PENENTUAN PARAMETER HIDROLIKA PADA OPERASI MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS CONSTANT BOTTOMHOLE PRESSURE
TUGAS AKHIR Oleh: PUTRI NUR EL AKMAL NIM 122 05 031
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010
PENENTUAN PARAMETER HIDROLIKA PADA OPERASI MANAGED PRESSAREDRILLIN G JENIS CON STANTB OTTOMH OLE PRESSURE
TUGAS AKHIR Oleh: PUTRI NUREL AKMAL NIM 12205 031
Diajukan sebagaisalahsatusyaratuntuk mendapatkangelar SARIANA TEKNIK padaProgramStudi Teknik Perminyakan fakultas Teknik Pertambangandan Perminyakan Institut Teknologi Bandung
Disetujui oleh: PembimbingTugasAkhir,
Dr.-Ing.Ir. Rudi Rubiandini RS
PENENTUAN PARAMETER HIDROLIKA PADA OPERASI MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS CONSTANT BOTTOMHOLE PRESSURE (Determination of Hydraulic Parameter in Constant Bottomhole Pressure –Managed Pressure Drilling Operation) Oleh : Putri Nur El Akmal* Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S. ** *Mahasiswa Teknik Perminyakan ITB
**Pembimbing / Dosen Teknik Perminyakan ITB
Sari Managed Pressure Drilling (MPD) merupakan teknik pemboran yang berusaha menjaga tekanan annular lubang sumur agar tetap berada pada pressure window. MPD biasanya dilakukan pada formasi yang sulit yaitu formasi dengan pressure window yang sangat sempit, sehingga jika pemboran tetap dilakukan dengan cara konvensional (overbalanced drilling), akan mudah terjadi masalah-masalah seperti kehilangan sirkulasi (lost circulation), terjepitnya pipa (stuck pipe) dan mahalnya biaya lumpur pemboran sehingga kedalaman target tidak dapat dicapai dengan aman dan efisien. Beberapa variasi teknik MPD telah berkembang dan Constant Bottom Hole Pressure (CBHP) adalah salah satu jenis MPD yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Pada CBHP digunakan densitas lumpur yang lebih rendah dari tekanan pori formasi, tetapi tidak seperti pemboran underbalance, pada MPD tidak diinginkan adanya influks melainkan diinginkan kondisi pemboran slightly overbalance yaitu tekanan annulus lubang sumur hampir sama dengan tekanan pori formasi. Oleh karena itu, perlu diberikan tekanan lain sebagai pengganti tekanan dari kolom berat lumpur pemboran konvensional. Tekanan pengganti ini berupa tekanan balik (backpressure) dari penutupan choke di permukaan pada saat lumpur statik dan tekanan friksi dinamik di annulus pada saat lumpur bersirkulasi. Parameter hidrolika adalah parameter yang mempengaruhi besarnya tekanan statik dan dinamik yang terjadi di annulus. Pada paper ini dibahas metode perhitungan yang dapat digunakan untuk menentukan parameter hidrolika yang paling penting pada operasi CBHP yaitu laju pemompaan lumpur optimum saat sirkulasi dan besarnya back pressure yang harus diberikan saat lumpur statik. Dari studi ini, laju pompa optimum dapat ditentukan dengan optimasi hidrolika di bit dan akan berada diantara laju minimum lumpur untuk dapat mengangkat cutting secara efektif dan laju maksimum saat lumpur mulai turbulen atau saat formasi mulai rekah. Backpressure yang diberikan sebanding dengan besarnya tekanan friksi dinamik yang terjadi di annulus saat lumpur bersirkulasi agar tekanan di dasar lubang konstan. Kata Kunci: kehilangan tekanan, bottomhole pressure, BHP, ECD, ESD, laju pompa optimum, back pressure, densitas efektif, pengangkatan cutting. Abstract Managed Pressure Drilling (MPD) is a drilling technique which control annular pressure and attempt to keep it inside pressure window. Usually MPD is applied on rough formation, such as formation with narrow pressure window, where formation pore pressure very closed to formation fracture pressure. If conventional drilling (overbalanced drilling) is applied in this kind of formation, drilling problem such as lost circulation and stuck pipe would occur that would greatly increase drilling cost, moreover the target depth can not be safely or economically reached. Variations of MPD technique have been developed and Constant Bottom Hole Pressure (CBHP) is one of MPD variant that can mitigate that problem. In CBHP mud density lighter than Equivalent Mud Weight of pore pressure is used, but unlike underbalanced drilling, MPD doesn’t want to invite influx, it wants to reach slightly overbalanced condition. Hence, surface backpressure is applied when the mud is not circulating and adequate annular friction pressure is created when the mud is circulating to compensate the conventional mud column pressure. Hydraulic parameter is parameter that would affect the annular pressure. This paper discusses calculation method to determine important hydraulic parameter in CBHP-MPD operation, optimum pump rate, and surface back pressure. From this study, optimum pump rate can be determined by optimizing bit hydraulic and it will be between minimum rate for mud to be able to transport cutting efficiently and maximum rate which can make turbulent flow or make fracture in the formation. Backpressure will be equal to annular friction pressure, to make the bottom hole pressure remain constant. Keywords: pressure window, bottom hole pressure, annular pressure loss, BHP, ECD, ESD, optimum pump rate, back pressure, effective density, cutting transport.
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
1
I.
Pendahuluan
Dalam pemboran telah dikenal istilah pressure window, yaitu beda tekanan antara tekanan pori dan tekanan rekah formasi, dimana kedua tekanan tersebut merupakan batasan tekanan dalam lubang bor yang diperbolehkan terjadi selama pemboran berlangsung agar tidak terjadi masalah dalam pemboran, terutama masalah yang berkaitan dengan kestabilan lubang sumur. Jika tekanan dalam lubang bor lebih kecil dari tekanan pori formasi akan terjadi kick, yaitu masuknya fluida dari formasi ke dalam lubang bor, dan jika tekanan dalam lubang melebihi tekanan rekah formasi akan terjadi lost circulation, yaitu hilangnya lumpur ke formasi. Pemakaian fluida pemboran atau lumpur pemboran bertujuan untuk mensirkulasikan serpihan pemboran (cutting). Pada operasi pemboran secara konvensional, fluida pemboran juga digunakan untuk mengimbangi tekanan formasi yaitu dengan menggunakan lumpur berdensitas lebih besar dari densitas yang ekivalen dengan tekanan pori formasi (EMW). Kondisi ini dikenal dengan overbalanced. Kondisi ini diperlukan untuk mencegah terjadinya kick selama operasi pemboran dilakukan. Pressure window yang sempit merupakan masalah dalam pemboran. Pressure window yang sempit biasa ditemukan pada formasi yang telah mengalami penurunan tekanan (depleted) atau formasi yang lebih dalam. Jika pemboran pada formasi dengan pressure window yang sempit dilakukan secara konvensional (overbalanced drilling), saat lumpur bersirkulasi, besarnya tekanan akibat sirkulasi atau Equivalent Circulating Density (ECD) akan meningkat dan dapat melebihi gradien rekah formasi sehingga akan terjadi lost circulation yang sulit ditangani. Jika densitas lumpur dikurangi sampai dibawah densitas ekivalen tekanan pori (underbalanced), saat sirkulasi dihentikan, tekanan hidrostatik akan berada dibawah tekanan pori, mengakibatkan terjadinya kick. Situasi lost dan kick ini akan meningkatkan NPT (non productive time), biaya lumpur untuk menanggulangi lost, juga resiko keselamatan personil di lapangan. Ketika berhadapan dengan situasi tersebut maka dapat digunakan metode pemboran baru yaitu Managed Pressure Drilling (MPD). Operasi MPD dilakukan untuk mengendalikan tekanan di annulus lubang bor secara lebih teliti, agar dapat memitigasi masalah-masalah dalam proses pemboran,sehingga sumur dapat dibor mencapai target dengan aman. Constant Bottom Hole Pressure (CBHP) merupakan salah satu jenis dari MPD yang mampu melakukan pemboran melewati pressure window yang sempit. Dengan Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
CBHP, tekanan pada formasi selama pemboran, yaitu saat lumpur disirkulasikan, dijaga agar berada dalam kondisi dekat dengan tekanan pori formasi (slightly overbalance). Untuk itu digunakan densitas lumpur yang lebih rendah dari EMW. Agar tidak terjadi kick saat sirkulasi dihentikan, diberikan tekanan balik (backpressure) dengan penutupan choke di permukaan. Karena pada operasi CBHP-MPD berfokus pada tekanan yang terjadi pada formasi selama pemboran berlangsung, maka parameter hidrolika merupakan hal yang sangat diperhatikan agar dapat mencapai kondisi operasi yang optimum. Parameter hidrolika yang paling berpengaruh pada operasi CBHP-MPD, yaitu laju pemompaan lumpur, dan tekanan balik yang dibutuhkan saat statik. Tujuan dari paper ini adalah mendapatkan metode perhitungan yang dapat digunakan untuk menentukan laju pemompaan lumpur optimum dan tekanan balik (backpressure) untuk optimasi operasi CBHP – MPD. II. Hidrolika Pemboran 2.1 Parameter Hidrolika dan Kehilangan Tekanan Parameter hidrolika dapat didefiniskan sebagai faktor mekanis, struktur maupun fluida yang berdampak pada pemberian tekanan pada open hole11). Tekanan pada open hole adalah tekanan yang akan berhadapan langsung dengan tekanan formasi, yaitu tekanan pori formasi dan tekanan rekah formasi. Tekanan ini didapat dari berat kolom lumpur pada lubang bor, atau sering disebut tekanan hidrostatik lumpur. Tetapi saat pemboran berlangsung, lumpur bersirkulasi di dalam lubang dan mengalami kehilangan tekanan akibat friksi antara lumpur dengan dinding pipa atau dinding lubang atau casing di sepanjang annulus. Kehilangan tekanan ini akan dikompensasi oleh tekanan dari pompa, sehingga tekanan yang terjadi pada open hole akan menjadi kombinasi dari tekanan hidrostatik lumpur dan tekanan pompa yang dibutuhkan untuk mengatasi kehilangan tekanan sepanjang annulus. Besarnya kehilangan tekanan dapat dihitung dengan persamaan yang diturunkan secara analitis dari model reologi lumpur. Dua model reologi yang biasa digunakan adalah Bingham plastic model dan Power-law model. Yang termasuk parameter hidrolika antara lain densitas dan reologi lumpur, laju alir serta diameter 2
annulus. Laju pompa menjadi hal yang sangat berpengaruh bagi hidrolika pemboran. Laju pompa minimum yang harus disediakan oleh pompa pada proses pemboran adalah laju lumpur yang dibutuhkan untuk dapat mengangkat cutting secara efektif ke permukaan. Jika laju ini tidak terpenuhi maka akan meningkatkan masalah pembersihan lubang. Namun laju juga tidak boleh terlalu tinggi, karena dapat menghasilkan kehilangan tekanan yang tinggi sehingga tekanan pada open hole dapat melebihi tekanan rekah formasi. Kemampuan pompa sendiri dibatasi oleh Horse Power maksimumnya, sehingga tekanan dan kecepatan alirnya dapat berubah-ubah seperti yang ditunjukkan dalam persamaan9):
HP =
P.Q (2.1) 1714 .....................................................
dimana : HP = Horse power yang diterima pompa dari mesin penggerak setelah dikalikan efisiensi mekanis dan safety, hp P = Tekanan Pemompaan, psi Q = Kecepatan alir, gpm 2.2 Pengangkatan Cutting Dalam proses pemboran, bit yang dipakai selalu menggerus batuan formasi dan menghasilkan cutting, sehingga semakin dalam pemboran berlangsung semakin banyak pula cutting yang dihasilkan. Supaya tidak menumpuk di bawah lubang dan tidak menimbulkan masalah kebersihan lubang seperti pipe sticking maka cutting tersebut perlu diangkat ke permukaan dengan baik, yaitu banyaknya cutting yang terangkat sebanyak cutting yang dihasilkan. Namun, lumpur dapat dikatakan mengangkat cutting secara efektif apabila konsentrasi cutting dalam lumpur dapat dijaga serendah mungkin Biasanya harga maksimum konsentrasi cutting yang diperbolehkan adalah 5%. Untuk mentranspor cutting dari lubang sumur ke permukaan dengan konsentrasi cutting dijaga pada harga tertentu dibutuhkan kecepatan lumpur minimum (minimum mud velocity). Kecepatan lumpur minimum ini akan mengimbangi kecepatan terendapnya cutting (cutting slip velocity) sehingga didapatkan kecepatan terangkatnya cutting (cutting net rise velocity). Dari harga kecepatan alir minimum ini dapat ditentukan laju sirkulasi minimum. 2.2.1 Kecepatan Cutting (Vcut) Persamaan kecepatan yang diambil dari penurunan persamaan kesetimbangan massa cutting pada Metode Larsen3) yaitu : Massa yang dihasilkan drill bit , lbm = Massa yang ditransportasikan oleh lumpur, lbm γcut Qinj = Vcut Aann Cconc-fr γcut ............................. (2.2)
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
Vcut=
Qinj ....................................... (2.3) Aann x Cconc − fr
dimana : = kecepatan cutting, ft/s Vcut Aann = luas area lubang annulus, ft2 Cconc-fr = fraksi konsentrasi cutting dalam annulus γcut = densitas cutting, lbm/ft3 Qinj = laju pelepasan cutting, ft3/sec Konversi dari Qinj menjadi ROP adalah : ft3 3600sec 1 ft ........ (2.4) ROP = Qinj 2 sec hr Ahole ft hr
Subtitusi persamaan 2.4 ke dalam persamaan 2.3, dengan Cconc dalam persen konsentrasi, maka: Vcut =
ROP .................................. (2.5) 2 dp 361 − Cconc dh
2.2.2 Kecepatan Slip (Vslip) Korelasi Moore Moore menggunakan persamaan kecepatan slip untuk fluida yang statis pada kondisi rata-rata aliran selama operasi pemboran. Kecepatan slip ini dikembangkan berdasarkan Newtonian fluids1) yaitu : Vs 1.89
..................................... (2.6)
Dimana: Vs = Vslip , ft/s dcut = diameter cutting, in ρs = densitas cutting, ppg ρf = densitas lumpur, ppg f = friction factor
Korelasi ini menggunakan persamaan kehilangan tekanan di annulus model Power law dan Newtonian-fluid sehingga diperoleh apparent viscosity atau viskositas efektif untuk fluida NonNewtonian model Power Law5) :
µ
!"#
x
.% !"# #&' (#
dimana : µe = apparent viscosity , cP
#
...... (2.7)
(θ300)
K
= indeks konsistensi =
n
= indeks kelakuan aliran = 3.32 log
dh dp Vmin θ600 θ300
= diameter lubang, in = diameter pipa, in = kecepatan minimum , ft/min = dial reading pada 600 rpm = dial reading pada 300 rpm
n 511
θ600 θ300
Apparent viscosity ini digunakan untuk menentukan Reynold Number dibawah ini5) : NRe =
928 x ρf x νsl x dcut ..................................... (2.8) µe
Reynold number digunakan untuk menentukan friction factor 3
Untuk NRe > 300 , aliran di sekitar partikel adalah fully turbulent dan friction factor nya : f = 1.5 ................................................................. (2.9) sehingga Vslip dalam satuan ft/menit 23 24
)* 92.4-./0 1
24
5 ................................. (2.10)
Untuk 3 < NRe < 300 maka aliran transisi dan friction factor nya : 22
f =
NRe
....................................................... (2.11)
sehingga Vslip dengan satuan ft/min
νs =
175dcut (ρs − ρf ) ρf 0.333µe 0.333
0.667
............................. (2.12)
Untuk NRe ≤ 3 ,aliran laminar dan friction factor nya : f =
40 ............................................................ (2.13) NRe
sehingga Vslip dengan satuan ft/min
vs = 4980
dcut 2 (ρs − ρf ) ............................ (2.14) µe
Flowchart perhitungan Vslip metode Moore dapat dilihat pada gambar 1. 2.2.3 Kecepatan Slip (Vslip) Korelasi RudiShindu Rudi dan Shindu telah mengembangkan korelasi untuk menentuan kecepatan minimum cutting untuk sumur vertikal, miring sampai horizontal. Korelasi ini merupakan pengembangan dari persamaan Moore, Larsen dan percobaan yang dilakukan Peden4). Persamaan kecepatan slip Metode Moore (Vsv) dikoreksi terhadap parameter inklinasi, densitas lumpur dan rotary speed (RPM). Sehingga
θ ≤ 45 o 2θ 3 + ρ m
Untuk
Vs = 1 + 45 Untuk :
15
RPM 1 − Vsv .. (2.15) 600
θ ≥ 45 o
3 + ρ m RPM Vs = 3 1 − Vsv ................ (2.16) 600 15 2.2.4 Kecepatan Minimum Lumpur (Vmin) Kecepatan minimum lumpur yang diperlukan Vmin = Vslip + Vcut ....................................... (2.17) 2.2.5 Laju Minimum Lumpur Batas laju minimum kemudian dapat ditentukan Qmin k x A annulus x Vmin .............. (2.18) dimana : Qmin = rate minimum, gpm k = konstanta konversi Aannulus = luas area annulus, in2 Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
Vmin = kecepatan minimum, ft/m 2.3 Hidrolika Bit Agar terjadi pembersihan lubang secara optimum dan laju pemboran (ROP) dapat ditingkatkan, perlu dilakukan optimasi hidrolika di bit. Optimasi hidrolika di bit biasa dilakukan dengan cara mengoptimasi kehilangan tekanan di bit. Kehilangan tekanan di bit adalah besar tekanan yang dihabiskan untuk menumbuk batuan formasi oleh pancaran fluida di bit. Besarnya kehilangan tekanan di bit (Pb) dibatasi oleh daya pompa maksimum (HPm) dan tekanan maksimum pompa yang tersedia di permukaan (Pm). Sehingga : Pb = Pm – Psurf – Ppipe – Pann ..................... (2.19) dimana : Psurf = kehilangan tekanan di peralatan permukaan, Ppipe = kehilangan tekanan di pipa Pann = kehilangan tekanan di annulus. Jumlah Psurf, Ppipe dan Pann dapat disebut juga kehilangan tekanan parasitik (Pp) yaitu kehilangan tekanan akibat friksi saat bersirkulasi. Walaupun besarnya kehilangan tekanan selama sirkulasi (Pp) sebanding dengan besarnya laju alir saat pemboran, namun hubungannya tidak linear.
Pp KQB ....................................................... (2.20) dimana z = konstanta eksponen aliran. K=konstanta kehilangan tekanan, merepresentasikan properti lumpur dan geometri lubang. Harga z dan K yang sebenarnya didapatkan dengan melakukan tes aliran, yaitu pompa dijalankan dengan beberapa kecepatan dan dilihat tekanan yang terjadi pompa. Kemudian dibuat grafik antara Pp (Ppompa-Pb) vs Q , dimana z merupakan slope dari grafik tersebut. Biasanya data didapat dengan melakukan slow pump rate test. 2.3.1 Slow Pump Rate Test (SPRT) Dari pembacaan SPRT, dapat diketahui normal rate (Q1) dan slow rate (Q2) dari pompa. Selain itu juga, dapat diketahui tekanan pompa pada saat pemompaan normal rate (P1 @ Q1)dan pada saat pemompaan slow rate(P2 @ Q2) dengan menggunakan ukuran bit tertentu. Untuk menentukan kehilangan tekanan di bit digunakan persamaan9) : 2EF
CD ............................................ (2.21) 'GHG IJF dimana: ρ = Densitas mud Q = Laju alir, gpm An = Luas nozzle, in2 Pb = Kehilangan tekanan di bit, psi.
4
Dan P parasitik Pp = P- Pb.................................................. (2.22) Sehingga z dan K dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.23) dan (2.24) :
Z=
(
log Pp1 / Pp 2
) ........................................... (2.23)
log (Q1 / Q2 )
K p = Pp1 x Q1 − z ............................................... (2.24) 2.3.2 Optimasi Hidrolika Bit dengan Kriteria BHHP, BHI dan JV Telah dikenal ada tiga kriteria yang dipakai untuk optimasi hidrolika, yaitu : 1. Bit Hydraulic Horse Power (BHHP) Memaksimumkan daya (Horse Power) yang dipakai di bit dari Horse Power pompa yang tersedia di pemukaan. E MN KLLC ......................................... (2.25) 'O'%
2. Bit Hydraulic Impact Force (BHI) Memaksimumkan tumbukan sesaat (impact) yang diterima batuan formasi oleh pancaran lumpur dari bit. KLP 0.0173 T U T VW CD .H ............. (2.26) 3. Jet Velocity (JV) Memaksimumkan kecepatan pancaran lumpur dari bit (Vnozzle). E X) 0.321 ............................................ (2.27) IJ
Kondisi maksimum bagi masing-masing kriteria didapat dari kehilangan tekanan di bit yang berbeda. Sehingga dari optimasi ini akan didapat laju optimum dan ukuran nozzle yang perlu digunakan. Perhitungan untuk optimasi biasanya dilakukan dengan menggunakan data SPRT . Sebelum melakukan optimasi perlu diketahui terlebih dahulu laju pompa minimum dan laju pompa maksimum yang diperbolehkan, hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa laju optimum berada pada batas-batas laju yang diperbolehkan. Laju pompa minimum didapat dari kecepatan minimum lumpur untuk mengangkat cutting. Laju pompa maksimum didapat dari kecepatan kritikal lumpur yaitu saat pola aliran lumpur mulai berubah dari laminar menjadi turbulen pada annulus lubang (open hole), karena aliran turbulen dapat menggerus lubang sumur. Langkah untuk melakukan optimasi dengan menggunakan data dari SPRT untuk masingmasing kriteria secara lengkap dapat dilihat pada referensi no 9. Flowchart perhitungan dapat dilihat pada gambar 7, 8 dan 9. III. Managed Pressure Drilling Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
Definisi MPD oleh IADC (International Association Drilling Committee) : “an adaptive drilling process used to more precisely control the annular pressure profile throughout the wellbore.” The objectives of MPD are “to ascertain the downhole pressure environment limits and to manage the annular hydraulic pressure profile accordingly." Dari definisi ini tekanan annular di lubang sumur dikontrol secara lebih cermat dan diatur berdasarkan batasan bagi tekanan di lubang sumur yang kita kenal dengan istilah pressure window. MPD dilakukan dengan sistem sirkulasi fluida yang tertutup dan dengan penambahan tekanan pada fluida (closed and pressurizable mud-return system), yang dilakukan untuk mengontrol tekanan dasar lubang bor (bottomhole pressure-BHP). Keuntungan MPD antara lain: - Meningkatkan pengontrolan sumur - Open hole dapat dibor lebih dalam - Letak penempatan casing dapat lebih dalam atau dapat mengurangi jumlah casing yang harus ditempatkan. - Mengurangi masalah-masalah pemboran dan NPT (non productive time) lebih sedikit - Lebih sedikit invasi mud dan cutting yang dapat merusak formasi dan mengurangi produktivitas sumur. - Dapat menghemat biaya pemboran terutama jika dilakukan di offshore. Beberapa jenis MPD yang telah berkembang antara lain: 1. Mud Cap Drilling (MCD) Dilakukan pada lubang sumur yang mengalami total lost circulation atau near total lost. Menggunakan dua jenis fluida, yaitu mud cap yang berdensitas tinggi diinjeksikan ke annulus untuk memberi tekanan hidrostatik agar tidak terjadi kick akibat kolom hidrostatik turun ketika terjadi lost, dan sacrifice fluid yang berdensitas lebih rendah sebagai fluida pemboran yang dibiarkan masuk ke dalam zona total lost bersama serpihan pemboran (cutting). 2. Dual Gradient Drilling (DGD) Pemboran dengan menggunakan dua gradient tekanan fluida. Teknik ini digunakan di offshore terutama dengan pressure window yang sempit, dimana jika digunakan satu densitas fluida saja, maka tekanan oleh fluida sepanjang kolom riser sampai ke dasar laut akan menambah kolom hidrostatik pada lubang bor,sehingga dapat merekahkan formasi yang lebih dangkal. Agar didapat gradien fluida yang lebih rendah ,ke dalam riser diinjeksikan fluida atau, sedangkan di dalam lubang bor digunakan gradien lumpur
5
yang lebih berat agar tetap berada di atas tekanan pori formasi. 3. Constant Bottomhole Pressure (CBHP) Digunakan pada sumur dengan pressure window yang sempit dan terjadi ECD yang tinggi jika dilakukan dengan konvensional. Menjaga agar tekanan di dasar lubang konstan saat sirkulasi maupun saat statik. 4. Continous Circulating System Merupakan suatu sistem peralatan khusus untuk melakukan penyambungan pipa (connection) tanpa harus menghentikan sirkulasi (mematikan pompa). Karena saat pompa dimatikan tekanan di lubang sumur berkurang sehingga dapat menyebabkan kick, formasi runtuh sehingga pipa terjepit, dan pada saat pompa dinyalakan lagi, tekanan dapat meningkat tajam untuk memecah mud yang menjadi gel, Tujuannya adalah untuk mempertahankan BHP konstan, terutama dan pada formasi dengan pressure window yang sempit. CCS merupakan hak paten dari National Oilwell Varco (NOV) , dapat dipasang pada rig berukuran medium sampai besar yang menggunakan top drive. 3.1 Constant Bottomhole Pressure (CBHP) Pada pemboran konvensional, bottom hole pressure (BHP) saat statik dibentuk oleh berat kolom lumpur , dan saat dinamik BHP dibentuk oleh berat kolom lumpur ditambah tekanan dari pompa yang diberikan untuk mengatasi kehilangan tekanan akibat friksi di sepanjang lubang annulus (annular pressure loss – APL). Pressure window biasanya dinyatakan dalam densitas (ppg) sehingga BHP dinamik dapat dikonversi menjadi Equivalent Circulating Density (ECD) dan BHP saat statik dikonversi menjadi Equivalent Static Density (ESD). Pada pemboran konvensional BHPstatik = 0.052 x MW x TVD ................... (3.1) ESD = MW ....................................................... (3.2) BHPdinamik = Tekanan hidrostatik + APL....... (3.3) ECD = APL/(0.052xTVD) + MW .................... (3.4) Seperti terlihat pada gambar 11, karena digunakan lumpur berdensitas lebih besar dari EMW tekanan pori formasi, maka saat lumpur bersirkulasi (dinamik), semakin dalam sumur dibor APL akan naik hingga BHP akan melebihi tekanan rekah formasi.
yang menentukan tekanan dasar lubang, sehingga sumur akan dalam kondisi underbalanced. Tetapi, untuk mencegah influks fluida formasi selama penyambungan pipa, harus diberikan tekanan balik dari permukaan (surface back pressure) dengan melakukan penutupan choke (gambar 12). Maka pada CBHP - MPD BHPdinamik = Tekanan hidrostatik + APL ....... (3.5) ECD = APL / (0.052xTVD) + MW .................... (3.6) BHPstatik = 0.052 x MW x TVD +BackPressure (3.7) ESD = Back Pressure/(0.052xTVD) +MW......... (3.8) Keuntungan Teknik CBHP adalah BHP dijaga sedekat mungkin dengan tekanan pori formasi dibandingkan dengan pemboran konvensional sehingga lost circulation dapat dicegah, dan pengurangan overbalance ini dapat meningkatkan ROP. Cara yang umum dilakukan agar BHP konstan adalah dengan mengatur tekanan di annulus, ECD dan ESD berada di tengah-tengah pressure window terutama pada bagian openhole, agar saat dinamik tidak terjadi underbalance dan saat statik penambahan backpressure tidak memecah formasi pada casing shoe. Tetapi pada kasus pressure window yang sangat sempit, akan lebih baik digunakan BHP bervariasi, dengan mempertimbangkan tekanan di sepanjang seksi openhole, tidak hanya di dasar lubang. Sehingga perlu dipahami bahwa konstan itu relatif. Pada konteks CBHP, konstan yang dimaksud adalah mempertahankan BHP di dalam pressure window, sesuai dengan tujuan awal MPD. Untuk itu, dibutuhkan pemodelan hidrolika dan pembuatan profil tekanan pada saat pemboran maupun saat lumpur statik (ECD dan ESD), dan dipastikan agar ECD dan ESD di dalam pressure window. 3.2 Parameter Hidrolika yang Penting pada Operasi CBHP-MPD Operasi MPD biasanya dilakukan jika diketahui akan terjadi masalah dalam pemboran, seperti sempitnya pressure window, karena pressure window yang sempit ini biasa ditemukan pada reservoir yang dalam, maka konfigurasi lubang sumur biasanya telah ditentukan. Densitas lumpur dapat ditentukan yaitu yang lebih rendah dari tekanan pori. Sehingga, parameter yang perlu sangat diperhatikan selanjutnya adalah desain laju sirkulasi lumpur.
Pada CBHP-MPD digunakan lumpur pemboran berdensitas lebih rendah daripada EMW tekanan pori, sehingga saat dinamik tekanan friksi annular perlu diatur sedemikian agar BHP berada pada drilling pressure window. Sedangkan saat tidak bersirkulasi, hanya tekanan hidrostatik dari lumpur
Laju Lumpur saat Sirkulasi Laju pompa yang optimum perlu ditentukan agar operasi CBHP dapat berjalan tanpa masalah. Jika laju pompa tidak cukup, ECD tidak dapat melebihi EMW formasi sehingga kondisi sumur akan menjadi underbalanced dan kick dapat terjadi. Selain itu walaupun ECD dapat melampaui EMW
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
6
formasi, namun jika laju tidak cukup untuk mengangkat cutting, juga akan meningkatkan masalah pembersihan lubang. Sedangkan jika laju terlalu tinggi mengakibatkan kehilangan tekanan akibat friksi yang tinggi sehingga lost circulation dapat terjadi. Oleh karena itu pada operasi CBHPMPD perlu ditentukan batas-batas laju yang diperbolehkan. Batas laju minimum adalah laju lumpur yang dapat mengangkat cutting secara efektif agar tidak menimbulkan masalah kebersihan lubang. Karena pada operasi ini digunakan lumpur berdensitas yang lebih rendah dari EMW tekanan pori, maka laju minimum ini juga perlu dipastikan dapat menghasilkan ECD lumpur yang lebih besar daripada EMW tekanan pori terbesar pada seksi open hole, agar kondisi slightly overbalance dapat tercapai. Sedangkan batas maksimum adalah laju sirkulasi yang dapat menghasilkan ECD lumpur yang sama dengan gradien rekah formasi. Back Pressure saat Statik Pada saat statik, back pressure di permukaan harus diberikan pada jumlah yang relatif sama dengan kehilangan tekanan di annulus (circulating annulus friction pressure drop) yang terjadi saat sirkulasi. Cara manual untuk memberikan back pressure pada saat penyambungan pipa adalah choke ditutup dan sumur di shut-in sampai kecepatan pompa perlahan-lahan mati. Saat laju pompa turun maka back pressure harus naik untuk mengimbangi. Begitu pula saat pompa akan dinyalakan kembali untuk melakukan pemboran, perlahan – lahan back pressure diturunkan hingga laju sirkulasi yang dituju. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kick saat pompa dimatikan dulu sebelum diberikan back pressure ataupun terjadi loss saat diberikan backpressure sementara pompa belum dimatikan. Langkah untuk mematikan pompa : 1) Kurangi bukaan choke (tutup) sampai annular pressure tercapai kemudian 2) Kurangi kecepatan pompa yang sesuai dengan annular pressure tersebut. 3) Tutup lagi choke sampai annular pressure tercapai seimbang pada saat pompa mati Langkah untuk menyalakan pompa : 1) Atur kecepatan awal pompa, kemudian buka choke sampai annular pressure tertentu yang seimbang dgn kecepatan tersebut 2) Kecepatan pompa dinaikkan, imbangi dengan membuka choke,ulangi sampai laju sirkulasi yang diinginkan. Sebagai acuan untuk mematikan atau menyalakan pompa pada saat peralihan dari pemboran ke penyambungan pipa atau sebaliknya, perlu dibuat pump schedule atau jadwal laju pompa dan tekanan
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
choke yang perlu diberikan. Contoh pump schedule dan pembuatannya dapat dilihat pada lampiran. IV. Metodologi Penentuan Parameter Hidrolika CBHP- MPD 4.1 Penentuan Laju Pompa Optimum Pada paper SPE/IADC 114667, Sometimes Neglected Hydraulic Parameter of Underbalanced and Managed Pressure Drilling, Stone menggunakan cara memplot kurva BHP terhadap laju pompa untuk mendapatkan laju pemompaan optimum pada operasi CBHP. Harga laju pompa optimum adalah laju alir yang tersambung dengan BHP minimum10) . Harga laju alir ini dipilih karena jika laju dibawah laju optimum akan menyebabkan masalah pembersihan lubang (cutting terakumulasi di annulus), sehingga BHP akan membesar dan jika laju di atas laju optimum akan menyebabkan kehilangan tekanan akibat friksi dinamik membesar, yang juga akan meningkatkan BHP. Tetapi seperti telah dijelaskan bahwa tujuan dari CBHP adalah agar tekanan yang terjadi di annulus berada pada pressure window, maka selama masih berada pada batas-batas laju yang diperbolehkan , pada prinsipnya laju pompa masih dapat dikatakan optimum dan tidak harus selalu laju yang menghasilkan BHP mínimum seperti yang dinyatakan Stone. Sehingga pembuatan plot ini nantinya hanya akan digunakan untuk menentukan batas-batas laju yang diperbolehkan tersebut. Untuk pembuatan plot ini maka perlu dihitung terlebih dahulu harga BHP untuk beberapa harga laju alir, dimana harga BHP dibentuk oleh tekanan hidrostatik dan kehilangan tekanan akibat friksi di annulus. 4.1.1 Perhitungan Kehilangan Tekanan di Annulus (APL –Annular Pressure Loss) Persamaan kehilangan tekanan yang umum digunakan pada proses pemboran diturunkan secara analitis berdasarkan model reologi lumpur pemboran digunakan. Model reologi untuk fluida Non-Newtonian yang umum dipakai di dunia pemboran adalah model Bingham plastic, Power Law dan Herschel-Bulkley (Yield Power Law). Oleh karena itu, besarnya kehilangan tekanan akan sangat bergantung pada model reologi yang dipilih. Menurut Moore, model reologi Power Law lebih akurat merepresentasikan kelakuan lumpur pemboran daripada representasi Bingham plastic5), sehingga pada penentuan kehilangan tekanan ini digunakan model Power Law. Prosedur penentuan kehilangan tekanan di annulus (Annular pressure loss- APL) dengan model Power Law dapat dilihat pada flowchart di gambar 2. 4.1.2 Perhitungan Tekanan Hidrostatik Densitas merupakan pembentuk utama tekanan hidrostatik. Akumulasi cutting di annulus 7
yang terbentuk saat pemboran dilakukan dapat meningkatkan densitas, yang berakibat meningkatkan BHP. Maka perlu dihitung densitas lumpur yang memasukkan konsentrasi cutting di dalamnya sebagai pembentuk tekanan hidrostatik, densitas ini dinamakan densitas efektif. Langkah perhitungan tekanan hidrostatik adalah sebagai berikut : 1. Hitung Kecepatan Lumpur Rata-Rata ( Average Velocity) Average Velocity (AV) adalah kecepatan lumpur rata-rata yang dihasilkan berdasarkan laju pompa yang digunakan. AV menggantikan Vmin pada penentuan viskositas apparent untuk menentukan Vslip. YV dimana :
Z ...................................................(4.1) ]]]] [\
AV = kecepatan lumpur rata-rata, ft/min Q = laju alir pompa yang diujikan,gpm ]]]] = kapasitas annular rata-rata , gal/ft ^_ =
` \a b`a! \##a\c d\ec d
2. Hitung Viskositas apparent menggunakan persamaan (2.7), harga Vmin diganti dengan AV. 3. Hitung Kecepatan Pengendapan Cutting (Vslip) a. Pertama anggap aliran lumpur adalah laminar. Harga Vslip laminar dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Moore untuk aliran transisi (2.12), tidak menggunakan persamaan (2.14) karena Reynold number lebih kecil dari tiga (NRE < 3) jarang sekali ditemukan. b. Hitung NRE dengan input harga Vslip yang telah dihitung. c. Jika NRE < 300, maka Vslip hitungan dapat dipakai. Tetapi jika NRE > 300, maka aliran turbulen, Vslip harus dihitung dengan persamaan (2.10). d. Vslip kemudian dikalikan faktor koreksi terhadap inklinasi, densitas, dan RPM berdasarkan persamaan metode Vslip RudiShindu (persamaan 2.15, 2.16). 4. Hitung Kecepatan Cutting terangkat (Vcut) Vcut = AV-Vsl ............................................. (4.2) 5. Konsentrasi cutting (%) didapat dengan mengubah rumus ( 2.9) menjadi berikut Cconc
ijk F '
l F F
...................... (4.3)
ρ nρe x o p n ρ x 1 q ' 7. Hitung Tekanan Hidrostatik [ `#
[ `#
'
o ........ (4.4)
Phidrostatik = ρe x 0.052 x TVD ................ (4.5) 4.1.3 Perhitungan BHP dan ECD Harga BHP dinamik dapat ditentukan BHP dinamik = ρe x 0.052 x TVD + AP ... (4.6) rst
ukv
.H w
p ρ ............................. (4.7)
Secara lengkap perhitungan BHP dan ECD dapat dilakukan mengikuti flowchart di gambar 3. 4.2 Penentuan Laju Optimum dan Ukuran Nozzle Bit dengan Optimasi Hidrolika di Bit Setelah didapat batas-batas laju yang diperbolehkan, maka dapat ditentukan laju optimum, yaitu dengan mengoptimasi berdasarkan kriteria BHHP,BHI atau JV. Data hasil slow pump rate test digunakan untuk mendapatkan z dan K yang digunakan untuk optimasi Hidrolika di bit berdasarkan masing-masing kriteria. Jika data slow pump rate test tidak ada, maka kehilangan tekanan di bit dihitung dari kehilangan tekanan di seluruh sistem selain di bit (Pparasitik). Untuk itu kehilangan tekanan pada peralatan permukaan, kehilangan tekanan di dalam pipa dan kehilangan tekanan di dalam annulus harus dihitung terlebih dahulu menggunakan rumus kehilangan tekanan yang diturunkan dari model reologi lumpur. Laju pompa optimum bagi masing-masing kriteria adalah dimana parameter mencapai nilai maksimumnya. Cara yang dapat digunakan untuk menentukan laju optimum pada satu kriteria tertentu ialah dengan membandingkan parameter dari kriteria tersebut yang dihasilkan dari dua laju pompa yang berbeda. Laju pompa yang dibandingkan tentunya harus berada pada batasbatas laju pompa yang diperbolehkan. Berikut adalah langkah yang dapat dilakukan : ♦ Mulai dengan Q1 = Qmin Tentukan Q2 yang lebih besar dari Q1 sebagai laju pembanding, dimana Q2 = Qmin+ ∆Q ♦ Kemudian untuk masing-masing harga Q lakukan langkah berikut : 1. Hitung kehilangan tekanan pada peralatan permukaan, dengan persamaan berikut 7): Psurf E x ρ
.G
x Q '.G x PV . ........... (4.8)
6. Dengan memasukkan konsentrasi cutting didapatkan harga densitas lumpur efektif
Dengan E adalah koefisien loss tertentu berdasarkan tipe peralatan permukaan yang
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
8
dipakai (dapat dilihat pada tabel 2 dan gambar 4). 2. Hitung kehilangan tekanan di dalam pipa, Ppipe dengan persamaan pipe pressure loss dengan metode Power Law dengan flowchart gambar 5. 3. Hitung daya pompa yang terpakai di permukaan dengan persamaan k!\ Z HPs ............................. (4.9) 'O'% 4. Tentukan tekanan pompa di permukaan Jika HPs < Hpmax maka gunakan kondisi tekanan maksimum,sehingga Ps = Pmaks ....................................... (4.10) Jika HPs > Hpmax maka gunakan kondisi daya HP maksimum 'O'%|}k!\ Ps = ................. (4.11) Z
5.
Hitung Tekanan Pompa yang dipakai oleh bit CD C* q YC~ p CC~ p C*/ ... (4.12)
6.
Hitung luas nozzle (An) dengan memodifikasi persamaan (2.31) menjadi
♦ Dari nilai laju optimum, tentukan luas area nozzle dengan persamaan (4.13). Keseluruhan cara diatas flowchart gambar 6. Ukuran nozzle persamaan dn 4096 x
u#
dapat
dapat
dilihat
diperkirakan
pada dengan
.......................................(4.14)
dimana dn = ukuran nozzle , 1/32 inch An = luas area total nozzle, in2 N= jumlah nozzle yang digunakan Kemudian gunakan hasil dari persamaan ini untuk mendapat kombinasi nozzle yang sesuai, yaitu dengan mencoba memasukkan ukuran-ukuran nozzle ke dalam persamaan ini, sampai didapat luas total nozzle yang sesuai dengan atau mendekati luas total nozzle yang telah dihitung d d d π d1 x + 2 + 3 + .. + N 4 32 32 32 32 2
An =
2
2
2
(4.15)
1
ρ .Q 2 2 An = ........................ (4.13) 10858.Pb 7.
Pilih kriteria yang digunakan untuk optimasi hidrolika di bit, kemudian tentukan parameter untuk masing-masing kriteria a. Kriteria BHHP Hitung parameter BHHP dari masingmasing Q dengan persamaan (2.25 ) b. Kriteria BHI Hitung parameter BHI dari masingmasing Q dengan persamaan (2.26) c. Kriteria Jet velocity Hitung parameter JV dari masingmasing Q dengan persamaan (2.27) ♦ Bandingkan parameter kriteria yang dihasilkan dari Q1 dan dari Q2. Parameter dari Q1 harus lebih besar daripada parameter untuk Q2 . Jika tidak, Ulangi langkah perhitungan 1- 7 dan bandingkan laju lainnya dengan mengganti nilai Q1 dan Q2. Nilai Q1 diganti menjadi Q2 dan nilai Q2 menjadi Q pembanding selanjutnya yang lebih besar dari Q2 ♦ Sebelum iterasi dilanjutkan pastikan Q1 tidak melebihi laju maksimum. Jika laju optimum melebihi laju maksimum, maka gunakan laju optimum langsung ditentukan sebagai laju optimum. ♦ Iterasi dilakukan hingga dicapai parameter dari Q1 lebih besar daripada parameter dari Q2, maka Qoptimum = Q1. Dengan demikian, laju optimum adalah laju dimana parameter mencapai harga maksimum.
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
4.2.3 Penentuan Ukuran Nozzle Bit dengan Cara Grafik Cara Grafik dapat digunakan untuk menentukan ukuran nozzle bit yang harus digunakan, jika kita ingin menggunakan laju pompa tertentu yang besarnya berada pada kisaran laju pompa yang diperbolehkan (antara Qmin dan Qmaks). Untuk membuat grafik ini perhitungan harus dilakukan untuk semua kriteria optimasi (BHHP, BHI dan JV). Grafik dibuat dengan memplot hasil laju optimum (Q optimum) terhadap luas area nozzle (An) yang telah dihitung dengan tiga kriteria tersebut. Kemudian dua titik kriteria yang berdekatan pada plot tersebut dihubungkan dengan garis linier. Contoh plot Q vs An dapat dilihat pada gambar 10. Berdasarkan laju pompa yang dipilih, tarik garis horizontal hingga bertemu garis linier yang menghubungkan antar kriteria, kemudian tarik gars vertikal sehingga didapatkan harga total area nozzle yang sesuai. Dari total area nozzle tersebut dapat diperkirakan ukuran nozzle yang sesuai bergantung jumlah nozzle yang akan dipakai dengan menggunakan persamaan (4.14) atau (4.15). Plot tersebut juga dapat kita pakai sebaliknya, yaitu untuk menentukan laju pompa yang harus digunakan jika ada ukuran nozzle tertentu yang ingin kita gunakan. Caranya tarik garis vertikal dari total area nozzle yang kita gunakan hingga bertemu
9
garis linier yang menghubungkan antar kriteria, kemudian tarik garis horizontal sehingga didapatkan harga laju optimum yang sesuai. 4.3 Penentuan Back Pressure (Tekanan Choke di Permukaan) Untuk menjaga agar BHP selama making connection tetap sama seperti selama membor, total kenaikan tekanan choke saat pompa mati harus sama dengan total kehilangan tekanan akibat friksi di annular ditambah total berat cutting di annulus atau sama dengan selisih antara ECD dengan densitas lumpur efektif kemudian dikonversi menjadi tekanan. 4.4 Pembuatan Profil Tekanan di Annulus Profil tekanan menggambarkan distribusi tekanan di annulus pada tiap kedalaman saat pemboran dilakukan sampai kedalaman tertentu. Profil dibuat dengan memplot besar EMW, gradient rekah, dan tekanan lumpur di lubang (ECD atau ESD) pada tiap kedalaman tertentu (MD tertentu). Profil tekanan di annulus digunakan untuk memastikan tekanan saat sirkulasi dan saat statik (ECD dan ESD) pada bagian openhole tetap berada pada drilling window. V. STUDI KASUS Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang penentuan laju pompa optimum dan tekanan balik (back pressure), maka akan diberikan suatu studi kasus. 5.1 Data yang digunakan Dalam studi kasus ini, data yang diberikan merupakan data hipotetik, artinya data dibuat sendiri oleh penulis. Sumur X yang ditinjau adalah sumur vertikal. Operasi CBHP-MPD dilakukan pada interval open hole setelah casing terakhir yang berukuran 8 5/8 inci OD, yaitu pada kedalaman 12,000 feet sampai kedalaman 13,290 feet. Interval yang akan dibor memiliki tekanan pori formasi terbesar 11,710 psi pada kedalaman 13,290 ft atau EMW sebesar 16.94 ppg dan tekanan rekah formasi terkecil 10,858 psi pada kedalaman di bawah kaki casing (12,000 ft) atau gradient rekah sebesar 17.4 ppg, sehingga pressure window dapat dikatakan cukup sempit, margin hanya 0.36 ppg. Tekanan rekah formasi pada kedalaman target sebesar 12,150 psi atau gradient rekah sebesar 17.58 ppg. Data yang diasumsikan adalah ROP maksimum dan kecepatan putar (rotary speed) maksimum yang terjadi saat pemboran sebesar 120 ft/jam dan 80 rpm, dan daya maksimum serta tekanan maksimum pompa sebesar 1200 HP dan 4000 psi. Peralatan permukaan menggunakan tipe 1. Data yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3,4 dan 5. Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
Pressure window dapat dilihat pada gambar 13 dan konfigurasi sumur pada gambar 14. Dapat dilihat pada gambar pressure window, seharusnya setelah casing di 12000 ft dipasang lagi casing kira-kira pada kedalaman 12690 ft, sebelum pemboran dilanjutkan menuju kedalaman target. Tetapi pada kasus ini, casing tersebut akan dieliminasi dan dilakukan operasi CBHP dengan penggunaan densitas lumpur yang lebih rendah dari EMW pori terbesar. Perhitungan pada penentuan parameter hidrolika pada paper ini dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel. Program juga digunakan untuk membuat profil tekanan di annulus. 5.2 Hasil dan Pembahasan 5.2.1 Daerah Operasi CBHP-MPD Tekanan di dasar sumur (BHP) yang terjadi akibat laju sirkulasi lumpur dihitung untuk tiap-tiap harga laju pompa yang diberikan . Hasil perhitungan (tabel 6) kemudian diplot. Plot BHP dan konsentrasi cutting terhadap laju sirkulasi pompa seperti pada gambar 15 digunakan untuk menentukan batas-batas laju yang diperbolehkan untuk digunakan pada operasi CBHP-MPD. Untuk menentukan daerah operasi CBHP-MPD pertimbangan berdasarkan batas atas dan batas bawah laju pemompaan yang mempengaruhi harga BHP. Batas bawah laju adalah harga Qmin yang didapatkan dari harga Vmin. Perhitungan Vmin dilakukan dengan mencari Vslip terlebih dahulu menggunakan korelasi Rudi-shindu. Harga laju minimum yang didapat adalah sebesar 132 gpm. Harga ini merupakan harga minimum agar konsentrasi cutting dalam lubang tetap terjaga sebesar 5 persen. Dapat dilihat pada grafik di gambar 16, bahwa dari hasil perhitungan, besar laju tersebut sama dengan harga laju yang didapatkan dengan memasukkan konsentrasi cutting sebesar 5% ke dalam grafik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, laju minimum juga harus menghasilkan tekanan yang lebih besar daripada tekanan pori formasi agar kondisi slightly overbalance tercapai. Harga BHP laju minimum tersebut adalah 11,756 psi, lebih besar dari tekanan pori formasi 11,710 psi. Batas atas laju lumpur didapat dari kecepatan lumpur kritis (Vcritical) yang telah dihitung pada prosedur perhitungan kehilangan tekanan. Vcritical adalah kecepatan lumpur saat aliran lumpur mulai berubah menjadi turbulen. Aliran turbulen pada annulus dapat mengerosi lubang juga mud cake yang terbentuk di dinding lubang. Tetapi batas laju pompa yang harus diantisipasi adalah laju yang mengakibatkan ECD melebihi harga gradien rekah formasi. Sehingga batas atas laju pompa harus 10
dipilih harga yang terendah dari Qcritical atau Q yang menyebabkan formasi rekah. Hasil perhitungan Qcritical pada seksi annulus antara lubang dan drillpipe sebesar 259 gpm sedangkan Q yang mengakibatkan formasi rekah adalah 450 gpm. Sehingga batas atas laju pompa adalah 259 gpm. Dengan demikian maka daerah operasional CBHP-MPD saat sirkulasi antara 132 gpm dan 259 gpm , yaitu area yang diarsir pada gambar 17. ECD pada laju minimum adalah 17.01 ppg, dan ECD pada laju kritis adalah 17.11 ppg, sehingga operasi CBHP MPD berada pada pressure window. 5.2.3 Laju Optimum dan Ukuran Nozzle Bit Karena tidak diketahui data slow pump rate test maka estimasi ukuran nozzle bit dilakukan menggunakan flowchart gambar 6. Hasil Perhitungan laju pompa optimum dan ukuran nozzle untuk masing-masing kriteria dapat dilihat pada tabel berikut Untuk kriteria JV laju optimum adalah sebesar laju minimum, sedangkan untuk kriteria BHHP laju optimum sebesar 247 gpm, dan untuk kriteria BHI laju optimum adalah sebesar laju maksimum. Tabel 1 Hasil Optimasi Hidrolika JV
BHHP
BHI
Q optimum
132
247
259
Pparasitic
537
1483
1608
psi
3463
2517
2392
psi
Pump HHP
308
576
604
HP
BHHP
267
363
361
HP
%HHP
86.6
62.9
59.8
%
Pbit
gpm
BHI Total Flow Area (TFA atau An) Nozzle Velocity (JV)
549.2
876.1
895.5
lbf
0.0880
0.1931
0.2077
in2
481.7
410.6
400.3
fpm
Nozzle Diameter
6-6-7
9-9-10
9-10-10
1/32 in
menjadi 0.12 ppg (16.94-16.82 ppg), yang ekivalen dengan tekanan 83 psi. Sehingga harga ini merupakan back pressure minimal agar equivalent static density (ESD) seimbang dengan EMW tekanan pori. Agar tercapai kondisi BHP konstan, yaitu BHP statik sama dengan BHP dinamik, diperlukan besarnya back pressure yang dapat mengimbangi ECD, sehingga margin yang diperhitungkan adalah antara ECD dengan densitas lumpur efektif. Saat laju pompa minimum (132 gpm) digunakan, ECD di dasar lubang sebesar 17.01 ppg. Margin antara ECD dengan densitas lumpur efektif sebesar 0.19 ppg (17.01-16.82 ppg) yang setara dengan 131 psi. Maka back pressure yang diperlukan agar tekanan di dasar sumur (BHP) saat statik sama dengan saat sirkulasi sebesar 131 psi. Harga ini sebanding dengan APL yang terjadi saat lumpur bersirkulasi. Gambar 17 menunjukkan profil distribusi tekanan sepanjang annulus saat lumpur disirkulasikan dengan laju pompa optimum 132 gpm, saat pemboran dilakukan sampai kedalaman akhir (13290 ft) dan saat diberikan back pressure 131 psi saat sirkulasi berhenti. Kurva berwarna hijau merupakan EMW tekanan pori dan kurva berwarna merah adalah gradien rekah. ECD di dasar lubang sebesar 17.01 ppg dan di kaki casing 16.93 ppg. Tekanan di dasar lubang saat statik dan dinamik sama, yaitu sebesar 11756 psi. Saat laju pompa optimum untuk kriteria BHHP (247 gpm) digunakan, back pressure yang perlu diberikan sebesar 228 psi. Profil tekanan di annulus dapat dilihat pada Gambar 18. ECD di dasar lubang sebesar 17.09 ppg dan di kaki casing 16.95 ppg. Tekanan di dasar lubang saat statik dan dinamik sama, yaitu sebesar 11811 psi. Saat laju pompa optimum untuk kriteria BHI (259 gpm) digunakan, back pressure yang dibutuhkan sebesar 242 psi. Profil tekanan annulus pada Gambar 19. ECD di dasar lubang sebesar 17.09 ppg dan di kaki casing 16.95 ppg. Tekanan di dasar lubang saat statik dan dinamik sama, yaitu sebesar 11822 psi.
5.2.4 Back Pressure di Permukaan Margin antara EMW tekanan pori dengan densitas lumpur yang digunakan adalah sebesar 0.24 ppg (16.94-16.7 ppg). Dari estimasi 166 psi ekivalen dengan 0.24 ppg pada kedalaman 13290 ft. Tetapi karena adanya konsentrasi cutting di annulus yang terbentuk saat pemboran, maka margin tersebut menjadi lebih kecil, bergantung densitas efektif yang terjadi saat pemboran. Jika saat membor digunakan laju minimum 132 gpm, densitas efektif yang dihasilkan sebesar 16.82 ppg, maka saat making connection margin tersebut
Dari ketiga kriteria tersebut, semakin rendah laju pompa, akan semakin kecil backpressure yang dibutuhkan. Back pressure maksimum yang dapat diberikan tergantung pressure rating dari choke. Dapat dilihat pada gambar 5.7, 5.9 dan 5.11 , garis ESD yang terbentuk saat diberikan backpressure menunjukkan bahwa ESD pada kedalaman yang lebih rendah justru semakin besar. Oleh karena itu pada pemberian backpressure perlu diantisipasi ESD yang terjadi di kaki casing. ESD di kaki casing tidak boleh sama dengan atau lebih besar dari gradien rekah formasi di kaki casing karena
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
11
dapat merekahkan kaki casing. Besar back pressure yang harus diantisipasi tersebut sama dengan tekanan maksimum yang boleh diberikan di permukaan atau dikenal dengan istilah Maximum Allowable Surface Pressure (MASP). MASP = 0.052 x TVDshoe x(Gfshoe – MWefektif) = 0.052 x 12000 x (17.4-16.82) = 361.92 psi Sehingga pada kasus ini, pemberian back pressure harus dibawah 361 psi. Perlu juga untuk dipastikan bahwa casing yang digunakan dapat menahan tekanan yang akan diberikan di permukaan.
maksimum 259 gpm. Laju optimum yang didapat dari optimasi hidrolika di bit untuk kriteria JV sama dengan laju minimum 132 gpm, untuk kriteria BHHP sebesar 247 gpm, dan kriteria BHI sama dengan laju maksimum 259 psi. 10. Backpressure yang perlu diberikan pada saat statik, setelah membor lubang sampai kedalaman target sumur X , dengan laju 132 gpm adalah sebesar 131 psi. Dengan laju 247 gpm sebesar 228 psi, dan dengan laju maksimum 259 gpm sebesar 242 psi. 11. Operasi CBHP pada sumur X dapat mengurangi jumlah casing yang perlu dipasang sebelum mencapai kedalaman target.
Kesimpulan 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
Daerah operasional Managed Pressure Drilling teknik Constant Bottomhole Pressure (CBHP-MPD) dibatasi oleh tekanan pori formasi, tekanan rekah formasi, stabilitas lubang sumur dan kecepatan minimum lumpur untuk pengangkatan cutting pada saat sirkulasi. Laju sirkulasi yang diperbolehkan sama dengan atau lebih besar dari laju minimum, dan dibatasi oleh laju alir kritis saat pola aliran di annulus openhole mulai turbulen. Penentuan batas-batas laju sirkulasi untuk operasi CBHP dapat dilakukan dengan memplot grafik BHP dan konsentrasi cutting dari beberapa harga Q. Pada harga ROP yang sama, laju sirkulasi di bawah laju minimum akan meningkatkan tekanan dasar sumur (bottomhole pressureBHP) karena meningkatnya densitas lumpur akibat akumulasi cutting di annulus. Densitas lumpur efektif tidak dapat diabaikan dalam perhitungan BHP. Laju optimum dan ukuran nozzle bit yang perlu digunakan dapat ditentukan dengan melakukan optimasi hidrolika di bit, dengan kriteria BHHP, BHI atau JV. Back pressure yang diberikan saat penyambungan pipa, diusahakan untuk membuat BHP saat penyambungan pipa sama dengan BHP saat pemboran, yaitu sebanding dengan kehilangan tekanan di annulus saat bersirkulasi (Annular Pressure Loss atau APL). Sehingga besar back pressure yang diberikan juga akan bergantung laju sirkulasi yang digunakan. Semakin rendah laju pompa, akan semakin kecil backpressure yang dibutuhkan. Back pressure yang diberikan tidak boleh menghasilkan Equivalent Static Density (ESD) yang melebihi gradien rekah di casing shoe. Besar back pressure maksimum yang diperbolehkan sebesar Maximum Allowable Surface Pressure (MASP). Operasi CBHP pada sumur X, laju yang diperbolehkan adalah minimum 132 gpm dan
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr.-Ing. Rudi Rubiandini R.S selaku pembimbing atas nasihat dan ide-ide yang diberikan juga kepada teman-teman PATRA 2005. Tugas akhir ini juga penulis berikan untuk mama, papa, kakak-kakak tercinta, terima kasih untuk doa dan dukungan yang selalu diberikan. Daftar Simbol Aann = luas area lubang annulus, ft2 Ahole = luas area lubang, ft2 Apipe = luas area pipa, ft2 APL = Annular Pressure Loss, psi AV = kecepatan annular lumpur , ft/min Cconc = konsentrasi cutting, % Cconc-fr = fraksi konsentrasi cutting dh = diameter lubang, in dcut = diameter cutting, in dopt = diameter nozzle optimum dp = diameter pipa, in k\ = gradien kehilangan tekanan annulus, psi/ft v k v
= gradien kehilangan tekanan di pipa, psi/ft ECD = Equivalent Circulating Density, ppg EMW = Equivalent Mud Weight,ppg Et = efisiensi transport cutting % ESD = equivalent static density, ppg ID = diameter dalam ,in K = indeks konsistensi MD = Meassure Depth , ft MASP= Maximum Allowable Surface Pressure, psi MW = densitas lumpur , ppg n = indeks kelakuan aliran NRe = reynold number OD = diameter luar , in Pa = kehilangan tekanan di annulus , psi Pb = kehilangan tekanan di bit, psi Pp = tekanan parasitik,psi PPL = Pipe Pressure Loss, psi Ps = kehilangan tekanan peralatan permukaan, psi Pmax = tekanan maksimum pompa, psi PV = viskositas plastik , cp 12
= laju pelepasan cutting volumetrik, ft3/s = rate of penetration, ft/hr = specific gravity cutting = True vertical depth , feet = kecepatan lumpur rata-rata, ft/min = kecepatan kritis, ft/min = kecepatan cutting, ft/s = kecepatan lumpur minimum , ft/min atau ft/s Vslip = kecepatan slip , ft/min atau ft/s Vsv = kecepatan slip vertical Moore,ft/s atau ft/min YP = yield point, lb/100ft2 γcut = densitas cutting, lbm/ft3 ρ = densitas lumpur , ppg ρe = densitas efektif lumpur , ppg ρf = densitas lumpur , ppg ρs = densitas cutting, ppg µe = apparent viscosity , cP θ600 = dial reading pada 600 rpm θ300 = dial reading pada 300 rpm Qinj ROP SG TVD V Vc Vcut Vmin
10. Stone, Charles R., et al.: Sometimes Neglected Hydraulic Parameter of Underbalanced and Managed Pressure Drilling, SPE/IADC 114667, 2008. 11. Tian, Shifeng, et al.: Parametric Analysis of MPD Hydraulics, IADC/SPE 108354-PP, 2007.
Daftar Pustaka 1. Adam T. Bourgoyne Jr., Keith K. Millhelm, Martin E. Chenevert, F.S. Young Jr., SPE Textbook Series Vol. 2, “Applied Drilling Engineering”, First Printing Society of Petroleum Engineers, Richardson TX, 1986. 2. Agustina, Diah, Penentuan Hidrolika dan Cutting Transport pada Operasi Underbalanced Drilling, Tugas Akhir, Departemen Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung, 2001. 3. Larsen,T.I, A.A. Pilehvai, and J.J. Azar : Development of a New Cuttings Transport Model for High-Angle Wellbores Including Horizontal Wells, SPE No. 25872, April 1993.Medley, George H.,et al.: Symplifying MPD: Lesson Learned, SPE/IADC 113689, 2008. 4. Lucky., Shindu, Persamaan Baru Penentuan Kecepatan Minimum Lumpur Untuk Mengangkat Cutting Sumur Vertikal, Miring dan Horizontal, Tugas Akhir, Jurusan Teknik Perminyakan, FIKTM, 1999. 5. Moore, Preston L., Drilling Practices Manual, PennWell Books, Tulsa, USA, 1986. 6. Peden,J.M, J.T Ford, and M.B Oyeneyin: Comprehensive Experimental Investigation of Drilled Cuttings Transport in Inclined Well Including The Effect of Rotation and Eccentriciy Drillpipe, SPE 20925. 1990. 7. Rabia, H., Oilwell Drilling Engineering : Principles And Practice, Graham & Trotman, Oxford, UK, 1985. 8. Rabia, H., Well Engineering & Construction. 9. Rubiandini Rudi, Diktat Kuliah TM-2231 Teknik Operasi Pemboran, Penerbit ITB, Bandung, 2004. Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
13
START Input : Cconc, n, K, Dh,OD, ρ, ρs,dcut,ROP
Vcut =
ROP OD 2 pipe C 361 − Dh conc
Asumsi Vslip1 = 0.01
Vslip1 = Vslip 2
Vmin = Vcut + Vslip µ
200x Kx Dh q Dp 2.4 x 60xVmin x 2n p 1 x Dh q Dp x 3n 60 x Vmin
#
NRe
Nre < 3
928 x ρ x dcut xVslip µ 3 < Nre <300
40
Nre > 300
22
√
)*2 1.89
1.5
-./0 V24 V
Tidak Abs(Vsl2-Vsl1)<0.001
Ya Vsl2 = Vsv = Vslip vertical Moore
END
Gambar 1 Flowchart Perhitungan Vslip Metode Moore
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
14
START
Input : θ300 & θ600 atau PV & YP ,Q, ρ ,Dh,OD, L , TVD
θ300 = PV+YP θ600 = 2PV + YP θ600 θ300 θ300 K 511#
n 3.32 x log
Va
(.GOG ' F ρ
Vca Qca
24.5 x Q Dh q OD
Vca x Dh q OD 24.5
.% #&'
x j (#
aliran LAMINAR ← YA
F ,
TIDAK → aliran TURBULEN Va < Vca ?
dPa K 2.4 Va 2n p 1 # x1 x 5 dL 300Dh q OD Dh q OD 3n
dPa 8.91 x 10H x ρ .G x Q '.G x PV . dL Dh q OD( Dh p OD'.G
Pa
dPa xL dL
Ulangi langkah di atas untuk tiap geometri annular (Dh,OD dan L yg berbeda)
APL = ΣPa
END
Gambar 2 Flowchart Perhitungan Annular Pressure Loss (APL) Model Rheology Power Law
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
15
START
Input :, Q, n, K, Dh,OD, L , MD, ρ , ρs, Vol
dcut, ROP,RPM
Dhole q OD xL 24.5
Hitung volume untuk tiap geometri annular (Dh,OD dan L yg berbeda) ]]] Σ Volume interval ¡ MD Ca Q AV ]]] Ca
µ
200x Kx Dh q Dp 2.4 x AV x 2n p 1 x Dh q Dp x 3n AV
)*£ q _
175 T -./0 T V* q V.llO V.((( ¤¥ .((( 15.47 x ρ x dcut xVsl µ
NRe aliran LAMINAR ← YA
#
TIDAK → aliran TURBULEN
Nre < 300 ?
V V )*£ q 0/ 92.4-./0 1 5 V
Vsv = Vsv- la
Ya
Tidak
θ ≥45 ?
θ ≥ 45 :
θ < 45:
3pV 600 q C¯ )* ¦3 x 1 51 5© )*£ 15 600
Vcut AV q Vsl Cconc
¬
)* n1 p %H
(&2 'H
lM® o )*£ l
ROP x Dh x 100 60 x Vcut x Dh q Dp
ρ ¦SGc x 8.34 x
Cconc Cconc © p ¦ ρ x 1 q © 100 100
BHP ρ x 0.052 x TVD p APL Effective ECD
BHP 0.052 x TVD
END
Gambar 3 Flowchart Perhitungan BHP & ECD (Model Rheology Power Law)
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
16
Tabel 2 Empat Tipe Peralatan Permukaan Surface Equipment type 1 2 3 4
Standpipe Length (ft) ID (in) 40 3.0 40 3.5 45 4.0 45 4.0
Rotary Hose Length ID (ft) (in) 40 2.0 55 2.5 55 3.0 55 3.0
Length (ft) 4 5 5 6
Swivel ID (in) 2.0 2.5 2.5 3.0
Kelly Lengt (ft) 40 40 40 40
ID (in) 2.25 3.25 3.25 4.00
START
Input : θ300 & θ600, type, Q, ρ PV θ600 q θ300 Type ?
0°± 1 ² E 2.5 x 10%
0°± 2 ² E 9.6 x 10H
Psurf E x ρ
0°± 3 ² E 5.3 x 10H
.G
0°± 4 ² E 4.2 x 10H
x Q '.G x PV .
END
Gambar 4 Flowchart Perhitungan Pressure Loss Peralatan Permukaan
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
17
START
Input : θ300 & θ600 atau PV&YP , Q, ρ ,ID, L
θ300 = PV+YP θ600 = 2PV + YP θ600 θ300 θ300 K 511#
n 3.32 x log
Vp
Vcp
H.G '
24.5 x Q ID F
x
'.l (#&' F ,
aliran LAMINAR ← YA
´ %#
TIDAK → aliran TURBULEN Vp < Vcp ?
dPpipe K 1.6 Vp 2n p 1 # x1 x 5 dL 300 ID ID 3n
dPpipe 8.91 x 10H x ρ .G x Q '.G x PV . dL ID %.G
Ppipe
dPp xL dL
Ulangi langkah di atas untuk tiap geometri pipa ( ID dan L yg berbeda)
PPL = ΣPpipe
FINISH
Gambar 5 Flowchart Penentuan Pipe Pressure Loss ( Model Rheology Power Law)
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
18
START
Pmax, HPmax, Qmin, Qmaks
Asumsi Q1 Qmin
Q1 = Q2
Q2 = Q1 + ∆Q
Hitung APL,PPL,dan Psurf APL dengan flowchart gambar 2 PPL dengan flowchart gambar 5 Psurf dengan flowchart gambar 4 HPs YA KONDISI P MAKSIMUM Ps Pmax
Pmax x Q 1714
HPs · LCW_T?
TIDAK KONDISI HP MAKSIMUM 1714 | HPmax Ps Q
Pb Ps q APL p PPL p Psurf
An
ρ Q 10858 Pb
Hitung untuk tiap Q
Konsep yang digunakan?
BHHP
Q1 Pb1 1714 Q2 Pb2 BHHP 2 1714
BHHP 1
JV
Q1 An1 Q2 JV 2 0.321 An2
BHI
JV 1 0.321
BHI 1 0.0173 x Q1 x ρm Pb1 .H BHI 2 0.0173 x Q2 x ρm Pb2 .H
TIDAK
TIDAK
JV 1 > JV 2 ? TIDAK
Q 1 > Qmax?
BHI 1 > BHI 2?
BHHP1 > BHHP 2 ?
YA TIDAK
YA YA
Qoptimum = Q1 An = An1
YA
FINISH
Qoptimum =Qmax • Hitung APL,PPL,dan Psurf untuk Qmaks • Pb = Ps – (APL+PPL+Psurf )
• An
ρ Z!\F
'GHG k¶
Gambar 6-Diagram Alir Estimasi Diameter Nozzle
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
19
Gambar 7 Flowchart Kriteria BHHP9)
Gambar 8 Flowchart Kriteria JV 9)
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
20
Gambar 9 Flowchart Kriteria BHI 9)
Gambar 10 Penentuan Total Area Nozzle Dengan Cara Grafik
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
21
(a)
(b)
Gambar 11 Profil Tekanan Annulus Pemboran Konvensional (a) Saat statik (b) Saat Dinamik
(a)
(b)
Gambar 12 Profil Tekanan Annulus CBHP-MPD (a) Saat statik (b) Saat Dinamik Pressure Window (ppg) 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
0 1500 3000
MD (feet)
4500 6000 7500 9000 10500 casing shoe terakhir 12000 13500 EMW EMW+TM(0.3)
Fracture Gradient FG-TM(0.3)
Gambar 13 Pressure Window
Gambar 14 Penampang Sumur Vertikal
Tabel 3 Data Lumpur, Data Cutting dan Parameter Pemboran Data Mud Densitas PV
16.7 34
ppg cp
YP
11
lb/100 ft2
Data cutting SG Diameter
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
2.3 0.3
in
Parameter pemboran ROP 120 ft/hr Rotary speed 80 rpm
22
Tabel 4 Data Kofigurasi Sumur seksi annulus Casing - DP OH - DP OH- HWDP OH -DC
D hole (in) 10 5/8 6 1/2 6 1/2 6 1/2
OD casing (in) 8 5/8 -
Tabel 5 Data EMW dan Gradien Rekah EMW (psi) 8.68 8.71 8.72 8.73 8.75 8.8 9 9.13 9.26 9.73 10.42 11.5 12 12.5 13 13.3 13.8 14.5
gradien rekah (ppg) 10.33 11.48 11.8 12.32 13.01 13.58 14.02 14.23 14.63 15 15.4 16 16.2 16.3 16.4 16.8 17 17.1
10500 11000 11500 12000 12300 12980 13140 13200 13250 13290
14.8 15 15.3 15.8 16.55 16.83 16.89 16.94 16.94 16.94
17.15 17.25 17.28 17.4 17.52 17.56 17.57 17.58 17.58 17.58
BHP , psia
TVD (ft) 315 995 1480 2014 2500 3000 3785 4610 5000 6000 6500 7000 7500 8000 8500 9000 9500 10000
ID casing (in) 7.83 -
OD pipe (in) 4 4 5 5.25
ID pipe (in) 3.476 3.476 3 3
Q (gpm) 70 80 90 100 110 120 130 131.60 140 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 259.3
APL psi 77.77 86.68 95.37 103.88 112.23 120.44 128.53 129.83 136.49 152.11 159.78 167.37 174.88 182.31 189.67 196.97 204.20 218.23 230.66 242.22
Cconc (%) 10.89 9.16 7.89 6.94 6.19 5.58 5.09 5.01 4.67 4.01 3.75 3.52 3.31 3.13 2.97 2.82 2.69 2.57 2.45 2.36
ρe ppg 16.97 16.93 16.90 16.87 16.85 16.84 16.82 16.82 16.82 16.80 16.79 16.79 16.78 16.78 16.77 16.77 16.77 16.76 16.76 16.76
BHP (psi) 11806 11785 11772 11764 11759 11757 11756 11756 11758 11762 11765 11769 11773 11777 11782 11786 11791 11803 11814 11823
Effective ECD ppg 17.08 17.05 17.03 17.02 17.02 17.01 17.01 17.01 17.01 17.02 17.02 17.03 17.04 17.04 17.05 17.06 17.06 17.08 17.09 17.11
260 270 280 300 320 370 400 420 430 450 470
243.11 255.50 268.12 294.07 320.95 412.52 474.67 518.24 540.66 586.77 634.54
2.56 2.45 2.35 2.17 2.01 1.71 1.57 1.49 1.45 1.38 1.31
16.76 16.76 16.76 16.75 16.75 16.74 16.74 16.74 16.74 16.73 16.73
11828 11839 11849 11872 11897 11983 12043 12085 12107 12151 12198
17.12 17.13 17.15 17.18 17.21 17.34 17.43 17.49 17.52 17.58 17.65
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 60
Konvensional CBHP - MPD CBHP - MPD CBHP - MPD
Tabel 6 Hasil Perhitungan BHP dan ECD untuk Tiap Laju Alir
12300 12200 12100 12000 11900 11800 11700 11600 11500 11400 11300 10
Keterangan
110
160
210
260
Q , gpm BHP
310
360
410
Konsentrasi cutting, %
kedalaman (ft) 0- 12000 12000 – 12810 12810 – 12990 12990 – 13290
460
Cconc
Gambar 15 Plot BHP dan Konsentrasi Cutting terhadap Laju Pompa Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
23
Gambar 16 Daerah Operasi CBHP-MPD ECD or ESD (ppg)
ECD or ESD (ppg)
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
0
0
1500
1500
3000
3000
4500
4500
MD (feet)
MD (feet)
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
6000 7500 9000
10500
casing shoe
6000 7500 9000
10500
12000
casing shoe
12000
13500
13500 EMW
Fracture Gradient
ECD
ESD
EMW
Gambar 17 Profil tekanan annulus dengan Q=132 gpm, Pchoke = 131 psi
Fracture Gradient
ECD
ESD
Gambar 18 Profil tekanan annulus dengan Q=247 gpm, Pchoke = 228 psi
ECD or ESD (ppg)
7491.7 7704.1 7916.5 8128.9 8341.3 8553.7 8766.1 8978.5 9190.9 9403.3 9615.7 9828.1 10040.5 10252.9 10465.3 10677.7 10890.1 11102.5 11314.9 11527.3 11739.7 11952.1 12164.5 12376.9 12589.3 12801.7 13014.1 13226.5 13438.9 13651.3 13863.7 BHP (psi) 14000 BHP (psi)
7492 8500
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 0 1500
9500 3000
MD (feet)
MD (feet)
4500 6000 7500 9000
13500
11500
Pp= 9859 psi
12500
10500 12000
10500 Pf -shoe= 10858 psi
BHP=11822
casing shoe 13500 EMW ECD
Fracture Gradient ESD
Pp= 11710 psi
Pf = 12150 psi
P hidrostatik
BHP dinamik
Gambar 19 Profil tekanan annulus dengan Q=259 gpm, Pchoke = 242 psi
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
24
3.
Hitung SPP = stand pipe pressure = tekanan pompayang harus dimonitor oleh operator saat langkah mematikan pompa
PEMBUATAN JADWAL PEMOMPAAN (PUMPING SCHEDULE)
• Q step1 =132.68 gpm Hitung APL,PPL,Psurf dan Pbit dari Q step1 APL =127.16 psi PPL= 373.24 psi Psurf = 31.88 psi
Contoh : untuk making connection 1 stand setelah pemboran pada kedalaman 13,110 ft Laju pompa yang digunakan = 132 gpm Ukuran nozzle yang digunakan = 6-6-7 An = 0.0928 in2 Misal kemampuan pompa = 0.117 bbl/stroke = 4.914 gal/stroke . Pengurangan rate tekanan akan dilakukan dengan pengurangan tiap 5 stroke, maka jadwal pompa akan menjadi : Q (gpm)
27
132.68
22
108.11
17
83.54
12
58.97
7
34.40
2
9.83
0
0
Pada saat jadwal mematikan pompa dilakukan, bit tidak lagi menggerus batuan, sehingga konsentrasi cutting akan tetap walaupun laju pompa berkurang. Maka densitas lumpur juga akan tetap sama dengan densitas lumpur efektif pada laju pemboran, yaitu 16.82 ppg. Phidrostatik = MW efektif x 0.052 x TVD = 16.82 x 0.052 x 13,110 = 11466.53 psi 1. Awal : Pchoke step 1 = 0 psi , Q step 1 = Qdrilling = 132.68 gpm Hitung APL untuk Q1, APL= 127.16 psi BHP = Phidrostatik + APL + Pchoke BHP 1 = 11466.53 + 127.16 + 0 = 11593.69 psi BHP 1 = 11593.69 psi adalah BHP acuan yang dipertahankan setiap laju diturunkan dan tekanan choke ditingkatkan.
2EF
'GHG IJF
'l.( º '(.lGF
'GHG º .»GF
3143.5 psi SPP 1 = APL+PPL+Psurf+Pbit =3675.78
• Q step2 =108.11 gpm Hitung APL,PPL,Psurf dan Pbit dari Q step2 APL = 107.69 psi PPL = 258.17 psi Psurf = 387.9 psi Pbit , CD
2EF
'GHG IJF 'l.( º 'G.''F
'GHG º .»GF
2087.04 psi
SPP 2 = APL+PPL+Psurf+Pbit = 2840.8 4.
Lakukan perhitungan untuk semua step.
Pump Rate, gpm
Stroke
Pbit , CD
140
140
120
120
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
BP
Time
Q
Grafik Pump Schedule Untuk Mematikan Pompa
2. Q step 2 = 108.11 gpm Hitung APL untuk Q2, APL2= 107.69 psi BHP acuan = Phidrostatik + APL2 + Pchoke2 , Maka Pchoke 2 = BHP acuan – Phidrostatik – APL2 Pchoke 2 = 11593.69 – 11466.53 – 107.69 = 19.47 psi
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
25
Back Pressure, psi
LAMPIRAN
Tabel Langkah Mematikan Pompa untuk Making Connection s t e p
stro ke
Q (gpm)
APL (psi)
1
27
132.68
127.16
0
27
132.68
127.16
22
108.11
22
2
3
4
5
6
7
Pchoke (psi)
BHP (psi)
ECD (ppg)
PPL (psi)
11593.69
17.01
373.24
19.47
11613.16
17.04
107.69
19.47
11593.69
108.11
107.69
39.80
17
83.54
87.36
17
83.54
12
Psurf (psi)
Pbit (psi)
SPP (psi)
31.88
3143.50
3675.78
373.24
31.88
3143.50
3675.78
17.01
258.17
387.90
2087.04
2840.80
11614.02
17.04
258.17
387.90
2087.04
2840.80
39.80
11593.69
17.01
128.66
229.88
1246.19
1692.09
87.36
61.31
11615.20
17.04
128.66
229.88
1246.19
1692.09
58.97
65.85
61.31
11593.69
17.01
95.76
169.02
620.94
951.57
12
58.97
65.85
84.64
11617.02
17.04
95.76
169.02
620.94
951.57
7
34.40
42.52
84.64
11593.69
17.01
61.84
107.17
211.29
422.82
7
34.40
42.52
111.77
11620.83
17.05
61.84
107.17
211.29
422.82
2
9.83
15.39
111.77
11593.69
17.01
22.38
38.06
17.25
93.07
2
9.83
15.39
127.16
11609.08
17.03
22.38
38.06
17.25
93.07
0
0.00
0.00
127.16
11593.69
17.01
0.00
0.00
0.00
0.00
ket Keadaan awal BHP = BHP acuan Mulai kurangi bukaan choke Kurangi laju pompa Monitor penurunan SPP Kurangi bukaan choke sampai Pchoke =39.8 psi Kurangi laju pompa Kurangi bukaan choke sampai Pchoke =61.31 psi Kurangi laju pompa Kurangi bukaan choke sampai Pchoke =84.64 psi Kurangi laju pompa Kurangi bukaan choke sampai Pchoke=111.77 psi Kurangi laju pompa Kurangi bukaan choke sampai Pchoke=127.16 psi Matikan pompa
Tabel Langkah Menyalakan Pompa untuk Melanjutkan Pemboran Setelah Making Connection s t e p
str ok e
1
0
0
2
9.83
2
3
4
5
6
7
Q (gpm)
APL (psi)
Pchoke (psi)
BHP (psi)
ECD (ppg)
PPL (psi)
Psurf (psi)
Pbit (psi)
SPP (psi)
0
127.16
11593.69
17.01
0.00
0.00
0.00
0.00
15.39
127.16
11609.08
17.03
22.38
38.06
17.25
93.07
2
9.83
15.39
111.77
11593.69
17.01
22.38
38.06
17.25
93.07
7
34.40
42.52
111.77
11620.83
17.05
61.84
107.17
211.29
422.82
7
34.40
42.52
84.64
11593.69
17.01
61.84
107.17
211.29
422.82
12
58.97
65.85
84.64
11617.02
17.04
95.76
169.02
620.94
951.57
12
58.97
65.85
61.31
11593.69
17.01
95.76
169.02
620.94
951.57
17
83.54
87.36
61.31
11615.20
17.04
128.66
229.88
1246.19
1692.09
17
83.54
87.36
39.80
11593.69
17.01
128.66
229.88
1246.19
1692.09
22
108.11
107.69
39.80
11614.02
17.04
258.17
387.90
2087.04
2840.80
22
108.11
107.69
19.47
11593.69
17.01
258.17
387.90
2087.04
2840.80
27
132.68
127.16
19.47
11613.16
17.04
373.24
31.88
3143.50
3675.78
27
132.68
127.16
0.00
11593.69
17.01
373.24
31.88
3143.50
3675.78
Putri Nur El Akmal – 12205031 - Semester 1 2009/2010
ket Keadaan awal BHP = BHP acuan Mulai atur laju awal pompa Monitor kenaikan SPP buka choke Naikkan laju pompa Tambah bukaan choke Naikkan laju pompa Tambah bukaan choke Naikkan laju pompa Tambah bukaan choke Naikkan laju pompa Tambah bukaan choke Naikkan laju pompa Buka penuh choke, Pchoke=0
26