PENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN STATUS OKUPASI
Muhadi Prabowo (
[email protected]) Widyaiswara Madya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Abstrak – Pemberian hak atas tanah oleh Negara telah diatur melalui Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Pada saat ini, banyak tanah dan bangunan milik Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya Angkatan Darat yang masih berstatus okupasi. Apabila tanah-tanah berstatus okupasi tersebut dilaporkan dalam laporan keuangan, maka akan menimbulkan masalah karena status kepemilikan yang tidak jelas. Salah satu asersi manajemen terkait dengan saldo akun adalah hak dan kewajiban. Asersi ini menyatakan bahwa aset adalah dimiliki oleh entitas dan bahwa liabilitas adalah memang kewajiban entitas pada suatu tanggal tertentu. Kata Kunci: Laporan Keuangan, Okupasi, Asersi, Kepemilikan
Pendahuluan Dengan diterbitkannya Paket Undang-undang Keuangan Negara, pemerintah diwajibkan menyusun laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Laporan keuangan tersebut akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk diberikan opini atas kewajarannya. Laporan keuangan yang diperiksa oleh BPK pada dasarnya mengandung asersi manajemen berikut ini: (1) keberadaan dan keterjadian, (2) kelengkapan, (3) hak dan kewajiban, (4) penilaian dan pengalokasian, dan (5) penyajian dan pengungkapan. Asersi manajemen mengenai hak (untuk aset) adalah pernyataan manajemen bahwa aset yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah benar-benar aset yang dimilikinya dan dapat ditunjukkan dengan bukti kepemilikan yang sah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah salah satu instansi pemerintah yang menjadi entitas akuntansi yang akan mendukung laporan keuangan yang disusun oleh Kementerian Pertahanan. Sebagai entitas akuntansi, TNI melakukan fungsi akuntansi untuk mencatat aset, kewajiban dan ekuitas serta transaksi-transaksi keuangan lainnya. Salah satu aset yang dimiliki dan dilaporkan oleh TNI adalah 1
tanah dan bangunan. Karena termasuk unsur dalam laporan keuangan, maka tanah dan bangunan tersebut akan menjadi obyek pemeriksaan pada saat BPK-RI melakukan pemeriksaan keuangan yang salah satu tujuannya adalah untuk meyakini hak (kepemilikan) atas tanah dan bangunan tersebut. Pada saat ini, TNI masih mempunyai tanah-tanah yang berstatus okupasi dan belum ada hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berikut ini bahasan tentang permasalahan tersebut.
Tanah Okupasi dan Contoh Kasus Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, okupasi (oku·pa·si) diartikan sebagai n 1 pendudukan, penggunaan, atau penempatan tanah kosong; 2 pendudukan dan penguasaan suatu daerah oleh tentara asing. Dengan demikian tanah okupasi adalah tanah yang diduduki dan digunakan oleh orang yang melakukan pendudukan atau penggunaan atas tanah tersebut. Tanah okupasi TNI terjadi karena setelah perang kemerdekaan RI tahun 1945, banyak warga Negara asing, terutama Belanda, yang meninggalkan Indonesia dan meninggalkan tanah dan bangunan yang semula dimilikinya dalam keadaan kosong. Tanah-tanah tersebut kemudian diokupasi oleh TNI dan dijadikan markas/kantor, asrama, perumahan, sekolah, dan fasilitas lainnya. Sebagian besar tanah-tanah okupasi tersebut telah ada yang dilepaskan, tetapi sebagian lainnya masih tetap berstatus okupasi tanpa adanya surat kepemilikan yang sah berdasarkan peraturan perundangan. Bahkan ada tanah status okupasi yang kemudian menjadi sengketa hukum dengan berbagai kasus. Di antara kasus tersebut yang terbanyak adalah yang berkaitan dengan siapa yang berhak atas tanah tersebut. Sebagian tanah berstatus okupasi dulunya digunakan untuk perumahan prajurit dan perwira yang setelah pensiun menempati rumah di atas tanah okupasi. Beberapa penghuni awal sudah meninggal dan diteruskan ke anak dan cucunya. Merasa telah menempati lebih dari 30 tahun, mereka kemudian mengklaim bahwa mereka yang berhak atas tanah tersebut. Kasus hukum lainnya adalah adanya tanah eks okupasi yang telah dibeli oleh pihak lain tetapi tetap tercatat sebagai tanah okupasi TNI-AD sebagaimana kasus 2
berikut ini. Sebidang tanah dan bangunan di sebuah kabupaten kecil di Jawa Timur pada mulanya milik warga Negara Belanda dengan status hak eigendom. Setelah kemerdekaan, tanah dan bangunan tersebut ditinggal pemiliknya dan kemudian diambil alih oleh Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda (P3MB) yang selanjutnya dikuasai TNI-AD menjadi tanah dan bangunan berstatus okupasi. Setelah melalui proses yang sesuai dengan peraturan perundangan, tanah dan bangunan tersebut dibeli oleh seseorang dengan membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada saat tersebut bernama Kantor Agraria, menerbitkan Hak Guna Bangunan pada tahun 1982. Pembeli kemudian mengajukan surat kepada TNI-AD agar atas tanah dan bangunan tersebut dikeluarkan dari daftar rumah okupasi TNI-AD, namun tidak pernah mendapatkan tanggapan. Bahkan setiap 5 (lima) tahun sekali Komando Distrik Militer (Kodim) setempat menurunkan tim inventarisasi dan mengirimkan surat kepada pembeli yang menyatakan bahwa tanah dan bangunan tersebut masih “milik” TNI-AD dan terdaftar di Inventaris Kekayaan Negara (IKN). Karena menemui jalan buntu, pembeli kemudian mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri (PN) setempat. PN setempat telah memutus perkara ini dengan memenangkan pembeli. Salah satu dasar yang dijadikan pertimbangan majelis hakim adalah bahwa pengertian “okupasi” adalah penguasaan, bukan kepemilikan (ownership). Istilah menguasai atau dikuasai dengan dimiliki atau kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna yang jauh berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Pertimbangan lain yang utama adalah bahwa dalam daftar Hasil Pengumpulan Data Tanah Bangunan Status Okupasi di Komando Daerah Militer (Kodam) setempat menunjukkan bahwa status okupasi telah berakhir pada tanggal 16 Januari 1989 dan tidak diperbaharui waktu penguasaannya. Tidak puas dengan putusan PN setempat, TNI-AD mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) dan putusan PT menguatkan putusan PN. Saat ini kasus sedang bergulir ke Mahkamah Agung (MA) karena pihak TNI-AD mengajukan kasasi dan belum ada putusan MA tentang kasus ini.
3
Hak-hak Kepemilikan Atas Tanah Di Indonesia Pasal 16 Undang Undang Pokok Agraria (UU-PA) menetapkan jenis-jenis hak atas tanah, yang meliputi: 1. Hak Milik 2. Hak Guna Usaha 3. Hak Guna Bangunan 4. Hak Pakai 5. Hak Sewa 6. Hak Membuka Tanah 7. Hak Memungut Hasil Hutan 8. Ha-hak Lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Pasal-pasal berikutnya pada UU-PA mendefinisikan berbagai hak atas tanah tersebut yang sebagian dikutip sebagai berikut:
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
Hak guna-usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Hak guna-bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, yang dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UU-PA. 4
Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
AB Property dalam situsnya membagi hak atas tanah yang dapat diberikan oleh Negara sebagai berikut: 1. Hak Individual bersifat Perdata, yang dibagi lagi; a. Hak Primer, yaitu: 1) Hak Milik 2) Hak Guna Bangunan 3) Hak Guna Usaha 4) Hak Pakai b. Hak Sekunder (derivatif), yaitu: 1) Hak sekunder yang ditumpangkan diatas hak lain yang memiliki derajat lebih tinggi 2) Hak sewa di atas tanah Hak Milik/HGB/HGU/Hak pengelolaan atas tanah Negara 3) Hak sewa atas tanah pertanian 4) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan 5) Hak usaha bagi hasil 6) Hak Numpang Karang 7) Hak jaminan atas tanah, yang terdiri dari; gadai dan hak tanggungan. 2. Hak Pengelolaan 3. Tanah Wakaf
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pengelolaan Barang Milik Negara diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. PP 6/2206 jo PP 38/2008 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
5
lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Pasal 1 PP 27/2014 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. PP 27/2014 mengatur tentang pengelolaan BMN yang meliputi: (a). perencanaan kebutuhan dan penganggaran; (b). pengadaan; (c) penggunaan; (d) pemanfaatan;
(e)
pengamanan
dan
pemeliharaan;
(f).
penilaian;
(g)
pemindahtanganan; (h). pemusnahan; (i). penghapusan; (j) penatausahaan; dan (k). pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Penggunaan BMN adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan Barang Milik Negara/Daerah yang sesuai dengan tugas dan fungsi instansi yang bersangkutan. Sedangkan penatausahaan didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan Barang Milik Negara/Daerah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Dalam rangka penatausahaan BMN, PP 27/2014 mengatur antara lain sebagai berikut: 1. Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang harus melakukan pendaftaran dan pencatatan BMN/D yang status penggunaannya berada pada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang ke dalam Daftar Barang Pengguna/Daftar Barang Kuasa Pengguna menurut penggolongan dan kodefikasi barang. 2. Pengguna Barang melakukan inventarisasi BMN/D paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Khusus untuk pengelolaan BMN/D berupa tanah, PP 27/2014 mengatur hal-hal berikut ini: 1. Penetapan status Penggunaan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang yang bersangkutan. 2. Pengguna Barang wajib menyerahkan Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Pengguna Barang, kepada: 6
a. Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara; atau b. Gubernur/Bupati/Walikota melalui Pengelola Barang Milik Daerah, untuk Barang Milik Daerah. 3. Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan. 4. Penyimpanan bukti kepemilikan Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh Pengelola Barang.
Penertiban Tanah TNI Berstatus Okupasi Dari uraian tentang berbagai hak atas tanah di atas dapat disimpulkan bahwa status tanah “okupasi” tidak dikenal dalam UU-PA dan seharusnya tidak dapat dijadikan bukti kepemilikan atas suatu tanah. Bukti kepemilikan atas suatu tanah berupa sertipikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Status okupasi menunjukkan bahwa atas tanah tersebut hanya dikuasai, mungkin secara fisik, tetapi tidak dimiliki. Istilah menguasai atau dikuasai dengan dimiliki atau kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna yang jauh berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Penertiban tanah TNI berstatus okupasi dapat dilakukan dengan cara melakukan
inventarisasi
atas
tanah-tanah
tersebut
kemudian
dilakukan
pengelompokan berdasarkan kondisi pemakaiannya. Adapun tanah berstatus okupasi tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Tanah masih digunakan oleh TNI dan diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsinya. 2. Tanah sudah tidak digunakan oleh TNI untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsinya dan sudah dikuasai oleh pihak ketiga. 3. Tanah sudah dimiliki oleh pihak ketiga dengan diterbitkannya sertipikat hak kepemilikan sesuai peraturan perundang-undangan. Untuk tanah berstatus okupasi dalam kelompok 1 dan belum ada klaim oleh pihak lain mengenai kepemilikannya, maka TNI wajib segera mengurus hak kepemilikannya kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) sehingga bukti kepemilikan tersebut dapat dijadikan dokumen pendukung untuk menunjukkan kepemilikan (ownership) atas aset. Hal ini juga 7
sesuai dengan amanat PP 27/2014 yang menyatakan bahwa Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Meskipun atas tanah ini belum didukung dengan sertipikat kepemilikan, TNI dapat mengakuinya sebagai aset dalam Neraca dan memberikan pengungkapan yang memadai pada Catatan Atas Laporan Keuangan. Secara substansi, aset tersebut dikuasai oleh TNI dan diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsinya Tanah okupasi kelompok yang kedua, yaitu atas tanah okupasi tersebut sudah tidak digunakan lagi untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi TNI dan tanah tersebut sudah dikuasai oleh pihak ketiga. Atas tanah kelompok ini, sebaiknya TNI menyerahkan kembali aset ini ke Negara, dalam hal ini Pengelola Barang, yaitu pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Apabila penguasaan oleh pihak ketiga tersebut telah melampaui waktu 30 (tiga pupuh) tahun, maka pihak ketiga dapat diberi kesempatan untuk mengajukan hak kepemilikan sesuai peraturan perundang-undangan. Atas tanah kelompok ini seharusnya juga tidak dilaporkan dalam laporan keuangan karena tidak memenuhi asersi hak/kepemilikan. TNI tidak memiliki maupun menguasai atas tanah tersebut, tetapi hanya ada pengakuan sepihak dari TNI yang menyatakn bahwa tanah tersebut berstatus okupasi dan status okupasi bukan merupakan bukti yang sah atas kepemilikan tanah sesuai peraturan perundang-undangan. Kelompok yang terakhir adalah tanah sudah dimiliki dan dikuasai oleh pihak ketiga. Untuk kasus ini, TNI sebaiknya mencoret tanah tersebut dari daftar tanah berstatus okupasi. Apabila atas tanah tersebut telah dimasukkan dalam Inventaris Kekayaan Negara, maka daftar tersebut juga harus diperbaharui. Atas tanah ini, TNI tidak boleh melaporkannya dalam Laporan Keuangan karena asersi hak/kepemilikan benar-benar tidak terpenuhi. Pencatatan suatu aset yang sama oleh dua institusi yang berbeda tidak dimungkinkan karena akan menyebabkan overstatement atas aset yang dilaporkan.
8
Simpulan dan Saran Salah satu asersi manajemen dalam laporan keuangan adalah hak, yaitu bahwa aset yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah benar-benar aset milik pihak yang melaporkan. TNI, sebagai salah satu entitas akuntansi, harus menyiapkan laporan keuangan untuk mendukung laporan keuangan Kementerian Pertahanan. Dalam laporan keuangan yang disusunnya, TNI juga akan melaporkan aset-aset yang dimilikinya, termasuk atas tanah dan bangunan. Pada saat ini, TNI masih mengakui adanya tanah-tanah yang berstatus okupasi. Bukti kepemilikan atas tanah berdasarkan UU-PA berupa sertipikat hak yang diberikan Negara kepada pemilik yang dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan sebagainya. Okupasi tanah oleh TNI pada dasarnya bukan merupakan hak kepemilikan tanah, karena status okupasi tidak ada dalam peraturan perundangan-undangan.
Status
okupasi
tersebut
hanya
digunakan
dalam
lingkungan TNI. Oleh karena itu, TNI seharusnya tidak mencatatkan aset dengan berbekal status okupasi dan tidak melaporkannya dalam laporan keuangan. TNI sebaiknya segera mengurus hak kepemilikan atas tanah-tanah berstatus okupasi dan yang masih diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsinya sehingga ada kepastian hukum atas status tanah tersebut. Dengan demikian, tanah-tanah tersebut dapat dicatatkan sebagai Barang Milik Negara (BMN) dan dilaporkan dalam laporan keuangan. Tanah yang statusnya okupasi tetapi sudah tidak digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas dan fungsinya sebaiknya dikembalikan ke Negara, dalam hal ini Pengelola Barang. Sedangkan untuk tanah yang masih terdaftar pada tanah okupasi di inventaris kekayaan Negara tetapi atas tanah tersebut sudah terbit hak kepemilikannya yang sah sesuai dengan peraturan perundangan, maka TNI harus mengeluarkannya dari daftar tanah okupasi. Kedua hal terakhir ini dimaksudkan agar memberi kepastian hukum pada warga Negara yang berhak dan TNI dapat berkonsentrasi mengurusi tanah okupasi yang masih digunakan untuk keperluan dinas.
9
Daftar Pustaka: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 2. DPR-RI, Laporan Singkat Komisi I DPR-RI pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I DPR RI dengan Forum Koordinasi Penghuni Rumah Negara Dephan/TNI-Polri Seluruh Indonesia dan warga penghuni Tanah/Kompleks Perumahan di lingkungan Dephan/TNI. 3. Keputusan BPK-RI Nomor 04/K/I-XIII.2/5/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan. 4. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 5. AB
Property,
Hak-Hak
Atas
Tanah
Menurut
UU
Pokok
Agraria,
http://serbaserbiproperti-abproperty.blogspot.com/2012/05/hak-hak-atas-tanah-menurutuu-pokok.html
6. Aliansi SROBOT, Mendorong Kepastian Hukum Terhadap Bangunan, Tanah dan Segala Aset yang diklaim oleh TNI, http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1230
7. Indonesia News, Gugat Kementerian Pertahanan RI Soal PMH, Edisi 229, Agustus 2013. 8. Kasun Pabyongan, Tinjauan Persoalan Hukum Pemilikan Tanah (Bekas) Eigendom, http://kalimatkalimata.blogspot.com/2013/02/tanah-dan-hukum-tanah.html
9. Pusat Penerangan TNI, Kasus Tanah dan Bangunan Di Jalan Surapati No. 29 Bandung, http://www.tni.mil.id/view-27802-kasus-tanah-dan-bangunan-di-jalan-surapati-no-29bandung.html
10