DESKRIPSI PEMBERIAN SCAFFOLDING, INTERNALISASI, DAN PENGGUNAAN TECHNICAL TOOLS DALAM PEMBELAJARAN DI SLB C Linda Susilowati Sri Redatin Retno Pudjiati Fakultas Psikologi UNIVERSITAS INDONESIA ABSTRAK Siswa dengan disabilitas intelektual membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus agar mereka dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan dan pelayanan khusus mencakup pemberian instruksi khusus, penyesuaian strategi pengajaran, dan penggunaan alat bantu dalam proses pembelajaran di kelas. Penelitian ini akan memfokuskan pada kegiatan belajar mengajar di SLB C ditinjau dari teori sosiokultural Vygotsky. Teori Vygotsky digunakan untuk mengalisis proses pemberian scaffolding, internalisasi siswa, dan penggunaan technical tools oleh guru. Partisipan penelitian ini adalah guru dan siswa SLB C. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan observasi di kelas dan wawancara kepada siswa seusai pelajaran. Selanjutnya, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil menujukkan bahwa tingkat kontrol dari bantuan yang diberikan guru semakin menurun seiring dengan meningkatnya tingkat kelas. Berkaitan dengan internalisasi, seluruh siswa umumnya dapat memahami lebih dari separuh materi yang diberikan guru. Selain itu, guru SLB C dapat melakukan manipulasi penggunaan tools untuk membantu siswa dengan kemampuan yang bervariasi. Kata kunci: SLB C, scaffolding, internalisasi, technical tools ABSTRACT Students with intellectual disability require special education and services so that they can maximize their potential. Special education and services include the provision of special instructions, adjustment of teaching strategies, and the use of tools in learning process at the classroom. This study will focus on teaching and learning activities at SLB C in terms of Vygotsky's sociocultural theory. Vygotsky's theory is used to analyzed the provision of scaffolding, internalization of the students, and the use of technical tools by the teachers. Participants in this study were SLB C teachers and students. Methods of data collection will be done using in-class observation and interview to students after class. Furthermore, the data were processed using a qualitative approach. The results showed that the level of control of teacher's scaffolding decreases with increasing grade level. In connection with the internalization, all students are generally able to understand more than half of the material provided by the teacher. In addition, SLB C teachers can manipulate the tools to help students with varying abilities. Keywords: special school, scaffolding, internalization, technical tools Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
LATAR BELAKANG Sepanjang sejarah, individu dengan disabilitas intelektual seringkali menerima berbagai cacian, penolakan, dan stigma negatif dari masyarakat. Berbagai istilah digunakan untuk menamakan kondisi mereka, dimulai dari feeble minded (lemah pikiran), imbecile (pandir), bodoh, dungu, cacat mental, terbelakang, idiot, dan sebagainya. Perlakuan yang buruk ini terus diterima oleh mereka hingga akhirnya muncul gerakan humanitarian yang memelopori pemberian pendidikan khusus bagi anak dengan disabilitas intelektual pada akhir abad ke-18 (Mash & Wolfe, 2007). Di Indonesia sendiri, penyelenggaraan pendidikan khusus dimulai pada zaman pendudukan Belanda tahun 1930 dan diteruskan oleh Pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan (http://slbncicendo.com/?page_id=2). Disabilitas intelektual merupakan gangguan fungsi kognitif yang ditandai dengan Intelligence Quotient (IQ) di bawah 70, adanya gangguan pada fungsi adaptif, dan kemunculannya sebelum anak menginjak usia 18 tahun (AAIDD, 2002). Vygotsky (1983) dalam bukunya The Fudamentals of Defectology, mengatakan bahwa perkembangan anak dengan disabilitas intelektual tidak dapat semata-mata dilihat sebagai anak yang kurang berkembang dari anak seusianya, melainkan sebagai anak yang berkembang secara berbeda dari anak seusianya. Anak dengan disabilitas intelektual, selain memiliki kemampuan yang berbeda dengan anak pada umumnya, juga membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus sehingga ia dapat memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan khusus tersebut mencakup berbagai instruksi yang didesain khusus sehingga dapat memenuhi kebutuhan yang tidak umum dari siswa berkebutuhan khusus ini. Penyesuaian dilakukan pada strategi, materi pengajaran, ataupun penggunaan peralatan dan fasilitas tertentu. Pada siswa dengan disabilitas intelektual, penggunaan alat bantu seperti bola untuk melatih kemampuan motorik sekaligus belajar menghitung dapat dilakukan oleh guru. Sementara itu, pelayanan khusus mencakup transportasi khusus, terapi fisik dan okupasional, bantuan medis, asesmen psikologis, dan konseling agar pendidikan dapat menjadi efektif bagi siswa berkebutuhan khusus (Hallahan dan Kaufman, 2006). Pada proses pembelajaran di kelas, siswa dengan disabilitas intelektual membutuhkan interaksi yang lebih intensif dengan pengajar agar transfer informasi dapat berjalan dengan baik. Interaksi intensif merujuk pada interaksi yang terjadi secara berkesinambungan, terfokus, dan terencana (Christenson, 2012). Perbandingan antara tenaga pengajar dan siswa idealnya adalah satu pengajar berbanding dengan lima siswa, guru pendamping diperlukan apabila jumlah siswa yang berada di dalam kelas berjumlah lebih dari lima. Sayangnya, di Indonesia seorang guru Sekolah Luar Biasa (SLB) dapat mengajar lebih dari delapan siswa di Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
kelas
(Minnesota
Department,
2000;
http://www.slbnacimahi.net/?i=berita&id=80).
Selanjutnya, dengan keterbatasan atensi dan memori yang dimiliki, siswa dengan disabilitas intelektual juga membutuhkan alat bantu pengajaran yang konkret serta pengulangan materi ketika memelajari suatu materi (Hallahan & Kaufman, 2006; Mangunsong, 2009). Penelitian ini akan memfokuskan pada kegiatan belajar mengajar di SLB C ditinjau dari teori milik Vygotsky karena ia adalah salah seorang teoris yang membahas mengenai pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan disabilitas intelektual. Beberapa teorinya bahkan ia kembangkan berdasarkan hasil interaksinya dengan anak yang memiliki disabilitas dan kecerdasan rendah (Miller, 2011). Kecocokan antara fenomena yang diteliti, yakni proses pembelajaran di SLB C dengan teori sosiokultural milik Vygotsky, dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, penelitian dan teori Vygotsky memfokuskan pada pentingnya konteks dalam proses belajar mengajar (Kozulin, Gindis, Ageyev, & Miller, 2003). Vygotsky menganut perspektif sosiokultural yang memandang bahwa manusia melekat pada matriks sosial budayanya dan perilaku manusia tidak bisa dipahami secara terpisah dari matriks tersebut. Penelitian ini akan melihat proses pembelajaran siswa dengan disabilitas intelektual di konteksnya, yakni kelas Sekolah Luar Biasa (SLB) C. Selanjutnya, pembahasan mengenai anak dengan disabilitas, khususnya disabilitas intelektual merupakan salah satu studi yang menjadi minat Vygotsky. Meskipun tidak terlalu mendapatkan perhatian, cabang ilmu yang bernama defectology ini merupakan domain dari penelitian dan prakteknya (Vygotsky, 1983). Ketiga, Vygotsky dan Luria (dalam Wertsch, 1985) menganggap bahwa anak dengan disabilitas intelektual berbeda dengan disabilitas lainnya karena adanya hambatan tertentu dalam mediasi verbal yang disebabkan oleh kecerdasan yang rendah. Upaya transfer tools oleh guru kepada siswa akan sangat bergantung pada proses mediasi verbal ini. (Burack, Hodapp, & Zigler, 1998). Vygotsky (dalam Christenson, 2012) juga menekankan pentingnya proses interaksi antara guru dan siswa pada proses pembelajaran di dalam kelas yang menjadi fokus penelitian ini. Melalui interaksi yang terjadi, guru pertama-tama dapat mengukur sejauh mana pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan melakukan ini, guru dapat memutuskan perlu tidaknya bantuan diberikan kepada siswa. Bantuan yang diberikan guru dikenal dengan istilah scaffolding pada teori Vygotsky (Van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2012). Interaksi antara guru dan siswa ini menghasilkan pemahaman akan sebuah pengetahuan dalam diri siswa. Interaksi antara guru dan siswa sesuai dengan konsep intermental dari teori Vygotsky dan pemahaman yang dimiliki siswa sesuai dengan konsep intramental (Daniels, 2013). Interaksi Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
antara guru dan siswa pada proses belajar mengajar akan dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas atau alat bantu yang digunakan guru. Ketersediaan alat bantu dan manipulasi yang dilakukan guru terhadap alat bantu ini dapat membantu proses pemahaman siswa. Alat ini dapat membantu siswa mengaplikasikan konsep abstrak menjadi konsep konkret yang lebih mudah dipahami (Higgins & Loveless, 2006). Alat bantu pengajaran disebut dengan technical tools oleh Vygotsky. Guna melakukan pengukuran terhadap scaffolding, Van de Pol, et al. (2012) telah membuat instrumen berdasarkan aspek contingency dari scaffolding. Suatu scaffolding dikatakan kontingen apabila dalam interaksi, guru meningkatkan tingkat kontrol ketika pemahaman anak rendah dan menurunkan tingkat kontrol ketika anak telah memiliki pemahaman yang baik. Scaffolding juga dapat digolongkan berdasarkan tujuan dan cara dilakukannya scaffolding (Wood, Bruner, & Ross, 1976; Tharp & Gallimore, 1988; Van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2010). Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif karena permasalahan yang ingin diteliti adalah deskripsi pemberian scaffolding, internalisasi, dan penggunaan technical tools pada pendidikan khusus. Untuk itu, dibutuhkan gambaran yang lebih mendalam agar proses yang diteliti dapat tertangkap. Lebih jauh lagi, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep-konsep dalam teori, seperti scaffolding dan proses internalisasi bersifat interaksional sehingga pendekatan secara kualitatif akan menghasilkan data yang lebih kaya. Pendekatan kualitatif diharapkan dapat memberikan deskripsi mengenai interaksi guru dan siswa, baik dalam proses pemberian scaffolding, internalisasi, maupun manipulasi technical tools. Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah observasi proses belajar mengajar di kelas dan dibantu dengan wawancara kepada siswa untuk menghasilkan gambaran yang menyeluruh. TINJAUAN TEORITIS Scaffolding Scaffolding adalah bantuan sementara yang diberikan more knowledgeable others untuk keterampilan yang baru saja muncul pada anak dengan harapan agar anak dapat mencapai level potensialnya. more knowledgeable others mengatur interaksi dan besarnya bantuan yang diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh anak (Smith, Dockrell, & Tomlinson, 2005; Miller, 2011). Van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2010) melakukan integrasi dari klasifikasi strategi scaffolding menurut Wood, Bruner, dan Ross (1976) serta Tharp dan Gallimore (1988). Wood, et al. (1976) membuat klasifikasi strategi menurut intentions sementara Tharp dan Gallimore (1988) membuatnya berdasarkan means dari Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
scaffolding. Selanjutnya, kedua klasifikasi strategi scaffolding ini digabungkan dengan membuat bentuk seperti matriks dengan kolom berupa intentions dan baris berupa means dari scaffolding. Intentions merujuk pada tujuan dari dilakukannya scaffolding sementara means merujuk pada cara dilakukannya scaffolding. 1. Support of students’ metacognitive activities a. Direction maintenance
Scaffolding Intentions 2. Support of students’ cognitive activities a. Cognitive structuring
b. Reduction degrees of freedom
3. Support of students’ affect a. Recruitment
b. Frustration control
1. Feeding back 2. Hints
Means
3. Instructing 4. Explaining 5. Modeling 6. Questioning
Scaffolding memiliki sifat yang interaktif, yakni melibatkan paling tidak dua aktor (guru dan pemelajar). Sifatnya yang interaktif ini seringkali membuat pengukurannya menjadi sulit untuk dilakukan. Van de Pol, Volman, Elbers, dan Beishuizen (2012) mencoba mengatasi permasalahan ini dengan membuat instrumen yang dapat mengukur scaffolding dalam interaksi kelas. Dari ketiga aspek pada karakteristik scaffolding, aspek terpenting adalah contingency, yang dinilai merepresentasikan dasar adaptif dari dukungan yang dapat dikatakan sebagai scaffolding. Hal ini pula yang membedakan bantuan yang dapat digolongkan sebagai scaffolding dan non scaffolding. Bantuan dapat dianggap scaffolding apabila kontingen terhadap respon siswa. Misalnya, ketika guru selalu memberikan jawaban padahal anak telah mampu mengerjakan sendiri merupakan contoh dari bantuan guru yang tidak kontingen dengan respon siswa dan dengan demikian tidak dapat dikatakan sebagai scaffolding. Berdasarkan pemikiran tersebut, instrumen ini dibuat berdasarkan kerangka yang berorientasi pada karakteristik terpenting dari scaffolding, yani contingency, yang diberi nama detailed micro-level contingent shift. Detailed micro-level contingent shift bertujuan untuk mengukur sejauh mana pengajar atau more knowledgeable others menggunakan scaffolding dalam proses pengajaran. Contingency dari scaffolding akan dilihat melalui three turn sequences yang terdiri dari giliran guru (teacher’s turn), giliran pemelajar (learner’s turn), dan kembali lagi pada giliran guru. Pada three turn sequences, interaksi dari guru dan pemelajar akan dikoding berdasarkan tingkat kontrol guru (level of teacher’s control) dan pemahaman siswa (student understanding). Scaffolding dikatakan contingent apabila guru
Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
meningkatkan kontrol saat pemahaman siswa rendah dan sebaliknya menurunkan kontrol bila siswa telah memiliki pemahaman yang baik. Proses Internalisasi Menurut Vygotsky, proses belajar atau perolehan pengetahuan terjadi melalui interaksi sosial. Dalam interaksi antara anak dengan more knowledgable others ini, percakapan yang sebelumnya berbentuk antar individu (intermental) menjadi percakapan dalam diri individu tersebut (intramental). Proses perubahan ini dinamakan internalisasi. Misalnya saja, belajar bercakap-cakap dengan orang lain dapat membuat anak belajar berbicara kepada dirinya sendiri ketika sedang memecahkan permasalahan. Internalisasi tidak hanya bercakap-cakap, tetapi memasukkan percakapan ke dalam tataran intramental seseorang. Misalnya saja, anak melihat ayahnya membetulkan mainannya dengan menggunakan obeng (intermental). Selanjutnya, anak mencoba untuk menggunakan obeng ketika memerbaiki mainan lainnya (intramental). Proses belajar yang dilakukan anak disebut sebagai internalisasi (Miller, 2011). Anak dengan Disabilitas Intelektual Disabilitas intelektualadalah gangguan fungsi kognitif yang ditandai dengan IQ yang kurang dari 70, gangguan dalam fungsi adaptif, dan muncul sebelum anak menginjak usia 18 tahun. Kebanyakan dari mereka tetap dapat memperoleh manfaat dari bersekolah. Program intervensi dapat menolong mereka yang memiliki tingkatan rendah (mild), sedang (moderate), dan yang berada pada ambang batas (borderline) untuk memperoleh pekerjaan, tinggal di komunitas, dan berfungsi dengan baik dalam masyarakat (Mangunsong, 2009). Karakteristik yang dimiliki oleh anak dengan disabilitas intelektual mencakup beberapa defisit pada area atensi, daya ingat, perkembangan bahasa, regulasi diri, perkembangan sosial, motivasi, dan prestasi akademis. Anak dengan disabilitas intelektual umumnya mengalami kesulitan belajar karena masalah dalam pemusatan perhatian. Mereka seringkali memusatkan perhatian pada benda yang salah atau sulit mengalokasikan perhatian mereka dengan tepat. Selain itu, berkaitan dengan daya ingat, anak dengan disabilitas intelektual mengalami masalah pada working memory, yaitu kemampuan untuk menyimpan informasi tertentu dalam pikiran sementara melakukan tugas lainnya. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk memeroleh gambaran mendalam mengenai interaksi antara guru dan siswa pada pembelajaran di SLB C ditinjau dari sudut pandang teori Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
Vygotsky. Ingin diketahui secara mendalam proses internalisasi yang terjadi, pemberian scaffolding yang dilakukan oleh pengajar, serta technical tools yang digunakan pada kegiatan belajar mengajar dengan anak yang mengalami disabilitas intelektual. Pemahaman yang mendalam dibutuhkan guna memeroleh gambaran yang komprehensif mengenai suatu fenomena dan berbagai aspek yang terkait di dalamnya, dalam hal ini teori Vygotsky. Pendekatan kualitatif dipilih bukan karena lebih baik dibandingkan dengan pendekatan lainnya, melainkan karena pendekatan tersebut lebih cocok untuk menjawab permasalahan penelitian ini yang berkaitan dengan gambaran dan proses. Karakteristik Partisipan Penelitian ini akan meneliti mengenai interaksi antara guru dan siswa dalam sebuah pendidikan khusus di SLB C sehingga karakteristik partisipan yang diambil pada penelitian ini siswa yang memilki disabilitas intelektual dan bersekolah di SLB C. Total kelas pada sekolah ini berjumlah tiga kelas. Setiap kelas pada sekolah ini tidak memiliki nama atau tingkatan sehingga pada penelitian ini kelas tersebut akan disebut Kelas Awal, Kelas Menengah, dan Kelas Atas. Siswa dikelompokkan ke dalam tiga kelas berdasarkan lamanya waktu bersekolah, kemampuan, dan kemajuan yang dimilikinya. Siswa pada Kelas Awal umumnya adalah siswa yang baru saja masuk SLB C hingga mereka yang telah bersekolah selama kurang lebih dua tahun. Usia mereka berada pada rentang usia enam hingga sepuluh tahun. Mereka belum mampu berbicara dan sebagian dari mereka belum dapat memahami instruksi sederhana. Misalnya saja, mereka belum mampu memahami instruksi ketika guru menyuruh mereka untuk duduk atau melempar bola. Sementara itu, siswa pada Kelas Menengah telah mampu duduk tenang dan memahami instruksi guru. Mereka berada pada usia delapan hingga tiga belas tahun. Selanjutnya, siswa pada Kelas Atas umumnya telah mampu membaca, menulis, dan memahami konsep sederhana. Usia mereka berada pada rentang lima belas hingga dua puluh tahun. Prosedur Pengambilan Partisipan Patton (1990, dalam Poerwandari, 2007) menguraikan sepuluh pedoman pengambilan sampel pada penelitian kualitatif. Salah satu di antaranya adalah pengambilan sampel homogen. Pada jenis ini, sampel yang diambil adalah sejumlah kecil kasus homogen. Sampel dipilih karena dianggap dapat mendeskripsikan suatu fenomena pada subkelompok yang sesuai dengan topik penelitian secara mendalam. Sampel yang dipilih pada penelitian ini adalah SLB/PLK C Swakarya karena dianggap dapat mewakili subkelompok siswa yang memiliki disabilitas intelektual. Sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil data di SLB/PLK C Swakarya, peneliti telah mengajukan proposal ke beberapa SLB C untuk menjadi Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
peserta pada penelitian ini. Akan tetapi, pada kurun waktu yang telah disepakati, hanya SLB/PLK C Swakarya yang bersedia untuk menjadi partisipan penelitian. Siswa yang berpartisipasi pada penelitian ini berjumlah 24 siswa. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari pedoman observasi dan wawancara yang dikembangkan bersama tim payung penelitian Vygotsky dengan ketua Bapak Edward Andriyanto, M. Psi. Pedoman observasi digunakan untuk mengamati kontingensi scaffolding, scaffolding means dan intentions, serta proses intermental pada siswa. Pedoman observasi yang digunakan untuk mengamati kontingensi scaffolding tersusun atas teacher’s degree of control (tingkat kontrol guru) dan student understanding (pemahaman siswa terkait scaffolding yang diberikan). Dinamika antara keduanya menentukan kontingensi dari scaffolding yang diberikan oleh guru. Pada penelitian Van de Pol, Volman, dan Beishuizen (2012), panduan digunakan untuk siswa yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Oleh karena itu, deskripsi dan contoh diberikan secara lebih mendetail pada bagian tingkat kontrol guru dan pemahaman siswa untuk membuatnya menjadi lebih terperinci dan sesuai dengan konteks penelitian. a. Teacher’s degree of control Giliran guru (teacher’s turn) akan dikoding berdasarkan derajat kontrol yang dipertahankan oleh guru. Nilai koding berada pada rentang 0 untuk tidak adanya kontrol hingga 5 untuk kontrol yang sangat tinnggi. Apabila giliran guru tidak berhubungan dengan konten pembelajaran, giliran guru ini akan dikoding dengan TDcNOC (Teacher not on content) atau guru tidak berada pada konten. Derajat Kontrol Guru Guru tidak berada pada konten 0. Tidak adanya kontrol 1. Kontrol terendah
2. Kontrol
Deskripsi
Contoh
Apa yang dikatakan guru tidak berkaitan dengan bahan ajar
Mata pelajaran ini akan berakhir dalam lima menit Kamu bisa pergi ke kamar mandi sekarang
Guru tidak bersama dengan kelompok siswa
Sebelum guru tiba dalam kelompok Interaksi setelah guru meninggalkan kelompok
Guru: Tidak memberikan konten baru Memicu respons yang elaboratif dari siswa, bukan hanya sekedar jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ melainkan jawaban yang merupakan hasil rekonseptualisasi siswa mengenai informasi yang sedang dipelajarinya (Brooks & Brooks, 1999) Menanyakan pertanyaan yang bersifat luas dan terbuka
Mengapa kelompokmu memilih ketiga konsep tersebut? Apa sajakah persamaan diantara ketiganya? Ketika siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal matematika, guru meminta siswa menjelaskan siswa mengenai apa yang telah ia lakukan, tahap demi tahap. Ketika menjelaskan, siswa dengan sendirinya mengetahui letak kesalahannya. Saat itu terjadi, siswa mengkonseptualisasikan kembali pemahamannya sendiri dengan bantuan guru yang minimal (guru tidak langsung memberikan penjelasan mengenai kesalahan yang dilakukan siswa) Menurut kamu, apa itu kesejahteraan?
Guru:
Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
rendah
3. Sedang
4. Tinggi
5. Paling tinggi
Tidak memberikan konten baru Memicu respons yang elaboratif, kebanyakan berupa penjelasan dari pertanyaan “mengapa”, guru memicu dengan menggunakan pertanyaan ini Menanyakan pertanyaan yang cenderung terbuka namun lebih detail, terarah, dan terkait bahan ajar yang sedang dipelajari siswa Guru: Tidak memberikan konten baru Memicu respons singkat dari siswa, misalnya jawabannya “ya” atau “tidak”
Guru: Memberikan konten baru Memicu respons siswa Memberikan petunjuk atau pertanyaan yang mengarahkan Guru: Memberikan konten baru Tidak memicu respons atau tanggapan apapun dari siswa Memegang kontrol atau kendali atas siswa sepenuhnya Memberikan penjelasan atau jawaban langsung dari sebuah pertanyaan
Mengapa kita harus membantu Ibu di rumah? Apa saja peran dan kewajiban seorang Ayah?
Pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda atau jawaban ya/tidak Pemberian umpan balik, guru mengindikasikan terdapat sesuatu yang tidak benar, tapi tidak menjelaskan apa yang seharusnya (misalnya, “Bukan begini cara menulis huruf b”, tapi guru tidak memberi tahu bagaimana cara menulis huruf ‘b’ yang tepat) Pernahkah kamu terpikir mengenai pecahan? (ketika anak belum belajar mengenai konsep pecahan sebelumnya) Kita melihat dengan menggunakan ma... (meminta siswa melengkapinya dengan “ta” sehingga menjadi “mata”) Pecahan adalah ketika sebuah bilangan dibagi oleh bilangan yang lebih besar. Guru memegang tangan anak untuk melempar bola
b. Student Understanding Semua giliran siswa (learner’s turn) akan dikategorisasikan ke dalam lima level skala, dari Level 0 hingga not in content. SU Level 0
Level 1
Level 2
Level X
Deskripsi Pemahaman siswa rendah atau siswa tidak memahami konten pelajaran. Ketika guru menanyakan konten pelajaran yang sedang dipelajari, siswa tidak mengetahui jawabannya, tidak mampu menjawab, atau tidak memahaminya. Siswa tidak mampu merespons terhadap stimulus yang diberikan guru, baik yang bersifat verbal maupun non verbal Anak memahami sebagian. Misal, siswa memberikan jawaban yang kurang tepat atau kurang lengkap tapi sudah dapat terlihat bahwa siswa sudah mengetahui sebagian dari konten pelajaran Siswa memahami dengan baik seluruhnya. Siswa memberikan jawaban atau respons yang tepat pada pertanyaan atau stimulus yang diberikan oleh guru Tidak jelas pemahaman yang dipahami oleh siswa, tetapi responnya masih terkait topik yang dibahas.
Contoh Ketika guru menanyakan kegunaan mata, siswa dengan SU 0 tidak dapat menjawabnya atau memberikan jawaban yang salah, misal menjawab dengan kegunaan indra lainnya.
Guru bertanya mengenai lima shalat wajib di Agama Islam. Siswa mampu menjawab benar, tapi tidak seluruhnya.
Guru bertanya mengenai kebutuhan dasar manusia. Siswa mampu menjawabnya sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh guru dengan lengkap, yakni sandang, pangan, dan papan. Ketika guru menjelaskan mengenai proses pengerjaan soal cerita, siswa mengiyakan keterangan yang diberikan guru. Setelah selesai menjelaskan, guru meminta siswa kembali mengerjakan soal yang lain dan siswa meresponsnya dengan melakukan yang diminta oleh guru. Dari kedua contoh, respons siswa
Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
Not on Content
Siswa menjawab atau mengatakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan topik yang sedang dipelajari.
masih sesuai dengan konten, namun tidak dapat dipastikan ia benar-benar memahami penjelasan guru ketika menjawab “ya” dan melanjutkan pekerjaannya atau hanya mengatakan “ya” begitu saja tanpa benarbenar memaknainya Guru sedang membahas mengenai ibukota Negara, siswa menanggapi dengan menanyakan jadwal ujian pelajaran tersebut
Rubrik di atas berguna untuk melihat kontingensi dari scaffolding yang dilakukan oleh guru terhadap respons siswa. Sementara itu, pedoman observasi yang digunakan untuk mengamati scaffolding means dan intentions berbentuk matriks milik Wood, Bruner, dan Ross (1976) serta Tharp dan Gallimore (1988). Selanjutnya, pedoman untuk mengobservasi proses intermental terdiri dari tahapan pengajaran materi yang dilakukan oleh guru. Pengajaran yang dilakukan oleh guru dibagi ke dalam beberapa tahapan-tahapan atau bagian-bagian terkait dengan tema dan konten dari materi yang disampaikannya di dalam kelas. Sementara itu, pedoman wawancara digunakan untuk memeroleh gambaran mengenai proses intramental yang terjadi pada siswa. Pedoman wawancara berisi lima pertanyaan terkait dengan tema dan penguasaan materi yang baru saja diperoleh oleh siswa di dalam kelas. Penelitian ini juga menggunakan beberapa alat bantu dalam proses pengumpulan data, antara lain alat perekam—berupa tape recorder dan handycam—kertas, serta alat tulis. Proses Pengolahan dan Analisis Data Pada penelitian ini, analisis dilakukan dalam dua tahap, yakni analisis intrasubjek dan intersubjek. Pertama-tama, peneliti menyimak video hasil rekaman lalu membuat verbatim dan koding. Untuk analisis intrasubjek, koding dilakukan terhadap teacher’s degree of control dan student understanding untuk memeroleh deskripsi mengenai kontingensi pemberian scaffolding. Selanjutnya, koding juga dilakukan terhadap scaffolding means dan intentions untuk melihat jenis dan tujuan dilakukannya scaffolding. Koding berisi menit dilakukannya scaffolding, perilaku scaffolding yang dilakukan guru, nilai perilaku tersebut (TDc0-5), respons siswa terhadap scaffolding tersebut, nilai respons siswa (SU0-2), penyimpulan kontingensi scaffolding, serta scaffolding means dan intentions. Guna mengamati proses internalisasi, koding juga dilakukan dengan memecah-mecah tahap pengerjaan tugas antara guru—yang diperoleh dari hasil observasi di kelas—dan siswa, yang diperoleh dari hasil wawancara seusai kelas. Dari hasil wawancara dapat dilihat jumlah jawaban yang dapat dijawab dan diingat siswa terkait pelajaran yang sudah ia terima sebelumnya di dalam kelas.
Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
Pada analisis intersubjek, peneliti melihat kontingensi pemberian scaffolding pada ketiga kelas dan satu aktivitas olahraga bersama. Tabel digunakan untuk membantu proses analisis. Selanjutnya, pembandingan antara proses internalisasi dan penggunaan technical tools pada ketiga kelas dan satu aktivitas olahraga bersama juga dilakukan. Pada penelitian ini, validasi dilakukan dengan menggunakan strategi low inference descriptors. Strategi ini melibatkan penggunaan frase deskriptif yang paling mendekati perkataan partisipan dan catatan lapangan peneliti (Seale, 1999). HASIL DAN ANALISIS HASIL Analisis dan Temuan Intrasubjek 1. Kelas Awal Pada Kelas Awal, pemahaman siswa (SU) cenderung berada pada SU 0 yang ditandai dengan pemahaman yang sangat rendah terhadap materi pelajaran mengenai keterampilan sensori motorik. Menanggapi hal ini, guru menerapkan scaffolding dengan tingkat kontrol tertinggi (TDc 5) dengan memegang kendali sepenuhnya terhadap anak. Respons guru dapat dikatakan kontingen karena ia menerapkan kontrol tinggi saat pemahaman siswa rendah dan mempertahankannya saat pemahaman siswa belum meningkat. Selanjutnya, scaffolding means pada kelas ini terdiri dari modeling, feedback, hints, dan instructing dengan scaffolding intentions berupa cognitive structuring, reduction degrees of freedom, dan frustration control. Proses internalisasi pada seorang siswa dari kelas ini terjadi ketika ia menyelesaikan puzzle kubus. Pada awalnya, siswa mengeluh karena ia tidak dapat menyusun puzzle tersebut. Setelah mendapatkan contoh cara pengerjaan dari guru, siswa dapat menyelesaikan puzzle tersebut dengan tahapan yang serupa sebagaimana contoh guru beberapa saat sebelumnya. Selanjutnya, berkaitan dengan technical tools, guru menggunakan alat bantu yang cukup bervariasi pada kelas ini, antara lain bola, puzzle, krayon, kancing, dan pemutar musik. 2. Kelas Menengah Pada Kelas Menengah, pemahaman siswa (SU) cenderung berada pada SU 0-1 yang ditandai dengan pemahaman rendah hingga pemahaman sebagian terhadap materi pelajaran mengenai pengenalan anggota tubuh. Menanggapi hal ini, guru menerapkan scaffolding dengan tingkat kontrol yang cukup bervariasi, antara TDc 2-5 meskipun didominasi oleh TDc 3 dan 4. Sejalan dengan aturan kontingensi, scaffolding yang diberikan guru tergolong kontingen. Tingkat kontrol 3 dan 4 yang ditandai dengan pemberian petunjuk atau sebagian jawaban sejalan dengan scaffolding means berbentuk hints yang ditemui pada kelas ini. Selain hints, scaffolding means lain adalah feedback dan instructing dengan scaffolding intentions berupa cognitive structuring dan reduction degrees of freedom. Sementara itu, berkaitan dengan Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
internalisasi, siswa pertama-tama memeroleh informasi dari guru mengenai anggota tubuh dan kegunaannya. Saat dilakukan tanya jawab, siswa dapat menyebutkan angota tubuh dan kegunaannya sebagaimana telah diajarkan oleh guru. Siswa juga dapat menuliskan kata terkait anggota tubuh setelah berlatih menulis kata tersebut berulang kali sesuai ajaran guru. Selanjutnya, technical tools yang digunakan pada kelas ini terdiri dari tongkat penunjuk, buku diktat, dan buku tulis. Alat yang sama digunakan guru secara berbeda untuk siswa dengan kemampuan yang berbeda pula. 3. Kelas Atas Pada Kelas Atas, pemahaman siswa (SU) cenderung berada pada SU 0-2 yang ditandai dengan pemahaman rendah hingga pemahaman yang baik terhadap materi pelajaran mengenai peran anggota keluarga serta agama Islam. Menanggapi hal ini, guru menerapkan scaffolding dengan tingkat kontrol yang cukup bervariasi, antara TDc 2-5 meskipun didominasi oleh TDc 2 dan 3. Sejalan dengan aturan kontingensi, scaffolding yang diberikan guru tergolong kontingen. Scaffolding means yang ditemui pada kelas ini berbentuk hints, feedback, explaining, dan modeling. Selanjutnya, scaffolding intentions dari scaffolding yang diberikan adalah reduction degrees of freedom dan cognitive structuring. Sementara itu, berkaitan dengan internalisasi, siswa pertama-tama memeroleh informasi dari guru mengenai anggota keluarga dan peranannya. Saat dilakukan tanya jawab, siswa dapat menyebutkan angota keluarga yang dimiliki bersama peranan setiap anggota sebagaimana telah diajarkan oleh guru. Pada pelajaran Agama Islam, siswa yang telah memeroleh informasi mengenai jenis sholat dan air wudhu dapat menjawab pertanyaan mengenai sholat namun tidak pada penggunaan air wudhu. Selanjutnya, technical tools yang digunakan pada kelas ini terdiri dari papan tulis, spidol, dan buku tulis. Alat yang sama digunakan guru secara berbeda untuk siswa dengan kemampuan yang berbeda pula. 4. Aktivitas Olahraga Pada Aktivitas Olahraga bersama, pemahaman siswa (SU) cenderung berada pada SU0 yang ditandai dengan pemahaman yang sangat rendah terhadap materi senam pagi. Menanggapi hal ini, guru menerapkan scaffolding dengan tingkat kontrol 2 pada hampir seluruh siswa dan kontrol 5 pada dua orang siswa dalam kurun waktu yang singkat. Sejalan dengan aturan kontingensi, scaffolding yang diberikan guru tergolong tidak kontingen. Guru tidak menerapkan kontrol tinggi di saat pemahaman siswa rendah dan tidak mempertahankan kontrol tinggi ketika pemahaman siswa masih terbilang rendah. Selanjutnya, scaffolding means yang ditemui pada kelas ini berbentuk modeling dan instructing dengan scaffolding intentions berbentuk reduction degrees of freedom dan cognitive structuring. Sementara itu, Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
berkaitan dengan internalisasi, siswa pertama-tama memeroleh informasi dari guru mengenai gerakan senam yang dicontohkan berulang kali. Selanjutnya, ketika diminta memeragakan tiga gerakan berurutan yang telah dicontohkan oleh guru, siswa berhasil menghafal dua gerakan. Siswa juga dikenalkan dengan permainan ular tangga seusai senam pagi. Saat ditanya, siswa mampu memeragakan peranan pemain dan penjaga serta memahami konsep permainan. Selanjutnya, technical tools yang digunakan pada kelas ini terdiri dari pemutar musik yang digunakan untuk seluruh siswa. Analisis dan Temuan Intersubjek 1. Scaffolding Temuan mengenai scaffolding yang dilakukan guru pada ketiga kelas dan aktivitas olahraga bersama dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Scaffolding Student Understanding (SU) Teacher Degree of Control (TDc) Contingency Means
Intentions
Awal Rata-rata SU 0
Menengah Rata-rata SU 0-1
Atas Rata-rata SU 0-2
Olahraga Rata-rata SU 0
Rata-rata TDc 5
TDc 2-5 (didominasi TDc 3 dan 4)
TDc 2-5 (didominasi TDc 2 dan 3)
TDc 2-5 (didominasi TDc 2)
Kontingen
Kontingen
Kontingen
Didominasi modeling
Didominasi hints
Didominasi hints dan explaining
Cenderung tidak kontingen Didominasi modeling
Reduction degrees of freedom
Reduction degrees of freedom
Reduction degrees of freedom dan cognitive structuring
Reduction degrees of freedom
Pada tabel, terlihat bahwa pemahaman siswa semakin meningkat seiring meningkatnya kelas dan sebaliknya kontrol guru semakin menurun. Oleh karena itu, dinamika antara keduanya pada ketiga kelas dapat dikatakan memenuhi prinsip kontingensi pemberian scaffolding. Sementara itu, pada aktivitas olahraga, guru tidak menerapkan kontrol tinggi di saat pemahaman siswa terbilang rendah. Hal ini menyebabkan scaffolding yang diberikan guru tergolong tidak kontingen terhadap respons siswa. Selanjutnya, means pada Kelas Awal memiliki kesamaan dengan aktivitas olahraga, yakni berbentuk modeling. Guru memeragakan gerakan tertentu dengan harapan siswa dapat mengimitasinya kelak. Bila digolongkan ke dalam scaffolding intentions, guru bertujuan mengambil alih tugas yang belum sepenuhnya dapat dikerjakan oleh anak atau disebut juga reduction degrees of freedom. Sementara itu, pada Kelas Menengah dan atas, scaffolding means yang ditemui adalah hints dan explaining. Keduanya memiliki tujuan untuk mengamil alih sebagian tugas (reduction degrees of freedom) dan memberikan struktur pemahaman kepada siswa (cognitive structuring). Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
2. Proses Internalisasi Temuan mengenai internalisasi yang terjadi pada siswa dari ketiga kelas dan aktivitas olahraga bersama dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Internalisasi
Awal • Penyampaian informasi oleh guru cenderung non verbal, berulang.
Menengah • Penyampaian informasi oleh guru gabungan verbal dan non verbal, berulang.
• Internalisasi terlihat dari kesamaan tahapan pengerjaan puzzle oleh anak yang sebelumnya dilakukan guru
• Internalisasi diperoleh dengan mengajukan pertanyaan yang menuntut respons verbal dan non verbal dari anak
Atas •Transfer informasi cenderung verbal, pengulangan lebih sedikit • Internalisasi diperoleh dengan mengajukan pertanyaan, siswa menjawab benar lebih dari separuh
Olahraga • Transfer informasi non verbal
•Siswa Kelas Menengah dan Atas lebih dapat melakukan internalisasi dengan baik dibanding Kelas Awal, terlihat dari kesamaan gerakan
Pada tabel terlihat bahwa siswa dapat melakukan internalisasi terjadap lebih dari separuh materi yang dipelajari di kelas. Siswa umumnya mampu melakukan internalisasi setelah guru menyampaikan materi dan melakukan pengulangan. Jumlah pengulangan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya level kelas. Proses penyampaian informasi oleh guru berbedabeda pada setiap kelas, pada Kelas Awal dan olahraga didominasi interaksi non verbal, Kelas Menengah gabungan non verbal dan verbal, dan Kelas Atas cenderung verbal. Selanjutnya, gambaran mengenai internalisasi diperoleh dengan memberikan stimulus yang sesuai dengan pengajaran oleh guru di kelas agar dapat memicu respons yang tepat. 3. Penggunaan Technical Tools Temuan mengenai penggunaan technical tools oleh guru dari ketiga kelas dan aktivitas olahraga bersama dapat dilihat pada tabel berikut. Technical tools
Awal Variasi tools terbanyak Tools berbeda-beda untuk hampir setiap anak (disesuaikan kemampuan anak)
Menengah Tools dapat sama untuk siswa 1 dan 2 tapi manipulasi dilakukan agar sesuai kemampuan siswa tersebut
Atas Tools dapat sama untuk siswa 1 dan 2 tapi manipulasi dilakukan agar sesuai kemampuan siswa tersebut
Olahraga Tools berupa pemutar musik digunakan untuk semua siswa
Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
Pada tabel, terlihat pada Kelas Awal, variasi tools yang digunakan guru jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan kedua kelas maupun aktivitas bersama. Pada Kelas Awal, setiap siswa cenderung menggunakan tools yang berbeda-beda. Sementara itu, pada kedua kelas lainnya, tools cenderung sama antara satu siswa dan siswa lain, hanya saja guru melakukan manipulasi penggunaannya. Selanjutnya, pada aktivitas olahraga, sebuah tools digunakan untuk seluruh siswa yang berpartisipasi. PEMBAHASAN Scaffolding sulit diukur karena sifatnya yang dinamis dan cenderung kompleks. Hal ini disebabkan scaffolding umumnya melibatkan dinamika interaksi antara dua orang atau lebih. Salah satu instrumen yang peneliti temukan memusatkan perhatian pada aspek kontingensi dari pemberian scaffolding. Van de Pol, Volman, & Beishuizen (2012), pengembang instrumen tersebut mengatakan bahwa aspek kontingensi dari pemberian suatu scaffolding ditentukan oleh kesesuaian antara tingkat kontrol guru (TDc) dan pemahaman siswa (SU). Akan tetapi, kedua hal ini—tingkat kontrol dan pemahaman siswa—hanya berlaku pada interaksi guru dan siswa yang bersifat verbal. Sementara itu, siswa SLB memiliki gangguan pada kemampuan bahasa sehingga untuk beberapa siswa, guru memberikan scaffolding yang bersifat non verbal atau dalam bentuk dukungan perilaku, seperti peragaan atau gerakan. Peneliti sempat merasa kesulitan untuk mengklasifikasikan tingkat kontrol guru yang mencontohkan siswa suatu gerakan senam atau menggerakkan tangan anak untuk latihan menangkap bola. Peneliti kembali menguraikan satu per satu deskripsi dari tingkat kontrol guru lalu mencoba menerapkannya pada bentuk interaksi non verbal. Misalnya saja, peragaan gerakan senam di depan siswa dapat digolongkan ke dalam tingkat kontrol dua (TDc 2). Pada interaksi verbal, tingkat kontrol dua ditandai dengan guru yang memicu respons siswa yang elaboratif dan penggunaan pertanyaan yang cukup detail namun tetap terbuka. Pada interaksi non verbal, tingkat kontrol dua dapat ditandai dengan guru memicu siswanya untuk dapat merespons dengan memeragakan gerakan yang cukup kompleks, berkesinambungan, dan bukan terdiri dari respons-respons sederhana. Peragaan gerakan senam tidak dapat digolongkan pada tingkat kontrol tiga, empat, atau lima karena ketiga tingkat ini mensyaratkan guru yang memicu respons singkat, adanya pemberian petunjuk, atau bahkan pemberian jawaban pada siswa. Selanjutnya, guru yang memegangi tangan siswa untuk menangkap bola dapat tergolong pada tingkat kontrol lima (TDc 5). TDc 5 ditandai dengan guru yang tidak memicu respons apapun dari siswa serta pemberian jawaban atau penjelasan sepenuhnya dari pertanyaan. Ketika guru memegangi tangan siswa, guru tidak menuntut Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
respons apapun dari siswa karena ia memegang kendali penuh pada siswa. Selain itu, guru juga mengarahkan tangan siswa sepenuhnya sehingga siswa dapat berhasil menangkap bola. Apabila menangkap bola disetarakan dengan pertanyaan atau tugas yang harus dikerjakan siswa, guru yang memegangi tangan siswa guna membantunya menangkap bola dapat disetarakan dengan memberikan jawaban sepenuhnya dari pertanyaan siswa. Hampir seluruh guru pada kelas menggunakan scaffolding yang memiliki komponen nonverbal dengan tingkat kontrol yang bervariasi. Misalnya saja, dalam pelajaran mengenai anggota tubuh, guru akan membaca nama anggota tubuh pada buku lalu menunjuk anggota tubuh itu pada dirinya sendiri. Guru lainnya mencontohkan posisi tangan yang tepat untuk dapat menangkap bola. Wang, Bernas, dan Eberhard (2001) mengatakan bahwa scaffolding non verbal tepat digunakan untuk anak dengan kebutuhan khusus, teristimewa mereka yang memiliki kemampuan intelektual yang rendah. Hal ini disebabkan gerakan atau gesture yang dicontohkan oleh guru berfungsi untuk memfasilitasi dan mengarahkan perhatian anak serta menyediakan model untuk dapat diimitasi anak. Guru yang mencontohkan posisi tangan untuk menangkap bola, melakukan upaya modeling sehingga anak dapat menirunya. Selain itu, gerakan atau gesture guru menyediakan informasi yang konkret, bersifat visual, dan mudah diikuti bahkan untuk anak dengan kemampuan intelektual yang rendah. Ketika guru menunjuk giginya seusai membaca tulisan gigi pada buku, guru baru saja menyediakan informasi yang konkret dan dapat dilihat semua siswa (bersifat visual). Scaffolding non verbal yang dilakukan guru dapat memaksimalkan potensi belajar siswa dan memperkecil zone of proximal development yang dimiliki siswa. Selanjutnya, berkaitan dengan technical tools, pada ketiga kelas, guru menggunakan technical tools dan melakukan manipulasi terhadapnya. Menurut Reynolds, Zupanick, dan Dombeck (2013), penggunaan dan manipulasi yang dilakukan guru ini termasuk ke dalam salah satu metode pengajaran efektif yang dapat dilakukan guru untuk mengajar siswa dengan disabilitas intelektual. Technical tools dapat membantu siswa mengaplikasikan konsep abstrak menjadi bentuk yang lebih konkret. Siswa juga dapat memeroleh manfaat ketika guru menggunakan technical tools untuk membantu siswa memahami perilaku yang diharapkan darinya, misal bagan untuk melihat kemajuan siswa. Sementara itu, berkaitan dengan proses intermental yang tampak dari pengajaran guru di dalam kelas, guru pada kelas Awal dan Menengah terlihat memecah-mecah tugas utama menjadi bagian yang lebih kecil. Misalnya saja pada pelajaran mengenai kegunaan anggota tubuh, guru memulainya dengan mengenalkan anggota tubuh satu per satu kepada siswa, meminta siswa menyebutkannya sesuai contoh, mengulangnya beberapa kali, menunjuk Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
anggota tubuh yang dimaksud, lalu berlatih menuliskannya. Reynolds, Zupanick, dan Dombeck (2013) mengatakan bahwa pembagian tugas dan pengulangan yang dilakukan guru hingga siswa menguasai materi sebelum berpindah ke materi lain dapat mencegah siswa merasa terlalu terbebani pada tugas yang dapat berakibat pada learned helplessness. Kondisi ini tidak ditemukan pada aktivitas olahraga bersama karena guru umumnya memeragakan gerakan senam sesuai dengan tempo musik yang cenderung cepat. Hal ini menyebabkan siswa hanya diam dan tidak mampu mengikuti gerakan. Ketika terjadi terus-menerus tanpa adanya intervensi berupa pemberian scaffolding oleh guru, siswa dapat menganggap dirinya tidak mampu, berhenti mencoba, dan berujung pada learned helplessness (Steadward, Watkinson, & Wheeler, 2003) Terkait dengan internalisasi, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, gambaran mengenai internalisasi dapat diperoleh dengan memberikan stimulus yang sesuai dengan konteks pembelajaran. Pada siswa di kelas reguler, metode think aloud nampaknya memungkinkan untuk dilakukan setelah pemberian stimulus kepada siswa dilakukan. Misalnya saja memberikan soal cerita matematika yang sebelumnya telah dipelajari siswa di kelas lalu meminta ia mengerjakannya sambil memverbalisasikan langkah-langkah yang diambilnya untuk memecahkan soal tersebut. Penggunaan metode think aloud ini dapat menangkap secara utuh proses berpikir yang dialami oleh siswa hingga akhirnya ia tiba pada suatu jawaban (Rieber & Robinson, 2004). Sementara itu, siswa dengan disabilitas intelektual memiliki hambatan pada mediasi verbal sehingga penggunaan think aloud setelah pemberian stimulus akan cenderung menghasilkan data yang kurang bermakna. Oleh karena itu, pada penelitian ini, gambaran internalisasi diperoleh dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa atau meminta mereka melakukan gerakan-gerakan tertentu yang telah dipelajarinya. KESIMPULAN Pada penelitian ini, diperoleh hasil bahwa pembelajaran anak dengan disabilitas intelektual di Sekolah Luar Biasa (SLB) C memiliki kecocokan dengan teori sosiokultural milik Vygotsky. Hal ini terlihat dari gambaran pemberian scaffolding yang dilakukan oleh guru, internalisasi yang terjadi pada siswa, serta penggunaan technical tools oleh guru. Pada proses pemberian scaffolding yang dilakukan oleh guru di dalam kelas ditemukan hasil bahwa semakin meningkatnya kelas, kontrol pada tingkat tinggi semakin berkurang dan kontrol pada tingkat rendah semakin bertambah. Guru memberikan scaffolding dengan tingkat kontrol tertinggi (TDc 4 hingga TDc 5) pada siswa yang berada di Kelas Awal. Pemahaman siswa pada kelas ini dapat terbilang sangat rendah sehingga mereka benarbenar bergantung pada bantuan yang diberikan oleh guru. Scaffolding yang digunakan guru Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
kepada mayoritas siswa umumnya bersifat non verbal. Hal ini disebabkan keterbatasan siswa dalam kemampuan bahasa, baik reseptif maupun ekspresif. Guru lebih banyak menggunakan scaffolding berjenis modeling untuk memberikan contoh atau memeragakan gerakan tertentu yang belum dikuasai oleh siswa. Selanjutnya, pada Kelas Menengah dan Atas, kontrol yang diberikan guru memiliki rentang yang cukup besar, dimulai dari tingkat kontrol dua (TDc 2) hingga lima (TDc 5). Meskipun demikian, pada Kelas Atas, guru umumnya lebih banyak menggunakan kontrol dengan tingkatan rendah bila dibandingkan dengan Kelas Menengah, terlebih Kelas Awal. Guru dapat memberikan pertanyaan pemicu yang sifatnya terbuka ataupun petunjuk-petunjuk kata untuk memancing respons siswa. Sifat scaffolding yang diberikan guru pada Kelas Menengah dan Atas sedikit berbeda. Pada kelas Menengah, scaffolding yang diberikan merupakan gabungan verbal dan non verbal. Sementara itu, Kelas Atas cenderung diwarnai oleh scaffolding yang bersifat verbal. Jenis scaffolding yang paling banyak digunakan pada kedua kelas ini, antara lain hints dan explaining. Scaffolding yang diberikan guru pada ketiga kelas ini umumnya telah memenuhi prinsip kontingensi dari pemberian sebuah scaffolding. Variasi tingkat kontrol terjadi pada aktivitas olahraga yang dilakukan bersama. Hal ini mungkin disebabkan oleh beragamnya kemampuan dan pemahaman anak yang terlibat. Jenis scaffolding yang diberikan guru paling banyak dalam aktivitas ini adalah modeling, guru terlebih dahulu mencontohkan gerakan dan siswa diminta mengimitasinya. Akan tetapi, dibandingkan ketiga kelas yang telah disebutkan, pemberian scaffolding pada aktivitas ini cenderung tidak memenuhi prinsip kontingensi. Keterbatasan tenaga pengajar untuk menangani jumlah anak yang cukup banyak nampaknya menjadi salah satu penyebabnya. Selanjutnya, proses internalisasi terjadi secara berbeda-beda pada setiap siswa dari kelas yang berbeda. Pada proses intermental, penyampaian informasi oleh guru dilakukan dengan cara yang berbeda-beda meskipun pada keseluruh kelas guru melakukan pengulangan materi. Pada siswa Kelas Awal, guru lebih banyak menyampaikan informasi melalui interaksi non verbal, misalnya saja berupa gerakan. Sementara itu, pada siswa Kelas Menengah dan Atas, guru lebih banyak berinteraksi secara verbal dengan lebih banyak interaksi verbal pada Kelas Atas. Pengulangan paling banyak dilakukan di Kelas Awal dan Menengah. Sementara itu, berkaitan dengan proses intramental, pada ketiga kelas, siswa umumnya dapat mengingat lebih dari separuh materi pelajaran yang diberikan guru di kelas. Gambaran mengenai proses internalisasi didapatkan dengan memberikan stimulus yang sesuai dengan konteks dilakukannya transfer informasi. Misalnya saja, pada Kelas Menengah yang menggunakan gabungan antara interaksi verbal dan non verbal, gambaran internalisasi diperoleh dengan Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
memberikan pertanyaan mengenai materi yang dipelajari di kelas, ataupun meminta siswa memeragakan gerakan tertentu. Selanjutnya, guru pada ketiga kelas mampu melakukan manipulasi dari tools yang ia sesuaikan dengan kemampuan dan pemahaman dari masing-masing siswa. Pada Kelas Awal, guru menggunakan tools dengan jumlah terbanyak dibandingkan dengan Kelas Menengah dan Atas. Setiap siswa umumnya menggunakan tools yang berbeda dengan siswa lain. Pada Kelas Menengah dan Atas, guru menggunakan tools yang sama secara berbeda untuk memfasilitasi siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda. Selain itu, mengingat keterbatasan kemampuan bahasa pada siswa, proses pemberian tools pada siswa tidak hanya dilakukan dengan menggunakan instruksi verbal tapi juga non-verbal. SARAN Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran pemberian scaffolding yang dilakukan guru untuk membantu siswa SLB C. Sebagaimana telah dipaparkan, sebagian dari scaffolding yang diberikan guru bersifat non verbal. Penelitian selanjutnya dapat melakukan pengembangan instrumen sehingga dapat dipakai pula untuk menganalisa interaksi siswa dan guru yang bersifat non verbal dengan lebih terfokus dan terencana. Penelitian juga dapat dilakukan terhadap efek dari pemberian scaffolding tertentu pada prestasi atau keterlibatan siswa di kelas atau mengenai korelasi antara jumlah technical tools dan pemahaman siswa SLB dalam memahami sebuah konsep. Selanjutnya, guna meningkatkan potensi pemelajar, guru dapat mempertahankan kontingensi dalam pemberian scaffolding pada siswa sesuai dengan pemahaman yang dimiliki setiap siswa. Pada pelajaran olahraga, beberapa guru lain atau orang tua siswa mungkin dapat dilibatkan dan menjadi sukarelawan untuk membantu anak menguasai gerakan senam. Dua guru nampaknya belum cukup untuk menangani belasan siswa dengan kemampuan yang berbeda-beda. Berkaitan dengan technical tools, guru pada sekolah SLB dapat menggunakan berbagai benda konkret di sekeliling anak-anak. Anak dengan disabilitas intelektual mampu memahami sebuah konsep dan keterampilan dengan lebih baik ketika pengetahuan yang mereka pelajari berbentuk konkret dan telah mereka alami. Hal ini juga mendorong guru untuk mampu memodifikasi benda-benda yang berada di sekelilingnya untuk digunakan sebagai alat belajar. Kreativitas guru dibutuhkan untuk melakukan hal ini. DAFTAR PUSTAKA American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (2002). Intellectual disability: definition, classification, and systems of supports. Washington, DC: AAIDD. Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014
Burack, J. A., Hodapp, R. M., & Zigler, E. F. (1998). Handbook of Mental Retardation and Development. UK: Cambridge University Press. Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M. (2006). Exceptional learners: introduction to special education. Boston: Allyn and Bacon. Higgins, C. & Loveless, A. (2006). Teachers learning with digital technologies: a review of research and projects. Bristol: Futurelab. http://www.slbnacimahi.net/?i=berita&id=80 diunduh pada tanggal 1 Desember 2013. http://slbncicendo.com/?page_id=2 diunduh pada tanggal 18 Mei 2014. Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V. S., Miller, S.M. (2003). Vygotsky educational theory in cultural context.Cambridge: Cambridge University Press. Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Depok: LPSP3. Mash, E. J. & Wolfe, D. A. (2010). Abnormal Child Psychology. USA: Wadsworth. Miller, P. H. (2011). Theories of developmental psychology (5th Ed.). New York: Worth Publishers. Minnesota Department. (2000). Early Childhood Indicators of Progress: Minnesota's Early Learning Standards. USA: Minnesota Department of Education. Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok: LPSP3. Reynolds, B. A., Zupanick, C. E., & Dombeck, M. (2013). Intellectual Disabilities. Texas: Gulf Bend Center. Rieber, R. W. & Robinson, D. K. (2004). The Essential Vygotsky. UK: Springer. Smith, L., Dockrell, J., & Tomlinson, P. (2005). Piaget, vygotsky, and beyond. New York: Taylor & Francis. Steadward, R., Wheeler, G. D., & Watkinson, E. J. (2003). Adapted Physical Activities. California: The University Alberta Press. Tharp, R.G. & Gallimore, R. (1988). Rousing Minds to Life. Cambridge: Cambridge University Press. Van de Pol, J., Volman, M., & Beishuizen, J. (2010). Scaffolding in teacher–student interaction: A decade of research. Educational Psychology Review, 22(3), 271-296. Van de Pol, J., Volman, M., & Beizhuizen, J. (2012). Measuring scaffolding in teacher-smallgroup interactions. Dalam R. Gillies (Ed.), Pedagogy: New Developments in the Learning Sciences. Hauppage: Nova Science Publishers. Vygotsky, L. S. (1983). The fundamentals of defectology. New York: Plenum Press. Wang, X. L., Bernas, R., & Eberhard, P. (2001). Effects of Teachers' Verbal and Non-verbal Scaffolding on Everyday Classroom Performances of Students with Down Syndrome Effets. International Journal of Early Years Education, 9(1), 71-80. Wertsch, J. V. (1985). Vygotsky and the social formation of mind. USA: The President and Fellows of Harvard College. Wood, D., Bruner, J.S. & Ross, G. (1976) The role of tutoring in problem solving, Journal of Child Psychology and Psychiatry, 17, 89-100. Universitas Indonesia
Deskripsi Pemberian..., Linda Susilowati, FPSI UI, 2014