangat penting karena pada tahap inilah pegawai ditingkatkan dan dikembangkan kemampuannya sehingga dapat memberikan kinerja yang optimal bagi organisasi. Istilah training dan development sering digunakan secara bergantian, ada yang menggunakannya secara bersama tapi ada juga yang membedakannya. Menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995; 156) ada perbedaan antara istilah training dan development. Development was seen as an activity normally associated with managers with the future firmly in mind, and training has more immediate concern and has been associated with improving the knowledge and skill of non-managerial employees in their present job. Development atau pengembangan berkaitan dengan
pengembangan
kemampuan
manajerial
pimpinan
organisasi,
sementara training atau pelatihan berkaitan dengan upaya pengembangan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam pekerjaannya. Mondy (1990; 270) mendefinisikan human resource development (HRD) is planned, continous effort by management to improve employee competency levels and organizational performance through training, education and development program. Ada tiga aspek penting dalam definisi HRD menurut Mondy, yaitu (1) training yang meliputi kegiatan-kegiatan untuk
mengembangkan
kinerja
pegawai
dalam
melaksanakan
suatu
pekerjaan, misalnya kurus atau lainnya, (2) education meliputi kegiatankegiatan untuk meningkatkan pemahaman pegawai dalam melaksanakan suatu pekerjaan, misalnya melalui seminar atau lainnya, dan
(3)
development meliputi kegiatan-kegiatan pengembangan yang bersifat lebih
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
55
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
umum yaitu untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi sekarang atau di masa depan. Sementara
itu,
Prasetya
(1997;
91)
menyebutkan
bahwa
pengembangan pegawai merupakan suatu proses merekayasa perilaku kerja pegawai sedemikian rupa sehingga pegawai dapat menunjukkan kinerja yang optimal dalam pekerjaannya. Kata kunci dalam pengembangan pegawai ini adalah rekayasa perilaku (behaviour engineering) dari pegawai, artinya perilaku kerja tersebut diubah dari yang buruk menjadi baik, dan dari baik menjadi lebih baik. Kegiatan merubah perilaku ini dilakukan secara sadar dan tanpa tekanan artinya pegawai secara sukarela mau untuk diubah atau dikembangkan perilaku kerjanya. Ada beberapa tujuan dari pengembangan pegawai yang diberikan oleh Prasetya, yaitu : (1) Memberi orientasi pekerjaan kepada pegawai baru; (2) Mempersiapkan pegawai untuk menggunakan peralatan baru; (3) Mempersiapkan pegawai bekerja di sistem baru; (4) Mempersiapkan pegawai agar mampu mencapai standar kualitas kerja baru; (5) Menyegarkan (refreshing) ilmu dan keterampilan yang dimiliki pegawai; (6) Meningkatkan kualitas kinerja pegawai; dan (7) Menyiapkan pegawai menghadapi pekerjaan baru. Untuk meningkatkan efektivitas dari pengembangan pegawai, Prasetya (1997; 93) menyatakan perlunya dilakukan analisis kinerja. Analisis kinerja ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gap kemampuan pegawai, yaitu antara standar kinerja dengan kompetensi riil yang dimiliki pegawai. Proses analisis kinerja dapat dicermati dalam bagan berikut :
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
56
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambar 3.4 Analisis Kerja
Analisis Kinerja
Standar Kinerja
Kinerja
GAP Masalah
Bukti Masalah
Penyebab Masalah
Non Diklat
Diklat
Solusi
Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia, Prasetya Irawan, 1997, 93
Sejalan dengan pemikiran Mondy dan Prasetya tersebut, Amstrong mencatat ada 4 (empat) aspek yang dapat diubah dalam rangka mengembangkan pegawai, yaitu (1) pengetahuan, (2) keterampilan, (3) kemampuan dan (4) sikap (Amstrong, 2003; 274). Pengetahuan berkaitan dengan ha-hal yang harus diketahui oleh pegawai agar dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Keterampilan berkaitan dengan apa yang harus bisa dilakukan
pegawai
agar
tujuan
yang
ditetapkan
bisa
dicapai
dan
pengetahuan yang dimiliki bisa digunakan secara efektif. Sementara kemampuan adalah kompetensi berbasis kerja atau kompetensi perilaku yang diperlukan untuk mencapai tingkatan kinerja yang ditetapkan dan sikap adalah disposisi untuk berperilaku atau untuk bekerja sesuai dengan persyaratan kerja. Dalam melakukan kegiatan pengembangan pegawai ada 3 (tiga) kegiatan utama yang harus dilakukan secara baik, yaitu perencanaan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
57
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pengembangan pegawai, implementasi dan evaluasi. Bernardin menawarkan suatu sistem model training yang efektif sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut :
Gambar 3.5 Sistem Model Pelatihan
A System Model of Training Needs Assessment
Development
Evaluation
Identify needs for training by conducting needs analysis: - Organization, - Task or job, - Person
Identity or develop criteria to evaluate training outcomes: - Reactions, - Learning, - Behavior change, - Organization result
Derive instructional objectives
Choose evaluation design
Design a learning environment by examining: - Characteristics of adult learners - Learning Principles Identify or develop training materials and methods Conduct training
Conduct evaluation and cost-effectiveness of training program
Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 166
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
58
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
h. Kompensasi Hal yang penting bagi pegawai dalam bekerja adalah adanya kompensasi (imbalan) yang mereka terima atas apa yang telah mereka lakukan untuk organisasi. Pegawai telah mencurahkan tenaga, pikiran dan keterampilan yang mereka miliki untuk kemajuan dan upaya pencapaian tujuan-tujuan organisasi, sehingga wajar apabila mereka memperoleh kompensasi atas usaha mereka tersebut. Besar kecilnya kompensasi yang diberikan oleh organisasi sangat mempengaruhi kinerja dan kepuasan pegawai sehingga organisasi harus membuat suatu pola perencanaan pemberian kompensasi yang adil, transparan sesuai kinerja pegawai. Seringkali masalah kompensasi ini menimbulkan berbagai masalah, misalnya pegawai yang melakukan pemogokan karena merasa tidak mendapat kompensasi yang sebanding dengan usaha dan kerja keras mereka. Untuk menghindari berbagai persoalan tersebut, maka perlu adanya suatu sistem dalam pemberian kompensasi yang disebut dengan sistem penggajian. Menurut Amstrong, sistem penggajian adalah : Pengaturan dalam organisasi mengenai apa dan bagaimana karyawan harus dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan. Sistem penggajian mengatur imbalan berdasarkan seberapa baik karyawan sebagai individu, tim atau organisasi bekerja, dan juga mengatur imbalan berdasarkan kontribusi, tingkat kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang telah mereka capai. (2003; 303). Ketidakpuasan atas kompensasi yang diterima pegawai disebabkan karena adanya perbedaan antara yang diterima oleh pegawai dengan yang diterima oleh pegawai lainnya. Menurut riset yang dicatat Bernardin (2003; 216), kepuasan atas kompensasi merupakan fungsi perbandingan atau rasio input-outcome seseorang dengan persepsinya terhadap input-outcome orang lain. Artinya mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain dalam dua hal, yaitu input dan outcome. Input meliputi karakteristik pribadi (pendidikan, pengalaman kerja dan lain sebagainya), usaha (bagaimana usaha mereka dalam memecahkan suatu masalah dan lain sebagainya) dan kinerja. Sementara outcome adalah apa yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka (pembayaran, promosi, tunjangan dan lain sebagainya).
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
59
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kompensasi yang dicatat oleh Amstrong (2003; 303-304), yaitu : a. Kesamaan pencapaian hasil – besarnya gaji/kompensasi yang diberikan kepada pegawai sesuai dengan besarnya kontribusi relatif mereka kepada organisasi; b. Konsistensi – menggaji/memberikan kompensasi kepada pegawai secara konsisten sesuai level jabatan dan tingkat kinerjanya; c. Keadilan
-
memastikan
bahwa
keputusan
penggajian/pemberian
kompensasi bersifat adil dalam arti tidak mendiskriminasi pegawai. Penggajian dibuat berdasarkan keputusan yang objektif dan tidak bias serta mencerminkan tingkat kontribusi pegawai; d. Transparansi - sistem penggajian/pemberian kompensasi terbuka bagi pegawai sehingga mereka mengetahui dasar pemberian imbalan kepada mereka; dan e. Tingkat gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja - apakah gaji/kompensasi yang diberikan dibawah/sama/diatas rata-rata tingkat gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja. Kompensasi menurut Bernardin dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : a. Direct compensation, is used to describe the cash received in the form of base salary, overtime pay, shift differentials, bonuses, sales commissions
and
so
on.
Direct
compensation
divided
in
two
components: (1) the wage and salary program (base salary, overtime pay, shift differentials, etc); (2) pay that is contingent on performance (merit increases, bonuses, gainsharing pay, commissions, etc); b. Indirect compensation refers to the general category of employee benefit programs. Indirect compensation divided in two types: (1) legally required program (social security, workers compensation); (2) discretionary program (medical coverage, paid time off). (2003; 216).
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
60
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
3.2
Gambaran Umum Daerah Studi Pada bagian ini akan diuraikan uraian singkat atau gambaran umum lokasi studi yang ditinjau dari aspek letak geografis, struktur ekonomi, dan kepegawaian. Gambaran umum diuraikan dengan harapan dapat mengetahui karakteristik dari masing-masing lokasi studi.
3.2.1 Provinsi DI Yogjakarta a. Letak Geografis Daerah (atau
Istimewa
Yogyakarta)
dan
Yogyakarta seringkali
disingkat DIY adalah sebuah provinsi di Indonesia
yang
terletak
di
bagian
selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara. Secara
geografis
Yogjakarta
terletak di pulau Jawa bagian Tengah. Dengan luas wilayah 3.185,80 km2, provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta mempunyai 4 kebupaten dan 1 kota dengan tingkat kepadatan penduduk 13.687/km2. Letak Astronomi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 7o15- 8o15 Lintang Selatan dan garis 110o5- 110o4 Bujur Timur, dengan batas wilayah: •
Sebelah Barat Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah
•
Sebelah Barat Laut Kabupaten Magelang, Jawa Tengah
•
Sebelah Timur Laut Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
•
Sebelah Timur Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah
•
Sebelah Selatan Samudera Indonesia.
•
Sebelah Utara G. Merapi. Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta dipimpin oleh seorang
gubernur yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan ibukota provinsi di Yogjakarta. Sebagai daerah yang berada di tengah-tengah pulau Jawa ternyata di provinsi ini dihuni oleh berbagai suku dan agama, yaitu Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Melayu, Tionghoa, Suku Batak, Suku Minang, Suku Bali, Suku Madura. Sedangkan agama yang ada di provinsi ini adalah Islam (92.1%), Katolik (4.9%), Protestan (2.7%), Lain-lain (0.2%).
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
61
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Penduduk sebagai sumberdaya pembangunan, merupakan modal dasar pembangunan, juga merupakan pelaku dan menjadi subyek sekaligus obyek bagi pembangunan. Menurut sensus yang dilakukan oleh Pemerintah, jumlah penduduk di wilayah Propinsi DIY pada tahun 1990 berjumlah 2.913.054 orang dan pada tahun 2000 berjumlah 3.121.701 orang. Ini berarti laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0,72 % per tahun. Sedangkan pada tahun 2002 sebanyak 3.166.229 jiwa dan meningkat lagi pada tahun 2003 menjadi 3.207.385 jiwa atau bertumbuh sebasar 1,30%. Pada tahun 2004, pertumbuhan penduduk provinsi Yogjakarta tumbuh sebesar 0,40%. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya pertumbuhan ini mengalami penurunan sebesar 0,90. Selanjutnya tahun 2005, pertumbuhan penduduk meningkat lagi menjadi 3,83%
atau
menjadi
3.343.651
jiwa,
hal
ini
diakibatkan
oleh
pertambahan penduduk alamiah dan migrasi penduduk dari daerah lain. b. Perekonomian Daerah Kemampuan ekonomi suatu wilayah dapat dilihat laju pertumbuhan ekonominya.
DIY
Yogyakarta
dalam
kurun
waktu
1998-2002
pertumbuhan ekononominya cenderung fluktuatif, terjadi kontraksi sangat tajam pada tahun 1998 yaitu sebesar 11,18% namun pada tahun 1999 mulai membaik menjadi 0,99% kemudian pada tahun 2000 meningkat menjadi 4,01%, akan tetapi pada tahun 2001 terjadi perlambatan sehingga pertumbuhannya sebesar 3,29%. Upaya-upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan pemerintah sudah nampak pada tahun 2002 yaitu dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi menjadi sebesar 3,38%. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: pengeluaran pemerintah, investasi, dan konsumsi masyarakat. Dengan asumsi bahwa kondisi sosial, ekonomi, politik, dan keamanan berlangsung secara normal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, maka proyeksi pertumbuhan ekonomi Propinsi DIY diprakirakan rata-rata sebesar 4,00% per tahun selama kurun waktu 5 tahun mendatang atau akhir tahun 2007.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
62
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
c. Kepegawaian Jumlah jabatan struktural sebelum penataan organisasi 1.345 jabatan, setelah penataan organisasi 779 jabatan. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Propinsi DIY sampai bulan April 2003 sejumlah 13.007 orang, yang terdiri dari pejabat struktural 693 orang, pejabat fungsional 1.101 orang dan staf sebanyak 11.213 orang. Penataan staf non struktural didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Nomor 117 Tahun 2001 tentang Kualifikasi Jabatan Non Struktural. Formasi pegawai yang tersedia berdasarkan SK Gubernur tersebut di atas adalah sejumlah 6.214 orang PNS. Jumlah staf non struktural secara keseluruhan baik yang berada di instansi induk, di UPTD maupun yang bekerja di Pemda Kabupaten/Kota berjumlah 11.210 orang PNS. PNS yang sudah ditata di instansi induk (Dinas, Lembaga Teknis, Setda dan Setwan) sebanyak 5.193 orang PNS, ditata di UPTD sebanyak 1.684 orang PNS dan yang bekerja di Pemda Kabupaten/Kota sebanyak 4.332 orang PNS. PNS Propinsi yang bekerja di Pemda Kabupaten/Kota yang sudah diserahkan ke Pemda Kabupaten/Kota sebanyak 1.820 orang PNS. Sisanya sebanyak 2.512 orang PNS setelah ada kesepakatan dengan Pemda Kabupaten/Kota juga akan diserahkan ke Pemda Kabupaten/Kota. Tabel 3.1 Jumlah Aparatur Provinsi DIY 2003 - 2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007)*
Jumlah 8600 8501 8657 8178 8059
Perubahan (%) -1.15 1.84 -5.53 -1.46
Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Yogja (2006) )* Hingga Juni 2007
Hingga tahun 2006 jumlah aparatur pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta mencapai 8.178 orang. Jumlah ini lebih rendah 5,53% dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai 8.657 orang. Sementara jumlah aparatur provinsi hingga akhir tahun Juni 2007 juga mengalami penurunan 1,46%. Penurunan jumlah aparatur tersebut
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
63
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
diakibatkan
oleh
adanya
aparatur
yang
pensiun,
sementara
penambahannya tidak sebanding dengan penurunannya. 3.2.2 Provinsi Sumatera Utara a. Letak Geografis Propinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, yang pada tahun 2004 memiliki 18 Kabupaten dan 7 kota, dan terdiri
dari 328
keseluruhan
kecamatan,
Provinsi
Sumatera
mempunyai 5.086
desa
kelurahan.
daratan
Luas
secara
dan
Utara 382
Propinsi
2
Sumatera Utara 71.680 km . Sumatra Utara pada dasarnya dapat dibagi atas: •
Pesisir timur
•
Pegunungan Bukit Barisan
•
Pesisir barat
•
Kepulauan Nias.
•
Kepulauan Batu.
•
Pulau Samosir di danau Toba. Pesisir timur merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat
perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Di daerah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini ada beberapa dataran tinggi yang merupakan kantongkantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir juga menjadi tempat tinggal penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini. Di pesisir barat relatif tertinggal dan merupakan titik berat pembangunan sejak pemerintahan Gubernur Raja Inal Siregar dengan program pembangunannya yang terkenal, Marsipature Hutana Be disingkat Martabe atau MHB. Pesisir barat biasa dikenal sebagai daerah Tapanuli.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
64
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di selat Malaka. Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di Gunung Sitoli. Kepulauan Batu terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala, Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan Batu terletak di tenggara kepulauan Nias. Pulau-pulau lain di Sumatera Utara: Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia, Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga. Provinsi ini merupakan kampung halaman suku bangsa Batak, yang hidup di pegunungan dan suku bangsa Melayu yang hidup di daerah pesisir timur. Selain itu juga ada suku bangsa Nias di pesisir Barat Sumatera, Mandailing, Jawa dan Tionghoa. Provinsi ini tersohor karena luas perkebunannya,
hingga
kini,
perkebunan
tetap
menjadi
primadona
perekonomian provinsi. Perkebunan tersebut dikelola oleh perusahaan swasta maupun negara. Sumatera Utara menghasilkan karet, coklat, teh, kelapa sawit, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau. Perkebunan tersebut tersebar di Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Asahan, Labuhan Batu, dan Tapanuli Selatan. Komoditas memberikan
tersebut
sumbangan
telah devisa
diekspor yang
ke
sangat
berbagai besar
negara
bagi
dan
Indonesia.
Selain komoditas perkebunan, Sumatera Utara juga dikenal sebagai penghasil komoditas holtikultura (sayur-mayur dan buah-buahan); misalnya Jeruk Medan, Jambu Deli, Sayur Kol, Tomat, Kentang, dan Wortel yang dihasilkan oleh Kabupaten Karo, Simalungun dan Tapanuli Utara. Produk holtikultura tersebut telah diekspor ke Malaysia dan Singapura. Pemerintah
Propinsi (Pemprop) Sumatera
Utara
juga
sudah
membangun berbagai prasarana dan infrastruktur untuk memperlancar perdagangan baik antar kabupaten di Sumatera Utara maupun antara Sumatera Utara dengan provinsi lainnya. Sektor swasta juga terlibat dengan mendirikan berbagai properti untuk perdagangan, perkantoran, hotel dan lain-lain. Tentu saja sektor lain, seperti koperasi, pertambangan dan energi,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
65
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
industri, pariwisata, pos dan telekomunikasi, transmigrasi, dan sektor sosial kemasyarakatan juga ikut dikembangkan. Untuk memudahkan koordinasi pembangunan, maka Sumatera Utara dibagi kedalam empat wilayah Pembangunan. Sumatera Utara merupakan propinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2002, jumlah penduduk Sumatera Utara diperkirakan sebesar 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km 2 dan tahun 2002 meningkat menjadi 165 jiwa per km 2 , sedangkan laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun. b. Perekonomian Daerah Pencapaian pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2005 lebih rendah dibandingkan keadaan tahun 2004. Dari hasil perhitungan sangat sementara, pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2005 mencapai 5,48 %. Pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah dibandingkan tahun 2004 yang mencapai 5,74%. Angka ini bahkan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,60%. Hasil sementara perhitungan PDRB menunjukkan sebagian besar nilai PDRB Sumatera Utara pada tahun 2005 merupakan sumbangan dari sektor industri pengolahan yaitu sebesar 24,72%, diikuti sektor pertanian 24,69% dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 18,38%. Selanjutnya sektor yang memberikan konstribusi terkecil diberikan oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 0,88%. Akan tetapi lebih separuh (50,76%) PDRB Provinsi Sumatera Utara digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yaitu makanan (30,63%) dan non makanan 21,09%. Sedangkan penggunaan PDRB untuk pembentukan modal tetap bruto (PMBT) sebesar 18,56%. Walaupun pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara di tahun 2005 lebih rendah dari tahun 2004, PDRB Perkapita ADHB Sumatera Utara tahun 2005
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
66
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
berhasil mencapai 11,106 juta rupiah, lebih tinggi dari tahun 2004 sebesar 9,74 juta rupiah. Untuk
dipahami
bersama,
pada
tahun
2005,
telah
dilakukan
pergeseran tahun dasar perhitungan PDRB dengan mengganti tahun 1993 menjadi tahun 2000. Hal iuni dilakukan didasarkan atas pertimbangan perkembangan ekonomi dunia dalam kurun waktu 1993-2000 yang diwarnai oleh globalisasi yang berpengaruh kepada perekonomian domestik. Dalam priode yang sama, juga telah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, yang berdampak pada perubahan struktur ekonomi Indonesia. Disamping itu ketersediaan data (raw data) baik harga maupun volume (quantum) tahun 2000 secara rinci pada masing-masing sektor ekonomi relatif lebih lengkap dan berkelanjutan dibandingkan kondisi pada tahun 1993. Pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 5,48 persen dan perkiraan pada tahun 2006 mencapai 6,49 persen dan pada tahun 2007 diharapkan mencapai 7,02 persen, PDRB berdasarkan harga berlaku pada tahun 2005 diperkirakan sebesar Rp. 136,90 trilyun, dan angka ini diperkirakan semakin meningkat pada tahun 2006 mencapai Rp. 152,70 trilyun sedangkan tahun 2007 mencapai Rp. 175,26 trilyun, demikian halnya PDRB per kapita berdasarkan harga berlaku untuk tahun yang sama berturut sebesar Rp. 11,11 juta tahun 2005 dan 2006 Rp. 12,11 juta serta tahun 2007 mencapai Rp. 13,73 juta. Tabel 3.2 Target dan Realisasi Beberapa PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 No.
Indikator
1. 2. 3.
Pertumbuhan Ekonomi 1) PDRB – Berlaku PDRB - Konstan 2) PDRB Perkapita Harga 4. Berlaku Sumber: www.sumutprop.go.id
Satuan
Target 2005
Realisasi 2005
Selisih (5)-(4)
Persen Triliun Rp. Triliun Rp.
5.95 121,88 30,39
5.48 136,903 87,895
-0.47 15,023 57,505
Juta Rp.
9,98
11,11
1,13
Kalau dilihat berdasarkan sektor usaha dalam struktur ekonomi masih tetap didominasi oleh 3 sektor yakni industri pengolahan, diikuti sektor pertanian dan Perdagangan Hotel serta Restauran kemudian baru diikuti oleh sektor lainnya. Pada tahun 2005 masing-masing mencapai 25,97
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
67
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
persen, 23,44 persen, dan 18,09 persen berturut-turut, dan angka ini akan mengalami perubahan sejalan dengan semakin membaiknya sektor riil, kondisi tersebut mendorong perbaikan pada sektor Perdagangan, Hotel serta Restauran dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga untuk tahun 2006 diperkirakan industri pengolahan mencapai 25,03 persen, Pertanian 23,42 persen dan Perdagangan hotel dan restauran mencapai 18,84 persen. Sedangkan tahun 2007 diharapkan mencapai masing-masing 25,14 persen, 23,14 persen, dan 18,90 persen. Sementara itu, volume dan nilai ekspor akan terus dipacu dan diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sekalipun terjadi peningkatan namun diperkirakan kenaikan volume dan nilai ekspor akan terjadi namun dalam nilai yang tidak begitu signifikan. Perkiraan volume ekspor tahun 2005 dan 2006 sebesar 8,17 dan 8,00 juta ton, dengan nilai ekspor sebesar 4,56 dan 4,37 Milyar US$, demikian halnya pada tahun 2007 diperkirakan volume ekspor tahun sebesar 8,39 juta ton, dengan nilai ekspor sebesar 4,45 Milyar US$. Sedangkan laju inflasi pada tahun 2005 mencapai angka yang sangat tinggi 22,41 persen dan 2006 diperkirakan sebesar 7,00 persen, pada tahun 2007 diperkirakan sebesar 6,50 persen. c. Kepegawaian Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk sebanyak 12.450.911 jiwa pada tahun 2005. Sementara jumlah aparatur yang harus memberikan palayanan kaopada penduduk provinsi ini tahun 2005 mencapai 12.013 orang. Jumlah aparatur ini lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah aparatur provinsi Sumatera Utara pada tahun 2006 yang hanya mencapai 11.124 atau turun sebanyak 7,40%. Tabel 3.3 Jumlah Aparatur Provinsi Sumatera Utara 2003 - 2007 Tahun
Jumlah
Perubahan (%)
2003 12124 2004 11961 -1.34 2005 12013 0.43 2006 11124 -7.40 2007)* 11276 1.37 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Sumatera Utara (2006) )* Hingga Juni 2007
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
68
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Menurunnya jumlah aparatur ini diakibatkan oleh makin meningkatnya jumlah
aparatur
diberhentikan
pemeritah
dengan
tidak
yang
sudah
hormat,
mencapai
atau
dengan
usia
pensiun,
secara
sukarela
mengundurkan diri dengan hormat, serta meninggal dunia. Sementara penambahan jumlah aparatur tidak sebanding dengan penurunnnya. Hingga Juni 2007, jumlah pegawai di provinsi Sumatera Utara mengalami kenaikan sebanyak 1,37% dari tahun 2006, yakni menjadi 11.276 orang. Kenaikan jumlah pegawai disebabkan oleh penambahan jumlah CPNS tahun 2006 yang berasal dari tenaga kontrak. Dengan penambahan ini, diharapkan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah provinsi kepada masyarakat semakin baik dan optimal karena penambahan ini diiringi dengan peningikatan kapasitas pegawai. 3.2.3 Provinsi Banten a. Letak Geografis Wilayah Banten berada pada batas astronomi 5º 7’ 50” - 7º 1’ 11” Lintang Selatan dan 105º 1’ 11” - 106º 7’ 12” Bujur Timur, dengan luas wilayah daratan 8.800,83 km² dan lautan (12 mil) seluas 11.487,12 km² . Secara wilayah
pemerintahan
Provinsi
Banten terdiri dari 2 Kota, 4 Kabupaten, 140 Kecamatan, 262 Kelurahan, dan 1.242 Desa. Provinsi Banten mempunyai batas wilayah: Sebelah Utara
: Laut Jawa
Sebelah Timur
: Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat
Sebelah Selatan
: Samudera Hindia
Sebelah Barat
: Selat Sunda
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur yang dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia, Selandia Baru, dengan kawasan Asia Tenggara misalnya
Thailand,
Malaysia
dan
Singapura.
Disamping
itu
Banten
merupakan jalur perlintasan/penghubung dua pulau besar di Indonesia,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
69
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
yaitu Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang merupakan wilayah penyangga bagi Ibukota Negara. Secara ekonomi wilayah Banten mempunyai banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan sangat mungkin menjadi pelabuhan alternatif dari Singapura. Kondisi topografi Banten adalah sebagai berikut : 1. Wilayah datar (kemiringan 0 - 2 %) seluas 574.090 Ha 2. Wilayah bergelombang (kemiringan 2 - 15%) seluas 186.320 Ha 3. Wilayah curam (kemiringan 15 - 40%) seluas 118.470,50 Ha Kondisi penggunaan lahan yang perlu dicermati adalah menurunnya wilayah hutan dari 233.629,77 Ha pada tahun 2004 menjadi 213.629,77 Ha. b. Perekonomian Daerah Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam tahun 2005 kontribusi yang paling besar adalah sektor industri pengolahan sebesar 49,75%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17,13%, pengangkutan dan komunikasi 8,58% dan pertanian 8,53%. Tabel 3.4 PDRB Banten Lapangan Usaha Utama Tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik dan Air Minum Konstruksi / Bangunan Perdagangan Transportasi dan Komunikasi Keuangan Jasa-jasa JUMLAH Sumber: BPS, Banten Dalam Angka 2005
Jumlah 731.827 41.346 799.962 13.553 137.519 721.494 328.990 125.577 58.261 3.461.508
% 21,14 1,19 23,11 0,39 3,97 20,84 9,50 3,63 1,68 100
Apabila dikaitkan penduduk yang bekerja berdasarkan klasifikasi sektor pada PDRB, maka terlihat mata pencaharian pada sektor industri 23,11%, pertanian 21,14%, perdagangan 20,84% dan transportasi serta komunikasi 9,50%. Untuk sektor pertanian dengan penyerapan tenaga kerja
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
70
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
yang banyak (21,14%) ternyata memberikan kontribusi PDRB sebesar 8,58%, sedangkan sektor industri dengan penyerapan 23,11% tenaga kerja mampu memberikan kontribusi sebesar 49,75%. Perekonomian wilayah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2001-2005 bergerak dengan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) rata-rata 4,93% per tahun (3,95% pada tahun 2001 dan 5,88% pada tahun 2005) Sejalan dengan peningkatan LPE tersebut PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2005 telah mencapai Rp. 84,62 Trilyun dan PDRB atas dasar harga konstan (2000) sebesar Rp. 58,11 Trilyun. Sedangkan PDRB per kapita Banten meningkat dari Rp. 8,07 Juta pada tahun 2004 menjadi Rp. 9,09 Juta pada tahun 2005. Gambar 3.6 Grafik Konstribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Banten Tahun 2005 (%)
Sumber: BPS, Banten Dalam Angka 2005 Pola perkembangan perekonomian wilayah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2001-2005 dicirikan dengan pergeseran peranan sektoral, dimana
penguatan
peran
sektor
tersier
(service)
ditunjukkan
oleh
peningkatan yang pada tahun 2001 baru mencapai 30,98% meningkat menjadi 34,02% pada tahun 2005. Sektor sekunder yang memuat sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih memberikan konstribusi terhadap PDRB mengalami penurunan dari 59,27% (2001) menjadi 57,34% (2005). Penurunan ini disebabkan oleh semakin turunnya peranan sektor industri dalam perekonomian Banten. Sama halnya dengan kelompok sektor sekunder, sektor primer juga mengalami penurunan dari 9,74% pada tahun 2001 menjadi 8,64% pada tahun 2005.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
71
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
c. Kepegawaian Pemerintahan Provinsi Banten selama tahun 2005 didukung oleh 2.768 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana 1997 orang laki-laki dan 771 orang perempuan. Apabila dilihat dari pendidikan, maka 1.461orang atau 52,78 persen PNS berpendidikan sarjana (Strata I/II/III), sedangkan sisanya 47,22 persen hanya berpendidikan non gelar (Sarjana Muda/D3 atau yang lebih rendah). Dari 26 instansi pemerintah yang ada di lingkungan Provinsi Banten, hanya Sekretariat Daerah yang mempunyai jumlah PNS yang cukup besar, yaitu 622 orang atau 22,47 persen dari seluruh PNS yang ada. Tabel 3.5 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2002-2005 Tahun
Jumlah CPNS/PNS
Perubahan (%)
2002 2762 2003 2664 2004 2768 2005 2768 Sumber: Banten Dalam Angka (2005)
-3,55 3,90 0%
Berdasarkan data yang tercatat dalam data base Biro Kepegawaian (2005) menunjukkan bahwa jumlah CPNS/PNS di provinsi Banten didominasi oleh lulusan S1 dan SMA dan sederajat yaitu sebesar 69% dari total pegawai (CPNS/PNS) atau sebesar 1910 orang. Dari 69% tersebut yang tamatan SMA dan sederajat mencapai 29,01% atau 803 orang. Tabel 3.6 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2005 Jenis Pendidikan SD SMP dan sederajat SMA dan Sederajat Diploma I Diploma II Diploma III/Sarjana Muda Diploma IV S1 S2 S3
Jumlah
PNS 26 9 801 53 27 350 39 1106 348 6
2765
CPNS
2
1
3
Jumlah
Share (%)
26 9 803 53 27 350 39 1107 348 6
0.94 0.33 29.01 1.91 0.98 12.64 1.41 39.99 12.57 0.22
2768
100.00
Sumber: Banten Dalam Angka (2005)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
72
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Secara umum dari tabel di atas, menunjukkan bhawa jumlah aparatur pemerintah provinsi Banten sekitar 30% adalah tamatan SMA/sederajat ke bawah. Sedangkan yang telah menamatkan S2 mencapai 12,57% atau 348 orang dan tamatan S3 sebanyak 0,22% atau hanya 6 orang. Jadi masih banyak aparatur pemerintah daerah provinsi Banten yang masih perlu diingkatkan kualifikasi akademiknya atau kompetensi akademik agar tugas-tugas layanan yang diberikan oleh aparatur lebih baik lagi. 3.2.4 Provinsi Bangka Belitung a. Letak Geografis Kepulauan
Bangka
Belitung
adalah
sebuah provinsi Indonesia yang terdiri dari Pulau Bangka dan Belitung serta beberapa pulau kecil yang terletak di bagian timur Sumatra, dekat dengan Provinsi Sumatra Selatan. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkal Pinang. Provinsi ini disahkan pada tanggal 9 Februari 2002. Selat Bangka memisahkan Sumatra dan Bangka, sedangkan Selat Gampar memisahkan Bangka dan Belitung. Di bagian utara provinsi ini terdapat Laut Tiongkok Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Belitung oleh Selat Karimata. Kepulauan Bangka Belitung merupakan bekas Provinsi Sumatra Selatan, namun menjadi provinsi sendiri bersama Banten dan Gorontalo pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Propinsi Kepulauan Bangka Belitung berasal dari sebagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Luas wilayah 81.725,14 Km2 dengan luas daratan sebesar 16.424,14 Km2 atau 20,10%. Sedangkan luas perairan adalah mencapai 65.301 Km2 atau 79,90%. Artinya daerah ini lebih banyak daerah perairan disbanding dengan daratan. Hal ini menujukkan bahwa kehidupan masyarakat Bangka Belitung banyak tergantung pada potensi dan kekayaan laut. Kondisi wilayah
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
73
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
administratif meliputi dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung dengan panjang pantai 1200 Km dengan jumlah kabupaten sebanyak 6 dan 1
Kota, sedangkan jumlah kecamatan meliputi 36
kecamatan dengan 54 kelurahan, dan 267 desa. b. Perekonomian Daerah Struktur ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 meliputi pertanian komoditas utama seperti produksi panen padi sawah 9.772 ton dari luas panen 2.743 ha, padi ladang 8.955 ton dari luas panen 3.844 ha, jagung 2.715 ton dari luas panen jagung 935 ha, ubi jalar 4.080 ton dengan luas panen 528 ha, ketela pohon 19.000 ton dari luas panen 1.419 ha, kacang tanah 389 ton dari luas panen 422 ha. Hasil produksi buah-buahan di Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 adalah; alpukat 354,30 ton, mangga 1.982,8 ton, rambutan 1.798,10 ton, duku 1.525,10 ton, durian 2.804,9 ton, jeruk siam 39.482 ton, nenas 1.615,5 ton, nangka 4.289,7 ton, salak 1.083,5 ton, pisang 15.329,3 ton dan manggis 640,70 ton. Hasil sayur-sayuran yang menonjol adalah ketimun 3.644,80 ton, terong 2.795 ton, kacang panjang 1.914,30 ton bayam 1.005,80 ton dan kangkung 2.338 ton. Di luar komoditas itu, Kepulauan Bangka Belitung menghasilkan bawang merah, lombok, kubis, petai, buncis, labu siam. Disamping itu, terdapat Kepulauan ini terkenal dengan lada putihnya. Hampir setengah penduduknya mencari nafkah dengan berkebun lada. Dengan hamparan perkebunan lada yang luas para pengunjung dapat melihat langsung bagaimana lada putih ini diproses pemetikan, pengolahan dan pemasaran. Kebun nanas Toboali yang terkenal dengan buahnya yang besar dan manis. Para pengunjung dapat membeli dengan dengan memetik langsung dikebun. Lokasinya berdekatan dengan ibukota kecamatan Toboali sebelah selatan Pulau Bangka. Terdapat juga perkebunan jeruk yang indah ini di Desa Rias, Toboali. Pengunjung juga dapat menikmati buahnya saat menikmati keasrian alam sekitar. Sementara itu, hasil laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat dilihat pada tabel berikut:
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
74
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Tabel 3.7 Hasil Kelautan dan Perikanan 2005 - 2006 No.
Uraian
Tahun 2005 (Ton)
2006 (Ton)
1. Budidaya Laut
23,51
27,68
2. Budidaya Tambak
152,22
122,99
3. Budidaya Kolam
535,97
751,24
4. Budidaya Keramba
5,96
2,87
5. Budidaya Jaring Apung
6,66
27,69
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Sedangakan untuk potensi laut yang dapat dikembangkan di provinsi Kepulauan Bangka Belitung guna mendorong peningkatan kesejahetaraan masyarakat dapat dlihat tabel berikut: Tabel 3.8 Potensi Perikanan 2006 P o Potensi tNo. Uraian Luas Areal Produksi e (Ton) n 1. Perikanan Tangkap 499.500 s a. Perairan Teritorial 65.301 Km² 282.100 i b. Perairan ZEE
K e 2. Perikanan Budidaya l a. Budidaya Air Laut a b. Budidaya Air u Payau t c. Budidaya Air
Nilai Ekonomi (Rp.1000) 2.497.500.000 1.410.500.000
217.400
1.087.000.000
1.316.000/th
245.160.000.000
120.000 Ha
1.200.000/th
240.000.000.000
250.000 Ha
100.000/th
5.000.000.000
Tawar 1.602 Ha 16.000/th 160.000.000 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Sektor diatas, adalah yang memberikan konstribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Karena karakteristik daerah ini adalah kepulauan, maka sektor perikanan dan pertambangan mempunyai peran yang tiak kecil dalam menyumbang PDRB provinsi. c. Kepegawaian Jumlah aparatur pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2004 mengalami penurunan sebanyak 0,80% dibandingkan tahun 2003.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
75
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Sedangkan tahun 2005 meningkat sebesar 8,63% dari tahun sebelumnya. Penmabhan jumlah pegawai ini berlajut hingga tahun 2006 dan 2007. Pada tahun 2006 bertambah sebanyak 5 orang sehingga berjumlah 1491 orang. Jumlah tersebut belum termasuk pegawai yang honorer ataupun Tenaga Kontrak. Dibandingkan dengan provinsi yang menjadi lokasi studi, jumlah aparatur di Bangka Belitung ini mengalami peningkatan. Tabel 3.9 Jumlah Aparatur Provinsi Bangka Belitung 2003 - 2007 Tahun
Jumlah
Perubahan (%)
2003 1379 2004 1368 -0.80 2005 1486 8.63 2006 1491 0.34 2007)* 1565 4.96 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Bangka Belitung (2006) )* Hingga Juni 2007
Faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan jumlah aparatur adalah bahwa provinsi ini merupakan daerah otonomi baru, merupakan daerah kepulauan, ada limpahan aparatur dari provinsi induk, serta pengangkatan CPNS baru. Namun jumlah tersebut belum termasuk jumlah CPNS hasil pengangkatan tahun 2006. 3.2.5 Provinsi Kepulauan Riau a. Letak Geografis Provinsi
Kepulauan
Riau
terbentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 merupakan Provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten
Natuna,
dan
Kabupaten
Lingga. Secara keseluruhan Wilayah Kepulauan Riau terdiri dari 4 Kabupaten dan 2 Kota, 42 Kecamatan serta 256 Kelurahan/Desa dengan jumlah 2.408 pulau besar dan kecil dimana 40% belum bernama dan berpenduduk. Adapun luas wilayahnya sebesar 252.601 Km2, di mana 95% - nya merupakan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
76
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
lautan dan hanya 5% merupakan wilayah darat, dengan batas wilayah sebagai berikut : -
Utara dengan Vietnam dan Kamboja
-
Selatan dengan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jambi
-
Barat dengan Singapura, Malaysia, dan Provinsi Riau
-
Timur dengan Malaysia, Brunei, dan Provinsi Kalimantan Barat Dengan letak geografis yang strategis (antara Laut Cina Selatan,
Selat Malaka dengan Selat Karimata) serta didukung potensi alam yang sangat potensial, Provinsi Kepulauan Riau dimungkinkan untuk menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi bagi Republik Indonesia dimasa depan. Apalagi saat ini pada beberapa daerah di Kepulauan Riau (Batam, Bintan,
dan
Karimun)
tengah
diupayakan
sebagai
pilot
project
pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui kerjasama dengan Pemerintah Singapura. Penerapan kebijakan KEK di Batam-Bintan-Karimun, merupakan bentuk kerjasama yang erat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan partisipasi dunia usaha. KEK ini nantinya merupakan simpulsimpul dari pusat kegiatan ekonomi unggulan, yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Setiap pelaku usaha yang berlokasi di dalamnya, akan memperoleh pelayanan dan fasilitas yang mutunya dapat bersaing dengan praktik-praktik terbaik dari kawasan sejenis di Asia-Pasifik. b. Perekonomian Daerah Dalam periode lima tahun terakhir (2001-2005) Perekonomian Provinsi Kepulauan memberikan
Riau
didominasi
kontribusi
oleh
(share)
sektor
industri
pengolahan
rata-rata
sebesar
65,65%
yang
terhadap
pembentukan PDRB (Atas Dasar Harga Konstan). Sedangkan pada tahun 2005 sektor industri pengolahan memberikan kontribusi (share) sebesar Rp.20,249 triliun atau sebesar 67,24% terhadap pembentukan PDRB Provinsi Kepulauan Riau. Sementara itu sektor perdagangan, hotel dan restoran pada tahun 2005 merupakan sektor kedua terbesar dalam memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDRB yaitu sebesar Rp.2,491 triliun atau sebesar 8,20%. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran dalam lima tahun
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
77
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
terakhir menunjukkan trend yang menaik dengan kontribusi rata-rata sebesar 7,99%. Sektor
ketiga
yang
memberikan
kontribusi
terbesar
terhadap
pembentukan PDRB adalah sektor pertambangan dan penggalian yaitu sebesar
Rp.2,082
triliun
atau
sebesar
6,86%.
Kontribusi
sektor
pertambangan dan penggalian dalam lima tahun terakhir cenderung mengalami penurunan, karena pada tahun 2001 sektor ini memberikan kontribusi sebesar 13,68% dan pada tahun 2004 kontribusinya menurun sehingga menjadi 7,40% terhadap pembentukan PDRB Provinsi Kepulauan Riau. Sedangkan sektor keempat yaitu sektor pertanian, pada tahun 2005 memberikan kontribusi (share) sebesar Rp.1,46 triliun atau sebesar 4,82%. Sub
sektor
perikanan
merupakan
penyumbang
terbesar
terhadap
pembentukan sektor ini yaitu sebesar Rp.1,056 triliun dan memberikan kontribusi sebesar 3,48% terhadap pembentukan PDRB. Kontribusi sektor pertanian pada tahun 2005 ini menurun apabila dibandingkan tahun 2004. Selama periode tahun 2001-2004 kontribusi sektor pertanian cenderung menaik dimana pada tahun 2001 adalah sebesar 4,72% dan pada tahun 2004 kontribusi adalah sebesar 4,87%. Sektor kelima yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap PDRB daerah ini adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dimana pada tahun 2005 memberikan kontribusi (share) sebesar Rp.1,335 triliun atau sebesar 4,40%. Kontribusi sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dalam lima tahun terakhir menunjukkan trend yang menaik dimana pada tahun 2001 kontribusi sektor ini baru mencapai 3,93%. Sektorsektor lainnya pada tahun 2005 rata-rata memberikan kontribusi dibawah 4% terhadap pembentukan PDRB dan dalam lima tahun terakhir kontribusi sektor-sektor tersebut juga memiliki kecendrungan (trend) yang menaik.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
78
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Tabel 3.10 Kontribusi (Share) Per-Sektor Terhadap Pembentukan PDRB (2001 – 2005) LAPANGAN USAHA 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5. Bangunan & Konstruksi 6. Perdag., Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keu. Persewaan & Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
PDRB (Dengan Migas)
2001 2002 2003 2004 2005
RataRata
4,72 13,68 62,63 0,22 2,48 7,48 3,04 3,93
4,86 9,56 65,60 0,23 2,58 7,89 3,30 4,06
4,91 8,24 66,04 0,23 2,64 8,19 3,48 4,35
4,87 7,40 66,72 0,23 2,63 8,19 3,65 4,38
4,82 6,86 67,24 0,23 2,61 8,20 3,72 4,40
4,83 9,15 65,65 0,23 2,59 7,99 3,44 4,22
1,82
1,92
1,94
1,93
1,93
1,91
100
100
100
100
100
-
Sumber : BPS Tahun 2006, BPS Kepri (2006)
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2005 adalah sebesar 6,57%. Angka laju pertumbuhan tersebut merupakan angka yang tertinggi dalam periode lima tahun kebelakang karena pada tahun 2001 (empat tahun setelah krisis ekonomi) laju pertumbuhan ekonomi daerah ini berkontraksi minus 1,34%. Namun secara perlahan-lahan perekonomian Kepulauan Riau mulai bangkit, apalagi setelah daerah ini ditetapkan sebagai daerah provinsi otonom pada tahun 2002 membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian daerah. Sektor-sektor yang tumbuh dengan baik (lebih cepat dari pertumbuhan total PDRB) pada tahun 2005 antara lain sektor pengangkutan dan komunikasi (8,51%), sektor industri pengolahan (7,41%), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (6,89%), sektor jasa (6,77%), serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (6,69%). Sementara
itu
sektor
lainnya
masih
tumbuh
di
bawah
laju
pertumbuhan PDRB. Berturut-turut sektor tersebut adalah sektor listrik, gas dan air bersih (6,62%), sektor bangunan dan konstruksi (5,61%), sektor pertanian (5,40%), dan sektor pertambangan dan penggalian (-1,23%).
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
79
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Tabel 3.11 Laju Pertumbuhan PDRB Tahun 2001-2005 LAPANGAN USAHA
2001
1. Pertanian 7,71 2. Pertambangan & Penggalian -33,06 3. Industri 8,46 4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 8,12 5. Bangunan & Konstruksi 5,95 6. Perdag., Hotel & Restoran 7,89 7. Pengangkutan & Komunikasi 9,75 8. Keu. Persewaan & Jasa Perusahaan -18,94 9. Jasa-Jasa 7,08 Laju Pertumbuhan PDRB (Dengan -1,34 Migas) Sumber : BPS Tahun 2006, BPS Kepri (2006)
2002
2003
2004
2005
5,67 -28,34 7,44 6,74 6,73 8,20 11,55 5,98 7,83
5,79 -9,63 5,52 7,12 7,14 8,70 10,35 12,22 5,95
5,70 -4,45 7,57 6,46 6,27 6,52 11,72 7,39 6,17
5,40 -1,23 7,41 6,62 5,61 6,69 8,51 6,89 6,77
2,57
4,82
6,47
6,57
c. Kepegawaian Sebagai daerah otonomi baru, tentunya jumlah aparatur yang ada di provinsi ini masih relatif sedikit dengan jumlahnya dibandingkan dengan daerah otonomi baru yang lain. Manurut data yang tercatat di BKN dan Data Base Otonomi Daerah Bappenas (2007) dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3.12 Jumlah Aparatur Provinsi Kepulauan Riau 2005- 2007 Tahun
< SLTA
Tingkat Pendidikan Diploma S-1
S-2
S-3
2005 79 78 202 24 2006 79 78 202 24 2007)* 192 203 357 30 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Kepri (2006) )* Hingga Juni 2007
Jumlah 383 383 782
Jumlah aparatur yang harus melayani penduduk sebesar 1.274.848 jiwa pada tahun 2005 di provinsi Kepualuan Riau adalah sebanyak 383 orang. Minimnya jumlah aparatur ini disebabkan karena daerah ini merupakan daerah otonomi baru dan belum dimasukkannya jumlah pengangkatan pegawai baru tahun 2006. Akibatnya layanan yang diberikan aparatur kepada masyarakat relatif kurang optimal. Mengingat daerah ini adalah daerah kepulauan, maka diwaktu yang akan datang diperlukan jumlah aparatur yang lebih besar lagi. Sehingga dapat memberikan layanan yang optimal kepada wargannya.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
80
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Bila dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh pegawai hingga Juni 2007 adalah pegawai yang berpendidikan S1 paling banyak disusul tamatan diploma sebanyak 203 orang. Hal ini mengindikasikan bahwa para pegawai yang memiliki tingkat kapasitas yang relatif lebih baik. Bahkan dengan jumlah pegawai yang lulus S2 sebanyak 30 orang semakin menunjukkan bahwa pagawai di provinsi ini adalah baik, meskipun masih ada pegawai yang masih lulusan SMA masih ada, tetapi jumlah tersebut relatif sedikit.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
81
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
BAB IV LANDASAN KEBIJAKAN 4.1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 4.1.1 Pemerintahan Daerah Tatanan organisasi pemerintahan daerah dalam NKRI tidak terlepas dari ketentuan mengenai pemerintahan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur garis besar penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan daerah seperti hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan pengaturan mengenai keberadaan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya dapat disimak pada Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945. Lebih lanjut mengenai pemerintahan daerah ini, termasuk satuan organisasi perangkat Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dapat ditelaah dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Khusus mengenai perangkat Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 84 Tahun 2000 yang kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan PP No.8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Pemerintahan Daerah sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah otonom dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI. Sedangkan desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI. Daerah otonom dalam konteks ini meliputi Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
1. Prinsip-Prinsip a. Prinsip Pemberian Otonomi Daerah Dasar
pemikiran
prinsip-prinsip
pemberian
otonomi
daerah
adalah
memperhatikan pengalaman pelaksanaan Undang-Undang yang berkenaan dengan penyelenggaraan otonomi daerah pada masa lampau, terakhir diatur dalam UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak. Namun dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan
otonomi
luas
adalah
keleluasaan
Daerah
untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama, serta kewenangan bidang lainnya yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Adapun yang dimaksud dengan moneter dan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah Pusat kepada
Daerah
sebagai
upaya
meningkatkan
keikutsertaan
Daerah
dalam
menumbuhkembangkan kehidupan beragama. Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan sampai dengan pengendalian dan evaluasi. Otonomi nyata sebagaimana dimaksud di atas, adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan
pertanggungjawaban
sebagai
konsekuensi
pemberian
hak
dan
kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
83
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi untuk Daerah Provinsi diberikan secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:
1) Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah;
2) Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab;
3) Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sedang otonomi daerah Provinsi merupakan otonomi yang terbatas;
4) Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta AntarDaerah;
5) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan Peraturan Daerah Otonom;
6) Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
84
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat;
8) Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Pusat kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah Pusat dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia
dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaan
dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya. b. Prinsip Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Prinsip penyelenggaraan pemerintahan Daerah sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum UU No.22 Tahun 1999 adalah: 1)
Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan: a) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; b) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan/atau perangkat pusat di Daerah; c) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban
melaporkan
pelaksanaannya
dan
mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. 2)
Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Kabupaten dan Kota;
3)
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Provinsi, Kabupaten, Kota dan Desa.
2. Pembagian Daerah Pembagian Daerah dalam NKRI ditetapkan berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang ketentuannya berbunyi: “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi di bagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap Provinsi,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
85
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Kabupaten dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang ”. Undang-Undang yang dimaksud diatas dan saat ini masih berlaku adalah UU No.22 Tahun 1999. Pokok-pokok pikiran yang melandasi pembagian daerah ini sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang tersebut adalah sebagai berikut: a. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan asas dekonsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka NKRI; b. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah Daerah
Provinsi,
sedangkan
Daerah
yang
dibentuk
berdasarkan
asas
desentralisasi adalah Kabupaten dan Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat; c. Pembagian Daerah di luar Daerah Provinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom. Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Kabupaten dan Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus; d. Kecamatan yang menurut UU No. 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut Undang-Undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat Kabupaten atau Kota. Berdasarkan pokok-pokok pikiran tersebut, pembagian daerah yang merujuk pada ketentuan Pasal 2 UU No.22 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: a. Wilayah NKRI dibagi dalam Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bersifat otonom; b. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi. 3. Pembentukan dan Susunan Daerah Dalam rangka pembentukan dan susunan pemerintahan daerah, Pasal 18 ayat (2),(3),(4),(5), (6) dan (7) UUD 1945 menetapkan hal-hal sebagai berikut : a. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Daerah Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; b. Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum; c. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
86
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
d. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat; e. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan; f.
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang. Mengenai pembentukan dan susunan daerah, Pasal 4 UU No.22 Tahun 1999
menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah-daerah sebagaimana dimaksud, masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Hal ini mengandung pengertian bahwa: 1) Daerah Provinsi tidak membawahkan Kabupaten dan Kota, tetapi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama, dan/atau kemitraan dengan Kabupaten dan Kota dalam kedudukan masingmasing sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Kabupaten dan Kota; 2) Daerah Provinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi,
yang
melaksanakan
kewenangan
Pemerintah
Pusat
yang
didelegasikan kepada Gubernur. Daerah Provinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Kabupaten dan Kota. Pembentukan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota didasarkan pada pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Selain itu Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan/atau digabung dengan Daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari 1 (satu) Daerah 4. Kewenangan Daerah Pemerintahan Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 dibentuk untuk: (a)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
87
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan; dan (b) Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat. Dalam rangka otonomi daerah, kepada Daerah diberikan kewenangan yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan dengan pengecualian bidang-bidang
tertentu
yang
masih
menjadi
wewenang
Pemerintah
Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU No.22 Tahun 1999 dan perundang-undangan lainnya, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian tentang prinsip pemberian otonomi daerah. Pada hakekatnya setiap Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Termasuk dalam hal ini adalah kewenangan di wilayah laut : a) Bagi Daerah Provinsi, meliputi : a) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; b) Pengaturan kepentingan administratif; c) Pengaturan tata ruang; d) Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; e) Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. b) Bagi Daerah Kabupaten dan Kota, adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Provinsi. 4.1.2 Kewenangan Daerah Provinsi Kewenangan Provinsi berdasarkan Pasal 9 UU No.22 Tahun 1999 jo Pasal 3 PP No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, sebagai Daerah Otonom dan Daerah Administratif, menyangkut hal-hal sebagai berikut: a. Sebagai Daerah Otonom Kewenangan Provinsi sebagai Daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota, kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, kewenangan melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
88
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dan kewenangan melaksanakan kewenangan Kabupaten/Kota di bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dengan kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Provinsi. 1) Kewenangan
dalam
Kabupaten/Kota,
bidang
seperti
pemerintahan
kewenangan
di
yang
bidang
bersifat
lintas
pekerjaan
umum,
perhubungan, kehutanan, dan perkebunan. 2) Kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, yakni: a) Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro; b) Pelatihan bidang tertentu; c) Alokasi sumber daya manusia potensial; d) Penelitian yang mencakup wilayah Provinsi; e) Pengelolaan pelabuhan regional; f)
Pengendalian lingkungan hidup;
g) Promosi dagang dan budaya/pariwisata; h) Penanganan penyakit menular dan hama tanaman, dan i)
Perencanaan tata ruang Provinsi.
Kewenangan dimaksud dapat dikelompokkan dalam berbagai bidang sebagai berikut: (1) Bidang Pertanian: (a) Penetapan standar pelayanan minimal dalam bidang pertanian yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota; (b) Penetapan standar pembibitan/perbenihan pertanian; (c) Penetapan standar teknis minimal rumah potong hewan, rumah sakit hewan, dan satuan pelayanan peternakan terpadu; (d) Penyelenggaraan Diklat sumber daya manusia aparat pertanian teknis
fungsional,
ketrampilan
dan
diklat
kejuruan
tingkat
menengah; (e) Promosi ekspor komoditas pertanian unggulan Daerah Provinsi; (f) Penyediaan dukungan kerja sama antar Kabupaten/Kota dalam bidang pertanian; (g) Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular di bidang pertanian lintas Kabupaten/Kota; (h) Pengaturan penggunaan bibit unggul pertanian;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
89
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(i) Penetapan kawasan pertanian terpadu berdasarkan kesepakatan dengan Kabupaten/Kota; (j) Pelaksanaan
penyidikan
penyakit
di
bidang
pertanian
lintas
Kabupaten/Kota; (k) Penyediaan dukungan pengendalian eradikasi organisme pengganggu tumbuhan, hama dan penyakit di bidang pertanian; (l) Pengaturan penggunaan air irigasi; (m) Pemantauan, peramalan dan pengendalian serta penanggulangan eksplosi organisme pengganggu tumbuhan dan penyakit di bidang pertanian; (n) Penyediaan
dukungan
pengembangan
perekayasaan
teknologi
perikanan serta sumber daya perairan lainnya; (o) Pengendalian terhadap pelaksanaan pemberantasan penyakit ikan di darat; (p) Pengendalian eradikasi penyakit ikan di darat. (2) Bidang Kelautan: (a) Penataan dan pengelolaan perairan di wilayah laut Provinsi; (b) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan Provinsi; (c) Konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi serta suaka perikanan di wilayah laut kewenangan Provinsi; (d) Pelayanan izin usaha pembudidayaan dan penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan Provinsi; (e) Pengawasan
pemanfaatan
sumber-daya
ikan
di
wilayah
laut
kewenangan Provinsi. (3) Bidang Pertambangan dan Energi: (a) Penyediaan dukungan pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya mineral dan energi serta air bawah tanah; (b) Pemberian
izin
usaha
inti
pertambangan
umum
lintas
Kabupaten/Kota yang meliputi ekplorasi dan eksploitasi; (c) Pemberian izin usaha inti listrik dan distribusi lintas Kabupaten/Kota yang tidak disambung ke grid nasional;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
90
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(d) Pengelolaan sumberdaya mineral dan energi non migas kecuali bahan radio aktif pada wilayah laut dari 4 (empat) sampai dengan dua belas mil; (e) Pelatihan dan penelitian di bidang pertambangan dan energi di wilayah Provinsi. (4) Bidang Kehutanan dan Perkebunan: (a) Pedoman penyelenggaraan inventarisasi dan pemetaan hutan/kebun; (b) Penyelenggaraan penunjukan dan pengamanan batas hutan produksi dan hutan lindung; (c) Pedoman penyelenggaraan tata batas hutan, rekonstruksi dan penataan batas kawasan hutan produksi dan hutan lindung; (d) Penyelenggaraan pembentukan dan perwilayahan areal perkebunan lintas Kabupaten/Kota; (e) Pedoman penyelenggaraan pembentukan wilayah dan penyediaan dukungan pengelolaan taman hutan raya; (f) Penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan dan industri primer bidang perkebunan lintas Kabupaten/Kota; (g) Penyusunan rencana makro kehutanan dan perkebunan lintas Kabupaten/Kota; (h) Pedoman
penyelenggaraan
pengurusan
erosi,
sadimentasi,
produktivitas lahan pada daerah aliran sungai lintas Kabupaten/Kota; (i) Pedoman penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi dan hutan lindung; (j) Penyelenggaraan
perizinan
lintas
Kabupaten/Kota
meliputi
pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan flora dan fauna yang tidak dilindungi, usaha perkebunan, dan pengolahan hasil hutan; (k) Pengawasan perbenihan, pupuk, pestisida, alat dan mesin di bidang kehutanan dan perkebunan; (l) Pelaksanaan
pengamatan,
peramalan
organisme
tumbuhan
pengganggu dan pengendalian hama terpadu tanaman kehutanan dan perkebunan; (m) Penyelenggaraan dan pengawasan atas rehabilitasi, reklamasi, sistem silvikultur, budidaya, dan pengolahan;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
91
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(n) Penyelenggaraan
pengelolaan
taman
hutan
raya
lintas
Kabupaten/Kota; (o) Penetapan pedoman untuk penentuan tarif pungutan hasil hutan bukan kayu lintas Kabupaten/Kota; (p) Turut
serta
secara
aktif
bersama
Pemerintah
Pusat
dalam
menetapkan kawasan serta perubahan fungsi dan status hutan dalam rangka perencanaan tata ruang Provinsi berdasarkan kesepakatan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota; (q) Perlindungan
dan
pengamanan
hutan
pada
kawasan
lintas
Kabupaten/Kota; (r) Penyediaan dukungan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis, penelitian dan pengembangan terapan bidang kehutanan. (5) Bidang Perindustrian dan Perdagangan: (a) Penyediaan dukungan pengembangan industri dan perdagangan; (b) Penyediaan dukungan kerjasama antar Kabupaten/Kota dalam bidang industri dan perdagangan; (c) Pengelolaan laboratorium kemetrologian. (6) Bidang Perkoperasian: Penyediaan dukungan pengembangan koperasi. (7) Bidang Penanaman Modal: Melakukan
kerjasama
dalam
bidang
penanaman
modal
dengan
Kabupaten dan Kota. (8) Bidang Ketenagakerjaan: (a) Penetapan pedoman jaminan kesejahteraan purnakerja; (b) Penetapan dan pengawasan atas pelaksanaan upah minimum. (9) Bidang Kesehatan: (a) Penetapan pedoman penyuluhan dan kampanye kesehatan; (b) Pengelolaan dan pemberian izin sarana dan prasarana kesehatan khusus seperti rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, dan rumah sakit kanker; (c) Sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi; (d) Survailans epidemiologi serta penanggulangan wabah penyakit dan kejadian luar biasa;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
92
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(e) Penempatan
tenaga
kesehatan
strategis,
pemindahan
tenaga
kesehatan tertentu antar Kabupaten/Kota serta penyelenggaraan pendidikan tenaga dan pelatihan kesehatan. (10) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan: (a) Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa dan mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan atau tidak mampu; (b) Penyediaan bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/modul pendidikan
untuk
taman
kanak-kanak,
pendidikan
dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan luar sekolah; (c) Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan
kurikulum,
akreditasi
dan
pengangkatan
tenaga
akademis; (d) Pertimbangan pembukaan dan penutupan perguruan tinggi; (e) Penyelenggaraan sekolah luar biasa dan balai pelatihan dan/atau penataran guru; (f) Penyelenggaraan museum Provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan,
kajian
sejarah
dan
nilai
tradisional
serta
pengembangan bahasa dan budaya daerah. (11) Bidang Sosial: (a) Mendukung upaya pengembangan pelayanan sosial; (b) Mendukung pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan, serta nilai-nilai kesetiakawanan sosial; (c) Pengawasan pelaksanaan penempatan pekerja sosial profesional dan fungsional panti sosial swasta. (12) Bidang Penataan Ruang: (a) Penetapan tata ruang Provinsi berdasarkan kesepakatan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota; (b) Pengawasan atas pelaksanaan tata ruang. (13) Bidang Permukiman: Penyediaan
bantuan/dukungan
penerapan
hasil
penelitian
dan
pengembangan teknologi, arsitektur bangunan dan jatidiri kawasan. (14) Bidang Pekerjaan Umum: (a) Penetapan standar pengelolaan sumber daya air permukaan lintas Kabupaten/Kota;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
93
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(b) Pemberian
izin
pembangunan
jalan
bebas
hambatan
lintas
Kabupaten/Kota; (c) Penyediaan
dukungan/bantuan
untuk
kerjasama
antar
Kabupaten/Kota dalam pengembangan prasarana dan sarana wilayah yang terdiri atas pengairan, bendungan/dam, jembatan dan jalan beserta simpul-simpulnya serta jalan bebas hambatan; (d) Penyediaan dukungan/bantuan untuk pengelolaan sumber daya air permukaan, pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase lintas Kabupaten/Kota beserta bangunanbangunan pelengkapnya mulai dari bangunan pengambilan sampai kepada saluran percontohan sepanjang lima puluh meter dari bangunan sadap; (e) Perizinan untuk mengadakan perubahan dan atau pembongkaran bangunan-bangunan dan saluran jaringan dan prasarana dan sarana pekerjaan umum yang lintas Kabupaten/Kota; (f) Perizinan untuk mendirikan, mengubah ataupun membongkar bangunan-bangunan lain, selain dari yang dimaksud pada butir (e) termasuk yang berada di dalam, di atas, maupun yang melintasi saluran irigasi; (g) Pelaksanaan pembangunan dan perbaikan jaringan utama irigasi lintas Kabupaten/Kota beserta bangunan pelengkapnya; (h) Penyusunan rencana penyediaan air irigasi. (15) Bidang Perhubungan: (a) Penetapan alur penyeberangan lintas Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi; (b) Penetapan tarif angkutan darat lintas Kabupaten/Kota untuk penumpang kelas ekonomi; (c) Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat pengawasan dan alat pengamanan (rambu-rambu) lalu lintas jalan Provinsi, danau dan sungai lintas Kabupaten/kota serta laut dalam wilayah diluar 4 (empat) mil sampai dengan dua belas mil; (d) Penetapan kebijakan tatanan dan perizinan pelabuhan Provinsi;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
94
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(e) Pengelolaan pelabuhan dan bandar udara Provinsi yang dibangun atas prakarsa Provinsi dan atau pelabuhan dan bandar udara yang diserahkan oleh Pemerintah kepada Provinsi; (f) Penyusunan dan penetapan jaringan transportasi jalan Provinsi; (g) Pengaturan dan pengelolaan SAR Provinsi; (h) Perizinan, pelayanan dan pengendalian kelebihan muatan dan tertib pemanfaatan jalan Provinsi; (i) Perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan jalan Provinsi; (j) Penetapan standar batas maksimum muatan dan berat kendaraan pengangkutan
barang
dan
tertib
pemanfaatan
antar
Kabupaten/Kota; (k) Penetapan lintas penyeberangan antar Provinsi; (l) Penetapan lokasi dan pengelolaan jembatan timbang; (m) Perencanaan dan pembangunan Jaringan Jalan Kereta Api lintas Kabupaten/Kota. (16) Bidang Lingkungan Hidup: (a) Pengendalian lingkungan hidup lintas Kabupaten/Kota; (b) Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya laut 4 (empat) mil sampai dengan dua belas mil; (c) Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas Kabupaten/Kota; (d) Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bagi kegiatan-kegiatan
yang
potensial
berdampak
negatif
pada
masyarakat luas yang lokasinya meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota; (e) Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas Kabupaten/ Kota; (f) Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional. (17) Bidang Politik Dalam Negeri dan Administrasi Publik: (a) Penegakan hak asasi manusia; (b) Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum; (c) Penyediaan
dukungan
administrasi
kepegawaian
dan
karir
pegawai; (d) Membantu penyelenggaraan pemilihan umum;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
95
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(e) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penjenjangan dan teknis fungsional tertentu yang mencakup wilayah Provinsi; (f) Penyelesaian perselisihan antar Kabupaten/Kota; (g) Fasilitasi penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan sistem politik; (h) Alokasi dan pemindahan pegawai/tenaga potensial antar Daerah Kabupaten/Kota dan dari Kabupaten/Kota ke Provinsi dan sebaliknya; (i) Penetapan tanda kehormatan/jasa selain yang telah diatur dan menjadi kewenangan Pemerintah. (18) Bidang Pengembangan Otonomi Daerah: Penyelenggaraan otonomi daerah di wilayah Provinsi. (19) Bidang Perimbangan Keuangan: (a) Mengatur realokasi Pendapatan Asli Daerah yang terkonsentrasi pada
Kabupaten/Kota
tertentu
untuk
keseimbangan
penyelenggaraan pembangunan guna kesejahteraan masyarakat di Provinsi; (b) Menyediakan alokasi anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bagi kebutuhan belanja PNS Daerah yang diangkat oleh Provinsi di luar kebijakan Pemerintah. (20) Bidang Hukum dan Perundang-undangan: Penetapan
Peraturan
Daerah
untuk
mendukung
Pemerintahan
Provinsi sebagai daerah otonom. b) Melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota Kewenangan dalam hal ini adalah kewenangan Kabupaten dan Kota yang ditangani oleh Provinsi setelah ada pernyataan dari Kabupaten dan Kota. Kewenangan dimaksud dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui
kerja
sama
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
antar-Kabupaten/Kota,
kerja
sama
antar-
96
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Kabupaten/Kota dengan Provinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Provinsi; (2) Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Provinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota. Bupati/Walikota wajib menyampaikan keputusan mengenai penyerahan kewenangan kepada Provinsi kepada Gubernur dan Presiden dengan tembusan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD); (3) Presiden setelah memperoleh masukan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak menyetujui penyerahan kewenangan tersebut; (4) Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuannya, kewenangan tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota; (5) Apabila Presiden memberikan persetujuannya, pelaksanaan kewenangan tersebut diserahkan kepada Provinsi; (6) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Presiden tidak memberikan tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut dianggap disetujui; (7) Sebagai akibat dari penyerahan tersebut, Provinsi sebagai Daerah Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud dengan pembiayaan yang dialokasikan dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Apabila Provinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan
tersebut,
maka
Provinsi
menyerahkannya
kepada
Pemerintah Pusat dengan mekanisme yang sama sebagaimana tersebut pada butir (1) sampai dengan (5); (8) Apabila Kabupaten/Kota sudah menyatakan kemampuannya menangani kewenangan
tersebut,
Provinsi
atau
Pemerintah
Pusat
wajib
mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa persetujuan Presiden. b. Sebagai Daerah Administratif Kewenangan Provinsi sebagai Wilayah Administratif dalam rangka dekonsentrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan wewenang dimaksud dilaksanakan oleh Dinas Provinsi.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
97
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
4.1.3 Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Antar Daerah Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah sangat terkait erat dengan prinsip-prinsip dan tujuan pemberian Otonomi Daerah, baik pemberian Otonomi kepada Daerah Provinsi, maupun kepada Kabupaten dan Kota berdasarkan asas desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan UU No.22 Tahun 1999 . Salah
satu
prinsip
pemberian
otonomi
daerah
menyatakan
bahwa
pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta Antar-Daerah. Pada hakekatnya tujuan pemberian otonomi daerah, adalah untuk: 1)
Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik;
2)
Mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan;
3)
Memelihara hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hubungan dimaksud dalam prakteknya terkait dengan pemberian otonomi
kepada Kabupaten dan Kota berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi bertanggung jawab. Otonomi daerah ditinjau dari segi hubungan kerja juga merupakan perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah. Otonomi daerah tersebut harus dijabarkan dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi seperti tersebut diatas. Mengacu pada ketentuan Pasal 18A dan 18 B UUD 1945, mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antar Daerah dapat diidentifikasi beberapa aspek hubungan sebagai berikut:
1)
Hubungan wewenang, yang pelaksanaannya dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;
2)
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, yang dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang; dan
3)
Hubungan dalam hal pengakuan pembentukan Daerah.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
98
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Dalam pada itu bila ditelaah secara cermat, pada berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka dalam kaitan dengan aspek kelembagaan, terdapat hubungan yang berkenaan dengan: (1) Hubungan Pengakuan Pembentukan Daerah; (2) Hubungan Kewenangan; (3) Hubungan Keuangan; (4) Hubungan dalam Bidang Kepegawaian; (5) Hubungan Pembinaan
dan
Pengawasan;
(6)
Hubungan
Pelaporan
Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah; dan (7) Hubungan Kerjasama dan Penyelesaian Perselisihan. 1. Hubungan Kewenangan a.
Distribusi Wewenang Untuk memahami hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah, perlu
dikemukakan terlebih dahulu mengenai distribusi kewenangan yang bersumber yang bersumber dari Pemerintah Pusat sebagai institusi penyelenggara kekuasaan pemerintahan dalam NKRI. Deskripsi mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dalam bagian ini antara lain untuk memberikan informasi tentang urusan pemerintahan apa yang masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat sebagai dasar untuk mengetahui urusanurusan pemerintahan yang seyogyanya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan hubungan kewenangan. Pembagian wewenang Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota mengacu pada ketentuan Pasal 7 hingga 12 UU No.22 Tahun 1999 beserta peraturan pelaksanaannya yang berlaku, seperti PP No.25 Tahun 2000. 1) Kewenangan Pemerintah Pusat Kewenangan Pemerintah Pusat dimaksud secara terperinci sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 dan 7 PP No.25 Tahun 2000, sebagai berikut: a) Kewenangan Pemerintah Pusat mencakup kewenangan dalam bidang/urusan pemerintahan berikut: (1) Politik luar negeri; (2) Pertahanan dan keamanan; (3) Peradilan; (4) Moneter dan fiskal; (5) Agama;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
99
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(6) Kewenangan bidang lain, yang meliputi : (a) Kebijakan
tentang
perencanaan
nasional
dan
pengendalian
pembangunan nasional secara makro; (b) Dana perimbangan keuangan; (c) Sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; (d) Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia; (e) Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis; (f) Konservasi; (g) Standardisasi nasional. b)
Kewenangan Pemerintah Pusat yang berlaku di berbagai bidang selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada butir a), meliputi: a. Penetapan kebijakan untuk mendukung pembangunan secara makro; b. Penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota; c. Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan dalam rangka penyusunan tata ruang; d. Penyusunan rencana nasional secara makro; e. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan; f. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi; g. Penetapan pedoman pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam; h. Pengelolaan dan penyelenggaraan perlindungan sumber daya alam di wilayah laut di luar dua belas mil; i. Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara; j. Penetapan standar pemberian izin oleh Daerah; k. Pengaturan ekspor impor dan pelaksanaan perkarantinaan; l. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional; m. Penetapan arah dan prioritas kegiatan riset dan teknologi termasuk penelitian dan pengembangan teknologi strategis dan berisiko tinggi; n. Penetapan kebijakan sistem informasi nasional;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
100
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
o. Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa; p. Pengaturan sistem lembaga perekonomian Negara. c)
Kewenangan Pemerintah Pusat untuk mengambil tindakan administratif terhadap Daerah Otonom dalam hal terjadi kelalaian dan/atau pelanggaran atas penegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berdasarkan ketentuan Pasal 7 PP No.25 Tahun 2000. Penentuan
kewenangan
Pemerintah
Pusat
dimaksud
pada
dasarnya
merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan Daerah Provinsi sebagai Daerah Otonom, karena Pemerintah Pusat dan Provinsi hanya diperkenankan menyelenggarakan kegiatan otonomi sebatas yang ditetapkan dalam PP No.25 Tahun 2000. Sedangkan Kewenangan Kabupaten/Kota tidak diatur dalam PP No.25 Tahun 2000 karena pada dasarnya UU No.22 Tahun 1999 telah meletakkan semua kewenangan Pemerintahan pada Kabupaten/Kota, kecuali kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah dimaksud. 2) Kewenangan Daerah Provinsi Kewenangan Daerah Provinsi berdasarkan ketentuan Penjelasan Umum PP No.25 Tahun 2000, disesuaikan dengan kedudukannya sebagai daerah otonom meliputi penyelenggaraan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat Lintas Kabupaten/Kota dan kewenangan pemerintahan bidang lainnya. Sedangkan kewenangan
Provinsi
sebagai
wilayah
administrasi
merupakan
pelaksanaan
kewenangan Pemerintah yang didekonsentrasikan kepada Gubernur. Mengenai kewenangan Daerah Provinsi ini telah diuraikan dimuka. 3) Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota Sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 7, 9 dan 11 UU No.22 Tahun 1999 serta Keppres No.5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota, Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Keputusan No.130-67 Tahun 2002 Tanggal 20 Februari 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada prinsipnya, Pemerintah Pusat mengakui seluruh kewenangan yang telah ada dan dilaksanakan Daerah Kabupaten/Kota dan/atau penyerahan urusan berdasarkan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
101
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
peraturan perundangan yang ditetapkan sebelum berlakunya UU No.22 Tahun 1999 dan PP No.25 Tahun 2000. Dengan tidak mengurangi hakekat pengakuan dimaksud, pengakuan kewenangan Pemerintah Pusat tidak bertujuan untuk membatasi atau mengurangi kewenangan Daerah Kabupaten/Kota. b. Pelaksanaan Hubungan Kewenangan Berdasarkan ketentuan Pasal 8 dan 13 UU No.22 Tahun 1999, pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 1) Hubungan Dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi selanjutnya menjadi urusan rumah tangga Daerah yang bersangkutan. Pelaksanaan penyerahan kewenangan itu harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. 2) Hubungan Dalam Rangka Pelaksanaan Dekonsentrasi Kewenangan Pemerintah Pusat yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut. Pelaksanaan dekonsentrasi diatur lebih lanjut dalam PP No.39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, yang antara lain menetapkan bahwa pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Provinsi
dalam
kedudukannya
sebagai
Wilayah
Administrasi
NKRI
untuk
melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubenur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Konstruksi perwilayahan yang diatur UU No. 22 Tahun 1999, menempatkan Provinsi sebagai Wilayah Administrasi sekaligus sebagai Daerah Otonom, Kabupaten dan Kota semata-mata Daerah Otonom. Pengaturan sedemikian ini mengandung arti bahwa sekalipun antara Daerah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota tidak ada hubungan hirarkis, namun tetap ada keterkaitan fungsional satu sama lain. Keterkaitan ini baik dalam arti status kewilayahan (teritorial) maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan, mengingat penyusunan Kabupaten dan Kota dilandasi oleh Wilayah Negara, yang diikat sebagai Wilayah Provinsi.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
102
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Pemikiran bahwa Daerah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota terlepas satu sama lain, mengingkari prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD 1945, yang secara jelas mengatur secara sistemik antara masing-masing tingkat pemerintahan. Gubernur yang berfungsi sebagai wakil Pemerintah Pusat sekaligus sebagai Kepala Daerah Otonom dalam rangka aktualisasi prinsip-prinsip NKRI, menerima pelimpahan wewenang urusan pemerintahan umum dari Pemerintah Pusat yang harus dilaksanakannya dalam konteks pembinaan dan pengawasan terhadap Kabupaten/Kota di wilayahnya. Provinsi sebagai Daerah Otonom yang juga sekaligus Wilayah Administrasi, sebagai wilayah kerja Gubernur adalah arena untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan kewenangan yang dilimpahkan kepadanya.
Berkaitan dengan itu, maka selain
sebagai Kepala Daerah Provinsi, Gubernur juga berfungsi sebagai Kepala Wilayah Administrasi dan sekaligus sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur selain pelaksana asas desentralisasi juga pelaksana asas dekonsentrasi. Pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi adalah: (a) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraaan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum; (b)
Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara;
(c)
Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;
(d)
Terpeliharanya keutuhan NKRI. Besaran dan isi dekonsentrasi harus mempunyai sifat dekat dengan
kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai upaya mempertahankan dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan wilayah NKRI. Disamping itu juga untuk meningkatkan pemberdayaan, menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas masyarakat serta kesadaran nasional. Oleh sebab itu Gubernur memegang peranan yang sangat penting sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4.1.4 Hubungan dalam Bidang Kepegawaian Hubungan dalam bidang kepegawaian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.22 Tahun 1999 menganut kebijakan yang mendorong pengembangan Otonomi Daerah sehingga kebijakan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
103
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kepegawaian di Daerah yang dilaksanakan oleh Daerah Otonom sesuai dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun pemberhentian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepegawaian Daerah secara khusus diatur dalam Pasal 75 sampai dengan 77 UU No.22 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak, dan kewajiban, serta kedudukan hukum PNS di Daerah dan PNS Daerah, ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. Daerah mempunyai kewenangan dalam hal: pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemindahan pegawai antar Daerah Provinsi atau antara Daerah Provinsi dan Pusat serta pemindahan pegawai Daerah antara Kabupaten/Kota dan Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi lainnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah. Pemerintah Wilayah Provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan kepegawaian antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi, diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. 4.1.5 Organisasi Pemerintah Provinsi a. Pemerintah Daerah Provinsi sebagai Badan Eksekutif Daerah Provinsi Pemerintah Daerah Provinsi sebagai badan eksekutif daerah )Provinsi terdiri dari Kepala Daerah beserta Perangkat Pemerintah Daerah lainnya. 1) Kepala Daerah Mengacu pada ketentuan Pasal 30 dan 31 UU No.22 Tahun 1999, setiap Daerah dipimpin oleh seseorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seseorang Wakil Kepala Daerah. Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah Pusat yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Dalam kedudukan sebagai
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
104
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
wakil Pemerintah Pusat, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. 2) Wakil Kepala Daerah Pengaturan tentang Wakil Kepala Daerah berdasarkan Pasal 56 dan 57 UU No.22 Tahun 1999, diantaranya menyatakan bahwa di setiap Daerah terdapat seorang Wakil Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk, bersamaan dengan pelantikan Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah Provinsi disebut Wakil Gubernur, yang mempunyai tugas : a) Membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan kewajibannya; b) Mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Daerah;dan c) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dan dapat melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah berhalangan. 3) Perangkat Daerah Berdasarkan ketentuan Pasal 60 sampai dengan 68 UU No.22 Tahun 1999, Perangkat Daerah terdiri dari Sekretaris Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan Daerah. Susunan organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah. Formasi dan persyaratan jabatan Perangkat Daerah ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang berlaku saat ini adalah PP No.8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Daerah. a) Pembentukan dan Kriteria Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Mengacu pada ketentuan Pasal 2 PP No.8 Tahun 2003, Organisasi Perangkat Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan :
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
105
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(1) Kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah; (2) Karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah; (3) Kemampuan keuangan Daerah; (4) Ketersediaan sumber daya Aparatur; (5) Pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau dengan pihak ketiga. Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam PP No.8 Tahun 2003 tersebut. Peraturan Daerah dimaksud menetapkan pembentukan, kedudukan, tugas, fungsi dan struktur Organisasi Perangkat Daerah, yang penjabarannya ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah. Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah didasarkan pada kriteria penataan Organisasi Perangkat Daerah, yang ditentukan berdasarkan faktor-faktor sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP No.8 Tahun 2003. b) Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kedudukan, tugas dan fungsi Perangkat Daerah Provinsi adalah sebagai berikut: (1) Sekretariat Daerah Provinsi Sekretariat
Daerah
Provinsi
merupakan
unsur
pembantu
pimpinan
Pemerintah Provinsi dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Lembaga ini mempunyai tugas membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan, administrasi, organisasi dan tata laksana serta memberikan pelayanan administrasi
kepada seluruh Perangkat Daerah
Provinsi. Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Sekretariat
Daerah
Provinsi
menyelenggarakan fungsi : •
Pengkoordinasian perumusan kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi;
•
Penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
•
Pengelolaan
sumber
daya
aparatur, keuangan, prasarana
dan
sarana
Pemerintahan Daerah Provinsi; •
Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
106
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(2) Dinas Daerah Provinsi Dinas Daerah Provinsi merupakan unsur pelaksana Pemerintah Provinsi dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Dalam melaksanakan tugasnya, Dinas Daerah Lembaga ini mempunyai tugas melaksanakan
kewenangan
desentralisasi
dan
dapat
ditugaskan
untuk
melaksanakan penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat dalam rangka dekonsentrasi. Tugas dekonsentrasi dimaksud dilaksanakan oleh Dinas yang bersesuaian. Provinsi menyelenggarakan fungsi: •
Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
•
Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum;
•
Pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup tugasnya. Dinas Daerah Provinsi sebanyak-banyaknya terdiri dari sepuluh Dinas. Perlu
dicatat bahwa terdapat pengecualian bagi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta jumlah dinasnya sebanyak-banyaknya terdiri dari empat belas Dinas. Untuk melaksanakan kewenangan Provinsi di Daerah Kabupaten/Kota dapat dibentuk Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah yang wilayah kerjanya meliputi 1 (satu) atau beberapa Daerah Kabupaten/Kota. Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah tersebut menyelenggarakan fungsi : •
Pelaksanaan kewenangan Provinsi yang masih ada di Kabupaten/Kota;
•
Pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pada Provinsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
•
Pelaksanaan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada Provinsi dalam rangka dekonsentrasi. Unit Pelaksana Teknis dimaksud merupakan bagian dari Dinas Daerah
Provinsi. (3) Lembaga Teknis Daerah Provinsi Lembaga Teknis Daerah Provinsi merupakan unsur pelaksana tugas tertentu, dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
107
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Lembaga ini mempunyai tugas melaksanakan tugas tertentu yang karena sifatnya tidak tercakup oleh Sekretariat Daerah dan Dinas Daerah dalam lingkup tugasnya. Tugas tertentu tersebut, meliputi bidang penelitian dan pengembangan, perencanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan dokumentasi, kependudukan, dan pelayanan kesehatan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Lembaga Teknis Daerah Provinsi menyelenggarakan fungsi: •
Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup tugasnya;
•
Penunjang penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Lembaga Teknis tersebut dapat berbentuk Badan, Kantor dan Rumah Sakit
Daerah, yang berjumlah sebanyak-banyaknya 8 (delapan). Pada Lembaga Teknis Daerah
Provinsi,
dapat
dibentuk
Unit
Pelaksana
Teknis
tertentu
untuk
melaksanakan sebagian tugas Lembaga Teknis Daerah dimaksud yang wilayah kerjanya dapat meliputi lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota. (4) Satuan Polisi Pamong Praja Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh seorang Kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Lembaga ini mempunyai tugas menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta untuk menegakkan Peraturan Daerah Provinsi. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
4.2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 4.2.1 Pemerintahan Daerah Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan bagian integral dari penyelenggaraan pemerintahan negara yang mencakup pula hubungan kerja dan koordinasi antara dan antar Aparatur Pemerintah Pusat dan Aparatur Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam NKRI tidak terlepas dari ketentuan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi. Dalam Pasal 18 UUD 1945 diatur tentang garis besar penyelenggaraan pemerintahan daerah. Demikian pula mengenai hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, keberadaan satuansatuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, serta
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
108
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya dapat disimak pada Pasal 18 A dan Pasal 18 B UUD 1945. Lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah ini, diatur berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 Daerah beserta peraturan pelaksanaanya. Undang-Undang dimaksud telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang, yang dalam uraian selanjutnya disebut sebagai UU No.32 Tahun 2004. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Artinya, pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula dilakukan penugasan oleh Pemerintah Daerah Provinsi ke Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Desa, atau penugasan dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ke Desa. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan
yang
menjadi
urusan
Pemerintah
Pusat,
dengan
tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dan daya saing daerah dalam sistem NKRI. Di sisi lain, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara
Daerah
dengan
Daerah
lainnya,
yang
berarti
mampu
membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara Daerah dengan Pemerintah Pusat demi tegaknya NKRI. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang
seluas-luasnya
disertai
dengan
pemberian
hak
dan
kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi
daerah,
pemerintahan
pemerintahan
memiliki
hubungan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
daerah dengan
dalam
menyelenggarakan
Pemerintah
Pusat
dan
urusan dengan
109
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pemerintahan daerah lainnya. Hubungan dimaksud meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya. Penyelenggaraan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya, dilaksanakan secara adil dan selaras. Sedangkan penyelenggaraan hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.Di samping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluasluasnya. Artinya, Daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan selain yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam UU No.32 Tahun 2004. Dalam hal ini, Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip di atas, dilaksanakan pula prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata mengandung arti bahwa pengelolaan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan prinsip otonomi yang bertanggungjawab mengandung arti bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi.
Di saat
bersamaan,
Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi pemberian peluang kemudahan, bantuan,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
110
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan
desentralisasi
mensyaratkan
pembagian
urusan
pemerintahan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah Otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran masih terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya atau tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan dimaksud menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. 4.2.2 Urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. a) Urusan Pemerintahan Pusat Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, meliputi bidang : (1) politik luar negeri; (2) pertahanan; (3) keamanan; (4) yustisi; (5) moneter dan fiskal nasional; dan (6) agama. Di samping
itu, terdapat bagian urusan Pemerintah Pusat yang bersifat
concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian, dalam setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, serta ada pula bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang
concurrent secara
proporsional antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota, disusun kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria dimaksud, terdiri atas : (1) Urusan wajib, yaitu urusan yang sangat mendasar berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warganegara, antara lain: perlindungan hak konstitusional;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
111
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan NKRI; dan pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh Pemerintah Pusa (2) Urusan pilihan, yaitu urusan yang secara nyata ada di Daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Dalam pelaksanaannya, urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah harus disertai pula dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Sedangkan, Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. b) Urusan Daerah Provinsi Urusan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi, meliputi Urusan Wajib dan Urusan yang Bersifat Pilihan. (1) Urusan wajib Daerah Provinsi sebagai Daerah Otonom dan Daerah Administratif merupakan urusan dalam skala Provinsi yang meliputi : (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (d) penyediaan sarana dan prasarana umum; (e) penanganan bidang kesehatan; (f) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi SDM potensial; (g) penanggulangan masalah sosial lintas Kabupaten/Kota; (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas Kabupaten/Kota; (i) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas Kabupaten/Kota; (j) pengendalian lingkungan hidup; (k) pelayanan pertanahan termasuk lintas Kabupaten/Kota; (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (m)pelayanan administrasi umum pemerintahan;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
112
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(n) pelayanan administrasi penanaman modal, termasuk lintas Kabupaten/Kota; (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota; dan (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. (2) Urusan pemerintahan Daerah Provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Daerah Provinsi yang bersangkutan. UU 32 Tahun 2004 pada pasal 11 menyebutkan: Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
memperhatikan
pemerintahan.Penyelenggaraan
keserasian urusan
hubungan
pemerintahan
antar
sebagaimana
susunan dimaksud
tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Selanjutnya pada pasal 13 diatur kewenangan wajib dan pilihan bagi Pemerintah Propinsi. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
(1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (3) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; (4) penyediaan sarana dan prasarana umum; (5) penanganan bidang kesehatan; (6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (7) penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; (8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (9) fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
(10) pengendalian lingkungan hidup; (11) pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
113
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(12) pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; (13) pelayanan administrasi umum pemerintahan; (14) pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
(16) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. UU 32/2004 ditetapkan sebagai perubahan atas UU 22/1999 yang sebelumnya merupakan dasar hukum pelaksanaan Otonomi Daerah. Kewenangan Pemerintah Propinsi pada UU 22/1999 adalah meliputi :
(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan
yang
bersifat
lintas
Kabupaten
dan
Kota,
serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
(2) Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah. Sedangkan Hubungan hirarki pemerintahan pada UU 22/1999 dijelaskan sebagai berikut: Dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah-daerah masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain Apabila melihat perubahan kebijakan dalam pengaturan kewenangan Pemerintah Propinsi maka ketentuan yang diatur dalam UU 32 Tahun 2004 memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Propinsi. Pemerintah Propinsi sebagai wakil dari Pemerintah Pusat dan koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di dalam propinsi tersebut.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
114
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
4.2.3 Organisasi Perangkat Pemerintah Daerah Provinsi Pada hakekatnya, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam kerangka sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Bentuk dan susunan pemerintahan daerah tersebut diatur berdasarkan UU No.32 Tahun 2004. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, yang berkedudukan sebagai Kepala Daerah; dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
1. Kepala Daerah Setiap Daerah dipimpin oleh Kepala Pemerintah Daerah yang disebut Kepala Daerah yang untuk Provinsi disebut Gubernur mempunyai tugas dan wewenang :
a) memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b) mengajukan Rancangan Perda (Raperda); c) menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d) menyusun dan mengajukan Raperda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e) mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g) melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Gubernur dibantu oleh seorang Wakil Gubernur, yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.Pengaturan tentang tugas dan tanggung jawab Wakil Gubernuradalah sebagai berikut :
a) membantu Kepala Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah; b) membantu Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
115
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c) memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten dan Kota bagi;
d) memberikan
saran
dan
pertimbangan
kepada
Kepala
Daerah
dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
e)
melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Kepala Daerah; dan
f)
melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila berhalangan. Dalam melaksanakan tugas di atas, Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab
kepada Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah menggantikan Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama enam bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. 2. Perangkat Pemerintah Daerah Perangkat Pemerintah Daerah Provinsi adalah sebagai berikut : a) Sekretariat Daerah; b) Sekretariat DPRD; c) Dinas Daerah; dan d) Lembaga Teknis Daerah. Mengacu pada uraian di atas, secara rinci dikemukakan beberapa hal sebagai berikut : a) Sekretariat Daerah Provinsi (1) Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah, yang mempunyai tugas dan kewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. Sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Apabila berhalangan, pelaksanaan tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. (2) Sekretaris Daerah diangkat dari PNS yang memenuhi persyaratan. Untuk Provinsi, Sekretaris Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Karena kedudukannya tersebut, Sekretaris Daerah menjadi Pembina PNS di daerahnya.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
116
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
b) Sekretariat DPRD Provinsi (1) Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD, yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dengan persetujuan
DPRD. Sekretaris DPRD
mempunyai tugas : (a) menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD; (b)
menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD;
(c)
mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan
(d)
menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Dalam hal ini, Sekretaris DPRD wajib meminta pertimbangan Pimpinan DPRD. Sekretaris
DPRD
dalam
melaksanakan
tugasnya,
secara
teknis
operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan DPRD, sedangkan secara administratif bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. b) Susunan organisasi Sekretariat DPRD ditetapkan dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah. c) Dinas Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. (1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah, yang dipimpin oleh Kepala Dinas yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah dari PNS yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah. (2) Kepala Dinas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. d) Lembaga Teknis Daerah Provinsi merupakan unsur pendukung tugas Kepala Daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik. Lembaga ini berbentuk badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah, dipimpin oleh Kepala yang diangkat oleh Kepala Daerah dari PNS yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah. Kepala Lembaga Teknis Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
4.2.4 Manajemen Kepegawaian Daerah Hubungan dalam bidang kepegawaian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 menganut
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
117
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kebijakan yang mendorong pengembangan otonomi daerah, sehingga kebijakan kepegawaian di Daerah yang dilaksanakan oleh Daerah Otonom dapat terselenggara sesuai dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun pemberhentian pegawai berdasarkan peraturan perundangundangan. Kepegawaian Daerah secara khusus diatur dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 135 UU No. 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak, dan kewajiban, serta kedudukan hukum PNS di Daerah dan PNS Daerah, ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Daerah mempunyai kewenangan dalam hal: pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemindahan pegawai antar Daerah Provinsi atau antara Daerah Provinsi dan Pusat serta pemindahan pegawai Daerah antara Kabupaten/Kota dan Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi lainnya ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah. Pemerintah Wilayah Provinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam UU 32 Tahun 2004 pada Pasal 129 Ayat (1) disebutkan : “Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara nasional” . Berdasar pada pasal tersebut maka manajemen kepegawaian daerah masih mengacu pada manajemen PNS secara nasional. Meskipun ada beberapa urusan yang bisa ditangani oleh Kepala Daerah tetapi tetap harus memperoleh pertimbangan dari Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). Misal : perpindahan PNS antar Kabupaten Kota baik dalam satu Propinsi maupun antar Propinsi dan penetapan formasi PNS Daerah setiap tahun anggaran dilaksanakan oleh Menpan atas usul Gubernur. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun UU tentang Pemerintahan Daerah
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
118
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
telah terbit tetapi belum tentu semua urusan bisa diserahkan langsung kepada daerah. Sebelum membahas secara mendalam tentang SDM Aparatur Daerah perlu kita ketahui beberapa hal yang mendasari pelaksanaan Otonomi Daerah. Sesuai dengan Pasal 2 Ayat (3) bahwa : “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah”. Salah satu tujuannya adalah pelayanan umum yang dilakukan oleh pihak pemberi
pelayanan
(pemerintah,
BUMD,
swasta)
kepada
klien/
penerima
pelayanan. Permasalahan yang kemudian muncul adalah, apakah pelayanan yang diberikan selama ini sudah memenuhi standar minimum pelayanan dan sesuai dengan keinginan masyarakat atau tidak. Momentum Otonomi Daerah ini bisa menjadi tonggak peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan kualitas di sini lebih pada pemenuhan standar pelayanan minimal dan adanya upaya bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Untuk dapat memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat, selayaknya perlu diketahui terlebih dahulu persoalanpersoalan yang dihadapi masyarakat. Pelayanan pelanggan dapat diartikan sebagai suatu sistem manajemen, diorganisir untuk menyediakan hubungan pelayanan yang berkesinambungan antara waktu pemesanan dan waktu barang atau jasa itu diterima dan digunakan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan/ harapan pelanggan dalam jangka panjang. Pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi
kepuasan
pelanggan.
Tujuan
dari
pelayanan
publik
adalah
memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan masyarakat/ pelanggan pada umumnya. Ada tiga level pembahasan dalam kerangka meningkatkan pelayanan publik. Pertama : Kebijakan, apakah kebijakan dalam pemberian pelayanan memang sudah benar-benar ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kedua : Kelembagaan, apakah lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemda sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau hanya berdasar pada kebutuhan eksistensi lembaga-lembaga di daerah agar tidak dilakukan likuidasi terhadap lembaganya, termasuk juga kepentingan-kepentingan politis yang sangat kental terutama ketika masuk dalam pembahasan di tingkat legislatif.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
119
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Ketiga : Sumber Daya Manusia (SDM), apakah SDM yang memberikan pelayanan juga memerlukan kecakapan-kecakapan tertentu, karena saat ini telah terjadi perubahan-perubahan di mana masyarakat juga memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik, maka birokrasi tidak bisa bertindak hanya berdasar pada perintah atasan, namun tuntutan masyarakat juga menjadi bagian penting. Berdasar
pada
hal
di
atas
Sumber
Daya
Manusia
sebagai
pelaksana/implementasi kebijakan yang menyangkut pelaksanaan pelayanan mempunyai peran sangat penting. Sebagai pelaksana dari kebijakan yang ada, SDM yang bertugas memberikan pelayanan dalam menerjemahkan kebijakan harus fleksibel, dalam arti bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, pelayanan yang berhubungan dengan masyarakat secara langsung harus bisa memenuhi harapan dan keinginan. Sesuai dengan tujuan penulisan ini maka SDM pelayanan yang harus dibahas lebih mendalam adalah SDM Aparatur yang ada di Propinsi, Kabupaten/ Kota sebagai pelayan masyarakat. Selanjutnya, pada Penjelasan Pasal demi Pasal, pada Pasal 2 Ayat (2) Huruf b disebutkan : ‘Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya”. PNS Daerah bekerja di daerah dan berkedudukan di daerah, meskipun ada PNS Daerah yang tinggal di Jakarta (Pusat Pemerintahan) yang mengurusi keperluan Daerah sebagai penghubung antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Kantor Penghubung). Jadi, sebagai salah satu unsur yang turut membangun pemerintahan daerah adalah aparatur pemerintah daerah. PNS Daerah/Aparatur Daerah mempunyai peranan yang besar dalam membangun daerahnya. Setelah UU 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terbit maka tanggungjawab pemerintah daerah demi mensukseskan daerahnya lebih besar. Hal ini ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi, tidak lagi sentralisasi. Permasalahan yang sering muncul adalah : Aparatur Daerah yang sebelum adanya UU tentang Pemerintahan Daerah muncul dalam bekerja lebih pada menerima “perintah” sekarang harus bisa mandiri dalam mengatur rumah tangganya sendiri karena adanya perubahan dari sentralisasi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
120
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
menjadi desentralisasi. Mandiri di sini lebih pada dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan. Melihat kondisi yang ada, pertanyaan yang kemudian muncul, apakah aparatur daerah siap dan mampu untuk
mengemban
tugas dan
tanggungjawab yang lebih besar dan berat. Apalagi segala sesuatu yang dilakukan harus melayani seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu, harus ada jalan keluar yang terbaik supaya aparatur daerah siap untuk melaksanakan tugas tersebut. Tiga pilar dilihat dari sisi SDM yang ikut mensuskseskan pembangunan daerah adalah : SDM Aparatur Pemerintah Daerah, Swasta, Masyarakat. Dalam menjalankan roda pemerintahan, SDM Aparatur Pemerintah Daerah memegang peranan penting sebagai penentu arah akan di bawa ke mana daerahnya. Oleh karena itu, SDM Aparatur dituntut kompeten sesuai dengan bidang tugasnya dan mempunyai tanggungjawab dalam menjalankan tugasnya. Tanggungjawab yang diemban Aparatur Daerah sangat berat dan mempunyai konsekuensi, karena sebagai pelaksana/implementasi kebijakan peraturan dari pusat dan daerah dalam menerjemahkan harus hati-hati dan harus berpijak pada kepentingan masyarakat. Artinya, tidak boleh mendahulukan kepentingan pribadi tetapi lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat secara umum.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
121
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
BAB V PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROVINSI
5.1 Identifikasi Tugas, Fungsi, dan Beban Kerja Pemerintah Provinsi Provinsi sebagai daerah otonom mempunyai tugas, fungsi, dan beban kerja pemerintah provinsi. Tugas, fungsi, dan beban kerja akan sangat tergantung pada garis yang telah ditetapkan pada peraturan yang berlaku, yakni kewenangan provinsi. Seperti pada pasal 9 Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa Kewenangan provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Semnetara itu kewenangan bidang tertentu adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Provinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian
lingkungan
hidup,
promosi
dagang
dan
budaya/pariwisata,
penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang provinsi. Selain
kewenangan
dalam
bidang
pemerintahan
yang
bersifat
lintas
Kabupaten/Kota dan pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, Provinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Kewenangan Kabupaten/Kota di bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh Propinsi dengan kesepakatan antar Kabupaten/Kota dan Propinsi. Ketentuan kewenangan tersebut, menurut persepsi dari aparatur pemerintah provinsi dipandang sebagai bentuk desaentralisasi yang sangat terbatas dan mengandung ketidakjelasan tugas yang harus diselesaikan oleh provinsi. Di samping itu, otoritas dan kontrol terhadap aset, kegiatan pelayanan publik, dan tugas lintas Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kabupaten kota seringkali mengalami hambatan dan kendala, karena memang tidak terdapat hubungan hirarki dengan kabupaten/kota. Di samping itu, provinsi mempunyai tugas yang harus dilaksanakan dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bagian dari penyelenggaraan otonomi, yakni dekonsentrasi. Dekonsentrasi ini merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. Sebagai wakil pemerintah pusat, pemerintah provinsi mempunyai tugas administratif tertentu yang didelegasikan oleh presiden kepada Gubernur. Sementara itu, pada Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 pada pasal 11 menyebutkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas,
akuntabilitas,
dan
efisiensi
dengan
memperhatikan
keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Selanjutnya pada pasal 13 diatur kewenangan wajib dan pilihan bagi Pemerintah Provinsi. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: (1)
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
(2)
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
(3)
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
(4)
penyediaan sarana dan prasarana umum;
(5)
penanganan bidang kesehatan;
(6)
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
(7)
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
(8)
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
(9)
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
(10)
pengendalian lingkungan hidup;
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
123
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(11)
pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
(12)
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
(13)
pelayanan administrasi umum pemerintahan;
(14)
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
(15)
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
(16)
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. UU 32/2004 ditetapkan sebagai perubahan atas UU 22/1999 yang sebelumnya merupakan dasar hukum pelaksanaan Otonomi Daerah. Kewenangan Pemerintah Provinsi pada UU 22/1999 adalah meliputi : (1)
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan
yang
bersifat
lintas
Kabupaten
dan
Kota,
serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya, termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. (2)
Kewenangan Provinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Sedangkan Hubungan hirarki pemerintahan pada UU 22/1999 dijelaskan sebagai berikut: dalam rangka Pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah-daerah masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain
Berdasarkan uraian singkat di atas, Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan provinsi mempunyai status dan peran ganda, yakni sebagai kepala daerah sekaligus wakil pemerintah pusat. Dengan status ganda inilah, gubernur berperan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
124
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
melaksanakan otonomi daerah pada tingkat provinsi sekaligus mewakili presiden di daerah untuk menjamin agar visi dan misi pemerintah dapat dilaksanakan hingga level pemerintahan paling bawah. Peran yang diemban gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, terutama terkait tugas-tugas pemerintahan umum seperti menjamin
stabilitas,
integrasi
nasional,
koordinasi
pemerintahan
dan
pembangunan, serta pengawasan penyelenggaraan pemerinrahan daerah yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 32 tahun 2004
tentang
pemerintahan
Daerah,
gubernur
sebagai
kepala
daerah
menyelenggarakan otonomi daerah yang terbatas, yakni urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota dan yang tidak dapat diselenggarakan oleh kabupaten/kota. Dalam paraktek penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan UndangUndang nomor 22 tahun 1999, status dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
mengalami
distorsi
karena
dalam
Pasal
4
Ayat
(2)
disebutkan,
kabupaten/kota sebagai daerah otonom tidak memiliki hirarki dengan provensi sebagai daerah otonom. Pemutusan hirarki antara provinsi dan kabupaten/kota dalam kapasitasnya sebagai daerah otonom menimbulkan implikasi mendalam, karena dalam praktek para bupati/wali kota tidak dapat tidak dapat memisahkan antara fungsi gubernur dengan sebagai kepala daerah otonomi dan sebagai wakil pemerintah pusat. Kondisi ini menurut staf atau aparatur pemerintah daerah mengakibatkan bahawa penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
terjadi
fragmented
administration
(administrasi yang terfrgamnetasi) dan uncoordinated development (pembangunan yang tidak terkoordinasi). Para bupati dan walikota lupa bahwa dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur tetap berwenang melakukan pengawasan
dan
koordinasi
terhadap
pelaksanaan
kewenangan
oleh
kabupaten/kota. Tidak mengherankan jika visi, misi, dan strategi pembangunan di tingkat nasional tidak dapat dicapai pada tingkat kabupaten/kota. Sebaliknya, sector-sektor di tingkat pusat (departemen dan lembaga pemerintah non departemen tidak memiliki lagi kantor di tingkat kabupaten/kota. Akumulasi lemahnya peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan ketiadaan kantor
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
125
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
departemen ternyata memberikan kontribusi terjadinya masalah nasional, seperti bususng lapar, polio, kelangkaan pupuk, serta buruknya kualitas pendidikan dan kesehatan. Di samping itu, karena urusan yang diserahkan kepada provinsi menurut peraturan
yang
berlaku
merupakan
urusan
lokalitas,
yang
seharusnya
diselenggarakan oleh kabupaten/kota. Untuk itu ke depan perlu diberikan penguatan kelembagaan bagi gubernur dengan tujuan agar pelaksanaan pemerintahan sebagai wakil pemerintah pusat dapat berjalan dengan baik. Peran gubernur lebih pada pengawasan dan koordinasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Dampak dari penguatan peran gubernur ini akan menghilangkan status otonomi penyelenggaraan pemerintahan provinsi dan wilayah provinsi tentunya hanya akan menjadi wilayah administrasi saja. Namun upaya penghilangan status otonomi ini akan memberikan implikasi yang besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan baik pada level provinsi maupun kabupaten. Bagi provinsi, akan memudahkan untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sebagai wakil pemerintah pusat dan gubernur akan memiliki wewenang yang kuat dalam penyelenggaraan pembangunan kabupaten/kota. Sedangkan bagi kabupaten/kota dapat menyelenggarakan otonomi daerah dan focus pada upaya untuk meningkatkan pelayanan publik dalam rangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, bupati dan walikota sudah barang tentu akan tunduk pada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
5.2
Identifikasi
Permasalahan
Pengelolaan
Aparatur
Pemerintah
Daerah
Provinsi Akibat Perubahan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 menjadi Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 Diberlakukakannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-Undang nomor 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah membawa angin perubahan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah provinsi. Kelemahan-kelemahan pengaturan kepegawaian daerah provinsi telah diakomodasi dalam undang-undang baru. Namun, bukan berarti permasalahan aparatur dapat segera dapat diselesaikan secara cepat. Dari hasil FGD dengan aparatur pemerintah
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
126
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
provinsi di lokasi studi, yakni provinsi DIY, provinsi Banten, provinsi Kepulauan Riau, provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dan provinsi Sumatera Utara diuraikan di bawah ini. Yang perlu digarisbawahi dalam hasil pengumpulan data ini adalah berdasarkan pada persepsi aparatur pemerintah daerah provinsi sebagai informan yang terlibat dalam FGD, yakni masing-masing provinsi diwakili oleh 5 SKPD diantaranya adalah Biro Organsiasi, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perkim, Bappeda.
Dipilihnya SKPD ini, karena pertimbangan bahwa SKPD
mempunyai keterkaitan dengan peran provinsi untuk melaksanakan tugas yang bersifat lintas kabupaten/kota. 1.
Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta
Secara umum perubahan dari UU no 22 tahun 1999 ke UU no 32 tahun 2004 menimbulkan hal yang positif dalam arti penyelerasan kebijakan kepegawaian di daerah dan Pusat. Pengelolaan kepegawaian tidak bersifat ekslusif kedaerahan. Sayangnya UU no 32 tahun 2004 tidak disertai dengan peraturan pelaksananya yang secara tegas memberi kewenangan hirarkis bagi provinsi sehingga dapat memberikan
sangsi
bila
diperlukan
jika
ternyata
kabupaten/kota
yang
dikoordinirnya melakukan pelanggaran dalam hal kepegawian. Dengan keterbatasan kewenangan Provinsi dalam koordinasi kepegawaian antar Kabupaten/Kota, provinsi tidak dapat berbuat banyak dalam masalah distribusi pegawai negeri sipil daerah baik antar kabupaten/kota tetapi juga antara provinsi dan kabupateb/kota. Dahulu pada masa UU no 5 tahun 1974 provinsi diberikan wewenang untuk mengatur pembagian SDM di Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan. Hal ini sekarang tidak lagi dapat dilakukan karena provinsi dan kabupaten tidak lagi bersifat hirarkis. Bagi provinsi DIY hal ini menjadi masalah tersendiri ketika tahun 2000 harus menerima pelimpahan pegawai dari berbagai Kanwil sebagai konsekuensi kebijakan UU no 22 tahun 1999. Para pegawai pusat dengan berbagai jenis latar belakang pendidikan dan pengalaman mau tidak mau harus ditampung dalam organisasi provinsi. Sementara itu dengan kelebihan tersebut provinsi tidak dapat menyalurkannya ke Kabupaten. Kelebihan pegawai ini menimbulkan masalah dalam hal pembinaannya. Oleh sebab itu saat ini di lingkungan Provinsi DIY meskipun dirasakan sudah kelebihan pegawai namun justru terasa kurang tenaga untuk menyelesaikan beban kerja sehingga hari kerja masih 6 hari. Keadaan ini disebabkan oleh pengetahuan dan keterampilan pegawai yang bersifat umum untuk
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
127
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
menangani hal hal yang bersifat manual administratif. Sementara itu dengan kebijakan Bapak Gubernur yang menginginkan provinsi menekankan pada peran steering, ungkapan yang dipakai dalam visi DIY, sangat memerlukan dukungan kompetensi khusus yang bersifat analitis atau konseptual dan spesifik. Diakui bahwa kelemahan dalam bidang kepegawaian saat ini banyak disebabkan oleh paradigma pengelolaan kepegawaian yang masih berorientasi pada peraturan, bukan kebutuhan riil organisasi. Dengan sistem kebijakan kepegawaian yang diatur menurut UU no
32 tahun 2004 pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam
menetapkan norma standard yang harus diikuti oleh daerah. Namun sayangnya peraturan peraturan tersebut seringkali berubah ubah dan tidak jelas. Mestinya pemerinta pusat mendelegasikan kewenangan lebih besar kepada provinsi untuk menetapkan peraturan pelaksanaan kebijakan kepegawaian terutama dalam bidang pengawasan dan pembinaan kepegawaian di kabupaten/kota yang berada dalam wilayahnya. Formasi Orientasi kepada peraturan tersebut menghambat proses perencanaan yang rasional di daerah. Penetapan formasi pegawai hanya didasarkan pada ketentuan pemerintah pusat, sedangkan di daerah sendiri keputusan untuk mengisi formasi itu sendiri didasarkan hanya perkiraan saja tanpa ada prakiraan beban kerja dan pemahaman yang akurat tentang jenis kompetensi yang dibutuhkan. Disamping itu terdapat kesan bahwa UU no 32 tahun 2004 memberikan dasar bagi pusat untuk melakukan intervensi dan kontrol yang terlalu besar dalam urusan formasi. Pemerintah pusat sendiri formasi sebagai bagian dari perencanaan pegawai selama ini lebih banyak berorientasi pada ketersediaan anggaran pemerintah. Padahal mestinya pegawai adalah sumber daya yang harus dipertimbangkan pertama kali sebelum sumber daya keuangan. Di tingkat daerah sendiri, tidakrasionalnya formasi disebabkan oleh adanya pegawai pegawai titipan yang harus ditampung. Untuk menolak pegawai semacam ini sullit dilakukan karena biasanya mereka sudah dipersenjatai dengan SK Gubernur. Beberapa jenis pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, kebijakan formasi dihadapkan pada masalah khusus dalam pengisian formasi jabatan. Banyak
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
128
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kandidat menolak untuk ditempatkan di daerah pelosok karena tidak disertai dengan tunjangan jabatan yang memperhitungkan masalah resiko ketidaknyamanan pelaksanaan pekerjaan. Untuk mengatasi jumlah pegawai yang naik turun, dan berbagai tingkat kesulitan dalam pengadaan pegawai negeri maka sebaiknya perlu direkrut pegawai dengan sistem kontrak dengan kompetensi yang jelas dan diberikan imbalan yang memadai. Untuk efisiensi penggunaan pegawai perlu dipertimbangkan pengembangan pemanfaatan teknologi terutama di bidang otomatisasi dan informatika. Dengan cara ini maka pegawai tidak perlu banyak banyak sehingga para pegawai dapat diberikan tunjangan yang memadai. Rekrutmen Penerapan UU no 32 tahun 2004 menciptakan masalah kepegawaian bagi daerah terutama terkait dengan kebutuhan spesifik daerah dalam rekrutmen pegawai. Sejak tahun 2005, tahapan dan mekanisme perekrutan yang ada setelah otonomi hanya satu tahap dan ditentukan oleh Pusat. Sebaiknya ada perubahan mekanisme, daerah diberi kewenangan untuk menyaring lagi personil yang sudah lulus tes, missal 10 besarnya saja atau hasil tes bisa diolah sendiri oleh pemerintah daerah. Dengan adanya kebebasan daerah untuk menambah tahapan seleksi akan memudahkan daerah memperoleh pegawai sesuai dengan kompetensinya. Karena penilaian kompetensi hanya berdasarkan kualifikasi pendidikan dan tes pengetahuan umum, maka dimensi kompetensi teknis, sosial dan etika yang terkait dengan perilaku tidak tampak. Dari hasil rekruitmen sering terjadi disiplin ilmu kandidat sudah sesuai tapi perilakunya kurang baik. Hal ini karena kewenangan daerah untuk menentukan pegawainya sendiri kurang. Pola karir Mutasi pada era perubahan ke UU 32 TAHUN 2004 sangat berbelit dan lama, terutama untuk memindahkan atau menerima pegawai dari daerah lain. Untuk merotasi pegawai Pemprop DIY telah melakukan persiapan staf terkait dengan jenjang karier. Permasalahan dalam mutasi apabila ada pegawai yang dikirim belajar ketika pulang dipindah ke bagian lain sehingga tidak dapat berfungsi sesuai yang diharapkan, dan sertifikat belajarnya sering jadi tidak terpakai. Permasalahan lain terkadang ada pihak yang tidak mau dimutasi apabila sudah berada pada
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
129
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
wilayah yang dianggap ‘basah’ seperti BPKD Banyak orang-orang pintar di Provinsi tapi kemampuannya tidak tersalurkan karena posisi jabatan terbatas dan untuk mutasi terhambat. Untuk menjamin adanya pola karir yang berasas meritokrasi saat ini DIY telah menyusun draft poal dasar karir. Namun karena hingga kini keppres turunan PP 101 tahun 2000 belum kunjung dibuat maka konsep perda pola dasar karir tersebut ini masih disimpan di Biro Hukum. Belum terbitnya keppres pola dasar karir tersebut menunjukkan adanya ketidakseriusan pusat dalam menata masalah kepegawaian. Masalah masalah kepegeawaian di daerah pada dasarnya lebih banyak disebabkan oleh kebijakan pusat yang tidak jelas. Dalam pengembangan karir di Provinsi DIY ada perbedaan tertentu pada tingkatan dan jabatan
tertentu. Khusus untuk Eselon 2 rekruitmen dilakukan dengan uji
kompetensi oleh assessment center. Latar belakang pendidikan, pengalaman dan etika telah menjadi standar kompetensi. Dengan jumlah pegawai yang dirasakan berlebihan saat ini, DIY memanfaatkan penerapan PP 41 tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah untuk “menyaring” pejabat yang ada melalui fit dan proper test, sehingga akan tinggal 40% saja yang menduduki jabatan karena jumlah jabatan yang menjadi berkurang. Remunerasi Dengan otonomi daerah kebijakan remunerasi tidak mengalami perbaikan signifikan untuk mendukung perbaikan motivasi kerja dan profesionalisme pegawai. Bahkan untuk DIY, otonomi menciptakan kebijakan yang tidak menguntungkan pegawai. Misalnya banyak uang yang sifatnya insidentil seperti uang sidang sekarang sudah tidak ada, karena tidak diperbolehkan. Mestinya hal ini dilakukan dengan kompensasi perbaikan dalam tunjangan pegawai yang disesuaikan dengan prestasi kerja dan beban kerja. Dalam rangka menilai secara obyektif beban kerja pegawai, saat ini Biro Organisasi dan Biro kepegawaian sedang menyusun analisis beban kerja, kinerja dan jabatan, tujuannya untuk penempatan pegawai secara efisien dan efektif sesuai kompetensinya termasuk jumlah yang dibutuhkan. Hasilnya nanti dipakai untuk menetukan sistem reward and punishment pegawai yang lebih rasional.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
130
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Penegakan Disiplin dan Etika Pegawai Penegakan disiplin secara langsung kurang signifikan memberikan dampak perbaikan
sikap. Pegawai
negeri cenderung merasa
aman
karena proses
penerimaan hukuman berlangsung lama. Proses yang terlalu lama menjadikan oknum merasa tidak bersalah, proses pemecatan juga sangat sulit, terkadang memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. PP 30 jelas mengatur hak dan kewajiban pegawai tapi tidak pernah dibaca pegawai, disamping itu ada PP tentang kode etik, dari isi kedua peraturan ada banyak hal yang bertentangan. PP 30 untuk umum PP
sedangkan PP yang lain
mengatur secara instansional. Keduanya memuat sanksi moral dan administrasi masing-masing instansi karena mempunyai tugas dan fungsi berbeda, kode etik mestinya dirumuskan sesuai karakteristik tiap instansi secara spesifik.
2.
Provinsi Banten
Dalam kebijakan kepegawaian pemerintah provinsi Banten banyak mendapat tekanan dari masyarakat. Oleh karenanya pemerintah Provinsi menjadi berhati-hati dan
transparan dalam penentuan kebijakan kepegawaian. Dengan tuntutan
pelaksanaan tugas tugas otonomi daerah, sebagai provinsi muda Banten mengalami kelebihan pegawai di beberapa SKPD dan kekurangan pegawai di tempat yang lain. Ketidakmerataan ini disebabkan karena beban kerja yang tidak sama di tiap SKPD. Perspesi atas kelebihan pegawai tersebut banyak disebabkan kesulitan dalam menerjemahkan fungsi koordinasi yang harus dilakukan provinsi karena peraturan pelaksanaan pembagian urusan turunan UU no 32 tahun 2004 belum dapat dijalankan. Dalam bidang pengelolaan kepegawaian, peran koordinasi yang harus dilakukan oleh provinsi sangat sulit dilakukan karena kerumitan berurusan dengan pemerintah pusat. Berbeda dengan masa lalu dimana urusan kepegawaian jelas berada di tangan BKN saat ini pemerintah provinsi merasa ada dua induk yang harus dihubungi untuk masalah kepegawaian yaitu BKN dan Depdagri. Keadaan ini sering menciptakan ketidakpastian dalam pengelolaan kepegawaian.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
131
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Peralihan dari UU no22 tahun 1999 ke UU no 32 tahun 2004 menggambarkan adanya penguatan kontrol pemerintah pusat dalam penyelengggaraan pemerintahan daerah. Hal ini memiliki sisi positif dalam arti menciptakan keselarasan dalam manajemen kepegawaian. Namun tanpat dukungan kebijakan pusat yang jelas dan pendelegasian kewenangan kepada provinsi yang memadai, maka sekarang ini provinsi seolah dalam posisi “tergencet” antara pusat dan kabupaten/kota. Provinsi diharapkan mampu berperan terutama dalam hal koordinasi dan pembinaan (pasal 135 uu no 32 tahun 2004) kepegawaian tetapi pusat memiliki kebijakan yang tidak jelas. Sedangkan disisi lain, kabupaten/kota bertindak leluasa untuk melanggar peraturan kepegawaian.
Formasi dan rekrutmen Jumlah pegawai dirasakan kurang tetapi banyak jabatan. Satu eselon 4 idealnya membawahi 4 staf sedangkan di Banten saat ini baru membawahi 2 staf. Karena tekanan dari kelompok kelompok masyarakat Banten dalam urusan kepegawaian, penetapan formasi dan rekrutmen dilakukan setransparan mungkin. Dalam rekrutmen telah dilakukan kerjasama dengan pihak ketiga untuk menjaga agar ada penilaian yang obyektif.
Untuk penetapan formasi, saat ini kebijakan pusat
sebagaimana diatur dalam UU no 2004 dianggap menghambat otonomi daerah. Formasi jabatan seolah “dijatah” oleh MENPAN tanpa melihat kebutuhan yang ada didaerah. Mestinya pemerintah pusat hanya memberikan pedoman dan system audit pegawai untuk melihat apakah formasi dilakukan dengan asas efisiensi dan efektifitas
sesuai
kebutuhan
dan
kemampuan
pegawai.
Mestinya
urusan
pengendalian dalam formasi cukup dilakukan oleh Depdagri saja atau BKN, karena MENPAN seharusnya focus kepada masalah strategis yaitu mengkoordinir reformasi kebijakan kebijakan bidang kepegawaian yang saat ini masih banyak bermasalah. Pola karir dan Mutasi UU no 32 tahun 2004 menciptakan masalah dalam hal mutasi dan karir. Dalam UU kepegawaian disebutkan adanya system terbuka dimana perpindahan antar daerah dimungkinkan dalam rangka memenuhi pemerataan kebutuhan pegawai. Namun kenyataannya hal ini sangat sulit dilakukan. Perpindahan antara kabupaten/kota satu ke tempat yang lain sangat sulit dilakukan apalagi antar provinsi. Masalah
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
132
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
mutasi antar daerah ini menggambarkan lemahnya posisi provinsi dalam hal koordinasi pengelolaan kepegawaian daerah. Ketidakmampuan provinsi ini juga disebabkan oleh konteks era otonomi dimana politisasi birokrasi sangat menonjol. Provinsi tidak dapat berbuat banyak jika setiap selesai pilkada selalu terjadi penggusuran pejabat karir di kabupaten/kota. Banyak pejabat karir yang di non jobkan karena dianggap tidak senafas dengan kepala daerah yang baru. Sebaliknya tim sukses kepala daerah Bupati/walikota baru akan menduduki posisi posisi kunci. Semua ini merupakan kewenanagn Bupati/walikota. Bagi provinsi sendiri masalah ini juga selalu terjadi. Untuk membangun system karir yang berdasar meritokrasi sebagaimana yang dikehendaki UU no 32 tahun 2004 Banten telah menyiapkan pola dasar karir. Bahkan saat ini Banten telah memiliki standard kompetensi jabatan yang dikuatkan dengan perda. Disamping itu sebagai salah
satu sarana penunjang system karir yang obyektif tengah dipersiapkan
assessment center. Berbeda dengan yogya, Banten sudah punya assessor tetapi belum punya prasarananya. Namun kembali kendala utama untuk mewujudkan system karir yang jelas adalah ketidakjelasan kebijakan pemerinta pusat. Saat ini keppres tentang pola dasar karir sebagaimana dijanjikan oleh PP 100 tahun 2000 belum juga dibuat. Remunerasi Berbeda dengan masa lalu dimana gaji dan tunjangan dipegang pusat, saat ini Kabupaten/kota menguasai sumber daya keuangan untuk gaji dan tunjangan pegawai daerah
sehingga tidak pernah merasa takut bila melanggar ketentuan
kepegawaian akan diberi sangsi berupa tidak diberikannya gaji atau tunjangan. Jika pusat saja tidak mampu berbuat apa apa terhadap pelanggaran pegawai, provinsi juga dihadapkan masalah yang sama. Provinsi dan kabupaten yang memiliki kedudukan yang sama seolah berjalan sendiri sendiri. Dalam hal remunerasi masih dikenal istilah tempat basah dan kering. Penghasilan tambahan sayangnya tidak terkait dengan prestasi kerja, tetapi lebih banyak terkait dengan proyek yang dikelola sehingga setiap orang berorientasi untuk mengejar proyek. Orientasi ini tentu saja sangat merugikan pelayanan kepada masyarakat dan profesionalisme pegawai karena yang dikejar adalah banyaknya
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
133
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
proyek. Sudah saatnya pemerintah menciptakan kebijakan system remunerasi yang dikaitkan dengan tingkat kinerja terutama pelayanan. Tanpa ini maka otonomi daerah tidak akan membawa perubahan positif terhadap perbaikan pelayanan kepada masyarakat.
3.
Provinsi Bangka Belitung
Permasalahan utama dalam menajamen kepegawaian di Babel adalah kurangnya pegawai terutama dari segi kuantitas dan kualitas. Hal ini berakibat pada penempatan pegawai terutama dalam jabatan struktural yang tidak sesuai dengan kualifikasi jabatan yang dituntut oleh peraturan perundangan. Kelemahan tersebut terutama sangat kentara di tingkat Kabupaten/Kota pemekaran. Sebagai misal terdapat kasus dimana jabatan eselon III dijabat oleh seorang Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Keadaan di babel mungkin menggambarkan suatu paradoks dari kepegawaian daerah di Indonesia. Di satu sisi banyak kritik dimana pegawai pemerintah banyak menganggur dan memanfaatkan waktu kerja untuk melakukan hal hal yang tidak terkait bidang pekerjaannya. Namun disisi lain pemerintah daerah sendiri merasa kekurangan pegawai dalam menjalankan fungsi fungsi organisasi. Menurut sumber yang diperoleh dari FGD, keadaan paradoks tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara tenaga administratif dan tenaga teknis fungsional. Apa yang disebut dengan tenaga administratif tersebut pada dasarnya adalah tenaga fungsional umum. Ketidakseimbangan ini terutama dirasakan di unit unit teknis di lingkungan pemerintahan provinsi. Di Dinas Kesehatan misalnya, kekuarangan tenaga medis dan para medis dirasakan sangat menganggu kelancaran pelayanan bidang kesehatan. Karena kekuarangan tersebut, pihak Dinas kesehatan sangat berharap adanya dokter PTT dari pusat. Namun demikian harapan tersebut sulit untuk dipenuhi karena banyak dokter PTT yang enggan untuk ditugaskan ke Babel karena alasan tingginya biaya hidup di Babel.
Tunjangan yang diberikan
kepada dokter PTT dirasa jauh dari standar hidup layak. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga fungsional teknis dengan kompetensi khusus Biro Kepegawaian bekerjasama dengan BKN telah berusaha mengidentifikasi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
134
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kebutuhan tenaga fungsional yang diperlukan oleh provinsi Babel. Namun demikian dalam pengadaannya pemerintah provinsi dihadapkan pada kendala utama yaitu masalah pendidikan khusus untuk mendidik tenaga fungsional teknis. Kedua adalah kendala budaya dimana sebagian besar pegawai masih berorientasi pada jabatan struktural. Jabatan teknis fungsional dianggap sebagai jabatan ”kelas dua” yang kurang bergensi dan kurang menguntungkan secara finansial. Hal ini dapat dimengerti karena kenyataan jabatan fungsional, di luar dokter, memiliki tunjangan jabatan yang kecil. Bagi Babel yang memiliki tingkat biaya hidup relatif tinggi, kecilnya tunjangan tersebut merupakan menjadi alasan yang paling signfikan. Orientasi kepada jabatan struktural tersebut merupakan ancaman potensial untuk jenis pelayanan tertentu. Misalnya dalam bidang pelayanan pendidikan, semenjak pemekaran terjadi migrasi cukup signifikan dari para guru ke dalam jabatan struktural di birokrasi pemerintah daerah. Hal ini terutama dilakukan oleh para guru senior golongan IVa. Keadaan ini sulit dibendung terutama karena kenyataan pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota memang sedang menghadapi kekurangan pegawai untuk menduduki jabatan jabatan struktural. Namun demikian jika hal ini dibiarkan maka penyelenggaraan pelayanan pendidikan akan dapat terancam. Kekurangan pegawai tersebut sementara ini belum dapat dipenuhi karena pengisian formasi masih jauh dari yang dibutuhkan. Dari usulan tahun 2006 yang dapat dipenuhi hanya sekitar sepuluh persen. Sebagaimana diketahui pengisian formasi selama ini ditetapkan berdasarkan ketersediaan anggaran dari pemerintah. Padahal untuk daerah pemekaran seperti Babel sangat membutuhkan pengadaan pegawai ekstra untuk mengejar ketertinggalannya. Namun selama ini tidak ada kebijakan khusus dari pemerintah dalam hal pengadaan pegawai bagi daerah pemekaran. Jabatan struktural yang belum terisi sementara ini adalah sebagai berikut : Tabel 5.1 Kekuarangan Jabatan Struktural No
Jabatan
Kekurangan
1
Eselon I
0
2
Eselon II
1
3
Eselon III
22
4
Eselon IV
24
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
135
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambaran tersebut di samping menunjukkan urgensi kekurangan pegawai di babel. Kekurangan tersebut dapat disebabkan oleh dua alasan. Pertama adalah alasan obyektif dan teknis. Alasan yang pertama disebabkan oleh ketidaksesuaian antara formasi jabatan dan pegawai yang memenuhi kualifikasi jabatan. Alasan yang kedua dapat disebabkan oleh desain organisasi yang terlalu besar yang tidak disesuaikan dengan kemampuan dalam supply kepegawaian. Sebagaimana kita ketahui desain organisasi yang ditetapkan menurut PP no 38 tahun 2003 telah mendorong pemerintah daerah untuk membuat struktur organisasi dengan pola maksimal. Di lihat dari kebutuhan yang ada hal ini mungkin dapat dibenarkan. Tetapi tentu saja kebutuhan tersebut juga harus diimbangi dengan kemampuan yang tersedia. Kekurangan pegawai tersebut dapat saja diatasi jika pemerintah provinsi Babel menerapkan prinsip pengembangan organisasi incremental. Artinya dimulai dengan pola minimal sesuai dengan kemampuan yang ada. Desain organisasi
secara
gradual
dapat
dikembangkan
sesuai
dengan
tuntutan
perkembangan tugas riil yang bukan potensial yang harus ditangani. Faktor kedua yang menjadi penyebab persepsi mengenai kurangnya pegawai dikarenakan oleh pola pengorganisasian tugas yang belum optimal. Kekurangan tenaga fungsional teknis juga sangat dirasakan oleh Dinas Pendidikan. Dengan permasalahan yang sedikit berbeda, Dinas tersebut dihadapkan pada ancaman migrasi dari para guru ke dalam birokrasi. Guru guru senior memilih hijrah ke birokrasi karena dua sebab. Pertama untuk golongan IVa mengalami kesulitan kenaikan pangkat karena harus menulis paper ilmiah. Kedua adalah kekosongan di birokrasi akan tenaga terampil. Perpindahan guru ini akan mengancam mutu pendidikan di daerah dan kekacauan di tubuh birokrasi sendiri. Para guru yang tidak pernah melakukan tugas tugas manajerial dan mengenal administrasi penyelenggaraan pemerintahan tetapi mendapatkan kedudukan jabatan struktiural mengalami kesulitan untuk menjalankan tugasnya dalam birokrasi. Guna merangsang motivasi pegawai, provinsi Babel merancang sistem remunerasi yang disesuaikan dengan jabatannya. Tunjangan jabatan sesuai dengan Golongan,
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
136
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
seperti golongan III 650 Ribu, golongan II 500 ribu, eselon I sebesar 5 juta dan eselon II 3,5 juta. Namun tunjangan ini bisa dikurangi atau dihapus bila absennya lebih dari 10 hari kerja. Disamping itu sistem karir pegawai juga sedang disusun. Hal ini dilakukan disamping itu memacu motivasi kerja juga menjamin sistem karir yang obyektif. Setiap pilkada selalu ada pejabat yang di non jobkan bukan karena kesalahannya tetapi selera pimpinan. Semestinya para pejabat politik diberikan hak untuk merekrut staff khusus sehingga tidak perlu mencampuri terlalu dalam urusan karir dalam birokrasi. Dalam rangka membangun sistem kepegewaian daerah yang baik diperlukan adanya dukungan kebijakan pemerintah pusat yang jelas. Sayangnya hal ini masih jauh dari harapan. Depdgari, BKN, LAN dan MENPAN seolah olah memiliki kebijakan sendiri sendiri yang tidak harmonis. Demikian juga dengan instansi pemerintah yang lain. Setiap kali mereka menerbitkan kebijakan kebijakan yang seolah tumpang tindih dan tidak ada koordinasi satu sama lain.
4.
Provinsi Kepulauan Riau
Kendala umum dalam manajemen kepegawaian adalah bahwa dengan adanya UU 32 tahun 2004 ada satu langkah tambahan, semua musti lewat Depdagri. Dalam UU 22 tahun 1999 urusan kepegawaian cukup melalui Menpan dan BKN. Hal ini juga menjadi indikasi seolah Pemda adalah bawahan Depdagri. Jika pemprop meminta pegawai salah satu Departemen/LPND untuk pindah ke KEPPRI, maka hal ini harus dilakukan melalui fit & proper test di Depdagri. Hal ini seringkali tidak sesuai dengan standard yang dibutuhkan padahal yang mengetahui kebutuhan sebenarnya adalah provinsi. Pelaksanaan wewenang Depdagri seringkali dirasakan hanya menambah panjang birokrasi dan biaya. Pemerintah Provinsi KEPPRI mengharapkan adanya penyederhaanaan fungsi koordinasi yang dilaksanakan oleh Depdagri sehingga pelaksanaan otonomi khususnya bagi daerah yang baru dapat terlaksana secara cepat dan efisien. Formasi Sebelum setiap SKPD menyusun formasi, didahului dengan bimtek yang dilakukan oleh MENPAN, BKN dsb mengenai apa formasi, bagaimana menyusun, bagaimana menghitung beban kerja. Setelah itu kemudian SKPD ditugaskan untuk menyusun
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
137
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
usulan, dikoordinasikan dengan BKD dan disusun. Sayangnya kebijakan formasi dari Menpan tidak mendukung pemenuhan kebutuhan riil daerah. Provinsi yang jumlah pegawainya banyak mendapat tambahan pegawai sama dengan Kepri yang pegawainya hanya 1000 yang bekerja sampai 7 hari dalam seminggu. Budget 1,5 trilyun ditambah APBN hampir mencapai 2 trilyun
dirasa kurang adil jika
disamakan dengan daerah lainnya yang memiliki banyak pegawai seperti Jawa tengah dan Jawa Timur. Pemerintah KEPPRI juga menganggap bahwa kebijakan formasi di pusat belum berjalan secara obyektif karena masih banyak “kompromi di balik pintu”.
Rekruitmen Rekruitmen diserahkan pemprop menangani sampai Kab/kota. Prop menyiapkan bahan seleksi sesuai formasi yang telah ditetapkan. Kendalanya adalah luas wilayah kabupaten yang dilayani untuk sampainya materi ujian tepat waktu sulit karena sangat jauh, pemenuhan waktu sesuai jadwal terkendala pencetakan materi yang bisa cepat karena listrik masih sering mati dan kapasitas mesin cetak terbatas pernah terpaksa menggandakan memakai photo copy yang disewa dan selama sebulan tidak pulang. Soal apabila harus dikerjakan di daerah belum mampu, tahun lalu kerjasama dengan BKN. Tahun 2004 semua dikoordinasikan Provinsi, dan tahun 2006 mulai diserahkan Kab/Kota untuk menyelenggarakan sendiri dengan koordinasi Provinsi dan Pengawas dari Provinsi. Penjadwalan sangat perlu dikoordinasikan antar daerah. Kendala lain adalah Kabupaten/Kota kurang menyadari pentingnya Surat Keputusan (SK) sehingga banyak yang
ditunjuk dan bekerja tanpa SK.
Sehingga ketika ada pendataan sesuai peraturan timbul banyak kendala. Promosi dan Mutasi PP 9/2003 kewenangan diberikan penuh dari pengangkatan sampai pemberhentian, sdgkn dalm UU 32 Depdagri ikut menentukan dalam mutasi (perpindahan). PP 9 disebut batal demi hukum karena ada uu 32/2004 oleh Depdagri, berarti kekosongan peraturan untuk
ada
pengangkatan dan pemberhentian. Keluarnya
Peraturan Mendagri no 10/2005 sebagai turunan UU 32 tahun 2004 menambah birokrasi, apabila PNS dari Kab/Kota ingin pindah harus ada ijin dari mendagri. Prosesnya bila ingin pindah mengajukan ke mendagri untuk di fit & proper tes
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
138
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
setelah itu dikembalikan ke daerah setelah ada persetujuan diusulkan kembali ke Mendagri dan diteruskan ke kepala BKN dan kemudian turun kembali ke daerah untuk terus dikembalikan ke Mendagri guna mendapatkan SK. Prosesnya bisa sampai setahun padahal kebutuhan pegawai maksimal satu bulan. Dulu dengan hanya mengusulkan ke BKN setelah lulus tes dari provinsi yang dituju, asal rasional dan wajar, selalu langsung mendapat persetujuan tinggal dimintakan SK Mendagri saja. Sejauh teknis dan administrasinya sudah diurus BKN pasti setuju, kecuali bagi yang punya kasus besar. Bukan kita tidak setuju dengan proses baru tapi hanya karena prosesnya menjadi lambat. Dan timbul kecurigaan apakah di Depdagri ada criteria jelas yang mau dipindahkan, jangan-jangan menjadi permainan, orang yang mutasi harus bolak-balik sehingga menghabiskan uang. Dalam hal penempatan KEPPRI sudah berusaha menempatkan pegawai sesuai kompetensi dilihat dari pendidikan, keahlian pengalaman dan masa kerja. Jabatan terutama di Dinas sudah cukup sesuai. Perlu diingat untuk level staf sangat tinggi intervensinya dari para pejabat politik atau sehingga seringkali tidak dapat dijamin kompetensinya. Oleh sebab itu saat ini sedang disusun pola dasar karir dan analisis jabatan serta standar kompetensi. Dalam hal promosi saat ini KEPPRI bekerjasama dengan assessment center dari psikologi UI melakukan tes, hasilnya teridentifikasi staf2 yang potensial dan yang perlu perhatian. Umumnya yang kinerja kurang baik adalah staf yang sudah akan memasuki masa pensiun. Penempatan untuk promosi sebagian besar sudah berdasarkan hasil dengan UI, walau demikian masih ada yang sifatnya pesanan dan yang dari pindahan kita hanya melakukan wawncara bahkan ada yang tidak kita baru tahu kompetensinya setelah pengangkatan. Namun hal tersebut diupayakan seminimal mungkin, karenanya perlu adanya standar kompetensi yang utamanya penting bila ada mutasi, karena banyak Kabupaten/Kota yang ingin pindah ke provinsi karena tunjangan lebih tinggi, dengan adanya formasi agak enak untuk menolak apalagi klo sudah ada standar kompetensi, kecuali bila sesuai kualifikasi bisa diterima. Selain itu pindahan dicek juga apakah pernah terkena kasus. Yang pasti intervensi politik masih ada, karena bagaimanapun dengan gubernur yang dipilih langsung maka aka nada konstituen yang terdiri dari para tokoh yang bagaimanapun pengaruhnya cukup besar pengaruhnya terhadap kebijkan gubernur.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
139
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Remunerasi Runemerasi pegawai provinsi lebih tinggi karena memiliki sejarah tersendiri. Pada awal pembentukan Provinsi Kepri hanya mempunyai anggaran 300 milyard sehingga sulit untuk mengadakan perekrutan sendiri sehingga banyak menarik pegawai dari Kab/Kota dengan penambahan remunerasi. Setelah anggaran semakin besar maka Keppri merekrut pegawai dari Otorita Batam yang gajinya sudah tinggi. Oleh sebab itu Keppri membuat system remunerasi sendiri yang nilainya lebih kurang sama dengan Otorita Batam, ada tunjangan kemahalan disamping tunjungan kesra. Sehingga tahun 2005 banyak dari Kab/Kota bahkan Departemen yang bersedia pindah ke Kepri. Sejak tahun 2006 remunerasi meningkat lagi cukup besar untuk level PNS sama dengan swasta. Untuk golongan 1 dan 2 pemprop jauh lebih tinggi dari Batamindo. Untuk anak PTT bisa memperoleh kurang lebih 2juta gaji dan tunjangan masih ditambah honor-honor lain. Hal ini berdampak kurang bagus sehingga orang berlomba masuk untuk menjadi pegawai Pemprop baik secara halal maupun haram. Untuk golongan 3 dan 4 relatif sama dengan swasta. Akhirnya 2007 dilakukan rasionalisasi terutama untuk golongan 1 dan 2 sehingga sekarang tunjangan sedikit turun tapi masih jauh lebih tinggi dibanding dengan pusat. Tunjangan disatukan menjadi tunjangan kinerja selain tunjangan jabatan. Karena SOT masih berubah2 belum dpat diterapkan dengan baik sehingga perlu dibahas lebih lanjut. Untuk unitunit tertentu selain tunjangan kinerja ada tunjangan kelebihan beban kerja. Tunjangan akan disesuaikan dengan perpres meliputi tunjungan fungsional sesuai lingkungan kerja seperti dokter. Di masa yang akan datang ssistem ini seyogyanya dibuat lebih sederhana sehingga kaitannya dengan kinerja menjadi lebih jelas. Dalam hal unit cost untuk kegiatan tidak mengikuti aturan pusat kecuali untuk yang APBN. Karena bila mengikuti aturan pusat sulit untuk jujur karena SPPD 3 hari hanya cukup sehari, sehingga SPPD lebih besar tapi jumlah hari didasarkan waktu riil pelaksanaan kegiatan dan tidak ada mark up. Secara Internasional untuk belanja pegawai masih dibawah 30% dari APBD dianggap masih normal, Kepri 23%. Kenapa dengan runemerasi besar tapi hanya 23% karena kita tidak obral untuk merekrut pegawai, selektif dalam perekrutan. Kita melakukan control yang ketet dalam penambahan pegawai. Pegawai secukupnya
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
140
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
karena banyak pekerjaan yang bisa outsourcing. Outsoucing tidak masuk dalam belanja pegawai tapi masuk dalam kegiatan proyek, konsultan yang membayarkan.
Penegakan Disiplin dan Etika Pegawai Bila ada pengaduan diperiksa BKD baru diteruskan ke Bawasda bila memang ada kasus, rekomendasi Bawasda yang akan dipakai BKD untuk menjatuhkan hukuman, bisa teguran lisan, tertulis, pencopotan, penurunan jabatan, dll bahkan ada yang sampai ada yang menunggu keputusan pengadilan. Apabila ada kasus sementara pegawai di non jobkan dulu sampai ada keputusan pengadilan. Apabila dinyatakan tidak bersalah dan dipulihkan nama baiknya maka akan dilantik lagi pada jabatan semula. Penegakan disiplin dengan memanfaatkan alat absensi jari, dan kewajban ikut apel pagi. Peraturan untuk pegawai yang tinggal di Batam tidak ada dispensasi jam masuk kerja, sehingga pegawai harus bisa memilih untuk pindah kerja atau pindah rumah. Belum ada Perda khusus disiplin pegawai hanya aturan gubernur . Penilaian Kinerja Formulir khusus penilaian kinerja tidak ada. Namun penilaian dalam pelayanan diserahkan langsung kepada masyarakat, dimana saat ini terdapat pelayanan sms center yang langsung ke Gubernur. Misal ada keluhan masyarakat melalui sms kemungkinan adanya pungli maka akan langsung ditindaklanjuti oleh gubernur untuk diklarifikasi. Dari SMS center yang menilai kinerja bukan hanya internal atau gubernur tapi juga dari masyarakat walaupun terkadang indikatornya juga kurang jelas dan tidak berdasarkan aturan yang ada. SMS center cukup efektif untuk melihat kinerja staf pemprov.
Usulan terkait managemen kepegawaian Sebaiknya peraturan apapun yang akan diterbitkan lebih mengutamakan pada pelayanan. Pada UU 32 tahun 2004 muatan pengaturannya terlalu besar sehingga menciptakan ketidakjelasan dalam bidang kepegawaian. Dengan adanya UU 32 terjadi tarik menarik peraturan seperti pada aturan mutasi. Oleh sebab itu dalam
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
141
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pelaksanaan UU no 32 tahun 2004 sebaiknya Peraturan pusat yang akan mengatur daerah didahului dengan tukar pendapat dengan Daerah. Tanpa konsultasi tersebut maka terjadi generalisasi yang menciptakan ketidakjelasan dalam pelaksanaannya.
5.
Provinsi Sumatera Utara
Penerapan UU no 32 tahun dirasakan jauh lebih baik daripada UU no 22 tahun 1999 dimana koordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya masalah kepegawaian menjadi lebih jelas. Namun undang undang tersebut memberikan kewenangan pusat yang sangat besar dalam pengaturan kepegawaian. Hal ini mestinya dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk memacu inovasi kepegawaian di seluruh daerah. Otonomi daerah selalu diasosiasikan dengan kemunculan raja raja kecil dan primordialisme. Dengan UU no 32 tahun 2004 dapat dibangun sistem kepegawaian yang inovatif di tiap daerah asal pemerintah mengakomodir ketentuan yang mengharuskan setiap daerah mendesain apa yang disebut infrastruktur kepegawaian yaitu standard kompetensi, penilaian kinerja yang obyektif, pola dasar karir, dan sistem informasi kepegawaian terpadu. Infrastruktur tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU non43 tahun 1999, sehingga tidak pernah dianggap sebagai keharusan. Padahal tanpa infrastruktur itu, sistem kepegawaian hanya akan berjalan sekedar menjalankan peraturan saja. Kekurangan dalam UU no 43 tahun 1999 semestinya dapat dipenuhi di UU no 32 tahun 2004. Sebagaimana sistem pemilihan yang mengatur secara rinci pilkada, dalam bidang kepegawaian mestinya juga dijabarkan secara lebih lugas ”keharusan keharusan” bagi daerah dalam membangun infrastruktur kepegawaian yang mendukung profesionalisme pegawai daerah. Namun sayangnya justru saat ini pemerintah pusat yang seringkali menciptakan kebijakan kepegawaian yang bertentangan dengan wacana reformas i birokrasi dan profesionalisme pelayanan di daerah. Hal ini misalnya terlihat dari kebijakan pengangkatan tenaga honorer yang memiliki kompetensi tidak jelas dan mengacaukan perencanaan kepegawaian. Contoh lain Kebijakan pemerintah pusat yang dilakukan dalam pengangkatan pegawai oleh depdagri khususnya dirjen PMD adalah masalah sekretaris desa menjadi pegawai negeri sipil, bukan didahului menjadi Calon PNS sehingga pengurusan masalah kepegawaian tidak terumuskan dengan jelas. Seharusnya daerah dilibatkan untuk
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
142
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
merumuskan reformasi kebijakan kepegawaian, usulan mana kemudian perlu ditampung dalam UU no 32 tahun 2004. Provinsi juga sebagaimana pasal 135 UU no 32 tahun 2004, seharusnya diberikan wewenang yang lebih besar dalam manajemen kepegawaian. Sebagai koordinator dan pengawas pengelolaan kepegawaian tingkat kabupaten kota di wilayahnya provinsi tidak punya cukup power. Demokrasi di daerah seringkali menciptakan tindakan sefihak dan pelanggaran oleh kepala daerah di kabupaten/kota. Dalam rangka mengisi jabatan setda atau strategis lainnya, Bupati/walikota sering mempromosikan pegawai yang secara kepangkatan belum memenuhi. Provinsi hanya dipaksa untuk memberikan rekomendasi. Jika ditolak kabupaten tetap akan menjalankan keputusannya karena tahu tidak ada sangsi yang jelas jika aturan kepegawaian dilanggar. Karena pertimbangan untuk menyelematkan wibawa provinsi rekomendasi ini kemudian akan diberikan. Permasalahannya kemudian adalah jika bupati yang berkuasa tersebut diganti pada pilkada yang lain maka pejabat birokrasi yang ”dikarbit” tadi biasanya juga akan dicopot karena dianggap tidak kompeten dan terlalu loyal pada pimpinan yang lalu. Sebagai akibatnya pejabat karbitan tersebut akan di non jobkan dan provinsi akan disalahkan karena memberikan rekomendasi bagi pejabat karbitan yang dianggap tidak mampu tersebut. Lebih buruk lagi, karena provinsi yang memberikan rekomendasi maka provinsi semacam dituntut tanggun jawabnya dengan menampung pejabat yang telah di non jobkan tersebut. Kejadian ini terus berlangsung hingga saat ini. Jika ini dibiarkan terus menerus maka provinsi akan menjadi pusat penampungan eks pejabat pejabat yang bermasalah. Dengan kata lain pembinaan kepegawaian di tingkat provinsi yang sampai saat ini sudah dibebani dengan pegawai yang terlalu banyak akan semakin berat. Para pejabat tadi pada umumnya akan melalukan manuver manuver politik di DPRD provinsi untuk mencari jabatan baru di lingkungan organisasi provinsi. Dalam bidang pengembangan kepegawaian provinsi dapat memainkan peran strategis. Hal ini dimulai dari penyelenggaraan diklat, dimana pusat diklat diadakan di provinsi saja, sehingga kabupaten/kota untuk efisiensinya tidak perlu membangun pusdiklat sendiri. Dalam hal perencanaan karir misalnya, porpinsi dapat menyediakan assesment center untuk kabupaten/kota. Bentuk koordinasi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
143
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
provinsi juga perlu didukung dengan kemampuan memberikan sangsi misalnya di provinsi
diberikan
kewenanga
untuk
memberikan
rekomendasi
mengenai
penganggaran bidang kepegawaian di kabupaten/kota sehingga provinsi menjadi memiliki makna dalam koordinasi dan pengawasan. Dalam bidang perencanaan dan pengadaan pegawai provinsi juga seharusnya diberikan kewenangan lebih besar dalam hal pemindahan pegawai dari satu kabupaten/kota satu kepada yang lain dalam wilayahnya dan provinsi ke kabupaten/kota dan sebaliknya untuk mengisi jabatan jabatan kosong. Untuk mendukung tugasnya tersebut,
seharusnya ada peraturan yang memaksa setiap
daerah untuk membangun sistem informasi kepegawaian yang akurat dan terhubung satu sama lain secara solid sehingga pembinaan kepegawaian dalam satu provinsi dalam dilakukan dengan lebih baik.
5.3
Penentuan Jumlah Optimal Pegawai
5.3.1 Pendekatan Penentuan Jumlah Optimal Pegawai dengan Beban Kerja a. Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta. Berdasarkan data yang diperoleh gambaran adanya kelebihan pegawai di hampir setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Hanya lima SKPD yaitu Dinas Pendidikan, Badan Diklat, Badan Pengawas Daerah,
Arsip Daerah, dan Kantor
Pemberdayaan Perempuan, dimana dirasakan kekuarangan pegawai. Kelebihan pegawai berdasarkan hasil wawancara dengan para pejabat pembina kepegawaian disebabkan oleh beberapa hal. Pertama sebagai implikasi penerapan UU no 22 tahun 1999 yang efektif diberlakukan sejak tahun 2000. Kebijakan tersebut menyebabkan ”pembubaran” instansi instansi vertikal yang ada di DIY. Sebagai akibatnya para pegawai yang berasal dari berbagai Kantor Wilayah Departemen selain yang dimiliki oleh Departemen Agama, Departemen Keuangan, Kehakiman – digabungkan ke dalam dinas provinsi. Jumlah kelebihan terbanyak adalah di Dinas Kimpraswil, dimana dinas tersebut menerima limpahan pegawai dari Kantor Wilayah Pekerjaan Umum. Hal ini dapat dipahami mengingat pada tahun 1990-an DIY merupakan salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi yang tertinggi di Indonesia sehingga membutuhkan pembangunan infrastruktur yang cukup besar terutama di bidang pekerjaan jaringan jalan raya dan prasarana pertanian. Kedua
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
144
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
bidang ini sangat erat sebagai upaya untuk menjamin akses pemasaran yang besar dari sentra sentra produksi pertanian di Kabupaten Sleman, Kulon Progo dan Gunung Kidul ke kota Yogyakarta. Faktor kedua dari kelebihan pegawai disebabkan oleh pergeseran orientasi pemda DIY dalam rangka menciptakan pemerintahan yang katalistik. Sebagaimana dicantumkan dalam visi dan misi DIY yang disebut di atas, pemerintah provinsi DIY berusaha menekankan pada peran pembuat dan pengendali kebijakan atau disebut dalam visinya dengan istilah Steering. Hal ini dilakukan sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan otonomi daerah dimana operasionalisasi pelayanan lebih banyak dilakukan di Kabupaten/Kota di lingkungan DIY. Konsep steering ini sayangnya tidak disertai dengan kebijakan transisional dalam pengelolaan kepegawaian yang mampu mengalihkan kelebihan pegawai tersebut ke dalam bidang atau organisasi lain diluar struktur organisasi provinsi. Tidak adanya rencana transisi sendiri ini disebabkan karena rigiditas sistem kepegawaian semenjak otonomi daerah seperti misalnya kesulitan dalam pemindahan pegawai provinsi ke Kabupaten/Kota, keengganan para pegawai menjadi tenaga fungsional karena dianggap tidak menarik atau pengalihan pegawai dalam BUMD. b. Provinsi Banten Penduduk Banten berdasarkan data hasil Sensus Penduduk, menunjukkan jumlah yang terus bertambah. Pada tahun 2005, jumlah penduduk tersebut berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000 (SP2000) adalah sebanyak 9.308.944 jiwa. Luas wilayah Provinsi Banten adalah 8.800, 83 km2. Secara administratif Provinsi Banten terbagi dalam 4 (empat) kabupaten (Pandeglang, Lebak, Tangerang dan Serang) dan 2 (dua) kota (Tangerang dan Cilegon). Pemerintahan Provinsi Banten selama tahun 2005 didukung oleh 2.768 orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana 1997 orang laki-laki dan 771 orang perempuan. Apabila dilihat dari pendidikan, maka 1.461orang atau 52,78 persen PNS berpendidikan sarjana (Strata I/II/III), sedangkan sisanya 47,22 persen hanya berpendidikan non gelar (Sarjana Muda/D3 atau yang lebih rendah). Dari 26 instansi pemerintah yang ada di lingkungan Provinsi Banten, hanya Sekretariat Daerah yang mempunyai jumlah PNS yang cukup besar, yaitu 622 orang atau 22,47 persen dari seluruh PNS yang ada.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
145
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
c.
Provinsi Bangka Belitung
Luas wilayah Provinsi Bangka Belitung adalah 81.724,74 km2, yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan, yaitu seluas 65.301 km2, sedangkan daratannya seluas 16.423,74 km2. Hingga tahun 2003 jumlah penduduk di Kabupaten Bangka berjumlah 217.545 jiwa terdiri dari penduduk laki-laki 107.213 (49,28%) dan perempuan 110.337 jiwa (50,72%) dengan kepadatan rata-rata 74 jiwa/km2. Konsentrasi penduduk terpadat berada di wilayah kecamatan Sungailiat (379,13 jiwa/km2) yang juga merupakan ibukota Kabupaten Bangka sedangkan yang terendah di Kecamatan Bakam (30,81 jiwa/km2). Dari hasil perhitungan jumlah optimal pegawai menunjukkan bahwa sebagai provinsi muda BABEL mengalami kekurangan pegawai. Kekurangan ini sebagian besar dialami oleh SKPD yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam pengadaan pegawai pada saat pembentukan provinsi BABEL. Para pegawai banyak direkrut dari provinsi lama. Usaha untuk mencari tenaga yang memiliki kualifikasi teknis yang dibutuhkan oleh dinas dalam menjalankan tugas pelayanan langsung kepada masyarakat ini sulit untuk dipenuhi. Menurut nara sumber di Bappeda, tenaga dengan kualifikasi teknis yang bagus biasanya ditahan oleh provinsi induk. Sementara itu untuk mendidik yang baru akan memerlukan waktu yang cukup lama. Kebutuhan akan pendidikan dan latihan yang besar ini tergambar dari kurangnya tenaga pegawsai yang dirasakan oleh Badan Diklat. Menurut pimpinan Badan tersebut untuk lima tahun yang akan datang, kebutuhan akan pegawai yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan organisasi belum dapat dipenuhi. Kekurangan pegawai di unit unit pelayanan juga menunjukkan besarnya kebutuhan akan pelayanan yang diharapkan oleh masyarakat. Berbagai program pembangunan yang disiapkan dalam rangka memaju perekonomian provinsi muda ini menciptakan kebutuhan masyarakat akan dukungan pelayanan publik yang lebih memadai. Diantara unit unit SKPD, badan pemberdayaan masyarakat desa merupakan unit mengalami deficit paling tinggi. Keadaan ini banyak disebabkan oleh program pemerintah provinsi untuk mendorong perbaikan kesejahteraan dan potensi masyarakat desa. Yang menjadi masalah dalam hal ini adalah tersebarnya
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
146
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
desa desa di BABEL di wilayah yang banyak berupa pulau pulau yang tersebar dan terkadang sulit dijangkau. Disisi lain, data di atas menunjukkan adanya kelebihan pegawai terutama di unit unit SKPD yang memiliki fungsi sebagai penunjang yaitu badan badan baik di lingkungan sekretariat maupun badan pelayanan teknis di lingkungan provinsi. Kelebihan ini dapat dijelaskan dari sifat tugas di badan badan tersebut yang cenderung banyak didukung dengan kompetensi yang bersifat umum. Tanpa job description yang jelas kini seringkali menciptakan “pengangguran tidak ketara”. d.
Provinsi Kepulauan Riau
Visi Provinsi Kepulauan Riau dirumuskan adalah sebagai salah satu pusat pertumbuhan perekonomian nasional dengan payung Budaya Melayu dan memiliki masyarakat yang sejahtera, cerdas dan berakhlak mulia. Untuk mencapai visi tersebut misi provinsi muda sempalan dari provinsi Riau adalah : 1) Mendorong terciptanya pusat pusat pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Kepulauan Riau yang akan menumbuh kembangkan kegiatan industri dan pariwisata yang berbasis kelautan. 2) Meningkatkan kualitas hidup masyarakat menuju kehidupan yang makmur, sejahtera, sehat, berbudaya dan berkeadilan. 3) Menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaku pembangunan yang unggul dan berakhlak mulia. Adapun strategi yang ditempuh dalam mewujudkan ketiga misi tersebut adalah : 1) Mengupayakan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru (growth-pole) dan mendorong pegembangan keserasian antar center-periphery agar dapat menyeimbangkan kegiatan perekonomian. 2) Melaksanakan
penataan
dan
pengembangan
di
bidang
administrasi
pemerintahan. 3) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih maju, sejahtera, sehat, serta berkualitas melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, budaya, kepemudaan, dan imtaq.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
147
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
4) Mengupayakan agar kegiatan ekonomi terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas 5) Melaksanakan pembangunan fisik dan non fisik yang seimbang secara bertahap dan berkelanjutan. Hasil perhitungan jumlah pegawai optimal menunjukkan adanya permasalahan kekurangan pegawai yang dialami oleh provinsi Kepulauan Riau (KEPPRI). Secara sekilas terlihat bahwa kekurangan tersebut banyak dialami oleh SKPD yang diberikan tanggung jawab terkait dengan program pembangunan ekonomi KEPPRI. Di antar SKPD tersebut yang paling banyak mengalami kekuarangan pegawai adalah DInas PU, DInas Kelautan dan Perikanan serta badan promosi dan investasi daerah. Dinas PU diberikan tanggung jawab dalam memacu pembangunan infrastruktur pendukung sarana transport laut dan darat sebagai prasarana penting bagi strategi pertumbuhan ekonomi KEPPRI. Bagi dinas kelautan tantangan berasal dari karakteristik KEPPRI dimana wilayah ini terdiri atas 96 % lautan (untuk lebih jelas hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran ini). Kondisi ini sangat mendukung bagi pengembangan usaha budidaya perikanan mulai usahapembenihan sampai pemanfaatan teknologi budidaya maupun penangkapan. Di Kabupaten Karimun terdapat budidaya Ikan kakap, budidaya rumput laut, kerambah jaring apung. Kota Batam, Kabupaten Bintan, Lingga dan Natuna juga memiliki potensi yang cukup besar dibidang perikanan. Selain perikanan tangkap di keempat Kabupaten tersebut, juga dikembangkan budidaya perikanan air laut dan air tawar. Di kota Batam tepatnya di Pulau Setoko, bahkan terdapat pusat pembenihan ikan kerapu yang mampu menghasilkan lebih dari 1 juta benih setahunnya. Dibanding BABEL, KEPPRI dapat dibilang mengalami kekuarangan pegawai yang sangat signifikan. Hal ini dapat dijelaskan dari dinamisme ekonomi KEPPRI sebagaimana terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2005 adalah sebesar 6,57%. Sektor-sektor yang tumbuh dengan baik (lebih cepat dari pertumbuhan total PDRB) pada tahun 2005 antara lain sektor pengangkutan dan komunikasi (8,51%), sektor industri pengolahan (7,41%), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (6,89%), sektor jasa (6,77%), serta sektor perdagangan, hotel dan restoran (6,69%). Sementara itu sektor lainnya masih
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
148
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
tumbuh di bawah laju pertumbuhan PDRB. Berturut-turut sektor tersebut adalah sektor listrik, gas dan air bersih (6,62%), sektor bangunan dan konstruksi (5,61%), sektor pertanian (5,40%), dan sektor pertambangan dan penggalian (-1,23%). Berbeda dengan unit unit SKPD dengan tugas pokok yang bersifat eksternal services, KEPPRI mengalami kelebihan pegawai di unit unit dengan tugas pokok internal supporting services terutama unit unit organisasi di lingkungan secretariat daerah dan DPRD. Biro Umum adalah unit yang paling dirasakan adanya kelebihan pegawai. Kedua unit tersebut mempunyai jenis pekerjaan yang bersifat fluktuatif bergantung kepada volume pekerjaan secretariat. e.
Provinsi Sumatera Utara
Sumatera Utara merupakan provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2002, jumlah penduduk Sumatera Utara diperkirakan sebesar 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km 2 dan tahun 2002 meningkat menjadi 165 jiwa per km 2 , sedangkan laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 persen per tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Sumatera Utara setiap tahunnya tampak berfluktuasi. Pada tahun 2000. TPAK di daerah ini sebesar 57,34 persen, tahun 2001 naik menjadi 57,70 persen, tahun 2002 naik lagi menjadi 69,45 persen
Secara administratif, Sumut terdiri dari 14 Kabupaten dan 7 Kota, yang terbagi atas 283 Kecamatan dan 5.412 Kelurahan/Desa. Kabupaten/Kota tersebut adalah : Nias, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Mandailing Natal, Toba Samosir, Labuhan Batu, Asahan, Simalungun, Dairi, Karo, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, Kota Sibolga, Kota Tanjung Balai, Kota Pematang Siantar, Kota Tebing Tinggi, Kota Medan, Kota Binjai, dan Kota Padang Sidempuan. Gambaran beban kerja pegawai di provinsi Sumatera Utara (SUMUT) memiliki kemiripan dengan keadaan di DIY. Secara provinsi SUMUT mengalami kelebihan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
149
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pegawai sebanyak 217 orang.
Kelebihan tersebut disebabkan, sebagaiamanya
halnya DIY oleh kebijakan pada masa penerapan UU no 22 tahun 1999. Unit organisasi yang merasakan kelebihan pegawai yang paling signifikan adalah BKD. Unit ini sering disebut dengan unit penampungan sementara bagi pegawai yang belum jelas akan ditempatkan dimana. Menurut nara sumber dari BAPPEDA, persepsi adanya kelebihan pegawai juga diakibatkan oleh belum jelasnya tugas dan fungsi provinsi dikarenakan peraturan pemerintah yang mengatur pembagian kewenangan belum terbit (pada saat penelitian dilakukan PP tentang pembagian kewenangan baru saja diterbitkan namun belum operasional secara penuh). Yang mungkin lebih membingungkan adalah konsep pembagian urusan secara concurrent. Konsep ini sering menimbulkan ketidakpastian
mengingat
tugas
provinsi
banyak
bersifat
koordinasi
lintas
kabupaten/kota.
Disisi lain, table hasil perhitungan
beban kerja pegawai di atas menunjukkan
adanya kekurangan di terutama unit yang berfungsi untuk mendukung pelayanan internal. Kekurangan yang paling signifikan terdapat di lingkungan inspektorat daerah. Keadaan menggambarkan adanya konsekuensi logis dari persepsi kelebihan pegawai di sebagian besar unit organisasi SKPD provinsi SUMUT. Kelebihan disini berarti bahwa ada sebagian besar pegawai yang dianggap tidak terserap dalam pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Sebagai kapasitas organisasi yang tidak terpakai kelebihan pegawai tersebut menciptakan masalah control dalam organisasi seperti tindakan membolos, melakukan kegiatan kegiatan di luar kantor, disfungsi koordinasi, sumber pemborosan dan sebagainya. 5.3.2 Pendekatan Estimasi Dalam pendekatan ini akan dilakukan estimasi dengan menggunakan pendekatan OLS terlebih dahulu untuk mengetahui sejauh mana pengaruh karakteristik daerah terhadap jumlah optimal pegawai. Selanjutnya memasukkan variabel karakteristik daerah tersebut ke dalam persamaan hasil estimasi, sehingga didapat jumlah pegawai yang seharusnya. Sebelum melakukan estimasi, berikut ini akan dilakukan plotting masing-masing variabel untuk mengetahui dugaan awal keterkaitan antar variabel. Meskipun hasil plotiing dengan scatter diagram ini sangat lemah untuk
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
150
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
diajadikan argumentasi, tetapi minimal kita mengetahui bahwa apakah karakteristik daerah dapat menentukan atau menjelaskan jumlah pegawai di daerah. Dengan jumlah n = 33, maka hasil plotting dapat dilihat di bawah ini: LUAS vs. JP
POP vs. JP 8.0
7
7.6
6
LUAS
POP
7.2 6.8
5
4
6.4 3
6.0 5.6 2.5
2 2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
3.0
3.5
5.0
4.0
4.5
5.0
JP
JP
Gambar 5.1: Plotting Jumlah Penduduk dengan Jumlah Pegawai
Gambar 5.2: Plotting Luas Wilayah dengan Jumlah Pegawai
PAD vs. JP
PDRB vs. JP
7.0
8.8
6.5
8.4 8.0 PDRB
PAD
6.0 5.5
7.6 7.2
5.0
6.8 4.5
6.4 4.0 2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
JP
Gambar 5.3: Plotting PAD dengan Jumlah Pegawai
5.0
6.0 2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
JP
Gambar 5.4: Plotting PDRB dengan Jumlah Pegawai
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
Berdasarkan hasil plotting pada gambar 5.1 menunjukkan bahwa variabel jumlah penduduk mampu menjelaskan variabel jumlah pegawai. Hal ini menujukkan bahwa jumlah penduduk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengurangi jumlah pegawai di provinsi. Jadi jika jumlah penduduk bertambah maka jumlah pegawai juga bertambah dengan asumsi ceteris paribus. Sementara gambar 5.2 menggambarkan bahwa daerah yang memiliki luas wilayah lebih besar cenderung jumlah pegawainya sedikit, baik di provinsi induk maupun provinsi hasil pemekaran
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
151
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(daerah otonomi baru). Karena hasil dari plotting menunjukkan arah garis yang negatif. Sedangkan pada gambar 5.3 menujukkan hubungan yang positif antara pendapatan asli daerah dengan jumlah pegawai. Hal ini mengidikasikan bahwa apabila jumlah PAD meningkat, maka jumlah aparatur harus ditambah, dengan asumsi ceteris paribus. Sementara gambar 5.4 juga mengidikasikan bahwa kemampuan ekonomi suatu daerah memberikan pengaruh terhadap jumlah aparatur pemerintah daerah, dengan asumsi ceteris paribus. Semakin tinggi PDRB suatu daerah, maka jumlah aparatur akan semakin meningkat. Dari gambar diatas jelaslah, bahwa untuk menetukan jumlah aparatur pemerintah daerah harus mempertimbangkan karakteristik daerah. Untuk membuktikan hasil plotting di atas, maka akan diuraikan hasil estimasi dengan menggunakan OLS, sehingga dapat memberikan gambaran bahwa karakteristik daerah berpengaruh atau harus menjadi pertimbangan penentuan jumlah optimal pegawai. Hasil estimasi dengan menggunkan persamaan yang telah ditulis pada bab sebelumnya adalah sebagai berikut: Tabel 5.2 Hasil Estimasi Model Penentuan Jumlah Pegawai dengan OLS Variabel Konstanta lnPOP lnLUAS lnPAD lnPDRB R-squared Adjusted Rsquare F-statistik Prob (Fstatistik)
Catatan:
Coefficient Model 3 Model 4
Model 1
Model 2
Model 5
Model 6
0.542895 (0.736340) 0.354651 (1.857860)* -0.125897 (-1.733986)*
0.012017 (0.015906) 0.514952 (3.079735)** -0.123528 (-1.752249)*
0.508824 (0.673210) 0.493910 (2.868746)** -0.173843 (-2.587158)**
0.674171 (1.272549) -
0.667839 (1.058656) -
0.739515 (0.968660) -
-
-
-
0.222027 (1.532359) 0.030711 (0.213080)
0.164481 (1.151185) -
-
0.542272 (5.793241)** -
0.452231 (3.747850)** 0.074460 (0.603465)
0.410268 (3.994413)**
0.665193
0.649454 0.613190
0.633746
0.519839
0.580979
0.362990
0.111141 (0.673210)
0.611624 12.41746
17.90933
0.591486 14.99633
0.504350 33.56164
0.549941 18.71799
0.340239 15.95534
0.000011
0.000001
0.000007
0.000002
0.000008
0.000427
)** siginifikan pada level 5% dan )* signifikan pada level 10%.
Dari hasil estimasi model 1, model 2, dan model 3 menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan luas wilayah provinsi menjadi faktor yang menentukan jumlah aparatur pemerintah daerah provinsi dengan asumsi ceteris paribus dengan tingkat
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
152
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
signifikansi sebesar 5% dan 10%. Sementara kemampuan ekonomi, yakni PAD dan PDRB kurang memberikan konstribusi yang signfikan terhadap penentuan jumlah pegawai. Semakin besar jumlah jumlah penduduk, maka semakin banyak jumlah pegawai yang dibutuhkan dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien penduduk yang positif. Sedangkan, berdasarkan hasil estimasi model 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa jumlah pegawai di wilayah yang luas cenderung jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah pegawai di wilyah provinsi yang lebih kecil. Jika estimasi dilakukan secara terpisah teryata PAD mempuanyai kontribusi dalam penentuan jumlah pegawai di provinsi, hal ini dapat dilihat pada model 4 dan 5. Sedangkan pada model 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi PDRB suatu provinsi, maka jumlah pegawai yang dibutuhkan semakin besar dengan asumsi ceteris paribus dengan tingkat siginifikansi sebesar 5%. Dari hasil estimasi ini semakin memperjelas bahwa penentuan jumlah aparatur pemerintah daerah provinsi yakni penambahan atau pengurangan jumlah pegawai harus mempertimbangkan karakateristik daerah jumlah penduduk, luas wilayah, serta kemampuan ekonomi. Karena selama ini penambahan atau pengurangan jumlah pegawai hanya didasarkan pada jumlah penduduk. Untuk mengetahui seberapa besar jumlah optimal pegawai di 5 lokasi sampel dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.3 Kelebihan dan Kekurangan Jumlah Pegawai (Pendekatan OLS)
No
Provinsi
Keterangan Pegawai
Jumlah Pegawai Saat ini
Jumlah Pegawai Optimal
Kelebihan 2669
1
DI Yogyakarta
7077
4408
2
Kep. Riau
1.171
2272
3
Sumatra Utara
10.928
10200
728
4
Bangka Belitung
2.142
1967
175
5
Banten
2.649
8365
Kekurangan
1101
5716
Sumber: Hasil survey dan data diolah (2007)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
153
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Jika penentuan jumlah optimal menggunakan pendekatan estimasi dengan memasukkan karaketeristik daerah menurut jumlah penduduk, luas wilayah, PAD, dan PDRB, maka hasil estimasi dapat ditunjukkan bahwa provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta terdapat kelebihan pegawai 2669 orang, provinsi Sumatera Utara kelebihan pegawai sebanyak 728 orang. Sedangkan provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdapat kelebihan pegawai sebanyak 175 orang. Sementara itu, provinsi Banten terdapat kekurangan pegawai hingga 5716 pegawai, karena jumlah optimal pegawai seharusnya sebanyak 8365 orang dan provinsi Kepulauan Riau sebagai provinsi baru terjadi kekurangan pegawai sebanyak 1101 orang dari jumlah seharusnya 2272 orang. Kelemahan menggunakan pendekatan ini adalah tidak mampu menunjukkan secara detail jumlah pegawai di setiap SKPD dalam satu provinsi tentang jumlah optimal pegawai yang seharusnya ada di setiap SKPD. Di samping itu, pendekatan ini sangat agregat, karena perhitungannya didasarkan pada data kuantitatif setiap provinsi dan sangat tergantung pada perilaku data yang ada di setiap wilayah provinsi. Namun demikian, pendekatan ini dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif dalam menentkan jumlah optimal pegawai, serta mampu memberikan informasi tentang kelebihan dan kekurangan jumlah pegawai.
5.4 Kompetensi Jabatan Struktural Eselon III dan IV Kompetensi jabatan adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang dalam rangka menjalankan tugas-tugas yang sesuai dengan tanggung jawab jabatannya. Kompetensi jabatan dalam hal ini dibedakan menjadi lima bidang yaitu kemampuan etik atau integritas, kepimpinan, manajerial, team work, sosial, dan profesional atau teknik. Dalam menentukan jenis kompetensi yang paling dibutuhkan oleh jabatan struktural, terlebih dahulu diadakan jajak pendapat dari para responden yang terdiri dari para pejabat struktural di provinsi yang diteliti. Dari 35 jenis kompetensi yang dianggap perlu untuk mendukung tugas sebagai pejabat struktural didapat 6 jenis kompetensi yang dipilih sebagai syarat mutlak. Hal ini sebagaimana didapat dari hasil skoring awal, dimana item yang terkait dipilih ”secara aklamasi” oleh para responden.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
154
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Tabel 5.4 Jenis Kompetensi dan Skala Prioritas No
Jenis Kompetensi
Skala Prioritas
1.
Integritas
20
2.
Kepemimpinan
20
3.
Perencanaan dan pengorganisasian
14
4.
Kerjasama
17
5.
Fleksibilitas
15
6.
Orientasi pada pelayanan
17
7.
Orientasi kepada kualitas
16
8.
Berpikir analitis
14
9.
Berpikir konseptual
15
10.
Memotivasi orang
17
11.
Inisiatif
18
12.
Kompetensi (Keahlian) teknik
20
13.
Kesadaran berorganisasi
16
14.
Komitmen terhadap organisasi
15
15.
Komunikasi
14
16. 17.
Kreatif dan inovasi Kemampuan mengelola (manajerial)
18.
Mengatasi konflik
13
19.
Membangun hubungan kerja dalam team work
20
20.
Membangun hubungan kerja stratejik
14
21.
Membimbing
18
22.
Memimpin kelompok
17
23.
Memimpin rapat
15
24.
Mencari informasi
14
25.
Mengambil resiko
11
26.
Mengembangkan kemampuan orang lain
16
27.
Pembelajaran yang berkelanjutan
17
28.
Pendelegasian wewenang
16
29.
Pengambilan keputusan
19
30.
Pengaturan kerja
17
31.
Perbaikan terus menerus
18
32.
Perhatian terhadap keteraturan
12
33.
Proaktif
16
34.
Tanggap terhadap budaya Kemampuan dalam memlihara hubungan baik dengan orang lain (kemampuan sosial)
18
35.
17 tugas
dalam
organisasi 20
20
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
155
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Selanjutnya dari enam bidang kompetensi tersebut yang telah dipilih responden, kemudian dipilah menjadi dua yaitu untuk tingkat eselon III dan IV. Deskripsi masing masing dari enam bidang kompetensi tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Integritas Bertindak konsisten sesuai dengan nilai nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi dengan mempertahankan norma-norma sosial dan organisasi, walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya sehingga terdapat satu kesatuan
antara
kata
dan
perbuatan.
Dalam
setiap
keadaan
dapat
mengkomunikasikan maksud, ide serta perasaan secara terbuka, jujur dan langsung Variabel yang ditanyakan: b. Memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, yaitu dengan mengikuti norma sosial, etika
dan organisasi, serta yakin bahwa yang
dilakukan tidak melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan c. Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinannya, serta jujur dalam berhubungan dengan orang lain. d. Bertindak berdasarkan nilai walaupun sulit untuk melakukannya e. Gambar 5.5 Pilihan Kompetensi Integritas Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
156
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Gambaran di atas menunjukkan adanya persepsi rata rata dari responden bahwa integritas moral merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh pejabat eselon III dan IV. Antara dua kelompok pejabat tersebut, eselon III dan IV, perbedaan disini terlihat dalam derajat kemutlakan. Eselon III diharapkan memiliki integritas moral yang lebih tinggi daripada eselon IV. Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat anggapan bahwa tegak tidaknya etika dalam suatu organisasi sangat bergantung kepada pimpinan. Seorang pimpinan dianggap sebagai sumber tauladan perilaku anggota organisasi yang lain. 2.
Kepemimpinan Kemampuan
untuk
memimpin
orang
lain
melalui
tindakan
mempengaruhi/meyakinkan orang lain, memberikan arah petunjuk, mendorong motivasi/komitmen orang lain untuk melakukan rencana kerja dalam organisasi Variabel yang ditanyakan: a. Menyakinkan orang lain secara langsung dalam diskusi atau presentasi mengenai rencana kerja unit organisasi b. Memberikan arahan yang jelas mengenai tugas yang diharapkan c. Membangun motivasi orang lain untuk dalam mencapai tujuan organisasi. Gambar 5.6 Pilihan Kompetensi Kepemimpinan Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Sebagaimana penilaian dalam bidang integritas, kompetensi kepemimpinan juga dinilai dengan tingkat gradasi yang berbeda antara eselon III dan eselon IV. Eselon III diharapkan menguasai kompetensi kepemimpinan yang lebih tinggi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
157
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
ketimbang eselon IV. Eselon III merupakan unsur pimpinan yang bertanggung jawab dalam mengkoordinir, memberikan arah dan menggerakkan bawahan. Oleh
sebab
itu
pejabat
eselon
III
diharapkan
memiliki
kemampuan
kepemimpinan yang lebih tinggi ketimbang pejabat eselon IV. 3.
Kemampuan Manajerial Kemampuan untuk merencanakan dan mengatur pelaksanaan pekerjaan di unit kerjanya. Variabel yang ditanyakan : a. Membuat prioritas, untuk mengenali kegiatan dan penugasan yang lebih penting
dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada dan jadwal
waktu kegiatan b. Menentukan penugasan dan sumber dayanya, yaitu dengan menguraikan ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, serta melakukan koordinasi dengan mitra kerja internal dan eksternal c. Tetap terfokus, menggunakan waktu secara efektif dan mencegah gangguan yang menyimpang agar tidak menggannggu penyelesaian pekerjaan. Gambar 5.7 Pilihan Kompetensi Manajerial Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Kompetensi manajerial pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang untuk menggerakkan orang lain menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan target atau sasaran yang telah ditetapkan. Kemampuan ini sangat menekankan adanya pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang dalam
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
158
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
menetapkan
prioritas
dan
membagi
tugas
dalam
organisasi.
Dari
pemahaman tersebut, para responden bahwa kompetensi manajerial wajib menjadi syarat untuk menduduki jabatan eselon III dan IV. Perbedaan persyaratan bagi kedua jabatan tersebut adalah dalam gradasi atau tingkat pentingnya. Pejabat eselon III diharapkan menguasi tingkat kompetensi manajerial yang lebih tinggi daripada eselon IV yang dipimpinnya. 4.
Kemampuan Team Work Deskripsi : Kemampuan membangun kerjasama dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok dalam melaksanakan tugas Variabel yang ditanyakan : a. Berpartisipasi
dalam
kelompok,
mendukung
keputusan
tim
dan
menyelesaikan tugasnya dalam tim serta membagi informasi yang berguna dan relevan bagi anggota tim b. Meminta dan menghargai pendapat orang lain dalam rangka menentukan keputusan c. Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim Gambar 5.8 Pilihan Kompetensi Team Work Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Dari hasil penilaian diatas didapatkan gambaran bahwa eselon III dan eselon IV
diharapkan
menguasai
kompetensi
dalam
mengelola
kehidupan
kelompok.. Kompetensi ini merupakan salah satu kunci yang dibutuhkan dalam menjalankan
fungsi fungsi organisasi. Dalam
penilaian DP3,
kompetensi ini dinilai dari aspek kerjasama pegawai. Meskipun berlaku untuk kedua jenis eselon, kompetensi teamwork lebih ditekankan pada level
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
159
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
eselon III. Hal ini menggambarkan suatu penekanan dimana pejabat eselon III diharapkan lebih mampu menjadi inisiator dan stabilisator dinamika teamwork dalam organisasi. Keberhasilan dalam membentuk teamwork ditentukan oleh kemampuan pimpinan yang lebih tinggi untuk menciptakan rasa kepercayaan sesama anggota organisasi dalam lingkungan kerja, menanamkan nilai nilai kerjasama, memperkuat koordinasi dan kohesi antar anggota. 5.
Kemampuan Sosial Deskripsi : Kemampuan untuk membangun hubungan kerja yang harmonis dan menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang beragam dan berubah ubah (dinamis) Variabel yang ditanyakan : a. Mendengarkan dan menghargai pendapat orang untuk kelancaran tugas. b. Kemampuan menyampaikan ide, gagasan secara jelas baik secara tertulis maupun lisan kepada orang lain c. Keluwesan bertindak dan mampu menanggapi perubahan baik di dalam maupun di luar organisasi. Gambar 5.9 Pilihan Kompetensi Sosial Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Kemampuan sosial atau sosial competence merupakan kemampuan seseorang dalam mengelola hubungan sosial yang harmonis dengan orang orang di lingkungannya. Hasil jajag persepsi responden menunjukkan bahwa baik eselon
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
160
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
III dan eselon IV memiliki persyaratan kompetensi sosial yang cukup tinggi. Perbedaan disini adalah bahwa eselon III diharapkan menguasi kompetensi sosial yang lebih tinggi daripada jabatan eselon IV. Meskipun dalam kenyataan sehari hari, eselon IV harus berhubungan dengan lebih banyak orang daripada eselon IV hal ini tidak berarti eselon III boleh memiliki tingkat kompetensi sosial yang lebih rendah. Hal ini disebabkan eselon III merupakan pimpinan yang bertanggungjawab dalam mengelola anggota organisasi baik secara langsung maupun tidak langsung, Disamping itu juga eselon III juga diberikan tanggung jawab besar dalam mengelola hubungan dengan pengguna layanan dari luar organisasi. 6.
Kemampuan Teknis Deskripsi : TIngkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas Variabel yang ditanyakan : a. Ketertarikan terhadap bidang keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan b. Menguasai keterampilan dan pengetahuan teknik/profesional c. Menjelaskan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki Gambar 5.10 Pilihan Kompetensi Teknis Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Dari hasil persepsi di atas diperoleh gambaran bahwa eselon III dan IV dituntut untuk memiliki kompetensi teknik yang cukup tinggi. Penguasaan kompetensi teknik dibutuhkan untuk menjalankan tugas tugas pokok organisasi. Namun
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
161
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
berbeda dengan profil kompetensi sebelumnya, eselon III pada umumnya diberikan tugas yang lebih menekankan pada fungsi koordinasi dan manajerial. Sementara itu tugas dengan bobot teknis lebih dibebankan pada pejabat yang lebih rendah karena harus berhadapan langsung dengan obyek yang dikelola oleh organisasi. Namun hasil jajag persepsi diatas menunjukkan hal yang berbeda dengan asumsi umum tersebut. Para responden berpendapat bahwa eselon III harus menguasai kompetensi teknis yang lebih tinggi daripada eselon IV. Hal ini tentunya harus diartikan bahwa eselon III bukan menangani porsi pekerjaan teknis yang lebih besar, tetapi memiliki kompetensi teknis yang lebih tinggi agar ia mampu membina dan mengarahkan pekerjaan bawahnya. Oleh sebab itu sebagai pejabat eselon III, ia diharapkan mempunyai pengalaman yang cukup matang di dalam bidang tugas/jenis pekerjaan yang ditanganinya. Secara keseluruhan hasil dari penilaian mengenai kompetensi yang dibutuhkan oleh jabatan struktural adalah pada umumnya untuk semua kompetensi terdapat jenjang kompetensi yang sesuai dengan asumsi teori mengenai pemilahan kompetensi seperti gambar di bawah. Dari hasil pendapat responden diperoleh gambaran bahwa semakin tinggi jabatan seseorang dalam organisasi, maka integritas,
kemampuan
memimpin,
kemampuan
manajerial,
kemampuan
manajerial dan kemampuan sosial harus semakin tinggi. Jenjang kompetensi Gambar 5.11 Profil Kompetensi Jabatan Eselon III dan Eselon IV
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
162
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
(competency grade) seperti ini tidak berlaku untuk bidang kompetensi teknis. Tabel di atas menunjukkan bahwa responden menganggap kemampuan teknis dibutuhkan dan dikuasasi dikuasai secara baik oleh eselon III ketimbang eselon IV. Sebagai konsekuensinya eselon III dituntut menguasai kompetensi teknis yang baik. Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan bahwa dalam menyusun pola karir maka faktor pengalaman dalam rumpun jabatan harus menjadi pertimbangan dalam menentukan career path. Terkait dengan hal ini maka Diklat teknis seyogyanya dijadikan
sebagai
syarat
untuk
menduduki
jabatan
yang
lebih
tinggi.
5.5 Implikasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Beban Kerja, Jumlah dan Kompetensi Pegawai Provinsi.
Perubahan dari UU no 22 tahun 1999 kepada UU no 32 tahun 2004 telah mengubah peran dan kedudukan provinsi dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia. Dengan adanya Undang undang yang baru tersebut maka pembagian urusan antara tingkat daerah dan nasional tidak lagi bersifat ekslusif melainkan bersifat concurent. Pelaksanaan urusan secara concurent didasarkan pada tiga kriteria yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi.
kewenangan menjadi memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada provinsi. Ekstenalitas artinya bahwa penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang timbul aikibat penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Yang
penanggungjawab
dimaksud
dengan,
penyelenggaraan
suatu
kriteria urusan
akuntabilitas
pemerintahan
adalah
ditentukan
berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jaugkauan dampak yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud dengan kriteria efisiensi adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh. Ketiga kriteria tersebut pada dasarnya merupakan pengejawantahan prinsip dasar subsidiaritas.
Prinsip
ini
merupakan
suatu
cara
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan dimana pemerintah hanya akan mengerjakan bidang bidang pekerjaan
yang
tidak
mampu
dikerjakan
oleh
masyarakat
atau
tingkat
pemerintahan yang lebih rendah. Sebaliknya, dalam rangka menjamin efektifitas
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
163
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pelayanan kepada masyarakat dan pengembangan potensi masyarakat, pemerintah harus mendorong agar pelaksanaan tugas tugas pemerintahan sejauh mungkin didelegasikan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang sesuai dengan sifat sifat pekerjaan itu sendiri. Dalam hal ini pelayanan yang bersifat langsung kepada
masyarakat
Kabupaten/Kota.
(proximity
Sedangkan
tugas
services) tugas
seyogyanya
pelayanan
yang
dikerjakan
oleh
bersifat
lintas
Kabupaten/Kota dibebankan kepada provinsi. Dari hasil penelitian di lima provinsi diperoleh gambaran bahwa penerapan UU no 32 tahun 2004 pada dasarnya menciptakan beban kerja yang lebih tinggi kepada pemerintah provinsi. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah belum dirumuskannya peraturan pelaksanaan UU no 32 tahun 2004. Keadaan ini menciptakan ketidakjelasan pengorganisasian kerja di organisasi pemerintah provinsi. Hal ini terlihat terutama dalam provinsi yang baru terbentuk yaitu Bangka Belitung dan Riau Kepulauan. Sesuai dengan prinsip subsidiaritas, maka kedua provinsi ini menanggung tugas tugas koordinasi dan residual yang belum dapat dikerjakan oleh Kabupaten/Kota. Hal ini membawa konsekuensi dalam bidang kepegawaian dimana provinsi yang bersangkutan mengalami kekurangan pegawai terutama untuk jenis jenis organisasi yang mempunyai tugas pokok dalam pelayanan baik yang bersifat kesejahteraan maupun yang bersifat ekonomis dalam rangka mendukung pengembangan potensi daerah.
Sementara itu bagi provinsi
yang telah lama terbentuk, ketidakjelasan ini terlihat dari tidakmeratanya persepsi beban kerja, dimana sebagian unit organisasi mengalami kelebihan sedangkan unit unit yang lain mengalami kekurangan pegawai. Kedua, khususnya menyangkut bidang kepegawaian, pemberian porsi kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah provinsi belum disertai dengan rumusan yang jelas mengenai tanggung jawab dan fungsi di bidang pengelolaan kepegawaian. Dalam UU no 32 tahun 2004 pemerintah provinsi memiliki kedudukan dan tanggung jawab sebagai wakil pemerintah pusat dalam membina pengelolaan kepegawaian di Kabupaten/Kota. Namun dalam kenyataan pengelolaan kepegawaian masih berjalan sebagaimana diatur oleh UU no 22 tahun 1999 dimana Kabupaten/Kota memiliki kewenangan yang ekslusif, dan sebaliknya pemerintah provinsi memiliki kedudukan
yang
lemah.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Keadaan
ini
menciptakan
ketidakberaturan
dan
164
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
pelanggaran dalam pengelolaan kepegawaian di tingkat Kabupaten/Kota. Disisi lain kewenanangan pemerintah provinsi dalam bidang kepegawaian seolah hanya bersifat simbolik saja. Ketiga, implementasi UU no 32 tahun 2004 memberikan kewenangan yang bersifat koordinasi dan pembinaan (dalam arti promotion and development) bagi penyelenggaraan
otonomi di tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini membawa
konsekuensi dimana para pejabat di provinsi diharapkan menguasi kompetensi teknis yang memadai sesuai dengan bidang tugasnya. Dari hasil deskripsi data bidang kompetensi di atas diperoleh gambaran bahwa eselon III diharapkan menguasi kompetensi teknis yang lebih tinggi daripada eselon IV. Hal ini disebabkan bahwa pejabat eselon III merupakan pejabat yang bertanggung jawab langsung dalam menerjemahkan kebijakan kebijakan pimpinan di lingkungan SKPD provinsi terkait dengan tugas koordinasi dan pembinaan kepada Kabupaten/Kota. Dengan pengaturan kepegawaian yang ada saat ini, hal ini akan menciptakan masalah dalam pembinaan kepegawaian di tingkat provinsi. Untuk memahami tugas tugas teknis yang diselenggarakan pada tingkat Kabupaten/Kota, secara ideal pejabat eselon III ke atas seyogyanya mengenal betul dan mempunyai pengalaman yang cukup di tingkat Kabupaten/Kota. Namun dengan sistem kepegawaian yang terpisah terutama dalam sistem karir maka
sangat
sulit
untuk
bicara
mengenai
akses
promosi
pejabat
dari
Kabupaten/Kota ke tingkat provinsi. Terlebih lagi, Kabupaten/Kota dengan tuntutan pelayanan yang dihadapinya mereka merasa kekurangan pegawai. Sehingga besar kemungkinan mereka tidak akan melepas pegawainya yang potensial untuk meneruskan karirnya di tingkat provinsi. Melihat keadaan ini maka perlu kiranya dipertimbangkan mekanisme karir yang memudahkan mobilitas dari Kabupaten/Kota ke Provinsi dan juga antar Provinsi. Aspek yang kedua tersebut didasarkan pada hasil pengamatan di lapangan bahwa terdapat sebagian provinsi yang mengalami kelebihan jumlah pegawai dengan kualifikasi yang cukup tinggi seperti di DIY dan disisi lain terdapat provinsi yang mengalami kekurangan pegawai yang sangat signifikan.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
165
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Masalah kepegawaian dalam konteks UU no 32 tahun 2004 merupakan kunci bagi keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh sebab itu perlu pengaturan bersama terutama antar pemerintah daerah untuk memungkinkan adanya transfer pegawai
guna
memenuhi
kekurangan
pegawai
baik
dalam
kualitas
dan
kuantitasnya. Namun demikian inisiatif ini belum menjadi agenda kebijakan, karena dominasi yang besar dari pemerintah pusat dalam pengaturan kepegawaian. Lebih dari itu dominasi tersebut belum diikuti dengan harmonisasi kebijakan antar instansi instansi yang berkompeten dalam pengaturan bidang kepegawaian dan pemerintahan umum.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
166
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Berdasarkan dari hasil analisis yang telah dipaparkan pada bab III dan hasil diskusi dengan berbagai stakeholders yang terkait di studi ini, maka dapat dirumuskan suatu kesimpulan dan rekomendasi strategi dan rencana tindak pengelolaan aparatur pemerintah daerah provinsi di masa yang akan datang.
6.1
Kesimpulan Studi
Dari hasil studi yang dilakukan oleh tim tentang ”Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Pada Pengelolaan Aparatur Daerah Provinsi” dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Pola pembagian urusan tersebut bagi pemerintah provinsi yang baru akan memberi beban ekstra sehingga menyebabkan beban pekerjaan yang tinggi. Disamping itu peraturan pembagian urusan yang belum jelas (sampai saat selesainya penelitian dilakukan) menyebabkan kesulitan bagi pemerintah provinsi untuk menata distribusi pembagian pekerjaan di antara pegawai. Sebab lain dari masalah beban kerja adalah kecenderungan pemerintah daerah untuk menciptakan organisasi yang besar tanpa definisi fungsi dan lingkup kewenanangan yang jelas. Peran dan status ganda pemeritah provinsi juga menyebabkan terhambatnya pelaksanaan tugas-tugas pelayanan, khususnya yang menyangkut kabupaten/kota. Dualisme otonomi antara provinsi dengan kabupaten juga ternyata menghambat tugas dan peran provinsi sebagai wakil pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi dan pengawasan pembangunan lintas kabupaten/kota. b. Setelah kebijakan desetralisasi dan otonomi daerah, ternyata menimbulakn permasalahan kepegawaian yang semakin kompleks baik berkaitan dengan formasi, rekruitmen, promosi dan mutasi, pengembangan pegawai, kompetensi pegawai, maupun remunerasi. Hal ini disebabkan oleh adanya tarik ulur antara penguasa dan pejabat-pejabat yang bekepentingan. Di samping itu, munculnya banyak regulasi yang dapat membingungkan aparatur pemerintah di daerah.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Posisi provinsi tidak diuntungkan karena ketidakjelasan peraturan pelaksanaan UU no 32 tahun 2004 khususnya terkait dengan bidang kepegawaian. Disatu sisi, pengaturan kepegawaian antara instansi pemerintah pusat yang terkait dengan kebijakan kepegawaian belum memiliki pola koordinasi yang cukup jelas yang berorientasi
pada
pemberdayaan
daerah,
sehingga
seringkali
kebijakan
pemerintah pusat sering dirasa berbelit belit dan tidak responsive dengan masalah masalah di daerah. Disisi lain, pemerintah provinsi tidak cukup dibekali dengan wewenang yang memadai dalam menjalankan fungsinya di bidang urusan kepegawaian. c. Dengan
dua
pendekatan
dalam
mennetukan
jumlah
optimal
pegawai
menunjukkan bahwa terdapat kelebihan pegawai pada provinsi lama dan kekurangan pada pegawai pada provinsi baru. Untuk menentukan jumlah pegawai, tidak cukup dengan memperhitungkan jumlah penduduk, tetapi perlu memperhatikan aspek lainnya, misalnya kemampuan ekonomi daerah, luas wilayah, dan sebagainya. Penerapan UU no 32 tahun 2004 yang mengatur pembagian urusan secara concurrent menciptakan suatu keadaan dimana peran provinsi lebih dituntut bersifat pembinaan dan koordinasi. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pejabat di tingkat provinsi terutama yang terkait dengan pelaksanaan teknis, diharapkan menguasai kompetensi teknis yang cukup tinggi sehingga mampu memberikan bimbingan dan bantuan kepada Dinas/SKPD yang bersangkutan di Kabupaten/Kota.
Hal ini menjadi alasan agar pejabat eselon III tidak saja
menguasai kompetensi manajerial yang lebih tinggi daripada eselon IV namun juga diharapkan memiliki tingkat kompetensi teknis yang lebih tinggi. Saat ini tuntutan tersebut dapat dipenuhi dengan adanya limpahan pegawai dari Kanwil yang bergabung sejak tahun 2001. Namun pada masa yang akan datang tuntutan ini akan sulit dipenuhi jika tidak didukung dengan keluwesan karir pegawai yang memungkinkan mobilitas dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. Hal ini disebabkan tuntutan penguasaan kompetensi teknis yang tinggi diperlukan pengalaman di lapangan. Sementara itu dengan UU no 32 tahun 2004 tugas provinsi lebih banyak bersifat koordinasi dan penetapan kebijakan.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
168
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
6.2
Rekomendasi
Dalam rangka implementasi UU no 32 tahun 2004 yang menggantikan UU no 22 tahun 1999 diperlukan adanya penguatan peran provinsi dalam kebijakan manajemen SDM daerah melalui upaya upaya sebagai berikut : 1. Pembinaan dalam penguatan infrastruktur manajemen kepegawaian provinsi a. Guna mendukung profesionalisme pegawai dan mencegah intervensi kepentingan politik dan primordial maka perlu adanya penyusunan pola dasar karir di lingkungan pemerintah provinsi. Khususnya dalam kebijakan pengembangan pegawai (termasuk karir dan pendidikan latihan) perlu dibentuk
adanya
assesment
center
yang
dapat
melayani
juga
Kabupaten/kota di satu provinsi. b. Penyusunan sistem informasi kepegawaian terpadu tingkat provinsi dan nasional. Sistem ini diperlukan untuk memahami secara akurat dan terpadu keadaan dan kebutuhan kepegawian yang menjadi dasar bagi pembuatan kebijakan kepegawaian secara cepat dan efektif. Dengan adanya system informasi ini maka dimungkinkan adanya koordinasi yang lebih kuat antara provinsi, kabupaten, dan pemerintah pusat. c. Pembuatan klasifikasi jabatan yang memudahkan untuk pengukuran beban kerja serta pengorganisasian dan distribusi pekerjaan sesuai dengan kompetensi pegawai. Klasifikasi jabatan akan membantu untuk menentukan nilai suatu jabatan dan karakteristik jabatan sehingga memudahkan dalam pemberian ganjaran yang adil serta penentuan penempatan pegawai yang tepat sesuai kompetensinya. d. Penerapan kebijakan sistem karir terbuka antar daerah. Penerapan otonomi daerah memilki resiko adanya sistem kepegawaian yang terkotak kotak sehingga menyebabkan masalah yang sangat signifikan dalam pemerataan kesejahteraan antar daerah. Oleh sebab itu kebijakan kepegawaian seyogyanya mendorong adanya sistem karir terbuka antara provinsi atau provinsi kabupaten/kota vice versa. e. Penyusunan
standard
kompetensi
jabatan
yang
mampu
menjamin
pelaksanaan pembinaan kepegawaian secara obyektif dan bebas dari politisasi dan primordialisme
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
169
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
2. Penguatan dalam koordinasi pelaksanaan kebijakan kepegawaian provinsi
Koordinasi
dalam
perencanaan
bidang
kepegawaian
dengan
memperhatikan kebutuhan lintas kabupaten/kota dan antar provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dalam satu provinsi
Koordinasi
dan
Kabupaten/kota
penyederhanaan dan
antara
mutasi
kepegawaian
Kabupaten/Kota
ke
Provinsi
antar atau
sebaliknya. 3. Pengawasan dan pengendalian Penguatan peran pengawasan yang harus dilakukan oleh provinsi terhadap pelaksanaan peraturan kepegawaian. Penguatan ini perlu didukung dengan wewenang dan sumber daya hokum (misalnya wewenang pemberian sangsi) yang memadai. Pengawasan kepegawaian bidang mutasi, pengangkatan dan pemberhentian pegawai perlu mendapatkan perhatian lebih besar karena potensi politisasi dan primordialisme yang besar. Terkait dengan hal ini karena pertimbangan efektifitas dan efisiensi perlu dipertimbangkan bahwa proses rekrutmen perlu dipusatkan di tingkat provinsi.
4. Dukungan pusat dalam pembinaan kepegawaian. Koordinasi instansi terkait dalam manajemen kepegawaian, Depdagri, Depkeu,
MENPAN,
BKN,
LAN.
Berbagai
masalah
pelanggaran
dan
penyimpangan kepegawaian terjadi akibat koordinasi yang lemah antara instansi instansi pemerintah yang memiliki kewenangan terkait dengan kebijakan kepegawaian. Oleh sebab itu sebagai langkah koordinasi antara instansi tersebut diperlukan adanya
komite interministerial pembinaan
kepegawaian sehingga setiap kebijakan. Disamping itu dalam rangka merubah mindset pengelolaan kepegawaian yang masih berorientasi kepada peraturan menjadi lebih berorientasi kepada prinsip manajemen sumber daya manusia maka diperlukan penyusunan pedoman dan peraturan pelaksanaan dalam penguatan infrastruktur kepegawaian. Infrastruktur tersebut meliputi standard kompetensi, penilaian kinerja yang obyektif, standard rumenerasi bagi pegawai yang berorientasi kepada kinerja dan sistem informasi kepegawaian yang akurat dan bersifat nasional. Dalam
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
170
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
rangka menciptakan pengelolaan sumber daya manusia aparatur daerah yang berorientasi pada kinerja pelayanan, diperlukan pula adanya sistem terbuka kepegawaian antar provinsi sehingga kelebihan pegawai di satu provinsi dapat dimanfaatkan oleh provinsi yang lain. Hal ini merupakan agenda penting mengingat penyebaran penduduk dan pembangunan sendiri saat ini belum merata. Sekitar 70 % penduduk Indonesia masih tinggal di Jawa sehingga ketimpangan sumber daya manusia menjadi sangat signifikan.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
171
DAFTAR PUSTAKA Amstrong, M. Joko. 2001. Dampak Penataan Organisasi Pemerintah Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan BKN. Jakarta Amstrong, Michael. 2003. The Art of HRD, Managing People, A Practical Guide for Line Managers. PT. Gramedia. Jakarta BPS Provinsi DIY. 2006. Yogjakarta Dalam Angka 2006. BPS. Yogjakarta BPS Provinsi Banten. 2006. Banten Dalam Angka 2006. BPS. Banten BPS Provinsi Bangka Belitung. 2006. Bangka Belitung Dalam Angka 2006. BPS. Bangka Belitung BPS Provinsi Kepulauan Riau. 2006. Kepulauan Riau Dalam Angka 2006. BPS. Kepulauan Riau BPS Provinsi Sumatera Utara. 2006. Sumatera Utara Dalam Angka 2006. BPS. Sumatera Utara Breyfogle III, Forrest W. 2003. Implementing Six Sigma: Smarter Solutions Using nd Statistical Methods 2 ed. John Wiley & Sons. Federico, Mary, and Renee Beaty. Rath & Strong’s Six Sigma Team Pocket Guide. McGraw-Hill, 2004. George, Michael L., Rowlands, David, Price, Mark and John Maxey. The Lean Six Sigma Pocket Tool Book. McGraw-Hill 2005. Gitlow, PhD., Howard S., and David M. Levine, Ph.D. Six Sigma for Green Belts and Champions. Prentice Hall, 2005. Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja Dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No 145, September, Halaman 36-40. Green, William H. Econometric Analysis. 2nd ed. (New York: Macmilan Publishing Co, 1993. Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap Kinerja BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang. Irawan, Prasetya. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. STIA-LAN Press. Jakarta ______________. 2000. Pengembangan Sumber Daya Manusia. STIA-LAN Press. Jakrata Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari, Halaman 34-35. Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action, Boston: Havard Business School Press. Mangkuprawira, Safri. 2004. Manajemen Sumber Daya Strategik. Ghalia Indonesia. Jakarta Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002. Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46. -------------------, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Akhir Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 03, Tahun XXVIII, Maret, Mardalis, 1989. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara, Jakarta
Pande, Peter S., Neuman Robert P, dan Roland R. Cavanagh. The Six Sigma Way: Team Fieldbook, An Implementation Guide for Process Improvement Teams. McGraw-Hill, 2002. Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur. 2006. Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya Dalam APBD. PKKSDA-LAN. Jakarta. ______________. 2006. Pengembangan Pegawai Berbasis Kompetensi Bagi Sumber Daya Manusia Aparatur Pusat. PKKSDA-LAN. Jakarta. Sarwoko. Dasar-Dasar Ekonometrika. Andy. Yogjakarta. 2005. hal. 196 – 197 Sasongko, Nanang. 2004. BALANCE SCORECARD PERSPEKTIF PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN (LEARNING AND GROWTH PERSPECTIVE ). Unjani. Bandung Shermon, Ganesh. 2000. Competency Based HRM. Tata McGraw-Hill. New Delhi Spencer, Lyle M. Jr and Signe M. Spencer. 1993. Competence At Work Models for Superior Performance. John Wiley & Sons. Inc. Thoha, Miftah. 2005. Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia. Prenada Media. Jakarta. Peraturan-Peraturan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Negara Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang “Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonom”
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Lampiran 1: Hasil Perhitungan Jumlah Pegawai Optimal Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Jumlah Pegawai Riel 241 50 586 286 105 114 415 146 188 93 137 176 271 121 984 387 241 83 98 501 89 589 289 315 99 241 68
Unit Biro Hukum Biro Organisasi Dinas Pertanian Dinas Ketertiban Biro Kepegawaian Badan Pariwisata Daer. Dinas Sosial Perpustakaan Dinas Perikanan Dinas Kebudayaan Bapeda Biro Umum Perhubungan Biro Pemerintahan Kimpraswil Disperindankop Badan Pengl.Keuangan Bapeldalda Badiklat Kehutanan & Perkebunan Badan Pengawas Daerah Dinas Kesehatan Dinaskentrans RS Grahasia DPRD Dinas Pendidikan Arsip Daerah Kantor Pemberdayaan Perempuan 50 Biro Kerja Sama 47 Perwakilan DIY 35 Sekretariat KPU 32 Jumlah 6963 Total Kelebihan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Jumlah Pegawai Optimal 205 33 455 231 86 73 343 107 155 162 132 148 230 85 829 298 187 75 99 438 98 579 251 280 92 205 90
Keterangan Pegawai kelebihan 36 17 131 55 19 41 72 39 33
Kekurangan
69 5 28 41 36 155 89 54 8 1 63 9 10 38 35 7 36 22
62 38 31 33
12 9 4
6028
1048
1 113 935
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Provinsi Banten
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Unit
Jumlah Pegawai Riel
Dinas Pertambangan dan Energi 139 Biro Pemerintahan 47 Biro Organisasi 41 Dinas Sosial & Tenaga Kerja 190 Dinas PU 676 Biro Kepegawaian 69 Dinas Kebudayaan 89 KPPE 30 Biro Hukum 53 Dinas Kesehatan 115 Satpol PP 111 Dinas pariwisata 78 Biro Organisasi 41 BAWASDA 96 Sekretariat 41 Badan Pemberdayaan Masyarakat 80 Dinas Pendidikan 160 Kantor Penghubung 23 Biro keuangan 85 KPUD 12 Dinas Perikanan & Kelautan 33 Badan Kesbang Linmas 39 Badiklat 45 DIPENDA 130 Biro Ekonomi 24 Sekretariat DPRD 45 Dinas Perhubungan 47 BAPEDA 44 Bapedalda 29 Dinas Koperasi & UKM 22 Kantor Arsip Daerah 15 Jumlah 2649 Total Kelebihan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Keterangan Pegawai
Jumlah Pegawai Optimal
kelebihan
128 40 24
11 7 17
143 656 50 78 29 49 102 105 90 24 81 61
47 20 19 11 1 4 13 6 12 17 15 20
67 144 20 94 8
13 16 3
32 37 49 134 27 40 53 47 28 19 15
1 2
2474
Kekurangan
9 4
4 4 3 5 6 3 1 3 236
61 175
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Propinsi Bangka Belitung
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Unit
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Dinas Pertambangan dan Energi Dinas Perikanan dan kelautan Biro Umum Biro Pemerintahan Badan Diklat Biro Hukum Biro Kesejahteraan Sosial KPUD Dinas Pendidikan Biro kepegawaian BAPEDA Dinas Pertanian dan kehutanan Dinas Kesehatan Dinas PU Dinas Pendapatan Daerah Biro Organisasi Sekretariat Daerah Biro Ekonomi Pembangunan Biro Keuangan Sekretariat DPRD Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi Dinas Peerhubungan & Pariwisata Dinas Perindagkop & UKM Dinas kesejahteraan Sosial BAPEDA Badan Kesbang Linmas BKPMD Bapedalda KPUD Kantor Penghubung
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Keterangan Pegawai
Jumlah Pegawai Riel
Jumlah Pegawai Optimal
33
63
30
40
44
4
61 129 54 42 22 89 26 65 28 83
57 135 37 62 27 107 16 65 26 85
117 91 322 140 16 53
106 82 314 126 24 52
24 34 63
29 29 63
42
55
13
57 54
70 57
13 3
50 61 41 35 36 16 16
56 67 48 40 34 18 13
6 6 7 5
kelebihan
Kekurangan
4 6 17 20 5 18 10 2 2 11 9 8 14 8 1 5 5 0
2 2 3
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
32 33 34
RSJ Sungai Liat 137 DPP Korpri 9 Satpol PP 56 Jumlah 2008 Total Kekurangan
144 7 63
2
7
2057
84
7 133 49
Propinsi Kepulauan Riau
Unit
1. Inspektorat Daerah 2. Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah 3. Badan Promosi dan Investasi Daerah 4. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah 5. Badan Kepegawaian Daerah 6. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 7. Badan Kesbang, Politik dan Linmas 8. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa 9. Badan Pendidikan dan Latihan 10. Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan 11. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 12. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 13. Dinas Kesehatan 14. Dinas Pekerjaan Umum 15.Dinas Perhubungan, Pos dan Telekomunikasi 16. Dinas Kelautan dan Perikanan 17. Dinas Pendidikan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Keterangan Pegawai
Jumlah Pegawai Riel
Jumlah Pegawai Optimal
44 40
44 47
20
36
16
25
35
10
28 42
35 49
7 7
21
27
6
19
15
12 36
19 46
7 10
19
25
6
29
25
84 61 37
96 89 40
12 28 3
57 45
79 47
22 2
Kelebihan
Kekurangan
0 7
4
4
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
18. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 19. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 20. Dinas Pendapatan Daerah 21. Dinas Pertambangan dan Energi 22. Dinas Sosial 23. Dinas Pemuda dan Olahraga 24.Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah 24. Biro Humas dan Protokol 25.Biro Administrasi Perekonomian 26.Biro Administrasi Kesejahteraan Rakyat 27. Biro Pemberdayaan Perempuan 28. Biro Umum 29. Biro Hukum dan Organisasi 30. Biro Administrasi Pemerintahan 31. Biro Administrasi Pembangunan 32. Biro Perlengkapan 33. Satuan Polisi Pamong Praja 34.Sekretariat Komisi Penyiaran Indonesia Daerah 35. Sekretariat KORPRI 36. Sekretariat KPU 37. Sekretariat DPRD 38. Kantor Penghubung 39. Kantor Perpus & Arsip Daerah Jumlah Total Kekurangan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
31
34
3
30
44
14
83 19
79 20
16 14 12
25 18 29
25 16 15
20 14 12
5 2 3
11 47 17 29 21
7
4
50 19 33 19
11 16 11
15 24 8
9 8 96 4 11
5 6 61 6 17
4 2 35
920
1012
68
4 1 9 4 17
3 2 4 2 4 8 3
2 6 160 92
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Propinsi Sumatera Utara
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Unit BKD Biro Pemberdayaan Perempuan RS Jiwa Dinas Pendidikan Badan Kominfo Badan Pemberdayaan Masyarakt Biro Pemerintahan Biro Otonomi Daerah Biro Organisasi dan Tata Laksana Biro Perekonomian Biro Pembangunan Biro Hukum Biro Bina Sosial Biro Umum Biro Perlengkapan Biro Keuangan Sekretariat DPRD Inspektorat Propinsi BAPPEDA BADIKLAT BAPEDALDA Badan Investasi dan Promosi Badan Litbang BangkesbangLinmas Badan Ketahanan Pangan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Jumlah Pegawai Riel 126
Jumlah Pegawai Optimal 101
31 231 538 191
34 242 510 196
100 64 33
110 56 36
29 65 45 27 54 141 57 156 59 122 115 99 94
26 58 40 29 57 137 53 149 62 145 112 102 92
72 53 98 80
74 50 93 76
Keterangan Pegawai kelebihan 25
Kekurangan
3 11 28 1 10 8 3 3 7 5 2 3 4 4 7 3 23 3 3 2 2 3 5 4
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Badan Perpustakaan & Arsip Daerah 123 Kantor PDE 34 Kantor Penghubung Daerah 34 Kantor Satpol PP 29 Komisi Penyiaran Indonesia 25 Dinas Tenaga kerja & Trans 411 Dinas Penataan ruang & Mukim 384 Dinas Kesehatan 1146 Dinas Sosial 679 Dinas Kebudayaan & Pariwisata 251 Dinas Kehutanan 647 Dinas Pertambangan & Energi 150 Dinas Perhubungan 936 Dinas Perindustrian & Dagang 394 Dinas Koperasi & UKM 108 Dinas Jalan & Jembatan 560 Dinas Pengairan 809 Dinas Pendapatan 443 Dinas Pertanian 602 Dinas Pemuda & Olahraga 77 Dinas Perkebunan 155 Dinas Peternakan 102 Dinas Perikanan 149 Jumlah 8981 Total Kelebihan
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
117 36
6
32 38
2
20
5
398
13
379 1129 660
5 17 19
249 629
2 18
139 928
11 8
389 103 547 796 439 596 70 150 99 147
5 5 13 13 4 6 7 5 3 2
8834
186
2
9
39 147
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Lampiran 2: Kuesioner Form A
FORM A - BAPPEDA
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
INFORMASI UMUM BEBAN KERJA PROVINSI
PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenarbenarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
INFORMASI UMUM PROPINSI : INSTANSI:
PERTANYAAN No
Aspek Secara Umum
Indikator
1
Jumlah Penduduk
Jumlah total penduduk Propinsi
2
Luas Wilayah
Total luas wilayah Propinsi
3
Rentang Kendali
Total jumlah Kabupaten/Kota dalam Propinsi
4
Kemampuan Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Penerimaan daerah sendiri (PAD)
5
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Jumlah rata-rata DAK yang diterima selama 3 tahun berturut-turut
Jumlah
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Lampiran 3: Kuesioner Form B
FORM B – SELURUH INSTANSI Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
INFORMASI TUGAS DAN BEBAN KERJA PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenarbenarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih.
Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
INFORMASI UMUM PROPINSI : INSTANSI:
DATA RESPONDEN
Nama Usia
tahun
Jenis Kelamin
L/P
Pendidikan Terakhir No.Telp/Hp Oganisasi SKPD Unit (Setara Eselon III) Jabatan
DATA INSTANSI Isilah jumlah pegawai yang mendukung semua pelaksanaan jenis pekerjaan dinas/kantor/unit dengan baik. Jumlah pegawai ini terdiri dari jumlah PNS dan Honorer Daerah. Jumlah PNS
orang
Jumlah Honda
orang
PENJELASAN Kolom 1 Jenis Pekerjaan terdiri dari : Teknis Administrasi : Pekerjaan Teknis Administrasi merupakan pekerjaan yang mendukung seluruh pelaksanaan kegiatan di dinas/unit/kantor sehingga dapat terselenggaraanya semua kegiatan. (sifatnya internal) Contoh : mengarsip surat, menyediakan ruang rapat, menyediakan peralatan kantor, menerima tamu, menjawab telepon, mengantar pimpinan, membersihkan ruangan kantor dll. Teknis Pelayanan : Pekerjaan Teknis Pelayanan merupakan pekerjaan yang sifatnya melayani secara langsung masyarakat pelanggan atau Stake holder terkait dengan pelaksanaan TUPOKSI dinas/unit/kantor. (sifatnya external) Contoh :membuat KTP, sosialisasi kegiatan ke instansi lain, memberikan penyuluhan ke masyarakat, menyediakan sarana dan prasarana bagi kepentingan umum, dll.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Penyusunan Kebijakan : Pekerjaan penyusunan kebijakan merupakan kegiatan yang terkait dengan pengaturan bidang bidang yang menjadi kewenangan organisasi. Contoh : penyusunan bahan perda, penyusunan bahan masukan perencanaan pembangunan daerah, pelaksanaan kajian dsb. Tugas lainnya, kegiatan kegiatan tambahan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi organisasi. Contoh : menghadiri rapat koordinasi, diklat, seminar dan sebagainya. Kolom 2 : Prakiraan Prosentase pelaksanaan jenis pekerjaan/hari merupakan prakiraan penghitungan pelaksanaan jenis pekerjaan yang dilaksanakan di unit/dinas/kantor dalam satu hari. Penghitungan ini harus memperhatikan 3 jenis pekerjaan yang dilaksanakan di dinas/unit/kantor. Total secara keseluruhan prosentase pelaksanaan jenis pekerjaan ini adalah : 100% Contoh : pelaksanan pekerjaan untuk teknis administrasi adalah : 20%, Teknis Pelayanan : 50%, serta Penyusunan kebijakan: 30%, maka totalnya adalah: 100% Ini berarti bahwa rata-rata pekerjaan yang dilakukan di dinas/unit/kantor selama satu hari untuk teknis administrasi : 20%, teknis Pelayanan 50% serta Penyusunan Kebijakan: 30%. (penentuan ini merupakan prakiraan rata-rata dalam melaksanakan pekerjaan selama satu hari di dinas/unit/kantor ini). Kolom 3 : Prakiraan rata-rata jumlah pegawai dalam melaksanakan pekerjaan adalah jumlah pegawai (PNS dan Honorer) yang melaksanakan jenis pekerjaan di dinas/kantor/unit selama satu hari. Dalam melakukan penghitungan harap diperhatikan bahwa pegawai di Dinas/Unit/Kantor ini dapat melakukan pelaksanaan pekerjaan lebih dari satu jenis pekerjaan. Contoh : Misal Jumlah pegawai di dinas/unit/instansi : 3 orang maka ketiga orang ini dapat melaksanakan pekerjaan ke tiga jenis pekerjaan yaitu : Teknis Administrasi, Teknis Pelayanan serta Penyusunan Kebijakan. Sehingga akan ditulis : 3 pegawai di Teknis Administrasi; 3 pegawai di Teknis Pelayanan serta 3 pegawai di Penyusunan Kebijakan. Penghitungan ini dapat dibenarkan. Kolom 4 : Prakiraan rata-rata waktu dalam melaksanakan jenis pekerjaan merupakan penghitungan rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh seorang pegawai dalam melaksanakan jenis pekerjaan selama satu hari. Harap diperhatikan sesuai dengan peraturan maka maksimal waktu seorang pegawai dalam melaksanakan jenis pekerjaan dalam satu hari adalah: 7,5 jam, sehingga dalam menghitung prakiraan rata-rata satu orang pegawai tidak melebihi jumlah maksimal yang telah ditetapkan yaitu 7,5 jam/pegawai. PERTANYAAN
No
Jenis Pekerjaan
1 1
Teknis Administrasi
2
Teknis Pelayanan
Prakiraan Prosentase Pelaksanaan Jenis Pekerjaan/Hari 2
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Prakiraan Rata-Rata Jumlah Pegawai Serta Waktu dalam melaksanakan Jenis Pekerjaan Pegawai Waktu (jam) 3
4
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
No
Jenis Pekerjaan
1 3
Penyusunan Kebijakan
4
Tugas Lainnya
Prakiraan Prosentase Pelaksanaan Jenis Pekerjaan/Hari 2
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Prakiraan Rata-Rata Jumlah Pegawai Serta Waktu dalam melaksanakan Jenis Pekerjaan Pegawai Waktu (jam) 3
4
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Lampiran 4: Kuesioner Form C
FORM C – BAPPEDA BAG.KEPEGAWAIAN DINAS PENDIDIKAN
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI PENENTUAN STANDAR KOMPETENSI JABATAN STRUKTURAL PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenarbenarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
DATA RESPONDEN I.
UMUM
PROPINSI
:
INSTANSI*
: BAPPEDA/BAGIAN ADM KEPEGAWAIAN/DINAS PU/ DINAS PENDIDIKAN
UNIT
:
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
*Coret yang tidak dipilih
II.
PERSONAL
Nama Usia
tahun
Jenis Kelamin
L/P
Pendidikan Terakhir No.Telp/Hp Eselon**
II/
III/
Jabatan
**Beri tanda
9 pada kotak jawaban yang dipilih
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
IV
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
KUESIONER PENENTUAN STANDAR KOMPETENSI JABATAN Keterangan Kompetensi jabatan adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang dalam rangka menjalankan tugas tugas sesuai terkait dengan tanggung jawab jabatannya.Kompetensi jabatan dalam hal ini dibedakan menjadi lima bidang yaitu kemampuan etik atau integritas, kepimpinan, manajerial, team work, social, dan professional atau teknik. Petunjuk Pengisian : Responden diharuskan memilih salah satu angka 1(satu) sampai 5 (lima) dengan cara memberi tanda silang (X) sesuai dengan pilihannya pada setiap pernyataan di tabel standar kompetensi jabatan. Arti dari masing-masing angka tersebut bagi persyaratan jabatan adalah sebagai berikut : Angka 1(satu) berarti kompetensi tersebut sangat tidak dibutuhkan; Angka 2(dua) berarti kompetensi tersebut tidak dibutuhkan; Angka 3(tiga) berarti kompetensi tersebut cukup dibutuhkan; Angka 4(empat) berarti kompetensi tersebut dibutuhkan; Angka 5(lima) berarti kompetensi tersebut sangat dibutuhkan. Tabel Standar Kompetensi Jabatan adalah sebagai berikut : Tabel Standar Kompetensi Jabatan
NO
PERNYATAAN
A.
INTEGRITAS Deskripsi : Bertindak konsisten sesuai dengan nilai nilai dan kebijakan Organisasi serta kode etik profesi dengan mempertahankan norma norma social dan organisasi walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya sehingga terdapat satu kesatuan antara kata dan perbuatan. Dalam setiap keadaan dapat mengkomunikasikan maksud, ide serta perasaan secara terbuka, jujur dan langsung.
1
Memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, yaitu dengan mengikuti norma sosial, etika dan organisasi, serta yakin bahwa yang dilakukan tidak melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan.
2
Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinannya, serta jujur dalam berhubungan dengan orang lain.
3
Bertindak berdasarkan nilai walaupun sulit untuk melakukannya
NO B.
PERNYATAAN KEPEMIMPINAN Deskripsi : Kemampuan untuk memimpin orang lain melalui tindakan mempengaruhi/meyakinkan orang lain, memberikan arah
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Pilih jawaban yang sesuai *) 1 2 3 4 5
Pilih jawaban yang sesuai *) 1 2 3 4 5
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
petunjuk, mendorong motivasi/komitmen orang lain untuk melakukan rencana kerja dalam organisasi 1
Menyakinkan orang lain secara langsung dalam diskusi atau presentasi mengenai rencana kerja unit organisasi.
2
Memberikan arahan yang jelas mengenai tugas yang diharapkan
3
Membangun motivasi orang lain untuk dalam mencapai tujuan organisasi.
C.
KEMAMPUAN MANAJERIAL Deskripsi : Kemampuan untuk merencanakan dan mengatur pelaksanaan pekerjaan di unit kerjanya
1
Membuat prioritas, untuk mengenali kegiatan dan penugasan yang lebih penting dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada dan jadwal waktu kegiatan.
2
Menentukan penugasan dan sumber dayanya, yaitu dengan menguraikan ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, serta melakukan koordinasi dengan mitra kerja internal dan eksternal.
3
Tetap terfokus, menggunakan waktu secara efektif dan mencegah gangguan yang menyimpang agar tidak menggannggu penyelesaian pekerjaan.
D.
KEMAMPUAN TEAM WORK Deskripsi : Kemampuan membangun kerjasama dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok dalam melaksanakan tugas
1
Berpartisipasi dalam kelompok, mendukung keputusan tim dan menyelesaikan tugasnya dalam tim serta membagi informasi yang berguna dan relevan bagi anggota tim.
2
Meminta dan menghargai pendapat orang lain dalam rangka menentukan keputusan.
3
Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
NO E.
PERNYATAAN KEMAMPUAN SOSIAL Deskripsi : Kemampuan untuk membangun hubungan kerja yang harmonis dan menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang beragam dan berubah ubah (dinamis)
1
Mendengarkan dan menghargai pendapat orang untuk
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Pilih jawaban yang sesuai *) 1 2 3 4 5
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
kelancaran tugas. 2
Kemampuan menyampaikan ide, gagasan secara jelas baik secara tertulis maupun lisan kepada orang lain.
3
Keluwesan bertindak dan mampu menanggapi perubahan baik di dalam maupun di luar organisasi.
F
KEMAMPUAN TEKNIK Deskripsi : TIngkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas
1
Ketertarikan terhadap bidang keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan
2
Menguasai keterampilan dan pengetahuan teknik/professional
3
Menjelaskan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki
H
KOMPETENSI LAINNYA..(Usulan dari responden). 1..................................................... Indikatornya : a................................................................. b................................................................. c.................................................................
2................................................................. Indikatornya : a........................................ b............................................. Catatan : Data ini kami harapkan bisa segera diisi dan disampaikan atau diserahkan pada saat FGD.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Lampiran 5: Kuesioner Form D
FORM D - PENELITI
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI PEDOMAN WAWANCARA MANAJEMEN KEPEGAWAIAN PENJELASAN Pedoman Wawancara Mendalam ini adalah merupakan alat pengumpul data yang digunakan pada saat melakukan wawancara mendalam dengan narasumber/key-informan di daerah wilayah yang telah ditetapkan. Pedoman Wawancara Mendalam bersifat prinsipil, yang penerapannya di lapangan dapat disesuaikan oleh Pewawancara/Pengumpul Data berdasarkan Teknik Wawancara Mendalam yang digunakan menurut situasi kondisi di lapangan. Hal penting perlu dikuasai oleh Pewawancara/Pengumpul Data adalah: 1. Sebelum Pelaksanaan Wawancara Mendalam Persiapkan dan kuasai substansi pedoman Wawancara Mendalam, terutama variabel, dan indikatornya Kuasai situasi kondisi lokasi maupun peluang hubungan komunikasi dengan interviewee (responden) untuk menentukan teknik wawancara yang paling tepat/efektif Buat kesepakatan jadwal dan tempat wawancara dengan para responden. Perhitungkan bahwa waktu yang dibutuhkan cukup. Persiapkan alat tulis, alat rekam yang memadai (disediakan oleh masing-masing Pewawancara) 2. Saat Pelaksanaan Wawancara Jelaskan maksud, tujuan, dan sasaran wawancara. Jelaskan scenario dan teknik wawancara yang akan dilakukan. Pastikan alat penunjang kerja, baik alat tulis maupun perekam tersedia dan bekerja dengan baik Ciptakan kondisi bahwa pewawancara berbicara lebih sedikit (tidak mendominasi) pembicaraan dibandingkan dengan para responden Penggunaan pertanyaan-pertanyaan eksploratif dan penelusuran sangat disarankan bilamana saja diperlukan dan memungkinkan. 3. Setelah Pelaksanaan Wawancara Periksa hasil pencatatan atau rekaman audio telah tercatat/terekam dengan sempurna Buat transkrip data dari hasil pengumpulan data Buat eksekutif summary (catatan lapangan) hasil pengumpulan data.
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
DATA INFORMAN
Nama
Usia
tahun
Jenis Kelamin
L/P
Pendidikan Terakhir No.Telp/Hp Propinsi Instansi Oganisasi SKPD Unit (Setara Eselon III) Jabatan DATA WAWANCARA Hari/Tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama Pewancara PERTANYAAN No I 1 2 3 II 1 2 3
4 1 2 3
Pertanyaan Umum Menurut anda, permasalahan apa yang terjadi dalam pengelolaan PNS sejak diberlakukannya desentralisasi dan otonomi daerah? Bagaimakah implementasi pembagian urusan dalam bidang kepegawaian yang ada saat ini? Permasalahan apa saja yang dihadapi dalam implementasi tersebut? Formasi Pegawai Apakah penetapan formasi pegawai saat ini telah mencerminkan beban kerja propinsi dan kebutuhan nyata pegawai baik secara kualitas dan kuantitas yang sesungguhnya? Mengapa demikian? Menurut Bapak/ibu bagaimanakah penetapan formasi yang ideal sesuai dengan kebutuhan nyata propinsi? • Kebijakan (perbaikan kebijakan apa yang diperlukan) • Prosedur (cara penghitungan yang seharusnya) • Mekanisme Kelembagaan (siapa bertanggung jawab, apa tugas dan kewenangannya) Apakah tugas Propinsi dalam bidang koordinasi penetapan formasi di kabupaten/kota? REKRUTMEN Bagaimanakah kebijakan rekrutmen pegawai propinsi sesuai dengan UU no 32 tahun 2004? Masalah masalah apa sajakah yang dihadapi dalam kebijakan rekrutmen pegawai propinsi saat ini? (misalnya masalah Politik, KKN, transparansi dsb) Apa saja yang diperlukan bagi perbaikan kebijakan rekrutmen saat ini? Kebijakan (perbaikan kebijakan apa yang diperlukan)
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
No
1 2 3
4 5
6 7 8 9 10 11
1
2
1 2 3
1 2 3
Pertanyaan Prosedur (cara penghitungan yang seharusnya) Mekanisme Kelembagaan (siapa bertanggung jawab, apa tugas dan kewenangannya) PENGANGKATAN, PEMINDAHAN DAN PEMBERHENTIAN Apakah yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dalam menjamin sistem karir yang berdasarkan sistem meritokrasi? Apakah pemerintah propinsi sudah memiliki pola dasar karir? Sejauh mana peran Kepala Daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian dalam kebijakan manajemen kepegawaian? • Apa orientasi kebijakan kepala daerah • Adakah bias politik Permasalahan apa yang dihadapi dalam kebijakan pengangkatan pegawai saat ini? Apakah penempatan pegawai selama ini dilakukan menurut kompetensi pegawai yang bersangkutan? Mengapa demikian? Bagaimanakah kebijakan promosi pegawai saat ini? Apakah masalah yang dihadapi dalam kebijakan promosi? Apa prinsip prinsip yang digunakan dalam kebijakan mutasi pegawai? Dalam hal mutasi PNS antar Daerah Kabupaten/Kota dalam Provinsi, permasalahan apa yang sering terjadi? Dalam hal pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi, permasalahan apa yang terjadi? Terkait dengan pertanyaan di atas, bagaimanakah mekanisme koordinasi antara Pusat dan Daerah Provinsi, serta apakah permasalahannya? REMUNERASI Bagaimana sistem instentif/tunjangan yang ada dalam rangka mendorong prestasi atau kinerja pegawai? Adakah kebijakan khusus yang diterapkan dalam propinsi ini? Dalam hal gaji dan tunjangan yang dialokasikan dalam Dana Alokasi Umum, apakah telah sesuai dengan kebutuhan dan jumlah PNS Daerah Provinsi? PENEGAKAN DISIPLIN DAN ETIKA PEGAWAI Apa yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dalam menegakkan etika dan kedisiplinan dan etika pegawai? Seberapa efektifkah mekanisme tersebut? Kebijakan apa yang dipersiapkan guna meningkatkan efektifitas penegakkan etika dan kedisiplinan pegawai? STANDARD KOMPETENSI DAN PENILAIAN KINERJA Apakah pemerintah propinsi telah menetapkan standard kompetensi jabatan? Bagaimana sistem penilaian prestasi kerja / kinerja saat ini? Apa masalah yang dihadapi dan langkah penyempurnaan apa yang akan dilakukan?
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Lampiran 6: Hasil Estimasi Model OLS dengan Eviews 5.0 Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 15:15 Sample: 1 33 Included observations: 33
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
POP
0.514952
0.167207
3.079735
0.0045
LUAS
-0.123528
0.070497
-1.752249
0.0903
PAD
0.164481
0.142880
1.151185
0.2591
C
0.012017
0.755519
0.015906
0.9874
R-squared
0.649454
Mean dependent var
3.728345
Adjusted R-squared
0.613190
S.D. dependent var
0.426396
S.E. of regression
0.265193
Akaike info criterion
0.296496
Sum squared resid
2.039495
Schwarz criterion
0.477891
F-statistic
17.90933
Prob(F-statistic)
0.000001
Log likelihood
-0.892182
Durbin-Watson stat
2.204334
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:00 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
POP
0.354651
0.190892
1.857860
0.0750
LUAS
-0.125897
0.072605
-1.733986
0.0952
PAD
0.222027
0.144893
1.532359
0.1380
PDRB
0.030711
0.144129
0.213080
0.8330
C
0.542895
0.737288
0.736340
0.4684
R-squared
0.665193
Mean dependent var
3.780217
Adjusted R-squared
0.611624
S.D. dependent var
0.390760
S.E. of regression
0.243521
Akaike info criterion
0.163784
Sum squared resid
1.482561
Schwarz criterion
0.397317
Log likelihood
2.543244
F-statistic
12.41746
Durbin-Watson stat
1.734374
Prob(F-statistic)
0.000011
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:05 Sample: 1 33 Included observations: 33 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PAD
0.542272
0.093604
5.793241
0.0000
C
0.674171
0.529780
1.272549
0.2126
R-squared
0.519839
Mean dependent var
3.728345
Adjusted R-squared
0.504350
S.D. dependent var
0.426396
S.E. of regression
0.300193
Akaike info criterion
0.489913
Sum squared resid
2.793600
Schwarz criterion
0.580610
F-statistic
33.56164
Prob(F-statistic)
0.000002
Log likelihood Durbin-Watson stat
-6.083557 2.152835
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:05 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PAD
0.452231
0.120664
3.747850
0.0009
PDRB
0.074460
0.123388
0.603465
0.5512
C
0.667839
0.630837
1.058656
0.2991
R-squared
0.580979
Mean dependent var
3.780217
Adjusted R-squared
0.549941
S.D. dependent var
0.390760
S.E. of regression
0.262147
Akaike info criterion
0.254816
Sum squared resid
1.855466
Schwarz criterion
0.394935
F-statistic
18.71799
Prob(F-statistic)
0.000008
Log likelihood Durbin-Watson stat
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
-0.822233 1.898025
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:06 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDRB
0.410268
0.102710
3.994413
0.0004
C
0.739515
0.763441
0.968660
0.3410
R-squared
0.362990
Mean dependent var
3.780217
Adjusted R-squared
0.340239
S.D. dependent var
0.390760
S.E. of regression
0.317397
Akaike info criterion
0.607015
Sum squared resid
2.820747
Schwarz criterion
0.700428
F-statistic
15.95534
Prob(F-statistic)
0.000427
Log likelihood Durbin-Watson stat
-7.105220 1.426627
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:06 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
POP
0.493910
0.172169
2.868746
0.0081
LUAS
-0.173843
0.067194
-2.587158
0.0156
PDRB
0.111141
0.137667
0.807317
0.4268
C
0.508824
0.755817
0.673210
0.5068
R-squared
0.633746
Mean dependent var
3.780217
Adjusted R-squared
0.591486
S.D. dependent var
0.390760
S.E. of regression
0.249754
Akaike info criterion
0.186889
Sum squared resid
1.621810
Schwarz criterion
0.373715
Log likelihood
1.196663
F-statistic
14.99633
Durbin-Watson stat
1.599652
Prob(F-statistic)
0.000007
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas