EDISI V Tahun 2014 | MARET 2014
Ketahanan Energi: Idealitas versus Realitas UTAMA: n Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia n Potret Kinerja Migas Indonesia EDUKASI FISKAL n Demokrasi, Pemilu, dan Tantangan Fiskal OPINI: n Berharap ECA Indonesia yang Lebih Agresif
EDISI V Tahun 2014 | MaRET 2014
Ketahanan Energi: Idealitas versus Realitas UTAMA: n Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia n Potret Kinerja Migas Indonesia EDUKASI FISKAL n Demokrasi, Pemilu, dan Tantangan Fiskal OPINI: n Berharap ECA Indonesia yang Lebih Agresif
Daftar Isi Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Sri Bagus Guritno Dewan Redaksi: Abdul Aziz Hadi Setiawan Rahmat Mulyono Penyunting: Syahrir Ika Hidayat Amir Desain Grafis dan Layout: Tim Grafis Kreasitama Sekretariat: Hendro Ratnanto Sigit Purnomo Indra Setiawan Moh. Kharis Syukron Penerbit: Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal
www.pusatpengobatan.com
UTAMA: l Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia..........4-8 Riza Azmi dan Hidayat Amir l Potret Kinerja Migas Indonesia...........................................................................9-14 Mohamad Nasir l Konversi BBM ke BBG: Belajar dari Pengalaman............................................ 15-18 Hadi Setiawan l Ketahanan dan Kedaulatan Energi Indonesia................................................19-24 Akhmad Yasin EDUKASI FISKAL l Demokrasi, Pemilu, dan Tantangan Fiskal....................................................... 25-31 Syahrir Ika l Energi Terbarukan, Apa dan Mengapa.......................................................... 32-36 Widodo Ramadyanto OPINI: l Berharap ECA Indonesia yang Lebih Agresif................................................... 37-41 Ivan Yulianto l Mencapai Ketahanan Energi Dengan Pembangunan Kilang Minyak Melalui Skema Kerjasama Pemerintah Swasta............................................................ 42-45 Eko Nur Surachma
Alamat: Gedung R.M. Notohamiprodjo Lantai 4, Jalan Dr. Wahidin No.1 Jakarta 10710. Telp: (021) 3846725 Fax: (021) 3452571 Email:
[email protected] Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Editorial JAMINAN KESEHATAN NASIONAL Perlindungan Sosial yang Dinantikan Rakyat
T
anggal 1 Januari 2014 akan menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada hari itu, Pemerintah memukul genderang mulai beroperasinya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. BPJS Kesehatan adalah sebuah lembaga yang dibentuk dengan Undang-Undang untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pengoperasian BPJS ini menandakan bahwa Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk menjamin kesehatan rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial dari negara terhadap rakyatnya. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Tujuan JKN adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak tanpa membedakan status sosial maupun ekonomi. JKN diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Seluruh warga, termasuk para pekerja formal maupun nonformal diwajibkan oleh Undang-Undang untuk menjadi peserta dan membayar iuran. Sementara itu, bagi penduduk yang tidak mampu, Pemerintah akan menanggung iuran jaminan kesehatan dengan mengalokasikan anggaran untuk Penerima Bantuan Iuran/PBI. Semua peserta dalam program JKN akan mendapatkan manfaat medis yang sama, sementara manfaat nonmedis (misalnya akomodasi rawat inap) dapat berbeda tergantung golongan bagi PNS, gaji/ upah bagi pegawai swasta, dan besaran iuran bagi pekerja nonformal. Implementasi SJSN yang diawali dengan beroperasinya BPJS Kesehatan dan program JKN merupakan suatu terobosan besar yang dilaksanakan oleh Pemerintah. Namun demikian, tidak sedikit pihak yang menyangsikan apakah program JKN dan BPJS Kesehatan akan berjalan mulus. Dari sisi supply, jumlah infrastruktrur layanan kesehatan dan tenaga medis masih belum memadai baik kualitas maupun kuantitasnya ditambah lagi persebarannya juga tidak merata. Dari
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
sisi tarif untuk jasa layanan, termasuk obat, alat kesehatan dan jasa dokter, masih banyak yang menilai tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah tidak wajar. Hal ini dikhawatirkan membuat banyak penyedia jasa layanan enggan untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Selain itu juga ada persoalan kemauan (willingness) dan kemampuan para pekerja nonformal untuk membayar iuran. Sementara dari sisi data PBI, masih perlu koordinasi yang lebih insentif antara pemerintah pusat dan daerah sehingga diperoleh data yang valid mengenai jumlah penduduk yang layak menerima bantuan iuran. Hal-hal tersebut adalah sebagian permasalahan yang dihadapi dalam implementasi JKN. Di samping berbagai persoalan tersebut, terdapat potensi risiko fiskal yang dapat membenani APBN. Di antaranya adalah ketidaksesuaian antara iuran dan manfaat; adverse selection; dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga keberlangsungan program JKN jika terjadi hal-hal/kejadian ���������������������������������������� yang memang disebabkan di luar kendali baik oleh badan penyelenggara maupun pemerintah. Potensi risiko fiskal dari program JKN dan mitigasinya akan dibahas lebih lanjut dalam artikel Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) edisi kali ini. Para cendekia sering berujar, kalau anda ingin sukses, maka anda harus memulai. Program JKN merupakan kesempatan emas bagi negara ini dalam memperbaiki sistem jaminan sosial yang selama ini dijalankan. Keberhasilan program ini Jaminan Kesehatan Nasional tentunya memerlukan waktu. Dengan semua permasalahan yang dihadapinya, kita harus tetap optimistis bahwa program ini akan menjadi semakin baik seiring berjalannya waktu. Pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar untuk keberlangsungan dan keberhasilan program JKN. Oleh karenanya setiap komponen penyelenggara jaminan sosial harus bahu membahu bekerja keras, bukan justru mengambil manfaat individual atas perubahan ini. Sementara itu, masyarakat juga perlu turut serta mengawasi agar program JKN tidak menyimpang dari tujuan awal dan ketentuan yang berlaku. Mari kita sambut era baru jaminan sosial di negeri kita ini dengan optimisme dan harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia! n Syahrir Ika
Ketahanan Energi: Konsep, Kebijakan dan Tantangan bagi Indonesia Oleh: Riza Azmi dan Hidayat Amir
Staf dan Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email:
[email protected] dan
[email protected]
U T A M A
K
etahanan energi kembali menjadi topik pembicaraan yang hangat. Belum lama ini Pemerintah mengabarkan stok minyak mentah Indonesia hanya cukup untuk persediaan 3-4 hari, sedangkan stok bahan bakar minyak (BBM) di stasiun penyedia bahan bakar umum (SPBU) PT Pertamina hanya mampu melayani kebutuhan konsumsi kendaraan bermotor selama 21 haria. Akibatnya, timbul kekhawatiran publik atas kehandalan pasokan bahan bakar dalam memenuhi permintaan masyarakat sekaligus ketergantungan terhadap impor, khususnya dari kilang minyak Singapura. Kekhawatiran ini menimbulkan pertanyaan seberapa jauh ketersediaan energi bisa menjamin terpenuhinya permintaan energi sebagai komponen utama kegiatan ekonomi. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis akan mengulas secara singkat mengenai konsep ketahanan energi yang berlaku umum, arah kebijakan dan tantangan dalam menjaga ketahanan energi dalam negeri yang disertai dengan perkembangan profil sumber dan kebutuhan energi nasional. International Energy Agency (IEA) mendefinisikan ketahanan energi sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang terjangkau. Lebih lanjut,
ukuran yang dipakai untuk menilai suatu negara dikatakan memiliki ketahanan energi apabila memiliki pasokan energi untuk 90 hari kebutuhan impor setara minyak. Ketahanan energi dianggap penting karena energi merupakan komponen penting dalam produksi barang dan jasa. Segala bentuk gangguan yang dapat menghambat ketersediaan pasokan energidalam bentuk bahan bakar primer (BBM, gas dan batubara) maupun kelistrikan dapat menurunkan produktivitas ekonomi suatu wilayah dan jika magnitude gangguan sampai pada tingkat nasional dapat membuat target pertumbuhan ekonomi meleset dari yang ditetapkan. Menurut Yergin (2006) ketahanan energi mulai menjadi isu global ketika Arab Saudi menghentikan ekspor minyak mentahnya ke negara-negara industri pada awal dekade 70-an. Pada era tersebut, minyak merupakan sumber energi yang paling vital bagi negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, sedangkan Arab Saudi merupakan eksportir utama. Tindakan sepihak Arab Saudi tersebut praktis mengganggu aktivitas perekonomian negara-negara importir minyak tersebut; yang waktu itu hanya bergantung pada minyak Saudi Arabia. Dunia internasional kemudian menjadi sadar terhadap pentingnya
menjaga pasokan agar tidak bergantung pada satu jenis sumber energi dan satu produsen energi. Mengacu kepada konsep ketahanan energi yang didefinisikan oleh IEA di atas dan merujuk kepada teori dasar mikroekonomi, menurut penulis ada tiga komponen dasar dalam menjaga keberlangsungan pasokan energi, yaitu: (1) estimasi permintaan energi yang presisi sebagai dasar perencanaan penyediaan pasokan energi, (2) kehandalan (reliability) pasokan energi yang diusahakan oleh badan usaha, dan (3) harga energi yang menjadi sinyal bagi badan usaha untuk masuk dalam penyediaan energi. Harga energi menjadi begitu penting karena akan digunakan oleh pihak produsen dalam menghitung estimasi imbal hasil atas investasi yang dikeluarkan dalam penyediaan energi. Oleh karena itu, dalam kasus Pemerintah memberlakukan batasan atas harga energi pada level tertentu, tidak jarang investasi dalam pembangunan pembangkit listrik, kilang minyak, tambang batubara akan berkurang dan supply bahan bakar menghilang dari pasaran. Kebijakan Pemerintah diperlukan agar ketiga komponen tersebut direspon dengan baik oleh pelaku ekonomi (konsumen dan produsen) sehingga ketersediaan energi berada pada tingkat keseimINFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
bangan sesuai dengan kebutuhan konsumsi di dalam perekoonomian. Dari sisi manajemen risiko, kajian ketahanan energi biasanya berfokus pada risiko operasional kehandalan infrastruktur atau sarana penyediaan energi sebagaimana yang dijabarkan oleh Chester (2010) dan dikutip dalam Singh (2012). Manajemen risiko terhadap keseluruhan operasional menjadi begitu krusial agar terputusnya pasokan energi tidak terjadi. Namun demikian, ketahanan energi juga mencakup upaya diversifikasi energi dalam mengurangi ketergantungan pasokan energi pada salah satu jenis bahan bakar. Diversifikasi juga dilakukan dalam memperbaiki bauran energi dengan memperhatikan potensi cadangan sumber energi yang dimiliki (Chester, 2010).
Arah Kebijakan Energi Nasional Dari sisi kebijakan, Pemerintah telah mengundangkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang bertujuan untuk menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri. Beberapa sasaran kebijakan yang secara rinci diatur dalam Perpres tersebut adalah pada tahun 2025 terwujudnya elastisitas energi di bawah 1 dan pengurangan porsi BBM dalam komposisi energi primer hingga 20% dan optimalisasi bahan bakar batubara dan gas masing-masing lebih dari 33% dan 30%, serta sisanya dengan menumbuhkan sumber energi baru terbarukan (EBT). Untuk mencapai sasaran tersebut, terdapat dua kebijakan, yaitu (i) kebijakan utama yang mengatur penyediaan, pemanfaatan, kebijakan harga dan konservasi alam; dan (ii) kebijakan pendukung, yang mengarah kepada pengembangan infrastruktur, kemitraan pemerintah dan swasta, serta pemberdayaan masyarakat. INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Bila dilihat lebih lanjut, arah kebijakan energi nasional yang tertuang dalam Perpres No. 5/2006 adalah untuk mengoptimalkan penggunaan energi primer yang memiliki cadangan potensial dan menurunkan ketergantungan terhadap BBM. Dengan kecenderungan menipisnya cadangan minyak bumi dan menurunnya produksi minyak mentah sebagaimana dapat dilihat pada Gambar-1, kondisi ketahanan energi minyaksemakin rentan. Kerentanan atas produksi minyak juga terlihat dari terbatasnya kapasitas kilang minyak domestik dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah menerbitkan aturan tersebut untuk memanfaatkan sumber energi yang cadangannya lebih besar daripada minyak. Dengan demikian, ketergantungan terhadap BBM akan semakin berkurang. Untuk itu, optimalisasi penggunaan energi primer yang cadangannya relatif masih besar seperti bahan bakar gas dan batubara diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor BBM sekaligus menurunkan biaya konsumsi energi dan meringankan belanja negara untuk subsidi energi. Batubara merupakan sumber energi yang cadangannya relatif cukup besar. Berdasarkan data Kementerian ESDM, cadangan batubara diperkirakan sekitar 21 milyar ton,
sementara produksinya mencapai 353 ribu ton sepanjang tahun 2011. Kurang lebih 77% produksi batubara tersebut diekspor ke luar negeri. Berdasarkan data tersebut, potensi batubara cukup besar untuk ditingkatkan dalam bauran energi nasional mengingat perbandingan antara cadangan dengan produksi batubara mencapai puluhan ribu kali lipat. Selain batubara, gas juga merupakan energi yang memiliki cadangan yang potensial untuk dikembangkan. Total cadangan gas alam yang dimiliki Indonesia mencapai 150,7 TCF, sedangkan produksi di tahun 2012 sebanyak 3,1 juta MMSCF dan sekitar 43% produksi gas alam tersebut diekspor ke luar negeri. Pemerintah juga telah memberikan perhatian terhadap energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif dalam Perpres No. 5/2006. Komposisi panas bumi dalam bauran energi nasional ditargetkan meningkat hingga mencapai 17% pada tahun 2025 begitu juga dengan energi terbarukan lainnya seperti biomasa, nuklir, tenaga surya dan tenaga angin. Optimalisasi energi terbarukan dianggap langkah strategis karena setidaknya ada dua argumen utama. Pertama, dari sisi sumber daya, potensi panas bumi Indonesia cukup besar yaitu mencapai 29.038 GWe dan yang dikembangkan baru sebesar 1.226 WW,
Gambar-1. Perkembangan Cadangan dan Produksi Minyak Mentah Indonesia
Sumber: Kementerian ESDM, data diolah
U T A M A
sehingga masih ada potensi yang cukup besar untuk pengembangan energi panas bumi untuk kelistrikan nasional. Sedangkan potensi tenaga air diperkirakan sekitar 75.000 MW dengan kapasitas PLTA terpasang 5.711 MW. Selain itu, masih banyak potensi EBT yang lain, seperti: tenaga angin (bayu), bioenergi, dan tenaga surya. Kedua, energi terbarukan memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki oleh energi fosil, yaitu dapat dihasilkan secara alamiah secara terus menerus sehingga risiko akan hilangnya sumber energi sangatlah kecil dan time frame untuk pengembangannya bisa tak terbatas.
Implementasi Kebijakan
U T A M A
Berdasarkan data Kementerian ESDM, selama ini bauran energi nasional memang didominasi oleh penggunaan BBM sebagai sumber energi primer utama. Sebagaimana terlihat dalam Gambar-2, komposisi BBM dalam bauran energi nasional stabil sangat tinggi, mencapai 50%60% sepanjang tahun 2000 hingga 2005. Dengan dikeluarkannya kebijakan energi nasional dalam Perpres No. 5/2006 tersebut, diharapkan Pemerintah dapat menyusun langkahlangkah strategis dan teknis untuk mengurangi porsi BBM dalam komposisi energy mix secara bertahap. Apabila kebijakan tersebut berjalan dengan baik, publik akan merasakan dampaknya berupa pengurangan ketergantungan terhadap minyak. Sepanjang kurun waktu 2006 hingga 2010, komposisi minyak sedikit menurun dari 51,3% menjadi 47,1% atau turun sekitar 1% per tahun. Namun tren penurunan porsi minyak tersebut terhenti dan kembali meningkat kembali di tahun 2011 menjadi 47,7% dari energy mix nasional. Kondisi ini mengindikasikan langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemerintah tidak berjalan efektif dan meningkatnya
Gambar-2. Perkembangan dan Target Bauran Energi Nasional
Sumber: 2012 Handbook of Indonesia’s Energy Economy Statistics, hal. 10, Pusdatin ESDM, diolah
risiko ketahanan energi. Di tengah tingginya harga minyak dunia dan fluktuasi nilai tukar rupiah yang cenderung meningkat, penyediaan energi nasional melalui BBM jelas beresiko. Risiko yang paling utama adalah kelangkaan BBM di tengah masyarakat akibat kuota dan nilai subsidi BBM dalam APBN telah terlampaui. Salah satu target Perpres No. 5/2006 yang juga belum terlihat implementasinya adalah penyesuaian harga BBM menuju tingkat keekonomiannya. Dapat dikatakan bahwa kebijakan harga premium dan solar hanya bersifat responsif, yaitu disesuaikan ketika realisasi subsidi minyak jauh melampaui alokasi di APBN. Sejak diberlakukannya Perpres No. 5/2006 tercatat harga eceran pre-
mium dan solar telah beberapa kali mengalami perubahan. Sebagaimana terlihat pada Gambar-3 penyesuaian tersebut tidak hanya berupa kenaikan namun juga berupa penurunan harga eceran. Untuk merespon penurunan harga minyak dunia, dalam rentang waktu tahun 2008 hingga 2009 Pemerintah telah menurunkan harga eceran kedua BBM jenis tertentu tersebut sebanyak dua kali, yaitu dari Rp6.000/ liter menjadi Rp4.500/liter untuk premium dan dari Rp5.500/liter menjadi Rp4.500/liter untuk minyak solar. Harga eceran BBM, khususnya premium dan solar yang mendapat subsidi Pemerintah memberikan dorongan untuk konsumsi lebih dari yang dibutuhkan. Semakin besar selisih antara harga keekonomian dan
Gambar-3. Perkembangan Harga Minyak Mentah dan BBM Tertentu
Sumber: Kementerian ESDM
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
harga eceran, semakin besar insentif untuk mengkonsumsi BBM bersubsidi. Tidak heran target penurunan porsi minyak dalam bauran energi nasional tidak sesuai dengan yang diharapkan karena tidak ada insentif ekonomi bagi konsumen kendaraan bermotor untuk mengurangi penggunaan BBM. Kita juga tidak melihat penurunan porsi BBM bisa tercapai dalam tahun 2025 atau kurang dari 11 tahun lagi jika Pemerintah belum memiliki keberanian untuk menaikkan harga eceran BBM secara bertahap. Tidak hanya memberatkan anggaran negara terkait membengkaknya subsidi energi (lihat Gambar-4 dan Gambar-5), juga terlihat meningkatnya risiko BBM impor yang semakin besar tidak hanya berasal dari fluktuasi harga minyak tetapi juga dari fluktuasi nilai tukar. Premium memberikan kontribusi dominan dalam keseluruhan subsidi BBM. Besaran subsidi BBM dalam APBN termasuk subsidi listrrik yang juga sangat erat terkait dengan penggunaan BBM dalam pembangkitan listrik telah mencapai nilai yang sangat besar. Secara total, subsidi energi (BBM dan listrik) telah mencapai nilai Rp300 triliun pada tahun 2012. Nilai ini berpotensi untuk terus meningkat jika tidak ada perubahan dalam mekanisme harga BBM bersubsidi dan skema perhitungan subsidi listrik PLN sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 111/PMK.02/2007. Lambannya penyesuaian harga BBM ke tingkat keekonomiannya juga menimbulkan dampak negatif terhadap upaya diversifikasi energi. Pelaku usaha tidak memiliki rasionalitas dan motif ekonomi dalam mendukung diversifikasi energi nasional jika harga BBM masih didistorsi oleh Pemerintah. Tingkat pengembalian dalam pengembangan biodiesel dan biopremium menjadi tidak begitu menarik ketika harga minyak premium dan minyak solar terlalu rendah sehingga tidak menciptakan tingkat kompetisi yang sama antara bio energi dengan BBM.
Tantangan ke Depan Dalam melaksanakan amanat Perpres No. 5/2006 terdapat beberapa tantangan yang perlu diantisipasi oleh Pemerintah. Pertama, Pemerintah harus mengantisipasi tingginya permintaan energi nasional. Berdasarkan estimasi World Energy Outlook (2013), konsumsi energi Indonesia diperkirakan tumbuh sekitar 2,5% per tahun dari tahun 2011 hingga 2035. Konsumsi energi diperkirakan melonjak hampir dua kali lipat dalam rentang waktu tersebut dari 196 juta ton setara minyak (Mtoe) menjadi 358 Mtoe. Dalam proyeksi tersebut, diperkirakan bauran energi belum mencapai
Gambar-4. Perkembangan Konsumsi Premium
Sumber: Kementerian ESDM
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
target yang sudah dicanangkan oleh Pemerintah. Konsumsi BBM masih menguasai 30% energy mix disusul oleh batubarasebanyak 28%. Proyeksi ini menjadi cambuk bagi Pemerintah bahwa target penurunan BBM dan optimalisasi batubara yang disusun dalam Perpres No. 5/2006 belum dapat diyakini keberhasilannya. Kedua, terkait dengan optimalisasi batubara, meskipun Pemerintah sudah melaksanakan Fast Track Project (FTP) Tahap 1 dan sedang membangun FTP Tahap 2, tingkat kehandalan pembangkit listrik berbahan bakar batubara tersebut perlu diuji lebih lanjut mengingat masih rendahnya capacity factorb pembangkit FTP Tahap 1. Akibatnya konversi energi dari pembangkit listrik tenaga diesel yang lebih mahal kepada batubara menjadi tidak tercapai. Tantangan lainnya adalah mengurangi ekspor batubara. Meskipun kebutuhan dalam negeri saat ini sangat jauh dari produksi tambang batubara, Pemerintah harus menyadari bahwa batubara bukan merupakan energi yang terbarukan, sehingga eksploitasi berlebihan atas cadangan tambang batubaraakan meningkatkan opportunity costcterhadap penggunaan batubara di masa yang akan datang. Adapun menyangkut bahan bakar gas, kendala utama adalah kurang tersedianya infrastruktur distribusi/ pengangkutan. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan pipanisasi gas yang menghubungkan ladang gas dan sentra industri nasional. Selama ini pembangunan pipa gas selalu berorientasi pada ekspor dan kurang memperhatikan kawasan industri, terutama yang berlokasi di dekat wilayah eksplorasi gas alam. Salah satu contohnya ialah kasus kekurangan gas yang terjadi pada pembangkit listrik gas di Belawan. Kurangnya pasokan harusnya tidak terjadi apabila dari dulu Pemerintah telah menetapkan rencana dan strategi untuk menyam
U T A M A
Gambar-5: Belanja Subsidi dalam APBN
Sumber: Nota Keuangan APBN, beberapa terbitan
U T A M A
bungkan pipa dari lapangan gas Arun di Aceh ke pembangkit tersebut. Selain pipanisasi, kebijakan pengangkutan gas juga harus mencakup pembangunan kilang gas alam cair dan terminal regasifikasi yang berdekatan dengan pusat industri dan pembangkit listrik. Misalnya
pembangunan terminal regasifikasi terapung (FRSU) di Jawa Barat dapat dikatakan terlambat dalam merespon kebutuhan pembangkit listrik PT PLN. Padahal biaya input gas jauh lebih murah dibandingkan bahan bakar lainnya. Hanya tenaga air yang biaya inputnya bisa mengalahkan gas. Ku-
Referensi Chester, L.(2010). “Conceptualising energy security and making explicit its polysemic nature,” Energy Policy, Elsevier, vol. 38(2), pages 887-895 IEA. (2013).Southeast Asia Energy Outlook. International Energy Agency. Energy security. http://www.iea.org/topics/ energysecurity/ Kementerian Energi dan Sumber Daya Minernal. (2012). Handbook of Energy and Economics and Statistics of Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2012).Statistik Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2012). Statistik Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2012).Statistik Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. (2012).Statistik Minyak Bumi Singh, S. (2012).Energy Security: Concepts and Concerns in India http:// inpec.in/2012/09/24/energy-security-concepts-and-concerns-in-india/ Yergin, D. (2006). Ensuring energy security. Foreign Affairs, 69-82.
Catatan Akhir a. http://finance.detik.com/read/2014/02/17/164948/2499940/1034/kalautak-impor-stok-minyak-mentah-ri-habis-dalam-4-hari b. Capacity factor mengukur perbandingan antara energi yang dihasilkan dengan kapasitas pembangkit. Semakin rendah tingkat capacity factor semakin kecil energi yang dihasilkan dari yang seharusnya. c. Opportunity cost mencerminkan selisih biaya antara energi untuk menggantikan batubara di masa yang akan datang.
rangnya infrastruktur pengangkutan gas tersebut menyebabkan hilangnya kesempatan memanfaatkan energi yang berbiaya rendah. Pemerintah juga harus menyelesaikan permasalahan yang menghalangi eksploitasi energi terbarukan. Beberapa permasalahan tersebut mencakup perijinan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang dianggap dapat merusak lingkungan terutama wilayah hutan. Insentif Pemerintah kepada pelaku usaha dalam menurunkan tingkat ketidakpastian keberhasilan eksplorasi panas bumi dan kompensasi besarnya biaya investasi dan alat penyimpanan energi untuk tenaga angin dan tenaga surya juga menjadi area kebijakan yang perlu diatur oleh Pemerintah dalam pengembangan energi terbarukan. Beberapa fakta tersebut diatas mengindikasikan bahwa Indonesia telah memiliki rencana yang baik untuk menjaga ketahanan energi sebagaimana telah dinyatakan dalam bentuk roadmap bauran energi nasional sejak 2006, namun demikian progres selama periode tahun 2006-2011 menunjukkan bahwa progresnya belum menggembirakan. Sementara pada periode yang sama tekanan risiko ketahanan energi sebagai akibat terlalu menggantungkan pada sumber daya energi BBM mengalami peningkatan. Ini menjadi lampu kuning bagi pembangunan sektor keenergian nasional. Sebagai tahap awal perlu segera direformulasi pola subsidi BBM (termasuk listrik) yang ada; bukan hanya untuk mengurasi eksposur risiko subsidi BBM namun juga untuk membuka jalan (necessary condition) penciptaan lingkungan yang kompetitif bagi pengembangan sumber energi baru-terbarukan. Menunda setiap langkah kritis ini hanya akan mengakumulasikan risiko atas ketahanan energi Indonesia di masa yang akan datang. n INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Potret Kinerja Migas Indonesia Oleh: Mohamad Nasir
Peneliti Muda merangkap Kepala Sub Bidang BUMN Piset. Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal – Badan Kebijakan Fiskal – Kementerian Keuangan. Email:
[email protected]
Pendahuluan Hingga saat ini, persoalan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tenaga listrik belum terselesaikan dengan baik dan tuntas. Di mana, setiap terjadi perubahan minimal tiga hal, yaitu harga minyak mentah, kurs rupiah, dan volume konsumsi, pasti akan menyisakan persoalan pada besaran subsidi. Ketika harga minyak naik, nilai rupiah turun, dan volume konsumsi naik, belanja subsidi akan membengkak sehingga membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ujung-ujungnya Pemerintah mengorbankan belanja modal dengan mengurangi alokasi anggarannya atau menumpuk utang untuk menambah kekurangan beban subsidi. Timbulnya persoalan subsidi ini tidak lain karena konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang memberikan
subsidi harga kepada masyarakat. Di BBM tertentu, seperti premium, solar, minyak tanah, dan LPG 3 kg, Pemerintah memberi subsidi sebesar selisih harga patokan dikurangi harga eceran. Di listrik, Pemerintah mensubsidi selisih biaya pokok penyediaan (BPP) plus margin dikurangi harga jual. Karenanya, ketika minyak mentah naik maka harga BBM yang merupakan produk minyak mentah akan naik, akibatnya harga patokan atau BPP naik, dan selanjutnya subsidi naik. Selain itu, ketika volume konsumsi naik maka subsidi naik pula. Untuk mengurangi beban subsidi, Pemerintah telah beberapa kali mengajukan penyesuaian harga, dan baru berhasil pada tahun 2013. Namun demikian, dalam setiap upaya penyesuaian harga, dapat dipastikan menimbulkan kontroversi di masyarakat, ada yang pro dan kontra dengan
berbagai alasan yang rasional. Pihak yang pro berpendapat bahwa penyesuaian harga perlu dilakukan karena beban subsidi telah membebani APBN dan penyalurannya tidak tepat sasaran. Sementara itu, pihak yang kontra berpendapat penyesuaian harga belum perlu dilakukan karena akan membebani biaya hidup masyarakat. Berangkat dari pro dan kontra harga BBM tersebut di atas, tentunya timbul pertanyaan tentang bagaimana kondisi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia sesungguhnya, cukup kaya atau miskin kah Indonesia akan migas? Logika sederhana, bila negara kaya akan minyak tentunya ada kewajaran harga BBM murah, atau sebaliknya. Dengan menggunakan data sekunder, artikel ini menggambarkan tentang kondisi migas di Indonesia sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Selanjutnya, dari gambar-
Grafik 1. Perkembangan Produksi Minyak
Sumber: BP Statistical Review, June 2013.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
U T A M A
an ini diharapkan masyarakat dapat mempunyai pendapat atau penilaian yang logis dan berdasar terhadap berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan migas.
Kaya Minyak Kah Indonesia?
U T A M A
Indonesia merupakan negara kepulauan, sebagian besar wilayahnya berupa perairan. Wilayah Indonesia juga terletak di wilayah tropis yang memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Terkait dengan sumber daya alam (SDA), Indonesia seharusnya bersyukur kepada Tuhan karena di dalam perut bumi wilayah Indonesia terkandung berbagai jenis SDA. Indonesia memiliki batu bara, tembaga, nikel, pasir besi, biji timah, dan lainnya, tak terkecuali minyak mentah dan gas bumi. Khusus untuk minyak mentah, Indonesia dapat dikatakan sebagai negara produsen minyak, bahkan pernah menjadi salah satu anggota
organisasi produsen minyak mentah dunia yaitu OPEC. Berdasarkan data dari BP (2013), Indonesia pernah berhasil memproduksi minyak mentah di atas 1 juta barrel per day (BPD) selama periode 1972 s. d. 2006 dengan pencapaian tertinggi tahun 1977 dengan produksi 1,68 juta BPD. Gambaran perkembangan produksi minyak mentah dapat dilihat dalam Grafik 1. Bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, produksi minyak mentah Indonesia juga masih dapat dikategorikan lebih dari cukup. BP (2013) mencatat bahwa Indonesia mampu memproduksi minyak mentah sekitar 44,6 juta ton pada tahun 2012, dan menempati posisi ke-24 sebagai negara produsen minyak mentah terbesar dari 53 negara di dunia. Sedangkan di Asia Pasifik, Indonesia menempati posisi ke-2 terbesar setelah China yang mencapai 207,5 juta ton. Negara tetangga ASEAN di belakang Indonesia, Malaysia 29,7 juta ton, Vietnam 17 juta ton, Thailand 16,2 juta ton,
dan Brunei Darussalam 7,8 juta ton. Pencapaian produksi minyak mentah dunia yang masuk dalam 25 besar dunia dapat dilihat dalam Grafik 2. Namun demikian, perlu disadari bahwa catatan pencapaian di atas adalah catatan masa lalu atau dapat dikatakan sejarah bagi Indonesia. Kini, produksi minyak mentah Indonesia semakin menurun. Sebagaimana telah digambarkan dalam Grafik 1, dalam beberapa tahun terakhir, dari tahun 2007 s. d. 2012, produksi minyak mentah Indonesia di kisaran 900 ribu BPD (BP, 2013). Penurunan ini merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi Indonesia bahwa minyak merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui semakin lama produksinya akan semakin menurun dan pada akhirnya suatu saat nanti akan habis. Di samping itu, dari total produksi minyak mentah yang dihasilkan, tidak keseluruhannya adalah milik Pemerintah. Pemerintah harus berbagi de-
Grafik 2. Negara-Negara Produsen Minyak Mentah Terbesar Dunia
Sumber: BP Statistical Review, June 2013.
10
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Grafik 3. Konsumsi dan Surplus/Defisit Minyak
Sumber: BP Statitical Review, June 2013.
ngan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dengan pola bagi hasil 85% untuk pemerintah dan 15% untuk K3S. Namun demikian, sebelum dibagi, hasil produksi harus terlebih dahulu digunakan sebagai pengganti biaya eksplorasi yang dikeluarkan oleh K3S atau cost recovery. Dengan demikian, yang menjadi hak Pemerintah atas produksi minyak mentah adalah di bawah angka produksi tersebut dalam Grafik 1.
Konsumsi BBM yang Semakin Meningkat Berbeda dengan kinerja produksi minyak mentah, seiring dengan peningkatan PDB dan jumlah penduduk,
konsumsi BBM di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Hal ini terlihat dari perkembangan konsumsi minyak mentah yang terjadi selama ini sebagaimana digambarkan dalam Grafik 3. Di era tahun 70-an, konsumsi minyak hanya dikisaran 100 ribu s. d. 350 ribu BPD. Namun, dari tahun ke tahun konsumsi terus meningkat atau tumbuh di kisaran 6,1% per tahun selama periode 1970 s. d. 2012. Kondisi yang bertolak belakang antara kinerja produksi dan konsumsi minyak, pada akhirnya membuat Indonesia mengalami defisit minyak. Hal ini mulai terjadi pada tahun 2004 di mana Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 5 juta ton, kemudian
terus merangkak naik hingga tahun 2012 yang mengalami defisit 27 juta ton. Konsekuensi defisit sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia harus impor baik dalam bentuk minyak mentah maupun hasil olahan (bensin, diesel, dan kerosene). Ketika impor, otomatis juga dapat berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. Dari Grafik 4 dan Grafik 5 terlihat bahwa semakin lama volume impor minyak dan BBM semakin meningkat. Tahun 2008, volume impor mencapai 24,6 juta kiloliter (KL), meningkat 56,9% menjadi 38,6 juta KL pada tahun 2012. Dari sisi nilai nominal pun otomatis defisit neraca perdagangan meningkat. Pada tahun 2003, terjadi
Grafik 4. Neraca Minyak dan BBM (JT KL)
Grafik 5. Ekspor – Impor Minyak dan BBM (US$ Juta)
Sumber: Pertamina, KESDM dalam Tempo, 2013.
Sumber: BPS, 2012.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
11
U T A M A
Grafik 6. Rasio PDB terhadap Konsumsi Energi Tahun 2012
Sumber: World Bank, 2013.
U T A M A
defisit neraca perdagangan sekitar US$414,8 juta, kemudian pada tahun 2011 periode Januari - November menjadi US$19,0 miliar. Pada dasarnya, kenaikan konsumsi minyak atau BBM tidak menimbulkan permasalahan selama kenaikan tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Pertanyaannya adalah sudah maksimalkah konsumsi tersebut dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat? Hal ini dapat ditunjukkan dalam rasio PDB dengan konsumsi energi ($/Kg Setara Minyak) sebagaimana terlihat dalam Grafik 6. Indonesia terlihat masih di bawah Singapura ($8,3), Malaysia ($5,4), Korea ($4,88), dan Brunei Darussalam ($4,84) dalam hal efisiensi penggunaan energi untuk peningkatan PDB. Kekurangefisienan konsumsi energi tidak dapat terlepaskan dari kebijakan energi nasional Indone-
sia. Salah satunya adalah kebijakan harga BBM tertentu di pasaran yang disubsidi oleh Pemerintah. Harga BBM bersubsidi yang murah mendorong masyarakat kurang memperhatikan penggunaan BBM tersebut secara efisien. Sebagai contoh harga premium Rp6.500 per liter, solar Rp5.500 per liter, sementara itu harga minuman cola 1,5 liter harganya Rp10.000. Premium dan solar merupakan SDA yang sulit diperoleh dan fungsinya sangat strategis untuk menghasilkan
Sumber: teraspos.com
12
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Grafik 7. Kinerja Produksi Natural Gas 1970 s. d. 2012
Sumber: BP Statistical Review, June 2013.
energi. Sementara itu, minuman cola mudah diproduksi termasuk bahan baku juga mudah didapat dan dapat di substitusi penggunaanya. Contoh ini menunjukan bahwa kebijakan harga murah menunjukan adanya ketidaksesuaian antara nilai ekstrinsik dengan fungsinya.
Penggunaan Gas yang Belum Optimal Selain memiliki minyak mentah, Indonesia juga memiliki sumber energi primer lainnya yang tidak kalah dalam hal nilai kalori dan ekonomisnya. Indonesia memiliki gas, batu bara, coal
bed methane, dan energi terbarukan seperti panas bumi, surya, dan angin. Khusus tentang gas bumi, Indonesia mempunyai catatan yang juga luar biasa. Sejak tahun 1970 s. d. 2012, Indonesia merupakan negara produsen terbesar gas bumi di Asia Pasifik meskipun khusus untuk tahun 2012 menempati posisi 2 terbesar sebagai negara produsen gas bumi di Asia Pasifik. Gambaran ini dapat dilihat dalam Grafik 7. Meskipun sampai dengan saat ini produksi gas Indonesia sudah sangat besar, Indonesia masih diperkirakan memiliki potensi sumber gas yang
cukup besar. Fesharaki F. (2012), Chairman of Facts Global Energy, memperkirakan bahwa produksi kotor gas Indonesia diperkirakan masih di atas 8.300 million standard cubic feet per day (MMSCFD), bahkan diperkirakan dapat di atas 9.000 MMSCFD pada tahun 2020. Namun sayang, Indonesia belum mampu menikmati produksi gasnya. Gas cenderung diekspor untuk kepentingan luar negeri dan tidak menutup kemungkinan termasuk potensi produksi di masa yang akan datang. Konsekuensinya, Indonesia belum dapat menikmati gas secara
Grafik 8. Perkiraan Konsumsi dan Produksi Gas
Sumber: Fesharaki F., 2012.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
13
U T A M A
Grafik 9. Bauran Energi Primer Tahun 2012 dan Konsumsi Gas
Sumber: BP Statistical Review, June 2013.
U T A M A
optimal meskipun harga gas lebih murah dibanding dengan BBM. Hal ini terlihat dari pemakaian bauran sumber energi pada tahun 2012. Indonesia masih mengandalkan minyak mentah dengan dengan persentase sebesar 45%, kemudian gas 20%, dan batu bara 32%. Seiring dengan harga minyak mentah yang mulai meningkat, gas nampaknya mulai menjadi perhatian Pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan program konversi BBM ke BBG. Namun program ini dapat dikatakan tidak berjalan. Beberapa kendalanya antara lain keberadaan infrastruktur transmisi dan ditribusi gas yang masih kurang dan harga BBM yang murah. Infrastruktur diakui memang kurang memadai dan terbatas karena selama ini Pemerintah terfokus pada BBM sehingga kurang adanya perencanaan di sektor gas. Terkait dengan harga BBM yang murah juga berpengaruh terhadap masyarakat dalam memilih alternatif bahan bakarnya. BBM yang murah mengurangi daya saing gas di masyarakat.
Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa poin kesimpulan. Pertama, produksi minyak mentah Indonesia telah mengalami penuru14
nan, dan suatu saat nanti akan habis. Hal ini merupakan kosekuensi logis bahwa minyak adalah SDA yang tidak dapat diperbarui. Kedua, di sisi konsumsi, permintaan akan minyak dan BBM cederung terus meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan jumlah penduduk. Bila kedua kesimpulan ini dikaitkan, tentunya dapat dipastikan bahwa keamanan energi dan kedaulatan negara terancam apabila Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Ketiga, Indonesia masih memiliki potensi produksi gas alam yang cukup besar. Namun demikian, berdasarkan catatan terdahulu, Indonesia lebih suka mengekspor gas dari pada mengkonsumsi sendiri meskipun harga gas jauh di bawah harga BBM. Dampaknya
Indonesia sangat tergantung dengan sumber energi primer yang berbasis minyak mentah. Dari beberapa kesimpulan tersebut, Indonesia harus melakukan perubahan bauran kebijakan yang ideal baik dari sisi kalori yang dihasilkan maupun dari nilai nominal rupiahnya. Untuk itu, diperlukan kebijakan terobosan seperti (1) pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi gas untuk mempermudah penggunaan gas, dan (2) meninjau kembali kebijakan harga BBM di pasaran yang murah. Kebijakan ini dapat mendorong masyarakat lebih menghargai BBM dan hidup dengan pola efisien. Di samping itu, tinjauan kembali kebiijakan harga tersebut dapat mendorong daya saing gas alam sebagai sumber energi.n
Referensi BP. 2013. Statistical Review of World Energy June 2013. Diakses 10 Januari 2014. http://www.bp.com/en/global/corporate/about-bp/energyeconomics/statistical-review-of-world-energy-2013/statistical-reviewdownloads.html. BPS. 2012. Perkembangan Ekspor-Impor Minyak dan BBM. Fesharaki F. 2012. Indonesian LNG In The Global Context. Dipresentasikan pada Indonesia LNG Forum pada 12-13 Juli 2012. Tempo. 2012. Maju Mundur Kilang Baru. Edisi 8 Desember 2012. World Bank. 2014. Data. Diakses 10 Februari 2014. http://data.worldbank. org/indicator/EG.GDP.PUSE.KO.PP.KD
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Konversi BBM ke BBG: Belajar dari Pengalaman Oleh: Hadi Setiawan
Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email:
[email protected]
Pendahuluan Kekayaan gas alam Indonesia yang besar dan melimpah, jumlah subsidi bahan bakar minyak (BBM)/ energi yang sangat besar, dan kondisi Indonesia yang sudah menjadi net importir minyak menjadi beberapa alasan bagi Indonesia untuk segera melakukan program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG). Cadangan gas bumi Indonesia mencapai 152,89 TSCF merupakan jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan jumlah gas yang sudah diproduksi. Pada tahun 2012 saja
jumlah produksi gas kita hanya sekitar 3,17 TSCF (hanya sekitar 2,07% dari total cadangan gas bumi atau hanya 3,03% dari total cadangan terbukti).1 Ditambah lagi, jumlah yang dikomsumsi di dalam negeri hanya separuh dari jumlah produksi. Kondisi ini membuat Indonesia menjadi negara eksportir gas nomor 7 di dunia pada tahun 2012.2 Hal ini berarti Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan gas sebagai bahan bakar pengganti BBM. Nilai subsidi BBM yang sudah mencapai sekitar 22,8% dari jumlah
total realisasi penerimaan pajak tahun 2013, bahkan jika ditambah dengan subsidi listrik maka nilainya menjadi sekitar 33,8% adalah suatu nilai yang tidak rasional karena sebagian besar subsidi tersebut justru dinikmati oleh orang yang mampu. Walaupun dilakukan kenaikan harga BBM bersubsidi pada pertengahan 2013, hal itu ternyata tidak terlalu membawa perubahan yang signifikan pada jumlah subsidi BBM tahun 2014. Jika pada APBN-P 2013 jumlah subsidi BBM sebesar Rp209,9 triliun maka pada tahun 2014 nilainya menjadi
Gambar 1. Cadangan Gas Bumi Indonesia
Keterangan: Kondisi per 1 Januari 2011 Sumber: Ditjen Migas diunduh dari http://www.migas.esdm.go.id/
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
15
U T A M A
Grafik 1. Besaran Subsidi Tahun 2009 s. d. 2014 (dalam triliun rupiah)
Sumber: Nota Keuangan APBN, beberapa terbitan.
U T A M A
Rp210,7 triliun (sekitar 18,98% dari target penerimaan pajak). Jadi dapat dikatakan bahwa sekitar 1/5 uang pajak dari rakyat hanya “dibakar” di kendaraan. Alangkah jauh lebih bermanfaatnya jika uang pajak rakyat yang “dibakar” tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur, untuk pengentasan kemiskinan, untuk penciptaan lapangan kerja, dan sebagainya. Harga BBM bersubsidi yang murah menjadi salah satu penyebab konsumsi BBM yang sangat besar padahal supply di Indonesia sudah sangat terbatas. Efeknya, Indonesia menjadi salah satu net importir minyak sehingga neraca perdagangan minyak dan gas (migas) selalu mengalami defisit. Pada tahun 2013 saja neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar US$12,6 miliar yang berdampak pada defisitnya neraca perdagangan secara keseluruhan sekitar US$4,1 miliar. Pada kuartal tiga 2013, defisit neraca perdagangan ini bahkan sampai mengganggu kondisi ekonomi kita (nilai kurs rupiah melemah, pertumbuhan ekonomi melambat, dan sebagainya). Semua kondisi tersebut mendorong kita untuk kembali menjalankan program konversi BBM ke BBG yang 16
sudah pernah dilakukan sebelumnya di beberapa kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Cirebon, Bogor, dan Palembang. Walaupun dapat dikatakan program konversi yang dijalankan di beberapa kota tersebut gagal tetapi seharusnya kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman kegagalan tersebut.
Pengalaman Indonesia Sebelumnya Susanti, dkk. (2011)3 menuliskan dalam bukunya tentang pengalaman beberapa kota dalam menjalankan program konversi. Pertama di Jakarta, Pemerintah DKI Jakarta telah mengharuskan penggunaan BBG bus Transjakarta dan angkutan umum lainnya pada tahun 2006 melalui Perda DKI
Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 dan juga mengatur target penggunaan BBG setiap tahunnya (Tabel 1). Pada tahun 2015 diharapkan 15.563 angkutan umum telah menggunakan BBG, namun kenyataan pada saat ini yang konsisten menggunakan BBG hanyalah bus Transjakarta, sedangkan jenis angkutan umum lainnya termasuk bajaj semakin berkurang jumlah yang menggunakan BBG. Program konversi di Jakarta kurang berhasil disebabkan antara lain (i) sangat terbatasnya pasokan gas untuk transportasi; (ii) jaringan pipa gas di Jakarta yang masih sangat minim, akibatnya SPBG yang ada sangat terbatas dan jaraknya juga jauh sehingga para pemilik kendaraan angkutan umum tersebut malas untuk mengisi BBG; (iii) posisi SPBG tersebut sebagian besar tidak dilewati oleh rute angkutan umum; dan (iv) sebagian SPBG yang ada masih menggunakan teknologi slow fill sehingga memerlukan waktu lama untuk pengisian 1 tangki BBG (sekitar 30 menit) sehingga antrian menjadi panjang. Sementara di Bandung, pengalaman program konversi telah dimulai pada tahun 1997 melalui Program Langit Biru. Pada tahap awal sebanyak 35 angkutan kota dan 45 mobil dinas menggunakan BBG. Tetapi program ini tidak bertahan lama karena banyaknya kendala yang dihadapi, yang antara lain (i) di Bandung
Tabel 1. Target Konversi BBM ke BBG Jakarta Jenis Angkutan Umum Bus besar – Busway Bus sedang Bus kecil - Mikrolet Bus kecil – APB Bus kecil – KWK Taksi Bajaj
2011
300 100 300 2.000 100
2012 50
2013 100
2014 200
2015 350
50 1.000 200 1.000 3.000 1.000
100 1.500 250 1.500 5.000 2.000
200 2.000 250 2.000 5.000 3.000
350 1.910 346 1.438 7.169 4.000
Sumber: Dinas Perhubungan DKI Jakarta dalam Susanti, dkk., 2011.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
tidak ada jaringan pipa gas sehingga menyulitkan pasokan BBG, (ii) tidak ada suku cadang dan bengkel atau teknisi khusus untuk konverter kit dan kendaraan yang dikonversi sehingga apabila konverter kit rusak dilakukan kanibalisme efeknya jumlah konverter kit lama-kelamaan habis, dan (iii) teknologi pengisian SPBG yang ada adalah slow fill sehingga para sopir angkutan kota yang menggunakan BBG menjadi tidak sabar. Program konversi juga sudah di mulai pada tahun 2003 di Cirebon. Program ini dilakukan dengan inisiatif sendiri dari pengusaha angkutan kota, karena pengusaha menilai bahwa dengan menggunakan BBG akan dapat menghemat biaya mereka. Hal ini ditunjang oleh infrastruktur di Cirebon yang dilalui oleh jaringan pipa gas dan kondisi masyarakatnya yang sudah terbiasa menggunakan gas. Tetapi pada kenyataannya program konversi di Cirebon juga tidak dapat bertahan lama karena terkendala teknologi yang tersedia di SPBG hanyalah teknologi slow fill, dan sulitnya mencari spare part pengganti konverter kit yang rusak serta ketiadaan bengkel khusus konverter kit. Kementerian Perhubungan juga melakukan program konversi di Bogor dengan menyumbangkan 1.001 konverter kit bagi angkutan kota pada tahun 2009. Tetapi sampai dengan saat ini, konverter kit tersebut belum dapat dipergunakan karena tidak adanya SPBG di Bogor. Ketiadaan SPBG tersebut disebabkan oleh tidak adanya jaringan pipa gas yang memenuhi syarat untuk dapat dibangun SPBG. Sedangkan di Palembang program konversi dimulai pada tahun 2009 dengan adanya bantuan konverter kit sebanyak 666 dari Pemerintah Pusat yang diperuntukkan bagi angkutan kota. Tetapi hanya sebanyak 53 unit saja yang dipasang, karena terken-
dala letak SPBG yang jauh dari rute angkutan kota, ketakutan akan meledaknya tabung BBG, ketakutan akan berkurangnya kinerja mesin, tidak adanya suku cadang konverter kit, dan layanan purna jual yang jelek. Khusus untuk Surabaya program konversi ternyata cukup berhasil. Program yang diprakarsai oleh para pengusaha taksi pada tahun 2007 ini dilakukan dengan cara memberikan konverter kit kepada supir taksi dan cara pembayarannya dicicil pada saat pembelian BBG. Kemudian pada tahun 2010, Pemerintah Pusat juga turut serta memberikan 500 konverter kit bagi angkutan kota. Sampai saat ini program ini masih bertahan di Surabaya dan diharapkan semakin berkembang.
Pelajaran yang Diperoleh Potensi gas alam yang sangat besar dan manfaat-manfaat lainnya yang diperoleh dari program konversi membuat Indonesia sangat potensial untuk mengembangkan BBG sebagai bahan bakar pengganti BBM. Pengalaman-pengalaman “kegagalan” program konversi BBM ke BBG di beberapa kota memberi pelajaran untuk pengembangan program konversi selanjutnya. Dari pengalaman sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kegagalan program konversi di beberapa
kota antara lain disebabkan oleh supply/pasokan gas yang sulit/terbatas, jumlah SPBG yang sangat sedikit dan lokasi nya yang tidak strategis, infrastruktur jaringan pipa gas yang masih sangat terbatas, teknologi pengisian BBG yang sangat lama (sekitar 30-40 menit), harga BBM yang masih murah, suku cadang dan teknisi konverter kit (layanan purna jual) yang sangat jarang, dan ketakutan pengguna BBG. Oleh karena itu, setidaknya terdapat tiga hal yang harus dilakukan agar program konversi ini dapat berjalan sukses, yaitu (i) pengadaan konverter kit, (ii) jaringan distribusi termasuk pengadaan SPBG, dan (iii) ketersediaan pasokan gas.4 Pengadaan konverter kit. Agar program konversi ini menarik, Pemerintah harus ikut campur tangan dengan memberikan subsidi pengadaan konverter kit atau memberikan dana talangan pengadaan konverter kit yang nantinya akan dibayar oleh pembeli konverter kit dengan cara mencicil ketika membeli BBG (harga BBG sudah termasuk cicilan konverter kit - Gambar 2). Selain itu, pada tahap awal Pemerintah juga harus memastikan bahwa layanan purna jual, bengkel, dan teknisi untuk konverter kit tersedia di lapangan. Selanjutnya jika pasar konverter kit sudah terbentuk maka kemungkinan besar layanan purna jualnya juga akan tersedia de-
Sumber: energitoday.com INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
17
U T A M A
ngan sendirinya.
U T A M A
Pipa jaringan distribusi dan pengadaan SPBG. Pemerintah juga harus turut berperan dalam pembangunan jaringan pipa distribusi gas dan pengadaan SPBG. Untuk tahap awal adalah pembangunan jaringan pipa gas di lokasi-lokasi yang sudah direncanakan sebelumnya, termasuk pembangunan jaringan pipa di dalam kota. Pembangunan infrastruktur ini dapat dilakukan dengan menggunakan dana APBN/APBD atau menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan swasta (KPS) ataupun melalui penugasan kepada BUMN. Sedangkan untuk pengadaan SPBG dapat di dilakukan oleh Pemerintah melalui dua skema sehingga dapat menarik minat pengusaha agar mau berinvestasi dalam pembangunan SPBG, yaitu (i) melalui penerusan pinjaman dan (ii) melalui pemberian penjaminan pinjaman. Dalam skema penerusan pinjaman, Pemerintah dapat meneruskan fasilitas pinjaman murah atau hibah dari luar negeri yang banyak disediakan oleh negara maju atau lembaga internasional bagi teknologi ramah lingkungan atau energi ramah lingkungan ke pengusaha-pengusaha SPBG dengan suku bunga kredit yang murah dan akses/skema yang mudah. Sementara dalam skema pemberian penjaminan pinjaman, skema penjaminan yang diterapkan pada KUR dapat dijadikan contoh untuk kredit pembangunan SPBG. Pemerintah memberikan penjaminan atas sebagian pinjaman, misalnya sebesar 50% - 80% melalui perusahaan penjamin. Di samping itu untuk membuka pasar bisnis SPBG, Pemerintah dapat menugaskan kepada BUMN (Pertamina atau PGN) untuk menjadi pionir. Setelah pasar bisnis ini terbentuk, maka pasti pengusaha akan mau terjun untuk membangun SPBG. 18
Gambar 2. Skema Pengadaan Konverter Kit
Keterangan: 1. Konsumen mendapatkan konverter kit dari produsen/penjual secara cuma-cuma 2. Konverter kit dibayar oleh Pemerintah sebagian dengan dana subsidi dan sebagian lagi dibebankan kepada konsumen melalui pembelian BBG yang didalamnya terdapat komponen harga konverter kit 3. Konsumen membayar BBG ke SPBG yang di dalamnya terdapat komponen pembelian konverter kit 4. SPBG membeli BBG dari Pertamina/PGN/Supplier Gas Swasta yang didalamnya ada komponen harga konverter kit 5. Pertamina/PGN/Supplier Gas Swasta membayar ke pemerintah porsi konverter kit dari hasil penjualan BBG
Ketersediaan pasokan gas. Suplai BBG harus dapat dijamin oleh Pemerintah. Caranya dapat dilakukan melalui tangan SKK Migas yang mengatur mengenai peruntukan gas. Misalnya memanfaatkan bagian gas yang diterima oleh pemerintah untuk dipergunakan pada sektor transportasi. Untuk memastikan program ini berhasil, maka ketiga faktor tersebut harus dibarengi dengan kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi, misalnya dengan melakukan pola subsidi tetap, dimana subsidi BBM yang diberikan per liter nya adalah tetap (misal Rp1.000 atau Rp2.000). Sehingga masyarakat akan mau beralih dari menggunakan BBM menjadi menggunakan BBG karena harga BBM menjadi tidak menarik lagi.
Penutup Belajar dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari program konversi BBM ke BBG yang sudah dilakukan sebelumnya membuat kita mengetahui apa saja kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki dan apa saja yang harus dilakukan agar program konversi dapat berhasil. Dengan kemauan yang kuat dari Pemerintah dan peran serta dari seluruh pemangku kepentingan, maka niscaya program konversi BBM ke BBG ini akan berhasil. Keberhasilan program konversi akan membuat Indonesia dapat menikmati manfaat dari pengalihan anggaran subsidi BBM yang sebelumnya sebagian besar dinikmati oleh orang mampu menjadi lebih bermanfaat bagi pembangunan ekonomi dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. n
Catatan Akhir 1 2 3 4
Data dari Ditjen Migas www.indexmundi.com, diakses tanggal 28 Februari 2014. Susanti, dkk. 2011. Kebijakan Nasional Program Konversi dari BBM ke BBG untuk Kendaraan. LIPI Press. Jakarta Setiawan. 2013. Konversi Bahan Bakar Minyak ke Bahan Bakar Gas Pada Sektor Transportasi: Mungkinkah Dilakukan. Bunga Rampai Energi. Jakarta.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Ketahanan dan Kedaulatan Energi Indonesia Oleh: Akhmad Yasin
Peneliti Pertama pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Email:
[email protected]
Pengantar Indonesia merupakan negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, bahkan bisa dikatakan Indonesia menjadi salah satu lumbung sumber daya alam, salah satunya adalah lumbung energi. Berbagai faktor alam dan geografis menguatkan posisi Indonesia sebagai lumbung energi dunia. Indonesia selain memiliki cadangan minyak bumi, juga memiliki cadangan gas alam dan batu bara dalam jumlah besar. Kedua komoditas tersebut bahkan diekspor ke berbagai negara. Di samping energi fosil, potensi Indonesia di bidang energi nabati juga sangat besar. Sebagai negara yang dikaruniai dengan tanah yang subur dan sebagai negara tropis, Indonesia menghasilkan berbagai jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi nabati. Hampir segala jenis tanaman penghasil minyak nabati dapat tumbuh dengan cepat. Melihat kondisi Indonesia yang potensial dan prospektif dalam penyediaan energi bagi ketahanan nasional, tentunya menjadi hal yang muskil ketika saat ini kita dihadapkan pada suatu kondisi dimana kebutuhan energi nasional mengalami kerenINFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
tanan. Kita lebih banyak mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri daripada mengekspor. Kondisi semacam ini menunjukkan bahwa pemanfaatan energi baru dan terbarukan seperti bahan bakar nabati belum dioptimalkan. Kebutuhan energi di Indonesia akan selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dan ekonomi. Secara ekonomi, impor BBM yang semakin meningkat memengaruhi kondisi keuangan negara. Pengeluaran negara untuk subsidi harga BBM dan listrik menjadi semakin besar sehingga memberikan tekanan terhadap APBN dari porsi pengeluaran. Kompleksitas ini pada akhirnya memengaruhi kondisi ketahanan energi di Indonesia. Ketahanan energi adalah suatu kondisi di mana kebutuhan masyarakat luas terhadap energi dapat dipenuhi secara berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility), dan akseptabilitas (mutu dan harga).1 Berbagai fenomena kelangkaan energi seperti antrean BBM dan pemadaman listrik yang seringkali terjadi di Indonesia mengindikasikan bahwa pasokan un-
tuk ketersediaan energi sangat terbatas, tidak dapat dijangkau secara luas dan harganya pun mahal sedangkan permintaan terhadap energi tersebut meningkat tanpa batas. Oleh karena itu, pengelolaan energi jangan hanya bertumpu pada sisi penyediaan, tetapi yang juga perlu diperhatikan adalah mengendalikan sisi permintaan melalui upaya konservasi energi. Kebijakan konservasi energi dimaksudkan untuk meningkatkan penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi kuantitas energi yang benar-benar diperlukan. Upaya konservasi energi dapat diterapkan pada seluruh tahap pemanfaatan, mulai dari pemanfaatan sumber daya energi sampai pada pemanfaatan akhir dengan menggunakan teknologi yang efisien dan membudayakan pola hidup hemat energi.2 Dalam memenuhi kebutuhan energi, berbagai upaya untuk meningkatkan pasokan energi telah dilakukan, termasuk pengembangan teknologi pemanfaatan sumber daya energi alternatif yang lebih ramah lingkungan, mudah didapat, dan memiliki jumlah yang tidak terbatas maupun dapat diperbaharui. Diversifikasi penyediaan energi ini menjadi 19
U T A M A
U T A M A
penting dilakukan untuk menjamin ketahanan energi nasional. Tentu saja perlu adanya prioritas dalam perencanaan pengembangannya. Dalam masa transisi menuju pemanfaatan energi alternatif secara optimal, upaya pengurangan ketergantungan terhadap minyak bumi perlu dilakukan.3 Ketergantungan terhadap minyak bumi secara masif akan membawa kepada krisis kedaulatan energi. Apalagi dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) telah membuka liberalisasi di sektor migas. Akibatnya pengelolaan migas, terutama di sektor hulu sebagian besar dikuasai oleh kontraktor asing. Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran terhadap penguasaan ladang-ladang minyak oleh perusahaan asing dan kedaulatan energi nasional pun semakin rentan karena dominasi asing tersebut. Kedaulatan energi adalah hak negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi.4 Pengelolaan energi nasional berhubungan erat dengan ketahanan energi nasional. Pengelolaan energi harus selaras dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi, termasuk minyak dan gas bumi harus dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Diversifikasi Energi Energi mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan ketahanan nasional. Oleh karena itu, pengelolaan energi harus dilaksanakan secara berkesinambungan, adil, rasional, optimal, dan terpadu. Keterbatasan energi fosil menuntut pemerintah dapat menyediakan sumber energi alternatif dalam rangka mewujudkan ketahanan energi. Konservasi dan 20
diversifikasi energi merupakan kunci bagi ketahanan energi. Diversifikasi energi adalah pemanfaatan energi alternatif, salah satunya adalah bahan bakar nabati (BBN) yang merupakan energi alternatif yang mudah diperoleh di Indonesia. Menurut catatan Menristek/BPPT, Indonesia setidaknya memiliki 60-an jenis tumbuhan penghasil minyak.5 Dengan mengupayakan bahan bakar nabati berbasis tumbuhtumbuhan, pada dasarnya kita juga mulai merintis desa-desa mandiri energi karena aktivitas tersebut pasti melibatkan petani dan pengolah tanah. Pada akhirnya, merekalah yang seharusnya memperoleh manfaat utama dari kegiatan pembudidayaan biofuel dari tanaman energi, seperti jarak pagar, kelapa sawit, tebu, dan singkong, secara khusus dan biomassa pada umumnya.6 Upaya yang dilakukan untuk mengembangkan biomassa adalah mendorong pemanfaatan limbah industri pertanian dan kehutanan sebagai sumber energi secara terintegrasi dengan industrinya, mengintegrasikan pengembangan biomassa dengan kegiatan ekonomi masyarakat, mendorong pabrikasi teknologi konversi energi biomassa dan usaha penunjang, dan meningkatkan penelitian dan pengembangan pemanfaatan limbah termasuk sampah kota untuk energi. Biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) merupakan jenis bahan bakar cair yang relatif baru di Indonesia. BBN mulai dipasarkan secara komersial sejak tahun 2006 berupa biosolar, biopremium, dan biopertamax. Konsumsi BBN biosolar meningkat dari 1,4 juta SBM (2006) menjadi 15,5 juta SBM (2009). Konsumsi BBN biopremium dan biopertamax meningkat dari 9,5 ribu SBM (2006) menjadi 734,5 ribu SBM (2009). Kontribusi BBN di bauran energi Indonesia diharapkan dapat mencapai sekitar 5% di tahun 2025.7
Dalam rangka pengembangan energi terbarukan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Komitmen pemerintah dalam mendukung konversi dan diversifikasi energi tersebut dapat dilihat dari dikeluarkannya beberapa paket kebijakan di bidang energi. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah itu ditujukan agar masyarakat memiliki kesadaran bahwa ketergantungan terhadap energi fosil harus segera dihentikan dengan beralih kepada sumber energi alternatif dan terbarukan. Energi terbarukan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan energi konvensional karena sifatnya yang bisa diperbaharui. Kelebihan bioenergi, selain bisa diperbaharui, adalah bersifat ramah lingkungan, dapat terurai, mampu mengeliminasi efek rumah kaca, dan kontinuitas bahan bakunya terjamin. Bioenergi dapat diperoleh melalui budi daya tanaman penghasil biofuel dan memelihara ternak.8 Saat ini telah dikembangkan energi alternatif seperti bahan bakar nabati yang menghasilkan biodiesel dengan bahan baku CPO, etanol yang berbahan baku singkong. Kotoran ternak dan limbah organik pun dimanfaaatkan untuk menghasilkan biogas atau biomassa. Untuk menghasilkan energi listrik, para ilmuwan telah melakukan penelitian dan uji coba terhadap pemanfaatan arus sungai, tenaga surya, dan arus laut. Selain konversi energi dengan pemanfaatan kekuatan alam, Indonesia juga memiliki cadangan sumber batu bara yang cukup besar. Saat ini, pemerintah terus mendorong upaya konservasi energi dan diversifikasi sumber energi dari BBM ke batu bara. Upaya pemerintah tersebut akan berdampak terhadap peningkatan konsumsi batu bara di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera mengimplementasikan teknologi penggunaan batu bara yang mutakhir, khususnya pada sektor energi.9 INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Ada beberapa alasan yang mendasari pentingnya bagi Indonesia untuk mengoptimalkan penggunaan batu bara sebagai sumber energi alternatif. Pertama, pembangkit listrik dengan batu bara diyakini menelan biaya investasi paling rendah alias paling murah, sehingga Indonesia sebagai negara berkembang sangat berkepentingan dalam hal ini, terutama untuk memajukan perekonomiannya. Kedua, fakta menunjukkan bahwa negara-negara maju pun telah banyak menggunakan batu bara sebagai sumber energinya. Menurut data World Coal Association (WCA) tahun 2012, persentase pemanfaatan batu bara untuk pembangkit listrik cukup signifikan untuk beberapa negara, diantaranya Australia 69%, China 81%, AS 43%, Jerman 43%, Afrika Selatan 94%, Mongolia 98%, Polandia 86% dan India (68%). Sementara Indonesia, menurut statistik PLN tahun 2012 telah menggunakan sekitar 44% batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listriknya, sedangkan dari total konsumsi energinya, batu bara memberikan porsi sekitar 24%. Ketiga, Indonesia kaya akan potensi batu bara, bahkan menurut sumber yang sama, Indonesia menjadi produsen batu bara terbesar keenam dunia, meskipun anehnya batu bara kita lebih banyak diekspor daripada untuk konsumsi sendiri. Terbukti kita menjadi eksportir terbesar kedua setelah Australia (WCA, 2012), dan Jepang menjadi tujuan ekspor utamanya.10 Saat ini pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) mengacu kepada Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam Perpres disebutkan kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi bahan bakar nabati sebesar 5%, panas bumi 5%, biomasa, nuklir, air, surya, dan angin 5%, serta batu bara yang dicairkan sebesar 2%. INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Untuk itu langkah-langkah yang akan diambil Pemerintah adalah menambah kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Mikro Hidro menjadi 2,846 MW pada tahun 2025, kapasitas terpasang Biomasa 180 MW pada tahun 2020, kapasitas terpasang angin (PLT Bayu) sebesar 0,97 GW pada tahun 2025, surya 0,87 GW pada tahun 2024, dan nuklir 4,2 GW pada tahun 2024. Total investasi yang diserap pengembangan EBT sampai tahun 2025 diproyeksikan sebesar US$13,197 juta.11 Teknologi energi terbarukan saat ini berada dalam berbagai tahap dan masih harus dikembangkan dalam skala produksi komersial (commercial scale production) yang memerlukan dukungan kerangka regulasi/kebijakan energi dan mekanisme insentif fiskal yang memadai. Terdapat tiga tahapan pengembangan energi terbarukan, yaitu pertama, tahap penelitian dan pengembangan (research and development). Kedua, tahap pemanfaatan atau penggunaan (deployment), dan ketiga, tahap komersialisasi.12 Dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) harus ada daya dorong dan insentif. Insentif bisa menyangkut feed in tariff yang bisa menarik investor sehingga dapat mengatasi masalah karena harga energi dari energi baru terbarukan menjadi kompetitif.13 Insentif untuk listrik dari sumber energi terbarukan membutuhkan visi, perencanaan jangka panjang, konsistensi implementasi kebijakan serta koordinasi
antar lembaga, dan partisipasi publik. Berdasarkan pengalaman berbagai negara maju dan berkembang, dalam pengembangan energi terbarukan menunjukkan bahwa peranan pemerintah yang aktif dalam membuat kebijakan, regulasi, pemberian insentif serta koordinasi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) merupakan faktor keberhasilan yang utama. Investor memerlukan Transparency, Longevity and Certainty (TLC) untuk berinvestasi di sektor yang cukup berisiko ini.14 Beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa Indonesia perlu mengembangkan energi terbarukan untuk mendukung ketahanan energi dalam jangka panjang. Pertama, selama ini Indonesia sangat bergantung pada energi berbasis fosil yang bersifat nonrenewable (tidak terbarukan), sedangkan cadangan potensial yang dimiliki Indonesia semakin terbatas. Kedua, sumber-sumber energi alternatif, khususnya energi terbarukan tersedia secara melimpah di Indonesia, walaupun secara geografis terdistribusi secara tidak merata. Ketiga, sifat energi terbarukan yang dapat menyerap dampak dinamika pasar energi internasional dan ramah lingkungan.15
Permasalahan Energi di Indonesia Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, berdampak terhadap peningkatan konsumsi energi. Peningkatan jumlah konsumsi
Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan Energi Terbarukan Tenaga Air Panas Bumi Mini/Mikrohydro Biomassa Energi Surya Energi Angin
Potensi 75,67 GW 27 GW 712 MW 49,81 GW 4,8 kWh/m2/hari 3 – 6 m/det
Kapasitas Terpasang 4.200 MW 807 MW 206 MW 445 MW 8 MW 0,6 MW
Sumber: Statistik Energi Indonesia, www.batan.go.id.
21
U T A M A
U T A M A
terhadap kebutuhan energi berhubungan erat dengan pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan kegiatan ekonomi. Konsumsi berbagai jenis energi setiap tahunnya cenderung meningkat, terutama konsumsi BBM dan listrik sebagaimana terlihat pada tabel berikut. Konsumsi berbagai jenis energi yang cenderung meningkat sedangkan suplai dan cadangan energi yang semakin menipis, memunculkan permasalahan pelik bagi negara dalam penyediaan energi. Karut marut energi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari beberapa permasalahan seperti, pertama, bauran energi nasional masih didominasi oleh sumber daya energi fosil. Lebih dari 50% sumber daya energi yang digunakan berasal dari minyak bumi dan bila memasukkan batu bara dan gas alam maka angkanya mencapai 90%. Dengan komposisi seperti ini maka ketahanan energi nasional Indonesia menjadi sangat rapuh/rentan karena sumber daya energi fosil ini cadangannya terbatas. Kedua, suplai energi ke berbagai konsumen di tanah air terkendala faktor geografis negara yang terdiri dari berbagai pulau dan lautan. Hal ini menyulitkan distribusi energi secara merata di seluruh daerah di tanah air dan menyebabkan pembangunan
infrastruktur untuk jaringan distribusi bahan bakar cair maupun kelistrikan ke beberapa daerah menjadi tidak ekonomis. Ketiga, eksplotasi energi fosil yang sangat ekstensif telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah dan sulit diperbaiki baik di lokasi tempat penambangan sumber daya energi maupun akibat penjualan/ekploitasi pemanfaatannya yang menyebabkan efek gas rumah kaca karena emisi CO2 di udara yang berlebihan. Keempat, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya energi masih tergantung pada negara asing baik dari sisi permodalan maupun teknologinya (Hatta, 2012). Pembangunan dan penambahan infrastruktur merupakan solusi agar pemenuhan kebutuhan energi primer kita dapat terpenuhi. Penambahan jumlah kilang sangat mendesak untuk segera direalisasikan agar dapat meningkatkan kehandalan terhadap energi. Gangguan pada kilang minyak seperti adanya kerusakan, kebakaran dan unforced error lainnya, membuat minyak yang diproduksi tidak dapat diolah. Sementara dari sisi produksi gas, dibutuhkan infrastruktur pipa untuk menyalurkan gas dari sisi hulu ke sisi hilir agar program konversi BBM ke BBG dapat berjalan dengan sukses.
Rekomendasi Pemecahan Pertama, pemberdayaan energi nonmigas. Keadaan sumber energi fosil yang semakin menipis cadangannya, membutuhkan terobosan dan alternatif pemenuhan kebutuhan energi dari energi selain fosil seperti dari batu bara, biofuel, tumbuh-tumbuhan, air sungai, angin, sinar matahari, gelombang laut, dan bahkan nuklir. Jalan yang ditempuh adalah dengan melakukan diversifikasi energi mengingat cadangan minyak Indonesia hanya 0,3% cadangan dunia dan cadangan gas kita hanya 1,7% cadangan dunia. Sumber energi alternatif yang dianggap murah adalah energi panas bumi. Oleh karena itu, peran energi dari sumber panas bumi perlu ditingkatkan, mengingat 50% cadangan panas bumi di dunia dimiliki oleh Indonesia. Untuk meningkatkan penggunaan energi nonfosil, perlu adanya insentif, misalnya dalam bentuk penetapan harga jual yang tidak jauh berbeda dengan migas, bahkan kalau perlu lebih murah. Jika harga jual energi nonfosil tersebut lebih murah, diharapkan dapat merangsang masyarakat untuk beralih menggunakan energi nonmigas yang baru dan terbarukan. Di sisi lain, untuk penggunaan energi panas bumi, sebaiknya lebih diutamakan ter-
Tabel 2. Konsumsi Berbagai Jenis Energi (dalam barrel oil equivalent/BOE) Tahun
Biomassa
Batu Bara
Gas Alam
BBM
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
270,207 271,974 271,765 270,043 276,271 275,126 277,874 279,169 273,587 280,050
38,698 68,264 55,344 65,744 89,043 121,904 94,035 82,587 136,820 144,567
80,885 90,277 85,459 86,634 83,221 80,178 102,281 118,587 115,404 121,234
325,202 321,384 354,317 338,375 311,913 314,248 320,987 335,271 363,130 363,827
Produk Minyak Lain 22,688 23,533 37,716 29,614 41,126 39,873 16,658 55,663 55,765 69,978
Briket
LPG
Listrik
Total
83 77 80 94 94 89 155 220 49 66
8,744 8,766 9,187 8,453 9,414 10,925 15,718 24,384 32,067 37,046
53,418 55,473 61,393 65,644 69,071 74,376 79,138 82,499 90,707 97,998
799,926 839,748 875,261 864,601 880,153 916,720 906,846 978,380 1,067,529 1,114,767
Sumber: ESDM, 2012 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia.
22
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
hadap masyarakat di daerah penghasil panas bumi, baru kemudian menyusul ke daerah-daerah lain. Jadi dalam hal ini penyebaran penggunaan energi panas bumi dilakukan secara bertahap mengingat keterbatasan jangkauan dari infrastruktur yang ada. Begitu pula halnya dengan penggunaan energi batu bara, selain meningkatkan penggunaannya di dalam negeri, juga memungkinkan adanya konversi energi di mulut tambang sehingga daerah sekitar dapat menikmati energi listrik secara langsung. Kedua, pengelolaan energi mineral masih dapat ditingkatkan untuk mendapatkan devisa negara yang lebih tinggi dengan cara ekstraksi sehingga bijih yang berkualitas tinggi yang dikirim ke pasar. Tahap berikutnya membangun infrastruktur pengolahan biji tersebut sehingga menghasilkan bahan setengah jadi sehingga dapat meningkatkan devisa negara. Penertiban di berbagai hal di urusan mineral baik dalam hal pengukuran, penghitungan, pajak, lingkungan dan CSR sehingga lebih peduli pada masyarakat sekitar dan kepada pelestarian lingkungan. Listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, akan diusahakan agar elektrivikasinya ditingkatkan (ketersediaan listrik sampai ke desa-desa, maupun di daerah yang remote). Di sisi lain untuk kebutuhan nonprimer sudah dapat disesuaikan. Namun demikian, efisiensi teknis dan bisnis tetap masih harus dilakukan sehingga biaya konversi listrik menurun dan biaya kepada masyarakat menjadi lebih ringan.16 Ketiga, merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Revisi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas merupakan salah satu langkah untuk mengembalikan salah satu pilar kekuatan ekonomi Indonesia, yaitu kedaulatan energi. Revisi undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan berbagai bentuk campur tangan asing INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
dalam kebijakan energi nasional dan meninjau ulang liberalisasi di sektor migas. Proses liberalisasi migas dapat menghancurkan kedaulatan energi nasional. Oleh karena itu, kedaulatan energi harus dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat Indonesia. Beberapa langkah yang bisa diterapkan untuk mengembalikan kedaulatan migas antara lain, pertama, mengembalikan sumber daya alam, seperti minyak, gas dan batu bara serta sumber energi lainnya menjadi milik umum yang wajib dikelola oleh negara. Kedua, perlunya efisiensi di seluruh mata rantai produksi dan distribusi serta mengurangi impor minyak mentah. Ketiga, membenahi transportasi publik. Sektor transportasi merupakan salah satu penyebab tingginya konsumsi BBM, selain pemborosan terhadap BBM, sektor ini juga menimbulkan kemacetan yang parah di kota-kota besar. Konsumsi BBM yang berlebihan ditambah dengan kemacetan yang sulit terurai dapat meningkatkan polusi dan pemanasan global. Keempat, mengoptimalkan pemakaian energi alternatif selain fosil.17 Efisienkan kebutuhan energi dengan memaksimalkan penyediaan dan pemanfaatan energi terbarukan, paling tidak dengan harga pada avoided fossil energy cost, bila perlu disubsidi. Energi fosil dipakai sebagai penyeimbang dan sumber energi fosil yang tidak termanfaatkan dapat diwariskan untuk anak-cucu atau diekspor (www.esdm.go.id).
Penutup Energi menjadi prioritas dalam setiap kebijakan pemerintah yang bertujuan mencapai kemakmuran rakyat. Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi energi. Semakin tumbuh ekonomi suatu negara dan semakin
bertambah jumlah penduduknya, semakin banyak energi yang dikonsumsi warganya. Ketersediaan sumber energi dari fosil semakin tidak dapat diandalkan karena persediaannya yang semakin menipis dan tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan terobosan dari pemangku kebijakan agar pemenuhan energi tetap berkelanjutan. Kesinambungan energi tidak hanya diukur dari bagaimana pasokan energi kepada masyarakat dinilai cukup, tetapi kontinuitas dan kualitas energi juga patut diperhatikan. Mengingat cadangan energi fosil yang berwujud BBM diperkirakan hanya dapat dinikmati sekitar 10 – 20 tahun ke depan, maka perlu adanya kebijakan penggunaan energi alternatif yang berbahan baku nonfosil seperti tanam-tanaman yang dapat menghasilkan energi yang banyak tumbuh di daratan Indonesia seperti jarak, kelapa sawit, bunga matahari, tebu dan bahan bakar nabati lainnya. Kekuatan alam yang dimiliki Indonesia seperti arus sungai, air, gelombang laut, angin, dan matahari juga bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber energi. Batu bara sebagai salah satu sumber energi alternatif hingga saat ini pun penggunaannya masih belum dioptimalkan secara merata sebagai pengganti BBM untuk keperluan rumah tangga. Batu bara memang sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, tetapi ada paradoksial dimana cadangan batu bara yang melimpah sebagian besar malah diekspor sedangkan konsumsi domestik masih sangat besar. Jika semua sumber energi yang ada baik nonrenewable maupun renewable dapat dioptimalkan penggunaannya, niscaya tidak akan pernah terjadi krisis energi. Ketahanan energi masih tetap bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia karena kebutuhan terhadap ketersediaan 23
U T A M A
(availability), keterjangkauan (accessibility), dan akseptabilitas (mutu dan harga) energi tetap terjaga. Dengan terjaganya ketahanan energi, kedaulatan energi bangsa Indonesia pun semakin kokoh karena segala potensi sumber daya alam, termasuk migas dan sumber energi alternatif yang nonfosil mampu diberdayakan dan dihasilgunakan dengan baik. Saat ini yang menjadi pekerjaan rumah bersama adalah bagaimana
Referensi
U T A M A
Ja’far, Marwan, Energynomics: Ideologi Baru Dunia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009). Hermawan, Wawan “Sumber Daya Energi dan Mineral Terhadap Pembangunan Ekonomi Indonesia,” Bina Ekonomi, Vol. 8, No. 2, Agustus 2004. Herdinie, Nuryanti Scorpio S. “Analisis Tingkat Efisiensi Konsumsi Energi di Indonesia Menggunakan Pendekatan Metode EISD,” Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Energi Nuklir III, 2010, Pusat Pengembangan Energi Nuklir, Badan Tenaga Nuklir Nasional. “Menggenjot Energi Baru Terbarukan,” ESDMMAG, edisi 07, 2012, hal. 52. http://jokoparwata.wordpress. com/2011/12/15/sepintas-belajarekonomi-energi/, diunduh pada Rabu, 19 Februari 2014. ESDM, Indonesia Energy Outlook 2010. Kementerian ESDM, “Kebijakan dan Potensi Efisiensi Energi di Indonesia,” dipresentasikan pada Seminar Eksekutif Energy Efficiency Week, Surabaya, 17 Januari 2012.
Catatan Akhir 1
“Urgensi Ketahanan Energi Nasional”, http://republikoeindonesia. wordpress.com/2013/04/30/urgensi-ketahanan-energi-nasional/, diunduh pada Selasa, 25 Februari 2014.
24
merevisi dan memperbaiki kontrakkontrak migas agar tidak didominasi oleh kontraktor asing. Sudah saatnya pemerintah memberi kepercayaan kepada putra-putra bangsa terbaik untuk mengelola migas dan membangun kilang minyak sendiri tanpa harus bergantung kepada para broker dan kontraktor asing. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana membenahi integritas moral di kalangan para pemangku kepentingan
di sektor hulu dan hilir migas. Pengelolaan yang buruk dan tidak efisien timbul karena tidak adanya niat baik untuk mengelola migas demi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, tetapi yang terjadi sebaliknya, yaitu semakin tebal kantong-kantong para pejabat pengelola migas. Semoga terungkapnya kasus suap terhadap mantan Kepala SKK Migas menjadi pelajaran berharga dan menjadi yang terakhir. Jangan ada korupsi lagi. n
2
10 M. Syamsiro, “Mengoptimalkan Pemanfaatan Batu Bara Sebagai Energi Masa Depan yang Bersih dan Ramah Lingkungan”, http:// teknologi.kompasiana.com/ terapan/2013/10/08/mengoptimalkan-pemanfaatan-batubarasebagai-energi-masa-depan-yangbersih-dan-ramah-lingkungan-596755. html, diunduh pada Rabu, 19 Februari 2014. 11 “Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia”, www.esdm.go.id/berita/37-umum/1962-potensienergi-baru-terbarukan-ebt-indonesia.pdf, diunduh pada Kamis, 20 Februari 2014. 12 Iwan J. Aziz, dkk. (editor), Pembangunan Berkelanjutan Peran dan Kontribusi Emil Salim, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), h. 404. 13 “Butuh Intensif Bagi Pengembangan EBT”, ESDMMAG, Edisi 07, 2012, h. 53. 14 “Insentif untuk Listrik dari Energi Terbarukan”, www.iesr.or.id, diunduh pada Kamis, 20 Februari 2014. 15 Iwan J. Aziz, dkk., op. cit., h. 407. 16 www.ekonomi.inilah.com, diunduh pada Senin, 24 Februari 2014. 17 “Mewujudkan Kedaulatan Energi”, http://hizbut-tahrir. or.id/2013/07/29/mewujudkan-kedaulatan-energi/, diunduh pada Selasa, 25 Februari 2014.
3
4
5
6
7 8
9
Joko Santosa, dkk, Perencanaan Efisiensi dan Elastisitas Energi 2012, (Jakarta: BPPT Press, 2012), h. 1. “Membangun Ketahanan Energi Nasional, Menciptakan Kedaulatan Energi di Negeri Sendiri”, http:// amarsuteja.blogspot.com/2013/04/ membangun-ketahanan-energinasional.html, diunduh pada Senin, 17 Februari 2014. Sampe L. Purba, “Ketahanan Energi, Kemandirian Energi atau Kedaulatan Energi?”, http://migasreview. com/ketahanan-energi-kemandirian-energi-atau-kedaulatan-energi. html, diunduh pada Selasa, 11 Maret 2014. Rama Prihandana dan Roy Hendroko, Energi Hijau: Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi, (Jakarta: Penebar Swadaya, 2008), h. 7. Gan Thay Kong, Peran Biomassa Bagi Energi Terbarukan, Pengantar Solusi Pemanasan Global yang Ramah Lingkungan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010), h. 2. Pusdatin, Kementerian ESDM, Indonesia Energy Outlook, 2010. Erliza Hambali, dkk, Teknologi Bioenergi, (Jakarta: AgroMedia Pustaka, 2007), h. 4. “ADB Sebut Diversifikasi Energi Indonesia akan Tingkatkan Penggunaan Batu Bara”, http://energitoday. com/2013/10/16/adb-sebut-diversifikasi-energi-indonesia-akan-tingkatkanpenggunaan-batu-bara/, diunduh pada Rabu, 19 Februari 2014.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Demokrasi, Pemilu, dan Tantangan Fiskal Oleh: Syahrir Ika
Peneliti Utama pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email:
[email protected]
T
ahun 2014 adalah tahun di mana bangsa Indonesia akan melaksanakan perhelatan akbar dalam “berdemokrasi”. Semua rakyat Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas akan memberikan hak suaranya dalam Pemilihan Umum (PEMILU) untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR-RI, DPD-RI dan DPRD (Propinsi/Kabupaten/Kota). Rakyat Indonesia juga akan memberikan hak suaranya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019. Perhelatan akbar ini akan menjadi tonggak sejarah Bangsa Indonesia untuk memantapkan jalannya pembangunan menuju cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Dalam jangka menengah, sekitar sepuluh tahun lagi, wajah rakyat Indonesia akan berubah, setidak-tidaknya wajah kemakmurannya, yang direfleksikan oleh pendapatan per kapita. Dalam grand strategy pembangunan Indonesia yang tertulis dalam dokumen MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), pemerintah ingin meningkatkan pendapatan per kapita rakyat Indonesia dari 3,000 USD (2011) menjadi 14,250-15,500 USD (2025). Dari sisi kemajuan Negara dibandingkan dengan Bangsa-bangsa lain di dunia, pemerintah ingin memperbesar volume ekonomi (Produk Domestik Bruto atau PDB) sehingga posisi relatifnya yang berada di urutan 12 dunia bisa
loncat ke urutan 9 dunia pada tahun 2025 nanti1. Mimpi-mimpi besar ini bukan tanpa alasan, semua prasyarat untuk meraih mimpi itu dimiliki Indonesia. Persoalannya, bagaimana mengelola prasyarat-prasyarat itu secara efektif. Siapapun Presiden RI yang akan menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ia harus memiliki kemampuan tinggi untuk mengelola prasyarat kemajuan bangsa tersebut mengingat tantangan-tantangan yang ada cukup berat, termasuk di bidang fiskal. Kemampuan dimaksud tidak saja kemampuan me-reform strategi pembangunan nasional, tetapi juga kemampuan enterpreneurship dalam mengeksekusi stra-
25
e d u k a s i f i s k a l
tegi, kebijakan dan program-program pembangunan. Dua kebolehan inilah yang akan membantu sang Presiden baru dalam membuat terobosan-terobosan besar untuk merubah wajah Indonesia menjadi lebih cantik (baca: adil dan makmur).
Demokrasi yang Berkualitas
e d u k a s i f i s k a l
Pemilu lima tahun sekali, secara politik akan menentukan arah perubahan dan ukuran kecepatan perubahan pembangunan Indonesia di segala bidang. Makna dari “hak rakyat” untuk menentukan pilihan politiknya adalah “rakyat ikut menentukan arah dan kecepatan pembanguan”. Karena itu, rakyat mengamanatkan kepada wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD, dan DPRD untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Rakyat juga menggunakan haknya untuk memilih siapa yang menurut mereka merupakan putera/puteri terbaik di Negeri ini untuk menjadi pimpinan, baik Presiden maupun Wakil Presiden. Berapapun ongkos politik yang timbul atas proses demokrasi ini, nampaknya bukan merupakan urusan rakyat. Bagi rakyat, yang paling penting adalah wakil mereka yang terpilih menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD bisa memperjuangkan aspirasi politik mereka. Rakyat juga memberi amanat kepada Presiden dan Wakil Presiden untuk mempimpin Bangsa Indonesia lima tahun ke depan. Rakyat mengingkan Presiden dan Wakil Presiden memilih dan menjalankan programprogram pembangunan yang tepat, program yang mampu membuat rakyatnya lebih makmur. Rakyat ingin menyaksikan kualitas demokrasi yang membaik, sebuah demokrasi yang memiliki makna, demokrasi yang nilainya dirasakan oleh semua rakyat, bukan oleh segelintir orang. Demokrasi yang berkualitas adalah 26
Tabel-1 : Global Hunger Index 2012 Negara-negara Asia Tenggara dalam Indeks Kelaparan Global Negara 2003 2007 2008 2009 2011 2012 Penurunan (2003-2012 Indonesia 12,47 11,57 14,8 13,2 12,2 12,0 0,47 Malaysia 7,23 6,5 <5 <5 <5 5,2 2,03 Laos 23,83 22,23 19 18,9 20,2 19,7 4,13 Thailand 12,36 12,03 8,2 20,2 8,1 8,1 4,26 Philipins 17,55 16,23 13,2 8,1 11,5 12,2 5,35 Vietnam 18,37 17,70 11,9 11,5 11,2 11,2 7,17 Kamboja 30,73 27,57 21,2 20,9 19,9 19,6 11,13 Sumber : Global Hunger Index (GHI) berbagai Tahun, diolah Keterangan : Skala indeks dari 0 (terbaik) hingga 100 (terburuk). Indeks di bawah 4,9 artinya “kelaparan rendah”. Indeks 5,00-9,9 artinya, “kelaparan sedang”. Indeks 10-19,9 artinya, “kelaparan serius”. Indeks 20,029,9 artinya, “kelaparan menghawatirkan” dan indeks >30 artinya, “kelaparan sangat menghawatirkan”.
demokrasi yang bisa menciptakan keadilan, mengurangi kesenjangan pendapatan, serta memudahkan akses rakyat pada semua kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pangan, perumahan, dan energi. Demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang tidak terus menerus memberi karpet merah kepada golongan kaya untuk menjadi lebih kaya. Demokrasi yang berkualitas juga harus memberi karpet merah kepada golongan miskin untuk menjadi tidak miskin, juga kepada golongan kurang kaya untuk menjadi cukup kaya. Khusus bagi golongan miskin, demokrasi yang berkualitas adalah demokrasi yang bisa mengurangi jumlah kelaparan, yang dalam 7 tahun terakhir mengalami sedikit peningkatan dan masuk ke golongan “kelaparan serius“ menurut Global Hunger Indekx (Tabel-1). ######## Demokrasi yang berkualitas juga harus mampu menciptakan perubahan dalam dimensi kualitas pemerataan pembangunan, yaitu sebuah demokrasi yang mampu memperbaiki strata kekayaan masyarakat Indonesia. Wajah ketidakadilan, di mana sebagian kecil masyarakat Indonesia (sekitar 10-20 persen) yang saat ini menguasai sekitar 80 persen hingga 90 persen kekayaan di Negeri ini, harus segera
dirubah, agar kue pembangunan itu bisa lebih merata. Makna demokrasi yang mestinya menjadi pegangan rakyat adalah ongkos demokrasi yang mahal harus dibayar dengan terciptanya pemerataan pembangunan dan/ atau mengecilnya kesenjangan pendapatan antargolongan masyarakat maupun antar wilayah/daerah.
Tantangan-tantangan Fiskal Beberapa tantangan fiskal yang akan dihadapi pemerintah baru antara lain : Pertama, banyak sekali daerah di Indonesia yang masih jauh dari makmur. Perjuangan untuk merubahnya menjadi makmur masih memerlukan waktu dan kerja keras dari Pusat hingga Daerah. Bila dilihat dari sebaran PDRB per kapita, maka hanya 5 dari 33 propinsi di Indonesia yang memiliki PDRB per kapitanya cukup tinggi (> Rp. 50 juta). Sementara 5 propinsi lainnya (NTT, NTB, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara) memiliki PDRB per kapitanya sangat rendah (< Rp. 10 juta). Selebihnya (23 propinsi) memiliki memiliki PDRB per kapitanya sedang (rata-rara Rp. 20 juta). Bila dilihat dari rata-rata PDRB per kapita yang berada di kisaran Rp.32 juta, maka hanya ada 5 propinsi yang berada di atas rata-rata nasional (yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau, INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Gambar-1: PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Propinsi (Ribu Rupiah), 2004 dan 2012
Sumber : BI, Data dan Informasi Kinerja Pembangunan 2004-2012, diolah
Papua Barat, dan Kepulauan Riau), sementara 28 propinsi lainnya berada di bawah PDRB per kapita rata-rata nasional (lihat Gambar-1). Kedua, kesenjangan pendapatan makin lebar dalam 7 tahun terakhir. Indikator umum yang dipakai secara global untuk mengukur kesenjangan pendapatan di suatu Negara adalah Gini Ratio. Bila Gini Rasio makin lebar mengindikasikan kesenjangan pendapatan makin lebar. Pada tahun 2003, Gini Rasio Indonesia baru mencapai 0,32, sedangkan pada tahun 2013 naik menjadi 0,412, yang berarti kesenjangan pendapatan makin lebar. Ketiga, kualitas SDM yang masih rendah dan kalah bersaing dengan Negara lain. Persaingan antar bangsa akan lebih ditentukan oleh pesaingan dalam hal kualitas manusianya. Negara yang dihuni oleh manusia-manusia yang bermutu memiliki banyak inovasi untuk membangun Negaranya. Perkembangan daya saing suatu Negara (relatif dibandingkan dengan Negara lain) biasanya linear dengan perkembangan kualitas manusia, yang tergambar dari HDI (Human Development Index) atau IPM (Indeks INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Pembangunan Manusia). Menurut laporan yang diterbitkan UNDP, IPM Indonesia adalah 0,629 dan berada di urutan 121 dari 187 Negara yang disurvei. Capaian ini menjadikan Indonesia digolongkan dalam “Medium Human development”. Dalam kelompok ini, ada 10 negara selain Indonesia, yaitu Cambodia, Timor Leste, Vietnam, Vanuatu, Laos, dan Kiribati. IPM menggambarkan kualitas manusia dalam bidang pendidikan (education index), kesehatan (life expectancy index), dan ekonomi (economic index). Selama pemerintahan SBY, IPM Indonesia berhasil diangkat dari 0,68 menjadi 0,73. Namun, kenaikan IPM tersebut lebih dikontribusi oleh IPM di 16 propinsi. Ada 3 porponsi (NTT, NTB, dan Papua), yang IPM-nya tidak saja lebih rendah dari rata-rata IPM tahun 2004 tetapi juga lebih rendah dari rata-rata tahun 2011. Tentu rakyat di propinsi-propinsi yang tertinggal ini memiliki harapan besar kepada wakilwakil rakyat agar memperjuangkan alokasi anggaran yang cukup besar untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan berbagai infrastruktur dasar lainnya sehingga mereka bisa bangkit
dan mengejar ketertinggalan. Rakyat Indonesia juga akan menguji “politik pembangunan” dari Persiden baru, terutama pembangunan di kawasan Indonesia Bagian Timur. Bila dilihat dari sisi Gini Ratio dan PDRB per kapita, maka paling tidak, ada 8 propinsi yang memerlukan perhatian khusus, yaitu NTT, NTB, Papua, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat. Karena itu, tantangan bagi pemerintahan baru adalah bagaimana mengangkat derajat kesejehteraan dan kualitas manusia di daerah-daerah tersebut. Gambar-2 : Indeks Pembangunan Menusia (IPM) Indonesia Menurut Propinsi 2004 dan 2011 Sumber: UNDP Keempat, pemekaran daerah yang sulit dikendalikan pusat. Proses pemekaran daerah di era pemerintahan SBY bersifat buttom-up dan didominasi oleh proses politik dibanding proses administratif sebagaimana yang dipraktekan pada masa pemerintahan Soeharto dalam membentuk Kota Administratif dan Kota Madya 27
e d u k a s i f i s k a l
Gambar-2 : Indeks Pembangunan Menusia (IPM) Indonesia, Menurut Propinsi 2004 dan 2011
Sumber: UNDP
e d u k a s i f i s k a l
(Syahrir Ika, 2013)3. Sejak diberlakukan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sampai dengan tahun 2013 telah terbentuk 220 DOB (Daerah Otonomi Baru), sehingga total Daerah di Indonesia sudah mencapai 539 Daerah, meliputi 34 Provinsi, 412 Kabupaten, dan 93 Kota4. Pemekaran Daerah ini harus dilihat dari dua sisi. Pertama, sisi Otonomi Daerah, diharapkan Daerah bisa menyelesaikan masalah yang mereka hadapi sehingga bisa lebih mandiri dan tidak harus terus bergantung pada APBN (Pusat). Kedua, dari sisi beban fiskal, ada konsekuensi sebagai Negara Kesatuan, APBN harus mendistribusikan pendapatan Negara untuk membelanjai keperluan desentralisasi. Ini merupakan amanat UU, sehingga Transfer ke Daerah bisa dilihat sebagai belanja mandatory. Persoalannya ada risiko membengkaknya Dana Transfer ke Daerah bila jumlah Daerah menjadi semakin banyak. Sejak tahun 2006 hingga 2012, Dana Transfer ke Daerah meningkat hampir dua kali lipat (lihat Tabel-2). Tambahan DOB menjadi faktor yang paling menentukan meningkat28
nya Dana Transfer ke Daerah. Bagaimana mengendalikannya? Inilah tantangan Pemerintahan baru nanti. Saat ini, masih banyak usulan DOB yang dalam proses pengambilan keputusan di tingkat Pemerinrtah dan Parlemen. Tekanan kepentingan Daerah (seperti pertimbangan etnis, rentang kendali, kekuatan elit Daerah, dan merasa kurang diperhatikan Pusat) sering kali lebih dominan. Daya juang tokohtokoh Daerah sangat tinggi, mereka berborong-borong ke Jakarta menemui Mendagri dan sejumlah Menteri lainnya, serta ke Komisi terkait di DPR dan DPD untuk memerjuangkan rencana pemekaran daerah mereka. Haruskah usulan-usulan DOB tersebut dikabulkan? Berbagai indi-
kator pembangunan yang diuraikan di atas membuktikan bahwa bila tujuan Otonomi Daerah (Otda) adalah untuk pemerataan kesejehteraan, maka jawabannya adalah “belum dicapai”. Banyak Daerah Kabupaten/ Kota sulit diatur, tidak saja oleh Pusat, tetapi juga oleh Gubernurnya. Para Kepala Daerah tersebut beralasan bahwa mereka dipilih rakyat, bukan dipilih Gubernur atau Presiden. Tekanan politik Daerah ini akan semakin kuat di masa mendatang bila UU tentang Otonomi Daerah tidak diamendemen. Pemekaran Propinsi, Kabupaten, dan Kota akan semakin sulit dikontrol sehingga ada potensi semakin banyak. Dampaknya akan berat ke Dana Transfer ke Daerah.
Tabel-2 : Dana Tranfer Ke Daerah 2006-2013 (triliun rupiah)
Transfer Ke Daerah Dana Perimbangan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
2006 LKPP 226,2
2008 LKPP 282,4
2010 LKPP 344,7
2013 APBN 528,6
222,1 4,0
278,7 13,7
316,7 28,0
444,8 83,8
Sumber : Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Ditjen Anggaran, Kementerian Keuangan RI, 22 Desember 2012.
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Bila menggunakan data tahun 2013, di mana jumlah DOB sebanyak 539 Daerah dan Dana Transfer ke Daerah, maka rata-rata setiap daerah meneriman Dana Transfer sekitar Rp. 980 miliar lebih. Bila pada pemerintahan mendatang akan dibentuk lagi 10 DOB, maka Kementerian Keuangan harus menambah alokasi Dana Transfer sekitar Rp.10 triliun5. Ini sulit dihindari karena Dana Transfer Ke Daerah ini diwajibkan oleh Undang-Undang sehingga sifatnya “mandatory”. Persoalannya adalah struktur APBN di Indoensia sudah banyak diikat oleh belanja yang bersifat “mandatory”. Selain Dana Transfer ke Daerah, juga belanja pendidikan dan belanja kesehatan. Belum lagi dana untuk membayar kewajiban pokok dan bunga pinjaman sehingga ruang fiskal (fiscal space) pemerintah menjadi sangat sempit. Pemerintah menjadi semakin sulit membangun infrastruktur baru dan memelihara infrastruktur lama. Bagaimana memitigasi risiko Otda yang berimplikasi ke risiko fiskal? Menurut penulis, hanya ada dua cara. Pertama, membatasi jumlah DOB dengan membuat kriteria yang sangat berat. Kedua, mengembalikan DOB
ke Daerah induknya bila DOB tersebut tidak memenuhi persyaratan minimal yang telah diatur dalam Undang-Undang6. Tentu ini diperlukan seorang Presiden yang berani. Kelima, pembangunan infrastruktur terkendala banyak hal. Untuk membangun infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, dan rel kereta api untuk mendukung pengembangan pusat-pusat ekonomi berbasis enam koridor ekonomi yang sudah dicanangkan pemerintah melalui MP3EI, ternyata bukan saja soal lahan, tetapi juga soal koordinasi, soal anggaran, dan lain lain. Masing-masing koridor ekonomi memiliki tema pembangunan menjadi prioritas untuk dikembanghkan (lihat Gambar-3), tetapi kesulitan infrastruktur membuat tema pembangunan itu belum bergerak sesuai harapan. Pemerintah merencanakan pengembangan pusatpusat pertumbuhan ekonomi di enam koridor tersebut dimotori oleh dunia usaha dan difasilitasi oleh pemerintah, namun masih sedikit sekali dari proyek-proyek tersebut yang dapat dieksekusi dengan baik. Salah satu faktor penghambat pembangunan proyek-proyek infra-
struktur adalah pembiayaan. Sebenarnya Pemerintah telah mendesain kebutuhan anggaran infrastruktur untuk dikerjakan pada masa pemerintahan SBY (2010-2014) dan dilanjutkan pada pemerintahan selanjutnya hingga tahun 2030 (lihat Gambar-4). Namun, ternyata tidak mudah mengajak pihak swasta untuk berkontribusi pada proyek-proyek infrastruktur melalui skema KPS atau PPP (PublicPrivate Patnership). Hingga saat ini, banyak proyek infrastruktur yang dibangun dengan skema PPP masih belum berjalan sesuai yang diharapkan. Pemerintah bahkan sudah memberikan sejumlah fasilitas insentif perpajakan dan insentif lainnya, akan tetapi belum mampu menarik minat swasta dalam proyek-proyek PPP. Penundaan penyelesaian proyekproyek infrastruktur merupakan salah satu tantangan besar bagi siapa saja yang akan menjadi Presiden RI yang ke-tujuh. Pemerintahan baru harus mencari kiat lain untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur, terutama yang bersifat mendesak seperti menambah panjang rel dan jalur Kereta Api, memperbaiki dan membangun pelabuhan laut dan udara, memper-
Gambar-3 : Tema Pembangunan di Enam Koridor Ekonomi
Sumber : Dokumen MP3EI, Kementerian Koordinator Perekonomian RI
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
29
e d u k a s i f i s k a l
e d u k a s i f i s k a l
baiki dan memperpanjang jalan tol dan jalan non-tol, memperbaiki irigasi yang rusak, dan sebagainya. Bisa saja politik fiskal yang akan ditempuh Pemerintah baru adalah bila penerimaan perpajakan relatif terbatas, maka pemerintahan baru bisa menambah alokasi anggaran untuk belanja modal dengan cara memperbesar level defisit menembus -3 persen terhadap PDB asalkan kebijakan tersebut berhasil mempercepat penyelesaian proyek-proyek infrastruktur. Dengan kata lain, prudentialnya “sedikit” dilonggarkan. Pertanyaanya, apakah Pemerintahan baru bersedia menerobos batasan defisit yang telah menjadi patokan dalam UU Keuangan Negara. Cara kedua, pemerintahan baru mungkin saja memiliki keyakinan bahwa potensi penerimaan pajak yang belum di-collect masih cukup besar sehingga perlu dicari berbagai “kiat” untuk menariknya. Bisa saja Presiden baru menempatkan figur yang memimpin Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dari kalangan Angkatan Bersenjata agar para Wajib Pajak (WP) bisa didorong lebih disiplin dalam me-
laksanakan kewajiban perpajakannya. Atau, seperti di Negara-negara maju, sistem adiministrasi perpajakan dapat merekam setiap kegiatan ekonomi sehingga basis data memungkinkan aparatur pajak melakukan penetapan dan penagihan pajak.
Penutup Banyak sekali tantangan yang dihadapi pemerintahan baru hasil pesta demokrasi (PEMILU) tahun 2014. Negeri ini mengharapkan kedatangan pemimpin baru yang tentunya lebih baik karena tantangan yang dihadapi semakin berat. Presiden baru tentu membawa visi dan misi baru sebagaimana yang dijanjikan kepada rakyat ketika PEMILU. Sementara beberapa kebijakan dan program pembangunan yang sedang dijalankan oleh pemerintahan SBY mungkin saja dinilai baik sehingga perlu dilanjutkan. Sang Presiden baru bisa saja melakukan perombakan total dari apa yang sudah ada ataukah melakukan perbaikan seperlunya, semacam reorientation and refocusing of the policy, dan reengineering of fiscal policy and budgets. Penulis memperkirakan arah kebijak-
an fiskal tidak akan banyak berubah kecuali dalam hal keberanian dalam melakukan perbaikan terhadap struktur APBN dalam rangka menciptakan APBN yang sehat dan produktif. Untuk maksud tersebut, ada kemungkinan pemerintahan baru akan melakukan koreksi terhadap belanja-belanja yang bersifat mandatory. Penulis juga memperkirakan pemerintahan baru akan memilih fokus pada pemerataan (mengurangi demand) dibandingkan mendesain pertumbuhan yang tinggi (meningkatkan demand), akan tetapi menghasilkan kesenjangan yang makin lebar yang dicerminkan oleh naiknya Gini Ratio. Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang agak tertinggal selama ini, mungkin menjadi sektor paling prioritas dari pemerintahan baru mengingat sektor ini menyediakan lebih dari 60 persen lapangan pekerjaan yang memiliki kepekaan terhadap penangguran, kemiskinan, dan kelaparan. Sektor ini juga mampu menjadi benteng bagi gangguan krisis ekonomi global. Mengenai pembiayaan Infrastrukur, penulis memperkirakan kemungkinan besar Presiden
Gambar-4 : Kebutuhan Dana Infrastruktur Dalan Dua Tahap Pengembangan
Sumber : Dokumen MP3EI, Kementerian Koordinator Perekonomian RI
30
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
baru akan memilih mengoptimalkan dana APBN (belanja modal), sementara pendanaan dengan skema PPP akan diutamakan bagi proyek-proyek infrastruktur yang memang benar-benar diminati swasta saja. Pemerintah mungkin akan menyediakan insentif fiskal yang besar kepada dunia usaha yang ikut membangun infrastruktur besar dan prioritas tinggi. penulis juga memperkirakan Presiden baru akan memperbaiki semua regulasi yang bersifat menghambat atau memperlambat proses eksekusi kebijakan dan program-program pembangunan, begitu juga tentang kelembagaan dan koordinasi, baik Pusat-Daerah maupun antar Kementerian/Lembaga (K/L) yang selama ini dirasakan masih lemah. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah kemampuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi serta kemampuan dalam mengek-
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
sekusi suatu kebijakan akan lebih ditentukan oleh kualitas leadership serta keberanian, dan kecepatan Sang Nahkoda Negara dalam mengambil keputusan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip good governance dan manajemen risiko. Bila sasaransararan pembangunan dalam lima tahun ke depan dapat dicapai, apalagi
terlampaui (beyond), maka domokrasi di Indonesia telah memperlihatkan kualitasnya. Anggaran Negara yang besar untuk keperluan sebuah pesta demokrasi memberikan outcome sesuai yang diharapkan rakyat Indonesia. Disinilah ukuran kesuksesan dari penyelenggaraan PEMILU bagi sebuah Negara. n
Catatan Akhir 1
2 3
4 5 6
Lihat tulisan Syahrir Ika berjudul “MP3EI, Breakthrough Strategy Menuju Negara Maju”, bagian dari Buku MP3EI: Breakthrough Strategy Indonesia Menuju Negara Maju. LIPI Press.2012.halaman 13-17. Head Line , Indonesia Investment, 16 Janurai 2014. Tajuk : Higher Gini Ratio Shows Indonesia’s Widening Income Distribution Inequality Lihat tulisannya berjudul ‘Demokrasi, Otonomi Daerah, dan Desentralisasi Fiskal. Bagian I dari buku “Risiko Fiskal Daerah”. Penerbit Era Adicitra Intermedia. 2013. Halaman 52-53. Aris Ahmad Risadi (regional.kompasiana.com/2013/11/08/paradoksdaerah-otonom-baru-607537.html) Angka ini hanya perkiraan kasar dengan perhitungan sederhana. Usulan ini juga telah ditulis oleh Syahrir Ika (2013). Ibid halaman 72.
31
e d u k a s i f i s k a l
Energi Terbarukan, Apa dan Mengapa Oleh: Widodo Ramadyanto
Kepala Subbidang Risiko Badan Usaha Milik Negara Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal – Badan Kebijakan Fiskal – Kementerian Keuangan. Email:
[email protected]
E e d u k a s i f i s k a l
nergi bukanlah segalanya, tetapi segalanya tidak bisa tercipta tanpa adanya energi” begitu kata-kata yang sering kita dengar tanpa tahu siapa pencetus awalnya. Kata-kata “Energi bukanlah segalanya” seperti menyindir kebijakan pemerintah yang seolah tidak berpihak pada pembangunan sektor energi di Indonesia. Sementara itu, kata-kata “segalanya tidak bisa tercipta tanpa adanya energi” menegaskan pentingnya energi dalam kehidupan manusia. Jadi kata-kata tersebut seo-
lah mengingatkan kita bahwa energi adalah hal yang sangat penting bagi manusia dan perlu perhatian lebih mendalam. Energi apa yang masih butuh banyak perhatian? Untuk melakukan sesuatu, manusia membutuhkan energi. Untuk membaca tulisan ini misalnya, dibutuhkan energi. Energi manusia berasal dari makanan dan minuman. Makanan dan minuman tersebut pada umumnya harus dimasak. Untuk memasak, diperlukan juga energi selain tenaga manusia yaitu energi untuk mema-
naskan makanan diantaranya listrik dan gas. Bila pun manusia memakan makanan yang tidak perlu dimasak sebelumnya, buah misalnya, diperlukan juga energi untuk mengambil dari sumbernya. Yaitu memetik untuk buah. Jadi tanpa adanya energi, manusia tidak bisa hidup. Pada lingkup yang lebih besar, energi diperlukan untuk menggerakkan berbagai sektor dalam kehidupan manusia. Untuk berpindah tempat yang tidak dapat dijangkau dengan berjalan kaki dan bersepeda,
Gambar 1. Rasio Elektrifikasi Indonesia Tahun 2013
Sumber: Kementerian ESDM, 2014.
32
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
manusia memerlukan alat transportasi. Alat transportasi ini memerlukan sumber energi. Sementara itu, untuk memudahkan hidup dan kehidupan, manusia membutuhkan penerangan dan peralatan elektronik. Perangkat ini juga memerlukan energi, yaitu energi listrik. Jumlah terbesar energi adalah untuk digunakan sebagai bahan bakar dan sebagai listrik. Bahan bakar sendiri, di Indonesia, pemakaian terbesar adalah untuk sektor transportasi dalam yaitu bensin dan solar. Karena bahan bakar ini sebagian besar masih disubsidi oleh pemerintah, maka pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi sangat besar. Penggunaan energi terbesar berikutnya adalah dalam bentuk listrik. Hingga saat ini masih banyak rumah tangga di Indonesia belum dapat menikmati listrik. Pada tahun 2013, sekitar separuh penduduk di Provinsi Papua belum dapat menikmati listrik (lihat Gambar 1).
Jenis Energi BBM dan listrik dapat diperoleh dari sumber yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan. Sebagian besar BBM yang digunakan di Indonesia berasal dari bahan bakar fosil yang tidak terbarukan. BBM dari energi terbarukan yang biasa juga disebut sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel. Indonesia banyak menggunakan BBN tersebut dalam bentuk biodiesel yang digunakan sebagai campuran solar yang djual di SPBU. Selain itu, beberapa pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) telah menggunakan juga BBN. Namun, secara umum, pemakaian BBN di Indonesia belum optimal. Konsumsi BBN masih jauh dibawah produksinya (lihat Gambar 2). Sementara itu, sumber energi pembangkitan listrik juga dapat diINFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Gambar 2. Produksi dan Konsumsi BBN di Indonesia (ribu barrel per hari)
Sumber: U.S. Energy Information Administration (EIA), 2014.
bedakan menjadi sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan, yaitu: a. Sumber energi terbarukan Sumber energi ini adalah sesuatu yang tidak akan habis seperti angin, sinar matahari, tanaman, dan banyak lagi. Sesuatu yang dapat dipakai lagi dan lagi contohnya sinar matahari, angin, biomassa, air dan panas bumi; b. Sumber energi tidak terbarukan Sumber energi ini adalah sesuatu yang pada suatu saat akan habis
seperti batu bara, minyak bumi, gas alam, dan uranium.
Energi Terbarukan dan Keberlangsungan Energi Negara yang baik adalah yang mempunyai ketahanan energi yang tinggi. Berdasarkan peringkat Energy Sustainability Index yang disusun oleh World Energy Council, Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2013 menduduki peringkat ke-73 dunia. Ini meningkat setelah pada tahun 2012
Tabel 1. Indonesia Energy Sustainability Index Rangkings and Balance Score
Sumber: World Energy Council, 2014.
33
e d u k a s i f i s k a l
e d u k a s i f i s k a l
mengalami penurunan peringkat dari peringkat 83 di tahun 2011 menjadi peringkat 85 (lihat Tabel 1). Terdapat beberapa syarat agar ketahanan energi meningkat (Tumiran, 2013), antara lain: a. Tersedia dengan cukup untuk kurun waktu tertentu; b. Harga terjangkau oleh kemampuan masyarakat; c. Tahan/tidak mudah terpengaruh oleh gejolak lokal, regional maupun internasional; d. Memiliki kemandirian di dalam pengelolaan, meliputi, managemen, teknologi, transportasi dan pendistribusian; dan e. Memiliki sarana infratstruktur yang cukup. Semakin besar unsur-unsur di atas dapat dipenuhi, maka semakin kuat ketahanan energi kita. Jika dibandingkan antara Energi Terbarukan dan Tak Terbarukan, penggunaan Energi Terbarukan akan meningkatkan ketahanan energi.
Energi Terbarukan dan Ketersediaan Energi Sumber energi primer pembangkit listrik energi tak terbarukan
34
umumnya yaitu batu bara, minyak bumi, gas bumi, dan nuklir. Energi primer ini ini diperoleh melalui usaha penambangan sehingga jumlahnya di alam terbatas. Dalam jangka panjang, sumber daya tersebut akan habis sehingga kurang baik untuk ketahanan energi. Pada sisi lain, sumber energi terbarukan, keberlangsungan energinya lebih terjamin. Namun, keberlangsungan sumber energi tersebut tidak sama untuk tiap-tiap jenis pembangkit listrik. Pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat menjangkau berbagai daerah terpencil di Indonesia sehingga cocok untuk daerah yang berada di luar jaringan listrik (off-grid). Namun, salah satu kelemahan utamanya adalah ketergantungan yang tinggi pada jumlah paparan matahari, sehingga kurang handal pada musim penghujan. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) juga menemui kendala yang hampir sama. Secara umum, kecepatan angin di Indonesia adalah antara 4 m/detik hingga 5 m/ detik. Kecepatan angin yang lebih besar dapat ditemui di daerah-daerah tertentu seperti di pantai serta
dengan ketinggian tertentu. Pada tempat-tempat tersebut, dengan ketinggian yang cukup, kecepatan anginnya dapat mencapai 10 m/detik. Namun, kecepatan tersebut dirasa kurang ekonomis untuk dapat dikembangkan menjadi pembangkit listrik (Baruna, 2010). Beberapa daerah mempunyai potensi PLTB yang cukup besar seperti NTT dengan potensi lebih dari 50 MW, Banten 100 MW, dan Jawa Barat 100 MW. Daerah tersebut mempunyai potensi yang besar karena kecepatan angin cukup bagus dengan rata-rata di atas 5 m/detik, meskipun masih belum sebanding dengan banyak lokasi di Eropa yang kecepatan anginnya sampai 12 m/detik (Investor Daily, 2013). Pembangkit jenis lainnya adalah PTLB yang memanfaatkan biomassa. Biomassa adalah bahan biologis yang berasal dari mahluk hidup, umumnya berasal dari tanaman atau bahan tanaman yang biasa juga disebut sebagai biomassa lignoselulosa.1 Pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi listrik dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pemanfaatan secara langsung dilaku-
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Gambar 3. Emisi Karbon Dunia Berdasarkan Sumber Energi, 1990-2040 (miliar ton)
Sumber: EIA, 2014.
kan dengan menggunakan biomassa sebagai bahan bakar PLTU. Sementara itu, biomassa dapat dibentuk menjadi sumber energi lain yaitu biofuel. Konversi biomassa untuk biofuel ini dapat dilakukan dengan metode termal, kimia, atau metode biokimia. Biofuel dari biomassa ini kemudian digunakan sebagai sumber pembangkitan listrik. Proses pembangkitan listrik dengan menggunakan biofuel inilah yang disebut dengan pembangkitan listrik secara tidak langsung.
Energi Terbarukan dan Lingkungan Pembangkit listrik berbahan bakar fosil dapat menimbulkan efek berupa emisi pencemar (Iswan, 2010). Emisi-emisi yang dihasilkan antara lain SOX, NOX, CO, COX, VHC (Volatine Hydrocarbon), dan SPM (Suspended Particulate Matter). Polutan-polutan ini berbahaya bagi manusia: a. SOX adalah dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan; b. NOX bersama SOX dalam jumlah tertentu dapat mengakibatkan hujan asam; INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
c. COX akan membentuk lapisan gas rumah kaca yang menyelebungi permukaan bumi. Gas ini dapat menyebabkan perubahan iklim; d. Pada PLTU batu bara, dapat ditemukan partikel debu yang mengandung unsur radioaktif; e. Pada PLTU batu bara juga dimungkinkan terdapat logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, dan Se. Pembangkitan listrik dengan menggunaan bahan bakar sumber energi terbarukan yaitu BBN tidak seberbahaya bahan bakar fosil tetapi juga menghasilkan eksternalitas negatif seperti Gas Rumah Kaca, limbah, dan dampak lingkungan lain. Namun, secara keseluruhan efek negatif lebih banyak disumbangkan oleh energi fosil. Gambar 3 menunjukkan bahwa emisi karbon dunia diprediksikan akan semakin meningkat. Emisi dari batu bara merupakan penyumbang terbesar, lebih tinggi daripada emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar cair dan gas. Lebih lanjut, tren emisi CO dari batu bara di Indonesia dalam tiga pu-
luh tahun terakhir meningkat cukup tajam. Pada tahun 1980, emisi karbon di Indonesia hanya berjumlah tidak sampai 1,5 juta ton. Jumlah tersebut naik menjadi lebih dari sepuluh kali lipat pada tahun 1990. Sepuluh tahun berikutnya, jumlahnya menjadi 48 juta ton dan naik kembali menjadi lebih dari 157 juta ton. Jadi selama kurun waktu 31 tahun dari 1980 hingga tahun 2011, jumlah emisi karbon dioksida dari batu bara jumlahnya naik lebih dari seratus kali lipat. Emisi karbon dan polutan lainnya menimbulkan eksternalitas negatif. Eksternalitas ini, pada suatu saat akan menimbulkan biaya penanganan sehingga secara ekonomi, biaya eksternalitas seharusnya dipertimbangkan sebagai biaya pokok pembangkitan listrik. Untuk menghitung biaya pembangkitan listrik sebenarnya, biaya-biaya penanganan dan penanggulangan eksternalitas tersebut harus diperhitungkan dalam biaya pembangkitan listrik. Sebaliknya, pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi terbarukan tidak menghasilkan emisi karbon, kerusakan lingkungan yang diakibatkan pun minimal sehingga biaya eksternalitasnya pun minimal.
Insentif Fiskal Dengan memperhatikan berbagai manfaat dari energi terbarukan, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan fiskal untuk mendukung percepatan penggunaan energi terbarukan di antaranya adalah: a. Fasilitas Pajak Penghasilan, yang terdiri dari: • Pengurangan penghasilan neto sebesar 30%; • Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; • Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10%; 35
e d u k a s i f i s k a l
Gambar 4: Emisi CO dari Sumber Batu Bara di Indonesia, 1980-2011 (juta ton)
pengadaan Proyek PLTP KPS, dan mendukung pembiayaan kegiatan eksplorasi dalam ranga percepatan pengembangan proyek PLTP. Terdapat dua pihak yang dapat menggunakan fasilitas ini yaitu Pemerintah/Pemerintah Daerah dan pengembang. e. Penjaminan Pemerintah. Penjaminan ini diberikan untuk pembangunan pembangkit listrik yang termasuk dalam Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap II yang biasa juga disebut Fast Track Program II (FTP II). Sebagian besar pryek da-
Sumber: EIA, 2014.
•
e d u k a s i f i s k a l
Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh); • Dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang berupa mesin dan peralatan. b. Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai berupa pembebasan dari pengenaan PPN atas impor Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berupa mesin dan peralatan. c. Fasilitas Bea Masuk terdiri dari • Pembebasan Bea Masuk atas impor mesin serta barang dan bahan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam PMK Nomor 176 Tahun 2009 tentang Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal; • Pembebasan Bea Masuk atas impor barang modal sebagaimana diatur lebih lanjut dalam PMK Nomor 154 Tahun 2008 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit 36
Tabel 2 Penjaminan Pemerintah untuk Proyek Pembangkit Listrik Aspek
FTP II
Skema KPS
Ruang Lingkup
Gagal bayar PLN sesuai PPA
Kejadian risiko politik (political risk events) yang berdampak pada investasi swasta
Guarantor
Pemerintah
PT PII (dan pemerintah, untuk beberapa kasus)
Bentuk jaminan
Surat jaminan kelayakan usaha (SJKU) kepada pengembang
Perjanjian Penjaminan, ditujukan kepada pengembang
Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum. d. Fasilitas Dana Geothermal, yaitu dukungan fasilitas untuk mengurangi risiko usaha panas bumi bagi pengembangan pembangkit listrik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kecukupan data dari hasil Survei Pendahuluan guna menurunkan risiko eksplorasi, menyediakan data pendukung guna menyusun dokumen pelelangan dalam rangka penawaran Wilayah Kerja untuk
lam FTP II berupa PLTP dan PLTA. Penjaminan pemerintah juga dapat diberikan untuk proyek pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan yang dikerjakan berdasarkan skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). Penjaminan pemerintah tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan investor dan bankability proyek, sehingga pembangunannya diharapkan tidak menemui kendala yang berarti. Semoga. n
Catatan Akhir 1
Home: Biomass Energy Centre. (n.d.). Diakses tanggal 22 Januari 2014, from Biomass Energy Centre: http://www.biomassenergycentre.org. uk/portal/page?_pageid=76,15049&_dad=portal&_schema=PORTAL
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Berharap ECA Indonesia yang Lebih Agresif Oleh: Ivan Yulianto
Kepala Subbidang Risiko Keuangan dan Pengelolaan Utang Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal – Badan Kebijakan Fiskal – Kementerian Keuangan Email:
[email protected]
Pendahuluan Setelah hampir dua tahun berturut-turut mengalami defisit, berdasarkan data BPS tiga bulan terakhir tahun 2013, neraca perdagangan Indonesia mengalami rebound, tercatat pada bulan Oktober 2013 surplus sebesar US$424 juta, pada bulan November 2013 meningkat surplus menjadi US$776,8 juta, dan terbesar adalah surplus bulan Desember 2013 yang mencapai US$1,54 miliar. Kondisi neraca perdagangan yang surplus ternyata tidak berlanjut di 2014. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor di bulan Januari 2014
sebesar US$14,48 miliar, sedangkan impor sebesar US$14,92 miliar atau defisit sebesar US$430,6 juta. Total ekspor Indonesia tahun 2013 sebesar US$182,6 miliar1 atau lebih rendah 4% dibandingkan total ekspor tahun 2012 yang mencapai US$190 miliar. Angka ekspor tahun 2012 ini masih lebih rendah 6,6% dibandingkan ekspor tahun 2011. Dikhawatirkan defisit neraca perdagangan Indonesia masih akan berlanjut untuk periode berikutnya. Pertanyaannya, mengapa kita mesti khawatir terhadap defisit transaksi perdagangan Indonesia? Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya,
Ahmad Erani Yustika2, ketakutan terjadi ketika penurunan ekspor Indonesia dengan sangat mudah memengaruhi nilai tukar rupiah, hal itu bisa berdampak terhadap inflasi. Dalam jangka panjang juga akan memengaruhi suku bunga, investasi dan bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Penurunan ekspor Indonesia disebabkan oleh (i) aspek eksternal yaitu menurunnya permintaan dari beberapa negara mitra dagang Indonesia akibat pengaruh krisis global dan (ii) aspek internal berupa penurunan harga beberapa komoditas utama ekspor
Grafik 1. Spektrum Pembiayaan Ekspor
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
37
O P I N I
Indonesia. Penyebab menurunnya ekspor dari aspek eksternal dapat diatasi dengan ekstensifikasi ekspor ke pasar nontradisional sedangkan penyebab menurunnya ekspor dari aspek internal dapat diatasi dengan meningkatkan kualitas produk dan daya saing produk nasional serta efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
Peran Pembiayaan Ekspor untuk Mendorong Ekspor Nasional
O P I N I
Terkait ekstensifikasi pasar ekspor, pada tahun 2014 Kementerian Perdagangan telah menetapkan 179 program kegiatan promosi bersinergi dengan perwakilan Indonesia di dalam dan luar negeri. Format kegiatan berupa pameran internasional, pelaksanaan misi dagang, dan in-store promotion. Sebanyak 55% kegiatan akan dilaksanakan di wilayah pasar nontradisional, 41% lainnya di wilayah pasar tradisional, sementara sisanya untuk pasar dalam negeri. Sementara itu, upaya untuk mendorong peningkatan daya saing dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi salah satunya dengan menyediakan fasilitas pembiayaan
38
melalui pembiayaan ekspor (trade finance). Trade finance dapat memberikan dukungan pada pembiayaan ekspor sejak dari proses produksi hingga barang ekspor sampai di tangan pembeli di luar negeri. Sebagai contoh, peningkatan daya saing bisa ditempuh dengan cara meningkatkan competitive advantage suatu produk. Menurut Li Ling-yee dan Gabriel Ogunmokun3, pembiayaan ekspor dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi khususnya pada tahap postshipment financing dengan mempercepat pembayaran dari importir kepada eksportir sehingga tersedia sumber dana untuk produksi berikutnya dengan biaya yang lebih rendah daripada mencari pinjaman baru dari bank, dengan demikian dapat meningkatkan competitive advantage dari aspek harga jual. Dengan lini bisnis yang sangat menguntungkan, trade finance mempunyai daya dorong yang besar pada pertumbuhan ekonomi global, memiliki status yang tinggi dalam dunia perbankan dan bukan merupakan transaksi berisiko tinggi. Trade finance adalah bisnis pembiayaan ekspor yang dibangun di atas transaksi yang jelas oleh perusahaan yang mengirim ba-
rang dari satu tempat ke tempat lain. Dibandingkan dengan pasar keuangan lainnya, transaksi trade finance mempunyai jatuh tempo yang pendek dengan underlying transaction berupa barang ekspor yang disebutkan dalam transaksi. The Trade Register yang diterbitkan oleh International Chamber of Commerce (ICC) menegaskan bahwa trade finance adalah bisnis yang aman. Global Risks – TradeFinance 2013, menyebutkan adanya 8,1 juta transaksi trade finance jangka pendek dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 dengan kejadian default kurang dari 1800 kasus atau sekitar 0,02%. Laporan ICC melengkapi bukti kuat bahwa trade finance masih merupakan kegiatan perbankan yang berisiko rendah. Menurut The Economist Intelligence Unit, dua pertiga pertumbuhan ekonomi dunia berasal dari emerging market paling tidak sampai tahun 2015. Pergeseran kekuatan ekonomi ini kemungkinan akan mendorong industri trade finance mengatur ulang strategi terhadap emerging market. Di Indonesia, transaksi trade finance yang dilakukan oleh perbankan nasional cukup menggembirakan, sebagai contoh PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk (BNI) mencatat volume pembiayaan trade finance sebesar US$19,5 miliar hingga kuartal III-2013 atau tumbuh 18,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$16,5 miliar. Diperkirakan akhir 2013 volume trade finance BNI akan mencapai US$25 miliar.4 Transaksi ekspor yang dilakukan eksportir melalui Bank Mandiri hingga Desember 2012 mencapai US$56,57 miliar, tumbuh 4% dari tahun sebelumnya yang tercatat US$54,42 miliar di saat ekspor nasional tahun 2012 mengalami penurunan sebesar 7%. Bank Mandiri mencatat total transaksi perdagangan (trade finance) hingga Agustus 2013 sebesar US$41,02 miliar5. INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Meskipun bank-bank devisa sudah memainkan peran dalam pembiayaan ekspor akan tetapi kebutuhan trade finance dalam negeri masih cukup besar khusus pada spektrum post shipment financing dalam bentuk pembiayaan L/C, non L/C, Forfaiting/Factoring, buyer’s credit/overseas financing, trust receipt, export bills discounting, dan export guarantee/ insurance; di samping peluang working/investment capital yang masih sangat dibutuhkan oleh usaha kecil, menengah, dan koperasi (UKMK).
Peran Export Credit Agency Indonesia Sebagai Fiscal Tool Pemerintah Terkait pembiayaan ekspor, pemerintah mempunyai dua lembaga yang mendapat gelar sebagai Export Credit Agency (ECA) Indonesia yaitu PT Asuransi Ekspor Indonesia (Persero)/ASEI yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Im-
por, dan Lalu Lintas Devisa dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. ASEI bertugas memberikan fasilitas penjaminan dan asuransi ekspor sedangkan LPEI dirancang untuk memberikan fasilitas pembiayaan, penjaminan, dan asuransi untuk ekspor, di samping punya tugas lain memberikan jasa konsultasi. Keberadaan ECA Indonesia khususnya LPEI dengan sovereign status dan sifat sui generis yang disandangnya, diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata untuk mendorong ekspor nasional. Fungsi paling utama adalah dalam rangka fill the market gap, yaitu ketika perbankan dan asuransi nasional tidak mampu melewati batas-batas prudensial yang ditetapkan BI dan OJK, seperti ketentuan tentang ATMR; rasio kecukupan modal; BMPK; retensi sendiri; dan larangan pemberian kredit kepada pihak asing
sesuai PBI No.07/14/PBI/2005. LPEI bahkan dapat memberikan jasa konsultasi dan pembiayaan kepada eksportir yang nonbankable. Sebagaimana negara-negara lain, keterlibatan ECA dalam trade finance diharapkan mampu menjadi katalisator pertumbuhan ekspor nasional baik pada pre-shipment maupun post-shipment financing. Sampai saat ini aktifitas kedua ECA yang ada masih dominan pada general insurance domestik dan fasilitas pembiayaan berupa modal kerja/kredit investasi jangka menengah-panjang, sehingga peluang yang masih terbuka lebar pada postshipment financing banyak diambil oleh bank/asuransi asing. Sejak diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/6/PBI/2001 tentang pencabutan fasilitas jual-beli Devisa Hasil Ekspor (DHE), jual-beli wesel ekspor, dan pembiayaan/penjaminan L/C, LPEI mempunyai peluang untuk melakukan pembelian DHE yang dapat mengurangi kebutuhan valuta
Grafik 2. Pembiayaan Ekspor Nasional Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2009
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
39
O P I N I
Grafik 3. Skema Pembiayaan Ekspor Nasional
O P I N I
Sumber: LPEI, 2010 (diolah).
asing yang dapat menekan devisa Indonesia. Selain itu, ECA Indonesia dapat mendukung kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan incoterm ekspor yang semula FoB menjadi CIF (Cost, Insurance, and Freight) dengan memperbesar porsi penjaminan dan asuransi ekspor. Sebagaimana amanat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 tentang LPEI, Pemerintah perlu segera menyusun kebijakan dasar Pembiayaan Ekspor Nasional (PEN) yang akan menjadi pedoman pelaksanaan LPEI dalam menjalankan trade finance. Di dalamnya diatur peran LPEI berupa Penugasan Umum dan Penugasan Khusus dalam rangka mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan ekspor nasional; mempercepat peningkatan ekspor nasional; membantu peningkatan kemampuan produksi nasional yang berdaya saing tinggi dan memiliki keunggulan untuk ekspor; serta 40
mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi untuk mengembangkan produk yang berorientasi ekspor. Sebagai kuasi pemerintah, kebijakan dasar PEN mengatur tentang mekanisme penugasan kepada LPEI yang bersifat Penugasan Umum dan Penugasan Khusus. Penugasan umum Pemerintah kepada LPEI tercermin Pasal 12 UU Nomor 2/2009 bahwa LPEI berfungsi mendukung program eskpor nasional melalui Pembiayaan Ekspor Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) (berupa Pembiayaan, Penjaminan, dan/atau Asuransi). Penugasan umum Pemerintah kepada LPEI tercermin pada targettarget yang ditetapkan dalam Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) LPEI khususnya pada indikator fiskal/ persepsi stakeholder yang menjadi acuan kerja LPEI untuk memberikan kontribusi pada ekspor nasional dan
pekonomian nasional melalui fasilitas pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi. Dalam rangka mengoptimalkan peran LPEI sebagai fiscal tool Pemerintah, Kementerian Keuangan sedang mempersiapkan LPEI sebagai ECA Indonesia untuk lebih mengembangkan pembiayaan post-shipment financing dan menjalankan fungsi intermediasi antara eksportir dan importir. Selain itu fasilitas kredit ekspor akan terus ditingkatkan dengan perluasan segmen nasabah korporasi dan UKMK berbasis ekspor secara proporsional. Sedangkan Penugasan Khusus atau yang disebut sebagai program National Interest Account (NIA) diatur pada Pasal 18 UU Nomor 2/2009 bahwa LPEI dapat melaksanakan penugasan khusus dari Pemerintah untuk mendukung program ekspor nasional atas biaya Pemerintah. Penugasan Khusus adalah kebijakan Pemerintah yang bersifat nonviable secara INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Grafik 4. Skema Post-Shipment Financing
Sumber: Zaman Khan, 2013 (diolah).
komersial akan tetapi Pemerintah menganggap perlu untuk kepentingan ekspor nasional. NIA seyogyanya merupakan proyek/program flagship yang diharapkan mampu mengurai benang kusut ekspor nasional serta mempunyai multiplier effect yang besar pada perekonomian nasional. NIA merupakan stimulus ekspor yang bersifat opsional dan dievaluasi setiap periode waktu tertentu. Sebagai gambaran konkrit, bisa jadi suatu proyek yang ditetapkan sebagai program NIA oleh Pemerintah hanya berlangsung dalam kurun waktu tertentu, misalnya satu tahun, dan kemudian diganti dengan program NIA yang lain untuk tahun berikutnya. Untuk mewujudkan program NIA tersebut dirasa perlu adanya koordinasi antar kementerian/lembaga untuk menyamakan persepsi tentang NIA, kemudian secara bersama-sama menyusun konsep NIA yang menampung berbagai kepentingan instansi terkait. Intinya Kementerian Keuangan bertanggung jawab atas pembiaINFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
yaan NIA akan tetapi bentuk usulan transaksi/proyek yang akan dijadikan program NIA merupakan tanggung jawab dari kementerian/lembaga yang membidanginya. Sampai saat ini, penugasan khusus belum dapat dilaksanakan karena belum adanya kebijakan Pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan pembiayaan ekspor nasional maupun peraturan menteri keuangan tentang pelaksanaan penugasan khusus.
Penutup LPEI dirancang untuk menjadi solusi atas kelemahan-kelemahan
yang ada pada pembiayaan ekspor nasional. Kehadirannya seharusnya ditunggu-tunggu oleh dunia usaha, eksportir UKMK/korporasi, dan kementerian/lembaga yang terkait dengan ekspor. LPEI bukan menjadi lawan tapi sebagai partner komplementer bagi bank-bank devisa nasional dan perusahaan penjaminan/asuransi nasional. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak bahu-membahu menjadikan LPEI menjadi ECA Indonesia yang memberikan benefit bagi perkonomian nasional bukan hanya mengejar profit semata. Salam THINK BIG! n
Catatan Akhir 1 2 3
4 5
BPS, Berita Resmi Statistik,3 Maret 2014. http://dynamiteconomics.wordpress.com; 02/03/2013. Li Ling-yee dan Gabriel Ogunmokun, “Effect of Export Financing and Supply-Chain Skills on Export Competitive Advantage”, dalam Columbia Journal of World Business, Vol. 36(3,) 2001, h. 260-279. Investor Daily, 11 November 2013. www.bankmandiri.co.id, 14 Maret 2013.
41
O P I N I
Mencapai Ketahanan Energi Dengan Pembangunan Kilang Minyak Melalui Skema Kerjasama Pemerintah Swasta Oleh: Eko Nur Surachman
Kepala Subbidang Risiko Infrastruktur Transportasi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF, Kementerian Keuangan. Email:
[email protected]
Latar Belakang
O P I N I
Dari sisi ketersediaan, data riset
(metrix ton) pada tahun 2011 menjadi
Salah satu komponen utama
terkini dari Wood Mackenzei menun-
111,8 Mt (metrix ton) di 2038, dengan
dalam kedaulatan dan ketahanan na-
jukkan total permintaan BBM di Indo-
pertumbuhan rata-rata sekitar 7 %
sional suatu negara adalah ketahanan
nesia diperkirakan tumbuh dari 66 Mt
per tahun, dengan pertumbuhan per-
energi. Energi memang menjadi pisau bermata dua bagi sebuah negara, dimana energi bisa mempersatukan
Grafik 1. Total Permintaan dan Forecasting Permintaan Minyak BBM Indonesia
sebuah negara, tetapi juga bisa membuat suatu negara menjadi terpecah belah seperti yang terjadi di belahan benua afrika barat yang kaya sumber energi. Ketahanan energi secara umum dapat diartikan sebagai ketersediaan (availability) dengan indikator sumber pasokan, kemampuan untuk membeli (affordability) yakni daya beli yang dikorelasikan dengan pendapatan nasional per kapita, dan adanya akses (accessibility) bagi pengguna energi untuk menggerakkan kehidupan dan roda ekonomi1. Dalam prakteknya, sisi ketahanan
Sumber : Wood Mackenzei
Grafik 2. Total Permintaan dan Forecasting Permintaan Minyak BBM Indonesia Per Produk
energi yang layak menjadi perhatian dan diskusi di Indonesia adalah ketersediaan sumber energi BBM (bahan bakar minyak), terutama dikaitkan dengan ketersediaannya (availability) yang terbatas, karena semenjak 2004 Indonesia sudah memjadi net importir minyak dan juga terkait dengan sisi kemampuan untuk membeli (affordability) masyarakat yang masih disubsidi oleh negara melalui subsidi BBM di APBN yang jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. 42
Sumber : Wood Mackenzei
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Gambar 1. Kilang Minyak di Indonesia dan Produksinya
dalam mencapai ketahanan energi tersebut dituangkan didalam dokumen blueprint pengelolaan energi nasional 2006-2025 yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Blueprint tersebut berisi tujuan dan sasaran ketahanan energi serta program dan strategi yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan dan sasaran ketahanan energi tersebut. Tema besar dari program dan strategi pencapaian ketahanan energi nasional dalam blueprint pengelolaan energi nasional bertumpu kepada insentif fiskal dari pemerintah guna men-
Sumber: Pertamina
dukung pembangunan infrastruktur
mintaan yang cukup signifikan pada
terkait, karena dengan langkanya
energi. Insentif fiskal pemerintah dapat
produk gasoline dan diesel/gasoil.
pasokan supply BBM, tentunya harga
dibagi dalam 3 garis besar kebijakan
Sedangkan supply BBM di Indone-
BBM akan semakin mahal, dan ber-
insentif yang diberikan pada sisi pen-
sia hanya dipenuhi dari 8 kilang lokal
imbas kepada nilai subsidi BBM yang
dapatan melalui insentif pembebasan/
di Indonesia dengan jumlah output
makin bertambah.
keringanan PPh, PPN dan Bea Masuk.
1350 KBPOD (Thousand Barrels of Oil
Mengantisipasi tren kebutuhan
Sedangkan dari sisi pengeluar-
Per Day). Jumlah ini hanya memenuhi
BBM ini, beberapa negara Asia telah
an/belanja pemerintah, insentif yang
70% dari kebutuhan domestik BBM
melakukan langkah terobosan seperti
diberikan berupa dukungan pemerin-
secara nasional dan diperkirakan pada
pembangunan kilang minyak di Jamna-
tah untuk pembangunan infrastruktur
tahun 2015 jumlah kekurangan menca-
gar India dengan kapasitas 10 juta barel
energi, pengembangan EBT (energi
pai 600 KBPOD.
per hari dengan kompleksitas yang jauh
baru terbarukan) dan subsidi energi.
Gap antara supply dan demand
lebih tinggi dari yang dimiliki Indonesia
Dari sisi pembiayaan, kebijakan fiskal
ini juga diperkirakan akan melebar
saat ini. Semakin tinggi kompleksitas di
dari pemerintah juga memberikan
karena persaingan untuk mendapat-
sini berarti akan semakin banyak variasi
insentif fasilitas berupa dana bergulir
kan pasokan BBM (sisi supply) di ka-
produk bahan bakar maupun petroki-
program panas bumi dan penjaminan
wasan Asia Pasific diperkirakan akan
mia yang dihasilkan. Sementara itu,
pemerintah terhadap kredit pinjam-
meningkat pada kurun waktu 2010-
saat ini di Vietnam tengah dibangun
an dan kelayakan bisnis PLN dalam
2020, pertumbuhan permintaan bahan
proyek kilang dengan skala yang jauh
jual beli listrik yang dihasilkan oleh
bakar di kawasan Asia diproyeksikan
lebih besar dan kompleks hasil kerjasa-
Pengembang Listrik Swasta (Program
akan mencapai 20% . Tanpa tambahan
ma antara perusahaan minyak Thailand
10.000 MW I dan II).
kapasitas yang memadai, maka pasca
(PTT) dengan Pemerintah Vietnam.
2
tahun 2015 akan banyak negara-negara Asia, termasuk Indonesia, yang mengalami defisit bahan bakar.
Strategi Pemerintah Indonesia
Membangun Infrastruktur Energi: Kilang Minyak
Negara berkembang, khususnya
Dalam perkembangan selanjutnya,
Sejatinya, tujuan utama yang ingin
negara yang masih memberikan sub-
Pemerintah Indonesia telah melakukan
dicapai dalam blueprint pengelolaan
sidi BBM seperti Indonesia mempunyai
dan menetapkan serangkaian kebijak-
energi nasional adalah tercapainya
permasalahan yang kompleks, karena
an yang mengarah kepada pencapaian
optimum mix energy (bauran energi)
selain harus mengatur besaran subsi-
ketahanan energi dengan mengacu
dengan pengurangan porsi minyak
di BBM yang nilainya terus naik dan
kepada UU No. 30 Tahun 2007 ten-
bumi sebagai sumber energi primer di-
membebani APBN, pemerintah harus
tang Energi dan Peraturan Presiden
gantikan dengan batubara dan energi
juga mengamankan pasokan BBM itu
No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
baru terbarukan (Gambar 2).
sendiri untuk memenuhi kebutuhan
Energi Nasional sebagai legal frame-
Dalam perkembangannya, penca-
domestik. Tentu kedua hal ini sangat
work. Kebijakan utama pemerintah
paian target bauran energi yang ingin
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
43
O P I N I
Gambar 2. Komposisi Energi Primer dan Target Bauran Energi Blueprint Pengelolaan Energi Nasional
yang harus dipertimbangkan agar dapat bersaing guna menghadapi tren perkembangan industry kilang minyak ke depan, yaitu antara lain:
•
Sumber: Kementerian ESDM
O P I N I
dicapai pemerintah dalam blueprint
utama nilai valuta asing yang dibutuh-
pengelolaan energi nasional tersebut
kan untuk membeli BBM dari pasar in-
tidak terlalu mudah untuk dicapai.
ternasional yang sangat fluktuatif dan
Data terbaru dari Kementerian ESDM
pasokan BBM dari pasar internasional
menyebutkan, posisi bauran energi
sendiri yang sangat dipengaruhi oleh
yang telah dicapai pada tahun 2010
faktor geopolitik kawasan.
masih menempatkan minyak bumi
Kebutuhan pembangunan infra-
sebagai sumber energi primer utama
struktur energi ini diterjemahkan dalam
dengan persentase yang mendominasi
rencana pembangunan kilang minyak
dan porsi energi baru terbarukan masih
baru, guna menambah pasokan minyak
jauh dari yang diharapkan untuk dapat
yang dihasilkan oleh 8 kilang minyak
menggantikan minyak bumi sebagai
yang telah ada dengan 2 alternatif me-
sumber energi primer (Gambar 3).
tode pengadaan yaitu (1) Pembiayaan
Melihat masih dominannya porsi
APBN (dan Kas Internal Pertamina) dan
minyak bumi dalam bauran energi na-
(2) Kerjasama Pemerintah dan Swasta
sional dan tren permintaan yang masih
(KPS). Terlepas dari metode pengadaan
terus akan meningkat seiring dengan
yang digunakan, pembangunan kilang
perkembangan ekonomi dan indus-
minyak ini harus memenuhi spesifikasi
Kilang minyak yang baru harus dibangun dengan teknologi yang terbaru dan modern yang setidaknya dapat menghasilkan dua dari produk seperti BBM, aromatic, dan atau petrokimia. Hal ini diperlukan untuk membuat proyek kilang minyak tetap layak secara finansial karena ditopang oleh penjualan produk tambahan berupa petrokimia. • Kilang minyak yang baru harus didesain dapat mengolah minyak mentah internasional. Hal ini diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak mentah yang dihasilkan oleh negara tertentu saja. • Upaya restrukturisasi kilang minyak yang ada tetap perlu dilakukan agar tidak terjadi gap yang besar dengan kebutuhan dalam negeri. Kebutuhan pembangunan kilang minyak dengan memenuhi spesifikasi diatas diperkirakan akan menelan biaya investasi sebesar US$12 milyar3 dengan kapasitas produksi sebesar 300.000 BPOD. Menilik kebutuhan investasi tersebut, maka opsi KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta)
trialisasi di Indonesia, maka pemerintah selayaknya harus membangun
Gambar 3. Perkembangan Pencapaian Komposisi Energi Primer
infrastruktur energi guna mendukung supply minyak bumi (BBM) untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Hal ini harus dilakukan untuk menjaga ketahanan energi, selain tentunya tetap harus terus berusaha mengoptimalkan penggunaan sumber energi baru terbarukan sebagai sumber enegi baru, yang harus diakui di dalam pengembangannya banyak faktor yang menghambat pengusahaannya. Opsi untuk melakukan impor minyak BBM dipandang tidak lagi feasible untuk dilaksanakan dengan pertimbangan 44
Sumber: Kementerian ESDM
INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
Tabel 1. Perbandingan Pengadaan Proyek Kilang Minyak dengan Skema KPS dan Non KPS Uraian Jangka Waktu Penyiapan Proyek Kompetisi Pendanaan GCG Risiko Gagal Bayar Fasilitas Fiskal
Skema KPS Proses lebih lama, karena dibutuhkan penyiapan proyek yang cukup detail Lebih luas melalui Lelang terbuka Swasta Kuat (lender punya peran yang kuat) Pertamina dan Pemerintah Insentif fiskal umum untuk industri (misalnya PMK 130 Tahun 2011) + jaminan pemerintah, VGF, Pengadaan tanah dll (dimungkinkan tergantung kebutuhan proyek
Skema APBN/Pertamina Relatif lebih cepat, dengan melalui PMN dari APBN kepada Pertamina Lebih terbatas Pertamina dan swasta (B to B approach) Kuat (lender punya peran yang kuat) Swasta/Pertamina Insentif fiskal umum untuk industri (misalnya PMK 130 Tahun 2011 dll)
Sumber: Kementerian Keuangan
layak menjadi prioritas untuk dikaji
dan memasukkan concern seperti
peraturan serta memberikan indikasi
kemungkinan penerapannya.
skema penyedian dan pendistribusian
jaminan yang bisa diberikan setidaknya
Skema KPS untuk pembanguan
BBM dalam hal digunakan skema KPS
untuk dua isu yaitu jaminan atas risiko
kilang minyak bisa distrukturkan de-
serta aspek finansial dan akuntansi, an-
pricing, mengingat harga BBM di Indo-
ngan Pertamina sebagai BUMN yang
tara lain: dampak dan risiko keuangan
nesia masih disubsidi pemerintah dan
ditugaskan untuk menjadi Penang-
dan akuntansi pada Pertamina terkait
penentuannya sangat ditentukan oleh
gung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK),
dengan penugasan Pertamina sebagai
proses politik. Selain itu jaminan atas
serupa dengan PLN pada Proyek KPS
PJPK. Di sisi pemerintah, dukungan dan
risiko nasionalisasi (risiko politik) juga
CJPP 2x1000 MW. Di dalam struktur ini
jaminan yang bisa diberikan pemerin-
harus dijelaskan dengan gamblang
Pertamina bertindak selaku off taker
tah untuk proyek KPS Kilang Minyak
oleh pemerintah di awal, sehingga
(pembeli produk berupa minyak BBM
ini juga harus didetailkan, antara lain
investor dapat melihat keseriusan pe-
dan produk lainnya) dalam volume
dengan menetapkan lahan (lokasi)
merintah dalam menawarkan proyek
tertentu yang diperjanjikan dalam
pembangunan kilang minyak dengan
KPS Kilang Minyak ini. n
kontrak, sedangkan kelebihan produk yang dihasilkan bisa juga dijual di pasar terbuka baik domestik maupun
Gambar 4. Usulan Skema KPS Proyek Kilang Minyak
ekspor (seperti produk petrokimia). Badan usaha swasta bertanggung jawab untuk memenuhi pasokan mintak mentah (fuel supply) dan melakukan operation and maintenance kilang minyak (Gambar 4)
Whats Next? Dalam rangka merealisasikan skema KPS untuk pembangunan kilang minyak diperlukan beberapa langkah-
Sumber : BKF, Kementerian Keuangan
langkah antara lain merumuskan legal basis sebagai landasan penugasan Pertamina sebagai PJPK. Precedent
Catatan Akhir
penugasan PLN sebagai PJPK di dalam
1
Ketahanan Energi, Kemandirian Energi atau Kedaulatan Energi?,
proyek ketenagalistrikan dapat dija-
Sampel. Purba http://migasreview.com/ketahanan-energi-kemandirian-
dikan acuan bagi penyusunan konsep
energi-atau-kedaulatan-energi.html?
serupa untuk Pertamina dalam proyek
2
Preleminary Studi ANZ
minyak bumi. Framework peraturan
3
Preeliminary Study ANZ : Pembangunan Kilang Minyak Indonesia
tersebut setidaknya memperhatikan INFO RISIKO FISKAL
MARET 2014
45
O P I N I
Anda Bertanya, Kami Menjawab Sosialisasi Pengelolaan Risiko Fiskal Dalam Rangka Menjaga Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan 1. Pinjaman Komersial Luar Negeri Pertanyaan: 1)
Tahun lalu, Pelindo 3 mendapatkan persetujuan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN) yang dibahas 5 Kementerian, di manakah PKLN dibahas di BKF?
2)
Terkait SLA PLN, sebagai lembaga yang menjamin SLA PLN, apakah BUMN pelabuhan bisa berklaborasi?
3)
Penjaminan Pemerintah untuk PDAM apakah bisa juga dilaksanakan untuk BUMN pelabuhan?
4) Jika pinjaman mengalami default, apakah hal tersebut dikelola oleh BKF? Wahyu Suparyono (PT Pelindo 3 Surabaya)
Jawaban: Penyelesaian rekomendasi PKLN berada di PPRF yaitu di Bidang Analisis Risiko BUMN. SLA PLN dalam hal ini adalah Service Level Agreement, yaitu semacam indikator kinerja yang harus dipenuhi oleh PLN dalam menjalankan kewajiban Public Service Obligation. Jaminan untuk BUMN dilaksanakan melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta/Public Private Partnership maupun melalui skema penugasan. Contoh skema PPP adalah penjaminan PT PII pada proyek Central Java Power Plant, sedangkan contoh proyek penugasan adalah Fast Track Program I dan Fast Track Program II. Jika pinjaman PLN mengalami dafault, maka Pemerintah mengeluarkan langkahlangkah seperti penundanaan pembayaran deviden, pemberian pinjaman lunak dll.
2. Pembangunan Infrastruktur dan MP3EI Pertanyaan: 1)
Konsep yang dipresentasikan bagus, termasuk didalamnya sudah ada PT PII dan PT SMI. Namun mengapa sudah tiga tahun sejak 2009 PT PII belum menjamin proyek infrastruktur?
2)
Terkait dengan land capping, mengapa alokasi anggaran 2013 diturunkan secara drastis dan untuk tahun 2014 juga diturunkan lagi, padahal tahun depan memerlukan dana land capping mencapai Rp3 Triliun.
3)
Apakah ada mekanisme VGF untuk daerah?
4) Bagaimana pemberian VGF dilakukan? apakah langsung ke Badan Usaha atau diberikan dalam bentuk fisik dalam kaitannya dengan missmacth kualitas dan kepastian delivery proyek? 5)
Terkait dengan MP3EI, bagaimana kira-kira kemampuan APBN? Dedi (Jasa Marga)
Jawaban: 1)
Koordinasi dengan PT PII dan PT SMI terus dilakukan. Saat ini ada dua proyek KPS yang sedang dipersiakan, selain itu juga terdapat proyek jalan tol yang sudah mulai masuk. Tambahan Redaksi: PT PII (Persero) bersama Pemerintah menjamin proyek Pembangkit Listrik Jawa Tengah/Central Java Power Plant (CJPP).
2)
Alokasi dana land capping dilakukan dengan mempertimbangkan usulan Kementerian Pekerjaan Umum dan progres penyerapan tahun sebelumnya. Karena progres penyerapan tahun sebelumnya sangat rendah maka alokasi yang diusulkan juga dikurangi. Saat ini BKF telah merekomendasikan penambahan alokasi dana land capping untuk tahun 2014 serta perpanjangan masa land capping sampai 2015.
3)
Untuk VGF daerah, hal tersebut sudah diatur pada pasal tersendiri dalam PMK Nomor 223/PMK.011/2012 dan PMK Nomor 143/ PMK.011/2013.
4) VGF diberikan secara tunai kepada Badan Usaha sesuai dengan milestone proyek yang disepakati. 5)
Terkait dengan kebutuhan MP3EI, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan menyusun daftar proyek prioritas. Terkait pendanaan, sampai dengan tahun 2025 dibutuhkan dana sekitar Rp4.000 triliun dengan Rp1.700 triliun berasal dari Pemerintah.
1. Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal membuka acara Sosialisasi Pengelolaan Risiko Fiskal Dalam Rangka Menjaga Kesehatan Fiskal dan Kesinambungan Pembangunan di Mataram, 21 November 2013. Peserta sosialisasi yang diundang adalah dari kalangan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kota Mataram, BUMN, Perbankan dan Asosiasi, serta Akademisi/Universitas. Dalam sosialisasi tersebut disampaikan materi “Gambaran Umum Kebijakan Pengelolaan Risiko Fiskal Kementerian Keuangan” oleh Kepala Bidang Peraturan Pengelolaan Risiko Fiskal, Sri Bagus Guritno dan “Pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi pada Proyek Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (Viability Gap Fund) oleh Kepala Bidang Analisis Risiko Dukungan Pemerintah, Riko Amir. 2. Kepala Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (ketiga dari kiri) melakukan kunjungan lapangan ke proyek pembangunan smelter di Morowali pada tanggal 28 November 2013. Proyek tersebut dibiayai oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang merupakan lembaga yang dibentuk dengan undang-undang yang berfungsi sebagai fiscal tool pemerintah untuk mendukung program ekspor nasional. 3. Rapat dengan Empresas Públicas de Medellín (EPM) pada tanggal 11 Desember 2013. EPM adalah salah satu perusahaan kelistrikan yang mempunyai anak usaha pembangkitan, transmisi dan distribusi serta pengelolaan air bersih, limbah dan pengelola sampah padat di kota Medellin yang merupakan perusahaan milik Pemerintah Kota Medellin, Kolombia.
BKF Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI