PENGALAMAN PERAWAT PELAKSANA DALAM MENERAPKAN KESELAMATAN PASIEN Nur Mahya Isnaini*, Muhamad Rofii** *Program Studi Ilmu keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro **Staf Pengajar Departemen Dasar Keperawatan dan Keterampilan Dasar Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro (email :
[email protected] )
ABSTRAK Data mengenai KTD atau KNC di Indonesia masih sangat terbatas, belum ada penelitian terkait angka kejadian tersebut, tetapi laporan mengenai mal praktik semakin lama semakin meningkat. Hal tersebut membuktikan bahwa pelaksanaan keselamatan pasien di Indonesia belum maksimal. Keselamatan pasien diterapka demi tercapainya enam sasaran keselamatan pasien. Keenam komponen tersebut merupakan area kerja profesi keperawatan, sehingga dapat dikatakan perawat memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan program keselamatan pasien. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengalaman perawat pelaksana dalam menerapkan 6 sasaran keselamatan pasien.Desain penelitian ini adalah kualitatif yang melibatkan lima partisipan sesuai kriteria inklusi. Pengumpulan data menggunakan wawancara semi structure, kemudian dianalisa dengan metode Collaizi. Hasil penelitian ini membentuk 6 tema yaitu identifikasi pasien, peningkatan komunikasi efektif, peningkatan keamanan terhadap obat yang perlu diwaspadai, memastikan tindakan bedah yang benar letak, benar prosedur, dan benar pasien, pencegahan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan pencegahan risiko jatuh. Setiap tema terdiri atas beberapa kategori. Kesimpulan penelitian yaitu kelima partisipan telah menerapkan 6 sasaran keselamatan pasien. Partisipan menemui berbagai hambatan dalam menerapkan keselamatan pasien. Partisipan juga memiliki cara tersendiri untuk mengatasi setiap hambatan yang dialami. Saran yang diajukan kepada rumah sakit sebaiknya selalu memperbarui pengetahuan perawat pelaksananya terkait keselamatan pasien. Kata kunci : pengalaman, perawat pelaksana, keselamatan pasien
30
Jurnal Managemen Keperawatan . Volume 2, No. 1, Mei 2014; 30-37
PENDAHULUAN Keselamatan pasien adalah keadaan pasien bebas dari cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari cedera yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/sosial psikologis, cacat, kematian) terkait dengan pelayanan kesehatan (Depkes, 2008). Keselamatan pasien merupakan hak bagi setiap pasien dan sudah sepatutnya menjadi kewajiban rumah sakit untuk memenuhi hak pasien tersebut (KARS, 2006). Pelaksanaan keselamatan pasien di Indonesia masih belum optimal, terbukti dari banyaknya kasus mal praktik yang dilaporkan oleh media massa. Keselamatan pasien dilaksanakan demi tercapainya 6 tujuan antara lain: ketepatan identifikasi pasien; peningkatan komunikasi yang efektif; peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; keamanan tindakan bedah; pencegahan risiko infeksi; dan pencegahan risiko pasien jatuh (Depkes, 2008). Keberhasilan penerapan keselamatan pasien ini menjadi tanggung jawab seluruh komponen dalam rumah sakit termasuk perawat. Perawat merupakan tenaga kesehatan yang selalu mendampingi pasien sehingga sangat berisiko melakukan kelalaian yang dapat menyebabkan pasien cedera bahkan mencapai angka 86% (Maryam, 2009). Disisi lain, perawat khususnya perawat pelaksana merupakan garda terdepan dalam menjamin keselamatan pasien terutama pada pasien rawat inap karena perawat pelaksana memiliki kuantitas kontak dengan pasien paling banyak dibandingkan tenaga kesehatan yang lain. Oleh karena itu, pengalaman perawat pelaksana dalam menjamin keselamatan pasien dapat menjadi sesuatu yang menarik untuk digali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengalaman perawat pelaksana di ruang rawat inap dalam menerapkan keselamatan pasien. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Populasi penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di ruang rawat inap RS Negeri di Semarang. Jumlah partisipan
dalam penelitian ini 5 orang perawat diambil dengan menggunakan tehnik purposive sampling. Pengambilan data melalui wawancara mendalam (Indepht interview). Peneliti melakukan proses analisis data menggunakan metode collaizi Tabel 1. Distribusi Karakteristik Partisipan Kode Usia Pendidikan Lama Terakhir Bekerja P1 50 th SPK 20 tahun P2 33 th D3 Kep 12 tahun P3 46 th D3 Kep 15 tahun P4 36 th D3 Kep 14 tahun P5 33 th D3 Kep 12 tahun HASIL PENELITIAN Data hasil wawancara berupa rekaman wawancara dan catatan peneliti yang terkumpul ditulis menjadi sebuah transkrip lengkap. Data yang ditulis kemudian dicermati sehingga ditemukan kata kunci. Kata kunci kemudian dikelompokkan menjadi sebuah kategori. Selanjutnya kategori dikelompokkan kembali sehingga terbentuklah enam tema, yaitu: identifikasi pasien; peningkatan komunikasi efektif; peningkatan keamanan terhadap obat yang perlu diwaspadai; memastikan tindakan bedah; pencegahan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan pencegahan risiko jatuh. DISKUSI A. Identifikasi Pasien Berdasarkan hasil penelitian, lima partisipan menyebutkan bahwa cara identifikasi pasien adalah dengan menanyakan nama dan tanggal lahir lahir pasien, kemudian dicocokkan dengan gelang identitas pasien atau data identitas di catatan medik. Cara tersebut telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh menteri kesehatan dalam Permenkes No. 1691 Tahun 2011 tentang sasaran I (pertama) keselamatan pasien di rumah sakit bahwa sedikitnya terdapat dua cara untuk identifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir,
Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Keselamatan Pasien Nur Mahya Isnaini, Muhamad Rofii
31
gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain (Kemenkes RI, 2011). Tabel 2. Kategorisasi Tema 1:Identifikasi Pasien Kata Kunci Kategori Cara menyebutkan nama identifikasi menyebutkan … tanggal pasien lahir menyebutkan … usia menyebutkan … alamat cocokkan dengan gelang pasien cocokkan sama RM Hambatan Pasien terbebani identifikasi pasien tidak sadar pasien pasien kesakitan Pasien … bosen Cara …dari awal … dikasih mengatasi penjelasan…” hambatan Lakukan modifikasi identifikasi pertanyaan pasien diganti dengan ulang tahunnya kapan Hasil penelitian menyebutkan bahwa hambatan dalam mengidentifkasi pasien adalah pasien merasa terbebani dan bosan saat diminta menyebutkan identitasnya. Kondisi tersebut serupa dengan temuan Joint Committee International di beberapa negara bahwa salah satu hambatan dalam identifikasi pasien adalah ketidaknyamanan pasien karena pengulangan pertanyaan (Greenly, 2006). Lima partisipan menyatakan bahwa cara mengatasi hambatan identifikasi adalah dengan mensosialisasikan tentang prosedur dan tujuan identifikasi pasien sejak pasien masuk ruang rawat inap. Cara tersebut telah sesuai dengan saran yang diberikan oleh JCI yaitu mengedukasi pasien dan keluarga tentang risiko yang berhubungan dengan kesalahan identifikasi (JCI, 2007). Dua partisipan menambahkan cara untuk mengatasi hambatan identifikasi pasien adalah dengan melakukan variasi pertanyaan, seperti mengganti tanggal lahir dengan ulang tahun. Variasi sebagai keanekaan yang membuat sesuatu tidak menoton. Variasi dapat berwujud
32
perubahan atau perbedaan yang sengaja diciptakan untuk memberikan kesan yang unik. Variasi dilakukan untuk mengurangi kejenuhan dan meningkatkan perhatian terhadap suatu objek (John,2008). B. Peningkatan Komunikasi Efektif Lima partisipan menyatakan bahwa untuk meningkatkan komunikasi efektif, digunakan teknik SBAR, catatan perkembangan pasien juga ditulis menggunakan format SBAR, yang terdiri atas situation atau kondisi pasien, background atau latar belakang kondisi pasien, assessment atau hasil pengkajian dan pemeriksaan, dan recommendation atau tindakan yang diberikan. Menurut Catherine (2011) SBAR telah menjadi standar untuk berkomunikasi dalam situasi perawatan pasien. SBAR efektif dalam menjembatani perbedaan dalam gaya komunikasi dan membantu untuk mendapatkan persamaan persepsi antar tim medis. Tabel 3. Kategorisasi Tema 2: Peningkatan Komunikasi Efektif Kata Kunci Kategori Menggunakan Memakai SBAR teknik SBAR Situation Background Assessment Recommendation Cara Read back melakukan menyamakan persepsi konfirmasi Hambatan baru diterapkan menggunakan belum menguasai teknik SBAR waktu lebih lama dokter tidak ada waktu read back Cara belajar bersama meningkatkan pembimbingan atau pengetahuan mentoring tentang teknik mengajarkan yang SBAR belum bisa Tiga partisipan menyatakan menggunakan teknik read back atau membaca ulang informasi yang telah didapatkan selama proses komunikasi untuk mengkonfirmasi saat berkomunikasi dengan
Jurnal Managemen Keperawatan . Volume 2, No. 1, Mei 2014; 30-37
dokter melalui telepon. Hasil tersebut sesuai dengan Permenkes no 1691 yang menyebutkan bahwa penerima perintah harus membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat (Kemenkes RI, 2011). Dua partisipan mengatakan hambatan dalam berkomunikasi dengan SBAR adalah memerlukan waktu yang cukup banyak sehingga terdapat dokter yang enggan dilakukan konfirmasi read back. Hasil penelitian ini identik dengan penelitian oleh Altair J (2009) dimana hambatan dalam melakukan read back adalah pelaku komunikasi tidak bersedia menunggu untuk read back yang mencapai prosentase sebanyak 27,3% dari total sample sebanyak 2220 perawat. Dua partisipan lain menyatakan kurang menguasai teknik komunikasi dengan SBAR sebagai hambatannya karena teknik ini tergolong baru, dan belum banyak diajarkan di institusi pendidikan. Menurut penelitian Cassandra (2012) maka hambatan ini termasuk dalam human factor, yaitu kurangnya pengetahuan. Dua partisipan mengatasi hambatan berupa kurangnya pengetahuan dalam menggunakan teknik SBAR, dengan mengadakan belajar bersama dan mentoring tentang teknik SBAR. Hasil review atas pelaksanaan mentoring menyatakan bahwa mentoring dapat mengatasi kekurangan tenaga perawat, meningkatkan kepuasan perawat serta memperbaiki kualitas pelayanan (Block & Korow, 2005). C. Peningkatkan keamanan terhadap obat yang perlu diwaspadai Dua partisipan mencirikan obat high alert adalah obat yang konsentrasinya tinggi sehingga dalam penggunaannya biasanya harus diencerkan terlebih dahulu, dalam pemberian melalui intravena biasanya diberikan melalui kateter IV ukuran 20. Dua partisipan juga mencontohkan obat yang termasuk high alert seperti KCl, MgSO4, dan Dextrose 40. Pernyataan tersebut sesuai dengan panduan sasaran keselamatan pasien dari JCI (2008) yang menyatakan bahwa Obat-
obatan yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat). Dua partisipan menyatakan obat – obat high alert akan diberikan stiker khusus warna merah bertuliskan high alert, kemudian disimpan di dalam troli emergency, dan tidak disediakan di ruangan secara sembarangan. Hal ini telah sesuai dengan panduan sasaran keselamatan pasien dari JCI yang menyatakan bahwa elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (JCI, 2008). Tabel 4. Kategorisasi Tema 3: Peningkatkan Keamanan Terhadap Obat Yang Perlu Diwaspadai Kata Kunci Kategori Ciri obat Konsentrasinya tinggi high alert Harus diencerkan Contoh obat KCl high alert MgSO4 dextrose 40 penyimpanan di ruangan tidak obat high disediakan alert diletakkan di troli emergency Cara Diberi stiker high alert membedakan Ditandai warna merah obat high alert Hambatan belum paham yang dialami tidak hafal Kesulitan monitoring Cara Pendampingan mengatasi Mentoring hambatan keliling, mengechek Dua partisipan menyebutkan bahwa hambatan dalam mewaspadai obat high alert adalah kurangnya pengetahuan tentang obat high alert serta pada kondisi tertentu seperti pasien dengan vena kecil sehingga tidak memungkinkan untuk
Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Keselamatan Pasien Nur Mahya Isnaini, Muhamad Rofii
33
dipasang kateter IV ukuran 20, pasien tersebut membutuhkan perhatian yang ekstra ketika menerima obat high alert padahal tenaga perawat terbatas. Hasil penelitian tersebut identik dengan penelitian oleh Altair (2009) yang menyebutkan bahwa hambatan perawat dalam mewaspadai penggunaan obat high alert antara lain adalah pengetahuan tentang obat high alert tidak adekuat dan beban kerja yang cukup menekan bagi perawat. Berdasarkan hasil penelitian ini partisipan menyatakan bahwa perawat akan melakukan pembimbingan atau mentoring tentang jenis – jenis obat high alert dan cara penggunaannya. Perawat yang masih baru tentu masih sedikit pengalaman dan pengetahuannya tentang obat high alert sehingga membutuhkan bimbingan dari perawat yang senior. Mentoring memberikan berbagai keuntungan seperti menjembatani jurang antara teori dan praktek, meningkatkan pemikiran kritis dan pengembangan karir, dan mengingkatkan profesionalisme perawat baru (Block & Korrow, 2005). D. Memastikan tindakan bedah yang benar letak, prosedur, dan pasien Tabel 5. Kategorisasi Tema 4: Keamanan Tindakan Bedah Kata Kunci Kategori Meminta dokter menandai Cara memastikan lokasi operasi Mengingatkan dokter benar letak memberikan lingkaran kecil tindakan bedah di lokasi operasi Menyediakan spidol untuk menandai dokter ada yang nggak mau Hambatan dalam ngasih marker operasi dilakukan saat menandai lokasi dokter belum visite operasi Cara mengingatkan langsung menyodorkan mengatasi hambatan pensilnya laporan ke atasan Lima partisipan menyatakan bahwa penandaan lokasi operasi bukan merupakan kewenangan perawat, melainkan
34
kewenangan dokter operator, sehingga peran mereka dalam memastikan benar letak adalah mengingatkan dokter untuk melakukan penandaan dan menyediakan peralatannya seperti spidol. Hasil penelitian ini juga menyebutkan tiga partisipan menyatakan hambatan dalam memastikan benar letak adalah terdapat dokter yang tidak bersedia menandai lokasi operasi. Selain itu dua partisipan menyatakan bahwa pada kondisi tertentu operasi dilakukan dan dokter belum sempat visite, sehingga penandaan belum sempat dilakukan. Hambatan tersebut identik dengan hasil penelitian John R Clark (2012) yang menyatakan bahwa salah satu hambatan dalam melakukan penandaan lokasi operasi adalah physician’s behavior. E. Pencegahan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan Lima partisipan menyatakan bahwa cara untuk mengurangi risiko infeksi adalah melalui cuci tangan. Lima partisipan juga menyebutkan lima waktu cuci tangan atau disebut dengan five moment, yaitu sebelum ke pasien, setelah dari pasien, setelah melakukan tindakan aseptic, setelah terkena cairan pasien, dan setelah dari lingkungan pasien. Selain itu, dua partisipan mengatakan hambatan untuk cuci tangan adalah lupa. Hasil tersebut sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Janet E Squires, dkk (2013) yang menyatakan bahwa salah satu hambatan dalam melakukan cuci tangan adalah hambatan individu atau personal seperti perilaku/kebiasaan, termasuk lupa. Solusi yang dilakukan partisipan untuk meningkatkan kepatuhan dalam cuci tangan adalah dengan berusaha membiasakan dan merubah mindset bahwa cuci tangan bukan semata – mata untuk mesukseskan program rumah sakit, tapi juga untuk kebaikan diri sendiri agar tidak tertular penyakit dari rumah sakit. Solusi tersebut sesuai dengan penelitian oleh Janet E Clark (2013) bahwa cara untuk meningkatkan kepatuhan dalam cuci tangan adalah melalui behavior therapy atau terapi untuk membentuk kebiasaan yang merupakan sebuah proses berkesinambungan dimana salah satu
Jurnal Managemen Keperawatan . Volume 2, No. 1, Mei 2014; 30-37
prosesnya adalah dengan membentuk pola pikir atau mindset. Tabel 6. Kategorisasi Tema 5: Pencegahan Risiko Infeksi Kata Kunci Kategori Cara 6 langkah cuci tangan mencegah air mengalir infeksi dengan handsrub Waktu five moment mencuci Sebelum ke pasien tangan setelah ke pasien setelah terkena cairan dari pasien Setelah tindakan aseptic setelah dari lingkungan pasien Hambatan alat rusak melakukan lupa cuci tangan Cara saling mengingatkan meningkatkan briefing Berusaha membiasakan kepatuhan Berpikir … melindungi perawat untuk cuci tangan diri sendiri dari komite ada misteri Cara mengawasi guest kepatuhan cuci inspeksi tangan perawat ada audit Ada CCTV Ditegur Dua partisipan juga menyatakan bahwa terdapat tim pengawas untuk mengevaluasi kepatuhan perawat terhadap cuci tangan. Tim ini akan melakukan supervisi dan inspeksi tanpa diketahui dan disadari oleh para perawat, dan perawat yang teridentifikasi tidak patuh terhadap five moment cuci tangan akan dilaporkan dan mendapatkan teguran. Solusi ini cukup efektif untuk meningkatkan kepatuhan perawat sesuai dengan hasil penelitian oleh Kartin Buheli (2009) yang menyatakan bahwa supervisi dapat meningkatkan kinerja karyawan, supervisi memberikan kontribusi 87,5% terhadap kinerja perawat. F. Pencegahan risiko jatuh Lima partisipan meyatakan bahwa cara untuk mencegah risiko jatuh adalah dengan melakukan pengkajian risiko jatuh.
Format yang digunakan adalah morse fall scale, dimana terdapat 6 komponen yaitu riwayat jatuh, diagnosis penyakit, bantuan berjalan, terapi intravena, gaya berjalan, dan status mental. Masing – masing komponen memiliki nilai, apabila total nilainya lebih dari 25 maka pasien berisiko jatuh. Morse fall scale merupakan metode yang cepat dan sederhana yang digunakan untuk menilai kemungkinan jatuh pada pasien. 82,9% perawat menganggap skala ini cepat dan mudah untuk digunakan. Skala ini memiliki enam variable yang cepat dan mudah untuk digunakan dan telah terbukti memiliki validitas prediktif dan reliabilitas interrater (Krista, 2011). Tabel 7 Kategorisasi dan Tema 6: Pencegahan Risiko Jatuh Kata Kunci Kategori pasien baru … pengkajian Cara melakukan resiko jatuh pengkajian Pakai morse risiko jatuh Setiap shift kita kaji ulang Memberi berikan kancing kuning penanda “ … tulisannya fall risk” Dikancingkan di gelang risiko jatuh identitas Cara Pasang pengaman bed Check … lantainya licin mencegah kejadian atau tidak jangan sampai ada air jatuh menggenang di lantai kabel jangan sampai nglewer Jangan sampai ada … plastik di lantai informasikan kepada pasien keluarga juga kita kasih tau Lima partisipan menyatakan setelah pasien diketahui berisiko jatuh, maka pasien akan diberikan penanda yaitu kancing kuning bertuliskan fall risk yang disematkan di gelang pasien. Selanjutnya partisipan akan melakukan intervensi terkait risiko jatuh seperti memasang pengaman samping bed dan memperhatikan lingkungan sekitar yang menyebabkan pasien jatuh, mendampingi pasien saat mobilisasi, serta mengedukasi keluarga tentang risiko jatuh yang dialami pasien. Prosedur tersebut seperti dalam panduan
Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Keselamatan Pasien Nur Mahya Isnaini, Muhamad Rofii
35
fall prevention strategy yang menyebutkan cara untuk mencegah risiko jatuh adalah dengan memberikan penanda pada pasien, melakukan standar intervensi pada risiko jatuh, serta mengedukasi pasien dan keluarga. (Krista, 2011) KESIMPULAN Upaya yang dilakukan dalam proses identifikasi pasien adalah dengan meminta pasien untuk menyebutkan 2 identitasnya kemudian dicocokkan dengan identitas di RM atau gelang pasien. Peningkatan komunikasi efektif dilakukan dengan menggunakan teknik SBAR dan melakukan konfirmasi dengan membacakan ulang perintah saat berkomunikasi via telepon. Peningkatan keamanan terhadap obat yang perlu diwaspadai dilakukan dengan memberi label pada obat high alert dan membatasi persediaan di ruangan. Upaya yang dilakukan untuk memastikan keamanan tindakan bedah yang benar letak adalah dengan meminta dokter menandai lokasi operasi berupa lingkaran kecil. Pencegahan risiko infeksi diupayakan dengan cara cuci tangan pada five moment. Upaya yang dilakukan untuk mencegah risiko jatuh adalah dengan melakukan pengkajian risiko jatuh dan melakukan intervensi pencegahan kejadian jatuh. Pelaksanaan sasaran keselamatan pasien masih menemui berbagai hambatan. Partisipan memiliki cara masing – masing untuk mengatasi setiap hambatan tersebut. SARAN Rumah sakit dapat memperbarui pengetahuan perawat pelaksana mengenai keselamatan pasien dengan mengadakan pelatihan berkala atau dapat melalui buletin yang berisi informasi terkini tentang keselamatan pasien. Selain itu, rumah sakit dapat memberikan reward kepada individu perawat atau tim/ruangan yang melaksanakan keselamatan pasien secara optimal. DAFTAR PUSTAKA Altair J, dkk. (2009). Barriers to Emergency Departments’ Adherence to Four Medication Safety–Related Joint Commission National Patient Safety
36
Goals. The Joint Commission Journal on Quality and Patient Safety. Volume 35 Number 1. Block LM. & Korow MK. (2005). The Value Of Mentorship Within Nursing Organizations. Nursing Forum, 40 (4), Cassandra LF. (2012). Communication: A Dynamic Between Nurses and Physicians. Medsurg Nursing. Vol. 21 No. 6. Catherine D, dkk. (2011). Improving Patient Safety Through Provider Communication Strategy Enhancements. BMC Health Services Research (edisi online) Vol 11:45. diakses pada 20 Juni 2013 dari http://www.biomedcentral.com/14726963/11/45 Departemen Kesehatan RI. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Edisi ke2. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Eljardali. (2011). Predictors and outcomes of patient safety culture in hospitals. BMC Health Services Research (edisi online) Vol 11:45. 20 diakses pada 11 Januari 2013 dari http://www.biomedcentral.com/14726963/11/45 Greenly M. (2006). Helping Hippocrates: a cross-functional approach to patient identification. Joint Commision Journal on Quality and Patient Safety, 32:463– 469 Janet ES, dkk. (2013). Improving Physician Hand Hygiene Compliance Using Behavioural Theories: A Study Protocol. Implementation Science, 8:16. Diakses pada 20 Juni 2013 melalui http://www.implementationscience.com /content/8/1/16 John, RC. (2012). What Keeps Facilities from Implementing Best Practicesto Prevent Wrong-Site Surgery? Barriers and Strategies for Overcoming Them. Pennsylvania Patient Safety Advisory. Vol 9. Ed November 2012. 1 – 4 Joint Committee International. (2007). Patient Identification. Dalam Patient Safety Solution. Vol 1: 2007 KARS. (2006). Standar Pelayanan Rumah Sakit, Instrumen Penilaian Akreditasi
Jurnal Managemen Keperawatan . Volume 2, No. 1, Mei 2014; 30-37
RS. Pelayanan Intensif, Bandung: Kartin B. (2009). Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Perawat Dalam Penerapan Proses Keperawatan. Gorontalo: Poltekkes Gorontalo. Krista S. (2011). Falls Prevention Strategy. Diakses pada 23 Juni 2013 melalui http://www.rnao.org/Storage/26/2035_1 68_Falls_Self_LearningPackage_FINA L.pdf
Komite Akreditasi Rumah Sakit. Maryam D. (2009). Hubungan Penerapan Tindakan Keselamatan Pasien Oleh Perawat dengan Kepuasan Pasien di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Buletin Penelitian RSUD Dr. Soetomo. Vol. 11 No. 4. edisi Desember 2009. Menteri Kesehatan RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691/2011. Jakarta: Menkes RI
Pengalaman Perawat Pelaksana dalam Menerapkan Keselamatan Pasien Nur Mahya Isnaini, Muhamad Rofii
37