PENGANTAR
Konflik selalu menghiasi kehidupan manusia dari jaman ke jaman. Konflik inilah yang membuat dunia menjadi ramai, dinamis dan selalu berubah. Bagaimanapun usaha manusia untuk menghindar dari konflik, konflik tetap akan menjadi bagian dari kehidupan sosial (Sarwoto, 1994). Suatu konflik yang tidak ditangani dengan secara tepat biasanya akan semakin tajam, meluas dan akan semakin banyak menimbulkan kerugian. Oleh karena itu banyak yang mencoba untuk mengurangi dan menekan konflik sedapat mungkin karena tidak menghendaki adanya kerugian Penyikapan terhadap konflik seperti ini sebenarnya kurang tepat karena selain merupakan konsekuensi dari perbedaan individu yang tidak dapat dihindarkan, menurut Deutseh (Mardianto, 2000) konflik sebenarnya merupakan akar perubahan pribadi dan sosial sebab konflik berfungsi sebagai medium untuk menjernihkan permasalahan dan mencapai solusi. Mengingat
konflik juga memiliki manfaat, jelas bahwa yang terpenting
adalah bagaimana mengelola konflik yang timbul supaya tidak menimbulkan kerugian tetapi justru membawa dapak yang konstruktif bagi individu-individu yang terlibat Pada masa remaja konflik mendapat banyak perhatian dari para ahli. Menurut Collins dan Laursen (Farida, 1996) konflik yang pada remaja disebabkan oleh meningkatnya intensitas konflik interpersonal akibat adanya perubahan yang cepat dalam bentuk perubahan fisik maupun psikis pada masa itu. Menurut Conger
(Farida,1996) Menurut Conger (Farida, 1996) pada masa ini ikatan dengan orangtua menjadi longgar dan remaja berusaha mencapai kemandirian yang lebih besar, dalam proses ini kelompok banyak menggantikan fungsi-fungsi yang sebelumnya diperankan
oleh
orangtua.
Mengingat
pentingnya
kelompok,
keterampilan
manajemen akan sangat dibutuhkan oleh remaja untuk mempertahankan hubungan dengan kelompok. Keberhasilan remaja dalam melakukan pengelolaan konflik (conflict management) merupakan peningkatan kedewasaan sikap sosial. Banyak faktor yang mempengaruhi seorang remaja dalam dalam melakukan pengelolaan konflik. Menurut Collins & Laursen (Farida, 1996), kemampuan manajemen konflik banyak didukung oleh karakteristik-karakteristik seperti keterbukaan akan pendapat, hubungan yang hangat, serta kebiasaan untuk tidak menyelesaikan masalah sepihak. Sedangkan Bordaman & Horowits (Mardianto, 2000) menyatakan bahwa karakteristik kepribadian berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu, terutama yang memiliki kecenderungan agresif, kemampuan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif atau kompetitif, kemampuan berempati, dan kemampuan untuk menemukan alternatif penyelesaian konflik. Keberhasilan seseorang dalam penyelesaian konflik sebenarnya tidak lepas dari religiusitas. Hal ini didukung pendapat Kung (Sadarmanto, 1998) melihat agama sebagai suatu realisasi sosial individu yang hidup dalam ajaran, perilaku, serta ritusritus agama dan dunianya berlangsung melalui tradisi manusia dan masyarakatnya. Realisasi sosio-individu yang hidup menciptakan sistem yang mengatur nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai kerangka acuan bagi realitas
Dister (1998) menjelaskan lebih dalam mengenai keutamaan agama sebagai pendidikan dan pegangan dalam hidup bermasyarakat. Fungsi agama tersebut merupakan wujud religiusitas individu yang berkaitan langsung dengan moral dan sosial individu. Selanjutnya dikatakan bahwa nilai-nilai moral manusia berupa keadilan, kejujuran, kesadaran, keteguhan hati dimiliki tiap-tiap individu dan interaksi dengan Tuhan akan menuntut manusia untuk menerapkan nilai-nilai yang benar. Hal ini berlaku pada saat individu melakukan interaksi dengan sesama manusia (Dister,1988). Agama Islam mengatur umatnya untuk dapat mengaktualisasikan prinsip berupa ” Habluminallah dan Habluminnannas ” yaitu kemampuan untuk menjalin hubungan penghambaan secara vertikal kepada Allah dan kemampuan membina hubungan sesama manusia dengan baik. Manajemen konflik merupakan salah satu wujud aplikasi dari habluminannas, yaitu kemampuan membina hubungan antara individu dengan baik yang dilandaskan atas dasar manusia sabagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain dengan mendorong individu untuk selalu menghadirkan kebaikan dan kasih sayang di antara sesama manusia (rahmatan lil’alamin). Dengan mendekatkan diri pada Tuhan seseorang akan senantiasa merasa tentram, tenang, penuh pertimbangan dan perhitungan yang matang, iklas, sabar, dan lapang dada (Adz-Dzaky, 2002) Bentuk penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keagamaan dari masingmasing agama berbeda-beda. Bagi umat muslim, bentuk penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keagamaan tersebut diantaranya berupa sholat, dzikir,
membaca Al’Quran, berpuasa dan ritual lainnya. Kualitas dan kuantitas pengalaman nilai-nilai keagamaan yang dilakukan seseorang menunjukan tingkat religiusitas dari individu tersebut. Semakin sering dan intensif mengaplikasikan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari maka semakin tinggi tingkat religiusitasnya. Individu dengan religiusitas yang tinggi dianggap memiliki pedoman untuk untuk merespon hidup dan mempunyai daya tahan yang lebih baik dalam mengelola permasalahan yang dihadapi (Prihastuti & Theresiawati, 2003). Lebih lanjut Rahmat (2003) mengatakan bahwa jika penghayatan dan pelaksanaan terhadap nilai-nilai agama tersebut meningkat maka akan memunculkan perasaan bahagia, senang, puas, merasa aman yang pada akhirnya akan mengacu pada ketenangan batin. Tingkat religiusitas yang tinggi bisa diasumsikan dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi ketegangan-ketegangan akibat permasalahan yang dirasakan berat dan menekan. Istilah manajemen berasal dari bahasa Italia Maneggiare (Haney dalam Mardianto, 2000) yang berarti melatih kuda-kuda atau secara harfiah to handle yang berarti mengendalikan, sedangkan dalam kamus Inggris Indonesia (Echols dan Shadily, 2000) management berarti pengelolaan dan istilah manager berarti tindakan membimbing atau memimpin, sedangkan dalam bahasa Cina, manajemen adalah kuan lee yang berasal dari dua kata yaitu kuan khung (mengawasi orang kerja) dan lee chai (mengurusi uang) (Mardianto, 2000). Sehingga manajemem dapat didefinisikan
sebagai
mengawasi/mengatur
orang
bekerja
dan
mengurusi
administrasi dengan baik. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1997) manajemen adalah proses penggunaan sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai
tujuan. Manajemen merupakan proses penting yang menggerakkan organisasi karena tanpa manajemen yang efektif tidak akan ada usaha yang berhasil cukup lama. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen sebuah tindakan yang berhubungan dengan usaha tertentu dan penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai tujuan. Setelah memahami pengertian manajemen, selanjutnya adalah pengertian konflik. Menurut kamus bahasa Indonesia (1997), konflik berati percekcokan, pertentangan, atau perselisihan. Konflik juga berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang atau kelompok-kelompok. Setiap hubungan antar pribadi mengandung unsur-unsur konflik, pertentangan pendapat, atau perbedaan kepentingan. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995) konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain. Kendati unsur konflik selalu terdapat setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya masyarakat memandang konflik sebagai keadaan yang harus dihindarkan karena konflik dianggap sebagai faktor yang merusak hubungan. Menurut defenisi konflik di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah segala macam interaksi pertentangan antara dua pihak atau lebih. Konflik dapat timbul pada berbagai situasi sosial, baik terjadi dalam diri individu, antar individu, kelompok, organisasi, maupun negara. Pendapat Deutch yang dikutip oleh Pernt dan Ladd (Indati, 1996) menyatakan bahwa proses untuk mendapatkan kesesuaian pada individu yang mengalami konflik disebut dengan pengelolaan konflik atau bisa disebut dengan manajemen konflik.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah cara yang digunakan individu untuk menghadapi pertentangan atau perselisihan antara dirinya dengan orang lain yang terjadi di dalam kehidupan. Gottman dan Korkoff (Mardianto, 2000) menyebutkan bahwa secara garis besar ada dua manajemen konflik, yaitu : 1. Manajemen konflik destruktif yang meliputi conflict engagement (menyerang dan lepas control), withdrawal (menarik diri) dari situasi tertentu yang kadangkadang sangat menakutkan hingga menjauhkan diri ketika menghadapi konflik dengan cara menggunakan mekanisme pertahan diri, dan compliance (menyerah dan tidak membela diri). 2. Manajemen konflik konstruktif yaitu positive problem solving yang terdiri dari kompromi dan negosiasi. Kompromi adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk melaksanakan kompromi adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya dan sebaliknya sedangkan negosiasi yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang. Gessel dkk (Yususf, 2001) mengemukakan bahwa remaja 14 tahun seringkali mudah marah, mudah terangsang, dan emosinya mudah meledak dan kurang bisa mengendalikan perasaannya. Hal ini merupakan bentuk permasalahan yang akarnya bisa saja sepele tapi memakan korban akibat tidak adanya penyelesaian yang baik
terhadap masalah. Remaja lebih memilih adu otot daripada duduk bersama dan membicarakan masalah yang terjadi. Dister (1988) menjelaskan lebih dalam mengenai keutamaan agama sebagai pendidikan dan pegangan dalam hidup bermasyarakat. Funsi agama tersebut merupakan wujud religiusitas individu yang berkaitan langsung dengan moral dan nilai sosial individu. Selanjutunya dikatakan bahwa nilai-nilai moral manusia berupa keadilan, kejujuran, kesadaran, keteguhan hati dimiliki tiap-tiap individu dan interaksi dengan Tuhan akan menuntut manusia untuk menerapkan nilai-nilai yang benar. Hal ini berlaku pada saat individu melakukan interaksi dengan sesama manusia (Dister, 1988). Secara bahasa ada tiga istilah yang masing-masing kata tersebut memiliki perbedaan arti yakni religi, religiusitas dan religius. Slim (Rasmanah, 2003) mendefenisikan istilah tersebut dari bahasa Inggris. Religi berasal dari kata religion sebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati diatas manusia. Religiusitas berasal dari kata religiosity yang berarti keshalihan, pengabdian yang besar pada agama. Religiusitas berasal dari religious yang berkenaan dengan religi atau sifat religi yang melekat pada diri seseorang. Religiusitas berasal dari bahasa latin “relegare” yang berarti mengikat secara erat atau ikatan kebersamaan (Mansen, dalam Kaye & Raghavan, 2000). Religiusitas adalah sebuah ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual (Kaye & Raghavan, 2000).
Secara bahasa ada tiga istilah yang masing-masing kata tersebut memiliki perbedaan arti yakni religi, religiusitas dan religius. Slim (Rasmanah, 2003) mendefenisikan istilah tersebut dari bahasa Inggris. Religi berasal dari kata religion sebagai bentuk dari kata benda yang berarti agama atau kepercayaan akan adanya sesuatu kekuatan kodrati diatas manusia. Religiusitas berasal dari kata religiosity yang berarti keshalihan, pengabdian yang besar pada agama. Religiusitas berasal dari religious yang berkenaan dengan religi atau sifat religi yang melekat pada diri seseorang. Religiusitas berasal dari bahasa latin “relegare” yang berarti mengikat secara erat atau ikatan kebersamaan (Mansen, dalam Kaye & Raghavan, 2000). Religiusitas adalah sebuah ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku dan ritual (Kaye & Raghavan, 2000). Defenisi lain mengatakan bahwa religiusitas merupakan sebuah proses untuk mencari sebuah jalan kebenaran yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral (Chatters, 2000). Menurut Majid (1992) religiusitas adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban atau alam gaib, yaitu kenyataan-kenyataan
supra-empiris.
Manusia
melakukan
tindakan
empiris
sebagaimana layaknya tetapi manusia yang memiliki religiusitas meletakan harga dan makna tindakan empirisnya dibawah supra-empiris. Dari beberapa definisi yang diungkapakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas merupakan suatu bentuk hubungan manusia dengan penciptanya melalui ajaran agama yang sudah terinternalisasi dalam diri seseorang dan tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-hari.
Menurut Glck (Rahmat, 2003) bahwa ada lima aspek atau dimensi religiusitas yaitu : a.
Dimensi Ideologi, yaitu dimensi dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, dsb. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang paling mendasar.
b.
Dimensi Peribadatan, yaitu dimensi keberagaman uan berkaitan dengan sejumlah perilaku, dimana perilaku tersebut sudah ditetapakan oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, shalat atau menjalankan ritual-ritual khusus pada hari-hari suci.
c.
Dimensi Penghayatan, yaitu dimensi yang berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang dilakukannya, misalnya kekhusyukan ketika melakukan sholat.
d.
Dimensi Pengetahuan, yaitu berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang dianutnya.
e.
Dimensi Pengamalann, yaitu berkaitan dengan akibat dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya yang diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Ada hubungan positif antara religiusitas dengan manajemen konflik pada remaja.
Metode Penelitian Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pelajar SMU Negeri 2 Ngaglik, Sleman. Yang memilki ciri atau sifat-sifat populasi yaitu berusia 15-18 tahun, siswasiswa kelas I, II dan masih aktif sebagai pelajar di SMU Negeri 2 Ngaglik tersebut. Metode Pengumpulan Data Ada dua macam skala yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu skala religiusitas dan skala manajemen konflik. 1. Skala manajemen konflik Skala
ini
bertujuan
untuk
mengungkap
seberapa
sering
subjek
menggunakan tiap-tiap cara pengelolaan konflik dalam menghadapi perselisihan atau konflik. Skala ini disusun oleh peneliti yang mengacu pada aspek-aspek manajemen konflikmenurut Gottman dan Korkoff (Mardianto, 2000) yaitu: a.
Conflict engagement (menyerang dan lepas control)
b. Withdrawal (menarik diri) dari situasi tertentu yang kadang-kadang sangat menakutkan hingga menjauhkan diri ketika menghadapi konflik dengan cara menggunakan mekanisme pertahan diri c. Compliance (menyerah dan tidak membela diri). d. Positive problem solving yang terdiri dari kompromi dan negosiasi. Kompromi adalah suatu bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat mengurangi tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada Tabel 1 Blue print skala manajemen konflik No Aspek Favourable 1 positive problem solving 1,3,5,7,9
Unfavourable 12,14,16,18,20
Jumlah 10
2 3 4
conflict engagement Withdrawal Compliance Jumlah
21,23,25,27,29 31,33,35,37,39 11,13,15,17,19 20
32,34,36,38,40 2,4,6,8,10 22,24,26,28,30 20
10 10 10 40
Penilaian pada skala ini dilakukan dengan menjumlahkan skor yang diperoleh pada setiap aitem yang dijawab. Skala manajemen konflik ini terdiri dari 4 alternatif jawaban dengan menggunakan skala sikap model Likert yaitu : sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Pemberian skor bergerak dari angka 1 sampai dengan angka 4, pada pernyataan favorable nilai tertinggi 4 adalah untuk jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk jawaban sesuai (S), 2 untuk jawaban tidak sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS). Sebaliknya untuk pertanyaan unfavorable, nilai 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS), 3 untuk jawaban tidak sesuai (TS), 2 untuk jawaban sesuai (S), dan 1 untuk jawaban sangat sesuai (SS). Semakin tinggi total skor yang diperoleh subyek pada skala manajemen konflik, maka tingkat manajemen konflik subjek semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah total skor yang diperoleh subjek pada skala manajemen konflik, maka semakin rendah tingkat manajemen konflik subyek. Pada skala manajemen konflik tersebut dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas terlebih dahulu. Uji validitas skala adalah sejauh mana skala tersebut menghasilkan data yang akurat (tepat) dan cermat sesuai dengan fungsi ukurnya. Suatu tes atau intrument pengukuran dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sebaliknya tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan
sebagai tes yang memilki validitas yang rendah (Azwar, 2003). Sedangkan Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur tingkat keajegan alat ukur yang pada dasarnya menunjukan sejauh mana suatu pengukuran dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran ulang pada subjek yang sama (Azwar, 2003). 2. Skala Religius Skala ini bertujuan untuk mengungkap tingkat religiusitas subjek. Skala ini disusun oleh peneliti yang mengacu pada dimensi-dimensi religiusitas yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Rakhmat, 2003). Adapun dimensi-dimensi religiusitas tersebut adalah: 1.
Dimensi keyakinan, yaitu dimensi dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai, misalnya kepercayaan adanya Tuhan, malaikat, surga, dsb. Kepercayaan atau doktrin agama adalah dimensi yang paling mendasar.
2.
Dimensi Peribadatan, yaitu dimensi keberagaman uan berkaitan dengan sejumlah perilaku, dimana perilaku tersebut sudah ditetapakan oleh agama, seperti tata cara ibadah, pembaptisan, pengakuan dosa, berpuasa, shalat atau menjalankan ritual-ritual khusus pada hari-hari suci.
3.
Dimensi Penghayatan, yaitu dimensi yang berkaitan dengan perasaan keagamaan yang dialami oleh penganut agama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang dilakukannya, misalnya kekhusyukan ketika melakukan sholat.
4.
Dimensi Pengamalan, yaitu berkaitan dengan akibat dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya yang diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Tabel 2 Blue print skala religiusitas No Dimensi 1 Keyakinan 2 Peribadatan 3 Penghayatan 4 Pengamalan Jumlah
Favourable 1,11,26,27,31,38,39 9,13,19,33,40 8,14,18,24,28,32 3,6,20,22,30,34 24
Unfavourable 10,12,17,37 25,36,41 2,7,15,23,29 4,5,16,21,35 17
Jumlah 11 8 11 11 41
Penilaian pada skala ini dilakukan dengan menjumlahkan skor yang diperoleh pada setiap aitem yang dijawab. Skala religiusitas ini terdiri dari 4 alternatif jawaban dengan menggunakan skala sikap model Likert yaitu :
sangat
sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Pemberian skor bergerak dari angka 1 sampai dengan angka 4, pada pernyataan favorable nilai tertinggi 4 adalah untuk jawaban sangat sesuai (SS), 3 untuk jawaban sesuai (S), 2 untuk jawaban tidak sesuai (TS), dan 1 untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS). Sebaliknya untuk pertanyaan unfavorable, nilai 4 untuk jawaban sangat tidak sesuai (STS), 3 untuk jawaban tidak sesuai (TS), 2 untuk jawaban sesuai (S), dan 1 untuk jawaban sangat sesuai (SS). Semakin tinggi total skor yang diperoleh subyek pada skala religiusitas, maka tingkat religiusitas subjek semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah total skor yang diperoleh subjek pada skala religiusitas, maka semakin rendah tingkat religiusitas subyek. Pada skala religiusitas tersebut dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas terlebih dahulu. Uji validitas skala adalah sejauh mana skala tersebut menghasilkan
data yang akurat (tepat) dan cermat sesuai dengan fungsi ukurnya. Suatu tes atau intrumen pengukuran dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat ukur tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan
maksud
dilakukannya
pengukuran
tersebut.
Sebaliknya
tes
yang
menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memilki validitas yang rendah (Azwar, 2003). Sedangkan Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur tingkat keajegan alat ukur yang pada dasarnya menunjukan sejauh mana suatu pengukuran dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran ulang pada subjek yang sama (Azwar, 2003).
Metode Analisis Data Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian korelasional yaitu ingin mengatahui hubungan antara religiusitas dengan manajemen konflik pada remaja. Data dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan metode statistik uji korelasi Product Moment dari Pearson yang akan diproses dengan menggunakan program SPSS for windows release 12.00
Hasil Penleitian Deskripsi Subyek Penelitian Jumlah subyek yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 69 subyek, berusia antara 15-18 tahun. Pengambilan data dilakukan di SMU 2 Ngaglik Sleman Yokyagyakarta. Deskripsi subyek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel Deskripsi Subyek Penelitian Berdasarkan Kelas dan Jenis Kelamin
No 1 2
Faktor Kelas Jenis kelamin
Kategori a. I b. II a. Laki-laki b. Perempuan
n 34 35 42 27
Uji Normalitas Hasil uji normalitas terhadap 69 subjek penelitian dihitung dengan menggunakan One Sample Kolmogorov Smirnov test. Kaidah statistik untuk uji normalitas adalah bila p>0.05. Dari uji normalitas yang dilakukan, dihasilkan variabel manajemen konflik
koefisien K-SZ = 0,725 ; p = 0, 670, variabel
religiusitas koefisien K-SZ = 0,881 ; p = 0,419. Hasil uji normalitas pada semua variabel adalah normal karena setiap variabel sudah memenuhi kaidah uji normalitas yaitu p > 0,05. Uji Linieritas Uji linieritas dilakukan untuk mengetahui kerelasi antara variabel manajemen konflik dengan religiusitas. Syarat dari uji linieritas ini adalah bila p < 0,05. Dari uji linieritas yang dilakukan, menunjukan bahwa korelasi antara manajemen konflik dengan religiusitas adalah linier dengan nilai F = 26,865; p = 0,000. Uji Hipotesis Uji hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel tergantung dengan variabel bebas. Hasil uji hipotesis dengan menggunakan analisis product moment dari Person, korelasi antara religiusitas dengan manajemen konflik menunjukan bahwa r = 0,503 ; p = 0,000 (p < 0,01). Kaidah uji statistik
terhadap p adalah bila p < 0,05 berarti signifikan dan p < 0,01 berarti sangat signifikan. Dari hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan manajemen konflik. Semakin tinggi tingkat religiusitas yang dimiliki responden maka semakin tinggi kemampuan manajemen konflik yang dimilki responden. Sebaliknya, semakin rendah tingkat religiusitas yang dimiliki responden maka semakin rendah kemampuan manajemen konflik yang dimiliki responden. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwa hipotesis yang dikemukakan oleh peneliti diterima.
Pembahasan Hasil analisis data menunjukan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara religiusitas dengan manajemen konflik (r = 0,503 dengan p = 0,000). Hal ini berarti semakin tinggi tingkat religiusitas yang dimiliki, maka semakin tinggi
kemampuan manajemen konflik yang dimiliki oleh remaja.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat religiusitas yang dimiliki maka semakin rendah kemampuan manajemen konflik yang dimiliki oleh remaja. Ini berarti bahwa religiusitas dan manajemen konflik memilki hubungan yang positif. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa individu dengan religiusitas yang tinggi dianggap memiliki pedoman untuk merespon hidup dan mempunyai daya tahan yang lebih baik dalam mengelola permasalahan yang dihadapi (Prihastuti & Theresiawati, (2003). Religiusitas individu merupakan wujud individu menjalin hubungan vertikal dengan Allah SWT (habluminallah) yaitu, manusia mentaati perintah Allah
dan menjauhkan larangan-Nya untuk mencapai kemuliaan akhirat. Di sisi lain manajemen konflik individu merupakan hubungan secara horizontal dengan individu lain (habluminannas) untuk menjadikan manusia menerapkan nilai-nilai moral dengan saling menasehati, memahami dan membantu sesama untuk mencapai kemuliaan hidup di dunia. Walaupun secara konsep dibedakan antara hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan horizontal manusia dengan manusia lain, kedua hubungan di atas saling berkaitan dan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Untuk dapat menjalin hubungan dengan Tuhan, manusia dapat melakukan penghayatan di dalam hati dan belajar ilmu Tuhan dengan bantuan orang lain karena ilmu yang dimiliki manusia belum sempurna dalam mempelajari agama. Glock dan Stark (Ancok dan Suroso, 1995) berpendapat dimana religiusitas atau keberagamaan tidak hanya tampak dalam suatu aktivitas semata, tetapi merupakan suatu simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya berpusat pada persoalan-persoalan. Oleh karena itu ketika kita menghadapi masalah baik dengan temannya maupun orang lain, remaja mampu mengelola konflik yang dihadapinya secara konstruktif dengan cara mengekspresikan perasaan atau pendapat yang berhubungan dengan konflik secara jelas tetapi tetap memperhatikan perasaan orang lain hingga mencapai kesepakatan dan jalan keluar yang baik sesuai dengan nilai-nilai agama. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa religiusitasadalah salah satu faktor yang mempengaruhi remaja dalam mengelola konflik. Pada remaja yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, maka remaja cendrung menggunakan
manajemen konflik konstruktif ketika mengalami konflik. Sebaliknya remaja dengan tingkat religiusitas yang rendah akan cenderung menggunakan manajemen konflik destruktif saat menglami konflik. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa manajemen konflik yang dilakukan subyek penelitian mayoritas berada pada tingkat yang tinggi yaitu 66,67%. Sementara itu 60,87% subyek memiliki religiusitas yang sangat tinggi. Sumbangan efektif dari religiusitas terhadap manajemen konflik pada remaja sebesar 25,3%. Hal itu berati bahwa sisanya sebesar 74,7% adalah kontribusi dari faktor lain. Faktor lain yang memberikan sumbangan bagi manjemen konflik sebesar 74,7% bisa berasal dari dalm maupun dari luar subyek itu sendiri antara lain : tipe kepribadian subyek, keluarga, linkungan, umur, dan lain-lain.
PENUTUP Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dengan manajemen konflik pada remaja. Semakin tinggi tingkat religiusitas maka semakin tinggi tingkat manajemn konflik pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah religiusitas maka semakin rendah juga manajemen konflik pada remaja. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Bagi Subjek Penelitian Bagi subyek penelitian disarankan untuk tetap meningkatkan religiusitas yang memberikan sumbangan terhadap penggunaan manajemen konflik terutama
penggunaan manajemen konflik konstruktif bila menghadapi masalah dengan teman sebaya. Remaja diharapkan lebih menggunakan manajemen konflik konstruktif daripada manajemen destruktif karena manajemen konflik desdruktif hanya memberikan kerugian pada pihak-pihak yang bertikai. Untuk religiusitas hendaknya tetap dipertahankan dengan cara banyak mengikuti kegiatan keagamaan diluar rumah secara rutin. 2. Bagi Penelitian Selanjutunya Bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tema yang sama, disarankan unutk mempertimbangkan variabel-variabel lain yang berhubungan dengan manajemen konflik pada remaja, sehingga dapat ditentukan faktor-faktor yang paling berperan dan mempunyai sumbangan yang paling besar terhadap manajemen konflik dikalangan remaja.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzaky, H. 2002. Konseling & Psikoterapi Islam : Penerapan Metode Sufistik. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru. Ancok, D dan Suroso, F. N. 2001. Psikologi Islami. Cetakan Keempat. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar Azwar, S. 2003. Reliabilitas dan Validitas. Yokyakarta : Pustaka Pelajar
Chatters, L. M. 2000. Religion & Health : Influence of Religiosity for Alcohol Use Among Protestants. Journal Science Study Religion. 32 :441-556 Darwati, T.E., 2003, Hubungan Antara Kemasakan Sosial Dengan Kompetensi Interpersonal Pada Remaja. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UII.
Dister, N.S. 1988. Psikologi Agama. Yogyakarta : Kanisius Echols, J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta :Penerbit P.T. Gramedia. Farida, I. A. 1996. Manajemen Konflik pada Remaja yang Tinggal Bersama Orangtua dan Remaja Panti di Malang. Skripsi (tidak diterbitkan). Jogjakarta . Fakultas Psikolgi, UGM. Indati, A. 1996. Konflik Pada Anak; Pengaruh Lingkungan Dan Tahap Perkembangannya. Laporan penelitian (tidak diterbitkan). Jogjakarta. Fakultas Psikologi, UGM. Kamisa, 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya. Penerbit: Kartika. Kaye, J., & Raghavan, S. K. 2002. Spirituality in Disability and Illness : The Psychology of Religion and Coping. Theory, Research, Practice. New York : Guilford Madjid, R. 1997. Islam Kemoderenan dan Ke-Indonesiaan. Bandung : Mizan Pustaka
Mardianto, A. dkk. 2000. Penggunaan Manajemen Konflik Ditinjau Dari Status Keikutsertaan Dalam Mengikuti Kegiatan Pencinta Alam Di Universitas Gajah Mada. Jurnal Psikologi, No. 2
Prihastuti, & Theresiawati, E. N., 2003. Hubungan Antara Tingkat Religiusitas dengan Metode Active Coping PTSD Dimana Tingkat PTSD merupakan Variabel Kontrol pada Pengungsi Remaja Asal Sampit sebagai Santri Pondok Pesantren Darusalam Ketapang Sampang Madura. Insan, Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Vol. 5. 157-167. Rasmanah, M. 2003. Hubungan Religiusitas dan Pola Asuh Islami Dengan Kecerdasan Emosional pada Remaja. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta : Fakultas Psikologi UGM Rakhmat, J. 2003. Psikologi Agama : Sebuah Pengantar. Bandung. Mizan Pustaka. . Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antara Pribadi, Tinjauan Psikologis. Jogjakarta. Penerbit: Kanisius (anggota IKAPI).
Wuragil, Z. 2001. Tawuran Pelajar Versus Masyarakat. Hhtp://www.yahoo.com. Yusuf, S. dan Dahlan, M. 2001. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung. Penerbit: PT. Remaja Rosdakarya offset. -----------.2005. Tawuran Pelajar Hhtp://www.Liputan6.com.
Kembali
Merenggut
-----------. 2004. Sisiwa SMA dan SMK di Ungaran Tawuran. Suara
Korban.