Penerapan scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori Vygotsky pada Taman Kanak-kanak Nasional Plus “Y” di Jakarta Utara (Analisis Kualitatif) Clarissa, Edward Andriyanto Soetardhio 1. 2.
Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Indonesia mulai menyadari pendidikan pada usia dini (PAUD) yang terlihat dari peningkatan kuantitas PAUD. Namun hal ini ternyata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas. Hal ini disayangkan karena otak anak usia dini sedang mengalami perkembangan pesat pada bidang bahasa dan fungsi kognitif. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk melihat gambaran PAUD yang dapat terlihat dengan dikaitkan pada teori ajeg, yaitu teori sosialbudaya dari Vygotsky. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran penerapan scaffolding, tools, dan internalisasi dari teori Vygotsky pada Taman Kanak-kanak nasional plus ―Y‖ di Jakarta Utara. Gambaran ini didapat dengan analisis kualitatif melalui metode observasi dan wawancara. Metode observasi dipakai untuk menggambarkan penerapan scaffolding dan penggunaan tools pada proses pembelajaran. Metode wawancara dilakukan kepada guru untuk mengetahui alasan pemilihan tools yang digunakan, dan kepada anak untuk melihat proses internalisasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar interaksi guru-anak tidak dilakukan secara kontingen, dan bertujuan untuk menyelesaikan tugas; terdapat perbedaan jumlah informasi yang diinternalisasi oleh anak; dan kurang adanya variasi tools selama tiga hari proses pembelajaran.
(Application of Scaffolding, Tools, and Internalization of Vygotsky’s Theory at “Y” National Plus, Preschool in North Jakarta (Qualitative Analysis)) Abstract Indonesia started to realize the importance of early childhood education seeing the increasing amount of early childhood education. But, the increasing amount are not followed with the increasing quality. It is a pity because the brain of a child on early childhood stage is in the rapid development process of language and cognitive function. Hence, there is an urgency to make a study aimed at describing the early childhood education analyzed by a valid educational theory, the sociocultural theory of Vygotsky. This study aimed at describing the application of scaffolding, tools, and internalization of Vygotsky‘s theory at ―Y‖ National Plus Kindegarten in North Jakarta. This study is done through qualitative analysis by conducting observation and interviews. Observation is used to describe the application of scaffolding and tools in class while interviews are conducted to teacher aimed on knowing the reasons behind the usage of tools and to students aimed on knowing the process of internalization. Results show that most of the interactions between teacher and students are not contingent and that teacher is more likely on finishing a task; there are differences in amount of information internalized by children; and lack of tools variation during three days of learning process. Keywords: internalization; scaffolding; tools; Vygotsky
Pendahuluan Indonesia mulai menyadari pentingnya pendidikan pada tahun-tahun awal kehidupan. Pendidikan anak usia dini telah menjadi perhatian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
(Kemdikbud). Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (Dirjen PAUDNI) menargetkan pada tahun 2014 agar partisipasi anak yang mengikuti PAUD mencapai 75 persen dari seluruh jumlah penduduk usia tersebut. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan program ‗Satu Desa Satu PAUD‘ yang dituangkan dalam rencana strategis PAUDNI 2010-2014 (Sidiknas, 2012). Program ini mulai memperlihatkan hasil dengan adanya peningkatan jumlah PAUD di Indonesia pada tahun 2012 dan 2013. Namun di lain pihak, hingga saat ini ternyata kualitas pendidikan anak usia dini di Indonesia masih menempati urutan ke 44 dari 45 negara. Berdasarkan Economist Intelligence Unit (EIU) (2012), Indonesia berada pada urutan ke 44 dari 45 negara mengenai dasar dari keseluruhan lingkungan dalam edukasi dini. Survei EIU menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kualitas yang buruk dalam edukasi dini sehingga menempati urutan kedua dari belakang. Hal ini memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah PAUD ternyata tidak seimbang dengan kualitas yang baik. Kenyataan mengenai peningkatan jumlah PAUD yang tidak seimbang dengan kualitas yang baik sangatlah disayangkan. Pada usia 0-6 tahun, otak anak sedang mengalami perkembangan pesat pada bidang bahasa dan fungsi kognitif (higher cognitive function) (The National Scientific Council on the Developing Child, 2007). Oleh karena itu, akan lebih baik apabila anak mendapatkan pendidikan dengan optimal untuk perkembangan kognitif dan bahasanya. Castro, Garcia, dan Markos (2013) mengatakan bahwa kedua bahasa yang berbeda mempengaruhi satu sama lain, dan anak mendapat banyak keuntungan yang berhubungan dengan bilingualism. Fakta-fakta yang diperoleh memperlihatkan adanya urgensi untuk melihat proses pembelajaran pendidikan anak usia dini di Indonesia. Dengan adanya jumlah TK paling besar pada PAUD dibandingkan dengan jenis lainnya, meneliti mengenai TK akan lebih menggambarkan mengenai pendidikan anak usia dini. Penjelasan mengenai pentingnya penguasaan dua bahasa sejak dini membantu mengarahkan peneliti untuk mempersempit ruang lingkup penelitian, yaitu TK yang memakai dua bahasa dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, peneliti akan menggunakan sekolah TK nasional plus sebagai tempat pengambilan data. Vygotsky meyakini bahwa proses perkembangan yang terjadi pada seorang anak tidak pernah terlepas dari konteks sosial dan kulturalnya (Daniels, Cole, & Wertsch, 2007). Vygotsky mengungkapkan bahwa seorang anak dan lingkungannya tidak dapat didefinisikan secara terpisah karena keduanya bersifat interdependen satu dengan yang lain. Hal ini lebih diperjelas oleh Miller (2011) yang mengatakan bahwa konteks sosiokultural membentuk anak
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
dan pengalaman mereka. Di waktu yang sama anak memengaruhi kultur mereka. Peneliti merumuskan permasalahan penelitian ini pada ―Bagaimanakah gambaran penerapan teori Vygotsky dalam interaksi belajar guru-siswa di kelas pada taman kanakkanak nasional plus?‖. Peneliti ingin melihat proses pembelajaran pada TK nasional plus yang dapat tergambarkan melalui teori Vygotsky. Gambaran yang ingin diteliti adalah kontingensi dalam scaffolding, internalisasi pada anak, dan pemilihan tools yang digunakan dalam pengajaran. Pengambilan data pada penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena penelitian akan menekankan pada proses yang dapat lebih tergambarkan pada pendekatan kualitatif. Pendekatan ini juga diharapkan dapat memeroleh hasil yang lebih mendalam. Pengumpulan data akan menggunakan observasi kelas dan wawancara kepada pengajar dan anak pada sebuah kelas di sebuah TK nasional plus.
Tinjauan Teoritis Teori sosial budaya Vygotsky dipakai sebagai teori dasar pada penelitian ini. Pendekatan sosialbudaya memiliki konsep dasar
bahwa setiap aktivitas manusia berada
dalam konteks sosial dan paling baik dipahami ketika dilihat dalam perkembangan sejarahnya (John-Steiner & Mahn, 1996). Kekuatan dari ide Vygotsky terletak pada penjelasannya mengenai interdependensi yang dinamis antara proses sosial dan individual. Konteks sociocultural-historical mendefinisikan dan membentuk anak serta pengalamannya. Pada waktu yang sama, anak juga mempengaruhi budaya mereka. Oleh karena hubungan timbal balik ini, memfokuskan ke anak saja tanpa memerhatikan konteks budaya dapat mengubah gambaran mengenai anak itu sendiri. Dengan demikian, proses perkembangan yang sama dapat mengarah pada hasil yang berbeda, tergantung pada konteks budayanya (Miller, 2011). Konsep-konsep dasar dari teori sosialbudaya menurut Vygotsky saling berhubungan satu sama lain. Vygotsky (dalam Miller, 2011) menjelaskan ZPD sebagai jarak antara level kemampuan anak sebenarnya (actual developmental level) yang didapat dari hasil menyelesaikan masalah sendiri dan level potensi perkembangan anak (potential developmental level) yang dapat diperoleh melalui penyelesaian masalah dibawah bimbingan orang lain yang lebih menguasai. Anak membutuhkan bantuan agar potential developmental level dapat berubah menjadi actual developmental level. Saat seseorang baru mempelajari
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
sesuatu, orang tersebut akan mengandalkan seseorang yang lebih memiliki pengalaman (JohnSteiner & Mahn, 1996). Orang tersebut disebut sebagai more knowleadge others (MKO). Potential Developmental Level (Level Perkembangan potensial)
Zone of Proximal Development (Zona Perkembangan Proksimal)
Actual Developmental Level (Level Perkembangan Aktual) Skema dari Zone of Proximal Development MKO membantu anak untuk mencapai kompetensi yang melebihi dari yang sudah dicapai olehnya saat ini (Miller, 2011). Bantuan yang diberikan oleh MKO bersifat sementara karena diharapkan bantuan akan menurun seiring dengan kemampuan anak yang meningkat. Bantuan akan menurun hingga menghilang hingga akhirnya anak dapat menyelesaikan atau menguasai suatu konsep atau pengetahuan secara independen (Chang, Sung, & Chen, dalam Stuyf, 2002). MKO merupakan peran yang penting dalam konsep dasar Vygotsky karena memiliki tugas untuk memberikan bantuan kepada anak, yaitu berupa scaffolding. Van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2010) mengatakan bahwa secara umum, scaffolding diuraikan sebagai bantuan yang diberikan MKO kepada anak ketika mengerjakan suatu tugas yang mungkin tidak dapat diselesaikan sendiri. Scaffolding memiliki tiga karakteristik utama, yaitu kontingensi, fading, dan transfer of responsibility. Dengan pengurangan bantuan (fading), tanggung jawab dalam memahami suatu tugas dapat berpindah kepada anak (transfer of responsibility). Namun demikian, perpindahan tanggung jawab ini hanya dapat efektif bila dilakukan dengan kontingen (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2012). Dengan demikian, kontingensi dilihat sebagai prasyarat dari scaffolding dan kunci utama dalam scaffolding (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2009). Kontingensi yang dimaksudkan adalah bantuan yang responsif pada pemahaman yang sudah dimiliki anak (Wood, Wood, & Middleton, dalam van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2012). Bantuan yang kontingen hanya dapat diberikan apabila MKO memahami level kemampuan anak saat itu (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2010). Perbedaan dalam
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
scaffolding terkadang terletak pada bagaimana scaffolding dapat dicapai (means) dan apa yang di scaffolded (intention). Means yang berbeda dapat digunakan dengan intention yang berbeda pula (Mandy; Silliman, Bahr, Beasman, & Wilkinson, dalam van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2009). Tharp dan Gallimore (dalam van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2009) mengemukakan enam jenis means dalam scaffolding, yaitu: a. Feedback : evaluasi langsung mengenai tingkah laku siswa. Contoh: ― Jawabannya sepuluh.‖ b. Hints :guru memberikan petunjuk pada topik; guru tidak memberikan seluruh solusi atau instruksi mendetil. Contoh: ―Berapakah angka sesudah angka lima?‖ c. Instructing : guru menyediakan informasi sehingga siswa mengetahui apa yang harus dilakukan atau bagaimana melakukannya; meminta suatu tindakan spesifik (contoh: pertanyaan retoris dapat dianggap sebagai instruksi). Contoh: ―Isilah kotak ini dengan angka kedua dari depan.‖ d. Explaining : penjelasan informasi mengenai ‗mengapa‘ (contoh: mengapa suatu permasalahan dilakukan dengan suatu pendekatan tertentu). Contoh: ―Apabila seseorang membeli sesuatu, berarti jumlah yang dimilikinya akan bertambah.‖ e. Modelling : guru mendemonstrasikan tingkah laku (verbal atau non verbal) untuk diimitasi; modelling adalah mengenai proses dan bukan hasil akhirnya. Contoh: ―Mari menghitung dengan tangan, lima ditambah dua sama dengan.. lima di kepala, setelah lima, enam, tujuh (memeragakan dengan dua jari mengacung).‖ f. Questioning (assisting) : mendorong siswa untuk berpikir; permintaan untuk suatu reaksi spesifik. Contoh: ―Kenapa tanda disini adalah tambah dan bukan kurang?‖ Wood, Brunerm dan Ross (dalam van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2009) menguraikan enam intentions dalam scaffolding, yaitu: a. Task approach : MKO mengambil alih sebagian peran anak dalam pengerjaan suatu tugas untuk memberi contoh kepada anak. Anak kemudian diharapkan dapat melanjutkan tugas tersebut atau tugas lainnya yang serupa. Dilakukan dengan tujuan meningkatkan kemampuan penyelesaian suatu tugas tertentu. MKO seringkali menggunakan instructing dan hints sebagai scaffolding means. Contoh: ―Kita lihat soal nomer satu. Ayah memiliki 2 apel, angka 2 itu ditulis di awal.
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
Diberi ibu 3 buah lagi. Diberi ini artinya ditambah, kemudian setelahnya ditulis 3. Jumlahnya berarti 2 ditambah 3 sama dengan 5.‖ b. General principles : MKO menjelaskan kerangka berpikir atau prinsip umum suatu konsep sebagai dasar anak memahami suatu materi tertentu. Anak kemudian diharapkan menyelesaikan sendiri setiap tugas dengan kerangka berpikir yang sama. Contoh: “Pertambahan ini berarti apa yang kita miliki akan bertambah banyak.” c. Subject-matter : MKO mengambil alih sebagian peran anak dalam pemahaman suatu mata pelajaran dengan penjelasan mengenai materi yang dihadapi anak. MKO seringkali menggunakan penjelasan dan modelling sebagai scaffolding means. Contoh: “Lambang matematika seperti +, -, x, dan : akan diletakkan diantara dua angka.” d. Recruitment : MKO memotivasi dan membangkitkan ketertarikan anak untuk mengerjakan tugas. Contoh: “Yak, hebat sekali!”, “Wah, sudah ibu duga kamu pasti bisa mengerjakannya!” e. Frustration control : MKO memotivasi anak dengan menggunakan rewards dan punishment, MKO mengurangi frustasi yang dirasakan anak. Contoh: “Yang mendapatkan semua jawaban benar akan ibu beri satu permen.” f. Dan lainnya : MKO memberikan respons yang tidak berhubungan dengan topik yang sedang dibahas. Van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012) mengembangkan kerangka untuk mengukur kontingensi dalam interaksi antara MKO (guru) dan anak di kelas. Bantuan yang diberikan merupakan kontrol dari MKO dan terdiri dari berbagai tingkatan dari rendah hingga tinggi. Pemahaman anak juga perlu dibedakan menjadi berbagai level tergantung pada tingkat pemahaman anak. Kerangka yang dikembangkan van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012) menjelaskan three-turn sequence sebagai kunci dalam melihat kontingen tidaknya suatu bantuan dari MKO. Three-turn sequence dimulai dengan giliran guru, kemudian dibalas anak, dan ditanggapi lagi oleh guru. Bantuan dinilai kontingen ketika guru meningkatkan kontrol sebagai respons dari jawaban anak yang tidak tepat, dan guru menurunkan kontrol ketika jawaban anak sudah tepat. Dengan demikian, kontingensi bergantung pada adaptasi guru terhadap pemahaman anak.
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
Teacher’s degree of control (TDc) merupakan bagian dari kerangka yang dikembangkan van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012). Teacher’s turn dikodekan berdasarkan tingkatan kontrol yang diberikan oleh guru. Nilai kode bertingkat dari yang paling rendah, yaitu tidak ada kontrol hingga kontrol yang tinggi. Apabila respons guru tidak berhubungan dengan isi pelajaran, maka akan dikodekan sebagai ―guru tidak berada dalam konten‖ (teacher not on content). Berikut ini adalah tabel Teacher Degree of Control (TDc) yang dikembangkan oleh van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012). Tabel Derajat Kontrol Guru (TDc) Derajat TDc Guru tidak terkait konten (TDcNOC)
Deskripsi Pemberian Kontrol Apa yang dikatakan oleh guru tidak terkait dengan konten
Contoh “Pelajaran ini akan berakhir dalam 5 menit lagi. Kalian tidak boleh ke toilet sekarang.”
Tidak ada kontrol (TDc0)
Guru tidak terlibat percakapan dengan siswa/grup siswa
Pada kondisi saat guru belum menghampiri siswa atau saat guru mulai meninggalkan siswa setelah berinteraksi dengan siswa
Kontrol sangat rendah (TDc1)
- Guru
tidak
menyediakan
konten informasi yang baru - Guru
mengeluarkan
respon
elaborasi
umum dan terbuka
(TDc2)
- Guru
tidak
menyediakan
yang
- “Apa saja yang sudah kamu
Guru: ―Menurut kamu apa yang dimaksud
dengan
respon ―kemakmuran‖?‖
mengeluarkan
elaborasi
- “Apa persamaan dari ketiga
tulis?”
konten informasi yang baru - Guru
konsep tersebut?”
konsep tersebut?”
- Guru menanyakan pertanyaan
Kontrol rendah
- “Kenapa kalian memiliki tiga
umumnya
Murid: ―Ketika bangsa Polandia
ditujukan untuk mengelaborasi datang kesini.‖ atau
menjelaskan
sesuatu
(pertanyaan “mengapa”)
Guru: “Menurut kamu, kenapa mereka datang kesini?”
- Guru menanyakan pertanyaan lebih
detail
namun
masih
bersifat pertanyaan terbuka Kontrol sedang
- Guru
tidak
menyediakan
- Menjawab
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
ya/tidak
atau
(TDc3)
konten informasi yang baru - Guru
mengeluarkan
respon
singkat
memberikan pertanyaan pilihan ganda - Memberi
feedback;
Guru
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang belum tepat tetapi tidak menunjukkan jawabannya
Kontrol tinggi (TDc4)
- Guru
menyediakan
konten
informasi baru
- Apakah kamu pernah terpikir tentang pasar internal? (ketika
- Guru mengeluarkan respon
konsep ―pasar internal‖ belum
- Guru memberikan pertanyaan
pernah dimunculkan ) - ―Coba pikirkan tentang (konsep
dengan hint
baru)‖ Kontrol paling tinggi (TDc5)
- Guru
menyediakan
konten
tidak
adalah
―kemakmuran‖‖.
informasi baru - Guru
- ―Jawabannya
mengeluarkan
respon
- ―Kemakmuran terkait
dengan
sebenarnya menghasilkan
- Guru memberikan penjelasan
uang, dan hak, sebagai contoh,
atau jawaban dari pertanyaan
hak yang kamu miliki untuk dihargai.‖
Sumber: van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012), telah diolah kembali.
Pemahaman anak (students’ understanding) adalah bagian dari kerangka yang dikembangkan van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012). Students’ turn dikategorikan pada lima level skala. Pemahaman anak dikodekan berdasarkan pada pertimbangan guru yang terlihat dalam interaksi guru-anak. Ketika guru menyetujui jawaban anak, maka jawaban tersebut dianggap tepat. Namun jika guru terlihat tidak menyetujui atau menanyakan pertanyaan lanjutan kepada anak, maka anak dianggap kurang memahami atau hanya memahami sebagian saja. Berikut ini tabel Level of Student Understanding (SU) yang dikembangkan oleh van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012). Tabel Level Pemahaman Siswa (SU) Level SU
Deskripsi Level
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
Level 0 (SU0)
Tidak paham atau pemahaman rendah
Level 1 (SU1)
Pemahaman sebagian
Level 2 (SU2)
Pemahaman baik
Level X (SUX)
Pemahaman tidak dapat diketahui
Tidak terkait konten (SUNOC)
Giliran anak berbicara tetapi pembicaraan tidak terkait konten
Sumber: van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012), telah diolah kembali.
Penelitian ini akan melihat gambaran scaffolding pada proses pembelajaran. Peneliti mengolah interaksi guru-anak selama pelajaran utuk mendapatkan gambaran scaffolding. Gambaran akan dilihat melalui kontingensi dalam scaffolding, dan means serta intentions dalam scaffolding. Percakapan guru di kelas akan dikodekan sesuai dengan level kontrol yang diberikan guru (TDc). Respons anak akan dikodekan sesuai dengan level pemahaman anak (SU). Interaksi keduanya kemudian akan dilihat apakah bernilai kontingen atau tidak kontingen. Interaksi yang kontingen terjadi ketika guru menaikkan level kontrol saat anak tidak paham, dan sebaliknya guru menurunkan level kontrol saat anak sudah paham (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2012). Means dan intentions dalam scaffolding akan didapat dari percakapan guru di kelas. Setiap percakapan dan respons guru dapat memiliki means dan intentions yang berbeda. Dari gambaran ini peneliti dapat melihat tujuan pembelajaran yang guru berikan kepada anak. Namun proses scaffolding tidak dapat diperoleh begitu saja dari MKO ke anak. MKO membutuhkan alat bantu untuk mengarahkan anak dalam menguasai suatu pengetahuan atau kemampuan. Pada Vygotsky, alat bantu tersebut adalah tools yang terbagi menjadi dua, yaitu technical tools dan psychological tools. Tools terbagi menjadi dua, yaitu psychological tools dan technical tools (Miller, 2011). Technical tools merupakan peralatan hasil ciptaan manusia yang digunakan untuk mengontrol alam. Psychological tools terdiri dari language systems, counting systems, writing, diagrams, maps, conventional signs, and works of art. Penelitian ini akan menguraikan berbagai tools yang digunakan guru untuk membantu proses pengajaran. Setiap pilihan technical tools yang digunakan akan disertai alasan penggunaannya. Penelitian juga akan menggambarkan psychological tools yang membantu anak menginternalisasi pengajaran dari guru. Internalisasi dari proses sosial terjadi selama pergerakan anak dalam ZPD. Anak akhirnya menginternalisasi cara pemecahan masalah yang sesuai dengan lingkungan sosial. Proses dan struktur intramental tidak menjiplak intermental secara keseluruhan. Namun,
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
proses intermental berubah secara aktif selama proses internalisasi (Miller, 2011). Penelitian ini akan melihat gambaran internalisasi yang terjadi pada anak dengan meminta anak untuk ‗think-aloud‘. Diharapkan anak dapat menceritakan pemahamannya sendiri mengenai materi yang diajarkan guru. Hal ini akan menggambarkan internalisasi anak terhadap proses pembelajaran di kelas.
Metode Penelitian Teori Vygotsky lebih menekankan pada gambaran proses dibandingkan dengan hasil akhirnya saja. Oleh karen itu, studi deskriptif kualitatif dianggap lebih tepat untuk digunakan dalam penelitian ini karena dapat memberikan gambaran proses secara mendalam. Hal ini sesuai dengan Patton (dalam Poerwandari, 2011) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif memungkinkan peneliti mempelajari isu tertentu secara mendalam dan mendetail. Penelitian kualitatif memiliki desain yang bersifat alamiah dengan tidak berusaha memanipulasi setting penelitian dan menggunakan pendekatan analisis induktif. Studi deskriptif kualitatif memiliki tujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif sebuah kejadian dengan istilah yang tak asing mengenai kejadian tersebut (Sandelowski, 2000). Oleh sebab itu, peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif agar dapat memberikan gambaran yang komprehensif dari penerapan teori-teori Vygotsky. Karakteristik partisipan pada penelitian ini terbagi menjadi dua. Karakteristik pertama adalah pengajar yang terlibat dalam proses belajar-mengajar pada TK nasional plus. Karakteristik kedua adalah peserta didik dalam proses belajar mengajar pada TK nasional plus di kelas Kindergarten 2 (K2). Kelas K2 secara khusus dipilih karena pada tahap ini anak mulai dipersiapkan untuk ke jenjang SD dan anak diharapkan sudah dapat menguasai materi pelajaran yang diberikan. Penelitian ini membutuhkan partisipan dari satu kelas yang sesuai dengan konteks yang diinginkan untuk diobservasi selama kegiatan di kelas. Kemudian, peneliti akan melibatkan beberapa peserta didik yang ada di kelas untuk ikut serta dalam wawancara singkat mengenai pelajaran yang baru saja diberikan di kelas. Pemilihan peserta didik untuk diwawancara akan dilakukan berdasarkan rekomendasi pengajar yang terlibat. Penelitian ini memakai observasi dan wawancara sebagai metode pengumpulan data. Observasi memiliki tujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif mereka yang terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual, sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai catatan panjang lebar yang tidak relevan (Poerwandari, 2011). Wawancara kualitatif bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melakui pendekatan lain (Banister dkk., dalam Poerwandari, 2011). Pedoman wawancara yang dibuat disesuaikan dengan topik yang dibahas di kelas dan peserta didik diminta untuk mengungkapkan apa yang menjadi pemikirannya ketika diberikan suatu pertanyaan. Jawaban yang diberikan peserta didik diharapkan dapat memberikan gambaran internalisasi dari suatu pembelajaran yang diberikan pengajar. Pedoman wawancara secara umum juga dipakai saat mewawancarai pengajar di kelas terkait mengenai technical dan psychological tools yang dipakai selama belajar-mengajar. Penelitian ini menggunakan beberapa alat untuk membantu mengumpulkan data, yaitu alat perekam suara dan gambar (digital recorder), kertas, dan alat tulis. Alat perekam suara dan gambar digunakan dalam proses observasi untuk merekam jalannya proses belajarmengajar di kelas. Hasil rekaman dipakai untuk melihat proses scaffolding yang terjadi selama pengajaran. Kertas dan alat tulis digunakan untuk membantu peneliti mendata technical dan psychological tools yang dipakai selama pengajaran, mencatat pedoman wawancara, dan mencatat jawaban hasil wawancara. Penelitian ini akan merekam proses belajar-mengajar dari salah satu mata pelajaran. Kemudian interaksi guru-anak akan dikodekan berdasarkan derajat kontrol guru dan pemahaman siswa. Peneliti akan menggunakan inter-rater untuk menjaga objektivitas dalam mengkodekan derajat kontrol guru dan pemahaman siswa. Peneliti akan mewawancara beberapa anak untuk mendapatkan gambaran proses internalisasinya, juga wawancara kepada guru untuk mengetahui alasan dari penggunaan tools selama proses belajar-mengajar.
Hasil Penelitian Scaffolding Topik pelajaran matematika saat peneliti masuk di kelas adalah pelajaran mengenai soal cerita pertambahan. Pada hari pertama guru memperkenalkan model soal cerita kepada anak dan mengajarkan bagaimana mengerjakan pertambahan pada soal cerita. Angka awal
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
dan angka yang harus dijumlahkan pada hari pertama tidak lebih besar dari 10. Guru juga memberikan gambar objek dan jumlah yang sesuai pada soal cerita. Pada hari kedua, besaran angka awal di soal adalah belasan. Angka kedua yang harus dijumlahkan tetap tidak lebih besar dari 10. Guru sengaja menambah tingkat kesulitan pada soal pertambahan. Pada contoh soal yang dibahas di kelas, guru tetap memberikan gambar objek dan jumlah yang sesuai pada soal cerita. Pada hari ketiga, setiap soal pertambahan yang diberikan memiliki penanda kata tambah yang sama, yaitu gives. Guru tidak menggambarkan bentuk objek saat menulis soal, namun guru meminta anak untuk menggambar sendiri objek yang dibahas di soal. Besaran angka yang diberikan pada contoh soal memiliki tingkat kesulitan serupa dengan hari kedua. Contoh interaksi guru-anak yang terjadi di kelas adalah Guru (G): “Do you remember, this one, what lesson? Subtraction, addition, more, less, or half quarter? Kita lagi belajar apa nih?” (TDc2) Anak (A): “Math” (SU1) G: “Tentang apa?” (TDc2) A: “Pens” ; “Nathan” (SU1) G: “Two plus two?” (TDc3) A: “Four” (SU1) G: “Namanya apa?” (TDc3) A: “Tambah-tambahan” (SU2) G: “In english?” (TDc3) A: “Math.“ (SU1) G: “Addition (Guru menuliskan di kelas). But we call this story sum” (TDc5) Interaksi di atas terjadi ketika guru memperkenalkan topik pelajaran matematika yang baru di kelas. Guru pada awalnya menanyakan kepada anak apakah mereka sudah mengetahui topik yang akan dibahas atau topik sejenis yang pernah diajarkan sebelumnya. “Do you remember, this one, what lesson? Subtraction, addition, more, less, or half quarter? Kita lagi belajar apa nih?” Pertanyaan ini memperlihatkan guru memberikan level kontrol yang rendah (TDc2). Guru memberikan pertanyaan yang cukup mendetail, namun masih bersifat pertanyaan terbuka. Anak diberi kebebasan yang cukup luas untuk menjawab pertanyaan tersebut. Anak kemudian memberikan jawaban ―math.” Jawaban yang diberikan anak cukup tepat karena anak berhasil menjawab tema besar pelajaran. Namun anak gagal memahami pertanyaan guru untuk menjawabnya dalam topik yang lebih spesifik, seperti pertambahan atau pengurangan.
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
Dengan demikian, jawaban ini memperlihatkan anak berada pada level pemahaman sebagian (SU1). Balasan guru yang mengatakan ―tentang apa?” memperlihatkan guru tetap memberikan level kontrol rendah (TDc2). Guru tidak menambah konten baru pada pertanyaan ini. Guru memberikan pertanyaan probing dari pertanyaan awal dan tetap memberikan kesempatan untuk anak memberikan jawaban bebas. Level kontrol guru yang tetap berada di TDc2 ketika anak memiliki pengetahuan sebagian (SU1) memperlihatkan bahwa interaksi ini bersifat kontingen. Hal ini memperlihatkan guru berusaha memberikan kesempatan anak berpikir lebih jauh lagi mengenai jawaban yang sudah diberikan. Guru memperlihatkan jawaban tersebut tidaklah salah hanya perlu lebih mendetil lagi. Level kontrol yang diberikan guru memperlihatkan guru dapat menyesuaikan level kontrol terhadap level pemahaman anak saat itu. Jawaban anak terhadap pertanyaan guru, yaitu ‖Pens” dan ‖Nathan” memperlihatkan level pemahaman anak sebagian (SU1). Hal ini karena anak menjawab pertanyaan guru dengan benar, namun bukanlah jawaban yang sebenarnya diinginkan oleh guru. Guru kemudian memberikan respons ―Two plus two?” sebagai petunjuk mengenai jawaban yang dimaksud. Respons ini menunjukkan guru memberikan kontrol sedang (TDc3). Petunjuk yang diberikan guru mengharapkan anak untuk bisa memberikan satu jawaban yang tepat. Interaksi ini kontingen karena guru menambah kontrol saat anak memiliki pemahaman yang sebagian. Guru menambah level bantuan karena anak belum memiliki pemahaman yang baik. Sayangnya petunjuk dari guru tidak ditangkap dengan baik oleh anak sehingga anak menjawabnya dengan ―Four”. Jawaban ini sudah tepat untuk menjawab secara ekplisit pertanyaan ―Two plus two?”. Namun guru memaksudkan sebagai petunjuk yang belum dapat dipahami oleh anak. Oleh karena itu level pemahaman anak adalah SU1. Respons guru berikutnya, yaitu “Namanya apa?” juga menunjukkan level kontrol sedang (TDc3). Interaksi ini kontingen karena guru mempertahankan level kontrol saat pemahaman anak sebagian. Anak kemudian menjawab dengan tepat pertanyaan tersebut, yaitu ―tambahtambahan”. Jawaban anak menunjukkan pemahaman anak sudah baik mengenai pertanyaan dari guru. Guru kembali menanyakan “in english?” (level kontrol sedang/ TDc3) karena belum mendapatkan jawaban yang dianggap benar-benar tepat. Interaksi ini tidak kontingen karena guru tetap memberikan level kontrol yang sama saat anak sudah memiliki pemahaman yang baik (SU2). Berdasarkan hasil penelitian dari hari pertama sampai ketiga, dapat terlihat bahwa interaksi di kelas lebih banyak terjadi secara tidak kontingen. Guru cenderung mengulang-
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
ngulang respons dengan level kontrol yang sama atau lebih tinggi saat anak sebenarnya sudah paham. Hal ini mengakibatkan bantuan yang diberikan tidak efektif untuk anak. Berdasarkan hasil wawancara,
guru melihat bahwa anak belum benar-benar
mempraktikkan materi yang diajarkan dengan benar. Oleh karena itu, guru merasa penting untuk menekankan berulang-ulang kalimat dengan level kontrol yang tinggi walau melihat anak dapat menjawab dengan benar. Guru meyakini bahwa dengan melakukan penekanan berulang, anak dapat memahami materi yang dibahas. Berdasarkan hasil penelitian hari pertama sampai ketiga, dapat terlihat bahwa penggunaan intentions terbanyak adalah jenis task approach. Jenis intentions ini menekankan pada pemahaman suatu materi tertentu atau materi serupa dengan yang diajarkan. Seringkali jenis intentions ini akan memakai means jenis hints dan instructing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang memperlihatkan means jenis hints merupakan jenis yang paling sering digunakan dari hari pertama sampai ketiga. selain itu, means jenis instructing juga banyak digunakan pada hari pertama dan kedua. Kalimat ―Count it together ya‖ dapat menjadi contoh task approach dengan means instructing. Guru meminta anak melakukan pekerjaan spesifik, yaitu menghitung bersama. Anak akan melakukan sesuai dengan apa yang diminta guru. Kalimat ―This means, this circle, you write plus or minus?” menunjukkan intentions jenis task approach dengan means jenis hints karena guru tidak memberikan jawaban langsung, namun membantu anak dengan memberikan petunjuk mengenai jawaban yang diinginkan. Penggunaan means dan intentions ini menunjukkan bahwa guru bertujuan agar anak dapat mengerjakan tugas yang diberikan. Hal ini dilakukan dengan menekankan pentingnya pemahaman pada contoh soal yang diberikan. Diharapkan dengan mendalami pemahaman soal, anak dapat benar-benar memahami materi soal cerita pertambahan tersebut. Berdasarkan hasil analisa di atas, dapat diketahui bahwa penelitian ini memiliki lebih banyak interaksi yang tidak kontingen. Selama proses pembelajaran, anak terlihat memiliki pemahaman yang sudah baik. Namun guru tetap memberikan level kontrol pada level yang sama atau bahkan lebih tinggi. Hal ini menyebabkan bantuan yang diberikan guru menjadi tidak efektif. Diperkirakan hal ini terjadi karena guru merasa dengan pengulangan terusmenerus dalam pembahasan soal, dan dengan bantuan yang tinggi, anak dapat lebih memahami materi yang diajarkan. Peneliti juga mendapati hasil mengenai penggunaan means dan intentions yang dipakai guru selama proses pembelajaran. Guru lebih banyak memakai intentions jenis task approach dengan means jenis hints dan instructing pada ketiga hari pengajaran. Hal ini berarti
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
guru menekankan pada pengerjaan tugas agar dapat menyelesaikan tugas yang ada dan tugas lain yang serupa nantinya. Berdasarkan hasil wawancara, guru terlihat menginginkan anak untuk dapat benarbenar memahami materi yang diajarkan. Namun guru berusaha mengajarkan dengan level kontrol yang sedang atau tinggi, ketika anak sudah memiliki pemahaman yang baik. Hal ini berarti anak tidak mendapatkan pemahaman baru lainnya dari pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dilihat dari means dan intentions yang sering digunakan, guru juga justru menekankan pada pengerjaan tugas. Namun guru tidak memberikan kerangka besar dari materi yang diajarkan. Hal ini dapat menyebabkan anak hanya dapat mengerjakan tugas-tugas serupa yang diajarkan tapi tidak mendapatkan kerangka besar pemahaman dari materi tersebut. Tools Berikut ini adalah tabel penjabaran mengenai tools yang dipakai selama proses pembelajaran di kelas. Tabel Penggunaan Technical Tools pada kelas K2 TK Nasional Plus ―Y‖ Jenis Technical Tools
Alasan Penggunaan
- Papan tulis, spidol, penghapus Alat bantu utama; dipakai sebagai alat bantu mengajar papan tulis dalam menjelaskan materi kepada anak. - Worksheet -
Dipakai guru untuk melatih anak mengenai materi dan sebagai bahan evaluasi mengenai pemahaman anak. Dipakai guru sebagai perpanjangan tangan guru dan alat Tongkat tunjuk bantu untuk memusatkan perhatian Alat bantu untuk menerangkan contoh soal Biskuit, piring Alat bantu untuk menerangkan contoh soal Kotak pensil dan isinya Kantong plastik, bola warna- Alat bantu untuk menerangkan contoh soal warni, ember Psychological tools yang digunakan pada proses pembelajaran adalah pemahaman
bilangan, pengoperasian aritmatika, pemahaman dalam bahasa Inggris dan arti kata dalam bahasa Inggris. Alat ini digunakan karena untuk memahami kalimat soal cerita dalam bahasa Inggris, anak memerlukan pemahaman dalam bahasa Inggris. Pemahaman ini diperlukan karena bahasa Inggris bukan bahasa utama yang digunakan di Indonesia sehingga anak perlu pemahaman khusus, terlebih juga pada arti katanya. Pemahaman bilangan dan pengoperasian aritmatika juga dibutuhkan karena kalimat soal cerita akan memakai bilangan dan membutuhkan kemampuan pertambahan. Oleh karena itu, anak diharapkan sudah dapat menghitung pertambahan dengan baik.
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
Psychological tools yang digunakan di kelas sesuai dengan apa yang dipahami oleh guru perlu untuk dimiliki ketika anak belajar topik soal cerita pertambahan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran di kelas sudah sesuai dengan pemahaman guru mengenai tools apa yang dibutuhkan. Guru juga berarti sudah menyusun pengajaran agar kemampuan yang dirasa diperlukan sudah dipelajari dahulu sebelumnya sehingga dapat mempermudah pengajaran pada topik ini. Penggunaan psychological tools pada hari pertama, kedua, dan ketiga di kelas tidak mengalami perbedaan. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan besar pada pelajaran yang diberikan guru. Kesamaan penggunaan psychological tools juga dapat menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan fokus pada proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Internalisasi Peneliti melihat proses internalisasi dengan meminta anak untuk melakukan think aloud. Peneliti menyiapkan 3 soal serupa dengan pembelajaran di kelas untuk melihat proses pembelajaran di kelas pada masing-masing hari. Berdasarkan hasil analisa internalisasi, dapat terlihat adanya perbedaan mengenai hal yang berhasil diinternalisasi oleh anak. Anak pertama terlihat dapat memahami materi dengan sangat baik sejak hari pertama dan terus berlaku di hari kedua dan ketiga. Anak kedua terlihat dapat memahami asal angka yang ditulis pada kotak jawaban, pemahaman sebagian mengenai peletakan angka di kotak jawaban. anak kedua juga tidak memahami mengenai alasan penulisan lambang tambah pada jawaban. Peneliti juga tidak dapat melihat pemahaman anak mengenai kaitan gambar dan soal. Anak ketiga terlihat memahami materi dengan baik pada bagian lain kecuali pada bagian alasan menuliskan lambang tambah. Hasil analisa internalisasi ini menemukan bahwa pemahaman yang kurang pada hari pertama tidak akan mengalami perbaikan di hari selanjutnya. Peneliti juga tidak yakin anak berhasil memahami materi yang diajarkan di kelas, melainkan anak hanya dibuat familiar dengan contoh-contoh soal yang diberikan guru di kelas.
Pembahasan Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh van de Pol, Volman, Elbers, dan Beshuizen (2012). Penelitian ini memperlihatkan lebih banyak interaksi yang terjadi secara tidak kontingen. Penelitian van de Pol, Volman, Elbers, dan Beshuizen (2012) menghasilkan lebih banyak interaksi yang terjadi secara kontingen. Penelitian tersebut
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
juga membahas adanya guru yang mencoba melihat pemahaman anak namun tidak menggunakan informasi tersebut untuk menyesuaikan level kontrol bantuan yang diberikan. Terdapat kemungkinan hal inilah yang terjadi pada guru di penelitian ini. Guru memahami bahwa sebenarnya anak sudah memiliki pemahaman yang baik, namun terus mengulang materi dengan level kontrol yang sama atau lebih tinggi. Dilihat dari cara pengajaran guru yang mengulang-ulang pengajaran dengan level kontrol yang sedang atau tinggi, peneliti melihat kemungkinan bahwa guru menggunakan teknik drilling untuk mengajarkan materi kepada anak. Drilling adalah bentuk latihan yang menekankan pada pengulangan oleh pelajar sesuai dengan instruksi dari guru (LarsenFreeman, 1986). Teknik pengajaran ini awalnya dikembangkan dalam metode audiolingual yang digunakan untuk mengajarkan tentara menguasai bahasa asing pada perang dunia kedua (Richard & Rodgers, 1987). Penelitian yang dilakukan Delazer et al. (2005) membandingkan hasil dari pelatihan dengan teknik drilling dan pelatihan dengan strategi. Masing-masing kelompok diberi pelatihan dan diminta untuk mengerjakan tugas tertentu. Hasil menunjukkan bahwa dibandingkan pelatihan dengan strategi, pelatihan dengan teknik drilling memiliki akurasi yang lebih rendah. Pelatihan dengan teknik drilling memperlihatkan bahwa partisipan tidak menyadari langkah-langkah dalam penyelesaian masalah dan hanya menghafalkan hasil yang didapat. Pelatihan dengan strategi menunjukkan partisipan memahami langkah-langkah dalam penyelesaian masalah dan mengeluarkannya kembali untuk dipakai menyelesaikan tugas yang diminta. Akurasi yang lebih tinggi pada pelatihan dengan strategi dibandingkan dengan pelatihan dengan teknik drilling menunjukkan adanya implementasi yang lebih sabil dalam penyimpanan memori (Delazer et al., 2005). Akurasi yang lebih tinggi pada pelatihan dengan strategi juga menunjukkan bahwa pelatihan ini memiliki strategi cadangan yang dapat digunakan ketika seseorang tidak berhasil membangkitkan memori mengenai strategi awal. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan pada pelatihan dengan teknik drilling. Berdasarkan hasil pengerjaan tugas dengan item yang tidak pernah diajarkan, terlihat bahwa pelatihan dengan teknik drilling gagal menyelesaikan tugas. Partisipan terlihat tidak memahami langkah-langkah penyelesaian masalahnya dan memberikan jawaban yang acak. Pada pelatihan dengan strategi, partisipan terlihat agak memahami penyelesaian tugas yang memiliki langkah-langkah penyelesaian masalah yang pernah dilatih. Berdasarkan penelitian di atas, terlihat teknik drilling memiliki kelemahan untuk dipraktikkan. Selain itu, teknik ini pada awalnya digunakan untuk penguasaan bahasa asing.
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
Sehingga belum tentu teknik ini dapat digunakan pada subjek lainnya. Pada penelitian ini, terlihat bahwa guru menekankan pengajaran pada penyelesaian soal yang diulang-ulang. Cara ini mengakibatkan anak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan, namun ternyata kurang dapat memahami kerangka materi yang sedang diajarkan. Pada hasil internalisasi, hal ini terlihat saat anak dapat menuliskan lambang tambah ketika menjawab pertanyaan, namun hanya sebagian dari mereka yang memahami alasan penulisan lambang tambah tersebut. Penelitian ini meletakkan alat perekam dan observer di pojok belakang kelas dengan maksud agar tidak menarik perhatian anak karena berada cukup jauh. Namun, peneliti luput untuk memperhitungkan respons guru yang menyadari penuh bahwa dirinya sedang diobservasi dan direkam. Hal ini mungkin saja mengakibatkan guru bersikap tidak alami dalam mengajar dan membuat jalannya pengajaran menjadi berulang-ulang.
Kesimpulan Dilihat dari means dan intentions yang sering digunakan, guru terlihat melakukan penekanan pada pengerjaan tugas di kelas. Anak mendapatkan pendekatan pada penyelesaian tugas yang terlihat pada pemberian petunjuk atau instruksi dari guru. Respons anak selama proses pembelajaran memperlihatkan bahwa anak sudah memiliki pemahaman yang baik. Namun guru tetap merespons dengan level kontrol yang sama atau lebih tinggi. Hal ini menyebabkan lebih banyak interaksi terjadi secara tidak kontingen. Dilihat dari pemilihan tools yang digunakan, papan tulis, spidol, dan penghapus papan tulis, serta worksheet merupakan technical tools utama yang digunakan. Guru banyak melakukan pengajaran dengan menuliskan contoh soal di papan tulis kemudian dibahas bersama anak di kelas. Alat bantu ini dipakai selama tiga hari pengajaran mengenai materi yang sama. Guru menggunakan psychological tools yang sama selama tiga hari pengajaran, yaitu pemahaman bilangan, pengoperasian aritmatika, pemahaman dalam bahasa Inggris dan arti kata dalam bahasa Inggris. Berdasarkan wawancara, guru menyadari bahwa alat bantu inilah yang diperlukan untuk membantu anak memahami materi mengenai soal cerita pertambahan. Alat bantu ini dipakai secara bergantian dan berulang-ulang selama proses pembelajaran di kelas. Dilihat dari proses internalisasi yang terjadi, anak terlihat memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Namun berdasarkan hasil analisa, terlihat bahwa pemahaman
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
yang kurang pada hari sebelumnya ternyata tidak mengalami perbaikan pada hari selanjutnya. Anak dapat dikatakan berada pada pemahaman yang sudah dimilikinya sejak hari pertama dan tidak berkembang setelah hari kedua dan ketiga.
Saran Penelitian dengan metode wawancara dilakukan setelah melakukan rapport dengan waktu yang cukup dengan subjek penelitian. Setelah melakukan rapport yang cukup, diharapkan subjek penelitian dapat lebih membuka diri terhadap peneliti. -
Penelitian lanjutan mengenai konsep internalisasi perlu melatih subjek penelitian untuk melakukan think aloud dengan waktu yang lebih lama agar dapat menghasilkan gambaran internalisasi yang lebih baik.
-
Penelitian lanjutan mengenai teori Vygotsky dapat menambah subjek penelitian dengan membandingkan dua atau tiga kelas dengan guru yang berbeda. Hal ini karena faktor latar belakang guru dapat memengaruhi cara pengajaran di kelas. Penelitian mendalam mengenai beberapa kelas yang membahas materi yang sama dapat memperkaya hasil penelitian.
-
Hasil penelitian ini dapat dijadikan evaluasi bagi pengelola lembaga pendidikan dan pengajar didalamnya. Melalui gambaran hasil penelitian ini, pengelola lembaga pendidikan dan pengajar dapat melakukan revisi terhadap pengajaran yang telah berlangsung. Guru diharapkan dapat lebih memberikan pemahaman mengenai kerangka materi yang sedang diajarkan dan tidak hanya menekankan pada penyelesaian soal saja.
-
Hasil penelitian yang menunjukkan sedikitnya interaksi yang bersifat kontingen dan menekankan pada penyelesaian tugas dapat menjadi masukan bagi pengajar serta pengelola lembaga pendidikan. Pelatihan mengenai scaffolding atau penyusunan metode pengajaran dapat membantu pengajar dan pengelola lembaga pendidikan menampilkan proses pembelajaran yang lebih baik. Pelatihan ini diperlukan karena dapat terlihat bahwa pembelajaran di kelas tidak terlepas dari proses scaffolding, namun saat ini dilakukan secara tidak efektif. Oleh karena itu, diharapkan pelatihan mengenai scaffolding akan membantu guru untuk dapat mengerapkan proses scaffolding dengan efektif.
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014
Daftar Referensi Castro, D.C., Garcia, E.E., & Markos, A.M. (2013). Dual language learners: research informing policy. Chapel Hill: The University of North Carolina, Frank Porter Graham Child Development Institute, Center for Early Care and Education—Dual Language Learners. Daniels, H. (2007). Pedagogy. In Daniels, H; Cole, M.; & Wertsch, J.V. The Cambridge Companion to Vygotsky (Eds). New York : Cambridge University Press. Delazer, M. et al. (2005). Learning by strategis and learning by drill – evidence from an fMRI study. Neuro Image, 25, 838-849. John-Steiner, V., & Mahn, H. (1996). Sociocultural approaches to learning and development: A vygotskian framework. Educational Psychologist, 31, 191 - 206. Larsen-Freeman, D. (1986). Techniques and principles in language teaching. Oxford: Oxford University Press. Miller, P.H. (2011). Theories of developmental psychology. New York : Worth Publishers Poerwandari, E.K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Sandelowski, M. (2000). Focus on research methods: whatever happened to qualitative description. Research in Nursing & Health, 23, 334-340. Sidiknas. (2012). Semua desa di 10 provinsi sudah punya PAUD. Diunduh dari http://kemdikbud.go.id/kemdikbud/node/378 Stuyf, R.R.V.D. (2002). Scaffolding as a teaching strategy. Adolescent Learning and Development The Economist Intelligence Unit. (2012). Starting well: Benchmarking early education across the world. London: Pengarang. The National Scientific Council on the Developing Child (2007). Inbrief: The Science of Early Childhood Development. Diunduh dari Center on the Developing Child Harvard University website http://developingchild.harvard.edu/resources/reports_and_working_papers/science_of_early _childhood_development/ van de Pol, J., Volman, M., & Beishuizen, J. (2009). Patterns of contingent teaching in teacher-student interaction. Learning and instruction, 1-12. van de Pol, J., Volman, M., & Beishuizen, J. (2010). Scaffolding in teacher-student interaction: A decade of research. Educ Psychol Rev, 22, 271-296. van de Pol, J., Volman, M., Elbers, E., & Beishuizen, J. (2012). Measuring scaffolding in teacher – small group interactions. Pedagogy: New Developments in the Learning Sciences. Hauppage: Nova Science Publishers.
Penerapan scaffolding..., Clarissa, FPSI UI, 2014