PENERAPAN TEKNIK PRODUKSI BERSIH PADA USAHA PERIKANAN TUNA (STUDI KASUS KAPAL LONGLINE DI PPS CILACAP)
ANDIKHA PRATAMA PUTRA
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Teknik Produksi Bersih pada Usaha Perikanan Tuna (Studi Kasus Kapal Longline di PPS Cilacap) adalah benar karya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2015 Andikha Pratama Putra NIM C44100039
ABSTRAK ANDIKHA PRATAMA PUTRA. Penerapan Teknik Produksi Bersih pada Usaha Perikanan Tuna (Studi Kasus Kapal Longline di PPS Cilacap). Dibimbing oleh MUSTARUDDIN dan JULIA EKA ASTARINI. Tuna adalah ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di Indonesia dan di dunia. Operasi penangkapan tuna terdiri dari persiapan penangkapan, operasi penangkapan, penanganan hasil tangkapan, dan pemasaran hasil tangkapan. Produksi bersih adalah usaha berupa pencegahan awal, pengurangan terbentuknya limbah dan pemanfaatan limbah melalui daur ulang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola penyediaan perbekalan, mutu hasil tangkapan, dan pola penanganan sisa komponen operasi pada kapal longline. Metode penelitian ini adalah studi kasus dalam penerapan teknik produksi bersih pada operasi penangkapan tuna. Metode analisis yang digunakan meliputi diagram pareto, peta kendali mutu, diagram sebab akibat, analisis sisa air bersih, es dan umpan, serta deskriptif mengenai perbekalan. Hasil diagram pareto menunjukkan warna daging pucat, mata pudar, daging kurang kenyal sebagai cacat yang dominan pada hasil tangkapan tuna. Penyebab cacat dikelompokkan menjadi empat faktor utama, yaitu nelayan, metode penanganan, sarana dan material. Peta kendali np menunjukkan kegiatan produksi usaha perikanan tuna masih dalam batas pengendalian. Komponen yang mempunyai sisa setelah operasi penangkapan antara lain umpan sebanyak 50 dus, es sebanyak 50 balok, dan air bersih sebesar 725 liter. Sisa umpan dapat diolah menjadi bentuk yang lain. Sisa es dan sisa air bersih dapat digunakan untuk mencuci tuna hasil tangkapan dan mencuci kapal setelah operasi penangkapan. Kata kunci: Kapal Longline, PPS Cilacap, Produksi Bersih, Tuna
ABSTRACT ANDIKHA PRATAMA PUTRA. Application of Cleaner Production Technique on Tuna Fishing Effort (Case Study of Longline Ship in PPS Cilacap). Supervised by MUSTARUDDIN and JULIA EKA ASTARINI. Tuna is the fish that have high economical value in entire world, especially Indonesia. Tuna fishing operation consists of fishing preparation, fishing operation, handling of the catches , and distribution of the catches. Cleaner production is the effort performed in early prevention, waste reduction and utilization of waste through recycling. This study is aimed to analyzing the supply pattern, catches quality, and pattern of remaining components handling in longline ship. Method of this study is a case study in application of cleaner production in tuna fishing operation. The analysis methods used are pareto’s diagram, map of quality control, fishbone diagram, the analysis about remainings of waters, ices, and baits, and descriptive analysis about supplies. Pareto diagram result that pale’s meat colour, faded eyes and less-chewy meat are the dominant defects in tuna catches result. The defect cause is gruped in four main factors, namely fishermen, handling methods, facilities, and material. np control map shows that tuna fishing effort is still in the control limits. The components that remains after fishing operation are baits as much 50 boxes, ices as much 50 blocks, and waters as much 725 liters. The bait remains can be processed to other forms. Keywords: Longline Ship, PPS Cilacap, Cleaner Production, Tuna
PENERAPAN TEKNIK PRODUKSI BERSIH PADA USAHA PERIKANAN TUNA (STUDI KASUS KAPAL LONGLINE DI PPS CILACAP)
ANDIKHA PRATAMA PUTRA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Penerapan Teknik Produksi Bersih Pada Usaha Perikanan Tuna (Studi Kasus Kapal Longline di PPS Cilacap) Nama : Andikha Pratama Putra NIM : C44100039 Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap
Disetujui oleh
Dr Mustaruddin, STP Pembimbing I
Julia Eka Astarini, SPi MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr Ir Budy Wiryawan, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah perikanan tuna, dengan judul Penerapan Teknik Produksi Bersih pada Usaha Perikanan Tuna (Studi Kasus Kapal Longline di PPS Cilacap). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Mustaruddin, STP dan Ibu Julia Eka Astarini, SPi, MSi selaku pembimbing, Dr Am Azbas Taurusman, SPi, Msi selaku dosen penguji serta Ibu Retno Muninggar, SPi, ME selaku komisi pendidikan yang telah banyak memberi saran. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua pihak di Unit Pengelola Teknis (UPT) PPS Cilacap, pengurus kapal longline di PPS Cilacap, dan nelayan-nelayan di PPS Cilacap yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya serta kepada teman-teman khususnya PSP 47 dan pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan lainnya yang telah memberi dukungannya. Atas segala kekurangan yang ada penulis menerima segala masukan dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015 Andikha Pratama Putra
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat Penelitian
2
Bahan dan Alat
3
Metode Penelitian
3
Pengumpulan data primer
3
Pengumpulan data sekunder
3
Analisis Data
4
Analisis deskriptif
4
Analisis diagram pareto
4
Analisis peta kendali mutu
5
Analisis diagram sebab akibat
6
Pola Penanganan Sisa Komponen Operasi
7
Analisis sisa air bersih
7
Analisis sisa es
7
Analisis umpan
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Keadaan Umum di PPS Cilacap
8
Perbekalan Nelayan Longline di PPS Cilacap
9
Kondisi Ikan Tuna yang Didaratkan oleh Kapal Longline
10
Analisis Peta Kendali np Ikan Tuna
11
Faktor Penyebab Cacat Ikan Tuna
13
Penerapan Produksi Bersih untuk Penanganan Produk dan Sisa Komponen Operasi
20
SIMPULAN DAN SARAN
20
Simpulan
20
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
22
RIWAYAT HIDUP
29
DAFTAR TABEL 1 Perbekalan kapal longline di PPS Cilacap 2 Proporsi tipe cacat dengan jumlah ikan tuna 3 Perhitungan peta kendali np untuk ikan tuna 4 Penggunaan umpan pada kapal longline 5 Penggunaan es pada kapal longline 6 Penggunaan air bersih pada kapal longline
10 10 10 17 18 19
DAFTAR GAMBAR 1 Peta Lokasi Penelitian 2 Diagram Sebab Akibat 3 Diagram pareto cacat hasil tangkapan PPS Cilacap 4 Peta kendali np mutu ikan tuna 5 Penanganan ikan tuna pada kapal longline di PPS Cilacap
2 6 11 12 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Pengujian organoleptik pada ikan tuna di PPS Cilacap 2 Contoh perhitungan peta kendali np ikan tuna pada kapal longline di PPS Cilacap 3 Diagram sebab akibat cacat ikan tuna 4a Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Andalas I 4b Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Ilham Putra 5 4c Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Berkah Jaya 4d Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Berkat Sahabat II 4e Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Andalas I 4f Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Ilham Putra 5 4g Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Berkah Jaya 4h Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Berkat Sahabat II
23 24 25 26 26 26 27 27 27 28 28
PENDAHULUAN Usaha perikanan mempunyai tiga komponen penting, yaitu nelayan (fisherman), kapal (fishing vessel), dan alat tangkap (fishing gear). Komponenkomponen tersebut bekerja dalam suatu sistem yang dibantu oleh komponenkomponen pendukung lainnya untuk menjadi suatu sistem operasi penangkapan yang berjalan selama ini. Ikan tuna adalah salah satu jenis sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di dunia dan di Indonesia. Di Indonesia, ikan tuna menempati urutan ke-4 (empat) dalam volume produksi perikanan tangkap di laut setelah tongkol, cakalang, dan udang (Kementerian Kelautan dan Perikanan 2012). Ikan tuna yang ditangkap di Indonesia dan menjadi komoditas utama adalah tuna mata besar atau bigeye tuna, madidihang atau yellowfin tuna, tuna sirip biru selatan atau southern bluefin tuna, dan tuna albakora atau albacora tuna. Ikan tuna yang sudah didaratkan dapat dipasarkan dalam bentuk ikan segar ataupun dalam bentuk olahan dengan tujuan pasar lokal ataupun diekspor ke pasar internasional. Penangkapan tuna di PPS Cilacap didominasi oleh alat tangkap rawai tuna atau tuna longline. Kapal rawai tuna yang dominan di PPS Cilacap adalah kapal inboard engine dengan ukuran 30 GT hingga 50 GT (Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan 2014). Kegiatan usaha perikanan tuna terdiri dari persiapan perbekalan, operasi penangkapan, penanganan hasil tangkapan dan pemasaran hasil tangkapan. Kegiatan penangkapan yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu nelayan, alat tangkap, dan kapal didukung oleh komponen-komponen lainnya, seperti air bersih, BBM (Bahan Bakar Minyak), es, perbekalan, umpan, dan sebagainya Penanganan yang sesuai dengan prinsip produksi bersih dapat membantu nelayan sehingga usaha perikanan tuna yang dijalankan lebih menguntungkan. Produksi bersih menurut Afmar (1998) adalah usaha untuk mencegah terbentuknya limbah. Usaha tersebut berupa pencegahan awal (source reduction), pengurangan terbentuknya limbah (waste reduction), dan pemanfaatan limbah melalui daur ulang (recycle). Input dalam usaha produksi bersih adalah komponen-komponen pedukung dalam kegiatan penangkapan seperti es, air bersih dan umpan. Usaha perikanan tuna yang menerapkan teknik produksi bersih akan lebih efisien dalam kegiatan operasinya, kualitas hasil tangkapan akan lebih baik dan memanfaatkan kembali sisa komponen operasi yang digunakan sehingga sisa komponen tersebut tidak mencemari lingkungan. Kegiatan usaha penangkapan tuna modern pada saat ini diharapkan berjalan secara efisien dan tidak mencemari lingkungan. Komponen-komponen pendukung operasi penangkapan seperti, es, air bersih, dan umpan yang dibawa oleh nelayan biasanya hanya dimanfaatkan ketika operasi penangkapan. Oleh karena itu, penelitian mengenai pemanfaatan dari komponen-komponen tersebut serta penanganan sisa dari komponen-komponen tersebut berupa bahan yang tidak terpakai atau limbah selama operasi penangkapan. Informasi yang didapatkan dapat berguna untuk operasi penangkapan yang lebih efisien, efektif, aman, dan ramah lingkungan.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis pola penyediaan perbekalan pada unit penangkapan ikan tuna (kapal longline); 2. Menganalisis mutu hasil tangkapan ikan tuna pada kapal longline; dan 3. Menganalisis pola penanganan sisa komponen operasi penangkapan ikan tuna pada kapal longline (umpan, air bersih, dan es). Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan setelah kegiatan penelitian ini dilakukan, antara lain: 1. Penulis dapat menerapkan ilmu yang didapatkan di perkuliahan secara langsung; 2. Membantu nelayan tuna longline untuk melakukan operasi penangkapan yang lebih efisien, efektif, aman, dan ramah lingkungan; 3. Mempermudah Pemerintah Daerah setempat untuk pengambilan kebijakan terkait teknik operasi dalam pengelolaan usaha perikanan tuna dan lainnya; dan 4. Bahan informasi untuk penelitian perikanan tangkap berikutnya dan kepentingan lainnya yang relevan.
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data lapang penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April 2014 di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah.
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
3 Bahan dan Alat Bahan yang diteliti didalam penelitian ini adalah unit penangkapan ikan beserta kelengkapannya dan hasil tangkapan dari unit penangkapan yang beroperasi di PPS Cilacap. Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain kuesioner, komputer/laptop, alat tulis, timbangan, kamera, dan alat ukur. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Tujuan dari metode studi kasus ini adalah memberikan gambaran detail tentang latar belakang, sifat-sifat, karakter, sifat yang diamati oleh penulis (Nazir 1988). Aspek yang ditekankan dalam penelitian ini adalah menerapkan prinsipprinsip teknik produksi bersih pada kegiatan usaha mulai dari penyediaan perbekalan, penanganan mutu dalam proses hingga penanganan sisa komponen operasi penangkapan. Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa proses produksi/proses penangkapan berjalan baik dengan tidak ada dampak negatif yang ditimbulkannya. Aspek lainnya yang ditekankan adalah penanganan sisa limbah, es, dan umpan dalam operasi penangkapan longline di PPS Cilacap. Pengumpulan data primer Data primer adalah data yang dikumpulkan langsung oleh penulis di lapangan. Data tersebut dikumpulkan dengan teknik wawancara dan pengamatan langsung di PPS Cilacap. Wawancara dilakukan kepada 5 orang nelayan kapal longline, 2 orang penyedia perbekalan, dan 3 orang pegawai PPS Cilacap. Penentuan nelayan yang akan diwawancarai menggunakan purposive sampling. Pengamatan langsung dilakukan dengan cara mengamati pola penyediaan perbekalan, mengamati pola penanganan hasil tangkapan ikan tuna di kapal longline, dan mengamati pola penanganan sisa komponen operasi penangkapan (dalam penelitian ini dibatasi pada umpan, air bersih, dan es). Sampel kapal yang dijadikan obyek penelitian adalah kapal longline dengan ukuran >30 GT sebanyak 2 buah kapal dan <30 GT sebanyak dua buah kapal. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dan data mengenai jumlah awak kapal, lama operasi penangkapan, perbekalan yang dibawa dan jumlahnya, jumlah air bersih yang dibawa dan penggunaannya, jumlah umpan yang dibawa serta jenis dan penggunaannya, jumlah es yang dibawa dan penggunaannya, berat dan panjang ikan yang tertangkap serta mutu dari ikan yang dinilai berdasarkan organoleptik. Khusus untuk pengamatan mutu dilakukan pengambilan sampel ikan tuna dengan cara random sampling. Ikan tuna yang dijadikan sampel penelitian didapatkan dari kapal longline yang dipilih secara acak. Jumlah ikan yang dijadikan sampel sebanyak 100 buah ikan tuna. Pengukuran berat pada sampel ikan tuna dilakukan dengan menggunakan rumus yang didapatkan berdasarkan wawancara dengan pegawai PPS Cilacap. Rumus tersebut digunakan dalam pendataan tuna yang dilakukan di PPS Cilacap, yaitu:
4 Pengumpulan data sekunder Data sekunder didapatkan dari UPT PPS Cilacap, meliputi data-data yang dapat dijadikan gambaran umum kegiatan perikanan tangkap di Cilacap. . Analisis Data Analisis deskriptif Analisis deskriptif dilakukan untuk menganalisis pola penyediaan perbekalan yang dilakukan oleh pelaku usaha perikanan tuna (kapal longline). Analisis deskriptif merupakan analisis suatu kasus atau kejadian dengan membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian tersebut. Melalui analisis deskriptif, dapat juga menerangkan hubungan, menguji hipotesa-hipotesa, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu kasus yang diteliti. Dalam mengumpulkan data, digunakan teknik wawancara kepada responden. Wawancara yang dilakukan menggunakan schedule questionaire (kuesioner) (Nazir 1988). Analisis diagram pareto Diagram pareto merupakan bagian dari analisis mutu yang digunakan untuk menentukan jenis cacat dominan pada hasil tangkapan ikan tuna dari kapal longline. Cacat dominan adalah akumulasi cacat yang secara bersama-sama menguasai sekitar 70% sampai 80% dari nilai keseluruhan atau nilai akumulasi, tetapi biasanya hanya terdiri dari sedikit faktor (critical). Cacat dominan juga sering disebut sebagai variabel kelas A dalam konsep klasifikasi ABC. Variabel kelas B ialah cacat yang secara bersama-sama menguasai sekitar 10% sampai 20% dari total nilai. Variabel kelas C ialah variabel yang menunjukkan cacat yang secara bersama-sama hanya menguasai sekitar 10% sampai 15% dari total nilai tetapi terdiri dari banyak cacat non dominan (trivial) (Ishikawa diacu dalam Wiratama 2011). Diagram pareto dapat bermanfaat untuk menunjukkan cacat yang dominan dengan mudah, dan tidak perlu membuang waktu, biaya, dan tenaga untuk menangani cacat-cacat yang tidak dominan. Berikut adalah tahapan pembuatan diagram pareto (Ishikawa 1989), yaitu: 1. Memilih beberapa jenis cacat pada hasil tangkapan; 2. Mengumpulkan data dari masing-masing cacat dan menghitung persentase kontribusi dari masing-masing cacat; 3. Menyusun cacat-cacat dalam urutan baru dimulai dari yang memiliki persentase terbesar dan menghitung nilai akumulasinya; 4. Membentuk kerangka diagram dengan axis sebelah kanan dalam bentuk kumulatif. Tinggi axis sebelah kiri dan kanan sama; 5. Berpedoman pada axis vertikal sebelah kiri, membuat kolom secara berurutan pada axis horizontal yang menggambarkan kontribusi masing-masing cacat; 6. Berpedoman pada axis vertikal sebelah kanan, membuat garis yang menggambarkan persen kumulatif, dimulai dari ujung bawah axis sebelah kiri sampai di ujung atas axis sebelah kanan;
5 Tujuan checksheet (lembar pengecekan) adalah untuk menjamin bahwa data dikumpulkan secara hati-hati dan akurat oleh personal operasi untuk mengontrol operasi dan untuk pengambilan keputusan. Data dipresentasikan dalam suatu format yang dapat secara cepat dan mudah digunakan untuk dianalisis. Pengisian data dalam checksheet biasanya menggunakan cara tally. Checksheet sering digunakan untuk mengetahui ketidaksesuaian, baik dari jumlah, lokasi, ataupun penyebabnya. Checksheet sebaiknya dapat memuat kapan pengecekan dilakukan, dimana, oleh siapa, dan terhadap produk/proses/bagian yang sama. Analisis peta kendali mutu Pengujian mutu produk dilakukan untuk memantau bagian dari produk yang ditolak atau proporsi produk yang cacat (fraction defective), yaitu rasio antara produk yang cacat terhadap jumlah dari populasi. Prinsip statistik yang digunakan yaitu proporsi ketidaksesuaian yang didasarkan pada distribusi binomial. Proporsi cacat dapat dinyatakan dalam persen ataupun desimal, dalam peta kendali mutu, proporsi dinyatakan dalam persen. Peta kendali yang digunakan untuk memantau proporsi ketidaksesuaian yang dihasilkan dari suatu proses adalah bagan p. Jika pengamatan berdasarkan ketidaksesuaian atau jumlah bagan yang ditolak, maka digunakan bagan np. Penelitian ini menggunakan bagan np, karena dengan bagan ini kita dapat mengetahui jumlah ikan tuna bermutu atau tidak. Selain itu, untuk pengukuran dalam bentuk proporsi, bagan p digunakan jika ukuran subgrup tidak sama. Langkah-langkah dalan menyusun bagan kendali ketidaksesuaian (Ishikawa diacu dalam Wiratama 2011), sebagai berikut: 1. Memilih karakteristik mutu. 2. Mengumpulkan data. Sampel diambil berdasarkan ukuran subgrup (n), sebaiknya lebih dari 50. 3. Menghitung persen ketidaksesuaian dari setiap subgrup (pi) dan memasukkan ke dalam lembar data.
4. Menentukan garis tengah (central line, CL), batas kendali atas (upper control limit, UCL), dan batas kendali bawah (lower control limit, LCL) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan: p = rata-rata persen ketidaksesuaian dalam sampel n = garis tengah
6 5. Membuat bagan np dengan memasukkan data observasi. Analisis diagram sebab akibat Analisis diagram sebab akibat digunakan untuk menentukan faktor penyebab dari cacat-cacat dominan baik dari aspek material (umpan, air tawar, dan es), machine (kapal dan alat tangkap), method (metode operasi penangkapan dan penanganan hasil tangkapan), dan man (ABK yang terlibat). Diagram sebab dan akibat digunakan untuk mengembangkan variasi yang luas atas suatu topik dan hubungannya, termasuk untuk pengujian suatu proses maupun perencanaan suatu kegiatan. Proses dalam membangun diagram membantu menstimulasi pemikiran mengenai suatu isu, membantu berpikir secara rasional, dan mengundang diskusi. Proses tersebut memerlukan brainstorming (pengungkapan pendapat) dari para karyawan terkait untuk memperoleh dan menggali penyebab potensial sebanyak mungkin. Diagram sebab akibat membuat analisis terhadap mutu dapat dilakukan secara teliti untuk semua kemungkinan penyebab, dan memberikan suatu proses untuk diikuti. Format diagram sebab dan akibat secara umum ditunjukkan dalam Gambar 2.
Cabang
Hasil
Ranting
Gambar 2 Diagram Sebab Akibat Tahapan untuk menyusun diagram sebab akibat (Ishikawa diacu dalam Wiratama 1989) sebagai berikut: 1. Menentukan masalah atau akibat yang dicari penyebabnya. Selanjutnya menuliskan dalam kotak yang menggambarkan kepala ikan yaitu berada di ujung tulang utama (garis horizontal); 2. Menentukan grup/kelompok faktor-faktor penyebab utama yang dapat menjadi penyebab masalah dan tuliskan masing-masing pada kotak yang berada pada cabang. Secara keseluruhan, pengelompokan didasarkan atas unsur material, peralatan (mesin), metode kerja (manusia), dan pengukuran (inspeksi). Namun pengelompokan juga dapat dilakukan atas dasar analisis proses; 3. Pada setiap cabang, menuliskan faktor-faktor penyebab yang lebih rinci yang dapat menjadi faktor penyebab masalah yang dianalisis. Faktor-faktor penyebab ini berupa ranting, yang bila diperlukan dapat dijabarkan lebih lanjut dalam anak ranting; dan 4. Melakukan analisis dengan membandingkan data/keadaan dengan persyaratan untuk setiap faktor dalam hubungannya dengan akibat, sehingga dapat
7 diketahui penyebab utama yang mengakibatkan terjadinya masalah mutu yang diamati. Pola penanganan sisa komponen operasi Komponen-komponen sistem operasi yang dianalisis adalah air bersih, es, dan umpan. Setiap komponen tersebut dibandingkan antara jumlah yang ideal dengan kebutuhan riil pada saat kegiatan penangkapan. Analisis sisa air bersih Analisis sisa air bersih digunakan untuk mengetahui apakah penggunaan air bersih dalam kegiatan penangkapan ikan mempunyai sisa atau tidak. Selain itu, melalui analisis sisa air bersih, akan diketahui penggunaan ideal dari air bersih yang dibawa dalam kegiatan penangkapan ikan tuna. Dalam Mulyadi (2007) dengan perubahan dalam koefisien A, diketahui cara untuk mencari kebutuhan air untuk perbekalan kapal dalam setiap trip yaitu:
keterangan:
JA
: Jumlah air : banyak awak kapal (orang) : 0.5; besar cadangan air tawar di kapal : lama hari trip penangkapan (hari) : 7.5 liter/orang/hari; kebutuhan air per awak kapal per hari untuk kapal motor
Selanjutnya untuk mengetahui apakah dari persediaan air bersih yang dibawa oleh nelayan memiliki sisa ataupun habis seluruhnya dihitung melalui rumus berikut: keterangan: JA ≤ kebutuhan riil menandakan tidak ada sisa air bersih JA > kebutuhan riil menandakan ada sisa air bersih Selain diketahui sisa air bersih, diketahui juga penggunaan air bersih oleh nelayan melalui wawancara dengan nelayan. Analisis sisa es Analisis sisa es digunakan untuk mengetahui apakah penggunaan es dalam kegiatan penangkapan ikan mempunyai sisa atau tidak. Kebutuhan es ideal dalam kegiatan penangkapan tuna adalah 1:1. Rasio ini menandakan untuk mengawetkan 1 kilogram tuna membutuhkan 1 kilogram es. Untuk menentukan kebutuhan riil dari penggunaan es didapatkan dari wawancara. Untuk mengetahui sisa es dari hasil kegiatan penangkapan ikan tuna dapat diketahui melalui rumus berikut:
8 Analisis umpan Analisis sisa umpan digunakan untuk mengetahui penggunaan umpan dalam kegiatan penangkapan ikan tuna mempunyai sisa atau tidak. Kebutuhan umpan dalam kegiatan penangkapan ikan tuna dapat diketahui melalui analisis efektivitas umpan dan analisis kebutuhan umpan. Analisis efektivitas umpan menandakan bahwa penggunaan umpan pada kegiatan penangkapan ikan tuna apakah sesuai untuk menangkap tuna atau tidak. Selain itu, analisis efektivitas juga menghitung rasio dalam menangkap ikan tuna dengan menggunakan alat tangkap dan umpan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan. Untuk mengetahui rasio tersebut, dapat menggunakan rumus hook rate, yaitu:
keterangan: LP E P
= Laju Pemancingan (Hook Rate) = Jumlah ikan tuna yang tertangkap = Jumlah pancing yang digunakan dan diberi umpan
Selain itu, untuk mengetahui analisis penggunaan umpan secara riil dilakukan wawancara kepada nelayan untuk mengetahui banyaknya umpan yang dibawa saat kegiatan penangkapan. Untuk mengetahui hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan secara riil dapat dilakukan dengan pengamatan langsung ataupun wawancara kepada nelayan. Melalui cara-cara tersebut, dapat diketahui apakah ada sisa umpan hasil kegiatan penangkapan ikan tuna atau tidak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di PPS Cilacap Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap mulai dibangun pada tahun 1991 oleh Tim Pelaksana Pembangunan berdasarkan SK. Menko Ekuin dan Wasbang Nomor Kep.09/M.EKUIN/1990 tanggal 24 Maret 1990. Tim Pelaksana Pembangunan tersebut terdiri dari 11 Instansi yang terkait dan Pertamina yang bertindak sebagai penyandang dana. Gagasan pembangunan telah diawali sejak tahun 1980-an oleh Direktorat Jenderal Perikanan untuk mengembangkan TPI Sentolokawat yang terhambat perkembangannya karena berada satu jalur dengan alur pelayaran kapal tanker Pertamina. Dengan demikian, lokasi pembangunan PPS Cilacap dipindahkan ke lokasi yang baru agar tidak mengganggu lalu lintas kapal tanker Pertamina. Pembangunan PPS Cilacap selesai pada tahun 1994 dan diuji coba operasionalnya pada 20 Mei 1994 sampai 24 Mei 1995. Peresmian penggunaan dilaksanakan pada 18 November 1996 oleh Presiden Republik Indonesia. Lokasi PPS Cilacap yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia yaitu pada WPP 573 dan WPP 571 memiliki sumber daya ikan (SDI) yang cukup melimpah terutama ikan pelagis besar dan kecil serta udang dengan tingkat pemanfaatan yang relatif moderat. Pemanfaatan SDI pada tahun 2012 menunjukkan di Perairan Samudera Indonesia yang menjadi fishing ground nelayan Cilacap, kelompok ikan
9 pelagis besar baru dimanfaatkan sebesar 291.64 ton atau 79.63% dari potensi lestari sebesar 366.26 ton per tahun. Potensi dari ikan pelagis kecil yang baru dimanfaatkan sebesar 313.904 ton atau 59.61% dari potensi lestari sebesar 526.57 ton per tahun (KKP 2013). Jenis ikan yang menjadi komoditas unggulan di PPS Cilacap antara lain tuna, cakalang, hiu, paruh panjang, dan udang (KKP 2012). Perbekalan Nelayan Longline di PPS Cilacap Kapal longline yang beroperasi di PPS Cilacap beroperasi antara 2-6 bulan di lautan. Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan longline tentu membutuhkan perbekalan melaut seperti BBM (Bahan Bakar Minyak) yaitu solar, oli dan juga sembako. Perbekalan melaut lainnya yang berhubungan dengan teknis penangkapan ikan seperti air bersih, es, dan umpan akan dibahas dengan menggunakan analisis yang berbeda. Kapal longline yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah kapal dengan ukuran <30 GT sebanyak 2 buah dan kapal dengan ukuran >30 GT sebanyak 2 buah. Kapal longline dengan ukuran <30 GT yang menjadi obyek penelitian adalah kapal Andalas I dan kapal Ilham Putra 5 dengan ukuran 29 GT. Sedangkan kapal dengan ukuran >30 GT yang menjadi obyek penelitian adalah kapal Berkah Jaya dengan ukuran 59 GT dan kapal Berkat Sahabat II dengan ukuran 70 GT. Menurut Nurani dan Wisudo (2007), perbekalan dalam operasi penangkapan meliputi BBM (solar), oli, umpan, perbekalan makanan, air tawar, gas, minyak tanah dan keperluan perbekalan lainnya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, komponen-komponen perbekalan tersebut didapatkan dengan cara membeli di sekitar PPS Cilacap. BBM yaitu solar dibeli melalui SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan) yang berada di kompleks PPS Cilacap. Selain itu, oli juga didapatkan dari SPBN. Perbekalan lainnya seperti sembako didapatkan dari pasar yang berada dalam sekitar wilayah PPS Cilacap. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, jumlah perbekalan yang dibawa dalam satu kali trip dapat dikelompokkan berdasarkan GT kapal dan lama trip yang dilakukan. Kapal longline dengan ukuran <30 GT memiliki kemiripan diantara keduanya dengan membawa 6000 ℓ solar dan 200 ℓ oli. Perbedaan terdapat pada sembako, kapal longline Andalas I membawa sembako dengan total harga 15 000 000 rupiah, sedangkan kapal longline Ilham Putra 5 membawa sembako dengan total harga 10 000 000 rupiah. Perbedaan ini dapat disebabkan karena perbedaan lama trip yang dilakukan, yaitu kapal longline Andalas I melakukan satu kali trip selama 5-6 bulan, sedangkan kapal longline Ilham Putra 5 melakukan satu kali trip selama 2 bulan. Kapal longline dengan ukuran >30 GT memiliki kemiripan dengan membawa 10000 ℓ solar, 200 ℓ oli dan sembako dengan total harga masing-masing sebesar 20 000 000 rupiah. Perbekalan tersebut dibeli oleh pemilik kapal longline tersebut, sehingga nelayan hanya menjalankan operasi penangkapan saja. Pada Tabel 1 dijelaskan nama kapal, perbekalan, unit perbekalan, harga per satuan, total harga, sumber perbekalan, lama trip, dan ukuran GT (Gross Tonnage). Prinsip produksi bersih dapat diterapkan pada pengadaan perbekalan kapal longline yaitu dengan membawa perbekalan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan sehingga tidak
10 terdapat sisa (reduction). Cara ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan perbekalan yang dibawa dengan menghitung perbekalan yang dibawa pada kegiatan penangkapan sebelumnya sehingga dapat diketahui jumlah perbekalan yang akan dibawa pada kegiatan penangkapan selanjutnya. Tabel 1 Perbekalan kapal longline di PPS Cilacap Nama Kapal
Andalas I
Ilham Putra 5 Berkah Jaya Berkat Sahabat II
Perbekalan
Unit Perbekalan
BBM (Solar)
6000 L
Harga per Satuan (Rp) 5 500/L
Oli Sembako
200 L
BBM (Solar)
Total Harga (Rp)
Sumber Perbekalan
33 000 000
SPBN
24 000/L
4 800 000 15 000 000
SPBN Pasar
6000 L
5 500/L
33 000. 000
SPBN
Oli Sembako
200 L
24 000/L
4 800 000 10 000 000
SPBN Pasar
BBM (Solar)
10000 L
5 500/L
55 000 000
SPBN
Oli Sembako
200 L
24 000/L
4 800 000 20 000 000
SPBN Pasar
BBM (Solar)
10000 L
5 500/L
55 000 000
SPBN
Oli
200 L
24 000/L
4 800 000
SPBN
20 000 000
Pasar
Sembako
Lama Trip
GT
5-6 Bulan
29
2 Bulan
29
5-6 Bulan
59
6 Bulan
70
Sumber: Diolah dari hasil wawancara (2014)
Kondisi Ikan Tuna yang Didaratkan oleh Kapal Longline Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di PPS Cilacap terhadap sampel berjumlah 100 ekor tuna, terdapat beberapa cacat pada hasil tangkapan ikan tuna yang didaratkan di PPS Cilacap. Kondisi cacat yang ditemukan pada hasil tangkapan ikan tuna antara lain kulit tergores, daging yang kurang kenyal, warna daging yang pucat, dan mata pudar, kulit tergores, bau tidak segar dan lendir keruh. Selain itu, terdapat juga kondisi dimana ikan tuna yang tertangkap berada di bawah standar bobot yang berlaku yaitu 17 kg. Perbandingan tipe cacat dan jumlah cacat pada hasil tangkapan ikan tuna yang didaratkan di PPS Cilacap diuraikan pada tabel 2 berikut.
11 Tabel 2 Proporsi tipe cacat dengan jumlah cacat ikan tuna Tipe Cacat Warna Daging Pucat Mata Pudar Daging Kurang Kenyal Berat <17 Kg Kulit Tergores Bau Tidak Segar Lendir Keruh Total
Jumlah Cacat (ekor) 12 8
Jumlah Kumulatif (ekor) 12 20
33.33 22.22
Persentase Kumulatif (%) 33.33 55.56
6
26
16.67
72.22
3 3 2 2 36
29 32 34 36
8.33 8.33 5.56 5.56
80.56 88.89 94.44 100.00
Persentase Cacat (%)
Sumber: Diolah dari hasil wawancara (2014)
14 12
88.89
12 Jumlah Cacat
94.44 100.00
80.56 72.22
10 8 8
55.56
6
6 4
33.33
3
3 2
2
2 0
Warna Daging Pucat
Mata Pudar
Daging Berat ≤17 Kulit Bau Tidak Lendir Kurang Tergores Segar Keruh Kg Kenyal
100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Persentase Kumulatif
Berdasarkan pada Tabel 2, diketahui bahwa terjadi penurunan mutu hasil tangkapan ikan tuna yang ditunjukkan melalui adanya cacat-cacat tersebut. Penurunan mutu tersebut disebabkan oleh tiga macam kegiatan, yaitu autolysis, kimiawi dan bakterial (Ilyas, 1983). Cacat-cacat yang ada dalam hasil tangkapan ikan tuna dapat terjadi secara secara alami ataupun yang diakibatkan dari penanganan ikan tuna tersebut selama kegiatan penangkapan. Perubahan kualitas tersebut terjadi setelah ikan tersebut mati dan adanya cacat fisik seperti kulit tergores diakibatkan oleh penanganan ikan tuna yang tidak sesuai ketika kegiatan penangkapan berlangsung. Pada Gambar 2 dapat dilihat lebih jelas komposisi cacat dari hasil tangkapan ikan tuna yang disajikan dalam diagram pareto.
Gambar 3 Diagram pareto cacat hasil tangkapan di PPS Cilacap Berdasarkan Gambar 2, tipe cacat yang mendominasi hasil tangkapan oleh 4 kapal di PPS Cilacap adalah warna daging pucat dengan jumlah 12 kasus, kemudian diikuti oleh mata pudar dengan jumlah 8 kasus, dan daging kurang
12 kenyal dengan 6 kasus. Ketiga jenis cacat ini mendominasi cacat hasil tangkapan ikan tuna dengan proporsi hampir 70% dari keseluruhan cacat yang diamati.
Analisis Peta Kendali np Ikan Tuna Ikan Tuna yang menjadi hasil tangkapan kapal longline harus memiliki mutu yang bagus agar nilai jualnya tetap tinggi. Untuk menjaga mutu tetap bagus, diperlukan penanganan mutu dalam kegiatan produksi ikan tuna. Akan tetapi, setelah didaratkan, masih terdapat ikan tuna yang mutunya tidak bagus. Hal ini ditandai dengan adanya cacat di ikan tersebut. Untuk mengetahui apakah kegiatan produksi dalam usaha perikanan tuna dalam hal ini yaitu kegiatan penangkapan ikan tuna tersebut masih berada dalam proses pengendalian atau tidak oleh pelaku kegiatan produksi, maka digunakan analisis peta kendali np. Analisa menggunakan metode ini membutuhkan pengamatan langsung untuk pencatatan ikan tuna yang termasuk dalam kategori cacat. Setelah dilakukan pengamatan langsung, didapatkan data yang disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Perhitungan peta kendali np untuk ikan tuna Jumlah Sampel 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 100
No. Proses 1a 1b 2a 2b 3a 3b 3c 4a 4b 4c Total ṕ
Sumber: Hasil analisis data 2014
Jumlah Cacat (ekor) 3 2 3 3 4 4 5 4 4 4 36 3.6
Proporsi 0.3 0.2 0.3 0.3 0.4 0.4 0.5 0.4 0.4 0.4 0.36
Dalam Tabel 3, sampel yang diamati dalam analisis ini ialah 10 ekor ikan tuna di setiap proses dalam 10 proses. Jumlah tersebut ditentukan dengan menggunakan asumsi volume palka dianggap sama. Jumlah proses tersebut berdasarkan jumlah palka yang terisi oleh ikan tuna. Proses 1a dan 1b menunjukkan kapal ke-1 (Andalas I) terdapat 2 palka yang terisi ikan tuna. Proses 2a dan 2b menunjukkan kapal ke-2 (Ilham Putra 5) terdapat 2 palka yang terisi ikan tuna. Proses 3a, 3b, dan 3c menunjukkan kapal ke-3 (Berkah Jaya) terdapat 3 palka yang terisi ikan tuna. Proses 4a, 4b, dan 4c menunjukka kapal ke-4 (Berkat Sahabat II) terdapat 3 palka yang terisi ikan tuna. Gambar 3 menunjukkan batas pengendalian cacat dari hasil tangkapan ikan tuna di PPS Cilacap.
13 9 8
Jumlah Cacat
7 6 5
Cacat Ikan
4
CL UCL
3
LCL
2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
No. Proses Gambar 4 Peta kendali np mutu ikan tuna Gambar 3 menunjukkan garis tengah bernilai 3.60, batas atas pada peta kendali np bernilai 8.16 dan batas bawah pada peta kendali np bernilai 0. Nilai pada setiap proses di peta kendali np tidak boleh melewati batas atas dan batas bawah agar dapat dikategorikan terkendali. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jumlah cacat di setiap proses dapat dilihat bahwa dalam setiap proses pada peta kendali tidak ada yang melebihi dari batas atas dan batas bawah peta kendali np. Hal ini menandakan kegiatan produksi usaha perikanan tuna di PPS Cilacap masih berada dalam proses pengendalian oleh pelaku produksi usaha perikanan tuna yaitu nelayan tuna longline.
Faktor Penyebab Cacat Ikan Tuna Hasil tangkapan kapal longline berupa ikan tuna yang didaratkan di PPS Cilacap memiliki mutu atau kualitas yang tergolong baik. Walaupun hasil tangkapan tergolong baik, tetapi masih terdapat beberapa ekor hasil tangkapan yang mempunyai cacat. Cacat tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berkaitan langsung dengan mutu ikan tuna tersebut. Untuk mengetahui faktorfaktor dilakukan analisis sebab akibat terhadap cacat yang terdapat dalam ikan tuna. Faktor-faktor tersebut antara lain nelayan, metode penanganan, sarana, dan material. Nelayan Nelayan pada kapal longline mempunyai peranan penting dalam menentukan mutu dari hasil tangkapan yang didaratkan. Nelayan mempunyai peranan penting karena nelayan tersebut menangani ikan sejak ditangkap sampai didaratkan ke pelabuhan. Nelayan pada kapal longline di PPS Cilacap berjumlah 11-15 orang. Nelayan pada kapal longline di PPS Cilacap rata-rata menempuh pendidikan hingga jenjang SD-SMP.
14 Penanganan hasil tangkapan berupa ikan tuna ditentukan oleh kemampuan dan keterampilan nelayan longline. Walaupun pendidikan yang ditempuh oleh nelayan hanya sampai jenjang SD-SMP, kemampuan dalam menangani hasil tangkapan didapatkan dari pengalaman mereka selama mengikuti kegiatan penangkapan selama bertahun-tahun. Selain itu, pembagian kerja antara nelayan di kapal longline berpengaruh dalam efektifitas kegiatan produksi yaitu penangkapan ikan tuna dan juga berpengaruh dalam penanganan hasil tangkapan yang menentukan mutu hasil tangkapan ikan tuna. Metode Penanganan Cara memangani ikan dapat menjadi penyebab cacat ikan tuna. Diawali dengan cara mematikan ikan, apabila cara mematikan ikan tersebut tidak dapat membuat ikan mati dengan cepat, ikan tuna akan menderita stres yang akan menyebabkan penurunan kualitas ikan tuna dengan cepat. Selain itu, apabila ikan tidak mati dengan cepat, ikan akan meronta-ronta yang menyebabkan fisik ikan rusak, seperti kulit yang tergores ataupun sirip yang patah. Penyiangan dan penghentian darah yang dilakukan oleh nelayan apabila dilakukan secara tidak benar dapat menyebabkan penurunan kualitas ikan. Darah yang masih menggenang dalam tubuh ikan akan menyebabkan pembusukan dalam tubuh ikan sehingga dapat menyebabkan cacat seperti warna daging pucat, bau tidak segar, dan daging kurang kenyal. Penyusunan ikan tuna di dalam palka mempengaruhi kualitas tuna selama dalam perjalanan operasi penangkapan ikan. Penyusunan ikan tuna yang tidak baik menyebabkan kerusakan fisik dari ikan tuna dan pendinginan yang kurang merata. Kegiatan pembongkaran ikan di pelabuhan harus dilakukan dengan cepat dan tidak terpapar matahari secara langsung. Ikan tuna yang didiamkan lama di tempat terbuka dan terkena sinar matahari akan membuat ikan tersebut semakin cepat mengalami pembusukan dan kerusakan pada fisik ikan tuna. Sarana Sarana penanganan ikan tuna dalam kegiatan produksi ini salah satunya adalah palka. Palka memegang peran penting karena selama dalam perjalanan kapal, ikan tuna hasil tangkapan disimpan di dalam palka sampai ikan didaratkan di pelabuhan. Hasil tangkapan ikan tuna harus menyesuaian volume dari palka yang terdapat di kapal agar hasil tangkapan tersimpan dengan baik. Selain itu, kehigienisan palka dapat mempengaruhi mutu hasil tangkapan, karena apabila palka kotor maka proses penurunan mutu dari ikan dapat terjadi seperti perubahan tekstur dan perubahan bau ikan. Palka dilengkapi dengan pendingin agar suhu palka tetap dingin sehingga menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan dan mutu ikan tetap terjaga. Suhu dalam palka harus dijaga tetap stabil agar suhu ikan tetap konstan berada pada kondisi dingin dan pertumbuhan bakteri terhambat sehingga mutu ikan tetap terjaga. Setelah ikan tiba di pelabuhan dan akan dipindahkan dari kapal, penggunaan troli perlu diperhatikan kehigienisannya Material Penanganan ikan tuna dalam kegiatan produksi salah satunya yaitu air laut. Air laut digunakan untuk mencuci ikan tuna setelah dinaikkan ke atas kapal. Air laut yang digunakan tersebut tidak diketahui apakah higienis atau tidak sehingga
15 pencucian ikan dengan air laut dapat mempengaruhi mutu ikan tuna. Selain itu, material yang digunakan antara lain pisau untuk meyiangi insang dan isi perut dari ikan tuna. Pisau yang digunakan harus dalam keadaan steril dan bersih agar tidak ada bakteri yang masuk ke permukaan dalam ikan tuna. Apabila terdapat bakteri pada permukaan dalam ikan akan mempercepat proses pembusukan dalam tubuh ikan. Material yang juga digunakan dalam penanganan ikan tuna yaitu pembungkus plastik. Pembungkus plastik diperlukan untuk menjaga kualitas permukaan luar ikan tuna. Jumlah dari pembungkus plastik harus mencukupi jumlah dari hasil tangkapan ikan tuna agar mutu dari setiap ikan tuna hasil tangkapan tetap terjaga dan tidak terjadi perubahan mutu yang signifikan. Penerapan Produksi Bersih untuk Penanganan Produk dan Sisa Komponen Operasi Penanganan Produk Hasil tangkapan kapal longline di PPS Cilacap berdasarkan sampel yang diobservasi menunjukkan hasil tangkapan ikan tuna berada dalam kondisi yang baik secara keseluruhan. Ikan tuna yang berada dalam kondisi baik atau tidak terdapat cacat dapat dijual dengan tujuan pasar ekspor dalam bentuk tuna segar ataupun tuna beku segar untuk bahan sashimi. Tetapi, masih ada hasil tangkapan ikan tuna yang berada dalam kondisi cacat. Hasil tangkapan yang berada dalam kondisi cacat tersebut dapat menyebabkan penurunan nilai jual akibat penurunan nilai produk. Selain itu, adanya hasil tangkapan ikan tuna yang cacat dapat menurunkan minat konsumen untuk membeli hasil tangkapan. Proses yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga nilai jual ikan tuna yang cacat yaitu dengan mengolah menjadi produk tuna beku olahan yaitu loin, block loin, chunk, saku, steak, dan cube. Selain itu, ikan tuna yang cacat tersebut dapat diolah menjadi tuna kaleng sehingga nilai jual ikan tersebut tidak terlalu menurun. Pencegahan awal yang merupakan salah satu usaha dalam prinsip produksi bersih dapat dilakukan untuk menjaga kualitas hasil tangkapan. Pencegaha awal yang dapat dilakukan yaitu berupa perbaikan input. Perbaikan input dapat dilakukan dengan cara menangani bahan ataupun material dan sarana secara baik (Suprihatin dan Romli, 2009). Menjaga suhu dan kehigienisan palka, menjaga kehigienisan pisau yang digunakan untuk menyiangi insang dan isi perut dapat menjaga kualitas tuna. Penggunaan air yang bersih dalam mencuci tuna dan menyimpan tuna dalam pembungkus plastik yang bersih dan higienis juga dapat menjaga kualitas hasil tangkapan. Penanganan tuna yang baik selama operasi penangkapan sangat berpengaruh dalam menjaga kualitas hasil tangkapan. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap nelayan tuna longline di PPS Cilacap, penanganan ikan tuna sejak hauling sampai dengan penyimpanan diilustrasikan seperti dalam gambar 4.
Ikan Tuna 16 Hauling Tuna ke atas kapal Mematikan Ikan Tuna Pemotongan Insang Pencucian Ikan Tuna Penyimpanan dalam palka Gambar 5 Penanganan ikan tuna pada kapal longline di PPS Cilacap. Penanganan ikan tuna yang baik dapat menjaga mutu dari hasil tangkapan dan menimimalisir jumlah hasil tangkapan ikan tuna yang cacat. Beberapa penanganan yang perlu dilakukan agar didapatkan ikan tuna dengan kualitas yang baik (Junianto 2003) adalah sebagai berikut: 1. Penangkapan dan pendaratan dengan baik; 2. Pembunuhan dan pengeluaran darah dengan benar; 3. Pencucian dan pembersihan secara hati-hati; dan 4. Pendinginan dan pembekuan dengan cepat. Penanganan tuna yang baik dimulai dengan melakukan pendaratan ikan yang sesegera mungkin untuk mempertahankan kualitasnya. Menurut Junianto (2003), semakin cepat ikan tuna hasil tangkapan diangkat dari dalam air dan dilepas dari mata pancing, akan menurunkan jumlah tuna yang mati dan meningkatan jumlah tuna yang berkualitas tinggi untuk konsumen akhir. Nelayan longline yang menangani ikan tuna sebaiknya memakai sarung tangan agar kulit dan sisik tuna tidak lecet atau rusak yang disebut juga sebagai cacat. Setelah ikan diangkat ke atas kapal, ikan tuna hasil tangkapan harus segera dibunuh atau dimatikan apabila masih dalam keadaan hidup. Teknik mematikan yaitu dengan menusukkan benda berujung runcing dan tajam ke bagian terlunak di daerah kepala, yaitu terletak di antara dua mata. Penusukan yang dilakukan harus dapat menghancurkan otak dan sistem saraf. Tujuan dari ikan tuna dimatikan sesegera mungkin untuk mencegah tuna dari penderitaan stres lanjutan dan perlawanan selama proses pengeluaran darah. Selain itu, penghancuran otak dan sistem saraf berguna agar sistem saraf yang mengatur suhu tubuh tidak berfungsi sehingga suhu tubuh akan menurun dengan cepat selama dalam penyimpanan (Junianto 2003). Setelah proses mematikan tuna, harus diikuti proses pengeluaran darah. Tujuan dari pengeluaran darah akan membuat suhu tubuh ikan tuna menjadi lebih dingin dan mengurangi ketengikan. Pemotongan pembuluh darah dilakukan di dada, insang dan di bagian ekor. Selama proses pengeluaran darah, air laut harus dialirkan pada seluruh tubuh tuna untuk mencegah darah membeku. Selanjutnya dilakukan pemotongan insang agar tidak ada bakteri yang terakumulasi pada ikan
17 tuna hasil tangkapan. Menurut Nurani dan Wisudo (2007), terdapat beberapa cara pemotongan insang yaitu: 1. Memasukkan pisau dan memotong semua nadi darah yang terkumpul di bawah insang; 2. Memasukkan pisau dan memotong semua nadi darah di sudut segitiga insang; 3. Memasukkan dan memotong nadi darah di kedua sisi perut sampai di bagian depan sirip dada; dan 4. Memasukkan dan memotong di bagian depan jantung. Proses pembuangan insang harus dikerjakan secepat dan sehati-hati mungkin untuk tetap mempertahankan kualitas mutu ikan tuna. Setelah pembuangan insang selesai dilakukan, dilanjutkan oleh pencucian ikan yang dimulai dari bagian-bagian ikan tuna yang terpotong atau teriris menggunakan air laut. Tahap selanjutnya dalam proses penanganan tuna yaitu penyimpanan ikan dalam palka. Penyimpanan dilakukan dalam palka yang berpendingin baik menggunakan es ataupun palka yang dilengkapi dengan refrigerator. Semakin cepat suhu tubuh tuna menurun maka kualitas tuna yang dihasilkan akan semakin baik. Setelah tiba di pelabuhan, hasil tangkapan harus segera dibongkar untuk tetap mempertahankan kualitas hasil tangkapan. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembongkaran ikan adalah sebagai berikut (Moeljanto diacu dalam Febrina 2012): 1. Ikan dibongkar dengan hati-hati dan sedapat mungkin tidak menggunakan sekop yang dapat melukai tubuh ikan. 2. Saat menimbag es dipisahkan dari ikan setelah menimbang, ikan kembali didinginkan. 3. Wadah sebaiknya terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan. 4. Ikan harus terhindar dari pancaran sinar matahari secara langsung. Bagian dari tuna yang tidak dapat diproses untuk diolah menjadi makanan dapat mencapai 50% (Kristinsson & Rasco, 2000). Bagian dari ikan yang tidak terpakai tersebut dapat diolah menjadi pakan hewan ternak. Penggunaan sisa dari ikan yang dijadikan bahan pakan ternak adalah berupa kepala, tulang, ekor dan isi perut. Penggunaan sisa dari ikan meningkatkan mineral, protein dan lemak dalam pakan (Arvanitoyamis & Kassaveti, 2008). Sisa dari ikan berupa kulit, tulang dan sirip dapat digunakan dalam industri makanan/kosmetik karena mengandung kolagen dalam kisaran 36% sampai 54%. Kandungan kolagen ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pemberian kolagen dalam makanan, komsetik atau kebutuhan medis (Nagai & Suzuki, 2000). Sisa dari tuna yang tidak ddimanfaatkan juga dapat digunakan sebagai kandungan bahan bakar diesel dan sebagai bahan pigmen alami. Penanganan Sisa Umpan Umpan adalah salah satu faktor penting dalam kegiatan penangkapan tuna longline. Umpan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan tuna longline adalah ikan rucah yang dibekukan. Penggunaan umpan pada kapal longline di PPS Cilacap dapat dilihat pada Tabel 4.
18 Tabel 4 Penggunaan umpan pada kapal longline Jumlah yang Dibawa (dus)
Tambahan Umpan (dus)
Jumlah Mata Pancing
Hook Rate
Sisa Umpan
Layang Andalas Lemuru I
300 300
0 0
Jumlah Ikan Tuna yang Tertangkap (1x Setting)
1200
3
0.0025
TAS
Layang Lemuru
750 750
0 0
900
10
0.0111
TAS
Layang Lemuru Cumi
250 250 250
0 0 0
750
2
0.0027
50
Layang Lemuru
500 500
200 200
1000
4
0.0040
TAS
Nama Kapal
Ilham Putra 5 Berkah Jaya Berkat Sahabat II
Jenis Umpan
Sumber : Hasil analisis data 2014 Keterangan : TAS (Tidak Ada Sisa) Penggunaan umpan pada kapal longline di PPS Cilacap mempunyai kecenderungan yang beragam. Jenis ikan yang menjadi umpan untuk alat tangkap longline adalah Ikan Layang dan Ikan Lemuru dan ada nelayan menggunakan cumi-cumi sebagai umpan. Jumlah umpan yang dibawa tidak tergantung dari ukuran besarnya kapal. Dalam Tabel 4, dapat dilihat pada Kapal III (Berkah Jaya) terdapat sisa umpan yang dibawa kembali ke pelabuhan sebanyak 50 dus. Teknik produksi bersih dapat berperan dalam penanganan sisa-sisa komponen operasi penangkapan. Umpan yang menjadi sisa dari kegiatan penangkapan longline tersebut sudah mengalami penurunan mutu yang disebabkan oleh lama dan kondisi penyimpanan. Penyimpanan umpan terletak di dalam palka yang berpendingin dimana bakteri masih dapat hidup pada suhu -10oC (Ilyas, 1983). Karena penyimpanan dalam waktu tersebut, sisa umpan tidak dapat digunakan kembali dalam kegiatan penangkapan selanjutnya karena umpan tersebut sudah berada dalam kondisi busuk. Sisa umpan yang sudah tidak terpakai tersebut oleh nelayan akan dibuang. Dengan menggunakan prinsip produksi bersih, sisa umpan tersebut dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi bentuk yang lain (recycle). Umpan yang tidak tersebut sebaiknya diolah kembali oleh nelayan agar tidak mencemari lingkungan. Umpan yang tidak terpakai tersebut dapat diolah kembali untuk dijadikan pakan ternak yang dapat menambah pendapatan bagi nelayan. Penanganan Sisa Es Es digunakan sebagai media pendingin untuk penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan. Penggunaan es pada kapal longline di PPS Cilacap disajikan dalam Tabel 5.
19 Tabel 5 Penggunaan es pada kapal longline Nama Kapal
Hasil Tangkapan (Kg)
Jumlah yang Dibawa (Balok)
Jumlah yang Digunakan
Sisa Es (Balok)
Andalas I
1133
0
0
TAS
Ilham Putra 5
1116.5
400
350
50
Berkah Jaya
1672
0
TAS
TAS
Berkat Sahabat II
1573
0
TAS
TAS
Sumber : Hasil analisis data 2014 Keterangan : TAS (Tidak Ada Sisa) Rasio penggunaan es dalam penanganan ika tuna yaitu 1:1. Rasio tersebut menunjukkan untuk mengawetkan 1 kg ikan tuna digunakan 1 kg es. Penggunaan es pada kapal longline seperti yang tersaji dalam Tabel 5 hanya dilakukan oleh kapal II (Ilham Putra 5). Hal ini dikarenakan kapal longline yang lain telah menggunakan sistem pendingin refrigerasi. Penggunaan es dalam operasi penangkapan dilakukan oleh kapal dengan lama trip yang singkat, yaitu 2 bulan. Lama trip yang singkat tersebut disebabkan karena daya tahan es yang tidak selama palka dengan refrigerator. Es yang digunakan dalam penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan dihancurkan terlebih dahulu menjadi butiran yang berukuran sedang. Menurut Junianto (2013), ukuran butir pecahan es tersebut sekitar 1-2 cm3. Apabila butiran es tersebut terlalu besar dan runcing dapat menyebabkan kulit ikan tergores, sedangkan apabila butiran es terlalu kecil akan menyebabkan es cepat mencair dan menahan aliran air ke bawah sehingga terdapat genangan yang dapat menyebabkan pembusukan pada ikan. Sisa es batu setelah operasi penangkapan akan dibawa kembali ke pelabuhuan. Sisa tersebut dapat berbentuk balok ataupun sudah diserut. Sisa es tersebut tidak dapat digunakan untuk kegiatan penangkapan selanjutnya karena daya cair es tersebut lebih cepat dan es sudah tercemar dari kegiatan penangkapan sebelumnya. Sisa es yang telah digunakan untuk penyimpanan ikan sebaiknya dibuang karena sudah dicemari oleh bakteri pembusuk (Ilyas 1983). Sisa es yang belum digunakan dan masih tersimpan dapat digunakan untuk membersihkan ikan ketika diangkat dari atas palka ketika berada di pelabuhan dan juga dapat digunakan untuk membersihkan dek kapal dan palka setelah ikan didaratkan di pelabuhan. Sisa Air Bersih Air tawar termasuk dalam perbekalan nelayan ketika melakukan operasi penangkapan. Air bersih tersebut digunakan untuk memasak dan minum dalam
20 kegiatan penangkapan. Penggunaan air bersih lebih lengkapnya disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6 Penggunaan air bersih pada kapal longline Nama Kapal
Total Air Dibawa (L)
Jumlah Awak Kapal (orang)
Α
Lama Trip (hari)
A
JA (L)
Sisa Perhitungan (L)
Andalas I
23000
11
0.5
180
7.5
22275
725
Ilham Putra 5
7000
15
0.5
60
7.5
10125
TAS
Berkah Jaya
6200
13
0.5
180
7.5
26325
TAS
Berkat Sahabat II
18000
14
0.5
180
7.5
28350
TAS
Sumber : Hasil analisis data 2014 Keterangan: TAS (Tidak Ada Sisa) Air bersih yang dibawa oleh kapal longline yang menjadi obyek di penelitian di PPS Cilacap volumenya beragam. Melalui rumus analisa penggunaan air bersih, berdasarkan Tabel 6 kapal longline yang mempunyai sisa air bersih menurut perhitungan adalah Kapal I (Andalas I). Sisa air bersih yang masih tersimpan dapat digunakan untuk mencuci ikan tuna ketika berada di pelabuhan ataupun digunakan untuk pencucian palka dan dek kapal setelah operasi penangkapan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perbekalan yang dibawa antara lain BBM (solar), oli, dan sembako. BBM (Bahan Bakar Minyak) yaitu solar didapatkan dari SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan) yang berada dalam kompleks PPS Cilacap dengan harga Rp 5 500/L. Oli didapatkan dari SPBN dengan harga Rp 24 000/L. Sembako didapatkan dari pasar yang berada dalam sekitar wilayah PPS Cilacap. Jumlah sembako yang dibawa dibedakan berdasarkan lama trip dan ukuran kapal. Kapal longline Andalas I membawa 6000 L solar, 200 L oli dan sembako dengan total harga 15 000 000 rupiah. Kapal longline Ilham Putra 5 membawa 6000 L solar, 200 L oli dan sembako dengan total harga 10 000 000 rupiah. Kapal Berkah Jaya dan Berkat Sahabat II membawa 10000 L solar, 200 L oli dan sembako dengan
21 masing-masing total harga 20 000 000 rupiah. Perbekalan tersebut dibeli setiap nelayan akan melakukan operasi penangkapan (1 trip). Hasil dari diagram pareto menunjukkan warna daging pucat, mata pudar, dan daging kurang kenyal menjadi jenis cacat yang mendominasi hasil tangkapan. Penyebab dari cacat ikan tuna tersebut dikelompokkan dalam empat faktor utama, yaitu nelayan, metode penanganan, sarana, dan material. Mutu hasil tangkapan menurut peta kendali np menunjukkan kegiatan produksi usaha perikanan tuna masih berada dalam proses pengendalian oleh nelayan longline. Komponen-komponen operasi penangkapan yang mempunyai sisa adalah umpan, es, dan air bersih. Sisa umpan setelah operasi penangkapan sebesar 50 dus. Sisa umpan tersebut dapat diolah kembali menjadi bentuk yang lain. Sisa es setelah operasi penangkapan sebesar 50 balok. Sisa es tersebut dapat digunakan untuk membersihkan ikan ketika diangkat dari atas palka ketika berada di pelabuhan dan juga dapat digunakan untuk membersihkan dek kapal dan palka setelah ikan didaratkan di pelabuhan. Sisa air bersih setelah operasi penangkapan sebesar 725 liter. Sisa air bersih tersebut dapat digunakan untuk mencuci ikan tuna ketika berada di pelabuhan ataupun digunakan untuk pencucian palka dan dek kapal setelah operasi penangkapan. Saran Saran yang diusulkan dari hasil penelitian adalah pengkajian lebih lanjut mengenai penyebab cacat dan penanganan ikan tuna hasil tangkapan. Selain itu, perlunya pengkajian lebih lanjut mengenai penanganan sisa komponen perbekalan berupa air bersih, es dan umpan.
DAFTAR PUSTAKA Afmar M. 1998. Faktor Kunci dan Teknik Efektif Penerapan Cleaner Production di Industri. Makalah Seminar Peningkatan Efisiensi dan Daya Saing Indonesia melalui Cleaner Production. Jakarta (ID). Arvanitoyannis IS, Kassaveti A. 2008. Fish industry waste: treatments, enviromental impacts, current and potenisal uses. International Journal of Food Science and Technology 2008. 43: 726-745 [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Ikan Segar-Bagian 1: Spesifikasi SNI 01-2729-.1-2006. Jakarta (ID): BSN. Febrina A. 2012. Efisiensi Waktu Penanganan Tuna dari Proses Pembongkaran sampai Pengemasan pada Industri Tuna Segar dan Loin di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid I, Teknik Penanganan Ikan. Jakarta (ID): CV. Paripurna Ishikawa K. 1989. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu. Jakarta (ID): Mediyatama Sarana Perkasa Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta (ID): Penerbit Swadaya
22 KKP.2013. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2013, Jakarta(ID): Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP. 2012. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Kristinsson HG, Rasco BA. 2000. Fish protein hydrolisaten: production, biochemical, and functional properties. Critical Reviews in Food Science and Nutrition. 40: 43-81 Mulyadi MD. 2007. Analisis Pendaratan dan Penanganan Hasil Tangkapan dan Fasilitas Terkait di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nagai T, Suzuki N. 2000. Isolation of collagen from fish waste material-skin, bone and fin. Food Chemistry. 68: 277-281 Nasir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia Nurani TW, Wisudo SH. 2007. Bisnis Perikanan Tuna Longline. Bogor (ID): Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK, IPB PIPP. 2014. Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap [internet]. [diacu 2014 Februari 04]. Tersedia dari: http://www.pipp.kkp.go.id/plb_kapal_api.html. Suprihatin dan Romli M. 2009. Pendekatan Produksi Bersih dalam Industri Pengolahan Ikan: Studi Kasus Industri Penepungan Ikan. Jurnal Kelautan Nasional. II(1): 131-143 Wiratama B. 2011. Kelayakan Ikan Tuna untuk Tujuan Ekspor pada Kegiatan Penangkapan Menggunakan Pancing Tonda di Sadeng, Yogyakarta [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
23
LAMPIRAN Lampiran 1 Perhitungan panjang-berat pada ikan tuna di PPS Cilacap Nama Kapal
Jenis Hasil Tangkapan
Andalas I (Palka I)
Big Eye Yellowfin Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Yellowfin Yellowfin Yellowfin
Nama Kapal
Jenis Hasil Tangkapan
Ilham Putra 5 (Palka I)
Berkah Jaya (Palka I)
Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye Big Eye Yellowfin Yellowfin Big Eye Big Eye Yellowfin Yellowfin Yellowfin Yellowfin Big Eye Big Eye
Yellowfin Big Eye
Komposisi Hasil Tangkapan Panjang Berat (cm) (kg) 153 77 141 77 132 38.5 138 38.5 142 77 108 16.5 140 38.5 135 38.5 159 77 170 77 Komposisi Hasil Tangkapan Panjang Berat (cm) (kg) 126 38.5 130 38.5 141 77 128 38.5 124 38.5 144 77 161 77 126 38.5 131 38.5 138 38.5 159 77 161 77 137 38.5 159 77 148 77 155 77 142 77 125 38.5
135 138
38.5 38.5
Nama Kapal
Jenis Hasil Tangkapan
Andalas I (Palka II)
Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye Yellowfin Yellowfin Yellowfin Yellowfin Yellowfin
Nama Kapal
Jenis Hasil Tangkapan
Ilham Putra 5 (Palka II)
Berkah Jaya (Palka II)
Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Yellowfin Big Eye Big Eye Big Eye
Komposisi Hasil Tangkapan Panjang Berat (cm) (kg) 138 38.5 154 77 123 38.5 149 77 135 38.5 144 77 157 77 164 77 130 38.5 130 38.5 Komposisi Hasil Tangkapan Panjang Berat (cm) (kg) 136 38.5 128 38.5 141 77 144 77 131 38.5 136 38.5 150 77 148 77 163 77 158 77 154 77 158 77 136 38.5 153 77 150 77 153 77 156 77 135 38.5 141 77 139 38.5
24 Nama Kapal
Berkah Jaya (Palka III)
Berkat Sahabat II (Palka II)
Jenis Hasil Tangkapan Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye Big Eye Yellowfin Yellowfin Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Big Eye
Komposisi Hasil Tangkapan Panjang Berat (cm) (kg) 126 38.5 132 38.5 132 38.5 135 38.5 143 77 124 38.5 136 38.5 138 38.5 131 38.5 126 38.5 143 77 116 16.5 145 77 124 38.5 138 38.5 134 38.5 125 38.5 140 38.5 169 77 154 77
Nama Kapal
Berkat Sahabat II (Palka I)
Berkat Sahabat II (Palka III)
Jenis Hasil Tangkapan Yellowfin Big Eye Yellowfin Yellowfin Big Eye Yellowfin Yellowfin Big Eye Big Eye Big Eye Big Eye Yellowfin Yellowfin Yellowfin Big Eye Yellowfin Yellowfin Big Eye Yellowfin Big Eye
Komposisi Hasil Tangkapan Panjang Berat (cm) (kg) 143 77 143 77 154 77 133 38.5 132 38.5 136 38.5 135 38.5 123 38.5 130 38.5 113 16.5 130 38.5 156 77 142 77 128 38.5 132 38.5 142 77 126 38.5 139 38.5 148 77 151 77
Sumber: Hasil Analisis Data, 2014 Lampiran 2 Contoh perhitungan peta kendali np ikan tuna pada kapal longline di PPS Cilacap Diketahui: Jumlah total ikan tuna yang cacat = 36 ekor Jumlah rata-rata proporsi ikan tuna yang cacat = 0.36 Jumlah proses = 10 proses Jumlah sampel = 100 ekor ikan tuna CL
=n = = = 3.6
UCL
=n + = 3.6 +
25 = 8.16 LCL
=n = 3.6 = - 0.96 ≈ 0
Keterangan: = Rata-rata proporsi ikan tuna yang cacat m = Banyaknya ikan tuna CL = Center Line (Batas tengah) UCL = Upper Control Line (Batas atas) LCL = Lower Control Line (Batas bawah) Lampiran 3 Diagram sebab akibat cacat ikan tuna Metode Material Kuantitas
Penyusunan Tuna di Dalam Palka
Pembungkus Plastik Air Laut Higienitas Pisau
Cara Mematikan Ikan
Pembongkaran Didiamkan Lama di Tempat Terbuka
Penyiangan dan Penghentian Darah Higienitas
Higienitas
Cacat Ikan Tuna
Kuantitas Terampil Pengalaman Pengetahuan
Volume Palka
Deskripsi Kerja Suhu Palka Refrigerator
Palka Higienitas Trolley Higienitas
Nelayan
Sarana
26 Lampiran 4a Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Andalas I Diketahui: Jumlah ikan tuna yang tertangkap (1x setting) = 3 ekor ikan Jumlah mata pancing = 1200 mata pancing Hook Rate = = = 0.0025
Lampiran 4b Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Ilham Putra 5 Diketahui: Jumlah ikan tuna yang tertangkap (1x setting) = 10 ekor ikan Jumlah mata pancing = 900 mata pancing Hook Rate = = = 0.0111
Lampiran 4c Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Berkah Jaya Diketahui: Jumlah ikan tuna yang tertangkap (1x setting) = 2 ekor ikan Jumlah mata pancing = 750 mata pancing Hook Rate = = = 0.0027
27
Lampiran 4d Perhitungan hook rate ikan tuna Kapal Berkat Sahabat II Diketahui: Jumlah ikan tuna yang tertangkap (1x setting) = 4 ekor ikan Jumlah mata pancing = 1000 mata pancing Hook Rate = = = 0.0040 Lampiran 4e Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Andalas I Diketahui: Jumlah awak kapal α Lama trip A
= 11 orang = 0,5 = 180 hari = 7.5 liter/orang/hari
JA = = = 22275 liter/trip Keterangan: N = Jumlah awak kapal α = Besar cadangan air tawar di kapal T = Lama trip penangkapan (hari) A = Kebutuhan air per awak kapal per hari Lampiran 4f Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Ilham Putra 5 Diketahui: Jumlah awak kapal α Lama trip A
= 15 orang = 0.5 = 60 hari = 7.5 liter/orang/hari
JA = = = 10125 liter/trip
28 Keterangan: N = Jumlah awak kapal α = Besar cadangan air tawar di kapal T = Lama trip penangkapan (hari) A = Kebutuhan air per awak kapal per hari Lampiran 4g Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Berkah Jaya Diketahui: Jumlah awak kapal α Lama trip A
= 13 orang = 0.5 = 180 hari = 7.5 liter/orang/hari
JA = = = 26325 liter/trip Keterangan: N = Jumlah awak kapal α = Besar cadangan air tawar di kapal T = Lama trip penangkapan (hari) A = Kebutuhan air per awak kapal per hari Lampiran 4h Perhitungan kebutuhan air bersih (JA) Kapal Berkat Sahabat II Diketahui: Jumlah awak kapal α Lama trip A
= 14 orang = 0.5 = 180 hari = 7.5 liter/orang/hari
JA = = = 28350 liter/trip Keterangan: N = Jumlah awak kapal α = Besar cadangan air tawar di kapal T = Lama trip penangkapan (hari) A = Kebutuhan air per awak kapal per hari
29
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 5 Agustus 1992 sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis adalah anak kandung dari Abdul Khalis dan Diah Setia Murni. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SDN Kepuh Kiriman II Waru, pada tahun 2007 menyelesaikan sekolah menengah pertama di SMPN I Bekasi , dan pada tahun 2010 menyelesaikan sekolah menengah atas di SMAN I Tanjungpinang. Melanjutkan ke perguruan tinggi pada tahun 2010 yaitu di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Penulis menempuh pendidikan di departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Selama menjalani studi di IPB penulis aktif mengikuti organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Himafarin) periode 2011/2012 sebagai wakil ketua Departemen Informasi dan Komunikasi selanjutnya priode 2012/2013 sebagai ketua Departemen Informasi dan Komunikasi. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Daerah Penangkapan Ikan periode 2012/2013 dan 2013/2104. Penulis berkesempatan mengikuti Asian Fish Biodiversity Conference 2014 pada Februari 2014 di Penang, Malaysia. Penulis juga pernah meraih peringkat 3 dalam Kontes Kapal Cepat Tak Berawak Nasional (KKCTBN) 2014 dalam kategori fuel engine.