PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung
INDRA GUMAY FEBRYANO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam di Lahan Hutan Negara dan Lahan Milik: Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, November 2008 Indra Gumay Febryano NIM E051060011
ABSTRACT INDRA GUMAY FEBRYANO. Decision Making of Plant Species and Planting Pattern Selection in State Forest and Private Land: Case Study in Sungai Langka Village Gedong Tataan Sub District Pesawaran District Lampung Province. Under direction of DIDIK SUHARJITO and SUDARSONO SOEDOMO. Agroferestry adoption studies about farmer’s decision making on tree planting have been conducted for many cases, but there was an important aspect that still had less concern about farmer views especially how they choose the plant species and planting pattern and why they do that. The aim of this study was to explain the farmer’s reasons when they choose a plant species and planting pattern with different land tenure systems, state forest and private land. Method used in this study was case study through analyzing plant species and planting pattern selection, financial flow, household revenue structure, and portfolio diversification. The results showed that: the farmer’s reasons were (1) cash income, (2) production continuity, (3) gestation period, (4) easy maintenance and harvest, (5) easy post harvest process, (6) tolerance to be planted with other plants, and (7) land tenure security (especially in state forest land); most farmers chose cacao species, with the main combination of planting pattern that consist of cacao and banana in state forest land, cacao and petai, cacao and durian in private land; all the planting pattern were financially feasible; the largest contribution was given by cacao at all planting patterns based on farmer household revenue structure, and portfolio diversification was not conducted by the farmers. Keywords: farmer’s decision making, crop and planting pattern selection, agroforestry
RINGKASAN INDRA GUMAY FEBRYANO. Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam di Lahan Hutan Negara dan Lahan Milik: Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung. Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO dan SUDARSONO SOEDOMO. Perhatian terhadap kegiatan petani pada agroforestri sebagian besar tentang adopsi teknologi pertanian dan kehutanan, yang secara signifikan paling dipengaruhi oleh resiko dan ketidakpastian, faktor biofisik, dan sumberdaya. Adopsi ini juga mencakup keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon. Walaupun studi adopsi agroforestri tentang keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon telah banyak dilakukan, tetapi ada aspek penting yang belum mendapat perhatian secara lebih mendalam, yaitu dari sisi pandangan petani, terutama mengenai alasan-alasan petani dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam; yang juga terkait dengan konteks sistem penguasaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam menentukan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam pada sistem penguasaan lahan yang berbeda, antara yang berlokasi di lahan hutan negara dan lahan milik. Pengetahuan dan pemahaman tentang alasan-alasan petani ini akan bermanfaat bagi berbagai pihak, seperti: Dinas Kehutanan (terutama penyuluh), universitas, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain, yang bermaksud mengembangkan kehutanan masyarakat. Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis pengambilan keputusan oleh petani adalah teori “real-life choice” yang dikembangkan oleh Gladwin (1980). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut akan diidentifikasi, baik faktor-faktor maupun eksternal. Kajian lebih lanjut dilakukan dengan membandingkan pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam oleh petani, pada sistem penguasaan lahan yang berbeda antara yang berlokasi di lahan hutan negara dan lahan milik. Penelitian ini menggunakan metodologi studi kasus dan pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dan observasi partisipan. Data dianalisis dengan beberapa cara, yaitu: analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, analisis finansial, struktur pendapatan rumah tangga petani dan analisis diversifikasi portofolio. Petani menempatkan aspek orientasi produksi, kondisi biofisik, pengetahuan, waktu/tenaga kerja, dan kemampuan investasi untuk tanaman pohon sebagai syarat minimal untuk mengeliminasi alternatif jenis tanaman. Alasanalasan petani dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, baik di lahan hutan negara maupun lahan milik, hampir sama,, yaitu (1) pendapatan uang, (2) kontinuitas produksi, (3) kecepatan berproduksi, (4) kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, (5) kemudahan pengolahan pascapanen, (6) kemampuan untuk ditanam dengan jenis tanaman lain, dan (7) keamanan penguasaan lahan (khusus di lahan hutan negara). Jenis tanaman utama yang dipilih petani adalah kakao; dengan kombinasi utama pola tanam kakao+pisang di lahan hutan negara, dan kakao+petai, serta kakao+durian di lahan milik.
Ketiga pola tanam tersebut layak untuk diusahakan berdasarkan hasil analisis finansial. Nilai NPV, BCR, dan IRR berturut-turut sebesar Rp 17.452.336,56; 1,32; dan 23% (pola tanam kakao+pisang), Rp 41.860.069,85; 1,77; dan 27% (pola tanam kakao+petai), dan Rp 42.864.090,38; 1,79; dan 28% (pola tanam kakao+durian). Nilai NPV menunjukkan bahwa pola tanam kakao+durian dan kakao+petai lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pola tanam kakao+pisang. Tetapi petani yang berusaha di lahan hutan negara lebih memilih pola tanam kakao+pisang, karena tidak adanya keamanan penguasaan lahan di lahan hutan negara (sesuai dengan hasil analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam). Pola tanam kakao+petai dan kakao+durian lebih baik dibandingkan pola tanam kakao+pisang berdasarkan struktur pendapatan rumah tangga. Kakao memberikan kontribusi terbesar pada setiap pola tanam. Pisang hanya memberikan kontribusi pada tahun-tahun awal, karena pisang tidak dapat tumbuh lagi ketika kakao tertutup rapat pada umur 9 tahun; tetapi pisang menjadi sumber pendapatan utama ketika kakao belum berproduksi. Sementara petai dan durian memberikan kontribusi yang cukup besar dan terus mengalami peningkatan, ketika produktivitas kakao mulai menurun. Pisang, petai dan durian memberikan kontribusi yang lebih kecil dibandingkan kakao, karena tanaman tersebut hanyalah tanaman sekunder dan bukan ditanam oleh petani sebagai tanaman utama. Petani tidak melakukan diversifikasi portofolio, dalam hal ini petani tidak melakukan diversifikasi jenis tanaman. Petani lebih tertarik hanya menanam satu jenis tanaman utama, baik di lahan hutan negara maupun lahan milik. Kecenderungan monokultur tersebut lebih sesuai dengan hasil analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam. Kata kunci: pengambilan keputusan petani, pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, agroforestri
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PENGAMBILAN KEPUTUSAN PEMILIHAN JENIS TANAMAN DAN POLA TANAM DI LAHAN HUTAN NEGARA DAN LAHAN MILIK Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung
INDRA GUMAY FEBRYANO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A.
Judul Penelitian
Nama NIM
: Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam di Lahan Hutan Negara dan Lahan Milik (Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung) : Indra Gumay Febryano : E051060011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Didik Suharjito, M.S. Ketua
Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.
Tanggal Ujian: 12 November 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengambilan keputusan oleh petani, dengan judul Pengambilan Keputusan Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam di Lahan Hutan Negara dan Lahan Milik (Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung). Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya terutama kepada pembimbing, yaitu Dr. Ir. Didik Suharjito, MS dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS). Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada papa, mama, istri dan anak-anak, serta seluruh keluarga atas doa, dukungan dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, November 2008 Indra Gumay Febryano
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gombong pada tanggal 22 Februari 1974 dari ayah Kolonel (Purn.) Drs. H. Sahmi Gumay dan ibu H. Indrawati Soekardi. Penulis merupakan putra keempat dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Yurika Tauryska, ST pada tanggal 22 Agustus 2004 dan telah dikaruniai dua orang putra yang bernama Nashwa Azzahra Gumay dan Ryan Pasha Gumay. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Denpasar dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Selanjutnya penulis memilih Jurusan Teknologi Hasil Hutan (Pengolahan Hasil Hutan) Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1998. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung sejak tahun 2003. Sebelumnya penulis pernah bekerja sebagai plywood inspector di Toyo Tex, Co. Ltd. pada tahun 19992001 dan sebagai supervisor di PT Naramitra Tarra pada tahun 2001-2003. Pada tahun 2006 penulis mendapatkan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xiii
PENDAHULUAN .................................................................................... Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan dan Manfaat .........................................................................
1 1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... Pengambilan Keputusan oleh Petani ............................................... Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam .....................................
6 6 7
METODE PENELITIAN .......................................................................... Kerangka Pemikiran ........................................................................ Definisi Operasional ........................................................................ Pendekatan Penelitian ...................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... Metode Pengumpulan Data ............................................................. Metode Analisis Data ......................................................................
13 13 15 17 18 18 19
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................ Letak dan Luas ................................................................................ Topografi dan Iklim ........................................................................ Penggunaan Lahan .......................................................................... Komposisi Penduduk ...................................................................... Tingkat Pendidikan ......................................................................... Sarana dan Prasarana....................................................................... Sejarah Pengelolaan Lahan .............................................................
25 25 25 27 27 28 29 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. Analisis Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam ....................... Analisis Finansial ............................................................................ Struktur Pendapatan Rumah Tangga... ............................................ Analisis Diversifikasi Portofolio .....................................................
33 33 48 49 51
SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... Simpulan .......................................................................................... Saran ................................................................................................
52 52 53
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
54
LAMPIRAN ..............................................................................................
57
DAFTAR TABEL Halaman 1
Definisi operasional variabel dan parameter pengukurannya ...........
15
2
Indikator yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial .......
23
3
Jenis penggunaan lahan .....................................................................
27
4
Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur ................................
27
5
Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian ....................
28
6
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan ...........................
28
7
Sarana dan prasarana .........................................................................
29
8
Pembagian blok pengelolaan dalam master plan Tahura WAR .......
32
9
Jumlah responden berdasarkan aspek persyaratan minimal dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam ..........................................
33
Jumlah responden berdasarkan aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam ..........................................
37
Aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara ......................................................
38
Aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan milik ..................................................................
39
Analisis finansial pengusahaan lahan................................................
49
10 11 12 13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran ..........................................................................
14
2
Lokasi penelitian ...............................................................................
26
3
Tahap 1 pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara dan lahan milik ......................................................................
36
Tahap 2 pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara ................................................................................................
40
5
Tahap 2 pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan milik .....
41
6
Struktur pendapatan rumah tangga...................................................
50
4
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Penilaian kesesuaian lahan untuk kakao di Desa Sungai Langka .....
58
2
Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk kakao ..............................
59
3
Curah hujan di Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Tahun 1996-2005 ...............................................
61
Suhu udara di Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Tahun 1996-2005 ...............................................
62
Kelembaban udara di Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Tahun 1996-2005 .............................
63
6
Analisis finansial pola tanam kakao+pisang .....................................
64
7
Analisis finansial pola tanam kakao+petai........................................
65
8
Analisis finansial pola tanam kakao+durian .....................................
66
9
Komponen biaya pengusahaan lahan per ha .....................................
67
10
Komponen pendapatan pengusahaan lahan per ha............................
75
11
Struktur pendapatan rumah tangga....................................................
77
4 5
PENDAHULUAN Latar Belakang Perhatian terhadap kegiatan petani pada agroforestri sebagian besar tentang adopsi teknologi pertanian dan kehutanan. Pattanayak et al. (2003) telah me-review 120 artikel mengenai adopsi teknologi pertanian dan kehutanan oleh petani kecil. Melalui seleksi analisis empiris yang difokuskan pada agroforestri dan yang berkaitan, jumlah tersebut dipersempit menjadi 32 studi dari 21 negara. Hasil analisis menunjukkan bahwa perilaku adopsi teknologi secara signifikan paling dipengaruhi oleh resiko dan ketidakpastian, faktor biofisik, dan sumberdaya, walaupun preferensi dan dukungan sumberdaya merupakan faktor yang paling sering dimasukkan dalam studi. Kiptot et al. (2007) menambahkan bahwa walaupun terjadi peningkatan jumlah studi tentang agroforestri, tetapi masih terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut yaitu: (1) sebagian besar studi adopsi berdasarkan suatu potret pada waktunya, padahal adopsi agroforestri merupakan suatu proses dinamis yang terjadi melalui periode waktu yang panjang, (2) sebagian besar studi adopsi tidak membedakan antara kategori pengguna, baik yang menguji teknologi maupun yang mengadopsi, dan (3) mayoritas studi adopsi tidak mempertimbangkan sosial ekonomi, pengaturan politik dan kelembagaan yang melekat di petani secara lebih luas. Adopsi agroforestri juga mencakup keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon. Hal ini sesuai dengan penjelasan Banister dan Nair (2003) mengenai strategi implementasi agroforestri di negara miskin seperti Haiti, yaitu berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh bagaimana petani menggunakan karakteristik rumah tangga dan lahan pertaniannya untuk mengambil keputusan adopsi agroforestri. Begitu pula dengan Degrande et al. (2006) yang menyatakan bahwa keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon di Kamerun dan Nigeria ditentukan oleh suatu kumpulan yang kompleks dari faktor-faktor yang saling berkaitan, baik di dalam maupun antar komunitas. Sedangkan Zubair dan Garforth (2006) dalam penelitiannya di Pakistan menyatakan bahwa kesediaan petani untuk menanam pohon di lahannya adalah suatu fungsi dari sikap petani terhadap keuntungan dan ketidakuntungan penanaman pohon, persepsi petani mengenai pendapat referents yang penting, dan faktor-faktor yang mendorong dan
2 menghambat penanaman pohon di lahan pertanian. Faktor-faktor utama yang mendorong dan menghambat penentu keputusan petani untuk menanam tanaman berkayu, terutama di pekarangan juga dijelaskan oleh Krause dan Uibrig (2006) berdasarkan kasus di dataran tinggi Ethiopia Tengah. Tingkat adopsi yang relatif rendah pada integrasi pohon buah pada sistem pertanian dataran tinggi oleh petani kecil di Propinsi Isabela, Filipina yang telah dipromosikan secara luas, sangat kontras dengan penanaman tanaman perdagangan musiman (seasonal cash crops) yang tersebar secara cepat, khususnya varietas unggulan padi dan jagung (Snelder et al. 2005). Petani mempertimbangkan pohon buah sebagai suatu tanaman yang keuntungannya lebih rendah dibandingkan tanaman perdagangan musiman, dimana hal ini sangat kontras dengan hasil perhitungan analisis ekonomi dalam siklus produksi selama 10 tahun. Pengetahuan petani tentang manajemen pohon dan pemilihan jenis terbukti tidak cukup dan berkontribusi secara tidak langsung terhadap rendahnya tingkat pertumbuhan dan produksi buah. Walaupun studi adopsi agroforestri tentang keputusan petani untuk menanam dan memelihara pohon telah banyak dilakukan, tetapi ada aspek penting yang belum mendapat perhatian secara lebih mendalam, yaitu dari sisi pandangan petani, terutama mengenai alasan-alasan petani dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam pada agroforestri antara lain dilakukan oleh: Lubis (1997), Suharjito (2002), Krause dan Uibrig (2006), dan Snelder et al. (2007). Lubis (1997) menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada pengelolaan lahan hutan di Pesisir Krui-Lampung Barat, didasari oleh pengaruh ekonomi; sebagian di antaranya hanya sebatas kebutuhan subsistensi, tapi sebagian lainnya didasari oleh adanya permintaan pasar. Sementara petani di Buniwangi-Sukabumi memilih suatu jenis tanaman untuk dibudidayakan karena mempunyai alasan-alasan yang menunjukkan orientasi produktivitas, kegunaan untuk konsumsi keluarga dan dipasarkan, dan kontinuitas (Suharjito 2002). Begitu pula dengan Krause dan Uibrig (2006) menjelaskan bahwa pengambilan keputusan oleh petani dalam pemilihan jenis tanaman ditentukan oleh kegunaan dan pendapatan uang dari jenis tanaman.
3 Sementara petani memilih jenis pohon buah tidak hanya berdasarkan nilai ekonominya saja, tetapi juga fungsi-fungsi penting lainnya yang disediakan oleh pohon (Snelder et al. 2007). Menurut Suharjito (2002), beberapa penelitian sosial, ekonomi dan budaya yang telah dilakukan, khususnya menjelaskan hubungan antara sistemsistem penguasaan lahan (land tenure system) dengan praktek agroforestri. Privatisasi atau pemberian hak milik telah mendorong petani menanam pohonpohon karena alasan keamanan penguasaan lahan (the security of land tenure) di Kenya (Brokesha dan Riley 1987, diacu dalam Suharjito 2002). Berdasarkan sistem tenurial yang ada di Haiti, petani melaksanakan budidaya pohon pada lahan milik individual dan tidak bersedia melaksanakannya pada lahan komunal atau lahan negara, karena adanya jaminan memperoleh manfaat yang lebih pasti dari lahan milik daripada lahan komunal atau lahan negara (Murray 1987, diacu dalam Suharjito 2002). Sedangkan di Nigeria agroforestri membutuhkan modal lebih banyak daripada pertanian tradisional, maka kepastian penguasaan lahan diperlukan oleh petani untuk menjamin investasinya (Adeyoju 1987, diacu dalam Suharjito 2002). Sementara berdasarkan kasus di Filipina, praktek-praktek agroforestri yang lestari telah berkembang walaupun tidak berada pada lahan yang dimiliki sendiri (Sajise 1987, diacu dalam Suharjito 2002). Penelitian-penelitian di atas menjelaskan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani untuk memilih jenis tanaman dan pola tanam; juga terkait dengan konteks sistem penguasaan lahan. Hal ini sangat penting, karena banyak program penanaman pohon yang dilakukan oleh pemerintah di lahan hutan negara yang digarap oleh masyarakat sering menemui kegagalan, karena masyarakat enggan untuk menanam bibit tanaman yang diberikan oleh pemerintah dan lebih memilih jenis tanaman dan pola tanam tertentu. Sebaliknya, penanaman pohon di lahan milik lebih banyak yang berhasil. Oleh karena itu, penelitian yang akan dilakukan memberi perhatian pada pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam pada sistem penguasaan lahan yang berbeda, yaitu di lahan hutan negara dan lahan milik.
4 Penelitian tentang pengambilan keputusan pemilihan jenis dan pola tanam di lahan hutan negara dan lahan milik dilakukan dalam konteks pengambilan keputusan oleh petani, dengan unit analisis rumah tangga petani agroforestri dan menggunakan metode studi kasus. Pengambilan keputusan oleh petani untuk memilih jenis tanaman dan pola tanam ini melalui beberapa tahapan pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Perumusan Masalah Penelitian ini bermaksud untuk menguraikan dan menjelaskan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam menentukan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam. Fokus penelitian yang akan dilakukan adalah kajian tentang
alasan-alasan petani untuk memilih jenis tanaman dan pola tanam.
Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah bagaimana dan mengapa petani melakukan pengambilan keputusan untuk memilih suatu jenis tanaman dan pola tanam tertentu dan bukan jenis tanaman dan pola tanam yang lain, pada sistem penguasaan lahan yang berbeda, antara yang berlokasi di lahan hutan negara dan lahan milik. Penelitian tersebut akan dijelaskan dengan mengkaji pengambilan keputusan oleh rumah tangga petani yang dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (kondisi sosial ekonomi dan biofisik) dan eksternal (pasar, ketersediaan informasi teknis, jasa infrastruktur/pendukung dan kerangka kebijakan). Kajian lebih lanjut dilakukan dengan membandingkan pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam oleh petani pada sistem penguasaan lahan yang berbeda, antara yang berlokasi di lahan hutan negara dan lahan milik. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan dan menjelaskan pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani dalam menentukan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam pada sistem penguasaan lahan yang berbeda, antara yang berlokasi di lahan hutan negara dan lahan milik. Pengetahuan dan pemahaman tentang alasan-alasan petani ini akan bermanfaat bagi berbagai pihak, seperti: Dinas Kehutanan (terutama penyuluh), universitas, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain, yang bermaksud mengembangkan kehutanan masyarakat, baik di
5 lahan hutan negara maupun lahan milik. Studi mengenai pilihan-pilihan petani tersebut sangat penting untuk mengerti preferensi, pertimbangan dan hambatan yang ditemui oleh petani di lapangan, sehingga kegiatan yang akan dilakukan akan lebih tepat, berguna, dan sesuai dengan kebutuhan petani.
TINJAUAN PUSTAKA Pengambilan Keputusan oleh Petani Beberapa studi telah dilakukan tentang bagaimana petani membuat keputusan.
Sebagian besar penelitian dan pengajaran mengenai pengambilan
keputusan difokuskan pada kejadian keputusan, bukan proses (Orasanu dan Conolly 1993, diacu dalam Ohlmer et al. 1998). Pengetahuan saat ini mengenai proses pembuatan keputusan dikaji dan digambarkan sebagai suatu kumpulan dari delapan fungsi atau unsur: nilai dan sasaran, deteksi masalah, definisi masalah, pengamatan, analisis, pengembangan tujuan, implementasi, dan pengambilan tanggung jawab (Hogarth 1976; Mintzberg et al.; Johnson et al., diacu dalam Ohlmer et al. 1998). Ohlmer et al. 1998 menyatakan bahwa relevansi pandangan dari perilaku pembuatan keputusan oleh petani di atas diuji melalui suatu rangkaian studi kasus. Berdasarkan pengamatan ini, model konseptual dari proses keputusan direvisi yang mencakup empat fase (deteksi masalah, definisi masalah, analisa dan pilihan, dan implementasi) dan empat sub proses (mencari dan memperhatikan, perencanaan, evaluasi dan memilih, dan memeriksa masalah). Pengambilan keputusan mengenai alokasi sumberdaya paling banyak dilakukan oleh rumah tangga petani. Hal ini dijelaskan oleh French (1995), dimana pembagian peran dan tanggung jawab anggota keluarga terjadi secara alami di antara laki-laki, perempuan, angkatan kerja produktif dan generasi tua. Keputusan manajemen petani dibuat berdasarkan pembagian tugasnya masingmasing, yang terbagi ke dalam keputusan investasi dan pemasaran serta keputusan produksi dan konservasi. Keputusan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (kondisi sosial ekonomi dan biofisik) dan eksternal (pasar dan saluran pasar, kebijakan, aturan dan peraturan; jasa pendukung, dan informasi teknis). Sementara Ruddle dan Rondinelli (1983) menyatakan bahwa analisis pengambilan keputusan oleh petani diperumit oleh karakteristik kepribadian petani atau anggota rumah tangga petani.
Petani mungkin akan berspekulasi untuk
mendapatkan hasil yang terbaik dan mengambil resiko pada musim kemarau. Di sisi lain, seorang petani yang konservatif akan meminimalkan kerugian dari kemungkinan kondisi cuaca yang terburuk. Sebagian besar petani mungkin akan
7 menanam suatu kombinasi tanaman untuk mengurangi resiko, seperti yang dilaksanakan di banyak sistem pertanian tropis. Bagaimanapun juga, sebagai tambahan untuk mewakili suatu usaha untuk mengurangi resiko, diversifikasi tanaman dapat juga menjadi suatu contoh produksi yang komplementer, optimalisasi penggunaan bermacam-macam kondisi ekologi di dalam bagian yang berbeda pada lahan pertanian, atau suatu sistem rotasi yang sangat panjang, atau suatu kombinasi berbagai faktor. Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam Beberapa penelitian menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk menanam pohon. Banister dan Nair (2003) menjelaskan bahwa strategi implementasi agroforestri di Haiti berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh bagaimana petani menggunakan karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) umur kepala rumah tangga, (2) pendidikan anggota rumah tangga, (3) jenis kelamin kepala rumah tangga, dan (4) kepala rumah tangga imigran/lokal) dan karakteristik lahan pertanian, yaitu: (1) persen kemiringan, (2) jarak dari rumah ke lahan pertanian, (3) tenure, (4) penilaian kualitatif kesuburan tanah oleh petani). Hasil penelitian Degrande et al. (2006) di Kamerun dan Nigeria, menunjukkan bahwa faktor-faktor yang terdapat di dalam dan antar komunitas ditemukan saling berkaitan dan mempengaruhi keputusan penanaman pohon.
Faktor-faktor di dalam komunitas adalah: (1) tenure,
(2) kesejahteraan (dihubungkan dengan ukuran lahan pertanian), (3) kelompok etnik, (4) gender, (5) umur, dan (6) pendidikan; dimana perbedaan antar rumah tangga individu kurang mudah dijelaskan tetapi tenure dan ukuran lahan pertanian merupakan hal penting; sedangkan faktor-faktor antar komunitas adalah: (1) akses pasar, (2) penggunaan lahan, dan (3) akses ke sumberdaya hutan. Berdasarkan kasus di dataran tinggi Ethiopia Tengah, Krause dan Uibrig (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor utama penentu keputusan petani untuk menanam tanaman berkayu, terutama di pekarangan, yaitu: kegunaan kayu terutama untuk kayu bakar, produk yang berasal dari kayu, pendapatan uang, dan kurangnya sumberdaya lahan dan bibit. Sedangkan Zubair dan Garforth
8 (2006) memaparkan bahwa keputusan petani untuk menanam pohon di Pakistan dipengaruhi oleh pendapat dari anggota keluarga, pemilik/penyewa lahan, sesama petani dan orang yang dituakan di kampung. Faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman pohon di lahan pertanian adalah: (1) tersedianya lahan marjinal/terlantar, (2) kurangnya akses pasar, (3) kurangnya pembibitan dan (4) kerusakan yang diakibatkan hewan dan manusia.
Manfaat yang
dirasakan dari penanaman pohon adalah: (1) meningkatkan pendapatan, (2) menyediakan kayu untuk bahan bakar dan meubel, (3) mengontrol erosi dan polusi, dan (4) menyediakan naungan untuk manusia dan hewan. Petani juga melihat penanaman pohon sebagai hambatan dalam kegiatan pertanian (mengurangi produksi karena naungan terhadap tanaman perdagangan) dan tempat berkumpulnya serangga, hama dan penyakit. Petani di Buniwangi-Sukabumi yang mengusahakan kebun-talun dengan lahan yang sempit, cenderung mengusahakan jumlah jenis tanaman yang sedikit, sebab semakin banyak jumlah jenis tanaman dalam satuan luas berarti semakin sedikit jumlah tanaman per jenisnya yang dapat ditanam (Suharjito 2002). Sedangkan Degrande et al. (2006) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan yang signifikan di dalam komunitas dari meningkatnya kepadatan pohon buah dengan menurunnya ukuran lahan pertanian, terutama dengan permintaan pasar yang sangat besar terhadap satu jenis spesies. Hal ini menunjukkan bahwa petani kecil lebih memilih opportunity cost untuk menanam lebih banyak pohon buah dibandingkan menanam tanaman pangan. Sementara berdasarkan kasus di Propinsi Isabela-Filipina Snelder et al. (2007) menjelaskan bahwa petani mengidentifikasi luas lahan yang kecil sebagai faktor yang diasosiasikan dengan resiko dan mempengaruhi keputusan mereka untuk tidak menanam pohon pada lahan mereka.
Petani dengan lahan milik biasanya
membagi tanah untuk
keturunannya, sehingga luas lahan menjadi lebih kecil dan petani lebih suka menanam tanaman musiman/perdagangan untuk mendapatkan pendapatan uang jangka pendek. Hal yang sama juga terjadi pada petani yang menyewa luas lahan yang kecil. Degrande et al. (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa property right (tenure) mempengaruhi keputusan petani untuk menanam dan memelihara
9 pohon.
Kepadatan dan jumlah jenis pohon pada lahan milik lebih tinggi
dibandingkan dengan lahan yang disewa. Hal ini menunjukkan bahwa tenure yang lebih aman mendorong suatu ketertarikan yang lebih besar dalam penanaman pohon. Hal ini sesuai dengan penelitian Banister dan Nair (2003) yang menyatakan bahwa kepadatan pohon per hektar meningkat sesuai dengan peningkatan luas lahan yang status tenure-nya aman. Menurut Zubair dan Garforth (2006) petani mempertimbangkan pohon sebagai tanaman untuk lahan marjinal/terlantar berhubungan dengan sejumlah faktor-faktor yang menghambat, seperti tidak tersedianya pasar, kurangnya pembibitan (nurseries), dan sifat jangka panjang usaha budidaya kehutanan (farm forestry). Persaingan antara budidaya kehutanan dan pertanian terjadi bila menggunakan lahan yang sama; jika lahannya bagus maka pertanian lebih diutamakan daripada budidaya kehutanan, yang pada akhirnya akan berdampak buruk terhadap produksi tanaman. Hal ini menunjukkan suatu kebutuhan untuk lebih mengkonsentrasikan pada jenis-jenis pohon serbaguna (multipurpose tree species) yang berotasi pendek daripada jenis-jenis pohon yang berotasi panjang, khususnya ketika tersedianya lahan yang produktif menjadi suatu hambatan dan pertanian lebih ditujukan untuk tingkat subsisten. Beberapa penelitian menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis tanaman dan pola tanam oleh petani. Faktor-faktor yang diidentifikasi antara lain: kondisi sosial ekonomi, biofisik dan pasar. Menurut Lubis (1997), pengambilan keputusan dalam memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan di lahan darak, kebun dan repong pada pengelolaan lahan hutan di Pesisir Krui-Lampung Barat didasari oleh pengaruh ekonomi. Sedangkan Suharjito (2002) menyatakan bahwa petani memilih suatu jenis tanaman untuk dibudidayakan karena mempunyai alasan-alasan, yaitu: (1) supaya hasilnya banyak atau maksimal, (2) supaya hasilnya beragam, (3) mudah memelihara, (4) mudah pemasarannya, (4) harga stabil/naik, (5) warisan orang tua, (6) tanahnya relatif kecil/sempit dan (7) sesuai dengan kondisi tanahnya. Alasan-alasan tersebut menunjukkan orientasi produktivitas, kegunaan untuk konsumsi keluarga dan dipasarkan, dan kontinuitas (harian, musiman, tahunan). Begitu pula dengan Krause dan Uibrig (2006), yang
10 menyatakan bahwa petani memilih jenis tanaman berdasarkan: (1) kegunaannya untuk kayu bakar, dan (2) pendapatan uang. Sementara Snelder et al. (2007) menjelaskan bahwa petani memilih jenis pohon buah tidak hanya berdasarkan nilai ekonominya saja, seperti: (1) penghasil uang, (2) penyedia buah keluarga, (3) penghasil sepanjang tahun, dan (4) penghasil buah dengan kualitas dan kuantitas yang terjaga selama pengangkutan; tetapi juga fungsi-fungsi penting lainnya yang disediakan oleh pohon, yaitu: (5) pengontrol erosi, (6) penahan angin, dan (7) pohon serbaguna. Lubis (1997) menjelaskan bahwa komersialisasi beberapa jenis tanaman palawija dirangsang oleh akses ke pasar yang semakin mudah. Dalam kasus dimana lokasi lahan petani jauh dari pasar, atau transportasi masih menjadi kendala, petani menanam tanaman palawija dengan orientasi yang sepenuhnya subsisten. Tapi dalam kasus dimana akses ke pasar cukup mudah, petani mulai menggunakan faktor komersial sebagai dasar pengambilan keputusan. Sedangkan Snelder et al. (2007) menjelaskan bahwa tujuan petani dalam mengembangkan tanaman buah adalah untuk pemasaran atau konsumsi rumah tangga, yang dipengaruhi oleh aksesibilitas dan jarak ke pasar, dukungan dari pihak luar terhadap kegiatan penanaman pohon buah dan jaringan pemasaran. Sementara Suharjito (2002) menyatakan bahwa petani tidak menganggap akses pasar sebagai masalah. Pedagang atau tengkulak tersedia di desa atau petani dapat langsung menjual hasil kebun-talun ke pasar. Petani berbeda dalam menentukan jenis tanaman yang akan dibudidayakan pada setiap fase pengelolaan hutan. Pada fase ladang hanya sebatas kebutuhan subsistensi, sementara pada fase kebun sepenuhnya menggunakan pertimbangan akses pasar sebagai hal pokok. Hal yang agak berbeda terjadi dalam pengambilan keputusan untuk memilih jenis tanaman tua pada fase repong. Di sini pertimbangan pokok bukanlah harga komoditi tanaman repong pada saat ini, melainkan kontribusi rutin atau berkala yang dapat diberikannya dalam jangka panjang. Naik atau tidak harga jual getah damar misalnya tidak menjadi alasan penting bagi mereka untuk menunda penanaman damar (Lubis 1997). Sementara tiga tahap dalam kebun-talun, yaitu kebun, kebun campuran dan talun, mempunyai fungsi yang berbeda. Tahap kebun mempunyai nilai ekonomi yang
11 tinggi dengan jenis tanaman didominasi oleh tanaman setahun (annual crops). Pada tahap kebun campuran nilai ekonominya menurun, sedangkan nilai biofisiknya meningkat.
Tahap talun mempunyai nilai ekonomi dan biofisik
dengan jenis tanaman tahunan berkayu (Christanty et al. 1986, diacu dalam Suharjito 2002). Sedangkan Suharjito (2002) menyatakan bahwa petani memilih jenis tanaman yang pada satu sisi dapat menghasilkan produk yang dapat langsung dikonsumsi oleh keluarga (kebutuhan subsistensi), pada sisi yang lain dapat dipasarkan untuk memperoleh pendapatan uang (cash income).
Oleh
karena itu, komposisi jenis tanaman kebun-talun sebagian tidak berubah (petai, jengkol, durian, dan kelapa) dan sebagian lain mengalami perubahan (cengkeh, sengon) sebagai usaha penyesuaian terhadap perubahan kebutuhan petani. Jenis tanaman baru lebih diorientasikan untuk dijual (komersial), sedangkan jenis tanaman lama diorientasikan untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Snelder et al. (2007) menjelaskan bahwa petani lebih memilih tanaman perdagangan musiman walaupun pohon buah memiliki banyak fungsi; dimana hal ini sangat kontras dengan hasil analisis ekonomi dalam siklus produksi 10 tahun. Alasan-alasan petani dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) investasi untuk membangun perkebunan pohon buah sangat tinggi dan di luar jangkauan sumberdaya petani miskin, (2) penanaman pohon buah lebih disukai sebagai sumber penghasilan tambahan dan investasinya relatif jangka panjang, (3) kurangnya pengalaman dalam penanaman pohon buah, (4) bencana alam seperti topan dan kebakaran membuat usaha yang dilakukan bertahun-tahun hilang dalam waktu singkat, dan (5) kurangnya saluran pemasaran buah-buahan yang stabil dan dapat dipercaya. Lubis (1997) menyatakan bahwa fluktuasi harga yang tajam mempengaruhi petani dalam memutuskan jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Kasus melonjaknya harga cengkeh pada tahun 1970-an mendorong petani untuk berlomba-lomba menanam cengkeh, dan ketika harga cengkeh merosot tajam mereka segera pula mengeliminasi cengkeh dari pilihannya. Dalam kasus maraknya penanaman cengkeh pada tahun 1970-an memang banyak petani yang menunda penanaman damar. Tapi hal itu terutama bukan disebabkan oleh faktor harga, melainkan didorong oleh karakteristik botanis tanaman cengkeh yang tidak menghendaki adanya tegakan rimbun lain yang menghalangi penyinaran.
12 Argumentasi ini diperkuat oleh fakta bahwa mereka juga tidak menanam tanaman tua lainnya, seperti: duku, durian, maupun petai dan jengkol, bersamaan dengan tanaman cengkeh. Sedangkan Suharjito (2002) menyatakan bahwa keseimbangan antara stabilitas dan kenaikan harga jual hasil
kebun-talun
menjadi
pertimbangan petani dalam memilih jenis tanaman. Jenis tanaman yang harga jualnya relatif stabil lebih aman untuk dipilih, tetapi petani juga tertarik untuk mengusahakan jenis tanaman yang harga jualnya sedang naik. Snelder et al. (2007) menjelaskan bahwa analisis sensitivitas yang digunakan untuk menilai dampak dari fluktuasi harga yang mungkin dari keuntungan marjinal pada tanaman musiman (padi dan jagung) dan tanaman pohon (jeruk mandarin, mangga, dan gmelina) menunjukkan bahwa tanaman pohon lebih menarik dan menguntungkan.
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam mengkaji pengambilan keputusan oleh petani, lazimnya para ahli ekonomi pertanian bertujuan untuk melakukan evaluasi dengan menerapkan metodologi analisis benefit-cost.
Berbeda dari para ahli ekonomi, para ahli
antropologi lebih memberikan perhatian pada tujuan menguraikan (describe) pilihan-pilihan petani (Suharjito, 2002). Salah satu teori yang dapat digunakan untuk menganalisis pengambilan keputusan oleh petani adalah teori ‘real-life choice” yang dikembangkan oleh Gladwin (1980), yang menjelaskan bahwa dalam pengambilan keputusan sehari-hari petani menempuh dua tahap. Pada tahap pertama, petani mengeliminasi semua alternatif yang tidak diinginkan dan pada tahap kedua, yang merupakan intisari dari proses keputusan, petani mengeliminasi aspek-aspek yang tidak relevan, serta menyusun alternatifalternatif pada aspek-aspek penting. Tahapan pengambilan keputusan oleh petani secara lengkap, tentang pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, akan dapat diketahui dengan menggunakan teori Gladwin ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut akan diidentifikasi, baik faktor-faktor internal (kondisi sosial ekonomi dan biofisik) maupun eksternal (pasar, ketersediaan informasi teknis, jasa pendukung, dan kerangka kebijakan). Kajian lebih lanjut dilakukan dengan membandingkan pengambilan keputusan pemilihan jenis tanaman dan pola tanam oleh petani, pada sistem penguasaan lahan yang berbeda antara yang berlokasi di lahan hutan negara dan lahan milik. Dengan adanya pengetahuan mengenai tahapan pengambilan keputusan tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan, maka diharapkan program kehutanan masyarakat di masa yang akan datang akan menjadi lebih tepat sasaran. Alur kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam Gambar 1.
14
Kondisi sosial ekonomi
Kondisi biofisik
Kebijakan
Kumpulan alternatif jenis tanaman dan pola tanam Seleksi Tahap 1 (Elimination by aspect)
Sub kumpulan alternatif jenis tanaman dan pola tanam Ketersediaan informasi teknis
Seleksi Tahap 2 (“Intisari” proses pengambilan keputusan)
Keputusan jenis tanaman dan pola tanam Rumah tangga petani (unit pengambilan keputusan) Sistem pertanian (termasuk dukungan sumberdaya: lahan, tenaga kerja, modal)
Jasa pendukung
Gambar 1 Kerangka pemikiran.
Pasar
15 Definisi Operasional Beberapa variabel dalam penelitian ini secara garis besar dapat didefinisikan sebagai berikut: Tabel 1 Definisi operasional variabel dan parameter pengukurannya Variabel
Definisi operasional
Parameter pengukuran
Tingkat orientasi produksi
Tingkat konsumsi hasil tanaman oleh rumah tangga petani atau kemampuan untuk menjual hasil tanaman ke pasar terdekat/ pedagang
Tingkat konsumsi: 1) < 25% (komersial) 2) 25-50% (kombinasi) 3) > 50% (subsisten)
Ketinggian/tanah
Kesesuaian kualitas lahan dan keadaan lingkungan fisik terhadap budidaya tanaman
Pengalaman petani selama menggarap lahan pertanian: 1) tidak sesuai 2) cukup sesuai 3) sesuai Persepsi petani dijustifikasi dengan data sekunder pengukuran kondisi biofisik sebagai pembanding
Persyaratan air
Ketersediaan air di lahan pertanian yang harus cukup untuk budidaya tanaman
Pengalaman petani selama menggarap lahan pertanian: 1) tidak cukup 2) cukup 3) > cukup
Pengetahuan
Kemampuan rumah tangga petani dalam penguasaan teknik budidaya tanaman
Tingkat penguasaan teknik budidaya: 1) tidak menguasai 2) cukup menguasai 3) menguasai
Waktu atau tenaga kerja
Ketersediaan waktu atau tenaga kerja (keluarga atau tenaga kerja upahan) rumah tangga petani untuk budidaya tanaman
Waktu: 1) sedikit 2) cukup 3) banyak Tenaga kerja: 1) 1 orang/ha 2) 2-3 orang/ha 3) > 3 orang/ha
Modal atau kredit
Kemampuan rumah tangga petani untuk mempunyai modal atau kredit untuk memperoleh input yang dibutuhkan (bibit, pupuk, insektisida dan tenaga kerja) untuk budidaya tanaman
(sedikit) (sedang) (banyak)
Tingkat penguasaan modal atau kredit: 1) < Rp 1.000.000/tahun/ha (kecil) 2) Rp 1.000.000-1.500.000/tahun/ha (sedang) 3) > Rp 1.500.000/tahun/ha (besar)
16 Lanjutan Variabel
Definisi operasional
Parameter pengukuran
Kemampuan rumah tangga petani untuk memiliki lahan milik dan/atau modal untuk budidaya tanaman pohon sampai menghasilkan
Luas lahan milik: 1) < 0,25 ha 2) 0,25-1 ha 3) > 1 ha
Luas lahan yang diusahakan oleh rumah tangga petani secara terus menerus di lahan milik, dan di dalam kawasan hutan yang diberikan ijin pengelolaannya oleh pemerintah kepada petani
Luas lahan milik: 1) < 0,25 ha 2) 0,25-1 ha 3) > 1 ha
Tingkat produktivitas
Pendapatan dari hasil tanaman yang diterima oleh rumah tangga petani
Jumlah pendapatan: 1) < Rp 500.000 (kecil) 2) Rp 500.000-750.000 (sedang) 3) > Rp 750.000 (besar)
Tingkat keragaman produksi
Jumlah hasil tanaman yang diterima oleh rumah tangga petani
Jumlah hasil tanaman: 1) sedikit 2) sedang 3) banyak
Tingkat kontinuitas produksi
Jangka waktu pemanenan hasil tanaman oleh rumah tangga petani
Jangka waktu pemanenan: 1) harian 2) musiman 3) tahunan
Status lahan
Asal usul kepemilikan lahan oleh rumah tangga petani
Asal usul kepemilikan lahan: 1) warisan 2) beli 3) sewa 4) ijin pengelolaan
Kestabilan harga
Tingkat kestabilan harga terhadap hasil tanaman rumah tangga petani
Tingkat kestabilan harga: 1) tidak stabil 2) cukup stabil 3) stabil
Akses pasar
Jarak ke pasar terdekat/pedagang untuk menjual hasil tanaman rumah tangga petani
Jarak ke pasar terdekat: 1) > 10 km (jauh) 2) 5-10 km (sedang) 3) < 5 km (dekat)
Kemampuan investasi
Luas lahan
(sempit) (sedang) (luas)
Jumlah modal: 1) < Rp 3.000.000/ha (kecil) 2) Rp 3.000.000-4.500.000/ha (sedang) 3) > Rp 4.500.000/ha (besar) (sempit) (sedang) (luas)
Luas lahan di dalam kawasan hutan: 1) < 1 ha (sempit) 2) 1-2,5 ha (sedang) 3) > 2,5 ha (luas)
17 Lanjutan Variabel
Definisi operasional
Parameter pengukuran
Jasa infrastruktur/ pendukung
Jasa pendukung eksternal yang dibutuhkan untuk mengambil peluang pasar dan produksi untuk rumah tangga petani
Kualitas jasa pendukung: 1) rendah 2) sedang 3) tinggi
Kebijakan
Kebijakan, aturan dan peraturan yang diterapkan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mendukung budidaya tanaman oleh rumah tangga petani
Tingkat dukungan: 1) tidak mendukung 2) cukup mendukung 3) mendukung
Ketersediaan informasi teknis
Informasi mengenai aspek budidaya tanaman, teknik pemanenan dan lain-lain yang disediakan oleh petani yang berhasil, peneliti, penyuluh dan lain-lain
Tingkat ketersediaan: 1) tidak tersedia 2) cukup tersedia 3) tersedia
Pendekatan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, menggunakan metodologi studi kasus. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan bagaimana atau mengapa, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin 2006). Studi kasus memberikan akses dan peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti (Bungin 2006). Pendekatan studi kasus yang digunakan tidaklah kaku sifatnya, dan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan perkembangan fakta empiris yang tengah dicermati. Hal ini tidak berarti terjadinya inkonsistensi, melainkan terhadap fenomena sosial yang menjadi unit analisis, lebih dikedepankan dan diutamakan aspek emik daripada etik-nya. Hal ini menyangkut prinsip dalam penelitian kualitatif.
Sebab,
fenomena
dan praktek-praktek sosial, sebagai
sasaran ”buruan” penelitian kualitatif tidak bersifat mekanistik, melainkan penuh
18 dinamika dan keunikan, dan karenanya tidak bisa diciptakan dalam otak dan menurut kehendak peneliti semata. (Bungin 2006). Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sungai Langka, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung, pada bulan Maret-Mei 2008. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara, yaitu: Wawancara Wawancara studi kasus bertipe open-ended dimana peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta-fakta suatu peristiwa disamping opini mereka mengenai peristiwa yang ada (Yin 2006). Pemilihan sampel (informan kunci) dilakukan secara sengaja (purposive sampling). Selanjutnya bila dalam proses pengumpulan data sudah tidak lagi ditemukan variasi informasi, maka tidak perlu lagi mencari informan baru dan proses pengumpulan informasi dianggap sudah selesai. Dalam penelitian ini, jumlah informan kunci adalah sebanyak 17 orang yang berusaha di lahan hutan negara, 14 orang di lahan milik, serta 4 orang di lahan hutan negara dan lahan milik. Dalam pemilihan informan kunci digunakan empat kriteria sebagai berikut (Spradley 1979, diacu dalam Kanto 2006): a. Subjek yang telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau medan aktivitas yang menjadi informasi, serta menghayati secara sungguhsungguh sebagai akibat dari keterlibatannya yang cukup lama dengan kegiatan yang bersangkutan. Hal ini ditandai oleh kemampuannya dalam memberikan informasi (hapal “di luar kepala”) tentang sesuatu yang ditanyakan. b. Subyek
masih terlibat secara penuh/aktif pada kegiatan yang menjadi
perhatian peneliti. c. Subjek yang mempunyai cukup banyak waktu atau kesempatan untuk diwawancarai. d. Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau dipersiapkan terlebih dahulu. Mereka ini tergolong “lugu” (apa adanya) dalam
19 memberikan informasi, sehingga diharapkan dapat diperoleh informasi yang lebih faktual. e. Subyek yang sebelumnya tergolong masih “asing” dengan penelitian, sehingga peneliti merasa lebih tertantang untuk “belajar” sebanyak mungkin dari subyek yang berfungsi sebagai ”guru baru” bagi peneliti. Observasi partisipan Observasi partisipan merupakan suatu bentuk observasi khusus dimana peneliti tidak hanya menjadi pengamat yang pasif, melainkan juga mengambil berbagai peran dalam situasi tertentu dan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang akan diteliti. Observasi partisipan memberikan peluang kepada peneliti untuk mendapatkan akses terhadap peristiwa-peristiwa atau kelompok-kelompok yang tidak mungkin bisa sampai pada penelitian yang ilmiah. Peluang yang lainnya adalah kemampuan untuk menyadari realitas dari sudut pandang ”orang dalam” dibandingkan orang luar pada studi kasus tersebut (Yin 2006). Metode Analisis Data Analisis Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam Analisis ini dilakukan untuk mengkaji dan menjelaskan pengambilan keputusan oleh petani, yaitu alasan-alasan petani untuk memilih jenis tanaman dan pola tanamnya pada sistem penguasaan lahan yang berbeda, baik di lahan hutan negara maupun lahan milik. Teori yang digunakan adalah teori “real-life choice” yang dikembangkan oleh Gladwin (1980). Teori ini menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan sehari-hari, petani menempuh dua tahap. Pada tahap pertama, serupa dengan teori “elimination by aspect” (Tversky 1972, diacu dalam Gladwin (1980), petani mengeliminasi semua alternatif yang tidak diinginkan berdasarkan aspek-aspek yang dipertimbangkan. Setelah alternatifalternatif dipersempit menjadi suatu sub kumpulan yang
feasible, “intisari”
proses keputusan terjadi pada tahap kedua. Pada umumnya, petani melalui tahap pertama ini secara cepat dan proses keputusan yang nyata terjadi pada tahap kedua. Pada tahap ini, petani memilih alternatif-alternatif yang tersisa melalui pertimbangan aspek-aspek dari setiap alternatif. Untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan selanjutnya, dilakukan eliminasi beberapa aspek pada
20 alternatif-alternatif yang memiliki nilai yang seimbang. Setelah eliminasi aspekaspek yang tidak relevan, petani memilih salah satu aspek, sebagian atau seluruh, dari alternatif.
Bila alternatif pertama tidak lolos dari semua pembatasnya
(constraint), alternatif kedua (terbaik kedua) mendapat kesempatan untuk melewati semua batasannya. Jika tidak ada alternatif yang dapat melewati semua pembatasnya, maka strategi lain digunakan. Secara lebih terperinci, analisis ini diuraikan lebih lanjut sebagai berikut: a. Tahap 1 Ketika dihadapkan dengan sejumlah besar alternatif jenis tanaman dan pola tanam, petani sebagai pengambil keputusan akan mempersempit kumpulan alternatif menjadi suatu sub kumpulan alternatif yang memenuhi beberapa syarat minimal, seperti: tingkat orientasi produksi, ketinggian/tanah, persyaratan air, pengetahuan, waktu/tenaga kerja, modal/kredit, kemampuan untuk investasi tanaman pohon, dan lain-lain. Setelah menjadi suatu sub kumpulan jenis tanaman dan pola tanam yang ”feasible”, maka proses pengambilan keputusan oleh petani yang lebih detail dilakukan pada Tahap 2. b.
Tahap 2 ”Inti sari” dari proses keputusan terjadi pada Tahap 2, dimana tahapannya
merupakan suatu proses enam langkah, yaitu: b.1. Langkah 1 Aspek-aspek yang tercakup pada minimal satu alternatif jenis tanaman dan pola tanam didaftar atau dipertimbangkan. Prosedur ini berjalan sangat baik dengan cara membandingkan dua alternatif untuk menghasilkan suatu keputusan. b.2. Langkah 2 Untuk menyederhanakan proses keputusan selanjutnya, beberapa aspek pada jenis tanaman dan pola tanam boleh dieliminasi atau tidak dipertimbangkan oleh petani. Strategi yang digunakan oleh petani untuk mengeliminasi aspek adalah sebagai berikut: − Jika suatu aspek sedikit atau tidak bermanfaat bagi petani, maka aspek tersebut dieliminasi (atau tidak selalu dipertimbangkan pada Langkah 1). − Jika semua alternatif mempunyai nilai yang sama atau sebanding pada suatu aspek, maka aspek tersebut dieliminasi.
21 − Jika dua aspek sama atau sebanding kepentingannya dan urutan alternatifalternatif pada satu aspek berlawanan dengan urutan alternatif-alternatif pada aspek lainnya, maka kedua aspek dieliminasi. − Jika satu aspek mempengaruhi proses keputusan hanya melalui aspek lainnya dan
tidak
mempunyai
suatu
pengaruh
yang
terpisah,
dua
aspek
dipertimbangkan sebagai satu aspek. b.3. Langkah 3a Petani memilih atau menyeleksi satu aspek pada alternatif jenis tanaman dan pola tanam yang diurut dari sub kumpulan aspek-aspek yang tidak dieliminasi. Ada dua cara yang rasional untuk mengurut aspek-aspek tersebut, yaitu: − Petani menyeleksi aspek dengan kegunaan atau manfaat yang terbesar. − Petani memilih aspek dalam pengertian suatu fungsi pilihan ”yang tidak dibangun dari pengurutan”. b.4. Langkah 3b − Jika alternatif-alternatif berdiri sendiri (mutually exclusive), maka petani mengurut alternatif-alternatif jenis tanaman dan pola tanam pada aspek terurut. − Jika alternatif-alternatif tidak berdiri sendiri (not mutually exclusive), maka petani mengurut sebagian alternatif jenis tanaman dan pola tanam pada aspek terurut. b.5. Langkah 4: Pembatas (constraint) Untuk setiap aspek yang tersisa, petani atau lingkungan (sistem atau konteks sosial ekonomi) menentukan suatu kondisi atau persyaratan minimal yang harus dipenuhi oleh alternatif jenis tanaman dan pola tanam terpilih. b.6. Langkah 5 Petani meloloskan alternatif-alternatif jenis tanaman dan pola tanam terurut melewati constraint. Suatu alternatif harus lolos semua constraint-nya untuk dipilih. Jika tidak ada alternatif yang lolos semua constraint-nya, maka petani masuk ke Langkah 6. Proses pilihan pada langkah 3-5 dapat disajikan dalam suatu pohon keputusan (decision tree) karena adanya suatu pengurutan
22 alternatif-alternatif pada suatu aspek dan suatu kelulusan dari alternatif-alternatif untuk melewati constraint. b.7. Langkah 6 Petani boleh mengikuti satu dari beberapa strategi yang rasional jika tidak ada alternatif-alternatif jenis tanaman dan pola tanam yang lolos semua constraint, yaitu: − Petani mengeliminasi aspek terpilih dan kemudian kembali ke Langkah 3a untuk memilih aspek terpilih lainnya; baik aspek dengan kegunaan atau manfaat yang tertinggi berikutnya atau suatu aspek terpilih oleh aturan produksi lainnya. Alternatif-alternatif diurut pada aspek tersebut kemudian alternatif rangking tertinggi pada aspek tersebut dipilih atau Langkah 4 dan 5 diulang. − Petani tetap mengurut alternatif-alternatif pada aspek terpilih awal dan kembali ke Langkah 4, lalu menurunkan atau mengeliminasi constraint; dan Langkah 5 dimulai. − Petani tetap mengurut alternatif-alternatif pada aspek dan menyederhanakan pilihan pada alternatif rangking yang tertinggi pada aspek tersebut. − Petani menunda pengambilan keputusan dan mencari alternatif-alternatif baru atau menunggu untuk melihat apakah suatu alternatif dapat lolos constraint yang sebelumnya gagal dilewati. Analisis Finansial Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan pengusahaan lahan hutan negara dan lahan milik dengan jenis tanaman dan pola tanam yang dipilih oleh petani. Kriteria yang digunakan adalah Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR) (Tabel 2). NPV merupakan nilai dari suatu proyek setelah dikurangkan dengan seluruh biaya pada suatu tahun tertentu dari keuntungan atau manfaat yang diterima pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat bunga yang berlaku. BCR merupakan suatu cara evaluasi proyek dengan membandingkan nilai sekarang seluruh hasil yang diperoleh suatu proyek dengan nilai sekarang seluruh biaya proyek. IRR merupakan tingkat suku bunga yang membuat proyek akan
23 mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Jika nilai NPV > 0, BCR > 1, dan IRR > i, maka usaha tani layak untuk diusahakan. Tabel 2 Indikator yang digunakan dalam perhitungan analisis finansial Indikator
Rumus n
NPV
NPV = ∑ t =1
n
( Bt − Ct ) (1 + i ) t
Kriteria keputusan NPV > 0
Bt
∑ (1 + i) t =1 n
BCR
BCR =
IRR
NPV = ∑
t
Ct ∑ t t −1 (1 + i ) n
t =1
( Bt − Ct ) =0 (1 + i ) t
BCR > 1
IRR > i
Bt = penerimaan kotor petani pada tahun t, Ct = biaya kotor usaha tani pada tahun t, n = lama rotasi, t = periode produksi, i = suku bunga
Struktur Pendapatan Rumah Tangga Untuk mengetahui kontribusi setiap sumber pendapatan rumah tangga petani pada setiap pola tanam baik di lahan hutan negara maupun lahan milik, dilakukan dengan cara melihat struktur pendapatan rumah tangga petani selama jangka waktu pengusahaan lahan. Analisis Diversifikasi Portofolio Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kumpulan investasi yang dimiliki oleh petani, dalam hal ini berhubungan dengan jenis tanaman dan pola tanam yang dipilih. Dalam melakukan investasi, petani sering melakukan diversifikasi yaitu pengkombinasian berbagai sarana investasi, dalam hal ini petani tersebut membentuk portofolio. Pembentukan portofolio pada dasarnya dimaksudkan untuk mengurangi resiko yang ditanggung petani. Konsep resiko dijelaskan melalui pengertian keuntungan rata-rata dari keuntungan-keuntungan dengan probabilitas masing-masing dan terjadinya keuntungan yang menyimpang dari harga rata-rata tersebut. Ditunjukkan bahwa petani dihadapkan pada kesukaran dalam menentukan investasi terbaik karena pada umumnya investasi yang
24 memberikan keuntungan yang besar juga mempunyai resiko tinggi. Melalui pembentukan portofolio, petani dapat mengurangi resiko namun dengan keuntungan yang lebih kecil. Pilihan yang ada bagi petani ialah mendapatkan suatu portofolio yang optimal yaitu yang memberikan keuntungan maksimal dengan resiko tertentu.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Secara administratif, Desa Sungai Langka berada dalam wilayah Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten Pesawaran, Propinsi Lampung. Luas desa adalah sekitar 900 ha, yang terdiri dari sepuluh dusun.
Jarak dari ibu kota
kecamatan di Gedong Tataan sekitar 7 km, yang dapat ditempuh dalam waktu 15 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Sementara jarak dari ibu kota propinsi di Bandar Lampung sekitar 20 km, yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 45 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Desa ini merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan hutan negara, yaitu Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman (Tahura WAR) yang berada di sebelah Selatan. Di sebelah Utara, wilayahnya berbatasan dengan Desa Bernung dan Negeri Sakti, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kurungan Nyawa, dan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wiyono dan PTPN VII. Topografi dan Iklim Desa Sungai Langka berada di ketinggian 100-500 meter di atas permukaan laut, dengan kondisi topografi yang berbukit dan kemiringan lereng berkisar antara 10-20%.
Jenis tanahnya adalah latosol dengan warna merah
kehitam-hitaman dan sebagian lainnya podsolid merah kuning dengan tekstur liat berpasir dan pH berkisar 5-7. Curah hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm/tahun dengan musim hujan pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau pada bulan April-September, sedangkan suhu udara berkisar antara 30-34oC dan kelembaban udara berkisar antara 80-85%. Data curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 3-5.
26
Gambar 2 Lokasi penelitian.
27 Penggunaan Lahan Dari total luas lahan (900 ha), sekitar 560 ha (62,78%) digunakan sebagai lahan perkebunan yang didominasi oleh kakao (Tabel 3). Selain ditanam di lahan milik, kakao juga ditanam oleh masyarakat di lahan hutan negara. Tercatat sekitar 200 ha lahan hutan negara yang digarap oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) Wana Makmur. Tabel 3 Jenis penggunaan lahan Jenis penggunaan lahan Pemukiman penduduk Sawah Ladang Perkebunan Perkantoran Lain-lain Jumlah
Luas lahan (ha) 319 4 3,5 560 3 2,5 892
Persentase (%) 35,76 0,45 0,39 62,78 0,34 0,28 100,00
Sumber: BPS Lampung Selatan (2006)
Komposisi Penduduk Jumlah penduduk pada tahun 2008 adalah 4.788 jiwa (sekitar 1.250 KK), yang terdiri dari 2.481 jiwa laki-laki (51,82%) dan 2.307 jiwa perempuan (48,18%). Kelompok tenaga kerja merupakan kelompok umur penduduk produktif yang berumur 10-56 tahun dengan jumlah jiwa terbesar, yaitu sebesar 59,09% (Tabel 4). Sebagian besar kaum perempuan di desa ini ikut terlibat secara aktif membantu bekerja dan biasanya pengelolaan lahan dilakukan secara bersamasama oleh seluruh anggota keluarga. Tabel 4 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur Kelompok umur (tahun) <10 10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 >57 Jumlah
Jumlah (jiwa) 1.043 325 346 351 1.021 786 836 4.788
Sumber: Monografi Desa Sungai Langka (2008)
Persentase (%) 21,78 6,79 7,23 7,33 21,32 16,42 17,46 100,00
28 Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, yaitu sebesar 78,54% (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling dominan menggerakkan perekonomian di desa tersebut. Ketersediaan lahan bagi masyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk memperoleh pendapatan, karena untuk bekerja di sektor yang lain akan terbentur dengan banyaknya kendala, terutama rendahnya tingkat pendidikan dan modal usaha. Tabel 5 Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian Jenis mata pencaharian PNS Swasta Wiraswasta/pedagang Petani Pertukangan Pensiunan Jasa Jumlah
Jumlah (jiwa) 75 4 54 849 47 21 31 1.081
Persentase (%) 6,94 0,37 5,00 78,54 4,35 1,94 2,87 100,00
Sumber: Monografi Desa Sungai Langka (2008)
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan kepala keluarga pada tahun 2006 masih tergolong rendah.
Sebagian kepala keluarga hanya menamatkan pendidikannya sampai
tingkat SD/SLTP, yaitu sebesar 40,00% (Tabel 6). Tetapi dalam kegiatan bertani, pemahaman mereka terhadap pengetahuan budidaya suatu jenis tanaman, baik yang berasal dari pengalaman sendiri maupun orang lain cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari pengetahuan mereka dalam membudidayakan tanaman coklat, kopi, cengkeh, dan vanili. Tabel 6 Jumlah kepala keluarga berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan Tidak tamat SD Tamat SD/SLTP Tamat SLTA ke atas Jumlah Sumber: BPS Lampung Selatan (2006)
Jumlah (jiwa) 35 280 385 700
Persentase (%) 5,00 40,00 55,00 100,00
29 Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang cukup baik di Desa Sungai Langka, terutama prasarana jalan, sangat menunjang kegiatan pertanian yang merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk (Tabel 7). Kondisi jalan yang cukup baik dan jarak yang relatif dekat dengan ibukota kecamatan dan propinsi membuat banyak pedagang pengumpul berdatangan ke desa tersebut untuk membeli secara langsung hasil-hasil pertanian. Bahkan beberapa penduduk menjual langsung hasil pertaniannya ke beberapa pasar yang berada di ibukota propinsi. Tabel 7 Sarana dan prasarana Sarana/prasarana Perhubungan Pendidikan Tempat ibadah Sosial Lapangan olahraga
Jenis Jalan aspal Jalan batu Jalan tanah TK SD SMP Masjid Mushola Balai desa Poskamling Sepak bola Bulu tangkis Bola voli
Jumlah (unit) 8 km 0,7 km 6 km 1 buah 5 buah 1 buah 10 buah 3 buah 1 buah 4 buah 1 buah 3 buah 5 buah
Sumber: BPS Lampung Selatan (2006)
Belum adanya SMA di desa ini membuat sebagian masyarakat kurang berminat untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya ke jenjang tersebut, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk biaya transportasi dan akomodasi ke luar desa.
Tetapi pada pertengahan tahun 2008, pemerintah telah berupaya
membuka sekolah setingkat SMA, yaitu SMK Perkebunan. Dengan adanya SMK Perkebunan ini diharapkan tingkat pendidikan masyarakat akan meningkat, terutama yang terkait secara langsung dengan kebutuhan masyarakat setempat, yaitu masalah pertanian/perkebunan; yang pada akhirnya akan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa tersebut secara keseluruhan. Kegiatan-kegiatan rutin seperti pengajian, arisan, koperasi dan kegiatan olahraga, baik di tingkat desa maupun dusun juga turut membantu proses terjadinya tukar menukar pengalaman berusaha tani di masyarakat.
30 Sejarah Pengelolaan Lahan Sebagian besar transmigran yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, mulai membuka desa ini pada awal tahun 1900-an.
Mereka
dipekerjakan sebagai buruh perkebunan oleh pemerintah kolonial Belanda. Seiring dengan pertambahan penduduk dan berkembangnya desa, penduduk mulai membuka hutan negara (Taman Hutan Rakyat Wan Abdul Rahman, dahulu Hutan Lindung Register 19 Gunung Betung) yang berbatasan langsung dengan desa pada tahun 1950-an untuk dijadikan lahan bercocok tanam dan pemukiman. Terdapat tiga pemukiman di hutan negara pada saat itu, yaitu Kampung Karawang, Gunung Wetan dan Batu Lapis. Jenis tanaman utama yang ditanam oleh penduduk di lahan hutan negara dan lahan milik adalah kopi. Pada tahun 1982-1985, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mereboisasi hutan negara dengan mengosongkan hutan tersebut dari pemukiman dan aktivitas penduduk. Jenis tanaman yang digunakan untuk reboisasi adalah sonokeling, lamtoro dan kaliandra. Penduduk yang bermukim di hutan negara kemudian dipindahkan secara paksa melalui program transmigrasi lokal ke daerah Mesuji (Kabupaten Tulang Bawang) dan Pakuan Ratu (Kabupaten Way Kanan). Pengelolaan kebun-kebun yang berada di lahan hutan negara, yang didominasi oleh kopi, selanjutnya diserahkan kepada penduduk yang tinggal di Desa Sungai Langka (sebagian besar dengan cara memberi ganti rugi atas tanaman dan biaya/jasa perawatan kebun yang sudah dikeluarkan). Meskipun masyarakat sangat bergantung pada hutan negara, kepastian menggarap kawasan hutan tersebut tidak mereka dimiliki. Banyak kebutuhan masyarakat, seperti kayu bakar, makanan ternak, air bersih dan lain-lain yang berasal dari hutan. Sejak pemerintah menegakkan hukum (law enforcement) dengan mengosongkan hutan negara dari aktivitas masyarakat, hubungan masyarakat dengan aparat kehutanan sarat dengan ketegangan dan saling curiga. Aparat dipandang oleh masyarakat sebagai sumber ancaman terhadap pengelolaan kebun dan hasil-hasilnya. Sebaliknya, masyarakat dipandang oleh aparat sebagai sumber ancaman terhadap keamanan kawasan hutan negara. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, masyarakat beramai-ramai kembali masuk ke dalam hutan negara.
31 Tanaman hasil reboisasi tahun 1982-1985, yang sudah menutupi lahan dengan rapat, banyak yang diteres dan ditebang. Kemudian kakao mulai ditanam oleh petani di lahan hutan negara untuk menggantikan kopi pada akhir tahun 1990-an dan ditanam secara meluas pada tahun 2002. Sementara di lahan milik, sama seperti di lahan hutan negara, penanaman kopi dilakukan sekitar tahun 1950an sampai 1960-an. Lalu kopi diganti dengan cengkeh pada tahun 1970-an. Pada akhir tahun 1980-an ketika cengkeh mati secara serentak karena terkena penyakit, kakao mulai ditanam oleh petani dan ditanam secara meluas pada awal tahun 1990.
Vanili sempat juga diusahakan oleh sebagian penduduk untuk
menggantikan cengkeh, tetapi tanaman tersebut banyak mengalami kegagalan akibat kematian karena musim kemarau yang berkepanjangan. Pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan hutan negara secara formal baru dimulai ketika Departemen Kehutanan meluncurkan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada akhir tahun 1990-an yang memberi peluang kepada masyarakat setempat untuk mengelola hutan negara.
Kelompok tani yang
bernama Kelompok Pengelola dan Pelestari Hutan (KPPH) Wana Makmur di Desa Sungai Langka dibentuk pada tanggal 13 Februari 2000 dengan maksud untuk memperoleh ijin pengelolaan HKm. Bahkan di tahun 2001-2003, kelompok ini mendapatkan pendampingan dalam kegiatan HKm dari P3AE UI, LSM Watala dan Unila. Pada akhirnya, kelanjutan program HKm di desa ini menjadi tidak jelas, seiring dengan berakhirnya kegiatan pendampingan. Sampai dengan sekarang, KPPH Wana Makmur belum juga mendapatkan ijin pemanfaatan HKm tersebut. Jumlah anggota yang terdaftar di KPPH Wana Wakmur sebanyak 235 anggota; dengan jumlah lahan garapan di lahan hutan negara sekitar 200 hektar. Keberadaan Tahura WAR seluas sekitar 22.249,31 ha di Propinsi Lampung memiliki arti yang sangat penting dan strategis ditinjau dari aspek ekologi dan lingkungan hidup serta aspek pembangunan sosial ekonomi Propinsi Lampung, antara lain: (1) sebagai kawasan pelestarian alam yang diperlukan untuk
perlindungan
sistem
penyangga
kehidupan,
untuk
pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa (plasma nutfah) serta pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistemnya secara lestari (2) sebagai daerah tangkapan air bagi Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan, yang dalam hal
32 ini sangat penting artinya dalam menjaga siklus tata air, menangkap, menyimpan dan menyediakan air permukaan dan air bawah tanah, serta menjaga kestabilan lingkungan dari bahaya kekeringan, banjir dan tanah longsor; (3) sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan bagi wilayah di sekitarnya, serta menunjang budidaya pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan industri hilir (Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2006). Dinas Kehutanan Propinsi Lampung pada tahun 2006 telah membuat suatu Master Plan untuk pengembangan Kawasan Tahura WAR, yang membagi kawasan ini menjadi beberapa blok pengelolaan (Tabel 8).
Pembuatan blok
Social Forestry/Hutan Kemasyarakatan (HKm), tidak terlepas dari kebijakan pemerintah untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar Tahura WAR, dimana blok HKm ini merupakan blok yang terluas dari blok-blok yang ada (Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, 2006). Tabel 8 Blok pengelolaan dalam master plan Tahura WAR Nama blok pengelolaan Blok pemanfaatan/wisata alam Blok koleksi tanaman Blok perlindungan Blok pendidikan & penelitian Blok social forestry/ hutan kemasyarakatan (HKm) Jumlah Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Lampung (2006
Luas (ha) 700,00
Persentase (%) 3,15
845,54
3,80
6.846,92
30,77
540,43
2,43
13.316,42
59,85
22.249,31
100,00
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pemilihan Jenis Tanaman dan Pola Tanam Pemilihan jenis tanaman dan pola tanam merupakan suatu cara rumah tangga petani dalam pengambilan keputusan untuk mengelola sumberdaya lahan yang dimilikinya. Petani di Desa Sungai Langka selama ini telah melakukan penggantian jenis tanaman yang diusahakan dalam pengelolaan lahan hutan negara maupun lahan milik.
Berbagai alasan yang diungkapkan oleh petani
berkaitan dengan sifat-sifat dari suatu jenis tanaman yang sesuai dengan harapan petani.
Alasan-alasan ini kemudian dianalisis menggunakan teori “real-life
choice” yang dikembangkan oleh Gladwin (1980), sehingga dapat menjelaskan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh petani dalam proses pengambilan keputusan. Tahap 1 Alternatif jenis tanaman utama yang sudah atau pernah ditanam oleh petani baik di lahan hutan negara maupun lahan milik adalah kakao (Theobroma cacao), kopi (Coffea spp), pisang (Musaceae spp), petai (Parkia speciosa), durian (Durio zibethinus), vanili (Vanilla planifolia), cengkeh (Sysygium aromaticum), karet (Hevea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), tangkil (Gnetum gnemon), pinang (Areca catechu), kemiri (Aleurites moluccana), pala (Myristica fragrant), dan alpukat (Persea americana). Dari alternatif jenis tanaman tersebut, petani mengeliminasi secara singkat jenis-jenis yang tidak memenuhi beberapa persyaratan minimal. Alasan-alasan yang menjadi persyaratan minimal diurut berdasarkan
peringkat
keputusan
petani,
dimana
seorang
petani
dapat
mengungkapkan lebih dari satu pendapat (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah responden berdasarkan aspek persyaratan minimal dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam Aspek
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)*
Orientasi produksi
34
100,00
Kondisi biofisik
30
88,24
Pengetahuan
8
23,53
Waktu/tenaga kerja
6
17,65
Kemampuan investasi tanaman pohon
2
5,88
* = persentase terhadap 34 petani
34 Orientasi produksi merupakan aspek yang menunjukkan bahwa petani lebih berorientasi komersial, yaitu memilih suatu jenis tanaman yang hasilnya dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga sehari-hari. Dengan memilih jenis tanaman yang hasil produksinya mempunyai harga jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman pangan, petani dapat menjual hasil tanaman tersebut dan membeli bahan pangan tanpa perlu menanam tanamannya. Kondisi biofisik merupakan aspek yang berkaitan dengan kesesuaian jenis tanaman dengan ketinggian/tanah dan kelembaban di daerah setempat.
Dari
pengalaman bercocok tanam selama bertahun-tahun, petani menyatakan bahwa kakao sesuai dengan kondisi topografi di desa tersebut yang berbukit dan merupakan lahan kering.
Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan dan
perkembangan kakao yang sangat pesat dan hasilnya banyak. Hal ini didukung hasil penelitian Nazarullah (2006), mengenai evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Desa Sungai Langka berdasarkan kriteria fisik lingkungan yang disusun oleh Djaenuddin et al (2000) dalam Nazarullah (2006). Berdasarkan kriteria fisik lingkungan tersebut menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan berkemiringan lereng 3-8% adalah sesuai marginal (S3) dengan faktor pembatas utama
ketersediaan
air/kelembaban
(wa);
dan
kelas
kesesuaian
lahan
berkemiringan lereng 8-16% adalah sesuai marginal (S3) dengan faktor pembatas utama ketersediaan air/kelembaban (wa) dan retensi hara/C-Organik (nr). Sedangkan menurut Siregar et al (2007), kakao ditanam pada daerah-daerah yang berada pada 10o LU-10o LS dan ketinggiannya tidak lebih dari 800 meter dari permukaan laut. Hal ini erat kaitannya dengan distribusi curah hujan dan jumlah penyinaran matahari sepanjang tahun. Sunanto (2002) menyatakan bahwa kakao tumbuh baik di hutan tropis karena pertumbuhan kakao sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu. Kakao juga dapat tumbuh baik di daerah-daerah yang memiliki curah hujan 1.600-3.000 mm/tahun atau rata-rata optimalnya sekitar 1.500 mm/tahun yang terbagi secara merata sepanjang tahun (tidak ada bulan kering). Kakao sangat peka terhadap kekeringan yang panjang (3-4 bulan). Suhu sehari-hari yang terbaik untuk kakao adalah sekitar 24o-28oC serta kelembaban udaranya konstan dan relatif tinggi, yakni sekitar 80%.
35 Pengetahuan merupakan aspek yang menunjukkan kemampuan petani dalam membudidayakan suatu jenis tanaman. Dengan mengetahui cara membudidayakan suatu jenis tanaman dengan baik, maka tingkat keberhasilan dalam mengusahakan tanaman tersebut akan menjadi lebih tinggi. Sebagian besar petani pada awalnya melihat dan belajar dari petani lain yang sudah berhasil dalam menanam suatu jenis tanaman. Selain itu, ada beberapa kali penyuluhan yang dilakukan oleh berbagai pihak, seperti Dinas Pertanian dan perguruan tinggi. Ketersediaan waktu/tenaga kerja merupakan aspek yang menunjukkan kemampuan petani dalam menyediakan waktu/tenaga kerja yang dibutuhkan dalam pengelolaan lahan, dimana sebagian besar petani di desa ini melibatkan seluruh anggota keluarganya (rata-rata 2-4 orang/rumah tangga petani). Namun, ada beberapa petani yang memiliki modal besar dan lahan yang lebih luas, mengupah buruh tani dalam pengelolaannya, karena tenaga kerja dalam keluarga yang terbatas.
Dengan kondisi tersebut, petani dalam memilih suatu jenis
tanaman mempertimbangkan jenis tanaman yang budidayanya tidak terlalu menyita waktu/tenaga kerja. Kemampuan
investasi
tanaman
pohon
merupakan
aspek
yang
menunjukkan kemampuan modal petani mulai dari menanam pohon sampai memanen hasilnya. Petani harus mempunyai modal paling tidak untuk selama 3-4 tahun sampai tanaman pohon tersebut menghasilkan di lahan hutan negara. Sementara untuk di lahan milik, lebih diartikan petani harus mempunyai lahan sendiri dan mempunyai modal paling tidak selama 3-4 tahun sampai tanaman pohon tersebut menghasilkan. Petani mengganti tanaman lama dengan tanaman baru secara bertahap, sehingga hasil dari tanaman lama masih dapat digunakan sampai tanaman baru menghasilkan; dan juga menanam palawija di sela-sela tanaman utama sampai tajuk tanaman utama menutup rapat. Sebagian besar petani meminjam uang dari pedagang pengumpul untuk modal usaha tani dan kebutuhan sehari-hari; dengan komitmen untuk menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul (tengkulak) yang meminjamkannya. Petani mempertimbangkan aspek-aspek, seperti: (1) orientasi produksi, (2) kondisi biofisik, (3) pengetahuan, (4) waktu/tenaga kerja, dan (5) kemampuan investasi untuk tanaman pohon, sebagai persyaratan minimal untuk mengeliminasi
36 alternatif jenis tanaman. (Gambar 3). Urutan aspek pada Tahap 1, baik di lahan hutan negara maupun di lahan milik hampir sama dengan Gladwin (1980). Perbedaannya adalah tidak adanya aspek modal (modal jangka pendek untuk tanaman pertanian) dan menyatukan aspek ketinggian/tanah dan persyaratan air dalam satu aspek, yaitu kondisi biofisik. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani di daerah ini tidak menanam tanaman pertanian sebagai tanaman utama, tetapi menanam tanaman tahunan. Sub kumpulan jenis tanaman yang lolos pada Tahap 1 adalah kakao, kopi, petai, durian, pisang, cengkeh, dan vanili.
Kopi, kakao, pisang, petai, durian, vanili, cengkeh, karet, lada kelapa, tangkil, kemiri, pinang, pala, alpukat
Orientasi produksi
Apakah anda mengkonsumsi atau menjual hasil tanaman X ke pasar terdekat atau kepada pedagang?
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Tidak
Eliminasi tanaman X
Ya
Kondisi biofisik
Apakah tanaman X sesuai dengan kondisi biofisik di daerah anda? Ya
Pengetahuan
Apakah anda mengetahui bagaimana cara membudidayakan tanaman X? Ya
Waktu/tenaga kerja
Apakah anda mempunyai waktu/tenaga kerja untuk membudidayakan tanaman X? Ya
Kemampuan investasi tanaman pohon
Apakah anda mempunyai modal untuk menunggu 4-5 tahun sampai pohon menghasilkan?
Ya
Lanjutkan ke Tahap 2 dengan tanaman kakao, kopi, petai, durian, pisang, cengkeh, vanili
Gambar 3 Tahap 1 pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara dan lahan milik.
37 Tahap 2 Alasan-alasan yang menjadi pertimbangan petani dalam pemilihan jenis tanaman diurut berdasarkan peringkat keputusan petani, dimana seorang petani dapat mengungkapkan lebih dari satu pendapat (Tabel 10). Selanjutnya untuk mengetahui lebih lanjut mengenai alasan-alasan petani dalam pemilihan jenis tanaman yang telah ditanam oleh petani saat ini, dimulai dengan membuat daftar aspek-aspek yang tercakup pada alternatif jenis tanaman yang lolos pada Tahap 1, dengan membandingkan dua alternatif jenis tanaman (Langkah 1). Dua alternatif jenis tanaman yang dibandingkan adalah jenis tanaman utama yang sudah ditanam saat ini dengan jenis tanaman utama sebelumnya, yaitu kakao dengan kopi di lahan hutan negara (Tabel 11) dan kakao dengan cengkeh di lahan milik (Tabel 12). Tabel 10 Jumlah responden berdasarkan aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam Aspek
Jumlah responden (orang)
Persentase (%)*
Pendapatan uang
34
100,00
Kemudahan pemasaran
31
91,18
Kontinuitas produksi
29
85,29
Kecepatan berproduksi
23
67,65
Kemudahan pemeliharaan
22
64,71
Kemudahan pengolahan pascapanen
20
58,84
Kemudahan pemanenan
13
38,24
Kemampuan ditanam dengan tanaman lain
12
35,29
Kestabilan harga
11
32,35
Keamanan penguasaan lahan**
9
45,00***
* = persentase terhadap 34 petani, ** = di lahan hutan negara, *** = persentase terhadap 20 petani
Untuk menyederhanakan keputusan pemilihan jenis berikutnya pada Langkah 2, maka aspek-aspek yang sedikit atau tidak bermanfaat dapat dieliminasi atau tidak perlu didaftar dalam Langkah 1 (Langkah 2a); kemudahan pemasaran dan kestabilan harga dapat dieliminasi karena mempunyai nilai yang sama atau sebanding (Langkah 2b); serta aspek kemudahan pemeliharaan dan
38 kemudahan pemanenan dapat dipertimbangkan sebagai satu aspek karena tidak mempunyai pengaruh yang terpisah (Langkah 2d). Tabel 11 Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara Aspek Pendapatan uang (tahun 2002) Kemudahan pemasaran Kontinuitas produksi Kecepatan berproduksi
Kakao
Hubungan
Kopi
Rp 7.200.000/ha/tahun
>
Rp 3.000.000/ha/tahun
mudah
≈
mudah
harian, tahunan (panen raya selama 3 bulan)
>
tahunan (panen raya selama 1 bulan)
3 tahun
>
3-5 tahun
Kemudahan pemeliharaan
mudah
>
sulit
Kemudahan pengolahan pascapanen
mudah
>
sulit
Kemudahan pemanenan
mudah
>
sulit
tidak stabil
≈
tidak stabil
Kestabilan harga
Dari sub kumpulan aspek yang tidak tereliminasi, petani memilih aspekaspek dari alternatif jenis tanaman dalam pengertian sebagai suatu fungsi pilihan ”yang tidak dibangun dari pengurutan”. Aspek-aspek tersebut yaitu pendapatan uang, kontinuitas produksi, kecepatan berproduksi, kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, dan kemudahan pengolahan pascapanen (Langkah 3a.2). Alternatif jenis tanaman yang melewati Tahap 1 tidak berdiri sendiri, sehingga petani mengurut sebagian alternatif jenis tanaman pada aspek terurut, yaitu: kakao, pisang, petai, durian, kopi, cengkeh, dan vanili (Langkah 3b.2). Untuk setiap aspek yang tersisa, petani atau lingkungan (konteks sosial ekonomi) menentukan suatu kondisi minimum (hambatan atau kendala) yang harus dilewati oleh alternatif terpilih, yaitu ketersediaan tenaga kerja (berhubungan dengan
aspek kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, dan
kemudahan pengolahan pascapanen yang telah dibahas pada Langkah 2.d) dan kemampuan ditanam dengan tanaman lain.
Untuk di lahan hutan negara
ditambahkan satu kondisi minimum lagi, yaitu keamanan penguasaan lahan (Langkah 4). Selanjutnya petani meloloskan alternatif-alternatif jenis tanaman dan pola tanam melewati kondisi minimum (Langkah 5).
Pemilihan jenis
tanaman dan pola tanam pada Langkah 3-5 selanjutnya dapat digambarkan ke dalam pohon keputusan (decision tree) seperti pada Gambar 4 dan Gambar 5.
39 Tabel 12 Aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan milik Aspek Pendapatan uang (tahun 1990) Kemudahan pemasaran
Kakao
Hubungan
Cengkeh
Rp 1.200.000/ha/tahun
<
Rp 27.500.000/ha/tahun
mudah
≈
mudah
harian, tahunan (panen raya selama 3 bulan)
>
tahunan (panen raya selama 1 bulan)
Kecepatan berproduksi
3 tahun
>
6-7 tahun
Kemudahan pemeliharaan
mudah
>
sulit
Kemudahan pengolahan pascapanen
mudah
>
sulit
Kemudahan pemanenan
mudah
>
sulit
tidak stabil
≈
tidak stabil
Kontinuitas produksi
Kestabilan harga
Pendapatan uang merupakan aspek yang menunjukkan bahwa petani lebih memilih jenis tanaman yang mempunyai harga yang tinggi di pasaran.
Bila
dilihat dari pendapatan uang yang berasal dari kakao pada tahun 2002 di lahan hutan negara adalah sebesar Rp 7.200.000/ha/tahun, sedangkan kopi sebesar Rp 3.000.000/ha/tahun. Sementara pendapatan uang yang berasal dari kakao pada tahun 1990 di lahan milik adalah sebesar Rp 1.200.000/ha/tahun, sedangkan cengkeh sebesar Rp 27.500.000/ha/tahun. Untuk di lahan milik, petani lebih memilih kakao dibandingkan cengkeh; walaupun pendapatan uang dari cengkeh jauh lebih banyak dibandingkan kakao. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan aspek-aspek yang akan dibahas selanjutnya.
Sejak menanam kakao, petani
merasakan terjadinya peningkatan kesejahteraan, antara lain mereka dapat membangun rumah yang lebih bagus dan dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dibandingkan ketika sebelum menanam kakao. Kontinuitas produksi merupakan aspek yang menunjukkan bahwa petani lebih memilih jenis tanaman yang hasilnya dapat diperoleh dalam jangka waktu yang pendek dan terus menerus, yaitu harian, mingguan atau bulanan, bukan tahunan; karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kakao mengalami panen raya selama 3 bulan dalam setahun; kemudian terdapat buah susulan yang terjadi dalam jangka waktu mingguan. Sementara kopi dan cengkeh mengalami panen raya selama 1 bulan dalam setahun.
40 Kecepatan berproduksi merupakan aspek yang menunjukkan bahwa petani memilih jenis tanaman yang cepat menghasilkan, karena berhubungan dengan modal yang dibutuhkan petani untuk menunggu tanaman yang ditanam sampai menghasilkan. Kakao mulai berproduksi pada umur 3 tahun, sementara kopi 3-5 tahun dan cengkeh 6-7 tahun. Sub kumpulan dari Tahap 1 Î tanaman (kakao, pisang, petai, durian, kopi, cengkeh, vanili)
Pendapatan uang
Pendapatan uang
>
Kopi
Kakao
Tanaman sekunder Xi = (kopi, petai, durian, pisang, cengkeh, vanili)
Tanaman utama X= kakao Apakah tanaman X berproduksi secara kontinyu (harian/mingguan)?
Apakah tanaman Xi berproduksi secara kontinyu (harian/mingguan)?
Tidak
Ya
Apakah tanaman X cepat berproduksi?
Apakah tanaman Xi cepat berproduksi?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Apakah tanaman X pemeliharaan dan pemanenannya mudah?
Apakah tanaman Xi pemeliharaan dan pemanenannya mudah?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Apakah tanaman X pengolahan pascapanennya mudah?
Apakah tanaman Xi pengolahan pascapanennya mudah?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Stop
Stop Apakah tanaman Xi dapat ditanam dengan tanaman lain?
Apakah tanaman X dapat ditanam dengan tanaman lain? Ya
Tidak
Ya
Tanam kakao secara monokultur
Tidak
Kombinasi tanaman X + tanaman Xi
Stop
Apakah ada keamanan penguasaan lahan? Ya Tanam kakao+petai, kakao+durian
Tidak Tanam kakao+pisang
Gambar 4 Tahap 2 pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan hutan negara.
41 Sub kumpulan dari Tahap 1 Î tanaman (kakao, pisang, petai, durian, kopi, cengkeh, vanili)
Pendapatan uang
<
Pendapatan uang Cengkeh
Kakao
Tanaman sekunder Xi = (cengkeh, kopi, petai, durian, pisang, vanili)
Tanaman utama X= kakao Apakah tanaman X berproduksi secara kontinyu (harian/mingguan)?
Apakah tanaman Xi berproduksi secara kontinyu (harian/mingguan)?
Tidak
Ya
Apakah tanaman X cepat berproduksi?
Apakah tanaman Xi cepat berproduksi?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Apakah tanaman X pemeliharaan dan pemanenannya mudah?
Apakah tanaman Xi pemeliharaan dan pemanenannya mudah?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Apakah tanaman X pengolahan pascapanennya mudah?
Apakah tanaman Xi pengolahan pascapanennya mudah?
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Stop
Stop Apakah tanaman X dapat ditanam dengan tanaman lain? Ya
Tidak Tanam kakao secara monokultur
Apakah tanaman Xi dapat ditanam dengan tanaman lain? Ya Kombinasi tanaman X + tanaman Xi
Tidak Stop
Tanam kakao+petai, kakao+durian
Gambar 5 Tahap 2 pemilihan jenis tanaman dan pola tanam di lahan milik. Kemudahan pemeliharaan dan pemanenan merupakan aspek yang menunjukkan bahwa petani memilih jenis tanaman yang dapat menghemat input produksi, khususnya tenaga kerja, dan daya tahan terhadap penyakit. Jenis tanaman utama kakao, baik di lahan hutan negara maupun lahan milik, dikelola secara tidak intensif karena sebagian besar petani hanya memiliki modal yang relatif kecil. Tidak seperti kopi dan cengkeh, kakao relatif lebih mudah dalam pemeliharaan dan pemanenannya. Contohnya, untuk kegiatan penyiangan
42 dilakukan secara intensif mulai dari umur 1-3 tahun. Setelah tajuk kakao mulai menyatu dengan yang di sebelahnya pada umur 3-4 tahun, maka petani sudah tidak perlu lagi melakukan kegiatan tersebut; sementara kopi dan cengkeh harus selalu disiangi karena permukaan tanah harus selalu bersih.
Untuk kegiatan
pemangkasan, kakao dipangkas setahun sekali, sedangkan kopi dipangkas setahun 3 kali. Cengkeh rentan terhadap penyakit dibandingkan dengan kakao atau kopi. Pada awal tahun 1990-an di lahan milik, cengkeh mati secara serentak dan akhirnya diganti dengan kakao. Untuk kegiatan pemanenan, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kakao hanya 2-4 orang/ha, sementara untuk kopi 8-10 orang/ha, dan cengkeh bisa mencapai 15-20 orang/ha. Kemudahan pengolahan pascapanen merupakan aspek yang menunjukkan bahwa petani memilih jenis tanaman yang dapat menghemat input produksi, khususnya tenaga kerja dan waktu. Biji kakao yang baru dikupas sudah dapat dijual dengan harga Rp 6.000/kg, sedangkan biji kakao yang sudah dijemur selama setengah hari dapat dijual ke pedagang pengumpul yang datang langsung ke desa dengan harga Rp 7.000/kg dan sebagian besar rumah tangga petani menjual biji kakao yang sudah dijemur selama satu hari dengan harga Rp 10.000/kg (sebagai informasi, harga dasar di tingkat pedagang besar di Panjang pada bulan Maret-April 2008 adalah Rp 20.000/kg untuk kadar air 5%). Sementara buah kopi dan bunga cengkeh paling tidak membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk penjemuran; dan buah kopi juga harus dikupas dengan alat khusus sebelum dijual. Kemampuan ditanam dengan tanaman lain merupakan aspek yang menunjukkan orientasi struktur dan komposisi jenis tanaman, apakah ditanam secara monokultur atau heterokultur.
akan
Petani cenderung memilih
monokultur dengan jenis tanaman kakao (terutama di lahan hutan negara), walaupun ditanam dengan tanaman sekunder seperti pisang, durian, atau petai. Petani beralasan bahwa hal tersebut didasari oleh kekhawatiran terganggunya produktivitas kakao oleh tanaman lain jika ditanam bersamaan, karena persaingan memperebutkan unsur hara dan sinar matahari; misalnya kemiri yang mempunyai tajuk lebar dan tangkil yang perakarannya menyebar ke arah samping. Sebagian tanaman petai dan durian tidak ditanam secara bersamaan, tetapi merupakan
43 tanaman yang telah tumbuh sebelumnya.
Tanaman ini digunakan sebagai
tanaman pelindung untuk kakao. Sebagian petani menanam petai dan durian bersamaan dengan kakao, untuk memperoleh hasil tambahan. Khusus di lahan hutan negara ditambahkan satu aspek lagi, yaitu keamanan penguasaan lahan.
Keamanan penguasaan lahan merupakan aspek
yang menunjukkan hak untuk memperoleh manfaat hasil hutan. Hal ini sangat berhubungan dengan ijin kelola HKm dari pemerintah pada saat itu, yaitu selama jangka waktu 5 tahun (sesuai SK Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001). Tidak adanya keamanan penguasaan lahan, membuat petani mengusahakan lahan dengan orientasi produksi jangka pendek. Mereka menyadari bahwa lahan yang mereka garap adalah lahan negara, tetapi mereka juga memerlukan kepastian pengelolaan lahan yang lebih dari lima tahun dan kemudian dapat diperpanjang; karena secara de facto kontrol petani atas lahan hutan negara yang digarap lebih kuat dibandingkan kontrol pemerintah. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah yang berciri win-win solution, di satu sisi dapat menyejahterakan masyarakat sekitar hutan negara dan di sisi lain konservasi kawasan hutan negara tetap berjalan.
Walaupun saat ini telah ada kebijakan baru, yaitu Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.37/Menhut-II/2007 yang memberi Ijin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm) untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan hasil evaluasi setiap 5 tahun, tetapi perangkat kelembagaan pendukungnya masih belum berkembang. Minimnya pembinaan dan sosialisasi HKm dari Dinas Kehutanan juga dapat menimbulkan resiko dan ketidakpastian bagi masyarakat untuk mengelola lahan hutan negara, sehingga pada akhirnya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan kegiatan konservasi di lahan hutan negara. Selain itu, yang terpenting adalah membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya pihak kehutanan, dengan memberikan jaminan yang pasti untuk memperoleh manfaat hutan. Sebagian besar petani menyatakan bahwa mereka merasa trauma akibat pengusiran oleh pemerintah terhadap penduduk dari lahan hutan negara pada tahun 1982-1985. Pada saat itu petani tidak dapat menikmati hasil jerih payahnya, ketika terjadi pengusiran yang dilakukan oleh pemerintah dan selanjutnya mereka
44 dipindahkan ke daerah lain melalui program transmigrasi lokal. Sebagian besar petani mengalihkan lahan garapannya di lahan hutan negara kepada penduduk yang berada di Desa Sungai Langka. Pada saat itu ganti rugi yang diberikan sebesar Rp 50.000/ha, walaupun ada juga menyerahkan lahan garapan kepada sanak saudaranya tanpa mendapatkan ganti rugi. Selanjutnya pengelolaan lahan hutan negara dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh penduduk, sampai tahun 1998 setelah tumbangnya rejim orde baru.
Pada tahun 2001, ketika petani
mendapatkan peluang untuk memperoleh ijin pemanfaatan HKm, barulah mereka berani secara terang-terangan menggarap lahan hutan negara.
Hal ini tidak
terlepas dari pengalaman kelompok tani di desa tetangga, yaitu Desa Sumber Agung yang telah terlebih dahulu memperoleh ijin pemanfaatan HKm. Namun pada kenyataannya, sampai dengan saat ini mereka belum memperoleh ijin tersebut. Ada juga petani yang menyatakan bahwa mereka menggarap lahan hutan negara karena mengikuti petani-petani yang lainnya; dan apabila pada suatu saat mereka diusir, maka petani tersebut akan keluar juga dari lahan hutan negara. Sebagian besar petani yang tidak menggarap lahan hutan negara menyatakan bahwa walaupun mereka mempunyai peluang untuk menggarap lahan hutan negara, tetapi tidak mereka lakukan; karena mereka takut suatu saat mereka tidak dapat memanen hasilnya seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran mereka bahwa lahan hutan negara tersebut tidak dapat dijadikan lahan milik.
Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan
bahwa hal ini terkait dengan aspek kebijakan pemerintah. Kebijakan ini berupa ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm) untuk mengelola lahan hutan negara selama jangka waktu lima tahun yang dapat diperpanjang kembali; dan kesediaan petani untuk menanam jenis tanaman berkayu yang hanya dapat diambil hasil hutan bukan kayu (HHBK)-nya saja. Sementara di lahan milik, petani bebas menanam jenis tanaman apa saja yang mereka yang sukai. Tanaman yang mereka tanam merupakan tanaman tahunan yang mempunyai jangka waktu yang panjang, karena petani mendapat jaminan terhindar dari resiko tidak dapat mengambil hasilnya di kemudian hari. Pada Tahap 2, aspek-aspek yang menjadi pertimbangan petani baik di lahan hutan negara maupun di lahan milik adalah hampir sama. Aspek-aspek
45 tersebut adalah (1) pendapatan uang, (2) kontinuitas produksi, (3) kecepatan berproduksi, (4) kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, (5) kemudahan pengolahan pascapanen, dan (6) kemampuan untuk ditanam dengan tanaman lain, dan (7) keamanan penguasaan lahan (khusus di lahan hutan negara). Jenis tanaman yang lolos pada Tahap 2 adalah kombinasi utama pola tanam kakao+pisang di lahan hutan negara, dan kakao+petai serta kakao+durian di lahan milik (simbol + menunjukkan “ditanam pada lahan yang sama dengan”). Hasil analisis ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Belsky dan Siebert (2003) yang berlokasi di Desa Moa yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Alasan-alasan petani menanam kakao adalah (1) nilai ganda, yaitu membangun property right dan sebagai sumber pendapatan di masa yang akan datang, (2) harga pasar yang tinggi, dan (3) kebutuhan tenaga kerja yang relatif rendah. Dari aspek-aspek di atas, terlihat bahwa yang menjadi pertimbangan utama petani adalah pendapatan uang, kontinuitas produksi, dan kecepatan berproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa orientasi petani sebenarnya masih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (orientasi subsisten), walaupun hasil dari tanaman kakao sebagai tanaman utama seluruhnya dijual oleh petani (orientasi komersial). Alasan ini diperkuat oleh kondisi biofisik, yang merupakan lahan kering, tidak sesuai untuk pertanian yang ditujukan untuk tingkat subsisten. Kakao menjadi sangat dominan di Desa Sungai Langka, bahkan cenderung monokultur, baik di lahan hutan negara maupun lahan milik.
Pola tanam
kakao+pisang, yang ditanam secara meluas di lahan hutan negara pada tahun 2002, sebenarnya belum menjadi pola yang stabil karena pisang akan mati ketika tajuk tanaman kakao menutup rapat pada umur 9 tahun dan selanjutnya tanaman kakao akan menjadi monokultur di lahan hutan negara. Sementara di lahan milik, penanaman kakao ditanam secara meluas pada tahun 1990-an bersamaan dengan pisang, petai atau durian; dan sebagian petai dan durian ditanam tidak secara bersamaan, tetapi merupakan tanaman yang telah tumbuh sebelumnya. Setelah pisang mati pada umur 9 tahun, maka pola tanam kakao+petai atau kakao+durian menjadi pola tanam yang stabil. Kakao sebagai tanaman utama ditanam dengan jarak tanam 3x4 meter, sehingga dalam satu hektar terdapat sekitar 833 batang;
46 sedangkan pisang rata-rata sebanyak 208 rumpun, dan tanaman durian serta petai rata-rata sebanyak 15 batang untuk masing-masing pola tanam. Selain kombinasi kakao yang sangat dominan, dengan pisang, petai atau durian, ada beberapa petani yang mengkombinasikan kakao dengan karet, cengkeh, kelapa, atau pala. Saat ini karet mulai banyak ditanam lagi oleh petani dengan alasan kontinuitas produksi (harian), pendapatan uang, kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, dan kemudahan pengolahan pascapanen; alasan ini hampir sama dengan alasan petani menanam pala. Selain itu alasan utama penanaman karet didorong oleh mulai menurunnya produktivitas kakao yang mulai banyak terkena penyakit. Sementara cengkeh mulai ditanam lagi dengan alasan utama harga cengkeh yang sangat tinggi (pendapatan uang) dan penanaman kelapa dilakukan dengan alasan kontinuitas produksi, kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, dan kemudahan pengolahan pascapanen. Beberapa jenis tanaman seperti randu dan jati juga ditanam sebagai pembatas dengan lahan milik/garapan petani yang lain. Ada juga beberapa petani yang menanam vanili dan jahe secara monokultur dengan alasan harga yang sangat tinggi (pendapatan uang). Seluruh petani yang mengelola lahan hutan negara merasa benar dengan tindakan yang mereka lakukan, yaitu menanam kakao secara monokultur (hasil analisis menunjukkan hal ini disebabkan salah satunya adalah tidak adanya keamanan penguasaan lahan), karena menurut mereka hutan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitarnya; sementara petugas Dinas Kehutanan menganggap kakao bukan merupakan tanaman kehutanan, tetapi tanaman pertanian/perkebunan. Berbagai jenis program reboisasi yang dilakukan pemerintah setelah tahun 1998, khususnya di kawasan Tahura WAR, seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan lain-lain, ternyata tidak berjalan dengan mulus. Petani enggan menanam jenisjenis tanaman yang diberikan oleh pemerintah walaupun merupakan jenis-jenis tanaman serbaguna (Multi Purpose Tree Species/MPTS), seperti karet, durian, kemiri, tangkil, petai, jambe, medang dan cempaka. Petani masih lebih menyukai menanam kakao sebagai tanaman utama dan pisang sebagai tanaman selingan di lahan hutan negara. Dari analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, dapat
47 dimengerti alasan-alasan petani mengambil sikap tersebut.
Dinas Kehutanan
seharusnya mengakomodasi jenis-jenis tanaman yang dipilih oleh petani, dalam hal ini kakao sebagai tanaman utama dan mengkombinasikannya dengan tanaman kehutanan yang dipilih oleh petani. Karena bila dilihat di lahan milik, ternyata kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, walaupun dikombinasikan dengan tanaman pohon lain, seperti petai dan durian. Bahkan beberapa petani saat ini menanam kakao diselingi dengan karet, durian, petai, cengkeh atau pala di lahan hutan negara. Menurut Nair (1993), dalam konsep agroforestri kakao dapat dikombinasikan dengan tanaman kehutanan; sehingga di satu sisi masyarakat dapat mendapatkan hasilnya dan di sisi lain konservasi tanah tetap terjaga. Hal ini didukung oleh penelitian Iswandi et al. (1996) di Sulawesi Tenggara bahwa petani mengusahakan kombinasi kakao dengan langsat dan kelapa; serta kombinasi kakao dengan durian dan kelapa. Hasil penelitian Obiri et al. (2007) di Ghana menunjukkan bahwa kakao yang dinaungi pohon lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang tidak dinaungi, tetapi hasil awal dan puncaknya lebih sedikit. Pohon-pohon naungan bermanfaat meningkatkan kondisi biofisik kakao dan memberi kontribusi untuk keanekaragaman hayati dan diversifikasi produk untuk petani kecil. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang tumbuh di bawah naungan pohon, menyediakan petani sejumlah keuntungan dibandingkan tanaman yang tumbuh di bawah sinar matahari secara penuh.
Keuntungan
tersebut antara lain memelihara produktivitas untuk periode waktu yang lebih panjang, mengurangi serangan hama dan penyakit, dan mengurangi kebutuhan modal dan tenaga kerja, seperti pupuk, insektisida, dan penyiangan (Purseglove 1968; Young 1989, diacu dalam Belsky dan Siebert 2003).
Keuntungan
berikutnya adalah hasil-hasil lainnya, seperti buah-buahan, serat, obat-obatan, dan kayu, yang dapat dipanen jika dibutuhkan ketika harga pasar kakao dan kopi sedang rendah.
Petani juga dapat menjalankan aktivitas pertanian lainnya,
termasuk menghasilkan tanaman pangan pada sebagian lahan yang tidak menggunakan sistem teknis yang melibatkan bahan-bahan yang harus dibeli, seperti benih, pupuk, pestisida, dan lain-lain, sehingga kurang dipengaruhi
48 fluktuasi harga pasar (Collier et al. 1994; Thrupp 1998, diacu dalam Belsky dan Siebert 2003). Tanaman yang tumbuh di bawah naungan pohon cenderung untuk ditanam petani kecil yang kekurangan modal untuk mengkonversi sistem pertaniannya menjadi lebih teknis, seperti tanaman yang tumbuh di bawah sinar matahari secara penuh. Terakhir, tanaman yang tumbuh di bawah naungan pohon menyediakan biodiversitas dan fungsi ekosistem yang menguntungkan petani secara keseluruhan (Lenne dan Wood 1999; Perfecto et al.1996, diacu dalam Belsky dan Siebert 2003). Analisis Finansial Perhitungan analisis finansial dilakukan berdasarkan data-data harga yang diambil pada bulan Maret-Mei 2008, dengan tingkat suku bunga rata-rata adalah 6,4%. Jangka waktu pengusahaan lahan hutan negara dan lahan milik diasumsikan selama 20 tahun, karena disesuaikan dengan umur ekonomis kakao sebagai tanaman utama yang ditanam oleh petani (Siregar et al. 1988; Iswandi et al. 1996).
Asumsi ini didukung oleh hasil penelitian Obiri et al. (2007), yang
menjelaskan bahwa umur rotasi ekonomis kakao hanya 18 tahun untuk kakao yang tidak mendapat naungan dan 29 tahun untuk yang mendapat naungan. Dari hasil perhitungan, terlihat bahwa ketiga pola tanam dominan yang terdapat di Desa Sungai Langka, yaitu pola tanam kakao+pisang di lahan hutan negara, dan kakao+petai serta kakao+durian di lahan milik layak untuk diusahakan (Tabel 13).
Nilai NPV untuk pola tanam kakao+petai dan
kakao+durian lebih tinggi dibandingkan dengan kakao+pisang. Hal ini menunjukkan bahwa pola tanam kakao+durian dan kakao+petai lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pola tanam kakao+pisang.
Tetapi petani yang
berusaha di lahan hutan negara lebih memilih pola tanam kakao+pisang, karena tidak adanya keamanan penguasaan lahan di lahan hutan negara (sesuai dengan hasil analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam). Selisih nilai NPV yang cukup besar antara pola tanam kakao+pisang dengan pola tanam kakao+petai dan kakao+durian karena nilai lahan di lahan hutan negara tidak ikut diperhitungkan, sementara di lahan milik diperhitungkan (Lampiran 10).
Nilai lahan yang berlaku di lahan milik saat ini adalah Rp
49 100.000.000/ha (lahan dengan tanaman) dan Rp 70.000.000/ha (lahan kosong); sementara di lahan hutan negara adalah Rp 40.000.000/ha (lahan dengan tanaman) dan Rp 10.000.000 (lahan kosong). Nilai di lahan hutan negara merupakan harga di bawah tangan; dimana harga tersebut sebenarnya merupakan harga yang berlaku untuk mengambil alih hak garap, bukan harga lahannya. Tabel 13 Analisis finansial pengusahaan lahan Kriteria penilaian
Pola tanam Kakao+pisang
Kakao+petai
Kakao+durian
NPV
Rp 17.452.336,56
Rp 41.860.069,85
Rp 42.864.090,38
BCR
1,32
1,77
1,79
IRR
23%
27%
28%
Struktur Pendapatan Rumah Tangga Bila dilihat dari struktur pendapatan rumah tangga petani, pola tanam kakao+petai dan kakao+durian ternyata lebih baik dibandingkan pola tanam kakao+pisang (Gambar 6 dan Lampiran 12). Kakao memberikan kontribusi terbesar pada setiap pola tanam.
Pisang hanya memberikan kontribusi pada
tahun-tahun awal, karena pisang tidak dapat tumbuh lagi ketika kakao tertutup rapat pada umur 9 tahun; tetapi pisang menjadi sumber pendapatan utama ketika kakao belum berproduksi. Sementara petai dan durian memberikan kontribusi yang cukup besar dan terus mengalami peningkatan, ketika produktivitas kakao mulai menurun. Pisang, petai dan durian memberikan kontribusi yang lebih kecil dibandingkan kakao, karena tanaman tersebut hanyalah tanaman sekunder dan bukan ditanam oleh petani sebagai tanaman utama. Sebagian besar petani selain mengusahakan kakao, juga mengusahakan ternak kambing jenis PE (peranakan ettawa) di rumahnya; dimana setiap rumah tangga memiliki rata-rata lima ekor kambing. Walaupun ternak kambing memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan rumah tangga petani, tetapi kakao tetap menjadi prioritas utama.
Hal ini disebabkan kakao dapat
memberikan pendapatan harian, sementara ternak kambing hanya memberikan pendapatan tahunan dan diusahakan hanya sebagai kegiatan sampingan saja.
50
14000000
Pendapatan (Rp)
12000000 10000000 8000000
kakao
6000000
pisang
4000000 2000000 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 Tahun
12000000
Pendapatan (Rp)
10000000 8000000
kakao 6000000
pisang petai
4000000 2000000 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19
Tahun
12000000
Pendapatan (Rp)
10000000 8000000 kakao 6000000
pisang durian
4000000 2000000 0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 Tahun
Gambar 6 Struktur pendapatan rumah tangga.
51 Analisis Diversifikasi Portofolio Walaupun kombinasi jenis tanaman di lahan milik lebih banyak dibandingkan di lahan hutan negara, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa petani di Desa Sungai Langka tidak melakukan diversifikasi portofolio; dalam hal ini petani tidak melakukan diversifikasi jenis tanaman. Petani lebih tertarik hanya menanam satu jenis tanaman utama baik di lahan hutan negara maupun lahan milik. Kecenderungan monokultur tersebut dilakukan oleh petani sejak tahun 1950-an. Jenis-jenis tanaman utama yang pernah ditanam adalah kopi, cengkeh dan kakao, sedangkan tanaman lain seperti pisang, petai dan durian hanyalah tanaman sekunder atau ditanam sebagai tanaman pelindung. Dalam satu hektar, rata-rata terdapat sekitar 833 batang kakao yang dikombinasikan dengan pisang rata-rata sebanyak 208 rumpun (di lahan hutan negara), serta tanaman durian dan petai rata-rata sebanyak 15 batang (di lahan milik). Kombinasi tanaman seperti ini, menurut de Foresta dan Michon (2000), dapat digolongkan sebagai sistem agroforestri sederhana. Dalam kasus ini, konsep resiko dan ketidakpastian lebih ditekankan pada tidak adanya keamanan penguasaan lahan di lahan hutan negara, sehingga petani lebih cenderung menanam jenis tanaman yang cepat menghasilkan dalam jangka pendek seperti kakao dan pisang; dan tidak menanam tanaman jangka panjang seperti petai atau durian (seperti di lahan milik).
Sementara kecenderungan
monokultur lebih disebabkan oleh alasan-alasan petani yang sesuai dengan hasil analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam yang telah dikemukakan sebelumnya. Walaupun begitu saat ini ada beberapa petani baik di lahan hutan negara maupun di lahan milik yang telah mencoba melakukan diversifikasi jenis tanamannya dengan mengkombinasikan kakao sebagai tanaman utama dengan karet, pala, petai, durian, dan cengkeh sebagai tanaman sekunder. Hal ini tidak terlepas dari mulai menurunnya produktivitas kakao yang mulai banyak terkena penyakit. Diversifikasi jenis tanaman yang dilakukan oleh beberapa petani ini dapat mengurangi resiko, seperti hama dan penyakit, serta ketidakstabilan harga produk-produk yang dipanen.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Petani di Desa Sungai Langka mempertimbangkan aspek-aspek, seperti: (1) orientasi produksi, (2) kondisi biofisik, (3) pengetahuan, (4) waktu/tenaga kerja, dan (5) kemampuan investasi untuk tanaman pohon, sebagai persyaratan minimal untuk mengeliminasi alternatif jenis tanaman.
Alasan-alasan petani
dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam, baik di lahan hutan negara maupun lahan milik, hampir sama, yaitu: (1) pendapatan uang, (2) kontinuitas produksi, (3) kecepatan berproduksi, (4) kemudahan pemeliharaan dan pemanenan, (5) kemudahan pengolahan pascapanen, (6) kemampuan ditanam dengan tanaman lain, dan (7) keamanan penguasaan lahan (khusus di lahan hutan negara). Jenis tanaman utama yang dipilih oleh petani adalah kakao; dengan kombinasi utama pola tanam kakao+pisang di lahan hutan negara, dan kakao+petai serta kakao+durian di lahan milik. Ketiga pola tanam tersebut layak untuk diusahakan berdasarkan hasil analisis
finansial.
Nilai
NPV,
BCR,
dan
IRR
berturut-turut
sebesar
Rp 17.452.336,56; 1,32; dan 23% (pola tanam kakao+pisang), Rp 41.860.069,85; 1,77; dan 27% (pola tanam kakao+petai), dan Rp 42.864.090,38; 1,79; dan 28% (pola tanam kakao+durian). Pola tanam kakao+durian dan kakao+petai lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan pola tanam kakao+pisang, tetapi petani yang berusaha di lahan hutan negara lebih memilih pola tanam kakao+pisang; karena tidak adanya keamanan penguasaan lahan di lahan hutan negara (sesuai dengan hasil analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam). Pola tanam kakao+petai dan kakao+durian lebih baik dibandingkan pola tanam kakao+pisang berdasarkan struktur pendapatan rumah tangga.
Kakao
memberikan kontribusi terbesar pada setiap pola tanam. Pisang hanya memberikan kontribusi pada tahun-tahun awal, karena pisang tidak dapat tumbuh lagi ketika kakao tertutup rapat pada umur 9 tahun; tetapi pisang menjadi sumber pendapatan utama ketika kakao belum berproduksi. Sementara petai dan durian memberikan kontribusi yang cukup besar dan terus mengalami peningkatan, ketika produktivitas kakao mulai menurun. Pisang, petai dan durian memberikan
53 kontribusi yang lebih kecil dibandingkan kakao, karena tanaman tersebut hanyalah tanaman sekunder dan bukan ditanam oleh petani sebagai tanaman utama. Petani tidak melakukan diversifikasi portofolio, dalam hal ini petani tidak melakukan diversifikasi jenis tanaman. Petani lebih tertarik hanya menanam satu jenis tanaman utama, baik di lahan hutan negara maupun lahan milik. Kecenderungan monokultur tersebut lebih sesuai dengan hasil analisis pemilihan jenis tanaman dan pola tanam. Saran Dengan potensi yang ada, seperti pengetahuan dan keinginan petani dalam membudidayakan tanaman perkebunan yang dikombinasikan dengan tanaman keras/pohon di lahan milik, serta masalah-masalah yang terjadi dalam merehabilitasi lahan hutan negara; maka Dinas Kehutanan, dalam hal ini UPTD Tahura WAR, dapat mengembangkan potensi tersebut dengan cara memanfaatkan pengetahuan petani dan memberikan jaminan/kepastian agar petani dapat memperoleh manfaat dari tanaman yang ditanam di lahan hutan negara. Pihak UPTD Tahura WAR sebaiknya mengakomodasi jenis-jenis tanaman yang telah dipilih dan ditanam oleh petani di lahan hutan negara dan mengkombinasikannya dengan jenis-jenis tanaman kehutanan yang sesuai dengan kebutuhan petani setempat berdasarkan aspek-aspek yang telah dipertimbangkan. Selanjutnya hal yang terpenting adalah membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, khususnya pihak kehutanan. Selain itu, pihak kehutanan juga harus meningkatkan pembinaan dan sosialisasi tentang program HKm kepada masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui kombinasi antara jenis-jenis tanaman utama yang dipilih oleh petani dengan jenis-jenis tanaman kehutanan lainnya (selain kombinasi tanaman yang sudah diusahakan oleh petani saat ini) dalam konteks agroforestri. Pengetahuan ini akan bermanfaat bagi pihakpihak yang terkait dengan kegiatan kehutanan masyarakat, terutama penyuluh, ketika merekomendasikan jenis-jenis yang sesuai dengan aspek-aspek yang telah dipertimbangkan oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA Awang SA. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Andayani W. 2005. Ekonomi Agroforestri. Yogyakarta: Debut Press. Banister ME, Nair PKR. 2003. Agroforestry adoption in Haiti: the importance of household and farm characteristics. Agroforestry System 57: 149-157. Belsky JM, Siebert SF. 2003. Cultivating cacao: implications of sun-grown cacao on local food security and environmental sustainability. Agriculture and Human Values 20: 277-285. Bungin B. 2006. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. [BPS] Badan Pusat Statistik Lampung Selatan. 2006. Kecamatan Gedong Tataan dalam Angka. Kalianda: BPS Lampung Selatan. Degrande A et al. 2006. Farmers’ fruit tree-growing strategies in the humid forest zone of Cameroon and Nigeria. Agroforestry System 67:159-175. Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. 2001. Laporan Kegiatan Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Propinsi Lampung Tahun 2000/2001. Bandar Lampung: Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. 2001. Laporan Kegiatan Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan di Propinsi Lampung Tahun 2001. Bandar Lampung: Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. 2006. Master Plan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman. Bandar Lampung: Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. De Foresta H, Michon G. 2000. Agroforestri Indonesia: Beda sistem Beda Pendekatan. Di dalam: De Foresta H, Kusworo A, Michon G, Djatmiko WA, editor. Ketika Kebun Berupa Hutan - Agroforest Khas Indonesia Sumbangan Masyarakat bagi Pembangunan Berkelanjutan. Bogor: International Centre for Research in Agroforestry. Djaenuddin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A, Suharta N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian.
55 Djamin Z. 1993. Perencanaan dan Analisa Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. French JH. 1995. Farm Household Decision Making and Extension Framework for Understanding Farm Household-Level Decision Making and Design of Agroforestry Extension Strategies. Bangkok: FAO/Asia-Pacific Agroforestry Network. Gladwin CH. 1980. A Theory of Real-Life Choice: Application to Agricultural Decisions. Di dalam: Barlet PF, editor. Agricultural Decision Making: Anthropological Contributions to Rural Development. Orlando: Academic Press, Inc. hlm. 45-85. Iswandi MR, Anwar A, Nasendi BD, Siregar H. 1996. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Hutan Rakyat Sistem Agroforestri Kombinasi Jenis Pohon Serbaguna dan Kakao: Suatu Studi Kasus di Propinsi Sulawesi Tenggara. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan. Kanto S. 2006. Teknik-Teknik Analisis Kualitatif dalam Penelitian Sosial. Di dalam: Bungin B, editor. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Kiptot E, Hebinck P, Franzel S, Richards P. 2007. Adopters, testers or pseudoadopters? Dynamics of the use of improved tree fallows by farmers in Western Kenya. Agricultural Systems 94: 509-519. Krause M, Uibrig H. 2006. Woody plants in smallholders’ farm systems in the central highlands of Ethiopia: a decision and behaviour modelling. Di dalam: Conference on International agricultural Research for Development; Bonn, 11-13 Okt 2006. http://www.tropentag.de/2006/ proceedings/node264.html [3 Des 2007]. Lubis Z. 1997. Repong Damar: Kajian tentang Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Lahan Hutan di Pesisir Krui, Lampung Barat. Working Paper No. 20. Bogor: CIFOR. Mercer DE. 2004. Adoption of agroforestry innovations in the tropics: a review. Agroforestry System 204411: 311-328. Nair PKR. 1993. An introduction to agroforestry. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
56 Nazarullah A. 2006. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Tingkat Produksi Tanaman Kakao (Theobroma cacao) pada Lereng yang Berbeda dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup Petani (Studi Kasus di Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Lampung Selatan). [skripsi]. Bandar Lampung: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Obiri BD, Bright GA, McDonald MA, Anglaaere LCN, Cobbina J. Financial analysis of shaded cocoa in Ghana. Agroforestry System 71: 139-149. Ohlmer B, Olson K, Brehmer B. 1998. Understanding farmers’ decision making processes and improving managerial assistance. Agricultural Economics 18: 273-290. Pattanayak et al. 2003. Taking stock of agroforestry adoption studies. Agroforestry System 57:173-186. Ruddle K, Rondinelli DA. 1983. Transforming Natural Resources for Human Development: a Resource Systems Framework for Development Policy. Tokyo: United Nations University Press. Siregar THS, Riyadi S, Nuraeni L. 2007. Cokelat, Pembudidayaan, Pengolahan, Pemasaran. Jakarta: Penebar Swadaya. Snelder DJ, Klein M, Schuren SHG. 2007. Farmers preferences, uncertainties and opportunities in fruit-tree cultivation in Northeast Luzon. Agroforestry Systems 71:1-17. Suharjito D. 2002. Kebun-Talun: Strategi Adaptasi Sosial Kultural dan Ekologi Masyarakat Pertanian Lahan Kering di Desa Buniwangi, Sukabumi, Jawa Barat. [disertasi]. Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Suharjito D. 2002. Pemilihan jenis tanaman kebun-talun: suatu kajian pengambilan keputusan oleh petani. Manajemen Hutan Tropika VIII(2):47-56. Suharjito D, Sundawati L, Suyanto, Utami SR. 2003. Bahan Ajaran Agroforestri 5: Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestri. Bogor: ICRAF. Sunanto H. 1992. Cokelat, Budidaya, Pengolahan Hasil dan Aspek Ekonominya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Yin RK. 2006. Studi Kasus Desain dan Metode. Mudzakir MD, penerjemah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Terjemahan dari: Case Study Research Design and Methods. Zubair M, Garforth C. 2006. Farm level tree planting in Pakistan: the role of farmers’ perceptions and attitudes. Agroforestry Systems 66:217-229.
LAMPIRAN
58 Lampiran 1 Penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman kakao di Desa Sungai Langka Kemiringan lereng Kualitas lahan Temperatur (tc) - Suhu tahunan rata-rata (oC) Ketersediaan air (wa) - Curah hujan tahunan rata-rata (mm) - Lama bulan kering (bln) - Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) - Drainase Media perakaran (rc) - Tekstur - Bahan kasar (%) - Kedalaman tanah (cm) - Gambut: - Ketebalan (cm) - + dengan sisipan/pengkayaan - Kematangan Retensi hara (nr) - KTK liat (cmol) - Kejenuhan basa (%) - pH tanah (H2O) - C organik Toksisitas (xc) - Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) - Alkalinitas/Esp (%) Bahaya sulfiks (xs) - Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) - Lereng (%) - Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) - Genangan Penyiapan lahan (lp) - Batuan di permukaan (%) - Singkapan batuan (%) Kesesuaian Lahan Sumber: Nazarullah (2006)
3-8%
8-16%
Nilai
Kelas
Nilai
Kelas
26,3
S1
26,3
S1
1.892,3 3 83,2
S1 S2 S3
1.892,3 3 83,2
S1 S2 S3
Baik
S1
Baik
S1
Agak halus <1 195
S1 S1 S1
Halus <1 180
S1 S1 S1
-
-
-
-
38,42 39,83 6,14 1,45
S1 S1 S1 S2
26,9 38,8 6,1 0,77
S1 S1 S1 S3
<1
S1
<1
S1
-
-
-
-
> 125
S1
> 125
S1
7% sr
S1 S1
16% sd
S2 S2
F0
S1
F0
S1
<1 0
S1 S1
<1 S1 <1 S1 S3 wa,nr
S3 wa
Lampiran 2 Kriteria penilaian kesesuaian lahan untuk kakao Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Temperatur (tc)
S1
- Suhu tahunan rata-rata (oC)
25-28
1.500-2.500
Ketersediaan air (wa) - Curah hujan tahunan rata-rata (mm) - Lama bulan kering (bln) - Kelembaban (%) Ketersediaan oksigen (oa) - Drainase Media perakaran (rc) - Tekstur - Bahan kasar (%) - Kedalaman tanah (cm) - Gambut: - Ketebalan (cm) - + dengan sisipan/pengkayaan - Kematangan Retensi hara (nr) - KTK liat (cmol) - Kejenuhan basa (%) - pH tanah (H2O)
Kelas kesesuaian lahan S2
S3
N
20-25 28-32
32-35
< 20 > 35
-
2.500-3.000 2-3 65-75 35-40
1.250-1.500 3.000-4.000 3-4 75-85 30-35
< 1.250 > 4.000 >4 > 85 > 30
Baik, sedang
Agak terhambat
Terhambat, agak cepat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang < 15 >100
Halus, agak halus, sedang 15-35 75-100
Agak kasar, sangat halus 35-55 50-75
Kasar > 55 < 50
< 60 < 140 Saprik
60-140 140-200 Saprik Hemik +
140-200 200-400 Hemik Fibrik +
> 200 > 400 Fibrik
> 16 > 35 6,0-7,0
<= 16 20-35 5,5-6,0 7,0-7,6
< 20 < 5,5 > 7,6
-
59
60
Lanjutan - C organik Toksisitas (xc) - Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) - Alkalinitas/Esp (%) Bahaya sulfidik (xs) - Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) - Lereng (%) - Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) - Genangan Penyiapan lahan (lp) - Batuan di permukaan (%) - Singkapan batuan (%)
> 1,5
0,8-1,5
< 0,8
-
<1,1
1,1-1,8
1,8-2,2
> 2,2
-
-
-
-
> 125
100-125
60-100
< 60
<8 Sangat ringan
8-16 Ringan-sedang
16-30 Berat
> 30 Sangat berat
F0
-
F1
F2
<5 <5
5-15 5-15
15-40 15-25
> 40 > 25
Sumber: Djaenudin (2000)
60
61
Lampiran 3 Curah hujan di Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Tahun 1996-2005 Tahun 1996
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Rata-rata
JAN 446,0 131,0 287,0 258,0 315,0 245,0 326,0 499,0 237,0 503,0 3247,0 324,7
FEB 327,0 99,0 423,0 290,0 315,0 196,0 262,0 98,0 378,0 277,0 2665,0 266,5
MAR 260,0 188,0 371,0 413,0 100,0 55,0 157,0 275,0 154,0 147,0 2120,0 212,0
APR 201,0 181,0 210,0 219,0 77,0 113,0 60,0 285,0 187,0 304,0 1837,0 183,7
Curah Hujan (mm) MEI JUN JUL 106,0 79,0 174,0 189,0 19,0 7,0 74,0 85,0 13,0 262,0 192,0 108,0 231,0 15,0 67,0 101,0 115,0 92,0 235,0 130,0 60,0 189,0 6,0 134,0 225,0 55,0 19,0 171,0 16,0 50,0 1783,0 712,0 724,0 178,3 71,2 72,4
AGU 75,0 0,0 142,0 204,0 59,0 15,0 32,0 16,0 23,0 0,0 566,0 56,6
SEP 96,0 0,0 79,0 115,0 70,0 96,0 86,0 0,0 105,0 0,0 647,0 64,7
OKT 109,0 64,0 85,0 79,0 190,0 152,0 149,0 0,0 113,0 60,0 1001,0 100,1
NOV 225,0 24,0 89,0 128,0 116,0 158,0 233,0 86,0 195,0 88,0 1342,0 134,2
DES 174,0 63,0 92,0 190,0 267,0 112,0 292,0 237,0 151,0 681,0 2259,0 225,9
Jumlah 2272,0 965,0 1950,0 2458,0 1822,0 1450,0 2022,0 1825,0 1842,0 2297,0 1575,3 1861,7
Rata-rata 189,3 80,4 162,5 204,8 151,8 120,8 168,5 152,1 153,5 191,4 157,5
Jumlah bulan kering (CH < 75 mm) 0 7 2 0 4 2 3 4 3 5 3
Sumber: BMG Lampung Selatan (2006)
61
62
Lampiran 4 Suhu udara di Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Tahun 1996-2005 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata Suhu maksimum Suhu minimum
JAN 26,1 26,2 25,5 25,7 27,1 25,9 25,8 26,0 27,3 26,9 26,3
FEB 26,5 26,7 25,8 25,9 27,9 25,9 26,0 25,8 27,0 26,2 26,4
MAR 26,2 25,9 25,9 26,3 26,9 26,3 26,3 26,3 27,6 27,6 26,5
APR 26,4 26,8 26,6 25,9 27,3 27,2 26,6 26,7 26,7 26,6 26,7
MEI 26,6 26,6 26,6 26,5 27,0 26,0 27,0 26,7 26,8 26,7 26,7
Suhu udara (oC) JUN JUL 25,8 25,9 26,2 25,5 26,1 26,3 26,1 25,7 26,8 26,4 25,9 25,3 25,8 25,7 26,4 25,8 26,6 26,2 26,4 26,4 26,2 25,9
AGU 26,3 25,7 25,6 26,2 25,6 25,5 25,5 26,3 26,2 26,4 25,9
SEP 26,5 26,3 25,9 26,7 25,6 26,4 26,9 26,1 26,9 26,3 26,4
OKT 26,5 26,6 26,3 27,4 26,9 26,0 26,7 26,6 27,0 26,6 26,7
NOV 27,9 26,4 26,4 27,6 25,9 26,5 26,5 26,2 27,3 26,4 26,7
DES 26,2 26,1 25,3 27,3 25,8 25,8 26,5 26,0 26,7 25,9 26,2
Jumlah
Rata-rata
316,9 315,0 312,3 317,3 319,2 312,7 315,3 314,9 322,3 318,4 316,4
26,4 26,3 26,0 26,4 26,6 26,1 26,3 26,2 26,9 26,5 26,4
27,9 25,3
Sumber: BMG Lampung Selatan (2006)
62
63
Lampiran 5 Kelembaban udara di Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung Tahun 1996-2005 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Rata-rata
JAN 81,0 88,0 86,0 88,0 86,0 81,0 80,0 83,0 78,0 80,0 831,0 83,1
FEB 84,0 87,1 85,0 88,0 86,0 86,0 84,0 81,0 79,0 82,0 842,1 84,2
MAR 86,0 88,0 84,0 86,0 87,0 84,0 78,0 80,0 85,0 83,0 841,0 84,1
APR 86,0 81,0 86,0 84,0 90,0 85,0 74,0 82,0 85,0 79,0 832,0 83,2
MEI 87,0 87,0 82,0 85,0 87,0 90,0 85,0 88,0 80,0 82,0 853,0 85,3
Curah hujan (mm) JUN JUL 88,0 88,0 84,0 84,0 88,0 89,0 87,0 87,0 83,0 83,0 87,0 88,0 83,0 82,0 85,0 84,0 81,0 79,0 81,0 80,0 847,0 844,0 84,7 84,4
AGU 82,0 81,0 81,0 79,0 82,0 79,0 81,0 78,0 84,0 78,0 805,0 80,5
SEP 84,0 78,0 83,0 77,0 77,0 82,0 79,0 78,0 82,0 81,0 801,0 80,1
OKT 82,0 86,0 81,0 85,0 80,0 74,0 89,0 86,0 85,0 77,0 825,0 82,5
NOV 82,0 83,0 81,0 81,0 84,0 85,0 78,0 82,0 83,0 81,0 820,0 82,0
DES 85,0 88,0 84,0 87,0 86,0 87,0 84,0 87,0 85,0 80,0 853,0 85,3
Jumlah 1015,0 1015,1 1010,0 1014,0 1011,0 1008,0 977,0 994,0 986,0 964,0
Rata-rata 84,6 84,6 84,2 84,5 84,3 84,0 81,4 82,8 82,2 80,3 832,8 83,3
Sumber: BMG Lampung Selatan (2006)
63
59
Lampiran 6 Analisis finansial pola tanam kakao+pisang Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah
Bt 0,00 390.000,00 1.380.000,00 3.160.000,00 4.370.000,00 5.970.000,00 7.580.000,00 8.790.000,00 10.000.000,00 11.200.000,00 11.800.000,00 12.000.000,00 11.760.000,00 11.200.000,00 10.400.000,00 9.400.000,00 8.400.000,00 7.600.000,00 6.456.000,00 5.520.000,00 147.376.000,00
Ct 3.683.500,00 2.353.500,00 2.560.500,00 2.956.000,00 3.524.000,00 4.256.000,00 5.154.000,00 5.656.000,00 6.354.000,00 6.856.000,00 7.124.000,00 7.156.000,00 7.204.000,00 6.786.000,00 6.504.000,00 6.136.000,00 5.684.000,00 5.286.000,00 4.984.000,00 4.436.000,00 104.653.500,00
Bt-Ct (3.683.500,00) (1.963.500,00) (1.180.500,00) 204.000,00 846.000,00 1.714.000,00 2.426.000,00 3.134.000,00 3.646.000,00 4.344.000,00 4.676.000,00 4.844.000,00 4.556.000,00 4.414.000,00 3.896.000,00 3.264.000,00 2.716.000,00 2.314.000,00 1.472.000,00 1.084.000,00 42.722.500,00
6,4% 0,94 0,88 0,83 0,78 0,73 0,69 0,65 0,61 0,57 0,54 0,51 0,48 0,45 0,42 0,39 0,37 0,35 0,33 0,31 0,29
PV Bt 0,00 344.493,75 1.145.655,92 2.465.588,36 3.204.596,08 4.114.571,02 4.909.958,37 5.351.257,52 5.721.703,49 6.022.845,78 5.963.814,13 5.700.089,97 5.250.082,87 4.699.322,29 4.101.180,84 3.483.868,92 2.925.981,73 2.488.079,71 1.986.426,91 1.596.270,61 71.475.788,29
PV Ct 3.461.936,09 2.078.887,30 2.125.689,84 2.306.417,46 2.584.209,75 2.933.268,72 3.338.512,59 3.443.312,01 3.635.570,40 3.686.842,03 3.600.526,43 3.399.153,65 3.216.122,19 2.847.285,81 2.564.815,40 2.274.151,03 1.979.914,31 1.730.524,91 1.533.511,73 1.282.800,08 54.023.451,74
NPV (3.461.936,09) (1.734.393,55) (980.033,92) 159.170,89 620.386,34 1.181.302,30 1.571.445,78 1.907.945,52 2.086.133,09 2.336.003,76 2.363.287,70 2.300.936,32 2.033.960,68 1.852.036,48 1.536.365,44 1.209.717,89 946.067,43 757.554,79 452.915,18 313.470,53 17.452.336,56
NPV = Rp 17.452.336,56 BCR = 1,32 IRR = 23%
64
60
Lampiran 7 Analisis finansial pola tanam kakao+petai Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah
Bt 0,00 390.000,00 1.350.000,00 3.155.000,00 4.366.000,00 6.030.000,00 7.840.000,00 8.850.000,00 10.200.000,00 11.580.000,00 11.830.000,00 12.300.000,00 12.396.000,00 11.660.000,00 11.320.000,00 10.670.000,00 9.600.000,00 9.150.000,00 8.442.000,00 77.890.000,00 229.019.000,00
Ct 3.725.500,00 2.350.500,00 2.557.500,00 2.953.000,00 3.521.000,00 4.253.000,00 5.151.000,00 5.653.000,00 6.351.000,00 6.853.000,00 7.121.000,00 7.153.000,00 7.201.000,00 6.803.000,00 6.521.000,00 6.153.000,00 5.701.000,00 5.303.000,00 5.001.000,00 4.453.000,00 104.778.500,00
Bt-Ct (3.725.500,00) (1.960.500,00) (1.207.500,00) 202.000,00 845.000,00 1.777.000,00 2.689.000,00 3.197.000,00 3.849.000,00 4.727.000,00 4.709.000,00 5.147.000,00 5.195.000,00 4.857.000,00 4.799.000,00 4.517.000,00 3.899.000,00 3.847.000,00 3.441.000,00 73.437.000,00 124.240.500,00
6,4% 0,94 0,88 0,83 0,78 0,73 0,69 0,65 0,61 0,57 0,54 0,51 0,48 0,45 0,42 0,39 0,37 0,35 0,33 0,31 0,29
PV Bt 0,00 344.493,75 1.120.750,35 2.461.687,11 3.201.662,81 4.155.923,50 5.078.373,83 5.387.784,88 5.836.137,56 6.227.192,34 5.978.976,37 5.842.592,22 5.534.015,92 4.892.330,17 4.463.977,61 3.954.561,85 3.343.979,13 2.995.517,02 2.597.493,18 22.524.188,06 95.941.637,65
PV Ct 3.501.409,77 2.076.237,35 2.123.199,28 2.304.076,72 2.582.009,79 2.931.201,10 3.336.569,34 3.441.485,64 3.633.853,89 3.685.228,76 3.599.010,21 3.397.728,63 3.214.782,88 2.854.418,71 2.571.519,26 2.280.451,64 1.985.835,94 1.736.090,35 1.538.742,41 1.287.716,13 54.081.567,81
NPV (3.501.409,77) (1.731.743,60) (1.002.448,93) 157.610,40 619.653,02 1.224.722,40 1.741.804,49 1.946.299,24 2.202.283,67 2.541.963,57 2.379.966,16 2.444.863,59 2.319.233,03 2.037.911,46 1.892.458,35 1.674.110,20 1.358.143,19 1.259.426,66 1.058.750,78 21.236.471,93 41.860.069,85
NPV = Rp 41.860.069,85 BCR = 1,77 IRR = 27%
65
61
Lampiran 8 Analisis finansial pola tanam kakao+durian Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah
Bt 0,00 390.000,00 1.320.000,00 3.000.000,00 4.062.000,00 5.490.000,00 7.650.000,00 8.430.000,00 9.700.000,00 11.020.000,00 11.390.000,00 11.850.000,00 12.408.000,00 12.150.000,00 12.300.000,00 11.850.000,00 10.980.000,00 10.720.000,00 10.219.200,00 79.864.000,00 234.793.200,00
Ct 3.725.500,00 2.350.500,00 2.557.500,00 2.953.000,00 3.521.000,00 4.253.000,00 5.151.000,00 5.653.000,00 6.351.000,00 6.853.000,00 7.121.000,00 7.153.000,00 7.201.000,00 6.803.000,00 6.521.000,00 6.153.000,00 5.701.000,00 5.303.000,00 5.001.000,00 4.453.000,00 104.778.500,00
Bt-Ct (3.725.500,00) (1.960.500,00) (1.237.500,00) 47.000,00 541.000,00 1.237.000,00 2.499.000,00 2.777.000,00 3.349.000,00 4.167.000,00 4.269.000,00 4.697.000,00 5.207.000,00 5.347.000,00 5.779.000,00 5.697.000,00 5.279.000,00 5.417.000,00 5.218.200,00 75.411.000,00 130.014.700,00
6,4% 0,94 0,88 0,83 0,78 0,73 0,69 0,65 0,61 0,57 0,54 0,51 0,48 0,45 0,42 0,39 0,37 0,35 0,33 0,31 0,29
PV Bt 0,00 344.493,75 1.095.844,79 2.340.748,44 2.978.734,39 3.783.751,24 4.955.300,99 5.132.093,39 5.550.052,39 5.926.050,05 5.756.596,86 5.628.838,84 5.539.373,15 5.097.925,52 4.850.435,03 4.391.898,58 3.824.676,12 3.509.501,90 3.144.314,42 23.095.028,31 96.945.658,19
PV Ct 3.501.409,77 2.076.237,35 2.123.199,28 2.304.076,72 2.582.009,79 2.931.201,10 3.336.569,34 3.441.485,64 3.633.853,89 3.685.228,76 3.599.010,21 3.397.728,63 3.214.782,88 2.854.418,71 2.571.519,26 2.280.451,64 1.985.835,94 1.736.090,35 1.538.742,41 1.287.716,13 54.081.567,81
NPV (3.501.409,77) (1.731.743,60) (1.027.354,49) 36.671,73 396.724,59 852.550,14 1.618.731,66 1.690.607,75 1.916.198,50 2.240.821,28 2.157.586,65 2.231.110,22 2.324.590,26 2.243.506,81 2.278.915,78 2.111.446,94 1.838.840,19 1.773.411,55 1.605.572,01 21.807.312,18 42.864.090,38
NPV = Rp 42.864.090,38 BCR = 1,79 IRR = 28%
66
67 Lampiran 9 Komponen biaya pengusahaan lahan per ha Tahun 1
Uraian
Jumlah
Satuan
Harga satuan
Jumlah biaya A
B
C
A. Sarana produksi 1. Bibit kakao
833
buah
1.500
1.249.500
1.249.500
1.249.500
2. Bibit pisang
208
buah
500
104.000
104.000
104.000
3. Bibit petai
15
buah
3.000
-
45.000
-
4. Bibit durian
15
buah
3.000
-
-
45.000
5. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
6. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
7. Pupuk urea 8. Pupuk kandang
20
kg
1.300
26.000
26.000
26.000
500
kg
1.000
500.000
500.000
500.000
B. Tenaga kerja 1. Persiapan lahan
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pembuatan lubang tanam
10
HOK
25.000
250.000
250.000
250.000
3. Penanaman
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
4. Penyiangan
6
HOK
25.000
150.000
150.000
150.000
5. Penyulaman
1
HOK
25.000
25.000
25.000
25.000
6. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
C. Peralatan 1. Golok
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Cangkul
2
unit
40.000
80.000
80.000
80.000
3. Arit
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
4. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
5. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
6. Garu
1
unit
30.000
30.000
30.000
30.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-1 2
500.000
500.000
500.000
3.683.500
3.725.500
3.725.500 126.000
A. Sarana produksi 1. Bibit kakao
84
buah
1.500
126.000
126.000
2. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
3. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
4. Pupuk urea 5. Pupuk kandang
30
kg
1.300
39.000
39.000
39.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Penyiangan
6
HOK
25.000
150.000
150.000
150.000
2. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
3. Penyulaman
0,5
HOK
25.000
12.500
12.500
12.500
4. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
C. Peralatan 1. Karung D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-2 3
500.000
500.000
500.000
2.353.500
2.350.500
2.350.500 63.000
A. Sarana produksi 1. Bibit kakao
42
buah
1.500
63.000
63.000
2. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
3. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
1.300
91.000
91.000
91.000
4. Pupuk urea
70
kg
68 Lanjutan Tahun
Uraian 5. Pupuk kandang
Jumlah 1.000
Satuan kg
Harga satuan 1.000
Jumlah biaya A
B
C
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Penyiangan
4
HOK
25.000
100.000
100.000
100.000
2. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
3. Penyulaman
0,5
HOK
25.000
12.500
12.500
12.500
4. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
5. Pemanenan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
6. Pasca panen
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
C. Peralatan 1. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-3 4
500.000
500.000
500.000
2.560.500
2.557.500
2.557.500
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000 100.000
B. Tenaga kerja 1. Penyiangan
4
HOK
25.000
100.000
100.000
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
3. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
4. Pemanenan
13
HOK
25.000
325.000
325.000
325.000
5. Pasca panen
13
HOK
25.000
325.000
325.000
325.000
2. Pemangkasan cabang/tunas
C. Peralatan 1. Golok
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-4 5
500.000
500.000
500.000
2.956.000
2.953.000
2.953.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Penyiangan 2. Pemangkasan cabang/tunas
2
HOK
25.000
50.000
50.000
50.000
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000 125.000
3. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
4. Pemanenan
26
HOK
25.000
650.000
650.000
650.000
5. Pasca panen
26
HOK
25.000
650.000
650.000
650.000
C. Peralatan 1. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
69 Lanjutan Tahun
Uraian
Jumlah
Satuan
Harga satuan
Jumlah biaya A
B
C
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
1
paket
500.000
Jumlah biaya tahun ke-5 6
500.000
500.000
500.000
3.524.000
3.521.000
3.521.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Penyiangan
2
HOK
25.000
50.000
50.000
50.000
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
3. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
4. Pemanenan
40
HOK
25.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
5. Pasca panen
40
HOK
25.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
2. Pemangkasan cabang/tunas
C. Peralatan 1. Arit
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-6 7
500.000
500.000
500.000
4.256.000
4.253.000
4.253.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
57
HOK
25.000
1.425.000
1.425.000
1.425.000
4. Pasca panen
57
HOK
25.000
1.425.000
1.425.000
1.425.000
C. Peralatan 1. Golok
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Cangkul
2
unit
40.000
80.000
80.000
80.000
3. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
4. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
500.000
500.000
500.000
500.000
5.154.000
5.151.000
5.151.000
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang Jumlah biaya tahun ke-7 8
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas 2. Pemupukan
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
70 Lanjutan Tahun
Uraian
Jumlah
Jumlah biaya
Satuan
Harga satuan
A
B
C
3. Pemanenan
70
HOK
25.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
4. Pasca panen
70
HOK
25.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
1.000
6.000
6.000
6.000
C. Peralatan 1. Karung
6
unit
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-8 9
500.000
500.000
500.000
5.656.000
5.653.000
5.653.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
83
HOK
25.000
2.075.000
2.075.000
2.075.000
4. Pasca panen
83
HOK
25.000
2.075.000
2.075.000
2.075.000 18.000
C. Peralatan 1. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
3. Garu
1
unit
30.000
30.000
30.000
30.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-9 10
500.000
500.000
500.000
6.354.000
6.351.000
6.351.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
93
HOK
25.000
2.325.000
2.325.000
2.325.000
4. Pasca panen
93
HOK
25.000
2.325.000
2.325.000
2.325.000
C. Peralatan 1. Golok
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-10 11
500.000
500.000
500.000
6.856.000
6.853.000
6.853.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
25.000
375.000
375.000
375.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
71 Lanjutan Tahun
Uraian
Jumlah
Satuan
Harga satuan
Jumlah biaya A
B
C
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
98
HOK
25.000
2.450.000
2.450.000
2.450.000
4. Pasca panen
98
HOK
25.000
2.450.000
2.450.000
2.450.000
C. Peralatan 1. Arit
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
3. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-11 12
500.000
500.000
500.000
7.124.000
7.121.000
7.121.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
100
HOK
25.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
4. Pasca panen
100
HOK
25.000
2.500.000
2.500.000
2.500.000
1.000
6.000
6.000
6.000
500.000
500.000
500.000
500.000
7.156.000
7.153.000
7.153.000
C. Peralatan 1. Karung
6
unit
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang Jumlah biaya tahun ke-12 13
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
98
HOK
25.000
2.450.000
2.450.000
2.450.000
4. Pasca panen
98
HOK
25.000
2.450.000
2.450.000
2.450.000
C. Peralatan 1. Golok
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Cangkul
2
unit
40.000
80.000
80.000
80.000
3. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
4. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-13 14
500.000
500.000
500.000
7.204.000
7.201.000
7.201.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
1.300
130.000
130.000
130.000
3. Pupuk urea
100
kg
72 Lanjutan Tahun
Uraian
Jumlah 4. Pupuk kandang
Satuan 1.000
Harga satuan kg
Jumlah biaya
Tahun A
B
C
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
93
HOK
25.000
2.325.000
2.325.000
2.325.000
4. Pasca panen
93
HOK
25.000
2.325.000
2.325.000
2.325.000
1.000
6.000
6.000
6.000
C. Peralatan 1. Karung
6
unit
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-14 15
500.000
500.000
500.000
6.786.000
6.803.000
6.803.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
87
HOK
25.000
2.175.000
2.175.000
2.175.000
4. Pasca panen
87
HOK
25.000
2.175.000
2.175.000
2.175.000
C. Peralatan 1. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-15 16
500.000
500.000
500.000
6.504.000
6.521.000
6.521.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
78
HOK
25.000
1.950.000
1.950.000
1.950.000
4. Pasca panen
78
HOK
25.000
1.950.000
1.950.000
1.950.000
C. Peralatan 1. Golok
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Arit
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
3. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-16 17
500.000
500.000
500.000
6.136.000
6.153.000
6.153.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
73 Lanjutan Tahun
Uraian 3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
Jumlah
Satuan
Harga satuan
Jumlah biaya A
B
C
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
70
HOK
25.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000
4. Pasca panen
70
HOK
25.000
1.750.000
1.750.000
1.750.000 18.000
C. Peralatan 1. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
2. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
3. Garu
1
unit
30.000
30.000
30.000
30.000
1
paket
500.000
500.000
500.000
500.000
5.684.000
5.701.000
5.701.000
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang Jumlah biaya tahun ke-17 18
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
63
HOK
25.000
1.575.000
1.575.000
1.575.000
4. Pasca panen
63
HOK
25.000
1.575.000
1.575.000
1.575.000
1.000
6.000
6.000
6.000
C. Peralatan 1. Karung
6
unit
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
500.000
Jumlah biaya tahun ke-18 19
500.000
500.000
500.000
5.286.000
5.303.000
5.303.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
54
HOK
25.000
1.350.000
1.350.000
1.350.000
4. Pasca panen
54
HOK
25.000
1.350.000
1.350.000
1.350.000
C. Peralatan 1. Golok
2
unit
25.000
50.000
50.000
50.000
2. Cangkul
2
unit
40.000
80.000
80.000
80.000
3. Ember
4
unit
4.500
18.000
18.000
18.000
4. Karung
6
unit
1.000
6.000
6.000
6.000
74 Lanjutan Tahun
Uraian
Jumlah
Satuan
Harga satuan
Jumlah biaya A
B
C
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang
1
paket
500.000
Jumlah biaya tahun ke-19 20
500.000
500.000
500.000
4.984.000
5.001.000
5.001.000
A. Sarana produksi 1. Retribusi lahan hutan
1
tahun
20.000
20.000
-
-
2. PBB lahan milik
1
tahun
17.000
-
17.000
17.000
3. Pupuk urea 4. Pupuk kandang
100
kg
1.300
130.000
130.000
130.000
1.000
kg
1.000
1.000.000
1.000.000
1.000.000
B. Tenaga kerja 1. Pemangkasan cabang/tunas
15
HOK
25.000
375.000
375.000
375.000
2. Pemupukan
5
HOK
25.000
125.000
125.000
125.000
3. Pemanenan
46
HOK
25.000
1.150.000
1.150.000
1.150.000
4. Pasca panen
46
HOK
25.000
1.150.000
1.150.000
1.150.000
1.000
6.000
6.000
6.000
C. Peralatan 1. Karung
6
unit
1
paket
D. Lain-lain 1. Tranportasi bibit, alat dan orang Jumlah biaya tahun ke-20
A = kakao+pisang, B = kakao+petai, C = kakao+durian
500.000
500.000
500.000
500.000
4.436.000
4.453.000
4.453.000
75 Lampiran 10 Komponen pendapatan pengusahaan lahan per ha Tahun 2
Uraian
Satuan
Harga satuan
Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-2 3 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-3 4 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-4 5 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahunke-5 6 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-6 7 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-7 8 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-8 9 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-9 10 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-10 11 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-11
Kakao+pisang Jumlah 0 52 60 104 160 208 308 172 480 156 680 104 840 52 1.000 0 1.120 0 1.180 0 -
Pendapatan 0 390.000 390.000 600.000 780.000 1.380.000 1.600.000 1.560.000 3.160.000 3.080.000 1.290.000 4.370.000 4.800.000 1.170.000 5.970.000 6.800.000 780.000 7.580.000 8.400.000 390.000 8.790.000 10.000.000 0 10.000.000 11.200.000 0 11.200.000 11.800.000 0 11.800.000
Kakao+petai Jumlah 0 52 0 57 104 0 152 208 8 293 172 15 456 156 30 646 104 60 756 52 90 900 0 120 1.008 0 150 1.003 0 180 -
Pendapatan 0 390.000 0 390.000 570.000 780.000 0 1.350.000 1.520.000 1.560.000 75.000 3.155.000 2.926.000 1.290.000 150.000 4.366.000 4.560.000 1.170.000 300.000 6.030.000 6.460.000 780.000 600.000 7.840.000 7.560.000 390.000 900.000 8.850.000 9.000.000 0 1.200.000 10.200.000 10.080.000 0 1.500.000 11.580.000 10.030.000 0 1.800.000 11.830.000
Kakao+durian Jumlah 0 52 0 54 104 0 144 208 0 277 172 0 432 156 0 612 104 75 714 52 90 850 0 120 952 0 150 944 0 195
Pendapatan 0 390.000 0 390.000 540.000 780.000 0 1.320.000 1.440.000 1.560.000 0 3.000.000 2.772.000 1.290.000 0 4.062.000 4.320.000 1.170.000 0 5.490.000 6.120.000 780.000 750.000 7.650.000 7.140.000 390.000 900.000 8.430.000 8.500.000 0 1.200.000 9.700.000 9.520.000 0 1.500.000 11.020.000 9.440.000 0 1.950.000 11.390.000
76 Lanjutan Tahun 12
13
14
15
16
17
18
19
20
Uraian
Satuan
Harga satuan
Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-12 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-13 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-14 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-15 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-16 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-17 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-18 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Jumlah pendapatan tahun ke-19 Kakao kg 10.000 Pisang tandan 7.500 Petai empong 10.000 Durian gandeng 10.000 Tanah ha 70.000.000 Jumlah pendapatan tahun ke-20
Kakao+pisang Jumlah Pendapatan 1.200 12.000.000 0 0 12.000.000 1.176 11.760.000 0 0 11.760.000 1.120 11.200.000 0 0 11.200.000 1.040 10.400.000 0 0 10.400.000 940 9.400.000 0 0 9.400.000 840 8.400.000 0 0 8.400.000 760 7.600.000 0 0 7.600.000 646 6.456.000 0 0 6.456.000 552 5.520.000 0 0 5.520.000
Kakao+petai Jumlah Pendapatan 1.020 10.200.000 0 0 210 2.100.000 12.300.000 1.000 9.996.000 0 0 240 2.400.000 12.396.000 896 8.960.000 0 0 270 2.700.000 11.660.000 832 8.320.000 0 0 300 3.000.000 11.320.000 752 7.520.000 0 0 315 3.150.000 10.670.000 630 6.300.000 0 0 330 3.300.000 9.600.000 570 5.700.000 0 0 345 3.450.000 9.150.000 484 4.842.000 0 0 360 3.600.000 8.442.000 414 4.140.000 0 0 375 3.750.000 1 70.000.000 77.890.000
Kakao+durian Jumlah Pendapatan 960 9.600.000 0 0 225 2.250.000 11.850.000 941 9.408.000 0 0 300 3.000.000 12.408.000 840 8.400.000 0 0 375 3.750.000 12.150.000 780 7.800.000 0 0 450 4.500.000 12.300.000 705 7.050.000 0 0 480 4.800.000 11.850.000 588 5.880.000 0 0 510 5.100.000 10.980.000 532 5.320.000 0 0 540 5.400.000 10.720.000 452 4.519.200 0 0 570 5.700.000 10.219.200 386 3.864.000 0 0 600 6.000.000 1 70.000.000 79.864.000
Lampiran 11 Struktur pendapatan rumah tangga Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jumlah
Kakao+pisang Kakao Pisang 0 0 0 390.000 600.000 780.000 1.600.000 1.560.000 3.080.000 1.290.000 4.800.000 1.170.000 6.800.000 780.000 8.400.000 390.000 10.000.000 0 11.200.000 0 11.800.000 0 12.000.000 0 11.760.000 0 11.200.000 0 10.400.000 0 9.400.000 0 8.400.000 0 7.600.000 0 6.456.000 0 5.520.000 0 141.016.000 6.360.000
Kakao 0 0 570.000 1.520.000 2.926.000 4.560.000 6.460.000 7.560.000 9.000.000 10.080.000 10.030.000 10.200.000 9.996.000 8.960.000 8.320.000 7.520.000 6.300.000 5.700.000 4.842.000 4.140.000 118.684.000
Kakao+petai Pisang 0 390.000 780.000 1.560.000 1.290.000 1.170.000 780.000 390.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6.360.000
Petai 0 0 0 75.000 150.000 300.000 600.000 900.000 1.200.000 1.500.000 1.800.000 2.100.000 2.400.000 2.700.000 3.000.000 3.150.000 3.300.000 3.450.000 3.600.000 3.750.000 33.975.000
Kakao 0 0 540.000 1.440.000 2.772.000 4.320.000 6.120.000 7.140.000 8.500.000 9.520.000 9.440.000 9.600.000 9.408.000 8.400.000 7.800.000 7.050.000 5.880.000 5.320.000 4.519.200 3.864.000 111.633.200
Kakao+durian Pisang 0 390.000 780.000 1.560.000 1.290.000 1.170.000 780.000 390.000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6.360.000
Durian 0 0 0 0 0 0 750.000 900.000 1.200.000 1.500.000 1.950.000 2.250.000 3.000.000 3.750.000 4.500.000 4.800.000 5.100.000 5.400.000 5.700.000 6.000.000 46.800.000
77