PENGAKUAN PENGHASILAN BERBASIS AKRUAL UNTUK TUJUAN FISKAL oleh Purwanto, S.E., M.Sc Abstrak Proses pengakuan penghasilan mempunyai peranan penting dalam Pajak Penghasilan. Dalam konteks perpajakan, dikenal dua pendekatan, yaitu stelsel akrual dan stelsel kas. Khusus untuk stelsel akrual, pengaturannya masih belum lengkap. Oleh karena itu, untuk stelsel akrual, harus dihindari kemungkinan terjadinya pemajakan atas penghasilan yang belum diterima oleh wajib pajak. Kata kunci: penghasilan, stelsel kas, stelses akrual Dalam
menghitung besarnya Pajak Penghasilan (PPh) terutang, bukan hanya besarnya
penghasilan, saat pengakuan penghasilan juga penting. Peraturan perundang-undangan perpajakan memberikan dua opsi dalam pengakuan penghasilan, yaitu dapat digunakan stelsel kas maupun stelsel akrual. Penggunaan stelsel kas relatif sederhana dan sudah diatur cukup jelas. Namun, stelsel akrual merupakan isu yang cukup kompleks dan belum diatur secara jelas. Jenis transaksi dalam pengakuan penghasilan secara akrual sangat bervariasi. Apakah penggunaan stelsel akrual dalam akuntansi komersial bisa diterapkan sepenuhnya untuk tujuan fiskal? Artikel ini membahas tentang a) bagaimana pengakuan penghasilan secara akrual dalam akuntansi komersial b) apakah pengakuan penghasilan dalam akuntansi komersial tersebut dapat diterapkan untuk tujuan fiskal 1. STELSEL KAS UNTUK TUJUAN FISKAL Pengakuan penghasilan berdasarkan stelsel kas cukup sederhana, yaitu penghasilan diakui saat pembayaran atas penghasilan tersebut sudah diterima. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan perpajakan membedakan antara wajib pajak yang menyelenggarakan pencatatan dan yang menyelenggarakan pembukuan. Bagi wajib pajak yang menyelenggarakan pencatatan, penghasilan diakui dengan menggunakan stelsel kas murni (lihat pasal 4, Peraturan Dirjen Pajak No. 4/PJ/2009). Maksudnya, penghasilan diakui jika pembayarannya sudah diterima. Sebagai contoh, wajib pajak orang pribadi yang memiliki usaha peternakan ayam potong. Jika wajib pajak tersebut memilih menyelenggarakan pencatatan, penjualan atas ayam potong tersebut hanya diakui kalau pembayaran sudah diterima secara tunai. Hal ini berbeda dengan wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan. Pengakuan penghasilan dalam pembukuan boleh digunakan stelsel kas maupun stelsel akrual (lihat pasal 28 ayat 5 Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan). Jika wajib pajak menggunakan stelsel kas, tidak boleh menggunakan stelsel kas yang murni, tapi harus stelsel kas campuran. Yang dimaksud dengan stelsel kas tidak murni disini adalah walaupun wajib pajak menggunakan stelsel kas, a) dalam pengakuan penjualan meliputi seluruh penjualan tunai dan penjualan kredit b) dalam menghitung harga pokok penjualan memperhitungkan seluruh pembelian tunai dan pembelian kredit
c) pengeluaran yang memiliki manfaat lebih dari satu tahun, pembebanannya melalui penyusutan atau amortisasi. Dari contoh di atas, seandainya peternak ayam tersebut menyelenggarakan pembukuan dengan stelsel kas, maka jumlah penjualan yang diakui dalam suatu tahun pajak adalah seluruh penjualan, baik penjualan tunai dan penjualan kredit. Jadi penggunaan stelsel kas untuk tujuan pajak sudah diatur cukup jelas. Wajib pajak yang menyelenggarakan pencatatan menggunakan stelsel kas murni, sedangkan wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan, kalau menggunakan stelsel kas harus stelsel kas yang tidak murni. 2. STELSEL AKRUAL UNTUK TUJUAN FISKAL Stelsel akrual hanya boleh digunakan bagi wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan. Tidak seperti penggunaan stelsel kas, peraturan perundang-undangan perpajakan belum mengatur secara rinci tentang penggunaan stelsel akrual ini. Namun, dalam penjelasan pasal 28 ayat 7 Undangundang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan dinyatakan bahwa pembukuan diselenggarakan sesuai dengan cara atau sistem yang lazim di Indonesia, misalnya Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain. Jadi jika untuk keperluan pajak tidak diatur tersendiri, maka penggunaan stelsel akrual mengikuti akuntansi komersial. Yang menjadi masalah adalah apakah stelsel akrual dalam Standar Akuntansi Keuangan dapat sepenuhnya diterapkan untuk pengakuan penghasilan tujuan fiskal? 3. STELSEL AKRUAL DALAM AKUNTANSI KOMERSIAL Dalam akuntansi komersial, pengakuan penghasilan hanya diperbolehkan menggunakan stelsel akrual saja. Terdapat dua kriteria yang harus dipenuhi agar suatu penghasilan dapat diakui : a) Penghasilan tersebut sudah terealisasi Sebagaimana dinyatakan oleh Kieso, Weygant, dan Warfield penghasilan diakui ketika terdapat probabilitas yang signifikan bahwa suatu manfaat ekonomi akan mengalir ke perusahaan. Ketika terjadi penjualan, misalnya penjualan kredit, perusahaan akan mendapatkan manfaat ekonomi di masa mendatang berupa piutang yang akan dibayar oleh pembeli. b) Besarnya penghasilan tersebut bisa ditentukan secara handal. Umumnya kedua kriteria tersebut terpenuhi pada saat terjadi penjualan, walaupun penjualan dilakukan secara kredit dan belum diterima pembayarannya. Namun, dalam kondisi-kondisi tertentu kedua kriteria diatas dapat terpenuhi pada saat yang berbeda. Dalam hal-hal tertentu kedua kriteria diatas sudah terpenuhi bahkan saat barang masih dalam proses produksi, dan penjualan belum dilakukan. Kadang-kadang penghasilan baru diakui jauh setelah penjualan dilakukan. Jadi dalam stelsel akrual, penghasilan bisa diakui pada saat-saat berikut : a) Saat barang masih dalam proses produksi
Dalam kontrak jangka panjang, perusahaan biasanya mengakui penghasilan berdasarkan persentase penyelesaian. Sebagai contoh, suatu perusahaan mendapatkan kontrak untuk membuat kapal laut, dengan nilai kontrak Rp 100 milyar, yang diselesaikan dalam dua tahun. Estimasi biaya produksi Rp 60 milyar. Jika pada tahun pertama tingkat penyelesain adalah 40% dan biaya produksi yang sudah dikeluarkan sebesar Rp 28 milar, maka Penghasilan yang diakui pada tahun pertama -
Nilai kontrak x 40% = Rp 40 milyar
-
Biaya produksi Laba kotor diakui
= Rp 28 milyar = Rp 12 milyar
b) Saat barang selesai diproduksi Penghasilan dapat diakui pada saat barang selesai diproduksi walau pun belum dijual. Kondisi ini berlaku jika barang yang dihasilkan tersebut mudah untuk dipasarkan pada harga pasar tertentu. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah barang-barang yang bersifat komoditas. Sebagai contoh produk pertanian dan beberapa produk hasil pertambangan. Jika sebuah perusahaan pertanian panen jagung sebanyak 10.000 ton, dan harga pasar jagung saat itu adalah Rp 50 juta per ton, saat panen sudah diakui adanya penghasilan sebesar 10.000 ton x Rp 100 juta = Rp 500 milyar, walau pun hasil panen belum dijual. c) Penghasilan diakui saat penjualan Pengakuan penghasilan pada saat penjualan adalah kondisi umum dimana kedua kriteria pengakuan penghasilan diatas terpenuhi. Walaupun penjualan tersebut dilakukan secara kredit, penjualan tersebut sudah diakui sebagai penghasilan. Umumnya, penjualan diakui pada saat hak milik berpindah dari penjual kepada pembeli. Dalam penjualan secara FOB shipping point, penjualan diakui pada saat barang dikirimkan kepada penyedia jasa pengiriman. Sebaliknya, dalam penjualan secara FOB destination, penjualan diakui pada saat barang diterima oleh pembeli. d) Penghasilan diakui saat diterima pembayaran Dalam kondisi dimana risiko kolektabilitas dari piutang atas penjualan kredit cukup tinggi, penghasilan baru diakui saat diterima pembayaran. Hal ini diterapkan pada penjualan secara cicilan (installment sales). Jika risiko kolektabilitas tinggi, setiap kali perusahaan menerima pembayaran cicilan, pertama harus digunakan untuk menutup harga pokok penjualan. Penghasilan baru diakui jika jumlah cicilan yang dibayar sudah bisa menutup harga pokok penjualan. 4. Pembahasan
Konsep penghasilan yang digunakan dalam Pajak Penghasilan kita, seperti halnya digunakan di banyak negara lain, adalah konsep pertambahan (accretion concept) yang dikemukakan oleh SimonHaig. Konsep ini memberikan pengertian penghasilan dalam arti luas (comprehensive income). Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, yang dapat digunakan untuk konsumsi dan menambah kekayaan. Konsep penghasilan ini digambarkan dengan formula berikut : I = C + ∆NW, dimana I = income, C = consumption, dan ∆NW = net worth Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Mansury bahwa accretion concept yang digunakan dalam Pajak Penghasilan kita adalah bukan accretion concept yang murni, tetapi realized accretion economic power. Artinya, tambahan kemampuan ekonomis baru dikenakan pajak kalau sudah terealisasi. Sebagai contoh, seorang wajib pajak pada awal tahun 2012 membeli 100 gram emas seharga Rp 50 juta. Jika pada akhir tahun 2012 harga pasar emas tersebut naik menjadi Rp 60 juta, wajib pajak tersebut memperoleh tambahan kemampuan ekonomis sebesar Rp 10 juta. Namun, tambahan kemampuan ekonomis tersebut belum dikenakan pajak karena emas tersebut belum dijual atau belum terealisasi. Ada kasus lain di pengadilan pajak Amerika Serikat yang menjelaskan hal ini. Seorang wajib pajak membeli saham seharga $100 dan pada akhir tahun harga sahamnya naik menjadi $120. Petugas pajak Amerika menyatakan bahwa wajib pajak harus membayar pajak karena ada tambahan kemampuan ekonomis sebesar $20. Wajib pajak tersebut keberatan, karena sahamnya belum dijual. Akhirnya, wajib pajak tersebut dimenangkan di pengadilan dengan alasan adalah tidak adil jika seseorang harus membayar pajak atas kenaikan harga saham, sementara uang yang digunakan untuk membayar pajak berasal dari sumber lain. Selain itu, bagaimana jika wajib pajak tersebut tidak memiliki sumber penghasilan lain. Apakah dia harus menjual sahamnya agar mampu membayar pajak? Sehubungan dengan penggunaan stelsel akrual, perlu diketahui bahwa tujuan pengakuan penghasilan dalam akuntansi komersial berbeda dengan untuk tujuan fiskal. Dalam akuntansi komersial, tujuan pengakuan penghasilan adalah semata-mata untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan. Sementara untuk tujuan fiskal tujuannya adalah untuk menghitung pajak penghasilan yang harus dibayar wajib pajak. Akuntansi komersial berkepentingan bagaimana kinerja keuangan bisa diukur secara wajar ((fair) dan handal. Pengakuan penghasilan untuk tujuan perpajakan seyogyanya diarahkan agar pajak yang dibayar berasal dari kas yang diperoleh dari penghasilan tersebut, bukan berasal dari penghasilan jenis lainnya. Berkaitan dengan hal di atas ada beberapa penerapan stelsel akrual dalam akuntansi komersial yang tidak dapat diterapkan untuk tujuan fiskal. Namun, dalam banyak kasus penerapan stelsel akrual dalam akuntansi komersial bisa diterapkan untuk tujuan perpajakan. a) Pengakuan penghasilan selama proses produksi
Pengakuan penghasilan untuk tujuan fiskal bisa dilakukan selama proses produksi, dengan syarat pembayarannya sudah diterima selama proses produksi. Dalam banyak kasus, jika proses pengerjaan memerlukan biaya besar dan waktu yang lama, pembayaran atas nilai kontrak tersebut dilakukan selama proses produksi berlangsung. Misalnya dalam produksi pesanan kapal laut. Oleh karena itu, metode persentase penyelesaian bisa juga digunakan dalam pengakuan penghasilan untuk tujuan pajak. b) Pengakuan penghasilan saat selesai produksi Pengakuan penghasilan atas hasil pertanian dan hasil tambang saat selesai diproduksi kurang tepat jika digunakan untuk tujuan fiskal. Karena barangnya belum dijual sehingga belum ada kas yang diterima oleh wajib pajak. c) Pengakuan penghasilan saat penjualan Dalam pengakuan penjualan secara akrual, penjualan yang diakui baik penjualan kredit maupun tunai. Pengakuan penghasilan ini masih bisa diterima untuk tujuan fiskal, dengan pertimbangan atas penjualan kredit biasanya jangka waktu pelunasan tidak terlalu lama. d) Pengakuan penghasilan saat diterima pembayaran Untuk penjualan cicilan, saat antara penyerahan barang dan pembayaran dilakukan pada jangka waktu yang cukup lama. Dalam hal ini pengakuan penghasilan untuk tujuan fiskal, lebih tepat dilakukan setiap kali menerima pembayaran. Jadi setiap kali menerima pembayaran cicilan, sebagian dialokasikan sebagai pelunasan harga pokok penjualan, sebagian diakui sebagai penghasilan atas penjualan cicilan. 5. Simpulan Terdapat dua pilihan dalam pengakuan penghasilan untuk tujuan fiskal, yaitu stelsel kas atau stelsel akrual. Penggunaan stelsel kas untuk tujuan fiskal cukup sederhana dan sudah diatur cukup jelas. Sementara, stelsel akrual merupakan isu yang kompleks dan penerapannya belum diatur secara jelas. Pengakuan penghasilan pada akuntansi komersial lebih ditujukan untuk mengukur kinerja keuangan secara wajar dan handal. Di sisi lain, pengakuan penghasilan untuk tujuan fiskal adalah untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar. Seyogyanya, wajib pajak tidak dibebani membayar pajak atas penghasilan yang belum diterima. Dari perbedaan tersebut, ada beberapa penerapan stelsel akrual dalam akuntansi komersial yang tidak tepat jika diterapkan untuk tujuan fiskal. Oleh karena itu, nampaknya Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih lanjut tentang pengakuan penghasilan secara stelsel akrual ini. Referensi 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
3. Peraturan Dirjen Pajak Nomor 4/PJ/2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi 4. Kieso, D.E., Weygandt, J.J., dan Warfield, T.D. Intermediate Accounting IFRS Edition Volume 1. John Wiley & Sons 5. Kieso, D.E., Weygandt, J.J., dan Warfield, T.D. Intermediate Accounting IFRS Edition Volume 2. John Wiley & Sons