PENGANIAYAAN EMOSIONAL DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA: SEBUAH POTRET BURAM KEHIDUPAN BERKELUARGA Wahyu Rahardjo Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Penganiayaan emosional dan kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu fenomena sosial yang sudah lazim di temui di banyak tempat. Dominasi pria yang didukung oleh budaya dan mendapat legitimasi masyarakat mendorong terjadinya banyak kasus tersebut. Penganiayaan emosional kekerasan dalam rumah tangga dapat menyebabkan trauma berkelanjutan pada anak-anak. Fakta menariknya adalah bahwa penganiayaan emosional dan kekerasan dalam rumah tangga juga dapat terjadi dalam posisi yang sebaliknya. Pria juga dapat menjadi korban penganiayaan emosional dan kekerasan dalam rumah tangga dalam konteks hubungan heteroseksual. Penganiayaan emosional dan kekerasan dalam rumah tangga juga dapat ditemui dalam konteks homoseksual dan lesbian. Meskipun penyebab terjadinya kasus berbeda satu dengan yang lain namun luka fisik serius hingga kematian dapat terjadi sebagai konsekuensi buruknya. Lingkaran kekerasan ini harus segera dihentikan atau kasus penganiayaan emosional dan kekerasan dalam rumah tangga selalu terjadi dalam keluarga secara berkelanjutan. Kata Kunci: kekerasan dalam rumah tangga, dominasi pria, konsekuensi buruk, hubungan heteroseksual dan pasangan gay/lesbian
ABSTRACT Emotional abuse and domestic violence are the widespread social phenomenon in the world. Male domination that supported by the culture pushing the accident to be happened much more and being legitimate in the society. Its affect can give more than just a traumatic syndrome but the continuity of the accident by the children someday. The interesting fact is when we found that the accident can happen also in an opposite thing. Male can be battered by female in heterosexual relationship and the accident can be found in gay and lesbian couple. Even though the cause is different for each other but serious injuries and death become bad common consequences. This cycle must be stopped soon or the accident will always be the big mistake in the family life. Key words : Domestic violence, male dominance, bad common consequences heterosexual relationship and gay/lesbian couple
PENDAHULUAN Tindakan kekerasan bisa terjadi di mana saja dan dalam konteks apa saja. Kekerasan adalah salah satu pengejawantahan perilaku agresif terpendam dari manusia terutama dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Seiring dengan berjalannya waktu,
RAHARJO, PENGANIYAAN EMOSIONAL …
kontrol terhadap tindak kekerasanpun bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena lebih banyak menyangkut pada kendali internal individu. Salah satu tindak kekerasan yang seperti aman dan nyaris tidak tersentuh masyarakat jika memang tidak naik ke permukaan adalah domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga. Domestic
1
violence atau kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan berbentuk verbal, fisik maupun seksual yang pernah atau sedang terjadi antara mantan atau yang masih menjadi pasangan intim, anggota keluarga lain termasuk orang dewasa, anak dan orang tua (Snugg dkk. Newton, 2001). Mayoritas kejadian kekerasan dalam rumah tangga memang terjadi pada pihak isteri di mana yang melakukan kekerasan adalah pihak suami. Ego maskulinitas, perasaan sebagai makhluk yang kuat dan perlindungan budaya secara tidak langsung telah menyuburkan praktek kekerasan dalam rumah tangga ini. Harris (dalam Lupton, 1998) mengatakan di akhir abad ke 19 di Perancis, banyak pria ditahan atas kasus pembunuhan atas isterinya yang tertangkap basah berselingkuh. Mereka melakukannya dengan maksud mempertahankan kehormatan maskulinitasnya yang seperti tercoreng atas pengkhianatan sang isteri dan pembunuhan itu adalah sebuah justifikasi dalam bungkus kriminalitas. Pada pertengahan tahun 1990an melalui sebuah lagu indah yang berjudul How Come, How Long, Babyface dan Stevie Wonder mencoba menggambarkan kekerasan dalam rumah tangga secara liris dan tragis. Lewat visualisasi video klipnya digambarkan sebuah keluarga yang tinggal di apartemen, di mana sang isteri seringkali menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Saat mencapai titik kulminasi, sang isteri yang sudah tak tahan lagi akhirnya membalas perlakuan suaminya hingga tewas. Tinggal sang anak yang menatap tak mengerti mengapa sang ibu kemudian dibawa polisi meninggalkan dirinya. Apa yang dapat disaksikan dan digambarkan dalam lagu tersebut seringkali terjadi dalam kenyataan yang sesungguhnya. Hanya saja tidak banyak memang yang naik kepermukaan. Toh, jika ada beberapa yang muncul dan
2
diketahui masyarakat kebanyakan dari mereka kurang menaruh perhatian terhadap masalah ini. Pihak wanita sebagai isteri memang berada dalam posisi yang dilematis, berbicara tetapi tidak dipercaya atau kurang diperhatikan, atau diam dan sama sekali tidak merubah keadaan. Selama ini pria sebagai suami adalah pihak yang paling sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Tak dapat disangkal betapa egoisme pria sebagai makhluk kuat dan pandangan lama bahwa wanita adalah makhluk lemah mempermudah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, karakteristik wanita sebagai kaum yang inferior telah digunakan untuk menggambarkan wanita sebagai sosok yang lebih banyak berada di dapur dan merawat di tempat tidur (Wilkinson, 1997) sehingga label wanita sebagai makhluk lemah kian terpatri. Beberapa teori dalam tulisan singkat ini juga menyertakan penjelasan pria seperti apa yang kerap melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan sebuah fakta menarik lainnya juga bahwa pria pun tidak lepas dari tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan pihak isteri. Bahkan kekerasan rumah tangga ternyata tidak hanya milik pasangan heteroseksual saja karena pasangan gay dan lesbian pun juga mengalaminya. Keterangan ini dikuatkan oleh pendapat Snugg dkk. (dalam Newton, 2001) yang menyatakan bahwa orang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tersebut bisa dari jenis kelamin yang berbeda maupun yang sama seperti yang bisa dialami oleh pasangan gay dan lesbian. Oleh karena itu, menurut hemat penulis penjelasan tentang hal ini penting dilakukan untuk memberikan gambaran lain yang mungkin selama ini tidak diketahui oleh banyak orang, setidaknya justifikasi akan lebih adil dilakukan jika kita mengetahui akar permasalahan secara lebih jelas.
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 1, VOLUME 12, JUNI 2007
Komponen Penganiayaan Emosional terhadap Isteri Kekerasan dalam rumah tangga bisa berupa kekerasan secara verbal maupun fisik. Kekerasan secara verbal bisa jadi memiliki pengaruh yang relatif permanen karena yang disakiti adalah sisi dalam dari wanita yang selama ini dikatakan memiliki kelemahan secara emosi yaitu cenderung rapuh dan sensitif. Di sisi lain, kekerasan yang sifatnya fisik selain menyebabkan penderitaan secara fisik juga meninggalkan luka hati yang mendalam. Sekali lagi, secara emosional sang isteri juga turut terluka. Kekerasan dalam rumah tangga ini, memberikan ruang terluas terhadap gerak negatif penganiayaan emosional terutama pada pihak isteri. Menurut Kirkwood (dalam Wirawan, 1999), ada beberapa komponen penganiayaan emosional terhadap isteri yang dialami secara subjektif. Komponen-komponen itu adalah : 1. Degradasi Degradasi adalah usaha mempermalukan, menghina dan meremahkan pasangan di mana dengan degradasi seorang isteri dipersepsikan tidak berharga atau tidak diterima oleh orang lain. Degradasi menyebabkan rasa nyeri yang mendalam serta rasa malu terhadap diri sendiri. Degradasi juga dapat berupa tindakan non-verbal, yaitu pemaksaan terhadap sang isteri untuk melakukan aktivitas sosial. Bisa saja pada awalnya degradasi berupa kritik berulang terhadap aspek yang kecil seperti terhadap penampilan atau tingkah laku tetapi semakin lama menggerogoti nilai diri sang isteri dan menyebabkan kerentanan. 2. Penciptaan rasa takut Sang isteri menjadi cemas akan keselamatan fisik dan rasa aman dari sisi emosi serta merasa bahwa tubuh dan dirinya berada dalam bahaya
RAHARJO, PENGANIYAAN EMOSIONAL …
kehancuran. Perasaan takut ini semakin memburuk jika disertai ancaman dann serangan fisik. 3. Objektivikasi Komponen ini muncul ketika tindakan kekerasan mengindikasikan bahwa isteri dipandang sebagai objek tanpa energi, sumber daya, kebutuhan atau keinginan. Objektivikasi dapat berupa (a) tuntutan suami agar sang isteri merubah ekspresi diri eksternalnya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan suami seperti memakai jenis pakaian tertentu, (b) manipulasi terhadap keadaan fisik sang isteri, (c) posesif yang sifatnya akut di mana yang dapat timbul adalah kecemburuan yang berlebihan, pencegahan kontak sosial dan invasi terhadap hubungan isteri di luar rumah. 4. Deprivasi Deprivasi muncul karena tuntutan dan tingkah laku kontrol dari pasangan sebagai akibat dari konflik antara kebutuhan dasar manusia dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tersebut melalui sumber daya yang memadai. Dua bentuk deprivasi adalah (a) deprivasi ekonomi di mana sang suami dengan sekehendak hati menggunakan atau mengalokasikan pendapatan rumah tangga sehingga sang isteri tidak dapat menggunakan uang untuk membelanjakan kebutuhan, dan (b) deprivasi sosial di mana kebebasan isteri untuk melakukan interaksi dihalang-halangi. Dalam deprivasi sosial sang suami memonitor dan mengawasi kontak sosial sehingga sang isteri tidak dapat mempertahankan kontak dengan teman-temannya hingga merasa terisolasi dan kesepian. 5. Tanggung jawab yang berlebihan Di sini sang isteri dianggap bertanggung jawab terhadap seluruh masalah dan dipersalahkan jika
3
tindakan yang dilakukan tidak memenuhi tuntutan sang suami. Secara lebih lanjut dikatakan bahwa hal ini sangat efektif untuk menyakiti sang isteri yang mengalaminya dengan beban tanggung jawab yang berlebihan. 6. Distorsi realitas subjektif Komponen ini berarti penyerangan terhadap keyakinan dalam persepsi diri, dinamika hubungan dan informasi faktual tentang pengalaman sang isteri. Efek Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Korban Kekerasan dalam rumah tangga bukan masalah yang dapat dianggap angin lalu karena akibat yang ditimbulkannya dapat menciptakan trauma yang mendalam terhadap korban yang mengalaminya. Newton (2001) mencoba memaparkan beberapa efek jangka panjang pada wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti (1) timbulnya kecemasan, (2) depresi kronis, (3) rasa nyeri kronis, (4) kematian, (5) dehidrasi, (6) ketergantungan obat dan alkohol, (7) kelainan makan, (8) timbulnya reaksi emosional yang berlebihan, (9) masalah kesehatan, (10) kekurangan gizi, (11) serangan panik mendadak, (12) disfungsi seksual, (13) kesulitan tidur, (14) kemungkinan melakukan bunuh diri, dan (15) ketidakmampuan menyeimbangkan diri dalam mengasuh serta memenuhi kebutuhan anak-anak. Lingkaran Fase Rumah Tangga
Kekerasan
dalam
Banyak orang mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga seperti lingkaran setan yang berputar terus menerus dan sulit dihentikan jika pihak yang menjadi korban tidak memiliki cukup keberanian untuk memutusnya.
4
Walker (dalam Benokraitis, 1996) menjelaskan tiga fase yang termasuk dalam lingkaran kekerasan dalam rumah tangga. Tiga fase tersebut adalah 1. Fase Pertama : Pembangunan Ketegangan Dalam fase ini insiden-insiden kecil sudah mulai terjadi. Sang isteri berusaha menjaga jarak dari kemarahan sang suami dengan menjauh secara fisik. Meskipun sang isteri berharap bahwa keadaan akan berubah lebih baik, ketegangan justru semakin memuncak, sang suami menjadi semakin brutal dan sang isteri semakin sulit untuk mempertahankan dirinya sendiri. 2. Fase Kedua: Terjadinya Insiden Kronis Dalam fase ini insiden-insiden yang terjadi sudah bersifat kronis. Penyerangan secara fisik bahkan sudah bersifat melukai dan pada akhirnya benar-benar melukai sang isteri. Hanya saja kebanyakan para isteri seperti mengingkari kenyataan bahwa mereka terluka secara fisik dan menolak untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan. 3. Fase Ketiga: Penenangan Pada fase ini, sang suami menjadi baik, memohon maaf kepada sang isteri dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya kembali. Jika sang isteri sedang dalam perawatan akibat luka yang dideritanya maka sang suami akan membawa bunga, permen, kartu ucapan sampai kado sebagai hadiah. Terkadang sang suami juga membawa serta keluarga untuk lebih memudahkan mendapatkan pengampunan dari sang isteri. Sang suami akan mengatakan bahwa jika sang isteri meninggalkan dirinya akan membawa pengaruh buruk bagi keberadaan perkembangan anak-anak mereka. Pada saat inilah sang isteri akan merasa bahwa sang suami akan
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 1, VOLUME 12, JUNI 2007
berubah. Ketika sang isteri menerima kembali suaminya dan hidup bersama kembali dalam suatu keluarga maka perputaran fase yang sama akan kembali terulang. Mengapa Isteri Memutuskan untuk Bertahan? Seringkali terlintas perasaan heran dan tak habis pikir mengapa seorang wanita tetap bertahan sebagai isteri dari seorang suami yang kerap menyiksanya secara verbal maupun fisik. Benokraitis (1996) mencoba memaparkan beberapa alasan mengapa wanita memilih bertahan hidup dengan suami seperti itu. Alasanalasan tersebut adalah : 1. Konsep diri yang negatif dan rendahnya harga diri yang dimiliki Hal ini bisa terjadi karena seringnya labeling yang dilakukan oleh sang suami melalui ucapan-ucapan seharihari. Kata-kata seperti “gembrot”, “tidak berguna”, “jelek” dan “bodoh” kerap kali digunakan sebagai bentuk pelecehan secara verbal. Kata-kata ini kemudian tertanam dalam benak sang isteri sehingga dirinya merasa bahwa yang dikatakan sang suami benar adanya. 2. Kepercayaan bahwa sang suami akan berubah Masih banyak isteri yang percaya bahwa kelak sang suami pasti berubah jika masa-masa sulit yang harus dilalui sang suami terlewati dengan baik. Sang isteri tidak menyangka bahwa perilaku buruk sang suami pasti akan berulang kembali meskipun masalah-masalah yang mendera sang suami bisa terselesaikan. 3. Masalah ketergantungan secara ekonomi dan ketakutan tak memiliki rumah Salah satu alasan paling masuk akal adalah bahwa kebanyakan isteri tidak bekerja di luar rumah. Mereka biasa mengurus rumah sendiri sebagai ibu
RAHARJO, PENGANIYAAN EMOSIONAL …
rumah tangga dan tidak punya penghasilan yang dapat menyokong keuangan keluarga. Jika dibandingkan dengan sang suami yang lebih banyak memiliki kekuasan dan menguasai banyak sumber pemenuhan kebutuhan untuk rumah tangga (RichmondAbbott, 1992), maka sang isteri relatif tidak berdaya. Jika mereka memutuskan untuk meninggalkan suaminya maka mereka takut dan bingung tentang bagaimana cara menghidupi dirinya sendiri dan mungkin juga anak-anaknya serta takut kehilangan rumah tinggal. 4. Kebutuhan akan dukungan terhadap anak Para isteri juga masih memiliki kepercayaan bahwa anak tetap butuh dukungan dan kasih sayang dari seorang ayah. Mereka juga percaya bahwa memiliki suami yang sering bersikap kasar secara verbal maupun fisik jauh lebih baik bagi sang anak dari pada tidak sama sekali sebab sang anak bisa kehilangan figur ayah yang sangat penting dalam kehidupannya. Jika hidup tanpa suami, lalu siapa yang mampu menggantikan peran ayah, siapa yang memberikan biaya untuk pendidikan sang anak, begitulah pertanyaan yang kerap timbul dalam benak sang isteri. 5. Ketakutan untuk bertahan sendiri dalam dunia yang kejam Para isteri juga mempercayai bahwa jika suami yang mereka cintai saja mampu menyakiti mereka maka dunia di luar sana akan mempu melakukan hal yang lebih buruk, atau paling tidak melakukan hal yang sama. Dalam hal ini budaya juga sering berperan dalam membuat para isteri yang teraniaya dalam keluarga untuk tetap tinggal dan bertahan hidup dengan kondisi rumah tangga yang tidak berubah. 6. Perasaan malu, bersalah dan berdosa
5
Perasaan malu biasa timbul dalam benak para isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Mereka merasa malu karena mereka berpikir bahwa hanya mereka saja yang mengalaminya sedang banyak isteri-isteri lain tidak mengalami hal yang sama. Banyak juga yang merasa bersalah jika mereka harus meninggalkan suami maka mereka tidak mampu mempertahankan keutuhan keluarga yang telah dibina. Hal seperti ini memang salah satu bentuk pembelajaran yang umum terjadi di masa lampau. Di jaman dahulu, tugas utama kaum wanita adalah sebagai ibu dan isteri di dalam rumah tangga. Berkorban, menurut dan mengalah untuk kepentingan pria adalah sifat yang dimuliakan dan diajarkan menurut pendidikan kuno (Suwondo dalam Patana & Chairy, 2003). Perasan berdosa juga bisa muncul karena sebagai manusia yang religius para isteri merasa tak mampu mempertahankan rumah tangga dan bercerai adalah sesuatu yang dilarang agama. 7. Takut terhadap sang suami Takut terhadap suami adalah alasan terbanyak yang diungkapkan. Banyak kaum isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga beranggapan bahwa jika mereka mencoba membicarakan hal ini pada pihak luar atau mencoba meninggalkan sang suami maka kekerasan fisik yang akan mereka dapatkan bisa lebih keras dari yang telah dialami sebelumnya. 8. Keadaan rumah yang seperti di penjara Keadaan fisik dan emosi yang buruk akibat kekerasan yang dialami menyebabkan sang isteri terperangkap dalam rumah dengan suasana seperti di penjara atau tahanan. Terkadang peraturan di rumah tangga yang diciptakan sang suami turut
6
memperburuk keadaan ini. Pada akhirnya sang isteri merasa mungkin lebih baik bertahan di rumah karena kecil sekali peluang bagi mereka untuk melarikan diri. Pemakluman Kekerasan
Terhadap
Tindakan
Ketidakadilan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang telah dilakukan oleh suami kepada isterinya memang tampak dan sering diberi pemakluman selintas lalu. Keberpihakan pemakluman tersebut semakin menyingkirkan apa yang dirasakan oleh sang isteri dan menafikkan segala penderitaan yang tercipta karenanya. Dobash & Dobash (dalam Muncie & Sapsford, 1997) menyatakan bahwa agresi terhadap isteri dipandang jauh dari ketidaknormalan dan masalah deviasi, sebaliknya justru dilegitimasi wajar dalam banyak sejarah kebudayaan Barat. Sebuah contoh lain diberikan oleh Hasbianto (2000) yang mengatakan bahwa sesungguhnya label diagnostik untuk pria yang gemar menyakiti dan tidak menghiraukan perasaan isterinya pernah ditemukan oleh dan disodorkan oleh dua orang psikolog dan sosiolog bernama Paula Caplan dan Margrit Eichler yaitu Delusional Dominating Personality Disorder (DDPD). Hanya saja mereka kemudian menerima penolakan oleh ketua task force revisi PPDGJ edisi ke 5. Secara lebih jauh ditarik kesimpulan bahwa lelaki tidak punya kesalahan apapun atas perbuatan kasarnya terhadap para isteri, palingpaling mereka hanya dianggap terlalu lelah karena beban tugas dan pekerjaannya (Rakhmat dalam Hasbianto, 2000).
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 1, VOLUME 12, JUNI 2007
Tiga Tipe Pria yang Suka Melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga Seringkali pria merasa lebih kuat dari wanita sehingga mereka berpikir akan lebih mudah dalam melakukan kendali terhadap anggota keluarga lain yang lemah dengan paksaan (Vander Zanden, 1985). Sesungguhnya, tidak semua pria yang melakukan tindak kekerasan berada dalam tipe yang sama. Holtzworth-Munroe & Stuart (dalam Christopher & Llyod, 2000) menyebutkan tiga tipe pria yang suka melakukan kekerasan dengan partner intim mereka. Ketiga tipe tersebut adalah: 1. Dysphoric-borderline Pria yang termasuk tipe ini bisa melakukan kekerasan dan penganiayaan mulai dari yang sedang sampai yang berat. Biasanya mereka secara emosional mudah marah dan stres serta tergantung pada suatu hal. Mereka mengalami kesulitan untuk melakukan kendali atas kemarahan yang mereka rasakan. 2. Generally violent/antisocial Pria yang termasuk dalam tipe ini juga bisa melakukan kekerasan dan penganiayaan mulai dari yang sedang sampai yang berat. Biasanya mereka pernah mengalami kekerasan dalam keluarga pada saat mereka masih kecil atau pernah melihat anggota keluarga yang lain mengalaminya. Mereka biasanya juga memiliki sejarah akan keterlibatan dalam perilaku kekerasan dan penggunaan obat-obatan. 3. Family only Pria yang termasuk dalam tipe ini biasanya hanya melakukan kekerasan dan penganiayaan yang ringan saja kepada isterinya. Kekerasan yang dilakukan hanya terjadi di dalam keluarga saja tidak seperti dua tipe pertama yang bisa melakukan kekerasan di mana saja. Mereka juga dilaporkan termasuk yang relatif
RAHARJO, PENGANIYAAN EMOSIONAL …
stabil dan merasakan kepuasan berumah tangga. Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga bisanya karena tekanan dan stres belaka daripada yang bersifat psikopatologi. Pria yang Mengalami dalam Rumah Tangga
Kekerasan
Baik wanita dan pria, dalam hal ini kaum isteri dan kaum suami, mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga dari masing-masing pihak. Sebagai suatu fenomena yang kurang terekspos, tindak kekerasan rumah tangga yang terjadi pada pria sebenarnya banyak terjadi. Aktivis pembela “hak asasi pria” menyerang kaum feminis karena menutup mata terhadap fakta ini dan hanya terfokus pada tindak kekerasan yang menimpa wanita saja (Kimmel, 2001). Kenyataan di mana kekerasan rumah tangga dapat terjadi pada kaum isteri dan suami menciptakan suatu kondisi yang disebut dengan gender symmetry (Kimmel, 2001). Straus (dalam Vander Zanden, 1985) menyebutkan bahwa dalam penelitiannya sebagai seorang sosiolog ditemukan fakta bahwa sekitar 282 ribu pria dilaporkan mengalami pemukulan dari pihak sang isteri setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan oleh Fiebert (dalam Kimmel, 2001) juga menunjukkan peningkatan jumlah wanita yang ditahan karena melakukan penganiayaan terhadap suaminya di setiap tahun. Dalam banyak kasus terjadi, pemukulan dan kekerasan yang dilakukan sang isteri terhadap suaminya memang seringkali bermula pada tekanan baik verbal maupun fisik yang dilakukan pihak suami (Benokraitis,1996). Ada pula yang memang tidak diawali tindak kekerasan dari pihak suami terhadap isteri. Tetapi apapun penyebabnya, yang menarik perhatian adalah mengapa sang suami
7
tidak melindungi dirinya dari tindak kekerasan yang dilakukan sang isteri. Steinmetz (dalam Benokraitis, 1996) memberikan tiga alasan mengapa pria – dalam hal ini sang suami – tidak melindungi dirinya, yaitu karena (1) chivalry atau kepercayaan bahwa hanya pria yang kasar dan kejam saja yang mau memukul wanita, (2) self-restraint atau saat pria telah memukul isterinya dan melihat isterinya kesakitan tiba-tiba ia menyadari betapa buruk perilaku tersebut sehingga dia tidak membalas dan membiarkan isterinya berbalik melakukan tindak kekerasan terhadapnya, dan (3) punishment atau pemikiran bahwa dengan memperlihatkan luka-luka yang diderita akibat tindak kekerasan yang dilakukan isterinya maka sang suami dapat menghukum isterinya tersebut dengan perasaan bersalah. Kekerasan Rumah Tangga Pasangan Gay dan Lesbian
pada
Hal lain yang tidak kalah menariknya adalah bahwa ternyata kekerasan rumah tangga juga bisa terjadi pada pasangan gay dan lesbian. Memang secara empiris penelitian-penelitian masalah ini baru banyak dilakukan di luar negeri yang juga masih sering terbentur oleh ketertutupan mereka dan tekanan masyarakat yang ada. Suatu studi terbaru menunjukkan bahwa satu dari lima gay mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya di mana hal ini menunjukkan fakta bahwa kekerasan rumah tangga yang biasa terjadi pada wanita di pasangan heteroseksual juga bisa terjadi pada pasangan gay (Spindle, 2003). Menurut Barnes (2003), sekitar 25% sampai 33% dalam pasangan gay dan lesbian terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah kekerasan rumah tangga yang terjadi pada pasangan LGBT (Lesbian-Gay-Biseksual-Transgender)
8
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya (Garbo, 2000). Secara lebih jauh bahkan disebutkan oleh Garbo (2000) dalam penelitian tahun 1999 bahwa sekitar 45% korban kekerasan berasal dari ras Kaukasian, 17% dari ras Latin, 11% dari ras AfricaAmerika dan 4% dari Asia. Sedangkan 44% korban kekerasan berusia antara 33 sampai 44 tahun, 21% berusia antara 23 sampai 29 tahun, 12% berusia antara 45 sampai 64 tahun, 4% berusia antara18 sampai 22 tahun, dan 1% berusia di bawah 18 tahun atau di atas 65 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pria yang mengalami kekerasan rumah tangga memang dari berbagai etnis terutama dari ras Kaukasian dan paling terjadi pada pasangan dewasa madya. Jika dalam rumah tangga heteroseksual kekerasan bisa terjadi karena pria sebagai suami merasa memiliki kuasa dan ego lebih dari wanita sebagai isteri, lalu bagaimana dengan pasangan gay yang dua-duanya adalah pria. Menurut Davidson (!997) dan Spindle (2003), salah satu faktor pemicu terbesar terjadinya kekerasan rumah tangga pada pasangan gay adalah saat salah satu pasangannya didiagnosa mengidap HIV. Pengakuan yang diceritakan menciptakan kemarahan kepada gay yang didiagnosa mengidap HIV sehingga kekerasan terjadi. Sisa kasus terjadi karena konflik yang memang biasa terjadi pada pasangan mana saja, termasuk masalah cemburu dan posesif di mana gay dikenal lebih posesif dibandingkan individu heteroseks. Kasus kekerasan rumah tangga pada pasangan gay dan lesbian sangat sulit diditeksi karena ketertutupan mereka dalam menjaga identitas dan orientasi seksual dalam masyarakat. Publik sendiri yang mengetahui kebanyakan terkejut karena tidak terlintas sedikitpun dalam benak mereka bahwa kekerasan rumah tangga bisa terjadi pada pasangan gay dan lesbian (Spindle, 2003).
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 1, VOLUME 12, JUNI 2007
Kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi pada pasangan gay dan lesbian seringkali mengakibatkan hal yang lebih fatal dibandingkan pada pasangan heteroseksual. Beberapa kasus dilaporkan terjadi dengan melibatkan penggunaan senjata seperti senapan sehingga mengakibatkan luka serius dan bahkan kematian (Barnes, 2003). Kekerasan lainnya bisa diakibatkan karena pengkonsumsian alkohol sehingga mengakibatkan pihak agresor mabuk. Kekerasan yang terjadi biasanya adalah pemaksaan hubungan seksual (WaldnerHaugrud & Gratch, 1997). Kekerasan seksual yang terjadi sangat bervariasi mulai dari pemaksaan ciuman sampai pemaksaan penetrasi. Khusus untuk kekerasan seksual ini menurut Waldner-Haugrud & Gratch (1997) bisa terjadi karena pihak agresor menggunakan beberapa taktik antara lain seperti (1) pengkonsumsian alkohol, (2) ancaman pemutusan hubungan, (3) berbohong, (4) pemberian janji palsu, (5) ancaman penggunaan kekerasan, (6) penggunaan senapan, dan (7) penggunaan kekerasan fisik. Hanya saja karena ketertutupan yang mereka lakukan maka sangat sulit bagi gay dan lesbian yang mengalami tindak kekerasan untuk meminta pertolongan kepada orang lain. Biasanya reaksi yang tidak mereka harapkan justru terjadi dari orang yang diminta pertolongan saat mengetahui bahwa kekerasan tersebut terjadi dalam konteks hubungan homoseksual (gay dan lesbian). Sebuah fakta lain diungkapkan oleh Davidson (1997) yang menyatakan bahwa yang menjadi agresor saat kekerasan terjadi belum tentu dari gay yang memiliki sifat lebih maskulin. Kadang kala gay yang lebih kecil dan lemah justru yang sanggup melakukannya. Secara lebih lanjut Davidson (1997) juga menyatakan bahwa jika seorang lesbi mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga maka dia bisa mengadu
RAHARJO, PENGANIYAAN EMOSIONAL …
pada kelompok perlindungan wanita. Sebaliknya seorang gay akan mengalami kebingungan karena mereka tidak bisa melakukan hal yang sama ketika mengalami tindak kekerasan tersebut. KESIMPULAN Kekerasan rumah tangga adalah hal yang jamak ditemui di mana saja. Mayoritas kasus terjadi pada pasangan heteroseksual di mana wanita sebagai isteri menjadi korban tindak kekerasan oleh pria sebagai suami. Isteri korban kekerasan rumah tangga bukanlah suatu bentuk fenomena yang sifatnya terisolasi melainkan nyata dan tersebar di banyak tempat dan sangat membutuhkan dukungan secara kultur (Muncie & Sapsford, 1997) untuk bisa diangkat dan mendapatkan keadilan. Dengan banyaknya penderitaan yang dialami oleh isteri sebagai korban, pria sebagai suami secara mutlak berada dalam posisi yang patut dipersalahkan. Meskipun teori-teori banyak ditawarkan sebagai usaha reduksi label negatif terhadap pria sebagai agresor utama kasus kekerasan dalam rumah tangga tetap saja banyak pihak tidak puas. Kaum feminis bahkan menyodorkan teori opresi tentang perbedaan stratifikasi jenis kelamin. Teori opresi itu menyebutkan bahwa wanita memang ditekan, tidak hanya berbeda dengan pria namun juga berbeda tingkatan, di mana secara aktif dikekang, diposisikan lebih rendah, dibentuk dan dimanfaatkan serta dilecehkan oleh pria (Lengermann & Niebrugge-Brantley dalam Kerbo, 2000). Justifikasi tersebut memang dapat dimaklumi betapa memang kenyataan menunjukkan bahwa pria sebagai suami memang berposisi sebagai agresor utama dalam kekerasan rumah tangga. Bukti bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah yang universal adalah bahwa hal ini juga bisa terjadi pada pasangan heteroseksual di
9
mana justru sang suami yang menjadi korban dan pada pasangan gay dan lesbian. Kekerasan ini bisa terjadi pada pria dengan dilatarbelakangi konflik rumah tangga biasa. Hanya saja kali ini sang isteri yang lebih tidak terkendali secara emosi dan perilaku sedangkan sang suami lebih memilih untuk bersikap pasif. Pasangan gay dan lesbian juga tidak lepas dari masalah kekerasan dalam rumah tangga. Hal menarik yang diketahuin kemudian adalah bahwa yang melatarbelakangi terjadinya kasus kekerasan rumah tangga pada pasangan gay dan lesbian memiliki konteks yang berbeda dengan yang terjadi pada pasangan heteroseksual. Cemburu dan sikap posesif atau kemarahan yang dipicu karena pasangan mengidap HIV adalah beberapa hal yang biasa memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada pasangan gay dan lesbian. Layaknya semua kekerasan yang terjadi, maka kekerasan dalam rumah tangga ini pun juga hanya menciptakan penderitaan manusia yang terlibat di dalamnya. Sesuai dengan konteks rumah tangga, maka efek negatifnya bukan hanya dirasakan secara langsung oleh korban tetapi juga oleh anggota keluarga yang lain, termasuk anak. Menikah dan membentuk sebuah keluarga sebenarnya adalah babak baru dalam kehidupan manusia, bukan hanya selangkah lebih maju melainkan juga setahap lebih dewasa. Bahwasanya konflik dan segala macam permasalahan muncul dan kerapkali mengundang emosi untuk datang, bukan berarti tindak kekerasan menjadi jawabannya. Oleh karena itu pula, pemakluman atas ego maskulinitas yang juga sering didukung oleh budaya dalam kasus kekerasan rumah tangga tidak dapat dibenarkan sama sekali. Pemakluman tidak ada artinya bagi penderitaan yang berimbas pada banyak hal.
10
Bagaimanapun juga, mata rantai kekerasan dalam rumah tangga yang bisa berlanjut dari generasi ke generasi ini harus diputus. Setidaknya segala sesuatunya bisa dimulai dengan belajar mengembangkan budaya saling menghargai dalam keluarga sehingga kenaikan emosi saat konflik terjadi bisa dikendalikan. Hal ini penting dilakukan karena keluarga adalah agen internalisasi pertama buat anak. Andayani (2002) menjelaskan bahwa keluarga yang berfungsi sebagai pembentuk konsep diri anak berguna sebagai umpan balik bagi anak. Jika perilaku kekerasan diperlihatkan dan terjadi pada mereka, maka bukan hanya trauma yang tercipta tetapi kelak mereka juga akan menjelma menjadi agresor-agresor baru dalam rumah tangganya. Tidak ada gunanya memperpanjang untaian simbol penderitaan macam kekerasan dalam rumah tangga ini. Masih banyak hal indah yang bisa dipertahankan, kebahagiaan keluarga misalnya. Biar saja segala gambar yang menciptakan lembaran potret buram dan kelam tentang kekerasan dalam rumah tangga usai sampai di sini. Jika bisa, mungkin potret keluarga yang berwarna cerah karena segala hal indah yang bisa terekam dapat merubah dunia ini menjadi lebih bermakna. Kapan lagi ? DAFTAR PUSTAKA Andayani, B. 2002. Pentingnya Budaya Menghargai dalam Keluarga. Buletin Psikologi, Tahun X, Nomor 1, Edisi Juni. Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Barnes, R. 2003. Same-Sex Battering Often Goes Unreported. San Antonio Express-News, Saturday, May 17. http://www.web.apc.org/~jharnick/bat ter.html Christopher, F.S. & Lloyd, S.A. 2000. Physical and Sexual Aggression in Relationship. Dalam C. Hendrick &
JURNAL PENELITIAN PSIKOLOGI, NO. 1, VOLUME 12, JUNI 2007
S.S. Hendrick (Eds), Close Relationships : A Source Book. California : SAGE Publications, Inc. Davidson, R. 1997. The Gay Community’s Dirty Secret – Domestic Violence – is Finally Coming Out of The Closet. http://www.salon.com/feb97/news/ news2970227.html Garbo, J. 2000. Reports of LGBT Domestic Violence on The Rise. http://www.gayhealth.com/templates/ 109202371190134725440/news/?reco rd=271&trycookie=1 Hasbianto, E.N. 2000. Kritik Atas Psikologi Dari Bidang Advokasi dan Pemberdayaan Perempuan. Dalam Supratiknya, Faturochman & S. Haryanto (Eds), Tantangan Psikologi Menghadapi Milenium Baru : Refleksi atas Peran dan Pendidikan Psikologi di Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM. Kerbo, H.R. 2000. Social Stratification and Inequality : Class Conflict in Historical, Comparative, and Global Perspective (Fourth Edition). New York : McGraw Hill. Kimmel, M.S. 2001. Male Victims of Domestic Violence: A Substantive and Methodological Research Review. http://www.xyonline.net/downloads/ malevictims.pdf Lupton, D. 1998. The Emotional Self : A Social Exploration. London : SAGE Publications, Ltd. Muncie, J. & Sapsford, R. 1997. Issues in The Study of ‘The Family’. Dalam J. Muncie, M. Wetherell, M. Langan, R. Dallos & A. Cochrane (Eds), Understanding The Family : Family Life and Social Policy (Second Edition). London : SAGE Publications, Ltd.
RAHARJO, PENGANIYAAN EMOSIONAL …
Newton, C.J. 2001. Domestic Violence: An Overview. http://therapistfinder.net/ DomesticViolence/ Patana, R. & Chairy, L.S. 2003. Peran Gender dan Fear of Success Pada Perempuan Desa dan Kota yang Bekerja Sebagai Pegawai Negeri. Jurnal Psikologi Sosial, Vol. 8, No. 02, Januari. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Richmond-Abbott, M. 1992. Masculine and Feminine : Gender Roles Over The Life Cycle (Second Edition). New York : McGraw Hill. Spindle, L. 2003. New Study Shows Urban Gay Men As Likely to Be Battered As Heterosexual Women : HIV Diagnosis Often Triggers Violence. http://gumc.georgetown.edu/communi cations/releases/battered_01242003.htm Vander Zanden, J.W. 1985. Human Development (Third Edition). New York : Alfred A. Knopf. Waldner-Haugrud, L.K. & Gratch, L.V. 1997. Sexual Coercion in Gay/Lesbian Relationships: Descriptives and Gender Differences. Violence and Victims, Volume 12, Number 1. Wilkinson, S. 1997. Feminist Psychology. Dalam D. Fox & I. Prilleltensky (Eds), Critical Psychology : An Introduction. London : SAGE Publications, Ltd. Wirawan, H.E. 1999. Penganiayaan Emosional Terhadap Isteri dan Proses Pertahanan Hidup Pasca Penganiayaan. Jurnal Ilmiah Psikologi ARKHE, Th.4/No.7. Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara.
11