Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
PENERAPAN UU ZAKAT NO.23 TAHUN 2011 ANTARA IDEALITAS DAN REALITAS Oleh: Abdul Mujib1 Mahasiswa Ma‟had „Ali Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
[email protected] Abstrak Potret realiatas muslim Indonesia dapat tergambarkan dengan keadaan beban ganda. Beban ganda muslim Indonesia dalam bentuk kewajiban membayar zakat di satu sisi, dan harus membayar pajak kepada pemerintah di sisi lainnya. Kewajiban membayar zakat merupakan domain agama, sementara pajak merupakan kewajiban sebagai warga negara. Beban ganda ini secara kalkulasi matematis sangatlah merugikan kaum muslimin di Indonesia jika dibandingkan dengan pemeluk agama lain yang tidak mengenal konsep zakat. Memotret realitas ini, pemerintah Indonesia mulai merubah perundangan zakat yang berlaku di negara ini, yakni dari Undangundang (UU) Zakat No.38 Tahun 1999 menjadi UU Zakat No. 23 Tahun 2011. Perubahan UU ini memang tidak begitu signifikan, namun ada poin penting yang patut dicermati oleh para pemerhati zakat dan pajak itu sendiri. Pada pasal 22, UU No. 23 Tahun 2011 dijabarkan; “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak”. Selanjutnya pasal 23 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2011, BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki dan ayat (2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Kehadiran UU No. 23 Tahun 2011 memang akan mampu mengurai beban ganda tersebut, akan tetapi realisasi dari pasal 22 dan 23 tersebut belum dapat terlaksana secara maksimal. Kurangnya maksimalisasi ini lebih disebabkan lemahnya sinergitas lembaga-lembaga yang terkait. Sampai saat ini, dualisme zakat dan pajak masih menjadi bagian masyarakat muslim di Indonesia dan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 belum menampakkan fungsinya dalam realisasi pajak dan zakat di masyarakat. Kata Kunci : beban ganda, muzaki, penghasilan kena pajak 1Pemerhati
ekonomi Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
1
Abdul Mujib
PENDAHULUAN Zakat dan pajak merupakan modalitas untuk mencapai kesejahteraan umat dan dalam skala makro adalah kesejahteraan bangsa. Subtansi zakat merupakan domain religiusitas agama Islam, artinya zakat merupakan kewajiban oleh agama Islam dikhususkan bagi kaum muslimin. Sementara pajak (dharibah), merupakan kewajiban warga negara kepada negaranya. Pajak secara konseptual dalam agama Islam pemberlakuannya dikhususkan bagi non-muslim, umat Islam hanya berkewajiban berzakat saja. Akan tetapi praksisnya di Indonesia tidaklah demikian, muslim Indonesia diberi beban ganda antara zakat dan pajak tersebut. Secara kalkulasi matematis, beban ganda berupa dualisme zakat dan pajak ini sangatlah merugikan umat Islam secara ekonomis. Karena itu perlu adanya kajian dan perubahan paradigmatik untuk diaplikasikan dalam kebijakan. Kajian mengenai zakat dan pajak, bukan kajian baru dalam dunia keilmuan. Kajian terhadap hal ini telah menggejala lama dan selalu menemukan momentumnya, khususnya dalam disiplin kajian Islam. Kajian tersebut akan semakin menarik diperbincangkan ketika wacana zakat dan pajak ditarik dalam konteks ke-Indonesiaan. Indonesia memang bukan negara Islam, akan tetapi fenomena ke-Indonesiaan; penduduknya adalah mayoritas beragama Islam. Tarikan kausal akan mayoritasnya umat Islam di Indonesia adalah adanya potensi zakat yang sangat besar. Potensi zakat yang ada tersebut jika bisa dikelola dan didistribusikan secara maksimal dan sesuai porsinya, maka kesejahteraan umat akan tercapai secara maksimal pula dan lini-lini ekonomi masyarakat muslim di Indonesia akan berkembang. Hanya saja dalam kajian ini perlu adanya penegasan konsentrasi kajian terhadap beban ganda dualisme zakat dan pajak bagi umat Islam tersebut. Realitas yang terjadi di Indonesia, masyarakat muslim Indonesia harus dihadapkan pada dua kewajiban pendistribusian harta/pendapatan secara signifikan, yaitu kewajiban kepada negara berupa pembayaran pajak dan kewajiban pada agama yaitu zakat. Sehingga tujuan awal dari zakat dan pajak yang untuk kesejahteraan bersama, secara kalkulasi matematis akan sangat membebani umat Islam dan menjauhkannya dari idaman kesejahteraan itu sendiri. Tingkat kesejahteraan umat Islam akan tertinggal jauh dari penganut agama lain yang hanya dibebani pajak oleh negara saja. Padahal zakat dan pajak memiliki tujuan yang sama
2
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
untuk mencapai pemerataan ekonomi dan kesejahteraan bersama, kecuali hanya berbeda sandaran legitimasinya saja. Perubahan perundangan-undangan zakat yang berlaku di negara ini yakni dari UU Zakat No. 38 Tahun 1999 menjadi UU Zakat No. 23 Tahun 2011, merupakan sinyalemen yang baik baik umat Islam. Meskipun perubahan perundang-undangan tersebut tidak begitu signifikan, akan tetapi tetap ada poin penting yang harus kita cermati bersama terutama pada pasal 22, UU No. 23 Tahun 2011, yaitu Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Kemudian dilanjutkan pasal 23 ayat (1) yang berbunyi BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. Ayat (2)Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Penegasan pasal 22 dan pasal 23 pada UU No. 23 Tahun 2011 tersebut, jelas terlihat adanya perubahan mindset kebijakan pemerintah Indonesia atas ketidakadilan yang diterima umat Islam di Indonesia. Subtansi perubahan tersebut memberikan penekanan bahwa zakat dapat dijadikan sebagai pengurang pajak. Sejak diundangkannya UU No. 23 Tahun 2011, maka seharusnya sudah diberlakukan keberadaan zakat sebagai pengurang pajak. Masyarakat muslim Indonesia yang telah membayar zakat, seharusnya pembayaran zakatnya tersebut dapat diklaimkan sebagai pengurang kewajiban membayar pajak. Praktek penerapan hal ini dapat dilakukan secara tersistematiskan melalui aparatur negara yang membidanginya, atau melalui media-media yang dianggap kompeten untuk penerapannya. Namun kenyataannya, masih banyak masyarakat belum mengetahui secara jelas terhadap maksud dan tujuan dari pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011 tersebut. Terbukti dalam prakteknya masyarakat yang telah membayar zakat, pajaknya tetap saja dipungut sebagaimana biasa. Contoh kasuistiknya di Kabupaten Lumajang, bahwa di Kabupaten Lumajang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) selain wajib membayar pajak setiap bulannya, ia juga diwajibkan membayar zakat setiap tahun yang pungutannya dilakukan setiap bulan melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS Kabupaten)2 Lumajang. Di sinilah letak kekarutmarutan UU No. 23 Dalam UU No.23 tahun 2011, istilah Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) sudah tidak dipergunakan lagi 2
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
3
Abdul Mujib
Tahun 2011, satu sisi pemerintah menetapkan UU mengenai zakat pengurang pajak, namun di sisi lain pemerintah belum siap untuk mengaplikasikannya. Selain itu terdapat problem bawaan yang selalu menyertai dalam catatan sejarah pengumpulan zakat. Problematika historis dan fakta kekiniannya dalam pengumpulan zakat adalah keengganan sebagian besar orang-orang Islam yang memiliki kewajiban zakat untuk mengeluarkan zakatnya. Tidak semua muslim memiliki kesadaran untuk mengeluarkan zakatnya, meskipun perintah zakat sudah sangat jelas dan tegas dalam Islam. Pada masa khalifah Abu Bakar, problem historisitas pengumpulan zakat tersebut sangat terlihat, bahwa khalifah Abu Bakar dihadapkan pada realitas keengganan sebagian orang Islam untuk mengeluarkan zakat, sehingga khalifah Abu Bakar melakukan penekanan atau paksaan bagi orang Islam yang tidak mau melaksanakan zakat tersebut. Abu Bakar dan para sahabat lain dengan gigih memerangi orang-orang Islam yang tidak mau berzakat, yang kemudian lebih dikenal sebagai perang “Riddah” (perang melawan kemurtadan).3 Pembacaan realitas historis dan fakta kekinian tersebut, tarikan kontekstualisasi problemnya adalah kita dihadapkan pada masalah yang sama dalam kaitan pengumpulan zakat. Indonesia sebagai negara dengan pemeluk agama Islam yang terbesar di dunia, faktanya tidak mampu menjadikan zakat sebagai solusi problem (problem solving) mengatasi kemiskinan. BAZ maupun LAZ sebagai institusi yang memiliki tugas untuk mengumpulkan dana zakat sebagaimana amanat UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat4, belum mampu memerankan fungsi secara maksimal dalam prakteknya. Hal tersebut selain dikarenakan problem konstitusi kita yang tidak memberi sanksi hukum secara tegas bagi wajib zakat yang melanggar, juga dikarenakan kurangnya daya kreatifitas dan inovasi pengelola BAZ dan LAZ dalam meyakinkan para wajib zakat. Maka dari itu, tulisan ini akan membahas mengenai konsep zakat dan telaah UU Zakat No.23 Tahun 2011 serta penerapannya di Indonesia. Tulisan ini 3Simak
pada Karen Amstrong, Islam: a Short History, (New York, Random Haouse, 2000), hal. XI-XII. Baca pula Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h.36. 4 Perhatikan kembali UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
4
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
melakukan telaah terhadap UU Zakat No.23 tahun 2011, karena hanya UU tersebut yang merupakan aturan legal formal yang seharusnya diterapkan di masyarakat, selain juga diperkuat dengan hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KONSEP ZAKAT DI INDONESIA BERDASARKAN UU NO.23 TAHUN 2011 Zakat merupakan salah satu bentuk peribadatan dalam Islam.Islam mengajarkan keseimbangan dalam beribadah, baik ibadah yang hubungannya secara vertikal kepada Allah SWT maupun ibadah dengan membangun kesalehan sosial. Bentuk keseimbangan ibadah tersebut terwujud dengan tidak adanya penegasian antara ibadah yang satu dengan lainnya. Misalnya, perintah zakat dalam al-Qur‟an selalu diulang-ulang bahkan hampir selalu bersanding dengan perintah shalat. Ibadah shalat sebagai wujud hubungan vertikal, sedang ibadah dengan kesalehan sosial salah satu bentuknya teraplikasikan dalam zakat.5 Dari sini dapat difahami bahwa formulasi zakat ini benar-benar sebagai bentuk pengejawantahan nilai humanitas agama Islam sebagai agama rahmatan lil‟alamin.6 Secara historis, eksistensi zakat telah menunjukkan peranannya dari masa Rasulullah Muhammad SAW sampai para sahabat bahkan hingga saat ini. Pada masa Rasulullah Muhammad SAW, zakat yang diperoleh dari muzakki7dikelola secara maksimal oleh lembaga zakat yang bernama Baitul Mal. Maksimalisasi pengelolaan zakat oleh Lihat pada: Farida Prihatini d.k.k, Hukum Islam Zakat & Wakaf: Teori dan Prakteknya di Indonesia,(Jakarta, Papas Sinar Sinanti, 2005), hal. 51. Atau dapat pula dilihat pada: Muhadi Zainuddin, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, (Jogyakarta, UII Press Jogyakarta, 2000), hal. 111-113. Juga dapat dilihat pada: Imam Saefudin, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1999), hal. 125. 6 Sementara definisi zakat secara konstitusional dapat dilihat pada UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 1 ayat 2, Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Sementara secara bahasa adalah membersihkan, silahkan simak pada Abi Bakrin al Masyhuri, „Ianatut Thalibin Juz 3,(tt, tp, tt), hal. 147. 7 Muzakki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat, silahkan lihat UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 1 ayat 5. 5
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
5
Abdul Mujib
Baitul Mal, terlihat dari fungsi yang diperankannya. Bahwa secara fungsional Baitul Mal sebagai lembaga yang salah satu fungsinya mengelola zakat, tidak sekedar memposisikan diri sebagai penyalur atau regulator zakat dari muzakki ke mustahiq8saja, akan tetapi justeru tampil jauh dari hal tersebut. Harta yang terkumpul dikelola untuk pembiayaan negara dan syiar Islam, selain didistribusikan untuk alashnaf al- tsamaniah.9 Keberhasilan Islamisasi di awal perkembangan Islam yang tidak lepas dari sokongan donasi Baitul Mal sebagai bukti bahwa zakat memiliki peranan penting dalam khazanah keislaman.10 Demikian pula di Indonesia saat ini, zakat juga memiliki potensi besar untuk mengatasi kemiskinan, turut mencerdaskan anak bangsa, sebagai penyokong pembangunan dan sebagainya. Pengertian Zakat Berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Dilanjutkan oleh pasal 1 ayat (5) bahwa seorang muslim atau badan usaha yang wajib mengeluarkan zakat dinamakan muzakki, sedangkan ayat (6) menyatakan bahwa seorang muslim yang berhak menerima zakat adalah mustahiq. Dasar Hukum Zakat Zakat dalam upaya implementasi keshalehan sosial tentu saja mempunyai dasar hukum yang kuat, yaitu berupa al Qur‟an dan hadits. Dalam al Qur‟an salah satunya padasurat at Taubah ayat 103: Mustahiq adalah orang yang berhak menerima zakat. Lihat kembali UU Nomor 23 Tahun 2011 pasal 1 ayat 6. 9 Memang persepsi terhadap Baitul Mal oleh para ahli dan sarjana ekonomi masih dalam ruang diskursus. Satu sisi mempersepsikan Baitul Mal laksana bank sentral saat ini, disisi lain mengibaratkan menteri keuangan, bendahara negara atau dapat kita ibaratkan BAZ saat ini. Akan tetapi secara fungsional bahwa Baitul Mal untuk menyeimbangkan pendapatan dan belanja negara, tidak mengalami pertentangan. Baca pada: M.A Mannan, Teori dan Praktek:Ekonomi Islam, terj. (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa; 1997), baca pula Muhammad Ridlwan, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta: UII Press, 2004), hal. 56-57. 10 Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h.105 8
6
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
“Dan dirikankanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan” (Q.S al-Baqarah ayat 110), ada pula Q.S al Hajj:78, Q.S al Muzammil: 20 d.l.l Diperkuat dengan hadits riwayat Ibnu Abbas R.A:”....…terangkanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan mereka shalat lima kali sehari semalam. Kalau mereka telah mentaatinya, beritahukanlah kepada mereka supaya mereka membayar zakat mereka dan diberikan kepada orang yang miskin. Jika itu telah dipatuhi oleh mereka yang paling berharga. Takutilah doa orang yang teraniaya karena sesungguhnya antara dia dan Allah tidak ada dinding” Serta ada sekitar 27 ayat al Qur‟an yang menggandengkan perintah shalat dengan perintah zakat11, artinya zakat merupakan implementasi keshalehan sosial setelah keshalehan individu terpenuhi. Muzakki dan Mustahiq Zakat Muzakki sebagaimana disinggung di atas, merupakan seorang muslim atau badan usaha yang wajib mengeluarkan zakat dari harta yang dimilikinya (Pasal 1 ayat 5). Sedangkan Mustahiq adalah seorang muslim yang berhak menerima zakat (Pasal 1 ayat 6). Dalam UU belum tercover kategorisasi tentang muzakki dan mustahiq secara spesifik. Padahal zakat dalam hal ini dipraktekkan di negara Indonesia yang notabene masyarakatnya bervariatif, tidak terkategorisasi sebagaimana dalam surat at Taubah ayat 60, yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk dijalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. (QS. At Taubah: 60). Maka dari itu, sebagai rujukan UU zakat juga perlu memberikan kriteria siapa saja yang termasuk dalam kategori muzakki dan siapa saja yang termasuk mustahiq, karena jumlah mustahiq dalam al Qur‟an ditentukan sebanyak 8 ashnaf perlu 11
Yusuf Qardhawi, Fiqih Zakat (Dirasah Muqaranah Lil Ahkamiha wa Filsafatiha fi dhoui al Qur‟an wa as Sunnah,(Libanon: Muassah Risalah, 2000), h. 147.
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
7
Abdul Mujib
dikonversi dalam versi Indonesia. Sebagaima yang diungkapkan oleh M. Arif Mufraini dalam bukunya Akuntansi dan Manajemen Zakat bahwa Allah SWT telah menentukan golongan-golongan tertentu yang berhak menerima zakat, dan bukan diserahkan kepada pemerintah untuk membagikannya sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, zakat harus dibagikan kepada golongan-golongan yang sudah tertera dalam surat at Taubah ayat 60. Yaitu antara lain; fakir, miskin, „amil, mu‟allaf, gharim, fisabilillah, ibnu sabil dan riqab, meskipun dalam konteks ini masih diperlukan kajian ulang tentang penafsiran pada surat at Taubah ayat 60. Pengelolaan dan Pendistribusian Zakat Pengertian Pengelolaan Zakat Berdasarkan Undang-undang zakat No. 23 Tahun 2011 Pasal 1 yang dimaksud dengan pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Sedangkan menurut UU ini pula dalam pasal 2 dinyatakan bahwa zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. Asas dan Tujuan Pengelolaan Zakat Menurut Undang-undang zakat no.23 tahun 2011 Pasal 2 Pengelolaan zakat berasaskan: a). syariat Islam; b). amanah; c). kemanfaatan d). keadilan; e). kepastian hukum; f). terintegrasi; dan g). akuntabilitas. Sedangkan tujuan pengelolaan zakat sesuai dengan UU zakat no.23 tahun 2011 menyatakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan: a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Organisasi Pengelolaan Zakat Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap umat Islam. Dalam konteks Indonesia sebagai salah satu negara multikultural dengan mayoritas penduduk muslim, pengelolaan dana zakat menjadi hal yang signifikan. Oleh karena itu,
8
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
mengikuti jejak Rasulullah dan Khulafaurrasyidun, pemerintah Indonesia mencoba untuk campur tangan dalam pengelolaan zakat dengan Kementerian Agama sebagai mediasinya. Keberadaan Badan Amil Zakat (BAZ) merupakan mediator antara muzakki (orang yang wajib zakat) dan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) Ternyata hanya sebagian kecil potensi dana zakat saja yang berhasil dikumpulkan dan didistribusikan kepada yang berhak.12 Kita bisa melihat bahwa pengelolaan dana zakat hanya berlaku sporadis atau kurang terorganisir. Kehadiran UU No. 38 tahun 1999, isu yang muncul kemudian adalah mempertanyakan akan kemampuan sistem zakat sebagai solusi kemiskinan dan pemerataan. Apalagi saat ini, UU tersebut direvisi menjadi UU No.23 tahun 2011. Buku „Panduan Zakat Praktis‟ (Institut Manajemen Zakat/ IMZ) menyebutkan hipotesis awal potensi zakat yang ada di Indonesia adalah dengan jumlah penduduk 204,8 juta jiwa, dapat diperkirakan 83% (166 juta jiwa) penduduk muslim. Dengan asumsi penduduk yang telah berkewajiban zakat adalah mereka yang memiliki pengeluaran di atas Rp. 200.000 perkapita/per bulan, maka jumlahnya 18,76%.13 Apabila dikurangi dengan berbagai kebutuhan, maka rata-rata harta yang wajib dizakati dari harta wajib zakat per nisab adalah 30 juta lebih. Nisab aset wajib zakat pada umumnya setara dengan 85 gram emas. Jika harga emas Rp. 60.000/ gram, maka zakat yang dapat dihimpun dari sektor ini setiap tahunnya adalah 2,5% x 85 x Rp.60.000 x 30 juta = Rp. 3.825.000.000.000 (3,8 triliun) Pengelolaan dana tersebut, sebagaimana disinggung di atas, di Indonesia diberikan otoritasnya kepada BAZ yang dibentuk oleh pemerintah dan LAZ yang dibentuk oleh masyarakat/ swasta. Berdasarkan keputusan Menteri Agama Republik tentang pelaksanaan UU No.23 tahun 2011 pemerintah membentuk BAZNAS untuk melaksanakan pengelolaan zakat (Pasal 5 ayat 1). BAZNAS yang dimaksud berkedudukan di ibu kota negara (Pasal 5 ayat 2). BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang Dalam buku Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h129 berdasarkan data dari Abu Syauki (Direktur Rumah Zakat Indonesia DSUQ), bahwa potensi zakat di Indonesia pada tahun 2004 mencapai Rp. 9 triliun. Namun, hingga kini baru Rp. 250 miliar atau 2,7% yang berhasil dihimpun oleh lembaga-lembaga pengelola zakat (Tazkiah- PZU Persis, Juli 2004) 13 Berdasarkan data SUSENAS tahun 1999, saat ini data tersebut bisa berubah. 12
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
9
Abdul Mujib
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri (Pasal 5 ayat 3). Dalam melaksanakan tugas, BAZNAS menyelenggarakan fungsi (Pasal 7 ayat 1): a). Perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b). Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c). Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan d). Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 7 ayat 2). BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun (pasal 7 ayat 3). Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota (Pasal 15 ayat 1). BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS (pasal 15 ayat 2). BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS (pasal 15 ayat 3). Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan pembentukan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS (pasal 15 ayat 4). BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing (pasal 15 ayat 5). Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya (pasal 16 ayat 1). Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
Dari segi Undang-undang yang memaparkan secara gamblang mengenai struktur pelaksana pengelola zakat sudah ideal, hanya saja peneliti melihat pelaksanaannya masih timpang dan jauh dari kata sempurna.Namun, hal ini semua menyadari kondisi seperti ini sepenuhnya dipengaruhi oleh ada dan tidak adanya political will dari pemerintah sendiri. Selain itu, masih kurangnya kesadaran dari masyarakat Indonesia mengenai aset wajib zakat.14 Untuk itu dalam upaya menyerasikan gerakan sadar zakat yang diinginkan pemerintah dan umat muslim, perlu adanya suatu mekanisme komunikasi massa yang mengarahkan konsep strategi dan pemetaan kelompok surplus dan defisit pada setiap jaringan sel yang ditangani BAZ maupun LAZ mulai pada tingkat terkecil yaitu keluarga, kelurahan, kecamatan dan provinsi hingga nasional. Selain BAZNAS organisasi pengelola zakat yang lainnya secara resmi berdasarkan UU zakat adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ).Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ (pasal 17). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.(Pasal 18 ayat 1). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit: a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial; b. Berbentuk lembaga berbadan hukum; c. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. Memiliki pengawas syariat; e. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya; f. Bersifat nirlaba; g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan h. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala. LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala. (pasal 19). Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: GIP Jakarta, 2002), h.2 14
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
11
Abdul Mujib
perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam pelaksanaan pengelolaan zakat, seharusnya organisasi pengelola zakat memanfaatkan masjid sebagai infrastruktur umat pertama kali. Artinya masjid bisa dijadikan sebagai UPZ yang bergerak langsung ke akar rumput. Karena hanya masjidlah bangunan yang pasti ada di setiap pelosok daerah Indonesia. Tak kurang dari 700.000 buah masjid yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Selama ini fungsi dakwah masjid masih kebanyakan untuk pengumpulan dana zakat masih diwakili oleh “management TOA” atau manajemen yang hanya bertumpu kepada pengeras suara masjid, dimana setiap ramadhan ta‟mir masjid bersegera membentuk amil pengumpul dana zakat, untuk kemudian dibagikan di akhir bulan ramadhan. Begitu seterusnya diulang setiap tahun. Pola kerja inilah yang harus diperbaiki. Umat harus belajar mengorganisir dirinya sendiri kalau memang political will dari pemerintah tidak begitu kuat. Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan dan Pelaporan Dana Zakat Pengeloaan dana zakat memerlukan optimalisasi sistem distribusi dana zakat. Dana zakat pada awalnya lebih didominasi oleh pola pendistribusian secara konsumtif, namun demikian pada pelaksanaan yang lebih mutakhir saat ini, zakat mulai dikembangkan dengan pola distribusi dana zakat secara produktif. Untuk pendayagunaan dana zakat bentuk inovasi distribusi dikategorikan dalam empat bentuk berikut15: a. Distribusi bersifat konsumtif tradisional, yaitu zakat dibagikan kepada mustahik untuk dimanfaatkan secara langsung, seperti zakat fitrah yang diberikan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat mal yang dibagikan kepada korban bencana alam b. Distribusi bersifat konsumtif kreatif yaitu zakat diwujudkan dalam bentuk lain dari barangnya semula, seperti diberikan dalam bentu alat-alat sekolah atau beasiswa c. Distribusi bersifat produktif tradisional dimana zakat diberikan Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Kemenag, Pedoman Zakat, (Jakarta: Kemenag RI, 2002), h.244 15
12 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
dalam bentuk barang-barang yang produktif, seperti kambing, sapi,alat cukur dan lain sebagainya. Pemberian dalam bentuk ini akan dapat menciptakan suatu usaha yang membuka lapangan kerja bagi fakir miskin. d. Distribusi dalam bentuk produktif kreatif, yaitu zakat diwujukan dalam bentuk permodalan baik untuk membangun proyek sosial atau menambah modal pedagang dan pengusaha kecil. Pola distribusi lainnya, yang sangat menarik untuk segera dikembangakan adalah pola menginvestasikan dana zakat. Konsep ini, belum pernah dibahas baik oleh ulama‟ modern maupun ulamaulama salaf (terdahulu), dengan begitu konsep ini membuka pintu ijtihad bagi setiap pemikir Islam untuk memformulasikan kembali pola distribusi ini. Pola distribusi produktif sangat efektif untuk dapat memproyeksikan perubahan seorang mustahik menjadi muzakki, sedangkan untuk pola menginvestasikan dana zakat diharapkan dapat efektif memfungsikan sistem zakat sebagai suatu bentuk jaminan sosiokultural masyarakat muslim, terutama untuk kelompok miskin/ defisit atau dengan kata lain sekuritisasi sosial. Secara terperinci Undang-undang zakat no.23 tahun 2011 menjelaskan hal tersebut dalam beberapa pasal berikut ini: - Mengenai pengumpulan dana zakat dijelaskan dalam pasal 21 yang berisi: (1). Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya. (2). Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta bantuan BAZNAS. - Terdapat juga dalam Pasal 22, yang berbunyi: Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak. - Sedangkan Pasal 23 membahas tentang: (1). BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki. (2). Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. - Pasal 24 berbunyi: Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah - Pendistribusian zakat sebagaimana dibahas di pasal 25 zakat wajib didistribusikan kepada mustahiq sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
13
Abdul Mujib
dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.(Pasal 26) - Pendayagunaan zakat dibahas di Pasal 27 yang menyatakan; (1). Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. (2). Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri TELAAH PENERAPAN UU NO. 23 TAHUN 2011 DI INDONESIA Dari konsep zakat yang diambil dari UU No.23 tahun 2011 sebagaimana diterangkan di atas, penerapan manajemen zakat merupakan hal yang mutlak harus dilakukan guna tercapainya idealitas konsep yang sudah di undang-undangkan. Kehadiran zakat UU No.23 Tahun 2011 sebenarnya merupakan kelanjutan dari keberadaan UU zakat No.38 tahun 1999. UU zakat No 38 tahun 1999 merupakan angin segar bagi umat Islam untuk melegal formalkan kewajiban berzakat di kalangan masyarakat muslim. Karena memang selama ini potensi zakat, khususnya zakat mal yang ada di kalangan umat muslim Indonesia belum terserap. Kehadiran UU zakat No. 38 tahun 1999 berupaya untuk memperluas cakupan pengelolaan zakat tidak hanya bisa dilakukan secara tradisional tetapi juga dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta. UU No.38 tahun 1999 dirasa belum bisa menjadi representasi dari praktek berzakat umat muslim di Indonesia, akhirnya dilahirkan UU zakat yang baru yaitu UU zakat No.23 tahun 2011. Apabila kita telaah secara substansi, tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan antara UU No. 38 tahun 1999 dengan UU No. 23 tahun 2011. Hanya yang terlihat perbedaan mengenai pengelolaan zakat. Pada UU No. 23 tahun 2011, pengelola zakat yang di bawah pemerintah adalah BAZNAS dan di bawahnya dibantu dengan UPZ (Unit Pengumpul Zakat) yang didirikan oleh swadaya masyarakat maupun didirikan oleh pemerintah. Sehingga, UPZ bisa berasal dari lembaga resmi pemerintah dan lembaga swasta. Dalam hal ini, pemerintah lebih memperketat lagi adanya izin dari Lembaga Amil Zakat (LAZ), sebab berdasarkan UU ini, LAZ termasuk salah satu UPZ. Sebab realita di lapangan; LAZ lebih banyak mendapatkan kepercayaan masyarakat
14 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Penerapan UU Zakat No. 23 Tahun 2011 …
dalam mengelola dana zakat dibandingkan dengan BAZNAS. Selain itu, penerapan UU zakat No. 23 tahun 2011 terasa setengah hati, terbukti dari realisasi dualisme zakat dan pajak yang belum pernah berujung. Memang dalam UU berbunyi bahwa zakat dikurangkan dari penghasilan kena pajak (Pasal 22), tapi kenyataannya belum bisa terealisasi secara tepat. Sebab, penulis melihat bahwa ketika UU ini diberlakukan maka harus ada sinergi antara BAZNAS, LAZ/ UPZ dengan lembaga perpajakan negara. Sehingga, jika seorang muslim sudah membayarkan zakatnya kepada lembaga resmi pengumpul zakat, bukti yang dimiliki bisa disetorkan kepada dinas perpajakan, dan pihak perpajakan bisa mengurangi pajak yang dikenakan atau bahkan meniadakan sama sekali. Kajian dualisme zakat dan pajak di Indonesia ini memang belum berujung, meskipun secara tegas UU No.23 tahun 2011 sudah menawarkan solusi. Sehingga terkesan kewajiban muslim Indonesia itu sangat berat, pajak merupakan kewajiban yang harus dilakukan kepada negara dan zakat harus dilakukan sebagai kewajiban agama. Seharusnya dengan adanya Pasal 22 dari UU No. 23 tahun 2011, dualisme tersebut bisa terselesaikan agar perdebatan tidak terus berlanjut dari tahun ke tahun. Akhirnya kehadiran UU No. 23 tahun 2011 terkesan politis saja, karena dalam penerapannya belum bisa maksimal, terbukti juga BAZNAS- BAZNAS yang dikelola pemerintah belum bekerja maksimal dan skala pengelolaan dana zakat masih berada di bawah LAZ, serta yang paling penting adalah penyadaran terhadap muzakki dengan kewajiban zakat mal dan penyetoran zakat mal melalui BAZNAS maupun UPZ. Kalau UU ini terealisasi secara ideal, maka tidak perlu lagi ada berita-berita kematian pada saat pembagian zakat. Masyarakat muslim Indonesia tidak perlu bingung kemana ia bisa menyalurkan dana zakatnya. Tentu saja dengan catatan, bahwa BAZNAS dan UPZ merupakan lembaga yang betul-betul bisa dipercaya dan jauh dari unsur korupsi. KESIMPULAN Dari kajian yang dilakukan terhadap penerapan UU zakat No.23 tahun 2011, maka secara realisasi belum bisa dilakukan secara maksimal. Dalam tataran ide, sudah terkonsep secara mapan, akan tetapi dalam realitas belum bisa tercapai. Salah satu penyebab terhambatnya realisasi UU tersebut adalah belum adanya sinergi
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
15
Abdul Mujib
antara lembaga-lembaga yang terkait dengan pengelolaan zakat. Selain itu, pembuatan UU yang terkesan sebagai ”tambal butuh” (yang penting ada) ini masih kental terlihat pada UU No. 23 tahun 2011. Sehingga anggapan adanya politisasi terhadap kehadiran UU No. 23 tahun 2011 ini masih kuat dari beberapa aspek dan golongan. DAFTAR PUSTAKA Amstrong, Karen, 2000, Islam: a Short History, New York, Random Haouse. Azhar Karim, Adiwarman, 2004, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Pers. Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Kemenag, 2002, Pedoman Zakat, Jakarta: Kemenag RI. Hafiduddin, Didin, 2002, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: GIP Jakarta,. Mannan, M.A, 1997, Teori dan Praktek:Ekonomi Islam, terj. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. al Masyhuri, Abi Bakrin, tt., „Ianatut Thalibin Juz 3, tt, tp Mufraini, Arif, 2006, Akuntansi dan Manajemen Zakat, Jakarta: Prenada Media. Prihatini, Farida d.k.k, Hukum Islam Zakat & Wakaf: Teori dan Prakteknya di Indonesia, Jakarta, Papas Sinar Sinanti, 2005. Qardhawi, Yusuf, 2000, Fiqih Zakat (Dirasah Muqaranah Lil Ahkamiha wa Filsafatiha fi dhoui al Qur‟an wa as Sunnah, Libanon: Muassah Risalah. Ridlwan, Muhammad, 2004, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil (BMT), Yogyakarta: UII Press. Saefudin, Imam, 1999, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, Bandung, CV Pustaka Setia. Undang-Undang Zakat No. 23 tahun 2011 Undang-Undang Zakat No. 38 tahun 1999 Yatim, Badri, 1994, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Zainuddin, Muhadi, 2000, Sistem Ekonomi Islam: Pilihan Setelah Kegagalan Sistem Kapitalis dan Sosialis, Jogyakarta, UII Press Jogyakarta.
16 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014