1
PENERAPAN BASIS AKRUAL PADA PEMERINTAH DAERAH (STUDI KASUS AKUNTANSI ASET TETAP DI PEMERINTAH KABUPATEN PONOROGO) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memahami permasalahan serta kesiapan pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo dalam menerapkan sistem akuntansi dari basis kas menuju basis akrual. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif untuk mengetahui kesiapan pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo dalam menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual dan menganalisis kendala-kendala sebagai penghambat dalam penerapan sistem akuntansi tersebut. Pengumpulan data dengan cara wawancara terhadap informan, baik eksekutif maupun legislatif yang terlibat dalam mempersiapkan penerapan sistem akuntansi berbais akrual yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010. Pengumpulan data wawancara tersebut diperkuat dengan observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak kendala-kendala dalam menerapkan sistem akuntansi berbasis akrual. Kendala tersebut diantaranya lemahnya dukungan dari para pimpinan satuan unit kerja yang terkait, lemahnya sumber daya manusia yang ada dalam mendukung terlaksananya sistem keuangan tersebut, serta biaya atau anggaran yang dibutuhkan dalam mempercepat penerapan sistem tersebut. Dukungan dari legislatif merupakan modal utama dalam mempersiapkan penerapan basis tersebut. Tetapi, penerapan sistem ini masih memerlukan waktu terutama perlunya dukungan dari kepala daerah. Kata kunci : Basis akrual, dukungan politik, sumber daya manusia.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Latar belakang permasalahan ini adalah perlunya menyusun dalam menyajikan laporan keuangan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Merujuk UndangUndang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 yang mempunyai lingkup pengaturan yang meliputi SAP berbasis akrual dengan dapat segera setiap entitas melaksanakannya dan SAP berbasis kas menuju akrual yang berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP berbasis akrual. Pada tahun 2015 ini, setiap entitas wajib melaksanakan akuntansi berbasis akrual. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Ponorogo mulai menerapkan akuntansi berbasis akrual. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kesiapan yang didasarkan
PP
71
tahun
2010
bahwa
selambat-lambatnya
tahun
2015
harus
diimplementasikan SAP berbasis akrual, kendala yang harus dihadapi dalam melaksanakan SAP berbasis akrual, serta analisis manfaat jika dilaksanakan SAP berbasis akrual.
2
Pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo memiliki berbagai aset, terutama aset tetap yang belum memiliki nilai pasar atau nilai sekarang bahkan masih banyak aset yang belum memiliki legalitas terutama asset tanah yang belum bersertifikasi. Berbagai aset yang belum bernilai sesuai harga sekarang maupun yang belum bersertifikasi ini merupakan kendala utama dalam pelaksanaan akuntansis berbasis akrual. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih jauh permasalahan asset terkait implementasi akrual. Dalam penelitian ini ada beberapa pertanyaan, diantaranya adalah sebagai berikut. 1.
Bagaimana kesiapan dan motivasi serta dukungan politik dalam penerapan akuntansi akrual di Kabupaten Ponorogo?
2.
Bagaimana penerapan akrual terkait aset tetap di Kabupaten Ponorogo?
3.
Bagaimana penerapan akrual menurut perspektif Inspektorat Kabupaten Ponorogo?
4.
Bagaimana manfaat dan kendala penerapan akrual dari perspektif pengguna laporan keuangan?
2. LANDASAN TEORI 2.1 Basis Pencatatan Dalam menyusun laporan keuangan, sebelumnya, harus menentukan basis akuntansi yang merupakan prinsip-prinsip akuntansi untuk menentukan kapan peristiwa yang mempengaruhi atas transaksi yang harus diakui dalam menentukan tujuan pelaporan keuangan. Secara umum, terdapat dua basis akuntansi, yaitu basis kas dan basis akrual. Selain dari dua basis tersebut, ada modifikasi basis akuntansi yang biasa disebut basis kas menuju akrual. 1. Basis Kas Tikk (2009) menyatakan pada akuntansi berbasis kas ini mengakui transaksi ekonomi dan kejadian lain ketika kas di terima atau dibayarkan. Informasi sumber dana dalam satu periode dapat di sediakan dengan menggunakan metode akuntansi berbasis kas ini. Dalam metode ini biasanya model pelaporan keuangan berbentuk laporan penerimaan dan pembayaran atau laporan arus kas. Dalam penerapan di instansi pemerintah, penggunaan basis kas pada laporan realisasi anggaran menyatakan bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima oleh kas umum negara/daerah. Kelebihan-kelebihan dalam menggunakan metode akuntansi berbasis kas diantaranya pada laporan keuangan dengan basis kas menunjukkan sumber dana, alokasi dan penggunaan sumber-sumber kas, mudah untuk dimengerti dan dijelaskan, pembuat laporan keuangan tidak membutuhkan pengetahuan yang mendetail tentang
3
akuntansi, dan tidak memerlukan pertimbangan ketika menentukan jumlah arus kas dalam suatu periode. Tikk (2009) juga menyatakan basis kas ini lebih sederhana dan murah. Selain kelebihan tersebut, akuntansi berbasis kas juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan tersebut diantaranya hanya menitikberatkan pada arus kas dalam periode pelaporan berjalan, dan mengabaikan arus sumber daya lain yang mungkin akan berpengaruh pada kemampuan pemerintah untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa saat sekarang dan saat mendatang. Selain itu, laporan posisi keuangan (neraca) tidak dapat disajikan, karena tidak terdapat pencatatan secara double entry; tidak dapat menyediakan informasi mengenai biaya pelayanan (cost of service) sebagai alat untuk penetapan harga (pricing), kebijakan kontrak publik, untuk kontrol dan evaluasi kinerja. Selain itu, akuntansi basis kas bukan pilihan yang terbaik kaena pendekatan beban tidak terkait dengan biaya layanan (Tikk, 2009) Keterbatasan akuntansi kas menurut Khan dan Stephen (2007) berkaitan dengan pencatatan yang hanya penerimaan dan pembayaran secara kas dan ini merupakan relatif sederhana dalam pengoperasian. Kesederhanaan ini merupakan kegagalan akuntansi kas dalam menyediakan informasi yang penting tentang transaksi nonkas, aset dan kewajiban. 2. Basis Kas Menuju Akrual Dalam penerapan akuntasi berbasis akrual, pemerintah daerah belum bisa menerapkan dengan segera. Untuk itu, pemerintah daerah bisa menerapkan secara bertahap dari penerapan SAP menuju akrual menjadi penerapan SAP berbasis akrual (PP 71 tahun 2010). Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berbasis kas menuju akrual adalah SAP yang mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan berbasis kas, serta mengakui aset, utang, dan ekuitas dana berbasis akrual. Dalam laporan realisasi anggaran yang menggunakan basis kas, hal ini berarti bahwa pendapatan diakui pada saat kas diterima di rekening kas umum negara/daerah atau oleh entitas pelaporan dan belanja diakui pada saat kas dikeluarkan dari rekening kas umum negara daerah atau entitas pelaporan. Aset, kewajiban, dan ekuitas dana yang terdapat pada neraca yang sudah menerapkan basis akrual, diakui dan dicatat pada saat terjadinya transaksi, atau pada saat terjadinya atau kondisi lingkungan yang berpengaruh pada keuangan pemerintah, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar. Pelaksanaan basis kas menuju akrual ini direncanakan sampai tahun 2014, dan diharapkan pada tahun 2015 seluruh entitas pemerintah pusat maupun daerah telah menjalankan akuntasi berbasis akrual. Suryanovi (2008) menyatakan penggunaan basis kas
4
menuju akrual akan bertentangan dengan pasal 36 UU Nomor 17 Tahun 2003 sertapasal 70 UU Nomor 1 Tahun 2004. 3. Basis Akrual Saat ini, sebagian laporan keuangan pemerintah daerah. sudah menggunakan basis akrual. Dalam perubahan sitem basis akrual ini, menurut Nasi dan Steccolini (2008), salah satu pilar reformasi ditunjukkan dengan perubahan didalam sistem akuntansi menuju adopsi laporam akrual dan sistem pengendalian manajemen. Penggunaan sistem akuntansi akrual di sektor publik merupakan reformasi dari elemen
ekonomi. Ouda (2004)
menyatakan tujuan utama dari reformasi sektor publik adalah mendorong kinerja budaya dan membuat kebutuhan pemerintah pada sektor publik lebih responsif. Sesuai amanat dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan diperjelas dalam peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, maka penerapan akuntansi berbasis akrual selambat-lambatnya tahun 2015 (PP 71 tahun 2010). Dengan batas waktu yang telah habis ini, sebenarnya penerapan akrual harus telah diimplementasikan terhadap seluruh entitas sektor publik di seluruh Indonesia. Bastian (2006) menyatakan pemilihan dasar akrual juga diperkuat oleh standar akuntansi keuangan sektor publik. Hal ini dinyatakan bahwa basis pencatatat akuntansi menggunakan basis akrual yang dipilih oleh standar akuntansi keuangan sektor publik. Tikk (2009) menyatakan akuntansi basis akrual memberikan gambaran yang paling akurat dari posisi laporan keuangan pada perusahaan. Basis akrual akan meningkatkan kualitas dan transparansi laporan keuangan sektor publik dengan menyediakan informasi yang lebih baik untuk manajemen keuangan sektor publik dan dalam membuat keputusan. Penerapan basis akuntansi seharus mempunyai manfaat dengan biaya yang dikeluarkan. Bastian (2006) menyatakan manfaat standar akuntansi keuangan sektor publik, diantaranya : a. Meningkatkan kualitas dan reliabilitas laporan akuntansi dan keuangan pemerintah. b. Meningkatkan kinerja keuangan dan perekonomian. c. Mengusahakan harmonisasi antara persyaratan atas laporan ekonomis dan keuangan. d. Mengusahakan harmonisasi antar yuridiksi dengan menggunakan dasar akuntansi yang sama. Menurut Khan dan Stephen (2007) menyatakan bahwa sistem akuntansi akrual akan memberikan manfaat untuk semua negara baik level makro maupun mikro, lebih
5
lanjut bahwa dengan sistem ini semua negara akan memperoleh kebermanfaatan daripengukuran yang lebih komprehensif pada keberlangsungan fiskal yang mana akuntansi akrual dapat menyediakan informasi dengan sumber yang lengkap dan tidak hanya belanja kas pada program pemerintah dan meningkatkan transparansi, fokus terhadap manajemen yang lebih baik untuk aset dan kewajiban. Meskipun memiliki manfaat seperti tersebut diatas, namun penerapan basis akrual juga memiliki kelemahan. Menurut Healy (1985) dalam Scott (2005:311), dengan mendasarkan bonus yang maksimal, manager perusahaan akan membuat laporan dengan memaksimalkan keuntungan bersih dengan cara mengadopsi metode basis akrual. Menurut Nasi dan Steccolini (2008), penerapan basis akrual disektor publik tidak cocok karena : 1.
Keuntungan bukan tujuan utama dan karenanya tidak dapat sebagai ukuran yang relevan untuk kinerja.
2.
Struktur keuangan tidak relevan didalam dunia publik.
3.
Akuntansi akrual tidak mengukur hasil.
4.
Akuntansi akrual menyediakan ide yang sempit dari kinerja, fokus dalam biaya layanan dan efisiensi.
2.2 Pengelolaan Aset Penelitian ini sangat erat kaitannya dengan aset. Pemerintah memiliki berbagai macam aset dan melakukan pengelolaan aset. Dalam neraca, aset memberikan informasi berupa posisi keuangan bila dikaitkan dengan elemen neraca lainnya yaitu kewajiban dan ekuitas dana. Dalam potensi jasa fisik maupun non fisik yang menunjukkan kemampuan pemerintah dalam menyediakan barang dan jasa dapat direpresentasikan dalam aset. Fungsi aset dalam pemerintah daerah ada dua fungsi, diantaranya fungsi pelayanan dan fungsi budgeter. Dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, aset dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan organisasi. Dalam hal ini,
aset dapat dikatakan berfungsi sebagai
pelayanan sedangkan aset berfungsi sebagai budgeter jika aset dapat dimanfaatkan untuk sewa, bangun serah guna, dan bangun guna serah yang dapat menambah tambahan sumber PAD (Krisindarto, 2012). Untuk lebih mudah memahaminya, pengertian aset, menurut Suwardjono (2011), adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang diperoleh atau dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat dari transaksi atau kejadian masa lalu. Dari definisi tersebut, tiga karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu obyek atau pos dapat disebut aset adalah (a) manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti, (b) dikuasai atau dikendalikan oleh entitas, dan (c) timbul akibat transaksi masa lalu.
6
Dalam neraca pada pemerintahan Kabupaten Ponorogo, aset dapat diklasifikasikan menjadi 2 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo, yaitu: 1. Aset Lancar Aset lancar adalah jenis aset yang digunakan dalam jangka waktu kurang dari satu tahun. Menurut Kieso et al (2009), aset lancar meliputi kas (cash) dan setara kas (cash equivalents), investasi jangka pendek (short-term investments), piutang (receivables), persediaan (inventories) dan pembayaran dimuka (prepaid expenses). 2. Aset Tidak Lancar Kebalikan dari aset lancar, aset non lancar merupakan aset pemerintah yang penggunaannya diharapkan melebihi satu periode pelaporan (lebih dari satu tahun). Dalam neraca, aset non lancar diklasifikasikan menjadi investasi jangka panjang, aset tetap, dana cadangan, dan aset lainnya. a.
Investasi jangka panjang Investasi jangka panjang adalah investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki selama lebih dari 12 (dua belas) bulan.
b.
Aset tetap Pemerintah daerah memiliki banyak gedung dan bangunan yang dipakai dalam keadaan layak digunakan untuk segala aktivitas pemerintah. Bangunan gedung merupakan hasil pekerjaan konstruksi yang terintegrasi dengan tanah dalam bangunan tersebut. Tanah yang masuk dalam klasifikasi aset ini adalah tanah yang digunakan untuk gedung, bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan. Tanah yang merupakan aset tetap ini dapat digunakan peruntukan untuk kepentingan umum, misalnya taman penghijauan di tempat fasilitas umum dan bisa juga dimanfaatkan peruntukkannya untuk fungsi pelaksanaan pemerintah. Aset tetap berikutnya berupa peralatan dan mesin. Hal ini mencakup mesin-mesin dan kendaraan bermotor, alat elektronik, dan seluruh inventaris kantor yang nilainya signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 bulan dan dalam kondisi siap pakai. Pada pemerintahan daerah biasanya terdapat peralatan berat pada dinas pekerjaan umum, alat-alat kedokteran pada dinas kesehatan, komputer serta peralatan elektronik lainnya pada SKPD. Aset tetap lainnya yaitu berupa jalan, irigasi, dan jaringan mencakup jalan, irigasi, dan jaringan yang dibangun oleh pemerintah serta dimiliki dan/atau dikuasai oleh pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Tanah yang diperoleh untuk keperluan dimaksud dimasukkan dalam kelompok tanah. Aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam kelompok aset tetap di atas yang
7
diperoleh dan dimanfaatkan untuk kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Dalam hal pembangunan kontsruksi yang belum selesai karena sesuatu hal, maka pengakuannya dapat diklasifikasikan pada konstruksi dalam pengerjaan, yang mencakup aset tetap yang sedang dalam proses pembangunan karena sesuatu hal pada tanggal laporan keuangan belum selesai seluruhnya. c.
Dana Cadangan Dana cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran.
d.
Aset nonlancar lainnya Aset nonlancar lainnya diklasifikasikan sebagai aset lainnya. Termasuk dalam aset lainnya adalah aset tak berwujud, tagihan penjualan angsuran yang jatuh tempo lebih dari 12 bulan, aset kerjasama dengan fihak ketiga (kemitraan), dan kas yang dibatasi penggunaannya. Penerapan basis akrual sangat erat kaitannya dengan penyusutan/depresiasi. Berbeda
dengan basis kas yang lebih mengandalkan kehandalan, sehingga pencatatan bukan sesuatu yang penting Penyusutan di sini dapat diartikan sebagai penurunan fungsi, kapasitas serta masa manfaat pada aset sehingga didapatkan nilai wajar terhadap aset tersebut. Aset tetap merupakan salah satu komponen yang mengalami penurunan masa manfaat dan kapasitas, karena aset tetap seperti peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan serta aset tetap lainnya merupakan bagian dari operasional pemerintah, sehingga dalam menentukan nilai wajarnya sangat rentan terhadap penyusutan. Dalam pengertian penyusutan pada sektor publik dengan sektor swasta terdapat perbedaan makna. Dalam sektor publik, penyusutan aset tetap merupakan upaya untuk menunjukkan turunnya nilai yang disebabkan menurunnya potensi yang diakibatkan adanya konsumsi atau karena keusangan dan lain-lain. Pada sektor swasta penyusutan aset tetap bukan merupakan pengalokasian biaya pada periode yang menerima manfaat. Dengan diberlakukannya penyusutan tersebut memungkinkan entitas pemerintah memperoleh informasi sesuai dengan keadaan potensi aset yang sebenarnya. Dengan demikian, pemerintah akan mudah dalam menganggarkan tentang belanja pemeliharaan atau mungkin melakukan belanja modal untuk mengganti peralatan yang sudah usang atau menambah masa manfaat yang dimilikinya. Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah pada umumnya sekitar 5 – 20 persen (Mahmudi, 2010).
8
Dalam melakukan penyusutan aset tetap tersebut diperlukan penentuan nilai yang akan disusutkan, masa manfaat serta pengelompokannya. Hal inilah yang merupakan masalah yang ada pada sektor publik. Dalam sektor publik untuk aset tetap yang diperoleh pada tahun sebelum 2000 mendapatkan kesulitan tentang dokumen perolehan tersebut serta akun pengelompokkannya masih bersifat umum. Dalam melakukan penyusutan aset tetap ini diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut ini. a.
Mengidentifikasi aset yang mempunyai kapasitas menurun
b.
Menentukan nilai yang dapat disusutkan
c.
Menentukan masa manfaat dan kapasitas aset tetap Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13/2006 pasal 254 menyatakan bahwa
metoda penyusutan yang digunakan ada 3 (tiga) metoda, diantaranya : Metoda garis lurus Metoda saldo menurun ganda Metoda unit produksi Dalam perhitungan penyusutan tersebut ada 3 (tiga) metoda, tetapi dalam penerapannya untuk sektor publik berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1/PMK.06//2013 tentang Penyusutan Barang Milik Negara berupa aset tetap pada entitas pemerintah pusat pasal 18 menyatakan bahwa penyusutan menggunakan metoda garis lurus, serta dilakukan penyusutan setiap semester selama masa manfaat. Perhitungan penyusutan ini dimulai sejak nilai buku per 31 desember 2012 untuk aset tetap yang diperoleh sejak 31 Desember 2012 sesuai PMK No.1/PMK.06/2013. Jika aset tetap diperoleh sejak tanggal tersebut, maka nilai yang dapat disusutkan adalah nilai perolehan. Kalau nilai perolehan tidak dapat diketahui, maka nilai wajar dapat digunakan dengan melakukan estimasi terlebih dahulu. Kabupaten Ponorogo, sesuai dengan kebijakan akuntansi, menggunakan metoda penyusutan garis lurus berdasarkan Peraturan Bupati Ponorogo Nomor 16 Tahun 2014. Penyusutan pada aset tetap tersebut harus ditinjau secara periodik, dan dilakukan penyesuaian apabila terjadi perbedaan estimasi sebelumnya. Penyusutan tersebut disajikan dalam neraca sebesar akumulasi nilai penyusutannya. Permasalahan awal pada asset adalah dalam menentukan penyusutan pertama kali, dalam penetapan sisa masa manfaat dan masa manfaat yang sudah disusutkan. Jika aset tetap yang diperoleh pada waktu tertentu disepanjang tahun, ada kalanya aset tetap diperoleh pada awal tahun, pertengahan tahun atau akhir tahun. Sesuai dengan kebijakan akuntansi di
9
Kabupaten Ponorogo, bahwa aset tetap yang diperoleh di awal sampai dengan akhir tahun buku, dianggap diperoleh pada awal tahun buku yang bersangkutan, yaitu penyusutan dihitung selama satu tahun pada tahun perolehan aset tetap tersebut. Dalam pemerintah daerah terdapat banyak aset tetap yang mempunyai nilai kecil dengan jumlah yang sangat banyak. Hal ini membuat permasalahan dengan memungkinkan manfaat yang didapat lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang telah dikeluarkan dalam penilaian aset tersebut. Penilaian tersebut dapat dilaksanakan dengan syarat bahwa aset tersebut memiliki salah satunya persamaan masa manfaat yang sama, kemudian mengelompokkan aset-aset tersebut dan menghitung besarnya penyusutan dari kelompok aset tersebut. Kebijakan akuntansi di Pemerintah Kabupaten Ponorogo didasarkan pada biaya perolehan atau pertukaran dalam penilaian asetnya (Perbup Ponorogo Nomor 16 Tahun 2014 hal. 189). Dari kebijakan tersebut, maka penilaian aset kembali atau revaluasi tidak diperkenankan. Padahal banyak aset di pemerintah Kabupaten Ponorogo yang belum ada nilainya. Akibatnya, laporan keuangan akan menyajikan hal yang tidak menyeluruh, Perbedaan antara nilai revaluasi dengan nilai tercatat aset tetap akan dibukukan dalam ekuitas dana.
3. METODE PENELITIAN 3.1 Alasan Menggunakan Metode Kualitatif Dalam penelitian menggunakan metode kualitatif karena permasalahannya bersifat kompleks, belum jelas serta dinamis. Alasan lain dalam menggunakan metode pendekatan kualitatif ini dikaitkan dengan tujuan penelitian yang ingin mengetahui kesiapan dan kondisi dari pemerintah daerah dalam mempersiapkan sistem akuntansi berbasis akrual, serta tingkat keperluannya dalam mengimplementasikan sistem tersebut. Pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena pada kondisi nyata dilapangan mengenai apa yang dilakukan oleh aktor dalam hal ini pegawai dari berbagai dinas. Menurut Hughes (1990) dalam Razak (2011) menyatakan pada penelitian kualitatif sebagai pendekatan alternatif terhadap penelitian kuantitatif-konvensional yang positivistik dalam memahami kejadian sosial sesuai dengan apa yang diyakini, dipikirkan, serta dipahami oleh para pelakunya. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan kondisi nyata apa yang terjadi di lapangan. Hasil dari penelitian ini diharapkan diperoleh data sesuai fakta yang terjadi. Penggunaan metode kualitatif sangat berperan dalam menggali informasi yang ada, yaitu penelitian
10
kualitatif lebih berorientasi pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap suatu kejadian. Menurut Moleong (2005) dalam Sirajudin (2013), penggunaan metode kualitatif membuat data menjadi bersifat keyakinan, kebiasaan, norma, perasaan, serta sikap mental dan budaya yang dianut dipahami seseorang atau sekelompok orang dapat diperoleh. 3.2 Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Pemkab Ponorogo yang berfokus pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD). Tempat penelitian ini didasarkan pada peneliti yang juga bekerja pada Pemerintah Kabupaten Ponorogo, serta keterlibatannya dalam kaitan pekerjaan. Hal ini diharapkan akan diperoleh data sesuai apa yang terjadi atau fenomena yang nyata dalam pelaksanaan pekerjaan pada area penelitian tersebut. Poin penting kemudahan dalam mengakses data serta dalam melakukan pengamatan ini akan diperoleh informasi yang riil (alamiah). Menurut Spradley dalam Sugiyono (2014) menyatakan dalam penelitian kualitatif menggunakan istilah situasi sosial yang meliputi tiga elemen, yaitu tempat (place), pelaku (actor) dan aktivitas (activity). Hubungan dari ketiga hal tersebut dapat diilustrasikan dengan gambar sebagai berikut ini. Gambar 1. Situasi Sosial Aktivitas
Situasi Sosial Aktor
Tempat Aktor, dalam hal ini, informasi dari
pernyataan baik eksekutif maupun legislatif, akan
dipengaruhi dari masing-masing kepentingan. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer. Dalam pengambilan informasi melalui wawancara ini mempertimbangkan sesuai dengan tujuan permasalahan yang akan diteliti. Sugiyono (2014) menyatakan orang-orang yang diwawancarai untuk diperoleh informasinya sebagai penentuan sumber data dilaksanakan secara purposive,yang berarti di pilih sesuai dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini rencananya menggunakan wawancara semistruktur yang mendalam pada pegawai negeri sipil (PNS) pada Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan Aset Daerah (DPPKAD), Inspektorat
11
dan DPRD. Wawancara tersebut didokumentasikan dengan rekaman maupun bukti foto. Razak (2011) menyatakan dalam penelitian di lapangan sangat ditentukan oleh faktor dari keterlibatan serta penghayatan dari subyek peneliti. Selain itu, peneliti yang juga sebagai pegawai negeri sipil pada Dinas Indakop dan UKM juga dapat melakukan observasi partisipatif, yang mana peneliti terlibat dalam kegiatan dalam satuan kerjanya. Sugiyono (2014:232) menyatakan bahwa penelitian kualitatif sering menggabungkan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam. Sugiyono (2014:244) menyatakan bahwa analisis data ialah proses penyusunan dengan sistematis data yang telah didapat melalui wawancara maupun observasi sehingga mudah dipahami. Dengan analisa data ini akan diperoleh suatu kesimpulan yang dapat diinformasikan ke orang lain. Dalam analisis data ini akan didapatkan data yang cukup banyak, yang kemudian melakukan reduksi data melalui merangkum, memilih hal-hal yang dianggap penting. Rencana dalam penelitian ini akan menggunakan analisis data dengan melakukan pengambilan data melalui grand tour dan mini tour question dengan harapan hasil yang didapat berupa gambaran umum tentang obyek yang diteliti yang kemudian di analisis dengan analisis domain. Dalam analisis domain tersebut bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh atau umum tentang obyek yang akan diteliti. Informasi yang didapat dalam analisis ini masih belum mendalam, hanya dipermukaan saja, tetapi sudah dapat dikelompokkan informasi tersebut dalam domain-domain atau kategori obyek yang akan diteliti sebagai dasar untuk analisis selanjutnya. Selanjutnya setelah domain ditetapkan sebagai fokus kemudian dilanjutkan dengan analisis taksonomi yang merupakan analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan dari analisis-analisis tersebut akan didapatkan jawaban atau gambaran dari penelitian ini. Pendekatan dengan metode kualitatif ini agar dapat mendeskripsikan kendala, hambatan dari fenomena yang ada pada masing-masing obyek yang diteliti. Dengan analisis taksonomi ini didapatkan setiap domain diperoleh elemen yang serupa atau sesuai kelompoknya. Langkah selanjutnya analisis komponensial. Dalam analisis komponensial ini yang dicari bukannya kesamaan tetapi justru perbedaan data. Dengan perbedaan informasi ini akhirnya dianalisis lebih lanjut. Dalam pengumpulan data tersebut untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan dapat dilakukan triangulasi. Menurut Sugiyono (2014:241) bahwa triangulasi terdiri ada dua, yaitu triangulasi teknik, yang mana pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik dari sumber yang sama,
12
sedangkan triangulasi sumber untuk mendapatkan data diperoleh melalui satu cara/teknik dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. Dalam triangulasi ini hanya meningkatkan pemahaman peneliti dari obyek yang diteliti untuk mencari kebenarannya. Sugiyono (2014:231) menyatakan penelitian kualitatif tidak hanya mencari kebenaran atau seharusnya apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan peningkatan pemahaman subyek terhadap dunia sekitarnya. Sebelumnya perlu diperhatikan bahwa validitas dan reliabilitas data merupakan hal yang penting. Validitas merupakan tingkat ketepatan data yang terjadi pada obyek yang diteliti dengan data yang akan dilaporkan, sedangkan reliabilitas berkaitan dengan tingkat konsistensi dari temuan data. Pada penelitian apabila tidak perbedaan antara apa yang dilaporkan dengan apa yang terjadi dilapangan, maka data dinyatakan mempunyai nilai kevalidan yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan uji kredibilitas melalui triangulasi, yang dapat diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber. Pengujian ini dilakukan karena proses wawancara dilakukan terhadap berbagai tingkat dari staf, kepala seksi hingga kepala bidang yang menangani pekerjaan tersebut. Uji kredibilitas ini juga dilakukan melalui perpanjangan pengamatan, yang dalam hal ini peneliti kembali ke lapangan dan melakukan wawancara ulang dengan narasumber yang pernah di wawancarai atau nara sumber baru. Menurut Sugiyono (2014:233) menyatakan bahwa melalui wawancara semistruktur ini diharapkan dapat menemukan permasalahan secara lebih terbuka. Penelitian ini akan mewawancarai pegawai negeri sipil pada dinas DPPKAD dari berbagai tingkatan, mulai dari beberapa staf, kepala seksi maupun kepala bidang yang berkompeten dalam bidangnya, serta dinas lainnya yang salah satunya memiliki kaitannya dengan pengelolaan keuangan pada dinas tersebut. Menurut Hanurawan (2005) dalam Razak (2011) menyatakan bahwa peneliti akan dapat memahami lebih mendalam perilaku yang didasarkan dari sudut pandang subyektif partisipan penelitian apabila gejala-gejala perilaku manusia dijelaskan sesuai dengan porsinya. Selain melalui wawancara, pengumpulan data dapat melalui observasi atau pengamatan. Menurut Nasution (1988) dalam Sugiyono (2014:226) menyatakan semua ilmu pengetahuan didasarkan melalui observasi, sedangkan menurut Marshal (1995) menyatakan dengan observasi perilaku dan makna akan dipelajari. Dengan latar belakang peneliti juga bekerja di lingkup pemerintah daerah, maka peneliti dapat melibatkan diri dengan kegiatan yang akan diamati. Keterlibatan peneliti ini dinamakan observasi partisipatif. Dengan
13
observasi ini diharapkan akan diperoleh informasi yang lengkap, tajam dan sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Dalam melakukan penelitian ini didapatkan bukti rekaman dalam interview tersebut. Dengan bukti hasil interview ini memberikan kevalidan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Douglas et.al., (1988); Parker (1999) dalam Robinson dan Harun (2004), meskipun bukti oral sangat jarang dalam akuntansi, ini memiliki kaitan yang panjang dalam historinya. Menurut Hammond dan Sikka (1996) dalam Robinson dan Harun (2004) menyatakan bukti oral memiliki banyak keuntungan karena akan di dapat data sebagai dasar yang lebih akurat yang berasal dari sumbernya. 3.4 Teknik Analisis Data Rencana dalam penelitian ini akan menggunakan analisis data dengan melakukan pengambilan data melalui grand tour dan mini tour question dengan harapan hasil yang didapat berupa gambaran umum tentang obyek yang diteliti yang kemudian di analisis dengan analisis domain. Dalam analisis domain tersebut bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh atau umum tentang obyek yang akan diteliti. Informasi yang didapat dalam analisis ini masih belum mendalam, hanya dipermukaan saja, tetapi sudah dapat dikelompokkan informasi tersebut dalam domain-domain atau kategori obyek yang akan diteliti sebagai dasar untuk analisis selanjutnya. Selanjutnya setelah domain ditetapkan sebagai fokus kemudian dilanjutkan dengan analisis taksonomi yang merupakan analisis terhadap keseluruhan data yang terkumpul berdasarkan domain yang telah ditetapkan dari analisis-analisis tersebut akan didapatkan jawaban atau gambaran dari penelitian ini. Melalui wawancara berikutnya akan diperoleh data yang lebih banyak, sehingga akar dari permasalahan mulai kelihatan. Dalam analisa ini bisa berkembang nara sumber ke berbagai bidang, badan atau dinas lainnya yang terkait. Pendekatan dengan metode kualitatif ini agar dapat mendeskripsikan kendala, hambatan dari fenomena yang ada pada masing-masing obyek yang diteliti. Dengan analisis taksonomi ini didapatkan setiap domain diperoleh elemen yang serupa atau sesuai kelompoknya. Langkah selanjutnya analisis komponensial. Dalam analisis komponensial ini yang dicari bukannya kesamaan tetapi justru perbedaan data. Dengan perbedaan informasi ini akhirnya dianalisis lebih lanjut. Dalam pengumpulan data tersebut, untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan dapat dilakukan triangulasi. Menurut Sugiyono (2014:241) bahwa triangulasi terdiri ada dua, yaitu triangulasi teknik, yang mana pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik dari sumber yang sama, sedangkan triangulasi sumber untuk mendapatkan data diperoleh melalui satu cara/teknik dari
14
berbagai sumber. Dalam penelitian ini menggunakan triangulasi sumber. Dalam triangulasi ini hanya meningkatkan pemahaman peneliti dari obyek yang diteliti untuk mencari kebenarannya. Menurut Sugiyono (2014:231) menyatakan penelitian kualitatif tidak hanya mencari kebenaran atau seharusnya apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan peningkatan pemahaman subyek terhadap dunia sekitarnya. Sebelumnya perlu diperhatikan bahwa validitas dan reliabilitas data merupakan hal yang penting. Validitas merupakan tingkat ketepatan data yang terjadi pada obyek yang diteliti dengan data yang akan dilaporkan, sedangkan reliabilitas berkaitan dengan tingkat konsistensi dari temuan data. Pada penelitian apabila tidak perbedaan antara apa yang dilaporkan dengan apa yang terjadi dilapangan, maka data dinyatakan mempunyai nilai kevalidan yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan uji kredibilitas melalui triangulasi, yang dapat diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber. Pengujian ini dilakukan karena proses wawancara dilakukan terhadap berbagai tingkat dari staf, kepala seksi hingga kepala bidang yang menangani pekerjaan tersebut. Uji kredibilitas ini juga dilakukan melalui perpanjangan pengamatan, yang dalam hal ini peneliti kembali ke lapangan dan melakukan wawancara ulang dengan narasumber yang pernah di wawancarai atau nara sumber baru. Dengan perpanjangan pengamatan ini, akan meningkatkan keakraban meskipun peneliti juga bekerja di lingkup pemerintah daerah, sehingga akan menimbulkan keterbukaan dan meningkatkan kepercayaan dan akhirnya diperoleh data sesuai dengan kenyataan di lapangan tanpa ada yang disembunyikan.
4. HASIL DAN DISKUSI 4.1 HASIL
Peneliti telah melakukan beberapa kali interview terhadap pegawai yang berkompeten dibidangnya masing-masing. Peneliti melakukan interview terhadap kepala bidang aset daerah, bidang anggaran dan akuntansi dinas DPPKAD, Inspektorat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ponorogo serta badan atau dinas lain yang terkait dengan akan dilaksanakan penerapan akuntansi berbasis akrual tersebut. Dari hasil interview yang telah dilakukan, didapatkan informasi bahwa Pemerintah Kabupaten Ponorogo belum melakukan sistem akuntansi berbasis akrual yang berkaitan dengan aset tetap. 1. Dukungan Politik Di awali dengan melakukan grand tour di Dinas DPPKAD Kab. Ponorogo, diperoleh gambaran umum dari permasalahan-permasalahan tersebut dang dikembangkan
15
dengan melakukan mini tour di beberapa bidang pendapatan, bidang anggaran dan akuntansi, bidang aset daerah, badan kepegawaian daerah, dinas kesehatan serta beberapa dinas terkait lainnya didapatkan informasi yang lebih spesifik. Dalam penerapan sistem akrual ini diperlukan dukungan dari top manajemen pemerintahan kabupaten dalam mengevaluasi penerapan sistem keuangan ini. Hal ini masih kurangnya political will atau kemauan antara atasan ke satuan kerja perangkat daerah masing-masing untuk mengevaluasi kinerja pengurus barang serta SDM pengurus barang yang masih ketinggalan dan masih bersifat konvensional. Kepala SKPD memiliki persepsi pemahaman yang menganggap pengelolaan keuangan dianggap sesuatu hal yang biasa atau kurang penting terhadap dampak kinerja pemerintahan. 2. Sumber Daya Manusia Untuk pelaksanaan basis akrual diperlukan koordinasi dengan satker lain terutama Badan Kepegawaian Daerah yang berkaitan dengan pemetaan dari pegawai-pegawai yang ada pada pemerintah daerah tersebut. Hal ini berkaitan dengan data yang ada tentang latar belakang pendidikan maupun kompetensi yang ada pada berbagai pegawai di pemerintahan daerah. Dalam pemenuhan kebutuhan tersebut membutuhkan waktu dan anggaran yang cukup. Robinson dan Harun (2004) menyatakan bahwa salah satu kelemahan dalam penerapan akuntansi berbasis akrual adalah lemahnya kemauan politik dari pimpinan. Demikian juga dalam bidang anggaran dan akuntansi, masih banyak SKPD-SKPD yang belum memiliki kualifikasi SDM dalam bidang akuntansi. Bahkan, di Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) di DPPKAD sangat jarang yang memiliki kualifikasi akuntansi dan tidak semua SKPD memiliki sarjana yang berlatar belakang akuntansi Pada saat ini, sarjana akuntansi banyak terdapat dalam dinas pendidikan atau di tempatkan sebagai tata usaha di dinas pendidikan. Sebaliknya, Sumber Daya Manusia (SDM) pada PPKD SKPD, banyak berlatar belakang diluar akuntansi, misalnya berlatar belakang sarjana hukum dan sarjana sosial. Ini merupakan kendala dalam melaksanakan penerapan sistem akuntansi berbasis akrual. Robinson dan Harun (2004) menyatakan kelemahan dari ketrampilan (skill) dan pengalaman staf akuntansi di dalam pemerintahan lokal mempresentasikan masalah yang serius yang berdampak pada adopsi akuntansi akrual pada semua level di sektor publik. SDM di satker tersebut hanya berjumlah 14 orang dalam bidang anggaran, selain itu hanya satu orang yang bergelar sarjana ekonomi akuntansi. Idealnya setiap SKPD
16
terdapat minimal satu sarjana akuntansi yang bertugas menyusun laporan keuangan dibawah pejabat pembuat komitmen (PPK) pada bidang anggaran tersebut hanya ada dua orang yang memiliki kualifikasi akuntansi, yaitu kepala seksi yang membidangi akuntansi dan salah satu staf dalam bidang anggaran. Hal inilah yang merupakan hambatan dalam penerapan basis akuntansi tersebut Tikk (2009) menyatakan bahwa staff, menteri, auditor, pemerintahan, anggoata parlemen, mereka semua memerlukan training yang berkelanjutan di lapangan. Dengan kondisi yang ada, bahwa belum semua SKPD memiliki latar belakang akuntansi membuat kendala dalam pelaksanaan implementasi sistem akuntansi ini. Dengan demikian dalam peningkatan SDM ini diperlukan diklat dari pengurus barang untuk menjalankan sistem tersebut. Dalam mencapai tujuan tersebut dibutuhkan anggaran dan waktu untuk melakukan pendidikan dan latihan serta koordinasi tiap-tiap pengurus barang masingmasing SKPD di Kabupaten Ponorogo yang memiliki aset yang belum bernilai atau aset yang tidak memiliki nilai wajar. 3. Aset Dengan banyaknya aset tetap di Kabupaten Ponorogo yang memerlukan penilaian serta inventarisasi, maka diperlukannya SDM yang cukup. Pemkab Ponorogo pada SKPD juga telah melakukan pertukaran aset dengan mengimplementasikan sistem basis akrual. Ini dibuktikan pada saat memasukkan surat perintah membayar (SPM) sudah timbul kewajiban pada pihak ke tiga. Pada metode basis kas menuju akrual, pengakuannya pada akhir tahun dengan mengidentifikasi kewajiban dan pendapatan yang harus diterima, sedangkan basis akrual pengakuan piutang dan hutang terjadi pada periode berjalan. Pemerintah Kabupaten Ponorogo menggunakan aplikasi SIMDA keuangan dari BPKP apabila SKPD membuat SPP telah muncul kewajiban pada pihak ke tiga. Setelah SPP dikirim ke BUD dan muncul Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) maka hutang akan terhapus. Selain itu, untuk mendukung implementasi dari sistem ini diperlukan sistem online dari masing-masing SKPD ke Dinas DPPKAD untuk melakukan inventarisasi aset yang belum mempunyai nilai. Kemudian menerbitkan surat keputusan bupati untuk menentukan tim penaksir aset yang belum bernilai atau belum memiliki nilai wajar. Tikk (2009) menyatakan bahwa pondasi yang handal telah diletakkan selama transisi untuk penerapan akuntansi berbasis akrual yang mana juga didukung sistem IT yang modern. Dengan sistem akuntansi yang online akan mempermudahkan PPKD sebagai entitas pelaporan untuk memantau entitas akuntansi yang bertugas menyusun laporan keuangan
17
pada tiap-tiap SKPD seluruh Kabupaten Ponorogo yang dikonsolidasi di entitas pelaporan. Penerapan penyusutan merupakan salah satu tanda dalam penerapan sistem akuntansi pemerintahan berbasis akrual. Informasi yang berkaitan dengan nilai wajar pada aset tetap merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan dalam proses pengambilan keputusan. Di Kabupaten Ponorogo masih terdapat banyak aset yang belum terinventarisasi. Selain itu juga masih banyak aset yang masih belum mempunyai nilai, hal ini disebabkan banyak dokumen, terutama aset yang diperoleh sebelum tahun 2002, tidak terdapat dokumen pendukungnya. Aset yang sudah mempunyai nilai wajar telah dilakukan penyusutan dengan metode garis lurus. Pemerintah Kabupaten Ponorogo telah menyusun kebijkan akuntansi untuk perhitungan masa manfaat dari aset-aset tetap. Semua aset akan dihitung penyusutannya pada akhir tahun, diantaranya peralatan mesin, jalan dan jaringan, gedung dan bangungan serta aset tetap lainnya kecuali buku dan hewan sesuai masa manfaat yang diatur dalam kebijakan akuntansi pada Peraturan Bupati nomor 16 tahun 2014. Pengukuran aset tetap yang dilakukan pada saat ini disesuaikan dengan biaya perolehan yang meliputi biaya penunjang maupun biaya yang harus dikeluarkan sampai aset tersebut siap untuk digunakan sudah dihitung di muka. Sebelumnya pengukuran aset hanya pada biaya perolehan tanpa memperhitungkan biaya penunjang lainnya. Biaya pemeliharaan akan memperpanjang masa manfaat yang akan dikoreksi pada tahun berikutnya. Pada sektor publik ini penerapan akrual ini berkaitan dengan target pendapatan, terutama PAD seperti pajak dan retribusi. SKPD penghasil harus menetapkan surat ketetapan baik pajak daerah maupun retribusi daerah ketika target sudah ditetapkan dalam APBD. Setelah masuk dalam sistem harus diposting dalam jurnal dan diakui sebagai pendapatan. Pada akhir tahun, target realisasi pendapatan tidak tercapai, maka selisih target dan realisasi menjadi piutang. DPRD akan menginginkan pendapatan yang setinggitingginya tanpa melihat potensi dengan beberapa argumentasi politik sedangkan pada SKPD penghasil berdasarkan potensi dan beberapa indikator-indikator kinerja ketika SKPD penghasil melampaui target. Di sinilah terjadi konflik kepentingan antara legislatif dan eksekutif. Bidang aset daerah dalam menentukan nilai wajar ini diperlukan kerja sama dengan instansi terkait yang mempunyai kompetensi tentang masalah tersebut. Di sini bidang aset akan melakukan kerjasama dengan BPKP mengadakan bimbingan teknis (bimtek) tentang
18
aset yang belum bernilai wajar tersebut. Menurut Christiansen (2005) menyatakan perusahaan konsultan swasta mampu menjadi tangan ketiga dalam pelaksanaan promosi dan selanjutnya sangat berperan dalam perubahan akuntansi sektor publik yang siknifikan. Selain itu, sektor pemeriksa, dalam hal ini inspektorat, juga mengalami kendala dalam hal sumber daya manus ia serta ketrampilan yang diperlukan. Meskipun staff inspektorat ada yang berlatar belakang akuntansi tetapi tentang akuntansi sektor publik masih terlalu awam, karena pada saat belajar di tingkat sarjana masih dipelajari akuntansi sektor swasta. Penerapan sistem akrual ini menurut beberapa hasil interview dalam waktu dekat ini terlalu dipaksakan dengan membutuhkan peningkatan kemampuan SDM, aplikasi sistem dan sistem yang terintegrasi antar SKPD, dan SKPD ke DPPKAD yang membutuhkan biaya yang cukup besar jika dilihat keluaran yang dihasilkan. Penerapan sistem ini menurutnya berdasarkan tuntutan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 yang harus dilaksanakan. Pengaruh opini yang diberikan oleh BPK terhadap Kabupaten Ponorogo juga merupakan faktor pendorong dalam penerapan sistem akuntansi akrual ini. Demikian juga dari penyaatan interview lainnya juga mendukung tentang pengaruh opini BPK merupakan salah satu peran dalam penerapan akuntansi berbasi akrual di pemerintahan daerah tersebut. Pengaruh opini yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, tidak serta merta meningkatkan perekonomian masyarakat, terutama dalam jangka waktu yang pendek. Sementara itu calon pimpinan kepala daerah memberikan sinyal positif untuk terlaksananya sistem akuntansi akrual, meskipun melalui beberapa tahapan. Penentuan pembuatan target harus dibuat meskipun ada bagian yang sangat berat, misalnya pada permasalahan aset, sehingga proses pekerjaan mempunyai greget. Tanpa adanya target pelaksanaan sistem ini mustahil akan terlaksana. Prioritas dalam terwujudnya sistem akrual ini memerlukan dukungan dari kepala daerah karena disebabkan banyak bidang yang terkait, dan masalah-masalah yang cukup pelik terutama pada aset tetap seperti masih banyaknya aset, terutama aset tetap seperti tanah yang belum tersertifikasi serta nilai aset yang belum di nilai yang membutuhkan kebijakan kepala daerah. Pemerintah daerah memerlukan sistem akrual, bukan hanya karena adanya peraturan dari pemerintah pusat. Dengan sistem akrual ini akan memberikan dana untuk pembangunan daerahnya salah satunya melalui penjualan obligasi. Dalam interview ini banyak memberikan informasi bahwa Pemerintah Kabupaten Ponorogo sebenarnya menyatakan bahwa sistem akuntasi berbasis kas tidak mengalami permasalahan.
19
Sebaliknya, DPRD yang merupakan salah satu pemakai laporan keuangan menilai bahwa laporan keuangan berbasis akrual diperlukan dalam meningkatkan transparansi. Dengan peningkatan transparansi ini dimungkinkan akan meningkatkan PAD, terutama pada satker-satker penghasil pundi-pundi pendapatan. Dengan semakin besarnya pendapatan dari pemerintah daerah seharusnya dapat digunakan untuk aktivitas dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. 4.2 Diskusi Setelah melakukan pengambilan data melalui wawancara dan observasi partisipatif dengan melakukan grand tour dan mini tour dari berbagai beberapa dinas, badan, bagian maupun bidang yang terkait, maka dapat dianalisa sebagai berikut ini. 1. Analisa Domain Di awali dari wawancara di bidang anggaran dan akuntansi yang merupakan bidang sebagai leading sector dari penerapan basis akrual di peroleh pengembangan permasalahan di berbagai bidang, dinas, badan, bagian serta pemakai laporan keuangan yang perlu untuk di tindak lanjuti informasinya. Informasi yang didapat menyatakan bahwa dalam penerapan basis akrual pada tahun 2015 ini masih mempunyai banyak kendala. Kendala-kendalanya dapat dikelompokkan diantaranya lemahnya SDM baik secara kuantitatif maupun kualitatif belum mendukung dalam penerapan basis akrual ini. Kebutuhan akan sistem online antar SKPD terutama SKPD penghasil perlu untuk diwujudkan. Dukungan politik dari pimpinan sangat diperlukan dalam mempercepat penerapan basis akrual ini. 2. Analisa Taksonomi SDM yang ada pada tiap-tiap bidang dari informasi diperoleh jauh dari tingkat ideal. Pada bidang anggaran dan akuntansi yang merupakan ruh dari penerapan basis akrual di dapatkan sumber daya yang berlatar belakang sarjana akuntansi hanya satu orang dari jumlah pegawai berjumlah total 14 orang. Hal ini sangat jauh dari ideal, dimana minimal mungkin pada SKPD berjumlah dua orang. Kemudian pada setiap bidang banyak tidak ditemukan sarjana yang berlatar belakang akuntansi yang bertugas untuk pengelola keuangan. Dukungan politik dari pimpinan sangat diperlukan dalam penempatan pegawai sesuai dengan latar belakang pendidikan. Selain itu peroleh informasi dari badan kepegawaian yang menyatakan secara kuantitas jumlah sarjana yang berlatar belakang akuntansi masih kurang disbanding jumlah SKPD yang ada di pemrintah daerah
20
kabupaten ponorogo. Dukungan pimpinan diperlukan dalam pemetaan serta perekrutan pegawai sesuai latar belakang pekerjaan jika diperlukan. Pemenuhan kebutuhan sistem online berupa software maupun hard ware segera diperlukan dalam mempercepat pelaksanaan basis akrual tersebut. Bimtek-bimtek untuk menjalankan aplikaasi sangat diperlukan dalam peningkatan kualitas dari SDM. Kegiatan bimtek ini memerlukan anggaran biaya yang cukup besar. Pada saat ini prioritas anggaran masi bertumpu terhadap kegiatan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Permasalahan yang paling krusial dihadapi dari penerapan basis akrual ini adalah masalah aset. Banyak aset yang masih bernilai Rp.0,- dan Rp. 1,- yang tidak diketahui kapan aset tersebut diperoleh bahkan masih banyak aset yang belum terinventarisasi dan mempunyai legalitas dari aset yang berupa sertifikat. Perlunya pendamping dalam mengatasi permasalahan aset ini baik dari instansi pemerintah yang terkait seperti BPKP maupun pihak perguruan tinggi. Kebijakan pimpinan kepala daerah diperlukan dalam menentukan penialaian dari aset tersebut. Perspektif inspektorat masih bertumpu pada opini yang diterbitkan pada BPK. Pada tahun 2015 ini diperoleh informasi bahwa pemerintah daerah yang tidak menerapkan penerapan basis tidak akan memperoleh opini WTP. Sebaiknya penerapan basis akrual ini tidak hanya didorong oleh aturan atau opini dari BPK, tetapi harus sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah untuk menerapkan basis ini. Pemakai laporan keuangan dalam hal ini DPRD telah merespon penerapan basis akrual tersebut. Penerapan basis akrual akan meningkatkan trnsaparnsi, sehingga memungkinkan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Semakin meningkatkan PAD ini seharusnya bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat. 3. Analisa Komponensial Dalam analisa ini yang di cari berupa perbedaan yang terjadi di lapangan. Perbedaan dukungan ini didapat pada sebagian besar eksekutif yang kurang dalam memberikan dukungan terhadap penerapan basis akrual ini yang disebabkan kebutuhan akan biaya yang cukup besar dalam penganggaran, dimana pihak eksekutif menginginkan prioritas anggaran yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan. Sebaliknya, pada dewan perwakilan rakyat, selaku pemakai laporan keuangan menginginkan penerapan basis akrual untuk lebih cepat untuk direalisasikan. Hal ini berkaitan dengan transparansi.
21
Perbedaan keinginan ini akan menimbulkan konflik kepentingan. Pihak eksekutif akan diberikan tekanan dalam memenuhi target pendapat satuan kerja, sedangkan pada pihak pemakai laporan menginginkan target yang setinggi-tingginya dalam menentukan target pendapatan tanpa mengetahui potensi yang ada pada setiap SKPD terutama SKPD penghasil pendapatan. 4. Triangulasi Dalam penelitiann ini melakukan triangulasi sumber, dimana untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan mengecek data yang diperoleh lewat berbagai sumber data. Triangulasi ini dilakukan pada tingkat level organisasi, dan antar bidang yang mengelola keuangan. Ketidakpatuhan dalam bentuk ego sektoral yang lebih memikirkan kepentingan kelompok harus dihindari. Berdasarakan pertimbangan pelaksanaan di luar negeri, khususnya pengalaman dari negara Portugal, Margarida et al (2007) menyatakan setelah sepuluh tahun sejak publikasi sistem akuntansi proses reformasi akuntansi pemerintahan belum diselenggarakan seluruhnya dalam entitas pemerintahan yang masih salah dalam verifikasi apakah laporan keuangan mepresentasikan pandangan benar dan salah dari ekonomi, keuangan dan situasi patrimonial dari tiap-tiap entitas laporan. Jika keengganan dengan mengedepankan ego masing-masing lenbaga, mustahil penerapan basis akrual dapat diterapkan dengan baik, yang akan berakibat justru mengalami pemborosan biaya. Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari Robinson dan Harun, (2004) yang menyatakan kegagalan dalam penerapan basis akrual pada sektor publik ini akan merusak proses reformasi.
5. KESIMPULAN DAN KETERBATASAN 5.1 Kesimpulan
Salah satu faktor yang paling dominan dalam implementasi ini adalah dari peraturan pemerintah pusat yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dan pada petunjuk dan pelaksanaan teknisnya pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual pada pemerintahan daerah. Menurut Robinson dan Harun (2004) menyatakan bahwa meskipun UU 17 tahun 2003 mendukung akuntansi berbasis akrual, standar akuntansi untuk pemerintah pusat dan daerah belum diatur dan aturan petunjuk teknis kegiatan baru terbit pada permendagri no 64 tahun 2013.
22
Dukungan positif dalam menjalankan sistem akuntansi akrual juga dilontarkan oleh calon kepala daerah pemenang hasil pemilihan kepala daerah pada tahun 2015 ini. Dukungan ini memberi sinyal positif bahwa pelaksanaan sistem basis akrual akan dilaksanakan meskipun melalui beberapa tahapan. Dengan dukungan tersebut dimungkinkan prioritas dalam mengatasi kendala-kendala akan diperhatikan. Kualitas produk laporan keuangan berbasis akrual bukan merupakan tujuan akhir dalam penerapan sistem akuntansi ini. Kualitas pengambilan keputusan yang didasarkan dari laporan keuangan harus juga diperhatikan. Pemakai laporan keuangan, terutama DPRD Kabupaten Ponorogo harus mempunyai pemahaman tentang hal tersebut. Pemerintah daerah Kabupaten Ponorogo dalam mempersiapkan basis akrual harus mempunyai target sehingga ada greget dalam pencapaianya. Kendala-kendal yang ada segera diantisipasi meskipun penerapan basis akrual melaui beberapa tahapan, sehingga penerapan basis ini tidak hanya didorong oleh peraturan pusat tetapi memang kebutuhan pemerintah kabupaten ponorogo serta masyarakat secara umum. 5.2 Keterbatasan
Dalam penelitian yang terdapat beberapa keterbatasan penelitian yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Adapun keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini. 1. Dalam pelaksanaan interview terhadap pegawai yang ada pada tingkatan dibawahnya, masih mempertimbangkan jawaban atasannya dalam memberikan jawabannya. 2. Pelaksanaan pengambilan data melalui wawancara perlu dikembangkan ke badan usha milik darah, yang merupakan unit penghasil pendapatan yang sesuai atau mirip dengan sektor swasta DAFTAR PUSTAKA
Bastian, Indra, 2006, Erlangga.
Akuntansi Sektor Publik : Suatu Pengantar. Surabaya: Penerbit
Bastian, Indra 2007, Sistem Akuntansi Sektor Publik. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba 4 Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintah nomor 05 tentang Aset Tetap. Christiansen, M 2005. The ‘Third Hand’: Private Sector Consultants in Public Sector Accounting Change. European Accounting Review, 14 (3): 447-474. Cohen, S., dan Sandra laventis 2013. Effect of Municipal, Auditing and Political Factor on Audit Delay. Accounting Forum, 40-53
23
FASB, 1985, Statement of Financial Accounting Concepts no. 6. Elements of Financial Statements. Harun. 2007. Obstacles to Public Sector Accounting Reform in Idodonesia. Buletin of Indonesian Economic Studies, 43(3): 365-375 Hariyanto, A. 2012. Penggunaan Basis Akrual dalam Akuntansi Pemerintahan di Indonesia. Dharma Ekonomi No. 36/ Th XIX Hyndman, N dan C Connolly 2011. Accrual Accounting in the Public Sector: A Road not always Taken. Management Accounting Research 22: 36-45. Erotis, N., F. Stamatiadis, dan D. Vasiliou 2011. Assessing Accrual Accounting Reform in Greek Public Hospital:An Empirical Imnestigation.International Journal of Economic Sciences and Applied Research 4(1):153-185. Khan, A dan Stephen, M 2007.Transition to Accrual Accounting. Public Financial Management Technical Guidance Note. Fiscal Affairs Department Kieso, D., Jerry, J, W., dan Terry, D, W. 2009. Intermediate Accounting. Fourteenth Edition. NY: John Wiley & Sons. Inc. Kristiansen, S., Agus D., Agus P., dan Erwan A. P. 2008. Public Sector Reforms and Financial Transparency : Experiences from Indonesian Districts. Contemporary Southeast Asia 31(1): 64-87. Mahmudi 2010, Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, Edisi kedua. Yogykarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN Margarida, J. S, J. B. Carvalho, dan M. J. Fernandes. 2007. Governmental Accounying In Portugal : Why Acrual Basis is A Problem. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management, 19(4): 411-446 Maryam, M. S, J. J. Tinangon, dan Inggriani, E. 2014. Evaluasi Penerapan Akuntansi Untuk Belanja Modal Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Manado. Jurnal EMBA 2(3): 1750-1758. Nasi, G dan Steccolini, I. 2008. Implementation of Accounting Reforms : An Empirical Investigation into Local Goverments. Public Management Review 10(2): 175-196. Ouda, Hassan A.G 2004. Basic Requirements Model for Successful Implementation of Accrual Accounting in the Public Sector. Department of Accounting and Accountancy The Netherland: Tilburg University. Peraturan Bupati Ponorogo Nomor 16 Tahun 2014 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Kabupaten Ponorogo Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
24
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1/PMK.06//2013 tentang Penyusutan Barang Milik Negara Berupa Aset Tetap pada Entitas Pemerintah Pusat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah Pettersen,I.J dan K. Nayland, 2011. Reforms and Accounting System Change A Study on the Implementation of Accrual Accounting in Norwegian Hospital. Journal of Accounting & Organizational Change, 7(3): 237-258. Robinson, P dan Harun, 2004. Reforming The Indonesian Public Sector : The Introduction Of Accrual Accounting. University of Western Australia: Accounting and Finance School of Economics and Commerce. Razak, A, 2011. Perilaku Kuasa Eksekutif dan Legislatif dalam Proses Penyusunan Anggaran Pemerintah Daerah: Perspektif Interaksionisme Simbolik. Disertasi, Fakultas ekonomi dan bisnis universitas brawijaya malang Roos Akbar dan Azhari Lukman, 2010. Manajemen Taman Milik Pemerintah Kota Bandung Berbasiskan Pendekatan Manajemen Aset. Jurnal Teoritis dan Terapan Bidang Rekayasa Sipil, 17(3). Scott,W.R. 2012. Financial Accounting Theory 6th ed. Toronto: Pearson Canada. Sekaran, Uma dan Bougie, R., 2010. Research Methods For Business, A Skill Building Approach Fith Edition. New York: John Willey & Sons Sirajudin, 2013. Memotret Peran dan Sikap Divisi Kepatuhan Bank Syariah dalam Pembiayaan Mudharabah. Tesis, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang. Standar Akuntansi Pemerintah Pernyataan Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap. Sugiyono 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Cetakan ke 20. Yogyakarta: CV. Penerbit Alfabeta Suryanovi, S 2008. Kajian Standar Akuntansi Pemerintahan, Keharmonisan Dan Kejelasan Penerapan Basis Kas Menuju Akrual Berdasarkan Perspektif Uu 17 Tahun 2003 Dan UU 1 Tahun 2004. Jurnal Akuntansi Pemerintahan, 3(1): 77-94 Suwardjono 2011. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Yogjakarta: BPFE Tikk, J 2009. Accounting Changes in The Public Sector In Estonia. European Accounting Review, 14(3), 447-474. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
25
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara