PENGALAMAN KLIEN KONDISI TERMINAL: INFARK MIOKARD AKUT SELAMA DI RAWAT DI RUANG CARDIAC INTENSIF CARE UNIT (CICU) RSHS BANDUNG
LAPORAN AKHIR PENELITIAN Penelitian Mandiri, Sumber Dana Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2011
Oleh :
Ketua Anggota I Anggota II
: : :
Etika Emaliyawati, M.Kep Kusman Ibrahim, Ph.D Kurniawan Yudianto., M.Kep
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN TAHUN 2011
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN MANDIRI SUMBER DANA : FAKULTAS KEPERAWATAN TAHUN ANGGARAN 2011 1.
2.
3.
4. 5.
6. 7.
a. Judul penelitian
: Pengalaman Klien Kondisi Terminal: Infark Miokard Akut Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) RSHS Bandung b. Bidang Ilmu : Kesehatan c. Kategori : I Ketua Peneliti : a. Nama lengkap & gelar : Etika Emaliyawati., M.Kep b. Jenis kelamin : Perempuan c. Pangkat/Gol/NIP : IIIa/197707142007012002 d. Jabatan fungsional : Asisten Ahli e. Fakultas : Keperawatan f. Bidang ilmu yang diteliti : Keperawatan Jumlah anggota Peneliti : 2 orang a. Nama anggota peneliti I : Kusman Ibrahim., Ph.D b. Nama anggota peneliti II : Kurniawan Yudianto., M.Kep Lokasi Penelitian : RSHS Bandung Kerjasama dengan institusi lain: a. Nama Instansi : b. Alamat : c. Telepon/Faks/E-mail : Lama penelitian : 3 (tiga) bulan Biaya penelitian : Rp. 3.000.000,Bandung, 28 Desember 2011
Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Ketua Peneliti
Mamat Lukman, SKM, S.Kp, MSi. NIP. 19630314 198603 1 001
Etika Emaliyawati, S.Kep.,Ners.,M.Kep NIP. 197707142002012002
Menyetujui, Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran,
Neti Juniarti, S.Kp., M.Kes., MNurs NIP. 19770619 200312 2 001
ii
ABSTRAK Meningkatnya jumlah klien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan paliatif, disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (Kepmenkes, 2007) Infark miokard merupakan salah satu penyakit kondisi terminal yang memerlukan perawatan intensif. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung merupakan Rumah Sakit rujukan dan pendidikan yang memiliki fasilitas intensif bagi penyakit jantung koroner (salah satunya infark miokard) yang jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini tentu perlu mendapatkan perhatian karena kecenderungan trend penyakit sekarang ini. Jenis penelitian ini adalah kualitatif eksploratif, dengan jumlah informan klien 10 orang yang memenuhi kriteria inklusi yaitu klien dengan infark miokard akut, dirawat di ruang intensif dan kondisinya telah stabil yang dinyatakan dengan klien diperkenankan pulang oleh dokter penanggungjawabnya. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam setelah informan bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini. Hasil penelitian didapatkan tema-tema penelitian yang terbagi dalam 4 dimensi yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Untuk dimensi fisik didapatkan tema selama perawatan di ruang intensif seluruh informan menyatakan adanya nyeri dada dan sesak nafas. Pada dimensi psikologis didapatkan tema dari 10 orang informan seluruhnya menyatakan merasa tidak berdaya dan mengalami ketidakpastian menghadapi masa depan. Pada dimensi sosial didapatkan tema dari 10 orang informan 9 diantaranya menyatakan tidak dapat ditemani oleh keluarga, mengungkapkan pesan untuk kelangsungan hidup keluarga dan biaya yang besar untuk pengobatan. Sedangkan untuk dimensi spiritual didapatkan tema dari 10 orang informan seluruhnya menyatakan adanya ketakutan akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat). Hasil penelitian ini hendaknya menjadi rekomendasi dalam memberikan layanan kesehatan bagi klien kondisi terminal; infark miokard akut yang sedang menjalani perawatan intensif. Penting kiranya untuk dapat mengelola dan mengintegrasikan pelayanan perawatan pada pasien infark miokard akut yang sedang dirawat di unit intensif secara holistik meliputi fisik psikologis sosial dan spiritual.
Kata kunci: klien kondisi terminal, infark miokard akut, pengalaman perawatan, ruang intensif
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Illahi Rabbi, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir penelitian dengan judul “Pengalaman Klien Kondisi Terminal: Akut Miokard Infark Selama Di Rawat Di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) RSHS Bandung” Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan penelitian ini tidak terlepas dari peranan dan bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Mamat Lukman, S.KM, S.Kp, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. 2. Neti Juniarti, selaku Ketua Unit Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran. 3. Fakultas Keperawatan UNPAD, selaku sumber dana yang membiayai peneliti dalam melaksanakan penelitian ini. 4. Direktur RSHS Bandung yang telah memberikan ijin dan memberikan bantuan kepada peneliti dalam pelaksanaan penelitian. 5. Bidang Perawatan, Staf Bidang Keperawatan, dan Kepala Ruangan CICU RSHS Bandung
yang telah memfasilitasi peneliti dalam pelaksanaan
penelitian. 6. Alumni Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran di Ruang CICU RSHS Bandung yang telah membantu peneliti dalam proses pelaksanaan penelitian. Semoga amal baiknya mendapatkan pahala dan balasan dari Allah SWT. Tidak lupa penulis memohon maaf atas segala kekurangan. Akhir kata, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan kita semua, amien.....
Bandung, 28 Desember 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI Lembar Identitas Dan Pengesahan …………………………………………….... i Abstrak ……………………………………………………………………….…. ii Abstract …………………………………………………………………….……. iii Kata Pengantar ...........................................................................................……… iv Daftar Isi …………………………………………………………………….....… v Daftar Tabel …………………………………………………………….......…... vii Daftar Lampiran ……………………………………………………………...….viii 1. PENDAHULUAN .............................................. Error! Bookmark not defined. Latar Belakang ................................................. Error! Bookmark not defined. Perumusan Masalah …………………………………………………………..3 Definisi Istilah …………………….. …………………………………………3 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………4 Perawatan Klien Terminally Illness …………………………………………..4 Keluarga Klien Dengan Terminally Illness …………………………………...8 Perawatan Paliatif ……………………………………………………………12 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ……………………………….15 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………15 Kontribusi Penelitian .......................................................................................15 4. METODE PENELITIAN ..............................................................................17 Design Penelitian ........................................... Error! Bookmark not defined.7 Populasi dan Sampel ...................................... Error! Bookmark not defined.7 Teknik Pengumpulan Data ............................. Error! Bookmark not defined.8 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................ Error! Bookmark not defined.9 Hasil Penelitian .............................................. Error! Bookmark not defined.9 Pembahasan………………………………………………………………..…23 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................ Error! Bookmark not defined.5 Kesimpulan .................................................... Error! Bookmark not defined.5 Saran .............................................................. Error! Bookmark not defined.5 7. DAFTAR PUSTAKA....................................... Error! Bookmark not defined.6 LAMPIRAN v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3
Ijin Penelitian Instrumen Penelitian Riwayat Hidup Ketua dan Anggota Peneliti
vi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus klien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit penyakit terminal, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS memerlukan perawatan dan pelayanan kesehatan yang kompleks. Penyakit terminal (terminally Ill) merupakan istilah yang mulai dikenal pada abad ke-20. Penyakit ini untuk menjelaskan penyakit yang tidak bisa disembuhkan yang dapat mengakibatkan kematian bagi seseorang yang mengidapnya dalam waktu yang relatif singkat (Mc.Graw-Hill, 2002). Menurut Albrecht (2006) penyebab kematian tertinggi di dunia disebabkan karena penyakit jantung, kedua kanker, ketiga penyakit serebrovaskular dan ke empat adalah pneumonia/influenza. Riskesdas (2007) menuturkan di Indonesia sendiri penyebab kematian terbesar disebabkan karena penyakit jantung, stroke/cerebrovaskular, tuberkulosis, penyakit pernafasan, hipertensi, trauma, penyakit terminal, perinatal, diabetes melitus, dan diare. Dari beberapa penyebab kematian tersebut diantaranya disebabkan karena penyakit terminal/ terminally ill. Penyakit terminal ini merupakan salah satu penyakit yang termasuk ke dalam masalah kesehatan nasional karena jumlahnya semakin bertambah dari tahun ke tahun. Menurut Anthony, Dermot dan Stephen (2004) penyakit ini tidak hanya merupakan ancaman terhadap masalah kesehatan, tetapi selalu menjadi pertimbangan terhadap pembangunan khususnya pembangunan di bidang kesehatan. Adanya perubahan pola penyakit, tuntutan serta pengenalan teknologi di bidang kesehatan mengakibatkan pemerintah di seluruh dunia saat ini sedang menghadapi biaya pelayanan kesehatan yang sangat tinggi. Penyakit terminal merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang komplek, mulai dari penegakan diagnosa sampai dengan penanganan dan
1
perawatannya. Oleh karena itu perlu adanya pengukuran kebutuhan pelayanan kesehatan, biaya yang dikeluarkan, dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat (Bradshaw, 2010). Semua hal tersebut sangat penting karena akan sangat bermanfaat untuk membuat perencanaan dan pengembangan kebijakan kesehatan Ketika seorang klien divonis menderita suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan, seketika itu pula kematian sudah berada di pelupuk mata. Sebagai petugas kesehatan dalam hal ini sebagai perawat mempunyai tanggung jawab terhadap segala hal yang menyangkut diri klien, tentu hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada daya dan upaya untuk mengangkat klien dari kegelapan dan memberikan harapan walau hanya sementara. Harapan yang dimaksud disini bukanlah harapan untuk kesembuhan dari penyakit
yang diderita tetapi harapan untuk mendapatkan kenyamanan dan
dukungan dari lingkungan kepada diri klien dalam menghadapi penyakitnya. Dukungan bisa berupa pemberian semangat dari keluarga, petugas kesehatan, atau yang lainnya sehingga klien tidak merasa sendiri dalam menghadapi penyakitnya yang dapat merenggut kehidupannya. Kebanyakan penelitian dilakukan di rumah sakit terhadap orang-orang yang mengidap penyakit terminal. Studi etnografi yang dilakukan pada klien penyakit terminal ditemukan
bahwa perawatan pada klien dengan penyakit terminal
kurang mendapat perhatian terhadap kebutuhan kultur, status kognitif dari karakteristik klien dengan penyakit terminal (Jones, 2002). Didapatkan pula jumlah staf perawatan yang kurang menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi bagi staf perawatan dan adanya anggapan bahwa staf perawatan kurang pengalaman dalam memberikan perawatan kepada klien-klien terminal yang sedang menghadapi akhir hidup, rumah sakit sering terlambat membuat rujukan bahkan sama sekali tidak membuat rujukan untuk mencegah kejadian yang tidak diharapkan. Komunikasi yang tidak pantas, dan tidak cukup antara staf perawatan dan keluarganya merupakan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pengalaman perawatan (Wetle .et.all, 2005). Penelitian lain yang dilakukan pada klien dengan penyakit terminal yang berusia di atas 65 tahun dilakukan oleh Hawkins, et.all (2005) didapatkan bahwa sangat sedikit klien yang ingin menuliskan pilihan dan mandat perawatan medis
2
spesifik yang akan diikuti, tidak terkecuali ketika sudah mendekati kematian. Menurut Travis, et. all
(2005)
kebanyakan klien dengan penyakit terminal
terlambat mendapatkan perawatan yang disebabkan karena lambatnya keputusan yang diambil oleh klien ataupun pengambil keputusan lainnya (seperti keluarga). Di lain pihak juga karena sistem perawatan, aturan-aturan yang berlaku di tempat perawatan memang tidak mendukung terlaksananya perawatan tersebut. Dari faktor keagamanan/spiritual selama kehidupan didapatkan korelasi positif antara tingkat spiritualitas dengan kenyataan dalam menghadapi akhir hidup/ end of life terhadap klien terminal. Hal ini tidak berpengaruh terhadap keadaan sakit klien saat ini. Klien yang mendapatkan dukungan sosial agama selama hidup yang lebih tinggi menerima dukungan sosial yang lebih baik (Hays et. all. 2005). Dari faktor hubungan sosial ternyata didapatkan bahwa survival menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan teman-teman dan saudara kembar (Rasulo, D et. all. (9).2005). Menurut Kramer, et. all (2005) dari faktor ekonomi ternyata ada beberapa tantangan dalam menjalani perawatan akhir-hidup yaitu sifat dari penyakit kronis lanjut. Hal ini menimbulkan perlunya biaya yang besar dalam pengobatan, ketidakmampuan dari sistem pendukung dimana asuransi kesehatan tidak memenuhi semua kebutuhan klien dengan penyakit terminal. Penelitian yang dilakukan terhadap layanan kesehatan yang diberikan kepada klien dengan penyakit terminal diantaranya yang dilakukan oleh Wetle .et.all (2005) menyatakan bahwa staf perawatan kurang memperhatikan gejala, kebutuhan dan kesakitan pada waktu dying (proses end of life) dari klien, perawatan yang diberikan tidak memadai, di sini termasuk oleh dokter dan perawat. Staf profesional seperti dokter dan perawat tidak mengungkapkan tandatanda dari akhir kehidupan kepada keluarga. Wetle .et.all (2005) juga mengungkapkan bahwa ada perlakuan yang tidak pantas, terlambat dalam mengambil keputusan sehingga menimbukan penderitaan yang tidak perlu. Profesi dokter dilihat sebagai “missing in action”, tidak dan kurang memberikan informasi tentang keadaan klien yang sebenarnya, dan juga bermasalah dalam hal komunikasi sehingga menimbulkan banyak konflik,
3
perbedaan persepsi yang akhirnya semakin menyulitkan keluarga dalam pengambilan keputusan apa yang harus dilakukan terhadap anggota keluarganya. Penelitian-penelitian
tentang
klien dengan penyakit terminal banyak
dilakukan di negara-negara lain umumnya dilakukan di negara-negara Eropa dan USA. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan kondisi di Indonesia sendiri karena perbedaan kultur, etnis/ras, kepercayaan, cara pandang dari nilai-nilai yang dianut. Di Indonesia sendiri penelitian terkait mengenai klien terminal belum pernah ada yang melakukan. Baru ada kajian pustaka yang ditulis oleh Benyamin Lumenta (1997), yang menulis bahwa seorang dokter sangat sulit menentukan menyampaikan atau tidak mengenai kondisi penyakit klien yang tidak dapat disembuhkan atau klien berada dalam kondisi menjelang akhir hayat. Para dokter berpendapat klien dengan penyakit terminal ini harus ditangani secara kasuistik tetapi sulit dilakukan dikarenakan mereka tidak atau kurang mengenal setiap kliennya. Selain itu ada keterbatasan waktu untuk melakukan semua kajian tersebut. Padahal ini terkait dengan bagaimana sebaiknya memberikan perawatan pada klien dengan penyakit terminal yang akan menghadapi akhir hidupnya untuk memilih perawatan dan cara kematiannya secara terhormat dan bermartabat (Lumenta, 1997). Salah satu penyakit dengan kondisi terminal adalah akut miokard infark, penyakit yang disebabkan oleh adanya penyempitan pada lumen arteri koronoria ini menimbulkan nyeri hebat dan dapat menimbulkan kematian secara cepat bila tidak ditangani dengan segera. Penyakit ini menimbulkan kematian 400.000 – 500.000 orang/tahun di USA. Ketika klien telah melewati fase kritis dari penyakitnya pada waktu serangan, akut miokard infark masih menimbulkan resiko kematian khususnya pada 6 bulan pertama setelah serangan pertama. Penanganan dari penyakit ini adalah menangani nyeri dan penanganan terhadap sumbatan dari arteri koronaria, tetapi itu tidak mutlak menjadikan kondisi jantung klien menjadi lebih baik. Saat ini, pelayanan kesehatan di Indonesia terhadap klien dengan penyakit terminal sudah ada tetapi belum tertata dengan baik, dimana belum ada standar baku perawatan klien dengan penyakit terminal. Hal tersebut disebabkan karena
4
pemahaman dan pengetahuan, fasilitas dan ilmu yang terkait serta data-data mengenai perawatan klien penyakit terminal yang terbatas. Kebutuhan klien penyakit terminal terutama pada stadium lanjut prioritas pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi klien dan keluarganya. Di sini pentingnya integrasi perawatan pada klien dengan penyakit terminal, pelayanan kesehatan yang bersifat holistik dan terintegrasi dengan melibatkan berbagai profesi agar masalah fisik, psikososial dan spiritual dapat diatasi dengan baik, selain itu
setiap klien berhak
mendapatkan perawatan terbaik sampai akhir hayatnya. Dari uraian di atas , maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana pengalaman klien kondisi terminal; akut miokard infark selama di rawat di ruang intensif, karena pengetahuan penulis tentang hal-hal yang terkait dengan penyakit ini di Indonesia belum ada, maka peneliti melakukan penelitian kualitatif.
B. Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana pengalaman klien kondisi terminal; akut miokard infark selama di rawat di ruang cardiac intensif care unit (CICU) RSHS Bandung?
C. Definisi Istilah Penyakit terminal yaitu penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau cukup dirawat dan yang dapat mengakibatkan kematian klien dalam waktu yang relatif singkat dan dengan demikian memerlukan perawatan (Mc.GrawHill, 2002). Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P, Fraenkel L 2007). Ruang perawatan intensif atau intensif care unit (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga
5
kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus (Depkes, 1997) dan Owen SA (2009) Dalam penelitian ini, penyakit dengan kondisi terminal adalah penyakit jantung koroner yaitu infark miokard akut killip II, III dan sedang dirawat di ruang cardiac intensif care unit, yang telah mengalami perbaikan sehingga telah diperbolehkan pulang oleh dokter penanggung jawabnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Penyakit Terminal Konsep dari penyakit terminal ini akan di bahas dalam beberapa pokok bahasan yang terdiri dari pengertian penyakit terminal (terminally ill), konsep infark miokard itu sendiri dan karakteristik klien dengan kondisi terminal dari berbagai dimensi. -
Pengertian Penyakit Terminal (Terminally Ill) Terdapat beberapa definisi dari penyakit terminal diantaranya yaitu dari
American Cancer Society yang menyatakan bahwa penyakit terminal merupakan penyakit yang aktif dan progresif yang tidak ada lagi obat untuk mengatasinya dengan prognosis yang fatal. Hal ini didefinisikan sebagai penyakit yang tidak dapat diubah, yang akan mengakibatkan kematian dalam waktu dekat atau keadaan tidak sadarkan diri permanen dimana untuk pemulihan dari penyakitnya tidak mungkin. Beberapa contoh, antara lain, penyakit terminal termasuk penyakit terminal stadium lanjut, beberapa jenis cedera kepala, dan sindrom kegagalan organ multiple. Panjang harapan hidup dapat bervariasi dari entitas ke entitas. Selain itu didapatkan pula definisi penyakit terminal yaitu penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau cukup dirawat dan yang dapat mengakibatkan kematian klien dalam waktu yang relatif singkat dan dengan demikian memerlukan perawatan (Mc.Graw-Hill, 2002). Definisi penyakit terminal yang paling sesuai dalam penelitian ini adalah definisi tentang penyakit terminal dimana penyakit yang lebih sering digunakan untuk penyakit progresif seperti kanker atau penyakit jantung
6
daripada untuk
trauma. Dalam definisi lain, itu menunjukkan penyakit yang akan mengakhiri hidup penderita. Penyakit jantung yang termasuk kategori yang dapat mengakibatkan kematian adalah penyakit jantung coroner (Infark Miokard Akut), Cardiomyopathy karena dapat menyebabkan terjadinya arithmia dan sudden cardiac death, Heart failure (Fried TR, O'leary J, Van Ness P, Fraenkel L 2007). -
Konsep Infark Miokard Akut Konsep infark miokard akut ini akan dibahas mulai dari definisi,
dan manifestasi klienis yang mungkin muncul. Pengertian Infark miokard akut adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu, umumnya hal ini disebabkan adanya atherosklerosis pembuluh darah koroner. Area nekrosis akan menjadi jaringan parut yang kaku sedangkan miokard yang sehat dapat mengalami hipertrofi
dan
pemburukan hemodinamik akan terjadi bila iskemia berkepanjangan atau infark meluas. Patofisiologi terjadinya infark pada otot jantung sangat ditentukan oleh suplay oksigen yang adekuat. Dikatakan bahwa otot jantung merupakan organ yang sangat tergantung pada oksigen untuk mendapatkan energi. Kekurangan oksigen sedikit saja dalam waktu yang relatif singkat sudah dapat menimbulkan kerusakan miokard. Menurut Soeparman (1993) akibat adanya kerusakan miokard akan mengakibatkan disritmia terutama pada menit-menit atau jam-jam pertama setelah serangan. Hal ini disebabkan oleh perubahan-perubahan masa refrakter, daya hantar rangsangan dan kepekaan rangsangan.
Manifestasi klinis Tanda dan gejala dari infark miokard menurut Smeltzer, dkk (2004) adalah sebagai berikut: 1) Nyeri disebabkan oleh pengiriman oksigen yang tidak cukup ke miokardium. Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar ke leher, radang, lengan kiri, atau ke punggung dan terjadi ketika klien
7
aktif atau istirahat. Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan tidak hilang dengan istirahat atau pemberian terapi nitrat. Beberapa klien tidak mengalami nyeri tetapi mungkin merasa tidak nyaman, lemah, sesak napas. 2) Berkeringat dingin. Hal ini disebabkan karena stimulasi sistem syaraf simpatis dimana terjadi vasokontriksi (vasoconstriction) dari pembuluh darah. Pada pemerikasaan fisik, kulit klien pucat dan dingin. 3) Mual dan muntah. Diakibatkan dari stimulasi reflek dari pusat muntah akibat nyeri. Mual dan muntah ini dapat juga berasal dari reflek fasofagal yang berasal dari area miokardium infark. 4) Suhu meningkat dalam 24 jam pertama (38ºC dan terkadang 39ºC). Berakhir selama 1 minggu. Peningkatan suhu ini merupakan manifestasi klinis sistemik proses keadaan penyakit yang disebabkan oleh kematian sel miokardium infark. 5) Manifestasi kardiovaskuler. Tekanan darah dan denyut jantung mungkin meningkat pada awalnya. Kemudian tekanan darah karena cardiac out put berkurang, urine output dan mungkin terjadi oedema paru, keadaan ini berlangsung selama berjam-jam hingga beberapa hari. 6) Kecemasan dimana klien takut akan kematian. Klien sering ketakutan setelah mengalami serangan, dimana klien sering merasakan adanya nyeri dada yang hebat, khawatir penyakitnya tidak sembuh, dan mungkin juga ketakutan dengan seting ruang perawatan. Pada infark miokard, gangguan jantung telah dengan mudah dan bermanfaat diklasifikasikan oleh Killip dalam empat kelas, yaitu: I
: Tidak ada kegagalan
II
: Kegagalan ringan sampai sedang
III
: Edema pulmonal akut
IV
: Syok Kardiogenik Pada awalnya, kegagalan ringan (Killip kelas II) dan kronik sering
dicirikan dengan S3, peningkatan frekwensi jantung (biasanya irama sinus), dan kemungkinan crackles halus pasca batuk rejan (rale) pada dasar paru. Selain itu, bukti kongesti vaskular pulmonal (sering tanpa edema pulmonal)
8
sering terlihat pada rontenogram dada, peninggian tekanan vena jugularis dan disritmia mungkin ada: kontraksi atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter atrium, takikardi atrium paroksismal, dan irama pertemuan. Pasien mungkin merasa nyaman pada istirahat atau mengalami gejala curah jantung rendah atau kongesti vaskular pulmonal, gejala-gejala meningkat pada aktivitas. Edema pulmonal akut (Killip kelas III) adalah situasi yang mengancam hidup yang dicirikan oleh transudasi cairan dari kapilar pulmonal ke dalam area alveolar, dengan akibat dispneu ekstrem dan ansietas. Perawatan segera diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien. Syok Kardiogenik (Killip kelas IV) adalah sindroma kegagalan memompa yang paling mengancam dan dihubungkan dengan mortalitas paling tinggi, meskipun dengan perawatan yang agresif. Syok kardiogenik diketahui secara klinis melalui: Tekanan sistolik darah kurang dari 80 mmHg (sering tidak dapat diukur) Nadi lemah yang sering/cepat Kulit pucat, dingin dan berkeringat yang sering kali sianosis Gelisah, kekacauan mental, dan apatis Kemungkinan perubahan status mental Penurunan atau tak adanya haluaran urin Manifestasi syok ini menunjukkan ketidakadekuatan jantung sebagai pompa dan biasanya menunjukkan kerusakan dalam jumlah besar dari otot jantung (40% atau lebih massa ventrikel kiri). Pada beberapa pasien dengan hipertensi arteri jangka panjang bermakna akan mempunyai manifestasi syok kardiogenik pada tekanan normal secara relatif. Orang ini memerlukan tekanan tinggi untuk perfusi organ vital dan mempertahankan viabilitas. Pengetahuan tentang riwayat tekanan darah sebelumnya adalah pengenalan yang sangat penting terhadap orang ini. Tidak semua situasi klinis syok kardiogenik dihubungkan dengan curah jantung tidak adekuat. Tergantung pada perubahan situasi, seperti demam, curah jantung kadang-kadang
mungkin normal atau bahkan meningkat (Hudak
CM., Gallo BM, 1997a).
9
-
Karakteristik Klien dengan Infark Miokard Akut dalam Kondisi Terminal Karakteristik klien infark miokard akut dilihat dari sisi kebutuhan fisik,
psikologis, sosial, dan spiritual 1) Fisik Karakteristik klien dengan akut miokard infark adalah adanya keluhan sakit dada yang terutama dirasakan di daerah sternum, bisa menjalar ke dada kiri dan kanan, rahang, bahu kiri dan kanan pada satu atau kedua lengan. Digambarkan sebagai rasa tertekan, terhimpit, diremas dan rasa berat atau panas, kadang-kadang penderita melukiskannya hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Rasa sakit biasanya berlangsung lebih dari setengah jam, dan jarang ada hubungannya dengan aktifitas, serta tidak hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Jarang ada infark yang betul-betul tanpa rasa sakit. Bila sakit dada sudah dapat dikontrol, klien dapat tanpa keluhan sama sekali sampai pemulihan, tetapi pada sejumlah penderita dapat timbul berbagai penyulit. Penyulit yang paling sering adalah disritmia, renjatan kardiogenik dan gagal jantung. Rasa nyeri ini selanjutnya menyebabkan kecemasan atau stres pada klien terlihat dari adanya ketegangan dan ketakutan, gelisah, wajah tegang, pucat, serta berkeringat dingin. Padahal kecemasan atau stres itu, dapat memperberat kondisi jantung. 2) Sosial Kecemasan
yang
dirasakan
klien
Akut
Miokard
Infark
dapat
mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang terdekat untuk mendapatkan dukungan. Menurut Ahmad N, et all. (2006) bahwa gejala-gejala fisik dari klien dalam kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan juga depresi dan kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktorfaktor psikososial dan kultural yang beragam.
Pengkajian gejala distres
dengan demikian merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis, Cohen dan Mc Kay (1984) dalam Neil Niven (1994) menampilkan suatu model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah stres. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek
10
penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Ada tiga tipe mekanisme dukungan yang dapat mengurangi perasaan stres. (1) Dukungan nyata. Dukungan nyata merupakan paling efektif jika dihargai oleh penerima dengan tepat. Namun pemberian dukungan nyata yang berakibat pada perasaan ketidakadekuatan dan berhutang akan benar – benar menambah stres individu. (2) Dukungan pengharapan. Kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi individu akan ancaman. Dukungan sosial penyangga orang – orang untuk melawan stres dengan membantu mereka mendefinisikan kembali situasi tersebut terhadap ancaman kecil. Arahkanlah pada orang yang sama yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan bantuan. Dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping individu dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya dan mengajak orang – orang berfokus pada aspek yang lebih positif dari situasi tersebut. (3) Dukungan emosional. Jika stres mengurangi perasaan seseorang akan hal dimiliki dan dicintai, dukungan emosional dapat menghentikannya atau menguatkan perasaan – perasaan ini. Stres yang tidak terkontrol dapat berakibat pada hilangnya harga diri. Jika ini terjadi jaringan pendukung memainkan peran yang berarti dalam meningkatkan pendapat yang rendah terhadap diri sendiri. 3) Psikologis Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon pertama menurut Kubler & Ross (1970) adalah mereka mengalami mekanisme berupa upaya untuk mengatasi keadaan tersebut. Klien hendak membela diri terhadap informasi yang diterimanya tersebut, klien bersikap mengingkarinya yang segera diikuti dengan sikap menutup diri terhadap semua komunikasi. Klien tidak mau berhubungan lagi dengan dokter maupun perawat, menutup dirinya terhadap keluarga dan orang-orang lain di sekelilingnya. Sikap tadi dilanjutkan dengan menyatakan kemarahan terhadap orangorang yang ingin menemuinya. Akhirnya klien masuk ke fase tawar menawar,
11
klien menunjukkan keinginan untuk dapat sembuh kembali dan melanjutkan perannya dalam keluarga dan masyarakat. Tetapi keadaan penyakit yang dideritanya mendesaknya terus untuk memahami keparahan penyakitnya. Hal ini mengakibatkan akhirnya klien masuk ke fase depresi. Klien menjadi murung, cemas, dan ketakutan, tetapi pada akhirnya klien dapat menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan kembali. Klien telah memasuki proses yang tidak dapat dihindarinya menjelang akhir hayat. Kelima fase ini selalu disertai dengan adanya harapan tentang kesembuhan betapapun kecilnya. Menurut Glaser G (1972) setelah seseorang diberitahukan tentang penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Fase ini dapat berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama, lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya. Setelah itu klien dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan menerima keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti oleh perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi ini orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien. 4) Spiritual Klien akut miokard infark mengalami krisis yang berhubungan dengan perubahan patofisiologi, pengobatan yang diperlukan atau situasi yang mempengaruhi seseorang. Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan pada
kematian,
maka
keyakinan
spiritual
dan
sembahyang/berdoa lebih tinggi (Hamid, A.Y.S, 2000).
12
keinginan
untuk
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha kuasa dan maha pencipta. Menurut Burkhardt (1993) dalam Hamid, A.Y.S (2000) spiritualitas meliputi aspek-aspek (1) berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, (2) menemukan arti dan tujuan hidup, (3) menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri,(4) mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan yang maha tinggi. Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika menghadapi stres emosional, penyakit fisik atau kematian. Kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais & Wilkinsons, 1995; Murray & Zentner, 1993. dalam Hawari D, 2004). Pentingnya agama dalam kesehatan dilihat dari batasan organisasi kesehatan dunia (WHO, 1984) dalam Hawari D (2004) menyatakan bahwa aspek agama merupakan salah satu unsur dari pengertian sehat seutuhnya, yang dikenal dengan bio-psiko-sosial-spiritual. Dalam agama Islam ada doa dan dzikir, dari segi kesehatan jiwa doa dan dzikir mengandung unsur psikotherapeutik yang mendalam. Karena itu, psikoreligius tidak kalah pentingnya dibanding psikoterapi psikiatrik, karena ia mengandung kekuatan spiritual atau kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme. Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri dan optimisme merupakan hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit disamping obat – obatan dan tindakan medis lainnya (Hawari D, 2004). Dalam stadium yang demikian, klien membutuhkan hal-hal yang bersifat spiritual. Pemenuhan spiritual dan juga dorongan moril dari pihak keluarga amat menambah memperkuat “ego-strength” dan ketenangan jiwa yang bermanfaat bagi kesehatan jantung. -
Pasien Kritis Pasien kritis adalah pasien dengan perubahan fisiologi yang cepat
memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologi satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian (Rab T, 2007). Pasien kritis memiliki angka kesakitan
13
(morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) yang tinggi sehingga membutuhkan tindakan yang cepat dan tepat serta peralatan teknologi yang tinggi (canggih) (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009) Pasien yang dirawat di ruang intensif digolongkan dalam golongan prioritas tinggi dan prioritas rendah. Golongan prioritas tinggi adalah pasien kritis, tidak stabil, penyakitnya masih reversible, memerlukan perawatan intensif seperti ventilator, obat inotropik dan hemodialisa segera. Golongan prioritas rendah adalah pasien dengan kemungkinan memerlukan perawatan intensif, dan pasien-pasien yang penyakitnya irreversible tetapi mengalami kegawatan
bukan
karena
penyakit
dasarnya.
(FK-UNHAS,
Bagian
Anesthesiologi) -
Ruang Intensif Keperawatan kritis adalah berkaitan dengan respon dan masalah yang
mengancam keselamatan pasien seperti trauma, pembedahan yang besar atau komplikasi dari suatu penyakit (Marino PI, 2007). Ruang perawatan intensif atau intensif care unit (ICU) adalah unit perawatan khusus yang dikelola untuk merawat pasien sakit berat dan kritis, cedera dengan penyulit yang mengancam nyawa dengan melibatkan tenaga kesehatan terlatih, serta didukung dengan kelengkapan peralatan khusus (Depkes, 1997) dan Owen SA (2009) Ruang perawatan intensif
memimiliki ciri yaitu tenaga yang terlatih
sehingga mampu memberikan tindakan yang
tepat dan cepat (agresif),
menggunakan peralatan dengan teknologi yang tinggi (canggih), tindakan pemantauan invasif dan noninvasif serta penggunaan obat-obatan yang lebih banyak (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ, 2009). Perawatan intensif itu sendiri adalah bagian khusus dari sebuah rumah sakit yang memiliki peralatan, staf medis dan keperawatan, dan perlunya monitoring untuk memberikan perawatan intensif bagi pasien sakit kritis yang dilengkapi peralatan pendukung kehidupan bagi pasien-pasien dalam keadaan sakit parah dan bisa berakibat fatal termasuk termasuk sindrom gangguan pernapasan dewasa, gagal ginjal, kegagalan organ multiple, dan sepsis (Britannica Concise Encyclopedia).
14
Perawat yang bekerja di unit perawatan intensif adalah perawat yang mendapat pendidikan khusus sehingga memiliki skill dan dedikasi serta motivasi yang tinggi. Perawat tersebut harus bisa melakukan interpretasi keadaan pasien, mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang dapat mengancam jiwa, serta dapat bertindak mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam sebelum dokter datang (Owen SA, 2009). Asuhan Keperawatan Intensif adalah kegiatan praktik keperawatan intensif yang diberikan pada pasien kritis dan keluarganya. Asuhan keperawatan kritis membutuhkan kemampuan dalam menyesuaikan situasi kritis dengan kecepatan dan ketepatan yang tidak selalu dibutuhkan pada situasi keperawatan lain. Hal ini membutuhkan keahlian dalam penyatuan informasi, membuat keputusan dan membuat prioritas yang tepat. Esensi asuhan keperatan kritis tidak berdasarkan pada lingkungan atau alat-alat khusus tetapi dalam proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada pemahaman yang sungguh-sungguh tentang fisiologi dan psikologi (Hudak CM., Gallo BM, 1997b). -
Penggunaan Layanan Keperawatan Kritis pada Klien dengan Kondisi Terminal Pada tahun 1999, Angus et al dalam Vincent JL (2010) melakukan
penelitian berbasis populasi mengenai penggunaan perawatan intensif pada klien dengan kondisi terminal di Amerika Serikat/USA. 1) Penggunaan Perawatan Intensif di Akhir Kehidupan pada Klien Kondisi Terminal Angka kematian yang masih tinggi di unit intensif memberikan pandangan bahwa perawatan akhir kehidupan di unit intensif masih sangat diperlukan. Persepsi dokter terhadap keinginan pasien dan prediksi survival yang kecil di ICU dan kemungkinan fungsi kognitif yang rendah dari pasien adalah determinan yang paling kuat dari pencabutan ventilasi mekanik dari pasien kritis. Keputusan untuk melanjutkan pengobatan penopang kehidupan bervariasi diantara negara-negara Eropa, penelitian Ethicus dalam Vincent JL (2010) memperlihatkan bahwa keputusan untuk mencabut pengobatan tidak biasa di
15
negara- negara Eropa Selatan, dimana Cardio Pulmonal Resuscitation (CPR) lebih sering digunakan, lama tinggal di ICU lebih lama daripada di negaranegara Eropa Utara. Perbedaan ini disebabkan karena kasus-kasus yang berbeda, perbedaan budaya dan agama, perbedaan nilai-nilai yang dianut dokter dan praktek juga reliabilitas dalam praktek akhir kehidupan yang sedang berjalan. 2) Manajemen Perawatan Akhir Kehidupan (End of Life) di Intensif Care Unit (ICU) Manajemen perawatan end of life di ICU merupakan sebuah phenomena yang relatif baru. Penelitian di Amerika juga memperlihatkan bahwa diskusi mengenai akhir kehidupan tidak biasa diantara pasien
yang berpenyakit
serius. Sementara pengobatan penopang kehidupan yang tidak diinginkan dan perawatan paliatif yang tidak cukup banyak terjadi. Dalam sepuluh tahun terakhir masyarakat profesional Amerika dan Eropa, menyetujui bahwa, pada kondisi – kondisi tertentu ketika pengobatan tidak mencapai hasil, keputusan untuk meninggalkan therapi penopang kehidupan dan memulai perawatan paliatif adalah etis. Sekarang sebagian besar kematian yang terjadi di ICU diawali dengan keputusan untuk meninggalkan therapy penopang kehidupan (Vincent JL, 2010). Diskusi akhir kehidupan seringkali dilakukan oleh dokter, dan ada keterkaitan antara diskusi akhir kehidupan dengan kualitas perawatan yang diberikan. Proses pengambilan keputusan akhir kehidupan dapat didiskusikan diantara penyedia perawatan, pasien dan keluarga pasien (ketika pasien telah berada pada kondisi
incapasity) mengenai apakah pengobatan penopang
kehidupan harus diteruskan atau dihentikan dan perawatan paliatif dimulai. Diskusi dapat dilakukan di ward/ruangan umum, departemen Emergency, atau ICU. Kurang dari 5 % dari pasien di ICU dapat berpartisipasi di akhir kehidupan dan dengan demikian untuk memelihara otonomi pasien pedoman saat ini untuk profesional merekomendasikan pengambilan keputusan bersama dengan keluarga pasien atau teman dekat. Secara umum harapan ditentukan oleh budaya, otonomi, dan penentuan sendiri (self determination). Data mengenai harapan dari pasien ICU yang
16
sadar mengenai akhir kehidupan sangat kurang, tetapi kemungkinan besar berkaitan dengan nilai-nilai budaya. Data dari pasien dengan penyakit serius konsisten dengan keinginan untuk otonomi. Sebagai contoh, sebagian besar dari mereka yang belum mendiskusikan keinginan akhir kehidupan dengan dokter berkeinginan untuk melakukannya. Juga sangat mungkin bahwa peran yang diinginkan dalam pengambilan keputusan adalah tidak konsensual. Dalam penelitian diantara pasien dengan penyakit kronis pada tahap akhir (Heyland dkk dalam Vincent JL, 2010), menemukan bahwa 40% dari responden ingin membuat keputusan akhir, 32% ingin membagi tanggung jawab mengenai keputusan akhir dengan dokternya, 19% ingin dokter mengambil keputusan akhir dan 10% tidak punya opini/pendapat. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa meskipun hanya 15 % dari dokter tidak merasa mampu untuk mendefiniskan peran pasien yang diinginkan dalam pengambilan keputusan, mereka memutuskan dengan tepat keinginan pasien lebih sedikit dari 1 dalam 5 kasus. Sebagian besar anggota keluarga pasien yang dirawat di ICU ingin berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tetapi tidak ada konsensus mengenai peran yang diinginkan. Dalam penelitian yang dilakukan di Kanada terhadap 256 pengambil keputusan pengganti untuk pasien ICU , 33% dari responden ingin membuat keputusan akhir (peran aktif), 43% ingin membagi tanggungjawab mengenai keputusan akhir dengan dokter, dan 24% ingin dokter membuat keputusan akhir (peran pasif). Sekitar 70% dari responden melaporkan bahwa peran mereka saat ini tidak sesuai dengan keinginan dan bahwa kepuasan terhadap perawatan akhir kehidupan itu tinggi. Penelitian di Amerika di mana 48 keluarga dari pasien ICU diwawancara, 58% menginginkan membagi tanggung jawab dengan dokter, 25% menginginkan peran aktif. Terdapat
hubungan
antara
tingkat
pendidikan
dengan
referensi
pengambilan keputusan: pendidikan tinggi berasosiasi dengan peran aktif atau berbagi, peneliti tidak menemukan hubungan antara usia, jenis kelamin, suku, agama atau hubungan dengan pasien dan preferensi pengambilan keputusan. White dkk, dalam Vincent JL (2010), meneliti sikap keluarga dalam
17
mengambil keputusan terhadap penerimaan rekomendasi dokter selama diskusi perawatan akhir hidup. Peneliti mewawancara 169 keluarga dan menemukan bahwa 56% ingin menerima rekomendasi, 42% tidak ingin menerima rekomendasi, dan 2% menerima keduanya. Alasan utama penolakan rekomendasi adalah bahwa responden percaya bahwa pemberian rekomendasi bukan merupakan peran dari dokter. Rekomendasi saat ini untuk perawatan akhir kehidupan di ICU dari ACCM (American College Critical Care Medicine) menganjurkan dokter bertanya kepada pasien dan
keluarga mengenai peran mereka dalam proses
pengambilan keputusan sebelum memberikan
rekomendasi apapun. Dua
penelitan observasi yang dilakukan sebelum publikasi dari pedoman tersebut memperlihatkan bahwa preferensi keluarga dalam proses pengambilan keputusan tidak pernah atau jarang didiskusikan. White dkk menemukan bahwa setengah dari dokter yang diminta oleh keluarga untuk memberikan rekomendasi menolak untuk melakukannya, membuktikan bahwa hal tersebut bukan menjadi bagian dari perannya. Data pengamatan ini memperlihatkan kesulitan dalam membakukan proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Peran yang diinginkan dari pasien atau keluarga di dalam proses pengambilan keputusan itu tidak konsensual, yang membuat setiap percakapan dokter-keluarga menjadi unik. Untuk mencapai kebutuhan keluarga, dokter boleh jadi perlu untuk beradaptasi dengan peran tertentu, suatu tindakan dimana dokter boleh jadi kurang memiliki keterampilan atau merasa tidak nyaman, terutama ketika nilai-nilai dokter berbeda dengan harapan pasien atau keluarga. Penelitian pada klien dengan kondisi terminal di Perancis pada awal abad 21 memperlihatkan bahwa 90% dari responden menginginkan keluarga untuk mewakili mereka dalam proses pengambilan keputusan jika mereka menjadi lumpuh/cacat/tidak berdaya. Penelitian Perancis yang lain dilakukan pada waktu yang sama , mengevaluasi posisi dari profesional perawat kritis dan keluarga pasien ICU dalam proses pengambilan keputusan. Hasilnya menunjukan bahwa sebagian besar dari dokter dan petugas kesehatan yang lain
percaya partisipasi keluarga harus dipertimbangkan dalam
18
proses
pengambilan keputusan.
Pada sisi lain kurang dari setengah keluarga
menginginkan berbagi dalam proses pengambilan keputusan. Selama dekade terakhir peran keluarga, dan proses pengambilan keputusan apakah pasien tidak berdaya , telah dibuat menjadi hukum di beberapa
negara
Eropa
Barat.
Ada
konsensus
mengenai
kapasitas
pengambilan keputusan dari pasien ketika mampu namun tidak ada konsensus mengenai ketika pasien menjadi inkapasitas. Sekarang ada kecenderungan di Eropa untuk memberikan banyak otonomi kepada pasien dan atau keluarganya, tetapi tetap ada variasi di antara negara-negara terutama mengenai peran keluarga. Variasi-variasi ini dapat dijelaskan oleh tradisi paternalistik atau melindungi keluarga dari konsekwensi yang tidak diharapkan terkait pengambilan keputusan akhir hidup (Vincent JL, 2010). Penelitian di Kanada memperlihatkan bahwa sebagian keluarga dari pasien ICU merasa puas dengan perawatan akhir hidup yang disediakan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa 15% dari responden merasa mereka tidak dapat
mengendalikan peralatan yang disediakan kepada keluarga
mereka, 11% percaya bahwa hidup diperpanjang secara tidak dibutuhkan, dan 9% melaporkan bahwa pasien tidak nyaman pada beberapa jam terakhir. Komunikasi yang cukup (jumlah, kualitas, dan waktu kapan informasi disediakan) dan peran dalam proses pengambilan keputusan dengan peran yang diinginkan merupakan prediktor dari kepuasan. Evaluasi kepuasan pada 26 ICU di Swis dan Jerman menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai dukungan selama pengambilan keputusan memiliki tingkat kepuasan yang rendah. Konflik antara anggota keluarga dengan staf medis sangat umum terjadi dalam diskusi akhir kehidupan. Abbott dkk dalam Vincent JL (2010) melaporkan bahwa sebagian besar dari konflik disebabkan oleh kurangnya komunikasi atau ketidakprofesionalan, perilaku tidak hormat oleh dokter dan perawat. Azolay dkk dalam Vincent JL (2010) melaporkan sumber utama dari konflik antara tim dan keluarga terjadi ketika keluarga/keinginan pasien diabaikan, ketika keputusan akhir kehidupan dibuat terlalu lambat atau terlalu awal, dan ketika komunikasi sangat buruk selama proses pengambilan keputusan.
19
Banyak penelitian memperlihatkan bahwa anggota keluarga dari pasien ICU menderita kegelisahan dan gejala depresi. Penelitian di Perancis memperlihatkan bahwa 3 bulan setelah pengalaman ICU sepertiga dari anggota keluarga menderita stres post trauma yang berkaitan dengan tingkat kegelisahan dan depresi yang tinggi dan penurunan kualitas hidup. Kejadian stres post trauma diantara keluarga pasien ICU lebih tinggi ketika kematian pasien terjadi setelah keputusan
untuk menghentikan therapy penopang
kehidupan atau ketika mereka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan akhir kehidupan. Pada sisi lain penelitian di Amerika menunjukkan bahwa peran yang pasif dari keluarga dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi terhadap gejala kegelisahan dan depresi. Dalam penelitian mengenai stress dalam
pekerjaan
proses
pengambilan keputusan akhir kehidupan yang banyak merupakan faktor resiko dari sindrom kejenuhan. Untuk saat ini praktek dalam pengambilan keputusan akhir kehidupan membawa stres dan ketegangan untuk semua yang terlibat. Proses ini memberikan stres tetapi ada kemungkinan untuk meningkatkan kualitas dari pengambilan keputusan, termasuk pelatihan yang lebih baik terhadap pekerja klinik untuk meningkatkan keterampilan komunikasi. Lauttre
dkk dalam
Vincent JL (2010), memperlihatkan bahwa komunikasi pro aktif dan brosur untuk keluarga dan pasien yang meninggal di ICU menurunkan beban duka/kehilangan. Perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika mengenai rekomendasi perawatan akhir kehidupan merefleksikan keinginan masyarakat untuk mendistribusikan hak dan tugas
antara pasien, keluarga, dan petugas
kesehatan pada issue etika yang utama ini. Meningkatkan kualitas proses pengambilan keputusan akhir kehidupan sangat penting untuk meningkatkan kualitas perawatan akhir kehidupan dan untuk menurunkan konsekuensi yang tidak diharapkan (ketidakpuasan, konflik, gejala, kegelisahan dan depresi, sindrom kejenuhan). Dengan demikian proses pengambilan keputusan akhir kehidupan bervariasi diantara negara-negara dalam bentuk harapan tetapi
20
juga dalam bentuk peran (keputusan atau konsultasi) dari dokter atau keluarga (Vincent JL, 2010) Biaya perawatan kesehatan yang tidak seimbang terjadi pada akhir kehidupan. Sekitar satu pertiga dari biaya pada tahun terakhir kehidupan dihabiskan pada bulan terakhir, dan sebagian besar dari biaya ini untuk perawatan penopang kehidupan (ventilasi mekanik , dan resusitasi). Pengobatan terminal mengambil 7,5% dari biaya semua pasien per tahun dan sebagian besar dari biaya ini adalah untuk pelayanan ICU (Vincent, J.L., 2010).
Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis dalam Merawat Klien dengan Kondisi Terminal Tempat praktek keperawatan kritis bervariasi yang didalamnya terdapat pengelolaan untuk mengkoordinasikan perawatan klien yang membutuhkan penilaian yang mendalam, terapi intensitas tinggi dan intervensi, dan kewaspadaan keperawatan berkelanjutan. Perawat di unit perawatan kritis juga berfungsi dalam berbagai peran dan tingkat, yaitu sebagai staf perawatan, pendidik, dan perawat praktek lanjutan. Selain itu perawat di unit perawatan kritis dianggap sebagai advokat dari klien (Sole ML, Klein DG, and Moseley MJ,, 2009). -
Peran Perawat di Unit Perawatan Kritis Sebagai Advokat : 1. Mendukung
hak
klien
atau
pengganti
untuk
otonomi
klien,
menginformasikan dalam pengambilan keputusan. 2. Intervensi yang dilakukan untuk mendukung kepentingan klien yang terbaik 3. Membantu klien untuk mendapatkan perawatan yang diperlukannya 4. Menghormati nilai-nilai, kepercayaan dan klien 5. Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu klien dalam membuat keputusan perawatan 6. Mendukung keputusan yang dibuat oleh klien. 7. Memfasilitasi klien yang tidak dapat berbicara sendiri. 8. Memonitor dan menjaga kualitas pelayanan
21
9. Bertindak sebagai penghubung antara klien, keluarga dan penyedia layanan kesehatan.
- Kompetensi Perawat di Unit Perawatan Kritis 1. Memiliki penilaian, keterampilan dan penalaran klinis 2. Sebagai advokat dan moral agency ketika teridentifikasi ada masalah etik. 3. Perawatan yang diberikan dengan memperdulikan pada keunikan klien dan keluarga 4. Kolaborasi dengan klien, anggota keluarga dan anggota tim perawatan 5. Sistem berpikir yang sesuai dengan perawatan holistik 6. Berespon terhadap keanekaragaman 7. Perawatan klinik dan adanya inovasi untuk mendapatkan hasil terbaik bagi klien 8. Peran sebagai pendidik klien dan keluarga untuk memfasilitasi kebutuhan belajar (Sole ,M.L, Klein, D.G, and Moseley, M.J., 2009).
Manajemen Kasus Klien Kondisi Terminal Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, ikut menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Keperawatan memberikan konstribusi yang sangat besar terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif. Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai “nursing services” dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari sejak lahir sampai meningal dunia. Keperawatan kritis merupakan salah satu spesialisasi dibidang keperawatan yang secara khusus menangani respon klien terhadap masalah yang mengancam kehidupan. Intensif care unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalansi tersendiri dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan yang khusus, ditujukan untuk observasi, perawatan, dan terapi klien-klien yang menderita penyakit, cidera, atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa. Saat ini pelayanan intesif (ICU) di Rumah Sakit tidak terbatas pada pelayanan klien-klien pasca
22
bedah, atau klien yang membutuhkan ventilasi mekanik saja. Pelayanan yang diberikan mencakup pemberian dukungan terhadap fungsi organ-organ vital tubuh. Seluruh kegiatan pelayanan terhadap klien-klien di ICU dilakukan oleh multidisiplin dan multi profesi, yaitu melibatkan profesi medic, perawat dan non medic. Untuk
memberikan
pelayanan
tersebut
diperlukan
suatu
pengorganisasian yang baik, dimana fungsi pengorganisasian merupakan proses mencapai tujuan dengan koordinasi kegiatan dan usaha, melalui penataan pola struktur, tugas, otoritas, tenaga kerja dan komunikasi. Salah satu metode pengorganisasian yang dapat digunakan di ruang intensif dengan kompleksitas kasus seperti pada klien dengan penyakit terminal adalah case management adalah pelayanan dengan mengintegrasikan layanan kesehatan untuk klien secara individu atau kelompok yang dilakukan oleh tim kesehatan secara interdisiplin untuk tanggung jawab secara kolaboratif dalam kajian kebutuhan klien , menetapkan rencana tindakan – implementasi – evaluasi, dari saat klien diterima, dirujuk dan atau dipulangkan (Powell SK, 2000). Untuk mengelola kasus dalam case manajemen diperlukan, pertama seorang case manager untuk menjalankan fungsi koordinasi dan kolaborasi yang diperlukan. Kedua Critical/clinical pathway sebagai panduan alur penanganan klien secara terintegrasi dari mulai klien datang sampai dengan klien pulang. Dan ketiga tak kalah pentingnya adalah diperlukannya forum komunikasi-koordinasi yang melibatkan seluruh profesi kesehatan untuk membahas kasus klien yang ditangani. Pelaksanaan asuhan keperawatan yang menggunakan case management diperlukan kolabolasi interdisiplin, protocol terstruktur dalam perencanaan perawatan multidisipliner yang detail, langkah-langkah penting dalam perawatan klien dengan masalah klinis tertentu dan menggambarkan kemajuan yang diharapkan klien. Integrated Care Pathways/Clinical Pathways adalah suatu outline atau rencana praktis klinis yang diantisipasi untuk sekelompok klien dengan diagnosis tertentu atau berdasarkan kumpulan gejala yang merupakan panduan multidisiplin dari rencana perawatan klien menuju tujuan yang diinginkan (Powell, S.K; 2000, CMSA; 2010).
23
Manajer Kasus/ Case Manajer di rumah sakit adalah seorang perawat terdaftar (Registered Nurse) bertanggung jawab untuk mengawasi perawatan klien di rumah sakit. Case manager ini dilatih khusus dalam mengevaluasi dan merawat klien dengan penyakit kondisi terminal,
dan keluarganya.
Perawat Case Manajer apakar dalam mengenali dan mengevaluasi gejala dan bekerja sama dengan dokter, rumah sakit untuk mengobati gejala dan meningkatkan kenyamanan klien Seorang Case Manajer memberikan dukungan emosional dan praktis baik untuk klien dan keluarga, memberikan pendidikan kesehatan. Perawat manajer kasus harus memiliki komunikasi yang baik, keterampilan manajemen waktu, dan nyaman dalam merawat klien yang menjalani proses akhir hidup. Di sini mereka harus berbelas kasih dan sabar dan menghormati perbedaan unik dari klien, mengawasi perawatan kesehatan di rumah sakit atau di rumah dan mampu bekerja sama dengan tenaga sosial, pendeta, dan relawan untuk mengkoordinasikan perawatan fisik, emosional, dan spiritual klien dan keluarga (Morrow, A. 2010).
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengalaman perawatan klien kondisi terminal akut miokard infark (killip II, III) yang dirawat di unit intensif (CICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, dari dimensi fisik, psikologis, sosial dan spiritual.
B. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini akan memberikan: -
Untuk Profesi Memberikan informasi mengenai pengalaman klien dengan penyakit dalam kondisi terminal khususnya akut miokard infark dari dimensi fisik, psikologis, sosial ekonomi termasuk budaya dan dimensi spiritual sehingga memberikan arah atau panduan dalam melakukan
24
tindakan pengkajian dan perencanaan dari asuhan keperawatan pada klien kondisi terminal akut miokard infark secara holistik di area keperawatan kritis. -
Untuk Institusi Pendidikan Memberikan informasi tambahan bagi dosen dan peserta didik tentang kebutuhan asuhan keperawatan klien dengan penyakit dalam kondisi terminal di lingkup area keperawatan kritis.
4. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif phenomenologi. Penelitian kualitatif berkaitan dengan pengalaman, pendapat dan perasaan individu (Hancock B, 2002). Tujuan dari metode deskriptif kualitatif untuk mempelajari fenomena intensif, menemukan pola dan tema tentang peristiwa hidup ketika peneliti memiliki pertanyaan spesifik mengenai fenomena. Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menggali pengalaman individu selama dirawat di ruang intensif dimana diberikan pelayanan intensif, seperti pemantauan hemodinamik secara ketat. Teknik pengambilan informan yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah purposive yaitu pengambilan informan sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini informan adalah seluruh
klien
kondisi
terminal
dimana
penyakit
yang
tidak
dapat
disembuhkan/pulih kembali dan dapat menyebabkan kematian. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah klien kondisi terminal infark miokard, dengan kriteria a. Klien kondisi terminal di sini adalah klien dengan penyakit jantung yaitu infark miokard akut killip II dan III. b. Di rawat di unit intensif: CICU dan HCCU c. Telah diperkenankan untuk pulang ke rumah oleh dokter penanggung jawabnya d. Mampu berkomunikasi dengan baik e. Bersedia menjadi informan f. Kooperatif
25
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: a. Klien kondisi terminal infark miokard akut Killip I ketika masuk dan Killip IV ketika diwawancarai. b. Klien yang tidak dirawat di unit intensif: CICU dan HCCU c. Tidak mampu berkomunikasi; berbicara Dalam penelitian ini jumlah informan yang diambil adalah 10 orang informan klien.
Prosedur dan Cara Pengumpulan Data - Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data dimulai setelah memperoleh ijin dari pihak yang berwenang di tempat penelitian. Kemudian penentuan informan sesuai dengan kriteria penelitian yaitu klien dengan infark miokard killip II, III dan telah dinyatakan boleh pulang oleh dokter penanggung jawab. Sebelum memulai wawancara peneliti melakukan pengamatan lingkungan dan perilaku informan. Setelah meneliti perilakunya, peneliti membina hubungan saling percaya dengan informan. Peneliti memperkenalkan diri terlebih dahulu dan menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian. Setelah calon informan memahami tujuan dari penelitian yang akan dilakukan dan memahami hak-hak mereka sebagai informan, selanjutnya peneliti meminta informan untuk menandatangi surat ketersediaan berpartisipasi atau informed consent. Kemudian peneliti membuat kontrak waktu pelaksanaan wawancara yang disesuaikan dengan kondisi dan kesediaan klien. Peneliti menyiapkan panduan topik atau guidelinenya dan wawancara di ruang rawat intensive (CICU). Wawancara dilakukan dengan lamanya waktu 1 jam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi klien, sesuai kontrak yang telah disepakati. Hasil wawancara direkam dengan menggunakan MP4 dan digunakan lembar observasi untuk memvalidasi kebutuhan klien dengan kondisi penyakit terminal, dan bila ada kejadian-kejadian yang di luar kebiasaan dibuat dalam catatan kronologis.
26
-
Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik
wawancara dan pengamatan. Lofland dan Lofland (1984) dalam Bagoes (2004) mengatakan sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan dari orang-orang yang diamati dan diwawancarai, jadi selain itu dilakukan observasi atas perilaku, tindakan non verbal dari informan. Teknik ini juga merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Melalui teknik ini peneliti berusaha menggali informasi pada klien dengan penyakit terminal tentang pengalaman perawatan selama di rawat di ruang intensif. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan menggunakan alat bantu yang berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis sebagai pedoman untuk wawancara, buku catatan, dan MP4 untuk merekam wawancara antara peneliti dengan informan. Pengumpulan data dengan teknik wawancara yang digunakan dalam wawancara ini adalah: 1) Membina hubungan baik. Hal ini sangat penting dalam penelitian dan dapat terjalin bila telah ada rasa saling percaya antara pewawancara dengan partisipan. Untuk menjalin rasa percaya, peneliti mengadakan pembicaraan pendahuluan dengan menggunakan bahasa sederhana, mulai dari permasalahan yang sesuai dengan kondisi informan/partisipan, menciptakan suasana yang dekat dan santai yang tetap berpegang pada nilai dan kode etik. 2) Keterampilan Sosial Wawancara didukung dengan keterampilan sosial yang memadai. Peneliti bersikap sopan, ramah dan berpakaian yang pantas/rapi. Di sini peneliti dituntut untuk responsif dan sensitif terhadap kebutuhan klien, perlu keterbukaan dan mempertahankan kontak mata dengan partisipan. 3) Mencatat dan merekam dengan menggunakan alat recording Sebelum proses wawancara peneliti sebelumnya mengobservasi kondisi klien, memperkenalkan diri dan membuat kontrak untuk dilakukan wawancara.
27
Wawancara informan klien dilakukan di tempat tidur klien, dengan posisi duduk. Klien duduk bersandar pada bantal atau duduk dengan punggung tegak. -
Analisa Data dan Keandalan Hasil Penelitian Untuk analisis data pada penelitian kualitatif adalah penentuan tema dari
hasil wawancara. Menentukan Tema atau Interpretasi 1) Transkripsi/Menyalin data kualitatif Transkripsi adalah prosedur untuk menghasilkan versi tertulis dari wawancara. Ini adalah sebuah "script" penuh wawancara. Transkripsi adalah proses yang memakan waktu. Hal ini juga menghasilkan banyak teks yang ditulis sebagai hasil dari wawancara yang sudah dilakukan. Untuk catatan hasil pengamatan/observasi dibuat catatan lapangan (field note) sesuai dengan respon yang diperlihatkan dari setiap jawaban pertanyaan atau pernyataan yang dibuat oleh klien. Kemudian catatan ini dikelompokkan sesuai dengan pernyataan yang dibuat informan. Bila ada catatan kronologis bisa disatukan untuk
melengkapi data
yang
dikumpulkan. (Hancock B, 2002., Maleong LJ, 2010) Proses dasar untuk menganalisa data kualitatif adalah dimulai dengan memberi label atau kode/coding dari setiap item informasi sehingga kita dapat mengenal
perbedaan dan persamaan antara semua item yang
berbeda. Peneliti kualitatif tidak memiliki sistem untuk pra coding sehingga membutuhkan sebuah metode untuk mengidentifkasi dan memberi label item-item data yang muncul di dalam teks dari transkrip sehingga semua item-item data dalam 1 interview dapat dibandingkan dengan data yang dikumpulkan dengan dari interview-interview yang lain.Hal ini membutuhkan sebuah proses yang disebut analysis conten dan prosedur dasarnya digambarkan di bawah ini. Prosedurnya sama apakah data kualitatif telah dikumpulkan melalui interview, grup fokus, observasi atau analisa dokumentary karena berkaitan dengan menganalisa teks. Metode yang digunakan untuk menganalisis tema adalah dengan melakukan content analysis. Data ditampilkan dalam bentuk narasi,
28
informasi tersusun sesuai dengan urutan partisipan sehingga mudah untuk diamati. Dari tema umum yang didapatkan selanjutnya dianalisis berdasarkan teori dan konsep yang relevan dan diinterpretasikan.
Content Analysis Analisis conten melibatkan coding dan mengelompokkan data. Hal ini untuk mengidentifikasi dari transkrip data dan untuk memilah-milah pesan penting yang tersembunyi di setiap wawancara. Prosedur ini melibatkan serangkaian langkah, sebagai berikut: (1) Mengambil salinan transkrip dan membacanya. Bila melihat sesuatu yang berisi informasi yang menarik atau relevan, dibuat catatan singkat di marjin tentang sifat informasi. (2) Melihat melalui catatan margin dan membuat daftar berbagai jenis informasi yang telah ditemukan. Jika transkrip tersebut diketik, cara yang lebih cepat untuk melakukan ini adalah dengan menyorot setiap item data, menyalin dan menyisipkan ke daftar (salinan asli dari seluruh transkrip dalam file tersendiri) (3) Sekarang telah ada daftar item yang disarikan dari teks. Membaca daftar item data
dan
mengkategorikan
masing-masing
item
dengan
yang
menggambarkan tentang sesuatu. Disini akan digunakan beberapa kategori karena beberapa item data mengacu pada topik yang sama. Pada tahap ini dikategorikan sebanyak yang dibutuhkan dan jangan memasukkan sesuatu ke dalam kategori yang sama dengan item sebelumnya, bahkan jika menduga adanya kemungkinan mengidentifikasi kategori baru. Jumlah kategori dapat dikurangi nanti. (4) Sekarang melihat daftar kategori
telah teridentifikasi dari transkrip dan
pertimbangkan apakah beberapa kategori yang mungkin dapat dihubungkan dalam beberapa kategori saja. Jika demikian, bisa dibuat daftar sebagai kategori utama kategori yang lebih kecil sebagai kategori kecil. Beberapa buku teks mengacu pada kategori utama sebagai tema.
29
(5) Melihat melalui daftar kategori besar dan kecil. Ketika
melakukannya,
dibandingkan dan mungkin beberapa kategori kecil lebih baik masuk ke dalam kategori alternatif. (6) Untuk transkrip berikutnya,
diulangi proses dari tahap 1 - 5. Ketika
mengidentifikasi transkrip kedua dan selanjutnya, akan terus teridentifikasi kategori baru informasi tetapi akan menemukan kenyataan bahwa item data yang ditemukan sebagai bagian dari sebuah kategori yang sebelumnya diidentifikasi. Akhirnya, tidak akan ditemukan kategori baru dan menemukan bahwa semua item informasi yang relevan dan menarik dapat ditampung dalam kategori yang ada. Bisa menggunakan warna-warna tersendiri untuk setiap kategori, tetapi penting untuk menyimpan transkrip asli yang masih bersih. (7) Mengumpulkan semua transkrip dari hasil wawancara, ambil satu kategori yang memiliki beberapa hubungan satu sama lain. Periksa setiap kategori apakah memiliki kesamaan atau ada kategori yang tampak seolah-olah tidak cocok dan benar-benar termasuk dalam kategori yang berbeda. (8) Ketika semua data transkrip relevan telah disortir ke dalam kategori kecil dan besar, dilihat kembali data yang terdapat dalam setiap kategori. Ketika meninjau data dalam sistem kategorisasi yang telah dikembangkan dapat diputuskan untuk memindahkan beberapa item data dari satu kategori ke kategori lain. Atau dapat diputuskan informasi yang ada di kategori yang tepat, "tempat yang tepat", dalam hal ini istilah yang digunakan untuk nama atau menggambarkan kategori tidak akurat. (9) Setelah mengurutkan semua kategori dan yakin bahwa semua item data dalam kategori yang tepat, lihat kisaran kategori untuk melihat apakah dua atau lebih kategori tampaknya cocok. Jika demikian maka dapat membentuk suatu tema yang penting dalam riset . (10) Melihat kembali salinan asli dari transkrip, lihatlah teks yang tampaknya tidak relevan pada saat itu. Sekarang telah memiliki tema, kategori utama dan kategori kecil yang telah diurutkan, pertimbangkan apakah ada data yang sebelumnya tidak relevan dan harus disertakan dalam hasil .
30
Proses conten analisis melibatkan dan terus meninjau kembali data dan meninjau kategorisasi data sampai peneliti yakin bahwa tema dan kategori yang digunakan untuk meringkas dan menggambarkan penemuan adalah suatu refleksi jujur dan akurat dari data. Setelah menentukan tema yang muncul dari hasil wawancara dengan informan, peneliti kemudian melakukan validasi data kepada informan untuk meminta klarifikasinya bila hal ini memungkinkan (pindah ruang rawat atau klien telah meninggal). Hasil klarifikasi tersebut dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Klarifikasi yang muncul dikatakan valid apabila tema tersebut telah dianalisa dan disetujui oleh dosen pembimbing. Kemudian melakukan sintesis terhadap pernyataan-pernyataan yang ada, agar data tidak bertolak belakang dengan isi transkrip yang ada. Tahap terakhir adalah membuat laporan tertulis. -
Keandalan Data (Trustworthiness) Agar hasil penelitian mempunyai keabsahan dan kekuatan ilmiah, peneliti
berpatokan pada keandalan data (audability), dan kepastian atau konfirmasi ulang data (confirmability). Secara operasional keandalan data dilakukan dengan melakukan pemeriksaan data yang akurat dan berulang. Untuk
mendapat
keabsahan
(trustworthness)
diperlukan
tehnik
pemeriksaan atas sejumlah kriteria tertentu. Credibility, Transferability, Dependability serta Confirmability (Moleong, 2004).
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengumpulan data dilakukan pada 10 orang informan klien infark miokard akut yang memenuhi kriteria penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan melalui wawancara mendalam (indepth interview). Secara umum, peneliti menyediakan ruang bagi jawaban informan selama wawancara, pertanyaan juga disesuaikan dengan karakter, situasi dan kondisi informan yang berbeda-beda. Pada umumnya wawancara berlangsung selama 60 menit, dengan pembagian waktu yaitu 5 menit pertama membuka percakapan dan
31
mengungkapkan maksud dan tujuan wawancara. Untuk proses wawancara dibutuhkan rata-rata sekitar 45 - 55 menit untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh klien dan keluarga selama di rawat di Ruang Intensif Khusus Jantung. Pada 5 menit terakhir untuk mengakhiri proses wawancara dan ditutup dengan ucapan terima kasih atas kesediaan informan untuk diwawancarai dan melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya. Selama wawancara, peneliti berusaha menggali data sesuai topik yang telah ditentukan dengan tetap memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi proses wawancara. Hal ini diantisipasi dengan memberikan informasi sebelumnya mengenai maksud dan tujuan penelitian. Saat wawancara berlangsung peneliti bersikap empati, akrab dan profesional, tidak mempengaruhi jawaban informan dan mencatat waktu dan respon non verbal yang ditunjukan oleh informan. Meskipun pada saat wawancara masing-masing informan menceritakan kjadian dengan berbagai gaya bahasa, ekspresi wajah dan intonasi suara yang berbedabeda, namun secara mendasar, hasil wawancara telah mencakup apa yang menjadi tujuan penelitian ini. Kemudian setelah data terkumpul, data dianalisa dengan menghubungkan pernyataan informan dalam bentuk matriks dan diinterpretasikan untuk masingmasing data. Selama proses analisa, peneliti mereduksi data yang terkumpul tanpa mengurangi makna yang terkandung.
A. Karakteristik Informan 1) Informan I Tn. E berusia 42 tahun, beragama Islam, tinggal di Bandung. Beliau bekerja di perusahaan MLM sebagai marketing yang tidak mempunyai gaji tetap setiap bulannya. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), memiliki dua orang anak yang pertama baru kelas 6 SD, yang kedua baru 2 tahun. Klien sedang menjalani perawatan di Ruang Intensif Khusus Jantung dan ini merupakan serangan pertama. Klien masuk ke RS melalui Unit Gawat Darurat (UGD) kemudian di rawat di Cardiac Intensif Care Unit (CICU) dengan diagnosa medis CAD Stemi Inferior, Posterior, Anterior luas Killip III, setelah 5 hari di rawat dan kondisinya sudah mulai stabil klien dipindahkan ke ruang rawat
32
inap High Care Cardiac Unit (HCCU) dan telah dirawat selama 3 hari. Selama sakit klien menggunakan fasilitas GAKINDA, saat ini klien dalam proses mengurus kepulangannya dari rumah sakit. Riwayat kesehatan klien diketahui telah menderita hipertensi selama 10 tahun dengan angka tertinggi di 160/? mmHg, tidak pernah kontrol, riwayat merokok 2 bungkus/hari sudah dijalani dari 20 tahun yang lalu. Selama wawancara berlangsung Tn. E sangat terbuka dalam menjawab semua pertanyaan yang diberikan dan selama proses wawancara Tn. E tampak menitikkan air mata mengingat kondisi kesehatannya saat ini. 2) Informan II Tn. N berusia 51 tahun, beragama Islam, dari suku Jawa, pendidikan terakhir Strata I, klien tinggal di Purwakarta dan klien memiliki 2 orang anak, sudah selesai kuliah tetapi belum bekerja dan ada yang masih kuliah.. Ini merupakan pengalaman dan serangan pertama. Klien bekerja sebagai karyawan swasta dan menggunakan fasilitas Jamsostek sebagai asuransi kesehatannya. Klien di rawat di ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) selama 5 hari, klien masuk rumah sakit melalui UGD dan di diagnosa STEMI Anteroseptal Killip III. Saat ini klien dirawat di ruang rawat biasa (penyakit dalam) dan sudah diperbolehkan pulang. Riwayat Kesehatan klien menderita hipertensi sejak 15 tahun yang lalu, terkontrol, dan tidak merokok serta minum kopi, tidak pernah makan dagingdagingan. Klien menyadari bahwa dirinya mempunyai resiko terkena penyakit jantung koroner sehingga menjaganya jangan sampai terjadi. Ketika wawancara klien menjawab semua pertanyaan dengan terbuka dan penyakit ini menjadi bahan introspeksi dirinya menjalani kehidupan, sehingga menyebabkan dirinya lebih dekat pada sang Pencipta. 3) Informan III Tn. A seorang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) golongan II, berusia 66 tahun, beragama Islam dari suku Sunda. Selama sakit klien menggunakan asuransi kesehatan (ASKES PNS). Klien memiliki 4 orang anak, 3 orang telah menikah dan 1 orang anak masih sekolah di tingkat SMA. Walaupun telah
33
pensiun, klien memiliki kegiatan lain di paguyuban seni sunda dan aktif dalam organisasi masyarakat di desa. Sakit ini merupakan serangan dan pengalaman pertama bagi klien. Klien masuk melalui UGD dan di rawat di HCCU dan telah dirawat 4 hari. Klien didiagnosa CAD NSTEMI, Interior Inferior Killip II. Klien tidak merokok, tidak memilki riwayat hipertensi, relatif sehat dan baru pertama ini dirawat di RS. Dalam proses wawancara klien menjadikan ini ajang mencurahkan masalah yang dihadapinya, klien menangis karena masalah yang dihadapinya, meratapi nasibnya setelah klien tenang baru proses wawancara dimulai dan klien terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan. 4) Informan IV Tn.C, usia 41tahun, beragama Islam, besar di tatar sunda, pendidikan terakhir SMA dan bekerja di Kebun Binatang Bandung, klien bertanggung jawab mengurus harimau. Hal ini menimbulkan stres tersendiri bagi Tn.C. Selama di rawat klien menggunakan fisilitas asuransi kesehatan GAKINDA. Klien masuk rumah sakit melalui UGD dan dirawat di Cardiac Intensif Care Unit (CICU). Klien didiagnosa CAD STEMI Anterior luas Killip II, klien di rawat di CICU selama 5 hari dan pindah ke ruang rawat inap biasa. Riwayat kesehatan klien hanya mengalami sakit ringan seperti ISPA dan tidak pernah di rawat di RS. Klien merokok 2 bungkus sehari , merokok sejak 20 tahun yang lalu, klien tidak pernah memeriksakan kesehatannya sehingga ini merupakan pengalaman dan serangan pertama klien dan harus dirawat di unit intensif. Selama sakit klien
menggunakan fasilitias GAKINDA. Selama
wawancara klien terbuka menjawab pertanyaan yang diajukan. 5) Informan V Klien Ny. E, seorang pensiunan Kepala Sekolah, berusia 71 tahun, beragama Islam, suku Sunda. Suaminya telah meninggal 3 tahun yang lalu. Memiliki 4 orang anak yang telah dewasa. Klien menggunakan fasilitas ASKES selama perawatan di RS. Klien sudah 16 tahun mempunyai penyakit jantung koroner. Klien masuk ke rumah sakit melalui UGD dan di rawat di unit intensif Cardiac Intensif Care
34
Unit (CICU), dengan diagnosa medis CAD recent STEMI Anterior Killip II, AMI Inferior, dengan hipertensi. Riwayat kesehatan menurut penuturan klien, pertama kali di rawat tahun 1995 dan baru diketahui klien memiliki hipertensi, kemudian kambuh kembali tahun 2009. Di tahun 2009 klien dinyatakan harus dilakukan tindakan pemasangan stent tetapi klien menolak baru tahun 2011 akhirnya klien bersedia dilakukan pemasangan stent. Selama di rawat klien menggunakan ASKES PNS. Selama proses wawancara Ny.E sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan terhadap dirinya. Ny.E telah mempersiapkan segala sesuatunya bila meninggal karena penyakitnya. 6) Informan VI Ny. H, usia 68 tahun, beragama Islam, suku Jawa, seorang ibu rumah tangga. Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis dan dinyatakan harus dirawat dengan diagnosa medis CAD STEMI Anterior, Inferior Killip II kemudian di rawat di ruang HCCU. Ini merupakan pengalaman pertama klien di rawat di unit intensif khusus jantung. Riwayat kesehatan menurut penuturan klien, memiliki penyakit hipertensi sudah lebih dari 25 tahun, rutin kontrol, tidak merokok. Selain itu klien juga memilki penyakit gastritis, dan rutin berobat. Selama sakit klien menggunakan ASKES PNS. Selama wawancara klien kooperatif dan terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan terhadapnya. 7) Informan VII Tn.J berumur 51 tahun, beragama Islam, suku Sunda, seorang PNS di Departemen Kehutanan, pendidikan terakhir Strata I. Memiliki 2 orang anak, yang pertama perempuan telah menikah, yang kedua laki-laki masih sekolah di SMP. Selama sakit menggunakan fasilitas ASKES PNS. Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis dan telah menderita penyakit jantung koroner selama 7 tahun. Klien di rawat di Cardiac Intensif Care Unit (CICU) dengan diagnosa medis Killip II. Klien
adalah CAD STEMI Anterior Inferior
akan dipasang ring tetapi ternyata kondisinya tidak
memungkinkan dan mengharuskan klien untuk operasi dan klien dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar.
35
Riwayat kesehatan dari penuturan klien diketahui klien menderita diabetes melitus sejak 3 tahun yang lalu, tetapi klien tidak meminum obat, pernah diberi insulin 1 tahun tetapi kemudian berhenti dan tidak pernah kontrol. Selama wawancara klien sangat terbuka dan menjawab pertanyaan yang diajukan, klien tampak kesal dan mengaku bosan menunggu dokter memeriksa hanya untuk mengatakan dirinya boleh pulang.
8) Informan VIII Tn. E berumur 48 tahun, beragama Islam, dari suku Sunda. Pendidikan klien dari SMA dan tidak memilki pekerjaan tetap. Klien memilki 5 orang anak, yang pertama perempuan masih kuliah, yang kedua laki-laki telah bekerja, yang ketiga masih SMP, ke empat SD dan yang ke lima masih di 4 Tahun. Klien masuk ke rumah sakit melalui UGD dan diharuskan dirawat dengan diagnosa medis CAD STEMI LBBB Killip II. Sebelumnya klien di rawat di ruang Cardiac Intensif Care Unit selama 5 hari kemudian pindah ke ruang HCCU. Klien menggunakan fasilitas GAKINDA selama dirawat di RS. Sebelumnya terdapat riwayat hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, tetapi tidak pernah kontrol, tekanan darah paling tinggi yang dialami adalah 180/?? mmHg. Selama ini klien tidak pernah sakit dan dirawat, ini merupakan serangan dan pengalaman pertama klien di rawat di ruang intensif khusus jantung. Selama proses wawancara klien terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan pada dirinya, dan berulang kali mengatakan bahwa penyakit ini harus diterima tidak ada yang menginginkannya, harus diterima bagaimana lagi. 9) Informan IX Tn. S (54 tahun), beragama Islam dari suku Sunda, pendidikan terakhir Strata I, bekerja sebagai guru di SMK Negeri di Bandung. Klien memilki 4 orang anak, 2 orang telah dewasa dan menikah, yang satu masih SMA dan yang paling kecil masih kelas 5 di SD. Selama sakit klien menggunakan fasilitas ASKES PNS. Ini adalah sakitnya yang kedua di rawat di unit intensif khusus jantung karena serangan pertama terjadi di bulan November 2010 dan baru sekarang kambuh lagi. Sebelumnya klien telah dipasang ring di pembuluh darah jantung
36
kanan 3 buah, dan 3 buah di pembuluh darah jantung kiri. Klien masuk karena nyeri dada berulang dan di rawat di ruang HCCU. Ketika wawancara klien masih tampak cemas terutama bila ada suara bising, baik suara orang ataupun suara barang jatuh membuat klien menjadi cemas, klien juga selalu berpegangan tangan dengan istrinya. Tetapi klien sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan terhadap dirinya.
10) Informan X Tn. Tj berusia 59 tahun seorang pensiunan PNS, pendidikan terakhir Strata I, beragama Islam, dari suku Jawa. Memiliki 3 orang anak, yang pertama mengalami retardasi mental, yang kedua sudah bekerja dan yang ketiga masih kuliah. Klien masuk ke rumah sakit melalui poli spesialis kemudian di rawat di ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) dengan diagnosa medis CAD NSTEMI Anterior Killip II. Klien memakai fasilitas asuransi kesehatan ASKES PNS. Klien telah di pasang stent 3 buah, dan berharap penyakitnya bisa sembuh total. Selama proses wawancara klien sangat terbuka menjawab semua pertanyaan yang diajukan terhadap dirinya.
HASIL
Berikut adalah hasil dari wawancara dari 10 orang informan klien dengan kondisi terminal ; infark miokard akut yang dirawat di unit intensif RSHS Bandung dan keluarganya
A. Dimensi Fisik
Untuk dimensi fisik, pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang informan meliputi nyeri dada dan sesak nafas, -
Nyeri dada
Seluruh informan menyatakan merasakan nyeri dada seperti ditindih benda berat di area sebelah kiri menjalar ke leher dan tangan kiri. Beberapa informan
37
menyatakan nyeri yang dirasakan tidak tertahankan, nyeri berat, rasa nyeri ini disertai rasa sesak. Dari 10 informan yang diwawancara seluruh informan menyatakan nyeri dada yang disertai sesak. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan informan sebagai berikut:
Informan I: “Nyeri dada yang sangat, rasanya panas seperti minum air mendidih, panas, dada seperti mau meledak…..”
Informan II: “Sakit (sambil meraba dada) menjalar ke leher, punggung,…..” -
Sesak nafas
Nyeri dada yang dirasakan disertai rasa sesak yang dirasakan seperti terputusputus, tersengal-sengal. Informan I: “ …….dada seperti ditindih benda berat, dan susah bernafas.”
Informan II: “…….tarik nafas biasa tidak terlalu sakit, tapi kalau tarik nafas dalam sakit sekali, keluar keringat dingin, sesak nafas….”
Dari 10 orang informan yang diwawancarai, 3 diantaranya menyatakan bahwa gejala fisik yang timbul disertai munculnya keringat dingin. 2 orang informan menyatakan disertai rasa lemas dan 1 orang informan disertai dengan muntah-muntah.
B. Dimensi Psikologis
38
Hasil wawancara yang didapatkan untuk dimensi psikologis pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang informan meliputi ketidakpastian menghadapi masa depan dan tidak berdaya -
Tidak berdaya
Dari 10 orang informan yang diwawancarai, seluruhnya menyatakan adanya rasa tidak berdaya, seperti yang diungkapkan oleh informan sebagai berikut:
Informan II: “ nyawa saya seperti sudah di leher, sudah tidak berdaya.” Informan IV: “saya tidak bisa apa-apa, mau berteriak juga suaranya tidak keluar.”
-
Ketidakpastian menghadapi masa depan
Dari 10 orang informan, 9 diantaranya menyatakan bahwa dengan kondisinya seperti sekarang ini mereka merasakan adanya ketidakpastian dalam menghadapi masa depan. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan informan berikut ini:
Informan I: “saya menangis bila ingat diri saya, di usia sekarang ini, harapan ke depan sepertinya jauh, benar-benar jauh. Bila saya tidak hati-hati, tidak menjaga mungkin saya tidak akan bertemu anak saya yang ke dua lulus SD, setiap saat nyawa bisa menjemput saya, karena saya sudah punya faktornya.” “………fisik, pribadi saya sudah tidak kuat, apakah saya mampu membahagiakan mereka.”
Informan VI: “katanya ini penyakit berat, pembunuh sekaligus…..saya belum tau mau ngapain.”
39
C. Dimensi Sosial Untuk dimensi sosial, pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang informan terdapat beberapa tema yaitu: tidak dapat ditemani keluarga, pesan kelangsungan hidup keluarga, biaya besar untuk berobat. -
Tidak dapat ditemani keluarga
Dari 10 orang informan yang diwawancara 8 orang informan menyatakan bahwa dirinya ingin berada di dekat keluarganya seperti anak, istri dan orangtua. Berikut adalah pernyataan informan
Informan I: “saya merasa terbebani, batin saya menderita tidak dapat bertemu dengan anak…..” “ keluarga tidak boleh menunggu, saya hanya bisa menangis…” Informan IX: “saya inginnya ditemani sama istri tapi tidak boleh, tadinya biar ada ketenangan kalau ada istri di sini, memberikan dorongan, ketenangan batin.”
- Pesan kelangsungan hidup keluarga Dari 10 orang informan yang diwawancarai, 9 orang informan menyatakan bahwa mereka berpesan pada keluarganya untuk kelangsungan hidup anak dan istrinya. Berikut pernyataan informan
Informan I: “Pada saat kejadian saya sudah nitipin anak, istri saya ke adik sya, karena saya umur nggak panjang….”
Informan II: Saya sudah berpesan titip anak-anak sama ibunya, tidak inget apa-apa yang diinget anak-anak jaga.” -
Biaya besar untuk berobat
Dari 10 orang informan yang diwawancarai 9 diantaranya menyatakan bahwa mereka memerlukan biaya besar untuk berobat. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan informan berikut ini. 40
Informan I: “Saya membutuhkan biaya besar untuk berobat padahal anak-anak harus sekolah” Informan VII: “Sebetulnya saya paling pikirkan itu biaya, walaupun pake askes, tetep aja biayanya besar, udah 2 rumah sakit juga sudah habis berapa.” D. Dimensi Spiritual Hasil wawancara yang didapatkan untuk dimensi spiritual pengalaman perawatan yang terungkap dari 10 orang informan meliputi ketakutan akan kematian, kesulitan melaksanakan ibadah (sholat). -
Ketakutan akan kematian
Hasil wawancara yang dilakukan pada 10 orang informan, seluruhnya menyatakan akan ketakutannya dalam menghadapi kematian. Hal ini dapat terlihat dari beberapa pernyataan di bawah ini:
Informan XI: “saya ada kecemasan bila ditinggal sendirian, suka takut pas lagi kambuh gak ada orang, takut meninggal gak ada orang di samping sa Informan X: ” Pasti, pasti ada ketakutan ingatnya ke hal yang jelek, takut terjadi kambuh lagi karena kan manusia biasa, bukan kita tidak mau berumur panjang tapi kalau allah sudah berkehendak apa daya.” -
Kesulitan melaksanakan ibadah (sholat)
Hasil wawancara dengan 10 orang informan yang diwawancarai, seluruhnya menyatakan bahwa mereka kesulitan melaksanakan ibadah sholat. Hal ini terlihat dari pernyataan informan berikut.
Informan 6: “gimana ya saya sih ya begini aja sholatnya, susah juga, soalnya gak pakai mukena, ya akhirnya cuma bisa berdoa aja.” Informan 7: “saya sendiri bingung, waktu sholat gak tahu, mau tayamum gimana kalau gak tau waktu sholat….”
41
PEMBAHASAN
Pada sub bab ini akan dibahas hasil dari penelitian ini berdasarkan pada literature penelitian-penelitian sebelumnya dan evidence base berdasarkan pada hasil penelitian dilihat dari dimensi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Dimensi fisik Pada dimensi fisik ini pengalaman perawatan klien kondisi terminal akut miokard infark yang sedang di rawat di ruang intensif dari seluruh informan yang diwawancara didapatkan tema penelitian nyeri dada dan sesak nafas. Nyeri dada yang dirasakan tidak tertahan sehingga menyebabkan mereka mencari pertolongan. Nyeri dada diakibatkan oleh kurangnya suplay oksigen ke Koroner akibat Aterosklerosis atau penyumbatan total pada arteri oleh emboli atau trombus, sehingga terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan terjadinya peningkatan asam laktat. Hal ini kemudian akan meningkatkan produksi hormon prostatglandin dan bradikinin, ini akan merangsang aktifitas reseptor nyeri pada ujung-ujung saraf bebas, kemudian dihantarkan ke cornuposterior medula spinalis dan diteruskan ke cortek cerebri, sehingga nyeri dirasakan. Lokasi nyeri bisa dirasakan di daerah substernal dan menjalar ke leher, rahang, lengan kiri, atau ke punggung dan terjadi ketika klien aktif atau istirahat. Nyeri dirasakan selama dua puluh menit atau lebih dan tidak hilang dengan istirahat atau pemberian terapi nitrat (Brunner dan Suddath, 2001). Rasa nyeri yang timbul akibat adanya nekrosis di jaringan miokard bila tidak ditangani dengan segera akan menyebabkan jaringan miokard yang rusak akan luas, hal ini akan berpengaruh terhadap stroke volume, cardiac output, hearth rate, yang pada akhirnya akan menyebabkan gangguan hemodinamik. Bila semakin luas jaringan miokard yang mengalami infark, akan menyebabkan terjadinya bendungan di vena pulmonal. Hal ini mengakibatkan tekanan hidrostatik lebih besar daripada tekanan osmotik koloid, sehingga akhirnya cairan shift ke interstitial, yang dimanifestasikan dengan adanya edema pulmonal yang ditandai dengan adanya bunyi ronchi di area paru-paru, hal ini telah dinyatakan dengan jelas dalam Killip. Pada kondisi ini pasien akan
42
merasakan sesak ditambah dengan adanya nyeri menyebabkan pasien menjadi sulit bernafas.
Dimensi Psikologis Pada dimensi ini dari hasil wawancara dengan informan, didapatkan 2 tema penelitian yaitu rasa tidak berdaya dan ketidakpastian menghadapi masa depan. Reaksi psikologis yang dapat muncul dari klien dengan akut miokard infark sejak klien menerima informasi tentang keadaan penyakitnya respon pertama menurut Glaser (1972) setelah seseorang diberitahukan tentang penyakitnya yang tidak dapat disembuhkan dan bahwa proses penyakitnya semakin parah, klien langsung jatuh ke fase depresi. Bila melihat dari hasil wawancara mereka mengungkapkan rasa tidak berdaya dan ketidakpastian pada masa depan, hal ini mencirikan bahwa mereka di fase depresi. Di sini seluruh pasien ketergantungan pada orang lain, baik itu keluarganya maupun petugas kesehatan. Fase ini dapat berlangsung lama atau cepat tergantung dari faktor usia, pendidikan, agama, lingkungan sosial budaya, faktor ekonomi dan sebagainya. Setelah itu klien dapat menerima kondisinya atau justru mengingkarinya. Dengan menerima keadaan penyakitnya, klien masuk ke fase acceptance yang akan diikuti oleh perilaku pasif atau aktif mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan dialami. Namun perilaku seperti ini juga tergantung dari faktor-faktor tadi. Di samping itu ada klien yang telah memasuki fase acceptance tetapi masih tetap berusaha dan mengharapkan kesembuhan, upaya ini dinamakan “perjuangan untuk hidup”. Klien melakukan segala sesuatu untuk memperpanjang usianya dan menganjurkan keluarganya untuk mencari pengobatan baru. Dalam situasi ini orang-orang yang dekat dengan klien seperti keluarga, rohaniwan, perawat dan dokter dapat dengan sangat efektif mempengaruhi klien.
Dimensi Sosial Dari hasil wawancara dengan informan didapatkan 3 tema penelitian pada dimensi sosial meliputi: tidak dapat ditemani keluarga, pesan kelangsungan hidup keluarga, dan biaya besar untuk berobat. Kecemasan yang dirasakan klien Akut
43
Miokard Infark dapat mempengaruhi sosialisasi klien dengan keluarga atau orang terdekat untuk mendapatkan dukungan. Menurut Ahmad., et all. (2006) bahwa gejala-gejala fisik dari klien dalam kondisi terminal berkaitan dengan peningkatan stres dan juga depresi dan kegelisahan. Distres pada gilirannya dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial dan kultural yang beragam.
Pengkajian gejala distres dengan demikian
merupakan aspek yang vital dalam perawatan klinis, Cohen dan Mc Kay (1984) dalam Neil Niven (1994) menampilkan suatu model kondisi dimana dukungan seseorang akan menurunkan atau mencegah stres. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan sosial memberikan efek penyangga terhadap kejadian – kejadian yang penuh stres. Pada saat klien dirawat karena penyakit infark miokard akut, mereka membutuhkan dukungan, dan mekanisme dukungan yang paling tepat adalah dukungan pengharapan Dukungan pengharapan merupakan dukungan yang diberikan secara kelompok.
Kelompok dukungan dapat mempengaruhi persepsi individu akan
ancaman. Dukungan social penyangga orang – orang untuk melawan stres dengan membantu mereka mendefinisikan kembali situasi tersebut terhadap ancaman kecil. Di sini diperlukan kehadiran keluarga yang mendampingi klien di saat kritis, tetapi aturan perawatan menyebabkan mereka tidak dapat ditemani oleh keluarganya, padahal menurut Rasulo, D et. all. (9) (2005) faktor hubungan sosial dapat meningkatkan survival menjadi lebih panjang dengan memiliki pasangan dan ikatan yang dekat dengan teman-teman dan saudara kembar Sebagian besar informan yaitu 8 dari 10 orang informan memiliki pikiran negatif dimana mereka seluruhnya telah menitipkan keluarga dekatnya (istri dan anak-anaknya) kepada keluarga besarnya. Hal ini menunjuikkan bahwa dukungan sosial dapat juga membantu meningkatkan strategi koping individu. Selain itu dapat dengan menyarankan strategi – strategi alternatif yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya. Dapat pula dengan mengarahkan pada orang yang sama yang telah mengalami situasi yang sama untuk mendapatkan nasehat dan bantuan.dan mengajak orang – orang berfokus pada aspek yang lebih positif dari situasi tersebut.
44
Dari faktor ekonomi menurut Kramer, et. al (2005) menyebabkan perlunya biaya yang besar dalam pengobatan, ketidakmampuan dari sistem pendukung dimana asuransi kesehatan tidak memenuhi semua kebutuhan klien dengan penyakit terminal. Hal ini ditemukan pula pada penelitian ini, dimana dari 10 orang informan 9 diantaranya menyebutkan bahwa mereka memerlukan biaya yang besar untuk pengobatan.
Dimensi Spiritual Dari hasil wawancara pada dimensi spiritual didapatkan 2 tema penelitian yaitu ketakutan akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat). Klien
Infark Miokard
Akut
mengalami krisis yang berhubungan dengan
perubahan patofisiologi, dimana rasa nyeri yang hebat dan disertai sesak nafas membuat klien berpikir bahwa sekaranglah akhir kehidupannya, selain itu pengobatan yang diperlukan dan atau situasi yang mempengaruhi seseorang sehingga pikiran negatif itu timbul. Diagnosa penyakit umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Apabila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang / berdoa lebih tinggi (Achir Yani, 2000). Pada penelitian ini seluruh informan menyatakan bahwa dirinya merasa dihadapkan pada kematian dan menyatakan bahwa mereka sulit melakukan ibadah sholat untuk semakin mendekatkan diri mereka pada Tuhan.
6. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian pengalaman klien kondisi terminal: infark miokard akut selama di rawat di Ruang Cardiac Intensif Care Unit (CICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dilihat dari 4 dimensi yaitu dimens fisik, dimensi psikologis, dimensi sosial dan dimensi spiritual. Untuk dimensi fisik didapatkan tema penelitian nyeri dada dan sesak nafas. Untuk dimensi psikologis didapatkan
45
tema penelitian tidak berdaya dan ketidakpastian menghadapi masa depan. Sedangkan untuk dimensi sosial didapatkan tema penelitian yaitu tidak dapat ditemani keluarga, pesan kelangsungan hidup keluarga, dan biaya besar untuk berobat. Sedangkan untuk dimensi spiritual didapatkan tema penelitian ketakutan akan kematian dan kesulitan dalam melaksanakan ibadah (sholat). Saran dari penelitian ini adalah pentingnya dapat mengelola dan mengintegrasikan pelayanan perawatan pada pasien infark miokard akut yang sedang dirawat di unit intensif secara holistik; bio psiko sosial dan spiritual.
7. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, N., Kamal, M., Anwar, A.H.M.M., and Rahman, A.K.M.S. (2006). Needs Of Terminally Ill Patients And Their Families: An Experience With Fifty Three Patients Attending A Newly Organized Palliative Care Service In Bangladesh. Journal of BSA, Volume 19, No. 1 – 2 . Albrecht, C. (2006). Overview of The South African Cancer Research Environment As A Basis For Discussions Concerning The Activation of CARISA ( Cancer Research Initiative of South Africa). Independent Medical Research Consultant Allen, R.S., Burgio, L.D., Fisher, S., Hardin, J.M., and Shuster, Jr. J.L. (2005). Behavioral Characteristics of Agitated Nursing Home Residents, with Dementia at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 661 – 666. Anthony, H., Dermot, M., and Stephen, G. (2004), TB/HIV A Clinical Manual (Second Edition ed). China, WHO Library Cataloguing. Berger, A., Pereira, D., Baker, K., O’Mara, A., and Bolle, J. (2002). A Commentary: Social and Cultural Determinants of End of Life Care for Elderly Persons. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 49 – 53. Bradshaw, D. (2010). Burden of Disease. Medical Research Council, Tygerberg. South Africa Brockopp, D.Y., and Tolsma MTH. (2000). Dasar-Dasar Riset Keperawatan. Y. Asih dan Maryunani A, Trans. Edisi 2. Jakarta: EGC. Campbell, H., Hotchkiss, R., Bradshaw, N., Porteous, M. (1998). Integrated care pathways. BMJ. Jan 10;316(7125):133-7. Case Management Society of America (CMSA). (2010). Standards Of Practice For Case Management. USA Clayton, J.M., Hancock, K., Parker, S., Butow, P.N., Walder, S., Carrick, S., et all. (2008). Sustaining hope when communicating with terminally ill patients and their families: a systematic review. Psycho-Oncology 17: 641–659
46
Clark, C.C. (2004). The Holistic Nursing Approach to Chronic Disease. New York Springer Publishing Company. Cullen, L., Titler, M., & Drahozal, R. (2003). Family and Pet Visitation in the Critical Care Unit. American Association of Critical-Care Nurses. 23 (5) : 62-67 Damiani, M.E., Cattaneo, M.T., Tansini, G., Dedor, B., Gabris, A, Galimberti, A., Piazza, E. (2009). Care of The Terminally Ill Cancer Patient. J. Med Pers 7:27 – 33 Denisson, R.D, (1996). Pass CCRN. Nancy Coon: USA Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Keputusan Menteri Kesehatan tentang Perawatan Paliatif. Jakarta Dossey, B.M., Keegan, L., Guzzeta, C.E. (2005). Holistic Nursing A Handbook for Practice. 4 Ed. Jones and Bartlett Publisher Inc. Drought, T.S. (2005) .Choice in End-of-Life Decision Making: Researching Fact or Fiction. The Gerontological Society of America Vol 42 Emanuel, L., Librach, L. (2007). Palliative Care: Core Skills and Clinical Compentencies. Saunders Elsevier. Philadelphia Syukrudin, E. (2000). Pedoman Tatalaksana Infark miokard . ITB : Bandung. Folit, D.F., and Beck, C.T. (2006). Nursing Research: Methods Appraisal and Utilization (6 ed). Philadelphia: Lipincott Williams and Wilkins. Friedman, M., Bowden, V.R., & Jones, E. (2003). Family Nursing: Research, Theory, and Practice. 5th ed. Stamford, CT : Appleton & Lange Fried, T.R., O'leary, J., Van Ness, P., Fraenkel, L. (2007). "Inconsistency over time in the preferences of older persons with advanced illness for lifesustaining treatment". Journal of the American Geriatrics Society 55 (7): 1007–14. Gillis, A. & Jackson, W. (2002). Research for nurses methods and interpretation. Philadelphia : F.A. Davis Company. Glaser, G. (1972). Disclosure of Terminal Illness In: Patient, Phisician and Illness. Free Press New York. George, L.K. (2002). Research Design in End of Life Research: State of Science. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 86 – 98. Govender, M. (2008). Death Anxiety and Attitude of Nurses towards Dying. The Gerontological Society of America Vol 45. Hamid, A.Y.S S. Hamid. (2000). Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Widya Medika : Jakarta. Hancock, B. (2002). Trent Focus for Research and Development in Primary Health Care An Introduction to Qualitative Research. Trent Focus Group; University of Nottingham Harun dan Idrus. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat penerbit FKUI : Jakarta. Hawari, D. (2004). Doa dan Dzikir Sebagai Pelengkap. PT. Dana Bhakti Prima Yasa : Jakarta Hawari, D. (1996). Al-Quran: Ilmu Kedokteran Jiwa.dan Kesehatan Jiwa PT. Dana Bhakti Prima Yasa : Jakarta Hawkins, N.A., Ditto, P.H., Duks, J.H., and Smucker, W.D. (2005). Micromanaging Death: Process Preferences, Valus, and Goals in End of
47
Life Medical Decision Making. The Gerontological Society of America Vol 45, No 1, 107 – 117 . Hawker, S., Payne, S., Kerr, C., Hardey, M., and Powell, J. (2002). Appraising the evidence : reviewing disparate data systimatically Qualitative health reserach, 12, 1284-1299. Hidayat, A. (2004). Pengantar Konsep Dasar Keprawatan. Selemba Medika : Jakarta. Hays, M. et. al. (7). (2005) The Spiritual History Scale in Four Dimensions (SHS4): Validity and Reliability. The Gerontological Society of America Vol 45. Hebert, R.S., Schulz, R., Copeland, V.C., and Arnold, R.M. (2009) Preparing Family Caregivers for Death and Bereavement. Insights from Caregivers of Terminally Ill Patients. Journal of Pain and Symptom Management, Vol. 37 No. 1. Hudak, C.M., Gallo, B.M. (1994)a. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (Allenidekania, B. Susanto, Teresa dan Yasmin, Trans. Edisi VI ed. Vol. I). Jakarta : EGC Hudak, C.M., Gallo, B.M. (1994)b. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik (M.E.Adiyanti, M Kariasa, M. Sumarwati dan E. Afifah, Trans. ed VI. Volume I). Jakarta : EGC Hill, M. (1998). The development of care management systems to achieve clinical integration. Adv Pract Nurs. Q. Summer;4(1):33-9. Instalasi Diklat RSUP.DR. Wahidin Sudirohusodo, FK-UNHAS. Materi Pendidikan – Pelatihan Perawat Intensif Care Unit (ICU). Makassar Jones, J.K. (2002). The Experience of Dying: An Ethnographic Nursing Home Study. The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 651 – 660. Keliat, B.A. (1999). Penatalaksanaan Stress. EGC : Jakarta. Kaiser, K. (1992). assessment and management of pain in the critically ill trauma patient. Critical Care Nursing Quaterly, 15, 14-34. Kish. S.K. (2000). "Advance Directives in Critically Ill Cancer Patients." In Critical Care Nursing Clinics. North America . Kirkchoff, L.T. Beckstrand, R.L. (2000). Critical care nurse perceptions of obstacles and helpful behaviours in providing end of life care to dying patients. Am J Crit Care, 9, 96. Kollef, M.H., Bedient, T.J., Isakow, W., Witt, C.A. (2008). The Washington Manual of Critical Care. Lippincott. Washington. Kozier, B., Erb, G., Blais, K. & Wilkinson J.M. (1995). Fundamentals of nursingconcepts, process and practice. California : Addison Wesley Nursing. Koenig, H.G. (2002). A Commentary: The Role of Religion and Spirituality at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 20 – 23. Kubler, R. E. (1970). On Death and Dying. New York. Mc Millan Publication Kramer, B.J, and Auer, C. (2005). Challenges to Providing End of Life Care to Low Income Elders With Advanced Chronic Disease: Lessons Learned From a Model Program The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 71 80.
48
Krause, R.S. (2010). Palliative Care in the Acute Care Setting. State University of New York Kwak, J., and Haley, W.E. (2005). Current Research Finding on End of Life Decision Making Among Racially or Ethnically Diverse Groups. The Gerontological Society of America Vol 45, No 5, 634 – 641. Lumenta, B. (1997). Tanatologi tentang Perilaku Pasien Terminal. Ebers PapirusVol 3. No.1 Lawrence, M. (1995). The Unconscious Experience. Am J Crit Care, 4, 227 Leske, J.S. (2002). Interventions to Decrease Family Anxiety. American Association of Critical-Care Nurses. 22 (6) : 61-65 Liewellyn, K. (2003). Cultural Diversity and Pain Management. from http://www.cahq.org/docs/2003/culturaldiversitypainmanagement.pdf Matousek, M. (2000). "Start the Conversation: The Modern Maturity Guide to End-of-Life Care." and "The Last Taboo." Modern Maturity/AARP. Marino, P.I. (2007). The ICU Book (Third ed). New York: Lippincott Williams and Wilkins. Mc.Graw-Hill concise Dictionary of Modern Medicine. (2002). By The Mc.Graw Hill Companies.Inc Macnee, C.L.(2004). Understanding nursing research : reading and using research in practice. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. McPhee, R., Markowitz, P., (2000). “Death is inevitable, and while there is no way out, there is a way through” The Dialectics of Care: Communicative Choices at the End of Life. P 2513 Mezey, M., Dubler, N.N., Mitty, E., and Brody, A.A. (2009). What Impact Do Setting and Transitions Have on the Quality of Life at the End of Life and the Quality of the Dying Process. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 54 - 67. Middleton, A. (2003). Integrated Care Pathways; A Practical Approach To Implementation. Butterworth – Heinemann Michiels, E., Deschepper, R., Kelen, G.V.D, Bernheim, J.L., Mortier, F., Stichele, R.V., Deliensand, L. (2007). The role of general practitioners in continuity of care at the end of life: a qualitative study of terminally ill patients and their next of kin. http://pmj.sagepub.com/content/21/5/409 Moleong, L.J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi ed.). bandung: Remaja Rosdakarya Morgan, D.L. (1997). Focus Group as Qualitative Research Method Series. 2 ed. Sage Publication. Morrow, A. (2010). Paliatif Care Guide: Hospice Case Manager Nurse. Melalui
[2/2/11] Morsse, S.D, Shugarman, L.R., Karl, A.L., Mularski, R.A., and Lynn, J. (2008). A Systematic Review of Satisfaction with Care at the End of Life. California Evidence-Based Practice Center Munn, J.C., Dobbs, D., Meier, A., Williams, C., Biola, H., and Zimmerman, S. (2008). The End of Life Experience in Long Term Care: Five Themes Identified From Focus Groups With Residents, Family Members, and Staff. The Gerontological Society of America Vol 48, No. 4, 485 – 494.
49
Natan, M.B., Garfinkel, D., Shachar, I. (2010). End-of-life needs as perceived by terminally ill older adult patients, family and staff. European Journal of Oncology Nursing. 299 - 303 Niven, P. (2003). Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain. Edisi 2. EGC, Jakarta Nawawi, F. (2000). Nilai Troponin pada Penderita Sindrom Koroner Akut (SKA) : http;//www. Journal.unair.ac.id. Diperoleh tanggal:2 Oktober 2007. Osse, B.H.P., Dassen, M.J.F.J.V., Schade, E., Grol, R.P.T.M. (2007). A Practical Instrument to Explore Patients Needs In Palliative Care: The Problems and Needs In Palliative Care Questionnaire-Short Version. Palliative Medicine; 21: 391 – 399. Owen, S.A., Sterk, C., & McCarty, F. (2009). Development and Avaluation of a Complementary and Alternative Medicine Use Survey in AfricanAmericans wit AIDS. The Journal of Alternative and Complementary Medicine, 16(569-577) Patton, M.Q. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods. Sage Publication, Inc. Parse, R.R. (2001). Qualitative Inquiry: The Path of Sciencing. Jones and Bartlett Publishers. Canada. Price, S.A., & Wilson, l. M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Pollit, D.F & Hungler, B.P. (1999). Nursing research : principles and methods . (6thed.). Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Polit, D.F. & Beck, C.T. (2006). Essentials of nursing research methods,aAppraisal, and utilization. (6th ed.). Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Powell, S.K. (2000). Case Management; A Practical Guide To Succeess in Managed Care. Lippincott. Philadelphia. Rasulo, D., Christensen, K., and Tomassini, C. (2005). The Influence of Social Relations on Mortality in Later Life: A Study on Elderly Danish Twins. The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 601 – 608. Schroepfer, T.A. (2008). Social Relationships and Their Role in the Consideration to Hasten Death. The Gerontological Society of America Vol 48, No.5, 612 – 621. Sloane, P.D, Zimmerma, S., Williams, C., and Hanson, L.C. (2008). Dying With Dementia in Long Term Care. The Gerontological Society of America Vol 48, No.6, 741 – 751. Smeltzer, dkk (2004). Brunner & Suddarth’s texbook of medical surgical nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Sole, M.L., Klein, D.G., and Moseley M.J. 2009. Critical Care Nursing. By Saunders 5 th ed. Stemler, S. (2001). An overview of content analysis. Practical Assessment, Research & Evaluation, 7(17). Retrieved March 10, 2011 from http://PAREonline.net/getvn.asp. Streubert, H.J. and Carpenter, D.R. (2003). Qualitatif Researcht in Nursing; advancing the Humanistic Imperative (3nd). Lippicoth : Phladelphia. Sugiyono. (2007). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung : CVAlfabeta.
50
Sulmasy, D.P. (2002). A Biopsychosocial-Spiritual Model for the Care of Patien at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 24 – 33. Travis, S., et. al. (6). (2005). Hospitalization Patterns and Palliation in the Last Year of Life Among Residents in Long-Term Care . The Gerontological Society of America Vol 42 USA Health System). Case Management. Melalui [12/12/10] Urden, L.D., Stacy, K.M., Lough, M.E. (2006). Critical Care Nursing Diagnosis and Management. St Louis. Missouri: MOSBY Vincent, J.L. (2010). Yearbook Of Intensive Care And Emergency Medicine. Pub. Springer – Verlag Berlin, Heilelberg New York Virginia, T.P., Tolle., Drach., and Hickman. (2002). Measurment of Quality of Life at the End of Life. The Gerontological Society of America Vol 42, Special Issue III, 71- 80. Wetle, T., Shield, R., Teno, J., Miller, S.C., and Welch, L. (2005). Family Perspectives on End-of-Life Care Experiences in Nursing Homes. The Gerontological Society of America Vol 45, No.5, 642 – 650.
51
52