PENGALAMAN
PERAWAT
PADA PERTOLONGAN
PERTAMA
PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS MENGGUNAKAN TAMPONADE EPINEPHRINE DI RUANG INTENSIF CARE UNIT RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA
SKRIPSI “Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna mencapai Gelar Sarjana Keperawatan “
Oleh : Nuri Handayani NIM. S10032
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
i
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nuri Handayani NIM
: S10032
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada Surakarta maupun perguruan tinggi lain. 2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan dari Tim Penguji. 3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka. 4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kumudian hari terdapat pentimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi. Surakarta,
Juni 2014
Yang membuat pernyataan,
Nuri Handayani S.10032
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya serta hidayahNya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengalaman Perawat pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine”. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Penulis menyadari tanpa adanya bimbingan dan dukungan maka kurang sempurna penyelesaian skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, Msi. selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta 2. Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep.,Ns. M.Kep, selaku Pembimbing Utama dan Ketua Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Ariyani, S.Kep,.Ns. M.Kes, selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan banyak masukan, bimbingan serta arahan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Happy Indri Hapsari, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku penguji yang telah memberikan masukan, kritik dan saran saat ujian sidang skripsi. 5. Direktur Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.
iv
6. Bapak Joko, AMD.Kep selaku kepala ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta yang telah membantu dan mengarahkan peneliti dalam proses penelitian. 7. Seluruh partisipan yang telah berperan dalam penelitian ini dan telah berkenan untuk menjadi partisipan yang tidak dapat disebutkan satu – persatu. 8. Seluruh staf pengajar dan akademik Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah membantu penulis. 9. Bapak dan ibu yang tak pernah berhenti mendoakan penulis, menyediakan fasilitas dan selalu memberikan motivasi serta dukungan terbesar kepada penulis. 10. Kakak dan adik- adik tercinta atas doa dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. 11. Teman – teman seperjuangan dan seangkatan yang tak pernah berhenti memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu – persatu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan dari berbagai pihak. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Surakarta, Juni 2014 Penulis
v
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
ii
SURAT PERNYATAAN ..............................................................................
iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................
iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
x
DAFTAR SKEMA ........................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xii
ABSTRAK ....................................................................................................
xiii
ABSTRAK ....................................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah..............................................................
5
1.3. Tujuan ................................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................
6
1.5. Keaslian Penelitian ...........................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pengalaman ......................................................
9
2.2. Pengertian Perawat ............................................................
9
2.3. Konsep Epistaksis ..............................................................
9
viii
2.3.1. Pengertian ...........................................................
9
2.3.2. Etiologi ...............................................................
10
2.3.3. Manifestasi Klinis ...............................................
11
2.3.4. Anatomi Hidung .................................................
11
2.3.5. Patofisiologi ........................................................
15
2.3.6. Penatalaksanaan ..................................................
17
2.3.7. Pemeriksaan Penunjang ......................................
18
2.4. Tamponade Anterior ..........................................................
19
2.4.1. Indikasi Tampon Anterior ..................................
19
2.5. Konsep Epinephrine...........................................................
20
2.5.1. Pengertian ...........................................................
20
2.5.2. Indikasi ................................................................
20
2.5.3. Dosis ....................................................................
20
2.5.4. Efek Damping ......................................................
20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Fokus Penelitian ..................................................................
22
3.2 Desain Penelitian .................................................................
22
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................
23
3.4 Populasi dan Sampel ...........................................................
24
3.5 Pengumpulan Data ..............................................................
26
3.5.1. Cara Pengumpulan Data .........................................
27
3.5.2. Alat Pengumpul Data ..............................................
28
3.5.3. Tahap Pengumpul Data ...........................................
28
viii
3.5.4. Keabsahan Data .......................................................
32
3.6 Analisa Data ........................................................................
34
3.7 Validitas dan Reliabilitas ....................................................
35
3.8 Etika Penelitian ...................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 1.1
Judul Tabel
Halaman
Keaslian Penelitian
8
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Gambar
Halaman
1
Pembuluh darah di daerah septum nasi
12
2
Pembuluh darah di dinding lateral hidung
13
x
DAFTAR SKEMA
Nomor Skema 3.1
Judul Skema Fokus Penelitian
xi
Halaman 22
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
: F-1 Usulan topik penelitian Lampiran
2
: F-2 Pengajuan persutujuan judul
Lampiran 3
: F-4 Pengajuan izin studi pendahuluan
Lampiran 4
: Surat ijin studi pendahuluan
Lampiran 5
: F-5 Lembar Oponent
Lampiran 6
: F-6 Lembar Audience
Lampiran 7
: F-7 Pengajuan Ijin Penelitian
Lampiran 8
: Surat Ijin Penelitian
Lampiran 9
: Surat pernyataan selesai penelitian
Lampiran 10 : Persetujuan menjadi responden Lampiran 11 : Pedoman wawancara Lampiran 12 : Transkip wawancara Lampiran 13 : Kategori dan tema Lampiran 14 : Lembar konsultasi Lampiran 15 : Jadwal penelitian
xii
BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA 2014 Nuri Handayani EXPERIENCES OF NURSES IN THE FIRST AIDS FOR EPISTAXIS MANAGEMENT BY USING EPINEPHRINE TAMPONADE AT THE INTENSIVE CARE UNIT OF PANTI WALUYO HOSPITAL OF SURAKARTA
ABSTRACT Epistaxis is estimated to occur in 60% of people in the world during their life, and 6% of them are accompanied with nose bleeding and require medical treatments. The objective of this research is to investigate the experiences of nurses in the first aids for epistaxis management by using the epinephrine tamponade. This research used qualitative phenomenological research method. It was conducted at the ICU of Panti Waluyo Hospital of Surakarta.The population of the research was the nurses posted in the ICU whose the tenure is at least two years or who have ever administered epinephrine tamponade. The samples of the research consisted of three informants. They were taken by using the purposive sampling technique. The data of the research were gathered through in-depth. The result of the research reveals five themes, namely: experience to care, definition of epistaxis, cause of epistaxis, and function of epinephrine tamponade. Based on the result of the research, conclusions are drawn as follows. The experiences of nurses at the ICU are varied, namely: when the clients are recovered and discharged, the causes found are interesting. Epistaxis is the rupture of blood vessels in the nose. The causes of epistaxis are hypertension, polyp disorder, anterior and posterior trauma, and facial trauma existence. The first aids administered to the clients when having epistaxis are gauze tamponade and epinephrine tamponade. The drugs usually administered to the clients in addition to epinephrine are Vitamin K and kalnex. Their advantages are that they are cheap and always available at the ICU. Keywords: Experiences, nurses, epistaxis, and epinephrine tamponade References: 18 (1997 -2013)
xiv
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 Nuri Handayani Pengalaman Perawat pada Pertolongan Pertama Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine di Ruang Intensif Care Unit Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta Abstrak
Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. Populasi penelitian ini adalah perawat ICU dengan masa jabatan 2 tahun atau dan pernah melakukan tamponade epinephrine. Sampel penelitian ini dengan melibatkan 3 informan. Cara pengambilan sampel adalah menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan indepth interview. Metode penelitian adalah kualitatif dengan fenomenologi. Tempat penelitian adalah di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Hasil penelitian menunjukkan lima tema yaitu pengalaman perawat, pengertian epistaksis, penyebab epistaksis, penatalaksanaan epistaksis, fungsi tamponade epinephrine. Kesimpulan dari penelitian ini, pengalaman perawat di ruang ICU yang beragam yaitu apabila pasien pulang dengan sembuh, kasus yang ditemukan menarik. Epistaksis adalah pecahnya pembuluh darah di hidung serta disebut juga dengan mimisan. Penyebab epistaksis adalah hipertensi, gangguan polip, trauma anterior maupun posterior dan adanya trauma wajah. Pertolongan pertama pada pada saat terjadi epistaksis yaitu dengan tampon kassa dan tampon epinephrine. Sedangkan obat obat yang biasa digunakan selain tampon menggunakan epinephrine adalah vitamin K dan kalnex. Keuntungannya adalah harga ekonomis dan tersedia di ruang ICU. Kata Kunci : pengalaman, perawat, epistaksis, tamponade epinephrine Daftar Pustaka : 18 (1997 -2013)
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Epistaksis berasal dari bahasa Yunani epistazo yang berarti hidung berdarah.
Penanganan
epistaksis
dengan
menekan
ala
nasi
telah
diperkenalkan sejak zaman Hipokrates (Nwaorgu dalam Budiman 2012). Epistaksis atau perdarahan hidung (mimisan) adalah perdarahan akut yang berasal dari cuping hidung, lubang hidung atau nasofaring. Epitaksis sering ditemukan sehari-hari dan mungkin 90% dapat berhenti dengan sendirinya atau dengan tindakan sederhana yang dilakukan oleh pasien itu dengan jalan menekan hidungnya (Ayu&Indah 2013). Epistaksis atau perdarahan dari hidung merupakan kegawatdaruratan yang umum ditemukan di bagian telinga hidung dan tenggorokan (Wormald dikutip dalam Budiman 2011). Sebagian besar kasus epistaksis adalah epistaksis anterior 90 - 95%. Epistaksis anterior ini biasa terjadi spontan atau disebabkan trauma pada septum nasi (Wormald dikutip dalam Budiman 2011). Studi retrospektif, 45% dari pasien rawat inap untuk epistaksis memiliki gangguan sistemik dengan potensi untuk berkontribusi mimisan, termasuk kelainan genetik seperti hemofilia dan penggunaan obat antikoagulan, atau kanker hematologi. Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab lokal termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular,
1
2
iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainan hematologi, lingkungan (temperatur, kelembaban dan ketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagal organ (uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya hipertensi (Pope dalam Bidasari 2007). Cave Michael (1871), James Little (1879) dan Wilhelm Kiesselbach merupakan ahli-ahli yang pertama kali mengidentifikasi cabang-cabang pembuluh darah yang berada di bagian anterior septum nasi sebagai sumber epistaksis (Nwaorgu dalam Yolazenia2012). Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% dari orang di seluruh dunia selama hidup mereka dan sekitar 6% dari mereka dengan mimisan memerlukan penanganan medis (WHO 2004). Suatu penelitian cross-sectional terhadap 1218 anak usia 11-14 tahun melaporkan bahwa 9% mengalami episode epistaksis sering. Diagnosis dan penanganan epistaksis bergantung pada lokasi dan penyebab perdarahan. Kebanyakan kasus epistaksis (80%-90%) merupakan idiopatik (Sari Pediatrik dalam Bidasari 2007). Penanganan pasien epistaksis penting untuk menggali riwayat penyakit pasien. Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis. Pemeriksaan fisik terutama difokuskan untuk mencari sumber perdarahan. (Wormald dikutip dalam Budiman 2011) Prinsip utama penanggulangan epistaksis meliputi menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berulangnya epistaksis. Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan
3
akut atau tidak. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit. Epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloro asetat 10%, elektrokauter, atau dengan laser. Penggunaan dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq. Pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior (Gifford dikutip dalam Budiman2011). Penanganan epistaksis pada pasien epistaksis berulang dengan rinosinusitis kronis, spina pada septum dan telangiektasis pada seorang pasien wanita umur 40 tahun awalnya dengan memencet hidung (ala nasi ke septum) selama 10 menit, fungsinya sebagai tampon pada pembuluh darah pada bagian anterior septum. Usaha ini awalnya berhasil, tapi sekitar 2 jam kemudian pasien kembali mengeluarkan darah. Evaluasi sumber perdarahan tidak jelas terlihat, dan pasien dipasang tampon anterior pada hidung kiri, perdarahan berhenti. Hal ini menunjukkan tampon anterior cukup efektif
4
untuk menghentikan perdarahan. Hussain dkk menemukan tampon anterior adalah prosedur yang efektif untuk menghentikan perdarahan pada 98,2% kasus. Tampon anterior harus dilapisi dengan antibiotika topikal, dan pasien juga diberi antibiotic sistemik selain untuk mencegah infeksi juga untuk mencegah toxic shock syndrome. Tampon anterior dipertahankan selama 2-3 hari sebelum dibuka, tergantung dari pertimbangan dokter, respon pasien, factor risiko, nilai koagulopati, dan beratnya perdarahan pada awalnya. Pembukaan tampon pasien ini dilakukan pada hari ketiga. Sebelum pembukaan tampon pasien mengeluh adanya perdarahan yang mengalir ketenggorok, hal ini menunjukkan adanya kemungkinan sumber perdarahan di belakang tampon yang tidak tercapai oleh tampon tersebut, dimana kita temukan adanya pelebaran pembuluh darah di belakang konka inferior (Mangunkusumo dikutip dalam Budiman 2011). Hasil wawancara yang dilakukan pada saat studi pendahuluan tanggal 12 Desember 2013 dengan Kepala Ruang ICU RS Panti Waluyo, bahwa kurang lebih 5 dari 13 orang perawat dengan masa kerja lebih dari 2 tahun pernah melakukan tamponade dengan menggunakan epinephrine pada pasien epistaksis berulang. Pendapat salah satu perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta, tamponade epinephrine dinilai sangat efektif pada saat pertolongan pertama pada pasien yang mengalami epistaksis berulang dan jika digunakan untuk penatalaksanaan berlanjut dinilai kurang efektif. Peran perawat pada saat penatalaksanaan epistaksis adalah menghentikan perdarahan pada saat pertolongan pertama dan untuk penatalaksanaan lebih
5
lanjut ditangani oleh dokter. Pasien yang pernah dijumpai pada pasien epistaksis dan dilakukan tamponade epinephrine rata – rata dengan trauma di wajah. Perawat di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta menggunakan tamponade epineprine untuk mengatasi perdarahan berulang dengan alasan epinephrine sebagai vasokontriksi pada pembuluh darah, dan juga dengan harga yang ekonomis. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena setiap tahunnya perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta menangani kasus epistaksis yang disebabkan oleh berbagai trauma disekitar wajah atau di kepala. Hasil wawancara kasus epistaksis di ruang ICU rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta tercatat sekitar 5-6 % setiap tahunnya, dari berbagai kasus yang ada. Fenomena tersebut melatarbelakangi peneliti untuk meneliti pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan hasil wawancara pada saat melakukan studi pendahuluan didapatkan bahwa perawat ICU RS Panti Waluyo Surakarta pernah melakukan tamponade epinephrine saat penatalaksanaan epistaksis, sehingga penulis mengambil
judul
“Pengalaman
Perawat
pada
Pertolongan
Pertama
Penatalaksanaan Epistaksis Menggunakan Tamponade Epinephrine “.
6
1.3. TujuanPenelitian 1.3.1 Tujuan umum Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah : 1) Mengetahui pengalaman perawat dan tindakan pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. 2) Teridentifikasi tingkat keefektifan dari tamponade epinephrine dalam penatalaksanaan epistaksis.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1.4.1 Rumah Sakit/ masyarakat 1) Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat ICU agar dapat mengaplikasikan dalam pertolongan pertama mengatasi
epistaksis
berulang
serta
terus
meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan yang kompeten di bidangnya. 2) Sebagai bahan
bacaan
dan
menambah
pengetahuan
bagi
masyarakat tentang pentingnya mencegah perdarahan berulang pada epistaksis.
7
1.4.2 Institusi Pendidikan 1) Dapat dijadikan kepustakaan mengenai pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine. 2) Tersedianya informasi bagi pengajar tentang pengalaman perawat pada pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine agar dapat
dijadikan bahan untuk
pembelajaran kegawatdaruratan. 1.4.3 Peneliti lain Peneliti lain dapat mengembangkan penelitan ini di lain tempat 1.4.4 Peneliti Bertambahnya informasi dan pengalaman bagi peneliti di bidang kedaruratan
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian ini difokuskan pada penatalaksanaan epistaksis berulang dengan menggunakan tamponade epinephrine.
8
Tabel 1.1KeaslianPenelitian Resume Penelitian Sejenis yang Pernah dilakukan
Nama Judul Metode Peneliti Penelitian Budiman J Pengukuran Deskriptif Bestari, Sumbatan korelasi Yolazenia Hidung pada dengan ( 2012 ) Deviasi Septum pendekatan Nasi cross sectional study.
Nuri Handayani ( 2014 )
Hasil Penelitian Penelitian Sekarang Gejala sumbatan hidung pada deviasi septum dapat dievaluasi dengan pemeriksaan tambahan meliputi pemeriksaan dengan spatula lidah, nasal inspiratory flow metry, nasal expiratory flow metry, rinomanometri , dan rinometri akustik. Pengalaman Kualitatif Pengalaman Perawat Pada dengan Perawat Pertolongan pendekatan Pada Pertama fenomenologi Pertolongan Penatalaksanaan Pertama Epistaksis Penatalaksa Menggunakan naan Tamponade Epistaksis Epinephrine Menggunak an Tamponade Epinephrine
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
PENGERTIAN PENGALAMAN Pengalaman kata dasarnya ”alami” yang artinya mengalami, melakoni, menempuh, menemui, mengarungi, menghadapi, menyeberangi, menanggung, mendapat, menyelami, mengenyam, menikmati, dan merasakan (Endarmoko, 2006).
2.2.
PENGERTIAN PERAWAT Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992 menyebutkan bahwa perawat
adalah mereka yang memiliki kemampuan dan
kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
2.3. KONSEP EPISTAKSIS 2.3.1. Pengertian Epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis perdarahan spontan patologis yang sering. Biasanya terjadi sebagai erosi spontan salah satu pembuluh superfisial mukosa dekat dengan tepi septum hidung ( Callaham 1997 )
9
10
2.3.2. Etiologi Epitaksis atau perdarahan hidung dapat terjadi akibat sebab lokal dan umum atau (kelainan sistemik ). Etiologi lokal epistaksis dapat berupa: a. Idiopatik ( 85 % kasus ), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja. b. Trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial c. Iritasi , epistaksis dapat timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia udara panas pada mukosa hidung. d. Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk. Etiologi sistemik epistaksis antara lain: a. Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti ateroklerosis, sirosis hepatis, sifilis dan nefritis kronis. b. Kelainan darah, misalnya leukemia, trombositopenia, dan hemofilia. c. Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, mobili, demam tifoid.
11
d. Kelainan endokrin, misalnya kehamilan menarche dan menopause. ( Soepardi et al. 2000 ) 2.3.3. Manifestasi Klinik Epistaksis 1) Darah yang berwarna merah cerah yang keluar dari lubang hidung, berasal dari hidung anterior 2) Darah yang berwarna merah gelap atau cerah dari bagian belakang tenggorokan, berasal dari hidung posterior (umumnya disalah artikan sebagai hemoptisis karena adanya ekspektorasi) 3) Pusing, dan sedikit sulit bernapas 4) Perembesan dibelakang septum nasal, ditelinga tengah dan di sudut mata 5) Hemoragi parah (berlangsung lebih dari 10 menit setelah ditekan) : hipotensi, denyut nadi cepat, dispnea, dan pucat, darah yang hilang bisa mencapai 1 L/jam pada orang dewasa. 2.3.4. Anatomi Hidung Hidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung luar berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung
12
bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum. Konka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu konka suprema, superior, media, dan inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior, media, dan inferior.
Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.
13
Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung. ( Schlosser dalam Budiman 2011 )
2.3.5. Perdarahan Hidung Perdarahan pada hidung terdiri dari perdarahan bagian atas, bawah, dan depan. Bagian depan dipendarahi oleh arteri etmoidalis anterior dan arteri etmoidalis posterior. Arteri tersebut merupakan cabang dari arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna. Bagian bawah hidung dipendarahi oleh arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina, merupakan cabang dari arteri maksilaris interna. Bagian depan dipendarahi oleh cabang-cabang dari arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri
14
labialis superior, dan arteri palatine mayor, yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial. 2.3.6. Persarafan Hidung Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n. V1). Bagian hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina. Ganglion sfenofalatina, slain memberikan
persarafan
sensoris, juga membaerikan persarafan vasomotor atau otonam untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V-2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
15
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribrsa dari permukaan bawah bulbus olfaltorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. ( Schlosser dalam Budiman 2011 ) 2.3.7. Patofisiologi Hidung kaya akan vaskularisasi yang berasal dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Arteri karotis eksterna menyuplai darah ke hidung melalui percabangannya arteri fasialis dan arteri maksilaris. Arteri labialis superior merupakan salah satu cabang terminal dari arteri fasialis. Arteri ini memberikan vaskularisasi ke nasal arterior dan septum anterior sampai ke percabangan septum. Arteri maksilaris interna masuk ke dalam fossa pterigomaksilaris dan memberikan enam percabangan : arteri alveolaris posterior superior, arteri palatina desenden, arteri infraorbitalis, arteri sfenopalatina, pterygoid canal dan arteri pharyngeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanalis palatinus mayor dan menyuplai dinding nasal lateral, kemudian kembali ke dalam hidung melalui percabangan di foramen incisivus untuk menyuplai darah ke septum anterior. Arteri karotis interna memberikan vaskularisasi ke hidung. Arteri ini masuk ke dalam tulang orbita melalui fisura orbitalis superior dan memberikan beberapa percabangan. Arteri etmoidalis anterior meninggalkan
16
orbita melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis posterior keluar dari rongga orbita, masuk ke foramen etmoidalis posterior, pada lokasi 2-9 mm anterior dari kanalis optikus. Kedua arteri ini menyilang os ethmoid dan memasuki fossa kranial anterior, lalu turun ke cavum nasi melalui lamina cribriformis, masuk ke percabangan lateral dan untuk menyuplai darah ke dinding nasal lateral dan septum. Pleksus kiesselbach yang dikenal dengan “little area” berada diseptum kartilagenous anterior dan merupakan lokasi yang paling sering terjadi epistaksis anterior. Sebagian besar arteri yang memperdarahi septum beranastomosis di area ini. Sebagian besar epistaksis (95%) terjadi di “little area”. Bagian septum nasi anterior inferior merupakan area yang berhubungan langsung dengan udara, hal ini menyebabkan mudah terbentuknya krusta, fisura dan retak karena trauma pada pembuluh darah tersebut. Walaupun hanya sebuah aktifitas normal
dilakukan seperti
menggosok-gosok hidung dengan keras, tetapi hal ini dapat menyebabkan terjadinya trauma ringan pada pembuluh darah sehingga terjadi ruptur dan perdarahan. Hal ini terutama terjadi pada membran mukosa yang sudah terlebih dahulu mengalami inflamasi akibat dari infeksi saluran pernafasan atas, alergi atau sinusitis.
17
2.3.8. Penatalaksanaan Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. a. Menghentikan perdarahan Sumber perdarahan dicari dengan bantuan pengisap untuk membersihkan hidung dan alat bekuan darah kemudian tampon kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan kedalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya dibagian anterior atau di bagian posterior( Soepardi 2002 ). a). Perdarahan anterior Tindakan sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior adalah dengan memasukkan tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin, kalau perlu dengan obat anestesi lokal kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi kearah septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20 – 30 % atau dengan asam triklosetat 10 %. Dapat juga dipakai elektrokauter untuk kaustik itu.
18
b). Perdarahan posterior Untuk menanggulangi
perdarahan posterior
dilakukan
pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana. Pada tampon Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah benang di sisi lainnya. (Irma & Ayu Intan 2013) b. Mencegah komplikasi Komplikasi dapat terjadi akibat langsung dari epistaksis sendiri sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. (Soepardi 2002) 2.3.9. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan : 1). pemeriksaan darah tepi lengkap 2). fungsi hemostasis 3). uji faal hati dan faal ginjal. 4). Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring. 5). CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.
19
Jika diperlukan pemeriksaan radiologi hidung, sinus paranasal dan nasofaring
dapat
dilakukan
setelah
keadaan
akut
dapat
diatasi. (Soepardi et al.2000 )
2.4. TAMPONADE ANTERIOR 2.4.1. Indikasi Tampon Anterior Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat diidentifikasi atau jika perdarahan menetap meskipun sudah di kauterisasi, pasang tampon anterior a. Tampon hidung Merocel dapat digunakan. Lumasi ujung tampon dengan lidokain atau antibiotik topikal dan masukkan alat sepanjang dasar rongga hidung. Perluasan dan tampon peradahan akan terjadi dengan dimasukkannya 10-20 mL salin. b. Kasa xerofom selebar ½ inci ( diperlukan strip 72 inci ) juga dapat digunakan, menggunakan forsceps, jepit kasa sepanjang 4 atau 5 inci dan masukkan ke dalam rongga hidung sejauh mungkin, kemudian pegang kassa lain 4-5 inci dan buat lapisan di puncak. (Shah 2013)
20
2.5. KONSEP EPINEPRHINE 2.5.1. Pengertian Epinephrine adalah obat yang digunakan untuk penyuntikan pembuluh darah dalam pengobatan hipersensitivitas akut. Aksi epinephrine menyerupai pengaruh stimulasi syaraf adrenergic.
2.5.2. Indikasi: Digunakan untuk mengobati anaphylaxis dan sepsis.
2.5.3. Dosis: 1. 1-10 mcg/menit infus intra vena 2. Tetapkan kadarnya untuk mengoptimalkan respon.
2.5.4. Efek Samping: 1. Efek Central
Venous
(palpitasi,
tachycardia,
kedinginan,
hipertensi, hipotensi); Efek Central Nervus System ( kecemasan, kelelahan, gemetar, lemah, kepeningan, pusing ); Efek lainnya (berkeringat, hipersalivasi) 2. Overdosis atau pada subjek yang rentan: Cardiac arrhythmias, peningkatan BP (blood pressure) yang tajam.
21
2.5.5. Instruksi Khusus: 1. Hipovolemia, metabolic acidosis dan hipoxia atau hipercapnia harus ditangani terlebih dahulu sebelum pemberian dilakukan. 2. Hindari pada pasien dengan pheochromocytoma. 3. Gunakan
dengan
hati-hati
pada
pasien
yang
menderita
arrhythmias atau tachycardia, Printzmetal's angina, gangguan thromboembolic, pasien dengan riwayat occlusive vascular disease, hipertensi, pada pasien yang lebih tua dan pasien pengidap DM ( Diabetes Mellitus ) (Neal 2006).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Fokus Penelitian
Pertolongan pertama pada penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine
Pengalaman perawat
3.2 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Saryono & Anggraeni (2010) penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenali nilai, opini, perilaku dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Sedangkan pendekatan fenomenologis merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasinya yang khusus (Sutopo 2006). Fenomenologi adalah menggambarkan riwayat hidup seseorang dengan cara menguraikan arti dan makna hidup serta pengalaman suatu peristiwa yang dialaminya. Penelitian ini dilakukan dalam situasi penelitian yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang diteliti. Dengan demikian cara fenomenologis menekankan pada berbagai aspek subyektif dari perilaku manusia supaya 22
23
dapat memahami tentang bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa di dalam kehidupan informan sehari – harinya (Sutopo 2006). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengeksplorasi pertolongan pertama dalam penatalaksanaan epistaksis dengan mengunakan tamponade epinephrine di ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta sesuai dengan pengalaman perawat. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan kepada perawat ICU untuk mengungkapkan pengalaman mereka dalam pertolongan pertama pada epistaksis.
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat ditentukan
benar-benar
menggambarkan
kondisi
informan
yang
sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi informan dengan lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono & Anggraeni 2010). 1.5.1 Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta terhadap perawat dan telah memenuhi kriteria penelitian yang telah ditetapkan oleh peneliti. Alasan dilakukan penelitian ini dikarenakan belum pernah dilakukan penelitian serupa mengenai pengalaman
24
perawat dalam pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan
tamponade
epinephrine.
Perawat
yang
pernah
melakukan tamponade adalah perawat dengan masa jabatan 2 tahun atau lebih sesuai hasil studi pendahuluan, sehingga hal ini sangat membantu peneliti untuk mendapatkan informan yang sesuai. 1.5.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rentang waktu 1 bulan, dimulai pada bulan Februari – bulan Maret 2014.
3.4 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam 2011). Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian melalui purposive sampling. Purposive sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili sampel yang ada (Nursalam 2011). Saryono & Anggraeni (2010) konsep sampel dalam penelitian kualitatif berkaitan dengan bagaimana memilih informan atau situasi sosial tertentu yang dapat memberikan informasi yang adekuat dan terpercaya mengenai elemen-elemen yang ada yang akan diteliti. Penelitian fenomenologi sampel yang diambil adalah sampel yang pernah mengalami substansi yang akan diteliti, yang artinya sampel tersebut pernah mengalami sesuatu hal yang akan diteliti oleh peneliti. Penelitian kualitatif sampel diartikan sebagai partisipan / informan.
25
Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat yang pernah melakukan tamponade epinephrine dalam penatalaksanaan epistaksis. Pengambilan dan rekrutmen partisipan dilakukan dengan cara purposive sampling, yang mana penelitian mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan
pribadi,
dan
karakteristik
empiris
yang
dihadapi.
Kecenderungan peneliti untuk memilih informasinya berdasarkan posisi dengan akses terentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya menjadi sumber data yang akurat (Sutopo 2006). Fokus penelitian ini adalah perawat ICU dengan masa jabatan 2 tahun atau dan pernah melakukan tamponade epinephrine. Partisipan yang terpilih untuk mengikuti penelitian adalah individu yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1) Perawat di Ruang ICU RS Panti Waluyo Surakarta. 2) Pernah
melakukan
tindakan
tamponade
epinephrine
dalam
penatalaksanaan epistaksis. 3) Masa jabatan 2 tahun atau lebih Penentuan partisipan penelitian berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama karena penelitian ini berbentuk penggambaran terhadap pengalaman, sampel penelitian yang tidak terlalu besar akan sangat mendukung kedalaman hasil penelitian; kedua sampel penelitian dipilih secara purposive sampling sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan parameter penarikan partisipan yang terdiri dari latar, perilaku, peristiwa dan proses; ketiga penentuan jumlah
26
partisipan dianggap telah memadai pada saat informasi yang didapat telah mencapai saturasi ( Saryono & Anggraeni 2010 ). Perekrutan partisipan dimulai dengan mengidentifikasi nama – nama partisipan yang didapatkan dengan wawancara langsung. Pendapat Saryono & Anggraeni (2010) bahwa fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman dan proses sehingga pada penelitian ini hanya melibatkan jumlah partisipan yang sedikit ( sebanyak 5 – 8 orang ). Jumlah sampel yang relatif kecil pada umumnya digunakan pada suatu penelitian kualitatif untuk mengeksplor atau menggali pengalaman yang diungkapkan sesuai perasaan subyek. Pertemuan dengan setiap partisipan dilakukan secara bertahap. Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 3 orang, karena 3 dari 12 perawat ICU yang memenuhi sesuai dengan kriteria yang telah dibuat dan jawaban dari ketiga partisipan tersebut sudah mencapai saturasi.
3.5. Pengumpulan Data Saryono & Anggraeni (2010) dalam proses pengumpulan data penelitian kualitatif, manusia berfungsi sebagai instrumen utama penelitian. Meskipun demikian,
pada
pengumpulan data.
pelaksanaannya
peneliti
dibantu
oleh
pedoman
27
3.5.1
Cara pengumpulan data Dalam penelitian kualitatif terdapat banyak cara yang dipakai untuk mengumpulkan data, cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pedoman menurut Saryono & Anggraeni (2010) : 1) Wawancara Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (In-depth interview). Wawancara mendalam (In-depth
interview) adalah proses
memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. 2) Dokumen Sejumlah besar data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Penelitian ini mengambil sumber data dari dokumen SOP
ICU
yang
bertujuan
untuk
mengetahui
standar
penatalaksanaan epistaksis. 3). Observasi Sutopo (2006) observasi dibagi menjadi dua yaitu observasi tak berperan dan observasi berperan. Observasi berperan meliputi
28
observasi berperan pasif, observasi berperan aktif, dan observasi berperan penuh (Sutopo 2006). Pada penelitian ini pengolahan data termasuk kedalam observasi berperan penuh. Jenis observasi ini diartikan bahwa peneliti memang memiliki peran dalam lokasi studinya, sehingga benar-benar terlibat dalam suatu kegiatan yang ditelitinya (Sutopo 2006). Observasi dilakukan untuk mengetahui dan mendapatkan data mengenai hal – hal yang dapat dinilai secara obyektif dari perawat, namun observasi bisa dilakukan ketika perawat menemui kasus epistaksis.
3.5.2
Alat Pengumpul Data Alat pengumpul data penelitian terdiri dari : 1) Alat tulis. 2) Lembar catatan lapangan yang meliputi: nama, umur, alamat dan lama bekerja. 3) Lembar transkrip wawanca dan pertanyaan. 4) Tape recorder atau rekam suara
29
3.5.3
Tahap Pengumpulan Data 1) Tahap Orientasi Pengumpulan data biodata segera dilakukan setelah peneliti memperoleh izin dari Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Setelah menentukan partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian dan mendiskusikannya dengan kepala ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Kemudian peneliti bertemu langsung dengan partisipan sesuai dengan jadwal wawancara yang telah disepakati
atau
menghubungi
lewat
telepon untuk
menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, hak – hak partisipan serta peran partisipan dalam penelitian. Setelah membina hubungan saling percaya, kemudian peneliti
menanyakan
kesediaan
partisipan
untuk
menjadi
partisipan dalam penelitian ini. Jika partisipan bersedia menjadi partisipan dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti membuat perjanjian tempat dan waktu dilakukannya wawancara. Partisipan / informan menandatangani lembar persetujuan (informed consent) sebagai tanda bahwa partisipan bersedia menjadi informan dalam penelitian ini.
30
2) Tahap Pelaksanaan Setelah peneliti membuat perjanjian dengan partisipan dan partisipan bersedia untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini, tindakan selanjutnya adalah wawancara mendalam dengan salah satu partisipan dan melakukan ujicoba penelitian pada partisipan tersebut. Ujicoba dilakukan
setelah peneliti
menghubungi
partisipan dan melakukan kontrak waktu serta tempat. Peneliti memberikan pertanyaan
kepada
responden sesuai
dengan
pedoman wawancara yang telah dibuat pada saat persiapan, pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan jawaban partisipan. Setelah wawancara selesai, peneliti segera melakukan transkripsi hasil wawancara dan melakukan konsultasi dengan pembimbing tentang pertanyaan yang mungkin perlu untuk dikembangkan dan ditambahkan. Ujicoba
pedoman
wawancara
juga
melatih
kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara mendalam untuk menggali pengalaman dalam penatalaksanaan epistaksis. Pedoman wawancara dibuat berdasarkan The World Helath Organization Quality of Life (WHOQOL) Bref (2004) yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, dengan berbagai macam pengembangan sesuai dengan keadaan partisipan.
31
Peneliti mulai melakukan pengambilan data partisipan setelah selesai
melakukan
kepada
modifikasi pedoman
wawancara hasil ujicoba dan melakukan konsultasi kepada dosen pembimbing. Peneliti menemui partisipan yang datang sesuai dengan jadwal dinas atau menghubungi partisipan melalui telepon dan memberikan penjelasan mengenai penelitian selanjutnya. Peneliti menggunakan alat bantu perekaman wawancara. Setelah itu peneliti mulai melakukan pengumpulan data pada kunjungan yang pertama. Peneliti memulai proses pengambilan data dengan pertanyaan terbuka dan bersifat umum tentang kabar dan aktivitas sehari – hari agar partisipan merasa diperhatikan dan akrab dengan
peneliti.
Wawancara
dilakukan
dengan
pedoman
wawancara namun tidak bersifat kaku karena pertanyaan dapat berkembang sesuai dengan proses yang belangsung selama wawancara, dengan tanpa meninggalkan landasan teori yang telah ditetapkan
dalam
penelitian.
Hal
ini
bertujuan
untuk
memungkinkan peneliti mendapatkan respon yang luas dari partisipan. Informasi yang disampaikan partisipan terbebas dari pengaruh orang lain, karena informasi tersebut diperoleh langsung dari sumbernya. Jumlah pertemuan antar peneliti dengan partisipan bervariasi antara dua hingga tiga kali pertemuan. Peneliti selalu menggali pertanyaan partisipan sehingga jika pada saat pertemuan pertama belum tercapai semua tujuan penelitian
32
maka peneliti dan partisipan membuat kesepakatan waktu dan tempat untuk pertemuan yang selanjutnya. Wawancara kedua dilakukan setelah semua data dari hasil wawancara pertama telah dibuat dalam suatu transkrip data dan peneliti telah mengidentifikasi berbagai kemungkinan tema sementara dari berbagai pengalaman yang dideskripsikan para partisipan. Selama wawancara ini, partisipan diminta untuk mengkonfirmasi
tema-tema
yang
sementara
dihasilkan
berhubungan dengan pengalaman mereka berdasarkan intepretasi data yang telah dibuat oleh peneliti. Pada kesempatan ini peneliti dapat membuat perbaikan atau koreksi jika terdapat berbagai kesenjangan dari data yang diperoleh pada wawancara pertama. Pada wawancara kedua ini juga penting dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada para partisipan melakukan verifikasi / konfirmasi, memperluas dan menambah deskripsi mereka dari pengalaman – pengalaman mereka untuk lebih menambah keakuratan dari penelitian ini.
3.5.4. Analisa Data Analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode fenomenologi deskriptif dengan metode Colaizzi (Polit & Back 2006), adapun langkah – langkah analisa data adalah sebagai berikut :
33
3.6.1.
Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman perawat sebagai partisipan yang diteliti yaitu mengenai pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine.
3.6.2.
Peneliti mengumpulkan gambaran fenomena yang pernah terjadi pada partisipan berupa pengalaman perawat dalam penatalaksanaan epistaksis.
3.6.3.
Peneliti membaca semua protokol atau transkrip untuk mendapatkan perasaan yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi pernyataan partisipan yang relevan. Serta membaca transkrip secara berulang – ulang hingga ditemukan kata kunci dari pernyataan – pernyataan.
3.6.4.
Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan ke dalam tema. 1) Merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protokol asli untuk memvalidasi 2) Memperhatikan perbedaan
antara
satu kelompok
dengan
kelompok yang lain dan menghindari perbedaan diantara kelompok tema tersebut. 3.6.5.
Peneliti mengintepretasikan hasil kedalam deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti.
3.6.6.
Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai pernyataan tegas dan diidentifikasi kembali.
34
3.6.7.
Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir / verifikasi tema-tema dan peneliti tidak mendapatkan data tambahan baru selama verifikasi.
3.7. Validitas dan Reliabilitas Triangulasi merupakan cara yang paling umum digunakan untuk peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006). Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi Focus Group Discusion jika memungkinkan semua dari partisipan dapat dikumpulkan dalam satu waktu, mengingat jadwal dinas masing-masing partisipan berbeda. Jika FGD tidak dapat dilakukan maka penelitian ini menggunakan triangulasi 1. Triangulasi Sumber Teknik ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data, peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang berbedabeda yang tersedia. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda, sehingga apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenaranya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya. Penelitian
ini
menggunakan
triangulasi
sumber
pada
pembahasan penyebab epistaksis yang diungkapakan oleh partisipan 1 yaitu gangguan polip. Peneliti mengembalikan kembali kepada
35
partisipan pada pernyataan yang diungkapkan oleh partisipan 1 bahwa penyebab epistaksis yaitu gangguan polip. 2. Triangulasi Metode Teknik triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Disini yang ditekankan adalah penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya. Penelitian
ini
menggunakan
metode
kualitatif
dengan
fenomenologi, berdasarkan fenomena yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta mengenai penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine dan menggunakan teknik indepth interview sehingga peneliti dapat menggali lebih dalam informasi yang ingin diketahui serta mengembangkan pertanyaan sesuai dengan situasi dan kondisi ketiga partisipan. 3. Triangulasi Peneliti Triangulasi peneliti adalah hasil penelitian baik data ataupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Dari pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan dan bahkan sampai dengan simpulan-simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi
36
pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir penelitian. Penelitian ini merekomendasikan pada penelitian yang sudah ada yang didapat dari beberapa jurnal, salah satunya jurnal Bestari J Budiman, 2011 yang meneliti adakah hubungan epistaksis dengan hipertensi. Hasil wawancara pada tema penyebab epistaksis adanya faktor dari dalam yang sesuai pernyataan partisipan 1 bahwa penyebab epistaksis dari dalam atau faktor dari dalam dapat berupa hipertensi. 4. Triangulasi Teori Triangulasi
jenis
ini
dilakukan
olehpeneliti
dengan
menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Pada triangulasi inipeneliti
wajib
memahami teori-teori yang digunakan dan keterkaitannya dengan permasalahan yang diteliti sehingga mampu menghasilkan simpulan yang lebih mantap, bisa dipertanggungjawabkan dan benar-benar memiliki makna yang mendalam serta bersifat multiperspektif. Peneliti juga dapat menggunakan satu teori khusus yang digunakan sebagai fokus utama dari kajiannya secara lebih mendalam daripada teori yang lain yang juga digunakan (Sutopo 2006) Tinjauan pustaka pada penelitian ini adalah dari berbagai sumber buku mengenai epistaksis dari Soepardi, Efiaty et al. 2002 dan penatalaksanaan kegawatdaruratan dari Callaham, Michael L et al.
37
1997 yang membahas mengenai teori sebagai landasan peneliti yang sudah dijelaskan di BAB II pada penelitian ini.
3.8. Etika Penelitian Etika penelitian adalah suatu sistem nilai normal yang harus dipatuhi oleh peneliti saat melakukan aktivitas penelitian yang melibatkan responden, meliputi kebebasan dari adanya ancaman, kebebasan dari adanya eksploitasi keuntungan dari penelitian tersebut, dan resiko yang didapatkan (Polit & Hungler 2005). Etika pada penelitian ini antara lain : 1.
Meminta izin kepada Direktur Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sekaligus memberikan pejelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
2.
Menempatkan ketiga partisipan bukan sebagai objek melainkan orang yang sama derajatnya dengan peneliti.
3.
Menghargai, menghormati dan patuh terhadap semua peraturan, norma dan nilai dari partisipan.
4.
Memegang segala rahasia yang berkaitan dengan informasi yang diberikan.
5.
Informasi tentang ketiga partisipan tidak dipublikasikan bila ketiga partisipan tidak menghendaki, termasuk nama ketiga partisipan tidak akan dicantumkan dalam laporan penelitian.
38
Peneliti
meyakini
bahwa
partisipan
harus
dilindungi
dengan
memperhatikan aspek – aspek : self determination, privacy, anonymity, informed consent, dan protections for discomfort (Polit & Hungler 2005) : 1.
Self determination Partisipan diberikan kebebasan untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian secara sukarela. Peneliti memberikan kebebasan kepada partisipan untuk ikut berpartisipasi. Peneliti
memberikan
penjelasan
kepada ketiga
partisipan mengenai tujuan dan manfaat penelitian yang dilakukan. Peneliti juga menjelaskan bahwa ketiga partisipan yang mengikuti penelitian tidak dipungut biaya apapun, seluruh biasaya sudah ditanggung peneliti. 2.
Informed consent Peneliti menegaskan kembali mengenai maksud dan tujuan, setelah ketiga partisipan mengerti, peneliti memberikan lembar Informed consent kepada ketiga partisipan.
3.
Privacy Selama dan sesudah penelitian, privacy responden dijaga secara benar, ketiga partisipan diberlakukan sama, peneliti akan menjaga kerahasiaan partisipan dari informasi yang diberikan dan hanya digunakan untuk kegiatan penelitian serta tidak akan dipublikasikan tanpa izin dari partisipan.
39
4.
Anonymity Nama partisipan selama penelitian tidak digunakan melainkan diganti dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari partisipan ini digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan partisipan dan mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukkan data. Penelitian ini menggunakan mana inisial dalam menjaga kerahasiaan ketiga partisipan yaitu Tn. J, Ny. D dan Ny. Y.
5.
Protections for discomfort Selama
pengambilan
data
penelitian,
peneliti
memberi
kenyamanan pada ketiga partisipan dengan mengambil tempat wawancara sesuai dengan keinginan partisipan. Sehingga partisipan dapat leluasa tanpa ada pengaruh lingkungan untuk mengungkapkan masalah yang alami. Penelitian ini menggunakan teknik in-depth interview dan pada pelaksanaannya peneliti menjalin hubungan saling percaya kepada ketiga partisipan dan menggunakan komunikasi terapeutik yang diterapkan dalam suasana yang santai atau rileks . Peneliti melakukan wawancara kepada ketiga partisipan di ruang perawat secara face to face dengan jarak pandang antara peneliti dengan partisipan kurang lebih 1 meter, dengan posisi duduk dan berhadapan. Pada saat wawancara berlangsung terkadang partisipan meminta ijin untuk menangani pasien yang darurat dan partisipan berkenan apabila wawancara dilanjutkan setelah selesai menangani pasien.
40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan menguraikan tentang hasil penelitian tentang pengalaman perawat mengenai pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis menggunakan tamponade epinephrine dalam memberikan asuhan keperawatan di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta kemudian akan dibahas berdasarkan literatur. Hasil penelitian diuraikan menjadi dua bagian, bagian yang pertama menjelaskan karakteristik partisipan yang terlibat dalam penelitian secara singkat, bagian yang kedua menguraikan hasil tematik tentang pengalaman partisipan.
4.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta berdiri pada tanggal 1 September 1937 dengan nama Balai Pengobatan Panti Waloejo, atas prakarsa dari para bidan dan juru rawat ( Vroedvrouwen, Verpleegsteres & Verpleegers Kristen, yang disingkat PVK) RS. Zending (Sekarang RSUD. Dr. Moewardi Surakarta) dan atas bantuan Mr. Soemardi dan Mr. Moch. Daljono. Pada tanggal 1 Januari 1955 menjadi Perhimpunan Pengobatan Kristen Panti Waluyo, dan menggabungkan diri dengan JRSK Djateng sebagai RB. Panti Waluyo, dengan kapasitas 25 tempat tidur. Sejak tahun 1980, RB. Panti Waluyo telah menjadi rumah sakit unit kerja YAKKUM dalam jajaran YAKKUM Cabang Surakarta dengan kapasitas 100 tempat tidur.
40
41
Pada tahun 1998, sesuai dengan peraturan pemerintah RS Panti Waluyo Surakarta telah terakreditasi sebagai rumah sakit tipe C dengan kapasitas lebih dari 160 tempat tidur, hingga sekarang telah mencapai lebih dari 200 tempat tidur dan mempunyai kurang lebih 30 tenaga dokter umum, 41 tenaga dokter spesialis, 10 tenaga dokter gigi, 200 perawat, 50 tenaga paramedis non perawat dan 119 tenaga non medis. Dengan motto cepat tepat memuaskan dan slogan SEGA (Sentuhan Kekeluargaan) sehingga Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta mempunyai visi menjadi rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan prima dan profesional berdasarkan kasih, sedangkan misinya adalah menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang holistik secara terpadu, berkualitas dan professional. Ruang Intensif Care Unit (ICU) yang ada di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta dibangun pada tahun 1995. Kapasitas tempat tidur di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta pasien adalah 8 tempat tidur dan 1 kamar isolasi. Jumlah perawat yaitu sebanyak 10 orang perawat yang berlatar belakang pendidikan meliputi DIII keperawatan, Perawat yang bekerja di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta dipilih berdasarkan kriteria tertentu, yaitu pendidikan minimal DIII dan mempunyai sertifikat pelatihan ICU. Kriteria pasien yang masuk ke ruang ICU adalah kelompok pasien yang kritis yang memerlukan terapi intensif dan tertitrasi, seperti:, dukungan, bantuan ventilasi, alat penunjang fungsi organ sistem yang lain, infus obat-obat vasoaktif/ inotropik, obat anti aritmia, serta pengobatan lain-lainnya secara kontinyu dan tertitrasi.
42
Kriteria pasien isolasi adalah kriteria pasien yang memerlukan pelayanan pemantauan canggih di ruang lCU, sebab sangat berisiko bila tidak mendapatkan terapi intensif segera misalnya pasien dengan luka bakar. Pasien tersebut memerlukan perawatan yang lebih intensif karena beresiko untuk terkena infeksi dari luar, untuk paisen yang berada di kriteria ini di tempatkan di ruangan khusus dimana hanya di tempati oleh satu pasien saja.
4.2 Karakteristik Partisipan 4.2.1 Partisipan 1 Tn.J berjenis kelamin laki-laki dan berumur 42 tahun, pendidikan terakhir Tn.J yaitu D III Keperawatan. Pengalaman pekerjaan Tn.J selama kurang lebih sudah hampir 20 tahun bekerja di ruang ICU, dan Tn.J sudah menjadi Pegawai Tetap. Sebelum Tn.J diruang ICU Tn. J pertama kali di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta di IGD selama 2 tahunan. Tn. J adalah seorang kepala ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta.Tn. J bekerja di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sejak tahun 1993 dan bekerja di ruang ICU sejak tahun 1995 nan. Tn. J sudah pernah menangani kasus epistaksis. Tn. J mengikuti pelatihan – pelatihan ICU sudah beberapa kali. 4.2.2 Partisipan 2 Ny. D berjenis kelamin perempuan dan berumur 37 tahun, pendidikan terakhir Ny. D yaitu D III Keperawatan. Ny. D adalah seorang perawat di ruang ICU. Ny. D mempunyai pengalaman kerja selama 11 tahun baik di ruang ICU.
43
Ny. D mengikuti pelatihan ICU kurang lebih 3 kali pelatihan. Ny. D sudah pernah menangani beberapa kasus epistaksis. 4.2.3 Partisipan 3 Ny.Y berjenis kelamin perempuan dan berumur 33 tahun, pendidikan terakhir D III Keperawatan , pernah mengikuti pelatihan ICU dan Ny.Y bekerja selama kurang lebih 3 tahun di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Sebelum Ny.Y bekerja sebagai perawat di ruang ICU Ia bekerja sebagai perawat di IGD Panti Waluyo dan sebelum bekerja di Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta beliau bekerja di salah satu Rumah Sakit sekitar solo juga. Setelah itu Ny. Y bekerja di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta selama kurang lebih 3 tahun ini. Ny. Y menangani kasus epistaksis sudah sekitar 5 kali.
4.3 Hasil Penelitian 4.3.1 Pengalaman Perawat Beberapa tema dalam pengalaman perawat didapatkan sub tema : 1) Lama bekerja > 2 tahun 2) Perasaan selama dinas di ruang ICU 3) Pengalaman di ruang ICU a. Lama Bekerja > 2 tahun Dalam kategori lama bekerja perawat ini dapat ditemukan dalam ungkapan partisipan sebagai berikut : “......hampir 20 tahunan,,” “...... sejak tahun 1995-an “(P01)
44
”......pokoknya dari tahun 2003 ....” (P02) “.....tiga tahun,mbak...” (P03) Hasil wawancara peneliti dengan partisipan, semua partisipan mengetahui bahwa lama bekerja partisipan di ruang ICU lebih dari 2 tahun. Namun demikian pada pengakuan partisipan yang lama bekerjanya sampai puluhan tahun. Hal ini memungkinkan pengalaman perawat lebih banyak dan kasus- kasus yang ditemui lebih variatif. b. Perasaan selama dinas di ruang ICU Tema ini dapat ditemukan dalam pernyataan ketiga partisipan tentang perasaan selama dinas di ruang ICU adalah : 1) Ada suka ada sedih 2) Menegangkan 3) Menyenangkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini : “ Ya..kalau ditanya masalah perasaan saat dinas ya macem – macem, mbak..ada sukanya ada sedihnya......”( P01 ) ”kalau perasaannya ya selalu menenggangkan yo mbak...” (P02) ”....ya ..cukup menyenangkan,,......” ( P03 )
Pengalaman merupakan kejadian yang pernah dialami seseorang. Ketiga partisipan mengungkapkan perasaan selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta, mereka juga mengungkapkan perasaan senang ada pula yang membuat perasaan susah,,tiap partisipan mempunyai cara sendiri dalam mengungkapkan perasaan tersebut. Partisipan 1 mengungkapkan perasaan senangnya karena dapat menolong pasien dan pasien bisa sembuh, sedangkan sedihnya apabila pasien ditak dapat tertolong. Partisipan 2 mengungkapkan
45
selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta perasaannya selalu menegangkan, karena kasus yang ditemui selama ini adalah kasus gawat darurat atau emergency. Partisipan 3 mengungkapkan cukup menyenangkan karena sudah terbiasa dengan kasus yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta jadi tidak ada hambatan. c. Pengalaman mengesankan di ruang ICU Sub tema dalam pengalaman perawat didapatkan : 1) Pasien sembuh 2) Kasus yang ditemukan menarik 3 ) Peka terhadap pasien 4 ) Pasien meninggal. Sub tema ini dapat ditemukan dalam ungkapan ketiga partisipan yang telah menceritakan pengalaman selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sangat beragam dari lama bekerja, pengalaman yang paling mengesankan dan kasus – kasus yang sudah ditangani oleh setiap partisipan . Hal ini ungkapan partisipan sebagai berikut : ”ya,,,semuanya sih mengesankan, ....” “......kasus yang kami tangani menarik semua,,...” (P01) ”...kalau yang menyenangkan ya,,pasien bisa pulang dengan sembuh,,..” “.... yang menyedihkan i,,yoo,,nek nggak bisa menolong atau pasiennya meninggal,, ..”( P02 ) “ya,,,,untuk pengalamannya kita lebih peka saja dengan pasien “...,,tanggap gitu aja....” ( P03 )
Beberapa pernyataan tentang pengalaman mengesankan selama dinas di ruang ICU, dapat diketahui bahwa pengalaman perawat selama dinas di ruang ICU beragam dengan beberapa analisa. Contoh kasus mengesankan yang diungkapkan oleh ketiga partisipan, berikut ungkapannya:
46
“....satu minggu yang lalu ada pasien dengan luka bakar sampai 85 %,,,,itu kami tangani dan kami rawat menggunakan mebo itu lho mbak,,sudah ada perubahannya,,dan ada juga kemarin yang trauma di wajahh, , pasien mimisan terus menerus,,ya tindakan kami dengan tampon epinephrine itu, mbak...” ( P01 ) “...kalau yang menyenangkan ya,,pasien bisa pulang dengan sembuh,,dengan kondisi yang lebih baik daripada waktu dikirim kesini,,teruuuss yang menyedihkan i,,yoo,,nek nggak bisa menolong atau pasiennya meninggal,,karena kebanyakan pasien meninggal disini itu karena,,dirujuk kesininya wes jelek.”(P02) “...kalau pasien yang datang ke kita itu sudah jelek.,seperti satu bulan yang lalu kami terima pasien bayi dari bidan,,usianya empat bulan dengan dehidrasi berat,,sesampainya di sini nggak ada 10 menit sudah meninggal,,,,saat di rujuk kesini orang kondisi sudah jelek ya,,mau di kasih tindakan apapun tidak bisa tertolong,,ya,,kita itu mbak,,tinggal motivasi ke pasien,,ke keluarganya,, “....kondisi di rujuknya kesini sudah jelek duluan,itu sih mbak yang,,yang ap ya,,,menjadikan beban moral,,”( P03 ) Pada partisipan 1 dan 3 mengungkapkan secara jelas gambaran kasus yang pernah ditangani, yaitu pada pasien dengan luka bakar 85% yang diberikan terapi mebo dan pasien tersebut juga mengalami trauma di wajah dan mengalami epistaksis. Untuk terapi epistaksisnya menggunakan tamponade epinephrine, seperti yang diungkapakan partisipan 1. Sedangkan partisipan 2 menggambarkan dengan pasien bayi usia empat bulan, pasien tersebut rujukan dari salah satu rumah sakit dan datang ke ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sudah dalam keadaan jelek. Kemudian pada partisipan 2, hanya mengungkapkan secara umum dari pasien yang sudah ditangani.
4.3.2 Pengertian Epistaksis
47
Dari kategori pengertian epistaksis ini didapatkan sub tema : 1) Mimisan di hidung 2) Pecahnya pembuluh darah di hidung a.
Mimisan
Dari partisipan 1 mengungkapkan bahwa epistaksis disebut juga dengan mimisan, berikut ungkapannya :
“...epistaksis itu sendiri kan ..mmm...mimisen itu ya,,”(P01 )
biasanya
ada yang
disebut
juga
b. Pecahnya pembuluh darah di hidung Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pengertian dari epistaksis itu sendiri adalah pecahnya pembuluh darah di hidung, berikut ungkapannya : “..mimisen itu sendiri kan pecahnya pembuluh darah pada hidung”(P01) “...epistaksis itu kan pecahnya pembuluh darah ya mbak..” ( P02 ) “.Epistaksis itu kan pecahnya pmbuluh darah di hidung ya”( P03 )
4.3.3 Penyebab Epistaksis Epistaksis adalah kondisi klinis dengan berbagai variasi penyebabnya. Pada tema penyebab epistaksis, didapatkan sub tema : 1) Hipertensi 2) Gangguan polip 3) Trauma anterior maupun posterior 4) Trauma wajah a. Faktor penyebab epistaksis adalah hipertensi, berikut ungkapannya: “...mimisen ada penyebabnya itu mbak,,,kalau yang dari dalam itu kan ada hipertensi,.”( P01 )
Partisipan 1 mengungkapkan bahwa penyebab epistaksis dari dalam bisa berupa hipertensi. Ada hubungan epistaksis dengan hipertensi, hal ini terdapat di dalam
48
jurnal dari Bestari 2011, hipertensi merupakan faktor sistemik dari epistaksis. Teori dari Herkner, dkk ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi, yang pertama pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal. Yang kedua, pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior. Teori Knopfholz, dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis. Sedangkan Herkner dkk (2002) bahwa angka kejadian epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada pasien dengan riwayat hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan beratnya derajat hipertensi. b. Penyebab epistaksis yaitu gangguan Polip, berikut ungkapannya : “....gangguan polip...” ( P01 )
Partisipan 1 mengungkapkan penyebab dari epistaksis sesuai kasus yang partisipan selama ini temui di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta adalah gangguan polip, yang mana gangguan polip tersebut biasanya diatasi dengan operasi ringan.
49
c.
Penyebab epistaksis yaitu trauma anterior maupun posterior, berikut ungkapannya: “..tapi kalau yang dari luar,,kan ada trauma ya mbak,,dan trauma itu sendiri kan dibagi menjadi dua,,dibagian anterior dan posterior. Lha selama ini kita memberikan tamponade yang berani itu dibagian anterior, bagian depan..”( P01 )
Partisipan 1 mengungkapkan bahwa faktor penyebab dari luar epistaksis adalah trauma di bagian anterior dan di bagian posterior. Partisipan 1 mengungkapkan selama dinas di ruang ICU, kasus yang biasanya terjadi adalah epistaksis di bagian anterior bagian depan. Penyebab epistaksis di bagian posterior biasanya harus segera dikonsulkan ke dokter THT, karena letak anatominya di bagian belakang hidung. Jurnal Bestari, Yolazenia 2012 dijelaskan bahwa pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan dari hidung yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. d. Trauma wajah Ketiga partisipan mengungkapkan penyebab dari epistaksis karena adanya trauma di wajah,berikut ungkapannya: “..karena adanya trauma wajah,,( P02 ) “..yang biasa kami temui selama ini adanya trauma di wajah..” (P03 ) Partisipan 1, 2 dan 3 mengungkapkan penyebab dari epistaksis yang selama dinas di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sering ditemui adalah adanya trauma di wajah. Trauma di wajah dapat menyebabkan epistaksis berulang dan harus segera diatasi perdarahan pada hidung agar tidak terjadi komplikasi. Jurnal Bestari, Al hafiz 2011 dipaparkan bahwa penyebab epistaksis selain trauma
50
diwajah adalah faktor lokal yang meliputi: Trauma nasal; obat semprot hidung (nasal spray), penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Jadi penyebab dari epistaksis berdasarkan dari pernyataan yang diungkapkan oleh ketiga partisipan ada dua yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam misalnya, hipertensi, gangguan polip. Sedangakan faktor dari luar karena adanya trauma wajah, dan juga trauma dibagian anterior dan posterior. Pada umumnya
kasus epistaksis yang ditemukan di ruang ICU
penyebabnya karena adanya trauma di bagian anterior, hidung bagian depan. 4.3.4 Penatalaksanaan Epistaksis Dari beberapa tema didapatkan sub tema : 1) Pernah menangani kasus epistaksis 2) Pertolongan pertama pada epistaksis 3 ) alat dan bahan 4) obat yang biasa digunakan a. Pernah menangani epistaksis Dari sub tema tersebut ketiga partisipan pernah menangani kasus epistaksis. Hal ini ditemukan dalam ungkapan Partisipan sebagai berikut : ”ya,,pernah to mbakk,,akan tetapi untuk berapa kalinya,,waduhh,,,sudah tak terhitung mbak – mbak,,heeeeheee” (P01) ”Walah.,,walahh...piro ya mbak,,udah tak terhitung mbak,,mung q ning kene wis 11 tahunan to mau..”(P02) ”iya,,mbak saya pernah,,.”, “selama ini mbak,,kurang lebih ya sekitar 5 kali nan lah,,.” ( P03 )
Partisipan 1 dan 2 mengungkapkan pernah menangani kasus epistaksis sudah tidak terhitung lagi, dikarenakan juga lama bekerja yang sudah 11 tahunan.
51
Sedangkan partisipan 3 mengungkapkan pernah menangani kasus epistaksis kurang lebih 5 kali. b. Pertolongan Pertama Sub tema pertolongan pertama adalah : 1) Tampon kassa 2) Tampon epinephrine Ketiga partisipan juga mengungkapkan bahwa tindakan yang dilakukan hanya bersifat sementara dan hanya pertolongan pertamanya saja. Hal ini dapat ditemukan dalam ungkapan partisipan sebagai berikut : “...ada yang Cuma pakai tampon kassa steril,,” ( P01 ) “....kita kasih tampon epinephrine...”( P01 ) ” ...biasanya dengan tampon..,,tampon menggunakan epinerine...” (P02 ) “...kalau kita disini biasanya pake epinephine,, selama ini dengan tampon mbak,,tampon epinephrine.... ” ( P03 )
Pada partisipan 1 mengungkapkan pertolongn pertama pada kasus epistaksis memakai kassa steril, apabila masih rembes atau perdarahannya belum berhenti segera di tampon dengan
menggunakan epinephrine. Partisipan 2 dan 3
mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada epistaksis dengan tampon epinephrine. c. Alat dan bahan Perawat juga harus memperhatian alat dan bahan apa saja yang digunakan dalam penatalaksanaan epistaksis: 1) Satu ampul epinephrine 2) Handscoon 3) Masker 4) Aquabides 5) Kassa steril 6) Kom kecil 7) Pinset 8) Spuit, hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan sebagai berikut :
52
1)
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine merupakan bahan
yang digunakan dalam pelaksanaan tamponade epinephrine. Satu ampul epinephrine sama dengan 5 mg, berikut ungkapan ketiga partisipan:
”,,1 ampul epinephrine..”( P01 ) “...,,epineprine satu ampul,..”( P02 ) “....epineprin satu ampul,..”( P03 )
2)
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa handscoon merupakan alat
pelindung diri yang digunakan untuk mencegah infeksi nosokomial, berikut ungkapannya:
“...handscoon,,” ( P01 ) “...handscoon,,” ( P02 ) “...handscoon,,” ( P03)
3)
Ketiga partisipan mengungkapkan alat pelindung diri selain handscoon
yaitu masker, berikut ungkapannya:
“..masker...” ( P01 ) “..masker...” ( P02 ) “..masker...” ( P03) 4)
Partisipan 1 dan 3 mengungkapkan bahwa bahan untuk mengoplos
epinephrine adalah aquabides, berikut ungkapannya:
53
“...aquabides,,” ( P01 ) “..aquabides, ( P03 ) 5)
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa kassa yang steril juga digunakan
sebagai bahan untuk menampon epistaksis, berikut ungkapannya: “....kasaa ..steril...” ( P01 ) “...kassa sterill..” (P02 ) ”..,,kasaa,.. tadi kassanya kassa streril ya,,..” ( P03 )
6)
Partisipan 1 dan 2 mengungkapkan bahwa untuk mengoplos epinephrine
dan aquabides menggunakan kom kecil, berikut ungkapannya: “...kom kecil,,...” ( P01 ) “...paling cuman kom..”( P02 )
7)
Ketiga partisipan menggungkapkan bahwa menggunakan pinset untuk
memasukkan kassa yang sudah diperas ke hidung dengan perlahan, berikut ungkapannya:
“...pinset,,..” ( P01 ) “..pinset....umtuk memasukkan kassanya..”( P02 ) “..pinset..” ( P03 )
8) Partisipan 3 mengungkapkan bahwa spuit juga digunakan untuk mengukur aquabides yang dioplos dengan epinephrine, berikut ungkapannya: “...spuit..” ( P03 )
54
d. Obat yang digunakan Dalam penatalaksanaan epistaksis selain obat yang untuk menampon yaitu epinephrine, ada obat yang biasa digunakan untuk mencegah perdarahan yaitu : 1) vitamin K 2) Kalnex. Hal ini sesuai ungkapan Partisipan sebagai berikut : 1)
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa vitamin K bisa mencegah
perdarahan, berikut ungkapannya:
”obat selain tampon epinephrine ini , ya.. vit. K ..”( P01 ) “...vit.K udah itu saja sih biasanya,,” ( P02 ) “mmm,,obat yang lainnya sihh,,biasanya ,,vit.K..” ( P03 )
2)
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa selain vitamin K juga ada kalnex
untuk mencegah perdarahan, berikut ungkapannya:
“...dan kalnex” ( P01 ) ”...obatnya selain epinephrune mbak?obatnya ya,,,itu,kalnex ..”( P02 ) “...dan kalnex ya mbak,, ” ( P03 ) 4.3.5 Fungsi Tamponade Epinephrine Tema tamponade epinephrine didapatkan sub tema sebagai berikut : 1) Fungsi epinephrine 2) Keefektifan 3) Cara tamponade 4) Keuntungan . Hal tersebut juga diungkapkan oleh partisipan berikut: a.
Fungsi epinephrine
Sub tema fungsi epinephrine dalam setiap obat yang akan perawat berikan kepada pasien,harus mengerti juga cara kerja obat tersebut dan fungsinya sehingga dapat
55
sesuai dengan kebutuhan pasien. Pada kasus epistaksis, epinephrine digunakan sebagai : 1) Pacu jantung 2) Vasokontriksi pembuluh darah. Hal tersebut juga diungkapkan oleh partisipan berikut: 1)
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine pada kardiovaskuler
biasanya untuk obat pacu jantung, berikut ungkapannya:
“..epinephrine itu kan obat pacu jantung,,mbak,,”( P01 ) ”kalau,,cara kerja nya ya itu,,mmmm,,,,untuk pacu jantung,,.” ( P02 ) ”Wah,untuk cara kerja dan fungsinya sih,,kalau di jantung ya,,untuk pacu jantung mbak,..”( P03 )
2) Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine pada epistaksis sebagai vasokontriksi pembuluh darah, berikut ungkapannya:
“ ...sebagai vasokontriksi,,pada pembuluh darah,,” (P01 ) ”jika pada epistaksis itu,,,,sebagai vasokotriksi,,..” ( P02 ) ” .......pada hidung ini untuk menghentikan perdarahan sementara,,” ”........fungsinya untuk menyempitkan pembuluh darah,,sebagai vasokontiksi,,di hidung,,.. ,,.” ( P03 )
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine selain untuk obat kardiovaskular sebagi obat pacu jantung juga untuk menghambat perdarahan yang juga berfungsi untuk vasokontriksi pembuluh darah pada kasus epistaksis. b.
Keefektifan
Didalam penggunaan obat kita juga perlu mensurvey ulang dan melakukan observasi ulang setiap kita memberikan obat baik sebelum maupun sesudah
56
memberikan. Dan penggunaan tamponade epinephrine pada pasien epistaksis sangat efektif. Hal ini diungkapkan oleh partisipan sebagai berikut: ”ya sangat efektiff,,mbak,,dalam artian ( efektif pada saat pertolongan pertamanya saja )..” ( P01 ) ”ya,,,mmm,,efektif mbak,,selama ini itu kita gunakan kok,.” ( P02 ) “Kalau....mmm,,efektif nggaknya,,jelas efektif,,karena kenyataaan dilapangan memang bisa menghentikan perdarahan ya mbak,, ,,.” ( P03 )
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongn pertama menggunakan tamponade epinephrine sangat efektif pada pasien dengan epistaksis. c.
Cara tamponade
Cara untuk menampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis ada beberapa pendapat menurut pengalaman ketiga partisipan, akan tetapi pada dasarnya sama,yaitu : 1) Posisi setengah duduk 2) Menengadah 3) Kassa yang dibasahi dengan epinephrine 4) Kemudian di masukkan ke dalam hidung. Hal ini diungkapkan partisipan sebagi berikut : 1)
Posisi setengah duduk
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa cara menampon yang pertama adalah memposisikan pasien setengah duduk, berikut ungkapannya:
“ untuk posisi kepalanya ,,posisi kepala ,,,mm...itu yg bnr harusnya setengah duduk,,sebenarnya kalau pada pasien yang sadar duduk”( P01 ) “...atau setengah duduk..” ( P02 ) “..yang paling penting kita posisikan si pasien itu ndangak mbak...”( P03 ) 2)
Menengadah
57
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa selain memposisikan pasien dengan setengah duduk adalah posisi kepala menengadah, berikut ungkapannya:
“...sambil kepala menengadah atau agak ndangak gitu,,”( P01 ) “...kemudian kita posisikan pasien dengan kepala menengadah ..”( P02 ) “...dengan kepala kita sangga di bagian janggut e....”( P03 )
3)
Kassa yang dibasahi dengan epinephrine
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa sebelum memasukkan kassa ke dalam hidung, kassa dibasahi dengan epinephrine yang sudah dioplos dengan aquabides, berikut ungkapannya:
“.....kemudian kasa kita rendam ..”( P01 ) “....peras kasaa,,yang sudah terendam dikom ( P02 ) “....kemudian kita rendam kassa sterilnya di kom,,kita rendam dengan epineprinenya dan dicampur atau dioplos dengan aquabides,,( P03 ) 4) Kemudian di masukkan ke dalam hidung Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa setelah kassa di peras, kemudian dimasukkan ke dalam hidung dengan perlahan. Berikut ungkapannya: “....langsung kita masukkan ke hidung pelan – pelan..dengan pinsett....” ( P01 ) “....kemudian masukkan ke pinsett,....”( P02 )
hidung dengan
pelan
menggunakan
“.....kita peras to mbak,,kita masukkan pelan – pelan ke hidung,,anterior ya,,dengan pinset kita masukkannya mbak,,tapi memang harus hati hati sekali karena di situ banyak serabut pembuluh darah yang kecil – kecil,.....”( P03 )
58
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa cara tamponade menggunakan epinephrine adalah menyiapkan alat dan bahan, kemudian memakai alat pelindung diri. Kassa steril di rendam kedalam kom yang sudah berisi epinephrine satu ampul dan aquabides 10 cc, kemudian di peras sampai setengah basah. Kassa yang sudah diperas kemudian di masukkan ke dalam hidung menggunakan pinset dan harus dengan pelan – pelan. d.
Keuntungan
Dalam melakukan tindakan tamponade epinephrine ada beberapa keuntungannya yaitu: 1) Harga ekonomis 2) Tersedia di ruang ICU. Hal tersebut diungkapkan partisipan sebagai berikut : 1)
Harga ekonomis
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa harga epinephrine yang relatif murah menjadi
keuntungan
dalam
tindakan
tamponade
epinephrine,
berikut
ungkapannya: “...harga yang dibebankan ke administrasi pasien juga ekonomis,.”( P01 ) “....selain harga murah terjangkau,,..” ( P02 ) “....,,harga ekonomis,,..” ( P03 ) 2)
Tersedia di ruang ICU
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa epinephrine tersedia disetiap ruang ICU, berikut ungkapannya: ”.....epinephrine mudah dicarinya,,kalau di ICU, ( P01 ) ”......ya setiap ruang ICU pasti ada epineprine,,jadi mudah kita dapatkan,,...” ( P02 ) ”.....ya,,seperti yang saya bilang tadi mbak pasti ada di rung ICU seluruh rumah sakit,,...”( P03 )
59
4.4
Pembahasan
4.4.1 Pengalaman Perawat Dari hasil wawancara, partisipan mengungkapkan pengalamannya masing – masing secara terperinci, meskipun waktunya terbatas karena harus melayani pasien yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Pada saat partisipan mngungkapkan pengalamannya sesuai kasus yang partisipan temui, dengan riwayat pasien yang berbeda pada partisipan 1 dan 3. Sedangkan partisipan 2 lebih mengungkapkan pengalamannya secara gambaran umumnya saja. Pengalaman yang di dapat patisipan berdasarkan lama bekerja, perasaan saat di dinas diruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta dan pengalaman yang mengesankan. Di tinjau dari lama bekerja partisipan tidak menjadi perbedaan yang signifikan. Karena partisipan 3 dengan lama bekerja di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta tiga tahun, partisipan juga mengungkapkan kasus pasien yang pernah ditangani. Ketiga parisipan juga mengungkapkan hal yang sama mengenai perasaan saaat dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta yaitu ada suka dan dukanya. Ungkapan ketiga partisipan mengenai pengalaman juga sama dengan teori yaitu, Pengalaman kata dasarnya ”alami” yang artinya mengalami, melakoni, menempuh, menemui, mengarungi, menghadapi, menyeberangi, menanggung, mendapat, menyelami, mengenyam, menikmati, dan merasakan ( Endarmoko, 2006 ). Bahwa ketiga partisipan juga mengalami, merasakan dan mendapat suatu
60
pengalaman dari fenomena yang ada di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Ketiga partisipan dan juga perawat di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta pernah mengikuti pelatihan – pelatihan ICU, akan tetapi tiap partisipan berbeda untuk frekuensi mengikuti pelatihannya. Perawat yang ada merupakan tenaga kesehatan yang mampu dalam melayani dan merawat klien serta melakukan tindakan sesuai ilmu yang sudak diperoleh di pendidikan yang ditempuh. Hal ini juga tertera di Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992 menyebutkan bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
4.4.2 Pengertian Epistaksis Hasil wawancara dengan ketiga partisipan, mengungkapkan bahwa epistaksis juga disebut dengan mimisan dan epistaksis merupakan pecahnya pembuluh darah di hidung. Pernyataan partisipan ini juga ada di dalam teori, bahwa epistaksis atau perdarahan hidung adalah jenis perdarahan spontan patologis yang sering. Biasanya terjadi sebagai erosi spontan salah satu pembuluh superfisial mukosa dekat dengan tepi septum hidung. ( Callaham, 1997 )
4.4.3 Penyebab Epistaksis
61
Hasil wawancara ketiga partisipan mengatakan bahwa penyebab dari epistaksis adanya trauma di wajah, dan satu partisipan juga ada yang mengungkapkan bahwa trauma diwajah adalah penyebab dari luar sedangkan penyebab dari dalam adalah hipertensi,gangguan polip dan trauma anterior maupun posterior. Sumber lain menyebutkan dua faktor faktor penyebab lokal maupun umum atau kelainan sistemik pada epistaksis. Penyebab lokal epistaksis dapat berupa: Idiopatik ( 85 % kasus ), biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja, trauma epistaksis dapat terjadi setelah membuang ingus dengan kuat, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofacial, Iritasi , zat kimia udara panas pada mukosa hidung, benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk. Sedangkan penyebab sitemik atau penyebab umum epistaksis berupa : Penyakit kardiovaskuler, misalnya hipertensi. ( Soepardi et al. 2000 ). Partisipan 1 mengungkapkan bahwa penyebab epistaksis dari dalam bisa berupa hipertensi. Ada hubungan epistaksis dengan hipertensi, hal ini terdapat di dalam jurnal dari Bestari 2011 , hipertensi merupakan faktor sistemik dari epistaksis. Teori dari Herkner, dkk ada dua hipotesis yang menerangkan kenapa epistaksis dapat terjadi pada pasien dengan hipertensi, yang pertama pasien dengan hipertensi yang lama memiliki kerusakan pembuluh darah yang kronis. Hal ini berisiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang abnormal. Yang kedua, pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang pada bagian hidung yang kaya dengan persarafan autonom
62
yaitu bagian pertengahan posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferior. Teori Knopfholz, dkk mengatakan hipertensi tidak berhubungan dengan beratnya epistaksis yang terjadi. Tetapi hipertensi terbukti dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksis. Sedangkan Herkner dkk (2002) bahwa angka kejadian epistaksis pasca operasi mengalami peningkatan pada pasien dengan riwayat hipertensi yang lama. Tidak ditemukan hubungan dengan beratnya derajat hipertensi. Partisipan 1 mengungkapkan penyebab dari epistaksis sesuai kasus yang partisipan selama ini temui di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta adalah gangguan polip, yang mana gangguan polip tersebut biasanya diatasi dengan operasi ringan. Partisipan 2 juga mengungkapkan pasien post operasi polip mengalami perdarahan di hidung secara berulang. Partisipan 1 mengungkapkan bahwa faktor penyebab dari luar epistaksis adalah trauma
di bagian anterior dan di bagian posterior. Partisipan 1
mengungkapkan selama dinas di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta, kasus yang biasanya terjadi adalah epistaksis di bagian anterior bagian depan. Penyebab epistaksis di bagian posterior biasanya harus segera dikonsulkan ke dokter THT, karena letak anatominya di bagian belakang hidung. Jurnal Bestari, Yolazenia 2012 di jelaskan bahwa pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan dari hidung yaitu dari bagian anterior dan bagian
63
posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach ( yang paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk, darah akan keluar melalui lubang hidung. Seringkali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi. Partisipan 1, 2 dan 3 mengungkapkan penyebab dari epistaksis yang selama dinas di ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta sering di temui adalah adanya trauma di wajah. Trauma di wajah dapat menyebabkan epistaksis berulang dan harus segera diatasi perdarahan pada hidung agar tidak terjadi komplikasi. Jurnal Bestari, Al hafiz 2011 dipaparkan bahwa penyebab epistaksis salah satunya adalah faktor lokal yang meliputi: Trauma nasal; obat semprot hidung (nasal spray), penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa; Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum; Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang. Jadi penyebab dari epistaksis berdasarkan dari pernyataan yang diungkapkan oleh ketiga partisipan ada dua yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam misalnya, hipertensi, gangguan polip. Sedangkan faktor
64
dari luar karena adanya trauma wajah, dan juga trauma dibagian anterior dan posterior. Pada umumnya kasus epistaksis yang ditemukan di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta penyebabnya karena adanya trauma di bagian anterior, hidung bagian depan. 4.4.4 Penatalaksanaan Epistaksis Hasil dari wawancara, ketiga partisipan pernah menangani kasus epistaksis yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan satu partisipan baru menangani kasus epistaksis sebanyak kurang lebih lima kali. Partisipan juga mengungkapkan bahwa obat yang biasa digunakan saat menangani kasus epistaksis selain menggunakan tampon epinephrine adalah dengan vitamin K dan Kalnex karena pada prinsipnya juga sama – sama menghentikan perdarahan. Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada epistaksis adalah menggunakan tamponade epinephrine, yang mana alat dan bahannya adalah sebagai berikut: satu ampul epinephrine, aquabides, kassa steril, kom kecil, pinset untuk membantu memasukkan kassa yang sudah di masukkan ke dalam kom yang berisi denagan aquabides dan epinephrine kemudian diperas dan di masukkan ke hidung sebagai tampon. Hal ini sesuai dengan teori yang ada bahwa ada
tiga prinsip utama dalam menanggulangi
epistaksis, yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. ( Soepardi 2002) Menghentikan perdarahan, sumber perdarahan dicari dengan bantuan pengisap untuk membersihkan hidung dan alat bekuan darah kemudian tampon kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2%
65
dimasukkan kedalam rongga hidung. Tampon dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya dibagian anterior atau di bagian posterior. ( Soepardi 2002 ) Tindakan sederhana untuk mengatasi perdarahan anterior adalah dengan memasukkan tampon yang telah dibasahi dengan adrenalin, kalau perlu dengan obat anestesi lokal kedalam rongga hidung kemudian menekan ala nasi kearah septum selama 3-5 menit. Setelah tampon dikeluarkan tepat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20 – 30 % atau dengan asam triklosetat 10 %. Dapat juga dipakai elektrokauter untuk kaustik itu. Dari teori yang ada dijelaskan bahwa, perdarahan di posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana. Pada tampon Bellocq terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah benang di sisi lainnya. (Irma & Ayu Intan 2013) Perlu diketahui juga bahwa pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia (Soepardi 2002). Apabila dengan tampon epinephrine perdarahan masih sukar untuk di hentikan lakukan pemeriksaan penunjang yaitu dengan pemeriksaan laboratorium misalnya : pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostasis, uji faal hati dan faal ginjal., pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring, CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma. (Soepardi et al.2000 )
66
4.4.5 Fungsi Tamponade Epinephrine Hasil dari
wawancara,
ketiga partisipan
tamponade menggunakan epinephrine
mengungkapkan bahwa
pada pasien epistaksis adalah sebagai
vasokontriksi, yaitu membantu menghentikan perdarahan yang terus menerus ataupun
menyempitkan
pembuluh
darah
di
hidung,
Pertisipan
juga
mengungkapkan bahwa tampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis sangat efektif, selain harga yang ekonomis juga pasti tersedia di setiap ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta. Teori yang sudah ada mengungkapkan bahwa, epinephrine adalah obat yang digunakan untuk penyuntikan pembuluh darah dalam pengobatan hipersensitivitas akut. Aksi epinephrine menyerupai pengaruh stimulasi syaraf adrenergic. ( Neal 2006 ) Untuk cara menamponnya sendiri dengan memperhatikan posisi kepala yaitu setengah duduk atau menengadah, kemudian satu ampul epinephrine dimasukkan ke dalam kom kecil, kemudian di campur denagn aquabides dan diperas lalu dimasukkan ke hidung menggunakan pinset. Perlu diketahui lagi bahwa Alat pelindung diri sangat penting. Hal ini juga disebutkan dalam teori , Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat diidentifikasi atau jika perdarahan menetap meskipun sudah di kauterisasi, pasang tampon anterior. Tampon hidung Merocel dapat digunakan. Lumasi ujung tampon dengan lidokain atau antibiotik topikal dan masukkan alat sepanjang dasar rongga hidung. Perluasan dan tampon peradahan akan terjadi dengan dimasukkannya 10-20 mL salin. Kemudian kasa xerofom selebar ½ inci ( diperlukan strip 72 inci ) juga dapat digunakan, menggunakan
67
forsceps, jepit kasa sepanjang 4 atau 5 inci dan masukkan ke dalam rongga hidung sejauh mungkin, kemudian pegang kassa lain 4-5 inci dan buat lapisan di puncak. (Shah 2013) Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari hasil pembahasan ketiga partisipan adalah pengalaman yang di dapat patisipan berdasarkan lama bekerja, perasaan saat di dinas dirung ICU dan pengalaman yang mengesankan. Di tinjau dari lama bekerja partisipan tidak menjadi perbedaan yang signifikan. Karena partisipan 3 dengan lama bekerja di ruang ICU tiga tahun, partisipan juga mengungkapkan kasus pasien yang pernah ditangani. Ketiga parisipan juga mengungkapkan hal yang sama mengenai perasaan saaat dinas diruang ICU yaitu ada suka dan dukanya. Ketiga partisipan mengungkapkan mengenai pengalaman bahwa ketiga partisipan juga mengalami, merasakan dan mendapat suatu pengalaman dari fenomena yang ada di ruang ICU sesuai dengan teori Endarmoko 2006 . Ketiga partisipan dan juga perawat di ruang ICU Rumah Sakit Panti Waluyo Surakarta pernah mengikuti pelatihan – pelatihan ICU, akan tetapi tiap partisipan berbeda untuk frekuensi mengikuti pelatihannya. Perawat yang ada merupakan tenaga kesehatan yang mampu dalam melayani dan merawat klien serta melakukan tindakan sesuai ilmu yang sudak diperoleh di pendidikan yang ditempuh. Hal ini juga tertera di Undang-undang Kesehatan No 23, Tahun 1992 menyebutkan bahwa perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan dalam melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan.
68
Hasil wawancara dengan ketiga partisipan, mengungkapkan bahwa epistaksis juga disebut dengan mimisan dan epistaksis merupakan pecahnya pembuluh darah di hidung. Hasil wawancara ketiga partisipan mengatakan bahwa penyebab dari epistaksis adanya trauma di wajah, dan satu partisipan juga ada yang mengungkapkan bahwa trauma diwajah adalah penyebab dari luar sedangkan penyebab dari dalam adalah hipertensi,gangguan polip dan trauma anterior maupun posterior. Hasil dari wawancara, ketiga partisipan pernah menangani kasus epistaksis yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, dan satu partisipan baru menangani kasus epistaksis sebanyak kurang lebih lima kali. Partisipan juga mengungkapkan bahwa obat yang biasa digunakan saat menangani kasus epistaksis selain menggunakan tampon epinephrine adalah dengan vitamin K dan Kalnex karena pada prinsipnya juga sama – sama menghentikan perdarahan. Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa pertolongan pertama pada epistaksis adalah menggunakan tamponade epinephrine, yang mana alat dan bahannya adalah sebagai berikut: satu ampul epinephrine, aquabides, kassa steril, kom kecil, pinset untuk membantu memasukkan kassa yang sudah di masukkan ke dalam kom yang berisi denagan aquabides dan epinephrine kemudian diperas dan di masukkan ke hidung sebagai tampon. Hasil dari
wawancara,
ketiga partisipan
tamponade menggunakan epinephrine
mengungkapkan bahwa
pada pasien epistaksis adalah sebagai
vasokontriksi, yaitu membantu menghentikan perdarahan yang terus menerus ataupun
menyempitkan
pembuluh
darah
di
hidung,
Pertisipan
juga
69
mengungkapkan bahwa tampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis sangat efektif, selain harga yang ekonomis juga pasti tersedia di setiap ruang ICU. Cara menamponnya sendiri dengan memperhatikan posisi kepala yaitu setengah duduk atau menengadah, kemudian satu ampul epinephrine dimasukkan ke dalam kom kecil, kemudian di campur dengan aquabides dan diperas lalu dimasukkan ke hidung menggunakan pinset. Perlu diketahui lagi bahwa Alat pelindung diri sangat penting.
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pengalaman Perawat Beberapa tema dalam pengalaman perawat didapatkan sub tema yang pertama adalah lama bekerja perawat di ruang ICU lebih dari 2 tahun, yang kedua adalah perasaan selama dinas di ruang ICU. Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa perasaan selama dinas di ruang ICU ada suka ada sedih, menegangkan dan menyenangkan.
Ketiga adalah
pengalaman perawat di ruang ICU yang beragam yaitu apabila pasien pulang dengan sembuh, partisipan juga mengungkapkan bahwa kasus yang ditemukan menarik. Pengalaman perawat di ruang ICU yang lain adalah peka terhadap pasien dan cepat tanggap dalam penanganannya, kemudian pengalaman yang menyedihkan apabila pasien meninggal. 2. Pengertian epistaksis Pengertian epistaksis adalah pecahnya pembuluh darah di hidung serta disebut juga dengan mimisan.
70
71
3. Penyebab epistaksis Epistaksis adalah
kondisi
klinis
dengan
berbagai
variasi
penyebabnya. Beberapa penyebab epistaksis adalah hipertensi, gangguan polip, trauma anterior maupun posterior dan adanya trauma wajah. 4. Penatalaksanaan Epistaksis Penatalaksanaan epistaksis berdasarkan dari pernah menangani kasus epistaksis dan kira – kira sudah berapa kali menanganinya selama dinas di ruang ICU, pertolongan pertama pada pada saat terjadi epistaksis yaitu dengan tampon kassa dan tampon epinephrine yang mana tindakan tampon tersebut bersifat sementara dan hanya pertolongan pertamanya saja. Alat dan bahan yang digunakan dalam penatalaksanaan epistaksis adalah satu ampul epinephrine, handscoon, masker, aquabides, kassa steril, kom kecil, pinset dan spuit. Sedangkan obat obat yang biasa digunakan selain tampon menggunakan epinephrine adalah vitamin K dan kalnex. 5. Fungsi Tamponade Epinephrine Fungsi
tamponade
epinephrine
pada
kasus
epistaksis
di
kardiovaskuler adalah sebagai obat pacu jantung, sedangkan fungsi epinephrine pada kasus epistaksis sebagai vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan di hidung dapat dihentikan. Keefektifan dari tamponade menggunakan epinephrine adalah sangat efektif digunakan pada saat pertolongan pertama penatalaksanaan epistaksis. Cara untuk menampon menggunakan epinephrine pada pasien dengan epistaksis ada
72
beberapa pendapat menurut pengalaman ketiga partisipan, akan tetapi pada dasarnya sama, yang pertama dengan memposisikan pasien setengah duduk dengan kepala menengadah kemudian kassa yang dibasahi dengan epinephrine di masukkan ke dalam hidung. Keuntungan melakukan tindakan tamponade epinephrine pada pasien dengan epistaksis adalah harga satu ampul epinephrine yang ekonomis dan juga tersedia di ruang ICU. 5.2 Saran 1. Bagi perawat Intensif Care Unit lebih peka atau cepat tanggap dalam mengahadapi kasus – kasus yang terjadi di ruang Intensif Care Unit, khusunya pada pertolongan pertama pada penatalaksanaan epistaksis. 2. Bagi instansi rumah sakit apabila menemui kasus epistaksis, pertolongan pertamanya adalah dengan tamponade menggunakan epinephrine. Selain harga yang ekonomis,harga yang terjangkau dengan biaya yang akan dibebankan kepada administrasi pasien juga di setiap ruang ICU selalu tersedia,karena fungsinya selain untuk menghentikan perdarahan pada kasus epistaksis adalah untuk obat kardiovaskuler. 3. Bagi institusi pendidikan, dapat dijadikan bahan acuan dalam mata kuliah gawat darurat dalam penanganan kasus dengan epistaksis 4. Bagi peneliti selanjutnya bisa dilakukan penelitian “ keefektifan penggunaan
tamponade
epinephrine
pada
pertolongan
pertama
penatalaksaan epistaksis “, peneliti selanjutnya juga bisa dilakukan dengan metode penelitian kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA Bidasari L, Rina A C Saragih 2007, Tata Laksana Epistaksis Berulang Pada Anak, Vol. 9, No. 2, diakses 7 Desember 2013,
Budiman J Bestari, Al Hafiz 2011, Epistaksis Berulang dengan Rinosinusitis Kronik, Spina, pada Septum dan Telangiektasis, diakses 6 Desember 2013,
Budiman J Bestari, Yolazenia2012, Epistaksis dan Hipertensi, diakses 7 Desember 2013, {“http://jurnal.fk.unand.ac.id”}.
Callaham, Michael L et al. 1997, Seri Skema Diagnosis PenatalaksanaanGawat Darurat Medis, Binarupa Aksara, Jakarta.
dan
Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta.
Haryadi, Putra 2012, Asuhan Keperawatan Epistaksis, diakses 19 Desember 2013, putra hariyadi
Irma, Indah & Ayu Intan2013, Penyakit Gigi, Mulut dan THT, Nuha Medika, Yogyakarta.
Moleong, J Lexy 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Neal, Michael J 2006, At a Glance Farmakologi Medis, Erlangga, Jakarta.
Nursalam 2011, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Polit, DF & Beck, CT 2006, Essentials Of Nursing Research Methods, Appraisal, and Utilization, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Polit, DF & Hungler, BP 2005, Nursing Research : Principles and Methods, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Potter, PA & Perry, Ag 2005, Fundamental of Nursing concept, Process and Practice, 4th edition, Mosby Company, St Louis.
Saryono & Anggraeni, MD 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta.
Shah, Kaushal, 2013, Prosedur Penting dalam Kedaruratan, EGC, Jakarta.
Soepardi, Efiaty et al. 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Lehe edisi 5, FKUI, Jakarta.
Soepardi, Efiaty et al. 2000, Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan TelingaHidung-Tenggorok edisi 2, FKUI, Jakarta.
Sutopo, HB 2006, Metodologi Dasar Teori danTerapannya Dalam Penelitian, Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta.