PENGALAMAN PERAWAT
PADA PERTOLONGAN PERTAMA
PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS MENGGUNAKAN TAMPONADE EPINEPHRINE DI RUANG INTENSIF CARE UNIT RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA )
1)
Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. Populasi penelitian ini adalah perawat ICU dengan masa jabatan 2 tahun atau dan pernah melakukan tamponade epinephrine. Sampel penelitian ini dengan melibatkan 3 informan. Cara pengambilan sampel adalah menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview. Metode penelitian adalah kualitatif dengan fenomenologi. Tempat penelitian adalah di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan lima tema yaitu pengalaman perawat, pengertian epistaksis, penyebab epistaksis, penatalaksanaan epistaksis, fungsi tamponade epinephrine. Kesimpulan dari penelitian ini, pengalaman perawat di ruang ICU yang beragam yaitu apabila pasien pulang dengan sembuh, kasus yang ditemukan menarik. Epistaksis adalah pecahnya pembuluh darah di hidung serta disebut juga dengan mimisan. Penyebab epistaksis adalah hipertensi, gangguan polip, trauma anterior maupun posterior dan adanya trauma wajah. Pertolongan pertama pada pada saat terjadi epistaksis yaitu dengan tampon kassa dan tampon epinephrine. Sedangkan obat obat yang biasa digunakan selain tampon menggunakan epinephrine adalah vitamin K dan kalnex. Keuntungannya adalah harga ekonomis dan tersedia di ruang ICU. Kata Kunci : pengalaman, perawat, epistaksis, tamponade epinephrine ABSTRACT Epistaxis is estimated to occur in 60% of people in the world during their life, and 6% of them are accompanied with nose bleeding and require medical treatments. The objective of this research is to investigate the experiences of nurses in the first aids for epistaxis management by using the epinephrine tamponade. This research used qualitative phenomenological research method. It was conducted at the ICU of Panti Waluyo Hospital of Surakarta.The population of the research was the nurses posted in the ICU whose the tenure is at least two years or who have ever administered epinephrine tamponade. The samples of the research consisted of three informants. They were taken by using the purposive sampling technique. The data of the research were gathered through in-depth. The result of the research reveals five themes, namely: experience to care, definition of epistaxis, cause of epistaxis, and function of epinephrine tamponade. Based on the result
of the research, conclusions are drawn as follows. The experiences of nurses at the ICU are varied, namely: when the clients are recovered and discharged, the causes found are interesting. Epistaxis is the rupture of blood vessels in the nose. The causes of epistaxis are hypertension, polyp disorder, anterior and posterior trauma, and facial trauma existence. The first aids administered to the clients when having epistaxis are gauze tamponade and epinephrine tamponade. The drugs usually administered to the clients in addition to epinephrine are Vitamin K and kalnex. Their advantages are that they are cheap and always available at the ICU. Keywords: Experiences, nurses, epistaxis, and epinephrine tamponade PENDAHULUAN Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis (WHO 2004). Epitaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat berhenti dengan sendirinya atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien itu dengan jalan menekan hidungnya (Ayu&Indah 2013). Sebagian besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior 90 - 95%. Epistaksis anterior ini biasa terjadi spontan atau disebabkan trauma pada septum nasi (Wormald dikutip dalam Budiman 2011). Penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia 11-14 tahun melaporkan bahwa 9% mengalami episode epistaksis sering. Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab perdarahan. Kebanyakan kasus epistaksis (80%90%) merupakan idiopatik (Sari Pediatrik dalam Bidasari 2007). Penanganan pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit pasien. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis. Pemeriksaan fisik terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan. (Wormald dikutip dalam Budiman 2011) Hasil wawancara yang dilakukan pada saat studi pendahuluan tanggal 12 Desember 2013 dengan Kepala Ruang
ICU RS Panti Waluyo, bahwa kurang lebih 5 dari 13 orang perawat dengan masa kerja lebih dari 2 tahun pernah melakukan tamponade dengan menggunakan epinephrine pada pasien epistaksis berulang. Pendapat salah satu perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta, tamponade epinephrine dinilai sangat efektif pada saat pertolongan pertama pada pasien yang mengalami epistaksis berulang dan jika digunakan untuk penatalaksanaan berlanjut dinilai kurang efektif. Peran perawat pada saat penatalaksanaan epistaksis adalah menghentikan perdarahan pada saat pertolongan pertama dan untuk penatalaksanaan lebih lanjut ditangani oleh dokter. Pasien yang pernah dijumpai pada pasien epistaksis dan dilakukan tamponade epinephrine rata – rata dengan trauma di wajah. Perawat di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta menggunakan tamponade epineprine untuk mengatasi perdarahan berulang dengan alasan epinephrine sebagai vasokontriksi pada pembuluh darah, dan juga dengan harga yang ekonomis. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis untuk mengeksplorasi pertolongan pertama dalam penatalaksanaan epistaksis dengan mengunakan tamponade epinephrine di ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta sesuai dengan
pengalaman perawat. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan kepada perawat ICU untuk mengungkapkan pengalaman mereka dalam pertolongan pertama pada epistaksis. P enelitian ini dilakukan dalam situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang diteliti. Penelitian ini dilakukan di Ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta terhadap perawat dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian serupa mengenai pengalaman perawat dalam pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. Populasi pada penelitian ini adalah perawat yang berada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Sampel pada penelitian ini adalah 3 orang perawat yang pernah melakukan tamponade epinephrine dalam penatalaksanaan epistaksis dengan masa jabatan 2 tahun atau lebih sesuai hasil studi pendahuluan. Pengambilan dan rekrutmen partisipan dilakukan dengan cara purposive sampling. Uji Validitas penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi peneliti dan triangulasi teori. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Ruang Intensif Care Unit (ICU) yang ada di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta dibangun pada tahun 1995. Kapasitas tempat tidur di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta pasien adalah 8 tempat tidur dan 1 kamar isolasi. Jumlah perawat yaitu sebanyak 10 orang perawat yang berlatar belakang pendidikan meliputi DIII keperawatan, Perawat yang bekerja di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo
Surakarta dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu pendidikan minimal DIII dan mempunyai sertifikat pelatihan ICU. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengalaman Perawat Dari hasil wawancara, partisipan mengungkapkan pengalamannya masing – masing secara terperinci, meskipun waktunya terbatas karena harus melayani pasien yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Pada saat partisipan mngungkapkan pengalamannya sesuai kasus yang partisipan temui, dengan riwayat pasien yang berbeda pada partisipan 1 dan 3. “ Ya..kalau ditanya masalah perasaan saat dinas ya macem – macem, mbak..ada sukanya ada sedihnya......”( P01 ) Sedangkan partisipan 2 lebih mengungkapkan pengalamannya secara gambaran umumnya saja. ”kalau perasaannya ya selalu menenggangkan yo mbak...” (P02) Pengalaman yang di dapat patisipan berdasarkan lama bekerja, perasaan saat di dinas diruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta dan pengalaman yang mengesankan. Di tinjau dari lama bekerja partisipan tidak menjadi perbedaan yang signifikan. Karena partisipan 3 dengan lama bekerja di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta tiga tahun, partisipan juga mengungkapkan kasus pasien yang pernah ditangani. Ketiga parisipan juga mengungkapkan hal yang sama mengenai perasaan saaat dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta yaitu ada suka dan dukanya. Ungkapan ketiga partisipan mengenai pengalaman juga sama dengan teori yaitu, Pengalaman kata dasarnya ”alami” yang artinya mengalami,
melakoni, menempuh, menemui, mengarungi, menghadapi,menyeberangi, menanggung, mendapat, menyelami, mengenyam, menikmati, dan merasakan ( Endarmoko, 2006 ). Bahwa ketiga partisipan juga mengalami, merasakan dan mendapat suatu pengalaman dari fenomena yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Ketiga partisipan dan juga perawat di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta pernah mengikuti pelatihan – pelatihan ICU, akan tetapi tiap partisipan berbeda untuk frekuensi mengikuti pelatihannya. Perawat yang ada merupakan tenaga kesehatan yang mampu dalam melayani dan merawat klien serta melakukan tindakan sesuai ilmu yang sudak diperoleh di pendidikan yang ditempuh. Hal ini juga tertera di Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992 menyebutkan bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. 2. Pengertian Epistaksis Hasil wawancara dengan ketiga partisipan, mengungkapkan bahwa epistaksis juga disebut dengan mimisan dan epistaksis merupakan pecahnya pembuluh darah di hidung. “...epistaksis itu sendiri kan biasanya ada yang disebut juga ..mmm...mimisen itu ya,,”(P01 ) “...epistaksis itu kan pecahnya pembuluh darah ya mbak..” ( P02 ) Pernyataan partisipan ini juga ada di dalam teori, bahwa epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis perdarahan spontan patologis yang sering. Biasanya terjadi sebagai erosi spontan salah satu pembuluh superfisial mukosa dekat dengan tepi septum hidung. ( Callaham, 1997 ) 3. Penyebab Epistaksis
Hasil wawancara ketiga partisipan mengatakan bahwa penyebab dari epistaksis adanya trauma di wajah, dan satu partisipan juga ada yang mengungkapkan bahwa trauma diwajah adalah penyebab dari luar sedangkan penyebab dari dalam adalah hipertensi,gangguan polip dan trauma anterior maupun posterior. Sumber lain menyebutkan dua faktor faktor penyebab lokal maupun umum atau kelainan sistemik pada epistaksis. Penyebab lokal epistaksis dapat berupa: Idiopatik ( 85 % kasus ), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja, trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial, Iritasi , zat kimia udara panas pada mukosa hidung, benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk. Sedangkan penyebab sitemik atau penyebab umum epistaksis berupa : Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi. ( Soepardi et al. 2000 ). Partisipan 1 mengungkapkan bahwa penyebab epistaksis dari dalam bisa berupa hipertensi. “...mimisen ada penyebabnya itu mbak,,,kalau yang dari dalam itu kan ada hipertensi,.”( P01 ) Ada hubungan epistaksis dengan hipertensi, hal ini terdapat di dalam jurnal dari Bestari 2011 , hipertensi merupakan faktor sistemik dari epistaksis. Teori dari Herkner, dkk ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi, yang pertama pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal. Yang kedua, pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung
mengalami perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior. Teori Knopfholz, dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis. Sedangkan Herkner dkk (2002) bahwa angka kejadian epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada pasien dengan riwayat hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan beratnya derajat hipertensi. Partisipan 1 mengungkapkan penyebab dari epistaksis sesuai kasus yang partisipan selama ini temui di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta adalah gangguan polip, yang mana gangguan polip tersebut biasanya diatasi dengan operasi ringan. Partisipan 2 juga mengungkapkan pasien post operasi polip mengalami perdarahan di hidung secara berulang. Partisipan 1 mengungkapkan bahwa faktor penyebab dari luar epistaksis adalah trauma di bagian anterior dan di bagian posterior. “..tapi kalau yang dari luar,,kan ada trauma ya mbak,,dan trauma itu sendiri kan dibagi menjadi dua,,dibagian anterior dan posterior. Lha selama ini kita memberikan tamponade yang berani itu dibagian anterior, bagian depan..”( P01 ) Partisipan 1 mengungkapkan selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta, kasus yang
biasanya terjadi adalah epistaksis di bagian anterior bagian depan. Penyebab epistaksis di bagian posterior biasanya harus segera dikonsulkan ke dokter THT, karena letak anatominya di bagian belakang hidung. Jurnal Bestari, Yolazenia 2012 di jelaskan bahwa pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan dari hidung yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach ( yang paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar melalui lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi. Partisipan 1, 2 dan 3 mengungkapkan penyebab dari epistaksis yang selama dinas di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sering di temui adalah adanya trauma di wajah. “..yang biasa kami temui selama ini adanya trauma di wajah..” (P03 ) Trauma di wajah dapat menyebabkan epistaksis berulang dan harus segera diatasi perdarahan pada hidung agar tidak terjadi komplikasi. Jurnal Bestari, Al hafiz 2011 dipaparkan bahwa penyebab epistaksis salah satunya adalah faktor lokal yang meliputi: Trauma nasal; obat semprot hidung (nasal spray), penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6
bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa; Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum; Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang. Jadi penyebab dari epistaksis berdasarkan dari pernyataan yang diungkapkan oleh ketiga partisipan ada dua yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam misalnya, hipertensi, gangguan polip. Sedangkan faktor dari luar karena adanya trauma wajah, dan juga trauma dibagian anterior dan posterior. Pada umumnya kasus epistaksis yang ditemukan di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta penyebabnya karena adanya trauma di bagian anterior, hidung bagian depan. 4. Penatalaksanaan Epistaksis Hasil dari wawancara, ketiga partisipan pernah menangani kasus epistaksis yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan satu partisipan baru menangani kasus epistaksis sebanyak kurang lebih lima kali. Partisipan juga mengungkapkan bahwa obat yang biasa digunakan saat menangani kasus epistaksis selain menggunakan tampon epinephrine adalah dengan vitamin K dan Kalnex karena pada prinsipnya juga sama – sama menghentikan perdarahan. Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada epistaksis adalah menggunakan tamponade epinephrine, “...kalau kita disini biasanya pake epinephine,, selama ini dengan tampon mbak,,tampon epinephrine.... ” ( P03 ) alat dan bahannya adalah sebagai berikut: satu ampul epinephrine, aquabides, kassa steril, kom kecil, pinset untuk membantu memasukkan kassa yang sudah di masukkan ke dalam kom yang berisi denagan aquabides dan epinephrine kemudian diperas dan di masukkan ke hidung sebagai tampon.
Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa ada tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. ( Soepardi 2002) Menghentikan perdarahan, sumber perdarahan dicari dengan bantuan pengisap untuk membersihkan hidung dan alat bekuan darah kemudian tampon kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya dibagian anterior atau di bagian posterior. (Soepardi 2002) Tindakan sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior adalah dengan memasukkan tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin, kalau perlu dengan obat anestesi lokal kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi kearah septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20 – 30 % atau dengan asam triklosetat 10 %. Dapat juga dipakai elektrokauter untuk kaustik itu. Dari teori yang ada dijelaskan bahwa, perdarahan di posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana. Pada tampon Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah benang di sisi lainnya. (Irma & Ayu Intan 2013) Perlu diketahui juga bahwa pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia (Soepardi 2002). Apabila dengan tampon epinephrine perdarahan masih sukar untuk di hentikan lakukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan pemeriksaan laboratorium misalnya : pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi
hemostasis, uji faal hati dan faal ginjal., pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring, CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma. (Soepardi et al.2000 ) 5. Fungsi Tamponade Epinephrine Hasil dari wawancara, ketiga partisipan mengungkapkan bahwa tamponade menggunakan epinephrine pada pasien epistaksis adalah sebagai vasokontriksi, yaitu membantu menghentikan perdarahan yang terus menerus ataupun menyempitkan pembuluh darah di hidung, Pertisipan juga mengungkapkan bahwa tampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis sangat efektif, selain harga yang ekonomis juga pasti tersedia di setiap ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Teori yang sudah ada mengungkapkan bahwa, epinephrine adalah obat yang digunakan untuk penyuntikan pembuluh darah dalam pengobatan hipersensitivitas akut. Aksi epinephrine menyerupai pengaruh stimulasi syaraf adrenergic. (Neal 2006 ) Untuk cara menamponnya sendiri dengan memperhatikan posisi kepala yaitu setengah duduk atau menengadah, kemudian satu ampul epinephrine dimasukkan ke dalam kom kecil, kemudian di campur denagn aquabides dan diperas lalu dimasukkan ke hidung menggunakan pinset. Perlu diketahui lagi bahwa Alat pelindung diri sangat penting. Hal ini juga disebutkan dalam teori , Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat diidentifikasi atau jika perdarahan menetap meskipun sudah di kauterisasi, pasang tampon anterior. Tampon hidung Merocel dapat digunakan. Lumasi ujung tampon dengan lidokain atau antibiotik topikal dan masukkan alat sepanjang dasar rongga hidung. Perluasan dan tampon peradahan akan terjadi dengan
dimasukkannya 10-20 mL salin. Kemudian kasa xerofom selebar ½ inci ( diperlukan strip 72 inci ) juga dapat digunakan, menggunakan forsceps, jepit kasa sepanjang 4 atau 5 inci dan masukkan ke dalam rongga hidung sejauh mungkin, kemudian pegang kassa lain 4-5 inci dan buat lapisan di puncak. (Shah 2013) Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari hasil pembahasan ketiga partisipan adalah pengalaman yang di dapat patisipan berdasarkan lama bekerja, perasaan saat di dinas dirung ICU dan pengalaman yang mengesankan. Di tinjau dari lama bekerja partisipan tidak menjadi perbedaan yang signifikan. Karena partisipan 3 dengan lama bekerja di ruang ICU tiga tahun, partisipan juga mengungkapkan kasus pasien yang pernah ditangani. Ketiga parisipan juga mengungkapkan hal yang sama mengenai perasaan saaat dinas diruang ICU yaitu ada suka dan dukanya. Ketiga partisipan mengungkapkan mengenai pengalaman bahwa ketiga partisipan juga mengalami, merasakan dan mendapat suatu pengalaman dari fenomena yang ada di ruang ICU sesuai dengan teori Endarmoko 2006 . Ketiga partisipan dan juga perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta pernah mengikuti pelatihan – pelatihan ICU, akan tetapi tiap partisipan berbeda untuk frekuensi mengikuti pelatihannya. Perawat yang ada merupakan tenaga kesehatan yang mampu dalam melayani dan merawat klien serta melakukan tindakan sesuai ilmu yang sudak diperoleh di pendidikan yang ditempuh. Hal ini juga tertera di Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992 menyebutkan bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang
dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Hasil wawancara dengan ketiga partisipan, mengungkapkan bahwa epistaksis juga disebut dengan mimisan dan epistaksis merupakan pecahnya pembuluh darah di hidung. Hasil wawancara ketiga partisipan mengatakan bahwa penyebab dari epistaksis adanya trauma di wajah, dan satu partisipan juga ada yang mengungkapkan bahwa trauma diwajah adalah penyebab dari luar sedangkan penyebab dari dalam adalah hipertensi,gangguan polip dan trauma anterior maupun posterior. Hasil dari wawancara, ketiga partisipan pernah menangani kasus epistaksis yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan satu partisipan baru menangani kasus epistaksis sebanyak kurang lebih lima kali. Partisipan juga mengungkapkan bahwa obat yang biasa digunakan saat menangani kasus epistaksis selain menggunakan tampon epinephrine adalah dengan vitamin K dan Kalnex karena pada prinsipnya juga sama – sama menghentikan perdarahan. Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada epistaksis adalah menggunakan tamponade epinephrine, yang mana alat dan bahannya adalah sebagai berikut: satu ampul epinephrine, aquabides, kassa steril, kom kecil, pinset untuk membantu memasukkan kassa yang sudah di masukkan ke dalam kom yang berisi denagan aquabides dan epinephrine kemudian diperas dan di masukkan ke hidung sebagai tampon. Hasil dari wawancara, ketiga partisipan mengungkapkan bahwa tamponade menggunakan epinephrine pada pasien epistaksis adalah sebagai vasokontriksi, yaitu membantu menghentikan perdarahan yang terus menerus ataupun menyempitkan pembuluh darah di hidung, Pertisipan juga mengungkapkan bahwa tampon menggunakan epinephrine pada pasien
dengan epistaksis sangat efektif, selain harga yang ekonomis juga pasti tersedia di setiap ruang ICU. Cara menamponnya sendiri dengan memperhatikan posisi kepala yaitu setengah duduk atau menengadah, kemudian satu ampul epinephrine dimasukkan ke dalam kom kecil, kemudian di campur dengan aquabides dan diperas lalu dimasukkan ke hidung menggunakan pinset. Perlu diketahui lagi bahwa Alat pelindung diri sangat penting. KESIMPULAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengalaman Perawat Beberapa tema dalam pengalaman perawat didapatkan sub tema yang pertama adalah lama bekerja perawat di ruang ICU lebih dari 2 tahun, yang kedua adalah perasaan selama dinas di ruang ICU. Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa perasaan selama dinas di ruang ICU ada suka ada sedih, menegangkan dan menyenangkan. Ketiga adalah pengalaman perawat di ruang ICU yang beragam yaitu apabila pasien pulang dengan sembuh, partisipan juga mengungkapkan bahwa kasus yang ditemukan menarik. Pengalaman perawat di ruang ICU yang lain adalah peka terhadap pasien dan cepat tanggap dalam penanganannya, kemudian pengalaman yang menyedihkan apabila pasien meninggal. 2. Pengertian epistaksis Pengertian epistaksis adalah pecahnya pembuluh darah di hidung serta disebut juga dengan mimisan. 3. Penyebab epistaksis Epistaksis adalah kondisi klinis dengan berbagai variasi penyebabnya. Beberapa penyebab epistaksis adalah hipertensi, gangguan polip, trauma anterior
4.
5.
maupun posterior dan adanya trauma wajah. Penatalaksanaan Epistaksis Penatalaksanaan epistaksis berdasarkan dari pernah menangani kasus epistaksis dan kira – kira sudah berapa kali menanganinya selama dinas di ruang ICU, pertolongan pertama pada pada saat terjadi epistaksis yaitu dengan tampon kassa dan tampon epinephrine yang mana tindakan tampon tersebut bersifat sementara dan hanya pertolongan pertamanya saja. Alat dan bahan yang digunakan dalam penatalaksanaan epistaksis adalah satu ampul epinephrine, handscoon, masker, aquabides, kassa steril, kom kecil, pinset dan spuit. Sedangkan obat obat yang biasa digunakan selain tampon menggunakan epinephrine adalah vitamin K dan kalnex. Fungsi Tamponade Epinephrine Fungsi tamponade epinephrine pada kasus epistaksis di kardiovaskuler adalah sebagai obat pacu jantung, sedangkan fungsi epinephrine pada kasus epistaksis sebagai vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan di hidung dapat dihentikan. Keefektifan dari tamponade menggunakan epinephrine adalah sangat efektif digunakan pada saat pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis. Cara untuk menampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis ada beberapa pendapat menurut pengalaman ketiga partisipan, akan tetapi pada dasarnya sama, yang pertama dengan memposisikan pasien setengah duduk dengan kepala menengadah kemudian kassa yang dibasahi dengan epinephrine di masukkan ke dalam hidung. Keuntungan
melakukan tindakan tamponade epinephrine pada pasien dengan epistaksis adalah harga satu ampul epinephrine yang ekonomis dan juga tersedia di ruang ICU.
DAFTAR PUSTAKA Bidasari L, Rina A C Saragih 2007, Tata Laksana Epistaksis Berulang Pada Anak, Vol. 9, No. 2, diakses 7 Desember 2013, Budiman J Bestari, Al Hafiz 2011, Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis Kronik, Spina, pada Septum dan Telangiektasis, diakses 6 Desember 2013, Budiman J Bestari, Yolazenia2012, Epistaksis dan Hipertensi, diakses 7 Desember 2013, {“http://jurnal.fk.unand.ac.id”}. Callaham, Michael L et al. 1997, Seri Skema Diagnosis dan PenatalaksanaanGawat Darurat Medis, Binarupa Aksara, Jakarta. Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta. Haryadi, Putra 2012, Asuhan Keperawatan Epistaksis, diakses 19 Desember 2013, putra hariyadi Irma, Indah & Ayu Intan2013, Penyakit Gigi, Mulut dan THT, Nuha Medika, Yogyakarta. Moleong, J Lexy 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Neal, Michael J 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Erlangga, Jakarta. Nursalam 2011, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta. Polit, DF & Beck, CT 2006, Essentials Of Nursing Research Methods, Appraisal, and Utilization, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Polit, DF & Hungler, BP 2005, Nursing Research : Principles and Methods, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Potter, PA & Perry, Ag 2005, Fundamental of Nursing concept, Process and Practice, 4th edition, Mosby Company, St Louis. Saryono & Anggraeni, MD 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta. Shah, Kaushal, 2013, Prosedur Penting dalam Kedaruratan, EGC, Jakarta. Soepardi, Efiaty et al. 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Lehe edisi 5, FKUI, Jakarta. Soepardi, Efiaty et al. 2000, Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan TelingaHidungTenggorok edisi 2, FKUI, Jakarta. Sutopo, HB 2006, Metodologi Dasar Teori danTerapannya Dalam Penelitian, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.