.......................Dari Redaksi Sidang Pembaca Yang Terhormat,
P
enerbitan Majalah Berita Inderaja LAPAN yang dicetak pada edisi Desember 2010, saat ini telah disesuaikan namanya menjadi Majalah Inderaja. Majalah ini merupakan media distribusi informasi perkembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja). Materi tulisan yang disajikan pada edisi Desember 2010, merupakan hasil kegiatan penelitian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN - Jakarta serta pada Kedeputian Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan LAPAN - Bandung. Tulisan/ artikel adalah hasil pemanfaatan data satelit inderaja, diantaranya menggunakan data satelit Landsat, SPOT, ALOS Palsar, Fengyun, TRMM dan SRTM. Diharapkan materi/ tulisan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi pembaca. Tema tentang pemanfaatan data satelit inderaja untuk ketersediaan informasi potensi rawan bencana mengisi ruang pada Rubrik Topik Inderaja dengan judul : Pemanfaatan DEM ALOS Palsar, DEM SRTM dan Citra Landsat untuk Mengetahui Potensi Longsor (Studi Kasus : Kabupaten Purworejo - Provinsi Jawa Tengah) dan Pendetailan Informasi Spatial Sebaran Penduduk Berdasarkan Kombinasi Data Sensus dan Penggunaan Lahan Sebagai Input dalam Analisa Pengurangan Dampak Bencana. Rubrik Pengolahan Data Inderaja menyajikan tulisan: Penilaian Akurasi Geometri Data Penginderaan Jauh dan Google Earth sebagai Referensi Alternatif Titik Kontrol Tanah. Pada Rubrik Aplikasi Inderaja, disajikan beberapa judul tulisan, diantaranya adalah : Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pembuatan Informasi Tematik Kabupaten Bantul, Deteksi Kerusakan Hutan Mangrove di Ujung Kulon dengan Inderaja dan Kondisi Hutan Mangrove di Pantai Indah Kapuk Jakarta Mengunakan Data Satelit SPOT-4. Penyebarluasan informasi produk data dan perkembangan teknologi satelit inderaja saat ini, dimuat pada Rubrik Informasi Data Inderaja. Judul tulisannya adalah : Satelit Meteorologi Orbit Polar China Generasi Kedua Fengyun-3A dan Curah Hujan Ekstrim di Indonesia Berbasis TRMM (Rata-Rata dan Kondisi Tahun 2010). Kami berusaha menyajikan informasi pemanfaatan data inderaja yang up to date. Informasi disampaikan melalui makalah/ tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit inderaja meliputi wilayah di seluruh Indonesia. Pada kesempatan ini, redaksi menyampaikan permohonan ma’af, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pengembalian Formulir Tanggapan Surat Pembaca. Dan diharapkan pada edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan pembaca. Terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca. Hormat Kami, Redaksi
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Diterbitkan oleh: Bidang Penyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Pelindung: Kepala LAPAN, Deputi Bidang Penginderaan Jauh Penanggung Jawab: Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh Editor: Ir. Mahdi Kartasasmita M.S, Ph.D, Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo, Prof. DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi. Staf Redaksi: Ir. Yuliantini Erowati, M. Si, Yudho Dewanto ST, Drs. Mohammad Natsir, M.T, Abdul Kholik, SH Staf Sekretariat: Arief Nurcahyo, Abdul Makmun, Bambang Haryanto, SE, Suhariyanti. Alamat Redaksi: Bidang Penyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710. Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870. Fax.: (021) 8717715 Website: http://www.lapanrs.com. Email:
[email protected]. Majalah ini diterbitkan untuk pengguna data satelit penginderaan jauh LAPAN. Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik dari para pembaca. Naskah mohon diketik satu spasi dan bila ada gambar dalam format (.gif/.tiff). Frekuensi terbit: 2 kali setahun.
3
Surat Pembaca............................................. Kehadiran informasi teknologi penginderaan jauh sangat menentukan kemampuan dan wawasan aparat Pemda khususnya di Bappeda, informasi teknologi ini penting untuk menambah pengetahuan dalam penyusunan rencana tata ruang. Drs. Sumarsono Hadi, MM Kepala Bappeda Kabupaten Pati Jl. Raya Pati – Kudus Km. 04 Pati, Provinsi Jawa Tengah Terima kasih kepada Bapak Drs. Sumarsono Hadi, MM atas apresiasi dan tanggapan yang diberikan kepada majalah Inderaja, kami akan selalu memperhatikan keinginan pembaca setianya dan berusaha meningkatkan kualitas materi artikel/ tulisan di dalam majalah. _______________________________________ Perlu dimuat contoh artikel/tulisan tentang pemanfaatan informasi teknologi penginderaan jauh untuk urban desain yang lebih modern dan berkelanjutan. Victor U. Manna, S.E Kepala Bappeda Kota Kupang Jl. Perintis Kemerdekaan 1 Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Barat Terima kasih atas usulan Bapak Victor U. Manna, S.E, majalah Inderaja senantiasa berusaha menampilkan informasi populer tentang pemanfaatan teknologi penginderaan jauh. Pada edisi Desember 2010 kali ini, redaksi menampilkan tulisan dengan judul : Pendetailan Informasi Spatial Sebaran Penduduk Berdasarkan Kombinasi Data Sensus dan Penggunaan Lahan sebagai Input dalam Analisa Pengurangan Dampak Bencana. Semoga informasi yang kami sajikan dapat berguna dan bermanfaat.
4
Terima kasih atas kirimannya, majalah cukup baik isinya. Bagaimana bila juga di iklankan pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan di LAPAN. Ir. Irwin Bizzy, MT Kepala Bappeda SPM Kabupaten Bangka Tengah Jl. Bypass Koba Pusat Pemerintahan Terpadu Kantor BAPPEDA-SPM Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung Terima kasih Bapak Ir. Irwin Bizzy, MT atas atensi dan apresiasinya. Usulan tentang iklan pelatihan atau ingin melakukan kerjasama dengan LAPAN, silahkan Bapak dapat menghubungi Bidang Penyajian Data, Pusat Data Penginderaan Jauh Jl. LAPAN No. 70, Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710. Telp: (021) 8710786; Fax: (021) 8717715; Email :
[email protected] _______________________________________ Materi sangat bagus, mohon ditambah dengan contoh aplikasi spasial planning untuk perencanaan pembangunan di daerah dan juga menyangkut permasalahan yang sedang up to date. Elmy Kurniarto. W Ka.Subid Praswil Bappeda Kabupaten Magetan Jl. Basuki Rahmat Timur No. 1 Magetan, Provinsi Jawa Tengah Terima kasih Sdr. Elmy Kurniarto. W, atas apresiasinya. Menanggapi usulan tersebut, redaksi majalah Inderaja berusaha menampilkan hasil kegiatan penelitian khususnya di Kabupaten Bantul, yaitu dengan judul tulisan: Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pembuatan Informasi Tematik Kabupaten Bantul. Harapan kami mudahmudahan tulisan/artikel yang ditampilkan tersebut dapat berguna serta bermanfaat.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
DAFTAR ISI
INDERAJA Volume I, No. 1, Desember 2010 - ISSN 2087-8141
TOPIK INDERAJA Pemanfaatan DEM ALOS Palsar, DEM SRTM dan Citra Landsat untuk Mengetahui Potensi Longsor (Studi Kasus : Kabupaten Purworejo - Provinsi Jawa Tengah) Halaman 6
DARI REDAKSI 3 SURAT PEMBACA TOPIK INDERAJA l
4
Pendetailan Informasi Spatial Sebaran Penduduk Berdasarkan Kombinasi Data Sensus dan Penggunaan Lahan Sebagai Input dalam Analisa Pengurangan Dampak Bencana 13
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
l Penilaian Akurasi Geometri Data Penginderaan Jauh 19 l Google Earth sebagai Referensi Alternatif Titik Kontrol Tanah 27
APLIKASI INDERAJA l l
Deteksi Kerusakan Hutan Mangrove di Ujung Kulon dengan Inderaja 30 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pembuatan Informasi Tematik Kabupaten Bantul 35
INFORMASI DATA INDERAJA
l Satelit Meteorologi Orbit Polar China Generasi Kedua Fengyun-3A 45 l Curah Hujan Ekstrim di Indonesia Berbasis TRMM (Rata-Rata dan Kondisi Tahun 2010) 54
BERITA RINGAN
l LAPAN Turut Berpartisipasi pada Pameran BKPRD di Batam, Provinsi Kepulauan Riau 62 INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
l l
Kunjungan Perwira TNI-AL Ke LAPAN Pekayon Dalam Rangka Kerjasama Pemanfaatan Teknologi Satelit Penginderaan Jauh 64 Sosialisasi Hasil Kegiatan Tahun 2010 Kerjasama Antara LAPAN - Kabupaten Sampang 66
PERISTIWA DALAM GAMBAR l l l
Kerjasama antara LAPAN dengan Kementerian Pertanian pada kegiatan Pemetaan Lahan Sawah 70 Kunjungan Dishidros TNI - AL ke Fasilitas Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN 71 Acara Pelepasan dan Perpisahan Karyawan LAPAN di Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh 72
POSTER
l Peta Citra Satelit Kota Garut, Provinsi Jawa Barat 76 l Peta Citra Satelit Jabodetabek Punjur 77 l Peta Citra Satelit Kawasan G. Bromo dan Sekitarnya 78
COVER
: Citra Satelit Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 1996 Depan Dalam : Peta Jaringan Jalan dan JaringanIrigasi Kabupaten Bantul Belakang Dalam: PCS SPOT-4 Ujung Kulon dan Penggunaan Lahan Tahun 2007 Belakang : Peta Daerah Rawan Bencana Tsunami di Provinsi Bali Depan
5
TOPIK INDERAJA
Pemanfaatan DEM ALOS Palsar, DEM SRTM, dan Citra Landsat untuk Mengetahui Potensi Longsor (Studi Kasus : Kabupaten Purworejo - Provinsi Jawa Tengah) Oleh: Atriyon Julzarika, Inggit Lolita Sari Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh - LAPAN
1. Penginderaan Jauh untuk mengetahui potensi longsor Penginderaan jauh pada implementasinya biasa menggunakan dua jenis sensor, yaitu sensor pasif dan sensor aktif. Sensor pasif atau lebih dikenal dengan sensor optik memiliki ciri khas tidak bebas efek awan, tetapi memiliki tampilan seperti warna aslinya. Pada tulisan ini akan dibahas mitigasi bencana khususnya longsor menggunakan sensor aktif, yaitu berupa data radar. Data yang digunakan adalah ALOS Palsar dan Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM). ALOS Palsar digunakan untuk pembuatan Digital Elevation Model (DEM) menggunakan metode interferometri dan SRTM digunakan untuk penurunan Digital Surface Model (DSM). 2. Sekilas tentang Radar Radar (Radio Detection And Ranging) bekerja pada gelombang elektromagnetik, dengan panjang gelombang beberapa milimeter hingga sekitar satu meter. Gelombang elektromagnetik tersebut dipancarkan ke permukaan bumi dan hambur balik (back scatter) nya terdeteksi oleh sistem antena radar yang selanjutnya digunakan untuk mendeteksi objek tersebut. Dengan demikian sistem ini sering disebut dengan penginderaan jauh aktif. Besar kecilnya panjang gelombang elektromagnetik mempengaruhi penetrasi gelombang tersebut pada objek di permukaan bumi. Semakin besar panjang gelombang yang digunakan maka semakin kuat daya penetrasi gelombang tersebut. Panjang gelombang (di6
sebut Band lihat Tabel 1) yang akan digunakan pada sistem radar bergantung pada aplikasinya dan menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik pada rentang frekuensi 300 MHz hingga 30 GHz. Tabel 1. Panjang gelombang Radar dan Frekuensinya yang digunakan dalam Penginderaan Jauh Band
Panjang Gelombang (cm)
Frekuensi (MHz)
Ka
0.8 -1,1
40.000 - 26.500
K
1,1 - 1,7
26.500 - 18.000
Ka
1,7 - 2,4
18.000 - 12.500
X
2,4 - 3,8
12.500 - 8.000
C
3,8 - 7,5
8.000 - 4.000
S
7,5 - 15,0
4.000 - 2.000
L
15,0 - 30,0
2.000 - 1,000
P
30,0 - 100,0
1.000 - 300
Pemancar radar memancarkan gelombang elektromagnetik ke target dan diterima kembali oleh antena sensor untuk menentukan jarak. Oleh permukaan bumi, pulsa gelombang radar dipancarkan ke segala arah, sebagian hambur baliknya diterima kembali oleh sensor. Intensitas dari gelombang hambur balik ini sangat lemah dibandingkan ketika dipancarkan. Agar intensitas gelombang hambur balik dapat diperkuat maka gelombang hambur balik dari suatu piksel obyek diterima beberapa kali (multi looks) secara berturut-turut selama wahana pembawa antena dan sensor radar tersebut INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
TOPIK INDERAJA bergerak (mengorbit bagi satelit). Dengan demikian intensitas gelombang hambur balik dapat diperkuat tanpa memperbesar ukuran fisik antena penerima, hal ini yang menyebabkan sistem ini disebut Synthetic Aperture Radar (SAR). 3. Pemanfaatan ALOS Palsar dan SRTM ALOS singkatan dari Advanced Land Observing Sa tellite adalah satelit multimisi milik Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. Satelit ALOS telah berhasil diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006, mempunyai 5 misi utama yaitu, kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, penelitian sumber daya alam, dan pengembangan teknologi. Untuk dapat mencapai misi utama, satelit ALOS membawa tiga buah sensor penginderaan jauh yang terdiri dari dua buah sensor optik yaitu: sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2) serta satu buah sensor radar yaitu: PALSAR (Phased Array type L-band Syntetic Aperture Radar). Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) adalah sensor untuk merekam citra optis pankromatik dengan resolusi spasial 2,5 m yang dirancang untuk dapat memperoleh data Digital Surface Model (DSM), serta pemetaan tingkat ketelitian tinggi. PALSAR adalah suatu sensor gelombang-mikro aktif pada L-band (frekuensi-pusat 1270 MHz/23,6 cm) yang dikembangkan dalam kerjasama dengan JAXA dan JAROS (Japan Resorces Observation Systems Organization). Sensor PRISM mempunyai suatu kemampuan offnadir yang variabel antara 10 sampai dengan 51 derajat dengan menggunakan teknik phased array aktif dengan 80 modul-modul untuk mentransmisikan/penerimaan. PALSAR adalah suatu instrument yang secara penuh polarimetrik, bekerja dengan salah satu dari mode: polarisasi tunggal (HH atau VV), polarisasi rangkap dua (HH+HV atau VV+VH) atau polarimetrik penuh. Sudut pandangan adalah variabel antara 7 dan 51 derajat (su dut datang 8-60 derajat). Sensor PALSAR dapat juga beroperasi pada mode ScanSAR dengan resolusi yang kasar, dengan polarisasi tunggal (HH atau VV) dan lebar liputan satuan citra 250 - 350 km. Resolusi spasial adalah kira-kira 100 m dalam INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
arah azimuth dan range. Mode polarisasi akan dioperasikan untuk eksperimental. Polarisasi diubah dalam setiap pulsa dari sinyal transmisi, dan sinyal polarisasi ganda diterima secara simultan. Operasi dibatasi dalam sudut datang yang lebih rendah untuk mencapai hasil guna yang lebih baik. Pada mode polarisasi, lebar liputan satuan citra adalah 30 km dengan resolusi spasial 30 m terjadi pada kondisi kecepatan data 240 Mbps. SRTM merupakan salah satu penggunaan data radar dimana data ini mempunyai akurasi dan presisi tertentu. Digital Surface Model (DSM) dari SRTM90 memiliki akurasi vertikal sebesar 5-8 meter. 4. Profil singkat Kabupaten Pur worejo Secara geografis letak Kabupaten Purworejo adalah 0 109 47’ 28” BT - 1100 8’ 20” BT dan 7032’ LS – 7054’ LS, luas wilayahnya kurang lebih 107980.400 Ha, dan secara administratif berbatasan wilayah dengan 1) sebelah Utara : Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, 2) sebelah Selatan : Samudera Indonesia, 3) sebelah Barat: Kabupaten Kebumen, 4) sebelah Timur: Kabupaten Kulon Progo (DIY). Kabupaten Purworejo memiliki wilayah administrasi terdiri 16 Kecamatan dan 469 desa serta 25 kelurahan. 5. Kondisi perubahan tutupan lahan di Kabupaten Pur worejo Sumber data yang digunakan untuk mengkaji perubahan tutupan lahan di Kabupaten Purworejo adalah data penginderaan jauh satelit Landsat multitemporal tahun 1996-2008. Sedangkan analisisnya dibantu dengan data pendukung dari hasil kegiatan terdahulu yang bersumber dari Pemerintah Kabupaten Purworejo dalam bentuk peta tematik berbasis skala 1:50.000 – 1:100.000, dan dilengkapi dengan data pengamatan lapangan sebagai verifikasi. Berdasarkan hasil interpretasi citra multitemporal dengan dua tanggal dan data pendukung yang ada, diperoleh sepuluh kelas tutupan lahan, yaitu tubuh air, belukar, hutan, kebun campur, lahan terbuka, permukiman, rawa, tanah ladang, sawah irigasi dan sawah non irigasi. Luasan tutupan lahan secara rinci disajikan dalam Tabel 2 berikut:
7
TOPIK INDERAJA Tabel 2. Komposisi kelas tutupan lahan antara tahun 1996-2008 di Kabupaten Purworejo No.
Kelas Tutupan Lahan
Tahun 1996 Luas (Ha)
Tahun 2008 (%)
Luas (Ha)
(%)
1
Tubuh Air
1176.9
1.09
1136.2
1.05
2
Belukar
3056.6
2.83
4760.7
4.41
3
Hutan
2933.6
2.72
1504.9
1.39
4
Kebun Campur
40212.1
37.24
39428.5
36.51
5
Lahan Terbuka
676.1
0.63
689.7
0.64
6
Permukiman
19028.4
17.62
19414.2
17.98
7
Rawa
8
Sawah Irigasi
9 10
227.6
0.21
57.7
0.05
30095.8
27.87
29795.9
27.59
Sawah Non Irigasi
4887.5
4.53
4794.4
4.44
Tanah Ladang
5685.8
5.27
6397.9
5.93
107980.4
100
107980.4
100
Jumlah
Gambar 1. Perubahan tutupan lahan dari tahun 1996–2008 8
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
TOPIK INDERAJA Tabel 3. Matrik Perubahan Tutupan Lahan Tahun 1996 sd 2008 di Kabupaten Purworejo Jenis Tutupan lahan tahun 2008 (Hektar) Jenis liputan Tubuh lahan tahun 1996 Air (Hektar)
Belukar Hutan
Kebun Lahan Campur Kosong
Permukiman
Rawa
Sawah Irigasi
Sawah Non Irigasi
Tanah Ladang
Tubuh Air
0
0
0
0
9.1
0
0
0
1.1
73.7
Belukar
0
0
0
99.1
3.9
0
0
0
6.7
34.3
Hutan
0
513.9
0
953.1
11.1
0
0
0
0
133.6
Kebun Campur
0
1426.8
0
0
64.8
34.5
0
0
156.2
384.9
Lahan Terbuka
1.4
0
0
16.4
0
0
0.7
0
0
63.6
Permukiman
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Rawa
0
0
0
0
0
0.1
0
0
0
175.6
Sawah Irigasi
0
0
0
0
0
345.3
0
0
0
0
Sawah Non Irigasi
0
8.4
0
82.7
0
6.9
0
14.7
0
167.9
Tanah Ladang
0
55.1
0
135.9
6.8
30.8
5.2
4.8
48.3
0
Tabel 2 dan Gambar 1, menunjukkan sebaran tutupan lahan, yaitu persawahan berada di bagian selatan, permukiman menempati bagian tengah, kebun campur berada di bagian utara, timur dan barat serta hutan terletak di bagian barat laut. Sawah non irigasi umumnya berada diantara kebun campur pada daerah topografi yang relatif datar. Sedangkan rincian perubahan disetiap kelas tutupan lahan dan sebaran disajikan secara rinci dalam Tabel 3 berikut ini; Tabel 3 menunjukkan perubahan tutupan lahan selama tahun 1996-2008, komposisi luas setiap kelas tutupan lahan di kabupaten Purworejo mengalami perubahan baik bertambah maupun berkurang. Kelas tutupan lahan yang luasnya berkurang dalam kurun waktu 12 tahun (1996-2008) adalah sawah irigasi, sawah non irigasi, kebun campur, hutan, rawa dan tubuh air. Sedangkan kelas tutupan lahan yang luasnya bertambah adalah permukiman, belukar, dan lahan terbuka. Dari sekian kelas liputan lahan yang mengalami perubahan luas, kelas hutan dan belukar mengalami perubahan paling besar, masing masing -1,32% dan 1,58%. Informasi kelerengan (slope) lahan di Kabupaten Purworejo dibagi menjadi 5 kelas yaitu; a) 0-8%, b) 8-15%, c) 15-25%, d) 25-45%, dan e) >45%. Wilayah yang memiliki topografi bergelombang, yaitu di kecamatan Bruno, Kaligesing, dan di sebagian kecamatan Pituruh INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Gambar 2. Peta Kelerengan Tanah Kabupaten Purworejo 9
TOPIK INDERAJA
Gambar 3. Arah kelerengan lahan Kabupaten Purworejo
Gambar 4. DEM Alos Palsar tahun 2009
dan Bener. Berdasarkan informasi topografi dikaitkan dengan perubahan liputan lahan lainnya yang dapat di jelaskan dalam Gambar 4; bahwa kecamatan Bruno, Pituruh, dan Kemiri yang terletak di Kabupaten Purworejo bagian Utara, memiliki kondisi topografi relatif bergelombang, dengan kelerengan lebih dari 25% dan ketinggian lebih dari 500m. Sedangkan di wilayah selatan yaitu kecamatan Butuh, Grabag dan Bayan terletak tebih rendah, yaitu pada ketinggian kurang dari 100m dengan kelerengan antara 0-8%. Berikut tampilan kelerengan lahan Kabupaten Purworejo. 10
Selain kelerengan lahan tersebut, dapat juga ditentukan arah kelerengan (azimuth) lahan. Hal ini bertujuan untuk penentuan arah potensi longsor. Selain itu juga berguna untuk analisis aliran hidrologi. Berikut tampilan arah kemiringan lahan Kabupaten Purworejo. 6. Analisa potensi longsor dengan metode DinSAR DEM dari Alos Palsar merupakan data radar pada Desember 2009 sedangkan DEM SRTM merupakan data radar tahun 2000. Kedua model 3D tersebut dapat digunakan untuk mengetahui diferensial (selisih) vertikal yang terjadi di Kabupaten Purworejo. Kondisi INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
TOPIK INDERAJA
Gambar 5. DEM SRTM tahun 2000
Gambar 6. Diferensial vertikal secara umum yang terjadi di Kabupaten Purworejo
tersebut dapat diketahui dengan menggunakan metode Differential Interferrometry Synthethic Aperture Radar (DinSAR). Secara umum, metode ini digunakan untuk melihat diferensial vertikal pada minimal dua model 3D yang sudah memiliki referensi datum vertikal yang sama. DEM Palsar dan DEM SRTM tersebut sudah dilakukan koreksi untuk menyamakan referensi datum vertikal. Kedua model 3D tersebut memiliki jenis titik geodetik. Hasil DinSAR tersebut dapat digunakan untuk aplikasi penentuan potensi banjir dan longsor. Berikut adalah gambar DEM Palsar tahun 2009 yang digunakan INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
di Kabupaten Purworejo. Penentuan diferensial vertikal ini menggunakan dua data model 3D. Data pembanding yang digunakan terhadap DEM Palsar tahun 2009 adalah DEM SRTM tahun 2000. Berikut adalah DEM SRTM tahun 2000 hasil turunan dari DSM SRTM tahun 2000. Kedua data model 3D tersebut dilakukan penyamaan referensi datum vertikal. Pada tulisan ini, kedua data tersebut direferensikan menjadi titik tinggi geodetik. Setelah kedua data tersebut memiliki referensi datum vertikal yang sama, maka kemudian dilakukan DinSAR 11
TOPIK INDERAJA
Gambar 7. Deviasi (terhadap rata-rata) dari diferensial verikal
untuk mengetahui besar diferensial vertikal yang terjadi selama tahun 2000 sampai 2009. Dari hasil tersebut, di peroleh bahwa di daerah Kabupaten Purworejo memiliki selisih (diferensial) vertikal rata-rata (mean) sebesar 3 meter. Besar selisih vertikal tersebut kemungkinan disebabkan bahwa DEM SRTM masih mengandung aspek DSM, walaupun sudah dilakukan koreksi untuk merubahnya menjadi DEM murni. Sedangkan dari sistem Alos Palsar, karena frekuensi kerjanya pada L Band, dihasilkan DEM yang lebih teliti. Dengan demikian DEM Alos Palsar 2009 dapat dijadikan faktor koreksi yang teliti bagi pembentukan DEM SRTM dari DSM-nya. Hal ini dapat pula dilihat bahwa perubahan tutupan lahan yang dapat merubah dari DSM kepada DEM, seperti tutupan lahan yang pada tahun 2000 adalah hutan dan pada tahun 2009 telah berubah, luasnya tidaklah terlalu signifikan. Disisi lain tidak ada laporan bahwa telah terjadi longsor atau deformasi vertikal lainnya sebesar kurang lebih 3 m yang sedemikan luas pada kurun waktu tersebut di Kabupaten Purworejo ini. Berikut tampilan diferensial vertikal dengan rata-rata 3 m. Secara khusus, telah dihitung pula deviasi standar dari diferensial vertikal di atas dimana diperoleh deviasi standar pada wilayah ini sebesar 2 cm selama kurun waktu tersebut. Deviasi standar ini memperlihatkan ketelitian (accuracy) yang diperoleh dalam proses selisih (diferensial) antara DEM SRTM dan DEM Alos Palsar. Gambar 7 merupakan tampilan deviasi (terhadap rata12
rata) yang menghasilkan deviasi standar sebesar 2 cm di Kabupaten Purworejo. Hasil diferensial vertikal ini menunjukan tutupan lahan yang sifatnya sedemikian sehigga ada perbedaan yang siginifikan antara DEM dan DSM nya seperti tutupan lahan hutan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa bila diferensial vertikalnya kecil maka tutupan lahannya adalah lahan terbuka atau yang lebih umum adalah lahan non hutan, yang keberadaannya bila terdapat pada daerah dengan kelerengan tinggi dan curah hujan tinggi pula (yang juga dipengaruhi oleh jenis tanahnya) akan berpotensi menyebabkan banjir bahkan longsor di Kabupaten Purworejo. Selain itu pengaruh signifikan juga lebih disebabkan oleh perubahan fungsi lahan pada kurun waktu tersebut. Dengan melihat Gambar 1, 2, 4, 5, dan 6, potensi banjir serta longsor di Kabupaten Purworejo dapat diprediksi yaitu daerah dengan diferensial vertikal rendah, kelerengan besar, curah hujan tinggi serta tutupan lahan non hutan. Manfaat DEM dibanding dengan informasi tutupan lahan saja jelas terlihat karena dari DEM bisa diturunkan kelerengan (slope) dan arah azimutnya dan dengan menggunakan diferensial vertikal atau lebih umum Differential Interferrometry SAR dapat diperoleh informasi deformasi atau paling tidak pada studi di atas dapat diketahui adanya daerah non hutan (yang rawan banjir maupun longsor) dari diferensial (selisih) vertikalnya.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
TOPIK INDERAJA
Pendetailan Informasi Spatial Sebaran Penduduk Berdasarkan Kombinasi Data Sensus dan Penggunaan Lahan Sebagai Input dalam Analisa Pengurangan Dampak Bencana Oleh: M. Rokhis Khomarudin Peneliti Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan PUSBANGJA - LAPAN
I
nformasi spatial penduduk merupakan suatu informasi yang krusial dalam kaitannya dengan bencana alam. Data UN-ESCAP tahun 2007 mengatakan bahwa lebih dari 3.5 milyard penduduk bumi terkena efek dari bencana alam dan sekitar 980.000 orang meninggal dalam kurun waktu 1991-2006. Hal ini terjadi karena masih banyak orang yang bertempat tinggal di daerah bencana. Mengetahui sebaran penduduk, terutama di daerah bencana yang berpotensi bencana alam seperti banjir, longsor, tsunami, dan letusan gunung berapi sangatlah penting dalam upaya mengurangi jumlah korban jiwa akibat bencana alam. Dalam bencana tsunami sebagai contoh, data ini dapat memperkirakan jumlah penduduk yang harus dievakuasi dan daya tampung lokasi pengungsian jika bencana datang. Saat ini informasi sebaran penduduk di Indonesia masih berbasiskan batas administrasi dengan wilayah terkecil desa atau kelurahan seperti yang tersedia dalam sensus data. Jika menggunakan data sebaran penduduk dengan basis batas administrasi, penduduk menyebar secara homogen tanpa memperhatikan lokasi dimana orang melakukan aktivitas seperti di penggunaan lahan. Proporsi orang yang melakukan aktivitas di rawa, hutan, sungai, persawahan, permukiaman, dan penggunaan lahan lainnya akan sama. Pada kenyataannya, proporsi jumlah orang yang melakukan aktivitas di berbagai penggunaan lahan akan berbeda. Sangat dimungkinkan, tidak ada orang yang melakukan aktivitas di rawa, sehingga proporsi di wilayah tersebut adalah nol. Sebaliknya, proporsi besar terdapat di penggunaan lahan permukiman, karena di wilayah tersebut banyak penduduk melakukan INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
aktivitas. Penggunaan lahan pertanian, perkebunan, dan pantai juga merupakan suatu lokasi tempat penduduk beraktivitas, namun memiliki proporsi yang berbeda. Data sebaran penduduk yang sudah memperhatikan dimana orang melakukan aktivitasnya adalah data LANDSCAN (Dobson et al., 2000) and CIESIEN (Balk et al., 2005). Data ini tersedia seluruh dunia termasuk Indonesia. Namun, data tersebut memiliki resolusi spatial yang rendah dan belum memadai untuk kegiatan pengurangan dampak bencana. Jika menggunakan data ini untuk analisa pengurangan korban jiwa akibat bencana alam, terdapat error yang cukup besar dalam estimasinya. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk mengembangkan model sendiri dalam upaya pendetailan sebaran penduduk dengan mengkombinasikan data penggunaan lahan dan sensus penduduk. Dalam hal ini, sistem informasi geografis dan data penginderaan jauh sangat berperan. Secara umum, konsep yang dikembangkan untuk pendetailan informasi spasial sebaran penduduk dengan menggunakan data sensus dan penggunaan lahan disajikan dalam Gambar 1, berikut: Pada Gambar 1, tampak bahwa data penggunaan lahan dapat mendetailkan informasi spatial sebaran penduduk. Pemodelan penempatan penduduk pada penggunaan lahannya dengan mengunakan model sederhana dan proporsi penduduk yang melakukan aktivitas di penggunaan lahannya. Secara sederhana konsep dasar dari pendetailan informasi spasial penduduk juga disajikan dalam Gambar 2, berikut:
13
TOPIK INDERAJA
Gambar 1. Konsep pendetailan informasi spatial sebaran penduduk
Gambar 2. Proses pendetailan sebaran penduduk dengan dan tidak menggunakan weighting 14
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
TOPIK INDERAJA disajikan pada Tabel 1. Karena proporsi ditetapkan berdasarkan aktivitas penduduk, maka pendetailan informasi spatial sebaran penduduk dapat dipetakan secara spatial temporal (siang dan malam). Berdasarkan hasil perhitungan proporsi ini, kemudian di implementasikan ke seluruh pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, dan Bali. Hasil pendetailan informasi spatial sebaran penduduk di wilayah tersebut disajikan pada Gambar 3, berikut: Terkait dengan pengelolaan bencana alam, terutama dalam sistem evakuasi dan peringatan dini suatu bencana alam, informasi yang sudah didetailkan ini sangat berpengaruh dalam perhitungan jumlah orang yang berada di daerah bencana baik siang maupun malam hari. Sebagai contoh adalah aplikasi dari pendetailan sebaran penduduk dalam kegiatan ini di wilayah Bali. Pada Gambar 4 dan 5 terlihat daerah bencana tsunami di bagian timur Pulau Bali tampak lebih besar dibandingkan dengan bagian barat Pulau. NaTabel 1. Proporsi penduduk yang melakukan aktivitas di penggunaan lahan mun karena di bagian timur, pengberdasarkan kategori desa/kelurahan pada siang dan malam hari gunaan lahannya adalah sebagian besar mangrove, maka jumlah Siang Malam Penggunaan Lahan Kategori Desa penduduk yang berada di wilayah (%) (%) bencana lebih sedikit dibandingPesisir 93 99 Perkotaan kan dengan bagian barat pulau Non-Pesisir 93 100 Pemukiman Bali yang merupakan daerah pariPesisir 76 99 Pedesaan wisata, pemukiman dan perhoteNon-Pesisir 76 100 lan. Hasil ini menunjukkan bahwa Pesisir 4 0 Perkotaan pendetailan informasi sebaran penNon-Pesisir 2 0 Pertanian duduk dengan mengkombinasikan Pesisir 21 0 Pedesaan data sensus dan penggunaan lahan Non-Pesisir 20 0 sangatlah penting dalam kaitannya Pesisir 1 0 Perkotaan dengan pengelolaan bencana alam. Non-Pesisir 1 0 Perkebunan Pada Gambar 5.a. juga me Pesisir 1 0 Pedesaan nunjukkan bahwa wilayah dengan Non-Pesisir 1 0 penggunaan lahan mangrove, perPesisir 2 1 Perkotaan sawahan, lahan terbuka, dan huNon-Pesisir 0 0 Pantai tan memiliki sebaran penduduk Pesisir 1 1 Pedesaan yang lebih rendah dibandingkan Non-Pesisir 0 0 dengan daerah pemukiman yang Pesisir 1 0 Perkotaan merupakan tempat aktivitas penNon-Pesisir 1 0 Tambak/perikanan Pesisir 1 0 duduk (lihat dalam Gambar 5.b. Pedesaan Non-Pesisir 1 0 peta penggunaan lahan Pulau Bali) Pesisir 1 0 Pada Gambar 5.c. Perbedaan sePerkotaan Non-Pesisir 1 0 baran penduduk berdasarkan data Lahan terbuka/padang rumput Pesisir 1 0 BPS dan berdasarkan model (siang Pedesaan Non-Pesisir 1 0 dan malam hari) dan yang sudah didetailkan informasi spatialnya di *) Pesisir and non pesisir didasarkan pada kelas desa yang tercantum dalam data Wilayah Cilacap. potensial desa (PODES) Badan Pusat Statistik. Untuk menentukan proporsi tersebut dilakukan suatu riset dengan berdasarkan data sensus yang mendata jumlah orang yang melakukan pekerjaan tertentu (jenis pekerjaan) dan penyebaran kuisioner. Pertanyaan utama yang ada dalam kuisioner tersebut adalah sebagai berikut : 1. Apakah tipe sektor pekerjaan dari responden? 2. Pada jam berapakah responden melakukan aktivitas pekerjaan? 3. Dimanakah aktivitas responden pada saat melakukan pekerjaan? 4. Apakah yang dilakukan responden setelah melakukan pekerjaan dan dimana? 5. Pada saat melakukan pekerjaan, apakah lokasinya masih di dalam desa, di luar desa, atau jauh dari desa. Hasil analisa yang dilakukan, proporsi jumlah penduduk yang melakukan aktivitas di penggunaan lahan
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
15
TOPIK INDERAJA
Gambar 3. Peta sebaran penduduk yang sudah didetailkan dengan kombinasi data sensus dan penggunaan lahan
Untuk lebih menjelaskan bahwa pendetailan informasi sebaran penduduk sangat penting, peta pada Gambar 6, menunjukkan bahwa informasi sebaran penduduk dapat digunakan dalam perkiraan jumlah korban bencana alam jika suatu bencana datang di suatu wilayah. Perkiraan ini sangat penting dalam usaha memi nimalkan jumlah korban bencana, sebagai misal adalah penambahan tempat lokasi evakuasi dengan daya tampung yang memadai. Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas, informasi sebaran penduduk sangatlah penting bagi upaya pengurangan dampak bencana terutama di wilayah-wila yah yang sering terkena bencana. Usaha-usaha pengu 16
rangan dampak bencana ini sinergi dan kerjasama antar instansi sangat diperlukan. Sebagai contoh dalam usaha pemetaan sebaran penduduk ini, sinergi antara Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai penyedia data jumlah penduduk berbasiskan administrasi dan LAPAN sebagai penyedia data penginderaan jauh yang dapat menyajikan data penggunaan lahan terbaru sangat penting. Selain hal itu, beberapa riset perkiraan jumlah pendu duk dengan data penginderaan jauh juga telah banyak dilakukan para peneliti di dunia seperti Liu, et al. (2006), Sutton, et al. (2007), Lu, D. et al. (2007) dan Martinuzzi, et al. (2006). Mereka menyebutnya sebagai ’SENSUS DARI SURGA (CENSUS FROM HEAVEN). INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
TOPIK INDERAJA
Gambar 4. Peta daerah bencana tsunami di provinsi Bali (sumber : Strunz et al., 2010)
Gambar 5a INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Gambar 5b 17
TOPIK INDERAJA
Gambar 5c
Gambar 6. Perkiraan jumlah penduduk yang dapat menjadi korban bencana tsunami dengan waktu datang kurang dari 20 menit (sumber : Strunz et al., 2010). 18
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Penilaian Akurasi Geometri Data Penginderaan Jauh Oleh: Riyan Mahendra Saputra Peneliti Pusdata LAPAN
[email protected]
D
ewasa ini penggunaan dan pemanfaatan data spasial yang berupa data citra penginderaan jauh dan peta-peta dengan tema tertentu (peta tematik) serta SIG semakin berkembang untuk mendapatkan informasi yang bereferensi geografis, baik oleh instansi pemerintah, perguruan tinggi dan instansi swasta. Berbagai instansi menggunakan dan mengembangkan standar kualitas data spasial mereka sendiri sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi. Instansi yang memproduksi data tidak terbatas hanya instansi pemerintah saja, instansi swasta diberikan kesempatan untuk memproduksi data tersebut, sehingga ketersedian data spasial semakin meningkat dan informasi me ngenai tingkat akurasi dari data tersebut menjadi sangat diperlukan. Manajemen data yang baik diperlukan untuk menghasilkan data yang berkualitas dan memungkinkan dilakukannya integrasi agar dapat menghasilkan informasi yang akurat yang digunakan sebagai informasi pendukung pengambilan keputusan. Akurasi peta merupakan hal yang sangat kritis, ka rena jika dalam pengambilan keputusan berdasarkan informasi dari peta maka akurasi peta yang digunakan harus diketahui, jika tidak hasil yang didapatkan akan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ada beberapa alasan mengapa perlu melakukan penilaian akurasi peta, salah satunya adalah untuk mengetahui seberapa baik peta yang dihasilkan. Penilaian akurasi menentukan kualitas peta yang dibuat baik dari data penginderaan jauh dan maupun hasil digitalisasi peta-peta tematik yang ada. Penilaian akurasi bisa berupa kualitatif atau kuantitatif dengan tujuan dari penilaian kuantitatif adalah untuk mengukur ketelitian peta (map accuracy). Dalam melakukan penilaian akurasi harus memperhatikan
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
beberapa aspek yang akan menjadi acuan dalam mendesain dan mengimplementasikan suatu penilaian pada proyek pemetaan, karena penilaian akurasi tidak hanya berguna tetapi sudah merupakan suatu kebutuhan dalam menilai kualitas peta. Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan gambaran dan pemahaman dalam melakukan penilaian kua litas geometri data penginderaan jauh yang telah menga lami koreksi geometris serta hubungannya dengan skala peta yang bersesuaian dan juga hubungannya dengan ukuran piksel atau resolusi spasial data penginderaan jauh tersebut. Standar mempunyai berbagai macam pengertian yang pada dasarnya adalah suatu dokumentasi yang berisi spesifikasi teknis dan digunakan sebagai acuan dalam melakukan perbandingan kualitas. Mengacu kepada International Standar Organization (ISO), standar adalah dokumen yang ditetapkan berdasarkan konsesus dan telah dibuktikan oleh suatu badan yang berisi penggunaan umum yang dapat digunakan secara berulang kali, aturan-aturan, acuan dan karakteristik untuk suatu kegiatan atau hasil dari kegiatan, yang bertujuan untuk mencapai tingkatan yang optimal dari konteks yang diinginkan. Standar informasi geografis berisi mengenai, metode-metode, peralatan (tools) dan layanan (service) untuk manajemen data, penerimaan, pemrosesan, analisis, pengaksesan, menyajikan dan transfer data dalam format digital dari berbagai pengguna, sistem dan lokasi yang berbeda. Isu dasar perlunya suatu standar akurasi dalam data spasial adalah untuk menetapkan format standar untuk produksi data, manajemen data dan komunikasi data 19
PENGOLAHAN DATA INDERAJA spasial. Keuntungan yang didapat dari kegiatan tersebut, diantaranya adalah: • Mengurangi proses produksi dan duplikasi data • Mengurangi biaya dalam produksi dan pengumpulan data • Memberikan jaminan kualitas data yang digunakan • Mendukung interoperabilitas teknologi informasi geografi • Meningkatkan penggunaan data secara bersama dari data yang tersedia • Meningkatkan ketersediaan, akses, integrasi, dan penyebaran informasi geografi Untuk mendapatkan keuntungan tersebut, instansi baik yang menghasilkan maupun pengguna informasi geografis seharusnya menerapkan standar data dan informasi spasial yang berlaku secara umum dan seragam. Dalam bab berikutnya akan dibahas mengenai akurasi pemetaan dan standar penilaian akurasi untuk data penginderaan jauh dengan contoh yang telah diterapkan di Amerika Serikat.
Implementasii
Citra penginderaan jauh memproyeksikan objek 3-dimensi di dunia nyata menjadi 2-dimensi, sehingga kehilangan informasi 1-dimensi menyebabkan beberapa permasalahan yang muncul dari saat penerimaan, pe ngolahan data sampai saat pemanfaatan informasi yang dihasilkan. Terdapat beberapa sumber kesalahan yang terjadi ketika menggunakan data penginderaan jauh (Congalton dkk, 2009) ditunjukkan pada Gambar 1. Informasi dari 1 pixel (picture element) pada citra penginderaan jauh mewakili suatu luasan dipermukaan bumi, namun seringkali informasi resolusi citra dari citra penginderaan jauh disalah artikan sebagai ungkapan akurasinya. Sebenarnya, akurasi mengacu pada kesalahan maksimum yang diharapkan dan dapat diterima yang dihasilkan dari proses koreksi dan bukan resolusi spasialnya. Keakuratan dataset diperoleh dengan cara membandingkan data (telah dilakukan koreksi terhadap data tersebut) dengan informasi referensi yang telah diketahui keakurasiannya dan dianggap benar dengan data hasil pengukuran, ilustrasi untuk akurasi dan presisi ditunjukkan pada Gambar 2. Penilaian akurasi adalah pengukuran statistik dari jumlah maksimum kesalahan
Akuisisi Aspek geometris Sistem sensor Platform Ground control Pertimbangan Scene
Pengolahan Data Rektifikasi geometris rektifikasi radiometris konversi data
Analisa Data Analisa quantitatif Sistem Klasifikasi Generalisasi Data
Pengambilan Keputusan
Konversi Data Raster ke Vektor Vektor ke Raster
Penyajian produk akhir Spasial error Tematik error Penilaian kesalahan Sampling Spatial Autocorrelation Akurasi Posisi Error Matrix Discrete Multivariate Statistics Reporting Standards
Gambar 1. Sumber kesalahan yang terdapat pada data penginderaan Jauh 20
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA yang diharapkan terjadi, dalam hal ini besarnya probabilitas (tingkat keyakinan) bahwa data yang digunakan memiliki akurasi yang sama atau lebih besar dari besaran interval keyakinan (90%-95%). Akurasi memiliki beberapa pengertian dan dapat dinyatakan dengan akurasi absolut, relatif atau nilai ambang (threshold) (Charlton dkk, 2008). Pada tulisan ini dibahas akurasi absolut dan akurasi relatif. Perkiraan akurasi mutlak yang dibuat mengacu pada lokasi sebenarnya dari fitur di permukaan tanah dengan fitur pada peta. Berdasarkan definisi ini, akurasi mutlak dikatakan sebagai referensi “ground truth”. Biasanya merupakan hasil pengukuran langsung dilapangan. Akurasi relatif berkaitan dengan pergeseran dua titik pada peta (jarak dan sudut) dengan pergeseran titik-titik yang sama didunia nyata atau akurasi relatif suatu objek diposisikan relatif terhadap satu sama lainnya. Dapat digambarkan sebagai (+ atau -) dalam ukuran tertentu (meter, inci, dll) yang merupakan penyimpangan maksimum yang diperbolehkan (jarak atau interval) antara dua objek spasial pada peta dan di dunia nyata. Sebagai contoh, pengukuran jarak antara dua situs di dunia nyata dan pengukuran jarak dalam peta harus berada dalam akurasi relatif tertentu (+/-). Sedangkan jika penggunaan pada peta tematik, akurasi relatif berkaitan dengan ketepatan akurasi relatif satu tema terhadap tema lain. Hal ini sering digunakan untuk menyatakan ketepatan overlay, misalnya lapisan vektor, relatif ke gambar dasar seperti latar belakang raster. Jika latar belakang raster memiliki akurasi relatif dengan vektor sebesar 5 meter, namun citra raster tersebut memiliki kesalahan mutlak 10 meter ketika dirujuk kepermukaan tanah, hal ini mengakibatkan kesalahan keseluruhan sebesar 15 meter. Akurasi nilai ambang mengacu pada nilai-nilai akurasi data minimal yang dapat diterima untuk suatu produk, aplikasi, dan layanan kontrak yang diberikan kepada atau dikembangkan atau ditetapkan oleh suatu instansi. Ungkapan ‘akurasi nilai ambang’ adalah sinonim dengan ungkapan ‘tingkat kesesuaian’. Akurasi nilai ambang umumnya dinyatakan sebagai nilai numerik yang meru pakan titik awal akurasi yang dapat diterima. Contoh, penetapan nilai akurasi suatu peta tematik ditetapkan dengan nilai ambang 15m, maka akurasi relatif dari peta tersebut tidak boleh melebihi dari 15m. Data mentah citra penginderaan jauh umumnya masih memiliki kesalahan geometris karena sistem penerimaan dan objek yang diobservasi, untuk itu perlu dilakukan koreksi terhadap data tersebut sebeINDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
lum mendapatkan informasi dari data tersebut dengan prosedur koreksi orientasi dan koreksi orthorektifikasi citra. Terdapat beberapa tingkatan data yang menunjukkan hasil koreksi yang telah dilakukan oleh produsen data (ditunjukkan pada Tabel 1). Namun hasil koreksi yang dilakukan pihak produsen masih perlu dilakukan proses koreksi lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas geometris dari data tersebut karena setiap tingkatan mempunyai nilai akurasi yang tertentu, dalam tulisan ini dicontohkan standar data satelit Ikonos dan Spot (tingkatan hasil koreksi ditunjukkan pada Tabel 2 dan 3). Tujuan dari koreksi geometris adalah menghasilkan data penginderaan jauh yang sesuai dengan kondisi koordinat sebenarnya dipermukaan tanah. Koreksi geometris memerlukan titik kontrol tanah atau Ground Control Point (GCP) dengan kriteria titik tersebut harus jelas kenampakkannya pada citra, terletak pada lokasi yang relatif stabil, tidak berubah dan distribusi penyebaran yang merata. Setelah melakukan koreksi geometris data penginderaan jauh dapat dilanjutkan dengan penilai an akurasi data tersebut. Untuk melakukan penilaian akurasi memerlukan beberapa langkah agar hasil yang diharapkan dalam melakukan penilaian dapat optimal. Penilaian akurasi mempunyai 3 langkah dasar, yaitu (Congalton dkk, 2009): 1. Merancang penilaian akurasi sampel: mendesain prosedur penilaian akurasi sampel dan melakukan pemilihan area pada peta. Dalam melakukan pemilihan sample, mengacu pada National Standard for Spatial Data Accuracy (NSSDA) (US-FGDC, 1998) jumlah minimal titik sampel yang digunakan adalah 20. Training sample (Ground Control Point (GCP)) diperlukan untuk melatih/ pembelajaran model yang digunakan sedangkan tes sample (Check Point (CP)) diperlukan untuk memvalidasi model yang digunakan untuk melihat akurasi data sample tersebut dengan mengevaluasi Root Mean Square Error (RMSE) dari sampel yang digunakan oleh model. 2. Pengumpulan data untuk tiap sampel: ada 2 informasi yang dikumpulkan dari tiap sampel, yaitu: a. Penilaian akurasi sampel data referensi: Posisi atau kelas label dari penilaian akurasi situs, berasal dari data yang dikumpulkan yang dianggap benar. b. Penilaian akurasi sampel data peta: Posisi atau kelas label dari dari penilaian akurasi situs, diturunkan dari peta atau gambar yang sedang dinilai. 3. Menganalisa hasil : informasi peta dan referensi dibandingkan, dan hasil perbandingan dianalisis untuk melakukan penilaian statistik dan kewajaran. 21
PENGOLAHAN DATA INDERAJA Level
Deskripsi WMO (World Meteorological Organization)
US NASA 0
instrumen dan data payload yang belum diolah pada resolusi penuh, dengan setiap dan semua artefak komunikasi (misalnya, sinkronisasi frame, komunikasi header, duplikasi data) terhapus
Data Mentah
1a
instrumen data yang belum diolah pada resolusi penuh, referensi waktu, dan dijelaskan dengan informasi pendukung, termasuk koefisien kalibrasi radiometrik dan geometrik dan parameter Geore ferensi (misalnya, platform ephemeris) dihitung dan ditambahkan tetapi tidak diterapkan pada data Level 0 (atau jika diterapkan, dalam cara yang level 0 sepenuhnya dapat diperoleh kembali dari data tingkat 1a).
Data diekstraksi dengan instrumen, pada resolusi piksel instrumen penuh, dengan informasi lokasi dan kalibrasi (4 sub level, a-d)
1b
Tingkat 1a data telah diproses untuk unit sensor (misalnya, radar backscatter cross section, suhu kecerahan, dsb); tingkat 0 data tidak dapat diperoleh kembali dari data tingkat 1b
2
Diperoleh variabel geofisika (misalnya, tinggi gelombang laut, kelembaban tanah, dll) pada resolusi yang sama dan lokasi seperti sumber data Tingkat 1.
Nilai Geofisika (suhu, kelembaban, fluks radiasi, dll) pada instrumen resolusi piksel
3
Variabel dipetakan pada skala grid ruang-waktu seragam, biasanya dengan beberapa kelengkapan dan konsistensi (misalnya, hilangnya titik interpolasi, daerah penggabungan lengkap bersama-sama dari berbagai orbit, dll).
produk dipetakan ulang (grid) berdasarkan nilai geofisika turunan di instrumen resolusi piksel
4
Model keluaran atau hasil dari analisis data tingkat yang lebih rendah (misalnya, variabel yang tidak diukur dengan instrumen namun berasal dari pengukuran).SimakBaca secara fonetik
Gabungan produk (multisource) atau hasil analisis model data tingkat yang lebih rendah
Tabel 1. Tingkatan informasi koreksi produk data
Level 2
Deskripsi Georektifikasi
3
Menggunakan titik kontrol tanah
4a 4a 4b 4b
Reference Pro Presisi Presisi plus
Rektifikasi Inflated ellipsoid Epipolar or map Inflated ellipsoid Epipolar or map orthorektifikasi orthorektifikasi Orthorektifikasi Orthorektifikasi
Akurasi 50 m CE90 + pergeseran daerah(mono) 25m CE90, 22m LE90 (stereo)
Mosaik Tidak direkomendasi
2m CE90 + pergeseran daerah(mono)
Tidak direkomendasi
Ya
2m CE90, 3m LE90 (stereo) 25m CE90 10m CE90 4m CE90 2m CE90
Tidak Ya Ya Ya Ya
Tidak Tidak Ya Ya
Tidak
GCP Tidak
Tabel 2. Produk Ikonos georektifikasi dan orthorektifikasi (Grodecky,J,Dial,G,2001) 22
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA Level 1a 1b 2a 2b 3
Spot 1-4 350 m 350 m 350 m 30 m 15 m
Akurasi Spot 5 30m 30m 30m <15 <15
GCP Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Ya
Tabel 3. Produk Spot (Spot Image, 2005)
Pengumpulan data referensi untuk penilaian akurasi merupakan komponen kunci untuk melakukan penilai an. Pengumpulan data untuk penilaian akurasi membutuhkan tiga tahapan dengan mempertimbangkan data referensi yang akan dikumpulkan dan peta yang akan diberikan penilaian, yaitu: 1. Penilaian akurasi sampel harus dalam lokasi yang sama dan akurat antara sumber referensi dan peta. 2. Sampel unit harus dibatasi, sampel unit harus menyajikan area yang sama secara tepat antara sumber re ferensi dan peta. 3. Pelabelan referensi dan peta harus diberikan setiap unit sampel dengan dasar skema klasifikasi peta. Dalam melakukan pemilihan sampel unit ada bebe rapa hal yang bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam melakukan pemilihan sampel. Ada 4 kemungkinan untuk memilih unit sampel : 1. Pixel (picture element), pemilihan satu pixel sebagai unit sample merupakan suatu yang kurang baik, karena pixel tersebut belum memiliki informasi yang jelas mengenai informasi kelas dimana ia berada, belum ada jaminan bahwa secara identik pixel yang menjadi referensi sama persis dengan pixel yang ada dipeta. 2. Kluster dari pixel (3x3 pixel), sebuah kluster dapat meminimalisir permasalahan registrasi, dengan memilih kluster yang homogen yang digunakan menjadi sampel, 3. Poligon (object), sebuah objek pada kelas tertentu digunakan menjadi sampel 4. Kluster dari poligon, sebuah kluster yang merupakan kumpulan dari objek digunakan menjadi sampel. Metode cross validation merupakan metode statistik untuk melakukan evaluasi dan membandingkan algoritma pembelajaran dengan membagi data menjadi 2 bagian, yaitu learning data (GCP) dan validasi data (CP). Metode Leave-one-out cross-validation (LOOCV) merupakan kasus spesial dari metode k-folds cross-validation INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
yang membagi kelompok data menjadi k subset dengan ukuran yang sama. Model melakukan pelatihan k kali (k = jumlah data GP yang digunakan untuk koreksi), menggunakan setiap subset sebagai pengujian (CP) dan subset sisanya sebagai set pelatihan (GCP). Akurasi keseluruhan dihasilkan dengan mencari nilai rata-rata dari nilai akurasi yang diperoleh setiap subset (RMSE). Metode ini merupakan metode yang handal dan robust, yang menghasilkan penilaian akurasi yang tidak bias dan mengijinkan penggunaan setiap titik tanah yang diketahui baik GCP dan CP dalam melakukan penilaian akurasi (O’Hara dkk, 2009). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penilai an akurasi posisi dan klasifikasi (tema) yaitu: • Ground Sample Distance (GSD), didefinisikan sebagai jarak yang diwakili oleh satu pixel pada permukaan tanah, sering disebut sebagai resolusi spasial. • Skala, didefinisikan sebagai perbandingan yang diperoleh dengan membagi jarak atau area pada peta (atau gambar) dengan jarak atau daerah sebenarnya dipermukaan tanah. Skala dapat dinyatakan dalam empat cara: sebagai perbandingan, sebagian, dengan kata-kata dan dengan skala grafis (bar). • Faktor Skala, didefinisikan sebagai suatu nilai yang digunakan untuk memfasilitasi akurasi interpretasi ketika melihat citra. Faktor skala adalah suatu nilai yang berlaku (biasanya dikalikan) ke nilai lain untuk meminimalkan distorsi baik bentuk, luas, jarak, arah, atau beberapa properti lain yang relevan. Tergantung pada konteks yang digunakan, nilai ini dapat dinyatakan sebagai rasio, a float, atau integer. Untuk proyeksi UTM, faktor skala di sentral meridian sengaja ditetapkan sebesar 0,9996 untuk menghindari distorsi di pinggiran zona UTM. Nilai faktor skala optimal dapat digunakan untuk mencari nilai skala yang dapat menampilkan citra dengan baik (minimal distorsi) pada media (monitor) dengan mengalikan resolusi pada monitor (pixel/ inchi) dengan nilai konversi meter ke inchi (39.37 inchi/ meter), hasil tersebut dikalikan dengan nilai resolusi spasial dari citra untuk menda patkan skala optimum untuk melihat citra/ peta. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi citra yang diperoleh dari proses akuisisi citra (foto udara dan analisis fotogrametri) dan proses koreksi geometri adalah sebagai berikut: • Skala citra, dipengaruhi oleh: a. Ketinggian terbang platform (satelit) b. Panjang fokus lensa kamera c. Dimensi sensor dan ukuran piksel sensor 23
PENGOLAHAN DATA INDERAJA • Resolusi permukaan tanah pada citra, a. citra digital - Ground Sample Distance (GSD) atau resolusi spasial yang mewakili 1 pixel pada citra dengan luasan pada permukaan bumi. b. citra film - Ground Resolve Distance (GRD) berkaitan dengan fokus lensa yang digunakan untuk melihat objek terkecil pada citra. • Tinggi rasio dasar - derajat pemisahan antara dua gambar dari pasangan stereo relatif terhadap tinggi terbang (orbit). • Akurasi pengukuran titik kontrol tanah yang digunakan sebagai sampel dalam melakukan koreksi geometri dengan model (polynomial, triangulasi dan lainnya) dan model elevasi digital (DEM). • Kinerja karakteristik instrumen fotogrametri yang digunakan, mencakup GPS platform, inertial measurement unit (IMU), peralatan scanning, dan perangkat lunak koreksi geometri termasuk koreksi ortho. Penilaian akurasi pemetaan telah banyak dikembangkan diberbagai negara dan pada tulisan ini akan membahas secara singkat mengenai penilaian akurasi pemetaan dan beberapa standar penilaian akurasi pemetaan di Amerika Serikat, dengan memfokuskan pada penilaian akurasi posisi. Menurut Congalton dan Green (2009) terdapat 2 tipe penilaian akurasi pemetaan, yaitu : • Posisi, penilaian akurasi berhubungan dengan lokasi dari fitur pada peta dan pengukuran seberapa jauh akurasi lokasi fitur pada peta dengan lokasi referensi di permukaan tanah. Penilaian akurasi posisi meliputi akurasi absolut dan akurasi relatif antara data dengan realita sebenarnya dipermukaan bumi. • Tema, penilaian akurasi berdasarkan label, atribut dari fitur yang ada dipeta dan pengukuran berdasarkan label fitur dipeta dengan fitur label sebenarnya yang ada dipermukaan bumi. Ada dua komponen penilaian akurasi posisi yaitu akurasi horisontal dan vertikal. Akurasi posisi mengacu pada pengukuran lokasi dan ukuran fitur yang diidentifikasi pada sebuah citra. Akurasi posisi memiliki dua komponen utama, yaitu: Akurasi Horisontal dan Akurasi Vertikal.
mensi yang perlu diperhitungkan adalah koordinat (X, Y) titik pengetesan dan posisi sebenarnya. Mengacu pada United States National Map Accuracy Standards (NMAS) (U.S. Bureau of the Budget, 1947) (US-NMAS, 1947), kesalahan pada titik-titik pengetesan tidak boleh melebihi 10 % (Circular Error CE (90)) dan tidak melebihi 1/30 inci pada skala peta yang digunakan dan lebih besar dari 1:20.000 dan tidak melebihi 1/50 inci untuk skala peta 1:20.000 atau lebih kecil(semakin besar perbandingan skala maka skala tersebut semakin kecil). Untuk analisa akurasi posisi biasanya menggunakan (RMSE), yang menggambarkan nilai perbedaan antara titik tes poin dengan titik sebenarnya. RMSE digunakan untuk menggambarkan akurasi meliputi kesalahan random dan sistematik. RMSE adalah akar dari kuadrat perbedaan antara posisi kordinat atau elevasi sebenarnya dengan tes poin dibagi dengan jumlah tes poin dalam perhitungan matematis (perhitungan 1) (ASPRS, 1989). (1) dimana,
Circular Error (CE) merupakan perkiraan kesalahan sirkular. Kesalahan bisa dikatakan sebagai deviasi nilai pengukuran dari nilai sebenarnya (O’Hara dkk, 2009). ditentukan sebagai lingkaran dan pusat lingkaran merupakan nilai mean, batasan yang dilakukan diharapkan untuk memasukkan persentase yang jelas mengenai populasi yang ada didalamnya. Untuk CE 90, diharapkan 90 % dari populasi titik pengetesan berada didalam radius lingkaran (Gambar 3).
Akurasi Horisontal Mengacu pada perbedaan horisontal antara titik uji pada gambar dan lokasi sesungguhnya dari fitur dipermukaan tanah. Pengukuran akurasi menggunakan root mean square error atau circular error, pada pemetaan dua di24
Gambar 3. CE 90
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA Untuk perhitungan akurasi mengacu pada NMAS, nilai circular map accuracy standard (CMAS) dan nilai vertikal map accuracy standard (VMAS) ditentukan sebagai berikut: CMAS = 2.146 *RMSEx atau CMAS = 2.146 *RMSEy VMAS = 1.6449 * RMSEz Dimana kesalahan horisontal dan vertikal merupakan distribusi normal, maka nilai 2.146 dan 1.6449 merupakan faktor kesalahan yang digunakan untuk perhitungan CE dan VE. Akurasi Vertikal Mengacu pada perbedaan ketinggian antara titik uji dan posisi sebenarnya. Akurasi vertikal adalah pengu kuran Linier Error (LE) karena mengacu pada satu dimensi. Akurasi vertikal digunakan dalam referensi untuk peta topografi, seperti kontur. Akurasi vertikal untuk kontur dengan tingkat keyakinan 90% maka memiliki kontur turunan, yaitu: • area terbuka - dalam interval kontur ½ • titik ketinggian - dalam interval kontur ¼ Sebagai contoh, interval kontur atau contour interval (CI) pada suatu peta adalah 1/2000 dari skala peta yang digunakan, sebagai contoh untuk skala peta 1:20.000, kontur berada pada interval 10 meter. Untuk tingkat keyakinan 95% dari sampel: • memiliki kontur pada rentang 5 meter dari elevasi sebenarnya - 5m LE95 • memiliki garis/ titik ketinggian pada rentang 2,5 meter dari elevasi sebenarnya -2,5 m LE95. Referensi Standar yang digunakan diatas adalah standar yang dikeluarkan oleh National Standard for Spatial Data Accuracy (NSSDA) (US-FGDC, 1998) di Amerika Serikat yang merupakan pembaruan dari US-
NMAS (1947) (walaupun standar yang lama masih boleh dipakai). Standar yang baru ini membutuhkan tingkat kepercayaan 95% untuk akurasi horisontal dan vertikal. Namun, penggunaan spesifikasi dari kesalahan diserahkan kepada kebijaksanaan instansi untuk menentukan standar yang akan digunakan. Penggunaan skala tertentu pada data citra, memerlukan adanya standar batasan error (RMSE) hasil korek si geometris yang diperbolehkan untuk menunjukkan akurasi peta yang dihasilkan (ditunjukkan pada Tabel 1) berdasarkan standar yang digunakan. Gambar 4 menunjukan skala peta dengan akurasi CE 90% menggunakan citra Ikonos, gambar tersebut mempunyai arti bahwa untuk skala peta 1:2400 titik sample yang digunakan memiliki jarak kurang dari 2 meter (6,67 feet, tabel 4) dari posisi sebenarnya, dan begitu juga untuk skala peta lainnya. Kalau contoh di atas kita balik, dari bagian Akurasi Horisontal mengacu kepada standar ketelitian peta di Amerika Serikat (US-NMAS, 1947), yaitu CE 90 lebih kecil daripada (1/30) inch atau lebih kecil dari 0.84 mm dan untuk skala 1 : 2 400 maka kesalahan tersebut harus lebih kecil dari 0.84 mm x 2 400 = 2032 mm = 2 m. Bila hasil koreksi geometrik di dapat CE 90 = 2 meter (6.67 ft) maka hasil koreksi geometrik tersebut memenuhi persyaratan kesalahan horizontal maksimum yang diperbolehkan untuk skala peta 1 : 2 400. Informasi di atas maupun contoh yang diberikan memperlihatkan kesesuaian antara data penginderaan jauh dengan skala peta tertentu ditentukan oleh hasil atau kualitas koreksi geometrik dan standar ketelitian peta yang dianut negara tersebut. Sepanjang pengetahuan penulis belum ada standar ketelitian peta, seperti yang diperlihatkan contohnya dari Negara Amerika Serikat, yang resmi yang dikelu-
Tabel 4. Akurasi Jarak toleransi pada skala yang digunakan
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
25
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Gambar 4. Citra Ikonos, Skala peta dengan akurasi CE 90
arkan oleh instansi yang berwenang dalam pemetaan di Indonesia. Beberapa hal dapat digaris bawahi berdasarkan penjelasan diatas sebagai berikut: • Pesatnya pertumbuhan pengguna SIG di Indonesia berdampak terhadap kebutuhan akan keakurasian data dan manajemen data spasial yang tepat kedepannya. • Beberapa kesalahan terjadi ketika memproduksi data penginderaan jauh, untuk itu diperlukan penilai an kualitas terhadap data yang dihasilkan. Penilai an akurasi posisi dengan memperhatikan tahapantahapan dalam melakukan penilaian akurasi. Beberapa standar akurasi pemetaan yang dibahas memberikan 26
gambaran dan dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian akurasi data penginderaan jauh. • Resolusi spasial dapat mempengaruhi interpretasi secara visual tapi bukan merupakan faktor utama dalam menentukan kesesuaian untuk menentukan skala dimana data inderaja tersebut akan digunakan. Faktor utamanya adalah ketelitian atau kualitas hasil koreksi geometrik data inderaja tersebut serta kesesuaiannya terhadap standar ketelitian peta yang dianut negara tersebut, standar ketelitian peta yang dimaksud sa ngat perlu didefinisikan segera oleh instansi yang berwenang dalam Pemetaan di Indonesia. • Banyak manfaat yang akan dapat diperoleh dengan adanya standarisasi dalam pemetaan seperti yang sudah dibahas dalam makalah ini. INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Google Earth sebagai Referensi Alternatif Titik Kontrol Tanah Oleh: Gatot Winarso, Bambang Trisakti dan Wawan K. Harsanugraha Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN
P
engolahan data penginderaan jauh (inderaja) tidak hanya masalah interpretasi dan penurunan/ekstraksi informasi saja. Akan tetapi, informasi yang dihasilkan harus disajikan dalam sebuah peta yang memenuhi standar kartografi. Salah satu unsur kartografi yang perlu diperhatikan adalah sistem proyeksi peta. Dalam pengolahan data inderaja, agar citra memenuhi standar geo-referensi data harus melalui proses koreksi geometrik. Proses koreksi geometrik terdiri dari bebe rapa tingkat yaitu koreksi sistematik, koreksi presisi dan koreksi ortho. Koreksi geometrik presisi dan ortho memerlukan titik kontrol tanah atau Ground Control Point (GCP) (Lillesand and Keifer, 1994). Pada umumnya GCP diperoleh dari pengukuran di lapangan dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Ada dua jenis pengukuran GPS, yaitu GPS navigasi/single dengan ketelitian bekisar 3-5 m, dan GPS Geodetik yang dapat dibedakan GPS Geodetik single frekuensi dengan ketelitian skala cm dan GPS Geodetik dual frekuensi dengan ketelitian skala mm. Tetapi pada kenyataannya pengukuran GCP di lapangan memerlukan upaya (effort) yang cukup besar dari segi biaya pe ngadaan peralatan GPS dan lamanya waktu pengukuran. Sehingga untuk melakukan proses koreksi geometrik/ orthorektifikasi citra sering digunakan referensi alternatif yaitu dengan menggunakan citra lain yang sudah terkoreksi. Selama ini produk data Landsat TM/ETM+ dengan level koreksi geometrik ortho yang sudah disediakan oleh www.landsat.org merupakan merupakan data utama yang digunakan sebagai altenatif geoferensi, akan tetapi data Landsat ortho ini sulit digunakan untuk melakukan koreksi geometrik untuk data dengan reso lusi spasial lebih rinci dari citra Landsat, seperti: citra ALOS, SPOT atau IKONOS. Hal ini disebabkan karena INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
objek-objek yang dikenali di citra resolusi tinggi (mi sal ALOS) sulit untuk diidentifikasi pada citra Landsat (Gambar 1) sehingga mengakibatkan sulitnya mendapat GCP yang akurat dengan jumlah yang diinginkan. Alternatif lain yang dapat digunakan sebagai referensi adalah peta/citra dari Google Earth yang bisa diperoleh secara gratis bila komputer terhubung dengan internet. Google Earth adalah sebuah layanan peta berbasis ci tra satelit yang disediakan oleh mesin pencari terkenal Google. Google Earth, yang disebut juga Earth Viewer (Pengamat bumi), dibuat oleh Keyhole, Inc. Program ini memetakan bumi dari superimposis gambar citra yang dikumpulkan dari pemetaan satelit, fotografi udara dan globe GIS 3D. Citra yang digunakan oleh aplikasi ini adalah data resolusi rendah (MODIS), menengah (Landsat) dan juga resolusi tinggi dan sangat tinggi seperti citra IKONOS dengan resolusi spasial 1 m dan/atau citra Quicbird dengan resolusi spasial 0,6 meter. Dengan citra resolusi tinggi tersebut, kenampakan obyek menjadi sa ngat jelas dan objek mudah diidentifikasi bila dibandingkan dengan citra ALOS PRISM (resolusi spasial 2,5 m) atau SPOT (resolusi spasial 2,5-10 m). Sehingga Obyekobyek yang dikenali pada citra yang mau diproses akan mudah dikenali di citra yang ditampilkan oleh Google Earth (Gambar 1). Oleh karena itu, Google Earth mempunyai potensi untuk digunakan sebagai geo-referensi horisontal untuk proses koreksi berbagai citra resolusi tinggi. Lebih jauh citra Google Earth dapat digunakan sebagai referensi horisontal dalam proses ekstraksi Digital Elevation Model (DEM), yaitu model dijital dari ketinggian permukaan bumi. Uji ketelitian dilakukan terhadap 14 titik GCP yang diukur di daerah liputan data ALOS PRISM dengan Scene ID ALPSMN030933730, yang meliputi daerah 27
PENGOLAHAN DATA INDERAJA
Gambar 1. Identifikasi objek pada citra Landsat, ALOS dan Citra Google Earth
Gambar 2. Penyimpangan yang terjadi antara titik GCP no 4 dengan citra pada Google Earth
barat timur antara Cileungsi-Waduk Jatiluhur dan utara selatan antara Karawang-Bogor. Data lapangan diambil pada tanggal 27-31 Oktober 2010. Ketelitian citra Google Earth diuji dengan menentukan penyimpangan yang terjadi antara koordinat pada citra Google Earth dengan koordinat dari hasil pengukuran GCP lapangan menggunakan GPS Geodetik pada obyek yang sama dengan total 14 titik. Gambar 2. memperlihatkan salah satu contoh penyimpangan yang terjadi antara titik GCP lapangan no 4 dengan koordinat dari citra resolusi sangat tinggi (IKONOS) pada Google Earth. Sedangkan hasil seluruh pengujian pada 14 titik yang diukur diperlihatkan pada Table 1. Rata-rata penyimpangan antara koordinat ob28
jek pada citra Google Earth dengan koordinat GCP pe ngukuran lapangan adalah sebesar 5,41 m, dengan penyimpangan tertinggi adalah 24,62 m (GCP 2) dan teren dah adalah 0,9 meter (GCP 6). Dengan penyimpangan rata-rata tersebut, maka citra pada Google Earth masih memungkinkan untuk digunakan sebagai geo-referensi untuk melakukan koreksi terhadap data ALOS PRISM dan SPOT atau citra lain dengan resolusi spasial 2,5 m atau lebih, karena penyimpangan 5,41 setara dengan penyimpangan 2 piksel. Secara teori citra referensi yang diperlukan untuk geo-referensi mempunyai kesalahan sebesar 3σ (atau 3 piksel), akan tetapi secara visual obyek yang sama dapat dikenali dengan sangat tajam INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
PENGOLAHAN DATA INDERAJA Table 1. Lokasi Titik GCP yang diukur dan selisih jarak pada 14 titik pengujian. Selisih Jarak (m)
No.
Lintang
Bujur
1
6° 21’ 39,43574” S
107° 01’ 04,30519” E
2,4
2
6° 23’ 09.66932” S
107° 06’ 50.92192” E
24,6
3
6° 22’ 00.75304” S
107° 10’ 21.44322” E
2,6
4
6° 23’ 06.20651” S
107° 13’ 38.85300” E
16,6
5
6° 27’ 16.68261” S
107° 01’ 21.95628” E
0,9
6
6° 28’ 27.22806” S
107° 04’ 21.78044” E
4,3
7
6° 28’ 34.13048” S
107° 08’ 38.98435” E
1,6
8
6° 27’ 46.13377” S
107° 13’ 26.48244” E
3.0
9
6° 32’ 07.33928” S
107° 04’ 10.01042” E
3,8
10
6° 31’ 34.55799” S
107° 11’ 54.23582” E
4,8
11
6° 34’ 31.29659” S
106° 57’ 42.37883” E
2,5
12
6° 35’ 57.11517” S
107° 02’ 55.64098” E
5,1
13
6° 38’ 42.50166” S
107° 09’ 57.65057” E
1,3
14
6° 39’ 40.36522” S
107° 12’ 25.64980” E
2,2
5.5
5.6 3.5
RMSE
SRTM
DEM 1
DEM 2
Gambar 3. Data DEM wilayah Sragen dari citra stereo ALOS PRISM menggunakan referensi citra Googel Earth.
dan jelas pada citra Google Earth (Spiegel, 1975). Selain untuk proses koreksi geometrik/ orthorektifikasi, GCP dari citra Google Earth dapat juga dimanfaatkan sebagai referensi horisontal dalam pembuatan DEM menggunakan citra stereo satelit optik, sebagai contoh pembuatan DEM menggunakan citra stereo ALOS PRISM. Pembuatan DEM ALOS PRISM dilakukan dengan 2 cara, yaitu: menggunakan data masukan GCP (XYZ) dari pengukuran lapangan dan menggunakan data masukan GCP (XYZ) dari citra Google Earth untuk XY dan data SRTM 30 m untuk Y (Trisakti dan INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Gambar 4. Perbandingan antara DEM SRTM, DEM dari GCP lapangan dan DEM dari Google Earth.
Carolita, 2005). Data DEM dari citra stereo ALOS PRISM yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 3, sementara perbandingan tingkat kesalahan (error) antara DEM SRTM, DEM yang dibuat dengan masukan GCP lapangan (DEM 1), dan DEM yang dibuat dengan masukan GCP dari Google Earth (DEM 2) diperlihatkan pada Gambar 4. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa DEM dengan menggunakan GCP lapangan mempunyai tingkat kesalahan yang paling kecil (paling akurat), sedangkan DEM yang dibuat dengan menggunakan referensi Google Earth memiliki ketelitian yang relatif tidak berbeda dengan DEM STRM 30 m. Dari hasil tersebut diperoleh bahwa citra pada Google Earth terbukti dapat digunakan sebagai referensi horisontal untuk menghasilkan DEM dengan tingkat kesalahan yang mendekati DEM SRTM 30 m. Dari uraian diatas maka Google Earth merupakan alternatif geo-referensi yang cukup baik untuk mengkoreksi atau menurunkan DEM berbasis citra resolusi tinggi seperti SPOT, ALOS dan IKONOS yang mempunyai resolusi spasial lebih baik dari 10 m. Tetapi pemanfaatan citra Google Earth inipun hanya digunakan bila tidak tersedianya GCP hasil pengukuran lapangan.
29
APLIKASI INDERAJA
Deteksi Kerusakan Hutan Mangrove di Ujung Kulon dengan Inderaja Oleh: Tuti Gantini, Nur Hidayat dan Kustiyo
H
utan Mangrove merupakan sumberdaya laut yang memiliki fungsi dan peran sangat penting. Salah satu fungsi Hutan Mangrove adalah sebagai hutan lindung ( UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pasal 1 ayat 8 - 9 UU No 41 Tahun 1999), yang mempunyai fungsi pokok sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Selain itu Hutan Manggrove juga berfungsi mendukung kehidupan masyarakat yang berdiam di wilayah pesisir, dan juga berperan sebagai peredam pemanasan global, serta pelindung pantai dari hempasan gelombang. Namun seringkali terjadi penggunaan hutan Mang rove yang berlebihan, antara lain: : • usaha tambak udang • penebangan kayu • penambangan minyak lepas pantai • pencemaran bibir pantai • pariwisata • urbanisasi dan perluasan wilayah • pembangunan jalan dan infrastruktur sehingga menyebabkan kerusakan hutan Mangrove.
Mengingat fungsinya yang sangat penting, maka hutan Mangrove harus dikelola dengan baik dan kelestariannya harus dijaga agar memberikan manfaat yang optimal. Untuk mengelola hutan Mangrove secara optimal antara lain diperlukan data dan informasi yang terus-menerus, periodik dan akurat. Data yang mungkin paling cocok untuk keperluan tersebut adalah data penginderaan jauh satelit yang dapat diperoleh secara periodik dan akurat. 30
Tulisan ini mencoba melihat kondisi hutan Mang rove di Ujung kulon pada tahun 1992 dan kondisi tahun 2007, dengan menggunakan data satelit Landsat dan SPOT, serta melihat sebaran kerusakannya menggunakan data tersebut dengan metoda Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Kondisi umum hutan Mangrove di wilayah Ujung Kulon akan diberikan sebagai berikut, Ekosistem Mang rove Ujung Kulon terletak di kawasan teluk yang ber hadapan langsung dengan Laut Jawa. Teluk ini merupakan bentuk perairan semi tertutup yang menjadi muara dari beberapa sungai kecil. Perairan ini juga menerima limbah dari kegiatan pertanian dan pemukiman penduduk di sekitarnya yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak ekologis terhadap perairan ini. Kondisi ini akan menyebabkan menurunnya kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempe ngaruhi dan mengganggu kehidupan organisme pera iran khususnya hutan Mangrove . Hasil ekspedisi Susur Selatan Jawa’09 Kompas tanggal 10 Mei 2009, yang dimuat pada harian KOMPAS, 18 Juli 2009, menyebutkan bahwa semenanjung Ujung Kulon, Banten, terancam terpisah dari Pulau Jawa akibat abrasi yang semakin parah. Jika dibiarkan, air laut yang menyebabkan abrasi akan menenggelamkan jalur sempit yang menghubungkan semenanjung-yang sering disebut “leher” Pulau Jawa itu dengan Gunung Honje. Kedua daerah tersebut tersambung jalur sempit yang lebarnya sekitar dua kilometer (km). Panjang pantai pada celah itu sekitar 3 km. Saat ini, abrasi menghantam daerah tersebut di pantai utara dan selatan. Selama 25 tahun terakhir pantai sudah terkikis 7 meter di utara demikian pula di pantai selatan. Abrasi itu disebabkan tidak adanya pohon bakau di tepi pantai sebagai penahan. Di INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
APLIKASI INDERAJA
Gambar 1. Data Ketinggian (DEM) di leher Ujung Kulon
Gambar 2. Metodologi deteksi kerusakan hutan mangrove INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
31
APLIKASI INDERAJA tepi pantai tersebut terdapat jalan sempit, dengan lebar sekitar 3 meter, yang dihimpit pepohonan liar dan kikisan abrasi pada sisi lainya, padahal, sekitar 20 tahun lalu, lebar jalan itu masih 6 meter. Menurut anggota staf Rhino Monitoring Protection Unit Taman Nasional Ujung Kulon, Jazuli, bakau pernah ditanam di pantai itu hampir 10.000 batang pada tahun 2004 - 2008. Namun upaya menahan abrasi tak berhasil karena bibit bakau terseret ombak yang kuat. Dilihat dari Peta Ketinggian (DEM) (Gambar 1) di sekitar leher pulau jawa tersebut, ketinggian dari muka laut berkisar antara 0 (nol) sampai 30 meter, lokasi ter tinggi terdapat disekitar pantai sebelah selatan. Lokasi Hutan Mangrove berada pada ketinggian rata-rata 13 (tiga belas) meter. Data mentah satelit, baik Landsat maupun SPOT, mengandung beberapa kesalahan baik kesalahan ra-
diometrik maupun kesalahan geometrik. Sebelum digunakan untuk memantau kerusakan hutan Mang rove khususnya dilakukan proses koreksi radiometrik untuk memudahkan menganalisis dan proses korek si geometrik dengan tujuan untuk meminimalkan penyimpangan posisi atau koordinat geografis sehingga mendekati posisi yang sebenarnya di lapangan. Deteksi kerusakan hutan mangrove di Ujung Kulon dilakukan dengan menggunakan dua data perekaman dengan selang perekaman 15 tahun, yaitu data satelit Landsat-5 yang diakusisi pada tahun 1992 dan data satelit SPOT-4 dengan akusisi tahun 2007. Dari kedua data tersebut dilakukan interpretasi sebaran lu asan mangrove, kemudian dari kedua luasan tersebut dibandingkan untuk memperoleh informasi perubahan luasan hutan mangrove. Interpretasi dilakukan secara visual dengan cara deleniasi pada layar monitor (on screen
Gambar 3. Citra Landsat-5 tahun 1992 32
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
APLIKASI INDERAJA
Gambar 4. Citra SPOT-4 tahun 2007
delineation). Kombinasi kanal yang digunakan adalah kombinasi RGB 542 untuk data Landsat, dan kombinasi RGB 431 untuk data Spot-4. Analisa kerapatan vegetasi mangrove dilakukan de ngan metoda NDVI. Nilai Index tersebut hanya dihitung untuk wilayah mangrove, kemudian dikelaskan menjadi 2 kelas yaitu mangrove vegetasi jarang dan mangrove vegetasi lebat. Dari kedua data tahun 1992 dan 2007, informasi NDVI tersebut ditumpang susun (overlayed) sehingga diperoleh tabel perubahan kerapatan vegetasi mangrove. Pada citra Landsat-5 tahun 1992, warna hijau tua diidentifikasi sebagai Hutan Mangrove terletak di pesisir pantai sebelah Utara memanjang Timur-Barat, mulai dari wilayah pantai Cihandeuleum dan Kep. Cihandeuleum sampai ke patai Tg. Lame. Sedangkan warna hijau muda dengan tekstur homogen diidentifikasi sebagai INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
hutan (H), warna hijau muda dengan tekstur kasar di identifikasi sebagai Hutan campur belukar (H+B), warna hijau kekuningan adalah lahan terbuka, warna biru disekitar perkampungan adalah sawah (Sw). Perkampungan digambarkan dengan warna merah jambu (pink)-ungu. Pada citra SPOT-4 Hutan Mangrove juga digambarkan dengan warna hijau tua Perbedaan kenampakan antara hutan dan hutan campur belukar terlihat lebih jelas, demikian juga areal sawah dengan warna merah jambu (pink) –ungu lebih terlihat jelas. Dari kedua citra diatas tidak tampak perubahan garis pantai dan luasan Hutan Mangrove hampir mirip antara tahun 1992 dan 2007. Dengan membandingkan data citra satelit tahun 1992 dan 2007 menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan penggunaan lahan yang signifikan di sekitar Ujung Kulon.
33
APLIKASI INDERAJA
Gambar 5. Tumpang susun (Overlay) citra SPOT-4 tahun 2007 dengan perubahan kerapatan hutan Mangrove
Penurunan kualitas kerapatan Mangrove 1992 2007 Perubahan yang terjadi pada kondisi hutan Mang rove di Ujung Kulon adalah pada kualitas atau kerapatannya, yang secara visual terlihat ada kecenderungan perambahan hutan disekitar lokasi. Pada citra diatas, Hutan Mangrove dengan warna merah menunjukan Hutan Mangrove yang kerapatannya turun, warna putih kehijauan menunujukan kerapatan tetap dan warna hijau tua menunjukan tanaman Mangrove dengan kerapatan tetap. Analisis NDVI menunjukkan bahwa wilayah Mangrove di sekitar Ujung Kulon mengalami perubahan tingkat kehijauan tanaman yang menunjukkan perubahan tingkat kerapatan tanaman mangrove . Perubahan tersebut adalah : 34
a. 34,7 % luas mangrove mengalami penurunan kerapatan tanaman (warna merah). b. 7,5 % luas mangrove mengalami kenaikan kerapatan tanaman (hijau) c. 57,8 % kerapatan tanaman tidak berubah/tetap (warna putih kehijauan). Kerusakan atau penurunan kerapatan hutan Mangrove terjadi menyebar secara acak diseluruh lokasi hutan yang ditandai dengan warna merah pada citra hasil pengolahan NDVI. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa kondisi hutan Mangrove di Ujung Kulon menga lami penurunan kualitas atau mengalami kerusakan. Sedangkan dari sisi luasan hutan Mangrove dan garis pantai tidak ditemukan banyak perubahan. INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
APLIKASI INDERAJA
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pembuatan Informasi Tematik Kabupaten Bantul Oleh: Mohammad Natsir
K
won dan Srandakan. Untuk merehabilitasi kerusakan abupaten Bantul adalah bagian Daerah Istimewa itu memerlukan biaya, tenaga dan perencanaan yang Yogyakarta (D.I.Y) yang letaknya membentang matang. Besarnya kerusakan dan jumlah korban jiwa di sebelah selatan daerah tersebut, merupakan akibat gempa tersebut tidak dapat dielakan disebabkan salah satu daerah pendukung aktivitas kota Yogyakarta. Kabupaten Bantul terletak pada jalur gempa bumi aktif, Bantul menurut PP 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasiobaik vulkanik maupun tektonik. DI Yogyakarta terletak nal, merupakan PKW (pusat kegiatan wilayah) dengan pada jalur lempeng tektonik Asia Tenggara dan Semekriterian I/D/1 (Rehabilitasi Kota akibat bencana alam) nanjung Melayu yang memiliki deretan vulkanik aktif. tahap pertama dan II/C/1 (Kota Pusat Pengembangan/ Penggunaan data penginderaan jauh satelit resolusi peningkatan fungsi) tahap kedua. Kabupaten Bantul setinggi dengan Sistem Informasi Geografi sangat penting cara geografis terletak di lokasi 07o 44’ 04’’– 08o 00’ 27’’ LS sebagai salah satu data perencanaan. Di Indonesia sudan 110o 12’ 34’’ – 110o 31’ 08’’ BT. Menurut statistik tahun dah lama berkembangan penggunaan data penginde2003 Kabupaten Bantul dihuni oleh 815.811 jiwa dengan kepadatan penduduk, yaitu 1.610 jiwa/ km2, yang sedikit lebih tinggi dibanding dengan kepadatan penduduk rata-rata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang besarnya 1.045 jiwa/ km2 (sumber : Dinas Perhubungan D.I. Yogyakarta tahun 2003 - www.pustral-ugm.org). Pada tanggal 27 Mei 2006 Kabupaten Bantul ikut terlanda gempa bumi besar yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah yang telah memporak porandakan sebagian besar kawasan Kabupaten Bantul, telah menimbulkan kerusakan yang begitu besar baik korban jiwa dan harta benda, rehabilitasi lahan belum dapat diselesaikan. Kerusakan akibat gempa menimpa seluruh Kecamatan di Kabupaten Bantul, yaitu Bambang Lipuro, Banguntapan, Bantul, Dlingo, Imogiri, Jetis, Kasihan, Kretek, Pajangan, Pondok, Piyungan, Gambar 1. Daerah Bantul berdasarkan Peta Citra Satelit ALOS Pleret, Pundong, Sanden, Sedayu, Se(mosaik dua scene) dengan batas administrasi INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
35
APLIKASI INDERAJA
Gambar 2. Kerja sama antara LAPAN dan Kabupaten Bantul.
raan jauh dari satelit dan wahana lainnya. Data penginderaan jauh tersebut antara lain citra Landsat, Ikonos, ALOS, Quickbird dan sebagainya sehingga tesedia data pemetaan yang lengkap, aktual (up to date), terpercaya dan memiliki wilayah keruangan yang luas. Sudah lama dilakukan kerjasama antara LAPAN dan Kabupaten Bantul yang direalisasikan dengan penempatan kincir angin di Samas serta lomba roket air dan payload roket di Pandan Simo pantai selatan Kabupaten Bantul. Pada tahun 2009 dilakukan kegiatan penelitian memanfaatkan penginderaan jauh bagi pembangunan wilayah Kabupaten Bantul. Pada kegiatan ini dilakukan interpretasi citra untuk pembuatan peta tematik jaringan jalan, jaringan sungai/ irigasi dan luas persawahan. Pelaksanaan kegiatan Kajian Pemanfaatan Data/ Informasi Penginderaan Jauh untuk Pembuatan Informasi Tema-
tik (Untuk Wilayah Kajian Kab. Bantul) dimaksudkan untuk (1) membantu Pemerintah Daerah Bantul, DIY dalam melakukan pembuatan peta-peta tematik untuk mendukung penyusunan data dasar Kabupaten Bantul. (2) Melengkapi data dan informasi spasial jaringan jalan, jaringan sungai/ irigasi dan perhitungan luas sawah seluruh Kabupaten Bantul berdasarkan data penginderaan jauh wilayah Kabupaten Bantul. Data yang digunakan dalam kegiatan ini adalah citra ALOS sebagai data utama yang dibantu dengan citra Quickbird. ALOS (Advance Land Observing Satellite) merupakan satelit terbesar yang diluncurkan oleh kerjasama antara METI (Ministry of Economy, Trade and Industry) dan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency). Karakteristik ALOS (Tabel 1) yang menyatakan bahwa ALOS dilengkapi tiga instrumen, yaitu: 1. Sensor optik pankromatik PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) yang memiliki tiga sistem optik (nadir, foreward, blackward) dengan resolusi 2,5 meter, sehingga dapat dibuat 3-D ( tiga dimensi), lebar rekaman 70 km, sedangkan arah depan (foreward) dan belakang (blackward) setiap arah lebar 35 km, 2. Sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) merupakan sensor pantulan dari sinar tampak dan inframerah dekat. Sensor di-
Tabel 1. Karakteristik Satelit ALOS Kriteria Ketinggian orbit Sudut inklinasi orbit Lebar sapuan satelit Resolusi temporal (standar)
Karakteristik 692 km 98,2 derajat 70 km
PRISM
Sensor AVNIR2
PALSAR Penggunaan Citra ALOS 36
Pankromatik (0,52-0,77) µm
Resolusi Spasial 2,5 meter Ukuran Triplet mode 35 x 35 km, PRISM Nadir 35 x 70 km
Band 1 (0,42-0,50) µm Band 2 (0,52-0,60) µm Band 3 (0,61-0,69) µm Band 4 (0,96-0,89) µm Band L
Resolusi Spasial 10 meter AVNIR nadir 70 x 70 km
Resolusi Spasial 6,5 meter
Observasi penutup lahan, Pemetaan skala sedang, Pengamatan daerah bencana INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
APLIKASI INDERAJA lengkapi dengan kemampuan tidak hanya arah tegak lurus, namun observasi menyudut dengan Pointing Angle sebesar 44°. Empat saluran spektral AVNIR2, yaitu biru (0,42-0,50) µm, hijau (0,52-0,60) µm, merah (0,61-0,69) µm, inframerah (0,76-0,89) µm , 3. Sensor radar PALSAR (Phase Array type L-band Synthetic Aperture Radar) sensor ini merupakan pengembangan dari sensor JERS-1, dengan lebar cakupan rekaman citra 250-350 km. Oleh karena itu pengguna dapat memilih wilayah citra yang diinginkan, yaitu Area of Interes (AOI), tinggal memilih koordinatnya. Format citra saat ini dapat diminta/dipesan sesuai dengan perangkat lunak yang dimiliki oleh pengguna, yaitu CEOS, GeoTIFF, dan NITE. Ukuran setiap scene dari setiap jenis citra ALOS adalah PRISM terdiri atas dua macam, yaitu PRISM Triplet mode 35 km x 35 km, dan PRISM NADIR 35 km x 70 km. AVINIR NADIR berukuran 70 X 70 km, sedangkan PALSAR ada tiga ukuran scene, yaitu PALSAR (fine) 70 x 70 km; PALSAR (ScanSAR) (250-350 x 250-350) km, PALSAR (Polarimetric) 30 km x 30 km. Data penginderaan jauh berupa citra (image) sebagai sumber pembuatan peta citra satelit dalam kegiatan
ini adalah citra ALOS-AVNIR2 tanggal perekaman 10 Juni 2006. Disamping itu juga digunakan citra resolusi tinggi Quickbird tanggal akuisisi 23 Januari 2008 yang mempunyai resolusi 0,6 m. Quickbird merupakan satelit milik Digital Globe (USA). Desain dan konstruksi oleh Digital Globe, Ball A & T Corps, Kodak dan Foker. Quickbird 2 diluncurkan tanggal 18 Oktober 2001 berhasil diluncurkan setelah dua kali mengalami kegagalan. Lokasi peluncuran SLC2W, Vandenberg AFB, California, Amerika Serikat, dengan Roket pelucur Boeing Delta II. Quickbird seperti halnya IKONOS merupakan satelit komersial resolusi tinggi, yaitu resolusi 60 cm (0.6 meter). Karakteristik satelit Quickbird seperti pada Tabel II-4. Citra Quickbird mempunyai ketelitian hampir tiga kali ketelitian citra IKONOS pankromatik. Quickbird tidak menawarkan stasiun bumi perekam di negara lain. Pertimbangan parameter teknis dianggap sulit bila pengguna (user) membangun stasiun bumi sendiri. Pengguna membeli langsung (build in ground station) dari operator satelitnya. Distribusi data hanya menggunakan satu stasiun bumi dan yang didistribusikan bukan data mentah(raw data), tetapi data produk standar dan citra yang sudah diolahnya dengan hasil pengembangan perangkat lunak.
Gambar 3. Peta Citra Satelit Alos yang digunakan. INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
37
APLIKASI INDERAJA Karakteristik Satelit Quickbird dengan ketinggian orbit 450 km. Sudut inklinasi orbit 97.2 derajat, kecepatan satelit 7.1 km/ detik, lebar sapuan satelit 16,5 x 16.5 km. Umur satelit 5 tahun, bobot satelit 952,5 kg, panjang satelit 3.04 m, akurasi citra 23 meter (horizontal), dan resolusi temporal 3-7 hari. Proses pembuatan peta citra satelit dengan prosedur kompilasi peta citra satelit dengan diagram alir Gambar 4, sebagai berikut. Sasaran dari kegiatan ini berupa buku laporan kegi atan dan peta tematik yang disusun dalam basis data SIG berdasar data citra penginderaan jauh satelit. Peta tematik keluaran yang menjadi target sasaran yaitu: 1. Tersedianya Peta Jaringan Jalan di Kabupaten Bantul, atas permintaan Dinas PU Kabupaten Bantul. 2. Tersedianya Peta Jaringan Sungai dan irigasi daerah Kabupaten Bantul, atas permintaan Dinas Pertanian. 3. Tersedianya Peta sawah di Kabupaten Bantul berikut hasil perhitungan luasnya seluruh Kabupaten Bantul. Metodologi mencakup rancangan model, metoda pendekatan, pengumpulan data, pengolahan data, penyu sunan basis data, dan penyajian dalam bentuk peta tematik sistem informasi geografis (SIG). Rancangan model (Gambar 3) disesuaikan dengan pokok permasalahan serta kondisi setempat, ruang lingkup kegiatan merupakan tahapan pelaksanaan kegiatan yaitu (1) Pengum pulan data meliputi data spasial dan tabular daerah penelitian, yaitu data penginderaan jauh, data lapangan dan data sekunder/data pendukung. (2) Penyusunan dan manajemen basis data, dilakukan dengan integritas data telah dikumpulkan dan kompilasi data keruangan dari
analisis data penginderaan jauh, data sekunder, dan data primer sampel lapangan. (3) Pembuatan Peta Citra Satelit untuk Kabupaten Bantul, DIY. (4) Pembuatan Peta Tematik untuk Kabupaten Bantul, DIY. Hasil keluaran berupa peta citra satelit, peta penutup lahan (termasuk sawah), peta jaringan sungai/irigasi dan jaringan jalan Kabupaten Bantul, DIY skala 1 : 50.000 atau skala 1 : 25.000. Dalam melaksanakan kegiatan penelitian data penginderaan jauh menggunakan citra ALOS AVNIR2 rekaman tanggal 10 Juni 2006 dan citra Quick Bird tanggal 23 Januari 2008, proses pengolahan dilakukan secara digital dengan teknik pengolahan citra (image processing) yang menggunakan tahapan sebagai berikut: a. Pembetulan geometris (rectification) sehingga dapat menghasilkan data sistem koordinat peta yang benar. b. Penajaman gambar (enhancement) untuk menonjolkan obyek-obyek permukaan bumi. c. Pembuatan hasil akhir Peta Citra Satelit sesuai skala dan cakupan citra. Peta Citra Satelit (PCS) seluruh Kabupaten Bantul dengan skala 1: 50.000, atau bisa PCS per Kecamatan dengan skala 1: 25.000. Peta tematik yang dibuat dalam kegiatan di Kabupaten Bantul adalah peta yang didesain untuk menggambarkan kenampakkan atau sebaran persawahan. Informasi berdasarkan tema yang digambarkan dalam bentuk peta. Misalnya peta geologi, peta geomorfologi, peta tanah, peta vegetasi, peta iklim, peta batimetrik, peta penutup, peta penggunaan lahan, peta penduduk (Purwadhi, 1994).
Tabel 2. Karakteristik Satelit Quickbird Kriteria Ketinggian orbit Sudut inklinasi orbit Lebar sapuan satellite Resolusi temporal Jenis sensor Push broom linear array
Penggunaan Citra Quickbird
38
Karakteristik 450 Km 97,2 derajat 16,5 x 16,5 km Program Pankromatik Resolusi spasial (450-900) nm 0.6 meter Biru (450 – 520 ) nm Resolusi spasial Hijau (520 – 600) nm 2,4 meter Merah (630 – 690) nm Infra merah dekat (760 – 900) nm Analisis perubahan penggunaan lahan, Eksplorasi minyak dan gas, Studi Lingkungan, Pemetaan skala besar INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
APLIKASI INDERAJA
Gambar 4. Diagram Alir Metoda Penelitian
Menurut Bos (1997) dalam buku yang ditulis Sutanto pada tahun 1998, peta tematik adalah peta yang menggambarkan informasi kualitatif dan atau kuantitatif tentang kenampakan-kenampakan atau konsep-konsep yang spesifik, yang ada hubungannya dengan detail topografi. Peta tematik dapat dibagi dalam empat kelompok, yaitu: 1. Kelompok peta-peta lingkungan fisik atau sumberdaya alam, yaitu peta iklim, peta geologi, peta geomorfologi, peta hidrologi, peta pedologi, (tanah), peta vegetasi, peta oceanografi. 2. Kelompok peta-peta sosial ekonomi, seperti peta penduduk, peta ekonomi, peta pertanian, peta pengguINDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
naan lahan, peta sejarah, peta politik, peta turis, peta pendidikan. 3. Kelompok peta tematik analitik atau peta tematik tunggal, antara lain peta penduduk pertanian, peta jumlah penduduk, peta curah hujan, peta lereng. 4. Kelompok peta tematik sinetik merupakan peta yang menekankan penggabungan beberapa fenomena secara obyektif peta sintetik menggambarkan sintesa dari berbagai individu data baik fisik maupun sosial ekonomi sehingga menghasilkan tema baru, seperti peta iklim (dibentuk dari data temperatur, curah hujan, angin, kelembaban), peta unit geoformologi (dari elemen lereng, bentuk lahan, proses, litologi, tanah) 39
APLIKASI INDERAJA peta kemampuan lahan, peta potensi pengembangan pertanian. Dalam kegiatan penelitian yang dilaksanakan di Bantul ini dibuat peta tematik jaringan sungai/ irigasi, peta tematik jaringan jalan dan peta tematik penutup lahan termasuk sawah (sekaligus dihitung luasnya) untuk seluruh wilayah Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Juga ditambahkan hasil overlay peta tanah (dari PUSLITANAH) dengan citra SRTM daerah Kabupaten Bantul yang memberikan jenis tanah dan topografi (data ketinggian) Kabupaten Bantul DIY. Peta penutup lahan (PL) yang dihasilkan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5. Dari Gambar 5 tersebut dan analisisnya diperoleh informasi bahwa penggunaan tanah paling besar di Kabupaten Bantul adalah sawah baik dengan irigasi teknis ataupun tidak. Kriteria sawah yang terdapat di Kabupaten Bantul antara lain: Sawah irigasi yang menerima air dari saluran irigasi. Sawah yang tidak terjangkau irigasi sama sekali, terutama di lereng, di kaki dan di tepi pegunungan, yang disebut sawah tadah hujan. Sawah yang berada di jalur irigasi, namun tidak mendapatkan air dari irigasi karena terletak di ujung saluran irigasi, sehingga kemungkinan air telah dihabiskan oleh sawah lainnya di bagian hulu. Sebagian kecil lahan adalah sebagai pedesaan berikut tegal dan kebun campur yang mengelilinginya (pomahan), serta hutan pinus dan akasia yang ditanam di atas
pegunungan sebagai penyangga. Sebagian tanah di atas bukit dan dataran tinggi juga digunakan oleh penduduk untuk bertanam tanaman kering (palawija) dan kebun campur. Sebagian besar sawah digunakan petani untuk menanam padi. Pola tanam yang diikuti sebagian petani adalah pola tanam tahunan padi-padi-palawija, ada juga yang berpola tanam padi-palawija-palawija dan ada juga yang menggunakan pola palawija-palawija. Distribusi luas penutup lahan yang diturunkan dari citra satelit ALOS 10 Juni 2006 dibantu dengan citra Quick Birds 23 Januari 2008 disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. tersebut menginformasikan bahwa lahan Tabel 3. Distribusi Penutup Lahan Daerah Kab. Bantul No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Penutup Lahan Hutan Ladang/ Tegalan Pemukiman Sawah Semak/ Belukar Rumput/ lahan kosong Kebun campur Pasir pantai Sungai/ Tubuh air Jalan Jumlah Total
Luas (Ha) 226,50 10.947,29 13.484,70 15.573,08 354,31 192,80 8.872,45 362,31 893,34 801,10 51.707,87
Gambar 5. Hasil sementar pembuatan Peta Penutup Lahan, November 2009. 40
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
APLIKASI INDERAJA terluas di Kabupaten Bantul adalah sawah yaitu 15.573,08 Ha. Kemudian diikuti oleh urutan ke dua yaitu luasan pemukiman 13.484,7 Ha. Ladang/ tegalan seluas 10.947,29 Ha menempati urutan ke 3 (tiga). Urutan ke 4 (empat) ditempati oleh kebun campur yaitu 8.872,45 Ha. Sungai/ tubuh air dan jalan masing-masing seluas 893,34 Ha dan 801.10 Ha menempati urutan ke 5 (lima) dan 6 (enam). Luas pasir pantai (362,31 Ha) ternyata melebihi luas semak belukar (354,31 ha) dan hutan (226.50 Ha). Terdapat pula luasan tanah berumput seluas 192,80 Ha. Data penting yang diperoleh dari website Kab Bantul (BPS Kab. Bantul) menunjukkan bahwa total luas wilayah Kabupaten Bantul adalah 50.680 Ha, dengan tata guna lahan di Kabupaten Bantul (tahun 2007) ada 7 (tujuh). Empat terbesar di antaranya adalah: 1. Pekarangan: 18.327,15 Ha (36,16 %) 2. Sawah : 16.823,84 Ha (33,19 %) 3. Tegalan : 7.554,45 Ha (14,90 %) 4. Tanah Hutan : 1.697,80 Ha ( 3,35 %) Dalam kegiatan ini dilakukan juga pelatihan terhadap personel pemda Bantul, meliputi Bappeda, dinas pertanian, pekerjaan umum dan lain sebagainya. Personil yang sudah dilatih dalam pengolahan data itu sekaligus membantu tim pengolah data LAPAN, dengan istilah lain on job training. Peta tematik lahan sawah disajikan dalam Gambar 6 sebagai berikut:
Luas total menurut BPS Kabupaten Bantul (tahun 2007) adalah 50.680 Ha, sedang perhitungan dari citra satelit (tahun 2008) adalah 51.707, 87 Ha. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan waktu (BPS tahun 2007 sedang penelitian ini tahun 2008), perbedaan metoda pengambilan data (BPS berdasarkan status sawah, sedang penelitian berdasarkan kenampakan citra satelit), serta pemilihan obyek (sukar membedakan sawah dengan kebun ataupun sawah yang berubah status menjadi perumahan). Dengan memasukkan kelas sungai dan jalan, jumlah kelas menjadi 10. Perbedaan dalam memilih obyek dan menentukan atributnya menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut. Hasil penelitian ini belum merupakan hasil final, karena itu masih bisa dilakukan pemutakhiran (up date) yang dilakukan bersama-sama seluruh instansi terkait. Sehingga memperoleh hasil yang teliti. Penamaan ruas jalan sudah sesuai dengan sistem yang ada di Dinas PU Kabupaten Bantul, karena ditangani oleh personil dari Dinas PU Kabupaten Bantul. Sedangkan jaringan sungai dan irigasi pun dari jaringan primer sampai jaringan tersier irigasi sudah sesuai dengan yang ada di Kabupaten Bantul, namun jaringan kwarter tidak terlihat dari citra satelit, sehingga akan ditambahkan kemudian oleh dinas Pengairan Kabupaten Bantul. Hasil pengolahan dari peta citra satelit untuk memperoleh peta jaringan jalan dan peta jaringan
Gambar 6. Peta tematik lahan sawah.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
41
APLIKASI INDERAJA
Gambar 7. Peta Jaringan Jalan
Gambar 8. Peta Jaringan Sungai/ Irigasi
42
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
APLIKASI INDERAJA
Gambar 9. Peta Citra Satelit dengan Jaringan Jalan dan Jaringan Sungai/ Irigasi
Gambar 10. Peta Jenis Tanah (Sumber peta jenis tanah Puslitnah)
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
43
APLIKASI INDERAJA
Gambar 11. Peta Jenis Tanah (sumber Peta Jenis Tanah Puslitanah).
sungai/irigasi, disajikan pada masing-masing Gambar 7 dan Gambar 8. Jaringan jalan dan jaringan sungai/irigasi tersebut juga dapat dioverlay dengan peta citra satelit dengan legenda yang memberi keterangan nama tempat penting disajikan dalam Gambar 9. Peta jenis tanah produksi Pusat Penelitian Tanah Departemen Pertanian RI disajikan pada Gambar 10. Terdapat 8 (delapan) kelompok jenis tanah di daerah Kabupaten Bantul, yaitu kelompok tanah Regosol Coklat Kelabu (hijau muda), Grumusol kelabu (kuning), Kompleks Litosol, Mediteran dan Ranzina (oranye), Aluvial Kelabu dan Aluvial Coklat Kekelabuan (coklat), Regosol Kelabu (coklat muda), Litosol (coklat-kaki), dan Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol (abu-abu). Dari uraian yang telah ditulis di atas diperoleh kesimpulan bahwa dari Peta Citra Satelit khususnya dan citra satelit pada umumnya untuk wilayah Kabupaten Bantul, DIY dapat diturunkan beberapa peta tematik yaitu:
44
a. Peta Tematik Penutup Lahan wilayah Kabupaten Bantul. b. Peta Tematik Jaringan Jalan wilayah Kabupaten Bantul. c. Peta Tematik Jaringan Sungai / Irigasi wilayah Kabupaten Bantul. d. Peta Tematik untuk areal sawah se Kabupaten Bantul. e. Peta Tematik Jenis Tanah se wilayah Kabupaten Bantul.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA
Satelit Meteorologi Orbit Polar China Generasi Kedua Fengyun-3A Oleh: Ali Syahputra Nasution*, Suhermanto*, Islam W. Bagdja*, Musyarofah* Dony Kushardono** *Peneliti dan Perekayasa Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN ** Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN
P
emanfaatan data satelit Meteorologi untuk peSatelit FY-3A merupakan satelit meteorologi eksperimantauan lingkungan dan cuaca telah menjadi mental pertama yang telah diluncurkan pada 27 Mei 2008 alat tak tergantikan di China. Data satelit telah dari Taiyuan Satellite Launch Center di Provinsi Shanxi, digunakan secara operasional untuk memantau benChina, dengan menggunakan peluncur Long Marchcana alam dan peningkatan efisiensi berbagai sektor 4C (Chang Zeng-4C), serta dengan misi eksperimental perekonomian. China memulai program satelit meteoutama : rologi orbit polar (Fengyun) sejak awal tahun 1970. Hal a. Mengurangi resiko kegagalan dalam engineering. ini ditandai dengan telah diluncurkannya satelit meteob. Pengembangan dan validasi produk. rologi orbit polar generasi pertama FY-1A/1B/1C/1D. c. Demonstrasi penggunaan/pemanfaatan data untuk FY-1A diluncurkan pada tahun 1988 dan FY-1B pada beberapa aplikasi. tahun 1990, dan keduanya termasuk kelompok satelit eksperimen. Dua satelit berikutnya, yaitu FY-1C/1D masuk katagori satelit operasional, dan diluncurkan berturut-turut pada tahun 1999 dan 2002. Sejak tahun 1974, Indonesia dalam hal ini LAPAN melihat pentingnya data satelit meteorologi untuk memenuhi kebutuhan Nasionalnya dengan mendirikan stasiun bumi lingkungan dan cuaca. Keberadaan data satelit FY-1C/1D, yang memiliki karakteristik mirip dengan NOAA, dimanfaatkan sebagai komplemen NOAA, yang dalam hal tertentu memiliki kelebihan untuk analisis kelautan. Seiring dengan perkembangan satelit meteorologi dunia, China melakukan terobosan dengan program Fengyun seri 3, yang merupakan satelit meteorologi orbit polar generasi kedua. Seperti pada generasi terdahulu, China Meteorological Administration (CMA) menyiapkan satelit-satelit FY-3A dan FY-3B sebagai satelit eksperimental, sedang generasi selanjutnya adalah satelit operaGambar 1. Ilustrasi Satelit FY-3A sional. ( Sumber : http://journals.ametsoc.org/doi/pdf/10.1175/2009BAMS2798.1) INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
45
Informasi Data INDERAJA FY-3A dikembangkan oleh Shanghai Academy of Space Flight Technology (SAST). Satelit diluncurkan ke orbit polar sun-synchronous dengan ketinggian = 836,4 km, inklinasi = 98,728o, periode = 102,86 menit; dan akan melintasi ekuator pada pukul 10:10 a.m. ±10 menit (ascending node) dan mampu meliput bumi dua kali sehari. Bobot satelit 2200 kg dan memiliki tiga sumbu penstabil (three-axis stabilized) dengan dimensi satelit 4,4 x 2 x 2 m (di kargo), 4,4 x 10 x 3,79 m (di angkasa). Satelit FY3A direncanakan akan beroperasi selama 3 tahun. Gambar 1 yang diambil dari jurnal “An Overview of A New Chinese Weather Satellite FY-3A” merupakan ilustrasi satelit FY-3A berikut sensor-sensor yang dibawa, panel surya dan antenna pengirim dan penerima. FY-3A memiliki instrumen lebih lengkap dibandingkan FY-1, karena mempunyai kemampuan sounding dan citra warna alami dengan resolusi spasial sekitar 250 m. Dalam rangka misi, FY-3A membawa 11 instrumen, yaitu Visible and InfraRed Radiometer (VIRR), Medium Resolution Spectral Imager (MERSI), Microwave Radiation Imager (MWRI), Total Ozone Mapping Unit (TOU), Infrared Atmospheric Sounder (IRAS), Microwave Atmospheric Temperature Sounder (MWTS), Microwave Atmospheric Humidity Sounder (MWHS), Solar Back Scatter Ultraviolet Sounder (SBUS), Solar Irradiation Monitor (SIM), Earth Radiation Measurer (ERM), dan Space Environment Monitor (SEM). Dibandingkan dengan seri satelit FY-1, seluruh sensor nya sama, kecuali VIRR dan SEM yang merupakan sensor baru. 1. Sensor Misi Imaging Visible and Infrared Radiometer (VIRR) Sensor ini merupakan “heritage” dari sensor Multichannel Visible and Infrared Scanning Radiometer (MVISR, 10 kanal) yang ada pada satelit FY-1C/1D, yang berfungsi memperoleh data pengamatan untuk berbagai aplikasi seperti di jurnal cloud charts, Earth surface temperature dan sea surface temperature, land feature, cloud feature, vapor content in lower layer, dan brine color. Sensor ini memiliki 10 kanal dengan rentang spektral 0,4312,5 µm, memiliki resolusi spasial 1,1 km dengan lebar sapuan 2800 km (FOV = ± 55,4o) dimana rancangannya adalah whiskbroom radiometer scanning. Medium Resolution Spectral Imager (MERSI) Mengacu pada instrumen MODIS pada seri satelit EOS, kanal-kanal utama MERSI terletak pada rentang spektral visible (VIS) dan near-IR (NIR) sedangkan instrumen VIRR memiliki kelengkapan kanal-kanal IR 46
yang penting. Kedua sensor saling melengkapi satu sama lain. Sensor ini berfungsi untuk memperoleh citra untuk beberapa aplikasi seperti diurnal cloud charts, Earth’s surface temperature dan sea surface temperature, warna laut, land feature, cloud feature, aerosol dan atmospheric vapor. Sensor MERSI memiliki lima kanal (4 VIS dan 1 thermal IR) dengan resolusi spasial 250 meter, yang memungkinkan pencitraan bumi dengan resolusi tinggi dalam warna alami untuk siang hari dan pencitraan IR thermal resolusi tinggi untuk malam hari. Sensor MERSI memiliki 20 kanal dengan rentang spektral 0,44-12,5 µm dan lebar sapuan 2800 km (FOV = ± 55,4o). Microwave Radiation Imager (MWRI) Sensor ini merupakan sebuah conical scanning microwave imager dengan 6 frekuensi dan dual polarisasi dengan rentang frekuensi 10,65-150 GHz (12 kanal). Sensor mengukur thermal microwave permukaan darat dan laut, dan dapat mengukur berbagai “bentuk air” di atmosfer, awan dan permukaan. Karena spektrum panjang gelombang elektromagnetik microwave lebih panjang dibandingkan spektrum visible dan infrared, dan di beberapa kanal, panjang gelombangnya lebih dari 1 milimeter, sehingga imager ini dapat menembus awan, dan dapat menyediakan seluruh data pengukuran cuaca seperti precipitation, cloud feature, vegetation, soil humidity, sea ice, dan sebagainya. Pada kanal frekuensi yang lebih tinggi, seperti 89 GHz, hamburan awan dan curah hujan merupakan indikator yang baik untuk mendeteksi hujan yang turun baik di atas daratan maupun lautan. Sensor ini memiliki lebar sapuan 1400 km dengan resolusi spasial dari 12 sampai 85 km, tergantung pada panjang gelombangnya. 2. Sensor Misi Soundinging Infrared Atmospheric Sounder (IRAS) Sensor ini merupakan sounder utama untuk satelit FY-3A, dan mirip dengan intrumen HIRS/3 pada satelit NOAA. Sensor memiliki 26 kanal infrared dengan ren tang spektral 0,69-15 µm. Dua puluh kanal pertama hampir sama dengan HIRS/3, sedangkan 6 kanal lainnya memungkinkan IRAS mengukur aerosol, kandungan karbon dioksida dan awan. Sensor ini berfungsi untuk mengukur suhu atmosfer, profil kelembaban, dan ozon. Sensor memiliki instantaneous field of view (IFOV) 17 km pada posisi nadir dan FOV (Field of View) yaitu ±49,5o (symmetrical sekitar nadir) dengan 56 pengukuran pada cross track. INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA Tabel 1. Karakteristik Spektral Sensor VIRR ( Sumber : http://directory.eoportal.org/presentations/7148/12759.html) Kanal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rentang Spektral (µm) 0.58-0.68 0.84-0.89 3.55-3.95 10.3-11.3 11.5-12.5 1.58-1.64 0.43-0.48 0.48-0.53 0.53-0.58 1.325-1.395
Noise Equivalent Reflectance (%) atau NEΔT (pada 300 K) 0.1% 0.1% 0.3 K 0.2 K 0.2 K 0.15% 0.05% 0.05% 0.05% 0.19%
Dynamic Range (% or K) 0-100% 0-100% 180-350 K 180-330 K 180-330 K 0-90% 0-50% 0-50% 0-50% 0-90%
Tabel 2. Karakteristik Spektral Sensor MERSI ( Sumber : http://directory.eoportal.org/presentations/7148/12759.html)
3
Panjang Gelombang Tengah (µm) 0,650
4
0,865
0,05
250
0,45
100
1 2 5 19 20 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
0,470 0,550 1,640 1,030 11,50 2,130 0,412 0,443 0,490 0,520 0,565 0,650 0,685 0,765 0,865 0,905 0,940 0,980
0,05 0,05 0,05 0,02 2,0 0,05 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02
1000 250 250 1000 250 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000
0,45 0,40 0,54 0,08 0,07 0,10 0,10 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,10 0,10 0,10 0,10
100 100 330 k 90 90 80 80 80 80 80 80 80 80 80 90 90 90 90
Kanal
Bandwidth (µm)
Resolusi (meter)
0,05
250
Noise Equivalent Reflectance (%) atau NEΔT (pada 300 K) 0,4
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Dynamic range 100
Aplikasi Utama Land / cloud / Aerosols Boundaries Land / cloud / Aerosols Properties
Ocean Color / Phytoplankton / Biogeochemistry
Atmospheric Water Vapor
47
Informasi Data INDERAJA Tabel 3. Karakteristik Spektral Sensor MWRI ( Sumber : http://directory.eoportal.org/presentations/7148/12759.html) Frekuensi (GHz) Polarization bandwidth (MHz) Sensitivitas NEDT (K) Error kalibrasi (K) Resolusi ground (km x km) Dynamic range (K) Sampling points/scan Efiseiensi beam utama Kuantisasi data Mode scanning Swath width (km) Angle of view antenna Periode scanning Error periode scanning
10.65 H,V 180 0,5 1,0 51 x 85
18.7 H,V 200 0,5 2,0 30 x 50
Microwave Atmospheric Temperature Sounder (MWTS) Sensor ini berfungsi untuk memperoleh data suhu pada daerah berawan. Terdiri atas 4 kanal dengan frekuensi di sekitar 50 GHz. Sensor ini memiliki resolusi spasial 50-70 km pada posisi nadir, tergantung pada kanalnya. FOV sensor adalah 48,3o dengan 13 pengukuran pada cross track per baris scan. Microwave Atmospheric Humidity Sounder (MWHS) Sensor ini sama dengan sensor Advanced Microwave Sounding Unit (AMSU)-B. Memiliki 5 kanal frekuensi tinggi (150-183 GHz), dimana kanal dengan frekuensi 150 GHz memiliki dual polarisasi yaitu vertikal (V) dan horizontal (H). Sensor berfungsi untuk memperoleh data uap air pada daerah berawan. Memiliki lebar sapuan 2700 km, FOV 53,35o, dan resolusi spasial 15 km pada posisi nadir. 1. Sensor Misi Ozon Solar Backscattering UV Sounder (SBUS) Sensor ini berfungsi untuk mengukur distribusi vertikal ozon di atmosfer. Sensor menyediakan 2 mode operasi yaitu mode atmospheric dan mode sun. Mode atmospheric untuk mengukur distribusi vertical ozon (O3) (profile) yang dipilih di antara 12 kanal dalam rentang spektral 250 ~ 340 nm. Mode sun digunakan dalam pemindaian yang kontinyu untuk mengukur spektrum solar 48
23.8 36.5 H,V H,V 400 900 0,5 0,5 2,0 2,0 27 x 45 18 x 30 30 - 340 240 ≥ 90% 12 bit Conical scanning 1400 44,8o ± 0,1o 1,7 ± 0,1o ±0,1o
89 H,V 4600 1,0 2,0 9 x 15
150 H,V 3000 1,3 2,3 7,5 x 12
irradiance dengan lebar langkah 0,21 nm pada rentang spektral 160 ~ 400 nm. Mode discrete solar melibatkan pengukuran solar irradiance dalam 12 kanal. Total Ozone Unit (TOU) Sensor ini berfungsi untuk mengukur kuantitas ozon di atmosfer melalui 6 kanal dari 300-360 nm. Dynamic range sensor yaitu 104 dengan stray ray < 10-3. Resolusi spasial pada posisi nadir yaitu 50 km; dengan FOV ±56o dan menggunakan 31 spot pengukuran per baris scan dalam arah cross track. Earth Radiation-budget Measurement (ERM) Sensor ini berfungsi untuk mengukur akurasi incident radiasi matahari dan radiasi pada panjang gelombang pendek dan panjang dari sistem atmosfer bumi untuk kajian rugi-rugi radiasi atmosfer-bumi. ERM terdiri dari 2 unit, yaitu untuk mengukur radiasi matahari dan sistem atmosfer bumi berupa sun irradiance monitor dan earth-atmospheric radiation sounder. Sun Irradiance Monitor terdiri dari 3 absolut cavity radiometer dengan rentang spektral 0,2 – 50 µm. Radiative flux dapat diukur dalam rentang 100 – 2000 W/ m2; Senstivitas instrumen 0,2 W/m2 dengan ketelitian kalibrasi 0,5%. Earth-atmosphere Radiation Sounder dapat mengukur radiasi yang dipantulkan atmosfer bumi dalam dua mode yaitu mode wide-field non-scanning dan mode narrow-field scanning. INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA Tabel 4. Karakteristik Spektral Sensor IRAS ( Sumber : http://journals.amesoc.org/doi/pdf/10.1175/2009BAMS2798.1) Kanal
Panjang Gelombang Tengah (nm)
Panjang Gelombang (cm-1)
FWHM
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
669 680 690 703 716 733 749 802 900 1030 1345 1365 1533 2188 2210 2235 2245 2388 2515 2660 14500 11299 10638 10638 8065 6098
14,95 14,71 14,49 14,22 13,97 13,64 13,35 12,47 11,11 9,71 7,43 7,33 6,52 4,57 4,52 4,47 4,45 4,19 3,98 3,76 0,69 0,885 0,94 0,94 1,24 1,64
3 10 12 16 16 16 16 30 35 25 50 40 55 23 23 23 23 25 35 100 1000 385 550 200 650 450
Jenis Utama yang Diserap CO2 CO2 CO2 CO2 CO2 CO2/H2O CO2/H2O window window O3 H2O H2O H2O H2O N2O CO2/N2O CO2/N2O CO2 window window window window H2O H2O H2O H2O
Max Scene Temperature (K)
NEDT (mW/m2 sr cm-1)
280 265 250 260 275 290 300 330 330 280 330 285 275 310 290 280 266 320 340 340 100%A 100%A 100%A 100%A 100%A 100%A
3,00 0,59 0,53 0,26 0,30 0,31 0,24 0,14 0,12 0,16 0,07 0,09 0,11 0,007 0,006 0,006 0,005 0,004 0,004 0,002 0,055%A 0,067%A 0,060%A 0,041%A 0,075%A 0,054%A
Tabel 5. Karakteristik Kanal Sensor MWTS ( Sumber : http://journals.amesoc.org/doi/pdf/10.1175/2009BAMS2798.1) Kanal 1 2 3 4
Frekuensi Tengah (GHz) 50,30 53,60 54,94 57,29
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Konstituen yang diserap window O2 O2 O2
Bandwidth (MHz) 162 356 375 316
Temp. Sensitivity NEDT (K) 0,16 0,15 0,09 0,17
Efisiensi Beam (%)
Dynamic Range
94,9 94,8 95,6 94,7
3~340 3~340 3~340 3~340
49
Informasi Data INDERAJA Tabel 6. Karakteristik Kanal Sensor MWHS ( Sumber : http://directory.eoportal.org/presentations/7148/12759.html)
Kanal
Frekuensi Tengah (GHz)
1 2 3 4 5
150 150 183,31±1 183,31±3 183,31±7
Jenis Utama yang Diserap window window H2O H2O H2O
Bandwidth (MHz)
NE∆T (K)
Efiesiensi Beam (%)
Dynamic Range (K)
Polarisasi (V/H)
1000 1000 500 1000 2000
0,9 0,9 1,1 0,9 0,9
≥95 ≥95 ≥95 ≥95 ≥95
3~340 3~340 3~340 3~340 3~340
V H H H H
Space Environment Monitor (SEM) Sensor ini berfungsi untuk mengukur parameter lingkungan antariksa yang menjamin bahwa satelit beroperasi normal. Sensor terdiri atas satu detektor ion energi tinggi, detektor elektronik energi tinggi, 3 radiation dosage meters, 2 surface potential detector, dan satu particle event detector. Solar Irradiation Monitor (SIM) Sensor ini berfungsi untuk menyediakan pengamatan solar irradiance. Data FY-3 Hubungan komunikasi satelit menggunakan pita-S, L, dan X. Perintah dan response menggunakan pita-S dengan jalur aktif secara bersama-sama. Subsistem komunikasi pita-S menyediakan layanan telemetry and command (T&C) ke dan dari stasiun bumi FY-3A. Subsistem komunikasi pita-L dan X menyediakan data-data ilmiah dan kalibrasi. Data-data ilmiah dari satelit FY-3A mengikuti standar sistem data space Consultative Committee for Space Data Systems (CCSDS) sehingga format data satelit FY-3A sesuai dengan karakteristik data transmisi satelit National Polar-orbiting Operational Environmental Satellite System (NPOESS) dan Meteorological Operational Satellite Programme (MetOp). Ada beberapa cara bagi pengguna untuk mendapatkan data dan produk FY-3A. Pertama, satelit FY-3A memiliki sistem direct broadcast (pemancaran langsung) yang secara waktu nyata memancarkan data-data ilmiah dan kalibrasi MERSI beserta data dari sensor lainnya ke Bumi. Pengguna di seluruh dunia dapat menerima data High Resolution Picture Transmission dan Mission Picture Transmission (HRPT & MPT) FY-3A melalui fasilitas penerima data milik mereka masing-masing. Pa50
3 dB Beam Width (o) 1,1 1,1 0,9 0,9 0,9
ket software pengolahan data di kembangkan dan dapat melakukan pengolahan mulai dari rawdata, L1 hingga menghasilkan produk yang dibutuhkan. Kedua, pengguna dapat memperoleh data maupun produk melalui sistem FENGYUNcast yang dioperasikan oleh National Meteorological Information Center (NMIC) China Meteorological Administration (CMA), jika fasilitas mereka berada dalam jangkauan telekomunikasi satelit. Ketiga, melalui sistem website National Satellite Meteorological Center (NSMC), yang terbuka bagi seluruh pengguna di dunia untuk mengunduh data dan produk satelit FY-3A. Produk FY-3 Satelit FY-3A menghasilkan beberapa jenis data dan produk. Seluruh produk ditulis dalam struktur Hierarchical Data Format (HDF). • Rawdata adalah data hasil akuisisi. • Produk Level 1 (L1) merupakan data mentah yang ditambah dengan data kalibrasi sensor dan informasi geolokasi bumi. • Produk Level 2 (L2) merupakan data yang sudah ditambah dengan parameter atmosfer dan geofisik. Produk L2 digunakan untuk analisis cuaca, lingkungan, dan pemantauan bencana alam. • Produk Level 3 (L3) merupakan produk 10 ha rian, bulanan, dan tahunan. Memperhatikan misi, karakteristik instrumen serta produk-produk yang dihasilkan FY-3A, khususnya MERSI, maka data satelit FY-3A dapat dipakai sebagai alternatif mengisi keterbatasan data MODIS Terra/Aqua akibat tertundanya peluncuran satelit NPP. Sebagai mana kita ketahui awalnya peluncuran NPP dijadwalkan pada tahun 2006, namun hingga kini masih belum jelas, dan kemungkinan besar pada tahun 2012.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA Berikut produk-produk yang dihasilkan dari data satelit FY-3A.
Gambar 2. Produk-produk yang dapat diturunkan data FY-3A (Disadur dari http://cimss.ssec.edu/itwg/itsc/itsc15/presentations/session10/10 3 chaohua.pdf)
Berikut beberapa contoh produk yang telah dihasilkan dari data satelit FY-3A.
Gambar 3. Sounding Data Assimilation Test (1-20 Desember 2008) (a) Geo-Height analysis field pada 500 hPa ECMWF (b) Prediksi NCEP tanpa assimilasi FY-3A (Sumber : http://journals.ametsoc.org/doi/pdf/10.1175/2009BAMS2798.1) INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
51
Informasi Data INDERAJA
Gambar 4. NURI Typhoon Monitoring (22/8/2008) (a) dengan Menggunakan Data MERSI (b) dengan Menggunakan Data MWHS (Sumber : http://journals.ametsoc.org/doi/pdf/10.1175/2009BAMS2798.1)
Gambar 5. Global Image Mosaic dari Data MERSI dengan Warna Alami dan Resolusi 3 km (Sumber : http://journals.ametsoc.org/doi/pdf/10.1175/2009BAMS2798.1)
52
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA
Gambar 6. Global Land Surface Temperature Image dari Data MWRI (Sumber : http://journals.ametsoc.org/doi/pdf/10.1175/2009BAMS2798.1)
Gambar 7. Hasil Deteksi Awan: (a) MERSI FY-3A, dan (b) MODIS TERRA (coklat adalah langit yang bersih, biru adalah air, putih adalah awan) (Sumber: http://download.hindawi.com/journals/ aai/2001/124816.pdf) INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Gambar 8. Deep Ozone Hole di Atas Kutub Selatan yang Diperoleh dari Data TOU (Sumber : http://journals.ametsoc.org/doi/ pdf/10.1175/2009BAMS2798.1)
53
Informasi Data INDERAJA
Curah Hujan Ekstrim di Indonesia Berbasis TRMM (Rata-rata dan Kondisi Tahun 2010) Oleh: Ina Juaeni Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN
[email protected]
L
etak geografis Indonesia berada dalam wilayah tropis, dibatasi lautan Hindia di sebelah barat, lautan Pasifik disebelah timur, benua Asia di sebelah utara dan benua Australia disebelah selatan. Relief permukaan wilayah Indonesia merupakan kombinasi antara dataran, pegunungan, pebukitan, tebing, lembah, dan daerah bergelombang. Letaknya yang berdekatan dengan lautan Hindia, menyebabkan fenomena atmosfer Indian Ocean Dipole (IOD) sebagai salah satu fenomena yang harus diperhatikan dalam setiap kajian atmosferik. Fenomena sejenis yaitu El Niño/La Niña yang terjadi di lautan Pasifik juga mendapat perhatian yang cukup besar karena fenomena tersebut kerap mendorong terjadinya kondisi cuaca yang ekstrim. Meski berada dalam wilayah yang tidak potensial menciptakan siklon namun siklon kerap terjadi di sekeliling Indonesia, sehingga dampak siklon terhadap cuaca/iklim Indonesia baik besar maupun kecil patut diperhatikan. Di lain pihak, Osilasi Madden Julian dengan periode 30 - 60 hari, tidak dapat diabaikan keberadaanya karena terindikasi berpengaruh pada variabel atmosfer Indonesia bagian barat. Kombinasi dari letak geografis, relief permukaan wilayah Indonesia serta adanya interaksi antara proses-proses atmosfer berskala lokal, meso dan global menciptakan kondisi cuaca/iklim Indonesia yang khas yang tidak sama dengan iklim wilayah non tropis bahkan dengan wilayah tropis lain sekalipun (McGregor dan Nieuwolt, 1998). Curah hujan merupakan elemen cuaca/iklim yang utama, karena hujan merupakan hasil akhir suatu proses fisis dan dinamis atmosfer sehingga seringkali dijadikan 54
parameter kondisi cuaca/iklim suatu daerah. Sebagai negeri yang sebagian besar wilayahnya berupa wilayah agraris, Indonesia sangat membutuhkan informasi tentang curah hujan meliputi distribusi spasial, temporal dan intensitas (sesaat dan rata-rata). Hujan sangat dibutuhkan untuk kelangsungan kegiatan pertanian dengan intensitas yang sesuai kebutuhan masing-masing tanaman, tetapi curah hujan yang ekstrim baik ekstrim minimum maupun ekstrim maksimum mempunyai dampak negatif terhadap hasil panen. Dampak paling kecil adalah terjadinya pergeseran waktu tanam seperti yang terjadi di Pulau Jawa pada tahun 2008 (Surmaini dan Susanti, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Surmaini dan Susanti terjadi pergeseran waktu tanam di 5 % sampai 11 % dari luas wilayah sentra pangan di Pulau Jawa pada tahun 2008 yang disebabkan oleh perubahan pola dan intensitas curah hujan. Curah hujan ekstrim juga dapat mengakibatkan bencana tanah longsor pada daerah dengan topografi yang curam. Dengan demikian kajian curah hujan ekstrim merupakan hal yang perlu dilakukan, baik dijadikan sebagai informasi maupun untuk antisipasi. Kajian curah hujan ekstrim dalam makalah ini memanfaatkan data curah hujan dari satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dari http://agdisc. gsfc.nasa.gov/Giovanni/aovas/ disertai data pendukung seperti indeks dipole mode (DMI) dari http://ioc3.unesco.org/oopc/ serta data suhu permukaan laut (SPL) dari: http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/. Sejak dipublikasi tahun 1998, data Tropical Rainfall Measuring Mission semakin sering digunakan dalam berbagai kajian masalah cuaca dan iklim di Indonesia. INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA (TMI), tahap kedua adalah penentuan curah hujan VIRS dengan menjadikan curah hujan TMI yang sudah dikalibrasi sebagai acuan, tahap ketiga adalah penggabungan curah hujan TMI dan curah hujan VIRS, dan tahap terakhir adalah menjumlahkan curah hujan 3 jam-an dari yang dihasilkan pada tahap ketiga untuk memperoleh curah hujan estimasi bulanan. Data curah hujan TRMM 3B42 tersebut di atas digunakan untuk menentukan curah hujan rata-rata dan curah hujan ekstrim. Curah hujan rata-rata di wilayah Indonesia selama kurun waktu 12 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai tahun 2009 diperlihatkan pada Gambar 2. Pada gambar tersebut nampak bahwa curah hujan 10 harian rata-rata berkisar antara 10 sampai 120 mm/10 hari. Curah hujan ratarata di wilayah Indonesia sebelah utara (warna hijau) lebih besar dibandingkan di sebelah selatan. Jawa Timur sampai Timor memiliki curah hujan rata-rata terrendah (warna merah muda). Daratan Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Pulau Jawa memiliki curah hujan rata-rata yang relatif lebih tinggi (yaitu > 80 mm/10 hari) dibandingkan curah hujan di lautan sekitarnya. Pulau dengan luas lebih besar memiliki curah hujan rata-rata yang lebih Gambar 1. Instrumen TRMM (Sumber: http://trmm.gsfc.nasa.gov/) besar dibandingkan dengan pulau-pulau kecil. Ini menunjukan adanya hujan yang tidak hanya bersumHal ini disebabkan beberapa keunggulan yang dimiliki ber dari awan-awan skala meso sampai skala besar tetapi data curah hujan TRMM, seperti keunggulan dalam ca juga berasal dari awan-awan konveksi skala kecil. kupan wilayah yang luas, kemampuannya dalam memeBerdasarkan curah hujan rata-rata kemudian ditentakan variasi curah hujan spasial dengan resolusi sampai tukan curah hujan ekstrim maksimum dengan menggu5 km dan resolusi temporal sampai 3 jam-an. Kemamnakan persamaan 1, dari sumber: puan yang tinggi dari TRMM untuk memetakan curah http://climate.met.psu.edu. hujan ditunjang oleh peralatan sebagai berikut: Precipitation Radar (PR), TRMM Microwave Imager (TMI), Visx = x − β (γ + ln(− ln( F ))) (1) ible and Infrared Scanner (VIRS), Cloud and Earth Radiation Energy Sensor (CERES) serta Light Image Sensor dengan: (LIS) seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. Salah x = curah hujan ekstrim satu produk dari TRMM adalah curah hujan 3B42 yaitu x = curah hujan rata-rata curah hujan/ presipitasi dengan resolusi waktu 3-jam o o β = 0,557 (konstanta Euler) dan resolusi spasial 0,25 X 0,25 dalam cakupan global γ = 0,78 S 50o lintang selatan sampai 50o lintang utara. Curah hujan S = deviasi standar 3B42 dihasilkan dari penggabungan curah hujan estimaF = (n-1)/n si yang diukur oleh Tropical Rainfall Measuring Mission n = jumlah data (TRMM) Microwave Imager (TMI) dengan curah hujan k = konstanta estimasi yang diukur oleh scanner infrared (VIRS) melalui empat tahap. Tahap pertama adalah mengkalibrasi curah hujan yang diukur oleh TRMM Microwave Imager INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
55
Informasi Data INDERAJA
Gambar 2. Curah hujan TRMM rata-rata 10 harian dari tahun 1998 sampai tahun 2009 untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya, 15o LU-15o LS, 95o BT- 145o BT)
Gambar 3. Peta curah hujan ekstrim (mm/10 hari) berdasarkan perhitungan Persamaan 1 dari tahun 1998 sampai tahun 2009 untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya, 15o LU-15o LS, 95o BT-145oBT) 56
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA
Gambar 4. Peta frekuensi curah hujan ekstrim (kejadian/tahun) dari tahun 1998 sampai tahun 2009 untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya, 15o LU - 15o LS, 95 o BT-145 o BT)
Gambar 5. Curah hujan ekstrim (mm/ 10 hari) rata-rata dari tahun 1998 sampai tahun 2009 untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya, 15o LU-15o LS, 95 o BT-145 o BT) berdasarkan distribusi frekuensi
Pada Gambar 3 diperlihatkan curah hujan ekstrim hasil perhitungan berdasarkan persamaan 1. Curah hujan ekstrim di wilayah Indonesia berdasarkan persamaan 1 (Gambar 3) berkisar antara 80 sampai 180 mm/10 hari. Wilayah Indonesia bagian timur, curah hujan ekstrimnya lebih tinggi dibandingkan wilayah Indonesia bagian barat. Pola curah hujan hampir serupa dengan pola curah hujan rata-rata, yaitu memiliki nilai tinggi di daratan. Ini menunjukkan keterkaitan secara linier antara curah hujan rata-rata dengan curah hujan ekstrim. Angka tersebut adalah curah hujan ekstrim INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
rata-rata selama 12 tahun untuk wilayah Indonesia. Curah hujan ekstrim yang dibahas di atas adalah curah hujan ekstrim maksimum yang berbasis pada curah hujan rata-rata. Curah hujan ekstrim mempunyai frekuensi rendah atau jarang terjadi (frekuensi rata-rata 1 sampai 2 kali dalam setahun) seperti yang di tampilkan pada Gambar 4. Curah hujan ekstrim 10 harian maksimum hanya terjadi dua kali dalam setahun (dari 36 jumlah data 10 harian dalam setahun) atau 0,05 % kejadian, yang terjadi di lautan Pasifik barat sebelah utara Papua, Ambon dan di sebagian kecil Kalimantan barat. 57
Informasi Data INDERAJA Curah hujan ekstrim dapat juga ditentukan berdasarkan Cumulative Distribution Frequency (CDF) Gumbel. Gambar 5 adalah histogram curah hujan 10 harian 12 tahun (1998-2009) untuk wilayah Indonesia dengan CDFnya. Batang-batang berwarna biru menunjukkan frekuen si kejadian (sumbu y) terhadap curah hujan 10 harian (sumbu x), sedangkan garis berwarna merah menunjukkan prosentase kejadian kumulatif (CDF). Pada gambar tersebut nampak bahwa curah hujan 10 harian ratarata wilayah Indonesia (grid 0,25o x 0,25o) mempunyai frekuensi maksimum pada curah hujan dengan jumlah 100 mm/10 hari yang ditunjukkan dengan batang biru tertinggi (51,2 %). Dengan mengambil nilai ekstrim pada prosentase frekuensi kumulatif 99% (sebagai ambang batas atas) maka curah hujan ekstrim tinggi akan jatuh pada titik x = x + 4 S yaitu 175,32 mm/10 hari (Gambar 5). Karena pemilihan titik ambang batas sangat subyektif, maka metode CDF Gumbel ini bisa menghasilkan nilai curah hujan ekstrim yang berbeda-beda.
58
Pada uraian di atas telah disampaikan kondisi curah hujan ekstrim 10 harian rata-rata. Lalu bagaimana de ngan kondisi curah hujan pada tahun 2010? Curah hujan pada tahun 2010, seperti diperlihatkan pada Gambar 6 melampaui nilai curah hujan rata-rata selama 12 tahun bahkan sudah menyamai curah hujan ekstrim rata-rata 12 tahun. Pada bulan Januari curah hujan 10 harian di daratan wilayah Indonesia antara 60 sampai 260 mm/10 hari, pada bulan Februari berkisar 80 sampai 220 mm/10 hari, pada bulan Maret, April dan Mei curah hujan ter tinggi di daratan Indonesia adalah 260 mm/10 hari. Pada bulan Juni curah hujan tertinggi sedikit mengalami penurunan menjadi 240 mm/10 hari namun pada bulan Juli curah hujan maksimum meningkat lagi menjadi 260 mm/10 hari. Bulan selanjutnya curah hujan maksimum lebih dari 300 mm/hari, kecuali bulan Oktober hanya 280 mm/10 hari. Jika dibandingkan dengan Gambar 3, maka kondisi tahun 2010 dapat dinyatakan sebagai kondisi ekstrim berdasarkan curah hujan.
(a)
(b)
(c)
(d) INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(j)
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
59
Informasi Data INDERAJA
Gambar 6. Curah hujan kumulatif (mm/10 hari) bulanan tahun 2010 untuk wilayah Indonesia dan sekitarnya, 15o LU-15o LS, 95 o BT-145 o BT) (semakin tebal warna shading kontur pada setiap gambar di atas menunjukkan curah hujan semakin tinggi
Pada kasus curah hujan ekstrim tahun 2010, data Dipole mode Index (DMI) (Gambar 7) menyatakan nilai yang negatif sejak bulan Mei 2010, meskipun berubah menjadi positif pada awal Juli namun kemudian negatif lagi bahkan menjadi negatif kuat pada bulan November. Indeks ini menunjukkan bahwa lautan Hindia sebelah timur (atau barat Sumatera) menjadi panas dibandingkan lautan Hindia sebelah barat atau dengan kata lain terjadi aktivitas konveksi yang tinggi di dekat Pulau Sumatera. Hal inilah yang meningkatkan curah hujan di wilayah barat Indonesia. Data lain yaitu suhu permukaan laut menunjukkan terjadi penurunan suhu muka
laut di lautan Pasifik sejak bulan Mei 2010 (Gambar 8a), sehingga menyebabkan anomali suhu negatif baik di Niño 1+2, Niño3, Niño3+4 dan Niño4 dengan basis line rata-rata suhu muka laut tahun 1971 sampai tahun 2000. Anomali suhu negatif (Gambar 8b) menimbulkan aktivitas konveksi di lautan Pasifik timur dan di atas wilayah Indonesia. Faktor inilah yang meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia bagian timur. Seperti disebutkan di atas bahwa banyak faktor yang berpengaruh terhadap pola dan intensitas curah hujan di Indonesia, demikian pula terjadinya curah hujan ekstrim. Curah hujan ekstrim bisa disebabkan oleh satu faktor atau kombinasi beberapa faktor yang bekerja pada saat bersamaan. Apapun penyebabnya, yang perlu diingat adalah bahwa curah hujan ekstrim ini berpotensi menyebabkan terjadinya berbagai bencana. Curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan sawah atau ladang pertanian terlalu basah (karena kebutuhan padi/tanaman akan air sudah tertentu, misalnya padi, hanya memerlukan 50-100 mm/10 hari pada masa pertumbuhannya) sehingga kelebihan air hujan bisa menyebabkan gagal panen. Curah hujan ekstrim yang terjadi pada daerah dengan topografi curam berpotensi menyebabkan bencana longsor, seperti yang terjadi di Wasior pada tanggal 4 Oktober 2010. Curah hujan ekstrimnya berdasarkan Gambar 7. Dipole Mode Index (DMI) Maret 2009 sampai November 2010 Gambar 3 adalah 180 sampai 200 mm/10 hari (Sumber: http://ioc3.unesco.org/oopc/) sedangkan berdasarkan Cumulative Distribu-
60
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Informasi Data INDERAJA tion Frequency (CDF) Gumbel adalah 228 mm/10 hari dengan mengambil nilai ekstrim maksimum pada titik x = x + 4 S atau pada prosentase frekuensi kumulatif 99%. Berdasarkan Gambar 6, nampak bahwa curah hujan 10 harian di Wasior sudah menunjukkan kecende rungan menuju curah hujan ekstrim sejak bulan Januari 2010 yang puncaknya terjadi pada 03 Oktober 2010. Curah hujan yang terjadi pada 03 Oktober 2010 jam
15.00 WIB sekitar 80 mm (Gambar 9) dan akumulasi curah hujan selama sehari/24 jam (03 Oktober 2010) mencapai 200 mm (Gambar 10). Nilai ini sudah mencapai nilai ekstrim 10 harian, sehingga dapat dikatakan bahwa curah hujan pada tanggal 03 Oktober 2010 adalah curah hujan ekstrim yang menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir bandang dan longsor di Wasior.
Gambar 8. a. Suhu muka laut bulanan tahun 2010, b. Anomali suhu muka laut bulanan dengan base line rata-rata tahun 1971 sampai tahun 2000 (Sumber: http://www. cpc.ncep.noaa.gov/data/ indices/)
a
Gambar 9. Curah hujan yang terjadi tanggal 03 Oktober 2010 jam 15.00 WIB di Wasior (2,729o LS; 134,509o BT) (Sumber: http://disc2.nascom.nasa.gov/Giovanni/tovas/)
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
b
Gambar 10. Akumulasi curah hujan sehari yang terjadi tanggal 03 Oktober 2010 dari jam 00 sampai 21.00 WIB di Wasior (2,729o LS; 134,509o BT) (Sumber: http://disc2.nascom.nasa.gov/Giovanni/tovas/)
61
BERITA RINGAN LAPAN Turut Berpartisipasi pada Pameran BKPRD di Batam, Provinsi Kepulauan Riau
Gambar 1. Acara pembukaan Raker BKPRD 2010 di Hotel Planet Holiday, Batam dilakukan oleh Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Bapak Syamsul Arief Rivai.
K
egiatan Rapat Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi dan Kabupaten/ Kota se Indonesia untuk agenda tahun 2010 dilaksanakan di Hotel Planet Holiday Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Raker BKPRD ini merupakan agenda rutin yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia setiap 2 (dua) Tahun sekali. Acara ini dilaksanakan pada tanggal 11 – 14 Oktober 2010 yang diikuti 300 peserta dari berbagai perwakilan daerah. Tema dari kegiatan tahun ini adalah “ Percepatan Penyelesaian Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Melalui Penguatan BKPRD”. Dalam acara pembukaan, Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Bapak Syamsul Arief Rivai memberikan kata sam butan (mewakili Menteri Dalam Negeri) menyampaikan, bahwa Raker BKPRD bertujuan untuk mengoptimalkan
62
peran BKPRN dan BKPRD dalam percepatan penyelesaian Perda RTRW, membangun komitmen penguatan fungsi dan peran BKPRD sebagai lembaga koordinasi penataan ruang di daerah, merumuskan dan menyusun mekanisme kerja dan program kerja strategis antara BKPRN dan BKPRD. Adapun sasaran yang ingin dicapai, yaitu terwujudnya percepatan penyelesaian penyusunan BKPRN dan BKPRD. Setelah kata sambutan, kemudian dilanjutkan dengan pemukulan Gong sebagai tanda dimulainya acara. Rapat Kerja ini terbagi menjadi 3 (tiga) Komisi, yaitu Komisi I : Percepatan Perda RTRW Wilayah I, Komisi II : Percepatan Perda RTRW Wilayah II, Komisi III : Peraturan Perundangan & Kelembagaan Penataan Ruang (BKPRN dan BKPRD). Selain Raker, juga diadakan Pameran Tata Ruang yang diikuti oleh 12 peserta pameran dari beberapa INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
BERITA RINGAN
Kementerian, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Pemda serta Swasta. Dari seluruh kontributor pameran yang ikut serta, diantaranya adalah: Kementrian Kelautan dan Perikanan, Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Bakosurtanal, LAPAN, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah kota Batam, PT. Central Plotter Indonesia, PT. Waindo Spectera dan PT. Geopranata Cipta. Dalam acara peninjauan ke Pameran, turut hadir me ngunjungi Stan LAPAN yaitu: Gubernur Provinsi Kepu-
lauan Riau, HM Sani, Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah pada Kementerian Dalam Negeri, Syamsul Arief Rivai, Gubernur Provinsi Jawa Tengah, Bibit Waluyo. Pada acara kunjungan ke Stan LAPAN para tamu VIP mendapat sambutan dan penjelasan dari staf Pusdata Ir. Rubini Jusuf, M.Si. Pada kesempatan itu disampaikan tentang tugas dan fungsi LAPAN, dan informasi berbagai produk teknologi satelit inderaja. LAPAN sebagai penyedia produk data satelit dan informasi penginderaan jauh siap mendukung Program Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah di daerah dan nasional.
Gambar 2. Kunjungan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, H.M. Sani, di Stan Pameran LAPAN.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
63
BERITA RINGAN Kunjungan Perwira TNI-AL ke LAPAN Pekayon Dalam Rangka Kerjasama Pemanfaatan Teknologi Satelit Penginderaan Jauh
R
abu, (22/12/2010) Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menerima kunjungan rombongan TNI-AL yang dipimpin oleh Kolonel Laut Lili Abu Siswanto beserta 10 orang Perwira TNI-AL. Acara penerimaan kunjungan diselenggarakan di Ruang Demo pada Gedung Pusat Data Penginderaan Jauh Jl LAPAN No. 70 Pekayon Pasar Rebo Jakarta Timur. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari upaya membangun kerjasama antara LAPAN dengan TNI-AL. Kedatangan rombongan TNI - AL disambut langsung oleh Deputi Penginderaan Jauh Bapak Ir. Nur Hidayat Dipl. Ing yang didampingi oleh Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh Bapak Ir. Agus Hidayat, M.Sc., pejabat struktural serta beberapa orang peneiliti. Kegiatan kerjasama ini diselenggarakan dalam 64
Pada gambar, kedua dari kiri Deputi Penginderaan Jauh Bapak Ir. Nur Hidayat Dipl. Ing (menggunakan kemeja motif batik) saat menyampaikan materi.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
BERITA RINGAN
rangka peningkatan dan pengembangan pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk mendukung kegiatan operasional TNI-AL. Pada kata sambutan yang disampaikan oleh Deputi Penginderaan Jauh Ir. Nur Hidayat Dipl. Ing, menyambut baik pelaksanaan kegiatan kerjasama antara LAPAN dengan TNI-AL. Kegiatan ini merupakan salah satu wujud kontribusi LAPAN dalam pendistribusian informasi perkembangan teknologi beserta pemanfaatan aplikasi penginderaan jauh (inderaja) kepada TNI-AL khususnya. Didalam pemaparannya disampaikan mengenai Struktur Organisasi dan TUPOKSI LAPAN serta berbagai fasilitas teknologi inderaja LAPAN, yaitu: sistem stasiun bumi atau akuisisi data satelit inderaja (Instalasi Sumber Alam Parepare - Sulawesi Selatan, Instalasi Inderaja Cuaca Biak Papua dan Instalasi Lingkungan dan Cuaca Jakarta), sistem pengolahan data (produksi), sistem pengembangan pemanfaatan aplikasi dan teknologi inderaja, serta sistem pelayanan pengguna data (bank data inderaja nasional). Hasil-hasil (produk) yang sudah operasional dan disosialisasikan kepada masyarakat pengguna adalah berbagai produk data standar, diantaranya: citra satelit Landsat, SPOT, ALOS, MODIS, NOAA, MTSAT, Fengyun dan LAPAN-TUBSAT yang masih dalam proses pengkajian. Selain itu produk informasi pemanfaatan aplikasi (turunan teknik pengolahan data inderaja) diantaranya: Peta Citra Satelit (PCS), Peta Penutup/ Penggunaan Lahan, Peta Kesesuaian Lahan, Peta Inventarisasi Potensi Lahan, Peta GIS dan lain sebagainya. Pada kesempatan tersebut juga disampaikan, bahwa LAPAN siap mendukung program pembangunan untuk bidang Hankam, yaitu dengan diadakannya kerjasama denganTNI-AD (Ditopad), Paspampres, Kepolisian Republik Indonesia dan TNI-AL. Adapun tujuan dilaksanakannya beberapa kerjasama tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas SDM melalui Bimbingan Teknis (Bimtek) di lingkungan TNI dan POLRI dalam teknik pengolahan data satelit inderaja. Disebutkan pula beberapa hasil yang telah diperoleh melalui kegiatan kerjasama tersebut, antara lain: Pemetaan Wilayah Perbatasan Negara, Pemetaan Pulau Kecil Terluar, Pemetaan Wilayah Pertahanan Negara, Pemetaan Wilayah Latihan dan Operasi, Pemetaan Wilayah Teritorial NKRI dan ZEE, Daerah Rawan Kriminalitas dan Kecelakaan Lalu Lintas, Pemetaan obyek Vital (GIS) POLRI, INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Pemetaan Rute Patroli, Pengawalan VVIP, dan Pendataan aset TNI-POLRI di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian acara dilanjutkan dengan kata sambutan dari pihak TNI AL, rombongan yang dipimpin Kolonel Laut Lili Abu Siswanto menyampaikan atas nama kedinasan mengucapkan terima kasih atas penerimaan kunjungan ini. Maksud dan tujuan kedatangan kami ke LAPAN, ingin mengenal teknologi satelit penginderaan jauh dan mengetahui manfaat informasi inderaja khususnya bagi institusi TNI-AL. Rombongan TNI-AL terdiri dari 10 orang perwira yang mempunyai tugas dan fungsinya di masingmasing kedinasan dan nantinya dapat mengikuti kegiatan Bimtek/Diklat Pengolahan Data Inderaja bagi Perwira atau Bintara TNI-AL. Apa yang disampaikan oleh Deputi Inderaja adalah suatu harapan bagi TNI-AL, sehingga ke depan dapat menjalin kegiatan kerjasama yang sinergi dan dapat diwujudkan dengan adanya MoU dengan LAPAN (dilaksanakan pada bulan Februari 2011). Wilayah Indonesia yang dikelilingi oleh lautan (Cina Selatan), serta lautan (Hindia dan Pasifik) membutuhkan peran teknologi yang mampu mengawasi dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ditinjau dari aspek kebutuhan dalam kaitannya menghadapi kemajuan dan dinamika bidang Hankam pada masa yang akan datang dan manfaat informasi inderaja yang sudah diperoleh hingga saat ini, institusi TNI-AL merencanakan akan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi satelit inderaja guna mendukung kegiatan operasional militer. Selesai kata sambutan dan pemaparan materi kegiatan, diteruskan dengan sesi acara diskusi mengenai rencana membangun kerjasama antara LAPAN dengan TNI-AL serta menentukan langkah dan upaya selanjutnya. Acara kunjungan rombongan TNI-AL ini, diakhiri dengan ramah tamah dalam suasana yang serius dan harmonis. (BH)
65
BERITA RINGAN SOSIALISASI HASIL KEGIATAN TAHUN 2010 KERJASAMA ANTARA LAPAN – KABUPATEN SAMPANG (DAS) Waduk Nepa, Peta DAS Waduk Klampis, Peta Batas Administrasi Desa dan Kelurahan, Duplikasi Peta Tataruang Kabupaten Sampang, dan Peningkatan Kapasitas Personil (SDM) yang berupa On Job Training. Pada acara sosialaisasi diawali laporan Ketua Panitia oleh Kepala Bappeda Kabupaten Sampang Ir. Toni Murdiwanto, M.Si., dilanjutkan sambutan oleh Bupati Sampang Bapak Nur Cahya dan sambutan Kepala Pusbangja – LAPAN Ir. Agus Hidayat, M.Sc., selanjutnya presentasi hasil On Job Training oleh salah satu peserta On Job Training dari Pemda Tingkat II Kabupaten Sampang dan presentasi hasil kegiatan kerjasama LAPAN – Pemda Sampang Tahun 2010 oleh Dra. Gambar 1. Acara Sosialisasi Hasil Kegiatan Tahun 2010 disampaikan oleh Bupati Nanik Suryo Haryani, M.Si. Sampang Bpk Nur Cahya (tengah), Kepala Bappeda, Sekretaris Daerah, dan Hasil dari kegiatan kerjasama ini diperoleh Kapusbangja LAPAN Ir. Agus Hidayat, M.Sc.(kiri) Peta sebanyak 388 layer Peta, antara lain: PCS Kabupaten sebanyak 4 Peta, PCS per Desa/ Kelurahan sebanyak 182 Peta, Peta Penutup Lahan per elaksanaan sosialisasi hasil kegiatan tahun 2010 Desa/ Kelurahan sebanyak 182 Peta, PCS DAS sebanyak dilaksanakan di Kantor Bupati Sampang, Kabupaten 4 Peta, Peta DAS Nepa dan Klampis sebanyak 2 Peta, Sampang - Provinsi Jawa Timur pada tanggal 23 Desember dan duplikasi Peta RTRW sebanyak 14 Peta. Peta yang 2010, dihadiri oleh Bupati Sampang Bapak Nur Cahya, dihasilkan dapat digunakan untuk data based di wilayah Sekretaris Daerah Kabupaten Sampang, Kepala Bappeda Kabupaten, Kecamatan dan Desa/ Kelurahan. Diharapkan dan Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan para peserta on job training dapat dilibatkan secara aktif Teknologi Penginderaan Jauh (Pusbangja) Ir. Agus Hidayat, untuk updating Peta yang telah dihasilkan. (NSH) M.Sc. Pada acara sosilaisasi ini hadir pula para Kepala Dinas dan para utusan dari beberapa Instansi Kedinasan serta seluruh Camat di Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Sampang. Bentuk kegiatan kerjasama tahun 2010 merupakan kelanjutan kerjasama Tahun 2009, Adapun kegiatan kerjasama tahun 2010 adalah: Inventarisasi dan Pemutakhiran Basis Data Spasial Infrastruktur untuk mendukung tataruang menggunakan data penginderaan jauh. Data yang digunakan dalam kegiatan kerjasama ini adalah data satelit resolusi tinggi antara lain: ALOS, SPOT dan IKONOS. Sasaran kegiatan Kerjasama antara LAPAN dengan Pemda Kabupaten Sampang tahun 2010, antara lain meliputi: Peta Penutup Lahan per Desa dan Kelurahan, Peta Citra Satelit (PCS) per Desa dan Kelurahan, PCS Waduk Gambar 2. Presentasi laporan hasil kegiatan kerjasama LAPAN – Nepa, PCS Waduk Klampis, Peta Daerah Aliran Sungai Pemda Sampang oleh Dra. Nanik Suryo Haryani, M.Si.
P
66
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
67
68
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Majalah Inderaja - LAPAN Kepada, Yth: Para Peneliti di Bidang Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Pada Tahun anggaran 2011 kami bermaksud menerbitkan kembali Majalah INDERAJA Volume X, No. 18, Juli 2011. Pada edisi ini kami mengundang tulisan/ artikel dari Bapak/ Ibu Peneliti, yang berisi teknologi maupun aplikasi untuk berbagai sektor terutama dengan menggunakan data penginderaan jauh (inderaja) sebagai data utama. Tema untuk penerbitan majalah Tahun Anggaran 2011: “Kajian dan Disseminasi Hasil Litbang Teknologi Penginderaan Jauh” Naskah di sampaikan ke Sekretariat Majalah Inderaja – Bidang Penyajian Data, kami tunggu sampai dengan akhir April 2011. Teknis Penulisan Makalah:
Naskah ditulis dalam Microsoft Word, Huruf : Arial Size : 12 Spasi : 1½
Gambar/ foto dibuat dalam file tersendiri Format : Tiff Ukuran resolusi : 300 Dpi (Minimal) Grafik/ tabel : Microsoft Excel.
Majalah Inderaja didistribusikan kepada Bappeda Provinsi, Kabupaten, Kota seluruh Indonesia sebagai segmen utama pembaca, beberapa Perpustakaan Perguruan Tinggi, Kegiatan Pameran dan Bimbingan Tekins (inderaja). Pekayon, Desember 2010
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Ttd Dewan Redaksi
69
PERIS TIWA D alam G ambar
Kerjasama Antara LAPAN dengan Kementerian Pertanian pada Kegiatan Pemetaan Lahan Sawah
S
enin, 25 Oktober 2010, Kedeputian Bidang Inderaja (Pusdata – LAPAN) dengan Kementerian Pertanian mengadakan pertemuan Rapat Koordinasi untuk Kegiatan Pemetaan Lahan Sawah yang dilaksanakan di Ruang Demo Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN Pekayon. Rapat di pimpin oleh Bapak Drs. Kustiyo, M.Si selaku Kepala Bidang Produksi Data dan didampingi oleh beberapa orang stafnya. Adapun tamu undangan dari Kementerian Pertanian di
pimpin Bapak M. Lutful. H selaku PLA Kementerian Pertanian didampingi 12 (dua belas) orang. Rapat koordinasi tersebut membahas tentang Kegiatan Pemetaan Lahan Sawah untuk Daerah Sumatera Barat dan Lampung, dengan menggunakan Data Citra Satelit Penginderaan Jauh. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menginventarisir lahan sawah yang berada didaerah Sumatera Barat dan Lampung. (BH)
Rapat Koordinasi antara LAPAN dengan Kementerian Pertanian tentang Pemetaan Lahan Sawah Dilaksanakan di Ruang Demo Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN, Pekayon Jakarta
70
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
PERIS TIWA D alam G ambar
Kunjungan DISHIDROS TNI AL ke Fasilitas Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh - LAPAN
Pada gambar, Kepala Bidang Penyajian Data Ir. Yuliantini Erowati, M.Si (kedua dari kiri), di dampingi stafnya Drs. Abdul Asyiri, M.Si (paling kiri) dan Danang ST. M.Si (ketiga dari kiri) serta rombongan siswa Dikspepa Hidros TNI AL.
R
abu, 8 Desember 2010 Pusat Data Penginderaan Jauh (PUSDATA LAPAN) menerima kunjungan dari Siswa Pendidikan Spesialisasi Perwira Hidrologi Oceanografi (DIKSPESPA HIDROS) TNI AL yang berjumlah 21 orang Siswa. Acara pene rimaan kunjungan rombongan ini diselenggarakan di Ruang Demo PUSDATA LAPAN Pekayon Jl. LAPAN No. 70, Kel. Pekayon Kec. Pasar Rebo, Jakarta Timur. Rombongan yang dipimpin oleh Mayor Laut Noviendra diterima langsung oleh Kepala Bidang Penyajian Data – Pusat Data Ir. Yuliantini Erowati, M.Si, yang di dampingi oleh 2 orang stafnya, yaitu: Drs. Abdul Asyiri, M.Si. dan Danang ST, M.Sc. Dalam sambutannya Kepala Bidang Penyajian Data menyampaikan mengenai ruang lingkup kegiatan Penelitian dan Operasional di ling kungan PUSDATA kepada Siswa Dikspespa Hidros TNI AL. Harapannya atas kunjungan ini, Siswa Dikspespa Hidros TNI AL dapat mengetahui secara lebih mendalam berkaitan de ngan perkembangan teknologi penginderaan jauh dan dapat memanfaatkan informasi teknologi inderaja untuk menjaga dan melindungi NKRI.
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
Selanjuntnya Bapak Mayor Laut Noviendra sebagai Pimpinan Rombongan Siswa Dikspespa Hidros pada kesempatan tersebut menyampaikan maksud dan tujuannya, bahwa siswa Spesialisasi Perwira Hidros TNI AL dapat memahami betul tentang produk data citra satelit penginderaan jauh beserta pemanfaatannya, Selain itu dengan diselenggarakannya acara kunjungan ke Fasilitas Pusat Data Penginderaan Jauh, Siswa Dikspespa dapat melihat secara langsung hasilhasil dari produk teknologi penginderaan jauh di LAPAN. Kemudian acara dilanjutkan dengan sesi acara pemaparan dan diskusi. Penyampaian materi dilakukan oleh Drs, Abdul Asyiri, M.Si yang menjelaskan tentang tugas dan fungsi LAPAN khususnya lingkup Pusat Data Penginderaan Jauh. Pemaparan berikutnya, adalah Danang ST, M.Sc. Di dalam pemaparannya dijelaskan mengenai fasilitas. penginderaan jauh, contoh produk data citra satelit penginderaan jauh (seperti: Modis, Landsat, SPOT, Quickbird, dan Alos) serta pengenalan berbagai aplikasi dan pemanfaatannya untuk di berbagai sektor kegiatan pembangunan nasional. (BH) 71
PERIS TIWA D alam G ambar
Acara Pelepasan dan Perpisahan Karyawan LAPAN di Kantor Kedeputian Penginderaan Jauh
S
enin, 3 Desember 2010 di Kantor Kedeputian Pengindera an Jauh (Inderaja) LAPAN, Pekayon Jakarta Timur dilaksanakan acara pelepasan dan perpisahan 5 (Lima) orang Kar yawan LAPAN yang telah memasuki masa purna bhakti (memasuki usia pensiun) sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung mulai tanggal 1 Desember 2010. Acara ini diselenggarakan sebagai bentuk ucapan terima kasih LAPAN kepada para purna bhakti dan juga sekaligus dapat dijadikan sebagai momentum untuk memotivasi kepada generasi penerus LAPAN. Dari kelima orang karyawan yang telah memasuki usia pensiun, yaitu : Bapak Ir. Mahdi Kartasasmita, M.S. Ph.D (Ketua LAPAN pada masa periode 2000 - 2007), 2 orang Ahli Peneliti Utama penginderaan jauh LAPAN, yaitu : Ibu Prof. DR. F. SRI Hardiyanti Purwadhi APU, Bapak Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo, APU (ketiganya telah mencapai usia 65 tahun), dan Ibu Dra. Komala Mardjohan, M.Si (Kepala Biro Umum LAPAN pada masa periode 2007 - 2010), serta Bapak Arief Nurcahyo. Pada acara utama adalah penyampaian kata sambutan dan ucapan perpisahan dari Deputi Inderaja LAPAN Bapak Ir. Nur Hidayat, Dipl. Ing. Disampaikan, bahwa pemanfaatan teknologi inderaja saat ini telah banyak mengalami kemajuan yang signifikan. Data dan informasi inderaja sudah banyak digunakan untuk mendukung berbagai program pemba ngunan baik di daerah maupun untuk nasional. Keberhasilan demi keberhasilan yang telah dicapai hingga saat ini dan kedepannya apa yang telah diperoleh masih perlu terus ditingkatkan. Sehingga upaya ini menjadi tugas dan komitmen kita bersama sebagai generasi penerus di LAPAN. Khusus berkaitan dengan pengembangan dan peningkatan teknolo-
72
gi inderaja telah dilakukan berbagai upaya kerjasama antara LAPAN dengan Pemda maupun Instansi Pemerintah Pusat. Kerjasama yang telah dilaksanakan diantaranya, adalah : penyelenggaraan kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek), Pengo lahan Data Inderaja, Pembuatan Peta Dasar dan Tematik, serta beberapa kegiatan deseminasi untuk skala nasional maupun internasional. Selain itu juga telah diterbitkan beberapa media publikasi berupa buku dengan judul berkaitan dengan pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dan majalah Berita Inderaja yang diterbitkan 2 kali dalam 1 Tahun, yaitu: edisi Juli dan Desember setiap tahunnya. Setelah kata sambutan, kemudian acara dilanjutkan de ngan pemberian kenang-kenangan kepada 5 (Lima) orang karyawan yang memasuki masa purna bhakti dan sekaligus menyampaikan ucapan selamat jalan dan berfoto bersama Pejabat Struktural beserta seluruh keluarga besar (karyawan/ karyawati) pada kantor Kedeputian Penginderaan Jauh LAPAN. Tampak dalam Gambar, Bapak Deputi Penginderaan Jauh LAPAN, yaitu: Bapak Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing (duduk keempat dari kiri); Bapak Ir. Mahdi Kartasasmita, M.S. Ph.D (duduk kelima dari kiri); Ibu Prof. DR. F. SRI Hardiyanti Purwadhi APU (duduk keenam dari kiri), Bapak Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo APU (duduk ketujuh dari kiri), Ibu Dra. Komala Mardjohan, M.Si (duduk kesembilan dari kiri), dan Bapak Arief Nurcahyo (duduk kedelapan dari kiri), lihat gambar diatas. (Selamat jalan, semoga diberi kesehatan, kebahagiaan, keselamatan dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT, Amin).
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
BERITA RINGAN
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
73
BERITA RINGAN
74
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
BERITA RINGAN
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
75
POSTER 76
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
POSTER
BERITA INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
77
POSTER 78
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010
79
80
INDERAJA, Volume I, No. 1, Desember 2010