3
Program Kegiatan Bermain Prososial Untuk Mengurangi Perilaku Agresif Pada Siswa Di Kelas Taman Kanakkanak Abstract Aggressive behavior should be handled since the childhood because it can give bad impacts to the children life in the future. A school is the important and effective place to reduce the aggressive behavior. Prosocial Playing Activity (Kegiatan Bermain Prososial /KBP) is one of behavior management program based on class which can be used as one of references for teachers to reduce the students’ aggressive behavior at school. This research aimed to try out the module of the KBP program to the students in kindergarten who tend to behave aggressively. The hypothesis of this research was that the KBP program can reduce the kindergarten students’ aggressive behaviorin the age of 4-6 years who meet the criteria of aggressive behavior (N=7). Those seven students were divided in the control group (N=4) and the experiment group (N=3). The method of quasi experimental was used with the study design of A-B-A. The measurement was conducted by observations; it was with the method oftimesampling. The results of the data analysis show that the KBP program could reduce the students’ aggressive behavior in the kindergarten class. Key words: Prosocial Playing Activity, Aggressive Behavior, Students of Kindergarten Pengantar Masalah perilaku siswa menjadi masalah yang umum dikeluhkan oleh guru Taman Kanak-kanak (Campbell, 2002; Wakschlag & Dannis, 2004; Murphy, dkk, 2007). Banyak guru mengeluh bahwa mereka mengalami hambatan dalam mengajar akibat masalah perilaku siswa yang mereka hadapi (Cartledge, Singh, & Gibson, 2008). Tren kasus pendidikan di tingkat Taman Kanak-kanak dari praktik kerja
profesi
mahasiswa
psikologi
UGM
sepanjang
tahun
2008-2011
menunjukkan bahwa di tingkat pendidikan tersebut lebih banyak ditemukan permasalahan perilaku sebanyak 34 persen (Kumara, 2011).
4
Berdasarkan hasil pre eliminary study yang dilakukan oleh peneliti kepada 91 guru TK di Sleman pada tahun 2012 diketahui bahwa setiap guru menghadapi masalah-masalah perilaku siswa di kelas mereka. Masalah perilaku tersebut antara lain: mengejek atau menjahili teman, bertengkar dengan teman,
berteriak,
berkelahi, marah atau mengamuk, serta melawan guru atau tidak patuh. Banyak masalah perilaku yang dikeluhkan guru diantaranya adalah perilaku agresif. Perilaku agresif memang sudah dapat terlihat sejak masa kanak-kanak awal yaitu sejak anak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (Cavell, 2002; Denham & Weissber, 2004; Krahe, 2005). Sekitar 5-10% anak sekolah di Amerika Serikat menunjukkan perilaku agresif (Masykouri dalam Arya, 2010). Survei yang pernah dilakukan oleh Zwagery (2011) pada 20 sekolah taman kanak-kanak di Kalimantan diketahui bahwa setiap sekolah mengeluhkan terdapat siswa yang berperilaku agresif. Bentuk perilaku agresif yang paling banyak dikeluhkan adalah berkelahi sebanyak 65%, memukul sebanyak 60%, menendang sebanyak 30 %, merebut sebanyak 15%, merusak peralatan sekolah sebanyak 10%. Perilaku agresif verbal yang dikeluhkan adalah membentak sebanyak 25%, berteriak sebanyak 50% dan menggunakan kata-kata yang kurang pantas sebanyak 10%. Perilaku agresif sendiri didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai segala bentuk perilaku memusuhi, merugikan, atau perilaku merusak yang diarahkan kepada oranglain (Christner, et al, 2006) yang membahayakan dan menyebabkan orang lain sakit maupun terluka (Anderson & Bushman, 2001; Keenan&Evans, 2009; Taylor, Peplau & O’sears, 2009). Perilaku agresif merupakan reaksi kemarahan
5
(Berzkowitz, 1993; Hurlock, 1978) serta diniatkan untuk menyakiti oranglain (Baron & Byrne, 2008; Berkowitz, 1993; Christner, Friedberg, & Sharp , 2006; Taylor, Peplau & O’sears, 2009). Aspek intensi atau niat pada perilaku agresif anak-anak masih menjadi pertentangan karena sulitnya mengobservasi niat dalam perilaku agresif anak-anak. Oleh karena itu definisi agresif pada anak-anak dititikberatkan pada wujud perilaku yang muncul (Cavell, 2002). Perilaku agresif terdiri dari dua bentuk, yaitu agresi fisik dan verbal (Berzkowitz, 1993; Cavell, 2002; Hurlock, 1978). Agresi fisik merupakan tindakan menyakiti yang menggunakan fisik seperti memukul, menendang, dan menampar, sedangkan agresi verbal adalah reaksi agresi berupa kata-kata seperti membentak, berteriak atau mengejek. Perilaku agresif selain dibagi menjadi dua bentuk: fisik dan verbal, perilaku tersebut juga dibedakan menjadi dua macam: agresi instrumental dan agresi benci (hostile aggression ) (Keenan, 2009). Agresi instrumental adalah agresi yang dilakukan oleh seseorang sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, agresi benci adalah agresi yang dilakukan semata-mata sebagai pelampiasan keinginan untuk melukai atau menyakiti (Kaswara, 1988). Pada anak usia Taman Kanak-kanak, perilaku agresif seringkali ditunjukkan pada perilaku tantrum (mengamuk), berkelahi, dan bullying. Pierangelo (1994) menyebutkan karakteristik anak agresif antara lain suka mencari masalah, ingin menang sendiri, selalu membela diri, menyalahkan orang lain ketika ia melakukan perilaku yang tidak pantas, suka bertengkar dan suka menggertak terhadap oranglain. Anak agresif juga cenderung menganggu kegiatan belajar di kelas dan
6
prosedur rutin, menghancurkan peralatan, suka kesal, memberontak, kasar, cemberut, kurang sopan dan menentang otoritas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku agresif juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Anak laki-laki disebutkan cenderung lebih agresif dan menarik perhatian daripada anak perempuan. Anak laki-laki juga disebutkan lebih sering menunjukkan perilaku agresif fisik, sementara anak perempuan lebih menunjukkan perilaku agresif verbal (Wheldall & Merret, 1993; Jenkins, 1997; Wright & Dusek, 1998; Mulyasa, 2003). Pendekatan belajar merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk menjelaskan terjadinya perilaku agresif pada anak usia dini. Pendekatan ini melihat perilaku agresif adalah hasil dari belajar atau hasil pengamatan pada perilaku agresif yang dilakukan orang lain dan bentuk konsekwensi yang didapat orang tersebut atas perilaku agresifnya. Sebagai contoh, dalam sebuah kelas terdapat salah seorang siswa yang mengamuk dan merusak barang agar diperbolehkan guru bermain di luar kelas, guru pun kemudian memperbolehkan siswa tersebut bermain di luar kelas. Barangkali alasan guru memberikan ijin adalah agar siswa tersebut tidak mengganggu teman-teman lainnya yang sedang belajar di kelas, namun yang dipelajari oleh siswa lainnya adalah untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, seperti bermain di luar kelas, mereka perlu bersikap agresif, seperti mengamuk atau merusak barang. Hal ini selaras dengan teori dari Bandura yang berpendapat bahwa seseorang akan belajar atau mendapatkan informasi dari hasil mengamati konsekwensi yang didapatkan dari perilaku orang lain (Hergenhann & Olson, 1993).
7
Kesalahan umum yang dilakukan oleh guru dalam menghadapi siswa yang berperilaku agresif adalah membiarkan perilaku agresif tersebut berkuasa dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia berperilaku agresif. Hal ini berarti guru sudah memberikan konsekwensi yang mengakibatkan perilaku agresif semakin kuat dan meningkat. Bertindak keliru dalam menyikapi perilaku agresif, menjadikan guru kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang cara bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (seperti: marah, frustrasi, takut, jengkel) secara wajar dan cara bertindak dengan tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut (Laforge, 1996). Penanganan yang tidak tepat pada perilaku agresif akan berdampak negatif pada kehidupan anak di kemudian hari (Krahe, 2005). Oleh karenanya anak membutuhkan pendisiplinan. Banyak ahli berpendapat bahwa dalam perkembangannya anak-anak membutuhkan pendisiplinan. Hingga kini, masalah pendisiplinan anak masih menjadi topik populer dalam berbagai penelitian (Collett, et. al, 2001; Erbacher, 2002; Erden, & Wolfgang, 2004; Lansford, et.al., 2005; Wade, & Kendler, 2001) Disiplin diperlukan oleh anak untuk memenuhi beberapa kebutuhan tertentu, seperti kebutuhan dalam penyesuaian sosial. Anak yang berhasil menyesuaikan diri di awal sekolah mempunyai kemungkinan jauh lebih besar untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik di kelas-kelas berikutnya di sekolah. Sebaliknya, anak yang tidak berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan mengalami ketidakbahagiaan dan terbiasa untuk tidak menyukai dirinya sendiri (Keinig, 2000; Margetts, 2005). Howe (2010) mengatakan bahwa anak
8
agresif akan cenderung mengalami penolakan oleh teman sebayanya. Melalui pendisiplinan, diharapkan anak agresif akan belajar berperilaku dengan cara yang diterima oleh anggota masyarakat, dan sebagai hasilnya diterima oleh anggota kelompok sosial mereka. Menurut Hurlock (1978), beberapa unsur dari pendisiplinan tersebut diantaranya adalah adanya aturan serta pemberian reinforcement. Menurut tahap perkembangan psikososial dari Erikson, anak di usia 3-6 tahun berada pada tahap inisiatif versus rasa bersalah. Rasa bersalah akan muncul dalam diri anak-anak pada saat mereka berada di luar batasan kemampuan mereka dan merasa tidak berperilaku dengan benar. Oleh karenanya nilai-nilai moral serta pendisiplinan tepat dilakukan pada saat anak berada pada tahap ini. Menurut Piaget pada usia-usia ini pula, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Anak akan menilai tindakan sebagai benar dan salah atas dasar konsekwensinya bukan berdasarkan motivasi di belakangnya (Keenan & Evans, 2009). Beberapa ahli sepakat bahwa penanganan dan pencegahan perilaku agresif harus dilakukan sejak kanak-kanak(Krahe, 2005; Woolfolk, 2009). Intervensi dini sebelum masalah perilaku berkembang atau mengakar dinilai lebih efektif dan berdampak secara jangka panjang dalam mencegah dan mengurangi masalah perilaku pada anak-anak (Tremblay dkk, 1991;Durlak & Wells, 1997; WebsterStratton & Taylor, 2001). Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa siswa yang sangat agresif ketika taman kanak-kanak secara signifikan memiliki hubungan dengan tingkat
9
kenakalan yang dilakukan pada saat remaja, memiliki risiko mengalami kegagalan akademik, penolakan teman sebaya, dan penyalahgunaan zat (Patterson, dkk, 1991; Moffitt, 1993;Downs, Smyth & Miller, 1996; Hudley, et al, 1998; Krahe, 2005; Reinke, dkk, 2008). Selain itu, mereka akan tetap membawa serta perilaku agresifnya ketika umur semakin bertambah (Krahe, 2005). Hal ini disebabkan karena perilaku agresif yang dimiliki oleh seorang anak dapat terus menetap dalam diri seseorang itu hingga beranjak dewasa (Krahe, 2005). Anak yang berperilaku agresif memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan, depresi dan perilaku antisosial (Downs, et al., 1996; Kauffman, 2005; Lalongo, Poduska, Werthamer, & Kellam, 2001; Waliski & Carlson, 2008). Perilaku agresif yang ditimbulkan siswa tidak hanya menyebabkan penderitaan bagi siswa yang bersangkutan, tetapi juga dapat merusak atmosfer sekolah (Elias &Weissberg, 2000) padahal seharusnya sekolah merupakan tempat yang aman untuk para siswanya (Berns, 2003). Sekolah merupakan tempat yang penting dan efektif untuk mengurangi perilaku agresif (Smokowski, Fraser, Day, Galinsky & Bacallao 2004; Hoagwood, et.al., 2007; Wilson & Lipsey, 2007; Shechtman & Ifargan, 2009). Pada kenyataannya, perilaku agresif yang dilakukan siswa belum ditangani dengan baik oleh guru atau pihak sekolah. Berdasarkan hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti kepada 91 guru dari 32 Taman Kanak-kanak di daerah Sleman, hampir seluruh guru mengaku kewalahan menghadapi siswa-siswa dengan perilaku agresif. Guru-guru tersebut juga mengaku belum mengetahui cara-cara yang efektif untuk mengatasi perilaku agresif siswa.
10
Ada banyak intervensi yang dapat digunakan untuk mencegah atau mengurangi perilaku agresif siswa di sekolah. Wilson dan Lipsey (2007) melakukan penelitian tentang efektivitas program-program intervensi berbasis sekolah
untuk
mengurangi
perilaku
agresif.
Program-program
tersebut
menggunakan beberapa pendekatan intervensi seperti: kognitif dan strategi perilaku atau behavioristik. Teknik-teknik seperti konseling, terapi, dan pelatihan dapat pula digunakan untuk mengintervensi perilaku ini. Terdapat empat macam format intervensi dalam mengurangi perilaku agresif dan perilaku mengganggu berbasis sekolah, yakni: universal programs, selected/indicated
programs,
special
schools
or
classes,
dan
comprehensive/multimodal programs. Berdasarkan hasil penelitiannya, Wilson dan Lipsey (2007) menyimpulkan bahwa program yang paling sering dilakukan dan paling efektif untuk mengurangi perilaku agresif dan perilaku mengganggu siswa adalah universal program dan selected/indicated program. Universal Program merupakan program yang dilaksanakan secara menyeluruh, semua siswa di dalam kelas menerima intervensi tanpa harus dipilih. Selected/indicated program merupakan suatu program yang diberikan kepada siswa yang secara khusus dipilih karena memiliki permasalahan perilaku atau memiliki faktor resiko Wilson & Lipsey (2007) menyebutkan contoh program intervensi berbasis sekolah untuk mengurangi perilaku agresif dengan strategi perilaku serta dapat diterapkan dengan format universal atau selected program antara lain Good Behavior Games (GBG). Sesuai dengan namanya, Good Behavior Games merupakan sebuah program yang berbentuk permainan (games). Smith (2010)
11
membedakan permainan (games) dengan bermain (play). Menurut Smith suatu kegiatan bermain adalah kegiatan menyenangkan untuk tujuan hiburan dan bersenang-senang, bukan kegiatan serius atau bersungguh-sungguh. Sementara permainan (games) memiliki peraturan dari hasil kesepakatan yang menentukan setiap pemain akan menang atau kalah dalam permainan. Hal ini merupakan paksaan bagi setiap pemain untuk bermain sesuai dengan peraturan. Kondisi ini disebut Smith sebagai suatu kondisi yang tidak menyenangkan bagi pemain. Pada permainan dengan peraturan, menurut Berk (1994) anak sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan. Menurut Hurlock (1978), semakin meningkatnya usia, tahap bermain anak akan semakin sosial. Ketika anak sudah sampai pada usia sekolah, kebanyakan permainan anak adalah sosial, seperti terlihat pada permainan yang membutuhkan kerja sama. Dintara jenis-jenis kegiatan bermain pada anak usia dini yang umum dilakukan oleh anak-anak di kelas TK adalah assosiative play dan cooperative play. Assosiative play ditandai dengan adanya interaksi antar anak yang bermain, saling tukar alat permainan, namun bila diamati akan tampak bahwa masingmasing anak sebenarnya tidak terlibat dalam kerja sama. Misalnya, anak sedang menggambar, mereka saling memberi komentar terhadap gambar masing-masing, berbagi pensil warna, ada interaksi diantara mereka tetapi sebenarnya kegiatan menggambar itu mereka lakukan sendiri-sendiri. Sementara cooperative play ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan pembagian peran antara anak-anak yang terlibat dalam permainan untuk mencapai satu tujuan
12
tertentu. Misalnya, bermain dokter-dokteran, bekerja sama membuat karya bangunan dari balok-balok dan semacamnya (Hughes, 2009; Santrock, 2002). Intervensi dalam penelitian ini adalah Program Kegiatan Bermain Prososial (KBP) yang terinspirasi dari GBG yang disusun pertama kali oleh Barrish, Saundiers, dan Wolfe (1969). Meski disusun pertama kali pada tahun 1969, penelitian-penelitian mengenai GBG masih terus dilakukan hingga tiga tahun terakhir, seperti yang dilakukan oleh Wright dan McCurdy pada tahun 2011 yang memodifikasi GBG menjadi Caught Being Good Game (CBGG) untuk diterapkan kepada sejumlah siswa TK dan siswa kelas empat SD (Wright & McCurdy, 2011). Penelitian lainnya dilakukan oleh Tanol, Johnson, McComas, dan Cote pada sejumlah guru dan siswa TK di Amerika Serikat pada tahun 2010. Penelitian tersebut membandingkan dua versi dari GBG yakni GBG-response cost dengan GBG-reinforcement (Tanol, Johnson, McComas, & Cote, 2010). GBG adalah program intervensi yang bertujuan meningkatkan perilaku prososial dan mengurangi perilaku mengganggu di kelas seperti banyak berbicara, meninggalkan kursi, agresif, dan mengejek (Tingstorm, Turner, & Wilczynski, 2006; Lanny & McCurdy, 2007, dkk). Pada KBP tujuan dari program ini juga untuk meningkatkan perilaku prososial, akan tetapi perilaku mengganggu dalam program ini dikhususkan hanya pada bentuk perilaku agresif. Perilaku prososial sendiri adalah tindakan yang bermaksud untuk menolong orang lain tanpa pamrih (Baron, Branscombe, & Byrne, 2008; Keenan & Evans, 2009). Aspek-aspek perilaku prososial diantaranya adalah berbagi, monolong, bekerjasama, jujur, berderma, dan mempertimbangkan kesejahteraan orang lain.
13
Berdasarkan hasil pre eliminary study yang dilakukan peneliti, perilaku prososial yang sering terjadi di periode anak TK adalah perilaku berbagi benda/mainan dan perilaku menolong. Perilaku kerjasama juga mulai ditanamkan kepada anak-anak TK untuk semakin meningkatkan keterampilan sosial mereka. Pada anak usia dini, perilaku prososial dapat diajarkan melalui suatu kegiatan bermain. Kegiatan bermain memang sulit untuk dipisahkan dari dunia anak-anak, karena sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan dengan aktivitas bermain. Oleh karenanya banyak strategi pembelajaran pada sekolah Taman Kanak-kanak diberikan dengan metode bermain yang menyenangkan. Menurut Hurlock (1978), bermain mempunyai pengaruh dalam perkembangan anak, pengaruh tersebut antara lain berhubungan dengan: dorongan berkomunikasi, sarana belajar, mengembangkan
wawasan,
belajar
bermasyarakat,
mengembangkan
ciri
kepribadian yang diinginkan. Bermain dapat melatih keterampilan sosial anak diantaranya
perilaku-perilaku
prososial
seperti
menolong,
berbagi,
dan
bekerjasama. Hogg dan Vaughan (2002) menyebutkan beberapa cara dalam mengajarkan perilaku prososial, diantaranya dengan: memberi intruksi, reinforcement, modelling, dan proses atribusi. Pada KBP anak akan diberikan intruksi dalam sebuah peraturan permainan untuk berperilaku prososial: berbagi, menolong, dan bekerjasama. Pada KBP juga akan diberikan reinforcement, yakni berupa reward bagi kelompok siswa yang tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan mampu menunjukkan perilaku-perilaku prososial. Selain mendapatkan contoh dari guru mengenai perilaku-perilaku prososial, para siswa akan saling belajar dari
14
perilaku prososial yang dilakukan oleh teman-teman mereka, serta konsekwensi yang diterima oleh teman-teman mereka atas perilaku tersebut. Guru juga akan mengapresiasi secara langsung perilaku-perilaku prososial siswa tersebut. Sebagaimana pada GBG, KBP merupakan teknik modifikasi perilaku dengan menggunakan teori operant conditioning yang melibatkan guru dan seluruh siswa dalam satu kelas. Modifikasi perilaku sendiri adalah sebuah pendekatan untuk meng-asses, mengevaluasi dan mengubah perilaku. Pendekatan ini berfokus pada pengembangan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku mal-adaptif dengan pemberian konsekuensi berupa reward atau juga punishment. Kazdin (1994) menyebutkan ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan modifikasi perilaku. Prinsip pertama adalah adanya konsekuensi untuk meningkatkan atau mengurangi perilaku yang menjadi target. Konsekuensi tersebut dapat berupa reinforcement maupun punishment. Prinsip kedua adalah immediacy, atau kesegeraan. Konsekuensi harus segera diberikan setelah terjadinya perilaku. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan kejelasan kepada subjek tentang perilaku apa saja yang diberi konsekuensi (Sundel & Sundel, 2005). Prinsip ketiga adalah extinction, yaitu penghilangan konsekuensi ketika perilaku sudah terbentuk. Selanjutnya, prinsip keempat yaitu deprivation dan satiation, yang menerangkan bahwa konsekunsi berupa reinforcement harus yang benar-benar diinginkan oleh subjek, dan jika diberikan punishment, maka punishment tersebut harus yang benar-benar tidak diinginkan oleh subjek (Kazdin, 1994). Pada KBP lebih ditekankan pada pemberian reinforcement daripada pemberian punishment. Pemberian punsihment ditiadakan, karena KBP lebih
15
bertujuan untuk meningkatkan perilaku positif siswa bukan menghukum perilaku negatif siswa (Van Lier, Van Der Sar & Crijen, 2004). Hal ini sesuai dengan pendapat Burden (2003) bahwa untuk meningkatkan kelas yang kondusif untuk belajar dan untuk membantu mencegah masalah perilaku, guru harus mengatasi faktor-faktor kontekstual tertentu dalam kelas, antara lain: mengurangi penggunaan metode hukuman, memberikan aturan yang jelas untuk perilaku dan disiplin siswa, menggunakan prosedur perilaku manajemen yang tepat, dan mendukung keterlibatan siswa. Pada KBP, reinforcers yang diberikan adalah poin positif sebagai penghargaan harian (Salend dkk, 1989) berupa stiker senyum, penghargaan mingguan (Saigh & Umar, 1983) yang diberikan di akhir keseluruhan sesi berupa stiker bintang, serta hadiah menarik berupa mainan atau alat tulis. Ada tiga unsur penting dari KBP ini selain pemberian reinforcement yaitu: target perilaku, peraturan permainan, dan kelompok. Dalam permainan ini, para siswa dibagi menjadi beberapa kelompok (Van Lier dkk, 2004). Tiap kelompok harus mematuhi suatu peraturan permainan yang telah disusun oleh guru. Peraturan permainan disusun berdasarkan target perilaku yang diharapkan atau ingin dikurangi. Kelompok yang melakukan pelanggaran akan dicatat dengan memberi tanda pada papan skor, dan kelompok dengan tanda atau jumlah pelanggaran paling sedikit akan menjadi pemenang di akhir permainan. Pada akhir permainan kelompok pemenang akan mendapatkan rewards/reinforcement. KBP menekankan kekompakan dan kerjasama kelompok. Oleh karena itu, KBP ini diharapkan dapat meningkatkan perilaku prososial dalam anggota
16
kelompok. Sesama anggota kelompok akan bekerja sama untuk meningkatkan perilaku yang baik dan menurunkan perilaku buruk (Tingstrom dkk, 2006). Perilaku baik yang dimaksud adalah perilaku berbagi, menolong, serta bekerjasama. Perilaku buruk yang dimaksud adalah perilaku agresif baik fisik maupun verbal. Pada masing-masing kelompok akan ditunjuk salah seorang siswa sebagai pemimpin kelompok (Wright, 2008). Pemimpin kelompok akan bertugas membagikan hadiah, menempatkan stiker pada papan skor, dan membantu guru dalam permainan ini. Kepemimpinan kelompok bisa diberikan kepada siswa dengan perilaku baik sebagai hadiah atas perilakunya, dan dapat digilir. Menurut Hurlock (1978), seiring dengan perkembangan sosialnya, setiap anak akan memainkan peran sebagai pemimpin atau pengikut di kelompoknya. Ketika memasuki usia pra sekolah, 2-6 tahun, anak-anak akan belajar mengembangkan hubungan sosial terutama dengan teman-teman sebaya. Pada masa ini mereka mulai bermain secara berkelompok. Dalam kelompok tersebut anak-anak yang memenuhi karakteristik tertentu akan cenderung berperan sebagai pemimpin, dan kebanyakan yang lain sebagai pengikut. KBP adalah permainan dengan aturan yang dikombinasikan dengan dua jenis kegiatan bermain yakni assosiative play dan cooperative play. KBP diterapkan pada kegiatan pembelajaran di kelas Taman Kanak-kanak bidang pembiasaan perilaku-perilaku prososial seperti berbagi, menolong, dan bekerjasama. Seluruh siswa dalam satu kelas akan dibagi ke dalam beberapa kelompok. Dalam setiap kelompok terdapat siswa-siswa berperilaku agresif, yakni siswa-
17
siswa yang perilakunya memenuhi kriteria perilaku agresif. Kriteria perilaku agresif tersebut antara lain: suka mencari masalah, ingin menang sendiri, selalu membela diri, menyalahkan orang lain ketika ia melakukan perilaku yang tidak pantas, suka bertengkar dan suka menggertak terhadap oranglain, cenderung mengganggu kelas dan prosedur rutin, menghancurkan peralatan, suka kesal, memberontak, kasar, cemberut, kurang sopan,
menentang otoritas, dan
kecenderungan melakukan bullying. Siswa TK dalam penelitian ini adalah anakanak berusia 4-6 tahun yang mengikuti pendidikan Taman Kanak-kanak (TK). Menurut Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 pasal 28 ayat 3, pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) merupakan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal. Sebagaimana pada GBG, KBP akan melibatkan guru sebagai pelaksana permainan. Ada beberapa langkah pelaksanaan KBP, yakni: 1. Mendefinisikan perilaku dan menentukan aturan permainan, 2. Membagi siswa dalam beberapa kelompok, 3. Melaksanakan kegiatan dan pemberian reinforcement. Kegiatan dimulai dengan mengenalkan program ke kelas, menjelaskan contoh-contoh perilaku dan peraturan permainan oleh guru (Wright, Lannie, & McCurdy, 2011). Perbedaan KBP dengan GBG yang disusun pertama kali oleh, Barrish, Saundiers, dan Wolfe (1969) adalah penyusunan KBP telah mempertimbangkan penelitian-penelitian terbaru dari GBG salah satunya adalah penggunaan kata-kata positif dalam peraturan permainan. Jika pada GBG versi Saundiers dkk (1969) peraturan disampaikan dengan mengatakan kepada siswa apa yang tidak boleh mereka lakukan, pada KGB peraturan disampaikan dengan memberitahukan