PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI NEGARA ASEAN (Kasus Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam) Oleh: H. ABU BAKAR, SH, MH. Mahasiswa Program Doktor (S-3) UIA Jakarta
Pendahuluan Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, adalah tiga Negara Melayu yang tergabung dalam anggota ASEAN. Meskipun terpisah oleh batas wilayah dengan sistem hukum nasional yang berbeda-beda, tetapi tidak terpisah oleh batas budaya maupun term agama yang dianut oleh sebagian besar warganya. Budaya Melayu dan agama Islam adalah dua variabel utama yang mempertemukan ketiga negara ini menjadi bagian integral dari apa yang disebut orang sebagai wilayah Nusantara,1 tentu saja bersama-sama dengan Singapura, Thailand, maupun Philipina. Pada ketiga Negara yang disebut pertama, nampaknya agama Islam hadir di tengah warganya sebagai ―jiwa‖ dan budaya Melayu tumbuh sebagai ―pakaian‖ bagi mayoritas warganya. Sedangkan pada ketiga Negara yang tersebut kemudian, agama Konghucu, Budha, dan Katholik hadir di tengah pemeluknya sebagai ―jiwa‖ dan budaya Melayu tumbuh sebagai ―pakaian‖ bagi mayoritas penduduknya. Merujuk pada data terakhir, pemeluk Islam di Indonesia 90% dengan warganya yang berbudaya Melayu 90%.2 Di Malaysia, pemeluk Islam 60% dengan warganya yang berbudaya Melayu 60% juga.3 Di Brunei Darussalam, pemeluk Islam sebesar 99% dengan warganya yang berbudaya Melayu sebesar 99% pula.4 Merujuk pada kenyataan ini, semestinya syariat Islam bisa dengan mudah dijadikan sebagai hukum nasional di tiga Negara tersebut. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. malahan hukum Islam (baca: syariat Islam) justru tidak menjadi variabel utama dalam penerapan hukum di dalam negeri masing-masing. Timbul pertanyaan, 1
Dalam tulisan ini, istilah Nusantara dan Indonesia diartikan sama dengan mengutip pendapat Bernard H.M. Vlekke, yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah "which means, of course, The Islands of India' was given to the archipelago by German ethnologist, and has been in use since 1884." Ada pun Nusantara "The other islands' as seen from Java or Bali, hence it took the more general meaning of 'the outside world', or 'broad'. Lihat Bernard H.M. Vlekke, Nusantara: A History of Indonesia, (Jakarta: PT Soeroengan, 1961), 6 dan 400. 2 Tidak ada angka yang sahih (valid) soal klaim ini. Akan tetapi, secara common sense, para intelektual Muslim Indonesia lebih aman membuat klaim soal persentase umat Islam Indonesia dengan angka seperti tertera di atas, meskipun ada pula pemikir Indonesia yang mengugatnya, sambil mengajukan angka persentase terbaru seperti populasi umat Islam Indonesia menurun menjadi 85 %. Angka terakhir ini mendapat reaksi keras dari Jenderal Alamsyah Ratu Perwiranegara di saat beliau menjabat sebagai Menteri Agama di era Orde Baru. 3 Ketika Mahathir Mohammad berkuasa di Malaysia pun ia melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Pak Alamsyah di Indonesia. Lihat, Mahathir Mohammad, Budaya Melayu, Jakarta, Balai Pustaka, 1988, cet. ke-1, h. 137. 4 Lihat, Harapandi Dahri, Islam di Brunei Darussalam, Bandar Sri Bengawan, Fikri Pustaka, 2013, Cet. ke1, h. 245
1
faktor-faktor apa sajakah yang memengaruhinya membuat hukum Islam tidak menjadi pilihan dalam penerapan hukum nasional? Apakah tidak tersedia sumber daya manusia yang cukup untuk menopang penerapan syariat Islam di tiga negeri ini? Atau, apakah infra-struktur yang dimiliki umat Islam tidak memadai untuk menjadikan syariat Islam sebagai pilihan utama dalam penerapan hukum nasional? Atau, apakah pluralitas suku, agama, budaya, dan bahasa yang berbeda-beda, di masing-masing negara membuat penerapan syariat Islam menjadi pilihan sulit sehingga memilih menerapkan substansi syariat Islam yang diserap ke dalam hukum nasional untuk dilaksanakan? Atau, apakah hegemoni hukum bekas negara penjajah atas bangsa jajahan terlampau kuat sehingga kreativitas dan kemandirian bangsa dalam memilih sistem hukum nasional sesuai dengan agama mayoritas pemeluknya menjadi sulit untuk terwujudkan di tingkat negara? Untuk menjawab masalah-masalah di atas, tulisan ini di samping menggunakan pendekatan historis-filosofis dan deskriptif-analisis, juga ditempuh menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis.
Syariat Islam di Indonesia Setelah bangsa Indonesia berhasil mengumandangkan teks proklamasi kemerdekaan negeri ini melalui lidah Bung Karno ke seluruh dunia di pagi harinya—tiba-tiba di sore hari 17 Agustus 1945, Bung Hatta memperoleh telepon dari Nisyijima, Pembantu Admiral Maeda, menanyakan kepada Bung Hatta bahwa apakah beliau berkenan menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) untuk menyampaikan ―berita penting‖ bagi bangsa Indonesia? Menjawab pertanyaan ini, Bung Hatta menyatakan kesediaannya, kemudian opsir Jepang itu dipersilahkan datang menemuinya untuk menyampaikan ―berita penting‖ yang ditunggu Bung Hatta itu. ―Wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang,‖ demikian opsir itu mengawali beritanya, ―merasa keberatan terhadap tujuh kata yang tercantum dalam prambule (pembukaan) UUD 1945. Mereka memang mengakui bahwa frase tersebut tidak mengikat mereka, melainkan hanya berkaitan dengan rakyat yang beragama Islam. Namun, rencana pencantuman frase itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok UUD, berarti melakukan ―diskriminasi‖ terhadap golongan minoritas. Jika ―diskriminasi‖ ini ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar bangsa Indonesia.‖5 Sebagaimana diketahui bersama, merujuk pada ―berita penting‖ inilah, keesokan harinya, 18 Agustus 1945, sebelum sidang PPKI dibuka, Bung Hatta mengajak beberapa anggota PPKI seperti: Ki Bagus Hadukusumo, Abdul Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan, membahas ―berita penting‖ dari perwira Angkatan Laut Jepang itu. Dalam diskusi para tokoh yang sempat diajak Bung Hatta untuk pembahas 5
Lihat, Satya Arinanto, Piagam Jakarta dan Cita-cita Negara Islam, dalam Kurniawan Zein dan Sarifuddin HA (Ed.), ―Syariat Islam Yes, Syariat Islam No: Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945,‖ (Jakarta, Paramadina, 2001), h. 58
2
―berita penting‖ tersebut, rupanya tercapailah kesepakatan bahwa untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa, frase yang memuat tujuh kata yang dirasa mengganjal oleh wakil Indonesia Timur itu, diganti dengan frase, ―Ketuhanan Yang Maha Esa.‖ Itulah sebabnya, dalam UUD 1945 yang kemudian disahkan pada hari yang sama, tidak memuat lagi tujuh kata yang dipermasalahkan itu, yakni; ―dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.‖6 Dengan pencoretan tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945 itulah di kemudian hari menjadi epicentrum turun-naiknya hubungan Islam di satu sisi dan Indonesia di sisi lainnya. Dialektika hubungan itu, berjalan seiring dengan momentum dan dinamika kesejarahan yang mewadahinya. Harus diakui, bangsa Indonesia yang terdiri dari suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda-beda, ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh penjajah, bukanlah pekerjaan yang mudah. Pembangunan hukum nasional yang akan berlaku bagi semua warga negara, semestinya tidaklah memandang agama maupun elemen kultural salah satu golongan masyarakat. Sebab, jika hal itu dilakukan, besar peluangnya akan menimbulkan goncangan sosial secara nasional. Secara teoritik, bisa ditegaskan bahwa kalaupun hal itu terjadi, hendaklah ia merupakan proses alami yang dikerjakan oleh masyarakat sendiri berdasarkan kebutuhan akan masa depan yang lebih baik. Apalagi, pencapaian suatu sasaran hukum nasional yang diharapkan, seharusnya dilakukan secara bertahap, terencana, terpadu, terarah, dan senantiasa mempertimbangkan psiko-sosial, kultural, maupun teologis suatu masyarakat. Pada titik inilah para ahli hukum nasional berpendapat bahwa upaya pembangunan hukum nasional, sejatinya melibatkan tiga dimensi pembangunan hukum secara bersamaan. Ketiga dimensi ini saling terkait dan bertali-temali satu sama lain. Unsur-unsur di dalamnya saling menopang sehingga mampu membentuk konvergensi hukum secara kredibel dan akuntabel. Pertama, dimensi pemeliharaan; kedua, dimensi pembaruan; ketiga, dimensi penyempurnaan.7 Pemaknaan pada dimensi ‗pemeliharaan‘ dimaksudkan sebagai ―memelihara yang lama yang masih baik.‖ Sedangkan dimensi ‗pembaruan‘ dimaksudkan sebagai ―mengambil yang baru yang lebih baik.‖ Kedua dimensi ini, amat sejalan dengan qaidah ushul, ― ( الوحافظة على القدين الصالح واالخذ بالجديد االصلحAl-Muhâfadhatu `alâ al-qadîmi alshâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd al-ashlah––Memelihara yang lama yang masih baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik).‖8 6
Sejatinya, Piagam Jakarta merupakan hasil karya ―Panitia Sembilan‖ yang terdiri dari tokoh-toko Islam maupun tokoh nasionalis, yakni: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Achmad Soebardjo, H. A. Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Mereka menandatangani Piagam Jakarta itu pada tanggal 22 Juni 1945. Lihat, Ibid. h. 57-58 7 Lihat, Ismail Saleh, Dimensi-dimensi Hukum dalam Konteks Indonesia Modern, Jakarta, Sinar Harapan, 1995, cet. ke-1, h. 117 8 Lihat, Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Pramadina, 1997, him. 70.; Lihat juga, Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, Jakarta, INIS, 1991, him. 34.
3
Adapun dimensi ‗penyempurnaan‘ dimaksudkan sebagai ―ikhtiar serius untuk melakukan kritik internal terhadap teks-teks hukum agar selalu relevan dengan ruang dan waktu manusia.‖ Gagasan ini sejalan dengan qaidah ushul, " تغير االحكام بتغير االزهاى واالهكنة (Taghayyuru al-ahkâmi bi taghayyiru al-azmâni wa al-amkinah––Perubahan suatu hukum bergantung pada perubahan ruang dan waktu(.‖9 Itu berarti, penyempurnaan konsep hukum, selalu melibatkan dimensi-dimensi ruang dan waktu yang menghidupi dan dihidupi oleh masyarakatnya. Paradigma hukum kekinian dalam suatu tatanan sosial merupakan kelanjutan dari paradigma hukum masa lalu, dan paradigma hukum masa depan akan lebih banyak ditentukan oleh corak dan perspektif hukum yang dibangun pada masa kini. Bangunan hukum masa kini, sudah pasti haruslah berpijak pada perubahan sosial dan budaya yang dirancang secara sistematis dan kontinyu dari waktu ke waktu, seiring dengan kebutuhan pembangunan nasional secara keseluruhan. Pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia, unsur agama menjadi urgen untuk diperhatikan. Pembangunan hukum menjadi lebih mendesak jika dihubungkan dengan kebutuhan objektif negaranegara berkembang semacam Indonesia. Hal itu disebabkan oleh cita-cita kemerdekaan dan pembangunan telah mendorong negara tersebut selalu mengadakan penataan kembali tatanan masyarakat mereka, baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Proses perubahan tatanan masyarakat bagi negara yang sibuk dengan pembangunan, telah memaksa masyarakatnya untuk segera melaksanakan pembangunan di bidang hukum sebagai prasyarat tegak dan berjalannya roda pembangunan itu sendiri. Tegak dan berjalannya aspek hukum di suatu negara, akan segera mendorong bidangbidang lain untuk senantiasa berjalan di atas koridor hukum yang dibangun. Pada hakikatnya, pembangunan dalam bidang hukum adalah ikhtiar bersama mengadakan pembaharuan pada sifat dan isi dari ketentuan hukum yang berlaku, kemudian diarahkan secara maksimal untuk pembentukan hukum baru yang lebih baik. Inilah salah satu cara melaksanakan perubahan sosial yang diperlukan dalam pembangunan masyarakat. Jika bangsa ini ingin membedah perkembangan hukum Islam di Indonesia, maka mau tak mau, pembedahan itu dapat dilakukan secara periodik berdasarkan lompatan waktu perkembangan hukum Islam secara signifikan dalam periode-periode krusial yang ditemukan masyarakat hukum. Perkembangan hukum Islam secara periodik dapat dibagi menjadi empat periode krusial dan menentukan perjalanan hukum Islam di Indonesia. Pertama, periode sebelum pemerintahan kolonial Belanda. Kedua, periode pemerintahan Belanda. Ketiga, periode penjajahan Jepang. Keempat, periode Indonesia
9
Lihat, Muhammad Salim Madkur, Al-Qâda fî al-Islâm, Mesir, Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1964, h. 51
4
merdeka––antara tahun 1945-1974. Kelima, periode setelah tahun l974 sampai sekarang.10 Pembabakan masa ke dalam kurun waktu tersebut dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa, masing-masing masa tidak hanya mempunyai nuansa perubahan, tetapi juga mempunyai perbedaan yang riil dan signifikan dalam penerapan hukum Islam itu sendiri. Materi hukum Islam, secara khusus dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama membicarakan persoalan ibadah dan bagian kedua membicarakan persoalan muamalah. Materi hukum Islam yang bertalian dengan bidang ibadah bersifat rinci. Sedangkan materi hukum Islam yang bertalian dengan bidang muamalah bersifat global.11 Maka, jalan terbaik yang dapat ditempuh ialah mengusahakan secara ilmiah adanya transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam hukum nasional. Dengan menegaskan ini, maka ada baiknya kita membicarakan secara sekilas apa itu hukum Islam dan apa pula hukum nasional, sebagai bahan telaah lebih jauh. Pertama, Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash Al-Qur‘an maupun Al-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal––relevan pada setiap zamân (waktu) dan makân (ruang) manusia.12 Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakikat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apa pun.13 Sebagaimana diketahui, istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari al-fîqh al-lslâmîy, atau dalam konteks tertentu disebut alsyarî„ah al-lslâmîy. Istilah ini, dalam literatur Barat dikenal dengan idiom Islamic Law, yang secara harfiah diartikan dengan hukum Islam.14 Penjelasan terhadap kata Islamic Law, ditemukan melalui definisi yang lebih padat, yaitu ―keseluruhan khithâb Allâh ( خطاب هللا, hukum Allah) yang mengatur kehidupan setiap Muslim dalam segala aspeknya.‖ Dari definisi ini, terlihat bahwa hukum Islam itu mendekat kepada arti syariat Islam.15
10
Lihat, misalnya, M.B. Hooker, Undang-Undang 7s/am di Asia Tenggara, alih bahasa Rohani Abdul Rahim, dkk., (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1992), 18-22; Akh. Minhaji/'AhmadHassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958)," disertasi Ph.D. Institute of Islamic Studies McGili University Montreal (1997), 54. 11 Lihat, Muhammad Salim Madkur, Al-Qâda fî al-Islâm, Mesir, Dar al-Nahdah al-Arbiyyah, 1964, h. 59 12 Lihat, Al-Mawardi, Al-Akam al-Sulthaniyyah, Maktabah al-Taufiqiyyah, Mesir, 1978, h. 78-79 13 Lihat, J.F. Holleman (ed.), Van Vollenhoven on Indonesia Adat Law. (Leiden: Koniklijk Instituut voor Taal-. Land-en Volkenkunde, 1981). XXXiX 14 Lihat, Ibid., h. 35 15 Lihat, Muhammad Salim Madkur, Al-Qâda fî al-Islâm, Mesir, Dar al-Nahdah al-Arbiyyah, 1964, h. 63
5
Di dalam Al-Qur‘an dan al-Sunnah, istilah al-hukm al-lslam tidak dijumpai. AlQur‘an maupun Al-Sunnah menggunakan istilah al-syarî‟ah, yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah al-fiqh. Pada titik inilah kita berpendapat, “hukum Islam adalah seperangkat norma hukum dari Islam sebagai agama, yang berasal dari wahyu Allah, Sunnah Rasul-Nya, dan ijtihad para ulama dan uli al-amri.”16 Wahyu Allah yang tertuang dalam Al-Qur‘an, memuat hukum Islam yang utama (al-syarî‟ah, )الشريعة. Kata syari‘ah kemudian dijelaskan, diberi contoh, dan dirincikan oleh Rasulullah saw dengan ijtihad-ijtihadnya yang berwujud pada al-Sunnah. Adapun al-fiqh ( )الفقهadalah proses pemahaman terhadap al-syarî‟ah ()الشريعة, yang tidak terlepas dari situasi dan kondisi sosial masyarakat di mana syariat hendak diterapkan.17 Al-Qur‘an sebagai sumber pertama hukum Islam, di dalamnya memuat ajaranajaran di bidang hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum tata negara, hukum acara, hukum perburuan, hukum ekonomi, hukum sosial, dan hukum intemasional. Ketentuan-ketentuan hukum yang termuat dalam Al-Qur‘an tersebut, dilengkapi dengan Sunnah Rasul, dan dikembangkan dengan ijtihad ulama, keputusan pemerintah, dan ijtihad hakim dalam yurispudensi.18 Al-Qur‘an menetapkan bahwa Allah menghendaki setiap Muslim melaksanakan hukum-hukum-Nya. Karenanya, sudah menjadi keyakinan setiap Muslim bahwa jika manusia menjalankan hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, akan berakibat kesengsaraan hidup di dunia ini maupun di akhirat nanti. Sebagai akibat logis dari sifat keuniversalan hukum Islam adalah ketentuan hukumnya, ada yang ditujukan khusus untuk orang-orang Islam, ada pula yang ditujukan khusus untuk orang-orang non-Islam.19 Pengkhususan ini dimaksudkan agar prinsipprinsip hukum Islam yang ingin ditegakkan, haruslah senantiasa menghargai dan menghormati elemen hukum yang ditegakkan oleh agama lain. Prinsip Islam adalah tidak ada paksaan dalam beragama,20 serta bagimu agamamu bagiku agamaku.21 Kedua, Hukum Nasional adalah hukum yang dibangun oleh suatu negara untuk diberlakukan secara menyeluruh bagi warga negara dalam satu bangsa atau negara tertentu. Di Indonesia, hukum nasional yang dimaksudkan adalah hukum yang berlaku secara menyeluruh pada setiap warga negara. Hukum ini mengacu kepada nilai-nilai asasi yang termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945.22 16
Lihat, Ibid., h. 89. Lihat, Ibid., h. 123 18 Lihat, Ibid., h. 145 19 Lihat, Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Maktabah al-Taufiqiyyah, Mesir, 1978, h. 83 20 Lihat, Qs. Al-Baqarah: 256 21 Lihat, Qs. Al-Kâfirûn: 6 17
22
Bandingkan dengan C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 73-75. Mengenai karya-karya ilmu hukum yang sering digunakan di Fakultas Hukum di Indonesia, baca E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.X (Jakarta: Sinar Harapan, 1983); L.J. van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramitha. 1985); Soediman Kartohadiprodjo. Pengantar Tata Hukum di Indonesia,
6
Para pakat mencoba merumuskan hukum nasional sebagai hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia, setelah Indonesia merdeka, dan berlaku bagi warga negara Republik Indonesia, sebagai pengganti hukum kolonial.23 Pembangunan nasional Indonesia, sebagaimana diketahui bersama, selalu dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Sebutlah misalnya, rumusan yang tertuang melalui GBHN 1999 yang lahir dari rahim era reformasi, kita mendapatkan beberapa rujukan dasar tentang arah kebijakan hukum nasional tersebut,24 antara lain: Pertama, mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. Kedua, menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasionai yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. Ketiga, menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadaan dan kebenaran supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia, melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi manusia, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undangundang. Keempat, meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif. Kelima, mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri yang bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun. Keenam, mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era peredagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional. Ketujuh, menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.
(Jakarta: Ghalia Indonesia. 1982); Marhainis Abdulhay. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jilid I dan II. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981). Uniknya dalam buku tersebut. istilah yang digunakan adalah istilah dari khazanah bahasa Arab yaitu istilah hukum. wasiat, waris. mahkamah, kaidah dan lain sebagainya. 23
Mengenai pembahasan ini, baca Akh. Minhaji," Pendekatan Sejarah dalam Kajian Hukum Islam," Jurnal Mukaddimah, No. 8 (1999), 63-88. 24
Lihat, Garis-garis Besar Haluan Negara 1999, Jakarta, Sekretariat Negara RI, 1999, Cet. ke-1, h. 253
7
Kedelapan, meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Kesembilan, menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang belum ditangani secara tuntas. Merujuk pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam GBHN 1999 ini, maka pembangunan hukum nasional tertuju kepada semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya. Karena itu, pelaksanaannya harus dilakukan secara hati-hati dan terukur. Karena, agama-agama yang dipeluk oleh seluruh warga negara Indonesia adalah agama-agama samawi yang memiliki kontinuitas sejarah sebagai ) هلة ابراهين حنيفةmillata Ibrahîm hanîfah(.25 Oleh karena itu, kehadiran agama-agama di negeri ini, semestinya tidak dapat diceraiberaikan dari hukum nasional itu sendiri. Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, di dalamnya mengandung hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan bermasyarakat. Karenanya, dalam pembangunan hukum nasional, hukum Islam merupakan unsur yang betul-betul perlu diperhatikan. Kalangan pemikir Islam berpendapat bahwa kalau mengacu kepada UU No. I Tahun 1974, maka agama dapat dijadikan solusi dalam pembangunan hukum nasional. Karena itu, hukum Islam sebagai salah satu sistem ajaran Islam yang dianut oleh sebagian besar rakyat Indonesia, berpeluang besar memberikan kontribusinya kepada pembangunan hukum nasional.26 Sejarah perkembangan dan keberadaan Indonesia, baik sebagai komunitas maupun sebagai negara, hukum sebagai tatanan yang tumbuh dalam masyarakat, turut mendampingi proses historis bangsa lndonesia. Setelah melewati berbagai proses partumbuhan, mulai dari awal kedatangan Islam sampai sekarang ini, hukum Islam menjadi faktor penting dalam menentukan dalam setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan negara. Mengenai sejarah berlakunya hukum Islam di Indonesia, dapat dilihat dari dua priode, yaitu: (a) Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya; (b) Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat.27 25
Lihat, Qs. Al-Baqarah: 135 Lihat, Rumadi, "Pembentukan Tradisi Hukum Islam di Indonesia-. Survei Singkat pada Abad XVIIXVIII," Tashwiml Afkar, No. 4, (1999), 72-73. Namun dalam penelitian penulis, ternyata mazhab yang berkembang pertama-tama di Indonesia adalah Syi'ah, Hanafi, baru kemudian Madzhab Syafi'i, lihat Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, Kontribusi Daerah Aceh, 154-162. 27 Lihat, Bandingkan dengan C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), 73-75. Mengenai karya-karya ilmu hukum yang sering digunakan di Fakultas Hukum di Indonesia, baca E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet.X (Jakarta: Sinar Harapan, 1983); L.J. van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramitha. 1985); Soediman Kartohadiprodjo. Pengantar Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia. 1982); Marhainis 26
8
Periode penerimaan hukum Islam sepenuhnya, disebut dengan teori receptio in complexu. Sedangkan periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, disebut dengan teori receptie.28 Teori receptio in complexu adalah suatu periode di mana hukum Islam diberlakukan sepenuhnya bagi orang Islam. Sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, pemerintah kolonial memberlakukan hukum Islam bagi umat Islam, khususnya hukum perkawinan dan hukum waris, yang kemudian disebut dengan hukum kekeluargaan.29 Untuk menjamin pelaksanaan hukum tersebut, oleh Belanda dikeluarkan peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 Mei 1760, yang kemudian dikenal dengan Compendium-Freijer. Dalam Regeerings-reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 dinyatakan bahwa: oleh hakim Indonesia, hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Godsdienstige Wetten).30 Adapun priode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat, dipahami bahwa hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Melalui Indische Statsregeling (IS) yang diundangkan dalam Stbl. 1929. 212, disebutkan bahwa hukum Islam dicabut dari tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 itu berbunyi: ―Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.‖31 Selanjutnya pada thn 1937, pemerintah Hindia Belanda mengemukakan gagasan bahwa wewenang Pengadilan Agama yang mengadili masalah kewarisan sejak tahun 1882, dialihkan menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Melalui Stbl 177: 116, dicabutlah wewenang Pengadilan Agama, dengan alasan bahwa hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat.32 Pada zaman kemerdekaan, hukum Islam pun melewati Abdulhay. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jilid I dan II. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981). Uniknya dalam buku tersebut. istilah yang digunakan adalah istilah dari khazanah bahasa Arab yaitu istilah hukum. wasiat, waris. mahkamah, kaidah dan lain sebagainya. 28 Lihat, Satjipto Rahardjo. "Studi Hukum Kritis dan Sosiologi Hukum di Indonesia," makalah disampaikan pada Diskusi Panel "Gerakan Studi Hukum Kritis dan Eksplorasi Kontektualnya di Indonesia", diselenggarakan oleh Majalah Mahkamah (FH. UGM) dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Yogyakarta, 18 November, (1999), h. 1. 29 Lihat, J.F. Holleman (ed.), Van Vollenhoven on Indonesia Adat Law. (Leiden: Koniklijk Instituut voor Taal-. Land-en Volkenkunde, 1981), h. 134. 30 Lihat, Ibid., h. 370 31 Lihat, Ibid., h. 372 32 Lihat, M.B. Hooker, "The State and Syariah in Indonesia 1945-1995" dalam Timothy Lindsey (ed.), Indonesia: Law and Society, (Australia: The Federation Press. 1999). 107. Sebagai kajian lebih lanjut untuk melihat kualitas KHI, bandingkan, misalnya, dengan Qanun al-Ahwal al-syakhsiyyah, Undang-undang Keluarga Suriah. Uniknya, undang-undang ini pada pasal 305 disebutkan bahwa "Setiap apa-apa yang belum ada nashnya dalam undang-undang ini dirujuk kepada yang arjah pada menurut Hanafi".
9
dua periode. Periode pertama adalah periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasif. Priode kedua adalah periode hukum Islam sebagai sumber autoritatif. Sumber persuasif dalam konteks hukum konstitusi, yaitu sumber hukum yang baru diterima apabila diyakini. Dalam konteks Hukum Islam, Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI merupakan sumber persuasif. Hukum Islam baru menjadi sumber autoritatif (sumber hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum) dalam ketatanegaraan, ketika Dekrit Presiden 5 Juli yang mengakui bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945.33 Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya. Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen. Pertama, UU No. I Tahun 1974 tentang perkawinan. Pada pasal 2 Undangundang ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.34 Kedua, di dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.35 Ketiga, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini membuktikan bahwa Peradilan Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia. Hal ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas. Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak terbentuk undang-undang, melainkan Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991. Kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam memutuskan perkara, terutama di Peradilan Agama. Kelima, PP No. 28 Tahun 1991 tentang Perwakafan Nasional. Peraturan pemerintah ini mengatur tentang proses pelaksanaan dan penggunaan tanah wakaf yang sudah lama berjalan di Indonesia. Bandingkan dengan Ann Elizabeth Mayer,"Re/igious Legitimacy and Constitutiona/ism-. The Saudi Basic Law and the Maroccan Constitution Compared," dalam David E. Guinn, Christopher, dan Katherine, (ed.), Religion and Law in the Global Village, (Canada: McGill University, 1999), 81-97. 33 Mengenai penjelasan teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia, baca Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, 13-24; Ichtijanto/Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia," dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung: PT Rosdakarya, 1994), 95-149. 34 Lihat, Ibid., h 153 35 Lihat, Ibid., h. 154
10
Keenam, UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang ini mengatur tentang cara mengelola zakat yang baik, agar tidak terjadi penyimpangan sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. Membaca sejarah perjalanan hukum di Indonesia, menunjukkan bahwa kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum di tengah masyarakat Indonesia.36 Teori eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, yaitu: (1) Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; (2) Ada, dalam arti kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan dan wibawanya, dan diberi status sebagai hukum nasional; (3) Ada, dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia; (4) Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama.37 Jadi, secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Karenanya, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai. Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonsesia melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum, selalu sama-sama menuntut ketaatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan antara keduanya sangat erat. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat. Keduanya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Keduanya tidak boleh dibiarkan saling bertentangan.
36
Lihat, Analisa yang mendalam tentang hal tersebut, baca Ratno Lukito. Pergumuian Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS, 1998). khususnya Bab II dan III; idem," Law and Politics in Post Independence Indonesia: A Case Study of Religious and Adat Courts," Studia Islamika, Vol. 6, No. 2. (1999), 65-86 37 Lihat, Ibid., h. 89
11
Sesungguhnya, materi hukum meliputi aturan tertulis maupun tidak tertulis. Aturan ini berlaku normal dalam penyelenggaraan segenap dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta bersifat mengikat bagi semua pihak. Pembangunan hukum diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional, dengan penyusunan awal materi hukum secara menyeluruh yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, perlu ditegaskan di sini bahwa penyusunan program legislasi nasional, termasuk upaya pergantian peraturan perundang-undangan warisan kolonial dengan peraturan perundang-undangan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945, merupakan upaya cerdas dalam proses perwujudan hukum nasional yang dijiwai oleh nilai-nilai nasional dan keagamaan bangsa Indonesia, khususnya nilai-nilai Islam. Pemikiran akan terjadi perubahan hukum nasional itu, sebetulnya suatu manifestasi dari kehendak melepaskan diri dari kehidupan yang tidak demokratis, fasistis, dan represif. Pikiran itu merupakan pergumulan dialektis dari kekuatan yang tidak puas dengan sistem hukum warisan kolonial yang tidak sejalan dengan nilai-nilai sosialkultural Indonesia.38 Perubahan bertahap dianggap bukan jalan keluar untuk mengatasi problem historis yang selama ini tidak berpihak kepada sistem sosial Indonesia. Karenanya, perubahan radikal hukum nasional mesti dilakukan agar mampu menjawab tuntutan perubahan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai sosial dan kultural Indonesia. Perubahan melalui mekanisme konstitusi di parlemen masih dianggap tidak memberi jaminan adanya perubahan yang radikal tadi. Akibatnya, rasa tidak percaya pada hukum bentukan parlemen pun menjadi bagian yang tak terelakkan. Bahkan, sudah begitu terinternalisasi di pikiran para akademisi di kampus-kampus utama bahwa aktivitas parlmen––betapapun positifnya–– tetap dinilai sebagai ajang tawar menawar politik. Jadi, impian mengganti hukum kolonial dengan hukum nasional hanya bisa dilakukan oleh kaum intelektual yang belum terkontaminasi oleh berbagai kepentingan politik sesaat. Cita-citanya, ―segera terwujud konsep hukum nasional yang disemangati oleh nilai-nilai agama maupun nasionalisme Indonesia yang lebih sejati.‖ Penggunaan Pancasila sebagai paradigma interpretasi sejarah, hendaknya didukung oleh data dan fakta objektif yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia. Terlihat dengan jelas bahwa imperialisme Eropa mempunyai tiga tujuan utama, yaitu 38
Lihat, Artidjo Alkostar, "Negara Hukum dalam Praktek dan Prospeknya" makalah disampaikan dalam diskusi "Kembali ke Cita-Cita Bangsa, Sebuah Rekonstruksi Praktek Negara Hukum Indonesia di Masa Depan, oleh Senat Mahasiswa Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga, 10 Juni 1997, h. 9
12
Gospel, Gold, dan Glory.39 Perjuangan bangsa Indonesia sebagai reaksi terhadapnya, mempunyai tiga tujuan utama pula, yaitu Islam sebagai pengganti Kristen, Indonesia sebagai pengganti Belanda, dan kemerdekaan sebagai pengganti penjajahan.40 Konsep ini terukir dalam sejarah bangsa ini dengan nilai-nilai perjuangan bangsa yang dikristalisasikan dalam konsensus Piagam Jakarta, sebagai titik kulminasi yang menjiwai keseluruhan pencetusan ide utama Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam sudah mempunyai akar historis yang sangat jauh ke dalam jiwa bangsa ini. Di samping peluang-sosiologis sebagaimana yang dinyatakan di atas, Hukum Islam juga memiliki beberapa kendala dan problema, utamanya menyangkut integrasinya ke dalam hukum nasional yaitu: Pertama, kemajemukan bangsa. Patut diingat bahwa negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas, masing-masing memiliki kondisi soail dan kultural sendirisendiri sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain. Tetapi, upaya pengintegrasian aspek sosio-kultural masing-masing elemen bangsa ini ke dalam sistem hukum nasional, harus didahului dengan proses pemilahan pada bidang-bidang yang dilakukan direunifikasi secara relevan. Kedua, metode pendidikan hukum. Selama ini, pelajaran ilmu hukum yang diajarkan kepada mahasiswa adalah trikotomi antara hukum Barat, hukum Islam, dan hukum adat. Berhubung dengan masyarakat Indonesia relatif heterogen dan wilayahnya cukup luas, maka semakin berakibat pencarian titik temu di antara elemen hukum-hukum tersebut. Jadi, diperlukan sekarang adalah pemahaman integral dari pakar hukum dari
39
Untuk kajian baca beberapa tulisan berikut ini, Nurcholish Madjid, "Menuju Masyarakat Madani," Ulumul Quran, No.2/VII (1996), 51-55; Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, cet.II (Jakarta: LP3ES, 1999); baca juga artikel M. Dawam Rahardjo/'Masyarafcat Madani di Indonesia: Sebuah Penjajakan AwaL" Muhammad AS Hikam,'Wacana Intelektual tentang Civil Society di Indonesia" Olaf Schumman, Dileman Islam Kontemporer: Antara Masyarakat Madani dan Negara Islam, dan Bahtiar Effendy/Wauwsan a/-Qur'an tentang Masyarakat Madani: Menuju Terbentuknya Negara-Bangsa yang Modern," dalam Jurnal Pemikiran Paramadina, Vol. I, No. 2 (1999), 7-87: Ahmad Syafii Maarif, Universalisme Nilai-Nilai Politik Islam Menuju Masyarakat Madani," Profetika, Vol. 1, No. 2 (1999), 165176; baca juga "Islam dan Civil Society di Indonesia:' M. AS. Hikam dkk., Wacana Politik Hukum dan Demokrasi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) 165-208; Syamsul Arifin, "Rekonstruksi Gagasan Politik Islam: Antara Negara dan Masyarakat Madani" dalam Abu Zahra, Politik Demi Tuhan, .93-104; Abdul Munir Mulkhan, "Islam dan Prasyarat Budaya Masyarakat Madani," dalam idem, Politik Demi Tuhan, 327-332; M. Amin Abdul\ah,"Muhammadiyah'sExperience inPromotingA CivilSociety in theEve of the 21st Century" Profetika: Jurnal Studi Islam, Vol. 2, No. 1 (2000), 24-36: Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarafcat Madani: Arkeologi Pemikiran "Civil Society"dalam Islam Indonesia, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999); Asrori S. Kami, Civil Society & Ummah: Sintesa Diskursif "Rumah" Demokrasi, (Jakarta: PT Logos, 1999). 40 Lihat, Ibid. h. 55
13
ketiga sumber hukum tadi. Itu sudah pasti memerlukan perjuangan intelektual yang sangat berat. Ketiga, kurangnya pengkajian akademik di bidang hukum Islam. Ketertinggalan dalam mengembangkan pusat-pusat pengkajian Islam disebabkan oleh: (a) secara historis, pusat pengkajian yang tidak menghargai hukum Islam yang lebih dahulu berkembang ternyata tidak memberi tempat bagi pengkajian hukum Islam; (b) pengkajian hukum Islam terletak di antara pengkajian ilmu agama dan pengkajian ilmu hukum, akibatnya aspek pengkajiannya tidak mendalam; (c) perkembangan kualitas ketaatan umat Islam yang lemah, terutama keyakinan akidah dan moralnya yang sulit dikendalikan sehingga menimbulkan penurunan kualitas moral dalam pelaksanaan hukum; (d) masih dianutnya kebijaksanaan hukum politik Belanda yang mempunyai kepentingan politik sendiri, seperti: (1) umat Islam tidak boleh tunduk kepada hukumnnya sendiri, (2) belum sepenuhnya kemandirian Peradilan Agama dalam sengketa perdata kecuali hukum keluarga; (e) banyaknya masalah yang dihadapi umat Islam, sementara belum ada fatwa hukum yang mampu merangkumkannya dalam satu perundang-undangan yang bisa diterima oleh semua elemen masyarakat Islam. Inilah masalah-masalah yang dihadapi umat Islam Indonesia dewasa ini, tatkala umat ini ingin menjadikan syariat Islam41 sebagai jalan masuk menjalankan ajaran Islam sebagai pengamalan atas sila pertama dari Pancasila, ―Ketuhanan Yang Maha Esa.‖ Syariat Islam di Malaysia Berbeda dengan di Indonesia, rupanya di Malaysia, setiap Negara bagian memiliki syariat Islam (Undang-undang Keluarga Islam) sendiri. Pada masa dahulu, 41
Untuk menyebut beberapa karya yang menggambarkan bagaimana umat Islam berju'ang untuk meletakkan kata "syari'at" dan "negara Islam" dalam lintasan sejarah Indonesia, baca beberapa karya berikut: Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22Juni 1945 dan Sejarah Konsensus NasionalAntara Islami dan Nasionalis "Sekuler" TentangDasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986); idem,7s/am or the Panca Si/a as the Basis of the State" dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique, dan Yasmin Hussain (ed.), Reading on Islam in Southeast Asia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1985), 221-228; Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Po/itifc 7s/om di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), 92-111; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamenta/isme dalam Po/itifc Islam Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama'at-iIslami (Pakistan), (Jakarta: Paramadina, 1999), 204-222.; Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999), 45-99; M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Po/itifc: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijakan Pembangunan Bagi Keberadaan "Islam Po/itifc" di Indonesia Era 1970-an dan 1980-an, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999); Masykuri Abdillah, Demofcrasi di Persimpangan Mafcna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demofcrasi (1966-1993), (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1999); Ahmad Suheimi, Soefcarno Versus Natsir: Kemenangan JBarisan Megamati Reinfcarnasi Nasionalis Sekuler, (Jakarta: Darul Falah: 1999); A. Syafi'i Maarif, Islam dan Po/itifc di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988); Herbeth Feith dan Lance Castles, (ed.). Pemifciran Po/itifc Indonesia 1945-1965, (Jakarta: LP3ES, 1988). khususnya bab VI.
14
Undang-undang Keluarga Islam tiap-tiap Negara bagian pun berlaku, termasuk di dalam apa yang disebut oleh Malaysia sebagai ―Enakmen Pentadbiran (Pelaksanaan) Undangundang Islam di dalam Negeri-negeri di Malaysia.‖42 Sebagaimana diketahui bahwa, wacana pembentukan satu undang-undang keluarga Islam di Malaysia itu menjadi tidak terpenuhi disebabkan oleh masing-masing Negara bagian memiliki undang-undang sendiri. Akan tetapi, pada tahun 1990-an, pernah dicoba satu usaha serius dari pihak Kerajaan untuk mengadakan Undang-undang Keluarga Islam yang seragam yang akan diterapkan di semua Negara bagian di Malaysia.43 Sayangnya, setelah draf Undang-undang tersebut telah siap dan telah disetujui oleh Majelis Raja-raja, kemudian diajukan kepada tiap-tiap negeri untuk ditetapkan sebagai undang-undang, ternyata beberapa negara bagian seperti Kelantan dan Kedah, telah membuat draf undang-undang di Negara bagian mereka sendiri, membuat hasrat untuk menyeragamkan undang-undang tersebut menjadi tidak tercapai.44 Akan tetapi, perkembangan terakhir menunjukan bahwa sebuah Jawatankuasa Penyelarasan Undang-undang Sivil Sejarah yang di bawah naungan Bagian Hal Ehwal Islam, berada di bawah kontrol langsung Jabatan Perdana Menteri, telah mengkaji semua akta dan enakmen Undang-undang Keluarga Islam itu dan mencanangkan pula ikhtiar pembaruan (pindaan) undang-undang tersebut supaya lebih dekat dan seragam antara satu negeri dengan negeri lainnya. Boleh dikatakan bahwa semua negeri di Malaysia dewasa ini, telah setuju dan telah menerima rancangan penyelarasan Undang-undang Keluarga Islam yang dibuat oleh Jawatankuasa tersebut. Sekarang Undang-undang Keluarga Islam Negeri-negeri di Malaysia telah mencapai keseragaman sepenuhnya.45 Selain daripada itu, langkah-langkah khusus pun telah diambil untuk menindaklanjuti beberapa niat mulia guna memastikan Mahkamah Sivil tidak boleh ikut campur tangan dalam masalah hukum Islam, khususnya di dalam perkara seperti: pertunanganan dan hak pemeliharaan anak-anak. Boleh dikatakan bahwa seluruh negeri di Malaysia telah mengubah dan meluluskan pelaksanaan Undang-undang Keluarga Islam dengan membuat beberapa pembaruan (pindaan) dalam aspek-aspek tertentu. Langkah ini dibuat dengan tujuan menjadikan perkawinan, pendaftaran, perceraian, rujuk, nafqah, hadanah, dan lain-lain perkara yang berkaitan dengan kehidupan keluarga Islam di negeri-negeri di Malaysia agar lebih berkesan.46 Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia telah merumuskan secara sistematis dalam bentuk beberapa bagian sebagai berikut: permulaan, perkawinan, pendaftaran
42
Lihat, Abdullah Fahim bin Abdul Rahman, ―Pelaksanaan Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia dan Permasalahannya,‖ Mimbar Hukum, N0. 22 Thn VI 1995, h. 87 43 Lihat, Ibid., h. 88 44 Lihat, Ibid. 45 Lihat, Ibid. 46 Lihat, Ibid.
15
perkawinan, penalti atau akad nikah, pembubaran perkawinan, nafkah istri, pemeliharaan anak (penjagaan anak), pelbagai, penalti, dan ‗am.47 Hal-hal inilah ingin dibangun oleh bangsa Malaysia untuk memenuhi kebutuhan hukum Islam secara modern. Sebab, sebagaimana diketahui, Islam menghendaki agar keadilan ditegakkan dan kezaliman dihapuskan di tengah keluarga Islam. Institusi kehakiman seharusnya memainkan peranan penting di dalam melaksanakan tujuan tersebut. Tanpa adanya institusi kehakiman yang berwibawa, keadilan tidak akan dapat ditegakkan dan kezaliman tidak dapat diberantas, malahan ia hanya akan kian berkuasa secara lebih leluasa.48 Sejarah telah membuktikan bahwa institusi kehakiman di dalam Islam senantiasa dihormati dan berwibawa, berjaya di dalam tugas sucinya yaitu menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman. Kekuatan moralnya adalah berasaskan keyakinan terhadap syariah Islam, terutama keimanan kepada Allah dan kemuliaan akhlak para penegak hukumnya. Seperti dimaklumi, keadilan mahkamah hanya boleh dibuktikan dengan adanya undang-undang yang adil yaitu syariah Islam, para penegaknya yang berwibawa karena mereka berakhlak mulia, berilmu tinggi, dan bersifat adil.49 Islam menuntut agar mereka ini memenuhi syarat-syarat yang ketat sebelum dan semasa memegang jabatan yang melibatkan keputusan kehakiman ini. Islam juga menghendaki undang-undangnya diputuskan dan dilaksanakan dengan baik, adil dan bijaksana, di bawah naungan syariat Islam. Ini memerlukan adanya undang-undang prosedural. Undang-undang ini hendaklah dibuat dengan serius untuk melicinkan jalan dijadikan undang-undang Islam agar bisa dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman yang dihadapi bangsa Malaysia. Dengan kejayaan syariat Islam, maka masyarakat dan bangsa Malaysia sanggup memenuhi kehendak dan tujuan keadilan dalam memutuskan perkara melalui syariat Islam. Jika ini berjalan, institusi kehakiman Islam di Malaysia telah berjaya dalam memberikan keputusan dan hukuman yang tepat dan adil bagi rakyatnya.50 Dewasa ini, melalui ikhtiar para cerdik cendikia Malaysia, tampaklah dengan jelas sekali bahwa pelaksanaan syariat Islam di Malaysia, semakin mengesankan untuk diikuti karena telah muncul secara dramatis di mahkamah syariah Malaysia, suatu ikhtiar untuk membuat pembaruan undang-undang yang komprehensip dan sistematis, seperti: penubuhan (penyatuaan) mahkamah syariah, penentuan maksimun hukuman, peningkatan kualitas perundangan syariah, bidangkuasa mahkamah syariah, pemisahan mahkamah syariah dari majlis syariah, hakim dan kelayakannya, dan kakitangan mahkamah syariah.51 47
Lihat, Ibid., h. 89-92 Lihat, Abdullah Fahim bin Abdul Rahman, ―Mahkamah Syariah di Malaysia dan Permasalahannya,‖ Mimbar Hukum, No. 22 Thn VI, 1995, h. 93 49 Lihat, Ibid. 50 Lihat Ibid., h. 94 51 Lihat, Ibid, h. 94-103 48
16
Pertama, Penubuhan (Penyatuan) Mahkamah Syariah. Pada peringkat permulaan, pengaruh Britis (Inggris) di Negara ini, membuat Mahkamah Syariah atau Mahkamah Qadi berada dalam satu sistem kehakiman Negara. Keadaan ini lebih jelas seperti diperlihatkan dalam Courrts Ordinance 1946. Akan tetapi, bidang kuasa yang diberikan kepada Mahkamah Qadi hanyalah mengenai perkara-perkara yang berkaitan dengan agama Islam, khususnya masalah perkawinan dan perceraian. Qadi-qadi dan Naib-naib Qadi ketika itu dilantik oleh Sultan. Akan tetapi, surat kuasa ditandatangani bersama oleh Sultan Residen yang berkenan. Kedudukan mereka telah diabaikan dan tidak diberikan pengiktirafan (pengakuan) dalam taraf yang sewajarnya. Begitu juga dengan kedudukan bangunan mahkamah dan kakitangan sokongannya.52 Oleh karena itu, sebuah bilik diberikan kepada Qadi, dan dalam saat yang sama, di bilik tersebut ditempatkan seorang kerani, bahkan di bilik itu juga segala urusan penghukuman diadakan. Mahkamah Qadi mula-mula dipisahkan dari struktur kekuasaan Mahkamah Awam, apabila Courts Ordonance 1948 itu benar-benar diluluskan.53 Pada masa kini, penubuhan (penyatuan) Mahkamah Syariah berdasarkan pada Perlembagaan Persekutuan yang memberikan kuasa kepada negeri-negeri untuk menjalankan (mentadbirkan) Undang-undang Islam yang digolongkan sebagai Undangundang Diri (Personal Law) berdasarkan kehendak Jawal Kesembilan, sebarai (2) butiran (1). Walaupun bidang kuasa Mahkamah Syariah diberikan hanya dalam Undang-undang Diri, ia disertakan pula dengan sekatan-sekatan (kategori-kategori) tertentu melalui peraturan perlembagaan dan akta.54 Penubuhan (penyatuan) Mahkamah Syariah juga berdasarkan pada peruntukkan Enakmen Pentadbiran (Pelaksanaan) Hukum Syarak bagi Negara-negara bagian di Malaysia, seperti: Undang-undang Pentadbiran Agama Islam 1952 bagi negeri Selangor, Undang-undang Pentadbiran 1955 bagi negeri Trengganu, Undang-undang Pentadbiran 1956 bagi negeri Pahang, Undang-undang Pentadbiran Agama Islam 1956 bagi negeri Pulau Pinang dan Melaka, Undang-undang Pentadbiran Agama Islam 1960 bagi Negeri Sembilan, Undang-undang pentadbiran 1962 bagi Negeri Kedah, undang-undang Pentadbiran Agama Islam 1963 bagi Negeri Perlis, dan Undang-undang Pentadbiran Agama Islam 1965 bagi Negeri Perak.55 Penubuhan merupakan perwujudan dalam bidang kuasa Mahkamah Syariah, juga telah diiktirafkan (diakui) dan dihormati secara jelas oleh Perlembagaan Persekutuan dengan adanya pindaan (pembaruan) yang terkenal dengan Akta Perlembagaan (Pindaan) 1988 (Akta A 704), Perkara 121 Perlembagaan Persekutuan.56
52
Lihat, Ibid., h. 94 Lihat, Abdul Munir Yaacob, Struktur Taraf Kedudukan dan Kakitangan Mahkamah Syari‟ah: Satu Pandangan, Kuching, Sarawak, Kertas Kerja Seminar Ketua Hakim dan Hakim Syariah Se-Malaysia, 1991, h. 4 54 Lihat, op.cit., h. 94-95 55 Lihat, Ibid., h. 95 56 Lihat, Ibid. 53
17
Masalah yang timbul di Malaysia hari ini adalah terdapat dua sistem hukum kehakiman. Pertama, Mahkamah Sivil yang berbidangkuasa di seluruh Malaysia. Penubuhan bidang kuasa dan pelantikan hakim-hakimnya ditentukan oleh perlembagaan dengan segala keistimewaan dan kemudahan, dan diberikan kepadanya oleh Kerajaan Persekutuan. Kedua, Mahkamah Syariah yang serba kekurangan dan penubuhannya berdasarkan kuasa yang diberikan kepada negeri-negeri dengan taraf dan bidang kuasa melalui Jawal Kesembilan, Senai (2), Butiran (1), dan Enakmen Negeri-negeri dengan taraf dan bidang kuasa yang lebih rendah dibandingkan dengan Mahkamah Sivil dan disertakan dengan sekatan-sekatan Perlembagaan dan Akta terhadap bidang-kuasanya. Oleh karena itu, keadaan Mahkamah Syariah ini selamanya tidak memuaskan selagi ia menjadi kekal dalam status yang ada. Para intelektual Malaysia berpendapat bahwa, masanya telah tiba untuk kita memikirkan kembali kemungkinan pentadbiran (pelaksanaan) kekuasaan kehakiman ini disatukan di bawah bumbungan yang sama.57 Kedua, Bidangkuasa Mahkamah Syariah. Sebelum kedatangan penjajah, bidangkuasa Mahkamah Syariah adalah luas dan menyeluruh seluas Undang-undang Islam yang dilaksanakan di Malysia dewasa ini. Pada masa itu, undang-undang Islam merupakan undang-undang dasar dan asas Negara.58 Dengan kedatangan penjajah maka pembangunan undang-undang Islam telah dibatasi (dihad: Malaysia) dan dipersempitkan kewenangannya. Hari ini, di Malaysia didapati bidang kuasa Mahkamah Syariah hanyalah mengenai Undang-undang Diri dan Keluarga bagi orang-orang yang beragama Islam. Ini bermakna bahwa tidak boleh melibatkan orang-orang yang tidak beragama Islam dalam pelaksanaan hukum Islam itu. Bidangkuasa Mahkamah Syariah itu telah dijelaskan di dalam Jawal Kesembilan, Senarai (2), Butiran (1) Perlembagaan Persekutuan. Bidangkuasa sivil Mahkamah Syariah bolehlah disimpulkan sebagai berikut: (a) pertunangan, nikah-cerai, membatalkan nikah atau perceraian atau perpisahan kehakiman; (b) memberi harta benda atau tuntutan terhadap harta yang berbangkit daripada perkara yang tersebut dalam pecahan yang di atas; (c) nafkah orang di bawah tanggungan, anak yang sah, penjagaan kanak-kanak atau pemeliharaan kanak-kanak; (d) Pemberian harta pencarian, wakaf atau nazar; (e) perkara lain yang diberi kuasa pelaksana (tadbir) kepadanya oleh mana-mana (apa saja) dari undang-undang tertulis.59 Ketiga, Pembatasan (Had) Maksimum Hukuman. Terdapat beberapa perkembangan terbaru untuk menggalakkan pembaruan Mahkamah Syariah setelah diberikan bidangkuasa yang lebih luas dibandingkan dengan bidangkuasa pada masa lalu, walaupun bidangkuasa ini belum sepenuhnya memenuhi kehendak umum syariah Islam yang terdapat dalam Mahkamah Syariah. Akan tetapi, melalui perkembangan terakhir ini, kita dapat memberikan apresiasi positif terhadap kemauan baik (good will) dari pihak yang 57
Lihat, Ibid. Lihat, Ibid., h. 95 59 Lihat, Ibid., h. 96 58
18
berkuasa (baca: pemerintah Malaysia) untuk memberikan kontribusi positifnya terhadap penerapan syariat Islam di negeri Malaysia. Pihak Kerajaan Persekutuan telah membuat pindaan (perbaikan, pembetulan, atau pembaruan) dalam bidangkuasa jinayah Mahkamah Syariah, terkenal dengan Akta Mahkamah Syariah (Bidangkuasa Jinayah) Pindaan 1984. Pindaan ini telah memberikan kuasa yang lebih luas kepada Mahkamah Syariah untuk menjatuhkan hukuman penjara hingga tiga tahun, atau denda hingga RM 5.000,- atau sebat (rajam) enam rotan, atau gabungan kedua hukuman tersebut. Akta ini adalah pindaan (perbaikan) dari Akta Mahkamah Syariah (Bidangkuasa Jinayah) 1965, di mana sebelumnya ia hadir sematamata memberikan hukuman pada apa-apa kesalahan yang boleh dihukum dengan penjara untuk satu tempo, dan tidak boleh melebihi enam bulan atau denda tidak boleh melebihi RM 1.000,- atau kedua-duanya.60 Pada tahun 1988, Kerajaan Persekutuan Malaysia telah membuat pindaan (pembaruan) terhadap perlembagaan dalam bidangkuasa Mahkamah Syariah, terkenal dengan Akta Perlembagaan (Pindaan) 1988 (Akta A 704), Perkara 121. Perlembagaan Persekutuan menjelaskan bahwa Mahkmah Sivil tidak lagi mempunyai bidangkuasa terhadap perkara-perkara yang sudah menjadi bidangkuasa (kewenangan) dari Mahkamah Syariah Malaysia. Pindaan Perkara 121 (1A) Perlembagaan Persekutuan menyebutkan bahwa, ―Mahkamah-mahkamah yang disebut di dalam Pasal (1) tidaklah boleh mempunyai bidangkuasa berkenaan dengan apa-apa perkara dalam bidangkuasa Mahkamah Syariah.61 Melalui pindaan ini, mewujudkan kewibawaan Mahkamah Syariah telah diiktirafkan (diakui) oleh Perlembagaan Persekutuan dan Mahkamah Syariah mempunyai bidangkuasa yang mutlak untuk memutuskan dan menyelesaikan kes-kes (perkaraperkara) atau apa-apa perkara yang terletak di bawah bidangkuasanya. Ini bermakna bahwa Mahkamah Sivil tidak boleh membicarakan sesuatu kes yang terletak di bawah bidangkuasa Mahkamah Syariah. Sedangkan sebelum ini, Mahkamah Sivil juga mempunyai bidangkuasa yang sama, di dalam beberapa kes, Mahkamah Sivil boleh membicarakannya dan jika terdapat percanggahan (perbedaan) maka keputusan Mahkamah Sivil adalah muktamad (berkekuatan hukum tetap).62 Substansi dari pembaruan hukum Islam di Malaysia telah diperkukuh dengan keputusan Mahkamah Agung melalui perkara (kes: Malaysia) Mohammad Habibullah bin Mahmood lawan Faridah bt. Dato‘ Talib, pada 15 Desember 1992. Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menegaskan tentang exclusive jurisdiction (kewenangan khsusus) yang diperoleh Mahkamah Syariah.63 Bahkan secara khusus pula, pihak Kerajaan telah membuat perbaikan aturan terhadap Perlembagaan Malaysia untuk memberikan kuasa kepada hakim Mahkamah 60
Lihat, Ibid., h. 97 Lihat, Ibid. 62 Lihat, Ibid. 63 Lihat, Ibid., h. 98 61
19
Syariah, seperti diberikan kepada Majister terkenal dengan Akta Perlembagaan (Pindaan) 1988, perkara 5 (4) Perlembagaan Persekutuan. Dengan Pindaan ini berarti hakim Mahkamah Syariah telah diberikan kuasa penuh seperti seorang Majister di dalam perkara kuasa tangkap di tempat.64 Keempat, Usaha Meningkatkan Perundangan Islam. Dengan pindaan-pindaan tersebut maka jelaslah kepada kita tentang bidangkuasa Mahkamah Syariah telah dinaikkan derajarnya (dipertingkatkan: Malaysia) sedikit demi sedikit hingga memperoleh tingkat yang semestinya dalam Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Dengan demikian, langkah susulan hendaklah diambil dengan segera agar pindaanpindaan tersebut benar-benar dimanfaatkan. Dengan tujuan tersebut maka beberapa negeri telah mengambil langkah-langkah mengesankan, di antaranya:65 a) Mengadakan Kanun Jinayah Syariah yang lebih kemas (elok, rapi) dan berasingan (berlainan) yang tidak lagi merupakan bagian dari undang-undang Pentadbiran Hukum Syara‘ di antara negeri-negeri yang telah mengadakan kanun tersebut seperti Kelantan, Kedah, Serawak, dan Malaka. Ada juga negeri yang telah meluluskannya tetapi belum berkuatkuasa seperti Sabah. Walaupun demikian, masih ada lagi negeri-negeri yang belum mengambil tindakan tegas ke arah mewujudkan Kanun Jinayah yang kemas dan berasingan ini, padahal aturan serupa ini telah ditunggu-tunggu kehadirannya. Bahkan dimaklumi juga bahwa adanya Kanun Jinayah Syariah yang teramat penting itu merupakan berkah bagi umat Islam Malaysia. b) Mengadakan undang-undang Keterangan Islam yang kemas (rapi), padat, dan berasingan (tersendiri), akan menjadikan Hukum Syara‘ sebagai rujukan terakhir. Di antara negeri-negeri yang telah mempunyai Undang-undang Keterangan Islam seperti di atas adalah Kelantan, Kedah, Pahang, Sarawak, dan Melaka. Ada juga negeri-negeri yang telah meluluskannya tetapi belum berbuatkuasa seperti Sabah. Namun demikian, masih ada negeri-negeri yang belum mengambil tindakan tegas ke arah ini, walaupun dimaklumi juga bahwa Undang-undang Keterangan Islam ini adalah penting untuk memperkuat bidangkuasa Mahkamah Syariah di dalam kes (peraturan) Sivil dan Jinayah yang telah ditingkatkan derajatnya itu. c) Mengadakan Undang-undang Acara Jinayah Islam yang tertata rapi (kemas: Malaysia), padat, dan tersendiri, akan menjadikan Hukum Syara‘ sebagai rujukan terakhir. Di antara negeri-negeri yang telah mempunyai Undangundang Acara Jinayah Islam tersebut adalah Kelantan, Kedah, Pahang, Serawak, Malaka, dan Selangor. Ada juga negeri-negeri yang telah meluluskannya tetapi belum berkuatkuasa seperti Negeri Sembilan dan Sabah. 64 65
Lihat, Ibid. Lihat, Ibid. h. 98-99
20
Sungguhpun demikian, masih ada negeri-negeri yang belum mengambil tindakan tegas ke arah ini. Seperti yang telah dimaklumi bidangkuasa Mahkamah Syariah di dalam kes-kes (peraturan-peraturan) Jinayah Syariah telah juga ditingkatkan derajatnya. Memperhatikan hal ini, tentulah hukum Acara Jinayah Islam sangat diperlukan untuk dihadirkan. d) Mengadakan Undng-undang Acara Mal Islam yang kemas (teratur, sistematis), padat, dan tersendiri, yang menjadikan Hukum Syara‘ sebagai rujukan terakhir. Di antara neger-negeri yang telah mempunyai undang-undang Acara Mal Islam adalah: Kelantan, Kedah, Pahang, Sarawak, Melaka, dan Selangor. Negeri Sembilan pun telah menjadikannya sebagai kaedah saja. Ada juga negeri-negeri yang telah meluluskannya tetapi belum berkuatkuasa melaksanakannya, seperti Sabah. Bahkan, masih ada negeri-negeri lain yang belum mengambil tindakan tegas ke arah ini. Seperti dimaklumi, bidangkuasa Mahkamah Syariah di dalam kes-kes (peraturan) mal (harta) yang diperuntukkan kepadanya adalah setanding (setara) dengan bidangkuasa Mahkamah Tinggi Sivil. Memandangkan hal ini, tentulah Acara Mal Islam sangat diperlukan untuk segera dihadirkan. e) Menghadirkan Kaedah Peguam Syarie yang lebih kemas (teratur) untuk memastikan peguam-peguam (undang-undang) yang menjadi wakil anak guamannya benar-benar seorang yang layak dan berwibawa mengetahui hukum Syara‘ dengan mendalam, mengetahui undang-undang yang diakui oleh Mahkamah Syariah dan berakhlak mulia. Di antara negeri-negero yang telah mempunyai kaedah ini adalah: Kedah, Kelantan, Selangor, Johor, Terengganu, dan Pahang. Sungguhpun demikian, terdapat kurang kesergaman dan penyelarasan di kalangan negeri-negeri yang telah mempunyai Kaidah Peguam Syarie ini. Tindakan ke arah menyeragamkannya adalah perlu adanya, walaupun masih terdapat adanya beberapa negeri yang tidak mempunyai Kaedah Peguam Syarie ini. Tindakan berkesan dan segera ke arah mengadakannya adalah hal yang terpuji. Benar bahwa diperlukan kehadiran Kaedah Peguam Syarie yang berkelayakan dan berwibawa akan dapat membantu Mahkamah Syariah di dalam menegakkan keadilan. Tugas untuk menghadirkan Kaedah Peguam Syarie adalah pegawai Mahkamah Syariah itu sendiri. Ini tentu saja tugas mulia yang harus diemban dengan sikap takzim. Satu kemajuan yang kentara sekali di dalam pengakuan Hukum Syara‘ di Malaysia adalah adanya Undang-undang Keluarga Islam yang lebih kemas (sistematis), sejalan dengan tuntutan syara‘ dan seiring dengan keadaan zaman. Walaupun terdapat perbedaan di beberapa seksyen (pasal) di antara Undang-undang Keluarga Islam dari satu negeri dengan yang lain. Namun secara umum, asasnya adalah sama dan usaha ke arah keseragaman yang benar senantiasa dilakukan. Undang-undang Keluarga Islam ini telah berjaya menyekat poligami dan perceraian, sehingga mempersempit perilaku sewenang21
wenang laki-laki dalam berpoligami. Ia juga berjaya menjamin hak wanita dan kanakkanak yang senantiasa menjadi korban jika berlaku perceraian sebelum ini. Undangundang ini tidaklah terikat kepada Madzhab Syafi‘i dengan ketatnya. Ia pun telah berjaya menjadi bukti keadilan dan keunggulan Undang-undang Islam di dalam menangani persoalan keluarga, walaupun terdapat kelemahan dari segi pelaksanaannya.66 Adapun undang-undang Wasiat sebagai bidangkuasa Mahkamah Syariah, dengan adanya perbaikan kepada Perlembagaan Persekutuan 1988, perkara 121 (1A) dan keputusan Mahkamah Agung mengenai bidangkuasa Mahkamah Syariah di dalam perkara Mohammad Habibullah lawan Faridah, maka kedudukannya semakin jelas. Jawatankuasa Teknikal telah membuat cadangan draf Undang-undang Wasiat ini, tetapi hingga hari ini belum ada lagi negeri-negeri yang menggunakannya. Walaupun perkara ini penting, ia hanya akan ditadbir (diakui) di bawah bidangkuasa Mahkamah Syariah jika berlaku pertikaian atau pelanggaran undang-undang ini. Wakaf juga di bawah bidangkuasa Mahkamah Syariah. Beberapa negeri telah membuat beberapa undang-undang yang jelas mengenai wakaf ini. Hal yang sama terdapat dalam wakaf „am ataupun wakaf khas seperti negeri Johor. Bagi negeri-negeri yang belum membuat peraturan mengenai hal ini, wajarlah mengadakannya. Oleh karena bidangkuasa Mahkamah Syariah bolehlah dikatakan luas terutama di dalam perkara Mal Orang-orang Islam, maka hal ini diputuskan berdasarkan Hukum Syara‘ seperti kesetarafan anak, hibah, nazar, dan seterusnya. Ada intelektual Malaysia berpendapat bahwa, tidak perlu diadakan kanun pada setiap perkara yang disebutkan di dalamnya, tetapi yang lebih penting adalah penggunaan Hukum Syara‘ di dalam memutuskan kes-kes (perkara-perkara) tersebut. Hal ini tentu memerlukan hakim-hakim Syarie, pegawai dan Peguam Syarie yang alim dan boleh merujuk kepada rujukan Hukum Syara‘ yang asasi, yaitu al-Qur‘an dan al-Sunnah, juga kitab-kitab tafsir, hadits, dan fiqh yang muktabar sebagai hasil pemahaman terhadap al-Qur‘an. Dengan demikian, setiap pegawai Mahkamah Syariah maupun pegawai Peguam Syarie, hendaklah diambil dari orang-orang yang mampu menarjihkan pendapat para ulama itu. Seperti dimaklumi, di antara peranan Pejabat Hal Ehwal Agama Islam ialah mengembangkan dakwah dan pendidikan Agama Islam di kalangan orang-orang Islam. Sambutan umat Islam terhadap sekolah-sekolah agama amat membesarkan hati. Kerajaan-kerajaan negeri telah mengadakan undang-undang dengan tujuan yang sama, yakni menggalakkan dakwah dan pendidikan agama Islam. Mahkamah Syariah telah diberi bidangkuasa untuk membicarakan dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang didapati salah melanggar undang-undang ini. Masjid dan pengurusnya di bawah tanggung jawab Pejabat Hal Ehwal Agama. Di sini terdapat peraturan dan undang-undang mengenai pembinaan, pengasuan, dan pengurusan masjid. Mahkamah Syariah telah diberi bidangkuasa untuk membicarakan 66
Lihat, Ibid., h. 99-100
22
dan menjatuhkan hukuman atas orang-orang yang didapati melanggar undang-undang ini. Sebagai contoh, Negeri Selangor telah membuat peruntukkan undang-undang mengenai masjid di dalam Bagian V Enakmen Pentadbiran Perundangan Islam 1989 dan berada di wilayah Persekutuan. Undang-undang mengenai masjid ini telah diperkemas lagi dengan satu peraturan yang diluluskan oleh Majlis. Nampaknya, di kalangan pakar hukum Islam Malaysia meramalkan bahwa akan ada beberapa undang-undang lagi yang siap direvisi (diperbaiki) untuk memperkuat dan mempertegas pengakuan Hukum Syara‘ di Malaysia. Ini bermakna bahwa tugas dan bidangkuasa Mahkamah Syariah akan semakin luas dan menantang.67 Kelima, Pemisahan Mahkamah Syariah dari Majelis. Sungguhpun bidangkuasa Mahkamah Syariah dari segi Mal dan Jinayah telah ditingkatkan, namun masih terdapat lagi negenri-negeri yang belum mengambil tindakan mengesankan untuk memisahkan Mahkamah Syariah dari Majlis. Negeri-negeri ini masih mengekalkan prinsip-prinsip Majlis adalah badan tertinggi mengenai Agama Islam, di bawah naungan Pejabat Hal Ehwal Agama, Mufti, dan Mahkamah. Struktur pentadbiran ini jelas telah tidak sesuai untuk diteruskan. Di antara negeri-negeri yang telah mengambil langkah demikian adalah Selangor, Serawak, Melaka, dan Negeri Sembilan. Dengan berlakunya pemisahan Mahkamah Syariah dari Mejlis maka kewibawaan dan kebebasan mahkamah akan dapat dipastikan wujudnya. Di samping itu, akan menaikkan taraf imeg Mahkamah Syariah sebagai institusi pelaksanaan (pentadbiran) keadilan Islam yang dihormati dan berwibawa.68 Keenam, Struktur Mahkamah Syariah. Beberapa negeri telah mengadakan perubahan struktur Mahkamah Syariah dengan mengadakan tiga peringkat mahkamah yaitu Mahkamah Rendah Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah, dan MahkamahUlang Bicara Syariah. Di antara negeri-negeri yang telah mengambil langkah tersebut ialah Sarawak, Selangor, dan Negeri Sembilan. Struktur ini adalah sesuai dengan keadaan masa kini dan tuntutan zamannya. Tambahan pula bahwa bidangkuasa Mahkamah Syariah telah pula diperluas dan ditingkatkan kewenangannya. Walaupun struktur baru Mahkamah Syariah ini lebih baik dari sebelumnya, tetapi dalam jangka panjang, ia hanya menimbulkan masalah dan mungkin tidak akan bertahan lama karena sistem tiga peringkat Mahkamah Syariah bagi setiap negeri akan menyebabkan kita memerlukan terlalu banyak hakim syariah dan mungkin hakim syarie bagi Mahkamah Ulang Bicara Syariah lebih banyak daripada hakim Mahkamah Syariah Tinggi dan Rendah. Jika dilihat dari jangka panjang, setiap negeri mempunyai sekurangkurangnya empat orang Hakim Syarie Ulang Bicara Syariah. Berarti, Malaysia memerlukan sekurang-kurangnya 56 orang Hakim Syarie bagi Mahkamah Ulang Bicara untuk empat belas negara bagian.69 67
Lihat, Ibid., h. 100-102 Lihat, Ibid., h. 102 69 Lihat, Ibid. 68
23
Ketujuh, Bangunan dan Kemudahan Mahkamah. Jika kita membuat lawatan ke Mahkamah-mahkamah Syariah di seluruh Malaysia, akan kita dapati bangunan-bangunan Mahkamah Syariah yang hebat dan ada juga yang tidak layak dijadikan sebagai Mahkamah Syariah. Sebutlah misalnya, bangunan Mahkamah Syariah di Wilayah Persekutuan, Kuala Lumpur, tampak hebat dan membanggakan. Ia terletak di Bangunan Sultan Sulaiman dengan segala kemudahan yang diperlukan oleh sebuah Mahkamah. Para pemikir Islam Malaysia menyarankan agar di masa-masa yang akan datang, bangunan Mahkamah Syariah dan Mahkamah Sivil diletakkan di bawah satu bumbung (atap). Saran ini tentu baik, karena ia akan melambangkan keseiringan dari kedua sistem kehakiman di sana. Negeri Sembilan telah mengambil langkah pertama melaksanakan saran ini, di mana Mahkamah Sivil dan Mahkamah Syariah diletakan dalam Kompleks yang sama. Saran ini, akhirnya dilaksanakan sepenuhnya.70 Kedelapan, Hakim dan Kelayakannya. Di masa lalu syarat seseorang untuk dilantik menjadi Qadi tidaklah begitu ketat. Adakalanya seseorang lulusan Ushuluddin dan Bahasa Arab dari Universitas Timur Tengah dilantik menjadi Qadi. Tetapi perkara ini sudah dapat diatasi. Akhir-akhir ini mereka yang dilantik menjadi Qadi atau Hakim telah mengikuti Kursus Diploma Undang-undang dan Pentadbiran Kehakiman Islam dari Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia. Ini merupakan satu langkah yang baik dan hendaklah diteruskan. Ini bemakna bahwa skim perkhidmatan pegawai syariah telah setara dengan skim perkhidmatan undang-undang kehakiman Malaysia.71 Kesembilan, Kakitangan Mahkamah Syariah. Tadi telah disentuh bahwa perlunya diadakan segala kemudahan yang lazim bagi mahkamah. Di samping itu, bolehlah dikatakan kakitangan Mahkamah Syariah adalah tidak mencukupi, walaupun terdapat juga di beberapa negeri keadaannya dinilai baik, seperti Wilayah Persekutuan. Kekurangan kakitangan dan pegawai Mahkamah Syariah dari Majlis dan Pejabat Hal Ehwal Agama Islam adalah persoalan berat. Dewasa ini, ternyata masalah ini sudah bisa diatasi dengan baik oleh pemerintah Malaysia sesuai dengan kebutuhan.72 Malaysia telah membuka jalan bagi terlaksananya syariat Islam secara komprehensip, baik hukum perdata Islam (muamalat, hukum prifat) maupun hukum pidana Islam (jinayat, hukum publik). Suatu pilihan elok bagi bangsa dan masyarakat Malaysia, meski untuk kasus Indonesia, rupanya masih menjadi cita-cita panjang bagi para pemikir maupun masyarakatnya. Para tokoh Islam di Malaysia dengan semangat dan cita-cita tinggi mengambil langkah terdepan dalam menjalankan pilihan strategis ini, dengan menerapkan pidana Islam di berbagai negeri untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Islam. Suatu langkah monumental yang masih sulit ditiru di Indonesia maupun Negara-negara serumpun di ASEAN.
70
Lihat, Ibid. h. 103 Lihat, Ibid. 72 Lihat, Ibid. 71
24
Syariat Islam di Brunei Darussalam Sebelum kedatangan penjajah Inggris dengan campur tangan langsung atas kekuasaan kehakiman, kemudian memaksa undang-undang dan sistem hukum mereka diterima, Brunei Darussalam telah mempunyai undang-undang dan sistem hukum yang berwibawa dan berdaulat.73 Undang-undang yang dilaksanakan dan berlaku di Brunei Darussalam adalah undang-undang dan sistem hukum Islam. Sistem hukum Islam merupakan undangundang Islam yang dikanunkan dengan hukum kanun Brunei, meskipun terdapat sedikit pengaruh adat dan resam Brunei. Undang-undang Islam ini berlaku secara tertulis, berdampingan dengan adat resam (kebiasaan) dan hukum syara‘. Hukum Kanun Brunei tersebut mulai ditulis pada masa pemerintahan Sultan Hasan (1605-1619 M), walaupun besar kemungkinan penulisannya telah dimulaikan jauh sebelum itu, meskipun belum terdapat bukti yang kokoh mengenai kebenaranya. Hukum kanun ini telah sempurna dilaksanakan dan dikuatkuasakan pada zaman pemerintahan Sultan Jalilul Akbar (1619-1649 M). Untuk memastikan Hukum Kanun Brunei ini, pihak Kesultanan Brunei selalu berikhtiar agar hukum syara‘ dan hukum adat masyarakat Brunei supaya bisa dilaksanakan, dan dijadikan sebagai Undang-undang Dasar Negara Brunei, maka Sultan Jalilul Akbar mewasiatkan agar anaknya Sultan Abdul Jalilul Jabbar (1649-1652 M) supaya melaksanakan wasiat tersebut. Isi wasiat Sultan Jalilul Akbar itu sebagai berikut: ―Apa-apa hal mengenai negeri hendaklah bermufakat dengan wazir, ceteria, dan menteri semuanya, serta sekalian dengan sanak saudaranya. Dan apa-apa mengenai negeri hendaknya keempat wazir serta ceteria, memberi kapit buat ananda beserta adat istiadatnya mengikuti undang-undang kanun, resam, dan syara‘.‖74
Merujuk pada wasiat Sultan Jalilul Akbar ini, maka menjadi jelaslah kepada kita bahwa penyelenggaraan Negara dilaksanakan secara mufakat, perundingan, dan syura di kalangan pihak yang berkenan seperti pembesar dan pelaksana Negara lainnya, termasuk sanak saudara pun tidak boleh ditinggalkan. Ini bermakna, Brunei juga diatur dan diperintah berdasarkan undang-undang dan peraturan. Undang-undang yang menjadi dasar tertulis bagi Negara Brunei Darussalam merujuk pada kehendak Hukum Syara‘ yang mencakup berbagai bidang perundangan yang luas, yaitu Hukum Kanun Brunei, kemudian diikuti oleh hukum adat, resam (kebiasaan, tradisi), dan hukum syara‘ yang tidak dikanunkan. Seperti yang telah dijelaskan, Undang-undang Islam telah dilaksanakan dengan luasnya di Brunei Darussalam dan ia menjadi undang-undang dasar dan asas Negara ini, sampai kedatangan penjajah Inggris mulai melakukan campur tangan ke dalam hukum Brunei, membuat hukum Inggris lambat laun mulai berlaku di Negara tersebut. Sebagai 73
Lihat, Dato‘ Haji Mahmud Saedon Awang Othman, ―Mahkamah Syariah di Negera Brunei Darussalam dan Permasalahannya,‖ Mimbar Hukum , No. 22 Thn VI 1995, h. 41 74 Lihat, ―Manuskrip Asal dalam Simpanan Arkit Muzium Sarawak,‖ Alamat Zaman Ketakhtahan Brunei Darussalam, dalam Ibid., h. 42
25
bukti yang kukuh, W.H. Treacher, pemangku Konsul General British yang pertama kali datang ke Brunei pada tahun 1871 M, dengan menggunakan kapal Angkatan Laut British mencatatkan bahwa Undang-undang Brunei waktu itu adalah undang-undang yang berasal dari Al-Qur‘an. Catatan beliau menunjukkan bahwa hukum syara‘ sejatinya yang berlaku sebagai Hukum Kanun Brunei.75 Beliau di dalam catatannya semasa lawatan kapal British tersebut ke Brunei menyebutkan beberapa orang pencuri telah Berjaya mencuri beberapa jenis barang termasuk sebuah jam tangan emas dan selaras senapan dari kapal perang British yang berlabuh di sungai Brunei Darussalam itu. Dalam pertemuannya dengan Baginda Sultan Brunei Darussalam, W.H. Treacher telah menceritakan kejadian malang itu kepada Baginda Sultan Brunei. Baginda tampak sangat marah walaupun tidak berkata apa-apa saat mendengar aduan tersebut. Beberapa hari kemudian, setelah W.H. Treacher berlepas ke Labuan, barang-barang curian tersebut telah dikembalikan kepadanya oleh Baginda Sultan Brunei Darussalam dengan disertai sepucuk surat yang mengatakan bahwa tiga orang pencuri yang terlibat dalam kejadian itu semuanya telah ditangkap dan telah dijatuhi hukuman ptong tangan.76 Berdasarkan kenyataan di atas, maka jelaslah bahwa Negara Brunei Darussalam, sebelum kedatangan dan campur tangan Inggris, telah mempunyai undang-undang Negara yang berkuatkuasa dan berwibawa berdasarkan Hukum Kanun Brunei, yakni bersumber pada Hukum Syara‘ yang dikanunkan, di samping Hukum Adat-Resam dan Hukum Syara‘ yang tidak dikanunkan. Kesultanan Brunei Darussalam mempunyai system pentadbiran undang-undang dan kehakiman sesuai dengan keadaan pada masa itu. Ia juga dikendalikan oleh wazir yang empat, dan beberapa ceteria dan menteri. Masing-asing dengan bidangkuasanya yang khusus kecuali Bendahara dan Temenggung yang diberikan kuasa „am (umum) untuk menangani semua kes dan dakwaan yang timbul di kalangan rakyat Brunei dan penduduk-penduduk aslinya. Bagi pembesar-pembesar lain, bidangkuasa yang diberikan kepada mereka adalah bidangkuasa yang dibuat berdasarkan kepada jenis kes (peraturan) dan golongan yang dihakimi. Seperti yang tercatat dalam naskah-naskah lama, bidangkuasa Pangeran di Gadong hanya bertumpu pada peraturan-peraturan mereka yang berkhidmat kepada Raja. Ini termasuk hamba-hamba Raja dan tukang-tukang emas, perak, dan lain-lain. Bidangkuasa Syahbandar adalah mengatur pendatang-pendatang asing ke negeri Brunei Darussalam. Untuk dimaklumi bahwa bidangkuasa Syahbandar ini berdasarkan bidangkuasa di zaman pemerintahan Sultan Syaiful Rijal yang mana pada masa itu, bidangkuasanya dikategorikan sebagai salah seorang wazir. Sedangkan Pangeran Maharajalela diberi kuasa untuk memastikan undang-undang resam (kebiasaan) dan kanun dijalankan. 75
Lihat, Ibid. Lihat, W.H. Treacher, British Borneo: Sketches of Brunei, Sarawak, Labuan and North Borneo, JMBRAS, Vol. 20, 1880, h. 40 76
26
Dalam memastikan kanun dan resam ini dipatuhi, beliau dibenarkan menjatuhkan hukuman yang berat bagi pelanggarnya. Orang Kaya di Gedong Seri Lela, dari golongan menteri, diberikan kuasa untuk membicarakan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan rakyat dalam negeri saja. Namun, perlu dicatat juga bahwa hakim-hakim hanya bertugas di pusat pemerintahan. Di kawasan-kawasan yang agak jauh dari pusat pemerintahan, maka tugas ini diwakilkan kepada mereka-mereka yang dilantik untuk memungut upeti di kawasan tersebut.77 Pada tahun 1847, merupakan tahun bersejarah bagi Inggris, karena sejak itu dimulai pula pengikisan kekuasaan mahkamah kesultanan Brunei yang melaksanakan undang-undang Brunei berdasarkan Hukum Kanun Brunei, Adat Resam, dan Hukum Syara‘. Pada tahun itu juga dumulainya hubungan resmi antara Kesultanan Brunei dengan Kerajaan Inggris. Walaupun pada tahun 1906, Brunei dengan resmi menerima kehadiran Residen British akibat dari beberapa perjanjian kedua Negara telah disyahkan. Perjanjian tersebut antara lain: perjanjian tahun 1856 dan 1888. Isi dari kedua perjanjian itu antara lain menyebutkan bahwa, ―pihak Brunei Darussalam memberikan kuasa terhadap pihak Inggris untuk melaksanakan (mentadbir) undang-undang yang berlaku di Kesultanan Brunei Darussalam.‖78 Sebagai contoh isi perjanjian tahun 1856 adalah, Inggris diberikan kuasa untuk mengendalikan peraturan-peraturan yang timbil dari pertikaian di kalangan rakyat Inggris atau yang terjadi di antara rakyat Inggris dengan rakyat asing di negera Kesultanan Brunei Darussalam. Pada peringkat ini, walaupun hakim Inggris diberi kewenangan di bidang ini, namun ia tidaklah diberika kewenangan penuh dalam menjalankan tugastugas pelaksanaan keadilan dan kehakiman. Hakim Kerajaan Inggris menjalankan tugas kehakimannya selalu membicarakan sesuatu aturan diapit atau disertai oleh hakim Kesultanan Brunei Darussalam. Hukuman-hukuman yang dijatuhkan pun hendaklah berdasarkan undang-undang yang tepat, dengan syarat, hukuman yang dijatuhkan kepada rakyat Inggris hendaklah tidak lebih berat dari hukuman yang biasa dikenakan dalam uandang-undang Kerajaan Inggris untuk kesalahan yang sama.79 Berdasarkan setting historis seperti itu, maka dapat digambarkan tentang rentang waktu perkembangan pelaksanaan Syariat Islam di Brunei Darussalam cukup berlikuliku, sesuai dengan turun-naiknya kekuasan Kesultanan Brunei di mata Kerajaan Inggris. Dinamika pelaksanaan Syariat Islam di Brunei dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, Campurtangan Inggris Secara Langsung. Hasrat dan cita-cita Inggris untuk campurtangan secara langsung meluas di dalam perundangan maupun penegakan keadilan di lingkungan kehakiman Kesultanan Brunei Darussalam. Camputangan ini 77
Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Siti Zuliha binti Abu Salim, Sistem Kehakiman Brunei, Perbandingan dengan Sistem Kehakiman Islam, Tesis untuk Memperolah Sarjana Pengajian Islam, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1992, h. 93-94 78 Lihat, Dato‘ Haji Mahmud Saedon Awang Othman, ―Mahkamah Syariah di Negera Brunei Darussalam dan Permasalahannya,‖ Mimbar Hukum , No. 22 Thn VI 1995, h. 45 79 Lihat, William George Maxwell and William Summer Gibon, Treaties and Engagement Affecting States and Borneo, London, P. Jas Truscott and SML., t.t. h. 148-149
27
hanya berhasil dilakukan di saat system penempatan Residen Inggris secara resmi di Kesultanan Brunei Darussalam pada 1906. Ini sebagai natijah (keputusan) dari perjanjian-perjanjian tambahan pada tahun 1905 dan 1906 tersebut. Dengan perjanjian-perjanjian di atas, Inggris berjaya mendapatkan kuasa luas untuk campurtangan dalam urusan perundangan, pelaksanaan dan penegakan keadilan maupun kehakiman. Termasuk dalam pengelolaan Negara dan pemerintahannya, kecuali perkara-perkara mengenai agama Islam (menurut kacamata Inggris). Pemerintah Brunei keberatan dengan tindakan Inggris ini, mengingat kedudukan Hukum Syara‘ bagi masyarakat Brunei sudah sedemikian jelas posisinya dalam pranta social di Brunei, maka pihak Brunei mengajukan keberatan, lalu mengemukakan satu petisi kepada pesuruh jaya British ke Borneo pada 2 Juli 1906, dengan tuntutan: ―(1) Setiap peraturan yang berkaitan dengan agama Islam, diadili oleh hakim-hakim agama Islam; (2) meminta agar adat-adat dan undang-undang masyarakat Brunei tidak boleh dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya. Merujuk pada kandungan petisi Kesultanan Brunei ini, nampak jelas bahwa pihak Kesultanan Brunei tidak berpuas hati dengan campurtangan dan pengendalian peraturan agama Islam, peraturan adat, dan undang-undang setempat yang dilakukan Inggris. Sebagai respons atas petisi ini, pihak Inggris setuju untuk memberikan kewenangan Mahkamah Syariah dalam mengendalikan dan menegakkan urusan yang berkaitan undang-undang agama Islam. Namun, Inggris menolak permintaan poin kedua, ―meminta agar adat-adat dan undang-undang masyarakat Brunei tidak boleh dirombak, dipindah, dan dilanggar selama-lamanya,‖ dengan alasan bahwa tujuan awal dari perjanjian 1906 adalah untuk memperbaiki adat dan undang-undang setempat, sebagai langkah maju untuk menyelamatkan Brunei dari terus kehilangan wilayahnya.80 Sebagai langkah susulan, pada tahun 1908, Inggris membuat putusan membedakan posisi Mahkamah Qadi dengan Mahkamah Sivil versi Inggris. Mahkamah Qadi diberi wewenang khusus, semata-mata berhubungan dengan ―undang-undang diri‖ (personal law), sedangkan Mahkamah Sivil diberi kewenangan yang luas dan menyeluruh. Dengan kenyataan ini, mulailah diwujudkan dua sistem perundangan dan dua sistem pelaksanaan hukum di pengadilan yang berbeda. Untuk memastikan tujuan di atas dapat tercapai dengan sempurna, Inggris mengambil langkah-langkah penting, sebagaimana dilakukannya terhadap negeri ajahannya yang lain, yaitu: (1) melalui putusan hakim-hakim British atau yang dilatih secara khusus oleh British, supaya menjatuhkan hukuman berdasarkan undang-undang Inggris, merujuk pada Common Law dan Kaedah Ekuiti. Tambahan pula dengan adanya ―Prinsip duluan mengikat.‖ (2) melalui perundangan, di mana nasihat Inggris wajib diterima, termasuk beberapa undang-undang Inggris dari India telah dibawa ke negerinegeri yang dijajah atau dilindunginya, seperti Malaysia, Serawak, Sabah, dan Brunei. 80
Lihat, Ranjit Singh, Brunei 1930-1938: The Problem of Political Survival, Oxford University Press, 1978, h. 112
28
Negeri-negeri ini dikuatkuasakan sebagai undang-undang bagi negeri-negeri tersebut, seperti undang-undang kontrak, keterangan dan jinayah. (3) penubuhan (penyatuan) Majlis Mesyuarat (baca: Musyawarat) di negeri-negeri tersebut. Majlis Mesyuarat ini berkuasa membuat undang-undang ciptaan manusia. Umumnya undang-undang yang dibuat dan diluluskan oleh Majlis Mesyuarat di negeri-negeri ini adalah berdasarkan dan berorientasikan undang-undang Inggris.81 Mahkamah Qadi yang disatukan oleh Inggris itu hanya dibenarkan mengatur dan melaksanakan undang-undang Islam yang berkaitan dengan perkara-perkara kawin, cerai, dan ibadat (khusus) saja. Mahkamah ini juga hanya diberikan kuasa untuk menjatuhkan hukuman yang dendanya tidak lebih dari sepuluh ringgit dan penjara tidak lebih dari empat belas bulan saja. Dari kenyataan di atas, jelas sekali bahwa bidangkuasa Mahkamah Qadi dan Mahkamah Sivil Jinayah yang pernah berlaku di Kesultanan Brunei, telah disempitkan kewenangannya oleh Inggris. Di dalam aturan Mahkamah Qadi hanya berbidangkuasa mengenai undang-undang keluarga (personal law) saja. Di dalam aturan Sivil Jinayah hanya berbidangkuasa untuk menjatuhkan hukuman denda tidak lebih dari denda sepuluh ringgit dan penjara tidak lebih dari empat belas hari.82 Sungguhpun demikian, secara intern, pihak kesultanan Brunei tetap melakukan proses pembaruan dan pelaksanaan undang-undang Islam serta penegakan keadilan dan kehakiman. Semua penegakan hokum berdasarkan undang-undang Brunei tetap berjalan dan berlaku di masyarakat. Paaada tahun 1955 dikeluarkan Undang-undang Ugama dan Mahkamah Qadi yang berkekuatan hukum pasti sejak 1 Januari 1956. Undang-undang ini berkaitan dengan majlis Ugama dan Adat Istiadat Melayu. Mahkamah Qadi, Perlembagaan dan penyatuan pihak-pihak yang berkuasa ugama dan peraturan Hal Ehwal Ugama di Brunei. Ini telah dijelaskan oleh Residen Inggris di dalam permulaan sebelum indeks Enakmen tersebut berlaku.83 Undang-undang Majlis Ugama dan Mahkamah Qadi 1955 ini, walaupun lebih tertata dan teratur jika dibandingkan dengan enakmen-enakmen sebelumnya, namun hal ini tidaklah bemakna Hukum Syara‘ dapat dilaksanakan seperti yang dituntut oleh Islam. Faktanya, undang-undang ini masih terbatas dalam prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh Inggris semasa mereka mula-mula memperkenalkan penubuhan Mahkamah Qadi pada tahun 1908, di mana mereka berhasil melahirkan dua sistem perundangan, dua sistem peradilan dan kehakiman yang tidak seimbang.84 Kedua, Struktur Mahkamah Setelah Campurtangan Inggris. Setelah ssitem penempatan Residen Inggris berlaku, di antara langkah awal pihak Ingggris ialah menyatukan mahkamah yang dikelola mengikuti sistem peradilan dan kehakiman Inggris 81
Lihat, Mahmud Saedon A. Othman, Ke Arah Islamisasi Undang-undang di Malaysia, Kuala Lumpur, Yayasan Dakwah Islamiyah, 1988, h. 66 82 Lihat, Annual Report on The State of Brunei, 1993, Cap XIII)
Lihat, Dato‘ Haji Mahmud Saedon Awang Othman, ―Mahkamah Syariah di Negera Brunei Darussalam dan Permasalahannya,‖ Mimbar Hukum , No. 22 Thn VI 1995, h. 49 83
84
Lihat, Ibid.
29
pad tahun 1906 M. Setelah Enakmen No. 1, tahun 1906 tentang Undang-undang Penyatuan Mahkamah Sivil dan Kriminal diluluskan oleh Sultan dalam Mejlis Mesyuarat Negeri. Enakmen Mahkamah Sivil dan Kriminal tahun 1906 ini kemudian diperbarui melalui Enakmen Mahkamah-mahkamah 1908 yang bertujuan untuk menyatukan mahkamah-mahkamah sebagai berikut: (1) Mahkamah Residen, (2) Mahkamah Majistret Kelas I, (3) Mahkamah Majistret Kelas II, (4) Mahkamah Majistret Bumiputra, dan (5) Mahkamah Qadi.85 Berdasarkan perkembangan selanjutnya, Undang-undang Mahkamah Besar (Pemberian Kuasa) 1951, kemudian dibatalkan oleh Undang-undang Mahkamah Besar 1963 (Enakmen No.2 th 1963). Undang-undang Mahkamah Besar 1963 ini telah menyatukan sebuah Mahkamah Besar bagi Brunei untuk menggantikan tempat mahkamah Agung Sarawak, Borneo Utara, dan Brunei yang dibatalkan. Mahkamah Besar ini meliputi mahkamah Ulang Bicara dan Mahkamah Tinggi. Mahkamahmahkamah Majistret I, II, III, juga dihapuskan oleh Enakmen Mahkamah-mahkamah Rendah 1982 (Enakmen No. ii th 1982). Melalui Enakmen tersebut semua Mahkamah Majestret berada dalam satu kategori bernama Mahkamah Rendah. Dengan demikian, struktur Mahkamah Sivil telah menjadi lebih tertata secara sistematis dalam struktur kerja yang rapi dengan memiliki tiga peringkat mahkamah: Mahkamah Rendah, Mahkamah Tinggi, dan Mahkamah Rayuan. Dari segi bidangkuasa pun isinya menjadi semakin luas dan kukuh. Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa sebelum adanya campurtangan Inggris, Brunei memiliki undang-undang yang bersumber dan berasaskan undang-undang Islam. Seluruh proses peradilan dan sistem penegakan hukumnya berdasarkan sistem dan peraturan Islam itu. Brunei pada masa itu tidak mengenal dualisme sistem peradilan, sebagaimana terjadi di masa kekuasan Inggris. Perwujudan dua sistem hukum perundangundangan: sivil dan syara‘ dan dua sistem penegakan keradilan melalui Mahkamah Sivil dan Mahkamah Syariah, membuat Brunei dalam dilema penerapan hukumnya. Namun Brunei sekarang sedang berjuang untuk mewujudkan sistem hukum yang satu dan tidak lagi mengenal dualisme itu, yakni Mahkamah Sivil di satu sisi berhadapan dengan Mahkamah Syariah di sisi lainnya. Ketiga, Perwujudan Mahkamah Qadi Yang Mandiri. Berdasarkan kehendak Enakmen N0. 1 th 1908 (Law of Brunei 1906-1930), menegaskan bahwa Mahkamah Qadi diwujudkan oleh Inggris untuk masyarakat Brunei. Dengan dikuatkuasakan Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Qadi 1955, maka Mahkamah Qadi telah menerima perubahan besar, ia sudah tidak lagi merupakan bagian dari sistem dan struktur Mahkamah Brunei. Dengan itu juga, seluruh peraturan yang berkaitan dengan Mahkamah Qadi tidak lagi didengar oleh Mahkamah Majistret Kelas I. Dengan ini juga maka terwujudlah dua sistem perundangan tersebut, yakni Sivil dan Syara‘ dan dua sistem 85
Lihat, Ibid.
30
pelaksanaannya yakni, Mahkamah Qadi di satu sisi dan Mahkamah Sivil di sisi lain. Mahkamah Sivil terdiri dari tiga tingkat yaitu: Mahkamah Rendah, Mahkamah Tinggi, dan Mahkamah Ulang Bicara.86 Keempat, Struktur Mahkamah Qadi. Struktur Mahkamah Qadi di zaman pemerintahan Inggris dirombak dan disusun kembali melalui tiga tingkatan mahkamah: (1) Mahkamah Qadi Kecil, (2) Mahkamah Qadi Besar, (3) Jawatankuasa Kehakiman. Mahkamah Qadi Kecil dikendalikan oleh Qadi Kecil, Mahkamah Qadi Besar dikendalikan oleh Qadi Besar dan Timbalan Qadi Besar. Sedangkan Jawatankuasa Kehakiman dikendalikan oleh Mufti. Ada keinginan di kalangan intelektual Brunei agar segera diwujudkan struktur Mahkamah Qadi yang lebih simple seperti di Mahkamah Sivil Brunei, yakni: Mahkamah Sivil Rendah, Mahkamah Sivil Tinggi, dan Mahkamah Sivil Ulangbicara. Maka, sebagaimana Mahkamah Sivil, diharapkan Mahkamah Qadi juga memiliki struktur yang simple tersebut, yakni: Mahkamah Rendah Syariah, Mahkamah Tinggi Syariah, dan Mahkamah Ulangbicara Syariah.87 Dengan adanya tiga peringkat mahkamah ini berarti keputusan Mahkamah Rendah Syariah boleh dirayu ke Mahkamah Tinggi Syariah, dan keputusan Mahkamah Tinggi Syariah boleh dirayu ke Mahkamah Syariah Ulangbicara Syariah. Dengan demikian, pihak yang berperkara akan memiliki kesempatan lebih baik untuk mencari keadilan melalui tahapan pengadilan seperti itu. Dengan cara ini, proses peradilan berjalan ringkas, cepat, dan murah. Pengadilan berjalan tanpa melibatkan lagi Duli Yang Maha Mulia di dalam proses pengadilan. Juga tugas dan wewenang Mufti hanya melaksanakan tugas dan peranannya sebagai mengerusi Jawatankuasa Kehakiman yang fungsinya sebagai mengurusi hakim Mahkamah Ulangbicara. Perlu diingat bahwa peranan dan tugas seorang Mufti dengan pernan dan tugas seorang Ketua Hakim Syarie adalah berbeda. Tambahan pula, menurut ulama, seorang Qadi (Hakim) tidak wajar mengeluarkan fatwa. Tentu saja seorang Mufti pun kurang sesuai memegang posisi menjatuhkan hukuman yang menjadi tugas dari seorang Qadi.88 Kelima, Bidangkuasa Qadi, Jinayah, dan Kanun Jinayah. Mahkamah Qadi mempunyai bidangkuasa dalam perkara-perkara jinayah seperti dinayatakan di dalam Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah-mahkamah Qadi yang dilakukan oleh orang-orang Islam saja. Kesalahan-kesalahan yang diletakkan dalam bidangkuasa Mahkamah Qadi ini termasuklah kesalahan-kesalahan meninggalkan sembahyang jumat, membeli dan menjual menum-minuman keras di tempat umum, makan di siang hari bulan Ramadlan, menikahkan pasangan tanpa kebenaran dari Di Bawah Duli Yang Maha Mulia, atau kebenaran pendaftaran nikah, meninggalkan istri, istri nusyuz, khalwat, persetubuan haram, gagal dalam melaporkan pernikahan atau perceraian, mengislamkan seseorang 86
Lihat, Dato‘ Haji Mahmud Saedon Awang Othman, ―Mahkamah Syariah di Negera Brunei Darussalam dan Permasalahannya,‖ Mimbar Hukum , No. 22 Thn VI 1995, h. 52 87 Lihat, Ibid., h. 53 88 Lihat, Mahmud Saedon A. Othman, Qadi: Pelantikan, Perlucutan, dan Bidangkuasa, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1991, h. 53
31
tanpa memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan dalam undang-undang, memecahkan rahasia Majlis Ugama Islam, mendirikan masjid tanpa kebenaran undang-undang, mengajar ugama kepada orang-orang selain keluarga tanpa kebenaran tertulis dari Majlis Ugama Islam, mengajar ajaran palsu, mengeluarkan fatwa, mencetak, menerbit, menjual, atau membawa masuk kitab-kitab yang bertentangan dengan hukum syara‘ atau fatwa ulama, mempermainkan kalimat-kalimat al-Qur‘an, atau mengeluarkan perkataanperkataan yang bertentangan dengan nilai ugama, serta kesalahan orang-orang Islam bersubhat dalam melakukan perkara-perkara yang bertentangan dengan undang-undang Majlis Ugama dan Mahkamah Qadi.89 Akta Majlis membuat keputusan mengenai orang-orang Islam boleh didakwah dan dijatuhi hukuman jika ia melakukan kesalahan-kesalahan seperti termaktub dalam akta tersebut. Akan tetapi, proses pelaksanaan perkaranya dijalankan di Mahkamah Magistrate. Mahkamah Qadi diberi kuasa menjatuhkan hukuman denda penjara atau kedua-keduanya sekali menurut kehendak undang-undang seperti yang sudah ditegaskan. Hukum yang paling maksimal ialah $10.000,- jika diketahui membina masjid tanpa kebenaran. Orang tersebut akan dikenakkan penjara lima tahun jika terbukti melakukan kesalahan seperti persetubuhan haram. Keenam, Bidangkuasa Mahkamah Sivil. Dalam perkara sivil, Mahkamah Qadi mempunyai bidangkuasa dalam perkara-perkara sebagai berikut: (1) Pertunangan, nikah, cerai, membubarkan nikah, atau perceraian mengikuti putusan mahkamah. (2) Pemberian atau tuntutan harta benda yang muncul dari perkara di atas. (3) Nafkah orang yang di bawah tanggungan, anak yang sah, penjagaan kanak-kanak atau pemeliharaan kanakkanak. (4) Tuntutan atas harta perceraian atau pembagian harta akibat perceraian. (5) Penentuan hak atas harta pusaka. (6) Wasiat atau pemberian orang mati yang memeluk Islam ketika hendak mati. (7) Pemberian ―inter-vivos‖ atau penyelesaian yang dibuat oleh orang Islam tanpa bayaran uang tunai atau tanpa bayaran dengan benda senilai dengan uang tunai tersebut. (8) Wakaf atau nazar. (9) Lain-lain perkara yang diberi kuasa kepadanya oleh undang-undang yang tertulis. Akta Majlis mensyaratkan agar semua pihak yang terlibat dalam pertikaian, jika ingin diselesaikan di Mahkamah Qadi, hendaklah beragama Islam.90 Kita melihat bahwa bidangkuasa Mahkamah Qadi dalam peraturan Sivil begitu sempit, tidak keluar dari apa yang dikatakan sebagai ―undang-undang keluarga‖ seperti: nikah, cerai, rujuk, dan perkara-perkara yang terbit dari keduanya. Sedangkan menurut Islam, bidangkuasa Mahkamah Qadi adalah jauh lebih luas dan menyeluruh dari itu. Bahkan melibatkan juga pihak-pihak yang tidak beragama Islam. Memperhatikan apa yang sudah dijelaskan di atas, nampaknya Mahkamah Qadi memiliki kekuasaan untuk memutuskan perkara-perkara harta pusaka, tetapi hanya berbidangkuasa untuk menentukan seseorang berhak ataukah tidak dalam menerima harta pusaka, kemudian menentu89 90
Lihat, Ibid., h. 56 Lihat, Ibid., h. 55
32
kan berapa kadar bagian untuk orang tersebut. Petunjuk ini kurang jelas sehingga berpeluang menjadi disalahpahami. Karena bidangkuasa Mahkamah Qadi tidak sampai memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara mengenai harta pusaka.91 Ketujuh, Undang-undang Acara Jinayah. Akta Majlis telah memberikan bidangkuasa jinayah kepada Mahkamah Qadi untuk menjatuhkan hukuman penjara hingga lima tahun dan denda hingga $ 10.000. Dengan bidangkuasa seperti ini tentulah penting diadakan acara jinayah yang sesuai. Berdasarkan sebab-sebab di atas, maka Kesultanan Brunei menyadari perlu kiranya Mahkamah Qadi memerlukan Kanun Acara Jinayah yang sistematis dan khusus, tersendiri, terperinci, padat, dan jelas, sekaligus menjadikan bahasa Melayu sebagai versi yang sah dan berotoritas tinggi, sesuai dengan kehendak syara‘ dan menjadikan hukum syara‘ sebagai rujukan muktamad dan final. Kedelapan, Undang-undang Acara Mal. Akta Majlis Ugama Islam Brunei dan Mahkamah Qadi membuat peruntukan mengenai Undang-undang Acara Mal, hanya dalam enambelas bab. Memperhatikan kenyataan ini, menurut penilaian pakar hukum Islam Brunei, terlalu ringkas dan sukar dipahami oleh pegawai yang ditugaskan untuk melaksanakannya. Berdasarkan sebab-sebab di atas, maka kita menilai bahwa bidangkuasa Mahkamah Qadi di dalam peraturan sivil tersebut adalah luas. Dengan demikian, perlulah diadakan Undang-undang Acara Mal Mahkamah Qadi yang lebih terperinci, terarah, padat, dan tersendiri. Bahkan harus menggunakan bahasa Melayu sebagai versi yang sah dan berotoritas tinggi, sekaligus menjadikan Hukum Syara‘ sebagai rujukan terakhir dan muktamad. Kesembilan, Undang-undang Keluarga Islam. Akta Majlis Ugama Islam dan Mahkamah Qadi telah menjadikan nikah dan cerai, nafkah sebagai bagia dari Undangundang Keluarga Islam. Namun, undang-undang ini terlalu ringkas dan kurang mengesankan dalam menangani perkara-perkara kekeluargaan yang semakin banyak, sulit dan yang melibatkan warga Negara asing. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah undang-undang Keluarga Islam yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan zaman. Undang-undang ini diharapkan menjadikan bahasa Melayu sebagai versih yang sah dan berotoritas tinggi, dan mempunyai keselaran dengan Undang-undang Keluarga Islam di Negara-negara jiran. Terutama negara-negara yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan masyarakat Islam Brunei Darussalam.92 Kesepuluh, Kaedah Peguam Syarie. Brunei sangat memerlukan satu kaedah yang menjadi panduan kepada peguam-peguam yang hadir di Mahkamah Qadi. Kaedah ini bolehlah dinamakan ―Kaedah Peguam Syarie‖ untuk memastikan peguam-peguam yang mewakili anak guamannya di Mahkamah Qadi adalah benar-benar orang yang layak dan berwibawa mengetahui Hukum Syara‘ secara mendalam. Ia juga mengetahui undangundang yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syariah dan berakhlak mulia. Ini bukan 91
Lihat, Ibid., h. 56 Lihat, Dato‘ Haji Mahmud Saedon Awang Othman, ―Mahkamah Syariah di Negera Brunei Darussalam dan Permasalahannya,‖ Mimbar Hukum , No. 22 Thn VI 1995, h. 65 92
33
berarti orang itu bisa diterima menjadi advocate atau solicitor secara otomatis menjadi peguam syarie. Malah sebaliknya, seorang peguam syarie tidak boleh menjadi advocate atau solicitor. Para pemikir Brunei menyadari, sudah masanya diadakan program sistematis dan terstruktur untuk melahirkan peguam syarie di negeri Brunei. Dengan demikian pelaksanaan dan penegakan hukum di Brunei melalui Mahkamah Qadi dapat ditingkatkan kualitasnya secara terencana dan gradual.93 Kesebelas, Hakim dan Kelayakannya. Untuk menarik minat calon-calon yang terbaik agar pegawai-pegarai perundangan syariah dan kehakiman syara‘ benar-benar berwibawa dan terlayak maka beberapa langkah perlu diambil, di antaranya: (1) mewujudkan skim khusus yang bolehlah dinamakan sebagai skim perkhidmatan perundangan dan kehakiman, (2) mewujudkan skim latihan, kursus dan pengajian lanjutan di bidang pelaksanaan kehakiman syara‘. (3) mengajarkan mereka tentang pengajaran undangundang Brunei dan Inggris serta peraturan pelaksanaannya. (4) Menggalakkan pemegang ijazah syariah untuk mendapatkan ijazah LLB, dan sebaliknya. (5) memberikan kepada mereka peluang yang luas untuk menguasai bahasa Inggris, di samping memerkukuh penguasaan bahasa Arab.94 Jika ingin melahirkan hakim-hakim yang berwibawa, maka mereka perlu dididik melalui berbagai jawatan yang terkait dengan pelaksanaan dan penegakan perundangan dan kehakiman, seperti penjadi penutut, pendaftar, qadi daerah, ketua pendaftar, ketua penuntut. Setelah itu dinaikkan pangkat yang lebih tinggi. Ini bermakna bahwa kenaikan pangkat dilakukan secara sistematis dan berdasarkan kecakapan, jenjang pendidikan akademik, dan pengalaman yang luas. Di atas semua itu, Mahkamah Qadi sangat memerlukan bangunan-bangunan yang hebat sesuai dengan kebutuhan mahkamah. Di dalam bangunan itulah segala kebutuahn dan kelengkapan yang sesuai dengan tugas dan peranannya di tengah masyarakat. Institusi mulia ini harus diperlakukan secara mulia dan istimewa, sehingga para pelaksana tugas yang menghuni gedung itu memiliki kepercayaan diri dan tanggung jawab yang besar terhadap institusi yang menaunginya. Dengan bangun yang memiliki fasilitas memadai dan layak, kemungkinan para hakim dan pelaksana tugas kehamikaman lainnya dapat melahirkan prestasi kerja yang lebih menakjubkan. Dengan langkah ini, kita telah menjadikan Mahkamah Qadi sebagai mahkamah yang mulia, terhormat, dan berwibawa dalam menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan kebutuhan pencari keadilan di kalangan umat Islam di negeri Brunei Darussalam.95 Keduabelas, Perkembangan Mutakhir. Sultan Brunei telah mengambil langkah penting untuk mengembalikan sistem peradilan Brunei seperti apa yang telah berjalan sebelum datang penjajah Inggris, yaitu menjadikan sistem mahkamah hanya ada satu, mahkamah kehakiman yang tunggal. Tidak lagi dikenal Mahkamah Qadi dan Mahkamah 93
Lihat, Ibid., h. 66 Lihat, Ibid., h. 67 95 Lihat, Mahmud Saedon A. Othman, Qadi: Pelantikan, Perlucutan, dan Bidangkuasa, Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1991, h. 69 94
34
Sivil, tetapi Mahkamah Brunei Darussalam. Sejarah telah membuktikan bahwa pernah ada dan terwujud dengan meyakinkan di tengah masyarakat Brunei suatu sistem hukum yang berlandaskan hukum Islam dan hukum adat Melayu. Itulah yang kini oleh Sultan Brunei disebut sebagai ―Mahkamah Kesultanan Brunei Darussalam.‖96 Penutup Perkembangan penerapan syariat Islam di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, ternyata tidak terlepas dari seting historis, keragaman budaya dan agama, ketersediaan sumber daya manusia maupun dana, serta peran penjajah dalam memberlakukan sistem hukumnya ke dalam sistem hukum bangsa jajahannya, sangat menentukan perjalanan penerapan syariat Islam di tiga Negara Melayu itu. Di Indonesia, sebelum kedatangan Belanda, masyarakat Indonesia telah terbiasa menggunakan syariat Islam dan hukum adat dalam menyelesaikan persoalah hukum yang timbul di tengah masyarakat. Syariat Islam hadir dalam kegiatan muamalat (hukum prifat), sedangakan hukum adat hadir dalam kegiatan jinayat (hukum publik). Nikah, kawin, talak, rujuk, waris, wakaf, sadakah, kematian, dan semacamnya, menjadi bidang garap syariat Islam, sedangkan urusan pencurian, perkelahian, pembunuhan, sengketa tanah, perselisihan antarkampung, dan semacamnya, menjadi bidang garap hukum adat. Namun, setelah kedatangan Belanda, syariat Islam mengalami kemunduran dalam penerapannya, karena sebagian garapannya ditangani oleh hukum Belanda. Hukum adat, meski tetap berjalan tetapi sebagian besar wilayah garapannya diambil alih oleh hukum Belanda. Setelah merdeka, Indonesia mulai menata kembali sistem hukumnya secara lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat Islam. Sistem peradilan Islam di zaman Belanda terpisah dari sustem hukum Negara, kini telah disatukan dalam satu badan peradilan di bawah naungan Mahkamah Agung, meskipun bidang garap hukum Islam kembali seperti sebelum zaman Belanda, menangani masalah-masalah perdata Islam (muamalat) seperti telah disebutkan di atas. Bidang garap pidana Islam (jinayat) belum terakomodir dalam sistem hukum nasional Indonesia, meski telah banyak wacana dari kalangan intelektual Islam agar segera memasukkan pidana Islam sebagai bagian dari produk hokum nasional. Namun, sampai hari ini, wacana itu belum terwujud sebagaimana yang diinginkan masyarakat Islam Indonesia. Keadaan hampir sama dialami Malaysia. Negeri jiran ini mengalami pasang-surut dalam penerapan syariat Islam seperti dialami Indonesia. Sebelum kedatangan Inggris, masyarakat Malaysia hanya mengenal satu sistem hukum yang dibangun dari dua elemen dasar, yakni bersumber pada syariat Islam dan adat Melayu. Setelah Inggris menjajah Malaysia, semua system hukumnya diganti dengan system hukum Inggris. Setelah merdeka, masyarakat Malaysia mulai menata kembali sistem hukumnya, kembali seperti zaman sebelum kedatangan penjajah Inggris. Kini Malaysia menggunakan syariat Islam 96
Lihat, Ibid., h. 75
35
dan adat Melayu sebagai pilar utama dalam menata sistem hukum nasionalnya. Bahkan Malaysia selangkah lebih maju dari Indinesia, di mana Malaysia telah memberlakukan jinayah Islam masuk menjadi system hokum nasional Malaysia. Sedangkan penerapan syariat Islam di Brunei Darussalam setali tiga uang dengan Malaysia maupun Indonesia. Tetapi, apa yang terjadi di Brunei lebih mirip dengan apa yang terjadi Malaysia. Boleh jadi, di samping sama-sama di jajah oleh Inggris, juga disebabkan oleh keragaman budaya dan agama di sana relative kecil sehingga dimungkinkan syariat Islam lebih mudah terserap ke dalam sistem hukum nasionalnya. Sebagaimana Indonesia dan Malaysia, ternyata sistem hukum Brunei sebelum kedatangan penjajah Inggris, tidak mengenal dualisme sistem hukum syara‘ dan sistem hukum sivil, melainkan sistem hukum Brunei yang bersendikan syariat Islam dan adat Melayu. Penjajah kemudian membuatnya menjadi system Hukum Qadi di satu sisi dan sistem Hukum Sivil di sisi yang lain. Setelah merdeka, Sultan memaklumatkan untuk kembali ke system hokum sebelum kedatangan Inggris dan menjadikan sebagai system yang tunggal dengan nama ―Mahkamah Kesultanan Brunei Darussalam.‖ Wallahu a‟lam.[]
36