PENERAPAN MODEL CHALLENGE BASED LEARNING TERHADAP PENALARAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR (Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas IV SD Negeri Cicabe Kecamatan Mandalajati Kota Bandung)
ARTIKEL SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh
IRA KARINA 1206482
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR KAMPUS CIBIRU UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2016
Antologi, Volume ..., Nomor ..., Juni 2016 1
PENERAPAN MODEL CHALLENGE BASED LEARNING TERHADAP PENALARAN MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR Ira Karina, Deti Rostika1, Umar2 Program Studi PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi karena kurangnya pengembangan kemampuan penalaran matematis siswa Sekolah Dasar. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa pembelajaran matematika hanya berorientasi untuk menuntaskan materi ajar yang terdapat dalam buku sumber saja. Oleh karena itu, diperlukan alternatif pembelajaran sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah satunya dengan model Challenge Based Learning. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang menggunakan model CBL dengan pembelajaran konvensional, dan perbedaan peningkatan penalaran matematis yang terjadi antara pembelajaran model CBL dengan pembelajaran konvensional. Model CBL merupakan model yang berbasis pada tantangan, penyelesaian dari tantangan tersebut bergantung pada kerjasama antara guru dengan siswa pada saat proses pembelajaran. Kemampuan penalaran matematis merupakan kegiatan berpikir dengan mengikuti aturan. Desain penelitian yang digunakan adalah desain kuasi eskperimen nonequivalent control group design. Populasi yang dipilih yaitu keseluruhan siswa SDN Cicabe tahun ajaran 2015/2016 di gugus 21 kecamatan Mandalajati, dan sampel yang dipilih adalah kelas IV-A sebagai kelas kontrol dan IV-B sebagai kelas eksperimen. Instrumen yang digunakan yaitu soal tes berbentuk pretest dan posttest. Dengan menggunakan uji one sample t-test dan uji binomial, didapatkan hasil nilai signifikansi 0,000. Sehingga berdasarkan hasil tersebut, terdapat peningkatan kemampuan penalaran matematis pada kedua kelas. Terbukti dari rata-rata skor gain pada kelas eksperimen sebesar 0,50 dan kelas kontrol 0,34. Selain itu, hasil pengujian Mann-Whitney menunjukkan nilai signifikansi 0,005, yang berarti bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model CBL dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model Challenge Based Learning dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis. Kata Kunci: Penalaran Matematis, Model Challenge Based Learning
1 2
Penulis Penanggung Jawab Penulis Penanggung Jawab
Karina, Rostika, Umar Penerapan Model Challenge Based Learning Terhadap Penalaran Matematis Siswa SD 2
CHALLENGE BASED LEARNING MODEL APPLICATION FOR ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS MATHEMATICAL REASONING Ira Karina, Deti RostikaI, Umar2 Program Studi PGSD Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Cibiru
[email protected]
ABSTRACT This research is motivated the lack of development of mathematical reasoning abilities of elementary school students. Facts that occured showed that learning mathematics is oriented to complete the teaching material contain in the book source. Therefore, required learning alternatives in an effort to overcome these problems, one of which is with Challenge Based Learning model. This study aims to see an increase in mathematical reasoning skills students use the CBL with conventional learning models, and the difference in improvement of mathematical reasoning that occurs between CBL model learning with conventional learning. CBL model is a model based on the challenge, the completion of these challenges depends on the cooperation between teachers and students during the learning process. Mathematical reasoning ability is an activity thought to follow the rules. The design study is a quasi design experimentation nonequivalent control group design. With population that is chosen is the overall school student Cicabe 2015/2016 school year in 21 districts Mandalajati cluster, and selected samples are class IV-A as a control group and IV-B as a class experiment.The instruments used are shaped test item pretest and posttest. By using the test one sample t-test and binomial test, showed the significant value of 0.000. So that based the results, there is an increased ability of mathematical reasoning in both classes. Evident from the average gain of the experimental class score of 0.50 and 0.34 grade control. Besides the Mann-Whitney test results demonstrate the significant value of 0.005, which means that there are differences in mathematical reasoning abilities increase student learning by using a model obtained Challenge Based Learning and students who received conventional learning. Thus, the model Challenge Based Learning can be used as an alternative to improve the ability of mathematical reasoning. Keywords: Mathematical reasoning, Challenge Based Learning model
Antologi, Volume ..., Nomor ..., Juni 2016 3
Terdapat berbagai tuntutan dalam melaksanakan pembelajaran matematika. Salah satunya adalah kesesuaian pembelajaran matematika dengan tujuan matematika itu sendiri. Menurut Adjie, N. & Maulana (2009, hlm. 35) salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah ‘melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi’. Sehingga berdasarkan tujuan pembelajaran matematika tersebut, telah jelas bahwa matematika tidak hanya melibatkan operasi hitung semata. Namun, matematika memiliki tujuan yang lebih dari itu sebagai mata pelajaran yang memang melibatkan persoalan di dalam kehidupan sehari-hari yang dapat mengembangkan berbagai kompetensi berpikir siswa. Salah satu kompetensi berpikir di dalam matematika yang perlu dikembangkan sedini mungkin adalah kemampuan penalaran matematis siswa. Sejalan dengan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa matematika melatih cara berpikir dan bernalar. Selain itu, di dalam NCTM (dalam Van de Walle, J. 2008, hlm. 4) menetapkan lima standar proses di dalam matematika yaitu pemecahan soal, pemahaman dan bukti, komunikasi, hubungan dan penyajian. Berdasarkan pernyataan tersebut, telah jelas bahwa kemampuan penalaran matematis memang dibutuhkan di dalam pembelajaran matematika, dan merupakan salah satu kompetensi yang memang harus dikembangkan lebih jauh dan harus dilaksanakan sedini mungkin. Karena penalaran dan matematika merupakan dua mata sisi yang saling berdampingan satu dengan yang lainnya. Penalaran merupakan salah satu fondasi matematika untuk membentuk kemampuan umum siswa dalam berargumentasi dan memberikan
alasan (reasoning) atas jawaban yang telah didapatkan siswa. Penalaran merupakan kegiatan berpikir dengan mengikuti aturan, bersumber pada rasio untuk mencapai kebenaran secara rasional. Maka sejatinya, di dalam kegiatan bernalar terdapat beberapa kemampuan penalaran yang benar menurut Garfield (dalam Karatoprak, R., dkk. 2015, hlm. 109) meliputi penalaran mengenai data, gambaran data, pengukuran statistik, ketidaktentuan, mencoba dan menghubungkan. Karena pada dasarnya kemampuan penalaran diperoleh dari kegiatan mencoba dan mencari hubungan dari beberapa data atau fakta yang didapatkan pada saat kegiatan pembelajaran. Jika dicontohkan dalam kegiatan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, kegiatan mencoba dan mencari hubungan memang relevan dengan salah satu teori belajar di dalam pembelajaran matematika. Teori belajar Bruner merupakan teori mengenai belajar penemuan. Bruner (dalam Dahar, R.W. 2011, hlm. 80) mengungkapkan bahwa secara menyeluruh belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Kemampuan penalaran matematis memiliki beberapa indikator. Namun, di dalam penelitian yang dilaksanakan, peneliti hanya mengacu pada tiga indikator kemampuan penalaran. Hal tersebut dilakukan agar penelitian yang dilaksanakan dapat terfokus dan mendapatkan hasil yang optimal. Susilawati, W. (2012, hlm. 201) mengemukakan indikator-indikator kemampuan penalaran matematis diantaranya yaitu menarik kesimpulan yang logis; memberi penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat dan hubungan/pola; serta memperkirakan jawaban dan proses solusi. Melihat kondisi pembelajaran matematika saat ini, khususnya di tingkat Sekolah Dasar (SD) menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di kelas kurang
Karina, Rostika, Umar Penerapan Model Challenge Based Learning Terhadap Penalaran Matematis Siswa SD 4 dapat mengembangkan kemampuan bernalar siswa. Pembelajaran yang dilaksanakan masih bersifat konvensional. Di dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran didominasi oleh guru. Siswa menjadi pasif dan pembelajaran yang dilaksanakan kurang dapat mengembangkan berbagai keterampilan proses di dalam matematika. Selain itu, pembelajaran matematika yang dilaksanakan cenderung berorientasi untuk menuntaskan materi ajar yang terdapat di dalam buku sumber saja. Siswa tidak terbiasa memecahkan masalah dalam matematika, mencari jawaban tanpa dapat menjelaskan secara logis jawaban yang telah dikemukakannya. Padahal, di dalam pembelajaran matematika, siswa tidak hanya dituntut untuk terampil dalam mengerjakan soal melainkan siswa juga dapat mengembangkan kemampuan bernalarnya. Berdasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan, maka diperlukan model pembelajaran yang dapat memberikan inovasi dalam melaksanakan pembelajaran matematika. Selain itu, model pembelajaran tersebut harus bisa mengembangkan kemampuan bernalar siswa. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat dipilih oleh guru untuk mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa adalah model Challenge Based Learning. Model Challenge Based Learning merupakan sebuah model mengajar baru yang menggabungkan aspek penting dalam problem based learning, project based learning dan contextual teaching learning. Model ini mulai dikembangkan oleh Johnson, dkk. pada tahun 2009. Pembelajaran dengan model Challenge Based Learning menggabungkan pengalaman guru dan siswa untuk bekerja sama belajar mengenai permasalahan dan mencari solusi nyata dengan aksi yang nyata juga. Pembelajaran dengan model Challenge Based Learning menuntut siswa agar dapat berperan sebagai peneliti dalam
menyelesaikan suatu tantangan permasalahan yang mereka hadapi secara bersama-sama. Esensi dari model pembelajaran Challenge Based Learning adalah dengan adanya pemberian tantangan untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Model Challenge Based Learning memiliki kerangka pembelajaran yang menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran dengan model Challenge Based Learning. Berikut merupakan kerangka pembelajaran model Challenge Based Learning menurut Johnson, dkk. (2009, hlm. 8), pembelajaran diawali dengan pelaksanaan big idea (ide/gagasan utama), melalui konsep luas yang memang menarik minat siswa untuk melaksanakan pembelajaran berbasis tantangan. Essential Question (pertanyaan penting), gagasan utama atas permasalahan yang diajukan berasal dari gambaran halhal yang menarik bagi siswa dan dibutuhkan bagi masyarakat. Pertanyaan penting ini sebagai proses identifikasi untuk mengetahui hal-hal apa saja yang penting untuk diketahui. The Challenge (tantangan), dari pertanyaan yang mendasar, mulai diberikanlah tantangan untuk mendapatkan jawaban yang spesifik atau solusi yang dapat dihasilkan secara nyata. Tantangan ini dapat dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan. Guiding Questions (pertanyaan pemandu): pertanyaan ini mewakili pengetahuan yang diperlukan oleh siswa untuk menemukan dengan benar tantangannya. Guiding Activities (aktivitas pemandu), Pelajaran, simulasi, game, dan tipe aktivitas lainnya yang dapat menjadi pemandu bagi siswa untuk menjawab pertanyaan pemandu dan membangun pondasi bagi mereka untuk membangun solusi yang realistik. Guiding Resources (sumber pemandu), difokuskan pada sumber yang dapat berupa media cetak dan ataupun
Antologi, Volume ..., Nomor ..., Juni 2016 5
media elektronik yang dapat mendukung aktivitas siswa untuk membangun solusi. Solutions (solusi), Setiap tantangan dinyatakan secara luas untuk mempertimbangkan berbagai solusi. Solusi yang dikemukakan harus bersifat realistik dan dapat dipertanggungjawabkan dengan argumen siswa berdasarkan fakta yang ada. Assessment (Penilaian), Penilaian yang diberikan dilihat dari hubungan solusi dengan tantangan, kesesuaian terhadap konten, kemurnian komunikasi, dapat diaplikasikan dan kemanjuran ide dan halhal umum lainnya. Proses individu dalam tim ketika membuat keputusan atas solusi yang diberikan dapat juga dimasukan sebagai salah satu poin dalam penilaian. Publishing (Publikasi), Setelah proses tantangan terjawab dengan solusi yang siswa berikan, siswa dapat mendokumentasikan dan mempublikasikan hasil diskusinya kepada khalayak umum. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quasi Experimental Design atau desain kuasi eksperimen dengan tipe Non-equivalent Control Group Design. Pemilihan metode penelitian disesuaikan dengan kondisi dan situasi di lapangan. Penggunaan desain kuasi eksperimen dapat membantu peneliti dalam menentukan kelompok kontrol di dalam penelitian, karena pada kenyataannya kelompok kontrol ini sulit didapatkan untuk pelaksanaan penelitian. Bentuk Nonequivalent Control Group Design dipilih karena kelompok kontrol dan kelompok eksperimen yang didapatkan tidak dipilih secara random. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Gugus 21, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung. Dengan sampel penelitian yang dipilih dua kelas dari kelas IV, yaitu kelas IV-A sebagai kelas kontrol dengan diberikan perlakuan pembelajaran secara konvensional, dan kelas IV-B sebagai kelas
eksperimen dengan diberikan perlakuan dengan model Challenge Based Learning. Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah soal tes yang mengukur kemampuan penalaran matematis siswa dalam bentuk uraian. Soal tersebut sebelumnya telah diuji validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda sehingga pada akhirnya didapatkan sepuluh soal tes kemampuan penalaran matematis siswa yang diberikan pada saat kegiatan pretest dan posttest. Selain soal tes, instrumen penunjang dalam penelitian yang dilaksanakan yaitu dengan adanya lembar observasi. Lembar observasi digunakan sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan, sesuai atau tidak dengan yang telah direncanakan atau sebaliknya. Serta sebagai proses evaluasi untuk dapat memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya. Teknik analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji parametrik dan uji non parametrik jika data yang digunakan tidak berdistribusi secara normal. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Data Hasil Penelitian Penelitian diawali dengan memberikan pretest kepada dua kelompok sampel yaitu pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tujuan diberikannya soal pretest yaitu untuk mengukur kemampuan penalaran matematis siswa sebelum diberikan perlakuan pembelajaran yang berbeda pada tiap kelas. Selanjutnya siswa diberikan perlakuan sebanyak sembilan kali pembelajaran. Pada kelas eksperimen, pembelajaran yang dilaksanakan yaitu dengan menggunakan model kerangka pembelajaran model Challenge Based Learning, sedangkan pada kelas kontrol pembelajaran dilakukan secara konvensional. Setelah pembelajaran selesai dilaksanakan, siswa kemudian diberikan
Karina, Rostika, Umar Penerapan Model Challenge Based Learning Terhadap Penalaran Matematis Siswa SD 6 soal posttest. Soal yang diberikan adalah sama dengan soal pretest. Tujuan dari pelaksanaan posttest yaitu untuk mengetahui sejauh mana peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa setelah diberikan perlakuan pembelajaran yang berbeda. Berikut merupakan hasil analisis data pretest dan posttest kemampuan penalaran matematis siswa. Tabel 1 Rekapitulasi Nilai Penalaran Matematis Kelas Eksperimen
Tabel 3 Rekapitulasi Indeks Skor Gain Ternormalisasi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Descriptive Statistics N Min Max Mean Gain Kelas 36 0,10 Eksperimen Gain Kelas 30 0,07 Kontrol
0,91
0,50
Std. Dev 0,22
0,74
0,34
0,16
2. Analisis Data Hasil Penelitian Sebelum dilakukan pengujian Descriptive Statistics hipotesis melalui uji perbedaan rerata, data N Min Max Mean Std. yang terkumpul seperti nilai pretest, posttest Dev Pretest 36 27,5 57,5 36,39 8,31 dan skor gain terlebih dahulu harus diuji Posttest 36 40 95 67,36 15,8 normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui data Tabel 2 yang digunakan berasal dari populasi yang Rekapitulasi Nilai Penalaran Matematis berdistribusi normal atau tidak. Kemudian Kelas Kontrol uji homogenitas dilakukan jika data yang digunakan telah berdistribusi normal. Tujuan Descriptive Statistics N Min Max Mean Std. dilakukannya uji homogenitas adalah untuk Dev melihat sampel yang digunakan berasal dari Pretest 30 27,5 57,5 35,08 8,16 populasi yang variansinya sama atau tidak. Uji normalitas yang dilakukan Posttest 30 35 87,5 56,75 13 menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk. Hal Setelah melakukan analisis data ini dikarenakan karena data yang digunakan pretest dan posttest pada kelas eksperimen lebih dari 30. Berdasarkan data hasil uji nilai pretest dengan dan kelas kontrol, langkah selanjutnya normalitas yaitu mencari gain ternormalisasi pada menggunakan taraf signifikansi 5% ( = kedua kelas. Rumus dalam menguji gain 0,05), didapatkan hasil statistik Shapiro-Wilk ternormalisasi yaitu sebagai berikut. pada kelas eksperimen 0,883, dengan df=36 − dan signifikansi 0,001. Sedangkan pada kelas = − kontrol, hasil statistik Shapiro-Wilk 0,841, dengan df=30 dan signifikansi 0,000. Nilai Hasil gain ternormalisasi ditujukan signifikansi pada kedua kelas menunjukkan untuk mengetahui peningkatan dari kurang dari 0,05 maka H ditolak, sehingga o kemampuan penalaran matematis siswa dapat ditarik kesimpulan bahwa data yang pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. didapatkan tidak berasal dari populasi yang Hasil analisis dari indeks gain dapat dillihat berdistribusi normal. pada tabel berikut. Hasil uji normalitas nilai posttest dengan menggunakan taraf signifikansi 5% ( = 0,05), didapatkan hasil statistik Shapiro-Wilk pada kelas eksperimen 0,961, dengan df=36 dan signifikansi di atas 0,05 yaitu 0,226. Sedangkan pada kelas kontrol,
Antologi, Volume ..., Nomor ..., Juni 2016 7
hasil statistik Shapiro-Wilk 0,915, dengan df=30 dan signifikansi kurang dari 0,05 yaitu 0,020. Nilai signifikansi kelas eksperimen lebih besar dari 0,05 sedangkan pada kelas kontrol, nilai signifikansi kurang dari 0,05. Karena nilai signifikansi salah satu kelas kurang dari 0,05, maka H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa data yang didapatkan tidak berasal dari populasi berdistribusi normal. Hasil uji normalitas gain ternormalisasi kelas eksperimen didapatkan hasil statistik Shapiro-Wilk pada kelas eksperimen 0,961, dengan df=36 dan signifikansi di atas 0,05 yaitu 0,223. Sedangkan pada kelas kontrol, hasil statistik Shapiro-Wilk 0,909, dengan df=30 dan signifikansi kurang dari 0,05 yaitu 0,014. Nilai signifikansi kelas eksperimen lebih besar dari 0,05 sedangkan pada kelas kontrol, nilai signifikansi kurang dari 0,05. Karena nilai signifikansi salah satu kelas kurang dari 0,05, maka H0 ditolak. Hal ini berarti bahwa data yang didapatkan tidak berasal dari populasi berdistribusi normal. Berdasarkan pemaparan analisis data nilai pretest, posttest dan skor gain tersebut, data yang didapatkan secara keseluruhan yaitu tidak berdistribusi normal. Maka pengujian yang dilakukan menggunakan uji non parametrik yaitu uji Binomial sebagai pengganti uji-t satu sampel (one sample ttest) dan uji Mann-Whitney sebagai pengganti uji-t sampel bebas (independent sample t-test). Terkecuali pada kelas eksperimen dapat digunakan uji statistika parametrik karena nilai signifikansi skor gain pada kelas eksperimen di atas 0,05. Uji parametrik yang digunakan pada kelas eksperimen yaitu uji-t satu sampel (one sample t-test). 3. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan bertujuan untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yang diajukan pada penelitian yang dilaksanakan. Uji hipotesis untuk menjawab rumusan masalah yang pertama yaitu untuk membuktikan terdapat peningkatan kemampuan penalaran
matematis siswa pada kelas eksperimen yang telah diberikan perlakuan model Challenge Based Learning. Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan data gain ternormalisasi kelas eksperimen dengan menggunakan uji-t satu sampel (one sample t-test). Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan uji-t satu sampel, diperoleh nilai signifikansi 0,000. Hasil tersebut menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 0,05, maka Ho ditolak. Sehingga dapat diartikan bahwa terdapat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model Challenge Based Learning. Uji hipotesis untuk menjawab rumusan masalah yang kedua dilakukan untuk membuktikan terdapat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas kontrol dengan diberikan perlakuan pembelajaran secara konvensional. Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan data gain ternormalisasi kelas kontrol dengan menggunakan uji statistik non parametrik Binomial, karena data gain kelas kontrol memiliki nilai signifikansi kurang dari 0,05 yang berarti bahwa data tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Berdasarkan perhitungan uji Binomial, diperoleh nilai signifikansi 0,000. Hasil tersebut menunjukkan nilai signifikansi kurang dari 0,05, maka Ho ditolak. Sehingga dapat diartikan bahwa terdapat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Uji hipotesis untuk menjawab rumusan masalah yang ketiga dilakukan untuk melihat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen dengan perlakuan model Challenge Based Learning dan kelas kontrol dengan perlakuan pembelajaran konvensional. Uji hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan data gain ternormalisasi pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji Mann Whitney.
Karina, Rostika, Umar Penerapan Model Challenge Based Learning Terhadap Penalaran Matematis Siswa SD 8 Berdasarkan perhitungan uji Mann Whitney diperoleh nilai signifikansi yaitu 0,005. Hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang didapatkan kurang dari 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Sehingga dapat ditarik benang merah dari hasil uji Mann-Whitney bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model Challenge Based Learning dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 4. Pembahasan Berdasarkan pengujian hipotesis mengenai peningkatan kemampuan penalaran matematis pada kelas eksperimen, hasil pengujian menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen yang diberikan perlakuan pada saat pembelajaran dengan menggunakan model Challenge Based Learning, kemampuan penalaran matematis siswa tersebut mengalami peningkatan. Pada saat kegiatan pembelajaran, kelas eksperimen difasilitasi untuk melaksanakan kegiatan percobaan yang dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan nalar yang dimilikinya. Sesuai dengan pendapat Adjie, N. & Maulana (2009, hlm. 35) bahwa matematika dapat melatih cara berpikir dan bernalar melalui aktivitas di dalam pembelajaran seperti penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan persamaan dan perbedaan, dan lain-lain Pengembangan penalaran matematis siswa didukung dengan Lembar Kerja Kelompok (LKK) yang disusun sesuai dengan tahapan pembelajaran pada model Challenge Based Learning. Pemberian tantangan, pertanyaan dan kegiatan pemandu pada model ini, dapat membantu siswa bernalar sesuai dengan materi yang sedang dipelajari. Kegiatan pada model Challenge Based Learning lebih banyak menekankan pada kegiatan kelompok, terbukti dari selalu terdapat LKK pada setiap kegiatan pembelajaran.
Kegiatan kelompok dilaksanakan agar siswa terbiasa bekerja sama secara berkelompok, mendidik siswa agar dapat menghargai perbedaan pendapat, mendukung siswa untuk bisa menyampaikan pendapat dan berdiskusi secara berkelompok dan membiasakan siswa bertanggung jawab atas tugas kelompok yang dikerjakannya. Kegiatan kelompok merupakan salah satu cara kerja bagi anak yang berada pada tahapan operasional konkrit sesuai dengan teori Piaget mengenai tahapan perkembangan anak. Suharto, A. (2012, hlm. 31) menyatakan bahwa salah satu cara kerja dengan anak yang berada pada tahapan operasional konkrit adalah dengan mengajak anak untuk bekerja berkelompok, dan saling bertukar pikiran. Serta berikan dorongan kepada anak untuk dapat mengotak-atik (memanipulasi) benda dan melakukan kegiatan eksperimen. Berdasarkan pembelajaran pada kelas eksperimen, peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa mengalami peningkatan. Terbukti dari hasil rata-rata skor pretest pada kelas tersebut yaitu 36,39 dan hasil rata-rata posttest meningkat menjadi 67,36. Sehingga berdasarkan hasil rata-rata tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa dengan model Challenge Based Learning mengalami peningkatan yang terlihat dari rata-rata hasil pretest dan posttest yang mengalami kenaikan yang cukup drastis dari keseluruhan sampel 36 siswa. Selain itu, peningkatan kemampuan penalaran juga dapat terlihat dari skor gain yang didapatkan di kelas eksperimen. Hasil analisis menunjukkan rata-rata skor gain yang didapatkan di kelas eksperimen yaitu 0,50 yang termasuk pada kategori sedang. Hal tersebut berarti bahwa pembelajaran dengan model Challenge Based Learning dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Berbeda dengan pembelajaran yang dilaksanakan pada kelas kontrol dengan pembelajaran secara konvensional,
Antologi, Volume ..., Nomor ..., Juni 2016 9
keaktifan siswa lebih ditekankan pada saat kegiatan tanya jawab bersama siswa. Kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh siswa bersama guru, sesuai dengan teori Piaget (dalam Dahar, R. W. 2011, hlm. 132) yang berpendapat bahwa kegiatan observasi dan penalaran keduanya saling bergantung karena kegiatan yang satu tidak akan terjadi tanpa yang lain. Sehingga kegiatan pengamatan dan diskusi kelas merupakan salah satu cara agar siswa dapat mengembangkan kemampuan bernalarnya. Pengembangan kemampuan penalaran matematis siswa difasilitasi pada saat siswa bersama guru melakukan kegiatan tanya jawab. Pada saat siswa menjawab pertanyaan, siswa harus menjawab disertai alasan dari jawaban yang diberikannya. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan pemberian latihanlatihan soal mengenai materi yang diajarkan, kemudian siswa yang berani untuk maju ke depan menyampaikan jawaban dari latihan soal yang diberikan. Berdasarkan hasil analisis rata-rata pretest pada kelas kontrol, kelas tersebut mendapatkan hasil rata-rata 35,08. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil pretest pada kelas eksperimen. Namun, pada hasil posttest di kelas kontrol hasil rata-rata yang didapatkan yaitu 56,75, berbeda cukup jauh dari hasil rata-rata posttest kelas eksperimen. Namun, perbandingan peningkatan kemampuan penalaran matematis dilihat tiap masingmasing kelas. Sehingga jika melihat hasil rata-rata pretest dan posttest pada kelas kontrol, kelas tersebut mengalami peningkatan kemampuan penalaran matematis. Selain itu, hasil skor gain pada kelas kontrol yaitu 0,34 yang termasuk ke dalam kategori sedang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa di kelas kontrol mengalami peningkatan dilihat dari peningkatan rata-rata pretest dan posttest dan skor gain. Perbedaan kemampuan penalaran matematis siswa pada kelas eksperimen dan
kelas kontrol disebabkan karena perbedaan pemberian perlakuan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Berdasarkan pemberian perlakuan yang berbeda tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi penalaran matematis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Salah satunya yaitu aktivitas pembelajaran pada saat pembelajaran berlangsung. Pada kelas eksperimen, terdapat aktivitas di tahapan model Challenge Based Learning yang memfasilitasi siswa untuk belajar aktif dan menyenangkan. Pembelajaran aktif teroptimalisasi saat siswa melakukan percobaan ataupun penemuan secara berkelompok. Hal ini sejalan dengan teori Bruner (dalam Dahar, R. W. 2011, hlm. 79) yang menganggap bahwa dengan belajar penemuan secara aktif sesuai dengan pencarian pengetahuan oleh manusia, memberikan hasil pembelajaran yang paling baik. Siswa difokuskan untuk melakukan kegiatan bekerja secara kelompok dengan bimbingan yang diberikan pada LKK, yang didalamnya terdapat pertanyaan serta aktivitas pemandu. Contoh dari aktivitas pemandu misalnya pembuatan rangka kubus, untuk membuktikan banyaknya rusuk yang dimiliki oleh kubus. Berdasarkan salah satu contoh aktivitas pemandu yaitu membuat rangka kubus, siswa difasilitasi untuk bernalar dan mencari manfaat dari dilakukannya pembuatan rangka kubus. Sehingga dari hasil aktivitas yang dilakukan, siswa dapat menarik kesimpulan dan menjawab tantangan yang telah diberikan oleh guru. Selain itu, pada model Challenge Based Learning, siswa tidak terpaku hanya pada buku sumber yang ada saja. Siswa dapat mencari sumber lain atas materi yang dibelajarkan pada saat kegiatan pembelajaran tersebut. Sedangkan pada kelas kontrol, siswa hanya melakukan kegiatan mengamati dan bertanya jawab terhadap media yang diberikan guru. Sehingga, aktivitas pembelajaran yang
Karina, Rostika, Umar Penerapan Model Challenge Based Learning Terhadap Penalaran Matematis Siswa SD 10 berlangsung kurang menuntut siswa untuk aktif di kelas. Selain itu, pada kelas eksperimen pembelajaran dengan model Challenge Based Learning memiliki tahapan pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuan penalarannya. Terlihat dari tahapan pemberian essential question yang dapat terjawab jika siswa telah melakukan aktivitas pemandu yang didukung dengan pertanyaan dan sumber pemandu. Dengan demikian, siswa mendapatkan jawaban pertanyaan mendasar tersebut dari proses bernalar siswa setelah melaksanakan aktivitas-aktivitas pemandu. Sedangkan pada kelas kontrol, siswa tidak difasilitasi dengan kegiatan-kegiatan tersebut. Pengembangan kemampuan penalaran siswa dilakukan pada saat kegiatan diskusi secara klasikal. Kegiatan pembelajaran di kelas eksperimen terdapat tahapan pemberian solusi atau aksi, yang dikemas pada penelitian ini dengan cara memberikan kesimpulan atas kegiatan pemandu yang telah dilaksanakan. Kegiatan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kemampuan bernalar siswa setelah melewati tahap demi tahap pembelajaran dengan model Challenge Based Learning. Pemberian kesimpulan didapatkan dari hasil diskusi siswa bersama kelompok kerjanya. Dengan demikian, guru dapat melihat kelompok mana saja yang bekerja sama secara baik sehingga dapat memberikan kesimpulan yang sesuai dengan pertanyaan mendasar yang diberikan oleh guru. Sedangkan pada kelas kontrol, proses penarikan kesimpulan dilakukan pada tahap akhir pembelajaran secara klasikal. Guru melakukan tanya jawab dan siswa menarik kesimpulan atas pertanyaan yang diberikan guru. Selanjutnya, pembelajaran diakhiri dengan kegiatan evaluasi yang sama pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Evaluasi dilaksanakan agar guru dapat melihat sejauh mana
perkembangan penalaran matematis siswa pada kedua kelas yang berbeda. Berdasarkan analisis hasil skor pretest yang kemudian dilakukan pengujian uji gain dengan hasil posttest, hasil rata-rata uji gain pada kelas eksperimen berbeda jauh dengan hasil uji gain pada kelas kontrol. Uji gain dilakukan untuk melihat sejauh mana peningkatan kemampuan penalaran matematis pada kedua kelas yang berbeda. Di kelas eksperimen, rata-rata skor gain yang didapatkan siswa yaitu 0,50, berbeda dengan kelas kontrol yang mendapatkan skor gain 0,34. Perbedaan skor gain kedua kelas cukup signifikan meskipun kedua kelas tersebut mendapatkan kriteria hasil skor gain sedang. Dan setelah dilakukan uji non parametrik dengan uji Mann-Whitney kesimpulan yang dapat diambil karena Ho ditolak yaitu terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model Challenge Based Learning dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Perlakuan dengan menggunakan model challenge based learning terbukti memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pembelajaran secara konvensional. Hal ini terbukti juga dalam penelitian Windrianti, M. G. (2013) yang berjudul “Penerapan challenge based learning (CBL) dengan pendekatan keterampilan metakognisi terhadap hasil belajar matematika pada materi persegi kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga”. (Jurnal). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hasil yang didapatkan yaitu terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang belajar menggunakan penerapan CBL dengan pendekatan keterampilan metakognisi dengan pembelajaran konvensional. Siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model CBL memiliki hasil belajar yang lebih baik. Pemberian perlakuan yang berbeda terbukti dapat mengembangkan hasil
Antologi, Volume ..., Nomor ..., Juni 2016 11
kemampuan penalaran yang berbeda juga, terlihat dari hasil rata-rata pretest dan posttest masing-masing kelas serta rata-rata skor gain yang didapatkan. Sejalan dengan hal tersebut, terdapat beberapa penelitian yang relevan mengenai penggunaan Challenge Based Learning diantaranya adalah penelitian kuasi eksperimen Haqq, A. A. (2013) yang berjudul “Penerapan challenge based learning dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematis siswa SMA”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan CBL lebih baik secara signifikan dari pada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Serta secara keseluruhan sikap siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan CBL menunjukkan sikap yang positif. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya terhadap penggunaan model Challenge Based Learning, kemampuan yang diteliti mengalami peningkatan yang signifikan. Namun tidak dipungkiri bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional juga mengalami peningkatan kemampuan penalaran matematis meskipun peningkatan tersebut tidak lebih baik dari pembelajaran pada kelas eksperimen. Adanya peningkatan penalaran matematis tersebut, tidak lepas dari usaha siswa untuk terus belajar terhadap setiap materi pembelajaran matematika. SIMPULAN Berdasarkan temuan penelitian, hasil analisis dan pembahasan, dapat ditarik beberapa simpulan yaitu sebagai berikut. 1. Terdapat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang menggunakan pembelajaran dengan model Challenge Based Learning. Terlihat dari rata-rata skor gain yang didapatkan yaitu 0,50 yang termasuk dalam klasifikasi sedang. Peningkatan
yang terjadi pada kelas eksperimen terbukti dengan dilakukannya uji-t satu sampel dengan nilai signifikansi yang kurang dari 0,05 yaitu 0,000. 2. Terdapat peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Terlihat dari rata-rata skor gain yang didapatkan yaitu 0,34 yang termasuk dalam klasifikasi sedang. Peningkatan yang terjadi pada kelas kontrol terbukti dengan dilakukannya uji Binomial dengan nilai signifikansi yang kurang dari 0,05 yaitu 0,000. 3. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa antara siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model Challenge Based Learning dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hal tersebut terbukti dari perbedaan hasil rata-rata skor gain pada kedua kelas. Kelas eksperimen memiliki rata-rata skor gain 0,50 yang termasuk dalam klasifikasi sedang, dan rata-rata skor gain pada kelas kontrol 0,34 termasuk ke dalam klasifikasi sedang. Terlihat dari hasil rata-rata skor gain, terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis pada kedua kelas tersebut. Kelas eksperimen mengalami peningkatan kemampuan penalaran matematis yang lebih baik daripada kelas kontrol. Hal ini terbukti dari hasil uji Mann Whitney dengan signifikansi yang kurang dari 0,05 yaitu 0,005 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. REFERENSI Adjie, N., & Maulana (2009). Pemecahan masalah matematika. Bandung: UPI PRESS.
Karina, Rostika, Umar Penerapan Model Challenge Based Learning Terhadap Penalaran Matematis Siswa SD 12 Dahar, R. W. (2011). Teori-teori belajar dan pembelajaran. Jakarta: Erlangga Haqq, A. A. (2013). Penerapan challenge based learning dalam upaya meningkatkan kemampuan pemahaman konsep dan penalaran matematis siswa SMA. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Johnson, dkk. (2009). Challenge-based learning: An approach for our time. Texas: The New Media Consortium. Karatoprak, R., Karagöz, G., & Börkan, B. (2015) Prospective elementary and secondary school mathematics teachers’ statistical reasoning. International Electronic Journal of Elementary Education, 7(2), hlm. 107-124
Suharto, A. (2012). Memahami teori psikologi kognitif Piaget hubungannya dengan perkembangan anak dalam belajar. Jurnal edukasi, 7(1), hlm. 19-38 Susilawati, W. (2012). Belajar & pembelajaran matematika. Bandung: Insan Mandiri Van de Walle, J. (2008). Matematika sekolah dasar dan menengah edisi keenam. Jakarta: Erlangga Windrianti, M. G. (2013). Penerapan challenge based learning (CBL) dengan pendekatan keterampilan metakognisi terhadap hasil belajar matematika pada materi persegi kelas VII SMP Kristen 2 Salatiga. (Jurnal). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.