Pengantar Redaksi
Assalamu ‘alaikum wr. Wb. Puji syukur Alhamdullilah, JEJAK dapat kembali terbit ke tangan pembaca. Pada edisi volume 2, No.1 Maret 2009 ini JEJAK kembali hadir dengan menyajikan berbagai artikel di bidang ekonomi pembangunan pada khususnya. Pada edisi ini JEJAK tetap konsisten terbit 8 artikel yang semuanya (100 persen) merupakan hasil penelitian, dan dari 8 artikel, 4 artikel (50 persen) merupakan artikel dari luar Institusi FE UNNES. Artinya, JEJAK makin digemari oleh khalayak di luar FE UNNES. Pada edisi kali ini nampak mampu terbit secara tematif yakni yang secara khusus mengkaji tentang masalah ekonomi daerah. Artikel pertama disajikan oleh R. Maryatmo dan N. Yuyun Sri Rahayu, yakni mengkaji tentang; hambatan penyerapan kredit usaha kecil studi kasus di pasar Anyar 1 Singaraja Bali. Artikel berikutnya mengkaji masalah koperasi yang disajikan oleh Rusdarti serta Khasan Setiaji. Rusdarti mengkaji masalah pengaruh keterlibatan pembina, kemampuan pengurus dan partisipasi anggota terhadap kinerja keuangan koperasi di pondok pesantren. Sementara itu, masalah pengaruh partisipasi anggota dan lingkungan usaha terhadap keberhasilan KPRI Kapas di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara telah dikaji oleh Khasan Setiaji. Masih berkaitan dengan masalah ekonomi daerah, BRM Bambang Irawan serta Agung Riyardi mengkaji tentang permasalahan PDAM di Kota Surakarta. BRM Bambang Irawan menganalisis masalah willingness to pay dan abiliti to pay pelanggan rumah tangga sebagai respon terhadap pelayanan air bersih dari PDAM Kota Surakarta. Sementara itu, Agung Riyardi menganalisis masalah faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja keuangan PDAM Kota Surakarta. Dua penulis artikel selanjutnya yakni; Amin Pujiati, mecoba menganalisis tentang pengaruh knowledge spillovers terhadap pertumbuhan industri di kawasan industri Jawa Tengah. Sedangkan, Efriyani Sumastuti mencoba mengkaji model tabungan rumah tangga di Kota Semarang. Kemudian, satu artikel terakhir yang menganalisis masalah persepsi dan preferensi Ibu rumah tangga terhadap produk pangan olahan berbasis tepung Ubi Jalar dalam meningkatkan keanekaragaman pangan telah di tulis oleh; Sucihatiningsih DWP, Endang Sutrasmawati dan Indah Fajarini Sri Wahyu. Demikian keterkaitan antar artikel dalam edisi kali ini yang kebetulan terbit secara tematik dan pengkajiannya fokus pada masalah ekonomi daerah. Akhir kata, Redaksi mengucapkan banyak terima kasih kepada para penulis pada edisi kali ini. Semoga desiminasi dari berbagai hasil penelitian yang dimuat pada JEJAK ini akan terus makin memperkaya wawasan akademik kita semua. Amin. Wassalamualaikum wr. Wb.
Semarang, Maret 2009 Pimpinan Redaksi
ISSN 1979-715X
JURNAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNNES Vol. 2, No. 1, Maret 2009
DAFTAR ISI
Hambatan Penyerapan Kredit Usaha Kecil Studi Kasus di Pasar Anyar 1 Singaraja Bali R. Maryatmo dan Nyoman Yuyun Sri Rahayu................................................................................
1-7
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota terhadap Kinerja Keuangan Koperasi Pondok Pesantren Rusdarti.............................................................................................................................................
8-21
Pengaruh Partisipasi Anggota dan Lingkungan Usaha terhadap Keberhasilan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Kapas Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara Khasan Setiaji ..................................................................................................................................
22-28
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga Sebagai Respon terhadap Pelayanan Air Bersih dari PDAM Kota Surakarta BRM Bambang Irawan......................................................................................................................
29-43
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan PDAM Kota Surakarta Agung Riyardi ..................................................................................................................................
44-51
Pengaruh Knowledge Spillovers terhadap Pertumbuhan Industri di Kawasan Industri Jawa Tengah Amin Pujiati ......................................................................................................................................
52-64
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang Efriyani Sumastuti............................................................................................................................
65-79
Analisis Persepsi dan Preferensi Ibu Rumah Tangga terhadap Produk Pangan Olahan Berbasis Tepung Ubi Jalar dalam Meningkatkan Keanekaragaman Pangan Sucihatiningsih, Endang Sutrasmawati dan Indah Fajarini SW...................................................
80-90
HAMBATAN PENYERAPAN KREDIT USAHA KECIL STUDI KASUS DI PASAR ANYAR I SINGARAJA BALI 1 R. Maryatmo dan Nyoman Yuyun Sri Rahayu Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Yogyakarta email:
[email protected]
ABSTRACT There were anomaly financial condition in Indonesia. Before 2008 net export were positif in one side, but there were strong financial inflow on another side. The flux of financial supply were not followed by the financial absorbtion of the real sector. The study is going to investigate the problems of the real sector in absorbing the oversupply of capital market. Especially the study is dedicated to investigate the problems of small peddler in Pasar Anyar I, Singaraja, Bali in absorbing the credit of banks. It is found out that inelastic service of banking sectors in determining the time limit, amount of credit, and the banking requirement for collateral are unaccepted for small peddlers. Small peddler with small capital but high return, and high capital circulation, which are vulnerable for economic shock, need fast service, without collateral, and elastic time limit, of credits. The mismatch of service and demand for fund for formal banking creates informal banking to be survived even they charge a higher interest. Keyword: Credit, Small peddler and Small capital
PENDAHULUAN1 Penelitian ini mencoba mengamati faktor-faktor yang menghambat penyerapan kredit usaha kecil. Penelitian dilakukan di Pasar Anyar I Singaraja, Bali. Sampel penelitian adalah para pedagang yang menempati area di dalam Pasar Anyar I. Obyek penelitian adalah pendapat dan persepsi para pedagang berkaitan dengan penyerapan kredit formal maupun informal baik dari lembaga keuangan bank maupun non bank. Topik ini merupakan bagian dari topik besar berkaitan dengan kondisi rendahnya penyerapan kredit dalam skala makro. Dana masyarakat yang melimpah baik dari sumber domestik maupun dari sumber luar negeri yang masuk perbankan tidak mampu disalurkan sebagai kredit ke masyarakat (credit crunch). Kemampuan penyerapan kredit masyarakat yang ditunjukkan oleh Loan to Deposit Ratio (LDR) yang hanya mencapai 30 sampai 65 persen saja (BI, 2008). Di satu sisi, sektor finansial berkembang pesat, tetapi di sisi lain, sektor riil tidak mendapatkan banyak manfaat dari kemajuan sektor finansial tersebut. Pokok masalahnya ada semacam
1
Paper ini disarikan dari Skripsi Nyoman Yuyun Sri Rahayu
kemandegan transmisi dari sektor finansial ke sektor riil. Ada beberapa penyebab terjadinya kemacetan penyaluran kredit. Di antaranya adalah faktor kondisi ekonomi makro, iklim investasi yang tidak mendukung, relatif tingginya suku bunga di Indonesia, serta tidak elastisnya persyaratan kredit perbankan terhadap permintaan kredit nasabah. Krisis ekonomi dunia yang dipicu oleh krisis kredit perumahan di Amerika (Fleckenstein, 2008). Krisis kredit perumahan di Amerika Serikat tersebut nampaknya merambat pula ke Indonesia. Turunnya kinerja perekonomian dunia, nampaknya menurunkan pula permintaan produk ekspor Indonesia, yang selanjutnya menurunkan pula tingkat investasi. Iklim investasi yang dianggap kurang mendukung investasi di Indonesia di antaranya adalah penyediaan infrastruktur yang kurang memadai seperti listrik, jalan, pelabuhan, kepastian dan penegakan hukum, serta konsistensi kebijakan politik yang mendukung investor asing. Dari sisi mikro rendahnya penyerapan kredit perbankan di Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor sisi penawaran maupun faktor-faktor di sisi permintaan. Agung (2001) berpendapat bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan menurunnya keinginan untuk memberikan kredit dapat bersumber dari faktor internal bank maupun faktor eksternal. Faktor internal
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
1
seperti rendahnya kualitas aset perbankan, tingginya non-performing loans dan anjloknya modal perbankan akibat depresiasi dan negatif interest margin menurunkan kemampuan bank untuk memberikan pinjaman. Dari sisi eksternal penurunan tingkat kelayakan kredit (creditworthiness) dari debitur akibat melemahnya kondisi keuangan perusahaan merupakan penyebab melemahnya penawaran bank terhadap pemberian kredit bank. Fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit di Denpasar-Bali berjalan lambat, sehingga sasaran kredit 2006 tidak tercapai. Penyaluran kredit perbankan kepada UMKM selama 2006 mencapai Rp13.822 miliar lebih rendah dari tahun 2005 atau hanya tumbuh 15,27%, sehingga posisi kredit UMKM hanya mencapai Rp104.307 miliar pada akhir Desember 2006 (Tabel-1). Realisasi ini berada jauh di bawah sasaran pertumbuhan kredit yang ada di dalam business plan pada awal 2006 sebesar 20%. Penelitian yang pernah dilakukan dalam rangka melihat berbagai hambatan kredit mengungkap berbagai temuan sebagai berikut. Harmanto (1997) mengungkap bahwa kestabilan kurs sangat berarti dalam mendorong kepastian berinvestasi. Di sisi lain, kebijakan moneter yang ekspansif selama bebarapa tahun terakhir ini menyebabkan suku bunga turun dengan cepat, namun tidak diikuti oleh penyerapan kredit secara memadai. Artinya, kebijakan moneter ekspansif melalui transmisi suku bunga menjadi tidak efektif. Taufiq (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa hambatan penyaluran kredit perbankan terle-
bih disebabkan karena faktor kekakuan administrasi perbankan. Untuk meningkatkan daya kemampuan penyaluran kredit perbankan Taufiq mengusulkan agar sistem pemberian kredit perbankan lebih berorientasi kepada nasabah kecil (Usaha Kecil Mikro) terutama, yang telah terbukti mampu bertahan di masa krisis. Kondisi yang serupa nampaknya juga terjadi di Pasar Anyar I, Singaraja, Bali. Sebagian besar pedagang di Pasar Anyar I tersebut lebih memilih menggunakan modal sendiri. Mereka yang membutuhkan dana tambahan lebih memilih ke lembaga keuangan non bank. Mereka memilih lembaga keuangan non bank, karena alasan kecepatan pelayanan, lembaga keuangan non bank tidak menuntut adanya jaminan, serta lembaga keuangan non bank lebih luwes dalam penentuan jumlah dan jangka waktu kredit, serta cara dan waktu pelunasannya. LANDASAN TEORI Juda Agung (2001) telah mengkaji apakah penurunan kredit yang tajam dari sektor perbankan di Indonesia adalah akibat credit crunch atau disebabkan oleh lemahnya permintaan kredit sebagai konsekuensi resesi. Dengan melakukan analisis empiris baik secara makro dengan menggunakan data aggregat maupun secara mikro dengan menggunakan data individual perbankan (panel data) serta survei yang dilakukan kepada bank dan perusahaan, studi ini menyimpulkan terjadinya credit crunch di Indonesia. Agung menyimpulkan bahwa penurunan kredit disebabkan karena penurunan permintaan kredit
Tabel 1. Indikator Kinerja Bank Umum di Denpasar-Bali Indikator Utama Asset Deposito (Miliar Rp) Giro (Miliar Rp) Tabungan (Miliar Rp) DPK (Miliar Rp) Kredit Umum (Miliar Rp) Kredit UMKM NPL (Gross) (%) LDR (%)
2004 66361 18070 12860 24537 55466 28196 24660 15,90 203,36
Posisi (Miliar Rp) 2005 228056 63475 47047 84362 194884 104206 90485 31,97 586,98
2006 249385 82393 48854 83252 214489 98641 104307 51,01 666,68
Pertumbuhan(%) 2005 2006 243,65 9,35 251,27 29,80 265,83 3,84 243,81 -1,31 251,35 10,05 269,57 -5,34 266,93 15,27 101,12 59,55 188,64 13,57
Sumber: Bank Indonesia, Denpasar (diolah)
2
Hambatan Penyerapan Kredit Usaha Kecil . . . (Maryatmo & Rahayu : 1 – 7)
yang disebabkan karena krisis ekonomi. Sementara itu, studi ini juga menunjukkan bahwa pendanaan investasi usaha yang berasal dari perbankan telah menurun dengan drastis yaitu dari 40% menjadi 25%. Selanjutnya, studi ini memberikan implikasi kebijakan khususnya untuk kebijakan moneter dan perbankan di Indonesia dan secara umum untuk negara-negara di Asia pasca krisis. Harmanta dan Mahyus (1997) meneliti rendahnya permintaan kredit di Indonesia dengan pendekatan model ketidakseimbangan. Hasil penelitian itu menjelaskan bahwa belum pulihnya pertumbuhan ekonomi seperti pada level semula sebelum krisis telah menyebabkan rendahnya permintaan kredit, sehingga jumlah kredit aktual masih belum dapat mencapai level sebelum krisis. Membaiknya perekonomian secara langsung merupakan mesin pendorong kenaikan permintaan kredit. Secara tidak langsung, membaiknya fundamental perekonomian berarti mengurangi kondisi ketidakpastian (uncertainty) yang akan berpengaruh terhadap: (i) stabilitas nilai tukar rupiah; (ii) kenaikan IHSG dan (iii) penurunan risiko sehingga menurunkan spread suku bunga, yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan permintaan kredit. Selain itu, hasil empiris menunjukkan besarnya pengaruh nilai tukar rupiah terhadap permintaan kredit. Implikasi penting dari temuan tersebut adalah perlunya menciptakan stabilitas nilai tukar dengan segera. Hasil ini didukung oleh survei yang menunjukkan bahwa mayoritas pengusaha memilih stabilitas nilai tukar rupiah sebagai pertimbangan untuk menentukan pengajuan permintaan kredit. Nilai tukar rupiah yang stabil akan menciptakan kondisi kepastian dalam berusaha, sehingga memudahkan pengusaha dalam merencanakan kegiatan usaha dan menentukan harga produksi. Hasil empiris juga menunjukkan bahwa pasar kredit dalam kondisi ketidakseimbangan, sehingga suku bunga tidak cukup fleksibel untuk menyeimbangkan permintaan kredit dengan penawaran kredit. Tidak bekerjanya pasar kredit secara sempurna menyebabkan transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga menjadi kurang efektif. Kebijakan moneter ekspansi yang ditempuh Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga SBI secara cepat selama beberapa tahun terakhir tidak serta merta diikuti dengan menurunnya suku bunga kredit secara
cepat. Hal ini pada gilirannya menyebabkan kebijakan moneter ekspansif tersebut kurang efektif dalam mendorong permintaan kredit. Dalam situasi bank sedang mengalami ekses likuiditas, kelebihan likuiditas tersebut ditempatkan pada surat berharga SBI dan obligasi negara, kebijakan moneter Bank Indonesia akan menjadi dilematis. Di satu sisi, kebijakan moneter longgar yang berarti menurunkan suku bunga SBI akan mengakibatkan bank-bank terpaksa mengurangi penempatan surplus dananya pada SBI. Jika penyerapan kredit masih lemah, maka ekspansi moneter akan menyebabkan kelebihan penawaran dana. Di sisi lain, kebijakan moneter ketat yang berarti akan meningkatkan suku bunga SBI akan menyebabkan bank lebih banyak menempatkan dananya pada SBI, sehingga mengurangi penyaluran kreditnya yang pada gilirannya akan menyebabkan pemulihan fungsi intermediasi perbankan menjadi terhambat. Untuk menghadapi permasalahan yang dilematis tersebut perlu dilakukan langkah-langkah kompromi dalam kebijakan moneter. Dalam kerangka target inflasi yang merupakan sasaran tunggal kebijakan moneter tetap diarahkan pada laju inflasi jangka menengah dan panjang yang cukup rendah dan stabil. Namun demikian, kebijakan perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap menjaga proses pemulihan ekonomi yang masih sedang berlangsung. Terjemahan sederhananya adalah bahwa dalam situasi terjadi kelebihan likuiditas, kebijakan moneter lebih dititikberatkan pada pengendalian laju pertumbuhan uang beredar. Dalam situasi perbankan mengalami kelebihan likuiditas, maka masih mungkin dilakukan pengetatan uang beredar tanpa kenaikan suku bunga yang signifikan. Dengan demikian, di satu sisi proses pemulihan ekonomi tetap terjaga, sehingga dapat mendorong kenaikan permintaan kredit. Pengetatan uang beredar akan berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah yang selanjutnya juga mendorong kenaikan permintaan kredit. Kenaikan permintaan kredit ini pada gilirannya akan dapat mengatasi permasalahan disintermediasi yang lebih disebabkan oleh lemahnya permintaan kredit. Taufiq (2002) berdasarkan hasil penelitiannya mengusulkan empat sistem pembiayaan usaha kecil. Keempat sistem pembiayaan itu adalah sistem akar rumput, sistem pembiayaan perbankan, sistem pembiayaan ganda, dan sistem pembiayaan pasar
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
3
modal. Sistem pembiayaan akar rumput adalah sistem pembiayaan yang didasarkan pada kerjasama antar pengusaha kecil yang tersalur melalui lembaga semacam koperasi simpan pinjam, dan berbagai kerjasama tradisional lainnya. Sistem pembiayaan tradisional ini diharapkan mampu berkembang dengan sistem kemitraan, karena sistem pembiayaan tradisional ini cukup diminati oleh pengusaha kecil, tetapi memiliki kendala dana. Kemitraan dengan lembaga perbankan dapat meningkatkan efektivitas peran intermediasi perbankan. Nina Rahmawati (2007) telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suku bunga pelepas uang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan suku bunga pelepas uang adalah suku bunga dari pelepas uang lainnya, suku bunga yang ditetapkan oleh bank, resiko kredit macet, dan besarnya laba yang diinginkan. Dari sisi nasabah pelepas uang, alasan mereka tetap mau meminjam kepada pelepas uang adalah; karena kebutuhan dana yang mendesak, tidak dibutuhkannya jaminan, dan prosedur yang cepat dan tidak berbelit-belit. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Magandi Wibowo (2007) mengenai hambatan usaha kecil menengah untuk mengajukan kredit kepada perbankan menunjukkan bahwa; para pengusaha di sentra seni Pahat Batu tersebut masih mengalami kesulitan dalam mengakses kredit perbankan. Kesulitan-kesulitan tersebut adalah prosedur dan persyaratan yang rumit, suku bunga yang tinggi, frekuensi pembayaran, jangka waktu pinjaman, agunan, dan jumlah pinjaman yang tidak sesuai dengan permintaan. Hal ini mengakibatkan banyak pengusaha menjadi enggan untuk menggunakan lagi kredit dari perbankan. Mereka lebih memilih untuk menggunakan laba usaha sebagai modal meskipun kecil. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Duddy Roesmara Donna (2005) mengenai identifikasi faktorfaktor penyebab rendahnya Loan to Deposit Ratio di Propinsi Yogyakarta dapat diperoleh beberapa poin kesimpulan. Pertama, dari sisi nasabah faktor utama yang menjadi kendala dalam meminjam uang di bank umum adalah faktor alternatif meminjam, faktor budaya dan faktor pelayanan bank. Kedua, dari sisi perbankan, kendala bagi nasabah bank umum dalam mengajukan kredit adalah kendala kelayakan usaha, 4
karakter debitur dan kelengkapan administrasi. Lebih dari separuh responden menyatakan kendala utama penyaluran kredit adalah kelayakan usaha debitur (khususnya bagi debitur perusahaan). Sementara lainnya, menyatakan kendala kredit adalah karakter debitur yang kurang layak dan kelengkapan administrasi yang kurang memenuhi. METODE PENELITIAN Penelitian ini berupaya mencoba mencari tahu mengenai hambatan penyerapan kredit bagi usaha kecil yang berlangsung di Pasar Anyar I, Singaraja, Bali. Dalam rangka untuk masuk ke dalam permasalahan, tahapan penelitian yang dilakukan ialah pertama-tama mengkaji berbagai penelitian yang serupa di berbagai tempat lain di Indonesia. Penelitian literatur tersebut bermanfaat dalam rangka untuk memfokuskan jenis data yang harus di gali di lapangan. Tahapan kedua adalah dengan melakukan penggalian data sekunder, baik di tingkat Kantor Bank Indonesia cabang Bali, lembaga keuangan yang melayani kredit usaha kecil di Pasar Anyar I, Singaraja, maupun di administrasi Pasar Anyar I tersebut. Jenis data sekunder yang dicari adalah tingkat penyerapan kredit di tingkat provinsi, maupun kabupaten, jenis lembaga keuangan yang melayani kredit usaha kecil, jumlah kredit yang diberikan, syarat-syarat kredit yang diberikan, dlsb. Setelah peneliti mendapatkan gambaran terhadap; macam, kuantitas, dan hambatan pemberian kredit dari sisi lembaga keuangan, penelitian dilanjutkan dengan penelitian survey, dan wawancara. Penelitan data survey dan wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang hambatan penyerapan kredit dari sisi pedagang Pasar Anyar I, Singaraja Bali. Data yang dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan statistik deskriptif, tabulasi silang, maupun statistik non parametrik, yakni dengan metode Kai Kuadrat. Analisis Kai Kuadrat ini sangat cocok untuk data yang hanya mencapai tingkatan skala ordinal, maupun nominal (Singarimbun, 1995). HASIL DAN PEMBAHSAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden dalam penelitian ini yang merupakan
Hambatan Penyerapan Kredit Usaha Kecil . . . (Maryatmo & Rahayu : 1 – 7)
pedagang di Pasar Anyar I Singaraja Bali didominasi oleh kaum pria (59 persen). Dari aspek usia, responden penelitian yang berusia antara 21 sampai dengan 35 tahun, dan dari 36 sampai dengan 45 tahun memiliki presentase yang sama besarnya yakni 31%. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang di Pasar Anyar I Singaraja didominasi oleh kelompok umur produktif, yakni antara 21- 35 tahun dan 36-45 tahun. Dari aspek pendidikan, tiga puluh delapan persen responden berpendidikan SMA. Sementara responden yang tidak bersekolah sama sekali ada sebelas persen. Walaupun dalam persentase yang kecil, namun terdapat pedagang yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi, yakni sebanyak tiga persen. Mereka yang berpendidikan SD, dan SMP masing masing berjumlah 28% dan 20%. Dilihat dari lama usaha, terdapat 34% pengusaha yang baru satu sampai 5 tahun memulai usaha mereka. Sejumlah hampir sama, yakni sebesar 31% dan 33% pedagang yang telah melakukan usaha berturut turut antara 5 sampai 10 tahun, dan lebih dari 10 tahun. Tempat usaha di Pasar Anyar I Singaraja nampaknya merupakan tempat yang ideal untuk mencari penghidupan, sehingga banyak pengusaha yang secara permanen menempati lokasi usaha di Pasar Anyar I, Singaraja. Seperti pada umumnya usaha-usaha berskala kecil dan menengah, pedagang di Pasar Anyar I, Singaraja, Bali bisa dikatakan tidak memiliki jumlah karyawan. Jika ada yang memiliki karyawan, jumlah karyawan yang dimiliki tidaklah terlalu besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 73 persen pedagang di Pasar Anyar I Singaraja tidak memiliki karyawan, sedangkan 25 persen memiliki karyawan antara 1 sampai dengan 2 orang. Hanya ada 2 persen yang memiliki karyawan 2-3 orang. Seluruh responden pedagang di Pasar Anyar I Singaraja memulai usaha mereka dengan menggunakan modal sendiri. Menurut mereka, pada umumnya usaha tersebut dimulai dari nol. Di dalam perjalanan usaha, para pedagang di Pasar Anyar I, Singaraja sudah terbiasa berhubungan dengan lembaga keuangan bank. Tujuh puluh delapan (78) persen pedagang yang diteliti pernah mengajukan pinjaman di lembaga keuangan bank. Pengajuan pinjaman ini sangat mungkin di dasari oleh ekspektasi pendapatan yang meningkat karena
usahanya, kebutuhan pengembangan usaha, maupun untuk mencukupi kebutuhan hidup yang tidak mungkin dipenuhi oleh aliran kas sehari hari. Pada saat penelitian ini dilakukan terdapat tigapuluh satu (31) persen pengusaha yang masih memiliki pinjaman di bank. Jadi walaupun pada awal usahanya mereka tidak ada yang memulai usahanya dengan pinjaman bank, namun dalam perjalanan usahanya mereka menjadi terbiasa dengan pinjaman dari lembaga keuangan bank. Alasan mereka yang masih tetap menggunakan jasa perbankan terutama didasarkan karena kebutuhan untuk mengembangkan usaha yang memerlukan dana yang besar dengan bunga yang relatif ringan dibanding bunga pinjaman dari lembaga keuangan non bank. Sebagian besar responden (35%) mengungkapkan bahwa responden membutuhkan jasa keuangan bank dalam rangka memenuhi penambahan kebutuhan modal yang cukup besar. Sebagaian besar dari responden yang menggunakan jasa perbankan (64%) juga mengungkapkan bahwa pinjaman dari lembaga perbankan tersebut dimanfaatkan untuk pengembangan usaha. Tidak semua pedagang terus bisa menggunakan jasa lembaga keuangan bank. Sebagian besar (35%) pedagang yang tidak lagi berhubungan dengan lembaga keuangan bank disebabkan karena alasan usahanya yang tidak berkembang. Mereka merasa bahwa potensi usaha mereka tidak akan mampu menopang beban pinjaman dari lembaga keuangan bank, sehingga mereka cenderung bertahan pada usaha yang ada. Lembaga perbankan yang melayani kebutuhan dana para pedagang di Pasar Anyar I, Singaraja terutama adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang dinikmati oleh 40% pedagang, Bank Swasta Nasional yang dinikmati oleh 32% pedagang. Pedagang lainnya (28%) mendapatkan akses kredit dari lembaga keuangan bank lainnya. Tidak hanya lembaga keuangan bank yang datang dan melayani kebutuhan dana para pedagang. Lembaga keuangan nonbank melayani kebutuhan dana para pedagang terutama untuk segmen kebutuhan dana kecil dan dalam jangka waktu yang pendek, dan jangka waktu pelunasan lebih cepat, sehingga yang memanfaatkan jasa lembaga keuangan nonbank terutama adalah pedagang dengan
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
5
modal kecil, dan perputaran dagang lebih cepat. Sebagian besar pedagang (70%) pernah menggunakan jasa keuangan nonbank tersebut. Dari mereka yang pernah menggunakan jasa lembaga keuangan nonbank terutama adalah pedagang kecil yang melayani kebutuhan sehari hari, yakni pedagang sayur (41%), pedagang rempah rempah (20%), serta pedagang sarana upacara (11%). Dari mereka yang tidak menggunakan jasa lembaga keuangan nonbank didominasi oleh pedagang baju (63%), dan pedagang sepatu (13%). Pedagang sayur, pedagang rempah biasanya membutuhkan modal lebih kecil, namun waktu pengembalian modal lebih cepat, sehingga tingkat keuntungan sangat tinggi persentasenya. Karena modal mereka kecil, tetapi tingkat keuntungan tinggi, maka mereka rentan terhadap gangguan usaha, dan mereka mampu menanggung beban bunga tinggi dari para rentenir. Sedangkan pedagang sepatu, pedagang baju membutuhkan modal yang lebih besar, namun dengan tingkat keuntungan yang lebih rendah. Pedagang untuk kelompok kedua ini tentu akan keberatan menanggung beban bunga rentenir, namun mereka bermodal besar dan memiliki agunan untuk dapat akses ke lembaga keuangan bank. Semakin terlihat jelas bahwa lembaga keuangan non bank lebih unggul daripada lembaga keuangan bank dalam hal melayani kebutuhan dana dalam jumlah kecil, dan dalam waktu jatuh tempo yang lebih pendek. Di Pasar Anyar I, pedagang yang menempati kios adalah pedagang yang omzet penjualanya ratarata lebih besar daripada pedagang yang menempati los. Sebagian besar pedagang yang menempati los (71%) menggunakan jasa lembaga keuangan nonbank untuk memenuhi kebutuhan keuangan mereka. Sedangkan, hanya sebesar 29% pedagang yang menempati kios yang menggunakan jasa lembaga keuangan non bank. Mereka yang omzet penjualannya lebih kecil cenderung memiliki karyawan yang lebih sedikit pula. Mereka yang memiliki karyawan lebih sedikit cenderung memilih penggunaan jasa lembaga keuangan nonbank daripada jasa keuangan bank. Mereka yang tidak memiliki karyawan yang berarti merupakan pedagang kecil cenderung memilih lembaga keuangan nonbank. Mereka yang memiliki karyawan, yang berarti omzet penjualan mereka cenderung lebih tinggi, cenderung tidak menggunakan jasa 6
lembaga keuangan nonbank. Dari data tersebut terlihat bahwa jasa keuangan nonbank merupakan jasa yang lebih inferior dibanding jasa keuangan bank. Jenis lembaga keuangan nonbank yang jasanya paling banyak dimanfaatkan pedagang di Pasar Anyar I, Singaraja adalah rentenir (32%), penyedia bahan baku (10%), dan pegadaian (6%). Mereka lebih menyukai menggunakan jasa lembaga keuangan nonbank seperti dari rentenir, karena seperti diungkapkan oleh sebagian besar (25%) pedagang yang menggunakan jasa lembaga keuangan nonbank tersebut karena alasan lembaga keuangan nonbank telah memberikan pinjaman tanpa agunan. Selain itu, keunggulan rentenir menurut sebagian responden lain yakni dari para pedagang yang menggunakan jasa keuangan lembaga keuangan nonbank (14%), rentenir mau melayani pencairan kebutuhan dana dalam waktu yang sangat singkat. Sementara itu, pihak bank jika tanpa agunan justru mereka membutuhkan survey usaha terlebih dahulu. Sebagian pedagang lain (3%) menyatakan bahwa rentenir mau melayani kebutuhan dana dalam jumlah kecil, sedangkan bank biasanya mensyaratkan kebutuhan dana minimal satu juta. Sejumlah tujuh puluh dua persen (72%) responden pernah memakai jasa kuangan rentenir ini, walaupun rentenir tersebut melepas uang dengan bunga yang lebih tinggi dari tingkat bunga lembaga kuangan bank, dengan mengingat keunggulan-keunggulan rentenir tersebut. Bunga yang tinggi yang dibebankan oleh rentenir sebagian besar (95%) bernilai di bawah 10 persen (dengan rata-rata tujuh persen) per bulan. Antar rentenir biasanya juga bersaing, sehingga penetapan suku bunga juga mempertimbangan suku bunga yang ditetapkan oleh pelepas uang lainnya. Namun, ada juga beberapa pedagang yang mau menerima penetapan bunga pinjaman yang lebih tinggi karena kondisi khusus yang mereka alami. Ada dua pedagang dari antara tujuh puluh sembilan pelanggan rentenir yang mau menerima penetapan bunga pinjaman sebesar antara 11 sampai 15 persen perbulan. Ada dua pedagang dari antara tujuh puluh sembilan pelanggan rentenir yang mau menerima penetapan bunga pinjaman sebesar antara 16 sampai 20 persen per bulan. Kondisi khusus ini terutama berkaitan dengan mendesaknya kebutuhan, dan biasanya jumlahnya cukup besar, sehingga tidak
Hambatan Penyerapan Kredit Usaha Kecil . . . (Maryatmo & Rahayu : 1 – 7)
semua rentenir bisa memenuhinya, serta jatuh temponya cukup lama. Selain faktor suku bunga yang ditawarkan, dapat pula dikaji dari segi pelayanan bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor kemampuan likuiditas pedagang juga menentukan penyerapan kredit para pedagang di Pasar Anyar I. Menurut pengakuan mereka, para pedagang tidak lagi mempergunakan jasa keuangan perbankan karena alasan agunan (42%), omzet penjualan usaha yang menurun (19%), dan alasan penurunan aliran kas usaha (2%). Faktor penurunan kinerja usaha ini menjadi pertimbangan untuk mengembangkan atau mempertahankan usahanya melalui suntikan dana kredit perbankan. SIMPULAN Penyaluran kredit oleh lembaga keuangan bank nampaknya tidak bisa merambah kepada semua lapisan usaha. Bahkan BPR yang sudah jauh lebih melunakan syaratnya, dan mencoba mengenal konsumen dan lingkungannya tetap tidak dapat merambah semua pedagang di Pasar Anyar I, Singaraja, Bali. Faktor kecepatan pencairan dana, keluwesan penentuan jumlah dana yang dibutuhkan, keluwesan waktu pelunasan, dan keberanian menanggung resiko untuk memberikan suntikan dana bagi pedagang yang sedang mengalami kesulitan aliran kas yang disebabkan karena kelesuan usaha yang sedang dialaminya, serta pelonggaran syarat agunan merupakan faktor-faktor hambatan lembaga keuangan bank untuk memenangkan persaingan dengan pelepas uang yang masih dominan dalam kehidupan para pedagang yang lemah. DAFTAR PUSTAKA Agung, J, dkk., 2007, “Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis Fakta, Penyebab dan Implikasi Kebijakan”, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia. Diakses dari http://www.bi.go.id pada tanggal 19 Desember 2007. Agung. J., dkk., 2008, “ Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis; Fakta, Penyebab, dan Implikasi
Kebijakan”, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia. Diakses dari http://www.bi.go.id pada tanggal 12 Januari 2008 Donna, D, R, 2007, ”Identifikasi Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Loan to Deposit Ratio di Propinsi Yogyakarta. Diakses dari http://psekp. ugm.ac.id tanggal 20 September 2007. Fleckenstein, William, A.With Frederick Sheehan, 2008, “Greenspan’s Bubbles The Age of Ignorance at the Federal Reserve”, New York: McGraw Hill. Harmanto, Mahyus, E., 2008, ”Disintermidasi Fungsi Perbankan di Indonesia Pasca Krisis 1997: Faktor Permintaan atau Penawaran Kredit, Sebuah Pendekatan Dengan Model Disekuilibrium”, FE_UI dan peneliti pada Direktorat Moneter, Bank Indonesia. Diakses dari http://www.bi.go.id pada tanggal 4 Februari 2008. Rahmawati, N, 2007, ”Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Suku Bunga Pelepas Uang: Studi Kasus di Pasar Wage Purwokerto”, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Singarimbun, Masri, dan Sofian Effendi, 1995, “Metode Penelitian Survey”, Jakarta: LP3ES Suharjono, 2003, “Manajemen Perkreditan Usaha Kecil dan Menengah”, Yogyakarta: UPP AMP YKPN Taufiq, M., 2007, “Membangun Sistem Pembiayaan Bagi Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK)”, Deputi Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha. Diakses dari http://www. smecda.com pada tanggal 20 September 2007. Wibowo, M, 2007, ”Hambatan Usaha Kecil Menengah Untuk Mengajukan Kredit Kepada Perbankan: Studi Kasus di Sentra Seni Pahat Batu Jalan Pemuda Barat Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang Propinsi Jawa Tengah”, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
7
PENGARUH KETERLIBATAN PEMBINA, KEMAMPUAN PENGURUS DAN PARTISIPASI ANGGOTA TERHADAP KINERJA KEUANGAN KOPERASI PONDOK PESANTREN Rusdarti Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:
[email protected]
ABSTRACT This research to analyze influence of counselor involvement, management capability and the members participation on financial performance of the Kopontren the simultaneously and partially. This research was carried out using survey method and taking the primary and secondary data. Survey was carried to 12 Kopontren as a sample research, counselor respondent is 12,36 management capability and the members participation was secondary data. The analysis method was using path analysis. The result of research give evidence that: 1. Counselor involvement, management capability and the members participation were influenced simultaneously positive and significant on financial performance of the Kopontren have 77,70%. Financial performance was measure from liquidity, solvability and rentability to have average 309,38%. 2. The partially influence counselor involvement on financial performance have 34,21%. The influence of management capability on financial performance have 18,88%. The influence of members participation on financial performance have 53,90%. The independent variables are influence positive and significant. There for suggest that attention counselor for improvement welfare to management capability for add incentive have to motivation in the work and good time expend for develop kopontren. Hoped can develop syariah cooperative in the Moslem boarding school. Keywords: Counselor Involvement, Management Capability, Participation, Financial Performance. PENDAHULUAN Pemerintah dalam upayanya menyusun suatu sistem ekonomi negara yang bersifat kekeluargaan, tidak hanya menggunakan koperasi sebagai sarana untuk mengimbangi sistem kapitalisme. Pemberian peranan yang lebih besar kepada perusahaanperusahaan negara sebagai sarana utama dalam upaya menetralisir sektor swasta yang cenderung kapitalis, bukanlah karena ekonomi kolektivitas yang dikembangkan oleh pemerintah mengarah pada kolektivisme komunis melainkan karena kematangan bangsa secara keseluruhan untuk mengembangkan sistem ekonomi kekeluargaan dalam bentuk-bentuk koperasi sebagai soko guru perekonomian bangsa belum cukup kuat. (Zamakhsyari Dhofier, 1990:42). Lebih lanjut Zamakhsyari Dhofier (1990:54) menyatakan bahwa perhatian yang diberikan Dinas Koperasi terhadap pesantren pada dasarnya meru8
pakan suatu pengakuan bahwa pesantren memiliki peranan yang cukup berarti, tidak hanya dalam lapangan yang bersifat keagamaan, melainkan karena perannya yang tidak kalah penting yaitu bersifat kultural dan sosial ekonomis. Demikian pula wujud dari perhatian pemerintah dengan keluarnya surat keputusan bersama antara Menteri Koperasi, Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) No: 197/KPTS/IX/64/1985 tentang Pembinaan Koperasi dilingkungan lembaga dakwah dan lembaga pendidikan agama. Sifat kultur pondok pesantren ialah karena kemampuannya menciptakan suatu pandangan hidup kesantrian sebagai tata nilai yang kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat pedesaan. Pandangan hidup kesantrian yang sampai saat ini masih cukup kuat adalah, kesediaan hidup sederhana dan menghindari pola hidup konsumtif, kuatnya berkorban untuk mengejar cita-cita, orientasi kehi-
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota . . . (Rusdarti : 8 – 21)
dupan yang lebih bersandar kepada kemampuan sendiri, kesediaan yang kuat untuk saling tolong menolong dan hidup secara kolektif sesuai dengan ajaran agama Islam. Tata nilai kepesantrenan yang bersifat sosial ekonomis tersebut sangat paralel dengan nilai-nilai sosial ekonomis yang dimiliki oleh koperasi. Oleh karena itu nilai strategis pondok pesantren bukan terletak pada kuantitas dan volume keikutsertaan kegiatan koperasi, melainkan pada kemauan pondok pesantren untuk turut mengembangkan koperasi. Pemerintah telah bertekad untuk mewujudkan koperasi pondok pesantren sebagai salah satu wadah kegiatan ekonomi rakyat yang kokoh dalam suatu sistem ekonomi nasional dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama antara Menteri Koperasi, Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tingkat keberhasilan kinerja keuangan koperasi dipondok pesantren tidak terlepas dari keterlibatan pembina yang ditugaskan oleh pimpinan pondok pesantren, tingkat kemampuan pengurus di dalam mengelola koperasi dan tingginya partisipasi anggota. Namun demikian, tidak semua kiyai atau pimpinan pondok pesantren maupun pembina yang ditugasi dan masyarakat lingkungan pesantren menunjukkan dukungan yang sama. Ada pondokpondok pesantren yang koperasinya cukup berhasil dan ada pula yang kurang berhasil. Sebab pimpinan pesantren atau kiyai mempunyai kekuasaan tertinggi dalam lingkungan pondok pesantren tidak begitu saja menerima koperasi dalam lingkungannya. Sedangkan, setiap perkembangan atau perubahan yang terjadi di pesantren sangat tergantung pada bagaimana visi pimpinannya masing-masing. Koperasi pondok pesantren (Kopontren) dalam menjalankan usahanya banyak menghadapi berbagai masalah, antara lain: 1) Masih banyak pondok pesantren yang menitikberatkan pada pengkajian kitab-kitab tradisional semata dan kurang memperhatikan aspek ekonomi koperasi. 2) Pengetahuan tentang perkoperasian di lingkungan pondok pesantren kurang memadai. 3) Adanya persepsi negatif warga pesantren terhadap koperasi, salah satu sebab ada ulah pengurus yang kurang bertanggung jawab (Abdurrahman Wahid, 1993: 105)
4) Sumber daya manusia kopontren yang berkualitas masih terbatas. 5) Pembinaan dalam bidang organisasi oleh pengurus pesantren kurang dilaksanakan secara intensif. 6) Lemahnya struktur manajemen koperasi dan kemampuan pengurus dalam mengelola usaha dan organisasi koperasi dengan baik. 7) Kurang intensifnya pembinaan yang dilakukan oleh pembina, rendahnya kemampuan pengurus dan lemahnya partisipasi anggota akan mempengaruhi kinerja keuangan kopontren. Berdasarkan fenomena di atas, maka pokok masalah yang akan dikaji dalam artikel ini adalah: sejauh mana pengaruh keterlibatan pembina, kemampuan pengurus, dan partisipasi anggota terhadap kinerja keuangan koperasi pondok pesantren baik secara keseluruhan maupun secara parsial. LANDASAN TEORI Koperasi sebagai Lembaga Ekonomi Kehendak untuk menumbuhkembangkan koperasi dinyatakan dalam GBHN 1998 ”dalam rangka mewujudkan demokrasi ekonomi, koperasi harus semakin dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya serta dibina dan dikelola secara efisien. Landasan hukum tersebut memberi arahan yang jelas, tegas dan lugas bahwa koperasi perlu ditumbuhkembangkan menjadi lembaga ekonomi yang kuat, berakar di masyarakat dan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat. Selanjutnya, Hanel (1989: 32) sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Dulfer (1974:9) menyatakan bahwa suatu organisasi kerja sama dapat disebut sebagai koperasi apabila memenuhi kriteria-kriteria pokok sebagai berikut. 1) Ada sejumlah individu yang bersatu di dalam suatu kelompok atas dasar sekurang-kurangnya karena ada satu kepentingan atau tujuan yang sama (disebut: kelompok koperasi). 2) Anggota-anggota kelompok koperasi bertekad mewujudkan kepentingannya atau tujuannya untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial mereka melalui usaha-usaha bersama dan saling tolong-menolong (disebut: swadaya, self-help).
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
9
3) Sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan atau tujuan yang sama tersebut dibentuklah perusahaan yang didirikan, dimodali/dibiayai, dikelola, diawasi dan dimanfaatkan sendiri oleh anggotaanggotanya (disebut: perusahaan koperasi). 4) Tugas pokok perusahaan koperasi adalah menyelenggarakan pelayanan-pelayanan barang dan jasa untuk menunjang kepentingan ekonomi anggota kelompok koperasi (disebut: tugas mempromosikan anggota). Adanya tugas pokok perusahaan koperasi untuk menunjang perbaikan kondisi perekonomian anggota, merupakan suatu pembangkit motivasi mengapa sekelompok individu mengambil keputusan untuk membentuk aktivitas ekonomi bersama melalui koperasi. Dengan mempersatukan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh individu akan diperoleh dampak sinergi melalui usaha skala besar (Eshenburg, 1994: 830). Keputusan dari sekelompok individu untuk menggabungkan diri ke dalam organisasi koperasi merupakan keputusan yang strategis, untuk mampu memecahkan masalah yang dihadapi diperlukan kerja sama dengan pihak lain yang paling sedikit menghadapi masalah yang sama. Koperasi sebagai bentuk organisasi memiliki seperangkat nilai yang diantaranya dirumuskan ke dalam sejumlah prinsip-prinsip koperasi sehingga koperasi menampilkan karakteristik khusus. Nilai-nilai yang diterapkan di dalam kehidupan berkoperasi itu membentuk perilaku atau pola kerja internal koperasi yang disebut sebagai mekanisme kerja organisasi koperasi, di mana anggota dan komponen-komponen organisasi koperasi saling berinteraksi di dalam satu sistem yang disebut manajemen koperasi. Koperasi Pondok Pesantren Koperasi pondok pesantren merupakan koperasi yang berperan untuk mengangkat aspek sosial ekonomi pesantren dengan jalan meningkatkan taraf hidup dan menyejahterakan warganya melalui pemberian pelayanan yang diperlukan oleh para santrinya, perlu mendapat dukungan dan partisipasi para santri sebagai anggotanya. Pada dasarnya pesantren memiliki peranan yang cukup berarti, tidak saja dalam hal keagamaan, melainkan karena peranannya yang tidak kalah penting yaitu yang bersifat kultural pondok pesantren yaitu kemampuannya 10
menciptakan suatu pandangan hidup kesantrian sebagai tata nilai yang kemudian dianut oleh sebagian besar masyarakat pesantren. Implementasi koperasi di dalam lingkungan pondok pesantren masih perlu disesuaikan dengan kerangka perekonomian yang sesuai dengan ajaran Islam, dalam perekonomian Islam terkandung prinsip bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat adalah erat, semata-mata karena fitrah keduanya. Ekonomi Islam harus berpegang pada kesederhanaan dan semangat gotong royong serta menegakkan kejujuran dan keikhlasan (Maududi, 1993: 13). Nilai-nilai Islam yang melekat ke dalam kehidupan pondok pesantren yang dipandang selaras dan dapat menunjang tumbuhnya dalam kehidupan koperasi di pondok pesantren adalah ajaran Islam tentang kesederhanaan, keikhlasan, persaudaraan, kemandirian, tolong menolong (ta’awun) dan gotong royong serta jauh dari sifat ketamakan, egoisme, jujur dan amanah sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Hal tersebut merupakan cirri dalam kehidupan pondok pesantren, ajaran Islam tentang gotong royong tersebut sesuai dengan asas-asas koperasi Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 2 Undang-Undang No. 25 tahun 1992, yaitu atas dasar kekeluargaan yang mengandung arti bahwa koperasi harus merupakan suatu wadah kerjasama di antara para anggotanya. Menurut Zamakhasyari Dhofier (1990: 45), sasaran pokok koperasi di lingkungan pondok pesantren adalah terdapat koperasi yang sungguhsungguh menjadi wahana untuk meningkatkan kesejahteraan warga pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai sasaran kegiatan pokok tersebut, koperasi pondok pesantren harus mengadakan unit-unit usaha yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan para anggota secara efisien. Di sinilah nilai strategis pondok pesantren dalam upaya serta mendukung pengembangan koperasi, karena peranan pesantren dalam pengembangan koperasi bukan terletak pada telah didirikannya koperasi dalam lingkungan pondok pesantren, melainkan perannya untuk mau memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat luas tentang perlunya berkoperasi dalam hampir semua kegiatan ekonomi sehari-hari. Para pemimpin dan alumni pesantren secara terus menerus terlibat
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota . . . (Rusdarti : 8 – 21)
dalam pemberian bimbingan dan penerangan nilainilai sosial keagamaan melalui mimbar-mimbar mesjid dan majelis-majelis pengajian yang pengaruhnya dalam kejiwaan masyarakat sangat luas, kuat dan mendalam. Peranan tersebut harus dimanfaatkan dalam upaya pengembangan koperasi. Kehadiran Koperasi dalam Lingkungan Pondok Pesantren Pondok pesantren sebagai lembaga bimbingan dan penyuluhan masyarakat sangat potensial bagi upaya pengembangan koperasi di masyarakat luas melalui mimbar-mimbar masjid dan majelis taklim atau majelis pengajian. Dengan demikian, perhatian tidak terbatas pada telah berdirinya koperasi dalam lingkungan pesantren, melainkan sejauh mana pondok pesantren dapat membantu penyuluhan dan bimbingan serta pembinaan koperasi pada masyarakat pedesaan. Mereka perlu dibekali dan diharapkan partisipasinya dalam pengembangan koperasi. Acara diskusi dan tukar pikiran antara para pemimpin pesantren perlu diselenggarakan untuk memperoleh titik temu, serta memperoleh dasar-dasar persamaan serta upaya menghilangkan perbedaan-perbedaan antara nilai-nilai kepesantrenan serta nilai-nilai perkoperasian. Titik temu itu tampak dapat diperoleh bilamana masing-masing pihak kembali berpijak kepada alam pikiran yang paling mendasar, bahwa kehidupan ekonomi masyarakat seharusnya diatur dan dipraktekan secara kekeluargaan. Harta kekayaan yang ada di masyarakat harus diatur berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan pemerataan. Upaya untuk menerjemahkan prinsip-prinsip tersebut tidak boleh terlalu kaku, serta melalui aplikasi yang disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan yang telah lama berlaku.
Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Kopontren 1. Kinerja keuangan kopontren Pengukuran efisiensi pengelolaan usaha kopontren dapat dilihat dari kinerja keuangan sebagaimana tampak dalam laporan keuangan dengan analisis rasio likuiditas, rasio solvabilitas, dan rasio rentabilitas. Dasar pengukuran tersebut adalah sesuai dengan pedoman dan petunjuk teknis sistem penilaian bagi koperasi non-KUD, dengan kriteria penilaian kinerja keuangan koperasi dapat dilihat pada Tabel1. Untuk mencapai keberhasilan tersebut, tidak sedikit faktor-faktor yang turut mendukungnya. Beberapa faktor seperti keterlibatan pembina, kemampuan pengurus, dan partisipasi anggota merupakan faktorfaktor yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. 2. Keterlibatan pembina Pada masyarakat muslim, terutama di daerah pesantren, kiyai merupakan tokoh/figur yang pengaruhnya sangat kuat. Pengaruh kiyai tersebut tidak hanya terbatas pada masalah-masalah agama semata, melainkan meluas pada berbagai aspek kehidupan. Sebagai pemimpin keagamaan, kiyai mengambil peran sebagai poros hubungan antar umat dengan Tuhan. Zamakhsyari (1990: 30) menyatakan bahwa pandangan sebagian besar pengikutnya adalah kiyai sebagai contoh muslim ideal yang ingin mereka capai, yakni seorang yang dianugerahi pengetahuan dan rakhmat Tuhan, sehingga terkesan sebagai pemimpin simbolik yang tidak gampang ditiru oleh orang biasa. Pada sisi lain, sebagai konsekuensi dari posisinya yang begitu kuat dalam lingkungan pondok
Tabel 1. Rasio Keuangan Kopontren Rasio 1. Likuiditas 2. Solvabilitas 3. Rentabilitas
Standar
Realisasi
Bobot
Nilai
125% 110% 10%
90% 125% 11%
30% 30% 40%
90/125 x 30 = 21,6 125/110 x 30 = 34 11/10 x 40 = 44
Nilai Kinerja Keuangan
= 99,6
Sumber Data: Deartemen Koperasi Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah, 1998: 23
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
11
pesantren, kiyai juga menduduki posisi penghubung dan merupakan wakil dalam kelompoknya dengan sistem sosial di luar lingkungannya. Sebagai penghubung, kiyai adalah orang yang mengetahui benar tentang prinsip-prinsip kerja dalam hubungan antar kelompok. Apabila kiyai hendak mempertahankan posisi penghubungnya, maka kiyai harus mengendalikan penyebaran informasi dari satu sektor ke sektor lainnya secara hati-hati. Pengetahuan tentang mekanisme kerja dalam masyarakat yang kompleks inilah yang merupakan kunci keberadaan kiyai. Fungsi penghubung yang mengendalikan penyebaran informasi dalam kelompoknya tersebut, kiyai adalah sebagai gate keeper (penjaga gawang). Dengan demikian kiyai merupakan kunci bagi perubahan-perubahan yang ada dalam lingkungannya. Kendati demikian, tidak berarti bahwa kiyai dalam mengambil keputusan dengan sesuka hati, sebab dengan kekuasaan dan pengaruhnya itu sebenarnya terkait untuk menganut dan mentaati norma-norma sosial yang berlaku bersama-sama masyarakat di lingkungannya. Begitu kiyai meninggalkan dasar pijakan bersama, maka dia akan kehilangan kekuasaan dan pengaruhnya. Oleh karena itu seorang kiyai dalam mengambil keputusan akan selalu memperhatikan norma-norma sosial yang ada (M. Dawam Rahardjo, 1987: 67). Selanjutnya menurut Timnas Departemen Koperasi (1993: 100) dinyatakan bahwa secara fungsional pejabat struktural di dalam pesantren/l ingkungan di mana kopontren berada bisa diangkat seorang pembina untuk mendukung kemajuan koperasi. 3. Kemampuan pengurus Pengurus yang efektif dan mendapat kepercayaan adalah pengurus yang dapat memimpin koperasi untuk mencapai tujuannya. Hasrat dan kemampuan pengurus untuk memberikan nilai tambah, sebetulnya timbal balik dengan kemampuan pengurus dan harapan (insentif) yang diberikan para anggotanya. Prestasi pengurus tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor subyektif, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor obyektif antara lain besarnya insentif dan cara pembentukan pengurus.
12
Aspek kemampuan pengurus, meliputi: (1) Kemampuan Potensial Pengurus Dalam organisasi, efektif tidaknya personal dalam melaksanakan tugasnya akan banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Buchanan (1997: 95) ada tiga kelompok indikator yang dapat mempengaruhi perilaku individu dalam melaksanakan tugasnya yaitu: (1) fisiologis, yaitu berkenaan dengan kemampuan baik fisik maupun mental; (2) lingkungan, dalam hal ini terutama dengan lingkungan organisasi; (3) psikologis, yaitu persepsi, sikap kepribadian dan motivasi. Indikator keorganisasian, kemampuan dan motivasi merupakan tiga indikator penting yang dapat mempengaruhi keefektifan pelaksanaan tugas pengelola. (2) Kemampuan Kinerja Pengurus Kinerja (performance) pengurus adalah aspek kemampuan yang sangat menentukan keberhasilan kerja. Kinerja ini adalah fungsi dari kemampuan potensial dan motivasi pengurus. Dengan demikian pendidikan formal, pendidikan dan latihan, pengalaman serta pengetahuan yang relevan telah dipandang sebagai beberapa variabel kemampuan yang dapat mempengaruhi perilaku personal dalam menyelesaikan program kerja. Pada gilirannya dari hasil kerja yang efektif, pengurus akan dapat mendapat penghargaan dari para anggotanya yang berupa kepercayaan kerja. 4. Partisipasi anggota dalam koperasi Partisipasi anggota yang ideal menurut Herman Suwardi (1985: 52) adalah keikutsertaan para anggota secara menyeluruh dalam pengambilan keputusan penetapan kebijakan, ke arah dan langkah usaha, dalam permodalan, dalam pemanfaatan pelayanan usaha, dan dalam menikmati sisa hasil usaha. Sedangkan terwujud atau tidaknya semua bentuk partisipasi itu berkaitan dengan apakah para anggota merasa memiliki koperasi itu dan yakin bahwa koperasi yang menjadi miliknya itu adalah wahana terbaik untuk “memperjuangkan dan mencapai” kepentingan-kepentingan (ekonominya). Hanel (1989: 70) membedakan dimensi partisipasi anggota yang dilandasi oleh prinsip identitas:
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota . . . (Rusdarti : 8 – 21)
(1) Dalam kedudukannya sebagai pemilik, para anggota :
dengan membeli atau menjual pada pesaing koperasi (Market Test)
a. Memberikan kontribusinya terhadap pembentukan dan pertumbuhan koperasinya dalam bentuk kontribusi keuangan (penyertaan modal, pembentukan cadangan, simpanan), mengambil keputusan dan pengawasan.
(3) Anggota koperasi akan berpartisipasi aktif, bila keuntungan yang diperoleh anggota lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan non anggota (Participation Test).
b. Partisipasi insentif di mana anggota memanfaatkan pelayanan perusahaan koperasi, mengadakan transaksi jual beli barang dan pelayanan di bidang kredit. (2) Dalam kedudukan sebagai pelanggan/pemakai, memanfaatkan berbagai potensi yang disediakan oleh koperasi dalam menunjang kepentingan-kepentingannya. Ropke (1989: 70) mengemukakan Tes Koperasi (The Cooperative Test) sebagai berikut. (1) Individu akan menjadi anggota koperasi, bila keuntungan yang diperoleh dengan menjadi anggota koperasi lebih besar jika dibandingkan dengan anggota non-koperasi (Cooperative Test), dan melalui Economic Test keuntungan berkoperasi lebih besar jika dibandingkan dengan apabila individu berusaha secara perseorangan. (2) Individu akan membeli atau menjual pada koperasi, bila keuntungan membeli atau menjual pada koperasi lebih besar jika dibandingkan Advantage Cooperative
Advantage NonCooperative
>
Cooperative Test
(4) Untuk memperjelas uraian tes koperasi di atas, dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut: Partisipasi anggota tergantung pada tiga unsur yaitu: (1) Program, (2) Pengurus, (3) Anggota. Adanya kesesuaian antara tiga unsur tersebut maka, partisipasi anggota akan dapat berperan dengan efektif. Mekanisme dari tiga unsur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut Gambar 2 (David Corten, yang dikutip Ropke, 2000: 62). Ada tiga alat utama di mana anggota koperasi dapat mengusahakan agar di dalam keputusan yang diambil manajemen tercermin keinginan dan permintaan anggota. Ketiga alat tersebut “voice, vote, dan exit” atau hak mengeluarkan pendapat, hak suara dalam pemilihan dan hak keluar. Dengan voice, anggota koperasi dapat mempengaruhi manajemen dengan mengemukakan pertanyaan atau usul, memberikan informasi atau kritik-kritik. Dengan vote, anggota dapat mempengaruhi siapa yang akan dipilih sebagai pengurus dalam koperasi. Dengan exit, anggota dapat mempengaruhi manajemen dengan cara meninggalkan (keluar) sebagai anggota atau mengurangi transaksinya dengan koperasi.
Economic Test
Market Test Advantage Cooperative
>
Advantage Without Specialization
>
Participation Test Advantage Competitor
Advantage Member Cooperative
>
Advantage Nonmember Cooperative
Sumber: Ropke (1989: 70) Gambar 1. The Cooperative Test JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
13
PROGRAM TUGAS
OUTPUT EFEKTIVITAS PARTISIPASI
=
= KEMAMPUAN
KEBUTUHAN
ANGGOTA
KEPENTINGAN
=
KEPUTUSAN
MANAJEMEN KOPERASI
VOICE VOTE EXIT
Sumber: Ropke, 2000: 62
Gambar 2. Model Kesesuaian Partisipasi
Dengan demikian, partisipasi akan lebih efektif apabila: (a) manajemen mampu melaksanakan tugas dari program yang telah ditetapkan; (b) keputusan program manajemen mencerminkan hasrat permintaan para anggota, dan (c) hasrat permintaan anggota akan tercermin dalam keputusan program
manajemen. Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran mengenai pengaruh keterlibatan pembina, kemampuan pengurus, dan partisipasi anggota terhadap kinerja keuangan koperasi pondok pesantren dapat dilihat pada Gambar-3 sebagai berikut:
Keterlibatan Pembina (X1)
Kemampuan Pengurus (X2)
Kinerja Keuangan Kopontren (Y)
Partisipasi Anggota (X3)
Gambar 3. Paradigma Kerangka Penelitian Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan Kopontren
14
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota . . . (Rusdarti : 8 – 21)
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian explanatory research dengan survey, di mana survey dilakukan terbatas pada survey sampel, yaitu cara pengumpulan informasi dari sampel atas populasi yang mewakili seluruh populasi dengan maksud untuk menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kopontren di Eks Karesidenan Semarang, seluruhnya berjumlah 16 kopontren. mengingat keterbatasan dana, tenaga dan waktu, informasi yang diperlukan dihimpun dari sebagian populasi. Dengan perkataan lain penelitian ini dilakukan dengan metode sampling. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling dengan rumus sebagai berikut:
n=
n0 , n0 − 1 1+ N Zα
di mana
n0 =
2
2δ
(Harun Al Rasyid, 1995: 81)
Keterangan: n = besarnya ukuran sampel N = besarnya ukuran populasi α = risiko kekeliruan yang mungkin terjadi δ = Bound of Error Untuk keperluan penelitian ini, digunakan besarnya risiko (α) = 0,01, sedangkan besarnya bound of error (δ) ditetapkan 0,2. Dari rumus di atas, maka besarnya sampel minimal koperasi yang merupakan primary sampling unit adalah: 11,75 dibulatkan menjadi 12 buah kopontren sebagai sampel penelitian. Untuk penarikan pembina, setiap kopontren diambil seorang pembina sebagai sampel. Sedangkan, pengurus tiap-tiap kopontren diambil 3 orang. Hal ini didasarkan bahwa rata-rata tiap kopontren dibina oleh seorang pembina dan dikelola oleh 3 orang pengurus, dan untuk anggota dihitung dengan menggunakan data sekunder yaitu jumlah rata-rata simpanan para anggota, jumlah rata-rata
transaksi anggota dibagi dengan jumlah seluruh anggota dalam koperasi sampel. Variabel Penelitian 1. Keterlibatan Pembina (X1) adalah pembina atau ustadz yang telah ditunjuk oleh pimpinan pondok pesantren di dalam membantu memberikan motivasi dan membantu dalam menyelesaikan persoalan koperasi dengan indikator: a) Keterlibatan dalam membantu memberikan motivasi di dalam memasyarakatkan koperasi di lingkungan pondok pesantren baik berupa ceramah, pengarahan maupun dalam bentuk lainnya dengan tolok ukur semakin sering pembina terlibat dalam memberikan motivasi berupa ceramah, pengarahan tentang koperasi di kalangan santri, maka semakin baik koperasi tersebut. b) Keterlibatan di dalam membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di koperasi dengan tolok ukur semakin sering pembina membantu menyelesaikan persoalan koperasi, maka koperasi akan semakin baik. 2. Kemampuan pengurus (X2) yaitu kemampuan yang harus dimiliki oleh pengurus baik kualitas pribadi seperti kejujuran, keuletan, kemampuan dan kemauan bekerja dengan sungguh-sungguh serta loyalitas yang tinggi maupun kemampuan lainnya sehingga diharapkan mendapatkan kepercayaan secara penuh dari para anggota. Kemampuan ini meliputi: a) Kemampuan potensial pengurus, yaitu kemampuan yang dimiliki pengurus melalui: pendidikan, pengalaman, pelatihan b) Kemampuan kinerja pengurus, meliputi: (1) kapasitas kerja, dilihat dari jumlah jam kerja yang dicurahkan pengurus untuk kepentingan kopontren; (2) kualitas pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan pada anggota. Semakin lengkap barang yang ditawarkan kepada anggota dengan mutu yang baik dan harga wajar maka semakin baik kinerja pengurus sehingga partisipasi anggota meningkat.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
15
tentang kinerja keuangan partisipasi anggota.
3. Partisipasi Anggota (X3) yaitu keikutsertaan anggota dalam: a) Partisipasi dalam kontribusi modal, dilihat rata simpanan para anggota dengan cara menghitung jumlah modal yang berasal dari anggota dibagi dengan jumlah seluruh anggota.
Dengan tolok ukur nilai tertimbang minimal 75% artinya semakin tinggi hasil perhitungan kinerja keuangan di atas 75%, maka semakin baik tingkat kinerja keuangan kopontren. Matiks variabel penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
dan
2. Angket Angket digunakan untuk memperoleh data tentang keterlibatan pembinaan dan kemampuan pengurus. Angket untuk responden digunakan angket terstruktur, yaitu angket yang sudah menyediakan beberapa alternatif jawaban. Jawaban a diberi skor 1 dalam kategori sangat kurang, b diberi skor 2 dalam kategori kurang, c diberi skor 3 dalam kategori sedang, d diberi skor 4 dalam kategori baik, dan jawaban e diberi skor 5 dalam kategori sangat baik.
b) Partisipasi insentif dilihat dari jumlah ratarata transaksi yang dilakukan anggota dibagi dengan jumlah seluruh anggota; serta partisipasi dalam pengambilan keputusan. 4. Kinerja Keuangan Kopontren (Y), yaitu suatu analisis untuk mengetahui keadaan keuangan dalam rangka mengukur berbagai kemampuan dari koperasi. Pengukuran kinerja keuangan kopontren dihitung melalui rasio likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas dengan rumus seperti tersaji pada tabel 2.
kopontren
Metode Analisis Data Data hasil kuesioner yang bersifat tertutup dan telah memenuhi Skala Likert, kemudian dianalisis dengan langkah sebagai berikut: 1) Pemberian skor
Alat Pengumpul Data 1. Dokumentasi Dokumentasi digunakan untuk memperoleh data
Penilaian jawaban atas kuesioner yang diajukan diberi skor sesuai dengan pengukuran dalam operasionalisasi variabel. Atas dasar analisis ini apakah pernyataan-pernyataan (item) tersebut telah memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas dalam penelitian, maka dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu.
Tabel 2. Rumus Pengukuran Kinerja Keuangan Rasio
Standard
Realisasi
Bobot
125% 110% 10%
…………… …………… ……………
30% 30% 40%
1. Likuiditas 2. Solvabilitas 3. Rentabilitas
Nilai R/S x B = …….. R/S x B = …….. R/S x B = ……..
Tabel 3. Matriks Variabel Penelitian No. 1
Keterlibatan Pembina (X1)
2
Kemampuan Pengurus (X2)
3
Partisipasi Anggota (X3) Kinerja Keuangan (Y)
3
16
Variabel
Indikator -
Keterlibatan dalam motivasi Keterlibatan dalam penyele-saian persoalan Kemampuan potensial Kemampuan kinerja Pengurus Partisipasi kontributif Partisipasi insentif Rasio Likuiditas Rasio Solvabilitas Rasio Rentabilitas
Skala Pengukuran
Sumber Data
Ordinal Ordinal
Pembina Pengurus
Ordinal
Laporan Pengurus Laporan Keuangan
Rasio
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota . . . (Rusdarti : 8 – 21)
Hasil uji reliabilitas r11 kemudian dikonsultasikan dengan harga kritik r pada tingkat kepercayaan 95%.
2) Uji validitas Uji validitas menggunakan SPSS analisis butir. Output komputer dapat langsung menjelaskan buti-butir yang sahih dan butir-butir yang gugur. Butir yang gugur tidak dikaitkan dengan perhitungan skor. Secara statistik validitas dapat diuji dengan menggunakan rumus korelasi product-moment sebagai berikut: rxy =
4) Peningkatan pengukuran ordinal menjadi interval Pengukuran ditingkatkan terlebih dahulu menjadi tingkat pengukuran interval melalui metode “Method of Succesive Intervals” dengan langkah sebagai berikut:
N ∑ XY − ( ∑ X ∑ Y )
a) Memperhatikan setiap pernyataan (sifat positif atau negatif)
2
{N ∑ X − ( ∑ X ) 2 }{N ∑ Y 2 − ( ∑ Y ) 2 }
b) Tentukan berapa yang mendapat skor 1, 2, 3, 4, dan 5 selanjutnya sebagai frekuensi (f)
Keterangan: r = Koefisien korelasi productmoment N = Jumlah objek yang diteliti X = Jumlah skor butir Y = Jumlah skor total
c) Setiap frekuensi dibagi banyaknya responden maka hasilnya disebut proporsi (P) d) Hitung proporsi kumulatif (PK) e) Hitung nilai Z dengan berdasar tabel distribusi normal
Hasil uji validitas rxy kemudian dikonsultasikan dengan nilai r product moment dengan interval kepercayaan 95%.
f)
3) Uji reliabilitas Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan teknik belah dua, untuk mencari reliabilitas keseluruhan dipakai rumus Teknik Hoyt sebagai berikut:
r11 =
Ve − Vr Ve
atau r11 = 1 −
Tentukan skala interval untuk setiap nilai Z dengan rumus sebagai berikut:
Scale value =
(Density at lower limit) − (Density at upper limit) (Area below upper limit) − (Area below lower limit)
5) Pengujian Hipotesis Berdasarkan operasionalisasi variabel penelitian, hipotesis yang diajukan diuji dengan model analisis jalur (Path Analysis). Adapun kerangka konseptual pengujian hipotesis sebagai berikut:
Ve Vr
Keterangan: r11 = Reliabilitas instrumen Ve = Varians responden Vr = Varians residu
ε X1
ρ yx1
rx1 x2
rx1 x3
X2
ρ yx 2
Y
rx2 x3
X3
ρ yx 3
Gambar 4. Konsep Kausalitas Hubungan antara Variabel dalam Penelitian
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
17
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian yang dilakukan pada kopontren dapat didiskusikan bahwa aspek keterlibatan pembina memberikan ceramah dalam ikut serta memasyarakatkan koperasi di kalangan santri sebesar 56,3%, membantu memecahkan persoalan koperasi 61,24%. Aspek kemampuan pengurus meliputi pendidikan formal yang sudah ditempuh pengurus lulusan Magister tidak ada (0%), Sarjana 28%, Sarjana Muda/ Diploma 24,44%, SLTA/MA sebesar 39,23% dan sebesar 8,33% atau 1 orang dari lulusan SLTP/MTs. Pelatihan perkoperasian yang pernah ditempuh sebanyak 2 kali 47, 78% dan lebih dari 3 kali sebanyak 38,33%. Waktu yang dicurahkan pengurus mengelola koperasi dalam 1 minggu tertinggi di atas 25 jam 32,09% dan terendah kurang dari 12 jam 29%. Kelengkapan barang yang disediakan oleh pengurus, cukup tersedia 74,13% dengan penetapan harga lebih murah 53,78% dan lebih mahal 21,24% sisanya sama dengan tingkat harga di luar waserda kopontren. Aspek partisipasi anggota, partisipasi dalam kontribusi modal terendah di bawah Rp50.000,00 adalah 21,08% dan lebih dari Rp150.000,00 sebesar 36,17%. Sedangkan, partisipasi insentif anggota di atas Rp150.000,00 sebesar 27,75% dan terendah kurang dari Rp25.000,00 sebesar 19,07%. Partisipasi dalam pengambilan keputusan tertinggi 75,56% dan terendah 11,06%. Aspek kinerja keuangan yang diukur dengan rasio keuangan rata-rata yang dicapai oleh kopontren sebesar 309,38%, kinerja keuangan terendah sebesar 158,3 dan kinerja keuangan tertinggi sebesar 736,12. Hasil pengujian hipotesis pengaruh keterlibatan pembina, kemampuan pengurus dan partisipasi anggota secara besama yang di uji dengan uji-F diperoleh persamaan regresi : Ŷ = - 2076,58 + 54,398 X1 + 7,044 X2 + 79,629 X3 Koefisien determinasi R2 = 0,777 Fhitung = 9,898 F0,05 ( 3;8) = 4,07
18
Hasil ini menunjukkan bahwa Fhitung = 9,898 > F0,05 ( 3;8) = 4,07 berarti tolak Ho artinya variasi kinerja keuangan (Y) sebesar 77,70% ditentukan oleh variasi keterlibatan pembina (X1), kemampuan pengurus (X2), partisipasi anggota (X3) sedangkan sisanya sebesar 22,30% ditentukan oleh variabel lain yang tidak diteliti. Dengan demikian pengujian secara parsial dapat diteruskan dan statistik uji yang digunakan adalah uji-t. Hasil pengujian secara parsial, untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap kinerja keuangan kopontren, menunjukkan hasil sebagai berikut: Tabel 4. Hasil Pengujian Parsial terahadap Kinerja Keuangan Kopontren No.
Variabel bebas
thitung
t0,05 (8) Kesimpulan
1 Keterlibatan Pembina
3,028 1,860
Tolak Ho
2 Kemampuan Pengurus
2,528 1,860
Tolak Ho
3 Partisipasi Anggota
3,353 1,860
Tolak Ho
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap kinerja keuangan kopontren diperoleh nilai t hitung untuk semua variabel ternyata lebih besar dari t0,05 (8) = 1,860 yang berarti tolak Ho. Dengan demikian berdasarka α = 0,05 variabel keterlibatan pembina, kemampuan pengurus dan partisipasi anggota secara parsial berpengaruh terhadap kinerja keuangan kopontren signifikan. Untuk mengetahui besarnya pengaruh masingmasing variabel baik langsung maupun tidak langsung dapat dilihat hasil output SPSS sebagai berikut (Gambar 5). Pengaruh Keterlibatan Pembina (X1) terhadap Y Pengaruh langsung X1 terhadap Y = 0,536 x 0,536 = 0,2873 Pengaruh yang melalui hubungan korelasional dengan X2 = (0,536) (0,335) (0,305) = 0,0548 Pengaruh X1 ke Y secara total = 0,2873 + 0,0548 = 0,3421 atau 34,21%. Pengaruh Kemampuan Pengurus (X2) terhadap Y Pengaruh langsung X2 terhadap Y = 0,305 x 0,305 = 0,0930
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota . . . (Rusdarti : 8 – 21)
ε X1
0,536
0,335 0,260
X2
Y
0,305
0,470
X3
0,668
Gambar 5. Hasil Kausalitas Hubungan antara Variabel dalam Penelitian
Pengaruh yang melalui hubungan korelasional dengan X3 = (0,305) (0,470) (0,668) = 0,0958 Pengaruh X2 ke Y secara total = 0,0930 + 0,0958 = 0,1888 atau 18,88%. Pengaruh Partisipasi Anggota (X3) terhadap Y Pengaruh langsung X3 terhadap Y = 0,668 x 0,668 = 0,4460 Pengaruh yang melalui hubungan korelasional dengan X1 = 0,668 x 0,260 x 0,536 = 0,0930 Pengaruh X3 ke Y secara total = 0,4460 + 0,0930 = 0,5390 atau 53,90%. Pembahasan Pengaruh keterlibatan pembina, kemampuan pengurus dan partisipasi anggota secara keseluruhan diperoleh persamaan regresi: Ŷ = - 2076,58 + 54,398 X1 + 7,044 X2 + 79,629 X3, persamaan ini mempunyai arti bahwa semakin sering pembina terlibat ke dalam koperasi, semakin tinggi kemampuan pengurus dan semakin tinggi partisipasi anggota secara bersama-sama, maka tingkat kinerja keuangan kopontren semakin baik sehingga dapat digeneralisasikan ke dalam populasi. Koefisien determinasi R2 = 0,777 mempunyai makna bahwa model relatif baik, karena pengaruh faktor lain yang tidak termasuk dalam model itu sebesar 0,223. Pengaruh secara parsial keterlibatan pembina terhadap kinerja keuangan kopontren baik langsung
maupun tidak langsung secara total sebesar 34,21% dan pengaruh ini menunjukkan tanda positif. Artinya bahwa semakin sering pembina terlibat dalam pengembangan koperasi baik pembinaan kepada santri, penyuluhan-penyuluhan maupun ceramah tentang pentingnya hidup bergotong-royong melalui berkoperasi. Hal ini akan menumbuhkan kesadaran bagi anggota koperasi untuk tetap loyal dan menjadi pelanggan setia dalam transaksi dengan koperasinya sehingga kinerja keuangan kopontren akan semakin baik. Pengaruh secara parsial kemampuan pengurus terhadap kinerja keuangan kopontren baik langsung maupun tidak langsung secara total sebesar 18,88% dan pengaruh ini menunjukkan tanda positif. Artinya bahwa semakin tinggi kemampuan potensial pengurus seperti tingkat pendidikan yang sudah ditempuh, pengalaman dalam mengelola koperasi maupun kemampuan kinerja pengurus seperti kapasitas kerja berupa jumlah jam yang dicurahkan pengurus dan kualitas pelayanan kepada anggota, maka tingkat kinerja keuangan kopontren akan semakin baik. Pengaruh secara parsial partisipasi anggota terhadap kinerja keuangan kopontren baik langsung maupun tidak langsung secara total sebesar 53,90% dan pengaruh ini menunjukkan tanda positif. Artinya bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi anggota koperasi yang meliputi partisipasi insentif maupun kontributif, maka kinerja keuangan kopontren semakin baik. Pengaruh partisipasi anggota terhadap
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
19
kinerja keuangan kopontren adalah paling besar hal ini menunjukkan bahwa partisipasi anggota mutlak bagi perkembangan sebuah koperasi dan menduduki tempat sentral karena dapat menjaga kelangsungan hidup koperasi. Dengan partisipasi kontribustif dalam pemupukan modal dapat mengurangi ketergantungan dalam pemenuhan modal koperasi dengan biaya yang murah, peningkatan pemenuhan kebutuhan anggota, sehingga dapat dicapai efisiensi dan keberhasilan koperasi yang diukur melalui kinerja keuangannya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan Pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Keterlibatan pembina di lingkungan kopontren dengan keterlibatannya dalam ikut serta memberikan ceramah, penyuluhan dan pengarahan kepada pengurus maupun keterlibatannya dalam membantu menyelesaikan masalah koperasi, kemampuan pengurus dan partisipasi anggota secara bersama mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja keuangan kopontren sebesar 77,70%. Kinerja keuangan diukur dari aspek likuditas, solvabilitas dan rentabilitas mencapai rata-rata 309,38%. 2. Pengaruh keterlibatan pembina terhadap kinerja keuangan kopontren sebesar 34,21%. Pengaruh positif yang mempunyai arti bahwa semakin sering pembina terlibat dalam kegiatan berkoperasi maka semakin tinggi pula kinerja keuangan kopontren. Dalam menjalankan organisasi koperasi ke arah tujuan yaitu menyejahterakan anggota sangat penting dan ternyata keterlibatan pembina mempunyai pengaruh yang relatif besar pula. 3. Pengaruh kemampuan pengurus terhadap kinerja keuangan kopontren sebesar 18,88%. Besarnya pengaruh ini relatif paling kecil dibandingkan dengan dua variabel lainnya. Walaupun demikian tugas pengurus dalam menjalankan roda organisasi pengururs dituntut untuk menunjukkan kemampuannya dalam merealisasi programprogram yang sudah dirumuskan oleh rapat anggota. 20
4. Pengaruh partisipasi anggota terhadap kinerja keuangan kopontren adalah paling dominan yaitu sebesar 53,90% dan pengaruh ini menunjukkan tanda positif. Artinya semakin tinggi tingkat partisipasi anggota, maka kinerja keuangan kopontren akan semakin baik. Saran Tanggungjawab pengurus dalam menjalankan roda organisasi kopontren cukup besar, maka perlu diperhatikan dengan baik oleh pembina yaitu meningkatkan kesejahteraannya bagi pengurus melalui tambahan Pemberian insentif agar termotivasi dalam bekerja dan mencurahkan waktunya sebaik mungkin untuk pengembangan kopontren. Selain itu diharapkan dapat dikembangkan koperasi syariah di pesantren. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Wahid, 1993, Bunga Pesantren, Jakarta: Dharma Bhakti
Rampai
Eschenburg, Rolf, 1994, Theory of Cooperative Cooperation, Dalam International Handbook of Cooperative Organizations, Vandenhoeck & Ruprecht, Gottingen Gujarati, N. Damodar, 1995, Basic Econometrics, Singapore: McGraw-Hill, Inc Hanel, Alfred, 1989, Basic Aspect of Cooperative Organization and Policies Their Promotion in Developing Countries, Bandung: UNPAD Harun Al Rasyid, 1995, Teknik Penarikan Sampel Dan Penyusunan Skala, Bandung: Program Pascasarjana UNPAD Harijanto, 1991, Perananan Manajer dalam Menunjang Keberhasilan Usaha Koperasi, Bandung: Tesis PPs UNPAD Herman Suwardi, 1995, Filsafat Koperasi atau Cooperativism, Bandung: IKOPIN ______ 1985, Partisipasi Anggota yang Ideal dalam Koperasi Dapatkah Secara Komulatif, dalam Antologi Esei Ke Arah Pemahaman Perusahaan Koperasi, Jakarta: Balitbangkop, Dep.Kop RI Maududi, 1993, Kopontren Keberadaan dan Pengembangannya, Jakarta: Balitbangkop
Pengaruh Keterlibatan Pembina, Kemampuan Pengurus dan Partisipasi Anggota . . . (Rusdarti : 8 – 21)
M.
Dawam Rahardjo, 1987, Pesantren Pambaharuan, Jakarta: LP3ES
dan
Moh. Nasir, 1988, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Ropke, Jochen, 1989, The Economic Theory of Cooperative Enterprise in Developing Country, With Special Reference of Indonesia, Marburg West Germany: Consult for Self Help Promotion
Ropke, J. 2000, Ekonomi Koperasi Teori dan Manajemen, terjemahan oleh Sri Djatnika S, Ariffin, Jakarta: Salemba Empat Zamakhsyari Dhofier, 1990, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN 1998 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
21
PENGARUH PARTISIPASI ANGGOTA DAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP KEBERHASILAN KOPERASI PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA (KPRI) KAPAS KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN BANJARNEGARA Khasan Setiaji Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:
[email protected]
ABSTRACT There are some factors which is retard and encourage to get the success in cooperation, like business environment and build the members participation. The aim of this research is to know the influence and how much the influence of members participation and business environment towards the success of “KPRI Kapas” Banjarnegara. The participation of members and business environment become a free variable, meanwhile the success of “KPRI Kapas” become a bounded variable. Based on the result the percentage descriptive analysis, we got 69% for the members participation and 74,07% for business environment and we conclude that is was be good category, meanwhile we got 67,44% for the success of “KPRI Kapas” and we conclude good enough category. The percentage of influence members participation and business environment toward the successful of “KPRI Kapas” was 58,5%, meanwhile the rest was 41,5% influenced by the other factors. To be more success this cooperation need relationship whit the other business optimally and need education and training for the members. Keywords: members participation, business environment, success of KPRI Kapas PENDAHULUAN Koperasi sebagai gerakan ekonomi yang tumbuh di masyarakat merupakan organisasi swadaya yang lahir atas kehendak, kekuatan dan partisipasi masyarakat dalam menentukan tujuan, sasaran kegiatan serta pelaksanaannya. Keberadaan koperasi sebagai wadah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia, sejalan dengan nilai yang terkandung dalam pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Secara kuantitatif koperasi mengalami kemajuan yang pesat, seperti tampak dari jumlah koperasi, jumlah anggota, total aktiva dan volume usahanya. Sampai saat ini jumlah koperasi di Indonesia tercatat lebih dari 116.000 unit, dengan anggotanya sekitar 29 juta orang. Ini berarti tiap-tiap koperasi rata-rata beranggotakan sekitar 250 orang. Namun demikian, beberapa kalangan menilai bahwa pertumbuhan koperasi dilihat dari segi kualitas masih jauh dari yang diharapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang dikuasai koperasi ternyata tidak lebih dari 5% saja. Berdasarkan laporan dari Kementrian Koperasi dan UKM, menyebutkan bahwa koperasi masih memiliki berbagai kendala, antara lain rendahnya partisipasi anggota, rendahnya 22
efisiensi usaha, rendahnya tingkat profitabilitas, citra koperasi yang dianggap badan usaha kecil dan terbatas serta bergantung pada program pemerintah, kompetensi SDM yang relatif rendah, dan sebagainya (Adrian, 2006). Pokok permasalahanya adalah masih banyak kegiatan yang dilakukan koperasi belum mencapai keberhasilan seperti yang dilakukan oleh badan usaha lainnya, tetapi dalam hal ini perlu dipertimbangkan juga banyaknya faktor yang dapat mendorong atau menghambat kegiatan usaha koperasi. Faktor lingkungan usaha dan membangun partisipasi anggota koperasi merupakan faktor yang utama pada masa sekarang. Partisipasi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana sekelompok orang menemukan dan mengimplementasikan gagasan atau ide-ide koperasi. Partisipasi bukan hanya bagian penting, tetapi juga vital dalam membangun koperasi. Melalui partisipasi, anggota sendiri yang mengisyaratkan dan menyatakan kepentinganya, sumber-sumber daya yang digerakkan, keputusan dapat dilaksaakan dan dievaluasi. Partisipasi dibutuhkan untuk mengurang kinerja yang buruk, mencegah penyimpangan dan membuat pemimpin koperasi bertanggung jawab.
Pengaruh Partisipasi Anggota Dan Lingkungan Usaha . . . (Setiaji : 22 – 28)
Partisipasi anggota sering dianggap baik sebagai alat pengembangan maupun sebagai tujuan akhir itu sendiri.
LANDASAN TEORI
Lingkungan usaha merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan usaha di era perdangan bebas. Organisasi koperasi merupakan suatu unsur dari unsur-unsur yang lainnya yang ada dalam masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya dan saling berhubungan, saling bergantung dan saling mempengaruhi, sehingga merupakan satu kesatuan yang komplek. Dalam menghadapi perubahan dinamika ekonomi saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan sosial ekonomi kita sudah masuk dalam tatanan arus global terutama menghadapi nuansa perekonomian yang berkiblat ke arah perdagangan bebas. Pergerakan perkoperasian kita mau tidak mau harus mempersiapkan diri untuk mampu eksis dan memberikan kontribusinya dalam perekonomian nasional tanpa meninggalkan jati dirinya. Dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya, organisasi koperasi sebagai sistem terbuka tidak dapat terlepas dari pengaruh dan ketergantungan lingkungan, baik lingkungan luar seperti ekonomi pasar, sosial budaya, pemerintah, teknologi dan sebagainya maupun lingkungan dalam seperti kelompok koperasi, perusahaan koperasi, kepentingan anggota dan sebagainya.
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi, dengan melandaskan kegiatanya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas azas kekeluargaan. Koperasi yang menjadi objek penelitian ini adalah Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI). Menurut Chaniago (1992:30) menyatakan bahwa KPRI adalah suatu kegiatan fungsional yang merupakan wadah untuk menampung kegiatan karyawan yang berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Koperasi adalah organisasi swadaya yang menjalankan usaha. Oleh karena itu, pengelolaan koperasi tidak jauh berbeda dengan badan usaha lain, yaitu harus dapat dikelola secara efisien agar dapat memberikan cooperative effect pada anggotanya. Demikian halnya dengan keberhasilan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Kapas Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara tidak terlepas dari dukungan partisipasi anggota dan lingkungan usahanya. Kenyataan menunjukan bahwa partisipasi anggotanya menunjukan gejala yang bervariasi dan dengan lingkungan usaha pada saat ini yang tidak menentu. Kondisi semacam ini merupakan gambaran kondisi koperasi di Indonesia secara umum. Kenyataan ini mendorong keinginan peneliti untuk mengungkapkan lebih lanjut tentang pengaruh partisipasi anggota dan lingkungan usaha terhadap keberhasilan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Kapas Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara.
Fungsi dan Peran Koperasi
Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 3 UU No. 25 Tahun 1992, tujuan pendirian koperasi di Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur berlandaskan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 UU No. 25 Tahun 1992 itu, fungsi dan peran Koperasi Indonesia dalam garis besarnya adalah sebagai berikut; 1. Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka. 2. Turut serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat. 3. Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya. 4. Mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Partisipasi Anggota Partisiapasi anggota merupakan kesediaan anggota itu untuk memikul kewajiban dan menjalankan hak keanggotaanya secara bertanggung jawab. Jika sebagian besar anggota koperasi sudah melaksanakan kewajiban dan melaksanakan hak secara
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
23
bertanggung jawab, maka partisipasi anggota koperasi yang bersangkutan sudah dikatakan baik. Jika ternyata hanya sedikit yang demikian, maka partisipasi anggota koperasi tersebut dikatakan buruk atau rendah (Anoraga dan Nanik 2003:111). Partisipasi dibutuhkan untuk mengurangi kinerja yang buruk, mencegah penyimpangan dan membuat pemimpin koperasi bertangung jawab. Partisipasi anggota sering disebut sebagai alat pengembangan maupun sebagai tujuan akhir itu sendiri. Beberapa penulis menyakini bahwa partisipasi adalah kebutuhan dan hak asasi manusia yang mendasar (Castilo dalam Jochen 2003:39).
kesesuaian antara anggota, program yang ada, serta manajemen. Kesesuaian antara anggota dan program adalah adanya kesepakatan antara kebutuhan anggota dan output program koperasi.
Berbagai indikasi yang muncul sebagai ciri-ciri anggota yang berpartisipasi baik dapat dirumuskan sebagai berikut;
Lingkungan mikro adalah lingkungan yang berkaitan dengan operasional perusahaan, seperti pemasok, karyawan, pemegang saham, majikan, manajer, direksi, distributor, konsumen dan lain-lain. Jika hal ini sejalan dengan pergeseran strategi pemasaran, yaitu dari peraih laba perusahaan (shareholder) ke manfaat bagi stakeholder, maka lingkungan internal baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai kepentingan pada perusahaan akan sangat berpengaruh. Lingkungan makro adalah lingkungan berada di luar perusahaan yang dapat mempengaruhi daya hidup perusahaan secara keseluruhan, yakni meliputi lingkungan ekonomi, lingkungan teknologi, lingkungan sosiopolitik, lingkungan demografi dan gaya hidup.
1. Melunasi simpanan pokok dan simpanan wajib secara tertib dan teratur. 2. Membantu modal koperasi disamping simpanan pokok dan wajib sesuai dengan kemampuan masing-masing. 3. Menjadi pelangan koperasi yang setia. 4. Menghadiri rapat-rapat dan pertemuan secara aktif. 5. Menggunakan hak untuk mengawasi jalanya usaha koperasi, menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, peraturan-peraturan lainya dan keputusan-keputusan bersama lainya (Anoraga dan Nanik 2003:112). Partisipasi dalam organisasi ditandai oleh hubungan identitas, dapat diwujudkan jika pelayaan yang diberikan oleh koperasi ”sesaui” dengan kepentingan dan kebutuhan dari para anggotanya. Karakteristik utama koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lain adalah bahwa anggota koperasi memiliki identitas ganda (the dual identity of the member), yaitu anggota sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi (user own oriented firm). Dalam kaitan sebagai pengguna jasa koperasi, partisipasi anggota dalam kegiatan usaha yang dijalankan koperasi amat penting. Pada dasarnya, kualitas partisipasi tergantung pada interaksi tiga variabel, yakni para anggota penerima manfaat, manajemen koperasi, dan program. Partisipasi dalam melaksanakan pelayanan yang disediakan koperasi akan berhasil apabila ada 24
Lingkungan Usaha Lingkungan usaha tidak bisa diabaikan dengan begitu saja. Lingkungan usaha dapat menjadi pendorong maupun penghambat jalannya perusahaan. Lingkungan yang dapat mempengaruhi jalannya usaha/perusahaan adalah lingkungan mikro dan lingkungan makro (Suryana 2003:75).
Keberhasilan Koperasi Dalam UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian pasal 43 ayat 1 menyatakan bahwa usaha koperasi adalah usaha yang berkaitan dengan kepentingan untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota. Kemudian dalam penjelasan juga dinyatakan bahwa usaha koperasi terutama diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraanya. Pengelolaan usaha koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif dan efisien dalam arti koperasi harus mempunyai kemampuan mewujudkan pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang wajar (UU No.25 Tahun 1992).
Pengaruh Partisipasi Anggota Dan Lingkungan Usaha . . . (Setiaji : 22 – 28)
Berhasil tidaknya pengelolan koperasi tergantung dari berbagai faktor. Namun demikian, untuk mencapai keberhasilan setiap koperasi harus berpedoman pada tiga sehat yaitu; sehat organisasi, sehat usaha, dan sehat mental (Anoraga dan Nanik 2003:128). Sedangkan, menurut Widiyanti (2002:60) menyatakan bahwa ukuran keberhasilan koperasi adalah banyak (dalam jenis dan volume) kebutuhan anggota yang dapat dilayani koperasi. Tujuan suatu koperasi adalah untuk menunjang usaha atau meningkatkan daya beli anggota khususnya dan masyarakat umumnya, karena itu yang menjadi ukuran keberhasilan koperasi bukan ditentukan besar SHU atau laba yang besar melainkan diukur dari banyaknya anggota atau masyarakat yang memperoleh pelayanan dari koperasi. Menurut Hanel, dalam Yuliani (2007:17-18), bahwa untuk mengukur koperasi ada tiga jenis efisiensi yang dapat dijadikan ukuran keberhasilan, yaitu sebagai berikut: 1. Efisiensi pengelolaan usaha adalah sejauhmana koperasi dikelola secara efisien dalam rangka mencapai tujuan sebagai suatu badan mandiri. 2. Efisiensi pembangunan adalah penilaian atas dampak-dampak secara langsung atau tidak langsung yang timbul oleh koperasi sebagai kontribusi koperasi terhadap pencapaian tujuan pembangunan. 3. Efisiensi yang berorientasi pada kepentingan para anggota adalah suatu tingkat dimana melalui berbagai kegiatan pelayanan yang bersifat menunjang kegiatan usaha koperasi, kepentingan anggota dan tujuan bersama para anggotanya. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan populasi adalah seluruh anggota Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI) Kapas Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara yang berjumlah 409 orang. Pengambilan sampel menggunakan teknik simlpe random sampling. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel bebas partisipasi anggota (dilihat dari indikasi anggota aktif, Anoraga dan Nanik 2003:112) dan lingkungan usaha (lingkungan mkro dan makro). Sedangkan, variabel terikatnya adalah
keberhasilan koperasi. Keberhasilan koperasi dilihat dari melalui efisiensi pengelolaan usaha, efisiensi pembangunan, dan manfaat yang diperoleh anggota. Pengumpulan data dilakukan dengan metode angket, dokumentasi dan wawancara. Selanjutnya, data dianalisis menggunakan analisis deskripsi persentase untuk mengetahui gambaran keadaan partisipasi anggota, lingkungan usaha, keberhasilan koperasi dan aalisis regresi berganda sederhana untuk mengetahui apakah partisipasi anggota dan lingkungan usaha secara signifikan berpengaruh terhadap keberhasilan koperasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Terbentuknya KPRI Kapas dirintis oleh para guru di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil (PNS) terutama para guru dan masyarakat di lingkungan Dinas Pendidikan Kecamatan Susukan. Bidang usaha KPRI kapas Kecamatan Susukan kabupaten Banjarnegara yaitu; Pertama, usaha simpan pinjam merupakan usaha yang paling strategis dan memberi pemasukan terbesar bagi KPRI karena mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan konsumsi anggota baik langsung ataupun tak langsung. Pada akhir masa bakti 20052007 KPRI Kapas memberikan kredit sebesar Rp2.008.417.094,00 dengan pendapatan Rp478.532.909,00. Kedua, pertokoan sebagai salah satu usaha koperasi, merupakan pelayanan penyedia kebutuhan anggota dan masyarakat sekitar. Pada akhir masa bakti 2005-2007 KPRI Kapas mampu memutarkan modal untuk usaha pertokoan sebesar Rp504.832.877,00 dengan keuntungan Rp47.200.145,00. Hasil penelitian secara parsial menunjukan bahwa ada pengaruh signifikan dari partisipasi anggota terhadap keberhasilan koperasi dan lingkungan usaha terhadap keberhasilan secara parsial terbukti dari hasil uji t yang memiliki harga signifikansi lebih kecil dari taraf nyata 0,05 maupun secara bersamasama yang dibuktikan dari uji F yang memperoleh harga signifikansi kurang dari taraf nyata 0,05. Hal tersebut berarti bahwa semakin baik partisipasi anggota dan lingkungan usaha maka akan meningkatkan keberhasilan KPRI Kapas.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
25
Partisiapasi anggota merupakan kesediaan anggota itu untuk memikul kewajiban dan menjalankan hak keanggotaanya secara bertanggung jawab. Koperasi sebagai business entity dan social entity dibentuk oleh anggota-anggota untuk meraih manfaat tertentu melalui partisipasi. Partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai dengan kemampuan, setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri Hasil analisis regresi menunjukan bahwa partisipasi anggota (X1) berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan KPRI Kapas. Hal ini ditunjukan dari hasil analisis regresi yang menunjukan bahwa untuk variabel partisipasi anggota diperoleh harga signifikansi 0,006. Karena harga signifikansi kurang dari taraf nyata 0,05 menunjukan bahwa nilai t yang diperoleh signifikan, hal ini berarti bahwa variabel partisipasi anggota (X1) berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan KPRI Kapas (Y) sebesar 0,287. Selain itu hasil analisis deskripsi persentase menunjukan bahwa partisipasi anggota KPRI Kapas sudah baik, hal ini dapat dibuktikan dari besarnya bobot persentase sebesar 69,00%. Hal berarti anggota sudah memiliki kesadaran yang tinggi dalam berpartisipasi bagi keberhasilan koperasi, seperti partisipasi anggota dalam melunasi simpanan pokok dan wajib, memanfaatkan unit usaha di koperasi, keaktifan anggota dalam mengikuti rapat dan pertemuan, pengawasan jalanya koperasi oleh anggota juga baik. Namun demikian tidak semua bentuk partisipasi anggota sudah baik, partisipasi anggota dalam membantu permodalan koperasi selain dari simpanan pokok dan wajib masih dalam kondisi kurang baik dengan besarnya bobot persentase hanya sebesar 45,08%. Padahal dengan adanya partisipasi anggota yang baik akan meningkatkan keberhasilan koperasi.
Partisipasi Anggota 0% Sangat Baik Cukup
36%
Tidak Baik Sumber : Data penelitian yang diolah, 2008
Gambar 1. Distribusi frekuensi partisipasi anggota
Hasil analisis regresi menunjukan bahwa lingkungan usaha berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan KPRI Kapas. Hal ini ditunjukan dari hasil analisis regresi yang menunjukan bahwa untuk variabel lingkungan usaha diperoleh harga signifikansi 0,000. Karena harga signifikansi kurang dari taraf nyata 0,05 menunjukan bahwa nilai t yang diperoleh signifikan, hal ini berarti bahwa variabel lingkungan usaha (X2) berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan KPRI Kapas (Y) sebesar 0,848. Lingkungan usaha KPRI Kapas Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara yang terdiri dari lingkungan mikro seperti pemasok dan karyawan dan lingkungan makro seperti lingkungan demografi ekonomi sudah baik, hal ini dapat dibuktikan dari besarnya bobot persentase sebesar 74,07%. Hal ini berarti lingkungan usaha di KPRI Kapas mendukung bagi keberhasilan koperasi. Ditinjau dari dari distribusi jawaban responden untuk variabel lingkungan usaha diperoleh hasil seperti disajikan dalam diagram berikut ini; Lingkungan Usaha
1%
Ditinjau dari distribusi jawaban responden untuk variabel partisipasi anggota diperoleh hasil seperti disajikan dalam Gambar 1.
Sangat Baik
Selain partisipasi anggota lingkungan usaha juga dapat mendorong maupun menghambat jalanya koperasi. Lingkungan yang dapat mempengaruhi jalannya usaha/perusahaan adalah lingkungan mikro dan lingkungan makro (Suryana 2003:75).
Kurang Baik
26
11%
9%
Baik
23%
Baik
0% 1%
Cukup
Tidak Baik
75%
Sumber : Data penelitian yang diolah, 2008
Gambar 2. Distribusi frekuensi lingkungan usaha
Pengaruh Partisipasi Anggota Dan Lingkungan Usaha . . . (Setiaji : 22 – 28)
Berdasarkan hasil perhitungan analisis deskriptif persentase untuk variabel keberhasilan koperasi diperoleh persentase rata-rata sebesar 67,44%. Ditinjau dari dari distribusi jawaban responden untuk variabel keberhasilan koperasi diperoleh hasil seperti disajikan dalam diagram berikut ini; Keberhasilan Usaha 0% Sangat Baik
9%
Baik
4%
Cukup
43% 44%
Sumber: Data penelitian yang diolah, 2008
Gambar 3: Distribusi frekuensi keberhasilan koperasi
Berdasarkan diagram di atas terlihat bahwa keberhasilan sebesar 43,75% berkategori baik. Hal tersebut menunjukan bahwa keberhasilan KPRI Kapas kecamatan susukan Kabupaten Banjarnegara sudah tercapai dengan baik. Keberhasilan usaha suatu koperasi dapat dilihat dari kemampuan koperasi dalam melakukan efisiensi dalam menjalankan koperasinya, antara lain efisiensi melalui peran serta koperasi dalam pembangunan, efisiensi pada pengelolaan usaha, dan manfaat yang diperoleh anggota. Besarnya koefisien regresi yang terstandarisasi (beta) digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Diketahui nilai beta untuk variabel partisipasi anggota sebesar 0,293 dan 0,530 untuk variabel lingkungan usaha. Hal ini berarti berarti lingkungan usaha memberi pengaruh lebih terhadap keberhasilan KPRI Kapas dari pada partisipasi anggota. Jadi jika keberhasilan KPRI Kapas ingin ditingkatkan maka partisipasi anggota dan lingkungan usaha yang mendukung kemajuan usaha koperasi juga harus ditingkatkan. Besarnya sumbangan yang diberikan oleh variabel partisipasi anggota dan lingkungan usaha terhadap keberhasilan KPRI Kapas Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara secara simultan dapat dikatakan baik. Hal ini bisa diketahui besarnya
kontribusi secara bersama-sama sebesar 58,5% dan 41,5% dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti. Besarnya kontribusi partisipasi anggota dan lingkungan usaha terhadap keberhasilan KPRI Kapas Kecamata Susukan Kabupaten Banjarnegara memberikan gambaran bahwa tidak sepenuhnya keberhasilan suatu koperasi dipengaruhi oleh partisipasi anggota dan lingkungan usaha saja, akan tetapi masih ada faktor lain yang turut mempengaruhi yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Akan tetapi partisipasi dan lingkungan usaha secara bersama-sama tetap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu koperasi sehingga, semakin baik partisipasi yang diberikan dan lingkungan usahan maka semakin dapat meningkatkan keberhasilan suatu koperasi. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh signifikan antara partisipasi anggota terhadap keberhasilan KPRI Kapas dan ada pengaruh signifikan antara lingkungan usaha terhadap keberhasilan KPRI Kapas serta ada pengaruh signifikan antara partisipasi anggota dan lingkungan usaha terhadap keberhasilan KPRI Kapas Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. 2. Besarnya pengaruh yang diberikan partisiapsi anggota dan lingkungan usaha terhadap keberhasilan KPRI Kapas Kabupaten Banjarnegara secara bersama-sama 58,5%. 3. Faktor lain sebesar 41,5% yang mempengaruhi keberhasilan KPRI Kapas kabupaten Banjarnegara yang masih perlu dikaji lagi. Dengan demikian maka disarankan sebagai berikut 1. Melihat hasil penelitian bahwa masih rendahnya partisipasi anggota dalam membantu permodalan koperasi di luar simpanan pokok dan wajib maka sebaiknya KPRI Kapas lebih mengoptimalkan kerjasama dengan berbagai pihak untuk membantu permodalan seperti lembaga keuangan dan perusahaan. 2. Lebih mengoptimalkan lagi kegiatan pendidikan dan latihan secara mandiri bagi anggota maupun pengurus guna meningkatkan keterampilan dan
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
27
pengetahuan berkoperasi karena selama ini banyak kegiatan pendidikan dan latihan dilakukan dengan mendelegasikan pada kegiatan organisasi lain.
Ropke, Jochen. 2003. Ekonomi Koperasi Teori dan Manajemen. Jakarta : Salemba Empat. Sitio, Arifin dan Halamoan Tamba. 2001. Koperasi Teori dan Praktek. Jakarta : Erlangga.
DAFTAR PUSTAKA Adrian Muluk, Muhammad. 2006. Mengenal Potensi Usaha Koperasi http://www.pnm.co.id/content. asp. ( 25 Maret 2008). Anoraga, Panji dan Nanik Widiyati 2003. Dinamika Koperasi. Jakarta : Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Baswir, Revrisond. 2000. Koperasi Indonesia. Yogyakarta : BPEP Yogyakarta. Chaniago, Arifinal. 1985. Perkoperasian Indonesia. Bandung : Angkasa Bandung. Hendra Setia, Achmad. 2006. Meretas Koperasi Semu http://www.suaramerdeka.com/harian (25 Maret 2008).
28
KRPI Kapas. Rapat Anggota Tahunan Masa Bakti 2005 – 2007. Banjarnegara. KPRI Kapas
Suryana. 2003. Kewirausahaan. Jakarta : Salemba Empat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992: Tentang Perkoperasian Indonesia. Widiyanti, Ninik. 2002. Manajemen Koperasi. Jakarta : Bina Aksara. -----------. 1989. Koperasi dan Perekonomian Indonesia. Jakarta : Bina aksara. Yuliani, Grani Kencana. Pengaruh Pelayanan, Pendidikan Perkoperasian Anggota, dan Kreativitas Pengurus Terhadap Keberhasilan Koperasi Mahasiswa (KOPMA) Unnes. Skripsi. Semarang: Unnes.
Pengaruh Partisipasi Anggota Dan Lingkungan Usaha . . . (Setiaji : 22 – 28)
WILLINGNESS TO PAY DAN ABILITY TO PAY PELANGGAN RUMAH TANGGA SEBAGAI RESPON TERHADAP PELAYANAN AIR BERSIH DARI PDAM KOTA SURAKARTA BRM Bambang Irawan Fakultas Ekonomi Univesitas Negeri Surakarta email:
[email protected]
ABSTRACT The aim of this research is to estimate the WTP and ATP value of household customers as their respond on additional benefit will be received from PDAM programs will be carried out on year 2004. Beside that, this study also analyzes all significance variables affecting WTP and ATP value. This research applying contingent valuation survey method (CVM) using 500 of sample size from 37,054 of targeted population covering all PDAM customers in the Solo city. The sampling technique applied is proportionate stratified random sampling, and the analysis tool put on this study is econometrics with a white heteroskedasticity-consistent standard errors & covariance model (white heteroskedasticity-corrected standard errors & covariance model). This research shows that the WTP value is relatively small and the ATP value is about 20% on average below the water bill they paid. One of reasons causing the WTP value reasonably small is that the respondent being sampled perceives that their answers will only become a “permit” for the PDAM to make a policy of increasing tariff. These yields are also being expected to help the PDAM in taking policies relate to water tariff determination particularly from the demand side. Keyword: Willingness to Pay (WTP), Ability to Pay (ATP), Contingen Valuation. PENDAHULUAN Secara umum, meskipun air digolongkan sebagai renewable resource namun, sekarang air telah menjelma menjadi sumberdaya yang langka. Problem kelangkaan ketersediaan air antara lain disebabkan oleh; (i) di banyak negara tingkat penggunaan air melebihi tingkat pemulihannya, (ii) tingkat pengembalian air ke bumi telah mengalami penurunan kualitas, dan (iii) air makin terkontaminasi akibat perkembangan pembangunan ekonomi. (Kahn, 1995: 372; ADB, 1999:3). Akibatnya, sekarang air juga telah menjadi sumberdaya ekonomi di mana pengenaan harga diberlakukan untuk konsumsi air oleh masyarakat, sehingga membutuhkan investasi dalam upaya penyediaanya, dan bahkan kemudian, telah memunculkan gelombang kecenderungan ke arah privatisasi dalam usaha penyediaan air bersih (Merret, 1997:1).1 Di kota Surakarta, sudah sejak lama masyarakatnya mengenal air sebagai sebuah sumberdaya ekonomi. Hal ini dikarenakan kebutuhan air bersih di 1
Kecenderungan global ke arah privatisasi penyediaan air bersih telah muncul sejak akhir dekade 1970-an.
kota Surakarta telah lama dipasok oleh PDAM kota Surakarta, meski sebagian masyarakatnya masih memanfaatkan air tanah dari sumur untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya. Sebagai perusahaan daerah yang bertugas memenuhi kebutuhan air bersih di kota Surakarta, PDAM hingga akhir tahun 2002 lalu telah mampu melayani sekitar 54,20% dari total penduduk kota yang berjumlah 554.387 jiwa. Dengan kapasitas produksi air sebesar 798,31 liter per detik, PDAM telah mampu melayani 50.033 sambungan rumah (Lihat Tabel 1 di bawah ini). Kondisi pelayanan yang ditunjukkan oleh Tabel1 di bawah didukung oleh pasokan yang berasal dari mata air Cokrotulung, 20 buah sumur dalam, 7 buah reservoir, dan 5 buah IPA. Kendati demikian, PDAM masih mengalami defisit kapasitas pasokan air sebesar 50 liter per detik yang antara lain disebabkan oleh; (i) tingkat kebocoran yang masih tinggi; (ii) sebesar 45% pipa transmisi tua yang berusia ¾ abad, termasuk 12% pipa distribusi yang sering bocor; (iii) ketimpangan antara laju pertumbuhan pelanggan dengan investasi baru. Interaksi berbagai faktor tersebut juga menyebabkan kualitas pasokan air –
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
29
Tabel 1. Kondisi Pelayanan Air Bersih PDAM Kota Surakarta (Desember 2002) No.
Uraian
Deskripsi Angka
Satuan
1
Jumlah penduduk tahun 2002
554.387
Jiwa
2
Jumlah penduduk terlayani
300.492
Jiwa
3
Tingkat pelayanan
54,20
Persen
4
Jumlah orang per keluarga
5,80
Jiwa
5
Sambungan rumah (SR) terlayani
50.033
SR
6
Rata-rata konsumsi air
7
Pasokan air yang dibutuhkan
848
Liter/detik
8
Kapasitas produksi air
798
Liter/detik
9
Tingkat kebocoran
29,89
Persen
27
M3/SR/Bulan
Sumber: PDAM Kota Surakarta, 2003
terutama di wilayah kota bagian Utara – masih belum memenuhi baku mutu disebabkan masih tingginya kandungan Mn dan Fe, sedangkan di wilayah Selatan kota kuantitas pasokan air belum juga optimal.2 Guna mengatasi berbagai kendala di atas, PDAM telah menyusun berbagai rencana, strategi dan program yang terangkum dalam “Corporate Plan PDAM Kota Surakarta 2001 – 2005”. Dari corporate plan tersebut kemudian juga direncanakan beberapa program jangka pendek dan menengah yang diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerja perusahaan. 3 Program yang dijalankan tahun 2004 antara lain; (i) merehabilitasi jaringan pipa tua yang dipasang tahun 1928, (ii) menambah kapasitas pasokan dengan membangun 1 (satu) unit tambahan sumur dalam dengan kapasitas 20 lt/detik, (iii) membangun Instalasi Pengolah Air (IPA) di Jurug. Untuk merealisasikan program-program di atas diperlukan investasi yang tidak sedikit, sehingga PDAM juga melakukan perlu upaya-upaya finansial agar dapat meng-cover perkembangan perusahaan dan sekaligus menjaga sustainability-nya. Berbagai 2
Wilayah kota bagian Utara berarti bagian kota di Utara rel kereta api di Jl. Slamet Riyadi, dan Selatan berarti dianalogkan di Selatan rel kereta api di Jl. Slamet Riyadi. Pemilahan ini mengikuti terminologi yang dipakai rekan-rekan PDAM kota Surakarta.
3
Dari Laporan Kinerja PDAM kota Surakarta tahun 2000 hasil Tim Benchmarking Pusat diketahui bahwa indikator kinerja PDAM dari tahun ke tahun relatif membaik, namun masih terdapat indikator yang memburuk.
30
upaya tersebut antara lain; (i) peningkatan efisiensi di beberapa pos seperti, meningkatkan efisiensi penagihan hingga 92%, efisiensi fixed cost dan penertiban variable cost, serta penataan SDM; (ii) meningkatkan rasio finansial seperti rentabilitas menjadi 15%, likuiditas menjadi 120%, solvabilitas menjadi 50%; (iii) menaikkan tarif dasar sebesar 25%. Pokok masalahnya adalah, dari tiga kelompok kebijakan di bidang finansial di atas, kenaikan tarif dasar 25% ini seharusnya sudah dilakukan tahun 2003. Penundaan kebijakan kenaikan tarif dasar tersebut disebabkan oleh pertimbangan situasi makro ekonomi serta kondisi mikro perusahaan. Tahun 2004 telah direncanakan merealisasikan kenaikan tarif tersebut. Selanjutnya, dari sisi konsumen atau pelanggan, kebijakan kenaikan tarif dasar merupakan kebijakan yang tidak populis. Ketidakpopuleran kebijakan ini terjadi karena secara umum di Indonesia berpacu dengan kenaikan tarif berbagai fasilitas publik seperti, listrik, telepon, dan bahan bakar. Penyebab kedua adalah mutu pelayanan PDAM sendiri yang masih dirasakan belum memuaskan sebagian pelanggan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pasokan, seperti paparan di atas. Dalam kaitan ini, kebijakan menaikkan tarif ibarat pisau bermata dua, karena di satu sisi kenaikan tarif adalah keharusan bagi kesehatan perusahaan; sedangkan di sisi lain kenaikan tarif harus selalu dibarengi dengan peningkatan pelayanan yang nyata bagi konsumen. Artinya kenaikan tarif yang dibayar oleh konsumen
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga sebagai Respon . . . (Irawan : 29 – 43)
haruslah mencerminkan kenaikan manfaat yang diterima konsumen. Dalam hal kebijakan penentuan tarif, PDAM selalu mengacu kepada peraturan pemerintah, yakni Permendagri nomor 2 tahun 1998, tentang Pedoman Penetapan Tarif Air Minum pada PDAM. Namun demikian, dengan pertimbangan bahwa air merupakan barang lingkungan – di mana harga dari barang ini tidak hanya ditentukan oleh komponen-komponen biaya perusahaan dan pendapatan konsumen saja, tetapi juga ditentukan oleh valuasi atau penilaian ekonomi pelanggan atas kemanfaatan air bagi mereka, maka sejak tahun 2000 PDAM telah melakukan inovasi dalam melengkapi data untuk penghitungan tarif dengan melakukan estimasi terhadap keinginan membayar (willingness to pay / WTP) pelanggan. Data estimasi WTP ini penting untuk mengetahui pada tingkat harga berapa nilai air seharusnya untuk dapat memenuhi kebutuhan biaya baik dari sisi produsen maupun konsumen. Secara teoritis, pada titik ini terdapat kesamaan antara keinginan membayar (WTP) dengan harga (Kahn, 1995: 375). Berangkat dari pokok masalah di atas, maka perlu dilakukan penelitian terhadap respon pelanggan rumah tangga atas pelayanan PDAM. Studi ini mencakup estimasi WTP pelanggan rumah tangga dalam merespon berbagai program PDAM yang bertujuan meningkatkan manfaat dan mutu pelayanan bagi pelanggan. Penelitian ini juga akan menaksir besarnya Ability to Pay (ATP) atau kemampuan bayar pelanggan rumah tangga. Diharapkan dari studi ini akan didapatkan hasil yang dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terutama dalam penentuan tarif dasar air di PDAM kota Surakarta. Secara lebih spesifik, studi ini ditujukan untuk menjawab 4 (empat) pertanyaan penelitian, yakni (1) Dengan kondisi (yang dihadapi konsumen) tertentu, berapakah besarnya WTP pelanggan rumah tangga sebagai respon atas tambahan manfaat yang akan diperoleh dari program-program yang akan dijalankan PDAM kota Surakarta tahun 2004?; (2) Dengan kondisi (yang dihadapi konsumen) tertentu, berapakah besarnya ATP pelanggan rumah tangga sebagai respon atas kuantitas dan kualitas pasokan air bersih dari PDAM kota Surakarta yang telah dikonsumsi?; (3) Variabel apa saja yang secara signifikan mempengaruhi besarnya WTP pelanggan rumah tangga?;
dan (4) Variabel apa saja yang secara signifikan mempengaruhi besarnya ATP pelanggan rumah tangga? LANDASAN TEORI Willingness to Pay (WTP) menjadi kata kunci dalam berbagai penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penilaian ekonomi individu atau masyarakat terhadap dampak lingkungan. Penelitian mengenai valuasi ekonomi dampak lingkungan, terutama untuk bidang-bidang pasokan air bersih telah secara luas dilakukan di berbagai negara di dunia. Beberapa studi yang pernah dilakukan antara lain oleh Whittington dan kawan-kawan pada tahun 1986. Whittington telah melakukan survei contingent valuaton di Laurent (wilayah pedesaan di kawasan Selatan Haiti) untuk mengestimasi willingness to pay (WTP) penduduk atas pasokan air, berkenaan dengan proyek penyediaan air bersih di wilayah pedesaan oleh perusahaan CARE yang diprakarsai oleh United States Agency for International Development. Dengan menggunakan 225 rumah tangga sampel ditemukan bahwa rata-rata tawaran atau daya tawar WTP untuk instalasi air publik (public standpost) adalah sebesar 5,7 gourde untuk setiap rumah tangga per bulan. Rata-rata tawaran tersebut lebih tinggi 1,7% dari pendapatan rumah tangga dan persentase ini secara signifikan lebih rendah daripada patokan 5% yang biasa digunakan dalam perencanaan pasokan air di pedesaan atau di wilayah pedalaman untuk instalasi air publik (Whittington, Briscoe, Barron, 1990). Pada tahun 1993, Singh juga telah melakukan penelitian serupa di negara bagian Kerala India (Singh, dalam Dixon, 1996: 72-74). Dengan menggunakan metode survei contingent valuation method (CVM) terhadap 1.150 rumah tangga ditemukan bahwa peningkatan sambungan, pendapatan, dan surplus konsumen terjadi pada kenaikan tarif hingga 10 rupee per bulan. Penelitian ini juga merekomendasikan pada pihak otoritas air daerah agar dapat mengarahkan menuju suatu equilibrium yang lebih tinggi dengan mendorong pembangunan jaringan instalasi swasta untuk merubah harga sambungan menjadi tarif bulanan, mematok tarif bulanan yang lebih tinggi, dan dengan menggunakan peningkatan
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
31
pendapatan yang terjadi untuk ditanamkan kembali, serta meningkatkan kualitas pelayanan air. Dengan menggunakan metode Averting Behavior, Mi-Jung Um dan koleganya melakukan estimasi WTP untuk kualitas pasokan air di Pusan Korea Selatan pada bulan Mei 1997 (Jung Um, 2002: 291). Studi ini menerapkan survei door-to-door dengan ukuran sampel sebesar 256 dari populasi sebesar 1.150.000 rumah tangga. Temuan penelitian ini antara lain bahwa pendapatan responden per bulan sebesar US$ 2.290 yang berarti masih di bawah pendapatan peduduk Pusan yang sebesar US$ 2.420. Tagihan rekening air per bulan hanya US$ 13, yang merupakan porsi yang sangat kecil dari pendapatan per bulannya. Lebih dari 78% responden menyatakan pernah mendapati air ledeng yang bercampur karat, bersendimen, berasa, dan berbau. Rata-rata WTP responden di Pusan berkisar antara US$ 4,1 hingga US$ 6,1 per bulan. Pada tahun 1999 di kota Mumbai dilakukan penelitian tentang WTP penduduknya atas pasokan air dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini terkait dengan rencana pemerintah setempat yang ingin mengetahui apakah konsumen akan menerima kenaikan tarif di masa datang. Studi ini dilakukan oleh Raje, dan kawan-kawan dengan mengambil sampel sejumlah 1000 rumah tangga (namun hanya 516 yang berhasil dilakukan wawancara secara lengkap). Dengan menggunakan regresi logistik ditemukan bahwa sekitar 50% responden bersedia untuk membayar lebih tinggi dari tarif saat ini. Sebagian responden tidak bersedia membayar lebih karena terjadinya kenaikan beruntun atas harga barang kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan perumahan (Raje, 2002: 391). Di kota Surakarta sendiri setidaknya telah 2 (dua) kali dilakukan penelitian mengenai WTP pelanggan air bersih dari PDAM kota Surakarta. Penelitian pertama dilakukan oleh Irawan dan kawankawan pada tahun 1999 dengan mengambil 150 sampel pelanggan baru non perumahan (Irawan, 2000). Dengan metode survei contingent valuation (CVM) dan dengan menggunakan tehnik regresi linear, ditemukan bahwa dalam kondisi kualitas dan kuantitas air yang dihadapi konsumen (rumah tangga) saat itu, maka besarnya WTP penduduk kota Solo untuk pelayanan air bersih dari PDAM adalah Rp18.059,15. Beberapa faktor yang secara signifikan 32
mempengaruhi besarnya nilai WTP penduduk kota Solo untuk pelayanan air bersih dari PDAM adalah status tempat tinggal responden, struktur jenis kelamin anggota keluarga (dominan perempuan), pendapatan keluarga, status kepemilikan sumur, serta biaya pemasangan instalasi. Penelitian kedua dilakukan pada bulan Nopember 2000, merupakan penelitian individu dari Irawan yang mengestimasi WTP pelanggan rumah tangga (Irawan, 2001:55). Studi ini berusaha memperbaiki beberapa kelemahan yang dilakukan pada penelitian pertama terutama pada metode penelitian. Dengan mengambil 200 sampel dari 400 target populasi, dan dengan model probit bertingkat (ordered probit), penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa pelanggan rumah tangga akan mempunyai probabilitas WTP sesuai dengan kelompok tarip pelanggan rumah tangga 1 sebesar 24%; sesuai dengan kelompok tarip pelanggan rumah tangga 2 sebesar 58,6%; sesuai dengan kelompok tarip pelanggan rumah tangga 3 sebesar 11,2%; dan sesuai kelompok tarif pelanggan rumah tangga 4 sebesar 6,2%. Selanjutnya, terdapat 8 (delapan) variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap besarnya nilai dan probabilitas WTP pelanggan rumah tangga. Kedelapan variabel tersebut adalah lama tinggal pelanggan, tingkat pendidikan pelanggan, jumlah total anggota keluarga, total pendapatan keluarga per bulan, sesuai atau tidaknya pelanggan akan membayar biaya pemasangan sebesar Rp550.000,00, cara pembayaran rekening air yang direncanakan pelanggan, tahu atau tidaknya pelanggan menganai informasi tentang air bersih PDAM, serta jarak rumah tempat tinggal pelanggan dengan sambungan instalasi atau pipa terdekat. METODE PENELITIAN Penelitian ini didesain sebagai studi mengenai penilaian ekonomi (economic valuation) dampak lingkungan terutama digunakan untuk mengetahui nilai pasar atas dampak fisik lingkungan (OECD, 1995:81). Metode pendekatan yang digunakan adalah model pendekatan langsung atau direct approach dengan metode survei yang disebut sebagai metode contingent valuation atau CV method. Sesuai dengan sifatnya yang direct approach, maka data-data mengenai respon atau tanggapan
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga sebagai Respon . . . (Irawan : 29 – 43)
pelanggan rumah tangga atas kinerja pasokan air dari PDAM Surakarta diambil dengan cara menanyakan secara langsung kepada pelanggan rumah tangga sampel atau responden dengan bantuan kuesioner serta melalui peninjauan langsung ke lokasi penelitian. Sedangkan, lingkup wilayah penelitian adalah teritorial administratif kota Surakarta. Seperti yang telah dijelaskan di atas, metode survei CV mensyaratkan tehnik yang menanyakan langsung kepada responden. Oleh karenanya, berbagai data yang diambil dari responden adalah jenis data sumber primer sebagai data utama dalam penelitian ini. Metode pengumpulan datanya dilakukan melalui wawancara langsung dengan responden. Data lain yang digunakan untuk melengkapi analisis dalam penelitian ini adalah berbagai data yang diperoleh dari sumber sekunder. Data sumber sekunder ini antara lain diperoleh dari berbagai arsip dan publikasi dari PDAM kota Surakarta, dari Badan Pusat Statistik (BPS) kota Surakarta, serta dari pemerintah kota Surakarta. Targeted population dalam penelitian ini adalah kelompok pelanggan Rumah Tangga (1, 2, 3, dan 4) yang berdomisili di wilayah administratif kota Surakarta yang berjumlah 37.054 pelanggan. Berdasarkan targeted population tersebut, selanjutnya diambil sebesar 500 Rumah Tangga sebagai responden sampel. Besarnya ukuran sampel ini ditetapkan berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain yang pertama adalah bahwa di kebanyakan penelitian pada umumnya ukuran sampel yang digunakan adalah antara 30 sampai dengan 500 (Sekaran, 1992: 253); sedangkan alasan kedua adalah bahwa ukuran 500 tersebut dinilai telah cukup representatif bagi targeted population yang besarnya 37.054.4 Tehnik pengambilan sampel yang diterapkan adalah menggunakan proportionate stratified random sampling (sampling random berstrata secara proporsional). Penggunaan sampling berstrata ini didasarkan pada alasan di mana besarnya WTP dan ATP yang akan diestimasi akan memiliki nilai yang berbeda-beda untuk masing-masing strata atau kelompok pelanggan Rumah Tangga. Penentuan ukuran sampel secara proporsional dimaksudkan 4
Dalam tabel penentuan sampel dari sebuah populasi tertentu yang dibuat oleh Uma Sekaran, maka ukuran sampel untuk populasi sebesar 40.000 adalah 380 (lihat Sekaran, 1992:253).
agar ukuran sampel di masing-masing strata terwakili secara proporsional sesuai dengan banyaknya pelanggan Rumah Tangga dalam populasi target. Pemilihan pelanggan sebagai responden tersampling dilakukan dengan bantuan angka random (random number). Besarnya targeted population dan ukuran sampelnya dapat dilihat dalam tabel-2 berikut: Tabel 2. Targeted Population dan Ukuran Sampel Kelompok Pelanggan Rumah Tangga 1, 2, 3, dan 4 Kelompok Pelanggan Rumah Tangga 1 Rumah Tangga 2 Rumah Tangga 3 Rumah Tangga 4
No. 1 2 3 4
Jumlah
Targeted Population 2.080 30.208 1.496 3.270 37.054
Ukuran Sampel 28 408 20 44 500
Setelah melalui proses trial and error yang didasarkan relevansi teoritis dan relevansi logika, maka untuk menganalisis berbagai variabel yang mempengaruhi besarnya WTP dan ATP pelanggan digunakan alat analisis ekonometrika dengan melakukan regresi dengan model persamaan linear berganda. Model persamaannya adalah sebagai berikut:
Yˆ = βˆ 0 + βˆ 1 X 1 + βˆ 2 X 2 + ... + βˆ n X n + eˆ di mana: Ŷ : WTP atau ATP pelanggan X1-n : variabel independen yang diujicobakan βˆ 0 : konstanta βˆ : parameter atau estimator 1- n
ê
: eror terms
Model persamaan di atas kemudian ditaksir dengan menggunakan metode White heteroskedasticity-consistent standard errors and covariance atau disebut juga White heteroskedasticity-corrected standard errors and covariance. Penggunaan metode White ini dilakukan sebagai koreksi terhadap model linear berganda dengan metode least squares yang didapati mengandung masalah heteroskedastisitas. First order test menggunakan statistik t dan F dengan tingkat signifikansi α = 10%, sedangkan untuk second order test digunakan fasilitas yang
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
33
terdapat dalam perangkat lunak Eviews 3.1. Untuk masalah multikolinearitas misalnya; bila muncul sinyal tulisan “Near Singular Matrix” maka berarti terjadi multikolinearitas. Untuk masalah otokorelasi bisa memanfaatkan statistik d (Durbin-Watson test) dan correlogram di mana bila gambar indikator otokorelasi berada di dalam garis batas patah-patah (standard error bound ± 2/√T), maka berarti tidak terjadi otokorelasi. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum membahas mengenai hasil estimasi WTP, ATP, dan berbagai variabel yang mempengaruhinya, perlu disajikan terlebih dahulu kondisi data yang diambil dari populasi tersampling. Gambaran data seperti ini penting karena dalam melakukan analisis peneliti akan lebih berhati-hati dalam memperlakukan data dan melakukan intepretasi. Di samping itu, para pembaca juga dapat memakai hasil penelitian ini dengan lebih bijaksana. Rangkuman deskripsi data penelitian menurut variabel utama yang diteliti ditunjukkan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 di bawah, menunjukkan bahwa untuk keperluan analisis WTP dan ATP, maka dari data WTP dan ATP sebanyak 500 Rumah Tangga sampel yang direncanakan (sesuai ukuran sampel) ternyata terdapat 25 atau sekitar 5% data WTP dan 38 atau sekitar 7,6% data ATP yang tidak dapat diproses lanjut untuk keperluan analisis. Untuk data WTP dari item pertanyaan nomor 19 dalam kuesioner terdapat data inclution. Hal ini terjadi karena responden tidak menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti alias tidak menuliskan jawaban pada
kuesioner. Data yang demikian ini diperlakukan sebagai missing value atau data yang salah atau hilang, lalu diberi nilai nol untuk variabel WTP (H5C19A) dan 999 (H5C21) untuk variabel ATP. Mengingat jawaban yang diberikan responden atas item pertanyaan nomor 19 dalam kuesioner tersebut diharapkan berupa tambahan rupiah dari tarif dasar yang dibayar pelanggan saat ini – karena merupakan penilaian ekonomi pelanggan atas manfaat dari program-program yang akan dijalankan PDAM-, maka pelanggan yang tidak memberikan jawaban atau mengisi dengan nilai 0 (nol) dapat diartikan bahwa mereka tidak memberikan penilaian ekonomi secara memadai terhadap manfaat yang akan diterima apabila PDAM melaksanakan programprogram pengembangannya dalam tahun 2004 ini. Situasi seperti ini dapat terjadi karena beberapa sebab, antara lain; (i) responden tidak memahami benar mengenai berbagai program pengembangan yang akan dijalankan oleh PDAM, (ii) responden dapat memahami program-program pengembangan yang akan dijalankan oleh PDAM, akan tetapi mereka tidak yakin bahwa berbagai program tersebut akan benar-benar dilaksanakan tahun ini, (iii) responden dapat memahami program-program pengembangan yang akan dijalankan oleh PDAM dan mereka yakin bahwa berbagai program tersebut akan dilaksanakan tahun ini, akan tetapi mereka tidak yakin bahwa tambahan manfaat yang dijanjikan akan benar-benar sampai pada mereka, (iv) responden berpersepsi bahwa jawaban mereka hanya akan diartikan sebagai semacam “restu” dari pelanggan untuk kebijakan kenaikan tarif dasar air.
Tabel 3. Deskripsi Karakteristik Data Menurut Variabel Utama Penelitian Variabel
1.
H5C19A (WTP)
2. H5C21 (ATP)
34
Kategori Pelanggan
Observasi Valid N
Persen
RT 1
28
100,0
RT 2
387
RT 3
Missing N
Total
Persen
N
Persen
0
7,1
28
100,0
94,9
21
11,0
408
100,0
18
90,0
2
15,0
20
100,0
RT 4
42
95,5
2
18,2
44
100,0
RT 1
26
92,9
2
7,1
28
100,0
RT 2
380
93,1
28
6,9
408
100,0
RT 3
18
90,0
2
10,0
20
100,0
RT 4
38
86,4
6
13,6
44
100,0
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga sebagai Respon . . . (Irawan : 29 – 43)
Demikian pula untuk data ATP (variabel H5C21) – dari item pertanyaan nomor 21 dalam kuesioner – terdapatnya missing value juga disebabkan oleh responden tidak menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti alias tidak menuliskan jawaban pada kuesioner. Umumnya pelanggan yang tidak memberikan jawaban mengenai kemampuan bayar per bulannya sebenarnya ini dikarenakan adanya persepsi bahwa penelitian ini akan berkait dengan kenaikan tarif. Kedua, seperti halnya ketika ditanyakan mengenai pendapatan per bulan maka responden sangat berhati-hati dalam memberikan jawaban, bahkan cenderung tidak memberikan jawaban. Selanjutnya, dihitung nilai rata-rata WTP pelanggan – yang selanjutnya disebut WTP – untuk kategori pelanggan rumah tangga 1 (RTI), RT 2, RT 3, dan RT 4 masing-masing sebesar Rp38,46; Rp25,55; Rp20,59; serta Rp65,28 (Tabel-4), atau dibulatkan masing-masing menjadi sebesar Rp39,00; Rp26,00; Rp21,00; Rp65,00. Besarnya WTP untuk masing-masing kelompok pelanggan tersebut merupakan penilaian ekonomi terhadap tambahan manfaat dari program-program pengembangan PDAM yang akan dilaksanakan tahun 2004, yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan air bersih baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Jika estimasi nilai rata-rata tersebut kemudian ditambahkan dengan tarif dasar yang berlaku saat ini pada masing-masing kelompok pelanggan, maka akan didapat estimasi nilai rata-rata WTP total dari pelanggan. Estimasi nilai rata-rata WTP total pelanggan merupakan penilaian ekonomi pelanggan yang menyeluruh terhadap kondisi air bersih apabila terdapat tambahan manfaat dari program-program pengembangan PDAM yang dilaksanakan pada tahun 2004. Estimasi nilai rata-rata WTP total ini selanjutnya disebut sebagai WTP total. Baik nilai WTP maupun WTP total yang relatif kecil mengindikasikan bahwa pelanggan rumah tangga sebagai konsumen air bersih dari PDAM belum dapat mengapresiasi nilai manfaat air bersih secara memadai. Deskripsi dari WTP dan WTP total ini ditunjukkan dalam Tabel 4. Untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua, yakni variabel apa saja yang secara signifikan mempengaruhi besarnya WTP pelanggan rumah tangga Kota Surakarta sebagai respon atas tambahan manfaat yang akan diperoleh dari program-program
yang akan dijalankan PDAM kota Surakarta tahun 2004, maka dilakukan analisis ekononometrika berupa analisis regresi dengan menggunakan variabel dependen WTP (bukan WTP totalnya). Hasil regresinya ditunjukkan pada Tabel 5 (sesuai dengan hasil printout Eviews 3.1). Tabel 4. Deskripsi Variabel WTP Dan WTP Total (H5C19A)
(dalam Rupiah) Nama Variabel H5C19A (WTP)
Kategori Pelanggan RT 1 RT 2 RT 3 RT 4
Rata-rata WTP 38,46 25,55 20,59 65,28
Rata-rata WTP Total 488,46 675,55 870,59 1.065,28
Dengan pertimbangan relevansi teoritis dan relevansi logis ternyata dari 14 variabel independen yang diuji-cobakan, hanya 6 (enam) variabel yang dimasukkan ke dalam model. Dari 6 variabel tersebut terdiri atas 3 (tiga) buah variabel dummy yang merupakan representasi dari kategori atau kelompok pelanggan (H3A1A, H3A1B, H3A1C) 5 ; 1 (satu) variabel dummy pendidikan formal (H3A8A); serta 2 (dua) variabel non kategorik, yakni total jumlah anggota keluarga (H3A10F) dan pendapatan total keluarga (H3A11C). Dari 6 (enam) variabel independen ternyata terdapat 2 (dua) variabel independen yang signifikan secara statistik mempengaruhi WTP pelanggan. Dua variabel independen tersebut adalah dummy pendidikan formal (H3A8A) dan variabel pendapatan total keluarga (H2A11C) yang masingmasing memiliki p-value 0,98% dan 9% (signifikan pada taraf uji 10%). Dengan koefisien β = 18,30836 berarti apabila variabel independen lainnya konstan, maka variabel pendidikan formal pelanggan berpengaruh secara nyata terhadap WTP di mana pelanggan yang berpendidikan formal tamat SLTA ke atas akan memberikan penilaian ekonomi terhadap programprogram PDAM sebesar Rp18,30 atau Rp18 lebih tinggi dibandingkan dengan pelanggan yang berpendidikan formal di bawah SLTA. Responsibilitas pendidikan formal pelanggan terhadap nilai WTP yang mereka ungkapkan memiliki argumentasi logis 5
Dikarenakan terdapat 4 buah kategori pelanggan, maka variabel dummy yang dibentuk sebanyak 3 buah atau m – 1. Kelompok RT I dijadikan benchmark category.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
35
di mana apabila pelanggan berpendidikan formal lebih tinggi maka akan bersikap makin rasional dalam mengambil keputusan untuk mengkonsumsi sebuah komoditi. Semakin rasional konsumen semakin baik pula penilaian ekonomi mereka terhadap sebuah barang atau jasa. Variabel pendapatan total keluarga merupakan variabel kedua yang mempengaruhi WTP pelanggan secara nyata. Koefisien β sebesar 0,00000843 mengindikasikan bahwa apabila pendapatan total keluarga meningkat sekitar Rp1.000.000,00 maka WTP pelanggan akan meningkat sekitar Rp8,43. Dengan mengingat bahwa WTP di sini merupakan penilaian ekonomi atas program-program PDAM, maka dampak yang relatif kecil tersebut dapat dimengerti. Hal ini di samping berkaitan dengan 4 (empat) alasan yang telah dikemukakan di atas (ketika pelanggan tidak memberikan respon jawaban pada pertanyaan WTP), juga disebabkan oleh masih rendahnya apresiasi pelanggan terhadap air bersih sebagai sebuah komoditas. Dalam penelittan
sebelumnya, juga terungkap bahwa kecilnya pengaruh pendapatan keluarga terhadap WTP antara lain disebabkan oleh posisi air bersih yang belum merupakan prioritas utama dalam pengeluaran keluarga (Irawan, 2000: 50). Meski demikian, dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh pendapatan total keluarga terhadap WTP telah sesuai dengan theoretical relevance. Jumlah total anggota keluarga di dalam sebuah rumah tangga (H3A10F) ternyata memiliki exact level of significance sebesar 16,68% yang berarti variabel independen ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap WTP pelanggan. Secara teoritis dikatakan bahwa nilai WTP sangat tergantung pada persepsi individu dan bukan pada perilaku pasarnya. Oleh karena itu tidak adanya pengaruh nyata jumlah total anggota keluarga terhadap WTP dalam studi ini mengindikasikan bahwa pelanggan dalam menjawab pertanyaan mengenai berapa rupiah dia akan membayar lebih untuk program-program yang akan dijalankan PDAM tahun ini tidak mempertimbangkan
Tabel 5. Hasil Regresi Dengan Variabel Dependen: WTP (H5C19A) Variabel Dependen: H5C19A Variabel Independen
Koefisien β
Standard Error
t-statistic
Prob.
C
3,6923356
20,25360
0,182305
0,8554
H3A1A
-18,48710
15,70476
-1,177166
0,2398
H3A1B
-35,18380
21,77667
-1,615665
0,1069
H3A1C
13,77113
29,25429
0,470739
0,6381
H3A8A
18,30836
7,060932
2,592910
0,0098
H3A10F
3,646933
2,633625
1,384758
0,1668
H3A11C
8,43E-06
4,97E-06
1,698239
0,0902
R-squared
0,058183
Mean dependent var
27,18610
Adjusted R-squared
0,045311
S.D. dependent var
78,69645
S.E. of Regression
76,89288
Akaike info criterion
11,53827
Sum squared resid
2595594,
Schwarz criterion
11,60263
Log likehood
-2566,035
F-Statistic
4,520059
Durbin-Watson stat 1,841802 Prob (F-statistic) 0,000185 Catatan: Metode regresi : Least Squares dengan White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Sampel: 1 – 500 Observasi tercakup: 446 Observasi tidak tercakup karena missing value: 54 Sumber: Printout hasil Eviews 3.1.
36
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga sebagai Respon . . . (Irawan : 29 – 43)
jumlah orang dalam keluarganya. Di sini kelihatan bahwa pelanggan dalam memberikan penilaian ekonomi terhadap berbagai manfaat yang akan diterima dari program-program PDAM tidak tergantung pada berapa banyak anggota keluarganya. Jadi, sekali lagi penilaian ekonomi pelanggan yang terungkap dalam WTP memang tidak terkait dengan sedikit banyaknya anggota keluarganya.
air bersih dari PDAM per bulan (sudah termasuk biaya perawatan meter dan biaya administrasi sebesar Rp7.000,00)?”. Oleh karena itu, hasil esetimasi ATP ini termasuk atau included didalamnya biaya perawatan meter dan biaya administrasi.
Dalam Tabel 5 di atas, juga terlihat bahwa baik variabel H3A1A, H3A1B, maupun H3A1C yang merupakan representasi dari kelompok pelanggan ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap WTP (masing-masing p-value 23,98%; 10,7%; 63,8%). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa WTP kelompok RT 2, RT 3, maupun RT 4 tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok pelanggan RT 1 (base category). Tidak adanya bukti secara statistik yang menunjukkan bahwa besarnya WTP diantara keempat kategori pelanggan adalah berbeda antara lain mengindikasikan bahwa secara umum baik kelompok pelanggan rumah tangga 1, 2, 3, maupun 4 belum memahami benar programprogram pengembangan yang akan dilakukan oleh PDAM pada tahun 2004.
Bulan Desember 2003, (dalam Rupiah)
Pemahaman pelanggan terhadap programprogram PDAM tersebut sangat penting mengingat penilaian ekonomi pelanggan terhadap pasokan air bersih PDAM sangat tergantung pada sejauh mana pelanggan memahami secara baik semua informasi mengenai program-program yang akan dijalankan PDAM. Pasokan informasi yang lengkap dari PDAM akan sangat membantu pelanggan dalam memberikan apresiasi serta penilaian ekonomi terhadap program-program PDAM sendiri. Argumentasi lainnya adalah bahwa secara umum bahwa pelanggan mengganggap komoditas air bersih bukanlah sebuah item yang mendapat prioritas utama dalam rumah tangga, sehingga menyebabkan apresisasi yang rendah terhadap air bersih dari PDAM yang mereka konsumsi. Hasil estimasi ATP atau Ability to Pay pelanggan ditunjukkan pada Tabel 6. Nilai ATP yang terdapat dalam tabel tersebut merupakan revealed ATP atau nilai ATP yang diungkapkan oleh pelanggan ketika mereka ditanya “Berapa rupiah sebenarnya kemampuan Bapak/Ibu untuk membayar langganan
Tabel 6. Deskripsi Variabel ATP (H5C21) dan Rekening Air Terbayar Rata-rata ATP Pelanggan
Rata-rata Rekening Air Terbayar Bulan Desember 2003
RT 1
21.559,62
23.158,93
RT 2
28.169,42
32.338,62
RT 3
33.676,47
46.873,68
RT 4
34.375,00
40.629,27
Nama Kategori Variabel Pelanggan
H5C21 (ATP)
Secara berturut-turut kategori pelanggan rumah tangga 1 (RT 1) memiliki ATP dengan rata-rata Rp21.559,60 atau dibulatkan Rp21.560; kategori pelanggan RT 2 mempunyai rata-rata ATP sebesar Rp28.169,42 atau dibulatkan menjadi Rp28.169; kelompok pelanggan RT 3 dengan rerata ATP sebesar Rp33.676,47 atau dibulatkan Rp33.677; dan kelompok pelanggan RT 4 memiliki ATP dengan rata-rata Rp34.375. Nilai ATP untuk masing-masing kelompok pelanggan tersebut nampaknya telah sesuai dengan struktur tarif yang berlaku saat ini (2004) di mana terlihat ada urutan menaik dari kelompok rumah tangga 1 hingga 4. Akan tetapi, ternyata ATP rata-rata pelanggan baik dari RT 1, 2, 3, maupun 4 masih di bawah rata-rata rekening air yang mereka bayarkan pada bulan Desember 2003 atau 1 bulan sebelum penelititan ini dilakukan. Umumnya rekening air yang dibayar semua kelompok pelanggan untuk bulan Desember 2003 rata-rata 20% lebih tinggi dibandingkan dengan ATP mereka. Hal ini dapat terjadi karena kenyataannya rekening air yang dibayarkan pelanggan tiap bulan ini sangat tergantung pemakaian atau konsumsinya. Sangat jarang pelanggan memberikan pembatasan volume air yang mereka konsumsi setiap bulannya. Artinya, dalam rumah tangga belum terjadi efisiensi pemakaian air.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
37
Tabel 7. Hasil Regresi Dengan Variabel Dependen: ATP (H5C21) Variabel Dependen: H5C21 Variabel Independen
Koefisien β
Standard Error
C
t-statistic
Prob.
3482,254
2827,412
1,231605
0,2188
H3A1A
8699,602
1778,092
4,892661
0,0000
H3A1B
7827,955
3517,693
2,225309
0,0266
H3A1C
16866,74
3693,854
4,566163
0,0000
H3A8A
3856,892
1510,776
2,552921
0,0110
H3A10F
1667,003
415,0747
4,016153
0,0001
H3A11C
0,004220
0,001046
4,034045
0,0001
R-squared
0,167144
Mean dependent var
28007,79
Adjusted R-squared
0,155683
S.D. dependent var
18634,62
S.E. of Regression
17122,74
Akaike info criterion
22,34988
Sum squared resid
1,28E+11
Schwarz criterion
22,41456
Log likehood
-4943,498
F-Statistic
14,58334
Durbin-Watson stat
1,653244
Prob (F-statistic)
0,000000
Catatan: Metode regresi : Least Squares dengan White Heteroskedasticity-Consistent Standard Errors & Covariance Sampel: 1 – 500 Observasi tercakup: 443 Observasi tidak tercakup karena missing value: 57 Sumber: Printout hasil Eviews 3.1.
Terlihat dari Tabel-7 di atas, bahwa ternyata keenam variabel independen yang dianalisis semuanya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen ATP. Signifikansi pengaruh variabel independen ini dapat diketahui dari besarnya exact level of significance yang semuanya dibawah 10% (bahkan masih signifikan apabila digunakan α = 5%). Variabel dummy untuk kategori pelanggan RT 2 (H3A1A) misalnya, memiliki koefisien β sebesar 8.699,602 yang berarti jika variabel independen lainnya konstan maka ATP pelanggan RT 2 akan lebih tinggi sekitar Rp8.670,- dibandingkan ATP pelanggan RT 1. Variabel dummy kedua adalah kategori pelanggan RT 3 (H3A1B) dengan koefisien β sebesar 7.827,955 yang berarti bila variabel independen lainnya konstan maka ATP pelanggan RT 3 akan lebih tinggi sekitar Rp7.828,00 dibandingkan ATP pelanggan RT 1. Variabel dummy ketiga adalah kategori pelanggan RT 4 (H3A1C) dengan koefisien β sebesar 16.866,74 yang berarti bila variabel independen lainnya konstan maka ATP
38
pelanggan RT 4 akan lebih tinggi sekitar Rp16.867, dibandingkan ATP pelanggan RT 1. Pengaruh nyata yang ditunjukkan oleh semua variabel dummy kategori pelanggan tersebut mengindikasikan bahwa kategorisasi atau pengelompokan pelanggan memang telah memberikan pengaruh nyata terhadap ATP pelanggan. Dengan kata lain ATP atau kemampuan bayar pelanggan RT 2, RT 3, maupun RT 4 memang berbeda dengan RT 1 yang dalam penelitian ini diperlakukan sebagai base category. Kecenderungan seperti ini nampaknya sejalan dengan dasar pengklasifikasian RT 1, 2, 3, dan 4 yang telah ditetapkan PDAM. Meskipun demikian masih terdapat beberapa kasus yang ditemui di lapangan dimana pelanggan merasa bahwa seharusnya mereka berada di klasifikasi pelanggan lain (biasanya kategori dibawahnya) dan bukan yang terjadi saat ini. Variabel kategorik selanjutnya yang mempengaruhi ATP pelanggan secara signifikan adalah variabel dummy pendidikan formal pelanggan (H3A8A) dengan p-value 1,1%. Dengan nilai
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga sebagai Respon . . . (Irawan : 29 – 43)
koefisien β sebesar 3.856,892 berarti bahwa pelanggan dengan pendidikan formal SLTA ke atas akan memiliki ATP sebesar Rp3.857,00 lebih tinggi dibanding pelanggan yang berpendidikan formal di bawah SLTA, dengan catatan variabel lain konstan. Dalam banyak penelitian mengenai penilaian ekonomi lingkungan, khususnya yang berkenaan dengan WTP dan ATP, pendidikan formal pelanggan merupakan variabel yang secara meyakinkan mempengaruhi respon pelanggan (Lihat Whittington, 1990: 306; Witzke & Urfei, 1999: 5; Irawan, 2001: 168; Jung Um, 2002: 291). Bagaimanapun, pelanggan yang memiliki pendidikan formal yang memadai akan lebih memanfaatkan cara berpikir yang lebih rasional dalam mengambil keputusan mengenai alokasi pendapatan yang akan diperuntukkan bagi konsumsi air bersih. Rasionalitas konsumen ini yang mendorong informasi yang lebih simetris mengenai perilaku konsumen dalam mengkonsumsi air bersih, sehingga bias dalam respon pelanggan dapat dikurangi. Informasi yang simetris mengenai perilaku konsumen ini menjadi sangat urgen ketika PDAM akan melakukan pengembangan program-program pelayanan dan advokasi kepada pelanggannya. Variabel kelima yang berpengaruh secara signifikan terhadap ATP pelanggan adalah jumlah total anggota keluarga di dalam sebuah rumah tangga (H3A10F). Variabel jumlah total anggota keluarga memiliki koefisien β = 1.667,003 yang berarti apabila anggota keluarga pelanggan bertambah 1 (satu) orang, maka ATP pelanggan akan naik sebesar Rp1.667,00 dengan catatan variabel independen lainnya konstan. Pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap ATP pelanggan nampaknya tidak dapat dihindarkan karena semakin banyak orang yang turut mengkonsumsi air bersih dalam sebuah rumah tangga, maka akan semakin besar pula volume air yang digunakan. Ini berarti harus semakin besar pula rekening air yang harus dibayar, konsekuensinya ketika pelanggan memberikan jawaban atas pertanyaan kemampuan membayar per bulan sebenarnya, maka ia akan menjadikan banyak sedikitnya anggota keluarga sebagai bahan pertimbangan. Pendapatan total keluarga per bulan merupakan variabel independen keenam yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap ATP pelanggan. Dengan nilai koefisien β sebesar 0,004220 maka dapat diintepretasikan bahwa apabila pendapatan
total keluarga per bulan naik Rp100.000,00 maka ATP pelanggan akan naik sebesar Rp422. Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kemampuan individu dalam mengkonsumsi sebuah barang dipengaruhi oleh pendapatannya. Walaupun ATP bukanlah realisasi perilaku membayar rekening air dari pelanggan yang sebenarnya, akan tetapi ATP merupakan sinyal dari pelanggan mengenai berapa rupiah ia mengalokasikan pendapatannya untuk keperluan konsumsi air bersih oleh keluarganya. Oleh sebab itu ATP selalu sangat terkait dengan pendapatan pelanggan. Hasil Simulasi dan Implikasi Kebijakan
Setelah melakukan analisis terhadap hasil persamaan regresi WTP maupun ATP pelanggan, maka dari kedua persamaan regresi tersebut hanya persamaan regresi ATP yang dapat diterapkan dalam mengestimasi besarnya ATP atau kemampuan bayar pelanggan dengan melakukan simulasi terhadap besaran variabel-variabel independen yang mempengaruhinya. Alasan dibalik dipilihnya persamaan regresi ATP ini adalah karena semua variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen ATP signifikan secara statistik (lihat kembali tabel-7). Hal ini memungkinkan dilakukannya simulasi untuk mengetahui besar kecilnya ATP pelanggan di masing-masing kategori atau kelompok pelanggan apabila kondisi variabel independen yang mempengaruhinya berubah-ubah. Di pihak lain, dalam persamaan regresi WTP menunjukkan bahwa hanya 2 (dua) dari 6 (enam) variabel independen yang mempunyai pengaruh nyata terhadap WTP, sehingga untuk melakukan simulasi kebijakan yang berkait dengan estimasi WTP tidak dapat dilakukan. Didasarkan pada temuan penelitian maka dilakukan 2 (dua) simulasi ATP. Simulasi pertama dilakukan dengan asumsi; (i) pendidikan formal pelanggan yang tercatat resmi di PDAM sebagai pelanggan adalah SLTA ke atas; (ii) jumlah anggota keluarga temasuk kepala keluarga rata-rata adalah 5 (lima) orang; (iii) pendapatan total keluarga per bulan rata-rata untuk kelompok pelanggan RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 4 masing-masing adalah Rp957.692,00; Rp1.119.863,00; Rp1.400.000,00 dan Rp1.448.968,00. Simulasi kedua dilakukan dengan menerapkan asumsi; (i) pendidikan formal pelanggan
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
39
yang tercatat resmi di PDAM sebagai pelanggan adalah dibawah SLTA; (ii) jumlah anggota keluarga temasuk kepala keluarga rata-rata adalah 5 (lima) orang; (iii) pendapatan total keluarga per bulan ratarata untuk kelompok pelanggan RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 4 masing-masing sebesar Rp957.692,00; Rp1.119.863,00; Rp1.400.000,00; dan Rp1.448.968,00. Hasil estimasi ATP pelanggan dengan menggunakan persamaan regresi ATP untuk kategori pelanggan RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 4 ditunjukkan dalam Tabel 8 berikut ini. Tabel 8 menunjukkan bahwa ATP pelanggan yang memiliki pendidikan formal SLTA ke atas untuk semua kategori pelanggan lebih besar Rp3.857,00 dibandingkan pelanggan yang berpendidikan formal di bawah SLTA. Selanjutnya, baik hasil simulasi I maupun II menunjukkan bahwa ATP hasil estimasi persamaan regresi masih di bawah rekening air yang dibayarkan pelanggan untuk bulan Desember 2003. Hasil semacam ini dapat terjadi antara lain disebabkan oleh masih terdapat variabel- variabel lain di luar model yang dapat mempengaruhi besarnya ATP pelanggan teapi tidak tercakup dalam penelitian ini. Sebagai contoh misalnya pola penggunaan air para anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga. Data pola penggunaan air bersih PDAM oleh rumah tangga akan sangat membantu peneliti untuk mempetakan pola konsumsi air lebih detail. Data mengenai pola konsumsi air bersih oleh pelanggan tidak cukup hanya dengan melihat dari penggunaan air bersih rata-rata per bulan per rumah tangga saja, akan tetapi harus juga melihat alokasi penggunaan air bersih tersebut menurut karakteristik pemakaiannya. Pola konsumsi air yang telah terpetakan secara baik akan memberikan informasi yang semakin simetris kepada PDAM sehingga dapat dipakai sebagai dasar pembuatan kebijakan tentang pasokan air yang optimal bagi para pelanggannya. Di lain pihak, informasi tersebut juga sangat membantu
pelanggan dalam mengambil keputusan mengenai porsi pendapatan mereka per bulan yang harus dialokasikan untuk konsumsi air bersih, dan ini berarti nilai ATP yang terungkap menjadi lebih realistis dan reliable. Kedua, seperti yang telah dibahas dalam analisis ATP dimana kenyataannya rekening air yang dibayarkan pelanggan tiap bulan sangat tergantung pemakaian atau konsumsinya. Artinya, terdapat indikasi bahwa pelanggan cenderung tidak melakukan kontrol terhadap pemakaian air bersih dalam rumah tangganya. Tidak seperti pemakaian listrik dalam rumah tangga yang cenderung diberlakukan kontrol konsumsi oleh pelanggan (karena kapasitas terpasangnya), konsumsi air bersih dalam rumah tangga relatif kurang terkontrol mengingat kapasitas pasokan air bersih dari PDAM untuk setiap rumah tangga tidak dibatasi. Konsekuensinya pembayaran rekening air yang terjadi melebihi alokasi pendapatan keluarga untuk konsumsi air bersih yang telah direncanakan, atau dengan kata lain lebih besar dari ATP-nya. Setelah melakukan analisis dan simulasi, maka implikasi kebijakan yang dapat diketengahkan adalah bahwa pemanfaatan hasil estimasi WTP pelanggan dan ATP pelanggan, termasuk hasil simulasinya sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan menaikkan tarif dasar air bersih haruslah dilakukan secara hati-hati. Kehati-hatian ini didasarkan pada fakta temuan di lapangan mengenai belum terciptanya informasi yang simetris antara PDAM dengan masyarakat umumnya dan dengan pelanggan khususnya mengenai program-program pengambangan PDAM. Sebagai konsekuensinya nilai WTP pelanggan (yang nilainya relatif rendah) dan ATP pelanggan tidak dapat langsung dipakai sebagai dasar justifikasi bagi penentuan tarif dasar, akan tetapi dapat dijadikan referensi
Tabel 8. Estimasi ATP Pelanggan Hasil Simulasi No. 1 2 3 4
40
Kategori Pelanggan Rumah Tangga 1 Rumah Tangga 2 Rumah Tangga 3 Rumah Tangga 4
Hasil Estimasi ATP (dalam rupiah) Simulasi I 19.716,29.100,29.410,38.656,-
Simulasi II 15.859,25.243,25.553,34.799,-
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga sebagai Respon . . . (Irawan : 29 – 43)
Walaupun hasil estimasi WTP dan ATP tidak dapat secara langsung digunakan sebagai dasar justifikasi bagi penentuan tarif dasar, namun hasil estimasi dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai indikator respon pelanggan rumah tangga baik terhadap program-program pengembangan PDAM maupun terhadap kinerja PDAM selama ini. Oleh karenanya – dari sisi permintaan (demand side) – hasil estimasi WTP dan ATP pelanggan dapat digunakan sebagai bahan referensi pelengkap dalam mempertimbangkan kesesuaian antara perhitungan tarif dasar yang didasarkan pada peraturan pemerintah dengan hasil valuasi ekonomi yang dilakukan oleh pelanggan.
pengembangan PDAM yang ditunjukkan oleh hasil estimasi WTP dan WTP totalnya ternyata rata-rata meningkat dengan prosentase peningkatan yang relatif kecil dibandingkan dengan tarif dasar air bersih untuk masing-masing kelompok pelanggan rumah tangga.
Simpulan
4. Besarnya nilai WTP pelanggan dipengaruhi secara signifikan oleh variabel pendidikan formal pelanggan dan pendapatan total keluarga. Namun demikian, variabel jumlah total anggota keluarga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai WTP pelanggan. Demikian juga antara nilai WTP pelanggan untuk kategori pelanggan RT 1, RT 2, RT 3, maupun RT 4 terbukti tidak berbeda secara meyakinkan. Dengan kata lain kategorisasi pelanggan rumah tangga ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap WTP pelanggan.
1. Hasil estimasi WTP pelanggan rumah tangga di kota Surakarta sebagai respon atas tambahan manfaat yang akan diperoleh dari program-program yang akan dijalankan PDAM kota Surakarta tahun 2004 adalah sebagai berikut:
5. Hasil estimasi nilai ATP pelanggan rumah tangga di kota Surakarta sebagai respon atas kuantitas dan kualitas pasokan air bersih dari PDAM kota Surakarta yang telah dikonsumsi adalah sebagai berikut:
SIMPULAN DAN SARAN
WTP untuk Rp39,00 WTP untuk Rp26,00 WTP untuk Rp21,00 WTP untuk Rp65,00
kategori pelanggan RT 1 adalah kategori pelanggan RT 2 adalah kategori pelanggan RT 3 adalah kategori pelanggan RT 4 adalah
2. Hasil estimasi WTP total sebagai indikator penilaian ekonomi lingkungan oleh pelanggan secara menyeluruh terhadap kondisi air bersih apabila terdapat tambahan manfaat dari program-program pengembangan PDAM yang dilaksanakan pada tahun 2004 adalah sebagai berikut: WTP total untuk kategori pelanggan RT 1 adalah Rp. 489,00 WTP total untuk kategori pelanggan RT 2 adalah Rp. 676,00 WTP total untuk kategori pelanggan RT 3 adalah Rp. 871,00 WTP total untuk kategori pelanggan RT 4 adalah Rp. 1.065,00 3. Respon pelanggan rumah tangga atas tambahan manfaat dengan adanya program-program
ATP untuk 21.560,00 ATP untuk 28.169,00 ATP untuk 33.677,00 ATP untuk 34.375,00
kategori pelanggan RT 1 adalah Rp. kategori pelanggan RT 2 adalah Rp. kategori pelanggan RT 3 adalah Rp. kategori pelanggan RT 4 adalah Rp.
6. Nilai ATP pelanggan baik dari RT 1, RT 2, RT 3, maupun RT 4 ternyata masih sekitar 20% dibawah rata-rata rekening air yang mereka bayarkan pada bulan Desember 2003. Temuan seperti ini dapat terjadi karena kenyataannya rekening air yang dibayarkan pelanggan tiap bulan ini sangat tergantung pemakaian atau konsumsinya. Pelanggan cenderung tidak melakukan pembatasan volume air yang mereka konsumsi setiap bulannya sehingga menyebabkan pembayaran rekening air yang terjadi melebihi alokasi pendapatan keluarga untuk konsumsi air bersih yang telah direncanakan, atau dengan kata lain lebih besar dari ATP-nya. Fakta ini mengindikasikan bahwa konsumsi atau pemakaian air dalam rumah tangga pelanggan belum efisien.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
41
7. Besarnya nilai ATP pelanggan dipengaruhi secara signifikan oleh variabel independen pendidikan formal pelanggan, jumlah total anggota keluarga dan pendapatan total keluarga. Demikian pula variabel dummy kelompok pelanggan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai ATP pelanggan. Ini berarti bahwa nilai ATP pelanggan kategori RT 2, RT 3, maupun RT 4 terbukti berbeda secara meyakinkan dengan nilai ATP pelanggan kategori RT 1 sebagai base category. Dapat dikatakan pula bahwa ATP pelanggan RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 4 benar-benar berbeda secara statistik. Kecenderungan nilai ATP yang berbeda di antara kelompok pelanggan nampaknya sejalan dengan dasar pengklasifikasian RT 1, RT 2, RT 3, dan RT 4 yang telah ditetapkan PDAM. Meskipun demikian masih terdapat beberapa kasus yang ditemui di lapangan di mana pelanggan merasa bahwa seharusnya mereka berada diklasifikasi pelanggan lain (biasanya kategori dibawahnya) dan bukan yang terjadi saat ini. Saran
1. Berdasarkan hasil estimasi WTP pelanggan rumah tangga yang nilainya relatif kecil serta dengan mempertimbangkan 4 (empat) kemungkinan penyebab yang menyertainya, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. PDAM seyogiyanya memberikan perhatian yang lebih besar terhadap berbagai upaya sosialisasi atau penyebarluasan programprogram pengembangan PDAM tahun 2004 maupun program-program pengembangan di masa datang, sehingga pelanggan khususnya dan masyarakat pada umumnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang benar terhadap program-program pengembangan yang direncanakan maupun yang dilakukan tersebut. Harapannya adalah dengan pengetahuan dan pemahaman yang benar ini, pelanggan khususnya dan masyarakat pada umumnya akan memberikan apresiasi yang obyektif dan positif terhadap program-program pengembangan PDAM. b. Diharapkan PDAM segera merealisasikan program-program pengembangan yang telah 42
direncanakan dan dipublikasikan kepada masyarakat sesuai dengan corporate plan yang telah disusun. Realisasi program yang telah terjadwal dan telah tersosialisasikan kepada masyarakat akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja PDAM yang pada gilirannya akan meningkatkan corporate reputation PDAM sebagai perusahaan daerah. 2. Berdasarkan hasil estimasi ATP pelanggan rumah tangga yang masih lebih rendah dibandingkan dengan realisasi rekening air yang mereka bayarkan pada bulan Desember 2003, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. PDAM seyogiyanya dapat memberikan perhatian yang lebih serius terhadap upaya-upaya peningkatan public relation dalam kerangka peningkatan komunikasi dua arah dengan masyarakat terutama pelanggan rumah tangga. Terbentuknya informasi yang simetris antara PDAM dengan masyarakat terutama pelanggan rumah tangga akan meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai pelanggan. Informasi yang simetris ini juga akan memberikan sinyal yang benar bagi PDAM dalam merumuskan kebijakan perusahaan. Bagi pelanggan, informasi yang simetris ini juga akan memberikan kesempatan untuk dapat ikut berpartisipasi secara aktif dalam membantu meningkatkan kinerja PDAM. b. PDAM seyogiyanya segera melengkapi data mengenai konsumennya menuju sebuah “mapping” atau pemetaan yang lebih lengkap dan terpadu, terutama mengenai perilaku pelanggannya dalam mengkonsumsi air. Data pelanggan yang lengkap dan terpadu akan sangat membantu PDAM dalam merumuskan berbagai kebijakannya. DAFTAR PUSTAKA
ADB, 1999, Handbook for The Economic Analysis of Water Supply Projects. BPS, 2002, Surakarta Dalam Angka. Badan Pusat Statistik & Pemkot Surakarta. _____, 2001, Corporate Plan PDAM Kota Surakarta. PDAM Kota Surakarta.
Willingness to Pay dan Ability to Pay Pelanggan Rumah Tangga sebagai Respon . . . (Irawan : 29 – 43)
Dharmmesta, Basu Swastha., Handoko, Hani. 1987. Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen. Yogyakarta: Liberty. Depdagri RI, 1998, Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1998 Tentang Pedoman Penetapan Tarip Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum, Depdagri. Dixon, John A., Scura, Louise F., Carpenter, R., and Sherman, Paul B. 1996, Economic Analysis of Environmental Impacts . London: Earthscan Publication Ltd. _____,1998, Eviews User’s Guide. Quantitative Micro Software
2nd
Edition. USA:
Gujarati, Damodar N., 2003, Basic Econometrics, Forth Edition, Singapore: McGraw-Hill, Inc. Hussen, Ahmed M, 2000, Principles of Environmental Economics: Economics, Ecology, and Public Policy. New York: Routledge. Irawan, Bambang BRM., 2002, Mengestimasi Willingness To Pay Pelanggan RumahTangga Untuk Pelayanan Air Brsih Dari PDAM Aplikasi Survei Contingent Valution Di Kota Surakarta Tahun 2000. Perspektif, Vol. 8, Nomor 1. Irawan, Bambang., Sumardi, 2000, Willingness to Pay (WTP) Penduduk Untuk Pelayanan Air besih Dari PDAM: Studi Kasus Di Kotamadya Surakarta. Fakultas Ekonomi UNS. Kahn, James R., 1995, The Economic Approach to Environmental and Natural Resources. New York: The Dryden Press. Merret, Stephen, 1997, Introduction to the Economics of Water Resources: An International Perspective. London. UCL Press Limited. OECD., 1995, Economic Appraisal of Environmental Projects and Policies: A Practical Guide. OECD Publication.
Raje, DV., Dhobe, PS., Deshpande, AW., 2002, Consumer’s Willingness To Pay More for Municipal Supplied Water: A Case Study. Ecological Economics, Vol. 42. Santosa, Singgih, 2001, Buku Latihan SPSS: Statistik Non Parametrik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sekaran, Uma, 1992, Research Methods For Business: A Skill Building Apporach, Second Edition, New York: John Wiley & Sons, Inc. Setiawan, Ahmad Ikhwan, 2003, Analisis Faktor Validitas dan Reliabilitas. Modul Pelatihan Statistik Managerial. FE UNS 12 – 13 September. Spencer, Milton H., 1990, Contemporary Economics, Seventh Edition, New York: Worth Publishers, Inc. Sutanto, Achmad., Suharyani, 2001, Atribut Penentu Yang Mempengaruhi Sikap Nasabah Untuk Menyimpan Dana Di Baitul Maal Wat Tamwil. Jurnal Kajian Bisnis, No. 24. UM, Mi-Jung., Kwak, Seung-Jung., Kim, Tai-Yoo, 2002, Estimating Willingness To Pay for Improved Drinking Water Quality Using Averting Behavior Method with Perception Measure. Environmental and Resource Economics., Vol 21. Whittington, D., Briscoe, J., Mu, X., Barron, W., 1990, Estimating the Willingness to Pay for Water Services in Developing Countries : A Case Study of the Use of Contingent Valuation Surveys in Southern Haiti, Economic Development and Cultural Change, Vol. 38, No. 2. Wikaningtyas, Suci Utami, 2001, Menciptakan Kepuasan Pelanggan Melalui Kualitas Pelayanan, Jurnal Kajian Bisnis, No. 23.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
43
FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KINERJA KEUANGAN PDAM KOTA SURAKARTA Agung Riyardi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta e-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research had an aims to analyse financial performance of PDAM, to analyse the internal and external factors that influenced financial performance of PDAM and to analyse the most dominant factor among internal and external factors. This research reached the aims with the theory of financial performance, the theory of public goods and the theory of turbulency economy. Mixing of all the theories brought to the hyphotesis that the internal factors like price of water, revenue, and cost and the external factors like rate of inflation and exchange rate influenced financial performance of PDAM. This research used OLS without constanta regresion equation and Chow’s test to test the hyphotesis. This research showed that PDAM financial performance was good and consisted of debt structure performance, financial efficiency performance, and profit performance. The internal and external factors built a linkage that influenced the financial performance. The internal factors that influenced the financial performance were price of water, revenue, and cost. The external factors that influenced the financial performance were rate of inflation and exchange rate. The most dominant factor was revenue. This research also showed that PDAM applied average cost pricing. Keywords: internal and external factors, regulated price, financial performance
PENDAHULUAN PDAM kota Surakarta telah mengukur kinerja keuangan, perkembangan dan kemajuannya secara rutin setiap bulan dalam bentuk laporan bulanan yang berfungsi sebagai self report dengan menggunakan pedoman yang berasal dari Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (SK Mendagri) Nomor 47 tahun 1999. PDAM kota Surakarta telah memanfaatkan laporan bulanan self report tersebut sebagai landasan pembuatan laporan tahunan yang diperiksa dan diaudit oleh BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Propinsi) Jawa Tengah. Permasalahannya, dalam laporan bulanan dan tahunan kinerja keuangan tersebut tidak dianalisis faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan. Laporan kinerja keuangan hanya berhenti dan dianggap selesai jika telah ditemukannya angkaangka rasio keuangan dan status kinerja keuangan yang menyatakan bahwa PDAM kota Surakarta dalam keadaan cukup sehat. Padahal, menganalisis faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan sangat penting bagi PDAM kota Surakarta. 44
Analisis terhadap kinerja keuangan PDAM sebaiknya harus memisahkan antara faktor lingkungan ekonomi secara internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta. Manfaat pemisahan tersebut disebabkan adanya dugaan bahwa setelah krisis ekonomi 1997, faktor lingkungan ekonomi eksternal lebih dominan dari faktor lingkungan ekonomi secara internal dalam membentuk kinerja keuangan yang memburuk. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan mengenai kinerja keuangan PDAM kota Surakarta dan relasinya dengan faktor internal dan eksternal LANDASAN TEORI Konsep Penyediaan Barang Publik Ajaran agama Islam memberikan konsep yang pasti untuk barang publik. Konsep tersebut berwujud definsi barang publik, jenis barang publik dan penggunaan barang publik. Definisi barang publik adalah barang yang semua orang bisa memanfaatkan, namun individu tidak boleh memiliknya. Jenis
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan PDAM . . . (Riyardi : 44 – 51)
barang publik meliputi fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat, tambang berskala besar dan benda yang tidak dapat dimonopoli oleh seseorang. Termasuk dalam barang publik adalah utilitas yang berada pada harta milik umum. Berdasarkan ajaran agama Islam tersebut, sumber air dan PDAM adalah termasuk barang publik. Sumber air adalah barang publik sebab sumber air termasuk fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua masyarakat. PDAM adalah barang publik sebab utilitasnya yang berupa pipa membentang dan berada di (bawah) sepanjang pinggir jalan atau sungai yang merupakan barang publik. Pengeksplorasian barang publik yang harus diekplorasi seperti barang tambang, merupakan wewenang dan tanggung jawab negara. Setelah dieksplorasi negara, semua masyarakat bisa menggunakannya tanpa terdiskriminasi. Penggunaan barang publik yang langsung bisa dimanfaatkan, artinya semua masyarakat bisa menggunakannya tanpa terdiskriminasi. Pemikiran Barat memberikan konsep yang relatif untuk barang publik. Konsep tersebut meliputi karakteristik barang publik dan peran swasta dalam penyediaan barang publik. Karakteristik barang publik adalah barang yang tidak dapat dikecualikan dan tidak memiliki rival. Karakteristik dari barang publik berbeda dengan karakteristik barang swasta, campuran quasi public dan quasi private. Penyediaan barang publik dilakukan dengan memperhatikan tingkat kegagalan pasar (market failure). Jika pasar gagal untuk menyediakan dan menjual barang publik, maka negara yang berkewajiban untuk menyediakan dan menjual barang publik melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau BUMD (Badan Usaha Milik Daerah). Jika pasar bisa menyediakan dan menjual barang publik namun merugi, maka negara akan memberi subsidi. Jika pasar bisa menyediakan dan menjual barang publik dan mendapat laba, negara tidak boleh melakukan intervensi. Konsep PDAM Konsep (BUMD) PDAM adalah konsep penyediaan barang publik berupa air ketika terjadi market failure. Konsep PDAM meliputi (1) konsep posisi pasar PDAM sebagai perusahaan negara yang
menyediakan air di mana PDAM berada pada pasar monopoli dan (2) konsep harga air yang dijual yang berupa konsep regulated price. Regulated Price Regulated price adalah harga barang publik yang ditetapkan oleh pemerintah. Regulated price bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk beroperasi di sektor publik. Harga air ditentukan oleh pemerintah dengan harapan terdapat kejelasan keuntungan yang diperoleh pengusaha baik melalui konsumen maupun subsidi pemerintah. Pedoman pemerintah untuk regulated price adalah average cost pricing, yaitu harga air ditetapkan sesuai dengan biaya rata-rata (average cost). Sebagian penelitian telah menganalisis regulated price pada perusahaan air dan menggolongkan harga air sebagai harga yang efisien. Sedangkan, sebagian penelitian yang lain menggolongkan harga air sebagai harga yang tidak efisien. Roman (2002) telah menganalisis harga air di negara Denmark, Finlandia, Jerman dan Swedia serta menyimpulkan bahwa harga air adalah harga yang efisien. Renzetti (1999) serta Garcia dan Reynaud (2004) menunjukkan bahwa perusahaan besar atau perusahaan yang sudah pada taraf skala disekonomis dan increasing return to scale menerapkan harga efisien. Antonioli dan Filippini (1997) menganalisis harga pada perusahaan air yang berada dalam keadaan skala ekonomis, tidak efisien. Beberapa penelitian yang mengamati permintaan air mengasumsikan harga air tidak efisien dan menganalisis dampak ketidakefisienan harga tersebut terhadap permintaan konsumen, berupa dead weight loss dan ketidakadilan. Sebagai contoh dari berbagai penelitian tersebut adalah Hadjispyrou, et al. (2000) yang mengamati pemintaan air di di negara Siprus di mana harga air lebih rendah dari biaya rata-rata sebab hanya 20% dari konsumen air yang membayar lebih tinggi dari atau sama dengan biaya rata-rata air. Pushpangadan dan Murughan (1999) yang mengamati permintaan air di Kerala India, Reynaud dan Dalmas (2005) yang menganalisis harga air di Slovakia, dan Cowen dan Cowen (1998), yang menganalisis bahwa harga air di negara berkembang.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
45
Berbagai penelitian mengenai PDAM di Indonesia juga mengemukakan bahwa harga air di PDAM tidak efisien. Ida Adriani (2004) yang menganalisis kesehatan keuangan PDAM Kabupaten Ogan Kumering Ulu menyatakan bahwa harga air lebih rendah dari biaya akuntansi dan finansial, sehingga tidak termasuk harga yang efisien. Agung Riyardi (2007) menganalisis bahwa kenaikan harga secara bertahap tetap menempatkan harga air PDAM sebagai harga yang tidak efisien sebab setelah dua kali kenaikan harga, tingkat kinerja PDAM tetap pada kategori cukup sehat dan tidak meningkat menjadi sehat atau sangat sehat. Sedangkan, Indra Maipita (2003) yang menganalisis fungsi biaya PDAM, menganalisis harga air termasuk harga yang efisien.
cukup sehat. Bahkan, ada berbagai penelitian lain menemukan PDAM berkinerja kurang sehat dan sangat tidak sehat. Berbagai penelitian yang menganalisis bahwa PDAM ada yang berkinerja cukup sehat, atau ada yang kurang sehat atau ada yang sangat tidak sehat di antaranya adalah Municipal finance Project (1992), Johnson (1998), LPEM (2000), Nur Romadhon (2005), Purbayu Budi Santosa et al (2005), dan Agung Riyardi (2007). Penelitian Purbayu Budi Santosa et al (2005), dan Agung Riyardi (2007) berbeda dengan yang lain, karena menganalisis faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan. Purbayu Budi Santosa et al (2005) menganalisis faktor manajerial yang mempengaruhi kinerja keuangan PDAM, sedangkan Agung Riyardi (2007) menganalisis pengaruh tingkat harga terhadap kinerja keuangan.
Kinerja Keuangan PDAM Rico Lesmana dan Rudy Surjanto (2003: 21– 29) mengemukakan bahwa masalah tingkat efisiensi dapat diukur dalam bentuk kinerja keuangan. Ukuran kinerja keuangan mencakup perbandingan seluruh aset, kewajiban, penerimaan, pengeluaran dan berbagai hal dalam perusahaan seperti teknik produksi dan pelanggan. Tidak ada kepastian jumlah dan jenis rasio keuangan yang digunakan sebagai kinerja keuangan PDAM. Namun, banyak terjadi perbedaan antara satu pedoman dengan pedoman kinerja keuangan yang lain. Misalkan, telah terdapat perbedaan dalam masalah jumlah, jenis rasio keuangan dan pengelompokannya, pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (SK Mendagri) nomor 47 Tahun 1999 dengan Surat Keputusan Menteri BUMN nomor 215 tahun 1999, MFP (1999) serta Brigham dan Daves (2004). Ida Adriani (2004) telah mengamati PDAM dengan menggunakan kinerja keuangan yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 tahun 1999. Selanjutnya, ia menganalisis bahwa PDAM dalam keadaan sehat. Demikian juga Arie Rachma Putri (2002) yang menganalisis PDAM dengan menggunakan kinerja keuangan yang berdasar Surat Keputusan Menteri BUMN nomor 215 tahun 1999, menyimpulkan bahwa kinerja keuangan PDAM sehat. Namun, berbagai penelitian lain menemukan bahwa kinerja PDAM mengalami keadaan keuangan 46
Relasi Antara Faktor Internal dengan Kinerja Keuangan PDAM Agung Riyardi (2007) mengemukakan bahwa penetapan harga dengan pedoman average cost pricing menyebabkan kinerja profitabilitas dan keuangan total PDAM dalam keadaan tidak sehat. Average cost pricing menyebabkan PDAM tidak mendapatkan keuntungan dan tidak memiliki ‘insentif’ produktifitas sehingga, kinerja profitabilitas dan keuangan total dalam keadaan tidak sehat. Bahkan ‘modifikasi’ dalam bentuk average cost pricing secara gradual tetap tidak mampu meningkatkan kinerja keuangan PDAM kota Surakarta. Selain itu, terdapat faktor lain selain penetapan harga yang mempengaruhi kinerja keuangan PDAM. LPEM (2002) menganalisis bahwa kinerja yang buruk disebabkan tenaga kerja yang terlalu banyak dan tidak memiliki keahlian sehingga, menyebabkan pendapatan tidak maksimal dan pengeluaran meningkat tajam. I Ketut Mardjana (1998) menganalisis faktor karakteristik birokratis dengan membandingkan antara perusahaan negara dan swasta di Provinsi Bali dan DKI Jakarta. Perusahaan negara memiliki kinerja buruk sebab perusahaan negara berkarakteristik birokratis yang berdampak pada pengeluaran yang banyak. Namun demikian, Estache dan Rossi (2004) yang membandingkan pemilikian usaha air di negara-negara Asia dan Pasifk di mana 3 di
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan PDAM . . . (Riyardi : 44 – 51)
antaranya merupakan PDAM di Indonesia menganalisis bahwa tidak ada perbedaan dalam minimasi biaya antara perusahaan air yang dimiliki negara dengan swasta. Perusahaan negara juga mampu melakukan efisiensi biaya sebagaimana perusahaan swasta karena perusahaan tersebut mampu menciptakan iklim internal yang kondusif. Relasi antara Faktor Eksternal dengan Kinerja Keuangan PDAM Fery Adrianus dan Amelia Niko (2006) mengemukakan bahwa krisis yang dialami Indonesia sejak 1997 menyebabkan pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dan inflasi yang meningkat. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan karena kapasitas ekonomi mengalami penurunan. Inflasi meningkat berasal dari kurs mata uang yang mahal. Dharendra Wardhana dan Dhanie Nugroho (2006) mengemukakan bahwa krisis yang dialami Indonesia sejak 1997 dapat dikategorikan sebagai histeresis, yaitu kejutan yang bersifat sementara namun, memiliki dampak negatif jangka panjang terhadap pendapatan dan kondisi pasar tenaga kerja. Abimanyu (2006) mengemukakan bahwa krisis ekonomi berdampak pada peningkatan pengeluaran PDAM melalui dua jalur. Pertama, kurs yang meningkat menyebabkan beban hutang juga meningkat sehingga, pengeluaran juga meningkat. Kedua, kurs meningkat menyebabkan kenaikan harga barang input bahan kimia. Pengeluaran yang meningkat, jika tidak diimbangi perbaikan terhadap pengeluaran tersebut, maka akan menyebabkan kinerja keuangan menjadi memburuk. Berdasar berbagai pemikiran di atas, dapat digambarkan hubungan yang terjadi terhadap kinerja keuangan. Faktor internal dan eksternal PDAM, yaitu tingkat harga air, pendapatan, pengeluaran, tingkat inflasi dan kurs mempengaruhi kinerja keuangan PDAM. Tingkat harga air dan pendapatan mempengaruhi kinerja keuangan secara positif. Pengeluaran PDAM, tingkat inflasi dan kurs mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta secara negatif.
Tingkat inflasi dan kurs tersebut mempengaruhi secara negatif dikarenakan perekonomian sedang dalam keadaan turbulensi. METODE PENELITIAN Untuk keperluan dalam analisis ini diperlukan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai pelengkap. Data yang diteliti merupakan data dari bulan Januari tahun 2002 hingga Desember 2005. Data yang diteliti meliputi data kinerja keuangan PDAM kota Surakarta, tingkat harga PDAM kota Surakarta, pendapatan PDAM kota Surakarta, pengeluaran PDAM kota Surakarta, serta data inflasi dan kurs. Data ini diasumsikan memiliki stuktur yang menyesuaikan dengan perubahan tingkat harga. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model persamaan regresi berganda tanpa konstanta. Selanjutnya, model persamaan regresi tersebut dikembangkan dengan uji Chow, tujuannya adalah untuk menganalisis asumsi bahwa data tersebut memiliki struktur yang menyesuaikan dengan perubahan harga. Bentuk persamaan regresi yang dimaksud adalah sebagai berikut: Yt = β1logX1t + β2logX2t – β3logX3t – β4X4t – β5logX5t + εt HASIL DAN PEMBAHSAN Persamaan regresi tanpa konstanta dapat digunakan untuk menduga relasi antara kinerja keuangan PDAM Kota Surakarta dengan faktor internal dan faktor eksternal. Persamaan regresi tanpa konstanta berasal dari data yang terdistribusi normal, memiliki koefisien determinasi cukup besar (R2 = 0,705), dan memiliki signifikansi uji F (Fhitung = 25,73). Selain itu, persamaan regresi tanpa konstanta ini telah diuji asumsi klasik dan dinyatakan bebas dari permasalahan multikolinieiritas, autokorelasi dan heteroskedastisitas.
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
47
Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Variabel Nama Simbol Tingkat harga Log(X1) Pendapatan Log(X2) Pengeluaran Log(X3) Inflasi X4 Kurs Log(X5) R2 Statistik F Variabel dependen
Koefisien 4,659 16,921 -11,268 0,178 -13,711 0,705 25,730 Kinerja keuangan (Y)
Kinerja Keuangan PDAM Kota Surakarta Kinerja keuangan PDAM kota Surakarta dalam keadaan cukup sehat, sebab memiliki skor antara 2,3, 2,6 dan 2,8, yang berada pada interval 2 sampai 3 dari ukuran kesehatan kinerja keuangan. Temuan ini sesuai dengan pendapat LPEM (2002) yang menganalisis bahwa banyak PDAM dalam keadaan cukup sehat dan hasil penelitian Agung Riyardi (2007) yang menganalisis bahwa PDAM kota Surakarta dalam keadaan cukup sehat. Faktor pembentuk kesehatan kinerja keuangan adalah kinerja struktur hutang dan efisiensi keuangan. Faktor pembentuk kinerja keuangan yang berasal dari kinerja struktur hutang sebesar 32% hingga 35%. Faktor pembentuk kinerja keuangan yang berasal dari efisiensi keuangan, 43% hingga 48%. Kinerja laba membentuk kesehatan kinerja keuangan, 13% hingga 18%. Kinerja struktur hutang dan kinerja efisiensi keuangan membentuk kesehatan kinerja keuangan dengan pola yang negatif. Proporsi kinerja struktur hutang semakin menuru (dari 35% hingga 32%) dan kinerja efisiensi keuangan (dari 48% hingga 43%). Sedangkan, kesehatan kinerja keuangan justru semakin baik yakni dari 2,3 hingga 2,8. Selain itu, kinerja laba membentuk kesehatan kinerja keuangan dengan pola yang positif. Semakin baik kinerja keuntungan (dari 13% hingga 18%), berarti semakin baik kesehatan kinerja keuangan (dari 2,3 hingga 2,8). Namun, pola tersebut justru tidak lazim. Seharusnya, kinerja struktur hutang, kinerja efisiensi keuangan dan kinerja laba meningkat menyebabkan kesehatan kinerja keuangan meningkat, sebab kinerja struktur hutang, kinerja efisiensi keuangan dan kinerja laba adalah pembentuk kesehatan kinerja keuangan. Namun, karena kesehatan kinerja keuangan yang baru sampai cukup sehat (interval 2 48
Statistik t
Probabilitas
2,042 5,033 -6,939 0,488 -2,416
0,047 0,000 0,000 0,656 0,020
hingga 3), maka belum memungkinkan kinerja laba meningkat. Ketika kinerja laba ditingkatkan, justru berdampak pada kinerja struktur hutang dan efisiensi keuangan menurun. Lihat Gambar 1 di bawah ini. Faktor Internal dan Eksternal Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor internal secara signifikan mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta. Faktor internal yang signifikan mempengaruhi kinerja keuangan kota Surakarta adalah pendapatan (X2), pengeluaran (X3) dan tingkat harga. (X1). Pendapatan dan tingkat harga mempengaruhi kinerja keuangan secara positif dan pengeluaran mempengaruhi kinerja keuangan secara negatif. Faktor eksternal berupa inflasi mempengaruhi kinerja keuangan secara positif, namun tidak signifikan. Tingkat inflasi dan kesehatan kinerja keuangan adalah dua fenomena yang terjadi bersama-sama. Tingkat inflasi meningkat dan kinerja keuangan meningkat. Walaupun kota Surakarta mengalami inflasi yang tinggi. Namun, masyarakat tetap mau mengkonsumsi air dari PDAM kota Surakarta sebab, air merupakan barang yang merupakan kebutuhan pokok dan masyarakat tidak memiliki pilihan lain kecuali mengkoinsumsi air dari PDAM kota Surakarta. Peningkatan konsumsi air menyebabkan peningkatan pendapatan PDAM kota Surakarta. Dengan demikian, terdapat dua fenomena yang terjadi bersama-sama, inflasi meningkat dan kesehatan kinerja keuangan meningkat. Sementara itu, kurs dollar terhadap rupiah di kota Surakarta berpengaruh signifikan negatif dengan kinerja keuangan. Kurs dollar mempengaruhi kesehatan kinerja keuangan melalui pembayaran hutang dan biaya input yang harus dibayarkan dengan uang dollar.
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan PDAM . . . (Riyardi : 44 – 51)
mempengaruhi kinerja keuangan namun, tingkat harga air merupakan variabel yang paling tidak dominan di antara faktor internal yang signifikan. Kedua, berdasarkan hsil uji Chow yang menggunakan pemisah (break point) kenaikan harga tahun 2002 dan kenaikan harga tahun 2004 secara bersama-sama adalah signifikan. Padahal, jika uji Chow menggunakan pemisah (break point) kenaikan harga tahun 2002 dan tahun 2004 secara sendirisendiri, tidak signifikan.
Perkiraan Rendah Kinerja efisiensi keuangan 50%
Kinerja profit 14%
Kinerja struktur hutang 36%
Perkiraan Rata-rata Kinerja profit , 0.15
Dampak dari regulated price yang berdasarkan prinsip average cost pricing secara gradual adalah menunjukkan kondisi kesehatan kinerja keuangan PDAM kota Surakarta yang masih di interval cukup sehat (2 hingga 3), dan belum mampu meningkat menjadi sehat atau sangat sehat. Selain itu, usaha untuk meningkatkan kesehatan kinerja keuangan pada saat penerapan regulated price yang berdasarkan prinsip average cost pricing secara gradual, justru berdampak pada penurunan kinerja struktur hutang dan kinerja efisiensi hutang ketika kinerja laba ditingkatkan.
Kinerja struktur hutang, 0.35
Kinerja efisiensi keuangan, 0.46
Perkiraan Tinggi Kinerja profit , 0.18
Kinerja struktur hutang, 0.32
Faktor paling dominan yang mempengaruhi kinerja keuangan adalah pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa PDAM kota Surakarta mampu mengatasi keadaan turbulensi ekonomi. Pendapatan yang diperoleh mampu ‘meredam’ pengeluaran yang meningkat karena turbulensi ekonomi berupa harga mata uang dollar yang mahal, sehingga kinerja keuangan dalam keadaan cukup sehat.
Kinerja efisiensi keuangan, 0.43
Gambar 1. Proporsi Pembentuk Kesehatan Kinerja Keuangan
Faktor Paling Dominan Tingkat harga air PDAM kota Surakarta dibentuk oleh pemerintah daerah berdasarkan prinsip average cost pricing secara gradual. Hal ini dapat diketahui dari dua hal. Pertama, walaupun signifikan Tabel 2. Hasil Uji Chow Pemisah (Break Point)
Nilai Probabilitas Statistik F
2003:1
0,38
2004:8
0,21
2003:1 dan 2004 : 8
0,01
Kesimpulan Tidak ada perbedaan kinerja keuangan sebelum dengan sesudah kenaikan harga air pada bulan Januari 2003 Tidak ada perbedaan kinerja keuangan sebelum dengan sesudah kenaikan harga air pada bulan Agustus 2004 Terdapat perbedaan kinerja keuangan sebelum bulan Januari 2003 dengan sesudah kenaikan harga air pada bulan Agustus 2004
Keterangan: Bersumber dari hasil olah data penelitian JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
49
SIMPULAN Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam menganalisis kinerja keuangan PDAM kota Surakarta harus menyertakan faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan. Bahkan penelitian ini menunjukkan bahwa analisis terhadap kinerja keuangan seharusnya menyertakan pengaruh faktor eksternal. Kinerja keuangan PDAM kota Surakarta dalam keadaan cukup sehat. Kinerja keuangan dibentuk oleh kinerja struktur hutang, kinerja efisiensi keuangan secara negatif dan dibentuk kinerja laba secara positif. Faktor internal yang mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta adalah pendapatan, pengeluaran dan tingkat harga air. Pendapatan dan tingkat harga air mempengaruhi secara positif, sedangkan pengeluaran mempengaruhi secara negatif. Tingkat harga air berbentuk regulated price yang berdasarkan prinsip average cost pricing. Faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta adalah tingkat inflasi kota Surakarta dan kurs dollar terhadap rupiah di kota Surakarta. Tingkat inflasi berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan PDAM kota Surakarta dan Kurs berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan PDAM kota Surakarta. Pendapatan PDAM
kota Surakarta merupakan faktor paling dominan di antara faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta. Berdasarkan simpulan tersebut dapat dikemukakan bahwa teori manajemen keuangan untuk perusahaan negara dan daerah yang membahas rasio-rasio keuangan dan ukuran kesehatan kinerja keuangan secara parsial dan keseluruhan telah terverifikasi. Teori manajemen keuangan tersebut mampu menunjukkan kesehatan kinerja keuangan PDAM kota Surakarta. Teori regulated price yang berprinsip pada average cost pricing juga telah terverifikasi. PDAM kota Surakarta menjual air dengan harga setingkat average cost pricing. Dapat dikemukakan pula bahwa faktor internal dan faktor eksternal juga mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta, dan ada saling keterkaitan dalam mempengaruhi kinerja keuangan PDAM kota Surakarta, sebagaimana Gambar 2 di bawah ini. UNGKAPAN TERIMA KASIH Saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Bambang Setiaji, MS atas kesediaan menjadi penelaah penelitian dan artikel ini.
Faktor Eksternal
Faktor Internal Pendapatan
Inflasi
Tingkat Harga Kurs Dollar terhadap Rupiah
Pengeluaran
Kinerja keuangan Gambar 2. Keterkaitan Antar Faktor
50
Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Kinerja Keuangan PDAM . . . (Riyardi : 44 – 51)
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, 2006, peran PDAM Kota Surakarta bagi Perekonomian Daerah, Makalah Seminar Interdisiplin, Program Pascasarjana UMS, tanggal 11 November 2006, Surakarta: UMS Agung Riyardi, 2007, Penyesuaian Harga dan Kesehatan Keuangan Pada Perusahaan Milik Negara: Studi Kasus PDAM Kota Solo, Makalah pada Proceeding Simposium Internasional Universitas Surabaya tanggal 15 hingga 16 Maret 2007, Surabaya: Universitas Surabaya. Antonioli, Barbara dan Massimo Filippini, 1997, The Use of a Variable Cost Function in The Regulation of the Italian Water Industry, Quaderno No. 02-01, Decanato della Facoltà di Scienze economiche. Arie Rachma Putri, 2002, Mengukur Kinerja Keuangan PDAM Tirtamarta Kota Jogyakarta 1997 – 2001: Berdasarkan Kepmendagri Nomor 47 Th. 1999 dan Kepmen PBUMN No: Kep215/M-PBUMN/1999, Tesis, Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Brigham, Eugene F., dan Phillip R., Daves, 2004, Intermediate Financial Management, Singapura: South-Western. Cowen, Penelope Brook dan Tyler Cowen, 1998 “Deregulated Private Water Supply: A Policy Option for Developing Countries”. Cato Jurnal Vol. 18, No.1, 1998. Estache, Antonio dan Martin A Rossi, 2002, “How Different is The Efficiency of Public and Private Water Companies in Asia?”, The World Bank Economic Review, vol. 16 no. 1, Hal. 139–148. Garcia, Serge dan Arnaud Reynaud, 2004, “Estimating the Benefits of Efficient Water Pricing in France”. Resource and Energy Economics, Elsevier Vol 26 (1). Halaman 1–25, Gujarati, Damodar, 2003, Basic Econometrics. Boston: McGraw-Hill Hadjispyrou, S., Koundouri P., dan Pashardes P, 2002, “Household Demand and Welfare Implications of Water Pricing in Cyprus”. Environment and Development Economics. 7 (4). Hal. 659– 685. I Ketut Mardjana, 1995, “Ownership or Management Problems? A Case Study of Three Indonesian State Enterprises”. Bulletin of Indonesian Eco-
nomic Studies Volume 31 No. 1, April, Halaman 73-107. Ida Adriani. 2004. Analisis Kinerja dan Penetapan Tarif :Studi Kasus pada PDAM Kabupaten Ogan Kumering Ulu, Tesis, Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Indra Maipita, 2003, Analisa Penentuan Tarif Air Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Medan (Zona I), Tesis, Banda Aceh: Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Johnson, Ronald W., 1998, Capital Financing for Municipal Infrastructure: Choices as Viewed by the Enterprise and the Investor. URL: Http://www.rti.org/pubs/rwj-capital-fin-mun-infrappr.pdf [ 15 Juni 2004 ]. LPEM, 2000, Restrukturisasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia. Laporan Akhir Penelitian, Jakarta: LPEM-FEUI. Mangkoesoebroto, Guritno, 1993, Ekonomi Publik, Yogyakarta: BPFE ____,MFP (Municipal Finance Project Volume 1 sampai 3), 1992, Financial Peformance od Local Water Authorities (PDAMs,. Jakarta,: Municipal Finance Project Nur Romadhon, 2005, Evaluasi Kinerja Keuangan, Operasional dan Administrasi PDAM: Studi Kasus pada PDAM Kota Semarang, Tesis, Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM. Purbayu Budi Santosa, Bambang Nolo Kresno dan Agung Riyardi, 2005, “Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perusahaan (Studi Kasus pada PDAM Kota Semarang)”, Benefit. Vol. 9 Nomor 1. Hal. 50-61 Renzetti, S., 1999, “Municipal Water Supply and Sewage Treatment: Cost, Prices and Distortions”, Canadian Journal of Econommics, Vol. 32, No. 3, halaman 688 – 704. Reynaud, Arnand dan Laurent Dalmas. 2006. Efficient Water Pricing in a Transition Economy: The Slovak Republic Case. LERNA-INRA Discussion Paper. Rico Lesmana dan Rudy Surjanto, 2003, Financial Performance Analyzing, Jakarta:Elex Media Komputindo. Roman, Marek, 2002, Report On Water Pricing/Cost Recovery in The Baltic Sea Countries, HELCOM Secretariat, URL: http://www.helcom.fi/pitf/ waterpricingcostrecovery.pdf [20 Oktober 2004].
JEJAK, Vol. 2, No. 1, Maret 2009
51
PENGARUH KNOWLEDGE SPILLOVERS TERHADAP PERTUMBUHAN INDUSTRI DI KAWASAN INDUSTRI JAWA TENGAH Amin Pujiati Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email;
[email protected]
ABSTRACT This research aims to analyze the influence of the knowledge spillovers on the industry growth in Central Java. It uses district-level data on two digit International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) and supplied by the Indonesian Central Bureau of Statistics in 2001 and 2006. The tools of the analysis used multiple regression model with Ordinary Least Square (OLS) method. The regression result shows that Specialization negatively influences of the industry growth. The result of this finding shows the opposite sign of Dynamic Externalities Marshall-Arrow-Romer (MAR) and Porter theory .Diversity and competition have positive impact on the industry growth. This is apprppriate and support the Porter theory and deny the MAR theory which stated that the local monopoly will increase the industry growth . The diversity of the result in district is positive. This result matches and consisant with Jacobs theory of the industry diversity. Keywords: knowledge spillovers, dynamic externalities , industry growth. PENDAHULUAN Proses industrialisasi di Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang cukup berarti. Kontribusi sektor industri terhadap PDB terus meningkat dibandingkan sektor pertanian, kondisi ini juga terjadi di Jawa Tengah. Di Provinsi Jawa Tengah PDRB berdasarkan lapangan usaha, sumbangan sektor industri menempati urutan pertama dibandingkan sektor lainnya (empat besar) baik pada tahun 2001 maupun tahun 2006 (Tabel-1). Pertumbuhan sektor industri yang telah mendominasi sumbangan PDRB , ternyata terjadi konsentrasi di daerah tertentu. Distribusi sumbangan sektor industri di Jawa Tengah dinominasi oleh kabupaten/kota yang sama. Tabel 1. Distribusi Persentase Produk Domestik regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2001 dan Tahun 2006 ( % ) Lapangan Usaha Pertanian Industri Perdagangan, Hotel dan Restoran Jasa-jasa Sumber ; BPS data diolah , 2007
52
Tahun 2001 2006 0,21 0,21 0,29 0,30 0,24 0,23 0,11 0,11
Kecenderungan konsentrasi juga didukung oleh penelitian Kuncoro (2002) dengan memakai indeks entropy untuk mengukur konsentrasi industri Kabupaten/Kota di Pulau Jawa.. Kesimpulan hasil studinya bahwa daerah – daerah industri utama di Jawa terletak di bagian Barat (Jabotabek dan sebagian Jawa Barat) dan bagian Timur (Surabaya/ Jawa Timur), dan relatif sedikit di Jawa Tengah dan DIY. Adapun daerah industri di Jawa Tengah adalah Semarang dan sekitarnya (Salatiga, Kudus, Kendal) dan Surakarta dan daerah sekitarnya (Klaten, Sukoharjo, Karanganyar). Marshall (1920) dalam bukunya yang terkenal Principles of Economics telah mengemukakan kemungkinan eksternalitas yang didapatkan oleh perusahaan sebagai efek dari terkonsentrasinya industri secara geografis. Perusahaan cenderung untuk berlokasi bersama dengan pemasok dan pembeli, sehingga akan menciptakan eksternalitas positif yang ditimbulkan dari efisiensi transportasi, komunikasi dan koordinasi. Beberapa studi empiris melihat teori Marshal dalam konteks yang lebih menekankan kepada faktor pendorong terjadinya lokalisasi industri di suatu daerah (eksternalitas statis). Namun Audretsch dan Feldman (1996) mengemukakan bahwa eksternalitas dinamis juga merupakan efek dari adanya lokalisasi industri
Pengaruh Knowledge Spillovers Terhadap Pertumbuhan Industri . . . (Pujiati : 52 – 64)
dimana akan memberikan dampak dalam hal pertumbuhan dan inovasi. Teori Pertumbuhan Baru (Endogenous Growth Theory) memberikan penekanan sebaran (spillover) sebagai mesin perumbuhan. Ada beberapa tipe dari sebaran, yaitu : knowledge spillover, market spillover dan network spillover. Dari ketiga sebaran tersebut teori pertumbuhan lebih memfokuskan peranan sebaran pengetahuan (knowledge spillover). Selama perusahaan-perusahaan saling memberikan keuntungan di antara mereka dalam hal inovasi dan ide, maka perekonomian akan terus tumbuh meskipun berada pada kondisi pemakaian tenaga kerja dan modal secara maksimum. Dengan kata lain pengaruh sebaran pengetahuan menjelaskan fenomena kenapa ekonomi tumbuh lebih cepat dari yang diperkirakan bila hanya di dasarkan kepada pertumbuhan masukan tenaga kerja dan modal (Van Stel dan Nieuwenhuijsen, 2002). Dalam pandangan eksternalitas dinamis Marshall-Arrow-Romer (MAR), aliran sebaran pengetahuan akan lebih mungkin terjadi pada sektor tertentu, dimana dalam suatu daerah yang industrinya telah terspesialisasi secara regional, akan membantu mengalirkan pengetahuan diantara perusahaan, dan selanjutnya akan mendorong pertumbuhan industri dan pertumbuhan daerah. Di samping itu, hipotesis MAR mengemukakan monopoli adalah lebih baik dibandingkan persaingan dalam ekonomi lokal. Porter (1990) seperti halnya MAR berpendapat bahwa sebaran pengetahuan akan terjadi dalam industri yang terspesialisasi, dan ia berbeda pandangan dengan MAR mengenai persaingan yang menurutnya justru akan meningkatkan sebaran pengetahuan dan kemudian pertumbuhan industri. Adapun Jacobs (1969) tidak sependapat dengan MAR dan Porter dalam spesialisasi industri. Menurut Jacobs, justru transfer pengetahuan itu datangnya dari luar industri utama dan berpendapat justru diversifikasi industri lain yang berhubungan dengan industri tersebut. Disisi lain Jacobs sependapat dengan Porter bahwa derajat persaingan yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan (Glaeser dkk, 1992). Pada dasarnya, penelitian ini ingin menguji tiga hipotesis yang berbeda dari sebaran pengetahuan (MAR, Porter, Jacobs) yaitu: tingkat spesialisasi, persaingan dan keanekaragaman industri dalam
suatu daerah (yang diyakini membantu terjadinya sebaran pengetahuan), pengaruhnya terhadap pertumbuhan industri di kabupaten/kota yang termasuk kawasan industri dan andalan di Jawa Tengah. Terkonsentrasinya industri secara spasial disebabkan karena adanya eksternalitas statis. Di samping itu, kedekatan berlokasi secara spasial akan menimbulkan sebaran pengetahuan (knowledge spillover) antara pekerja-pekerja sesama (inter) industri dan antara (intra) industri yang diyakini akan memacu pertumbuhan industri (eksternalitas dinamis). Permasalahannya, belum adanya penelitian yang menguji teori sebaran pengetahuan dalam arti eksternalitas dinamis yang secara khusus menjadikan obyek penelitian pada pertumbuhan industri kabupaten/kota di Jawa tengah khususnya di kawasan industri . Berdasarkan berbagai alasan tersebut maka yang menjadi pangkal permasalahan dalam arikel ini adalah ”bagaimana pengaruh sebaran pengetahuan terhadap pertumbuhan industri? Apakah industri yang terspesialisasi atau industri yang beragam yang memungkinkan terjadinya inovasi dan memacu pertumbuhan? Apakah kondisi yang kompetitif yang harus diciptakan?. Tujuannya adalah (1) Menguji hipotesis mengenai kondisi yang memungkinkan terjadinya sebaran pengetahuan pada lingkup sesama (inter) industri (yaitu spesialisasi dan persaingan) dan lingkup antar (intra) industri yaitu keragaman industri di daerah. (2) Menganalisis pengaruh sebaran pengetahuan terhadap pertumbuhan industri. LANDASAN TEORI Teori Pertumbuhan Teori pertumbuhan baru (endogen) muncul sebagai reaksi terhadap kelemahan intelektual dan empiris model pertumbuhan neoklasik yaitu pertama, asumsi penting model tersebut yang menyatakan bahwa laba atau hasil investasi akan semakin merosot (diminishing returns to capital). Kedua, asumsi teknologi dianggap exogen. Ketiga, mengenai constant returns to scale, yaitu suatu ide yang menyatakan bahwa semua input dan output meningkat secara sepadan. Ada empat ciri utama yang membedakan model pertumbuhan baru dengan model neoklasik (Ray, 1995 : 65) sebagai berikut.
JEJAK, Vo. 1, No. 2, Maret 2009
53
1) Kemajuan teknologi yang endogen (endogenous = sesuatu yang ditentukan oleh faktor-faktor di dalam ekonomi) 2) Penekanan lebih akumulasi modal.
banyak
terhadap
peran
3) Dimasukkannya dampak eksternal. 4) Implikasi model untuk kebijaksanaan yang lebih bersifat intervensi. Menurut paradigma New Growth kemajuan teknologi dianggap endogen sebab diciptakan oleh tindakan sengaja dari pelaku ekonomi. Kemajuan teknologi yang menurut Schumpeter dalam (Ray: 1995:66) diciptakan oleh tekanan persaingan antar individu/antar perusahaan yang ingin memaksimalkan laba untuk membuat inovasi, dianggap sebagai akibat langsung dari fenomena ekonomi. Perbedaan lain dalam teori pertumbuhan baru disamping akumulasi modal, adalah dimasukkannya dampak eksternalitas. Dalam kebanyakan kasus, eksternalitas tersebut biasanya merupakan sebaran pengetahuan (knowledge spillover) dari investasi modal fisik dan modal manusia yang tidak bisa ditangkap (internalized) secara penuh oleh investor. Dampak penting eksternalitas terhadap model pertumbuhan baru adalah bisa menciptakan increasing returns to scale pada tingkat industri atau ekonomi secara keseluruhan. Jika investasi dari satu perusahaan/individu membangkitkan sebaran pengetahuan yang tidak bisa ditangkap secara penuh oleh perusahaan/individu tersebut, maka stok pengetahuan umum yang ditingkatkan dapat dimanfaatkan perusahaan-perusahaan lain untuk meningkatkan produksi. Kenyataannya dalam ekonomi modern pengetahuan merupakan faktor produksi. Jenis teknologi tertentu apabila bisa diperoleh dengan biaya minimal maka increasing returns to scale akan terjadi. Adanya ekternalitas ini juga dikemukakan Todaro ( 2000: 121). Sebaran Pengetahuan (knowledge spillover) Model-model pertumbuhan kota memberikan penekanan kepada peranan eksternalitas dinamis, khususnya sebaran pengetahuan (knowledge spillover) dalam pertumbuhan kota. Mengacu pada model ini, kota tumbuh karena adanya interaksi antara masyarakat, antara para pekerja dalam suatu 54
sektor ekonomi dan dengan sektor lainnya, mereka saling belajar satu sama lainnya. Oleh karena mereka mendapatkan pengetahuan tanpa harus membayar, dikatakan sebagai sebaran pengetahuan (Glaeser dkk, 1992) Beberapa studi literatur telah menguji konsep eksternalitas dinamis yang diimplikasikan tidak hanya pola industri di dalam kota tetapi, juga pertumbuhan kota; bagaimana suatu kota atau daerah tumbuh lebih cepat daripada kota lainnya. Glaeser dkk (1992) merupakan perintis dalam mengaitkan pertumbuhan kota dengan eksternalitas dinamis (sebaran pengetahuan). a. Sebaran sesama industri (inter-industry) dikenal juga sebagai keuntungan lokalisasi. Glaeser dkk memaparkan dua hipotesis dalam menerangkan sebaran pengetahuan. Kedua hal ini melibatkan efek sebaran diantara perusahaan-perusahaan dalam industri yang mentransfer ide dan teknik dalam suatu kluster industri.Dua hipotesis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Eksternalitas Marshall-Arrow-Romer (MAR) Menurut teori ini, sebaran pengetahuan (knowledge spillover)terjadi di antara perusahaanperusahaan yang berdekatan dan kemudian mendorong pertumbuhan industri. Sebaran pengetahuan ini diperoleh lewat komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan yang memungkinkan adanya imitasi atau peniruan dan perpindahan tenaga kerja terampil antar perusahaan. Selanjutnya teori MAR berpendapat monopoli adalah lebih baik bagi pertumbuhan daripada persaingan dalam ekonomi lokal, karena monopoli lokal menghambat aliran ide sehingga eksternalitas hanya diinternalisir oleh inovator. Kedua, Eksternalitas Porter (1990). Argumen Porter senada dengan MAR bahwa pertumbuhan industri didorong oleh sebaran pengetahuan pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonsentrasi secara spasial. Berbeda pandangan dengan MAR tentang persaingan, menurut Porter persaingan lokal akan mempercepat peniruan dan kemajuan ide-ide para inovator. Perusahaan-perusahaan
Pengaruh Knowledge Spillovers Terhadap Pertumbuhan Industri . . . (Pujiati : 52 – 64)
yang tidak mengembangkan teknologinya akan dikalahkan oleh pesaingnya yang lebih inovatif. b. Sebaran antar-industri (intra-industry) menurut Glaeser dkk disebut juga sebagai keuntungan urbanisasi. Ide sesebaran pengetahuan antar industri dikenal sebagai eksternalitas Jacobs. Menurut Jacob (1969, 1985) sebaran pengetahuan justru datang dari luar industri utama. Dalam pandangannya justru diversifikasi industri akan mendorong pertumbuhan industri melalui alih pengetahuan dari industri lain yang berhubungan dengan industri tersebut. Di samping itu, Jacob sependapat dengan Porter bahwa derajat persaingan yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan. Secara ringkas sebaran pengetahuan baik dari sesama industri maupun antar industri yang bisa memacu pertumbuhan. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang bersumber dari Survey Industri (SI) manufaktur yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik terhadap perusahaanperusahaan yang mempunyai jumlah tenaga kerja sebanyak 20 orang atau lebih (didefinisikan sebagai industri besar dan sedang). Data cross section yang diperlukan adalah data tahun 2001 dan tahun 2006 untuk masing-masing industri manufaktur besar dan menengah ISIC 2 digit sebanyak 23 kelompok industri yaitu: ISIC 15 (makanan dan minuman) , ISIC 16 (pengolahan tembakau), ISIC 17 (Tekstil), ISIC 18 (pakaian jadi), ISIC 19 (kulit dan barang dari kulit), ISIC 20 (kayu, barang-barang dari kayu tidak termasuk furnitur dan barang-barang anyaman), ISIC
21 (kertas dan barang dari kertas), ISIC 22 (penerbitan, percetakan dan reproduksi media rekaman), ISIC 23 (batu bara, pengilangan minyak bumi dan pengolahan gas bumi, barang-barang dari hasil pengilangan minyak bumi dan bahan bakar nuklir), ISIC 24 (kimia dan barang-barang dari bahan kimia), ISIC 25 (karet dan barang dari karet), ISIC 26 (barang galian bukan logam), ISIC 27 (logam dasar), ISIC 28 (barang dari logam, kecuali mesin dan peralatannya), ISIC 29 (mesin dan perlengkapannya), ISIC 30 (mesin dan peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data), ISIC 31 (mesin listrik lainnya dan perlengkapannya), ISIC 32 (radio, televisi dan peralatan komunikasi serta perlengkapannya), ISIC 33 (peralatan kedokteran, alat-alat ukur, peralatan navigasi, peralatan optik, jam dan lonceng), ISIC 34 (kendaraan bermotor), ISIC 35 (alat angkutan, selain kendaraan bermotor roda empat atau lebih), ISIC 36 (furnitur dan pengolahan lainnya), ISIC 37 (daur ulang). Penelitian ini menganalisis industri besar dan menengah di 11 kabupaten/kota di kawasan industri Jawa Tengah yaitu; Kota Surakarta, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Sragen, Kabupaten Klaten, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, Kota Semarang. Total data seharusnya ada 253 (11 x 23), namun tidak semua kabupaten/kota di kawasan industri tersebut mempunyai semua kelompok industri, sehingga perlu penyesuaian. kelompok industri yang diambil adalah kelompok industri yang dimiliki ke 11 kabupaten/kota di kawasan industri tersebut. Dari penyesuaian tersebut total data tinggal 93. Adapun data yang diperlukan adalah nilai output, nilai tambah, nilai investasi, jumlah tenaga kerja dan jumlah perusahaan.
JEJAK, Vo. 1, No. 2, Maret 2009
55
Definisi Oprasional Tabel 2. Definisi Variabel yang Digunakan Variabel Pertumbuhan Output (Output)
Definisi dan Pengukuran Pertumbuhan output adalah nilai pertumbuhan output yang dihasilkan oleh masing-masing industri ISIC 2 digit di 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah antara tahun 2001 dan 2006. Adapun pengukurannya: Yir = Ln [ Nilai output ir 2006/ Nilai output ir 2001]
Pertumbuhan Modal (Modal)
Pertumbuhan modal adalah pertumbuhan modal yang digunakan dalam kegiatan produksi untuk masing-masing kelompok industri ISIC 2 digit di 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pengukurannya:Iir = Ln [ Modal ir 2006/ Modal ir 2001]
Pertumbuhan Tenaga kerja (TK)
Pertumbuhan tenaga kerja adalah pertumbuhan jumlah orang yang bekerja di dimasing-masing industri 2 digit di 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Pengukurannya:TKir = Ln [Jumlah Tkir 2006/Jumlah TK ir 2001]
Spesialisasi (SI)
Spesialisasi adalah konsentrasi pada produk tertentu. Adapun pengukurannya dengan menggunakan indeks spesialisasi: Spir = Qsir (Pangsa output industri i di daerah r /Qsi Jateng Pangsa output industri i di Jawa Tengah ) Spir > 1 berarti industri i di daerah r memiliki pangsa yang lebih besar daripada pangsa industri di Jawa Tengah Spir<1 berarti tidak memiliki spesialisasi
Persaingan (CI)
Persaingan adalah banyaknya jumlah perusahaan yang memproduksi jenis industri tertentu. Adapun pengukurannya dg menggunakan indeks persaingan : Cir = [Firm/ output ]ir / [Firm/output ]i jateng Cir > 1 berarti lebih banyak perusahaan untuk suatu produksi tertentu pada suatu daerah relatif terhadap rata-rata perusahaan di Jawa Tengah/ lebih tinggi daerah tersebut tingkat persaingannya. Semakin tinggi indeksnya semakin tinggi tingkat persaingannya.
Keragaman (HHI)
Keberagaman adalah banyaknya jenis industri yang diproduksi. Adapun pengukurannya dengan menggunakan indeks Hirschman Herfindahl Index ( HHI): HHIir = ∑ S2 ik k≠ r HHI berkisar 0-1. HHI=0 berarti tidak ada konsentrasi atau terdapat keragaman yang sempurna. HHI=1 berarti semua industri lain terkonsentrasi pada satu industri. Kenaikan HHI mencerminkan menurunnya keragaman.
Alat Analisis Untuk menguji pengaruh investasi, tenaga kerja dan sebaran pengetahuan terhadap pertumbuhan industri dalam penelitian ini menggunakan alat analisis regresi berganda dengan metode persamaan kuadrat terkecil (ordinary least square/OLS). Adapun model dalam penelitian ini adalah sebagai berikut . Y ir = β0 + β 1X1ir + β 2 X2ir + β 3 X3ir + β 4X4ir + β5 X5ir + eir di mana: Y = Pertumbuhan output industri i = Industri (2 digit) r = Kab/kota di Jawa Tengah (1,...,11) β0 = Konstanta
56
β1,…β5 = koefisien regresi masing-masing variabel independen X1, X2, X3, X4, X5, masing-masing variabel pertumbuhan investasi, pertumbuhan tenaga kerja, spesialisasi, persaingan, dan keragaman. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik Uji normalitas Pendektesian residual (ui) berdistribusi secara normal dalam penelitian ini menggunakan Histogram dan Normal P- P Plot. Dari gambar 1 menunjukkan residual berdistribusi secara normal. Demikian juga jika dilihat pada gambar 2 pada Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Pengaruh Knowledge Spillovers Terhadap Pertumbuhan Industri . . . (Pujiati : 52 – 64)
Histogram
Dependent Variable: goutput
50
Frequency
40
30
20
10 Mean = -9.28E-17 Std. Dev. = 0.972 N = 93
0 -6
-4
-2
0
2
4
Regression Standardized Residual
Gambar 1. Histogram
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: goutput 1.0
Expected Cum Prob
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Observed Cum Prob
Gambar 2. Normal P-P Plo
Uji heteroskedastisitas Dari masing-masing variabel yang digunakan dalam studi ini adalah data silang tempat walaupun sudah dalam bentuk pertumbuhan dan indeks tetap saja akan mempunyai varians yang bervariasi pada setiap industri mengingat pertumbuhan output, investasi, tenaga kerja yang sangat bervariasi pada industri kabupaten/kota di Jawa Tengah. Dengan demikian, akan timbul permasalahan heteroskedastisitas. Dalam Penelitian ini deteksi heteroskedastisitas diuji melalui ARCH test dengan lag 1. Hasil uji bisa dilihat pada χ2 hitung (nilai Obs * R squared)
dibandingkan dengan nilai χ2 tabel atau dilihat dari signifikansinya (probability) dibandingkan dengan α yang digunakan Dari hasil perhituingan, menunjukkan model terbebas dari masalah heteroskedastisitas (tabel 3) nilai prob 0,760159 > α (0,05). Uji autokorelasi Gejala Autokorelasi umumnya terjadi pada data time series dan tidak pada silang tempat. Namun, untuk meyakinkan peneliti melakukan pengujian Autokorelasi dengan menggunakan uji LM dan lag yang digunakan 2. Pada tabel 6 hasil penghitungan
JEJAK, Vo. 1, No. 2, Maret 2009
57
uji LM menunjukkan nilai Prob χ2 hitung (nilai Obs * R squared ) sebesar 0,480191 > α (0,05 ).Hal ini menunjukkan model yang digunakan juga terbebas dari masalah Autokorelasi.
pada lampiran bahwa R2 (0,468958) > R21 (0,165993), R22 (0,181574), R23 (0,164930), R24 (0,076799), R25 (0,168717), sehingga dapat disimpulkan semua variabel terbebas dari masalah multikolinearitas
Tabel 3. Uji Heteroskedastisitas HASIL DAN PEMBAHASAN
ARCH Test: F-statistic
0,091258 Probability
0.763281
Obs*R-squared
0,093191 Probability
0.760159
Tabel 4. Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.681215 Probability
0.508743
Obs*R-squared
0.480191
1,467143 Probability
Uji multikolinearitas Untuk memastikan tidak adanya korelasi antara variabel penjelas, maka dilakukan serangkaian uji menggunakan program Eviews 3.1. Uji dilakukan dengan melihat besarnya korelasi parsial dibandingkan dengan R2 pada model yang digunakan. Menurut Gujarati (2003) rule of thumb jika nilai R2 > R2 (parsial) VIF dikatakan tidak ada korelasi antar variable bebas. Dari hasil perhitungan dapat dilihat
Tabel 5 berikut ini menyajikan ringkasan hasil estimasi dua model dengan jumlah observasi masing-masing 93 yang diolah dengan menggunakan Eviews 3.1. Model 1 estimasi fungsi produksi tanpa memasukkan variabel sebaran pengetahuan. Model ini sebagai pembanding untuk melihat seberapa besar perubahan perubahan R2 setelah dimasukkannya variabel sebaran pengetahuan. Model 2 merupakan model estimasi yaitu fungsi produksi yang memasukkan variabel sebaran pengetahuan dan Model 2 merupakan model yang dipilih. Nilai R2 dan Adj R2 yang lebih tinggi pada model 2 dibandingkan model 1 menunjukkan model yang dipilih adalah baik. Artinya variabel sebaran pengetahuan terbukti berpengaruh terhadap pertumbuhan output dibandingkan apabila hanya mengestimasi fungsi produksi konvensional yang hanya memasukkan modal dan tenaga kerja.
Tabel 5. Hasil Estimasi Pengujian Hipotesis Eksternalitas Dinamis MAR (Marshall – Arrow - Romer), Porter, Jacobs terhadap Pertumbuhan Industri Di Kawasan Industri Jawa Tengah Dependen variabel : Pertumbuhan Output Konstanta ( C ) Pertumbuhan Modal ( Modal ) Pertumbuhan Tenaga Kerja ( TK )
Model 1 0,230779 ( 1,789307 ) 0,0932263 (0,970535 ) 1,079698 ( 6,669829 )*
Spesialisasi ( SI ) Persaingan ( CI ) Keberagaman ( HHI ) R2 Adj R2 F DW test
0,391233 0,377705 28,91987 2,128299
2 0,257587 (1,159078 ) 0,109960 (1,181423 ) 0,974583 ( 6,157454 )* -0,182758 (-2,686964 )** 0,007031 (0,622864 ) 0,656547 (0,896250 ) 0,468958 0,438439 15,36579 1,909547
Catatan: * signifikan α = 1 % ; * * signifikan α = 5 % ; ( ) Angka dalam kurung menunjukkan nilai t- statistik 58
Pengaruh Knowledge Spillovers Terhadap Pertumbuhan Industri . . . (Pujiati : 52 – 64)
Pada tabel 5 dapat dilihat bahwa estimasi parameter spesialisasi menunjukkan tanda negatif pada model yang dipilih. Hasil temuan ini menunjukkan tanda yang berlawanan dari teori MAR dan Porter yang memprediksikan adanya hubungan positif antara spesialisasi industri dengan pertumbuhan industri. Hasil temuan untuk spesialisasi menunjukkan tanda negatif yang berarti adanya spesialisasi justru menurunkan pertumbuhan industri. Hal ini disebabkan karena spesialisasi yang berarti konsentrasi industri dianggap tidak bisa menciptakan inovasi – inovasi baru yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan. Namun nilai absolut t yang didapat adalah 2,686964, sehingga bisa disimpulkan bahwa spesialisasi industri berpengaruh secara statistik terhadap pertumbuhan. Hipotesis yang menyatakan adanya hubungan positif antara spesialisasi dengan pertumbuhan output menjadi diitolak. Hasil temuan ini konsisten dengan temuan dari penelitian sebelumnya di mana Sjoholm (1999) dalam penelitian yang lebih luas yaitu kabupaten/kota diseluruh Indonesia pada tahun 1980–1991 juga tidak ditemukan hubungan yang positif antara spesialisasi dengan pertumbuhan output industri. Beberapa penelitian sebelumnya pada negara dan lokasi penelitian yang berbeda, seperti yang dilakukan oleh Glaeser dkk (1992), King dkk (2000), Van Stel dan Niewenhuijsen (2002), Van Soest (2002) juga menemukan hal yang sama.
berpengaruh terhadap pertumbuhan output pada tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Keberagaman industri pada kabupaten/kota dari hasil estimasi menunjukkan tanda yang positif. Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Sjoholm (1999) dan konsisten dengan teori Jacobs mengenai keragaman industri, semakin tinggi tingkat keragaman industri di suatu daerah maka akan semakin meningkatkan efek sebaran dan selanjutnya mempertinggi pertumbuhan industri. Namun demikian, nilat t-test juga sangat rendah, sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian ini dengan menggunakan data industri besar dan menengah di Jawa Tengah ternyata keragaman industri tidak signifikan terhadap pertumbuhan inidustri. Hasil empiris di atas menunjukkan bahwa variable sebaran pengetahuan yang diyakini oleh banyak pakar ekonomi industri perkotaan sebagai mesin pertumbuhan, ternyata dari data yang ada tidak menunjukkan pengaruh yang besar bagi pertumbuhan industri di Indonesia khususnya di kawasan industri Jawa Tengah.
Estimasi parameter persaingan menunjukkan tanda positif. Hasil ini sesuai dan mendukung teori Porter yang menyatakan bahwa persaingan perusahaan dalam suatu industri akan mendorong pertumbuhan, dan disisi lain menolak teori MAR yang beranggapan justru monopoli lokal meningkatkan pertumbuhan. Persaingan akan mempercepat proses imitasi dan penemuan ide-ide baru yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan output.
Setidaknya ada empat intrepretasi yang berbeda dalam menjelaskan fenomena ini, pertama, Glaeser dkk (1992) menyatakan bahwa dalam konsep life-cycle industry, eksternalitas hanya berperan penting pada tahap-tahap awal pengembangan. Kedua, Krugman (1991) dalam King dkk (2000) menyatakan bahwa pada industri yang telah berkembang, ketergantungan kepada tenaga kerja yang melimpah, specialis input dan sebaran pengetahuan kurang begitu penting. Ketiga, Enreight (1998) dalam King dkk (2000) berpendapat bahwa eksternalitas yang membantu perkembangan pada awal pada suatu lokasi memberikan efek yang tidak sama bagi pertumbuhan industri. Keempat, Sjoholm (1999) melihat bahwa tidak terbuktinya spesialisasi dan persaingan pada industri di daerah-daerah Indonesia menunjukkan produktivitas industri yang rendah.
Nilai t-test dari estimasi persaingan juga sangat rendah atau dengan kata lain tidak signifikan secara statistik. Artinya, berdasarkan data yang ada, hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang positif antara persaingan dengan pertumbuhan output tidak bisa diterima. Temuan ini konsisten dengan hasil empiris yang didapatkan oleh Sjoholm (1999) bahwa tingkat persaingan tidak terbukti
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, peneliti lebih cenderung menerima pendapat Sjoholm (1999) mengingat bahwa Indonesia masih berada pada tahap awal pengembangan industri, sedangkan pendapat pertama sampai tiga lebih ditujukan kepada eksternalitas pada tahapan pengembangan industri yang telah mapan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses imitasi dan aktifitas inovasi
JEJAK, Vo. 1, No. 2, Maret 2009
59
kratif yang menimbulkan ide-ide baru ternyata secara umum tidak berkembang dengan baik pada industriindustri di Indonesia khususnya di Jawa Tengah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Hasil temuan dari studi ini tidak menemukan pengaruh yang signifikan antara keberagaman dan pertumbuhan output meskipun mempunyai hubungan yang positif. b. Temuan lainnya adalah koefisien spesialisasi yang negatif dan signifikan secara statistik. Artinya studi ini tidak mendukung teori MAR dan Porter yang beranggapan bahwa industri yang berspesialisasi di suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan industri. c. Tingkat persaingan industri di suatu daerah diyakini Porter dan Jacobs akan meningkatkan pertumbuhan industri. Hasil studi ini tidak menemukan adanya pengaruh tingkat persaingan industri di Kawasan industri di Jawa Tengah terhadap pertumbuhan industri. Saran a. Hasil studi menunjukkan spesialisasi industri di kawasan industri di Jawa Tengah belum mampu mendorong pengembangan ide-ide yang kreatif dan inovatif yang mempercepat pertumbuhan industri. Untuk itu pemerintah kota perlu memfasilitasi dan menciptakan iklim yang kondusif misalnya pelatihan teknis, menyediakan informasi dan pusat-pusat pengembangan produk, mengikutkan pameran baik tingkat nasional maupun internasional. b. Penciptaan ide-ide kreatif yang mendorong pertumbuhan bisa datang dari industri lain yang tidak sejenis (keberagaman). Namun, ini tidak terjadi di kawasan penelitian, untuk itu pemerintah kota perlu mendorong pengembangan industri lain yang terkait baik langsung maupun tidak langsung.
60
DAFTAR PUSTAKA Audretsch, D.B., dan Feldman, M.P, 1996, “R & D Spillovers and the Geography of Innovation and Production “, American Economic Review, Vol.86 (3), Juni, 630. Badan Pusat Statistik, Survey Industri Besar dan Menengah tahunan _____ , Jawa Tengah dalam Angka 2001 – 2006. Gao, Ting, 2003, “ Regional Industrial Growth: Evidence From Chinese Industries, Regional Science and Urban Economics, I (2003) 000000, www.elsevier.com/locate/econbase. Glaeser,E.l.,Kallal, H.D.,Scheinkman, J.A., & Shleifer,A, 1992, “Growth in Cities “Journal of Political Economy,100(6), 1126 – 1152 Gujarati, D, 2003, Basic Econometrics, New York, Mc Graw Hill inc Gusnady, Indra, 2004, ”Sebaran Pengetahuan, Produktivitas dan Pertumbuhan Sektor Industri Manufaktur Kabupaten/kota di Pulau Jawa 1991-1996”, Tesis Program Studi IESP PPSUGM Yogyakarta, Tidak dipublikasikan. Kuncoro, Mudrajad, 2002, Analisis Spasial dan Regional, Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia, Yogyakarta: AMP YKPN Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, 2003, ( RTRW ) Jawa Tengah 2003 - 2018 Ray, David, 1995,” Paradigma New Growth: Teori dan Implikasinya terhadap Kebijakan”, Prisma 3, Maret, 63-76. Sjoholm, F, 2000, “Productivity Growth in Indonesia: The Role of Regional Characteristics and Direct Investment,”, Economic Development and Cultural Change, 47 (3), 559-584. Tambunan, Tulus T.H, 2001, Transformasi Ekonomi di Indonesia, Teori dan Penemuan Empiris, Jakarta, Salemba Empat Todaro, Michael P, 2000, Pembangunan Ekonomi di Dunia ketiga, Jakarta: Erlangga Van Oort, F.G, 2002, Agglomeration, Economic Growth and Inovation: Spatial Analysis of Growth and R&D Externalities in the Netherlands, Utrecht. Van Soest, Daan P, 2002, “Knowledge Externalities, Agglomeration Economies, and Employment Growth in Dutch Cities”, CentER, Tilburg University, Nederland, No. 2002-41, 1-24.
Pengaruh Knowledge Spillovers Terhadap Pertumbuhan Industri . . . (Pujiati : 52 – 64)
LAMPIRAN 1
Hasil Estimasi Model 1 Dependent Variable: OUTPUT Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 10:10 Sample: 1 93 Included observations: 93 Variable Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C MODAL TK R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.230779 0.093263 1.079698 0.391233 0.377705 1.162256 121.5756 -144.4203 2.128299
0.128977 1.789307 0.096094 0.970535 0.161878 6.669829 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.0769 0.3344 0.0000 0.170844 1.473342 3.170330 3.252027 28.91987 0.000000
Dependent Variable: OUTPUT Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 09:02 Sample: 1 93 Included observations: 93 Variable Coefficient C 0.298564 MODAL 0.109960 TK 0.974583 SI -0.182758 CI 0.007031 HHI 0.656547 R-squared 0.468958 Adjusted R-squared 0.438439 S.E. of regression 1.104084 Sum squared resid 106.0532 Log likelihood -138.0686 Durbin-Watson stat 1.909547
Std. Error t-Statistic 0.257587 1.159078 0.093075 1.181423 0.158277 6.157454 0.068017 -2.686964 0.011288 0.622864 0.732549 0.896250 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.2496 0.2407 0.0000 0.0086 0.5350 0.3726 0.170844 1.473342 3.098250 3.261644 15.36579 0.000000
Model 2
JEJAK, Vo. 1, No. 2, Maret 2009
61
LAMPIRAN 2 Uji Multikolinearitas Pendekatan Korelasi parsial Dependent Variable: MODAL Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 09:59 Sample: 1 93 Included observations: 93 Variable C TK SI CI HHI R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Dependent Variable: TK Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 10:01 Sample: 1 93 Included observations: 93 Variable C MODAL SI CI HHI R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
62
Coefficient -0.019916 0.622490 0.111777 -0.000154 1.287281 0.165993 0.128083 1.264532 140.7156 -151.2189 2.092317
Coefficient -0.114264 0.215258 -0.058487 0.011857 -0.157447 0.181574 0.144372 0.743606 48.65963 -101.8409 2.191057
Std. Error t-Statistic 0.295013 -0.067510 0.168696 3.690003 0.076984 1.451946 0.012929 -0.011944 0.827706 1.555239 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.9463 0.0004 0.1501 0.9905 0.1235 0.401212 1.354230 3.359546 3.495707 4.378669 0.002823
Std. Error t-Statistic 0.173058 -0.660263 0.058335 3.690003 0.045383 -1.288724 0.007497 1.581598 0.493090 -0.319306 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.5108 0.0004 0.2009 0.1173 0.7503 -0.090167 0.803898 2.297654 2.433815 4.880855 0.001333
Pengaruh Knowledge Spillovers Terhadap Pertumbuhan Industri . . . (Pujiati : 52 – 64)
Dependent Variable: SI Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 10:04 Sample: 1 93 Included observations: 93 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C TK MODAL CI HHI R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
2.356033 -0.316709 0.209307 -0.022403 -3.431151 0.164930 0.126972 1.730395 263.4954 -180.3881 1.748577
0.316073 7.454087 0.245754 -1.288724 0.144156 1.451946 0.017530 -1.277998 1.088279 -3.152823 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.0000 0.2009 0.1501 0.2046 0.0022 1.527051 1.851958 3.986840 4.123002 4.345092 0.002969
Dependent Variable: CI Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 10:05 Sample: 1 93 Included observations: 93 Variable C SI TK MODAL HHI R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Dependent Variable: HHI Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 10:06 Sample: 1 93 Included observations: 93 Variable C CI SI TK MODAL R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient 4.298131 -0.813353 2.331063 -0.010498 10.93020 0.109554 0.069079 10.42627 9566.218 -347.4141 1.669754
Coefficient 0.260824 0.002595 -0.029580 -0.007350 0.020781 0.168717 0.130931 0.160666 2.271597 40.65213 0.959440
Std. Error t-Statistic 2.388949 1.799172 0.636428 -1.277998 1.473866 1.581598 0.878936 -0.011944 6.818892 1.602929 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.0754 0.2046 0.1173 0.9905 0.1125 5.451886 10.80618 7.578798 7.714959 2.706717 0.035293
Std. Error t-Statistic 0.025139 10.37509 0.001619 1.602929 0.009382 -3.152823 0.023019 -0.319306 0.013362 1.555239 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.0000 0.1125 0.0022 0.7503 0.1235 0.238805 0.172344 -0.766713 -0.630551 4.465114 0.002480
JEJAK, Vo. 1, No. 2, Maret 2009
63
LAMPIRAN 3 Uji Heteroskedastisitas ARCH Test: F-statistic Obs*R-squared
0.091258 0.093191
Probability Probability
0.763281 0.760159
Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 09:55 Sample(adjusted): 2 93 Included observations: 92 after adjusting endpoints Variable C RESID^2(-1) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
Coefficient 1.186032 -0.031835 0.001013 -0.010087 3.353186 1011.947 -240.8431 2.001394
Std. Error t-Statistic 0.370081 3.204791 0.105383 -0.302089 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.0019 0.7633 1.149351 3.336401 5.279198 5.334020 0.091258 0.763281
LAMPIRAN 4 Uji Autokorelasi Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic 0.681215 Probability Obs*R-squared 1.467143 Probability
0.508743 0.480191
Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 11/16/08 Time: 09:57 Variable C MODAL TK SI CI HHI RESID(-1) RESID(-2) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
64
Coefficient 0.003480 -0.018595 -0.009598 -0.000989 0.001230 -0.015244 0.053775 -0.120008 0.015776 -0.065278 1.108152 104.3801 -137.3292 2.004591
Std. Error t-Statistic 0.261353 0.013314 0.094898 -0.195952 0.160002 -0.059984 0.069638 -0.014199 0.011412 0.107798 0.736863 -0.020687 0.112242 0.479094 0.110245 -1.088553 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.9894 0.8451 0.9523 0.9887 0.9144 0.9835 0.6331 0.2794 -1.30E-16 1.073663 3.125359 3.343217 0.194633 0.985846
Pengaruh Knowledge Spillovers Terhadap Pertumbuhan Industri . . . (Pujiati : 52 – 64)
MODEL TABUNGAN RUMAH TANGGA KOTA SEMARANG Efriyani Sumastuti STIP Farming Semarang email:
[email protected]
ABSTRACT The study is aimed to estimating the household saving model appropriately applied in Semarang city. A cross-section household survey was conducted in Semarang city. The survey included two hundred and seventy selected samples and 5 stratified occupational background of the head of the family; (1) farmer and fisherman, (2) labor, (3) businessman, (4) civil servant, military members, and police officers, (5) retired persons and others. Life Cycle Hypothesis (LCH), Permanent Income Hypothesis (PIH), Life Cycle – Permanent Income Hypothesis (LC-PIH) and the extended LC-PIH, estimated with the log-linear OLS method, were employed to analyze and select the best household saving model. The estimation result showed that the best model was LC-PIH II, whereas the best model in accordance with the type of occupation was the following (1) Labor: LC-PIH III, (2) Businessman: PIH, (3) Civil Servant, Military Members, and Police Officers: LC-PIH II and (4) Retired Persons and others: LC-PIH II. The synthesized model of LC-PIH gives an important contribution on the household saving model. Besides, study in the same field with the two additional variables in the LC-PIH model (insurance and rational expectations) as well as five stratified occupations had not been conducted. Finally, further study is needed, especially those which include more specific sample and the usage of different model and stratification. Keywords: household saving, occupation, LC-PIH model na merupakan bagian dari pendapatan keluarga. Persentase tabungan masyarakat terhadap tabungan nasional dapat dilihat pada Tabel 1.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pada umumnya negara sedang berkembang selalu menghadapi permasalahan terbatasnya dana untuk membiayai investasi yang cukup besar. Menurut Kuncoro (1997), investasi merupakan salah satu mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Untuk keperluan tersebut telah dilakukan usaha yang intensif untuk memobilisasi tabungan dari berbagai sumber. Usaha memobilisasi tabungan atau menghimpun dana pihak ketiga ditentukan oleh kesanggupan dan kemauan masyarakat dari sisi penabung serta peran (fungsi intermediasi) perbankan dari sisi penghimpun dana. Ketidakserasian hubungan antara masyarakat dan perbankan sering menghambat usaha untuk memobilisasi tabungan (Suryana, 2000). Arsyad (1999) menyatakan bahwa tabungan masyarakat ditentukan oleh perilaku tabungan perusahaan dan perilaku tabungan rumah tangga. Di negara berkembang, tabungan perusahaan relatif kecil sebab sektor perusahaan kecil. Pada perusahaan milik keluarga, tabungan perusahaan bukan merupakan bagian penting dalam perusahaan kare-
Pada Tabel 1 ditunjukkan bahwa rata-rata persentase tabungan masyarakat terhadap tabungan nasional sekitar 80 % selama kurun waktu 11 tahun. Besarnya tabungan di Indonesia sangat berfluktuasi mulai tahun 1997 sampai tahun 2005. Fluktuasi yang paling tajam terjadi antara tahun 1997 dan 1999. Hal tersebut terjadi karena dampak dari krisis ekonomi tahun 1996. Setiap perekonomian harus mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatannya untuk menambah atau menggantikan barangbarang modal yang susut atau rusak. Jawa Tengah secara administratif terdiri dari 29 Kabupaten dan 6 Kota dengan karakteristik yang berbeda. Perbedaan lokasi antara Kabupaten dan Kota mengakibatkan perbedaan perilaku menabung rumah tangga, seperti pada Gambar 1. Perbedaan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Gupta (1970) di India, yang menemukan bahwa keinginan menabung di daerah perkotaan lebih besar daripada di daerah pedesaan.
JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
65
Tabel 1. Persentase Tabungan Masyarakat dan Nasional Indonesia (dalam triliun rupiah) Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
% Tabungan Tabungan Tabungan Masyarakat terhadap Masyarakat Nasional Tabungan Nasional 74,2 26,7 19,8 77,1 34,1 26,3 67,5 36,6 24,7 90,8 97 88,1 85,1 71,6 60,9 87,0 80,2 69,8 88,9 89,1 79,2 81,2 102,6 83,35 71,9 93,45 67,2 77,4 112,4 86,95 78,0 131,2 102,3
Sumber : BPS, 1997 – 2006, diolah
Besarnya proporsi tabungan masyarakat-PDRB wilayah Kota di Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 2. Dari Tabel 2 (Lampiran) diketahui bahwa proporsi tabungan masyarakat-PDRB Kota Semarang paling tinggi daripada wilayah Kota lain di Jawa Tengah. Oleh sebab itu Kota Semarang dipilih sebagai lokasi penelitian ini karena mempunyai potensi tabungan yang relatif tinggi dibandingkan wilayah Kota lain di Jawa Tengah. Secara empiris, penelitian tentang tabungan rumah tangga telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain oleh: 1. Loayza dan Shankar (2000), dilakukan di India pada tahun 1994, menyatakan bahwa proporsi tabungan rumah tangga adalah 19,83 % dari Private Disposible Income (PDI) dan tabungan perusahaan sebesar 3,46 % dari PDI. 2. Kray (2000), dilakukan di China pada tahun 1995 dengan proporsi 43,94 % dari Gross National
Sumber: SEKD Jawa Tengah, 2003 dan 2006 diolah Gambar 1. Proporsi Tabungan Masyarakat-PDRB di Jateng (%)
Sumber: SEKD Jawa Tengah, 2003 dan 2006 diolah Gambar 2. Proporsi Tabungan Masyarakat-PDRB 6 Kota di Jawa Tengah (%)
66
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang . . . (Sumastuti : 65 – 79)
Saving (GNS) merupakan tabungan swasta, 1,27 % tabungan pemerintah dan 25,61 % tabungan rumah tangga. 3. Sutarno (2005), dilakukan di Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan rumah tangga untuk menabung sebesar 27 %. Model tabungan rumah tangga yang banyak digunakan adalah model Keynes. Tetapi model ini hanya menggambarkan perilaku tabungan rumah tangga dalam jangka pendek, berasumsi bahwa fungsi tabungan merupakan fungsi linier dan ditentukan oleh besarnya pendapatan. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan alur pemikiran di atas memberi indikasi pentingnya upaya untuk mengetahui perilaku dan model tabungan rumah tangga, khususnya di Kota Semarang. Untuk keperluan tersebut diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku dan model tabungan rumah tangga. Tabungan rumah tangga dalam penelitian ini merupakan selisih antara pendapatan rumah tangga dan pengeluaran rumah tangga, atau bagian pendapatan rumah tangga yang tidak digunakan untuk keperluan konsumsi rumah tangga. Teori dan model tabungan, pada awalnya didasarkan pada pendapat Keynes, yang kemudian berkembang menjadi hipotesis pendapatan relatif, hipotesis pendapatan permanen, hipotesis siklus hidup, overlapping generation model, ekspektasi rasional dan hipotesis siklus hidup-pendapatan permanen. Untuk itu perlu dirumuskan teori dan model tabungan yang diikuti untuk keperluan kebijakan di masa yang akan datang, khususnya yang berkaitan dengan tabungan rumah tangga. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah penelitian adalah: model perilaku tabungan rumah tangga Kota Semarang masih jarang dan sulit diketahui, sehingga perlu ditentukan/dipilih model terbaik. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi dan membangun model tabungan rumah tangga di Kota Semarang. Adapun kegunaan penelitian untuk
memberikan informasi sebagai dasar pertimbangan, pendukung dan sumbangan pemikiran pada perencana dan pengambil keputusan dalam usaha memobilisasi tabungan yang berkaitan dengan model tabungan rumah tangga. Di samping itu untuk memperkaya penelitian, khususnya tentang model tabungan rumah tangga, serta dapat dipergunakan sebagai pembanding untuk penelitian selanjutnya, baik dalam model, cara analisis maupun hasilnya. LANDASAN TEORI Tabungan menurut Klasik Menurut kaum klasik, tabungan merupakan fungsi dari tingkat bunga dengan hubungan positif. Salah satu tokoh kaum klasik yang mengembangkan teori ini adalah Wicksell (Vieneris,1977), yang menyatakan bahwa tingginya minat masyarakat untuk menabung dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Tingkat bunga yang semakin tinggi mengakibatkan jumlah tabungan semakin meningkat, karena terjadi akumulasi aset. Kelemahan klasik adalah pada kepercayaannya atas sistem laissez faire. Suatu perekonomian yang menganut sistem tersebut, menurut kaum klasik, mempunyai kemampuan untuk menghasilkan tingkat kegiatan ekonomi yang full employment secara otomatis tanpa memerlukan campur tangan pemerintah. Pada kenyataannya kondisi full employment tersebut tidak pernah terjadi. Selain itu, teori klasik juga melakukan pemisahan antara sektor moneter dan sektor riil, yang masing-masing sektor tidak saling mempengaruhi (Boediono, 2001). Padahal kenyataannya kedua sektor tersebut bisa saling mempengaruhi. Tabungan menurut Keynes Dalam teori Keynesian, tingkat bunga tidak ditentukan oleh interaksi tabungan dan investasi di pasar modal, tetapi merupakan fenomena moneter. Perubahan tingkat bunga akan mempengaruhi keinginan untuk investasi sektor perusahaan, karena investasi sangat senstitif terhadap tingkat bunga. Menurut Keynesian, tabungan ditentukan oleh tingkat pendapatan saat ini (current income).
JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
67
Teori Keynes konsisten/sejalan dengan teori klasik, karena sama-sama berorientasi pada preferensi rumah tangga untuk memaksimumkan utility, tetapi dengan sudut pandang yang berbeda. Teori klasik mendasarkan pada tingkat bunga. Apabila tingkat bunga berubah akan mengakibatkan garis anggaran/budget line bergeser secara berputar sehingga kurva indiferen bergeser. Teori Keynes mendasarkan pada pendapatan yang terjadi saat ini (current income). Apabila pendapatan berubah akan mengakibatkan garis anggaran bergeser sejajar sehingga terjadi pergeseran kurva indiferen. Tabungan menurut hipotesis pendapatan permanen Hipotesis pendapatan permanen dikemukakan pertama kali oleh Friedman (1957). Hipotesis ini membedakan pendapatan menjadi dua, yaitu pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Secara umum dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan sementara maka rasio tabungan juga semakin tinggi. Tabungan menurut hipotesis siklus hidup Hipotesis siklus hidup ditulis oleh Modigliani, Ando dan Brumberg(1963), didasarkan pada maksimisasi kepuasan sepanjang waktu hidup dengan kendala/pembatas kekayaan. Hubungan antara konsumsi/tabungan dan pendapatan sepanjang hidup dapat dilihat pada Gambar 3. Dari Gambar 3
tersebut, diketahui bahwa konsumsi mengalami peningkatan secara bertahap sepanjang hidup. Pendapatan meningkat secara cepat dari tahun awal bekerja sampai mencapai puncak dan kemudian menurun pada saat pensiun. Pola konsumsi dan pendapatan tersebut akan menentukan besarnya saving dan dissaving selama periode kehidupan. Tabungan menurut hipotesis siklus hiduppendapatan permanen (LC-PIH) Kombinasi dari teori siklus hidup dan pendapatan permanen dinamakan life cycle-permanent income hypothesis (LC-PIH). Meskipun dalam tahap perkembangannya berbeda, keduanya mempunyai banyak hal untuk digabung dan sampai saat ini dianut oleh semua ahli ekonomi (Dornbusch, 2001). Model tabungan yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah sintesis antara model life cycle hypothesis dan permanent income hypothesis (LC-PIH). Sintesis LC-PIH didasarkan pada asumsi bahwa pasar modal adalah sempurna, sehingga individu dapat meminjam untuk keperluan konsumsi. Asumsi LC-PIH ini dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada di Indonesia umumnya, yang mempunyai karakteristik tingkat pendapatan relatif rendah dan konsumtif, kondisi sosial ekonomi antar daerah sangat berbeda serta Jumlah pengangguran tinggi. Karakteristik tersebut mengakibatkan perbedaan perilaku dan pola hidup. Model LC-PIH dalam penelitian ini merupakan pengembangan model LC-PIH dari Lakshmi dan
Sumber: Froyen (2002) Gambar 3. Konsumsi/Tabungan dan Pendapatan Sepanjang Hidup 68
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang . . . (Sumastuti : 65 – 79)
Arvind (1990), dengan memasukkan variabel demografi, kondisi sosial ekonomi dan asuransi. Penggunaan model ini karena beberapa alasan, antara lain adalah: 1. Terdapat substitusi antara tabungan dan kredit, sedangkan pada model lain hal tersebut tidak diakomodir 2. Tabungan dalam model LC-PIH ditentukan tidak hanya oleh pendapatan saja, tetapi ditentukan oleh banyak faktor termasuk demografi, kondisi sosial ekonomi dan kredit. Dalam studi ini ditambahkan dua variabel penentu tabungan, yaitu asuransi dan ekspektasi rasional serta dilakukan stratifikasi berdasarkan 5 jenis pekerjaan pokok kepala rumah tangga. Penambahan variabel dan stratifikasi 5 jenis pekerjaan ini belum pernah dilakukan. Pada umumnya variabel yang banyak digunakan adalah yang termasuk dalam variabel fundamental dengan stratifikasi umur atau 2 jenis pekerjaan. METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Obyek penelitian adalah semua rumah tangga yang kepala rumah tangga (kepala keluarga) mempunyai pekerjaan, dan penduduk Kota Semarang. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kota Semarang (populasi penelitian) sebanyak 581.883 orang (41% dari total penduduk). Metode pengambilan sampel dilakukan secara proportionate stratified random sampling. Dasar stratifikasi adalah pada jenis pekerjaan/ mata pencaharian, yang dibedakan menjadi lima jenis pekerjaan, yaitu: petani dan nelayan; buruh dan angkutan; pedagang dan pengusaha; PNS, TNI dan POLRI serta pensiunan dan lainnya. Jumlah sampel yang digunakan dihitung dengan menggunakan rumus yang dikembangkan Isaac dan Michael (Sugiyono, 2001). Berdasarkan Tabel jumlah sampel dari populasi tertentu dengan taraf kesalahan 10%, maka digunakan sampel sebanyak 270.
Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah tabungan rumah tangga, yang merupakan selisih antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (rupiah). 2. Variabel independen terdiri atas: a. Pendapatan permanen, diproksi dengan jumlah pendapatan dari pekerjaan pokok. b. Pendapatan sementara, diproksi dengan jumlah pendapatan pekerjaan sampingan c. Umur kepala rumah tangga (tahun) d. Pendidikan kepala rumah tangga merupakan jenjang pendidikan yang pernah dicapai oleh responden secara formal, diukur dalam satuan tahun. e. Jumlah kredit rumah tangga, dinyatakan sebagai variabel dummy f. Dependency ratio, diproksi dengan jumlah anggota rumah tangga yang tidak bekerja dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga yang bekerja. g. Harapan hidup, dihitung dengan angka harapan hidup daerah penelitian (Kota Semarang) dikurangi rata-rata umur dari anggota rumah tangga (Kwack, 2003). h. Ekspektasi rasional merupakan persepsi responden terhadap inflasi (%). i. Asuransi, dinyatakan sebagai variabel dummy. j. Jenis Pekerjaan dinyatakan sebagai variabel dummy. Dalam penelitian ini jenis pekerjaan dibedakan menjadi 5, yaitu: petani dan nelayan; buruh dan angkutan; pedagang dan pengusaha; PNS, TNI dan POLRI serta pensiunan dan lainnya. Metode Pengumpulan Data Untuk menganalisis dan membangun model tabungan rumah tangga, maka diperlukan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dengan melakukan wawancara kepada responden, yang meliputi: identitas responden (umur kepala rumah tangga; tingkat pendidikan kepala rumah
JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
69
tangga; jenis kelamin; jumlah anggota rumah tangga; jumlah anggota rumah tangga yang bekerja yang tidak bekerja; pekerjaan pokok dan sampingan anggota rumah tangga yang bekerja), pendapatan rumah tangga dan sumbernya, tabungan rumah tangga, pengeluaran/ konsumsi rumah tangga, pinjaman/ kredit rumah tangga, kepemilikan asuransi dan ekspektasi rasional terhadap inflasi. Data sekunder yang diperlukan adalah data sebagai penunjang dalam penelitian, yang diperoleh dari buku, jurnal, laporan hasil penelitian, publikasi ilmiah serta data-data dari instansi yang terkait yaitu Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) dan BPS dengan berbagai terbitan. Metode Analisis Data Untuk proses analisis, maka dalam penelitian ini digunakan model log-linier, yang didasarkan pada fungsi utility (Lakshmi dan Arvind, 1990): 1. Model LCH
ln S = −a 0 + c 3 ln YP + b 3 ln AGE + b 4 ln ED + b 5 D job1 + b 6 D job 2 + b 7 D job 3 + b 8 D job 4
+ b 9 ln HDP + b10 ln DR + u
(1)
2. Model PIH ln S = −a 0 + c 3 ln YP + c 4 ln YT + u
(2)
3. Model LC-PIH
ln S = −a 0 + c 3 ln YP + c 4 ln YT + b 3 ln AGE + b 4 ln ED + b 5 D job1 + b 6 D job 2 + b 7 D job 3 + b 8 D job 4 + b 9 ln HDP + b 10 ln DR +c 6 Kred + u
(3)
4. Model LC-PIH I
ln S = −a 0 + c 3 ln YP + c 4 ln YT + b 3 ln AGE + b 4 ln ED + b 5 D job1 + b 6 D job 2 + b 7 D job 3 + b 8 D job 4 + b 9 ln HDP + b 10 ln DR +c 6 Kred + c 7 As + u
(4)
5. Model LC-PIH II ln S = −a 0 + c 3 ln YP + c 4 ln YT + b 3 ln AGE 70
+ b 4 ln ED + b 5 D job1 + b 6 D job 2 + b 7 D job 3 + b 8 D job 4 + b 9 ln HDP + b 10 ln DR +c 6 Kred + c 8 ln Rateks + u
(5)
6. Model LC-PIH III ln S = −a 0 + c 3 ln YP + c 4 ln YT + b 3 ln AGE + b 4 ln ED + b 5 D job1 + b 6 D job 2 + b 7 D job 3 + b 8 D job 4 + b 9 ln HDP + b 10 ln DR +c 6 Kred
+ c 7 As + c 8 ln Rateks + u
(6)
Penjelasan persamaan : S = a,b, c = u = DR = AGE = ED =
tabungan rumah tangga koefisien parameter error dependency ratio umur kepala rumah tangga (tahun) tingkat pendidikan kepala rumah tangga (tahun) Djob1 = variabel dummy, 1 untuk pekerjaan buruh dan bangunan; 0 untuk lainnya Djob2 = variabel dummy, 1 untuk pekerjaan pengusahan dan pedagang; 0 untuk lainnya Djob3 = variabel dummy, 1 untuk pekerjaan PNS, TNI dan POLRI; 0 untuk lainnya Djob4 = variabel dummy, 1 untuk pekerjaan pensiunan dan lainnya; 0 untuk lainnya HDP = harapan hidup rumah tangga (tahun) Yp = pendapatan permanen rumah tangga (rupiah) YT = pendapatan sementara rumah tangga (rupiah) Kred = kredit/pinjaman, merupakan variabel dummy, 1 untuk rumah tangga yang mempunyai pinjaman dan 0 untuk yang tidak mempunyai Rateks = ekspektasi rasional rumah tangga terhadap inflasi (%) As = asuransi, merupakan variabel dummy, 1 untuk rumah tangga yang mempunyai asuransi dan 0 untuk yang tidak mempunyai Analisis tersebut di atas juga dilakukan terhadap jenis pekerjaan yang berbeda dengan jumlah sampel dominan (buruh dan angkutan; pengusaha dan pedagang; PNS, TNI dan POLRI serta pensiunan dan lainnya). Dengan melakukan perbandingan model dan beberapa uji terhadap model
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang . . . (Sumastuti : 65 – 79)
tersebut di atas, maka akan ditemukan model yang paling layak/baik. Untuk memperoleh dan memilih model empirik yang baik, estimasi model harus memenuhi kriteria dari Thomas (1997); Insukindro (1998) dan Gujarati (2003). HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil estimasi log-linier terhadap model LCH, PIH, LC-PIH, LC-PIH I, LC-PIH II dan LC-PIH III (Lampiran; Tabel 2 dan 3) secara keseluruhan/total, model LC-PIH II merupakan model yang baik/nested. Hasil uji diagnostik dan uji stabilitas parameter model LC-PIH II menunjukkan bahwa model ini lolos dari asumsi klasik OLS, perkiraan parameter stabil dan memenuhi syarat konsistensi kestabilan parameter. Nilai koefisien regresi model LC-PIH II konsisten dengan teori, dengan nilai R2 adjusted lebih besar dibandingkan hasil estimasi model lainnya serta mempunyai nilai AIC dan SC lebih rendah daripada model lainnya. Nilai koefisien regresi semua model yang dianalisis konsisten dengan teori, tetapi model PIH, LC-PIH dan LC-PIH I tidak lolos dari asumsi klasik OLS (variabel pengganggu berdistribusi tidak normal). Jadi ketiga model di atas bukan merupakan model yang baik. Model LCH sebenarnya memenuhi kriteria sebagai model yang baik, tetapi nilai koefisien regresi variabel dependency ratio tidak signifikan. Hasil analisis model penelitian untuk rumah tangga buruh dan angkutan (Lampiran; Tabel 4 dan 5), menunjukkan bahwa model yang baik/ nested adalah model LC-PIH III. Hasil uji diagnostik dan uji stabilitas parameter model LC-PIH III menunjukkan bahwa model ini lolos dari asumsi klasik OLS, perkiraan parameter stabil dan memenuhi syarat konsistensi kestabilan parameter. Nilai koefisien regresi model LC-PIH III konsisten dengan teori, dengan nilai R2 adjusted lebih besar dibandingkan hasil estimasi model lainnya serta mempunyai nilai AIC lebih rendah daripada model lainnya. Hasil analisis model penelitian untuk rumah tangga pengusaha dan pedagang (Lampiran; Tabel 6 dan 7), menunjukkan bahwa model yang baik/ nested adalah model PIH. Hasil uji diagnostik dan uji stabilitas parameter model PIH menunjukkan bahwa model ini lolos dari asumsi klasik OLS, perkiraan parameter stabil dan memenuhi syarat konsistensi
kestabilan parameter, meskipun terjadi autokorelasi. Nilai koefisien regresi model PIH konsisten dengan teori, dengan nilai R2 adjusted lebih besar dibandingkan hasil estimasi model lainnya serta mempunyai nilai AIC dan lebih rendah daripada model lainnya. Dari hasil analisis model tabungan rumah tangga PNS, TNI dan POLRI (Lampiran; Tabel 8 dan 9), diketahui bahwa model yang baik/ nested adalah model LC-PIH II. Model LC-PIH I dan LC-PIH III tidak ada, karena nilai variabel asuransi sama, sehingga tidak dapat digunakan untuk analisis. Hasil uji diagnostik dan stabilitas parameter model LC-PIH II menunjukkan bahwa model ini lolos asumsi klasik OLS, perkiraan parameter stabil dan memenuhi syarat konsistensi kestabilan parameter. Nilai koefisien regresi model LC-PIH II konsisten dengan teori, dengan R2 adjusted lebih besar daripada hasil estimasi model lainnya serta mempunyai nilai AIC lebih rendah daripada model lainnya. Berdasarkan hasil analisis model penelitian (Lampairan; Tabel 10 dan 11), diketahui bahwa untuk rumah tangga pensiunan dan lainnya, model yang baik/ nested adalah model LC-PIH II. Hasil uji diagnostik dan uji stabilitas parameter model LC-PIH II menunjukkan bahwa model ini lolos dari asumsi klasik OLS, perkiraan parameter stabil dan memenuhi syarat konsistensi kestabilan parameter. Nilai koefisien regresi model LC-PIH II konsisten dengan teori, dengan nilai R2 adjusted lebih besar dibandingkan hasil estimasi model lainnya serta mempunyai nilai AIC lebih rendah daripada model lainnya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Berdasarkan hasil estimasi, uji diagnostik dan uji stabilitas parameter terhadap model LCH, PIH, LC-PIH, LC-PIH I, LC-PIH II dan LC-PIH III, maka model LC-PIH II merupakan model yang terbaik secara total. 2. Berdasarkan hasil estimasi, uji diagnostik dan uji stabilitas parameter terhadap model LCH, PIH, LC-PIH, LC-PIH I, LC-PIH II dan LC-PIH III pada berbagai jenis pekerjaan, untuk rumah tangga buruh dan angkutan model yang terbaik adalah
JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
71
model LC-PIH III. Model terbaik untuk rumah tangga pengusaha dan pedagang adalah model PIH, sedangkan untuk rumah tangga PNS, TNI dan POLRI serta pensiunan dan lainnya model LC-PIH II merupakan model yang terbaik. Perbedaan tersebut terjadi karena spesifikasi pekerjaan yang berbeda. 3. Semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini (pendapatan permanen, pendapatan sementara, umur kepala rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga, jenis pekerjaan, harapan hidup, dependency ratio, kredit, asuransi dan ekspektasi rasional terhadap inflasi) mempunyai hubungan yang konsisten dengan teori. 4. Tabungan rumah tangga dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh variabel pendapatan permanen, pendapatan sementara, pendidikan kepala rumah tangga dan jenis pekerjaan serta dipengaruhi secara negatif dan signifikan oleh umur kepala rumah tangga, dependency ratio dan ekspektasi rasional terhadap inflasi. Dalam studi ini variabel harapan hidup dan asuransi tidak signifikan, meskipun tandanya konsisten dengan teori. Hal tersebut terjadi karena dengan pendapatan rata-rata yang relatif rendah, maka rumah tangga lebih berkonsentrasi pada bagaimana memenuhi kebutuhan daripada memperhatikan seberapa lama kelangsungan hidup rumah tangganya. Saran
Tabungan rumah tangga dalam penelitian ini merupakan sisa atau selisih antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga dalam bentuk uang. Padahal yang dimaksud tabungan dapat didefinisikan tidak hanya dari sisa dan bentuk uang, tetapi dapat berupa pembelian barang modal, ternak maupun perhiasan. Dengan demikian perlu dirumuskan kembali. Di samping itu perlu dikembangkan dan diteliti secara empirik pengaruh faktor psikologis, misalnya selera dan relijiusitas .
Biro Pusat Statistik, 1997-2007, Statistik Indonesia. Jakarta. Boediono, 2001, Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE Dornbusch R, Fisher S dan Startz R, 2001, Macroeconomics, Eight Ed, McGraw Hill Companies. Friedman M, 1957, “A Theory of The Consumption Function”, The National Bureau of Economic Research, Princeton University Press. Froyen R.T, 2002, Macroeconomics Theories and Policies, Seventh Ed, Prentice Hall International. Gujarati D, 2003, Basic Econometrics, Fourth Ed, McGraw Hill Companies. Gupta K.L, 1970, ”On Some Determinants of Rural and Household Saving Behavior”. Economic Record. December, 1970, p.578-583. Insukindro, 1998, ”Sindrum R2 dalam Analisis Regresi Linier Runtun Waktu”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, No. 4, Vol. 13, p. 1-11. Kray, 2000, ”Household Saving In China”, World Bank Economic Review, Vol. 14, No. 3, p.545-569. Kuncoro M, 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Kwack S.Y, 2003, ”Household Saving Behavior and the Effect of Income Growth Evidence from Korean Household Survey Data”. Seoul Journal of Economics, Vol. 16, No. 3. Lakshmi K.R dan Arvind V, 1990, ”Determinant of Consumption and Savings Behavior in Developing Contries”, The World Bank Economic Review, Vol. 3, No. 3, p.379-393. Loayza N dan Shankar, 2000, ”Private Saving In India”, The World Bank Economic Review, Vol. 14, No. 3, p.571-594. Modigliani F dan Ando A dan Brumberg, 1963, ”The Life Cycle Hypothesis of Saving: Aggregate Implications and Test”. A.E.R, 53.
DAFTAR PUSTAKA
Statistik Ekonomi Keuangan Daerah (SEKD) Jawa Tengah, 2003 dan 2006. Semarang.
Arsyad L, 1999, Ekonomi Pembangunan. edisi ketiga, p. 130-138, Yogyakarta: STIE YKPN.
Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alfabeta.
72
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang . . . (Sumastuti : 65 – 79)
Suryana, 2000, Ekonomi Pembangunan Problematika dan Pendekatan, Jakarta: Salemba empat.
Thomas R.L, 1997, Modern Econometrics An Introduction, England: Addison Wesley Longman.
Sutarno, 2005, Perilaku Menabung Rumah Tangga di Pedesaan (Kasus di Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten), Tesis, IESP tidak dipublikasikan, Semarang: UNDIP.
Vieneris Y.P, 1977, Macroeconomics Model and Policy, New York: Wiley & Son.
JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
73
LAMPIRAN Tabel 2. Perbandingan Persamaan Regresi Log-linier Model LCH, PIH, LC-PIH, LC-PIH I, LC-PIH II dan LC-PIH III Variabel Konstanta lnPendapatan permanent
LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I (+Asuransi)
LC-PIH II ( +Rateks)
-2,366 (-1,504)
-3,998 (-6,827)***
-3,139 (-2,012)**
-3,145 (-2,005)**
-2,953 (-1,895)*
-3,001 (-1,918)*
1,063 (11,213)***
1,052 (12,666)***
1,035 (10,682)***
1,034 (10,642)***
1,033 (10,706)***
1,031 (10,644)***
0,244 (3,525)***
0,235 (3,238)***
0,236 (3,231)***
0,247 (3,395)***
0,249 (3,410)***
lnPendapatan sementara
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
lnAGE
-0,566 (-1,818)*
-0,554 (-1,811)*
-0,552 (-1,789)*
-0,581 (-1,905)*
-0,567 (-1,843)*
lnED
0,498 (2,400)**
0,382 (1,854)*
0,382 (1,850)*
0,418 (2,025)**
0,422 (2,038)**
JOB1
0,540 (2,369)**
0,503 (2,263)**
0,502 (2,254)**
0,455 (2,040)**
0,447 (1,995)**
JOB2
0,574 (2,249)**
0,532 (2,138)**
0,532 (2,133)**
0,488 (1,958)**
0,484 (1,936)**
JOB3
0,468 (1,764)*
0,412 (1,575)
0,4241 (1,289)
0,349 (1,327)
0,433 (1,330)
JOB4
0,573 (2,167)**
0,552 (2,140)**
0,558 (1,932)**
0,486 (1,869)*
0,540 (1,875)*
lnHDP
0,059 (0,550)
0,070 (0,663)
0,070 (0,664)
0,075 (0,715)
0,078 (0,744)
lnDR
-0,096 (-1,275)
-0,116 (-1,554)
-0,116 (-1,538)
-0,126 (-1,691)*
-0,123 (-1,645)*
-0,308 (-2,788)***
-0,308 (-2,780)***
-0,316 (-2,869)***
-0,315 (-2,858)***
Kredit Asuransi lnRateks
-0,010 (-0,049)
-0,095 (-0,439) -0,096 (-1,688)*
-0,102 (-1,741)*
0,556 0,556 0,551 0,551 0,491 0,523 R2 0,534 0,535 0,530 0,532 0,487 0,507 R2 adjusted 1,400 1,398 1,381 1,381 1,367 1,413 DW 2,431 2,424 2,435 2,428 2,487 2,472 AIC 2,617 2,597 2,608 2,588 2,527 2,605 SC 24,678*** 26,803*** 26,275*** 28,774*** 128,787*** 31,736*** F stat 1,322 1,308 1,372** 1,372** 1,471** 1,339 K-S Test Keterangan: angka dalam kurung menunjukkan t statistik. * signifikan pada α = 10%; ** signifikan pada α= 5%; *** signifikan pada α= 1% Sumber : data primer diolah
74
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang . . . (Sumastuti : 65 – 79)
Tabel 3. Hasil Uji Diagnostik Model Penelitian LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I (+Asuransi)
LC-PIH II ( +Rateks)
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
Normalitas (KolmogorovSmirnov Test)
1,339
1,471**
1,372**
1,372**
1,308
1,332
Heteroskedastisitas (Park Test)
Signifikan
Tidak signifikan
Signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
1,413
1,367
1,381
1,381
1,398
1,400
<6
<2
<6
<7
<6
<7
stabil
Stabil
stabil
stabil
Stabil
Uji dan Jenis uji
Autokorelasi (DW Test) Multikolinieritas (VIF)
Stabilitas parameter (Cusum stabil & Recursive Test) Keterangan : ** signifikan pada α= 5% Sumber : data primer diolah
Tabel 4. Perbandingan Persamaan Regresi Log-linier Model LCH, PIH, LC-PIH, LC-PIH I, LC-PIH II dan LC-PIH III Untuk Buruh dan Angkutan Variabel
LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I LC-PIH II (+Asuransi) ( +Rateks)
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
Konstanta
-1,439 (-0,696)
-3,974 (-3,884)***
-2,449 (-1,164)
-2,572 (-1,232)
-1,995 (-0,940)
-2,102 (-1,100)
lnPendapatan permanen
1,052 (7,762)***
1,143 (9,197)***
1,149 (8,092)***
1,149 (8,156)***
1,156 (8,165)***
1,155 (8,240)***
0,131 (1,561)
0,170 (1,937)*
0,163 (1,870)*
0,141 (1,575)
0,133 (1,492)
lnPendapatan sementara lnAGE
-0,351 (-1,019)
-0,389 (-1,124)
-0,366 (-1,066)
-0,446 (-1,284)
-0,424 (-1,233)
lnED
0,522 (2,514)***
0,435 (2,072)**
0,431 (2,070)**
0,382 (1,792)*
0,375 (1,779)*
lnHDP
-0,254 (-1,016)
-0,316 (-1,266)
-0,289 (-0,107)
-0,365 (1,456)
-0,341 (1,368)
lnDR
-0,133 (-1,577)
-0,104 (-1,223)
-0,090 (-1,065)
-0,089 (-1,040)
-0,074 (-0,871)
-0,221 (-1,775)*
-0,220 (-1,785)*
-0,218 (-1,764)*
-0,218 (-1,774)*
Kredit Asuransi
-0,587 (-1,755)*
lnRateks
-0,602 (-1,808)* 0,088 (1,391)
0,092 (1,461)
0,506 0,493 0,497 0,485 0,407 R2 0,463 0,469 0,459 0,464 0,455 0,398 0,441 R2 adjusted 1,663 1,663 1,671 1,661 1,736 1,750 DW 1,768 1,779 1,770 1,779 1,841 1,790 AIC 1,989 1,979 1,969 1,956 1,908 1,923 SC 13,558*** 14,568*** 14,846*** 16,247*** 43,282*** 21,170*** F stat 1,058 1,000 0,962 0,977 1,485** 0,967 K-S Test Keterangan: Tabel 4: angka dalam kurung menunjukkan t statistik.* signifikan pada α=10%; **signifikan pada α= 5%; *** signifikan pada α= 1% Sumber : data primer diolah JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
75
Tabel 5. Hasil Uji Diagnostik Model Penelitian Untuk Buruh dan Angkutan LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I (+Asuransi)
LC-PIH II ( +Rateks)
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
Normalitas (KolmogorovSmirnov Test)
0,967
1,485**
0,977
0,962
1,000
1,058
Heteroskedastisitas (Park Test)
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
1,750
1,736
1,661
1,671
1,663
1,663
<3
1
<3
<3
<3
<3
Stabil
Stabil
Stabil
stabil
stabil
stabil
Uji dan Jenis uji
Autokorelasi (DW Test) Multikolinieritas (VIF) Stabilitas parameter (Cusum & Recursive Test) Sumber : data primer diolah
Tabel 6. Perbandingan Persamaan Regresi Log-linier Model LCH, PIH, LC-PIH, LC-PIH I, LC-PIH II dan LC-PIH III Untuk Pengusaha dan Pedagang Variabel Konstanta lnPendapatan permanen
LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I (+Asuransi)
LC-PIH II ( +Rateks)
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
-4,472 (-1,004)
-2,523 (-3,265)***
-6,490 (-1,499)
-7,012 (-1,540)
-6,352 (-1,431)
-6,881 (-1,482)
0,864 (7,511)***
0,069 (6,177)***
0,687 (4,914)***
0,660 (4,235)***
0,692 (4,808)***
0,664 (4,181)***
0,506 (3,613)***
0,386 (2,259)**
0,425 (2,175)**
0,384 (2,207)**
0,425 (2,147)**
lnPendapatan sementara lnAGE
0,103 (1,130)
0,465 (0,063)
0,549 (0,682)
0,442 (0,560)
0,528 (0,643)
lnED
1,103 (2,845)*
0,654 (1,495)
0,635 (1,426)
0,689 (1,455)
0,680 (1,417)
lnHDP
0,144 (0,032)
0,385 (0,667)
0,450 (0,745)
0,323 (0,495)
0,374 (0,558)
lnDR
-0,064 (-0,049)
-0,059 (-0,514)
-0,050 (-0,425)
-0,056 (-0,484)
-0,046 (-0,383)
-0,051 (-0,266)
-0,023 (-0,112)
-0,048 (-0,243)
-0,015 (-0,073)
Kredit Asuransi lnRateks
-0,217 (-0,425)
-0,239 (-0,456) 0,031 (0,213)
0,042 (0,277)
0,791 0,790 0,791 0,789 0,766 R2 0,754 0,730 0,737 0,738 0,745 0,754 0,718 R2 adjusted 2,654 2,674 2,655 2,673 2,376 2,660 DW 1,988 1,946 1,942 1,889 1,757 1,959 AIC 2,405 2,322 2,318 2,233 1,883 2,209 SC 13,040*** 15,015*** 15,096*** 17,665*** 62,207*** 21,401*** F stat 0,596 0,598 0,577 0,629 0,655 0,619 K-S Test Keterangan Tabel 6 : angka dalam kurung menunjukkan t statistik. * signifikan pada α = 10%; ** signifikan pada α= 5%; *** signifikan pada α= 1% Sumber : data primer diolah
76
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang . . . (Sumastuti : 65 – 79)
Tabel 7. Hasil Uji Diagnostik Model Penelitian Untuk Pengusaha dan Pedagang LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I (+Asuransi)
LC-PIH II ( +Rateks)
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
Normalitas (KolmogorovSmirnov Test)
0,619
0,655
0,629
0,577
0,598
0,596
Heteroskedastisitas (Park Test)
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
2,660
2,376
2,673
2,655
2,674
2,654
<3
<2
<3
<3
<4
<4
stabil
stabil
Stabil
stabil
stabil
stabil
Uji dan Jenis uji
Autokorelasi (DW Test) Multikolinieritas (VIF) Stabilitas parameter (Cusum & Recursive Test) Sumber : data primer diolah
Tabel 8. Perbandingan Persamaan Regresi Log-linier Model LCH, PIH, LC-PIH dan LC-PIH II Untuk PNS, TNI dan POLRI Variabel
LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH II ( +Rateks)
Konstanta
-5,227 (-1,111)
-4,340 (-2,473)***
-7,582 (-1,619)
-8,721 (-1,995)*
lnPendapatan permanen
0,942 (3,614)***
1,158 (4,868)***
0,890 (3,301)***
1,064 (4,102)***
0,163 (1,118)***
0,205 (1,353)
0,260 (1,827)*
lnPendapatan sementara lnAGE
-0,221 (-0,274)
-0,011 (-0,001)
-0,119 (-0,163)
lnED
2,166 (2,787)***
1,936 (2,557)**
0,495 (2,065)**
lnHDP
-0,322 (-0,794)
0,111 (0,255)
0,362 (0,868)
lnDR
-0,117 (-0,672)
-0,242 (-1,355)
-0,184 (-1,101)
-0,486 (-2,071)**
-0,723 (-3,055)***
Kredit lnRateks
-0,338 (-2,569)**
0,607 0,470 R2 0,551 0,528 0,443 0,490 R2 adjust. 2,009 1,887 2,079 DW 2,083 2,153 2,125 AIC 2,411 2,276 2,371 SC 7,723*** 17,725*** 9,085*** F stat 0,518 0,581 0,555 K-S Test Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan t statistik. * signifikan pada α = 10%; ** signifikan pada α= 5%; *** signifikan pada α= 1% Sumber : data primer diolah
JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
0,671 0,593 2,063 1,951 2,319 8,665*** 0,517
77
Tabel 9. Hasil Uji Diagnostik Model Penelitian Untuk PNS, TNI dan POLRI Uji dan Jenis uji Normalitas (Kolmogorov-Smirnov Test) Heteroskedastisitas (Park Test) Autokorelasi (DW Test) Multikolinieritas (VIF) Stabilitas parameter (Cusum & Recursive Test)
LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH II ( +Rateks)
0,555
0,581
0,581
0,517
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
2,079
1,887
2,009
2,063
<2
<2
<3
<3
Stabil
stabil
stabil
stabil
Sumber : data primer diolah
Tabel 10. Perbandingan Persamaan Regresi Log-linier Model LCH, PIH, LC-PIH, LC-PIH I, LC-PIH II dan LC-PIH III Untuk Pensiunan dan Lainnya Variabel Konstanta lnPendapatan permanent
LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I (+Asuransi)
LC-PIH II ( +Rateks)
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
-9,782 (-0,949)
-7,321 (-2,853)***
-15,731 (-1,610)
-12,971 (-1,251)
-9,220 (-0,953)
-9,598 (-0,957)
2,352 (3,523)***
1,418 (3,685)***
2,310 (3,359)***
2,318 (3,355)***
2,230 (3,425)***
2,224 (3,363)***
0,331 (1,503)
0,412 (1,719)*
0,387 (1,597)
0,386 (1,704)*
0,391 (1,689)*
lnPendapatan sementara lnAGE
-0,429 (-0,257)
0,514 (0,327)
-0,158 (-0,089)
-0,803 (-0,503)
-0,699 (-0,407)
lnED
0,044 (0,063)
0,130 (0,200)
0,120 (0,184)
0,343 (0,550)
0,355 (0,558)
lnHDP
-0,397 (-1,673)*
-0,321 (-1,437)
-0,375 (-1,603)
-0,419 (-1,941)*
-0,410 (-1,834)*
lnDR
0,267 (0,505)
0,220 (0,410)
0,137 (0,249)
0,020 (0,040)
0,032 (0,060)
-1,032 (-2,380)**
-1,043 (-2,395)**
-0,971 (-2,366)**
-0,966 (-2,312)**
Kredit Asuransi lnRateks
0,361 (0,830)
-0,087 (-0,185) -0,355 (-2,251)**
-0,371 (-2,049)**
0,606 0,606 0,555 0,546 0,416 R2 0,435 0,496 0,511 0,447 0,452 0,387 0,356 R2 adjust. 1,564 1,561 1,353 1,294 1,216 1,250 DW 3,152 3,105 3,229 3,203 3,215 3,326 AIC 3,566 3,478 3,601 3,534 3,339 3,574 SC 5,480*** 6,346*** 5,142*** 5,831*** 13,916*** 5,534*** F stat 1,016 1,020 0,713 0,688 0,893 0,958 K-S Test Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan t statistik. * signifikan pada α = 10%; ** signifikan pada α= 5%; *** signifikan pada α= 1% Sumber : data primer diolah
78
Model Tabungan Rumah Tangga Kota Semarang . . . (Sumastuti : 65 – 79)
Tabel 11. Hasil Uji Diagnostik Model Penelitian Untuk Pensiunan dan Lainnya LCH
PIH
LC-PIH
LC-PIH I (+Asuransi)
LC-PIH II ( +Rateks)
LC-PIH III (+Asuransi +Rateks)
Normalitas (KolmogorovSmirnov Test)
0,958
0,893
0,688
0,713
1,020
1,016
Heteroskedastisitas (Park Test)
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
Tidak signifikan
1,250
1,216
1,294
1,353
1,561
1,564
<4
<2
<5
<5
<5
<5
Tidak stabil
stabil
stabil
stabil
stabil
Uji dan Jenis uji
Autokorelasi (DW Test) Multikolinieritas (VIF)
Stabilitas parameter Tidak stabil (Cusum & Recursive Test) Sumber : data primer diolah
JEJAK, Vol. 2, Nomor 1, Maret 2009
79
ANALISIS PERSEPSI DAN PREFERENSI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP PRODUK PANGAN OLAHAN BERBASIS TEPUNG UBI JALAR DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN Sucihatiningsih DWP, Endang Sutrasmawati, dan Indah Fajarini SW Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang email:
[email protected]
ABSTRACT The use of sweet potato powder as the substitution of flour for making cake is expected to decrease the import of flour and increase the added value of sweet potato. The aims of this study are for knowing whether housewives prefer flour to sweet potato powder and for knowing what the house wives’ perceptions of food made of sweet potato powder are. In taking the sample, random sampling is applied.The sample of the study is 50 housewives in Kota Semarang. Furthermore, descriptive statistic, non-parametric approach and SWOT analysis are used in the study. Keywords: preference and perceptions of food made potato powder PENDAHULUAN Diversifikasi pangan sumber protein, mineral dan vitamin telah berhasil dilakukan dengan terkonsumsinya berbagai bahan pangan yang mengandung zat-zat tersebut oleh masyarakat. Program diversifikasi pangan yang telah dilaksanakan sejak tahun 1960 justru mengarah pada tepung terigu sebagai bahan pangan sumber karbohidrat. Data konsumsi terigu nasional tahun 1995–2004 menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan konsumsii terigu nasional adalah sebesar 5,84% per tahun. Total konsumsi tepung terigu nasional tahun 2005 adalah sebesar 4.690.000 ton dan tahun 2006 meningkat menjadi 5.002.000 ton (USDA, 2007). Ditinjau dari pengguna akhir, pangsa pasar terbesar tepung terigu adalah UKM. Sektor ini menyerap hampir 65% dari total konsumsi tepung terigu nasional. Produk akhir yang paling banyak menggunakan terigu adalah mie (50%). Profil industri pengguna tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 1. di bawah ini. Pergeseran gaya hidup modern dan yang serba cepat mendorong konsumen memberi penghargaan yang lebih tinggi pada kepraktisan. Hal ini memberi pengaruh yang kuat pada perubahan pola konsumsi termasuk konsumsi pangan. Konsumsi menyenangi produk pangan yang mudah diolah dan berpenampilan menarik. Tuntutan tersebut dapat dipenuhi melalui pengembangan bahan pangan berbasis 80
tepung-tepungan (Winarno, 2006). Tepung bersifat lebih tahan lama dan praktis, mudah dicampur (komposit), dapat diperkaya dengan zat gizi (fortifikasi), serta lebih cepat dimasak sesuai tuntutan dunia modern yang serba praktis (Damardjati, et. al., 2000). Tepung merupakan produk setengah jadi yang dapat menjadi bahan baku beragam produk olahan pangan lainnya misalnya: roti, biscuit, macaroni, mie, keripik, bubur, serta aneka macam kue. Komposisi gizi berbagai jenis tepung yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2. Pemanfaatan tepung ubi jalar sebagai pensubstitusi tepung terigu untuk bahan baku kue diharapkan dapat mengurangi penggunaan tepung terigu, sehingga impor tepung terigu dapat dikurangi dan juga dapat meningkatkan nilai tambah ubi jalar. Tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kue, misalnya : kue kering, kue lapis, dan cake (Antarlina, 1998). Pengembangan produk pangan olahan berbasis tepung ubi jalar sebagai substitusi tepung terigu memerlukan suatu strategi yang efektif dan efisien. Dewasa ini dan dimasa yang akan datang, orientasi pengembangan suatu produk telah berubah kepada orientasi pasar. Artinya permintaan konsumen menjadi faktor kuncinya. Jika dahulu strategi pengembangan produk pangan cenderung menjual apa yang dihasilkan, kini saatnya strategi tersebut diarahkan kepada memproduksi apa yang diinginkan konsumen (demand driven).
Analisis Persepsi dan Preferensi Ibu Rumah Tangga . . . (Sucihatiningsih, dkk : 80 – 90)
Tabel 1. Profil Pengguna Tepung Terigu Nasional Jumlah Industri Pengguna dan Konsumsi Terigu
Industri Tradisional
Industri Besar Modern
UKM
Rumah Tangga
RT
Total
Instant
45
-
-
-
45
Dry
23
273
-
-
296
Wet
7
5.205
-
-
5.212
Jumlah industri (1)
73
5.478
-
-
5.551
69.461
61.989
4.156
-
135.606
Cookies
32
10.318
-
-
10.350
Wafer & Crackers
22
-
-
-
22
Marie
15
-
-
-
15
Snack
10
30
-
-
40
79
10.348
1.675
-
12.102
7.718
24.983
-
-
32.701
Roti tawar, roti manis
31
11.655
-
-
11.686
Cake & pastry
17
35
-
-
52
-
2.748
-
-
2.748
48
14.436
-
-
14.484
2.358
62.162
4.169
-
68.689
-
-
-
11.500
11.500
200
30.263
-
-
30.463
79.537
149.154
10.000
11.500
250.191
Noodle
Total Terigu (mt)
Biscuits
Jumlah Industri (2) Total Terigu (mt) Bakery
Lain-lain Jumlah industri (3) Total Terigu (mt) Rumah Tangga
Total terigu
Jumlah (1 + 2 + 3) Terigu yang digunakan (mt) Sumber: APTINDO, 2001.
Tabel 2. Kandungan Gizi Beberapa Jenis Tepung Tepung U. Kayu MOCA L
Kandungan Gizi (Persen)
Ubi Jalar
Jagung
Keg. Tunggak
Karbohidrat
85.26
74.27
58.99
82 – 85
Protein
5.12
16.04
27.55
Lemak
0.20
4.28
Abu
2.13
Serat
1.95
Pisang
Sorgum
Beras
Terigu
87.3
86.65
80.42
86.45
85.04
1.2
1.2
3.07
10.11
9.28
13.13
1.45
0.4 – 0.8
0.4
0.75
3.65
1.88
1.29
1.32
4.14
0.2
0.4
2.49
2.24
1.52
0.54
n.a
n.a
1.0 – 4.2
3.4
1.92
2.74
1.05
0.62
Sumber: Antarlina (1994); Surani, (2001); Subagio (2007); dan Wahyuningsih (2007)
Peranan ibu rumah tangga dalam pengambilan keputusan konsumsi pangan dalam keluarga sangat penting. Peran ini sangat beragam dalam kelas sosial yang berbeda, namun secara umum ibu menjadi orang yang berwewenang dan/atau memiliki kekuasaan untuk memilih produk pangan apa yang akan dipilih bagi seluruh anggota keluarga. Oleh karena itu ibu rumah tangga memiliki fungsi strategis
sebagai agent of change dari perubahan pola konsumsi pangan keluarga. Ibu rumah tangga berada pada posisi sebagai agen pembelian produk pangan dalam keluarga. Dengan demikian pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana preferensi dan persepsi ibu rumah tangga terhadap produk pangan olahan berbahan baku tepung ubi jalar? (2) Bagaimana
JEJAK, Vol. 2 No. 1, Maret 2009
81
peranan ibu rumah tangga dalam pengambilan keputusan konsumsi pangan? (3) Bagaimana rumusan strategi pengembangan produk pangan olahan berbasis tepung ubi jalar dalam mendukung gerakan percepatan konsumsi diversifikasi pangan berbasis tepung lokal? LANDASAN TEORI Persepsi dan Preferensi Konsumen Persepsi dapat diartikan sebagai respon yang bersifat spontan dan instinktif terhadap sebuah pertanyaan atau pernyataan mengenai suatu hal sementara preferensi diartikan sebagai pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap suatu produk atau jasa yang dikonsumsi (Azam, N, dkk., 2006). Persepsi menurut Assael (1992) adalah cara memandang konsumen terhadap suatu objek. Kotler et.al. (2000:2410 mendefinisikan persepsi adalah proses seorang individu memilih, mengorganisasi dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambar yag bermakna. Persepsi tidak hanya tergantung pada fisik, tetapi juga pada stimuli yang berhubungan dengan lingkungan sekitar (ide Gestalt) dan kondisi individu yang bersangkiutan. Persepsi adalah proses kognitif yang memungkinkan kita dapat menfsirkan dan memahami lingkungan sekitar kita. Pengenalan benda merupakan salah satu dari fungsi utama proses ini. (Kreitner dan Kinicki 2005 : 208) Dalam penelitian ini yang menjadi obyek adalah produk pangan yang relatif baru sehingga konsumen membutuhkan informasi untuk lebih mengenal produk tersebut. Persepsi konsumen akan dapat diketahui dengan mengukur tingkat kegunaan nilai relative penting suatu atribut yang terdapat pada produk atau jasa. Atribut yang ditampilkan pada suatu produk atau jasa dapat menimbulkan daya tarik pertama yang dapat mempengaruhi konsumen. Penilaian konsumen terhadap produk dan jasa menggambarkan sikap konsumen terhadap produk dan jasa tersebut, sekaligus dapat mencerminkan perilaku konsumen dalam menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk atau jasa (Azam, N., et. al., 2006).
82
Keputusan Pembelian Keluarga Keputusan konsumen didasari oleh tiga determinan penting yaitu pengaruh lingkungan, perbedaan dan pengaruh individu dan proses psikologis. Penelitian mengenai keputusan keluarga biasa dilakukan untuk mengetahui siapa yang biasa mengambil keputusan pembelian. Setiap anggota keluarga memegang berbagai peran yang mencakup penjaga pintu, pemberi pengaruh, pengambil keputusan, pembeli dan pemakai (Engel, 1994). Atribut Produk Atribut produk menurut Engel (1994) adalah karakteristik suatu produk yang berfungsi sebagai atribut evaluatif selama pengambilan keputusan dimana atribut tersebut tergantung jenis produk dan tujuannya. Produsen perlu mengetahui sikap yang mendukung atau tidak mendukung produk mereka dan mengetahui alasan sikap ini terutama atribut yang diinginkan konsumen seperti tipe ciri berupa ukuran, karakteristik suatu produk (rasa, harga, warna) dan ciri manfaat seperti kesehatan. Sementara itu Kotler (2005) mendefinisikan atribut sebagai ciri mutu dan model produk, penampilan, pilihan gaya, merk, pengemasan dan jenis produk. Gender Kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. (John M Echosse dan Hasan Sadhily; 1983: 256) Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Woman Studies Ensiklopedi, gender adalah suatu konsep kiltural, berupaya membuat perbedaan antara (distinction) dala hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempua yang berkembang dalam masyarakat. Hilary M Lips di dalam buku Sex an Gender mengertikan gender sebaga harapan dan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan
Analisis Persepsi dan Preferensi Ibu Rumah Tangga . . . (Sucihatiningsih, dkk : 80 – 90)
Teknik Analisis
misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri-ciri dan sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Pandangan para ahli psikologi mengenai gender adalah menyagkutr karakteristik kepribadia yang dimiliki oleh individu yaitu maskulin, feminisme, androgini dan terbedakan.
Pendekatan statistik deskriptif digunakan untuk membantu menggambarkan karakteristik responden, preferensi dan persepsi ibu rumah tangga terhadap produk pangan olahan berbasis tepung ubi kayu jalar. Setelah diketahui peran, persepsi dan preferensi ibu rumah tangga terhadap produk olahan pangan berbasis tepung ubi jalar dilakukan analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengembangan produk olahan pangan berbasis tepung ubi jalar. Analisis SWOT digunakan untuk menganalisa kekuatan (strength), kelemahan (weakness) dari pengembangan produk pangan olahan pangan berbasis tepung ubi jalar serta peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang harus dihadapi produk tersebut dibandingkan dengan kondisi eksternalnya.
Berdasarkan hasil studi pustaka di atas, dirumuskan diagram alur penelitian sebagaimana pada Gambar 1 di bawah. METODE PENELITIAN Teknik Sampling Daerah penelitian yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Kota Semarang. Pemilihan Kota Semarang sebagai daerah penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan karakteristik tertentu guna merumuskan strategi pengembangan produk pangan olahan berbasis tepung ubi jalar. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana untuk menentukan ibu rumah tangga sebagai sampel. Sebanyak 50 orang ibu rumah tangga diambil sebagai sampel dalam penelitian ini.
Peran
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Responden Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang biasanya menyediakan menu makanan bagi keluarganya yang berjumlah 50 orang. Untuk memberikan gambaran umum responden dalam penelitian ini maka disajikan deskripsi responden yang meliputi, usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan.
Pangan Olahan Tepung Ubi Jalar
Produk Baru
Ibu Rumah Tangga
Ibu Rumah Tangga
Persepsi
Preferensi
Strategi Pengembangan Produk Olahan Pangan Berbasis Tepung Ubi Jalar
Statistik Deskriptif Uji Mann-Whitney Uji Choran Chi-square
Analisis SWOT
Gambar 1. Diagram Alur Penelitian
JEJAK, Vol. 2 No. 1, Maret 2009
83
Responden Berdasarkan Usia Pada saat penelitian dilakukan usia responden dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 kelompok seperti terlihat pada Tabl 3 berikut ini; Tabel 3. Usia Responden No 1 2 3 4 5
<= 20 tahun 21 - 30 tahun 31 - 40 tahun 41 – 50 tahun > 50tahun Total
Frequency
Percent
1 18 16 11 4 50
2.0 36.0 32.0 22.0 8.0 100
Dari data di atas maka tampak komposisi usia responden dalam peenelitian ini sebagian besar berusia antara 20-30 tahun sebanyak 18 orang (36%), diikuti antara 31-40 tahun sebanyak 16 orang (32%), dan antara 41-50 tahun sebanyak 11 orang (22%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini merupakan ibu-ibu yang masih pada usia produktif Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Berdasarkan tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan antara SD sampai dengan Magister (S2), selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Tingkat Pendidikan Responden No 1 2 3 4 5 6
Pendidikan SD SLTP SLTA D3 Sarjana/S1 Magister/S2 Total
Frequency
Percent
3 6 15 11 13 2 50
6.0 12.0 30.0 22.0 26.0 4.0 100
Pekerjaan Responden
Tabel 5. Pekerjaan Responden No Pekerjaan 1 2 3 4
Ibu Rumah Tangga PNS Swasta BUMN Total
Frequency
Percent
25 10 12 3 50
50.0 20.0 24.0 6.0 100
Dari Tabel di ata dapat dilihat bahwa sebagian besar responden hanya sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 25 orang (50%) dan yang bekerja sebagai PNS ada 10 orang (20%), swasta sebanyak 12 orang (24%) dan yang bekerja pada BUMN sebanyak 3 orang (6%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian responden dalam penelitian ini merupakan ibu-ibu yang biasanya memasak menu makanan bagi keluarganya. Preferensi Responden Sumber informasi yang diperoleh dari responden tentang tepung ubi jalar antara lain dari Koran/majalah, televisi/radio, teman, dan anggota keluarga seperti telihat pada Gambar 2. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memperoleh informasi dari Koran/majalah. Produk makanan olahan dari tepung ubi jalar yang pernah dikonsumsi oleh responden ditunjukkan Gambar 3. dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar (30%) responden pernah mengkonumsi makanan olahan berbahan baku ubi jalar dalam bentuk roti dan sebanyak 26% responden menyatakan mengkonumsi dalam kue (baik kue kering maupun basa), 24% responden mengkonsumsi dalam bentuk mie, 10% responden mengkonsumsi dalam bentuk makanan Bakpao. Sedangkan 10% responden lainnya menyatakan tidak tahu. Persespi responden terhadap produk makanan berbahan baku ubi jalar setelah diberkan penjelasan tentang informasi tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 4.
Responden dalam penelitian ini memiliki jenis pekerjaan yang beragam seperti terlihat pada Tabel 5 berikut.
84
Analisis Persepsi dan Preferensi Ibu Rumah Tangga . . . (Sucihatiningsih, dkk : 80 – 90)
Gambar 2. Sumber informasi mengenai Tepung Ubi Jalar
Gambar 3. Pernah Konsumsi Produk Ubi jalar
Tekstur
38%
Rasa
58%
46%
Aroma
54%
42% 0%
20%
4%
0%
58%
40%
Sangat Suka
60% Suka
0%
80%
Biasa Saja
100% n=50
Gambar 4. Persepsi Terhadap Produk Makanan dari Tepung Ubi Jalar
JEJAK, Vol. 2 No. 1, Maret 2009
85
bahwa produk olahan makanan yang berbahan baku dari ubi jalar sama dengan produk yang berbahan baku dari tepung lainnya. Sebanyak 9 orang menyatakan bahwa produk olahan makanan dari tepung ubi jalar lebih lembut dan 5 orang responden menyatakan lebih enak/gurih. Sedangkan 7 orang responden menyatakan bahwa tepung ubi jalar bisa sebagai alternative untuk pembuatan makanan olahan menggantikan tepung terigu yang selama ini banyak digunakan.
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa persepsi responden terhadap produk makanan olahan berbahan baku tepung ubi jalar pada Atribut Aroma sebagian besar atau 58% responden menyatakan suka dan sebesar 42% responden menyatakan sangat suka terhadap aroma pada produk olahan makanan dari tepung ubi jalar. Pada atribut Rasa sebagian besar responden atau sebanyak 54% menyatakan suka terhadap rasa produk makanan dari tepung ubi jalar, dan sebesar 46% menyatakan sangat suka. Untuk atribut tekstur menurut responden menyatakan bahwa responden suka sebesar 58% dan responden yang menyatakan sangat suka sebesar 38% responden dan responden yang menyatakan bahwa tekstur pada produk olahan makanan dari terpung ubi jalar adalah biasa-biasa saja hanya sebesar 4%. Preferensi responden terhadap produk olahan dari tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 5.
Kesediaan responden dalam menyediakan produk makanan olahan pangan berbasis ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 6. Sebagian responden atau 56% responden menyatakan bersedia untuk menyediakan produk makanan olahan berbasis ubi jalar dalam pola konsumsi keluarga. Sedangkan 44% responden menyatakan belum bersedia untuk menyediakan produk olahan pangan berbasis ubi jalar dalam pola konsumsi keluarga.
Dari Gambar tersebut terlihat bahwa sebagian atau sebanyak 26 orang responden menyatakan
tidak tahu
2
bisa jadi bahan alternatif
7
lebih enak/gurih
5
sama dengan tepung ketan
1
lebih lembut
9
sama dengan produk lain
26 0
n=50
5
10
15
20
25
30
Gambar 5. Preferensi Terhadap Produk Makanan Olahan dari Ubi Jalar
tidak 44%
ya 56%
n=50
Gambar 6. Kesediaan Menyediakan Produk Olahan Pangan Berbasis Tepung ubi jalar
86
Analisis Persepsi dan Preferensi Ibu Rumah Tangga . . . (Sucihatiningsih, dkk : 80 – 90)
Pengujian Terhadap Atribut Produk Untuk mengetahui apakah artibut yang digunakanan konsumen dalam memilih produk olahan pangan sebagai faktor pertimbangan telah digunakan pendekatan non parametrik dengan uji Cohran. Rumusan hipoteisinya adalah sebagai berkut: H0 : semua atribut yang diuji dalam penelitian ini memiliki proporsi jawaban yang sama Ha : semua atribut yang diuji dalam penelitian ini memiliki proporsi jawaban yang tidak sama Hasil pengujian cohran dapat dilhat pada tabel berikut: Tabel 6. Hasil Pengujian Cohran N
50
Cochran's Q
4.000a
df
2
Asymp. Sig.
.135
Dari Tabel pengujian di atas dapat dilihat bahwa pengujian terhdap atribut rasa, aroma, dan tekstur pada olahan pangan memberikan nilai Asyimp Sig. (0.135) lebih besar dari 0,05 (taraf nyata 5%) yang berarti tidak signifikan dengan demikian hipotesis nol diterima yaitu semua atribut yang diuji dalam penelitian ini memiliki proporsi jawaban yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa semua responden dianggap sepakat mengenai atribut rasa, aroma dan tekstur pada produk olahan pangan sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam memilih produk olahan pangan.
Uji perbedaan persepsi dan preferensi ibu rumah tangga yang bekerja dan tidak bekerja Untuk menguji apakah ada perbedaan persepsi dan preferensi responden yang bekerja dan tidak bekerja digunakan pendekatan statisitik non parametrik dengan uji Mann-Whitney. Rumusan hipoteisinya adalah sebagai berkut: H0 : Tidak ada perbedaan persepsi dan preferensi terhadap produk olahan pangan berbasis ubi jalar pada responden yang bekerja dan tidak bekerja Ha : Ada perbedaan persepsi dan preferensi terhadap produk olahan pangan berbasis ubi jalar pada responden yang bekerja dan tidak bekerja Hasil pengujian perbedaan presepsi dan preferensi responden ibu rumah tangga yang bekerja dan tidak bekerja dapat dilhat pada Tabel 7 di bawah. Dari tabel pengujian tersebut dapat dilihat bahwa preferensi responden terhadap produk olahan berbahan baku ubi jalar yang dilihat dari atribut rasa, aroma, tekstur produk memberikan nilai nilai Asyimp Sig. lebih besar dari 0,05 (taraf nyata 5%) yang berarti tidak signifikan dengan demikian hipotesis nol gagal ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa preferensi responden ibu-ibu yang bekerja dan ibu-ibu yang tidak bekerja adalah sama terhadap atribut rasa, aroma, dan tekstur produk olahan pangan berbasis ubi jalar.
Tabel 7. Hasil Pengujian Mann-Whitney Preferensi terhadap Rasa Produk
Preferensi terhadap Aroma Produk
Preferensi kedua terhadap Tekstur
Mann-Whitney U
275.000
300.000
268.000
Wilcoxon W
600.000
625.000
593.000
Z
-.851
-.281
-.997
Asymp. Sig. (2-tailed)
.395
.779
.319
a. Grouping Variable: JOB
JEJAK, Vol. 2 No. 1, Maret 2009
87
Uji Peran Ibu Rumah tangga dalam proses pengambilan keputusan pembelian produk makanan Untuk menentukan apakah ibu rumah rangga berbukti secara secara statistic memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan pembelian produk pangan dalam keluarga digunakan pendekatan statisitik non parametric dengan uji chi-square. Rumusan hipoteisinya adalah sebagai berkut: H0 : Ibu rumah tangga tidak memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan pembelian produk pangan keluarga Ha : Ibu rumah tangga memiliki peran dalam proses pengambilan keputusan pembeluan produk pangan dalam keluarga Hasil pengujian peran ibu rumah tangga dalam pengambilan keputusan pembelian produk makanan dapat dilhat pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Hasil Pengujian Chi-square Keputusan Konsumsi Keputusan Konsumsi makanan selingan makanan pokok Chi-Square .320a .320a df 1 1 Asymp. Sig. .572 .572
Dari tabel pengujian di atas dapat dilihat bahwa pada penentuan keputusan konsumsi makanan selingan maupun makanan pokok oleh ibu rumah rangga memberikan nilai nilai Asyimp Sig. (0.572) lebih besar dari 0,05 (taraf nyata 5%) yang berarti tida signifikan dengan demikian hipotesis nol gagal ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ibu rumah tangga tidak memiliki peran yang utama dalam pengambilan keputusan untuk pembelian produk pangan dalam keluarga namun sering meminta pertimbangan anggota keluarga yang lain baik anakanak maupun suaminya sebagai kepala keluarga. Analisis SWOT
pengembangan produk pangan olahan berbasis tepung ubi jalar serta peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang harus dihadapi produk tersebut dibandingkan dengan kondisi eksternalnya. Berikut ini adalah hasil yang diperoleh pada masingmasing komponen SWOT. Menentukan Faktor Internal dan Faktor Eksternal (1) Faktor Internal Aroma pada produk makanan olahan dari tepung upi jalar Rasa produk makanan olahan dari tepung ubi jalar Tekstur produk makanan olahan dari ubi jalar Dukungan pemerintah Pengetahuan produk olahanan pangan berbasis tepung ubi jalar Kesadaran masyarakat untuk mengolah produk pangan berbasis ubi jalar (2) Faktor Eksternal Banyaknya bahan ubi jalar Kemudahan menaman dan jangka waktu panen Bahan baku alternatif membuat makanan Harga ubi jalar Jenis produk makanan olahan dari bahan lain Berkurangnya lahan pertanian Keengganan petani menanam ubi jalar Kapasitas produksi ubi jalar yang masih rendah Ubi jalar belum menjadi menu makanan utama masyarakat Dari komponen faktor internal dan faktor eksternal di atas maka dapat disusun matrik SWOT sebagai berikut;
Analisis SWOT digunakan untuk menganalisis kekuatan (strength), kelemahan (weakness) dari
88
Analisis Persepsi dan Preferensi Ibu Rumah Tangga . . . (Sucihatiningsih, dkk : 80 – 90)
Tabel 9. Matrik SWOT -
-
Kekuatan (Strengths) - S Aroma pada produk makanan olahan dari tepung ubi jalar banyak yang suka Rasa produk makanan olahan dari tepung ubi jalar tidak jauh berbeda dengan tepung lainnya Tekstur produk makanan olahan dari ubi jalar lebih lembut Menurut sebagian responden produk pangan olahan dari ubi jalar lebih enak/gurih Adanya dukungan pemerintah untuk mengembangkan produk olahan berbasis ubi jalar Peluang (Opportunities) - O Banyaknya bahan ubi jalar Kemudahan menaman dan jangka waktu panen yang singkat Ubi jalar bisa dijadikan alternatif bahan baku membuat berbagai makanan Harga ubi jalar lebih murah Kemudahan ubi jalar dijadikan tepung sehingga lebih mudah untuk diolah menjadi berbagai jenis produk olahan lain
Penyusunan strategi alternatif Pengembangan produk makanan Berbasis Ubi Jalar Berdasarkan matrik SWOT maka secara detail dapat disusun beberapa strategi alternatif Pengembangan produk olahan makanan berbasis ubi jalar sebagai berkut; (1) Melihat S-O Strategi alternative yand dapat diterapkan dalam rangka pengembangan prdouk olahan pangan berbasis ubi jalar dengan melihat aspek antara kekuatan (S) dan peluang (O) adalah:
Melakukan sosialisasi pada masyarakat luas tentang olahan pangan dari ubi jalar
Adanya standar mutu makanan olahan pangan berbasis ubi jalar dari pemerintah
Meningkatkan produksi tepung ubi jalar
-
-
Kelemahan (Weaknesses) - W Masih banyak orang yang belum mengetahui dengan baik produk olahanan pangan berbasis ubi jalar Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengolah produk pangan berbasis ubi jalar. Kapasitas produksi ubi jalar masyarakat masih rendah Ubi jalar belum menjadi menu makanan utama masyarakat Ancaman (Threat) - T Rasa produk makanan olahan dari tepung ubi jalar tidak jauh berbeda dengan tepung lainnya Kapasitas produksi ubi jalar masyarakat masih rendah Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengolah produk pangan berbasis ubi jalar. Ubi jalar belum menjadi menu makanan utama masyarakat
Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi produk olahan pangan berbasis ubi jalar
Mensosialisikan pengolahan produk makanan yang berbasis pada ubi jalar
(3) Melihat S-T Strategi alternative yand dapat diterapkan dalam rangka pengembangan prdouk olahan pangan berbasis ubi jalar dengan melihat aspek antara kekuatan (S) dan Ancaman (T) adalah:
Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menanam ubi jalar
Meningkatkan kapasistas produksi ubi jalar
Adanya regulasi yang mengatur harga ubi jalar sehingga petani akan tertarik untuk menanam ubi jalar
(4) Melihat W-T
(2) Melihat W-O Strategi alternative yang dapat diterapkan dalam rangka pengembangan prdouk olahan pangan berbasis ubi jalar dengan melihat aspek antara kelemahan (W) dan peluang (O) adalah:
Strategi alternative yand dapat diterapkan dalam rangka pengembangan prdouk olahan pangan berbasis ubi jalar dengan melihat aspek antara kelemahan (W) dan Ancaman (T) adalah:
JEJAK, Vol. 2 No. 1, Maret 2009
89
Memberikan penyuluhan pada petanai untuk menanam ubi jalar
Meningkatkan produktivitas petani ubi jalar
Adanya regulasi yang dapat melindungi petani ubi jalar
Penyediaan pupuk dengan harga yang terjangkau bagi petani ubi jalar
SIMPULAN DAN SARAN Preferensi responden sebelum diberikan informasi tentang tepung ubi jalar dapat disimpulkan bahwa responden tidak dapat membedakan antara makanan yang berasal dari tepung terigu maupun dari tepung ubi jalar baik dari aroma, rasa maupun tekstur. Kalaupun terjadi perbedaaan maka tidak terlalu besar. Persepsi responden terhadap tepung ubi jalar menunjukkan sebagian besar menyatakan tahu pada saat ini tepung ubi jalar sudah banyak di pasaran yang dapat di gunakan untuk keperluan berbagai produk makanan. Sumber informasi yang diperoleh dari responden tentang tepung ubi jalar antara lain dari Koran/majalah, televisi/radio, teman, dan anggota keluarga seperti telihat pada . Informasi tersebut sebagian besar didapatkan dari koran / majalah. Pengembangan produk olahan berbahan dasar tepung ubi jalar harus memperhatikan faktor Internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain Aroma pada produk makanan olahan dari tepung ubi jalar, pengetahuan produk olahan pangan berbasis tepung ubi jalar, kesadaran masyarakat untuk mengolah produk makanan yang berbasis tepung ubi jalar dan dukungan pemerintah untuk terus memasyarakatkan tepung ini sebagai alternatif pengganti tepung terigu. Adapun faktor eksternal antara lain bayaknya bahan baku ubi jalar, kemudaha menanam, harga ubi jalar, jenis produk yang dapat dihasilkan dan luas lahan pertanian yang akan ditanami ubi jalar. Kedua faktor ini akan menjadi dasar bagi strategi pengembangan produk yang berbahan dasar tepung terigu.
DAFTAR PUSTAKA Anymous. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Pangan Lokal. Departemen Pertanian. Jakarta Antarlina, S.S. 1994. Peningkatan Kandungan Protein Tepung Ubi Jalar serta Pengaruhnya terhadap Kue yang Dihasilkan. Dalam Winarto, A., Y. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantosa, dan Sumarno (Eds). Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pascapanen Ubi Jalar Mendukung Argoindustri. Balittan Malang. Assael, Henry. 1992. Consumer Behavior and Marketing Action. 4th ed. Kent Publishing. Boston. Azam, N.A. 2006. Persepsi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat dan Lembaga Penyedia Jasa terhadap Pembayaran Non Tunai. Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Jakarta. Damardjati, D.S. dan S. Widowati. 1994. Pemanfaatan Ubi Jalar dalam Program Diversifikasi Guna Mensukseskan Swasembada Pangan. Dalam Winarto A., Y. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantosa, dan Sumarno (Eds). Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pascapanen Ubi Jalar Mendukung Agroindustri. Balittan Malang. Engel, James F. 1994. Perilaku Konsumen. Binarupa Aksara. Jakarta. Kotler Philip. 2005. Marketing Management. Eleven Edition. Prentice Hall Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Kuntjoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi. Penerbit : Erlangga, Jakarta. Saragih, B. 1997. Pembangunan Sektor Agribisnis dalam Rangka Pembangunan Ekonomi Indonesia. Dalam Agribisnis : Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Sevilla, C.G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Zuraida, N. dan Supriati, Y. 2001. Usahatani Ubi Jalar sebagai Bahan Pangan Alternatif dan Diversifikasi Sumber Karbohidrat. Buletin Agro Bio Vol. 4 No. 1 Tahun 2001.
90
Analisis Persepsi dan Preferensi Ibu Rumah Tangga . . . (Sucihatiningsih, dkk : 80 – 90)
PEDOMAN RINGKAS PENULISAN ARTIKEL JEJAK JEP FE UNNES
A. Ketentuan Umum: 1. Artikel lebih diutamakan hasil penelitian, dan kajian empiris atau hasil pemikiran konseptual dan kajian teoritis dalam bidang ekonomi yang belum pernah dimuat dan tidak sedang dikirim ke terbitan/jurnal lain. 2. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia yang baku atau bahasa Inggris yang baik. Diketik 1 spasi untuk abstrak serta 1,5 spasi untuk isi dengan font Arial 11 dan menggunakan ukuran kertas UNESCO A4, 210 x 297 mm sebanyak 15-20 halaman. 3. Artikel dikirim sebanyak satu eksemplar dan disertai soft copy dalam bentuk CD, atau disket atau USB serta dilengkapi dengan riwayat hidup, alamat lembaga/instansi, dan e-mail atau nomor telpon. 4. Penilaian, penerimaan atau penolakan artikel oleh tim redaksi JEJAK berdasarkan pada Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah 2006 oleh LIPI dan DP2M serta taat pada pedoman atau kaidah selingkung JEJAK. Hasil kemungkinan tentang penilaian artikel dapat berupa: a. Diterima tanpa perbaikan b. Diterima dengan sedikit perbaikan oleh redaksi c. Diterima dengan perbaikan dari penulis d. Ditolak karena kurang/tidak memenuhi syarat 5. Hasil tulisan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis. B. Ketentuan Khusus: 1. Sistematika Artikel a.
Sistematika penulisan di JEJAK harus lengkap dan bersistem baik yang mengikuti kaedah-kaedah selingkung dan ciri berkala ilmiah sebagai berikut: 1). Sistematika artikel hasil penelitian: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 200 kata berisi tujuan, metode dan hasil penelitian); kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, pokok masalah serta tujuan penelitian; landasan teori yang berisi penelitian sebelumnya dan landasan teori yang digunakan; metode penelitian; hasil dan pembahasan; simpulan dan saran; serta daftar pustaka. 2). Sistematika artikel hasil pemikiran konseptual: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 200 kata); kata kunci; pendahuluan berisi latar belakang dan ruang lingkup tulisan; pembahasan berisi bahasan utama yang dapat dibagi ke dalam sub-bagian; penutup; serta daftar pustaka.
b. Penulis artikel pada JEJAK JEP FE UNNES dituntut untuk menggunakan bahasa analisis secara tajam, jelas, lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer yang dilengkapi seperti; gambar, foto, tabel, grafik, model dan sebagainya untuk mendukung pemaparan analisis deskriptif dan sintesisnya. c.
Gaya selingkung berkala sistem pengacuan pustaka harus baku dan ditulis secara konsisten diurutkan menurut alfabetis (nama, tahun, urut abjad) mengikuti sistem Harvard. 1) Untuk buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang, Tahun, Judul Buku, Edisi, Kota penerbit: Nama penerbit. Pedoman Ringkas JEJAK JEP FE UNNES
2) Untuk jurnal/majalah/terbitan berkala ditulis dengan urutan: Nama penulis, Tahun, Judul tulisan, Nama jurnal/majalah, Vol., No., Hal., Kota penerbit: Nama penerbit. 3) Untuk tulisan/karangan yang merupakan bagian dari buku ditulis dengan urutan: Nama pengarang, Tahun, Judul tulisan/karangan, dalam (atau in) nama Editor (Ed), Judul buku, Hal. (pp.), Kota penerbit, Nama penerbit. 4) Untuk rujukan dari internet, tanggal akses atau tanggal down load harus dicantumkan. 5) Untuk rujukan dari koran ditulis dengan urutan: Nama penulis, (anonim, jika tidak ada pengarangnya), Tahun, bulan, tanggal, Judul tulisan, Nama koran, Nomor halaman, (kolom). 2. Isi dan Aspirasi Wawasan a.
Aspirasi wawasan penulisan artikel di JEJAK minimal berwawasan nasional atau regional serta lebih diharapkan mampu berwawasan internasional, sehingga sumbangan berkala artikel dalam JEJAK untuk kemajuan IPTEK adalah sangat tinggi. Artinya, sekalipun kajian isi artikel sifatnya tetap sangat spesifik dari suatu disiplin ilmu JEJAK, tetapi jangkauan wawasan artikel yang ditulis dengan bahasa baku yang baik dan lebih bersifat keuniversalan akan lebih dipentingkan dibandingkan dengan kenasionalan apalagi kelokalan.
b.
Sumbangan berkala pada IPTEK yang dimaksud diukur dari derajat keorisinalan dan makna kontribusi ilmiah temuan/gagasan/hasil pemikiran dalam tulisan yang dimuatnya harus tetap sesuai dengan bidang disiplin Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan JEJAK.
c. Bobot isi kemutakhiran bahan yang diacu dan ketajaman analisis serta sinteksis yang dilakukan secara kritis serta peranannya dapat berfungsi sebagai pemacu kegiatan penelitian berikutnya sangat diutamakan. Karena itu, penarikan kesimpulan yang mampu mencetuskan teori baru atau metode/model ilmiah baru yang dituangkan secara mapan dan lebih bermakna ilmiah akan lebih diutamakan daripada kesimpulan dangkal dan saran bahwa penelitiannya perlu dilanjutkan. 3. Format Artikel JUDUL Judul artikel harus ditulis spesifik dan efektif, tidak boleh disingkat dan tidak lebih dari 14 kata dalam tulisan berbahasa Indonesia, atau 10 kata bahasa Inggris, sehingga sekali dibaca dapat ditangkap maksudnya secara komprehnsif. Keefektifan judul harus bersifat baku dan lugas. Nama Penulis Nama penulis artikel ditulis baku dan lengkap tanpa gelar akademis, dan di bawah nama penulis disertai alamat lembaga dan alamat e-mail. ABSTRAK Abstrak ditulis secara gamblang, utuh dan lengkap mengambarkan esensi keseluruhan tulisan, dan abstrak bukan ringkasan. Isi abstrak maksimal 200 kata yang meliputi tujuan penelitian atau penulisan artikel, metode yang digunakan, hasil atau kesimpulan. Jika artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, maka abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris. Tetapi, jika artikel ditulis dalam bahasa inggris, maka abstrak tetap dalam bahasa inggris saja.
Pedoman Ringkas JEJAK JEP FE UNNES
Kata Kunci Di bawah abstrak disertai kata kunci. Kata kunci ini harus dipilih secara cermat, sehingga mencerminkan konsep yang dikandung artikel terkait, dan merupakan kelengkapan artikel ilmiah untuk membantu keteraksesan artikel yang bersangkutan. PENDAHULUAN Tidak hanya berisi latar belakang masalah pentingnya penelitian tersebut dilakukan, tetapi juga berisi pokok masalah, serta tujuan penelitian dan sintesa dari artikel yang ditulis oleh penulis. LANDASAN TEORI Berisi penelitian sebelumnya yang mendukung penguatan pentingnya penelitian atau artikel tersebut perlu dilakukan dan landasan teori yang benar-benar digunakan dalam artikel tersebut, serta hipotesis penelitian jika ada. METODE PENELITIAN Menguraikan desain riset atau tata cara penelitian secara rinci (metode, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan model analisis data serta cara penafsiran atau cara interprestasi hasil penelitian) HASIL DAN PEMBAHASAN Berisi hasil penelitian yang sewajarnya dan dianggap paling menonjol yang disusun secara sistematis, informatif dan kritis serta ditulis dalam bentuk bahasa yang baku (baik dan benar). Hasil pengolahan data yang disajikan harus selektif dan mampu menggunakan fasilitas penjelas secara informatif dan kritis sehingga tidak memberikan informasi yang berulang. Ingat semua penulis artikel Jejak dituntut untuk menggunakan bahasa analisis secara tajam, jelas, lengkap, kritis, argumentatif dan informatif serta komplementer sementara; gambar, foto, tabel, grafik, model dan sebagainya bukanlah hasil pokok tetapi, hanya untuk mendukung pemaparan analisis deskriptif dan sintesisnya yang kritis dan argumentatif. Pembahasan hasil merupakan analisis atau argumentasi kritis mengenai relevansi hasil dengan teori dan fakta empiris, manfaat serta kemungkinan pengembangan yang lebih bermakna ilmiah dan univesal. Artinya, kepioniran isi artikel ditentukan oleh kemutakhiran state-of-the-art IPTEK yang dikandung, kecanggihan sudut pandang dan ketepatan pendekatan yang digunakan serta kebaruan temuan bagi pengembangan ilmu. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan harus dapat dirumuskan dengan tajam, tegas, cermat, singkat dan jelas serta berdasarkan fakta temuan empiris dalam penelitian atau hasil pemikiran kritis yang mampu memacu penelitian berikutnya. Saran atau rekomendasi jika ada harus tegas, dan jelas serta bersifat operasional dan tetap harus terkait dengan hasil penelitian ilmiah yang ditemukan. DAFTAR PUSTAKA Berisi daftar bacaan yang aktual dan hanya berisi sumber acuan yang digunakan saja serta harus mengikuti sistematika seperti yang telah dijelaskan di atas. Daftar rujukan bacaan diharapkan 85% dari referensi buku atau jurnal-jurnal ilmiah terbaru maksimal terbitan 10 tahun terakhir. Semakin tinggi pustaka primer yang diacu akan semakin baik dan makin bermutu artikel tersebut, tetapi semakin sering penulis mengacu pada diri sendiri (self citation) akan dapat mengurangi prioritas penilaian berkala dan penolakan dimuatnya artikel.
Pedoman Ringkas JEJAK JEP FE UNNES