PENERAPAN METODE MATERIAL REQUIREMENT PLANNING PADA INDUSTRI KECIL TENUN TENGKU AGUNG PEKANBARU
OLEH NURUL AULIA H24061841
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN Nurul Aulia. H24061841. Penerapan Metode Material Requirement Planning Pada Industri Kecil Tenun Tengku Agung Pekanbaru. Di bawah bimbingan Pramono D. Fewidarto. Proses produksi yang lancar dan tercapainya efisiensi produksi merupakan salah satu indikator kinerja sistem manajemen produksi yang berjalan dengan baik. Kelancaran proses produksi akan menjamin tersedianya produk untuk diantarkan kepada konsumen secara tepat waktu. Ketepatan waktu ini akan mendorong timbulnya loyalitas konsumen sehingga dapat meningkatkan daya saing perusahaan terhadap pesaingnya. Proses bisnis yang dijalankan oleh industri kecil menengah seringkali tidak didasari pada perencanaan yang baik. Salah satu indikasi tidak adanya perencanaan yang baik adalah sering terjadinya penundaan proses produksi karena bahan baku dan sumber daya lainnya belum tersedia ketika produksi akan dilakukan. Selain itu industri kecil menengah juga sering kewalahan memenuhi permintaan konsumen dikarenakan sumber daya yang tidak cukup. Akibatnya pelaku usaha sering menolak pesanan konsumen dengan dalih tidak mampu memenuhi atau terlambat memenuhi pesanan yang sudah diberikan. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari sistem produksi dan sistem pengadaan bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan, (2) menyusun MPS, BOM dan Inventory Record sebagai input penyusunan MRP, dan (3) menyusun sistem pengadaan bahan baku dengan MRP serta menyusun proyeksi biaya total bahan baku. Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berberasal dari wawancara secara mendalam dan observasi langsung, yaitu berupa data pemesanan oleh konsumen selama 52 periode (Januari 2006 hingga April 2010), dan data berkaitan proses produksi tenun songket. Data sekunder berupa sejarah berdirinya kegiatan usaha dan keterangan bisnin lainnya didapatkan melalui studi literatur elektronik serta data dari perusahaan sendiri, khususnya dari bagian produksi. Penyusunan MPS (Master Production Schedule) sebagai salah satu komponen MRP menggunakan teknik peramalan Linear Trend Analysis, Quadratic Trend Analysis, Moving Average, Single Exponential Smoothing, dan Double Exponential Smoothing. Teknik peramalan yang dipilih adalah yang memiliki nilai MAD terkecil. Penyusunan MPS berdasarkan hasil peramalan harus disesuaikan dengan kapasitas produksi optimum perusahaan setiap bulan karena terdapat sejumlah pesanan dari periode sebelumnya yang belum terpenuhi (carry over). Kapasitas produksi optimum untuk produk sarung bapak adalah 1 unit, untuk sarung ibu adalah 1 unit, untuk selendang 1 unit, dan untuk bahan blazer sebanyak 16 unit. Hasil peramalan menunjukkan permintaan akan produk bahan blazer yang masih tetap tinggi hingga akhir tahun 2010 yaitu sebanyak 34 unit. Permintaan untuk produk yang lain cenderung stabil seperti tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil proses MRP dengan tiga macam teknik lot sizing, teknik lot for lot efektif digunakan untuk merencanakan kebutuhan benang emas. Teknik EOQ cocok untuk diterpakan pada komponen benang katun dan benang bordir.
PENERAPAN METODE MATERIAL REQUIREMENT PLANNING PADA INDUSTRI KECIL TENUN TENGKU AGUNG PEKANBARU
SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI Pada Departemen Manejemen Fakultas Ekonomi dan Manejemen Institut Pertanian Bogor
Oleh NURUL AULIA H24061841
DEPARTEMEN MANEJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN MANEJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Sripsi : Penerapan Metode Material Requirement Planning pada Industri Kecil Tenun Tengku Agung Pekanbaru Nama
: Nurul Aulia
NIM
: H2406184
Menyetujui, Dosen Pembimbing
(Ir. Pramono D. Fewidarto, MS) NIP. 1958 0202 1984 03 1003
Mengetahui, Ketua Departemen
(Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc) NIP. 1961 0123 1986 01 1002
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bireuen pada 2 Mei 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Yuli Azhar (alm.) dan Zultini. Penulis memulai pendidikan di TK Raudhatul Ilmi Bireuen pada tahun 1996, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 5 Bireuen pada tahun 1994. Pendidikan selanjutnya ditempuh penulis di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Lhokseumawe pada tahun 2000, dan pada tahun 2003 melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Lhokseumawe. Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Tingkat Persiapan Bersama dan diterima di Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2007. Selama menjalani perkuliahan, penulis berpartisipasi aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, yaitu OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong pada periode 2006-2008 sebagai staf Informasi dan Komunikasi. Penulis juga aktif di Dewan Kerohanian Mahasiswa Al Hurriyah pada periode 2007-2008 sebagai staf dan bendahara Divisi Dewan Pembinaan Umat.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kekhadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Skripsi berjudul Penerapan Metode Material Requirement Planning Pada Industri Kecil Tenun Tengku Agung Pekanbaru dan bertujuan untuk mempelajari penerapan metode MRP pada UKM yang bermanfaat dalam membantu perencanaan bisnis yang lebih baik. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun sangat diperlukan untuk kemajuan yang lebih baik. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan bernilai ibadah dalam pandangan Allah swt. Amin.
Bogor, Agustus 2010.
Penulis
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama penyusunan skripsi ini penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak baik secara moriil maupun materiil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Ir. Pramono D. Fewidarto, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, motivasi, serta pengarahan pada penulis.
2.
Bapak Drs. Edward H. Siregar, SE, MM dan Bapak R. Dikky Indrawan, STP, MM atas kesediaannya meluangkan waktu sebagai dosen penguji, serta segala bentuk
saran,
kritik
serta
masukan
yang
sangat
berharga
dalam
penyempurnaan skripsi ini. 3.
Bapak Saiful yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melaksanakan penelitian di Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru, dan telah banyak meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam mengumpulkan data.
4.
Seluruh dosen Departemen Manejemen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan yang berguna bagi penulis, KTU Departemen Manajemen beserta staf atas semua bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi.
5.
Ibunda Zultini, Ayahanda Yuli Azhar, Annisa Maulani dan Puteri Hidayati atas curahan kasih sayang serta motivasi sehingga penulis dapat merampungkan tugas skripsi hingga selesai.
6.
Uncu Zulfiarni atas segala bantuan dan motivasi dari awal penelitian hingga penulis dapat merampungkan tugas skripsi hingga selesai.
7.
Sahabat-sahabatku: Ima, Heni, Nenny, Yani, Iis, Santi, Windry, Irma dan Alin atas kebersamaan dan dukungan yang diberikan kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan hingga penyelesaian tugas akhir.
8.
Teman-teman seperjuangan Gilang, Helga, Isti, Bambang, Ilham dan Holil atas dukungan dan motivasi dalam kebersamaan mengerjakan tugas akhir.
9.
Teman-teman Manajemen Angkatan 43 atas dukungan dan persahabatan yang diberikan kepada penulis selama ini.
10. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
v
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ v DAFTAR ISI .................................................................................................. vii DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 1.3. Tujuan ............................................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................
1 3 3 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 5 2.1. Definisi Industri Kecil ....................................................................... 2.2. Definisi Material Requirement Planning .......................................... 2.2. Komponen Dasar MRP ..................................................................... 2.3. Proses Penerapan MRP ..................................................................... 2.4. Model-model Penentuan Penentuan Ukuran Lot (Lot Sizing) .......... 2.5. Peramalan Penjualan ......................................................................... 2.6. Pemrograman Linier ......................................................................... 2.7. Total Biaya Persediaan Bahan Baku ................................................. 2.8. Penelitian Terdahulu .........................................................................
5 6 9 13 16 19 23 26 26
III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 28 3.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 3.2. Tahapan Penelitian ............................................................................ 3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 3.4. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 3.5. Pengolahan dan Analisis Data .......................................................... 3.5.1. Peramalan Penjualan ............................................................... 3.5.2. Lot Sizing ................................................................................ 3.5.3. Analisis Biaya Bahan Baku ....................................................
28 29 32 32 32 32 32 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 33 4.1. Profil Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru ................................... 33 4.1.1. Sejarah Berdiri ........................................................................ 33
vi
4.1.2. Visi dan Misi ............................................................................ 4.1.3. Maksud dan Tujuan ................................................................. 4.1.4. Gambaran Umum Kegiatan Usaha ......................................... 4.2. Bahan Baku Produk .......................................................................... 4.3. Komponen MRP ............................................................................... 4.3.1. Bill of Material ........................................................................ 4.3.2. Peramalan Penjualan ............................................................... 4.3.3. Kapasitas Produksi Optimum ................................................. 4.3.4. Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule) .......... 4.3.5. Catatan Persediaan (On Hand Inventory) ............................... 4.4. Material Requirement Planning ........................................................ 4.4.1. Biaya Setup dan Biaya Penyimpanan ..................................... 4.4.2. Material Requirement Planning dengan Metode Lot for Lot . 4.4.3. Material Requirement Planning dengan Metode EOQ .......... 4.4.4. Material Requirement Planning dengan Metode PPB ............ 4.5. Biaya Total Bahan Baku ................................................................... 4.6. Implikasi Manajerial .........................................................................
34 34 35 38 39 39 42 47 50 51 52 52 53 54 55 56 57
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 60 1. Kesimpulan .......................................................................................... 60 2. Saran .................................................................................................... 61 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62
vii
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Contoh Jadwal Produksi Induk ............................................................ 2. Tampilan Horizontal MRP ................................................................... 3. Lama Proses Produksi setiap Produk ................................................... 4. Jenis Bahan Baku Setiap Produk ......................................................... 5. Kebutuhan Bahan Baku ....................................................................... 6. Lead Time Komponen pada Level 2 ..................................................... 7. Lama Proses Pengubahan Gulungan pada Level 1 ............................... 8. Lead Time Komponen pada Level 1 ..................................................... 9. Hasil Peramalan untuk Setiap Produk .................................................. 10. Keuntungan Per Unit untuk Setiap Produk ........................................ 11. Kapasitas Produksi Maksimum setiap Produk per Bulan .................. 12. Jadwal Produksi Induk (MPS) ........................................................... 13. On Hand Inventory per 30 April 2010 ............................................... 14. Biaya Penyimpanan dan Setup ........................................................... 15. Perbandingan Frekuensi Pemesanan dan Persediaan yang Timbul setiap Teknik Lot Sizing .................................................. 16. Perbandingan Biaya Ketiga Teknik Lot Sizing (dalam Ribu Rupiah) ....................................................................
viii
11 15 37 38 40 40 41 42 47 48 49 51 51 54 56 57
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Sistem MRP (Herjanto, 2003) .............................................................. 2. Proses Penjadwalan Produksi Induk (Gaspersz, 2005) ........................ 3. Contoh Struktur Produk (Haming dan Nurnajamuddin, 2007) ............ 4. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 5. Alur Tahapan Penelitian ....................................................................... 6. Bill of Material dari Empat Jenis Produk Tenun ................................. 7. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Sarung Bapak .................. 8. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Sarung Ibu ....................... 9. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Selendang ........................ 10. Plot Data Quadratic Trend Analysis untuk Bahan Blazer .................
ix
9 10 12 30 31 43 45 46 46 47
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Kebutuhan dan Analisis Data ............................................................... 2. Analisis Autokorelasi ........................................................................... 3. Parameter Kesalahan Tiap Metode Peramalan .................................... 4. Penghitungan unit EOQ dan EPP ........................................................ 5. Perhitungan Penggabungan EPP .......................................................... 6. Perhitungan Biaya Bahan Baku ........................................................... 7. Output LINGO 12.0 ............................................................................. 8. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing Lot for Lot ............................. 9. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing EOQ ...................................... 10. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing PPB ......................................
x
64 65 70 71 72 73 74 75 83 91
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Proses produksi yang lancar dan tercapainya efisiensi produksi merupakan salah satu indikator kinerja sistem manajemen produksi yang berjalan dengan baik. Kelancaran proses produksi akan menjamin tersedianya produk untuk diantarkan kepada konsumen secara tepat waktu. Ketepatan waktu ini akan mendorong timbulnya loyalitas konsumen sehingga dapat meningkatkan daya saing perusahaan terhadap pesaingnya. Proses bisnis yang dijalankan oleh industri kecil menengah seringkali tidak didasari pada perencanaan yang baik. Salah satu indikasinya adalah sering terjadinya penundaan proses produksi karena bahan baku dan sumber daya lainnya belum tersedia ketika produksi akan dilakukan. Selain itu industri kecil menengah juga sering kewalahan memenuhi permintaan konsumen dikarenakan sumber daya yang tidak cukup. Akibatnya pelaku usaha sering menolak pesanan konsumen dengan dalih tidak mampu memenuhi atau khawatir terlambat memenuhi pesanan yang sudah diberikan. Kekurangan ini tentunya menyebabkan banyak pelanggan yang merasa tidak puas dengan layanan yang diberikan sehingga menurunkan tingkat kepercayaan mereka terhadap pelaku bisnis di industri kecil menengah ini. Begitu pula yang terjadi pada industri kecil tenun yang dijalankan oleh Dekranasda Kota Pekanbaru ini. Proses produksi hanya dilakukan berdasarkan pesanan konsumen dengan tidak mempertimbangkan kapasitas produksi optimum yang dimiliki perusahaan. Akibatnya seringkali konsumen harus menunggu dalam waktu yang sangat lama hingga pesanannya terpenuhi dikarenakan Dekranasda selalu menerima semua pesanan yang masuk tanpa memperhatikan kapasitas yang mampu dicapai. Selain itu proses pengadaan bahan baku yang dilakukan tidak berdasarkan pada perhitungan apapun. Pada musim tingkat permintaan sedang Dekranasda biasanya memesan bahan baku dalam jumlah besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan produksi hingga beberapa periode
2
mendatang. Jika tingkat pemesanan lebih tinggi dari permintaan biasa maka bahan baku yang dipesan akan berjumlah lebih besar pula. Cara ini dipandang perusahaan telah efektif karena tidak pernah terjadi hambatan produksi yang berarti. Namun seringkali karena tidak didasarkan pada perhitungan yang tepat, terjadi kelebihan persediaan bahan baku yang berpotensi menimbulkan tambahan biaya. Kekurangan lainnya adalah pemesanan bahan baku dilakukan setelah pesanan diterima. Akibatnya pelanggan harus menunggu lebih lama hingga pesanannya selesai dipenuhi. Kendala-kendala tersebut, terutama yang terkait dengan bahan baku, dapat diatasi salah satunya dengan melakukan perencanaan produksi yang baik melalui Material Requirement Planning (MRP). Penerapan MRP dapat memberikan informasi kepada perusahaan mengenai produksi optimum yang mampu dicapai sehingga sesuai dengan sumber daya yang dimiliki. Penerapan MRP juga dapat mendorong proses produksi yang lebih terencana dan tercapainya efisiensi biaya karena sumber daya bahan baku didatangkan sesuai dengan kebutuhan dan memperkecil kemungkinan timbulnya persediaan. Salah satu tujuan utama MRP adalah mendorong proses produksi yang lancar dan tepat waktu. Perusahaan yang tidak mampu mencapainya akan kehilangan kepercayaan dari konsumen karena terlambat melakukan proses produksi sehingga terlambat memenuhi pesanan. Selain itu perusahaan yang tidak menerapkan MRP tidak memiliki pedoman mengenai target dan rencana produksinya. Akibatnya perusahaan tidak dapat mengetahui apakah kinerja yang telah dicapai telah mampu memenuhi rencana dan target-target produksi. Penerapan MRP sangat bermanfaat untuk merencanakan kebutuhan material yang bersifat dependent atau berhubungan dengan material yang lain, seperti kebanyakan produk yang dihasilkan oleh industri kecil menengah. Sistem MRP mengendalikan agar komponen yang diperlukan untuk proses produksi dapat tersedia tepat ketika proses produksi akan dilakukan. Proses produksi yang lancar merupakan salah satu indikasi
3
kinerja perusahaan yang baik, karena akan mampu memenuhi kebutuhan konsumen tepat pada waktunya. Melalui kelancaran proses produksi, industri juga dapat meraih efisiensi yang dapat memberikan tambahan keuntungan. Jika perusahaan dapat melakukan efisiensi pada proses produksi, dan jika harga jual tetap dipertahankan, maka perusahaan akan mendapat kenaikan laba sebesar nilai efisiensi tersebut. Dan jika perusahaan juga dapat melakukan efisiensi pada pengadaan bahan baku, maka tambahan kenaikan laba yang diperoleh perusahaan bisa lebih besar lagi. Sistem MRP dapat digunakan untuk mengetahui jumlah bahan baku yang akan dipesan sesuai dengan kebutuhan untuk produksi dengan memperhitungkan juga biaya-biaya yang akan timbul akibat dari persediaan. MRP adalah suatu konsep dalam manajemen produksi yang membahas cara yang tepat dalam perencanaan kebutuhan barang dalam proses produksi, sehingga barang yang dibutuhkan dapat tersedia sesuai dengan yang direncanakan. Salah satu tujuan utama kegiatan bisnis perusahaan adalah untuk memuaskan kebutuhan konsumen. Karena itu, sistem MRP merupakan serangkaian mekanisme pengendalian yang sangat bermanfaat untuk menjamin ketersediaan bahan baku dengan jumlah dan waktu yang tepat, sehingga akan mendukung kelancaran dan ketepatan proses dan waktu produksi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aplikasi MRP pada usaha kecil tenun Tengku Agung Pekanbaru dalam rangka menghasilkan kombinasi pengadaan bahan baku yang optimum. 1.3. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi sistem produksi dan sistem pengadaan bahan baku yang dilakukan oleh indusri kecil tenun Tengku Agung Pekanbaru.
4
2.
Mengidentifikasi dan menyusun Bill of Material dan Master Production Schedule sebagai input penyusunan MRP.
3.
Menyusun MRP menggunakan berbagai teknik lot sizing dan membandingkan hasilnya sehingga diperoleh kombinasi pengadaan bahan baku yang optimum.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Bagi peneliti. Menambah pengetahuan di bidang manajemen pengadaan bahan baku serta dapat mengaplikasikan ilmu yang dipelajari di perguruan tinggi untuk memecahkan permasalahan di dunia nyata.
2.
Bagi perusahaan. Mendapatkan saran untuk manajemen persediaan bahan baku yang optimum untuk kinerja perusahaan yang lebih baik.
3.
Bagi pihak lain. Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini memiliki pembatasan-pembatasan sebagai berikut: 1.
Data yang digunakan adalah data pesanan konsumen yang tercatat oleh perusahaan, yaitu Januari 2006 hingga April 2010, dikarenakan Dekranasda tidak memiliki catatan pemesanan konsumen secara lengkap dari awal berdirinya kegiatan usaha.
2.
Teknik lot sizing yang digunakan dalam menyusun MRP terbatas pada tiga macam teknik yaitu Lot fot Lot, Economic Order Quantity, dan Part Periode Balancing. Teknik yang lain seperti Algoritma WagnerWithin tidak ikut digunakan dalam penelitian ini.
3.
Perencanaan MRP dilakukan untuk 8 periode terhitung Mei hingga Desember 2010. Pemenuhan pesanan yang melewati jangka waktu tersebut akan dilanjutkan pada tahun 2011 tetapi tidak diikutsertakan dalam pembahasan penelitian ini.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Industri Kecil Definisi industri kecil terdapat pada SK Menteri Perindustrian No. 19/M/I/1986 yang menjelaskan jenis-jenis industri berdasarkan klasifikasi jumlah karyawan atau tenaga kerjanya yaitu sebagai berikut: 1.
Industri rumah tangga, yaitu industri yang jumlah tenaga kerjanya berjumlah antara 1 hingga 4 orang.
2.
Industri kecil, adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya berjumlah antara 5 hingga 19 orang.
3.
Industri sedang atau menengah, adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya berjumlah antara 20 hingga 99 orang.
4.
Industri besar, adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya berjumlah diatas 100 orang. Definisi usaha kecil terdapat pada UU No. 9 tahun 1995 yang
menyatakan bahwa kriteria suatu usaha kecil adalah sebagai berikut: 1.
Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
2.
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,(Satu Miliar Rupiah).
3.
Milik Warga Negara Indonesia.
4.
Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar.
5.
Berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Pengertian atau definisi perusahaan adalah suatu tempat untuk
melakukan kegiatan proses produksi barang atau jasa. Hal ini disebabkan karena kebutuhan manusia tidak bisa digunakan secara langsung dan harus melewati sebuah proses di suatu tempat, sehingga inti dari perusahaan ialah tempat melakukan proses sampai langsung digunakan oleh manusia.
6
Perusahaan menghasilkan
merupakan
barang
dan
jasa.
kesatuan
teknik
Perusahaan
juga
yang
bertujuan
disebut
tempat
berlangsungnya proses produksi yang menggabungkan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan barang dan saja. Perusahaan merupakan alat dari bahan usaha untuk mencapai tujuan yaitu mencari keuntungan. Orang atau lembaga yang melakukan disebut pengusaha (Syadiash, 2010). 2.2. Definisi Material Requirement Planning Material Requirement Planning (MRP) atau Perencanaan Kebutuhan Material merupakan suatu metode yang dimulai dengan kegiatan peramalan terhadap permintaan produk jadi yang independen, menentukan kebutuhan permintaan terikat untuk: (1) kebutuhan terhadap tiap jenis komponen (material, parts, atau ingredients), (2) jumlah pasti yang benar-benar diperlukan, dan (3) waktu membuat peramalan secara bertahap yang diperlukan untuk memenuhi pesanan guna mencukupi suatu rencana produksi (Haming dan Nurnajamuddin, 2007). Haming dan Nurnajamuddin (2007) juga menyebutkan beberapa definisi lain dari Material Requirement Planning yang dikemukakan oleh beberapa pakar. MRP adalah model permintaan terikat yang menggunakan daftar kebutuhan bahan, status persediaan, penerimaan yang diperkirakan, dan jadwal produksi induk, yang dipakai untuk menentukan kebutuhan material yang akan digunakan (Heizer dan Render, 2004). MRP adalah logika untuk menentukan banyaknya parts, komponen, dan material yang diperlukan untuk memproduksi suatu produk, serta menyediakan jadwal yang menetapkan kapan parts, komponen, dan material yang diperlukan tersebut harus dipesan atau diproduksi (Chase, 2001). MRP adalah suatu teknik pengendalian persediaan dan perencanaan produksi dengan sistem komputerisasi untuk menyusun rencana pesanan pembelian dan pesanan pengerjaan material, komponen, dan perakitan (Russel dan Taylor, 2000). Haming dan Nurnajamuddin (2007) menyimpulkan beberapa unsur penting dapat dijumpai dari pengertian-pengertian MRP dari para ahli tersebut, yaitu:
7
1.
Jadwal induk produksi sebagai landasan untuk menyusun rencana dan jadwal pengadaan. Jadwal produksi ini lazim disebut Master Production Scheduling (MPS);
2.
Status persediaan yang akan menjadi landasan penentuan jumlah unit yang harus dipesan, lazim disebut Inventory Record;
3.
Struktur produk yang akan menjadi landasan untuk menghitung jumlah unit bahan yang dibutuhkan untuk setiap jenis bahan yang dibutuhkan, lazim disebut dengan Bill of Material (BOM);
4.
Waktu tenggang antara pemesanan dan penerimaan pesanan yang dimaksud, lazim disebut dengan lead time. Herjanto (2003) menyebutkan bahwa sistem MRP dimaksudkan
untuk mencapai tujuan sebagai berikut. 1.
Meminimalkan persediaan; sistem MRP menentukan berapa banyak dan kapan suatu komponen diperlukan disesuaikan dengan jadwal induk produksi. Dengan menggunakan metode ini, pengadaan (pembelian) komponen yang diperlukan untuk suatu rencana produksi dapat dilakukan sebatas yang diperlukan saja sehingga dapat meminimalkan biaya persediaan.
2.
Mengurangi resiko karena keterlambatan produksi atau pengiriman; MRP mengidentifikasi banyaknya bahan dan komponen yang diperlukan baik dari segi jumlah dan waktunya dengan memeperhatikan waktu tenggang produksi maupun pengadaan (pembeliaan) komponen, sehingga memperkecil resiko tidak tersedianya bahan yang akan diproses yang mengakibatkan terganggunya rencana produksi.
3.
Komitmen yang realistis; dengan MRP jadwal produksi diharapkan dapat dipenuhi sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Banyak perusahaan yang telah memanfaatkan sistem MRP untuk
mengendalikan persediaan, karena MRP dapat memberikan manfaat sebagai berikut (Heizer dan Render, 2005). 1.
Mendapatkan respon yang lebih baik bagi pesanan pelanggan sebagai hasil dari jadwal yang terus-menerus diperbaiki. Penerapan MRP membutuhkan jadwal induk produksi, fasilitas produksi, pelaksanaan
8
jadwal, dan pengiriman barang yang tepat waktu, akurat dan disiplin. Perusahaan yang mampu menerapkannya akan memiliki keunggulan bersaing dan mampu menguasai pasar. 2.
Respon yang lebih cepat terhadap perubahan pasar. Perubahan pasar yang cepat dan dinamis turut mempengaruhi permintaan dan selera pelanggan, karena itu perusahaan sangat dituntut untuk mampu memenuhi dan menjawab perubahan tersebut.
3.
Mampu memanfaatkan fasilitas dan tenaga kerja secara lebih optimal. Jadwal pengadaan bahan baku yang teratur dengan berpedoman pada jadwal induk akan mampu memberdayakan mesin dan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak menimbulkan pemborosan. Melalui penerapan pengendalian persediaan, perusahaan memang mendapatkan banyak manfaat. Namun manfaat yang paling bisa dirasakan langsung bagi perusahaan adalah berkurangnya tingkat persediaan, dan oleh karena itu berdampak pada berkurangnya biaya persediaan yang harus dikeluarkan.
4.
Mendapatkan respon yang lebih baik terhadap pesanan pelanggan dan pasar, sehingga mampu memenangkan pesanan dan pangsa pasar. Pemanfaatan fasilitas dan pekerja yang lebih baik akan menghasilkan produktivitas dan pengembalian investasi yang lebih tinggi. Sedangkan persediaan yang lebih sedikit dapat membebaskan modal dan ruang untuk digunakan pada kepentingan yang lain. Manfaat ini merupakan hasil dari sebuah keputusan strategis untuk menggunakan sistem penjadwalan persediaan yang terikat. Agar efektif, pengendalian persediaan terikat melalui MRP
mengharuskan para manajer operasi memahami hal-hal berikut (Heizer dan Render, 2005). 1.
Jadwal produksi induk (apa yang akan dibuat dan kapan)
2.
Spesifikasi atau daftar kebutuhan bahan (material dan komponen yang diperlukan untuk memproduksi)
3.
Ketersediaan persediaan (apa yang ada pada persediaan)
9
4.
Pesanan pembelian yang belum dipenuhi (apa yang berada dalam
pesanan) 5.
Waktu tunggu atau lead time (berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan berbagai komponen)
2.3. Komponen Dasar MRP Komponen dasar MRP terdiri atas jadwal induk produksi, daftar kebutuhan material, dan catatan persediaan, yang dapat digambarkan dalam suatu sistem MRP seperti dalam Gambar 1. Berdasarkan informasi dari jadwal induk produksi dapat diketahui permintaan dari suatu produk akhir. Selanjutnya, dengan mengetahui komponen yang membentuk produk akhir itu, status persediaan, dan waktu tenggang yang diperlukan untuk memesan bahan atau merakit komponen yang bersangkutan, dapat disusun suatu perencanaan kebutuhan dari komponen yang diperlukan diperlukan (Herjanto, 2003).
Masing-masing kompenen dasar MRP tersusun sebagaimana tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Sistem MRP (Herjanto, 2003) 1
1.
Jadwal Induk Produksi (MPS) Jadwal induk produksi (master production schedule, MPS) merupakan
gambaran atas periode perencanaan dari suatu permintaan, termasuk
peramalan, backlog, backlog, rencana suplai/penawaran, persediaan akhir, dan kuantitas yang dijanjikan tersedia (available (available to promise, ATP). MPS
disusun berdasarkan perencanaan produksi agregat, dan merupakan kunci penghubung dalam rantai perencanaan dan pengendalian produksi. MPS
10
berkaitan dengan pemasaran, rencana distribusi, perencanaan produksi dan perencanaan kapasitas. MPS mengendalikan MRP dan merupakan masukan utama dalam proses MRP. MPS harus dibuat secara realistis, dengan mempertimbangkan kemampuan kapasitas produksi, tenaga kerja, dan subkontraktor (Herjanto, 2003). Gaspersz (2005) menyebutkan bahwa sebagai suatu aktivitas proses, penjadwalan produksi produksi induk (MPS) membutuhkan lima input utama seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Kelima input utama MPS adalah sebagai
berikut:
Gambar 2. Proses Penjadwalan Produksi Induk (Gaspersz, 2005) 1
• Data Permintaan Total, Total, merupakan salah satu sumber data bagi proses penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan penjualan (sales forecast) dan pesanan-pesanan (orders).
• Status Pesediaan, berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory, stok yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated (allocated stock),
pesanan-pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus mengetahui secara akurat berapa banyak inventori yang tersedia dan menentukan berapa banyak yang harus dipesan.
• Rencana Produksi, Produksi, memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, persediaan,
dan sumber-sumber daya lain dalam rencana produksi itu. • Data Perencanaan, berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot sizing yang harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file induk dari item (Item Master File).
11
• Informasi dari Rough Cut Capacity Planning (RCCP), berupa kebutuhan kapasitas untuk mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS. Ketepatan
MPS
bervariasi
berdasarkan
jangka
waktu
perencanaannya. Perencanaan jangka pendek harus lebih akurat, mengingat biasanya berisi pesanan yang sudah pasti (fixed order), kebutuhan distribusi pergudangan, dan kebutuhan suku cadang. Semakin jauh jangka waktu perencanaan ketepatan MPS biasanya semakin berkurang. Tabel 1 merupakan contoh dari suatu jadwal induk produksi. Tabel 1. Contoh Jadwal Produksi Induk 1 Produk
1 70 80
A B C Sumber: Herjanto (2003)
2.
2 70 80 100
3 70 80
Minggu ke 4 5 70 70 80 80 120
6 70 60 120
7 70 60
8 70 60 140
Daftar Material (Bill of Material) Definisi yang lengkap tentang suatu produk akhir meliputi daftar barang
atau material yang diperlukan bagi perakitan, pencampuran, atau pembuatan produk akhir tersebut. Setiap produk mungkin memiliki sejumlah komponen, tetapi mungkin juga memiliki ribuan komponen. Setiap komponen sendiri dapat terdiri atas sebuah barang (item) atau berbagai jenis barang (Herjanto, 2003). Hubungan antara suatu barang dan komponennya dijelaskan dalam suatu struktur produk. Secara konvensi, produk akhir atau parent item disebut sebagai level (jenjang) 0, sedangkan komponen pembentuk produk akhir disebut sebagai level 1, bagian rakitan berikutnya disebut level 2, dan seterusnya (Herjanto, 2003). Gambar 3 menunjukkan contoh struktur produk (bill of material). Aplikasi MRP dimulai dengan mengetahui komponen dari produk yang akan diproduksi dengan mengetahui komponen dari produk yang akan diproduksi atau dirakit. Daftar produk dan komponen yang diperlukan disebut daftar material (bill of materials, BOM). BOM dibuat sebagai bagian dari proses desain dan kemudian digunakan untuk menentukan
12
barang mana yang harus dibeli dan barang mana yang harus dibuat. BOM disimpan dalam suatu BOM files, yaitu basis data yang dibuat oleh suatu BOM processor, yang menyusun BOM dalam berbagai format yang dikehendaki perusahaan (Herjanto, 2003).
Gambar 3. Contoh Struktur Produk (Haming dan Nurnajamuddin, 2007) 1
3.
Catatan Persediaan Heizer dan Render (2005) menyebutkan bahwa agar sebuah MRP dapat
bekerja dengan baik dibutuhkan suatu manajemen persediaan yang baik. Jika perusahaan belum mencapai setidaknya 99 persen ketelitian catatan, maka perencanaan kebutuhan material tidak akan bekerja dengan baik.
Sistem MRP harus memiliki dan menjaga suatu data persediaan yang up to date untuk setiap komponen barang. Data ini harus menyediakan informasi yang akurat tentang ketersediaan komponen dan seluruh transaksi persediaan, baik yang sudah terjadi maupun yang sedang direncanakan. Data itu mencakup nomor identifikasi, jumlah barang yang terdapat di gudang, jumlah yang dialokasikan, tingkat persediaan minimum (safety
stock level), komponen yang sedang dipesan dan waktu kedatangan, serta waktu tenggang (procurement lead time) bagi setiap komponen (Herjanto,
2003). Data persediaan bisa merupakan merupakan catatan manual selama di-up date dari hari ke hari. Namun, dengan berkembangnya teknologi dan semakin murahnya
harga
komputer
maka
kini
banyak
perusahaan
sudah
menggunakan jaringan sistem informasi melalui komputer sehingga apabila barang masuk atau barang terpakai/ terjual, datanya dapat langsung diakses di semua unit terkait (Herjanto, 2003).
13
2.4. Proses Penerapan MRP Russel dan Taylor (2003) menyebutkan bahwa penerapan suatu MRP memiliki proses yang terdiri atas empat langkah utama, yaitu (1) menyusun BOM, (2) menghitung kebutuhan bersih bahan baku (net requirement), (3) melakukan lot sizing, dan (4) menyusun time-phasing requirement. Proses ini dilakukan berulang kali, merinci setiap struktur produk hingga semua komponen dibuatkan jadwalnya. Haming dan Nurnajamuddin (2007) menyebutkan bahwa terdapat tiga langkah mendasar yang perlu ditempuh dalam penerapan MRP. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut. 1.
Perusahaan harus lebih dahulu menetapkan jumlah produk akhir (finish product) yang akan diproduksi, dalam usaha menjawab permintaan yang ada dengan cara (i) mempergunakan angka-angka pesanan pelanggan
melalui
angket
pemesanan
yang
disampaikan,
dan
menghasilkan penentuan jumlah permintaan yang menjadi target perusahaan, atau (ii) melakukan estimasi statistik atas jumlah permintaan terhadap produk akhir. Angka-angka ramalan ini menjadi landasan untuk menyusun jadwal induk produksi (MPS). 2.
Perusahaan harus melakukan pemantauan atas status persediaan untuk setiap jenis material (bahan, parts, komponen, atau subkomponen) secara berkala melalui stock opname. Sediaan yang ada menjadi pengurang terhadap kebutuhan total yang diturunkan dari target produksi. Informasi atas penerimaan sediaan, sediaan yang sedang dalam pesanan, sediaan yang telah dipakai, dan sisa yang masih ada di gudang, harus dicatat dalam buku persediaan (inventory record). Informasi inventory record ini menjadi landasan untuk menentukan volume pesanan.
3.
Perusahaan menetapkan jumlah unit yang dibutuhkan dari setiap jenis material yang akan diproses guna memenuhi target produksi yang sudah didefinisikan. Untuk menentukan jumlah unit dari setiap jenis material yang diperlukan, perusahaan harus menyusun struktur dari bahan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu unit produk. Struktur bahan dari
14
setiap unit produk ini disebut dengan Bill of Material (BOM). Kebutuhan total dapat diketahui dengan mengalihkan target keluaran dalam MPS dengan unit yang diperlukan menurut BOM. Haming dan Nurnajamuddin (2007) menyebutkan bahwa dalam praktiknya, langkah awal dalam praktik penyusunan MRP mungkin saja ialah pembuatan BOM. Melalui penyusunan BOM dapat diketahui rincian unit
kebutuhan
dari
setiap
jenis
bahan
yang
dibutuhkan
untuk
menyelesaikan produk. Produk akhir yang rumit yang dibuat dari ratusan, bahkan ribuan jenis komponen atau subkomponen akan memiliki BOM yang rumit. Sebaliknya, produk akhir yang sederhana juga memiliki BOM yang sederhana. Orlicky (1975) dalam Rasto (1996) dan Adihartati (1997) juga menyebutkan bahwa logika proses dalam sistem MRP terdiri dari empat langkah sebagai berikut. 1.
Eksplosi Eksplosi adalah proses perhitungan kebutuhan kotor untuk komponen
pada tingkat yang lebih bawah. Dasar untuk menentukan kebutuhan material ini dalam tiap tahap, langsung atau tidak langsung, diturunkan dari jadwal induk produksi dan tergantung pada posisinya dalam struktur produk. 2.
Netting Netting merupakan proses perhitungan untuk menetapkan jumlah
kebutuhan bersih, yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaan persediaan, baik persediaan yang ada (on hand inventory) maupun yang direncanakan akan diterima dalam suatu periode tertentu. Dalam perhitungan kebutuhan bersih dapat dilakukan perbaikan dengan menambahkan faktor-faktor lain, seperti memasukkan faktor sediaan pengaman atau faktor kerusakan konponen. Persediaan pengaman hanya digunakan untuk permintaan produk akhir yang independen. Data yang harus diketahui untuk menentukan kebutuhan bersih pada setiap periode adalah persediaan yang masih dipunyai pada awal perencanaan dan jadwal penerimaan untuk setiap periode perencanaan.
15
3.
Lotting Proses ini merupakan suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah
pemesanan yang optimum berdasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan bersih. Terdapat banyak alternatif untuk menghitung ukuran lot. Berbagai teknik ukuran lot diarahkan untuk menyeimbangkan biaya pemesanan (set up cost) dan biaya penyimpanan persediaan (holding cost), sehingga dicapai total biaya persediaan yang minimal tanpa mengganggu jadwal induk. 4.
Offsetting Langkah offsetting bertujuan untuk menentukan waktu yang tepat bagi
perencanaan pemesanan dalam memenuhi kebutuhan bersih. Rencana pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan kebutuhan awal bersih yang diinginkan dengan besarnya waktu tunggu (lead time). Waktu tunggu untuk komponen yang dipesan merupakan waktu saat pesanan dilakukan sampai pesanan tersebut diterima. Sedangkan untuk komponen yang dibuat sendiri, waktu tunggu merupakan jumlah waktu proses pembuatan komponen tersebut hingga selesai dibuat. Dalam penentuan waktu tunggu sering pula ditambahkan faktor waktu pengaman dengan tujuan yang pada dasarnya sama dengan pengadaan persediaan pengaman. Keseluruhan proses MRP dapat digambarkan dalam format tampilan MRP seperti di bawah ini, termasuk penjelasan untuk tiap-tiap komponennya (Gaspersz, 2005). Tabel 2. Tampilan Horizontal MRP 1 Lead Time: 3 minggu On Hand: 550 Lot Size: 1000 1 Safety Stock: 0 Gross Requirement 250 Scheduled Receipt Projected on Hand 300 Projected Available 300 Net Requirement Planned Order Receipt Planned Order Receipt Sumber: Gaspersz (2005)
Periode (minggu) 2
3
4
5
500 1000 800 800
200
350
400
600 600
250 250
-150 850 150 1000
1000
16
• Lead Time merupakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP menyarankan suatu pesanan sampai yang dipesan siap untuk digunakan. • On Hand merupakan on hand inventory yang menunjukkan kuantitas dari item yang secara fisik ada dalam tempat penyimpanan. • Lot Size merupakan kuantitas pesanan dari item yang memberitahukan MRP berapa banyak kuantitas yang harus dipesan serta teknik lot sizing apa yang dipakai. • Safety Stock merupakan stok pengaman yang ditetapkan oleh perencana MRP untuk mengatasi fluktuasi dalam permintaan dan/atau penawaran. • Planning Horizon merupakan banyaknya waktu ke depan yang tercakup dalam perencanaan. • Gross Requirement merupakan total dari semua kebutuhan, termasuk kebutuhan yang diantisipasi untuk setiap periode waktu. • Projected On-Hand merupakan projected available balance (PAB), dan tidak termasuk planned order. Projected on hand dihitung berdasarkan formula: Projected on-hand = On-hand awal periode + Scheduled Receipt – Gross Requierement • Planned Order Receipts merupakan kuantitas pesanan pengisian kembali yang telah direncanakan oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu guna memenuhi kebutuhan kebutuhan bersih. • Planned Order Release merupakan kuantitas planned order yang ditempatkan atau dikeluarkan dalam periode tertentu agar item tersebut tersedia pada saat dibutuhkan. 2.5. Model-model Penentuan Penentuan Ukuran Lot (Lot Sizing) Lot sizing merupakan kegiatan menentukan jumlah unit yang akan dipesan (Haming dan Nurnajamuddin, 2007). Keputusan penentuan ukuran lot adalah proses atau teknik yang digunakan untuk menentukan ukuran lot (Heizer dan Render, 2005).
17
Nahmias (2005) mengasumsikan bahwa proses MRP sering dilakukan menggunakan teknik lot for lot, yaitu jumlah unit yang dijadwalkan untuk diproduksi atau dipesan setiap periodenya sama dengan jumlah kebutuhan bersih periode tersebut. Pada kenyataannya kebijakan ini diasumsikan untuk kemudahan penggunaan saja, dan secara umum dapat dikatakan tidak optimal. Masalah untuk menemukan teknik yang optimal yang terbaik didasarkan pada set jumlah permintaan dan biaya setup dan holding untuk berbagai periode waktu yang dimiliki dan berapakah kuantitas yang dapat meminimalkan total biaya setup dan holding untuk periode yang telah direncanakan. Gasperz
(2005)
memberikan
cacatan
yang
penting
untuk
diperhatikan mengenai lot sizing dan kebutuhan bersih (net requirement) sebagai berikut. 1.
Apabila lot sizing dipakai, maka net requirement adalah prediksi kekurangan material, sehingga perlu dimasukkan dalam perhitungan planned order receipt, dan tidak hanya menghitung kenaikan dalam nilai negatif yang ditunjukkan dalam baris projected on-hand.
2.
Aturan: apabila menggunakan fixed order quantity lot size, dan bila ada net requirement, maka banyaknya kuantitas planned order receipt akan mengambil salah satu nilai yaitu: standard lot size atau net requirement aktual, tergantung mana yang lebih besar.
3.
Dalam kebanyakan kasus, planned order receipt akan melebihi besaran net requirement, sehingga membiarkan beberapa kuantitas persediaan disimpan sampai periode berikutnya.
4.
Saat keadaan rolling schedule akan menjadi normal bahwa besaran scheduled receipt adalah sama dengan kuantitas lot size, karena kuantitas itu yang telah dipesan. Ada beberapa teknik dalam melakukan lot sizing. Haming dan
Nurnajamuddin (2007) mengemukakan bahwa pada dasarnya teknik-teknik tersebut terbagi menjadi dua, yaitu menentukan ukuran lot yang sama dengan net requirement, dan menentukan ukuran lot dengan tujuan optimalisasi. Optimalisasi tersebut didasarkan pada keadaan di mana ukuran
18
pesanan akan berhubungan dengan biaya pemesanan ataupun biaya penyimpanan. Semakin rendah ukuran lot, yang berarti semakin sering melakukan pesanan, akan menurunkan biaya penyimpanan, tetapi menambah biaya pemesanan. Sebaliknya, semakin tinggi ukuran lot akan mengurangi frekuensi
pemesanan,
tetapi
mengakibatkan
meningkatnya
biaya
penyimpanan. Untuk itu perlu dicari dan ditentukan ukuran lot yang tepat agar optimalisasi kapasitas dan biaya dapat tercapai (Herjanto, 2003) Heizer dan Render (2005) menyebutkan bahwa keputusan penentuan lot sizing adalah keputusan yang dibuat tentang berapa banyak yang harus dipesan atau dibuat. Ada berbagai jalan untuk menentukan ukuran lot di dalam sistem MRP, diantaranya teknik Lot for Lot, teknik Economic Order Quantity, serta Part Period Balancing. Teknik lot for lot merupakan teknik yang membantu menentukan ukuran lot tepat sebesar net requirement. Sedangkan teknik yang lain didasarkan pada kapasitas dan biaya optimum dengan tujuan optimalisasi. 1.
Teknik Lot for lot Teknik ini memproduksi secara tepat berapa kebutuhan bahan baku
yang diperlukan. Teknik ini konsisten dengan sasaran MRP yaitu memenuhi kebutuhan permintaan yang bersifat terikat. Bila pesanan yang sering terjadi ekonomis dan teknik persediaan just in time diterapkan, maka teknik ini menjadi sangat efisien. Sebaliknya, jika biaya setup cukup besar atau menajemen tidak mampu untuk menerapkan just in time, maka teknik ini menjadi mahal. 2.
Teknik Economic Order Quantitiy (EOQ) Teknik EOQ merupakan teknik statistik yang menggunakan rata-rata
(seperti permintaan rata-rata untuk satu tahun. Jadi teknik EOQ merupakan teknik statistik yang sebenarnya lebih cocok digunakan pada saat permintaan bebas, sementara MRP lebih disukai pada saat permintaan terikat. Manajer produksi harus memanfaatkan informasi permintaan ketika informasi ini diketahui, daripada mengasumsikan permintaan tetap. Pendekatan dengan teknik ini menggunakan persamaan sebagai berikut.
19
=
........................................... (1)
Dimana Q = ukuran lot yang akan dipesan, D = kebutuhan pertahun, S = biaya pemesanan pemesanan per order, dan H = biaya penyimpanan per unit per tahun. 3.
Teknik Part Period Balancing (PPB) Teknik ini merupakan pendekatan yang lebih dinamis untuk
menyeimbangkan biaya setup dan penyimpanan. PPB menggunakan informasi tambahan dengan mengubah ukuran lot untuk menggambarkan kebutuhan ukuran lot berikutnya di masa yang akan datang. PPB mencoba menyeimbangkan biaya setup dan penyimpanan untuk permintaan yang diketahui. Penyeimbangan sebagian periode membuat sebuah economic part period
(EPP) atau
sebagian
periode
ekonomis,
yang
merupakan
perbandingan antara biaya setup dengan biaya penyimpanan. Sebagai contoh, jika biaya setup adalah Rp. 100,- dan biaya penyimpanan adalah Rp. 1,- maka EPP adalah 100 unit. Oleh karena itu, menyimpan 100 unit untuk satu periode akan menghabiskan biaya Rp. 100,sama seperti satu biaya setup. Dengan cara yang sama, menyimpan 50 unit untuk dua periode juga akan menghabiskan biaya Rp. 100,- (2 periode x Rp.1,- x 50 unit). PPB hanya menambahkan kebutuhan hingga banyaknya periode bagian akan mendekati nilai EPP yaitu 100 unit. 2.6. Peramalan Penjualan Peramalan merupakan seni dan ilmu memprediksi kejadian di masa depan. Peramalan dapat berupa peramalan ekonomi, peramalan teknologi, dan peramalan permintaan atau disebut juga peramalan penjualan. Peramalan penjualan meramalkan penjualan suatu perusahaan pada setiap periode dalam horizon waktu. Peramalan penjualan dapat digunakan sebagai dasar penyusunan MPS atau jadwal induk produksi (Heizer dan Render, 2005).
20
Heizer dan Render (2005) menyebutkan tujuah langkah utama dalam melakukan peramalan, yaitu sebagai berikut. 1.
Menetapkan tujuan peramalan
2.
Memilih unsur apa yang akan diramal
3.
Menentukan horizon waktu peramalan
4.
Memilih tipe model peramalan
5.
Mengumpulkan data yang diperlukan untuk melakukan peramalan
6.
Membuat peramalan
7.
Memvalidasi dan menerapkan hasil peramalan Ishak (2010) mengemukakan bahwa jenis peramalan dibedakan
menjadi peramalan kualitatif dan kuantitatif berdasarkan sifatnya. Peramalan kualitatif merupakan peramalan yang dilakukan berdasarkan atas kualitatif pada masa lalu, dan sangat bergantung pada orang yang menyusunnya karena disusun berdasarkan pemikiran yang bersifat intuisi, judgment, atau pendapat, pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan metode kuantitatif dibedakan atas metode time series dan metode kausal. Dalam penelitian ini metode peramalan yang digunakan adalah time series yang dijelaskan sebagai berikut. 1.
Linear Trend Analysis Bentuk persamaan umum dari peramalan tren linier ini adalah Yt = a + bt ................................................................................ (2) Dimana Yt = nilai peramalan pada periode ke-t t = waktu/periode dengan menggunakan metode kuadrat terkecil maka harga konstanta a dan b dapat diperoleh dari persamaan berikut:
b=
∑ ∑ ∑
......................................... (3)
∑ ∑
.......................................... (4)
∑ ∑
a=
21
2.
Quadratic Trend Analysis Metode peramalan ini memiliki bentuk persamaan sebagai berikut: Yt = aebt Dengan menggunakan transformasi logaritma natural maka harga konstanta a dan b diperoleh dari persamaan berikut:
b=
∑ ∑ ∑
ln a = 3.
∑ ∑
∑ ∑
............................ (5)
.................................. (6)
Moving Average Moving average pada suatu periode merupakan peramalan untuk satu periode ke depan dari periode rata-rata tersebut. Persoalan yang timbul dalam penggunaan metode ini adalah dalam menentukan nilai t (periode perata-rataan). Semakin besar nilai t maka peramalan yang dihasilkan akan semakin menjauhi pola data. Secara matematis, rumus fungsi peramalan metode ini adalah:
Dimana
F =
⋯ !
....................... (7)
Xt = data pengamatan periode t N = jumlah deret waktu yang digunakan Ft+1 = nilai peramalan periode t+1 4.
Single Exponential Smoothing Pengertian dasar metode ini adalah nilai ramalan pada periode t+1 merupakan nilai peramalan pada periode t ditambah dengan penyesuaian yang berasal dari kesalahan nilai ramalan yang terjadi pada periode t tersebut. Nilai peramalan dapat dicari dengan menggunakan rumus berikut: F = α. X + 1−∝F .............................. (8)
22
Dimana Xt = data permintaan pada periode t α = faktor/konstanta pemulusan Ft+1 = peramalan untuk periode t 5.
Double Exponential Smoothing Metode ini terbagi atas satu parameter dan dua parameter. Metode dengan satu parameter, atau disebut juga dengan metode linear Brown, merupakan metode yang hampir sama dengan metode moving average, disesuaikan dengan menambahkan satu parameter. Metode dengan dua parameter atau disebut juga metode Holt merupakan metode double exponential smoothing dengan tren linier yang mengandung konstanta α dan β. Menghitung
kesalahan
peramalan
penting
dilakukan
ketika
melakukan peramalan. Kesalahan peramalan mengatakan seberapa baik kinerja suatu model dibandingkan dengan model itu sendiri dengan menggunakan data masa lalu. Ada beberapa perhitungan yang dapat digunakan untuk menghitung kesalahan peramalan sebagai berikut (Heizer dan Render 2005). 1.
Mean Absolute Deviation (MAD) MAD merupakan ukuran kesalahan peramalan keseluruhan untuk sebuah model. MAD dapat digambarkan dengan persamaan yang ditunjukkan sebagai berikut, dimana n adalah jumlah periode data. MAD =
2.
∑|-. /-012-3-- | 4
.......................... (9)
Mean Squared Error (MSE) MSE merupakan rata-rata selisih kuadrat antara nilai yang diramalkan dengan yang diamati, dengan rumus sebagai berikut: MSE =
∑.17--8- 012-3-- 4
....................... (10)
23
3.
Mean Absolute Percent Error (MAPE) MAPE merupakan rata-rata diferensiasi absolut antara nilai peramalan dan aktual, yang dinyatakan sebagai persentase nilai absolut. MAPE dihitung sebagai:
MAPE =
:: ∑= ;>|-. /-; 2-3-- ; |/-. /-; 4
................. (11)
2.7. Pemrograman Linier Linear programming (LP) ditemukan oleh George Dantzig tahun 1947. Teknik analisis ini berkembang secara menakjubkan dan mampu memecahkan berbagai masalah (problem solving) yang terdapat dalam kehidupan
nyata.
George
Dantzig
adalah
orang
pertama
yang
memformulasikan general LP kemudian mengembangkannya dalam bentuk metode simpleks. Sejak tahun 1940-an, LP yang semula digunakan untuk kalangan militer, kemudian digunakan secara luas di berbagai sektor kehidupan, misalnya transportasi, ekonomi, industri, dan pertanian bahkan dalam ilmu sosial yang menyangkut perilaku manusia (Prawirosentono, 2005). Heizer dan Render (2005) menyatakan bahwa pemrograman linier atau linear programming merupakan suatu teknik matematik yang didesain untuk membantu para manajer operasi dalam merencanakan dan membuat keputusan yang diperlukan untuk mengalokasikan sumber daya. Sedangkan menurut Supranto (2005), linear programming adalah salah satu teknik dari riset operasi untuk memecahkan persoalan optimasi (maksimisasi dan minimisasi) dengan menggunakan persamaan dan ketidaksamaan linier dalam
rangka
untuk
mencari
pemecahan
yang
optimal
dengan
memperhatikan pembatasan-pembatasan yang ada. Aminudin (2005) mendefinisikan bahwa program linier merupakan model matematik untuk mendapatkan alternatif penggunaan terbaik atas sumber-sumber organisasi. Program linier adalah suatu teknik perencanaan yang bersifat analitis yang analisnya menggunakan model matematis, dengan tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan optimum terhadap persoalan.
24
Pada dasarnya, model pemrograman linier dinyatakan dalam bentuk fungsi tujuan dan fungsi batasan (kendala, constraints). Dalam fungsi tujuan harus dijelaskan apakah tujuannya memaksimumkan atau meminimalkan variabel. Fungsi batasan menggambarkan batasan/kendala yang dihadapi dalam mencapai tujuan (Herjanto, 2003). Tujuan dan batasan dalam permasalahan LP harus dinyatakan dalam hubungan dengan pertidaksamaan atau persamaan linier. Menurut Supranto (2005), suatu persoalan dapat dipecahkan dengan teknik LP jika persoalan tersebut memenuhi syarat berikut: 1.
Fungsi objektif harus didefinisikan secara jelas dan dinyatakan sebagai fungsi objektif linier.
2.
Harus ada alternatif pemecahan untuk dipilih salah satu yang terbaik.
3.
Sumber-sumber dan aktifitas mempunyai sifat dapat ditambahkan (additivity).
4.
Fungsi objektif dan ketidaksamaan untuk menunjukkan adanya pembatasan harus linier.
5.
Variabel keputusan harus positif, tidak boleh negatif (xj ≥ 0, untuk semua j).
6.
Sumber-sumber
dan
aktivitas
mempunyai
sifat
dapat
dibagi
(divisibility). 7.
Sumber-sumber dan aktivitas mempunyai jumlah yang terbatas (finiteness).
8.
Aktivitas harus proporsional terhadap sumber-sumber. Hal ini berarti ada hubungan yang linier antara aktivitas dengan sumber-sumber.
9.
Model pemrograman deterministik, artinya sumber dan aktivitas diketahui secara pasti (single valued expectations). Menurut Aminudin (2005), asumsi-asumsi yang menjadi dasar
pemrograman linier yaitu: 1.
Proportionality Naik turunnya nilai Z dan penggunaan sumber atau fasilitas yang tersedia akan berubah secara sebanding dengan perubahan tingkat kegiatan.
25
2.
Additivity Nilai tujuan tiap kegiatan tidak saling mempengaruhi, atau dalam program linier dianggap bahwa kenaikan suatu kegiatan tidak akan mempengaruhi bagian nilai Z yang diperoleh dari kegiatan lain.
3.
Divisibility Keluaran yang dihasilkan oleh setiap kegiatan dapat berupa bilangan pecahan.
4.
Deterministic Semua parameter (aij, bj, cj) yang terdapat pada program linier dapat diperkirakan dengan pasti, meskipun dalam kenyataannya tidak sama persis. Permasalahan dalam pemrograman linier dapat digambarkan dalam
model matematika sebagai berikut (Herjanto, 2003): Fungsi tujuan: Memaksimumkan (meminimumkan) Z = c1X1 + c2X2 + … + cnXn ................................... (12) Dengan pembatasan (dp): a11X1 + a12X2 + … + a1nXn ≤ b1 ........................... (13) a21X1 + a22X2 + … + a2nXn ≤ b2 ............................ (14) :
:
:
am1X1 + am2X2 + … + amnXn ≤ bm ............................... (15) dan Xj ≥ 0 (j = 1,2,…, n) ..................................................... (16) Keterangan : i j
= =
m n Z Xj aij
= = = = =
bi = cj =
Nomor sumber atau faslitas yang tersedia (i = 1,2,…,m) Nomor kegiatan yang menggunakan sumber yang tersedia (j= 1,2,…, n) Jumlah sumber yang tersedia Jumlah kegiatan Nilai optimal dari fungsi tujuan Jenis kegiatan (variabel keputusan) Banyaknya sumber i yang diperlukan untuk menghasilkan setiap unit kegiatan j Banyaknya sumber i yang tersedia Kenaikan nilai Z apabila ada pertambahan satu unit kegiatan j
26
2.8. Total Biaya Persediaan Bahan Baku Total biaya persediaan bahan baku terdiri dari biaya pemesanan, biaya setup dan penyimpanan. Menurut Haming dan Nurnajamuddin (2007) biaya pemesanan meliputi biaya menunggu permintaan pembelian, penyampaian pesanan pembelian, dan yang berhubungan dengan biaya akuntansi, serta biaya penerimaan dan pemeriksaan pesanan. Biaya setup adalah biaya untuk menyiapkan mesin atau proses untuk memproduksi sebuah pesanan. Biaya setup ini dihitung sebagai berikut:
?@ABA CDEFG = I ............................................ (17) H
D S Q
= kebutuhan bahan per tahun = biaya pesanan per order = unit yang dipesan per order
Biaya penyimpanan sering juga disebut dengan carrying cost, adalah biaya atas sediaan yang terjadi yang terjadi sehubungan dengan penyimpanan sejumlah sediaan tertentu dalam perusahaan. Biaya ini mencakup biaya pemanasan ruangan, pendinginan ruang penyimpanan, biaya penerangan, keamanan, sewa gudang, pemeliharaan sediaan, kerusakan sediaan, serta kerugian karena perubahan harga, terbakar, pencurian, bunga, premi asuransi, pajak, administrasi persediaan, dan biaya penjaga gudang. Biaya penyimpanan umumnya dihitung dengan persen tertentu terhadap harga sediaan, misalnya 15 persen atau 20 persen. Total biaya penyimpanan dalam suatu periode dapat dihitung sebagai berikut:
H
?@ABA GDJB@KGAJAJ = H I + L ...................... (18)
H Q D/Q Q/2
= = = =
biaya unit penyimpanan per tahun unit yang dipesan per order frekuensi pemesanan bahan persediaan rata-rata yang dipelihara
2.9. Penelitian Terdahulu Rasto (1996), melakukan rancang bangun sistem perencanaan kebutuhan material untuk produk lemari pakaian Olympic Group, Bogor. Menerapkan sistem MRP untuk merencakan kebutuhan kebutuhan
27
komponen lemari pakaian tipe LP-624, dan merancang struktur dari file-file program yang selanjutnya diintregasikan dalam sistem manajemen database interaktif untuk perencanaan kebutuhan material. Rahmasari (2004), merencanakan pengendalian persediaan bahan baku kimia di PT Dankos Laboratories Tbk., untuk empat macam bahan baku di perusahaan tersebut. Alternatif pengendalian bahan baku yang diusulkan adalah metode MRP lot for lot karena menghasilkan biaya persediaan yang paling rendah atau mencapai penghematan yang paling besar. Hal ini disebabkan karena teknik ini hanya memesan bahan baku sesuai
dengan
kebutuhan
tanpa
persediaan
pengaman
sehingga
menimumkan jumlah persediaan di gudang. Selain itu juga cocok untuk digunakan atau diterapkan untuk bahan baku yang harganya mahal, salah satunya bahan baku kimia pada perusahaan farmasi. Dianita Rahmawati Zein (2004), melakukan kajian pengendalian dan pengadaan bahan baku pada PT Petrokimia Gresik. Pemakaian bahan baku untuk produk pupuk SP-36 menggunakan metode FIFO. Alternatif metode pengendalian dan pengadaan bahan baku yang dapat dipilih adalah untuk bahan baku phosphate rock, asam fosfat, dan asam sulfat dapat menggunakan metode Material Requirement Planning dengan teknik lot sizing PPB (Part Period Balancing).
28
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Proses produksi merupakan kegiatan inti dari perusahaan yang memproduksi barang untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dalam proses produksi, ketepatan pengadaaan bahan baku sangat penting karena berpengaruh langsung pada pemenuhan kebutuhan konsumen. Sistem pengadaan bahan baku yang tepat dan berbiaya minimum sangat penting untuk diterapkan dalam suatu perusahaan berbasis manufaktur untuk menunjang kelancaran proses produksi. Kegiatan usaha perlu didasari oleh suatu perencanaan, terutama yang berkaitan langsung dengan proses produksi yang merupakan kegiatan inti proses bisnis yang dijalankan. Perencanaan produksi salah satunya dapat dilakukan berdasarkan permintaan oleh konsumen ataupun melalui sejumlah perhitungan tertentu untuk mengetahui proyeksi kebutuhan produksi di masa yang akan datang. Perencanaan produksi selanjutnya diikuti dengan perencanaan kebutuhan material atau bahan baku sebagai bentuk perencanaan yang lebih terperinci dan jelas. Perencanaan kebutuhan bahan baku disusun menggunakan tiga macam input utama yaitu Bill of Material, Master Production Schedule dan Inventory Record. Dengan adanya ketiga input tersebut proses perencanaan kebutuhan bahan baku dapat dilakukan dan menghasilkan
jadwal
pengadaan
bahan
baku
sebagai
luarannya.
Perencanaan bahan baku selanjutnya juga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun jadwal produksi jangka pendek. Penerapan MRP dapat mendorong proses produksi yang lancar serta tercapainya efisiensi produksi. Proses produksi yang lancar akan menghasilkan delivery yang tepat waktu kepada konsumen, sedangkan efisisensi akan mendorong penurunan biaya produksi. Pencapaian ini dapat memberikan perusahaan tidak hanya peningkatan penjualan maupun peningkatan keuntungan, tapi juga peningkatan daya saing. Kerangka penelitian ini digambarkan pada Gambar 5.
29
3.2. Tahapan Penelitian Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi sistem produksi dan sistem pengadaan bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan, kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi elemen-elemen yang menjadi input dalam jadwal induk produksi, daftar material dan catatan persediaan. Kemudian dengan mengetahui jadwal induk produksi, daftar material, dan catatan persediaan, akan disusun rencana kebutuhan dengan Material Requirement Planning. Jadwal induk produksi diperoleh dari proses peramalan dengan menggunakan data historis pemesanan konsumen sebagai inputnya. Teknik peramalan yang digunakan adalah Linear Trend Analysis, Quadratic,Trend Analysis, Moving Average, Single Exponential Smoothing, dan Double Exponential Smoothing. Hasil peramalan akan dikombinasikan dengan kapasitas optimum produksi per bulan dikarenakan adanya pesanan konsumen yang belum terpenuhi dari periode sebelumnya. Kombinasi kapasitas optimum produksi per bulan diperoleh dengan menggunakan teknik linear programming. Teknik lot sizing dalam penyusunan MRP yang akan digunakan sebanyak tiga macam yaitu teknik lot for lot, teknik Economic Order Quantitiy (EOQ), dan teknik Part Period Balancing (PPB). Penyusunan MRP akan menghasilkan output berupa jadwal pemesanan bahan baku. Melalui jadwal pemesanan tersebut dapat dihitung proyeksi total biaya bahan baku yang akan dikeluarkan, yang terdiri dari biaya setup dan biaya penyimpanan. Hasil proyeksi total biaya bahan baku dari ketiga teknik lot sizing akan dibandingkan dan dipilih yang paling sesuai untuk diterapkan pada kegiatan usaha. Tahapan penelitian digambarkan dalam Gambar 4.
30
Gambar 4. Kerangka Pemikiran
31
Gambar 5. Alur Tahapan Penelitian
32
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan dimulai pada bulan Maret hingga Mei 2010. Lokasi penelitian bertempat di sentra produksi kain songket Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru. 3.4. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berberasal dari wawancara secara mendalam dan observasi langsung. Data sekunder didapatkan melalui studi literatur buku dan artikel elektronik serta data dari perusahaan sendiri, khususnya dari bagian produksi. 3.5. Pengolahan dan Analisis Data 3.5.1. Peramalan Penjualan •
Linear Trend Analysis
•
Quadratic Trend Analysis
•
Moving Average
•
Single Exponential Smoothing
•
Double Exponential Smoothing
3.5.2. Lot Sizing 1.
Teknik Lot for lot
2.
Teknik Economic Order Quantitiy (EOQ)
3.
Teknik Part Period Balancing (PPB)
3.5.3. Analisis Biaya Bahan Baku 1. Biaya Set-up 2. Biaya Penyimpanan
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Profil Kegiatan Usaha 4.1.1. Sejarah Berdiri Industri kecil tenun Tengku Agung Pekanbaru merupakan unit usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh Dekranasda Kota Pekanbaru. Dekranasda kota Pekanbaru merupakan unit organisasi daerah dari Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional) yang berkantor pusat di Jakarta Selatan. Dekranas dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama dua Menteri, yaitu Menteri Perindustrian
dan
Menteri
Pendidikan
dan
Kebudayaan,
Nomor
85/M/SK/3/1980 dan Nomor 072b/P/1980 tanggal 3 Maret 1980 di Jakarta. Didirikannya lembaga Dekranas dilandasi kesadaran akan kelangsungan hidup dari usaha kerajinan yang menopang kehidupan berjuta-juta keluarga di Indonesia. Usaha kerajinan juga dipandang sebagai keberadaan yang dihadapkan pada kemajuan teknologi industri di satu sisi dan pelestarian nilai budaya bangsa yang harus selalu tercermin di sisi lainnya. Pada tanggal 15 Desember 1981 dibentuklah organisasi Dekranas tingkat daerah atau yang dikenal dengan Dekranasda, yang bertujuan untuk mendukung kelancaran kegiatan Dekranas di tingkat daerah berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 537/5038/Sospol. Kepengurusan Dekranasda dikukuhkan oleh Ketua Umum Dekranas atas usulan daerah. Dekranasda Propinsi Riau memiliki tujuan untuk menambah khazanah produk kerajinan daerahnya, yaitu dengan melakukan pembinaan kerajinan yang memiliki potensi besar antara lain Batik Tabir dan Tenun Songket Melayu. Dekranasda Propinsi Riau memiliki beberapa organisasi Dekranasda pemerintah kota yang salah satunya adalah Dekranasda Kota Pekanbaru, selain Dekranasda Kota Dumai, Dekranasda Kota Duri, dan Dekranasda kota-kota lainnya. Dekranasda Propinsi Riau bertempat di Jl. Sisimangaraja No. 140 Pekanbaru, sedangkan Dekranasda Kota Pekanbaru bertempat Jl. Durian Tengku Agung Pekanbaru.
34
Dekranasda Tengku Kota Pekanbaru merupakan organisasi Dekranas yang berada di tingkat daerah yang bernaung di bawah Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Pekanbaru. Dekranasda Tengku Agung Pekanbaru diresmikan pertama kali pada tahun 2002 pada masa ibu Evi Meiroza sebagai istri Walikota saat itu. Berdirinya Dekranasda yang diprakarsai oleh Ibu Walikota ini berawal dari banyaknya hasil kerajinan yang telah banyak dihasilkan oleh para pengrajin lokal terutama kain tenun songket siak. Untuk menampung hasil-hasil kerajinan tersebut didirikanlah Dekranasda yang kemudian semakin berkembang tidak hanya untuk menampung hasil kerajinan namun juga menjadi sentra produksi kain songket di kota Pekanbaru. 4.1.2. Visi dan Misi Visi Dekranasda Kota Pekanbaru adalah untuk memakmurkan pengrajin tenun songket Siak. Sedangkan misi yang ingin dicapai Dekranasda Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut: 1.
Melestarikan warisan budaya Riau
2.
Melindungi industri kerajinan dalam kompetisi global
3.
Memperluas pemasaran produk kerajinan daerah agar menembus pasar dunia
4.
Ikut menentukan kebijakan dalam pembinaan dan pengembangan industri kerajinan di daerah
5.
Mengembangkan produk kerajinan yang menggunakan bahan baku lokal
6.
Mengembangkan industri kerajinan yang ramah lingkungan
4.1.3. Maksud dan Tujuan Maksud dari kegiatan Dekranasda Kota Pekanbaru adalah membina usaha kerajinan yang merupakan lapangan kerja yang perlu digiatkan sebagai sumber pendapatan dalam upaya membantu dan menumbuhkembangkan golongan ekonomi lemah. Tujuan ataupun sasaran yang ingin dicapai Dekranasda Kota Pekanbaru adalah sebagai berikut:
35
1.
Mempertahankan keberadaan dan meningkatkan nilai ekonomi industri kerajinan sebagai cerminan budaya daerah
2.
Memberikan perlindungan terhadap desain dan motif daerah
3.
Meningkatkan daya saing produk kerajinan lokal
4.
Mempertahankan pasar produk kerajinan yang telah ada
5.
Mencari peluang pasar baru
6.
Mendorong kebijakan pemerintah daerah dalam pengembangan kerajinan agar sesuai dengan pengusaha kerajinan dan realitas di lapangan
7.
Mengupayakan pertumbuhan produk kerajinan yang menggunakan bahan baku lokal dan ramah lingkungan
4.1.4. Gambaran Umum Kegiatan Usaha Dekranasda Tengku Agung memproduksi berbagai macam kerajinan khas Riau yang berbahan dasar kain tenun. Produk-produk kerajinan tersebut antara lain sarung bapak, sarung ibu, selendang, baju pengantin, bahan blazer, kaligrafi, gambar dinding, sepatu, kotak tisu, dasi, dan banyak produk kerajinan lainnya. Produk yang paling tinggi tingkat permintaannya adalah sarung bapak, sarung ibu, selendang dan bahan blazer. Sarung bapak merupakan sebutan lain dari kain songket yang digunakan oleh laki-laki, begitu juga dengan sarung ibu, adalah kain songket yang digunakan oleh wanita. Kain songket untuk wanita biasanya digunakan bersama dengan selendang bermotif senada, walaupun banyak juga kaum ibu yang menggunakannya secara terpisah. Konsumen yang memesan songket biasanya menggunakannya pada kesempatan pesta, acara adat, dan acara-acara resmi lainnya. Konsumen juga sering memesan satu set kain songket yang terdiri dari satu helai sarung bapak, satu helai sarung ibu, dan satu helai selendang dengan motif dan warna yang senada. Bahan blazer biasa digunakan oleh pegawai pemerintahan sebagai seragam dinas setiap hari Kamis. Penggunaan kain berbahan tenun sebagai seragam dinas merupakan kebijakan yang mulai diterapkan oleh pemerintah Kota Pekanbaru sejak Maret 2010.
36
Konsumen produk-produk kerajinan Dekranasda sebagian besar adalah pegawai negeri dan instansi pemerintah. Sejak beberapa tahun lalu pemerintah kota Pekanbaru mulai menerapkan kebijakan untuk memakai songket tenun pada hari-hari dan kesempatan tertentu. Antara lain memakai songket pada peringatan hari jadi kota Pekanbaru, memakai teluk belanga dan sarung setiap hari Jumat (untuk laki-laki), memakai songket pada hari KORPRI, dan kebijakan yang paling baru yaitu memakai blazer berbahan tenun sebagai seragam dinas setiap hari Kamis. Sejak diberlakukannya kebijakan-kebijakan tersebut, permintaan akan produk kerajinan Dekransda semakin meningkat, terutama untuk produk songket bapak, songket ibu, selendang, dan bahan blazer. Proses pembuatan satu lembar kain songket menghabiskan waktu kurang lebih 7 hari, yang dimulai dari proses mengelos, menghani, menyucuk, menyetel, dan menenun. Proses pembuatan songket tersebut dijelaskan sebagai berikut. 1.
Mengelos Proses mengelos adalah menggulung benang dari gulungan biasa ketika
benang tersebut dibeli menjadi gulungan baru yang telah dirapikan. Proses ini memakan waktu agak lama, yaitu 1 kg benang selama 1 hari oleh satu orang. Proses mengelos bisa menjadi lama karena keterbatasan alat. 2.
Menghani Menghani adalah menyusun benang sehingga sesuai dengan lebar dan
panjang kain yang diinginkan. Lebar kain biasanya berkisar antara 110 hingga 115 cm, sedangkan panjang kain bervariasi sesuai jenis kain yang diproduksi. Kain songket bapak dan ibu memiliki panjang 2 hingga 2,5 m, sedangkan untuk bahan baju pengantin dan blazer memiliki panjang 2 m. Proses menghani menghabiskan waktu sekitar 4 jam. 3.
Menyucuk Proses menyucuk adalah memasukkan benang satu per satu ke dalam
bagian mesin tenun yang disebut gun dan kemudian memasukkannya ke dalam bagian mesin yang disebut sisir. Proses ini memakan waktu 3 hingga
37
4 hari. Jumlah benang yang dimasukkan berkisar dari 2.000 hingga 4.000 helai. 4.
Menyetel Proses menyetel dimaksudkan untuk menyesuaikan posisi mesin
dengan kain yang akan diproduksi. Proses menyetel membutuhkan waktu 3 hingga 4 jam tergantung pada keterampilan pengrajin yang melakukannya. 5.
Menenun Proses menenun merupakan tahap terakhir dari pembuatan kain tenun
songket dan paling banyak membutuhkan keterampilan dan kesabaran dari pengrajin. Lamanya proses ini bergantung pada panjang kain yang diproduksi dan jenis motif yang diminta. Semakin rumit motifnya maka semakin lama proses menenun ini dilakukan. Rata-rata proses menenun menghabiskan waktu antara 5 hingga 7 hari. Secara umum, waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit produk berbeda-beda untuk setiap produknya. Lama proses produksi untuk setiap produksi ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Lama Proses Produksi setiap Produk No. Jenis Produk Lama Proses Produksi 1. Sarung Bapak 07 hari 2. Sarung Ibu 07 hari 3. Selendang 07 hari 4. Bahan Blazer 05 hari Produksi satu unit sarung bapak, sarung ibu dan selendang masingmasing membutuhkan waktu 7 hari. Namun jika konsumen memesan satu unit set, yang terdiri dari satu unit sarung bapak, sarung ibu dan selendang, konsumen harus menunggu selama 15 hari hingga pesanannya selesai. Hal ini dikarenakan pengrajin yang menenun set harus pengrajin yang sama untuk menjamin produk yang dihasilkan memilki sentuhan motif yang sama. Proses pengadaan bahan baku yang dilakukan Dekranasda tidak berdasarkan pada perhitungan maupun teknik tertentu. Pemesanan bahan baku hanya dilakukan ketika persediaan bahan baku di tempat produksi hanya kira-kira cukup untuk memproduksi satu lembar kain songket. Cara ini masih terbilang efektif karena bahan baku benang katun dan benang
38
bordir selalu tersedia secara stabil di pasar. Lain halnya dengan benang emas dimana terkadang Dekranasda kehabisan persediaan dan belum bisa mendatangkannya dari pasar karena sedang tidak tersedia. 4.2. Bahan Baku Produk Bahan baku utama pembuatan kain tenun adalah benang, yang terdiri dari benang bordir, benang katun, dan benang emas. Pemakaian ketiga macam benang tersebut bervariasi tergantung pada jenis produk yang dihasilkan. Untuk produk sarung bapak, sarung ibu, dan selendang, bahan baku yang digunakan adalah ketiga macam benang yaitu benang bordir, benang katun, dan benang emas. Sedangkan untuk produk bahan blazer bahan yang digunakan adalah benang bordir saja. Jenis produk dan jenis benang yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis Bahan Baku Setiap Produk No.
Jenis Produk
1.
Sarung Bapak
2.
Sarung Ibu
3.
Selendang
4.
Bahan Blazer
Bahan Baku Benang katun Benang bordir Benang emas Benang katun Benang bordir Benang emas Benang katun Benang bordir Benang emas Benang bordir
Benang bordir dan benang katun didatangkan dari luar kota Pekanbaru, yaitu dari Surabaya dan Bandung. Pengelola usaha tenun Dekranasda telah menjalin suatu kerjasama dengan para supplier di kedua kota tersebut sehingga setiap kebutuhan bahan dapat diproses dengan mudah. Benang emas merupakan produk impor dari Singapura namun sudah ada toko yang menjualnya di dalam kota Pekanbaru. Karena merupakan produk impor, ketersediaan benang emas di pasar terkadang tidak menentu bahkan pernah kosong. Selain itu, harga benang emas bergantung pada kurs Dollar saat itu, atau dengan kata lain memiliki harga yang berfluktuasi. Pengelola usaha tenun biasanya mengantisipasi kekosongan suplai benang emas
39
dengan terlebih dahulu memberitahu kepada pemesan bahwa ada kemungkinan
terjadi
keterlambatan
pemenuhan
pesanan
sehingga
diharapkan pemesan tidak kecewa nantinya. Benang bordir didatangkan dengan bantuan jasa pengiriman darat, dan menghabiskan watu sekitar 5 hari. Benang katun juga didatangkan menggunakan jasa yang sama, dan menghabiskan waktu sekitar 4 hari. Pengadaan benang emas hanya membutuhkan angkutan sekitar dan jika sedang tersedia di pasar maka dapat didatangkan pada hari itu juga. Banyaknya kebutuhan benang untuk memproduksi sarung bapak, sarung ibu dan selendang dihitung dari total kebutuhan benang untuk meproduksi satu unit set. Memproduksi satu set songket dibutuhkan 0,267 kg benang katun, 1 gulung benang bordir dan 2 kotak benang emas. Bagian untuk sarung ibu adalah 1/2, untuk sarung bapak adalah 2/5 dan untuk selendang 1/10 bagian. Sarung bapak dan selendang sering diproduksi secara bersamaan dalam satu proses penenunan. Untuk memproduksi bahan blazer, bahan baku yang dibutuhkan hanya benang bordir, yaitu sebanyak 3 gulung (biasanya dengan 2 kombinasi warna berbeda). Benang bordir dibeli dengan satuan gulung dengan bobot 150 gram tiap gulungnya. Benang katun dibeli dalam satuan kg, sedangkan benang emas dibeli dalam satuan kotak. Harga benang bordir adalah Rp. 20.000,per gulung, benang katun Rp. 130.000,- per kilogram, dan benang emas Rp. 140.000,- per kotak. Jumlah kebutuhan bahan baku dinyatakan dalam bentuk kilogram, gulung dan kotak, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 5. 4.3. Komponen MRP 4.3.1. Bill of Material (BOM) BOM disusun untuk empat jenis produk yang paling sering diproduksi dengan tingkat permintaan yang paling tinggi, yaitu sarung bapak, sarung ibu, selendang, dan bahan blazer. Struktur produk yang disusun terdiri atas 3 level, yaitu level 0, level 1, dan level 2. Level 0
40
merupakan produk akhir yang ingin dihasilkan yaitu keempat macam tenun songket. Tabel 5. Kebutuhan Bahan Baku 1 Jumlah Kebutuhan untuk Memproduksi Jenis Bahan Baku Satu Unit Produk Jumlah Satuan Jenis Produk: Sarung Bapak Benang katun 0,1067 kg Benang bordir 0,4000 gulung Benang emas 0,4000 kotak Jenis Produk: Sarung Ibu Benang katun 0,1333 kg Benang bordir 0,5000 gulung Benang emas 0,5000 kotak Jenis Produk: Selendang Benang katun 0,0267 kg Benang bordir 0,1000 gulung Benang emas 0,1000 kotak Jenis Produk: Bahan Blazer Benang bordir 3 kotak 1.
BOM Level 2 Struktur produk pada level 2 merupakan jumlah kebutuhan benang sesuai dengan satuan pembelian. Benang katun menggunakan satuan kilogram, benang bordir menggunakan satuan gulung, dan benang emas menggunakan satuan kotak. Lead time untuk setiap jenis bahan pada level ini merupakan jangka waktu yang dibutuhkan dari pemesanan dilakukan hingga benang tiba di tempat produksi, sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Lead Time Komponen pada Level 2 Jenis Benang Asal Pemasok Benang Katun Bandung Benang Bordir Surabaya Benang Emas Pekanbaru
2.
Lead Time 4 hari 5 hari 1 hari
BOM Level 1 Benang yang sudah dibeli harus diubah menjadi gulungan baru yang disebut klos. Benang yang sudah diubah menjadi klos sudah dapat digunakan untuk memproduksi kain songket dengan menggunakan
41
mesin. Jumlah kebutuhan benang pada level ini sama dengan level 2, hanya saja menggunakan satuan yang baru. Satu kilogram benang katun setara dengan 15 klos, satu gulung benang bordir setara dengan 2,25 klos, dan satu kotak benang emas setara dengan 1,5 klos. Lead time untuk setiap jenis bahan pada level ini merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah benang menjadi gulungan baru. Kecepatan proses mengubah gulungan adalah 1 kilogram per orang per hari kerja (1 hari kerja adalah 8 jam). Dekranasda hanya memiliki 1 orang karyawan yang melakukan proses ini. Lama waktu yang dibutuhkan untuk mengubah gulungan untuk masing-masing jenis benang dihitung berdasarkan kecepatan proses pengubahan gulungan yaitu 1 kg per hari kerja (8 jam). Melalui informasi tersebut dapat lamanya proses pengubahan gulungan dengan cara membagi jumlah kebutuhan benang dengan kecepatan proses pengubahan gulungan. Hasil perhitungan dinyatakan satuan waktu jam sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Lama Proses Pengubahan Gulungan pada Level 1 Lama Proses (jam) Jenis Bahan Sarung Sarung Selendang Bapak Ibu Klos Katun 0,8536 1,0664 0,2136 Klos Bordir 0,4800 0,6000 0,1200 Klos Emas 0,3200 0,0040 0,0080
Bahan Blazer 3,6 -
Lead time komponen pada level 1 merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah gulungan untuk masing-masing jenis benang. Sebagaimana tertera pada Tabel 7, waktu yang dibutuhkan dinyatakan dalam satuan jam. Namun pada praktek yang sesungguhnya proses mengubah gulungan benang harus dilakukan satu hari sebelumnya karena adanya keterbatasan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Karena itu lead time komponen pada level 1 adalah satu hari, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 8.
42
Tabel 8. Lead Time Komponen pada Level 1 Jenis Komponen Klos Katun Klos Bordir Klos Emas
Lead Time 1 hari 1 hari 1 hari
Struktur produk atau BOM untuk setiap produk disajikan lengkap pada Gambar 6 beserta dengan lead time untuk masing-masing bahan di setiap level. BOM untuk setiap produk tidak dibedakan berdasarkan warna benang dan motif karena didasarkan pada mekanisme penerimaan pesanan yang dilakukan Dekranasda. Setiap konsumen memesan produk tenun dengan permintaan motif dan warna benang yang berbeda, namun Dekranasda sudah terlebih dahulu memberikan pembatasan untuk kemungkinan beragam permintaan motif dan warna tersebut. Motif-motif yang ditawarkan adalah motif-motif yang telah tesedia sehingga konsumen hanya perlu memilih salah satunya sesuai dengan selera. Untuk pemilihan warna, konsumen akan diberitahukan terlebih dahulu persediaan warna benang yang tersedia. Jika warna benang yang tersedia cocok dengan warna yang diinginkan konsumen, maka pesanan dapat langsung diproses. Sebaliknya jika warna yang diinginkan sedang tidak ada, Dekranasda memberikan dua pilihan, mengganti dengan warna lain yang tersedia, atau konsumen dapat membatalkan pesanannya. 4.3.2. Peramalan Penjualan Jadwal induk produksi atau master production schedule didapatkan dari proses peramalan berdasarkan data pemesanan produk oleh konsumen yang tersedia terhitung Januari 2006 hingga April 2010 atau selama 52 periode. Peramalan permintaan disusun untuk 8 periode selanjutnya yaitu Mei hingga Desember 2010. Sebelum melakukan proses peramalan terlebih dahulu perlu diketahui apakah data yang tersedia mengandung pola musiman atau tidak (siklis ataupun stasioner). Pola yang dimiliki oleh data akan mempengaruhi cara melakukan peramalan.
43
Gambar 6. Bill of Material dari Empat Jenis Produk Tenun
44
Jika data mengandung pola musiman maka data dari 52 periode tersebut harus diramalkan secara terpisah menurut kelompok-kelompok musimnya. Jika data tidak mengandung pola musim maka peramalan dilakukan dengan menggunakan keseluruhan data selama 52 periode tanpa dipisahkan. Mendeteksi pola pada data dapat menggunakan analisis autkorelasi sebagaimana yang disebutkan dalam Assauri (1984) bahwa jika: 1.
Apabila semua nilai koefisien autokorelasi berada di dalam batas kepercayaan atau tidak berbeda nyata dengan nol, maka data tersebut memiliki pola random atau acak.
2.
Apabila nilai koefisien autokorelasi pada beberapa time lag pertama secara berurutan berbeda nyata dari nol maka data tersebut memiliki pola tren.
3.
Apabila nilai koefisien autokorelasi pada beberapa time lag yang mempunyai jarak yang sistematis berbeda nyata dari nol maka data tersebut memiliki pola musiman. Analisis autokorelasi dilakukan pada keempat macam produk untuk
masing-masing tahun (tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009). Hasil analisis autokorelasi
menggunakan
bantuan
perangkat
lunak
Minitab
15.0
(Lampiran 2) menunjukkan bahwa data permintaan setiap produk per tahun tidak menunjukkan adanya pola musiman. Hasil ini disebabkan fluktuasi permintaan produk tenun bersifat acak setiap tahunnya. Pada setiap tahun di beberapa periode tertentu memang terdapat kenaikan jumlah permintaan misalnya menjelang hari Raya Idul Fitri, menjelang akhir tahun, dan menjelang ditetapkannya kebijakan seragam dinas yang baru. Namun karena kenaikan tersebut tidak terjadi pada saat yang sama setiap tahunnya, maka tidak terdeteksi adanya pola musiman pada data permintaan konsumen tenun Tengku Agung. Berdasarkan hal tersebut maka peramalan yang dilakukan akan menggunakan seluruh periode data yang tersedia yaitu Januari 2006 hingga April 2010 dengan tidak memisah-misahkan data berdasarkan tahun. Teknik peramalan yang digunakan yaitu Linear Trend Analysis, Quadratic Trend Analysis, Moving Average, Single Exponential Smoothing, dan Double
45
Exponential Smoothing. Parameter kesalahan yang akan menjadi patokan pemilihan teknik terbaik adalah MAD atau Mean Absolute Deviation karena memiliki nilai kesalahan yang paling kecil dibandingkan parameterparameter kesalahan lainnya yaitu MAPE dan MSE (Lampiran 3). Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk sarung bapak adalah Quadratic Trend Analysis. Plot data dengan menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil peramalan menunjukkan nilai yang konstan yaitu 2 unit (Tabel 9).
Trend Analysis Plot for Sarung Bapak Quadratic Trend Model Yt = 6.86018 - 0.131960*t + 0.000935333*t**2 Variable Actual Fits Forecasts
14
Sarung Bapak
12
Accuracy Measures MAPE 80.5134 MAD 2.6285 MSD 10.1901
10 8 6 4 2 0 1
6
12
18
24
30 36 Index
42
48
54
60
Gambar 7. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Sarung Bapak Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk sarung ibu adalah Quadratic Trend Analysis. Plot data dengan menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil peramalan juga menunjukkan nilai yang konstan yaitu 2 unit (Tabel 9).
46
Trend Analysis Plot for Sarung Ibu Quadratic Trend Model Yt = 6.56335 - 0.134660*t + 0.00100079*t**2 Variable A ctual Fits Forecasts
12
Sarung Ibu
10
Accuracy Measures MA PE 88.9600 MA D 2.5981 MSD 9.2991
8 6 4 2 0 1
6
12
18
24
30 36 Index
42
48
54
60
Gambar 8. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Sarung Ibu Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk selendang juga adalah Quadratic Trend Analysis. Plot data dengan menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil peramalan juga menunjukkan nilai yang konstan yaitu 2 unit (Tabel 9).
Trend Analysis Plot for Selendang Quadratic Trend Model Yt = 6.91312 - 0.151901*t + 0.00107478*t**2 Variable A ctual Fits Forecasts
12
Selendang
10
A ccuracy Measures MA PE 81.7778 MA D 2.4122 MSD 8.4866
8 6 4 2 0 1
6
12
18
24
30 36 Index
42
48
54
60
Gambar 9. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Selendang
47
Teknik yang memiliki nilai MAD terkecil untuk peramalan produk bahan blazer adalah Single Exponential Smoothing. Plot data dengan menggunakan teknik ini ditunjukkan pada Gambar 10. Hasil peramalan menunjukkan bahwa permintaan akan produk bahan blazer masih cukup tinggi yaitu 34 unit. Hasil peramalan untuk setiap produk dirangkum dalam Tabel 9.
Single Exponential Smoothing Plot for Bahan Blazer 40
Variable Actual Fits Forecasts 95.0% PI
Bahan Blazer
30
Smoothing Constant Alpha 0.935273 Accuracy Measures MAPE 76.5163 MAD 1.3394 MSD 19.9905
20
10
0 1
6
12
18
24
30 36 Index
42
48
54
60
Gambar 10. Plot Data Quadratic Trend Analisis untuk Bahan Blazer Tabel 9. Hasil Peramalan untuk Setiap Produk Hasil Peramalan (unit) Jenis Produk Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Sarung Bapak 2 2 2 2 2 2 2 Sarung Ibu 2 2 2 2 2 2 2 Selendang 2 2 2 2 2 2 2 Bahan Blazer 34 34 34 34 34 34 34
Des 2 2 2 34
4.3.3. Kapasitas Produksi Optimum Jumlah unit proyeksi berdasarkan hasil peramalan digunakan sebagai input dalam penyusunan jadwal induk produksi. Hasil peramalan dimulai untuk jumlah produksi pada bulan Mei, namun pada bulan Mei hingga pertengahan Juli masih terdapat pesanan pelanggan yang belum terpenuhi, yaitu pesanan dari bulan Maret dan April.
48
Pada bulan Mei dan April Dekranasda mendapatkan pesanan produk bahan blazer dalam jumlah yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan pesanan rata-rata periode sebelumnya. Untuk memenuhi pesanan-pesanan tersebut Dekranasda tidak menambah jumlah mesin ataupun tenaga kerjanya. Karena itu, waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi pesanan dapat mencapai dua bulan dari tanggal awal pemesanannya. Adanya pesanan periode lalu yang belum terselesaikan (carry over) menyebabkan penyusunan MPS harus mempertimbangkan berapa kapasitas maksimun produksi setiap produk selama satu bulan agar dapat diketahui berapa unit yang mampu diproduksi. Hal ini bertujuan agar proses produksi dapat memenuhi baik target ramalan maupun pesanan pelanggan yang belum terselesaikan. Kapasitas optimum produksi untuk keempat produk dihitung menggunakan linear programming, dengan fungsi tujuan dan fungsi kendala dijelaskan sebagai berikut. Fungsi tujuan
yang ingin dicapai adalah
memaksimumkan
keuntungan yang dapat diperoleh dari kombianasi setiap produk. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan masing-masing jenis produk dijelaskan sebagai berikut, dengan penghitungan biaya bahan baku secara lengkap dijelaskan pada Lampiran 6. Tabel 10. Keuntungan Per Unit untuk Setiap Produk Produk
Sarung Bapak Sarung Ibu Selendang Bahan Blazer
Biaya Bahan Baku
80.000 100.000 20.000 60.000
Upah Pengrajin 240.000 300.000 60.000 190.000
Total Biaya 320.000 400.000 80.000 250.000
Harga Keuntungan Jual 480.000 160.000 600.000 200.000 120.000 40.000 400.000 150.000
Fungi kendala yang pertama adalah jam kerja yang tersedia selama periode satu bulan. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk memproduksi semua jenis produk harus lebih kecil daripada total jam kerja tersebut. Dalam satu minggu terdapat enam hari kerja dan satu hari kerja adalah 8 jam. Untuk memproduksi X1, X2, dan X3 dibutuhkan waktu 7 hari atau 56 jam kerja. Memproduksi X4 membutuhkan waktu 5 hari atau 40 jam kerja.
49
Jam kerja untuk memproduksi semua produk selama satu bulan harus lebih kecil daripada 24 hari kerja atau 1344 jam. Fungsi kendala yang kedua merupakan kendala berdasarkan modal kerja yang dimiliki oleh kegiatan usaha. Modal kerja maksimum yang dapat disediakan oleh perusahaan adalah Rp. 5.000.000,- dan biaya untuk memproduksi keempat jenis produk harus lebih kecil daripada modal yang dapat disediakan oleh kegiatan usaha. Fungsi-fungsi kendala yang selanjutnya merupakan batasan jumlah minimum setiap produk untuk diproduksi setiap bulannya. Setiap produk minimal harus diproduksi sebanyak 1 unit dengan tujuan untuk mengantisipasi permintaan konsumen yang terdiri dari beragam produk. Fungsi tujuan dan fungsi-fungsi kendala dijelaskan lengkap dalam persamaan sebagai berikut. Fungsi tujuan: Maksimumkan Z = 160.000X1 + 200.000X2 + 40.000X3 + 150.000X4 Dengan pembatas: 56X1 + 56X2 + 56X3 + 40 X4 ≤ 1344 317,866 X1 + 397,333 X2+ 79,466 X3 + 260 X4 ≤ 5000 X1 ≥ 1 X2 ≥ 1 X3 ≥ 1 X4 ≥ 1 Dengan: X1 = Sarung bapak X2 = Sarung ibu
X3 = Selendang X4 = Bahan blazer
Pencarian nilai optimum untuk X1, X2, X3 dan X4 menggunakan bantuan perangkat lunak LINGO 12.0 dengan menambahkan syarat bahwa hasil X1, X2, X3 dan X4 harus berupa bilangan bulat (Lampiran 3). Hasil pemrograman linier berupa nilai kapasitas optimum untuk masing-masing produk tiap bulannya ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11. Kapasitas Produksi Optimum untuk setiap Produk per Bulan Kapasitas Optimum (unit) Variabel Jenis Produk X1 Sarung Bapak 1 X2 Sarung Ibu 1 X3 Selendang 1 X4 Bahan Blazer 16
50
4.3.4. Jadwal Produksi Induk (Master Production Schedule) Jadwal produksi induk disusun dengan memperhitungkan pesanan periode sebelumnya yang belum terpenuhi dan disesuaikan pula dengan kapasitas optimum produksi setiap produk per bulan. Adanya penghitungan kapasitas optimum setiap produk selama satu bulan menyebabkan hasil peramalan selama 8 periode tidak dapat terselesaikan dalam periode penyusunan MPS yaitu 8 periode. Hal ini antara lain disebabkan adanya pemesanan bulan Maret dan April 2010 yang masih belum dipenuhi dan adanya batasan kapasitas produk yang mampu diproduksi oleh Dekranasda setiap bulannya. Pada Tabel 12 ditunjukkan bahwa semua unit di setiap periode MPS sama dengan jumlah unit maksimumnya. Sebagai contoh sarung bapak (kapasitas maksimum 1 unit), dijadwalkan untuk diproduksi sebanyak 1 unit setiap bulan selama 12 bulan, begitu juga dengan sarung ibu, selendang dan bahan blazer. Pada akhir bulan Desember 2010 terlihat bahwa semua produk masih memiliki pesanan yang belum diselesaikan. Pesanan-pesanan ini harus diselesaikan oleh perusahaan pada periode selanjutnya yaitu tahun 2011. Kapasitas maksimum ditunjukkan dalam tanda kurung. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses pemenuhan pesanan yang dijalankan Dekranasda membutuhkan jangka waktu yang cukup lama, terutama ketika pesanan masuk dalam jumlah yang jauh melebihi kapasitas maksimum produksi. Keadaan ini disebabkan Dekranasda tidak melakukan penambahan sumber daya produksi (mesin dan tenaga kerja) ketika menghadapi peningkatan permintaan. Akibatnya adalah konsumen harus menunggu lebih lama hingga pesanan mereka terpenuhi.
51
Tabel 12. Jadwal Produksi Induk (MPS) Sarung Bapak (1) Ramalan Carry over MPS Sarung Ibu (1) Ramalan Carry over MPS Selendang (1) Ramalan Carry over MPS Bahan Blazer (16) Ramalan Carry over MPS
Mei
Jun
Jul
2 0 1
2 1 1
2 2 1
Mei 2 0 1
Jun 2 1 1
Jul 2 2 1
Mei 2 0 1
Jun 2 1 1
Jul 2 2 1
Mei 34 71
Jun 34 93
Jul 34 115
16
16
16
Periode Ags Sep 2 2 3 4 1 1 Periode Ags Sep 2 2 3 4 1 1 Periode Ags Sep 2 2 3 4 1 1 Periode Ags Sep 34 34 137 159 16
16
Okt
Nop
Des
2 5 1
2 6 1
2 7 1
Okt 2 5 1
Nop 2 6 1
Des 2 7 1
Okt 2 5 1
Nop 2 6 1
Des 2 7 1
Okt 34 181
Nop 34 203
Des 34 225
16
16
16
4.3.5. Catatan Persediaan (On Hand Inventory) On hand inventory tercatat adalah untuk periode per 30 April 2010. Catatan persediaan per tanggal tersebut merupakan input dalam penyusunan rencana kebutuhan material yang dimulai dari bulan Mei 2010. Catatan persediaan per 30 April dijelaskan pada Tabel 13. Tabel 13. On Hand Inventory per 30 April 2010 1 Level dalam BOM Jumlah No. Jenis Benang 1. Benang Katun Level 2 0 2. Benang Bordir Level 2 168 3. Benang Emas Level 2 2 1/2 4. Klos Katun Level 1 0 5. Klos Bordir Level 1 0 6. Klos Emas Level 1 0
Satuan Kg Gulung Kotak Klos Klos Klos
52
4.4. Material Requirement Planning Rencana kebutuhan material (MRP) disusun untuk jangka waktu bulan Mei 2010 hingga Juli 2011 sesuai dengan jadwal induk produksi yang telah disusun. Rencana kebutuhan material pada level 0 (produk akhir) merupakan keseluruhan kombinasi empat macam produk berdasarkan jadwal induk produksi. Penyusunan MRP tidak dibedakan untuk masingmasing produk karena keempat macam produk memiliki bahan baku yang sama walaupun dengan jumlah kebutuhan yang berbeda. Ketiga jenis benang yaitu benang katun, benang bordir dan benang emas memiliki jumlah pemesanan minimum berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh pihak pemasok. Benang katun memiliki minimum order sebanyak 10 kilogram. Benang bordir minimal harus dipesan sebanyak 67 gulung, serta benang emas minimum dapat dibeli sebanyak 1 kotak. Kebijakan minimum order ini akan sedikit mempengaruhi penyusunan MRP dimana terdapat kemungkinan jumlah yang harus dipesan berdasarkan masing-masing teknik akan disesuaikan menjadi sebesar minimum order ini. Teknik penentuan ukuran lot yang akan digunakan dalam MRP terdiri dari tiga macam teknik, yaitu teknik lot for lot, EOQ dan PPB yang dijelaskan sebagai berikut. 4.4.1. Biaya Setup dan Biaya Penyimpanan Biaya setup dan biaya penyimpanan perlu diketahui sebelum penyusunan MRP karena merupakan salah satu input yang penting terutama untuk penyusunan dengan teknik EOQ dan PPB. Biaya penyimpanan satu tahun adalah sebesar Rp. 440.000,- untuk semua jenis komponen. Dengan asumsi bahwa biaya penyimpanan total setahun terbagi sama untuk tiap komponen, yaitu masing-masing untuk benang katun, benang bordir dan benang emas. Biaya setup terdiri dari biaya telepon dan biaya pengiriman. Biaya telepon memiliki tarif sebesar Rp. 350,- per 30 menit dan diasumsikan percakapan dalam rangka menyampaikan pesanan memakan waktu 1,5 menit. Oleh karena itu biaya telepon adalah Rp. 1.050,- per pemesanan.
53
Biaya pengiriman untuk benang katun adalah Rp. 40.000,-, untuk benang bordir adalah Rp. 70.000,- dan untuk benang emas adalah Rp. 8.000,-. Penghitungan biaya setup dan penyimpanan tidak mengikutsertakan komponen-komponen pada level 1 yaitu klos katun, klos bordir dan klos emas. Hal ini dikarenakan komponen-komponen tersebut merupakan komponen antara yang sebenarnya merupakan bahan yang sama pada level 2. Klos katun, klos bordir dan klos emas merupakan benang katun, benang bordir dan benang emas yang telah diproses menjadi bentuk gulungan baru yang dapat langsung digunakan pada mesin tenun. Karena langsung digunakan pada proses produksi tepat setelah dihasilkan, klos katun, klos bordir dan klos emas tidak memiliki biaya setup dan biaya penyimpanan. Biaya penyimpanan per unit per tahun merupakan hasil pembagian dari biaya penyimpanan setahun dengan jumlah persediaan per tahun. Biaya setup merupakan penjumlahan dari biaya telepon dan biaya pengiriman. Biaya penyimpanan dan biaya setup disajikan lengkap pada Tabel 14. 4.4.2. Material Requirement Planning dengan Metode Lot for Lot Ukuran lot yang ditentukan dalam teknik lot for lot adalah sebesar kebutuhan bersih atau dengan kata lain memproduksi unit tepat sebesar berapa yang dibutuhkan. Jadwal produksi yang pertama dimulai dari bulan Mei 2010 pada minggu pertama. Sebanyak 1 unit sarung bapak, 1 unit sarung ibu, 1 unit selendang dan 16 unit bahan blazer yang akan diproduksi dan menempati level 0 dalam penyusunan MRP. Masing-masing 1 unit sarung bapak, sarung ibu dan selendang akan digabungkan menjadi satu set untuk memudahkan penyusunan MRP. Setiap komponen pada level 1 (klos katun, klos bordir dan klos emas) tidak memiliki persediaan awal sehingga jumlah yang harus disediakan adalah sebesar kebutuhan kotor. Karena menggunakan teknik lot for lot maka jumlah penerimaan dan pengiriman order adalah sebesar kebutuhan bersih.
54
Tabel 14. Biaya Penyimpanan dan Setup Biaya Penyimpanan Biaya Jenis Jumlah Penyimpanan/tahun Benang Persediaan/tahun (Rp) Benang 13,03505 kg 146.667 Katun Benang 62,375 gulung 146.667 Bordir Benang 48,875 kotak 146.667 Emas Biaya Setup Jenis Biaya Telepon Biaya Pengiriman Benang (Rp) (Rp) Benang 1.050 40.000 Katun Benang 1.050 70.000 Bordir Benang 1.050 8.000 Emas
Biaya penyimpanan/tahun/ unit (Rp) 11.252 2.351 3.001
Biaya Setup (Rp) 41.050 71.050 9.050
Pada level 2 hanya komponen benang katun yang tidak memiliki sediaan awal. Sedangkan benang bordir dan benang awal memiliki sediaan awal sebanyak 68 gulung dan 2,5 kotak. Kebutuhan bersih merupakan hasil pengurangan antara kebutuhan kotor dengan sediaan yang dimiliki. Karena memiliki sediaan awal maka untuk komponen benang bordir penerimaan dan pengiriman order baru muncul pada bulan Juni 2010. Jumlah penerimaan dan pengiriman adalah sebesar kebutuhan bersih yang diperoleh. Hasil penyusunan MRP dengan teknik lot for lot menunjukkan bahwa terjadi 1 kali pemesanan untuk komponen benang katun, 5 kali pemesanan untuk benang bordir, dan 7 kali pemesanan untuk benang emas. 4.4.3. Material Requirement Planning dengan Metode EOQ Unit pemesanan dalam teknik ini adalah sebesar unit order ekonomis atau unit EOQ yang dapat dihitung menggunakan persamaan:
=
............................................... (19)
Dimana Q = ukuran lot yang akan dipesan, D = kebutuhan pertahun,
55
S = biaya pemesanan pemesanan per order, dan H = biaya penyimpanan per unit per tahun. Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh bahwa ukuran lot untuk benang katun adalah 10 kilogram, ukuran lot untuk benang bordir adalah 61 gulung dan untuk lot benang emas adalah 17 kotak. Ukuran lot benang katun dan benang emas sama atau lebih besar daripada minimum order sehingga tidak mempengaruhi unit EOQ yang akan dipesan. Sementara untuk benang bordir, ukuran lotnya adalah 61 unit, yaitu lebih kecil daripada minimum order. Hal ini menyebabkan jumlah yang dipesan tidak akan mengikuti unit EOQ melainkan mengikuti unit minimum order yaitu 67 unit. Komponen benang katun tidak memiliki sediaan awal sehingga harus dilakukan pemesanan sebesar 10 kilogram pada awal periode, sesuai dengan unit EOQ. Pemesanan sejumlah tersebut ternyata mampu memenuhi kebutuhan bahan hingga 8 periode yang akan datang sehingga tidak perlu dilakukan pemesanan benang katun kembali. Benang bordir dan benang emas mulai dibutuhkan pada bulan Juni dengan jumlah yang dipesan sebesar 67 unit dan 17 kotak. Penyusunan MRP dengan teknik lot sizing EOQ menghasilkan jumlah pemesanan sebanyak 1 kali untuk benang katun, 5 kali untuk benang bordir dan 1 kali untuk benang emas. 4.4.4. Material Requirement Planning dengan Metode PPB Sebagian periode ekonomis (EPP) pada metode ini merupakan perbandingan antara biaya setup dengan biaya penyimpanan. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa EPP untuk benang katun adalah 7 unit, untuk benang bordir adalah 30 unit, sedangkan untuk benang emas adalah 3 unit. Jumlah unit ini merupakan tolok ukur dalam menyeimbangkan periode-periode yang memiliki kumulatif bagian periode yang paling mendekati unit EPP. Terdapat satu penggabungan periode untuk kebutuhan benang katun yang mengharuskan pemesanan dilakukan sebanyak 1 kali sebesar kebutuhan bersih kumulatif periode yang digabungkan tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kebutuhan bersih kumulatif lebih
56
kecil daripada minimum order yaitu 2,0538 kg. Oleh karena itu jumlah yang akan dipesan tetap mengikuti minimum order yaitu sebanyak 10 kg dengan frekuensi pemesanan yang sama yaitu 1 kali. Komponen benang bordir memiliki 8 penggabungan periode dengan kebutuhan bersih kumulatif masing-masing sebesar 49 gulung. Jumlah ini juga masih berada di bawah minimum order, dan karena itu jumlah pemesann yang akan dilakukan adalah 67 unit. Komponen benang emas memiliki 3 penggabungan periode dengan kebutuhan bersih kumulatif berturut-turut sebesar 6, 6, dan 4 kotak. Jumlah ini sudah melebihi minimum order karena itu pemesanan yang dilakukan adalah sebesar kebutuhan tersebut. Pada penggunaan teknik PPB frekuensi pemesanan dilakukan sebanyak 1 kali untuk benang katun, 8 kali untuk benang bordir dan 3 kali untuk benang emas. 4.5. Biaya Total Bahan Baku Secara umum dapat dilihat bahwa frekuensi pemesanan lebih sedikit ketika menggunakan teknik EOQ (Tabel 15), sehingga terdapat kemungkinan teknik ini menghasilkan biaya setup yang lebih rendah. Namun dari segi unit yang disimpan, teknik PPB jumlah unit yang lebih tinggi daripada teknik yang lainnya. Hal ini dapat berarti bahwa teknik PPB menghasilkan biaya penyimpanan yang lebih tinggi. Tabel 15. Perbandingan Frekuensi Pemesanan dan Persediaan yang Timbul untuk setiap Teknik Lot Sizing Frekuensi Pemesanan Persediaan yang Timbul Jenis Lot for Lot for Komponen EOQ PPB EOQ PPB Lot Lot Benang Katun 1 1 1 2.064,7 2.064,7 2.064,7 Benang Bordir 5 5 8 8.036,7 8.036,7 30.820 Benang Emas 7 1 3 132 846 780 Arah proyeksi biaya total bahan baku untuk ketiga teknik lot sizing yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 16. Teknik PPB menghasilkan biaya setup yang paling tinggi untuk setiap komponen. Teknik lot for lot dan EOQ unggul dalam biaya setup dan penyimpanan untuk komponen benang katun. Teknik EOQ lebih unggul dengan menghasilkan biaya setup yang
57
lebih rendah, namun memiliki biaya penyimpanan yang lebih tinggi daripada teknik lot for lot. Tabel 16. Perbandingan Biaya Ketiga Teknik Lot Sizing (dalam Ribu Rupiah) Biaya Total Bahan Biaya Setup Biaya Penyimpanan Jenis Baku Benang Lot Lot for Lot for for EOQ PPB EOQ PPB EOQ PPB Lot
Lot
B. Katun B. Bordir B. Emas
41 355 63
41 355 9
41 568 27
Lot
23.233 18.894
23.233 18.894
23.233 72.458
23.274 19.249
23.274 19.249
23.274 73.026
396
2.539
2.341
459
2.548
2.367
Berdasarkan perbandingan biaya yang ditunjukkan pada Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa pengadaan komponen benang katun optimum jika menggunakan ketiga teknik, yaitu lot for lot, EOQ dan PPB karena ketiganya memiliki biaya total terendah. Pada bahan baku benang bordir teknik lot for lot dan EOQ optimum untuk merencanakan kebutuhan komponen benang bordir karena memiliki total biaya terendah dibandingkan metode PPB. Sedangkan untuk benang emas teknik optimum dengan biaya terendah adalah lot for lot. 4.6. Implikasi Manajerial Berdasarkan
hasil
pembahasan
terdapat
beberapa
implikasi
manajerial yang perlu dilakukan oleh Dekranasda. Dekranasda perlu memperkirakan dan menghitung proyeksi permintaan pelanggan di masa yang akan datang agar dapat mempersiapkan sumber daya yang cukup. Proyeksi permintaan akan datang yang dilakukan dengan metode-metode peramalan dapat digunakan sebagai dasar penyusunan jadwal produksi induk serta dapat digunakan sebagai panduan perusahaan dalam melaksanakan proses produksi yang tepat waktu. Dekranasda sebaiknya memiliki pencatatan yang jelas dan terperinci mengenai bahan baku yang masuk dan yang digunakan agar dapat mencapai manajemen persediaan yang lebih baik. Ketelitian sangat dibutuhkan dalam penerapan sistem pengadaan bahan baku dengan teknik MRP.
58
Pemesanan bahan baku perlu didasarkan pada perhitungan teknikteknik lot sizing dan memilih teknik dengan biaya terendah. Teknik lot for lot, EOQ dan PPB menghasilkan biaya total yang sama untuk bahan benang katun. Namun karena benang katun didatangkan dari luar kota yang jaraknya jauh dari Pekanbaru perusahaan sebaiknya memilih metode EOQ karena memiliki frekuensi pemesanan yang lebih rendah sehingga lebih memudahkan proses pengadaan bahan baku. Pengadaan bahan baku dengan metode EOQ adalah memesan bahan baku dengan jumlah ekonomis yang sama di setiap periode kebutuhan. Jumlah pemesanan optimum berdasarkan metode EOQ untuk komponen benang katun adalah sebesar 10 kg. Teknik Teknik lot for lot dan EOQ menghasilkan biaya total yang sama untuk benang bordir. Karena itu juga sebaiknya pengadaan bahan baku benang bordir dilakukan dengan kuantitas optimum berdasarkan teknik EOQ karena memiliki frekuensi pemesanan yang lebih rendah dibandingkan teknik lot for lot. Benang bordir juga didatangkan dari luar Kota Pekanbaru, karena itu pengadaan bahan baku dengan metode EOQ sangat cocok untuk diterapkan sehingga perusahaan dapat menyimpan sejumlah persediaan bahan baku untuk beberapa periode mendatang. Jumlah pemesanan optimum berdasarkan metode EOQ untuk komponen benang bordir adalah 61 unit, namun karena pihak pemasok menetapkan kebijakan minimum order, maka jumlah pemesanan yang dapat dilakukan adalah sebesar kebijakan tersebut, yaitu 67 unit. Pengadaan komponen benang emas dapat dilakukan dengan teknik lot fot lot, yaitu dapat didatangkan tepat ketika dibutuhkan dan dengan kuantitas pemesanan sebesar kebutuhan. Cara ini memang menghasilkan frekuensi pemesanan yang lebih sering namun sesuai dengan jarak pemasok dengan Dekranasda yang dekat sehingga tidak akan mengganggu proses produksi serta dapat menghemat biaya. Proses pemenuhan pesanan yang dilakukan perusahaan selama ini membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga konsumen harus menunggu lebih lama hingga pesanannya selesai dikerjakan. Peningkatan kapasitas
59
produksi dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, yang dapat berupa penambahan jumlah mesin dan jumlah tenaga kerja. Hasil analisis teknik yang paling optimum ini dapat berbeda jika diterapkan pada kegiatan usaha yang berbeda pula. Hal ini dikarenakan setiap kegiatan bisnis yang dijalankan oleh usaha kecil menengah memiliki ruang lingkup
yang relatif kecil sehingga terdapat kemungkinan
keberagaman yang tinggi. Berbeda dengan perusahaan besar yang memiliki tingkat permintaan yang relatif tetap dan sumber daya yang lebih besar sehingga penyusunan MRP dapat dilakukan dengan teknik lot sizing yang sama untuk semua komponen bahannya. Salah satu keunikan mendasar pada kegiatan bisnis tenun songket Dekranasda adalah bahan baku utama yang berupa benang. Kegiatan usaha lain dapat memiliki bahan baku yang dapat dinyatakan dalam satuan unit, buah, atau pasang, sememtara kebutuhan benang tidak dapat dinyatakan dalam satuan unit yang utuh melainkan merupakan bagian tertentu yang merupakan kebutuhan masing-masing produk. Keunikan kebutuhan bahan ini nantinya akan berpengaruh pada penyusunan kebutuhan bahan, pemesanan yang harus dilakukan serta biaya yang harus dikeluarkan. Karena itu perusahaan perlu untuk mengetahui secara tepat kebutuhan benang untuk proses produksi dan mendatangkannya pada saat yang tepat agar tidak menghambat proses bisnis perusahaan.
60
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan 1.
Perencanaan kebutuhan bahan baku untuk produk kerajinan seperti songket memiliki ciri khas tersendiri dimana produk dihasilkan dalam waktu yang relatif lama (hingga 15 hari) dan dengan proses produksi yang sangat padat karya.
2.
Pengadaan bahan baku yang dilakukan Dekranasda belum berdasarkan pada perhitungan maupun teknik tertentu.
3.
Walaupun tenun songket hanya membutuhkan bahan baku berupa benang namun struktur produk (BOM) tenun songket tidak terlalu sederhana karena terdiri dari 3 level struktur produk.
4.
Setiap produk tenun Dekranasda memiliki struktur produk (BOM) yang terdiri dari 3 level, level 0 merupakan produk akhir dan level 1 dan 2 masing-masing terdiri dari 3 komponen.
5.
Terdapat sejumlah pesanan dari periode sebelumnya yang belum terpenuhi (carry over) pada proses produksi sehingga perlu ditentukan berapa kapasitas produksi maksimum untuk setiap produk agar target produksi dan pesanan pelanggan dapat terpenuhi.
6.
Kapasitas maksimum produk yang mampu diproduksi perusahaan adalah 1 unit untuk sarung bapak, 1 unit untuk sarung ibu, 1 unit untuk selendang dan 16 unit untuk bahan blazer.
7.
Jumlah bahan baku benang katun yang harus disediakan setiap kali pengadaan paling optimum jika menggunakan ketiga teknik yaitu lot for lot, EOQ dan PPB. Namun teknik EOQ lebih sesuai diterapkan dikarenakan lokasi pemasok yang berada di luar kota. Untuk bahan baku benang bordir teknik lot for lot dan EOQ menghasilkan biaya yang sama namun teknik EOQ lebih baik diterapkan karena lokasi pemasok yang juga berada di luar kota. Pengadaan bahan baku benang emas menggunakan teknik lot for lot.
8.
Jumlah pemesanan optimum untuk benang katun dan benang bordir berdasarkan teknik EOQ adalah 10 kg dan 61 unit. Namun karena pihak
61
pemasok menerapkan kebijakan minimum order, jumlah pemesanan untuk benang bordir harus mengikuti kebijakan tersebut yaitu 67 unit. Kuantitas pemesanan untuk benang emas adalah sebesar kebutuhan bersih periode tersebut. 2.
Saran 1.
Dekranasda dapat mulai merencanakan peningkatan kapasitas produksi (baik mesin maupun tenaga kerja) dengan tujuan memperkecil waktu yang dibutuhkan konsumen hingga pesanannya selesai dikerjakan. Langkah ini sesuai untuk menghadapi kemungkinan permintaan yang semakin mengingkat.
2.
Pengadaan bahan baku sebaiknya dilakukan secara terencana agar dapat meminimalkan biaya bahan baku. Teknik EOQ sebaiknya diterapkan untuk pengadaan benang katun dan benang bordir, sedangkan teknik lot for lot dapat diterapkan dalam pengadaan benang emas.
3.
Perencanaan kebutuhan bahan baku pada industri kecil menengah bersifat sangat unik dan membutuhkan banyak penyesuaian terhadap teori baku yang telah ada. Karena itu penelitian-penelitian lebih lanjut mengenani perencanaan bahan baku pada UKM sangat disarankan untuk menambah suatu pengetahuan yang baru.
62
DAFTAR PUSTAKA
Adihartati, F.W. 1997. Perencanaan Kebutuhan Material untuk Produk Kulit pada PT Surya Puspita dan PT Tunas Sukses. Skripsi. Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aminudin. 2005. Prinsip-Prinsip Riset Operasi. Erlangga, Jakarta. Anonim. 2010. Klasifikasi Industri. www.organisasi.org [19 Agustus 2010]
_______ 2010. Kriteria Usaha Kecil. www.wikipedia.org [19 Agustus 2010]
Gaspersz, V. 2005. Production Planning and Inventory Control berdasarkan Pendekatan Sistem Terintegrasi MRP II dan JIT Menuju Manufakturing 21. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Haming, M. dan Mahfud N. 2007. Manajemen Produksi Modern. Bumi Aksara, Jakarta. Heizer, J. dan Barry R. 2005. Operations Management. Salemba Empat, Jakarta. Herjanto, E. 2003. Manajemen Produksi dan Operasi. Grasindo, Jakarta. Ishak, A. 2010. Manajemen Operasi. Graha Ilmu, Yogyakarta. Kurniawati, A. D. 2009. Peramalan Penjualan Cokelat Candy dan Cookies sebagai Acuan dalam Perencanaan Kuantitas Produk pada UKM Waroeng Coklat di Kota Bogor. Skripsi. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyono, S. 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Nahmias, S. Production and Operations Analysis. Fifth Edition. 2005. Mc Graw Hill Companies, USA. Prawirosentono, S. 2005. Riset Operasi dan Ekonofisika. Bumi Aksara, Jakarta.
63
Putra, A. T. 2005. Analisis Pengendalian Bahan Baku Produk Ban pada PT Goodyear Indonesia, Tbk. Skripsi. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rahmasari. 2004. Perencanaan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kimia di PT Dankos Laboratories Tbk Jakarta Timur. Skripsi. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rasto. 1996. Rancang bangun Sistem Perencanaan Kebutuhan Material untuk Produk Lemari Pakaian Olympic Group Bogor. Skripsi. Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Russel, R. S. and Bernard W. T III. Operations Management. Fourth Edition. 2003. Prentice Hall, USA. Supranto. 2005. Teknik Pengambilan Keputusan. Rineka Cipta, Jakarta. Syadiash. 2010. Pengertian Perusahaan. www.syadiashare.com [19 Agustus 2010] Zein, D. R. 2004. Kajian Pengendalian dan Pengadaan Bahan Baku pada PT Petrokimia Gresik. Skripsi. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
64
Mempelajari sistem produksi perusahaan
Mempelajari sistem pengadaan bahan baku perusahaan
Menghitung dan menganalisis sistem pengadaan persediaan dengan MRP, membandingkan hasilnya dengan perusahaan
Data yang Dibutuhkan • Barang yang diproduksi • Bahan baku utama dan penolong • Jenis sistem produksi • Sifat bahan baku • Karakteristik pengadaan bahan baku • Rencana produksi agregat • Ramalan penjualan • Pesanan dari pelanggan • Transaksi persediaan • Transaksi pembelian • Lead time pemesanan • Perubahan rekayasa produk • Jumlah lot pemesanan
Jenis Data
Sumber Data
Teknik Pengolahan Data
Hasil Diharap kan
• Primer • Sekunder
Departemen produksi
• Wawancara mendalam • Observasi langsung • Studi literatur
Analisis Deskriptif
Gambaran sistem produksi dan karakteristik proses prpduksi perusahaan.
• Primer • Sekunder
Dokumen persediaan departemen produksi
• Wawancara mendalam • Observasi langsung • Studi literatur
Analisis Deskriptif
Hasil analisis sistem pengadaan bahan baku
• Wawancara mendalam • Observasi langsung • Studi literatur
• Analisis logika proses MRP • Analisis perbandingan
• Jadwal induk produksi • File catatan persediaan • Struktur produk (Bill of Material) • Teknik lot sizing yang tepat • Rencana kebutuhan material • Proyeksi biaya persediaan
• Jadwal induk produksi • Primer • Catatan persediaan • Sekunder • Struktur produk (Bill of Material) • Biaya pesanan rata-rata • Biaya penyimpanan rata-rata
Lampiran 1. Kebutuhan dan Analisis Data
Tujuan
Teknik Pengumpulan Data
64
65
Lampiran 2. Analisis Autokorelasi 1. Sarung Bapak Semua time lag
Autocorrelation Function for 2006 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0 0.8
nyata dengan 0.
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2
3
4
Lag
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2007 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0 0.8
nyata dengan 0.
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2008 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
66
Lanjutan Lampiran 2. Semua time lag
Autocorrelation Function for 2009 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
2. Sarung Ibu Semua time lag
Autocorrelation Function for 2006 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2007 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0 0.8
nyata dengan 0.
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
67
Lanjutan Lampiran 2. Semua time lag
Autocorrelation Function for 2008 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2009 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
3. Selendang Semua time lag
Autocorrelation Function for 2006 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
68
Lanjutan Lampiran 2. Semua time lag
Autocorrelation Function for 2007 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2008 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2009 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
69
Lanjutan Lampiran 2. 4. Bahan Blazer Semua time lag
Autocorrelation Function for 2006 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2007 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
Semua time lag
Autocorrelation Function for 2008 (with 5% significance limits for the autocorrelations)
tidak berbeda
1.0
nyata dengan 0.
0.8
Autocorrelation
0.6
Pola random atau
0.4 0.2
acak.
0.0 -0.2 -0.4 -0.6 -0.8 -1.0 1
2 Lag
3
70
Lampiran 3. Parameter Kesalahan Tiap Metode Peramalan SARUNG BAPAK MAPE MAD MSD SARUNG IBU MAPE MAD MSD SELENDANG MAPE MAD MSD BAHAN BLAZER MAPE MAD MSD
1 81.1668 2.6323 10.2255
2 80.5134 2.6285 10.1901
3 112.994 2.946 12.959
4 5 101.668 100.212 2.847 2.944 11.450 14.714
1 90.3632 2.6238 9.3397
2 88.9600 2.5981 9.2991
3 118.105 2.714 11.531
4 5 107.695 109.323 2.733 2.766 10.493 13.308
1 83.8732 2.4456 8.5334
2 81.7778 2.4122 8.4866
3 114.962 2.619 10.569
4 5 103.135 106.700 2.589 2.667 9.754 11.654
1 230.497 4.930 55.805
2 226.215 4.324 37.553
3 73.7451 1.8707 30.4512
4 5 76.5163 82.7382 1.3394 1.3451 19.9905 19.9864
Keterangan: 1 : Linear Trend Analysis 2 : Quadratic Trend Analysis 3 : Moving Average 4 : Single Exponential Smoothing 5 : Double Exponential Smoothing
71
Lampiran 4. Penghitungan EOQ dan EPP 2 .13,035 .41050 MN = ∗ FJEFP QDJAJR PAEFJ = S = 9,753 ≈ 10 PR 11252
2 .62,375 .71050 MN = ∗ FJEFP QDJAJR Q]^_@^ = S = 61,396 ≈ 61 RFaFJR 2351
2 . 48,875 .9050 = 17,169 ≈ 17 P]EAP MN = ∗ FJEFP QDJAJR DKAC = S 3001 Mcc QDJAJR PAEFJ =
41050 = 7 FJ@E 11252
71050 = 30 FJ@E 2351 9050 Mcc QDJAJR DKAC = = 3 FJ@E 3001
Mcc QDJAJR Q]^_@^ =
Keterangan: EOQ = jumlah unit optimum pada setiap pemesanan EPP = perbandingan biaya setup dengan biaya penyimpanan (sebagian periode ekonomis)
72
Lampiran 5. Perhitungan penggabungan EPP Kebutuhan Bersih Kumulatif
Kumulatif Bagian Periode
1,2,3,4,5,6,7
2,0538
0,2667 (1-1) + 0,2667 (2-1) + 0,2667 (3-1) + 0,2667 (4-1) + 0,2667 (5-1) + 0,2667 (6-1) + 0,2667 (7-1) + 0,2667 (8-1) = 7,4676
1,2 3,4 5,6 7,8 9,10 11,12 13,14 15,16
49 49 49 49 49 49 49 49
1 (1-1) + 48 (2-1) = 48 1 (3-3) + 48 (4-3) = 48 1 (5-5) + 48 (6-5) = 48 1 (7-7) + 48 (8-7) = 48 1 (9-9) + 48 (10-9) = 48 1 (11-11) + 48 (12-11) = 48 1 (13-13) + 48 (14-13) = 48 1 (15-15) + 48 (16-15) = 48
1,2,3 4,5,6 7,8
6 6 4
1 (1-1) + 1 (2-1) + 1 (3-1) = 3 1 (4-4) + 1 (5-4) + 1 (6-4) = 3 1 (7-7) + 1 (8-7) = 2
Benang Emas
Benang Bordir
Benang Katun
Periode digabungkan
73
Lampiran 6. Perhitungan Biaya Bahan Baku Jenis Produk Sarung Bapak
Sarung Ibu
Selendang Bahan Blazer
Kebutuhan Bahan Baku 0,1067 kg 0,4 gulung 0,4 kotak 0,1333 kg 0,5 gulung 0,5 kotak 0,0267 kg 0,1 gulung 0,1 kotak 3 gulung
Harga 145.000 20.000 140.000 145.000 20.000 140.000 145.000 20.000 140.000 20.000
Biaya Bahan Baku 15.472 8.000 56.000 19.329 10.000 70.000 3.872 2.000 14.000 60.000
Total Biaya Bahan Baku 79.472 ≈ 80.000 99.329 ≈ 100.000 19.872 ≈ 20.000 80.000
74
Lampiran 7. Output LINGO 12.0 MAX= 160000*X1 + 200000*X2 + 40000*X3 + 150000*X4; !subject to; !2. kendala modal dalam 1 bulan; 317.866*x1 + 397.333*x2 + 79.466*x3 + 260*x4<= 5000; !3. kendala batas maksimum mesin dan pengrajin selama 1 bulan; 56*X1 + 56*X2 + 56*X3 + 40*X4 <= 1344; !4. kendala setiap minimal dan maksimal produksi; x1 >= 1 ; x2 >= 1 ; x3 >= 1 ; x4 >= 1; !5. kendala semua barang harus berupa integer(bilangan bulat); @GIN(X1); @GIN(X2); @GIN(X3); @GIN(X4); End Global optimal solution found. Objective value: Objective bound: Infeasibilities: Extended solver steps: Total solver iterations:
2800000. 2800000. 0.000000 0 4
Model Class:
PILP
Total variables: Nonlinear variables: Integer variables:
4 0 4
Total constraints: Nonlinear constraints:
7 0
Total nonzeros: Nonlinear nonzeros: Variable X1 X2 X3 X4 Row 1 2 3 4 5 6 7
16 0 Value 1.000000 1.000000 1.000000 16.00000 Slack or Surplus 2800000. 45.33500 536.0000 0.000000 0.000000 0.000000 15.00000
Reduced Cost -160000.0 -200000.0 -40000.00 -150000.0 Dual Price 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Lampiran 8. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing Lot for Lot 75
Lanjutan Lampiran 8. 76
Lanjutan Lampiran 8. 77
Lanjutan Lampiran 8. 78
Lanjutan Lampiran 8. 79
Lanjutan Lampiran 8. 80
Lanjutan Lampiran 8. 81
Lanjutan Lampiran 8. 82
Lampiran 9. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing EOQ 83
Lanjutan Lampiran 9. 84
Lanjutan Lampiran 9. 85
Lanjutan Lampiran 9. 86
Lanjutan Lampiran 9. 87
Lanjutan Lampiran 9. 88
Lanjutan Lampiran 9. 89
Lanjutan Lampiran 9. 90
Lampiran 10. Proses MRP dengan Teknik Lot Sizing PPB 91
Lanjutan Lampiran 10. 92
Lanjutan Lampiran 10. 93
Lanjutan Lampiran 10. 94
Lanjutan Lampiran 10. 95
Lanjutan Lampiran 10. 96
Lanjutan Lampiran 10. 97
Lanjutan Lampiran 10. 98