PENGANTAR PENULIS Buku “Pikir Itu Pelita Hati” KARYA Pikir Itu Pelita Hati lahir dari hasrat untuk melawan pembodohan dan pembiadaban yang melanda bangsa Indonesia akibat sepertiga abad berkuasanya rezim orba jenderal fasis Soeharto. Soeharto naik panggung dengan penggulingan Bung Karno lewat kebohongan demi kebohongan dan pembantaian terhadap pendukung Bung Karno, para pimpinan dan anggota PKI, serta manusia tak berdosa. Manusia tak berdosa korban pembantaian di Indonesia melebihi jumlah manusia yang dibunuh fasis Jepang sebanyak 300.000 di Nanjing tahun 1937. Lebih mengerikan dari kekejaman fasis Nazi membunuh kaum Yahudi dalam Perang Dunia II. Dalam pembantaian di Indonesia, yang mati lebih banyak daripada korban bom atom yang menimpa Hiroshima dan Nagasaki. Pembantaian ini adalah teror. Membenarkan teror untuk mencapai tujuan adalah kebiadaban. Di bawah kekuasaan orba, teror bersimaharajalela. Berkembang ajaran yang membenarkan teror untuk mencapai tujuan. Bangsa beradab jadi biadab. Berlangsung kebiadaban yang tak ada taranya dalam sejarah Indonesia. Kebiadaban ini disembunyikan rezim orba Soeharto dengan berbagai cara, antara lain dengan kebohongan‐kebohongan dalam buku sejarah, pembikinan film Pengkhianatan G30S PKI, pembangunan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Ini adalah pemalsuan sejarah, adalah pembodohan bangsa. Bukan hanya ini, bahkan dibiarkan penyebaran ajaran kaum fanatik yang membenarkan dan melakukan teror untuk mencapai tujuan. Salah satu puncaknya adalah pembantaian yang dilakukan rezim orba terhadap kaum komunis Indonesia dan manusia tak berdosa pendukung Bung Karno. Pembodohan dan pembiadaban inilah yang menyebabkan meski berlalu setengah abad tapi pelaku kebiadaban ini masih terlindung. Jutaan sanak keluarga korban didera siksaan batin. Tiada permintaan maaf dari pemerintah, apalagi pengadilan atas yang berdosa. Ini berarti korban dipaksa memaafkan pembunuh, memaafkan yang biadab. Kebiadaban menyebabkan tak tahu lagi membedakan mana benar dan salah. Pikiran siapa yang tak tergugah oleh siksa derita kebiadaban yang melanda bangsa ini? Pikiran lahir dari kerja otak. Berpikir adalah kerja, adalah tindak tanduk otak yang menghasilkan pikiran. Mampu berpikir inilah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya di alam raya. Pikiran berperan membimbing setiap perbuatan sadar manusia. Tak bisa berpikir adalah bodoh. Berpikir tidak manusiawi adalah biadab. Bodoh dan biadab berakar pada cara berpikir yang salah. Membiasakan hidup tanpa menggunakan
1
otak, tanpa menggunakan pikiran, hidup serba percaya, berarti melakukan kebodohan. Menanamkan kebiasaan tidak berpikir atau membiasakan berpikir salah, memelihara kebiasaan serba percaya tanpa berpikir, adalah pembodohan. Dari bodoh, manusia bisa jadi biadab. Dengan berpikir tepat, manusia bisa membedakan mana benar dan salah, bisa dapat akal memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, pikiran yang tepat akan menentukan tepatnya tindak‐tanduk manusia. Pikiran yang tepat akan membimbing tindakan tepat manusia. Sekali pikiran yang tepat dikuasai manusia, akan melahirkan kekuatan maha perkasa. Pikiran tepat, yang ilmiah, bisa mengubah dunia. Inilah akar pandangan: Tanpa Teori Revolusioner, Tak Ada Gerakan Revolusioner. Demikianlah pentingnya arti pikiran dalam kehidupan. Maka sungguh arif dan bijaksana nenek moyang kita mewariskan ungkapan Pikir Itu Pelita Hati. Memang, pikiran itu adalah suluh hidup bak mercu-suar memancarkan sinar, memandu pelaut di samudera raya dalam kegelapan malam. Maka tak ayal lagi, berpikir itu ada ilmunya, ada hukumnya. Untuk bisa berpikir ilmiah, perlu menguasai hukum cara berpikir. Hukum‐hukum cara berpikir dapat dipelajari dari pengalaman kenyataan perkembangan cara berpikir dalam sejarah. Maka perlu mempelajari perkembangan cara berpikir di Nusantara. Sejarah menunjukkan, bahwa di Nusantara terdapat bermacam ragam cara berpikir, mulai dari animisme, mistisisme, pengaruh Hinduisme, Buddhisme, Islam, agama-agama lain, serta bermacam ragam kepercayaan, sampai pada masuknya cara berpikir ilmiah, yang paling maju dalam sejarah, yaitu masuknya Marxisme pada abad ke‐20. Dengan kalimat‐kalimat “Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu komunisme”, Manifesto Partai Komunis karya Marx dan Engels pada pertengahan abad ke‐19 mengumandangkan program Marxisme demi mengubah dunia, yaitu melenyapkan penghisapan manusia oleh manusia, membangun masyarakat berkeadilan sosial, masyarakat sosialis, menuju komunisme. Semenjak itu, sejarah memasuki zaman baru, zaman perjuangan hidup‐mati antara dua kekuatan dalam masyarakat, antara kekuatan klas burjuasi yang mempertahankan tata kehidupan lama, yang mempertahankan pembodohan dan pembiadaban, melawan kekuatan klas pekerja yang ingin membangun dunia baru, dunia tanpa pembodohan dan pembiadaban, yaitu dunia tanpa penghisapan manusia oleh manusia. Dalam pelaksanaan Marxisme selama dua abad, sejarah mencatat kegagalan‐ kegagalan dan kemenangan‐kemenangan. Dua puluh tiga tahun setelah Manifesto diumumkan, tahun 1871, kekuasaan burjuasi Perancis sempat digulingkan oleh Komune Paris. Tapi dalam waktu pendek Komune Paris dikalahkan oleh borjuasi.
2
Empat puluh enam tahun kemudian, pada awal abad ke‐20, revolusi besar sosialis di bawah pimpinan Lenin mencapai kemenangan dengan berdirinya negara diktatur proletariat Uni Republik‐Republik Sovyet Sosialis (URSS). Selama tujuh dasawarsa, sosialisme sempat berjaya di Uni Sovyet. Bangkitnya fasisme Jerman, Italia, dan Jepang dengan Pakta Anti‐Komintern‐nya yang mengobarkan Perang Dunia II adalah demi membasmi komunisme. Kekalahan fasisme dalam Perang Dunia II disusul oleh Perang Dingin yang digalakkan Amerika Serikat untuk melanjutkan usaha membasmi komunisme sejagat. Maksud buku Pikir Itu Pelita Hati adalah untuk memaparkan perkembangan pikiran ilmiah, terutama di bidang kemasyarakatan semenjak zaman purba sampai abad ke‐21. Intinya terpusat pada perkembangan Marxisme, membantah pandangan yang menyatakan Marxisme sudah punah, menegakkan pandangan bahwa Marxisme berkembang sampai lahir Teori Deng Xiaoping. Berpikir ilmiah berarti memandang segala‐galanya berdasarkan kenyataan. Inilah materialisme. Lebih dulu dari Thales, pemikir materialis Yunani kuno yang menyatakan bahwa air adalah asal‐usul segalagalanya di alam raya, di Tiongkok telah tampil pikiran bahwa di alam raya ada 5 unsur asal‐muasal. Wu Xing, yaitu air, api, tanah, kayu, dan logam. Pemikir Lao Zi telah tampil dengan ajarannya Dao De Jing, ajaran agama Dao. Dao De Jing mengandung unsur materialisme dan dialektika. Pikir Itu Pelita Hati berusaha memaparkan materialisme sampai materialisme Marxis, yaitu pandangan materialisme dengan metode dialektika, dan penerapan dalam masalah kemasyarakatan, yaitu materialisme historis. Marxisme dipaparkan secara historis, sampai pada perkembangan menjadi Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, dan Teori Deng Xiaoping. Pikir Itu Pelita Hati bukan hanya memaparkan keunggulan serta kemenangan‐ kemenangan Marxisme dalam sejarah, tapi juga memperkenalkan kekuatan‐kekuatan lawan Marxisme, para penyeleweng atas Marxisme, musuh‐musuh Marxisme, yaitu revisionisme, Trotskisme, para penganut Pasca‐Marxisme, Euro‐Komunisme. Marxisme yang lahir pada pertengahan abad ke‐19 mengalami ujian berat pada akhir abad ke‐19 dan pada abad ke‐20. Penggulingan kekuasaan burjuasi Perancis berakhir dengan kalahnya Komune Paris di tahun 1871. Kemenangan Revolusi Oktober dan kejayaan Uni Sovyet berujung pada rontoknya Tembok Berlin dan ambruknya Uni Sovyet. Disusul dengan ambruknya negara‐negara sosialis Albania, Bulgaria, Rumania, Cekoslowakia, Polandia, dan Jerman Timur. Borjuasi 3
bergendang paha, sampai‐sampai Presiden Amerika, George W. Bush, awal tahun 1992 dengan khidmat mendeklarasikan “Perang Dingin sudah usai, komunisme sudah mampus, dan kita menang!” Pembasmian komunisme dalam Perang Dingin juga melanda Indonesia. Muaranya adalah naik panggungnya jenderal fasis Soeharto dengan menggulingkan Bung Karno setelah membasmi kekuatan utama pendukung Bung Karno yaitu Partai Komunis Indonesia. Para pendukung orba, antek Perang Dingin di Indonesia menepuk dada, merasa telah “berjasa” membasmi PKI, melarang komunisme di Indonesia dan menggulingkan Bung Karno. Dengan ambruknya Uni Sovyet, berkumandang suara menyorakkan punahnya Marxisme. Pikir Itu Pelita Hati membantah dengan memaparkan bahwa Marxisme tak salah apalagi punah. Sebabmusabab ambruknya sistem sosialis Sovyet bukanlah karena Marxisme yang dipraktekkan itu yang salah, tapi kesalahan adalah karena dicampakkannya ajaran pokok Marxisme, yaitu ajaran diktatur proletariat, dan secara sukarela dilepaskannya kepemimpinan Partai Komunis atas negara sosialis. Mengenai pembangunan sosialisme, Pikir Itu Pelita Hati secara khusus memaparkan ajaran Lenin tentang kapitalisme negara yang diperlukan selama masa peralihan menuju sosialisme di bawah diktatur proletariat. Soal paham pasca‐Marxisme dikemukakan, bahwa penganut paham ini sesungguhnya tidaklah membela, menyempurnakan Marxisme, atau mengoreksi pelaksanaan Marxisme, tetapi adalah mengebiri bahkan menegasi materialisme dialektis dan menentang ajaran Marx tentang diktatur proletariat. Belajar dari kegagalan sosialisme Sovyet dan ambruknya negaranegara sosialis Eropa Tengah dan Timur, Deng Xiaoping tampil dengan gagasan Empat Prinsip Dasar, yaitu untuk membangun sosialisme di Tiongkok haruslah: 1. menempuh jalan sosialisme; 2. menjunjung diktatur proletariat; 3. di bawah pimpinan Partai Komunis; dan 4. menjunjung ideologi Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong. Maka walaupun mengalami Peristiwa Tian An Men berdarah, yaitu “gerakan demokrasi” demi menggulingkan diktatur proletariat Tiongkok, Negara Republik Rakyat Tiongkok tidak tergoyahkan. Tiongkok dengan seperlima penduduk dunia yang miskin dan terbelakang pada pertengahan abad ke‐20, maju melompat menjadi negara terbesar kedua di bidang ekonomi mengungguli Jepang. Inilah demonstrasi kejayaan realisasi pembangunan sosialisme berciri Tiongkok, yaitu pelaksanaan Marxisme yang di‐Tiongkok‐kan.
4
Jiang Zemin mengemukakan bahwa Teori Deng Xiaoping adalah pengembangan Pikiran Mao Zedong, pengembangan Marxisme yang diterapkan di Tiongkok. Di samping Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, Hu Jingtao menampilkan rumusan pandangan ilmiah tentang perkembangan sebagai ideologi pembimbing PKT. Maka kemajuan ekonomi Tiongkok yang mengagumkan dunia menunjukkan bahwa Marxisme tidaklah punah. PKT yang memimpin Republik Rakyat Tiongkok menjadikan Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Pikiran Penting “Tiga Butir Mewakili”, pandangan ilmiah tentang perkembangan, dan Teori Deng Xiaoping, sebagai ideologi pembimbingnya. Di bawah pimpinan Sekjen Xi Jinping, dengan pelaksanaan putusan‐putusan Kongres XVIII PKT, Tiongkok sedang maju bergelora demi mewujudkan Impian Tiongkok, cita‐cita mulia untuk Kebangunan Kembali Tiongkok yang jaya, bersenjatakan Teori Deng Xiaoping yang telah memperkaya Marxisme–Leninisme dengan gagasan‐gagasan baru sosialisme berciri Tiongkok yang belum ada sebelumnya dalam literatur Marxis. Ungkapan‐ ungkapan “menjadi kaya itu mulia” dan “kucing hitam atau kucing putih, asal bisa menangkap tikus adalah kucing yang baik” adalah memvulgarkan Deng Xiaoping. Tanpa mengenal Teori Deng Xiaoping, yang merupakan pengembangan Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, adalah sulit untuk memahami perkembangan Tiongkok dewasa ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yoseph Tugio Taher, Ibrahim Isa, Chalik Hamid, atas sambutannya. Serta teramat berterima kasih kepada Koesalah Soebagyo Toer yang walaupun sedang sakit tetapi tetap memberikan sekapur sirih sebagai pengganti kata pengantar. Juga terima kasih kepada Bilven serta para pengelola Penerbit ULTIMUS yang berjerih‐ payah menyusun dan mengedit hingga terbitnya Pikir Itu Pelita Hati ini. Terima kasih khusus disampaikan kepada Darwin Iskandar, editor dan menulis “Catatan Editor” yang ikut memberi bobot. Kesan‐ kesan dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan dan untuk itu terlebih dulu penulis mengucapkan banyak terima kasih. 4 Februari 2015 Suar Suroso
5