Pengantar Ujian Nasional (UN) yang digelar oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemendikbud) merupakan agenda rutin setiap tahunnya. Murid dikatakan lulus pada suatu jenjang pendidikan ketika nilai UN memenuhi kriteria kelulusan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pada setiap tahun, kriteria kelulusan ujian Nasional mengalami perubahan peraturan dan kenaikan nilai standar. Pada tahun 2007/2008, kriteria kelulusan minimal yaitu 5, 25 (lima koma dua lima) dan pada tahun 2008/2009 menjadi 5,5 (lima koma lima). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 2013 menyatakan bahwa kriteria kelulusan peserta didik pada Ujian Nasional SMA/SMK/MA tahun ajaran 2013/2014 berdasarkan perolehan Nilai Akhir (NA). Nilai Akhir (NA) adalah nilai gabungan antara Nilai Sekolah (NS) dari setiap mata pelajaran dan Nilai UN dengan pembobotan 40% untuk NS, dan 60% untuk nilai UN. Peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata dari semua nilai NA mencapai paling rendah 5,5 (lima koma lima) dan nilai setiap mata pelajaran paling rendah 4,0 (empat koma nol). Ujian Nasional direspon oleh sekolah dengan melakukan berbagai persiapan. Menurut Wakasek bidang kurikulum, siswa kelas XII diberikan tambahan jam pelajaran setelah pulang sekolah dan berlangsung hingga pukul 16.30 setiap harinya. Penambahan materi pelajaran ini dilakukan sejak pertengahan semester ganjil dan berlangsung hingga menjelang Ujian Nasional. Dengan adanya tambahan jam 1
pelajaran ini, pihak sekolah berharap agar siswa dapat lebih mempersiapkan diri dengan materi pelajaran yang akan diujikan nanti. Selain pelajaran tambahan, pihak sekolah akan memberikan latihan-latihan soal Ujian Nasional (try out). Selama ini sekolah sudah empat kali melaksanakan try out termasuk juga try out yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten. Evaluasi yang dilakukan pihak sekolah, hasil try out yang dilakukan belum memenuhi harapan. Para siswa masih belum dapat mencapai target nilai yang diharapkan oleh pihak sekolah sesuai dengan kriteria kelulusan yang sudah ditetapkan dalam Ujian Nasional. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan bapak Rd (guru BK), diketahui bahwa sebagian besar siswa kelas XII mengaku belum siap untuk menghadapi UN karena belum merasa faham dengan materi yang sudah dipelajari. Peneliti kemudian menindaklanjuti dengan melakukan wawancara dengan beberapa siswa dikelas XII. Nia, siswa kelas XII IPS1 mengatakan dirinya merasa takut jika tidak lulus dalam ujian dan harus melakukan ujian ulang walaupun selama ini dia sudah berusaha untuk belajar semaksimal mungkin dengan latihan-latihan soal maupun dengan mengikuti pelajaran tambahan yang diadakan oleh pihak sekolah. Siswa merasa bahwa apa yang mereka lakukan selama tiga tahun hanya dipertaruhkan dalam waktu tiga hari ujian saat pelaksanaan UN. Ada anggapan dari para siswa bahwa Ujian Nasional merupakan segala-galanya dan merupakan penentu masa depan mereka. Ditambah lagi dari pengalaman kakak kelas mereka sebelumnya bahwa siswa yang berprestasi ternyata mendapat hasil Ujian Nasional yang rendah. 2
Siswa merasa bahwa tekanan yang dirasakan menjelang Ujian Nasional semakin kuat, khusus untuk kelas XII pihak sekolah mengharuskan untuk mengikuti les tambahan dan latihan mengerjakan soal ujian. Dengan banyaknya penambahan jam pelajaran seusai pulang sekolah mereka merasa kesulitan untuk memahami banyaknya materi yang harus dipelajari dalam waktu singkat. Tuntutan dari orangtua agar siswa harus lulus Ujian Nasional dengan nilai yang bagus agar nantinya dapat masuk ke fakultas yang diinginkan diperguruan tinggi. Saat wawancara, seorang siswi kelas XII mengatakan: “… UN bener-bener bikin stress mas, tiap hari pulang sore terus, pelajarannya kok ya gk habis-habis bahannya. Padahal pas kelas dua dulu gk kayak gini. Udah gitu kadang gurunya nerangin materinya gk jelas, malah bikin bingung aja. Nyampe rumah PR nya juga numpuk. Saya takut kalo sampe gk lulus UN dimarah sama orangtua” Hasil asesemen juga mengungkap bahwa kecemasan yang meningkat pada para siswa dalam menghadapi ujian nasional berpengaruh terhadap kegiatan seharihari para siswa, sebagaimana yang diutarakan oleh salah satu siswa kelas XII yang berhasil diwawancarai oleh peneliti: Mempersiapkan Ujian nasional membuat perasaan saya menjadi tidak nyaman. Saya jadi sering susah tidur dimalam hari. Belajar bukannya tambah ngerti tapi malah semakin bingung, apalagi kadang gurunya tidak jelas kalo nerangin pelajaran, biasanya cuma dikasih tugas terus siswa disuruh belajar sendiri”
“…
Siswa mengatakan seringkali tidak dapat berkonsentrasi dengan baik saat mengerjakan soal-soal latihan Ujian Nasional yang diadakan oleh sekolah. Mereka
3
merasa guru yang memberikan materi pelajaran masih belum maksimal dan kurang seringkali terkesan tidak mau tahu dengan kondisi siswa. Peneliti kemudian menindaklanjuti hasil wawancara awal tersebut dengan melakukan asesmen lanjutan kepada seluruh siswa kelas XII SMAN Y Sleman. Peneliti menggunakan Skala Persiapan Ujian Nasional yang diadaptasi dari Thoomaszen (2013). Skala Persiapan Ujian Nasional tersebut
bertujuan untuk
melihat sejauhmana kesiapan para siswa kelas XII SMAN Y Sleman dalam menghadapi UN. Hasil asesmen menunjukkan bahwa dari 172 siswa, 8% siswa memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, 57% berada pada tingkat yang sedang dan 35% sisanya berada pada tingkat yang rendah. Hasil asesmen mengungkap bahwa kecemasan pada para siswa berdampak pada menurunnya kualitas tidur siswa dimalam hari dan merasa gelisah menunggu pelaksanaan UN, sulit berkonsentrasi dalam belajar dan muncul perasaan takut dengan adanya UN. Hasil asesmen juga menemukan bahwa para siswa seringkali kehilangan konsentrasi saat mereka mengerjakan Soal-soal latihan UN yang diadakan oleh sekolah. Fenomena Ujian Nasional yang diadakan oleh pemerintah juga mendapat sorotan dari berbagai kalangan dari praktisi pendidikan hingga para pejabat pemerintah terutama mengenai dampak kurang baik dari pelaksanaan UN. Seperti yang terjadi di salah satu sekolah di Kendal yang mengalami kesurupan massal. Kesurupan itu dipicu rasa depresi para siswa yang akan menghadapi ujian nasional 4
(http://www.tempo.com). Kesurupan masal pada siswa sekolah menengah juga terjadi di Yogyakarta. Puluhan siswa SMKN 3 Yogyakarta mengalami kesurupan massal saat mengikuti upacara bendera pada Senin, 10 Maret 2014 (http://.krjogja.com, diakses 19 Maret 2014 ). Pakar Psikologi UGM Prof Drs Koentjoro Soeparno MBSc PhD menilai, peristiwa kesurupan massal di SMKN 3 Yogayakarta terjadi sebagai dampak rasa ketakutan dan kecemasan yang berlebihan yang dialami para siswa. Ujian Nasional telah membuat setiap pihak di sekolah mulai dari siswa guru termasuk kepala sekolah mendapat tekanan cukup berat (http://krjogja.com, diakses 19 Maret 2014). Survei yang dilakukan oleh Centre Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (2010) di kabupaten Sleman Yogyakarta, didapati data bahwa 44, 9% siswa SMA Negeri berada pada tingkat kecemasan tinggi dalam menghadapi UN. Santrock (2007) menyatakan tingkat kecemasan yang tinggi yang dialami oleh sejumlah remaja disebabkan oleh ekspektasi dan tekanan untuk berprestasi yang tidak realistis baik dari orangtua atau dari pihak sekolah. Bagi banyak individu, kegelisahan dapat meningkat seiring dengan masa sekolah ketika mereka “menghadapi evaluasi, perbandingan sosial, dan (bagi sebagian siswa) mengalami kegagalan. Kondisi seperti ini nampaknya dialami oleh para siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional di SMAN Y Yogyakarta. Ketika sekolah menciptakan lingkungan semacam itu, sekolah cenderung meningkatkan kegelisahan siswa (Eccles, Wigfield dan Schiefele, 1998). Pendapat tersebut diperkuat oleh Hurlock (1980) yang mengemukakan bahwa 5
kecemasan juga tergantung pada kebudayaan setempat, jika masyarakat sekitar dan orangtua sangat menekankan prestasi akademik maka akan timbul kecemasan pada diri seseorang bila tidak mampu memenuhi harapan tersebut. Begitu pula emosi siswa yang labil pada masa remaja, dan tidak dapat dikendalikan akan menjadikan siswa pada usia remaja rentan terhadap cemas, karena pada masa remaja kecemasan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan (Conger, 1991) Menurut Lazarus (1990), kecemasan adalah emosi yang muncul terkait dengan bahaya, termasuk adanya keinginan untuk terlepas dan terhindar dari bahaya. Kondisi bahaya yang dimaksud adalah bahaya yang bersifat psikis, terkait dengan serangan terhadap identitas seseorang. Reaksi yang muncul pada saat cemas antara lain adalah perasaan yang tidak jelas, tidak berdaya, dan tidak pasti apa yang akan dilakukan. Lazarus (1991) mengatakan kecemasan muncul ketika makna eksistensi seseorang terganggu atau terancam sebagai hasil dari ketidakmampuan fisik, konflik intrapsikis dan peristiwa yang sulit didefinisikan. Menurut model transaksional (RS Lazarus & Folkman, 1984), kecemasan dapat dipandang sebagai reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang dihasilkan dari persepsi atau penilaian terhadap sumber kecemasan sebagai ego-mengancam. Oleh karena itu, kecemasan dipandang berkaitan dengan karakteristik situasional yang spesifik dari tes dan konteks ujian melalui proses persepsi dan penilaian kognitif (Lazarus & Folkman, 1984). Jika seseorang menilai tuntutan situasional dari proses ujian sebagai berpotensi berbahaya dan dinilai melebihi kompetensinya dan sumber 6
daya yang dimiliki, transaksi antara kondisi subjektif dan situasi ujian akan dinilai sebagai stres dan membangkitkan kecemasan. Ujian Nasional yang dipandang oleh para siswa sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengancam akan meningkatkan kemungkinan munculnya penilaian negatif terhadap Ujian Nasional itu sendiri. Hal ini, pada gilirannya akan memunculkan penilaian kognitif yang bersifat negatif berupa ketakutan, kekhawatiran dan perasaan tidak berdaya dalam menghadapi situasi Ujian (Lazarus & Folkman, 1984). Maher (dalam Calhoun dan Acocella, 1990) menjelaskan reaksi yang muncul akibat kecemasan ada tiga hal yaitu reaksi emosional, kognitif dan fisiologis. Reaksi emosional, merupakan reaksi yang berupa perasaan takut yang kuat dan disadari. Reaksi kognitif, yaitu perasaan takut yang disadari dan meluas yang mengganggu kemampuan individu untuk berfikir jernih, memecahkan masalah, dan memenuhi tuntutan dari lingkungannya. Wujud dari reaksi kognitif adalah kebingungan, sulit berkonsentrasi dan sulit mengingat sesuatu. Reaksi fisiologis; sistem syaraf otonom bertindak sebagai pengontrol otot dan kelenjar dalam tubuh manusia. Ketika otak menangkap rasa takut, syaraf simpatik mempersiapkan tubuh untuk situasi siaga yaitu untuk lari atau menghindari situasi yang menakutkan tersebut. Berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan terlihat bahwa kecemasan yang meningkat pada diri siswa berasal dari persepsi dan penilaian kognitif yang negatif terhadap Ujian Nasional sehingga menimbulkan pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan subjektif berupa ketakutan-ketakutan, kekhawatiran dan perasaan 7
tidak berdaya dalam mempersiapkan Ujian Nasional yang bersifat negatif. Kecemasan yang terlalu berlebihan akan mempengaruhi kehidupan akademik siswa yang berakibat pada rendahnya motivasi siswa, kemampuan coping, strategi yang buruk dalam belajar, evaluasi diri yang negatif, kesulitan berkonsentrasi serta persepsi kesehatan yang buruk (Lewis, 1997; Aysan, Thomson, dan Hamarat, 2001). Hasil penelitian juga membuktikan bahwa tingginya kecemasan siswa dalam menghadapi ujian berefek buruk terhadap cara belajar, kompetensi akademik, kepercayaan diri, penerimaan diri maupun konsep diri siswa (Briggs dan Ribinch, 1999; Anderson, 1999). Lazarus & Folkman (1984) menyatakan bahwa bukan kegagalan itu sendiri yang menyebabkan kecemasan. Sebaliknya, yang terpenting adalah bagaimana orang memproses keberhasilan dan kegagalan mereka secara objektif dan bagaimana melihat pengalaman dalam situasi ujian mereka. Dengan memiliki persepsi dan penilaian yang positif terhadap Ujian Nasional seorang siswa akan lebih mampu untuk mengelola kecemasan yang muncul sehingga perasaan-perasaan yang muncul akan juga akan menjadi lebih positif. Emosi positif yang rutin dapat membuat orang lebih sehat dan lebih tangguh, mendorong seseorang untuk berfungsi secara optimal, kesejahteraan, dan pengembangan (Fredrickson, 2001; Fredrickson & Joiner, 2002). Emosi positif memperluas strategi pemecahan masalah (Fredrickson & Branigan, 2005) dan dapat membatalkan efek samping dari emosi negatif (Fredrickson, Mancuso, & Branigan, 2000). 8
Sosrokartono (dalam Syuropati, 2011) mengajukan sebuah konsep yang dinamakan “catur murti” sebagai alternatif dalam mengelola persepsi dan penilaian kognitif pada diri seseorang. Konsep “catur murti” ini menyatakan bahwa yang mendorong seseorang untuk merasakan, berkata dan berbuat sesuatu berawal dari apa yang dia pikirkan. Dengan kata lain untuk menghilangkan perasaan gelisah dan tegang kita harus menyatukan empat hal, yaitu pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan kedalam hal yang positif. Yaitu dengan pikiran yang benar, perasaan yang benar, perkataaan yang benar dan perbuatan yang benar (Sosrokartono dalam Syuropati, 2011) agar senantiasa dalam diri kita terhindar dari hal-hal yang bersifat negatif. Menurut konsep ini, Sebelum melakukan suatu perbuatan, pikiran yang benar harus diselaraskan dengan perasaan yang benar. Artinya, ada unsur penyelarasan. Dengan begitu, dalam konteks tersebut, perkataan maupun perbuatan yang muncul adalah “perbuatan benar”. Syukur dikaitkan dengan berbagai emosi yang positif. Sosrokartono (dalam Syuropati, 2011) menyatakan bahwa berbagai macam emosi negatif hanya akan menyebabkan
ketegangan
dan
kegelisahan
dalam
hidup.
Penelitian
telah
menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan orang yang kurang bersyukur, orang yang bersyukur melaporkan mengalami kebahagiaan yang lebih besar, harapan, kebanggaan (Overwalle, Mervielde, & DeSchuyter, 1995, suasana hati positif, optimisme, kepuasan hidup, vitalitas, religiusitas dan spiritualitas, dan mereka juga cenderung melaporkan lebih sedikit depresi dan iri hati (McCullough et al., 2002). 9
Jika pengalaman pada masa lalu dan masa sekarang pada diri seseorang dapat memperkuat kebersyukuran, maka kebersyukuran akan menguatkan seseorang dalam memandang masa depan mereka. Dengan demikian, orang-orang yang bersyukur akan selalu optimis dan penuh harapan, dan penelitian telah mengkonfirmasi hal ini (McCullough, Emmons, & Tsang, J., 2002). Jika orang merasa bersyukur atas kebaikan di masa lalu, ini mungkin akan diterjemahkan ke dalam harapan untuk kebaikan serupa di masa mendatang (Schacter, Addis, & Buckner, 2007). Definisi rasa syukur diungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh McCullough, Tsang, Emmons (2004). Dalam penelitian tersebut rasa syukur (grattitude) didefinisikan sebagai perasaan tiba-tiba dan langsung muncul karena adanya ganjaran atau penghargaan. Hampir sama dengan itu, menurut Wainer dan Graham (dalam McCullough, et al., 2004), rasa syukur adalah rangsang untuk mengembalikan kebaikan kepada orang lain sehingga dengan demikian menghasilkan keseimbangan. Emmons dan Clumper (dalam McCullough, et al., 2004) menambahkan bahwa rasa syukur adalah respon perasaan akan suatu pemberian, sebagai bentuk apresiasi yang dirasakan setelah seseorang mendapatkan altruistik (menerima kebaikan dari orang lain). Aspek-aspek rasa syukur menurut McCullough, Emmons, & Tsang, (2002) adalah intensitas (intensity), frekuensi (frequency), rentang waktu (span), dan kepadatan (density). Semakin banyak hal yang disyukuri dan
melimpahkannya
10
kepada orang lain akan meningkatkan rasa syukur (Froh, Yurkewicz, & Kashdan, 2009). Fitzgerald (1998) membagi kebersyukuran kedalam tiga aspek, yaitu rasa hangat seperti cinta dan kasih sayang sebagai apresiasi kepada seseorang atau sesuatu. Aspek selanjutnya adalah kebaikan hati yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu meliputi keinginan untuk membantu dan berbagi dengan orang lain. Aspek terakhir adalah tindakan yang mengalir karena rasa hangat dan kebaikan tersebut
misalnya
intensi
menolong
orang
lain, membalas
kebaikan,
dan
memperkuat kedekatan kepada Tuhan. Watkins (2014) menyatakan bahwa untuk menciptakan rasa syukur dalam diri seseorang dapat dilakukan dengan empat hal, yaitu 1. Recounting; merupakan penghayatan pada "kesenangan sederhana" sebaik mereka menghayati nikmat yang besar (Doty, Sparrow, Boetcher, & Watkins, 2010; Watkins, Woodward, Stone, & Kolts, 2003). Dengan mengingat lebih banyak kejadian bersyukur mereka meningkatkan aksesibilitas pada kenangan mengenai kebersyukuran, yang mungkin akan membimbing mereka untuk memiliki pikiran yang lebih positif dalam menyikapi permasalahan (Watkins, 2014). 2. Reflection; yaitu meninjau kedalam diri kita sendiri guna mengetahui benar tidaknya tindakan kita yang telah kita lakukan untuk pertanggungjawaban moral (Soesilo, 2003) yang meliputi proses pengujian, pengolahan terhadap nilai-nilai dan keyakinan pribadi dan pengalaman. Refleksi diri membuat seseorang belajar 11
hal-hal baru dalam diri, lebih mengetahui tentang diri. Dengan pengetahuan diri sendiri, orang akan berfikir benar dan bertindak benar sehingga dapat membina hidup yang aman, tenteram, damai dan bahagia (Ki Ageng Suryomentaram dalam Soesilo, 2003) Orang yang memiliki kesadaran diri tinggi akan membawa individu pada kesehatan mental yang lebih baik. Watkins (2014) melakukan refleksi sederhana terhadap kebaikan seseorang dalam situasi yang membuat kita bersyukur menghasilkan peningkatan yang signifikan terhadap afek positif. 3. Expression, mengungkapkan rasa syukur mampu menunjukkan peningkatan besar dalam kesejahteraan (Watkins, 2014). Soesilo (2003) menyatakan bahwa rasa senang itu relatif dan sifatnya subjektif. Dalam keadaan mengalami rasa senang (mendapatkan kebaikan dari orang lain atau ketika terwujud apa yang kita inginkan) kita menikmati hidup dengan cara bersyukur atau berterimakasih atas kemurahan Tuhan atau sesama manusia, kemudian kita harus melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat membuat orang lain senang (Soesilo, 2003). Mengucapkan terimakasih merupakan sebuah bentuk perbuatan yang paling sederhana saat kita merasakan kebaikan dari orang lain. Seligman, et al., (2005), mengekspresikan rasa syukur menunjukkan peningkatan yang besar terhadap kesejahteraan emosional dan penurunan yang signifikan terhadap gejala depresi. 4. Reappraisal, Orang yang bersyukur memiliki kemampuan yang baik dalam menilai kembali peristiwa negatif, dan sekarang terdapat bukti bahwa “grateful reappraisal” membantu individu untuk menutup kenangan yang menyakitkan, 12
menurunkan afek negatif dan ingatan yang mengganggu ini (Watkins, Cruz, Holben, & Kolts, 2008). Seorang yang memahami makna senang dan susah yang terjadi dalam hidupnya, akan menjadi daya sugesti hidup. Sugesti diri akan terbangun terus menerus, bahwa senang susah tidak mungkin lepas dari jiwa manusia. Senang susah hanya sementara (Endraswara, 2012) McCullough, dkk (2002) mengungkapkan bahwa kebersyukuran seseorang dipengaruhi oleh kepribadian dan religiusitas. Orang yang berkepribadian terbuka dan tidak pencemas (extraversion/low neuroticism) memiliki rasa syukur yang lebih tinggi. Penelitian Rosmarin, Pirutinsky, Cohen, Galler, dan Krumrei (2011) membuktikan bahwa religiusitas secara konsisten mempengaruhi kebersyukuran. Orang yang memiliki keyakinan tentang Tuhan dan menjalankan ajaran agama yang dipeluk dengan konsisten memiliki rasa syukur yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang bersyukur tanpa ada keyakinan terhadap Tuhan. Temuan ini didukung oleh penelitian Lambert, Fincham, Braitwaite, Beach, dan Graham (2009) bahwa orang-orang yang berdoa kepada Tuhan dengan frekuensi yang lebih sering memiliki kebersyukuran yang lebih tinggi. Penelitian-penelitian lain membuktikan bahwa rasa syukur yang tinggi akan membuat seseorang melihat situasi adalah sesuatu yang menguntungkan (Wood, Maltby, Gillett, Linley, & Joseph, 2008), memiliki kepuasan dengan pengalaman hidupnya (Froh, Sefick, & Emmons, 2008; Lambert, Fincham, Stillman, & Dean, 2009), meningkatkan kepuasan diri dan tim pada atlet (Chen & Kee, 2008), 13
meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas fisik (Dewanto, 2014), mengatasi gejala gangguan stres pasca trauma pada remaja (Puspitasari, 2013). Beberapa penelitian ilmiah juga mengungkapkan bahwa kebersyukuran merupakan salah satu metode alternatif yang dapat digunakan untuk mengelola kecemasan. Bahrampour & Yazdkhasti (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan meningkatkan rasa syukur sebagai sifat positif pada diri seseorang dapat mengarah pada penurunan variabel seperti kecemasan, stres, depresi dan kepuasan hidup. Lau & Cheng (2011) dalam penelitiannya terhadap orang-orang yang memasuki usia lanjut menemukan bahwa kecemasan menghadapi kematian yang lebih rendah dengan bersyukur. Kecemasan menghadapi kematian dapat dikurangi dengan orientasi perhatian mereka terhadap peristiwa-peristiwa yang menimbulkan perasaan bersyukur dalam hidup mereka. Penelitian lain yang mengungkapkan peran bersyukur dalam menurunkan kecemasan berasal dari Kendler, et al., (2003) yang menyatakan bahwa kebersyukuran berhubungan dengan depresi serta gangguan kecemasan menyeluruh. Penelitian-penelitian diatas merupakan studi kebersyukuran yang berhubungan dengan kecemasan dalam konteks yang berbeda dengan kecemasan menghadapi Ujian Nasional. Peneliti sejauh ini belum menemukan penelitian tentang intervensi kebersyukuran dalam menurunkan kecemasan siswa dalam setting menghadapi ujian nasional. Berdasarkan keterangan Wakasek bidang Kurikulum (Bapak R), sekolah telah mengadakan program-program motivasi dengan mendatangkan motivator sebagai 14
pencegahan agar pasa siswa tidak mengalami kecemasan. Untuk tahun ajaran ini sudah diadakan dua kali acara motivasi bagi kelas XII. Acara ini dilaksanakan dengan mengumpulkan seluruh siswa kelas XII kemudian diberikan ceramah motivasi secara bersama-sama. Namun sejauh ini acara yang diadakan belum memenuhi harapan diinginkan oleh pihak sekolah. Intervensi kebersyukuran dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan baru bagi partisipan penelitian bagaimana cara mengelola kecemasan dengan baik melalui positif reappraisal dan positif emotion. Setelah mengikut pelatihan ini diharapkan para peserta: (a) Memiliki pemikiran yang lebih positif dalam melihat suatu permasalahan, (b) Dapat melakukan instrospeksi diri atas kebaikan yang telah diterima sebagai bentuk perasaan syukur, (c) Merasakan manfaat ketika mereka mampu mengungkapkan perasaan bersyukur secara tepat, (d) Mengambil hikmah atau membuat alternatif pikiran yang lebih positif dari situasi yang tidak menyenangkan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pelatihan kebersyukuran akan diberikan melalui pelatihan kelompok. Supratiknya (2011) menyatakan bahwa pendekatan kelompok lebih efektif disampaikan lewat pengalaman belajar di dalam kelompok, hal itu disebabkan: (a) Jenis pengetahuan atau ketrampilan yang perlu ditumbuhkan dalam diri individu secara wajar menuntut kehadiran orang lain sebagai mitra berbagi atau beraktivitas, (b) Jenis problem yang dialami masing-masing individu seringkali kurang lebih sama. 15
Sesi yang diajarkan kepada para peserta pelatihan ini diambil dari teknik bersyukur dari Watkins (2014) yaitu recounting, reflecting, epression, dan reappraisal. Pelatihan ini sendiri terbagi dalam empat sesi sesuai dengan teknik yang sudah disampaikan sebelumnya. Sesi I yaitu recounting, para peserta diajarkan bahwa bersyukur dapat dilakukan dengan mengingat kebaikan-kebaikan yang diterima dari orang lain maupun dari alam lingkungan sekitar. Setelah mengikuti sesi ini diharapkan peserta akan mendapatkan pemahaman baru bahwa berkat atau kebaikan yang diterima oleh mereka baik yang besar maupun kecil, semuanya itu berarti. Peserta akan dapat menghargai apa yang sudah diberikan oleh teman, guru, orangtua, maupun tuhan sehingga akan muncul pemikiran yang lebih positif dalam melihat permasalahan. Taylor (2006) menyebutkan persepsi terhadap ketersediaan dukungan sosial memberikan banyak keuntungan. Seseorang dengan persepsi dukungan sosial tinggi mampu mengatasi kondisi sulit dengan lebih baik Sesi II dari pelatihan ini yaitu reflecting. Pada sesi reflecting ini peserta diajak untuk melakukan instrospeksi diri dengan menggali pemahaman terhadap nilai-nilai, keyakinan pribadi, dan pengalaman dalam meninjau kembali perasaan dan pikiran yang muncul yang berkaitan dengan Ujian Nasional. Dengan melakukan sesi ini peserta dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik dan dapat mengambil sisi positif dari perasaan cemas yang muncul saat mempersiapkan diri menghadapi Ujian Nasional.
16
Sesi III dari pelatihan ini yaitu Gratitude Expression. Sebagian besar ahli percaya bahwa emosi bersifat adaptif karena mereka mempersiapkan kita untuk melakukan beberapa perilaku adaptif, dan jika seseorang secara konsisten mengalami rasa syukur namun tanpa mengungkapkannya (baik dalam kata dan perbuatan), maka akan dipertanyakan bagaimana rasa syukur tersebut. Mengungkapkan rasa syukur mampu menunjukkan peningkatan besar dalam persepsi dan penilain yang positif terhadap masalah (Watkins, 2014). Pada sesi ini peserta diminta untuk mengungkapkan perasaan bersyukur yang dirasakan dengan menulis ucapan terimakasih dan membacakannya didepan orang lain yang dia anggap telah memberikan kebaikan kepadanya. Setelah menjalani sesi ini peserta diharapkan mengerti bahwa dengan mengucapkan terimakasih secara tulus kepada orang yang telah memberikan kebaikan kepada mereka akan memberikan pengalamanpengalaman positif sehingga akan memberikan perasaan yang lebih baik dalam diri mereka. Sesi IV, yaitu reappraisal yang memberikan pemahaman kepada peserta bahwa orang yang bersyukur memiliki kemampuan yang baik dalam menilai kembali peristiwa negatif, dan sekarang terdapat bukti bahwa “grateful reappraisal” membantu individu untuk menutup kenangan yang menyakitkan, menurunkan afek negatif dan ingatan yang mengganggu ini (Watkins, Cruz, Holben, & Kolts, 2008). Kondisi kebersyukuran membantu individu menyesuaikan diri dengan memori yang tidak menyenangkan ini menjadi kisah yang baik/menyenangkan dalam hidup mereka 17
(Watkins, 2014). Pada sesi ini peserta diminta untuk menuliskan kesulitan-kesulitan atau kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan yang dialami kemudian membuat alternatif pikiran yang lebih positif. Ketika orang memahami senang dan susah, akan menjadi daya sugesti hidup. Sugesti diri akan terbangun terus menerus, bahwa senang susah tidak mungkin lepas dari jiwa manusia. Senang susah hanya sementara (Endraswara, 2012). Dengan mengikuti sesi ini peserta akan menyadari bahwa situasi yang tidak menyenangkan selalu ada dalam hidup dan kita tidak mungkin bisa menghindarinya. Dengan mengambil hikmah atau membuat alternatif pikiran yang lebih positif dari situasi yang tidak menyenangkan akan membuat kita lebih dapat merasakan ketenangan dalam mengerjakan tugas-tugas sehari-hari. Model pembelajaran yang akan digunakan dalam pelatihan ini adalah Experiential Learning (Pfeiffer & Jones, 1979) atau pembelajaran eksperiensial yang merupakan situasi pembelajaran yang lebih bersifat induktif daripada deduktif, memberikan pengalaman belajar langsung, para partisipan diberikan kesempatan menemukan sendiri makna hasil belajarnya serta menguji sendiri kesahihan pengalamannya itu. Model pembelajaran eksperiensial meliputi suatu experiential learning circle atau siklus belajar dari pengalaman yang terdiri dari lima tahap pengalaman baru atau aktivitas, yaitu mengalami (Experiencing), membagikan pengalaman (Publishing), memproses pengalaman (Processing), merumuskan kesimpulan (Generalizing), dan menerapkan (Applying) (Pfeiffer & Jones, 1979). 18
Proses belajar yang diharapkan pada pelatihan kebersyukuran ini adalah peserta dapat terlibat dalam sebuah kegiatan permainan atau simulasi yang sudah ditentukan sebelumnya (experiencing) bersama dengan peserta yang lain dan kemudian membagikan pengalaman (publishing) terhadap tugas yang sudah dikerjakannya termasuk dalam reaksi pribadinya baik berupa tanggapan pikiran maupun perasaan kepada peserta yang lain. setelah membagikan pengalaman (publishing) diarahkan untuk mendiskusikan apa yang baru diperolehnya, memaknaidan menafsirkannya untuk menemukan hubungan antar makna atau tanggapan
yang
muncul
(processing).
Peserta
selanjutnya
dibantu
untuk
menyimpulkan apa yang sudah didiskusikan sebelumnya (generalizing). Pada tahap akhir peserta diharapkan mampu menangkap makna dan manfaat dari pelatihan yang dijalani yang kemudian diharapkan mampu diterapkan peserta dalam situasi seharihari. Dalam siklus experiential learning tahap ini disebut dengan apllying. Adapun tujuan dari penelitian ini sendiri adalah untuk mendapatkan alternatif pemecahan masalah kecemasan menghadapi Ujian Nasional pada siswa SMA melalui pelatihan kebersyukuran. Manfaat dari penelitian ini secara praktis adalah menghasilkan modul yang secara efektif dapat menurunkan kecemasan menghadapi Ujian Nasional pada siswa kelas XII SMA dengan memberikan pelatihan kebersyukuran. Hipotesis dari penelitian ini adalah pelatihan kebersyukuran dapat menurunkan kecemasan menghadapi Ujian Nasional siswa kelas XII SMA. 19
Evaluative situation
- Waktu Ujian Nasional semakin dekat - Jadwal pelajaran tambahan semakin padat
Kecemasan menurun Perception of Test Situation: Appraisal and Reappraisals
Personal Variables
- Merasa belum siap UN - Banyak materi pelajaran yang harus dipelajari - Soal-latihan UN aja sulit, apalagi nanti test yang sebenarnya - Motivasi belajar rendah - Ingin jalan instant (mencari kunci jawaban)
Para siswa menganggap UN sebagai sesuatu yang mengancam dan berbahaya
Perception of Test Situation: Appraisal and Reappraisals Para siswa menganggap UN sebagai sesuatu yang menantang
- Berfikir positif pada proses UN - Mendapat sumber dukungan alternatif dalam belajar - Lebih tenang dalam belajar - Optimis akan hasil UN
Coping Reaction Coping Strategies: - Mengikuti pelajaran tambahan dengan sungguh-sungguh - Mengatur jadwal belajar dengan efisien
Intervensi kebersyukuran Positive reframing & positive emotional (recounting, reflecting, expression, reappraisal)
Gambar 1. Kerangka konsep penelitian
20