PENGARUH TEMPERATUR DAN TEKANAN TERHADAP DESAIN PARAMETER HIDROLIKA PADA MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS CONSTANT BOTTOM HOLE PRESSURE
TUGAS AKHIR Oleh: ARIAN DITO PRATAMA NIM 12206062
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011
PENGARUH TEMPERATUR DAN TEKANAN TERHADAP DESAIN PARAMETER HIDROLIKA PADA MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS CONSTANT BOTTOM HOLE PRESSURE
TUGAS AKHIR Oleh: ARIAN DITO PRATAMA NIM 12206062
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung
Disetujui oleh: Pembimbing Tugas Akhir,
Prof. Dr. –Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S
PENGARUH TEMPERATUR DAN TEKANAN TERHADAP DESAIN PARAMETER HIDROLIKA PADA MANAGED PRESSURE DRILLING JENIS CONSTANT BOTTOM HOLE PRESSURE Oleh: Arian Dito Pratama* Prof. Dr.-Ing. Ir. Rudi Rubiandini R.S** *Mahasiswa Teknik Perminyakan ITB
**Pembimbing/Dosen Teknik Perminyakan ITB
Sari Managed pressure drilling (MPD) adalah sebuah metode pemboran dimana tekanan dasar lubang dijaga sedemikian rupa untuk menghindari beberapa masalah yang sering muncul selama operasi pemboran konvensional. Masalahmasalah tersebut terutama berkaitan dengan peningkatan non-productive time yang tidak dibutuhkan selama operasi pemboran, seperti untuk penanggulangan loss circulation, kick, pipe sticking, dan lain sebagainya. Salah satu metode MPD yang berkembang adalah constant bottom hole pressure drilling (CBHP). CBHP dikembangkan untuk menangani pemboran pada zona dengan pressure window yang sempit. Metode ini diterapkan dengan menjaga agar tekanan dasar lubang tetap konstan dengan cara memberikan tekanan balik di permukaan selama sirkulasi lumpur dihentikan untuk mengkompensasi besarnya kehilangan tekanan yang terjadi pada saat lumpur disirkulasikan. Karena digunakan pada zona dengan pressure window yang sempit, maka operasi CBHP sangat sensitive terhadap perubahan tekanan di dasar lubang. Tekanan di dasar lubang merupakan tekanan hidrostatik yang diberikan oleh lumpur selama operasi pemboran baik itu pada saat system disirkulasikan maupun pada saat sirkulasi dihentikan. Semakin dalam formasi, maka semakin besar tekanan dan temperature lingkungan yang dapat mengakibatkan perubahan karakter pada lumpur yang digunakan. Oleh sebab itu, pengaruh temperature dan tekanan pada desain CBHP harus sangat diperhatikan.
Kata kunci: temperatur, tekanan, kehilangan tekanan, tekanan dasar lubang, ECD, ESD, laju pompa optimum, tekanan balik di permukaan.
Abstract Managed pressure drilling (MPD) is a method of drilling where the bottom-hole pressure is kept to be constant in order to handle various problems that can occur in conventional drilling operation. The problems are those which are related much to the increasing of the non-productive time which is not needed in a drilling operation, such as loss circulation, kick, pipe sticking, etc. One of the MPD method is constant bottom-hole pressure drilling (CBHP). CBHP was developed in order to do drilling operation more effectively in narrow pressure window zone. This method is applied by keeping the bottom hole pressure to be constant by giving surface back pressure when the circulation is stopped to compensate the friction pressure loss that occur when the mud is circulated. Because of being used in narrow pressure window zone, CBHP is very sensitive to pressure change at the bottom of the hole. The bottom hole pressure is the hydrostatic pressure that is given by the mud either when it is circulated or when the circulation is stopped. Along with the increasing of formation depth, temperature and pressure will be bigger which can affect the mud characteristic. Because of that, temperature and pressure effect on CBHP operation design should not be ignored.
Keywords: temperature, pressure, pressure window, bottom hole pressure, ECD, ESD, optimum pump rate, surface back pressure.
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
1
I.
Pendahuluan
Metode pemboran managed pressure drilling (MPD) merupakan metode pemboran yang didesain agar mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang selama ini kerap sulit diatasi pada pemboran konvensional, diantaranya penanganan narrow pressure windows zone, non-productive time, penanganan zona loss circulation, dan lain sebagainya. MPD sendiri merupakan sebuah teknik pemboran dimana tekanan lumpur di dasar sumur dijaga sedemikian rupa agar tetap konstan dengan teknik tertentu. Salah satu teknik yang dapat diterapkan adalah dengan pemberian sejumlah tekanan di permukaan untuk mengantisipasi perbedaan tekanan selama sirkulasi dihentikan. Teknik ini kemudian dikenal dengan nama constant bottom hole pressure (CBHP). Besarnya tekanan yang diberikan pun sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah karakteristik fluida pemboran serta kondisi formasi meliputi tekanan dan temperature formasi. Pengaruh tekanan dan temperature pada optimasi desain operasi pemboran CBHP relatif cukup besar. Hal ini dikarenakan pengaruh temperature dan tekanan yang dapat merubah karakteristik fluida pemboran. Terlebih pada kondisi tekanan dan temperature tinggi, dimana karakteristik fluida formasi dapat berubah jauh misalnya densitas yang dapat berkurang sehingga menjadi lebih ringan dari kondisi permukaan, atau rheologi fluida yang menjadi lebih encer sehingga menaikan mengurangi besarnya kehilangan tekanan di annulus, dan lain sebagainya. Kondisi ini menyebabkan tekanan dasar lubang yang diberikan oleh lumpur terhadap formasi juga mengalami perubahan. Perubahan ini mungkin tidak cukup signifikan apabila terjadi pada operasi pemboran konvensional pada pressure window yang cukup lebar yang mana perubahan tekanan tersebut masih di dalam margin perbedaan tekanan antara gradient rekah formasi dan tekanan formasi itu sendiri. Namun demikian, pada zona pressure window yang sempit perubahan tekanan tersebut dapat berakibat cukup fatal. Lumpur yang tadinya didesain agar memberikan tekanan di antara margin tekanan rekah dan tekanan formasi, karena adanya pengaruh kondisi dasar lubang mengalami perubahan karakteristik yang mengakibatkan densitasnya berkurang melewati batas minimumnya berupa tekanan formasi. Kondisi ini dapat mengakibatkan kick pada operasi pemboran yang dapat berujung pada meningkatnya non-productive time. Oleh sebab itu, pengaruh kondisi dasar lubang harus sangat
diperhatikan pada operasi pemboran constant bottom hole pressure yang daerah penerapannya merupakan daerah dengan pressure window yang sempit.
II. Teori Dasar Hidrolika Pemboran dan Managed Pressure Drilling 2.1. Hidrolika pemboran Hidrolika pemboran merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam menentukan kesuksesan suatu operasi pemboran. Efektivitas pengangkatan cutting, kehilangan tekanan di annulus yang menentukan tekanan bawah lubang pemboran, hingga efektivitas penghancuran batuan ditentukan oleh desain hidrolika yang dibuat. Maka dari itu, optimasi hidrolika dalam operasi pemboran harus sangat diperhatikan. 2.1.1. Dasar-dasar Pengangkatan Cutting Salah satu parameter yang harus diperhatikan dalam hidrolika pemboran adalah efektivitas pengangkatan cutting. Terdapat beberapa parameter yang berhubungan dengan efektivitas pengangkatan cutting ini, yaitu 20): a. Vslip (kecepatan slip) yaitu kecepatan kritik dimana cutting terendapkan ke permukaan. b. Vcut (kecepatan cutting) yaitu kecepatan cutting untuk naik ke permukaan c. Vmin (kecepatan minimum) yaitu kecepatan slip ditambah dengan kecepatan cutting sehingga cutting dapat terangkat ke permukaan tanpa terjadi penggerusan kembali. Secara umum hubungan antara kecepatan slip, kecepatan cutting, dan kecepatan minimum adalah sebagai berikut 20) : V cut = V min – V sl ................................................... (2.1) dimana: Vsl
= Kecepatan slip, ft/menit
Vm
= Kecepatan lumpur, ft/menit
Vcut
= Kecepatan cutting, ft/menit
Pada persamaan di atas, kecepatan cutting dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut20)): ....................................... (2.2) dimana: ROP = laju penetrasi, ft/hr
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
2
dp
= diameter drill pipe, in
dh
= diameter lubang sumur, in
C conc
= konsentrasi cutting, %
6.
kecepatan slip diperoleh melalui metode iterasi. Langkah-langkah interasi tersebut adalah sebagai berikut20): 1. 2.
3.
Asumsikan nilai kecepatan slip awal, biasanya diambil sebesar 0.1 fpm Dengan menggunakan nilai kecepatan cutting yang telah dihitung sebelumnya dan kecepatan slip asumsi, maka dapat diperoleh kecepatan minimum lumpur dengan menggunakan persamaan (2.1) Lalu kemudian, hitung nilai apparent viscosity fluida pemboran dengan menggunakan persamaan berikut: ........................... (2.3) dimana: PV = viskositas plastik, cp YP = yield point, lb/100 ft
4.
Dengan menggunakan nilai viskositas apparent pada langkah (3) maka dapat dihitung nilai Reynold Number untuk selanjutnya ditentukan nilai friction factor dengan persamaan berikut: ...................... (2.4) Selanjutnya dihitung friction factor (f), untuk Nre>300 f=1.5 ........................................................ (2.5) untuk 3
5.
Bandingkan nilai Vslip pada langkah (5) dengan nilai Vslip pada langkah (1). Apabila perbedaannya kurang dari 0.001 fpm, maka Vslip pada langkah (5) adalah Vslip yang sebenarnya. Apabila tidak, maka iterasi dilanjutkan dengan menggunakan Vslip pada langkah (5) sebagai tebakan selanjutnya.
Kecepatan cutting di annulus sendiri harus dikondisikan sedemikian rupa sehingga berada di dalam batas-batas tertentu. Kecepatan cutting harus berada di atas kecepatan minimum yang dapat mengakibatkan penumpukan konsentrasi cutting di dasar lubang pemboran. Sedangkan kecepatan cutting juga harus dijaga agar tetap berada di bawah kecepatan maksimum yang dapat menyebabkan pola aliran menjadi turbulen. Hal ini dikarenakan apabila aliran menjadi turbulen akan mengakibatkan kehilangan tekanan yang semakin besar dan juga penggerusan selaput mud cake pada dinding lubang pemboran. Kecepatan maksimum ini lebih dikenal sebagai kecepatan kritik yang dirumuskan sebagai 20): Vca =
[
1,08 PV + 1,08 PV 2 + 9,3 (d h − d p )YP2 ρ m
(
ρ m dh − d
p
)
]
1/ 2
................... (2.9)
dimana: ρm
= densitas lumpur, ppg
Adapun kecepatan slip lumpur harus terlebih dahulu dikoreksi terhadap parameter inklinasi, densitas lumpur, dan RPM. Persamaan yang akan digunakan dalam tugas akhir ini adalah metode Rudi-Shindu karena merupakan pengembangan dari persamaanpersamaan yang telah ada sebelumnya. Prinsip pengembangan persamaan ini adalah membuat plot suatu parameter Vs tak berdimensi. Vs tak berdimensi yaitu perbandingan Vs directional metoda Larsen dan Peden, dengan Vs vertikal metoda Moore20). Nilai faktor koreksi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
2θ C i = 1 + .................................... (2.10) 45
Hitung kembali nilai kecepatan slip dengan menggunakan nilai friction factor yang diperoleh dari langkah (4),
untuk θ≥45o, Ci = 3 ..................................................... (2.11)
.............................(2.8) dimana: ρf = densitas fluida, ppg ρs = densitas cutting, ppg
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
Koreksi Inklinasi (Ci) untuk θ≤45 o,
b.
Koreksi Densitas Lumpur .......................................... (2.12)
3
c.
Koreksi RPM ................................ (2.13)
2.1.2. Hidrolika Bit Konsep hidrolika bit tidak lain mengoptimalkan aliran lumpur pada pahat pemboran, sedemikian rupa sehingga dapat membantu laju penembusan (penetration rate). Faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi hidrolika dan desainnya antara lain20) : a. Ukuran dan geometri sistem sirkulasi. Hal ini menyangkut variasi diameter sumur maupun diameter peralatan dan kemampuan peralatan pompa. b. Sifat fisik fluida pemboran. c. Pola aliran. Pola aliran ini menyangkut pola aliran laminer yang diwajibkan pada tempattempat tertentu serta pola aliran turbulen yang terpaksa diperbolehkan pada tempat-tempat tertentu pula. Dalam usaha mengoptimasikan hidrolika ini, ada 3 (tiga) prinsip yang satu sama lain saling berbeda dalam hal anggapan-anggapannya. Ketiga prinsip tersebut adalah : 1.
Bit Hydraulic Horse Power (BHHP)
Mengoptimalkan horse power (daya) yang dipakai pada bit untuk mengoptimalkan penetrasi bit. ................................................... (2.14)
Q = laju alir, gpm Pb = Tekanan pada bit, psi Bit Hydraulic Impact (BHI)
Mengoptimalkan tumbukan sesaat (impact) pada bit. ..................... (2.15) 3.
.......................................................... (2.17) .............................................................. (2.18)
2.2.
Managed Pressure Drilling
Definisi MPD oleh IADC (International Association Drilling Committee14) : “an adaptive drilling process used to more precisely control the annular pressure profile throughout the wellbore.” The objectives of MPD are “to ascertain the downhole pressure environment limits and to manage the annular hydraulic pressure profile accordingly." Berdasarkan kategori penerapannya, MPD dibagi ke dalam dua jenis, yaitu7) : 1. Reactive MPD, dimana sumur dirancang untuk dibor secara konvensional, namun diterapkan MPD apabila menemui permasalahan. 2. Proactive MPD, Perencanaan pemboran MPD didesain sejak awal untuk mengoptimalkan control terhadap sumur sehingga menghasilkan keuntungan yang maksimal juga. Berdasarkan tujuan pengaplikasiannya, MPD sendiri kemudian dibagi menjadi empat jenis, yaitu9):
dimana:
2.
menentukan kehilangan tekanan di bit selama operasi pemboran. Dari hasil SPRT diperloeh dua buah laju alir pada dua buah tekanan pompa. Dengan menggunakan data ini, maka dapat ditentukan faktor pangkat (z) dan konstanta kehilangan tekanan (Kp) dengan menggunakan persamaan berikut:
Jet Velocity (JV)
Mengoptimalkan kecepatan alir fluida pada ujung nozzle. .................................................... (2.16) dimana: An = luas area nozzle, sq. in
1. Constant Bottom Hole Pressure (CBHP) CBHP sangat cocok untuk diterapkan pada lingkungan formasi dengan pressure window yang sempit. Fluida diprogram pada kedalaman yang telah ditentukan agar pada saat bersirkulasi memiliki ECD yang sama atau sedikit lebih besar dari EMW formasi. Namun dalam praktiknya, tekanan hidrostatis yang dihasilkan lumpur ketika tidak bersirkulasi akan lebih rendah daripada tekanan formasi. Sehingga dengan demikian dibutuhkan tekanan bantuan dari permukaan yang besarnya sama dengan kehilangan tekanan akibat friksi di annulus ketika lumpur bersirkulasi. 2.
2.1.3. Optimasi dengan Perhitungan Pada optimasi hidrolika bit ini dibutuhkan hasil test Slow Pump Rate Test (SPRT) yang berfungsi untuk
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
Pressurized Mud Cap Drilling (PMCD) Tujuan dari PMCD adalah untuk mengantisipasi loss circulation yang terjadi pada sumur yang mungkin terjadi apabila ada kebutuhan untuk melakukan pemboran melalui zona yang telah mengalami deplesi atau cavernous. AFE’s untuk
4
prospek operasi pemboran terkadang mengindikasikan adanya resiko tinggi yang diakibatkan oleh loss circulation, dan pada umumnya disebabkan oleh biaya lumpur dan casing yang berlebihan. Oleh sebab itu, PMCD memegang peranan penting dalam operasi pemboran yang berpotensi mengalami loss circulation. Pada praktiknya, PMCD menggunakan lumpur berat di bagian atas zona loss untuk menahan aliran balik fluida sacrifice sehingga fluida sacrifice terdesak masuk ke zona loss circulation. Dengan metode ini, non-productive time untuk menanggulangi zona loss dengan LCM dapat dikurangi secara signifikan. 3.
4.
Dual Gradient Drilling (DG) DG merupakan metode pemboran yang menggunakan dua buah gradien tekanan hidrostatik fluida pemboran untuk menghindari permasalahan yang kerap muncul pada pemboran konvensional. Metode ini kerap digunakan pada pemboran laut dalam. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mencapai dual gradient, beberapa bahkan sangat kompleks. Salah satu metode yang paling kompleks melibatkan penerapan kondisi dimana seolaholah rig floor “berada di bawah permukaan laut” pada saat pemboran laut dalam. Kondisi ini dicapai dengan membuat tekanan hidrostatik dari lumpur berat dan cutting pada marine riser tidak berkontribusi terhadap Equivalent Mud Weight (EMW) di annulus lubang sumur. Subsea Rotating Control Device (RCD) bertindak sebagai annulus barrier pada marine riser. Riser kemudian diisi oleh air laut untuk menghindari terjadinya collapse. Lalu subsea pump memompa annulus returns kembali ke rig melalu sebuah flow line. Health, Safety, and Environment (HSE) Tujuan dari MPD jenis ini adalah untuk melakukan pemboran dengan sistem sirkulasi yang tertutup untuk dapat meningkatkan tingkat kesehatan pekerja, dan pertimbangan keamanan dan lingkungan.
2.3. Constant Bottom Hole Pressure CBHP merupakan salah satu jenis MPD dimana tekanan dasar lubang dijaga agar tetap konstan dengan metode tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan untuk mengatasi zona dengan pressure window yang sempit dimana perbedaan antara tekanan pori dan tekanan rekah formasi relatif kecil.
CBHP diterapkan dengan menambahkan tekanan back pressure dari annulus selama sirkulasi sehingga tekanan di dasar lubang akan tetap konstan baik itu selama sirkulasi maupun pada saat sirkulasi dihentikan. Selama sirkulasi, tekanan di dasar lubang akan mengalami peningkatan sehingga tidak sama jika dibandingkan dengan tekanan di dasar lubang ketika sirkulasi dihentikan. Peningkatan tekanan ini diakibatkan adanya kehilangan tekanan di annulus akibat friksi. Oleh sebab itu, pada zona dengan pressure window yang sempit, pengaruh kehilangan tekanan ini relative cukup signifikan dalam menentukan terjadinya kick atau loss. Meskipun tekanan dasar lubang pada saat sirkulasi dijaga agar tetap berada di dalam pressure window, pada saat sirkulasi dihentikan EMW dapat berada di bawah tekanan formasi sehingga mengakibatkan terjadinya kick. Influx dari formasi ini diantisipasi dengan penerapan back pressure dari permukaan. Jika EMW dianalogikan sebagai Equivalent Mud weight, MW adalah tekanan hidrostatik lumpur, AFP adalah kehilangan tekanan di annulus akibat friksi, dan BP adalah tekanan balik yang diberikan di permukaan melalui RCD dan choke, maka CBHP dapat dijelaskan sebagai berikut 9): EMW = MW HH + ΔAFP CIR + ΔBP CASING ............ (2.19) Ada atau tidaknya kehilangan tekanan di annulus pada saat sistem bersirkulasi dan tidak bersirkulasi diabaikan dengan penerapan tekanan balik di permukaan dengan menyesuaikan laju sirkulasi yang sedang terjadi. Secara sederhana, penerapan tekanan balik dilakukan apabila sirkulasi sedang dihentikan dan tekanan back pressure tidak diberikan ketika sistem sedang bersirkulasi. Tekanan balik yang diberikan pada saat sirkulasi dihentikan secara kasar harus sebanding dengan besar kehilangan tekanan di annulus saat system bersirkulasi.
2.4. Pengaruh Temperatur dan Tekanan pada Desain Hidrolika Pemboran CBHP Fluida pemboran secara umum merupakan campuran berbagai jenis fluida dasar dan berbagai additive kimia. Properti dari campuran ini, seperti equivalent static density (ESD) dan properti rheologinya menentukan seberapa besar kehilangan tekanan pada sistem ketika pemboran dilakukan. Seringkali parameter ini diasumsikan konstan selama pemboran dilakukan. Asumsi ini dapat dikatakan salah ketika pemboran diharuskan melalui zona yang memiliki variasi tekanan dan temperatur yang cukup tinggi, misalnya pada sumur HPHT, dan juga deep-water
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
5
drilling dimana temperatur yang rendah terjadi pada area di sekitar dasar laut. Pada sumur HPHT, seiring dengan peningkatan kedalaman, terjadi juga peningkatan temperatur dasar lubang, selain juga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dari kolom fluida pemboran. Kedua faktor ini, yaitu peningkatan temperatur dan tekanan, memiliki efek yang saling berkebalikan pada equivalent circulating density. Peningkatan tekanan hidrostatic kolom lumpur memberikan efek peningkatan pada equivalent circulating density akibat adanya kompresi. Sedangkan peningkatan temperature akan menurunkan equivalent circulating density akibat adanya ekspansi. Seringkali kedua faktor ini diasumsikan saling meniadakan padahal yang terjadi tidak selalu demikian. Khususnya pada sumur yang memiliki tekanan dan temperatur tinggi. Variasi yang cukup besar pada equivalent circulating density juga dapat terjadi ketika pemboran dilakukan pada zona deep-water dimana temperatur yang sangat rendah terjad pada riser mendekati dasar laut. Pada sumur deep-water, temperatur dasar laut dapat mencpai 30oF sementara tekanan hidrostatik pada kedalaman yang sama dapat mencapai 2700 psi5). Kondisi temperatur rendah tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya gel pada fluida pemboran, khususnya pada oil-base mud (OBM). Kondisi ini tentu menyebabkan perubahan yang cukup signifikan pada equivalent circulating density yang terjadi. Kesalahan dalam penentuan besaran equivalent circulating density menyebabkan dampak yang cukup signifikan terutama dalam pemboran yang menembus zona dengan pressure window yang sempit. Pressure window merupakan perbedaan antara tekanan formasi dengan tekanan fracture pada suatu kedalaman. Pada formasi dengan pressure window yang sempit margin kesalahan yang diperbolehkan menjadi sangat kecil dan karenanya sangat sensitif terhadap perubahan equivalent circulating density. Dengan demikian penentuan equivalent circulating density pada zona ini harus dilakukan dengan sangat tepat. Mengabaikan pengaruh temperatur dan tekanan pada zona ini dapat mengakibatkan kesalahan yang lebih fatal yang dapat menyebabkan terjadinya kick dan blow-out karena tekanan lumpur di bawah tekanan formasi, atau sebaliknya terjadi loss karena tekanan lumpur melebihi tekanan rekah formasi. Beberapa studi yang telah dilakukan juga menunjukan bahwa rheologi fluida pemboran sangat bergantung pada kondisi tekanan dan temperatur2,19). Parameter rheologi seperti viskositas dan yield stress mempengaruhi kehilangan tekanan akibat friksi
selama aliran fluida pemboran. Kesalahan penentuan pengaruh temperatur dan tekanan pada parameter rheology ini dapat mengakibatkan kesalahan dalam penentuan nilai equivalent circulating density yang mana meliputi tekanan hidrostatik kolom lumpur dan juga kehilangan tekanan akibat friksi. Dalam rangka memperkirakan perilaku aliran fluida pemboran pada tekanan dan temperatur tinggi, Pollite19) mengusulkan sebuah model yang berdasar pada model fluida bingham plastic. Pollite19) menganalisa data rheologi diesel based drilling fluid dan menemukan bahwa perilaku yang ditunjukan mendekati perilaku dari base oil-nya. Dengan demikian, viskositas plastik dari oil-based drilling fluid dapat dinormalisasi dengan menggunakan viskositas dari base oil-nya. ................................................. (2.20) dimana, PV T,P = Viskositas plastik fluida pemboran pada kondisi yang diinginkan PV o
= Viskositas plastik fluida pemboran pada kondisi acuan
µ T,P
= Viskositas base oil pada kondisi yang diinginkan
µo
= Viskositas base oil pada kondisi acuan
Melalui studinya, Pollite19) menemukan bahwa model ini dapat diterapkan pada berbagai jenis base oil yang digunakan. Melalui analisis terhadap data viskositas diesel oil, Pollite19) menemukan persamaan berikut ....... (2.21) yang berlaku untuk,
... (2.22) dimana, A 1 = -23.1888
A 2 = 0.8807
B 1 = -0.00148
B 2 = 1.5235 x 10-9
C 1 = -0.9501
C 2 = 1.2806 x 10-6
D 1 = -1.9776 x 10-8
D 2 = 1.0719 x 10-10
E 1 = 3.3416 x 10-5
E 2 = -0.00036
F 1 = 14.6767
F 2 = -5.1670 x 10-8
G 1 = 10.9973
T
P
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
= Temperature,oF
= Tekanan, psi
6
Setelah melalui studi lebih jauh, Pollite19) menyimpulkan bahwa persamaan (2.20) dan (2.21) dapat dipergunakan untuk memperhitungkan viskositas plastik fluida pemboran pada kondisi bawah permukaan tanpa dipengaruhi jenis base oil yang digunakan. Mengenai penentuan nilai yield point, Pollite19) menyimpulkan bahwa nilai yield point tidak begitu dipengaruhi oleh tekanan maupun temperatur. Khusus untuk temperatur, nilai yield point berkurang secara bertahap seiring dengan peningkatan temperatur. Meskipun demikian, pengaruh temperatur terhadap perubahan nilai yield point tetap tidak dapat diprediksikan secara pasti dikarenakan adanya reaksi kimia yang terjadi disamping juga efek pergerakan partikel akibat temperatur tinggi yang juga harus diperhatikan. Pollite19) menyarankan untuk nilai yield point, sebaiknya dilakukan pengukuran dengan alat yang dapat menentukan nilai pastinya apabila diperlukan. Namun demikian, apabila hal tersebut tidak memungkinkan, maka Pollite19) memberikan persamaan empirik berikut untuk menentukan nilai yield point dari oil-based mud, .................................... (2.23)
............................................... (2.24) dimana, η
= High-shear viscosity
Aη
= Pre-exponential factor
Eα
= Energi aktivasi
T
= Temperatur
Nilai A η dan E α dapat ditentukan dengan menggunakan sejumlah data viskositas plastik pada sejumlah kondisi temperatur. Pada prinspinya nilai viskositas plastik juga dipengaruhi oleh tekanan, namun demikian seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengaruh tekanan terhadap sifat rheology water-based mud tidak cukup signifikan, maka pengaruh tekanan pada tugas akhir ini kemudian diabaikan. Sedangkan pengaruh temperatur terhadap nilai yield point water-based mud dapat dilihat dengan menggunakan persamaan berikut ................................ (2.25) ............................... (2.26) dimana,
dimana, E L,H
= Energi aktivasi
A3
= -0.186
A L,H = Pre-exponential factor
B3
= 145.054
τy
= Yield stress
C3
= -3410.322
T*
= Temperatur karakteristik dari nilai yield stress
Adapun sifat rheologi water-based mud cukup berbeda dengan yang ditunjukan oleh oil-based mud seperti pada studi yang dilakukan oleh Pollite19) sebelumnya. Alderman2) menyatakan bahwa waterbased mud merupakan fluida yang tidak begitu dipengaruhi oleh tekanan namun dipengaruhi secara eksponensial oleh temperatur. Pengaruh tekanan terhadap water-based mud akan meningkat seiring dengan peningkatan densitas lumpur. Selain itu, berbeda dengan yang ditunjukan oleh oil-based mud dimana nilai yield stress-nya berkurang seiring dengan peningkatan temperatur fluida pemboran, pada sistem water-based mud nilai yield stress-nya bernilai tetap meskipun temperatur meningkat di bawah nilai temperatur tertentu namun kemudian meningkat secara eksponensial di atas temperatur tersebut. Untuk melihat pengaruh temperatur tinggi pada sifat rheologi fluida pemboran, Alderman2) mengusulkan persamaan berikut
Seperti telah dijelaskan sebelumnya di bawah nilai temperatur karakteristik T* nilai yield stress relatif konstan terhadap temperatur. Hal ini terlihat pada persamaan (2.25) dimana nilai E L mendekati nol sehingga nilai yield stress hampir selalu sama dengan nilai energi aktivasinya A L . Sedangkan di atas temperatur T* nilai yield stress berubah secara eksponensial seperti ditunjukan pada persamaan (2.26) dimana nilai E H relatif jauh lebih besar dari nilai E L . Selain mempengaruhi parameter rheologi, tekanan dan temperatur juga turut mempengaruhi equivalent static density dari lumpur pemboran. Beberapa studi juga telah dilakukan untuk menentukan besaran pengaruh tekanan dan temperatur pada equivalent static density fluida pemboran, serta menghasilkan beberapa model10-12), dimana beberapa diantaranya bersifat empiris yang merupakan turunan dari hasil eksperimen, dan sebagian lainnya berbentuk model komposisional yang memperhitungkan pengaruh
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
7
komponen penyusun dari fluida pemboran yang bersangkutan.
digunakan melainkan sangat bergantung pada fluida dasar yang digunakan untuk fluida pemboran.
Sebuah studi menggunakan sistem PVT mercury-free untuk menentukan pengaruh perubahan temperatur dan tekanan pada densitas dan tingkat kompressibilitas untuk n-paraffin drilling fluid (NPDF) dan n-paraffin based oil6). Dengan menggunakan alat ini, volume fluida di dalam cell pada temperatur dan tekanan yang berbeda dapat ditentukan. Sebagai hasilnya, densitas dan kompressibilitas fluida sebagai fungsi dari tekanan dan temperatur dapat ditentukan. Dalam percobaannya, temperatur yang dipergunakan adalah antara 80oF hingga 280oF dengan peningkatan setiap 40oF. Selain itu, rentang tekanan yang dipergunakan adalah antara 0 hingga 5000 psi dengan perubahan setiap 500 psi.
Peningkatan tekanan pada temperatur yang konstan menghasilkan penurunan volume fluida. Dengan demikian, densitas dari fluida yang bersangkutan akan meningkat karena massa yang ada tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian, kompressibilitas fluida pada tekanan tertentu dipengaruhi oleh nilai temperatur. Tekanan akan selalu mengurangi volume fluida, sedangkan di lain pihak temperatur akan selalu meningkatkan nilai volume fluida. Dengan kata lain, tekanan dan temperatur, memberikan pengaruh yang saling berlawanan dalam sifat volumetrik fluida dan terkadang dapat dianggap saling menghilangkan. Namun demikian, pengaruh perubahan temperatur terhadap sifat volumetrik fluida lebih besar jika dibandingkan dengan pengaruh perubahan tekanan yang terjadi. Hal ini lebih terlihat pada kondisi tekanan rendah dimana peningkatan temperatur memberikan pengaruh penurunan nilai densitas fluida secara signifikan. Kecenderungan inilah yang terjadi pada fluida slightly commpressible6).
Dari hasil percobaan n-paraffin base oil didapatkan efek perubahan temperatur dan tekanan terhadap sifat volumetrik dari base oil. N-paraffin base oil terdiri dari hidrokarbon C 14 -C 15 . Temperatur dan tekanan awal yang dipergunakan adalah 80oF dan 30 psig. Pada setiap nilai temperatur, peningkatan tekanan akan menyebabkan peningkatan densitas dari nparaffin base oil. Hal ini sesuai dengan hipotesa awal yang dipergunakan dimana peningkatan tekanan akan menyebabkan penurunan volume base oil sementara nilai masanya tetap. Dengan demikian, nilai densitas dari n-paraffin base oil akan meningkat. Hubungan antara densitas dan tekanan untuk fluida yang slightly compressible pada kondisi isotermal ditunjukan oleh persamaan berikut6): .............................................. (2.27) Dari percobaan ini ditemukan bahwa definisi yang menunjukan sifat densitas fluida yang slightly compressible pada kondisi isotermal tersebut dapat dipergunakan untuk memperkirakan sifat dari nparaffin base oil pada setiap temperatur dengan tingkat akurasi yang cukup tinggi. Sedangkan pada percobaan menggunakan 8.6 ppg NPDF dilakukan pengujian yang sama dengan pengujian n-paraffin base oil, yaitu dengan temperatur dan tekanan awal sebesar 80oF dan 30 psig. Percobaan ini dilakukan untuk menguji pengaruh air, additif dan emulsifier dalam perubahan densitas serta kompressibilitas fluida dalam pengaruhnya terhadap tekanan dan temperatur. Hasilnya didapatkan bahwa persamaan (2.60) dapat juga dipergunakan untuk NPDF dalam penelitian ini. Dari hasil ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan densitas dan kompressibilitas fluida dalam hubungannya dengan perubahan temperatur dan tekanan tidak bergantung kepada additif yang
Dalam rangka memodelkan pengaruh tekanan dan temperatur terhadap perubahan equivalent static density fluida pemboran, beberapa buah model komposisional telah diusulkan melalui beberapa paper. Pada model komposisional, densitas fasa solid diasumsikan tidak tergantung pada temperatur dan tekanan sehingga sifat p-ρ-T fluida pemboran diasumskan hanya dipengaruhi oleh perubahan fasa liquidnya saja. Pada model ini juga diasumsikan tidak ada interaksi physicocemical di antara fasa solid dan liquid. Jika ρ m , ρ W, dan ρ h masing-masing adalah densitas dari lumpur, fasa air, dan fasa hidrokarbon dari lumpur pada setiap temperatur, T dan tekanan, P maka model komposisional18) dapat ditunjukan sebagai berikut ......................... (2.28) Subscript “1” menandakan nilai properti pada kondisi temperature T 1 dan tekanan P 1 . Sedangkan V fw1 dan V fh1 merupakan fraksi volum fasa air dan fasa hidrokarbon pada fluida pemboran. McMordie et dan Peter et al.18) telah menggunakan al.16) persamaan tersebut untuk memperkirakan berat dua belas komposisi lumpur dengan hasil yang memuaskan. Nilai ρ h dan ρ w ditentukan menggunakan HPHT autoclaves. Untuk dapat menentukan nilai ρ h dan ρ w tanpa menggunakan bantuan alat, Sorelle et al.21) mengusulkan persamaan berikut
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
....... (2.29)
8
....... (2.30) Kutasov13) dalam papernya menganalisa sifat p-ρ-T air dan mengusulkan persamaan berikut (2.31) Pada persamaan (2.31), P o dan T o merepresentasikan kondisi standar yaitu tekanan 14.7 psi dan temperatur 59oF. Kesalahan rata-rata dalam penggunaan persamaan (2.31) di atas dikatakan cukup dendah pada area HPHT. Dalam studinya, D.R.Babu3) melakukan studi dengan memprediksikan berat lumpur dengan menggunakan model Sorelle et al21) pada persamaan (2.28) hingga (2.31) dan kesalahan rata-rata yang terjadi ditunjukan oleh tabel 1. Lumpur yang diuji adalah tiga jenis water-based mud dan tiga jenis oil-based mud seperti yang digunakan oleh McMordie et al.16) (Lumpur 1 sampai 6) serta dua jenis oil-based mud seperti yang digunakan oleh Peters et al.18) Komposisi lumpur yang digunakan oleh Peters et al.18) dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. Adapun error rata-rata diukur dengan menggunakan persamaan berikut
lumpur jenis oil-based mud. Menurut Babu3), metode Kutasov19) memiliki akurasi yang tinggi untuk dapat memperkirakan densitas water-based mud pada area HPHT. Dengan demikian metode Kutasov13) akan digunakan untuk mengkoreksi densitas water-based mud terhadap tekanan dan temperatur. Persamaan Kutasov13) tersebut adalah sebagai berikut . (3.1) Pada persamaan di atas nilai P o dan T o merepresentasikan nilai tekanan dan temperatur pada kondisi standar yaitu 14.7 psi dan 59oF. Adapun untuk koreksi tekanan dan temperatur pada lumpur jenis oil-based mud dapat digunakan metode sorelle et al.21) sebagai berikut (3.2) (3.3) Selanjutnya nilai densitas fasa air dan minyak yang diperoleh dari persamaan-persamaan di atas kemudian digunakan pada persamaan berikut untuk dapat memperoleh densitas lumpur pada kondisi yang diinginkan18),
..................... (2.32) Karena persamaan (2.31) mampu memprediksikan densitas air dengan cukup akurat, maka densitas water-base mud diprediksikan dengan menggunakan persamaan (2.28) dan (2.31) dan error rata-rata yang terjadi ditunjukan pada tabel 1. Sementara itu, perkiraan densitas oil-based mud menggunakan persamaan Peters et al.18) dengan error rata-rata juga ditunjukan pada tabel 1.
III.
Metodologi Penentuan Parameter Hidrolika pada MPD-CBHP
3.1.
Koreksi Parameter Densitas dan Rheologi Lumpur Pemboran terhadap P,T Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, parameter densitas dan rheology lumpur pemboran harus terlebih dahulu dikoreksi terhadap temperatur dan tekanan. Hal ini dilakukan untuk dapat memperkirakan nilai equivalent circulating density yang akurat terutama pada zona dengan pressure window yang sempit seperti pada zona penerapan CBHP.
3.1.1. Koreksi Parameter Densitas Koreksi densitas pada tekanan dan temperatur tinggi berbeda antara lumpur jenis water-based mud dan
........................... (3.4) Subscript “1” menandakan nilai properti pada kondisi temperature T 1 dan tekanan P 1 . Sedangkan V fw1 dan V fh1 merupakan fraksi volume fasa air dan fasa hidrokarbon pada fluida pemboran. 3.1.2.Koreksi Parameter Rheologi Seperti halnya pada koreksi densitas, koreksi rheologi pada tekanan dan temperatur tinggi juga berbeda antara yang terjadi pada water-based mud dan oilbased mud. Hal ini terjadi akibat perbedaan sifat rheologi yang ditunjukan oleh water-based mud dan oil-based mud seperti yang ditunjukan pada studi Alderman2) yang dilakukan oleh Pollite19). menyatakan bahwa water-based mud merupakan fluida yang tidak begitu dipengaruhi oleh tekanan namun dipengaruhi secara eksponensial oleh temperatur. Pengaruh tekanan terhadap water-based mud akan meningkat seiring dengan peningkatan densitas lumpur. Selain itu, berbeda dengan yang ditunjukan oleh oil-based mud dimana nilai yield stressnya berkurang seiring dengan peningkatan temperatur fluida pemboran, pada sistem water-based mud nilai yield stress-nya bernilai tetap meskipun temperatur meningkat di bawah nilai temperatur tertentu namun kemudian meningkat secara eksponensial di atas temperatur tersebut.
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
9
Pada water-based mud, koreksi temperatur dan tekanan tinggi dilakukan dengan mengikuti metode yang diusulkan oleh Alderman2). Koreksi yang dilakukan terhadap nilai viskositas plastik ditunjukan melalui persamaan berikut
dimana, PV T,P
= Viskositas plastik fluida pemboran pada kondisi yang diinginkan, cp
PV o
= Viskositas plastik fluida pemboran pada kondisi acuan, cp
µ T,P
= Viskositas base oil pada kondisi yang diinginkan, cp = Viskositas base oil pada kondisi acuan, cp
................................................. (3.5) dimana, η
= high-shear viscosity
µo
Aη
= pre-exponential factor
Eα
= energi aktivasi
T
= Temperatur, oF
Nilai viskositas base oil pada kondisi yang diinginkan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut
Selanjutnya, untuk koreksi terhadap nilai yield stress dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut .................................. (3.6) ................................. (3.7)
......... (3.9) berlaku untuk, Sedangkan untuk nilai ρ didapat dari persamaan berikut ... (3.10)
dimana, dimana, E L,H
= Energi aktivasi
A L,H
= Pre-exponential factor
τy
= Yield stress
T*
= Temperatur karakteristik dari nilai yield stress
Parameter-parameter seperti E L , E H , E α , A η , A L , dan A H ditentukan melalui sejumlah data nilai viskositas plastik dan yield point lumpur yang bersangkutan pada temperatur tinggi. Dengan demikian, Alderman2) mengusulkan langkah-langkah berikut untuk mengkoreksi nilai viskositas plastik dan yield point pada tekanan dan temperatur tinggi.
A 1 = -23.1888
A2
= 0.8807
B 1 = -0.00148
B2
= 1.5235 x 10-21
C 1 = -0.9501
C2
= 1.2806 x 10-9
D 1 = -1.9776 x 10-12
D2
= 1.0719 x 10-13
E 1 = 3.3416 x 10-15
E2
= -0.00036
F 1 = 14.6767
F2
= -5.1670 x 10-12
G 1 = 10.9973
T
= Temperature, oF
P
= Tekanan, psi
Sedangkan untuk nilai yield point dari oil-based mud dikoreksi dengan menggunakan persamaan berikut ................................... (3.11)
1.
Ukur sejumlah nilai shear rate dan shear stress pada suatu rentang temperatur. 2. Plot ln τ terhadap 1/T untuk menentukan nilai E l , A L , E H , A H pada persamaan (3.6) dan (3.7) 3. Plot ln η terhadap 1/T untuk mendapatkan nilai E α pada perasamaan (3.5), kemudian tentukan nilai A η Berbeda dengan koreksi yang dilakukan pada waterbased mud, pada oil-based mud koreksi parameter rheologi terhadap tekanan dan temperatur tinggi dilakukan dengan metode yang diusulkan oleh Pollite19) sebagai berikut .................................................... (3.8)
dimana,
A3
= -0.186
B3
= 145.054
C3
= -3410.322
3.2. Penentuan Laju Alir Optimum Untuk Fix Nozzle Laju alir fluida pemboran merupakan suatu parameter yang cukup krusial dalam operasi managed pressure drilling khususnya jenis CBHP. Hal ini dikarenakan
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
10
laju alir sangat mempengaruhi kehilangan tekanan yang akan terjadi di bagian annulus yang mana harus dijaga agar tidak melampaui tekanan rekah formasi. Selain itu, laju alir juga harus dijaga sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan efektifitas pengangkatan cutting yang optimum serta memberikan bantuan dalam proses penghancuran batuan formasi selama operasi pemboran. Dengan demikian, dalam menentukan laju alir optimum sistem terdapat beberapa batasan sebagai berikut: 1. 2.
Laju alir minimum sistem adalah laju alir yang mampu menjaga agar konsentrasi cutting pada lumpur tetap pada level yang diinginkan Laju alir maksimum yang dapat berupa laju alir kritik dimana pola aliran mulai berubah menjadi turbulen atau laju alir yang menyebabkan kehilangan tekanan di annulus ditambah tekanan hidrostatik lumpur melebihi gradien rekah formasi
Penentuan laju alir dilakukan dengan konsep BHHP, BHI, dan JV seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. 3.2.1.
Perhitungan Annulus
Kehilangan
Tekanan
di
Dalam menentukan besarnya kehilangan tekanan yang terjadi di annulus, terdapat dua buah metode yang dapat digunakan, yaitu metode Power Law atau bingham plastic. Kedua metode ini merupakan hasil penurunan dari dua model rheologi fluida pemboran yaitu model Power Law dan bingham plastic. Menurut Moore17) model rheologi Power Law lebih baik dalam merepresentasikan kelakuan fluida pemboran jika dibandingkan dengan model rheologi bingham plastic. Maka dari itu perhitungan kehilangan tekanan di annulus akan dilakukan dengan mengikuti model Power Law. Prosedur perhitungan kehilangan tekanan di annulus dengan model Power Law dapat dilihat pada gambar 2. 3.2.2.
Perhitungan Tekanan Hidrostatik
Salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan hidrostatik lumpur selama pemboran adalah konsentrasi cutting. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan cutting di dalam system fluida pemboran turut mempengaruhi besar kecilnya densitas fluida pemboran sehingga besarannya juga harus diperhitungkan ke dalam densitas fluida pemboran untuk dapat menerapkan desain yang akurat. Densitas yang telah memasukan beragam factor ini selanjutnya disebut densitas efektif.
Flowchart langkah perhitungan tekanan hidrostatik ini dapat dilihat pada gambar 4. 3.2.3.
Perhitungan Bottom Hole Pressure dan Equivalent Circulating Density
Harga Bottom Hole Pressure (BHP) pada kondisi dinamik merupakan penjumlahan dari tekanan hidrostatik yang diberikan oleh lumpur pemboran dengan besarnya kehilangan tekanan yang terjadi di annulus selama sirkulasi. Dengan demikian, nilai BHP dinamik dapat dirumuskan sebagai berikut1) ......... (3.12) ........ (3.13) Sehingga nilai Equivalent Circulating Density (ECD) dapat dirumuskan sebagai berikut1): ........................................ (3.14)
3.3. Penentuan Back Pressure (Tekanan Choke di Permukaan Tekanan choke di permukaan diberikan untuk menanggulangi perbedaan tekanan yang terjadi saat lumpur disirkulasikan dan pada saat lumpur berhenti bersirkulasi misalnya pada saat making connection ataupun tripping in atau tripping out. Perbedaan ini terjadi terutama dikarenakan adanya kehilangan tekanan sejumlah tertentu yang terjadi di bagian annulus pada saat lumpur bersirkulasi. Pada saat lumpur tidak disirkulasikan, kehilangan tekanan ini tidak terjadi sehingga tekanan dasar lubang yang terjadi akan berkurang dari besarnya tekanan pada saat lumpur disirkulasikan. Karena CBHP beroperasi pada zona dengan pressure window yang sempit, penurunan tekanan ini dapat mengakibatkan terjadinya kick ketika tekanan yang diberikan lumpur sudah melewati batas minimumnya yaitu tekanan formasi itu sendiri. Dengan demikian dibutuhkan sejumlah nilai tekanan yang besarnya sama dengan kehilangan tekanan yang terjadi pada saat lumpur bersirkulasi. Dalam penerapannya, managed pressure drilling jenis CBHP mengkompensasi perbedaan nilai tekanan yang terjadi ini dengan memberikan tekanan balik di permukaan. Dengan demikian, besarnya tekanan balik di permukaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
............. (3.15) (3.16) .............................................. (3.17)
11
IV. Perkembangan Kasus
Software
dan
Studi
4.1. Perkembangan Software Software desain parameter hidrolika managed pressure drilling jenis constant bottom hole pressure menggunakan aplikasi perangkat lunak berupa software pemrograman Delphi 5. Delphi 5 adalah software pemrograman yang mengintegrasikan antara bahasa pemrograman (coding) dengan pembuatan interface dari program yang dibuat. Bahasa pemrograman yang digunakan sendiri adalah bahasa Pascal. Adapun algoritma pemrograman pada program ini mengikuti flowchart pada gambar 1, sedangkan bahasa pemrograman akan ditampilkan pada bagian lampiran. Koreksi parameter densitas yang digunakan pada software ini sendiri menggunakan model komposisional18) sedangkan koreksi parameter rheologi menggunakan korelasi Politte19) untuk oilbased mud dan Alderman2) untuk water-based mud. 4.1.1.
Software Interface
Tampilan atau interface dari software desain parameter CBHP ini terdiri dari beberapa form. Form yang pertama merupakan form input dimana fungsinya adalah sebagai tempat untuk memasukan inputan-inputan yang dibutuhkan nantinya. Tampilan Form input adalah dapat dilihat pada gambar 5. Pada form input terdapat beberapa kolom yang harus diisi untuk dapat melakukan pendesainan. Inputan yang dimasukan sendiri harus sesuai dengan satuan yang terdapat di samping kanan setiap kolom inputan. Selain itu, terdapat beberapa inputan yang berupa pilihan dimana user diharapkan untuk memilih satu dari beberapa pilihan input, seperti pada pilihan mud type dimana terdapat dua pilihan inputan, yaitu water-based mud dan oil-based mud. Selanjutnya adalah form koreksi parameter desain terhadap temperatur dan tekanan. Form ini dinamakan form “mud density and rheology correction”. Form ini berfungsi untuk menampilkan hasil koreksi parameter desain terhadap kondisi temperature dan tekanan formasi . Tampilan “mud density and rheology correction” dapat dilihat pada gambar 6. Pada form “mud density and rheology correction” terdapat data temperature dan tekanan dasar lubang yan dibutuhkan untuk mengkoreksi nilai densitas dan rheologi lumpur pemboran. Selain itu juga terdapat hasil akhir densitas dan rheologi lumpur pemboran yang telah dikoreksi pada kondisi dasar lubang.
Form selanjutnya dibutuhkan untuk menentukan laju optimum yang dibutuhkan pada saat operasi pemboran. Form ini kemudian dinamakan sebagai form “Bit Optimation SPRT.” Berikut ini adalah tampilan dari form “Bit Optimation SPRT.” Pada form “Bit Optimation SPRT” terdapat kolom input yang berisi data-data yang dibutuhkan untuk perhitungan pada form ini. Data-data ini bersumber dari form input. Hasil perhitungan dari form “Bit Optimation SPRT” ini dapat dilihat pada kolom output yang tersedia. Selain itu, terdapat pula grafik yang memperlihatkan hubungan antara laju alir dan luas area nozzle untuk penentuan laju alir optimum pemboran. Setelah itu, langkah yang dibutuhkan adalah perhitungan besar kehilangan tekanan di annulus pada saat lumpur disirkulasikan. Oleh karena itu, form berikutnya dinamakan form”Annular Pressure Loss Calculation.” Tampilan form ini dapat dilihat pada gambar 8. Pada form ”Annular Pressure Loss Calculation” ini juga terdapat tampilan proses iterasi untuk penentuan vslip Moore yang dibutuhkan untuk menentukan kecepatan cutting. Kehilangan tekanan yang terjadi di bagian annulus selama sirkulasi dapat dilihat pada kolom total APL. Hasil akhir dari desain managed pressure drilling jenis constant bottom hole pressure adalah penjadwalan pompa. Penjadwalan pompa dibutuhkan agar proses pemberian tekanan balik di permukaan dapat dilakukan secara bertahap sehingga tekanan dasar sumur dapat dijaga agar tetap konstan. Form ini kemudian dinamakan sebagai form ”Pump Schedule.” Tampilan form ”Pump Schedule” dapat dilihat pada gambar 9. Pada form ”Pump Schedule” terdapat beberapa nilai kehilangan tekanan sepanjang system yang terjadi, yaitu kehilangan tekanan di sepanjang drill string (PPL), kehilangan tekanan di bit nozzle (Pb), serta kehilangan tekanan di bagian annulus (APL). Pada form ini juga terdapat tahap-tahap pemberian tekanan choke di permukaan untuk mengkompensasi nilai annular pressure loss yang terjadi selama sirkulasi. Tekanan choke ini diberikan secara bertahap sesuai dengan jumlah stroke dan laju alir lumpurnya sehingga tekanan di dasar sumur dapat bernilai konstan dan tetap berada di antara pressure window yang sempit. Form terakhir dibutuhkan untuk menampilkan semua hasil perhitungan dan hasil desain. Oleh karena itu, form ini kemudian dinamakan form output. Tampilan form output dapat dilihat pada gambar 10.
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
12
Tombol next pada setiap form berfungsi untuk melanjutkan perhitungan ke tahap berikutnya. Dengan demikian pengoperasian dilakukan dengan menekan tombol next hingga form ouput pada akhir perhitungan ditampilkan. Selain form tersebut, terdapat juga form caution yang memberikan peringatan apabila ECD dari fluida pemboran bernilai lebih kecil dari EMW formasi. Tampilan dari form caution yang ditunjukan pada gambar 11. 4.1.2.
Data yang Diperlukan
Dalam menjalankan programnya, software ini tentunya membutuhkan inputan-inputan. Berikut ini adalah data-data yang dibutuhkan sebagai inputan, yaitu •
• • • • • •
Data lumpur di permukaan, meliputi jenis, densitas, dan komposisi lumpur. Khusus untuk data komposisi lumpur dalam bentuk fraksi minyak dan air, hanya perlu dimasukan untuk lumpur jenis oil-based mud. Data cutting hasil pemboran Data geometri sumur pemboran Data kondisi pompa dan hasil slow pump rate test Data konfigurasi drill string Data konfigurasi seksi annulus Data hasil rheologi lumpur pemboran
4.1.3.
Langkah Penggunaan Software
Langkah penggunaan Software ini dimulai dengan membuat file baru dengan menghapus semua data inputan sebelumnya. Langkah ini dapat dilakukan dengan cara meng-klik pilihan “new” yang terletak di directory “file” pada toolbar. Setelah semua kolom inputan dalam keadaan kosong, langkah kerja dimulai dengan memasukan inputaninputan yang dibutuhkan. Semua inputan yang dimasukan harus dalam satuan yang sesuai. Ketika semua inputan yang dibutuhkan sudah dimasukan, maka software siap untuk dijalankan. Untuk menjalankan software ini lankah yang dibutuhkan adalah meng-klik directory run. Langkah menjalankan software dilanjutkan dengan menekan tombol next pada setiap form yang muncul hingga form output yang merupakan form terakhir muncul.
4.2. Studi Kasus I 4.2.1.
Input Data
Data yang akan digunakan sebagai studi kasus pertama diperoleh dari tugas akhir Putri Nur El Akmal1 yang berjudul “Penentuan Parameter Hidrolika pada Operasi Managed pressure drilling Jenis Constant bottom hole pressure.” Dari sumber ini dambil data yang nantinya akan dijadikan sebagai inputan ke dalam software yang digunakan. Sebagai catatan, pengaruh temperature pada studi kasus pertama ditiadakan seperti halnya yang dilakukan Putri pada tugas akhirnya tersebut. Data masukan pertama yang dibutuhkan adalah data kondisi lumpur di permukaan. Dalam hal ini akan dipergunakan lumpur jenis water-based mud dengan densitas 17 ppg. Adapun fraksi minyak dan air yang digunakan tidak perlu dimasukkan karena jenis lumpur yang dipergunakan adalah water-based mud. Selanjutnya yang menjadi data masukan adalah data cutting meliputi spesific gravity dari cutting, diameternya, serta konsentrasi maksimum cutting yang diperbolehkan selama operasi pemboran. Berdasarkan sumber yang pertama, maka cutting pada studi kasus ini memiliki sg sebesar 2.3, berdiameter 0.3 inches, dengan konsentrasi yang diperbolehkan sebesar 5%. Adapun untuk data geometri lubang pemboran, sumur yang dibuat merupakan sumur vertikal yang memiliki kedalaman sebesar 13290 ft. Pada sumur ini terpasang casing terakhir berukuran ID 7.83 inches dengan casing shoe terletak oada kedalaman 12000 ft. Lubang pemboran yang sendiri berukuran 6.5 inches. Adapun kecepatan putaran bit selama operasi pemboran adalah sebesar 80 RPM dengan laju penetrasi sebesar 120 feet per hour. Adapun EMW formasi tercatat sebesar 16.94 ppg pada kedalaman target. Sementara itu, untuk mendefinisikan temperatur formasi dibutuhkan besaran gradien geothemal formasi yang pada kasus ini kemudian diambil sebesar 1.5oF/100 ft sehingga pada kedalaman target, temperatur formasi adalah sebesar 259.35oF. Pompa yang dipergunakan memiliki horse power maksimum sebesar 12000 hp dengan tekanan maksimum 4000 psi. Pompa tersebut mampu mengalirkan 0.117 bbl lumpur untuk setiap strokenya. Adapun data slow pump rate test yang dilakukan menghasilkan tekanan pompa pertama dan kedua berturut-turut sebesar 2300 psi dan 220 psi. Dua laju alir yang dipergunakan pada slow pump rate test adalah 270 gpm dan 70 gpm. Sedangkan data diameter nozzle yang dipergunakan berukuran 10-10-
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
13
10 serta untuk tahap mematikan laju sirkulasi, laju alir akan dikurangi setiap penurunan 10 stroke. Inputan studi kasus I selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 hingga tabel 6. 4.2.2. Hasil Desain Dengan meniadakan pengaruh temperature, maka nilai densitas dan sifat rheologi lumpur di dasar lubang sumur dianggap sama dengan kondisi di permukaan. Kondisi ini terlihat pada form keluaran di mana nilai densitas dan rheologi lumpur tidak mengalami koreksi. Dengan menggunakan asumsi ini kemudian diperoleh laju alir optimum sistem pemboran bernilai 288.79 gpm. Laju alir ini dihitung dengan menggunakan tiga metode BHHP, BHI, dan JV untuk mengoptimasi aliran lumpur pada ukuran nozzle yang tetap sehingga memaksimalkan operasi pemboran batuan formasi . Laju alir minimum dari sistem sendiri adalah 220 gpm yang dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan cutting di dalam lubang bor. Terjadinya penumpukan cutting di dalam lubang bor dapat berakibat fatal diantaranya menyebabkan pipe sticking yang dapat menggagalkan operasi pemboran. Dengan laju alir optimum lumpur tersebut, densitas efektif lumpur menjadi 17.04 ppg yang bernilai sedikit lebih besar dari EMW formasi . Sebagai pembanding, EMW formasi bernilai 16.94 ppg. Namun kemudian, tekanan ekivalen lumpur di dasar lubang meningkat pada saat sirkulasi menajdi 17.5 ppg. Hal ini disebabkan adanya kehilangan tekanan yang terjadi di seksi annulus selama sirkulasi yang menyebabkan peningkatan tekanan ekivalen lumpur di dasar lubang selama sirkulasi. Berat lumpur ini harus dibandingkan dengan gradient rekah formasi untuk dapat menjaga agar tidak terjadi loss ke dalam formasi . Untuk menjalankan operasi managed pressure drilling jenis constant bottom hole pressure, perbedaan tekanan yang terjadi antara saat lumpur disirkulasikan dengan saat sirkulasi dihentikan ini harus dikompensasi dengan tekanan choke di permukaan. Namun demikian, pemberian tekanan choke di permukaan ini tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus dilakukan secara bertahap sehingga tekanan di dasar lubang dapat dipastikan tetap bernilai konstan. Oleh sebab itu dibutuhkan penjadwalan pompa yang memperlihatkan tahapantahapan mematikan dan menyalakan pompa sehingga tekanan di dasar lubang dapat tetap konstan. Hasil keluaran desain selengkapnya dapat dilihat pada form keluaran yang ditampilkan pada gambar 12.
4.3. Studi Kasus II 4.3.1.
Input Data
Data yang akan digunakan sebagai studi kasus kedua ini diperoleh dari beberapa sumber. Sumber pertama adalah tugas akhir Putri Nur El Akmal1 yang berjudul “Penentuan Parameter Hidrolika pada Operasi Managed pressure drilling Jenis Constant bottom hole pressure.” Sementara sumber lainnya adalah data rheologi lumpur pada beberapa nilai temperature yang diambil dari paper Alderman2 yang berjudul “High-Temperature High Pressure Rheology of Water-Base Muds.” Sedangkan untuk gradient geothermal diambil dari asumsi. Dari beberapa sumber ini dambil data yang nantinya akan dijadikan sebagai inputan ke dalam software yang digunakan. Sebagian besar data inputan pada studi kasus II ini bernilai sama dengan data inputan pada studi kasus I karena sama-sama bersumber dari tugas akhir Putri1. Namun demikian, pada studi kasus II ini terdapat beberapa tambahan data untuk melihat pengaruh temperature dan tekanan terhadap parameter desain. Data tambahan yang pertama adalah gradient geothermal dari formasi yang pada studi kasus II ini dianggap bernilai 1.5 oF/100 ft. Selain itu, karena jenis lumpur yang digunkan adalah water-based mud, maka harus terdapat sejumlah nilai viskositas plastic dan yield point pada suatu rentang termperatur untuk dapat memperediksikan sifat rheology fluida pemboran tersebut pada temperature tinggi. Data ini kemudian diperoleh dari paper Alderman2 dan ditampilkan pada tabel 7. 4.3.2.
Hasil Desain
Dari data di atas dapat dilihat bahwa densitas lumpur yang dipergunakan bernilai sedikit lebih besar dari EMW formasi. Hal ini akan menjadi masalah apabila equivalent circulating density yang terkoreksi oleh temperatur dan tekanan bernilai di bawah EMW formasi tersebut. Oleh sebab itu dibutuhkan koreksi densitas dan rheologi yang mempengaruhi ECD lumpur, terhadap temperature dan tekanan. Seperti terlihat pada form keluaran, tekanan dasar lubang yang diperoleh adalah sebesar 11706.89 psi dengan temperatur sebesar 259.35 oF. Densitas lumpur yang telah terkoreksi menjadi sebesar 16.52 ppg, sedangkan yield point menjadi 58.42 lb/100 sq.ft dan viskositas plastik menjadi 9.59 cp. Terlihat bahwa densitas lumpur yang telah dikoreksi mengalami penurunan yang cukup signifikan dan berada di bawah EMW formasi . Hal ini disebabkan adanya peregangan jarak antar partikel fasa kontinu fluida pemboran yang menyebabkan volume fluida
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
14
pemboran meningkat disaat massanya tidak mengalami perubahan. Selain itu terlihat juga bahwa terjadi penurunan nilai viskositas plastik dan peningkatan nilai yield point. Hal ini sesuai dengan teori dimana nilai yield point akan mengalami peningkatan secara eksponensial di atas temperatur karakteristiknya, sedangkan viskositas plastik akan mengalami penurunan terhadap peningkatan temperatur. Melalui perhitungan pada software, diketahui bahwa efek tekanan dan temperature menyebabkan densitas efektif fluida pemboran berada di bawah EMW formasi . Namun demikian, densitas ekivalen fluida pemboran selama sirkulasi tetap berada di atas EMW formasi . Hal ini disebabkan oleh laju alir optimum yang cukup tinggi yang menyebabkan kehilangan tekanan di annulus meningkat cukup besar. Untuk penentuan laju sirkulasi optimum, dengan menggunakan ketiga metode seperti yang telah dijelaskan pada bab 2, didapatkan laju alir optimum sistem pemboran yang sesuai dengan fix nozzle yang digunakan adalah sebesar 360.15 gpm. Dengan menggunakan laju alir tersebut diperoleh densitas efektif lumpur pemboran yang telah terkonsentrasi oleh cutting adalah sebesar 16.57 ppg. Dapat dilihat bahwa nilai densitas ini masih berada di bawah EMW formasi. Namun demikian, dengan besar kehilangan tekanan di annulus senilai 850.36 psi, densitas ekivalen fluida pemboran pada saat bersirkulasi mencapai 17.79 ppg yang mana sedikit lebih besar dari EMW formasi . Dengan demikian lumpur pemboran dengan karakteristik seperti data inputan tersebut dapat digunakan pada formasi ini selama tekanan di dasar sumur dijaga agar tetap konstan. Untuk menjaga agar tekanan tetap konstan maka diperlukan penjadwalan pompa saat sirkulasi hendak dihentikan. Penjadwalan yang dimaksud adalah pemberian tekanan balik dari permukaan secara bertahap selagi menurunkan laju sirkulasi yang juga dilakukan secara bertahap. Dengan demikian diharapkan kehilangan tekanan di annulus yang akan terus berkurang ketika laju alir berkurang dapat dikompensasi secara bertahap oleh tekanan balik di permukaan. Hasil penjadwalan pompa saat akan mematikan dan menyalakan pada dasarnya sama. Yang menjadi perbedaan adalah pada saat akan menghentikan sirkulasi, maka laju alir dimulai dari laju alir optimum system pemboran dan diakhiri ketika laju alir sudah bernilai nol. Sedangkan sebaliknya untuk saat melajutkan sirkulasi dimana laju alir dimulai dari nol dan diakhiri ketika laju alir telah mencapai laju alir optimum system. Hasil desain penjadwalan pompa selengkapnya dapat dilihat pada form output berikut. Demikian juga
halnya dengan semua hasil keluaran desain operasi CBHP dengan menggunakan software ditampilkan pada form output pada gambar 13.
V.
Pembahasan Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada tugas akhir ini dilakukan dua studi kasus dengan pendekatan yang berbeda. Pada studi kasus yang pertama efek temperature dan tekanan pada sifat karakteristik fluida pemboran diabaikan sedangkan pada studi kasus kedua pengaruh temperature dan tekanan ini dijadikan koreksi. Melalui dua studi kasus ini, diharapkan dapat terlihat perbedaan hasil desain fluida pemboran terutama untuk operasi pemboran MPD jenis CBHP. Perbedaan kedua input dapat dilihat pada table 4 hingga tabel 7. Setelah kedua studi kasus ini dijalankan oleh software, terdapat hasil yang cukup berbeda diantara keduanya. Dari densitas lumpur terlihat bahwa temperatur dan tekanan memiliki pengaruh yang cukup signifikan. Pada studi kasus kedua dimana pengaruh temperature dan tekanan diperhatikan, terlihat bahwa densitas lumpur pemboran mengalami penurunan sebesar 0.5 ppg. Perbedaan tekanan ini dapat berpengaruh signifikan terutama pada operasi pemboran CBHP pada pressure window yang sempit. Penurunan densitas pada studi kasus kedua ini diakibatkan oleh adanya ekspansi dari fasa kontinu fluida pemboran, yang dalam hal ini adalah air sehingga mengakibatkan volume fluida pemboran mengalami peningkatan. Di saat yang bersamaan, massa fluida pemboran tidak mengalami perubahan. Kedua hal tersebut mengakibatkan densitas fluida yang terpengaruh efek temperature dan tekanan menjadi berkurang.
Apabila faktor pengaruh temperature terhadap densitas ini diplot terhadap kedalaman formasi, maka akan terlihat hasil seperti ditampilkan pada gambar 14. Dari grafik tersebut terlihat bahwa semakin bertambahnya kedalaman maka semakin menurun nilai densitas dari lumpur. Hal ini diakibatkan pertambahan nilai temperature seiring dengan pertambahan kedalaman formasi yang menyebabkan ekspansi dari fasa kontinu lumpur pemboran, yang dalam hal ini berupa air. Sebenarnya kondisi ini dapat diimbangi dengan meningkatnya tekanan dengan semakin dalamnya formasi. Namun pada kenyataannya pengaruh tekanan pada water-based mud tidak cukup besar untuk dapat mengimbangi pengaruh temperature sehingga densitas lumpur tetap berkurang seiring dengan pertambahan kedalaman.
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
15
Perbedaan lain terlihat pada hasil koreksi sifat rheologi fluida pemboran yang meliputi viskositas plastik dan yield point-nya. Terlihat bahwa nilai viskositas plastik mengalami penurunan yang cukup signifian dari 15.6 cp menjadi 9.76 cp. Hal ini disebabkan oleh sifat temperature yang mengekspansi air sebagai fasa kontinu fluida pemboran yang mengakibatkan friksi untuk mengalirnya berkurang. Hal ini sesuai dengan teori dasar yang mengatakan bahwa viskositas plastik water-based mud akan mengalami penurunan sering dengan peningkatan temperature. Sedangkan untuk nilai yield point sendiri, terlihat adanya peningkatan dari 8.8 lb/100 sq. ft menjadi 25.2 lb/100 sq.ft. Hal ini juga sejalan dengan yang dijelaskan pada teori dasar dimana yield point mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan temperature di atas temperature karakteristiknya. Namun demikian, temperature karakteristiknya tidak dapat diketahui pada studi ini. Temperatur karakteristik ini hanya dapat diketahui melalui studi laboratorium dengan melakukan pengetesan nilai yield point fluida pemboran pada suatu rentang temperature. Perbedaan hasil desain antara studi kasus I dan II dalam hal koreksi densitas dan rheologi lumpur terhadap temperature dan tekanan dapat dilihat pada tabel 8. Apabila pengaruh temperature terhadap sifat rheology lumpur ini diplot terhadap kedalaman formasi, maka akan diperoleh grafik seperti pada gambar 15. Pada grafik tersebut terlihat bahwa nilai viskositas plastik menurun terhadap fungsi kedalaman. Hal ini dikarenakan pengaruh peningkatan nilai temperature seiring dengan pertambahan kedalaman yang mengakibatkan resistansi lumpur untuk mengalir semakin berkurang. Lain dengan nilai viskositas plastik, yield point lumpur pemboran justru mengalami peningkatan seiring pertambahan kedalaman. Namun demikian, di bawah temperature karakteristiknya nilai yield point lumpur ini bernilai konstan sesuai dengan yang dipaparkan oleh Alderman2) dalam papernya. Dari hasil optimasi hidrolika bit, terlihat untuk ukuran nozzle yang sama dihasilkan laju alir optimum yang berbeda. Pada studi kasus yang pertama, laju alir optimumnya adalah 288.79 gpm sedangkan pada studi kasus kedua laju alir optimumnya adalah 360.15 gpm atau meningkat sekitar 71.36 gpm. Hal ini terutama disebabkan oleh perubahan karakteristik rheologi fluida yang membuat kecepatan kritik fluida menjadi bertambah. Perubahan karakteristik yang dimaksud adalah penurunan nilai viskositas plastik dan pertambahan nilai yield point fluida pemboran. Penurunan nilai viskositas plastik secara logis seharusnya memperkecil nilai laju kritis lumpur yang
merupakan batas atas kecepatan di mana pola aliran fluida berubah dari laminar menjadi turbulent. Namun demikian, efek ini tertutupi oleh besarnya pertambahan nilai yield point lumpur yang membuat laju kritis menjadi bertambah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pembentukan struktur gel pada fluida pemboran yang mengurangi kemungkinan perubahan pola aliran dari laminar menjadi turbulen. Selain itu pada studi kasus II laju alir maksimum pompa bukan lagi ditentukan oleh kecepatan kritik lumpur pemboran melainkan oleh laju alir maksimum yang menyebabkan ECD lumpur pemboran masih berada di bawah gradient rekah formasi. Ini dikarenakan lonjakan nilai YP dari lumpur. Dengan laju alir yang berbeda pada kedua kasus tersebut, densitas efektif dan densitas ekivalen fluida saat sirkulasi pada kedua kasus tersebut juga berbeda. Pada kasus yang pertama, laju alir sebesar 172.75 gpm tersebut menyebabkan kehilangan tekanan sebesar 110.74 psi yang membuat densitas ekivalen lumpur saat sirkulasi bernilai 17.24 ppg, dengan densitas efektifnya sebesar 17.08 ppg. Sedangkan pada kasus kedua, laju alir sebesar 297.33 gpm membuat kehilangan tekanan sebesar 363.89 psi yang mengakibatkan densitas ekivalen lumpur pemboran saat sirkulasi mencapai 17.11 ppg dengan densitas efektifnya sebesar 16.58 ppg. Jika dilihat dari perbandingan antara kedua kasus tersebut, terlihat bahwa peningkatan laju alir optimum meningkatkan besarnya kehilangan tekanan di annulus. Namun demikian, pengaruh temperature dan tekanan sebelumnya telah membuat densitas ekivalen fluida pemboran mengalami penurunan sehingga ECD lumpur pada kasus kedua lebih kecil daripada yang terjadi pada kasus pertama. Adapun dari hasil penjadwalan pompa dari kedua studi kasus, terlihat bahwa proses mematikan pompa dibuat bertahap untuk dapat menjaga agar tekanan di dasar lubang sumur tetap konstan sehingga mengindarkan terjadinya kick ataupun loss circulation. Apabila penjadwalan pompa pada kedua studi kasus itu diplot, maka hasil grafik antara laju alir terhadap tekanan choke akan menjadi seperti pada gambar 16 dan gambar 17. Dari perbandingan kedua grafik tersebut, terlihat bahwa langkah mematikan pompa pada kasus I jauh lebih sedikit dari yang dibutuhkan pada studi kasus II. Hal ini dikarenakan laju alir optimum pompa pada kasus I jauh lebih kecil sehingga untuk menurunkan laju alir dibutuhkan tahapan yang lebih sedikit. Penjadwalan pompa ini juga dipengaruhi oleh besarnya stroke untuk mengurangi laju alir yang dimasukan oleh user pada form input. Semakin besar stroke yang dimasukan maka semakin sedikit langkah untuk
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
16
mematikan pompanya, namun demikian ini akan berakibat semakin besarnya resiko tekanan lumpur melewati batas maksimum dan minimum formasi yang berarti semakin besar pula resiko kegagalan pada operasi pemboran.
VI. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Daftar Simbol µ
= viskositas, cp
µa
= apparent viscosity, cp
An
= total luas area nozzle, in12)
Kesimpulan
A η, L, H
= pre-exponential factor
Tekanan dan temperature memberikan pengaruh yang berbeda pada densitas lumpur pemboran. Temperatur menyebabkan penurunan nilai densitas lumpur pemboran karena membuat fasa kontinu dari fluida pemboran berekspansi. Kondisi ini menyebabkan volume dari fluida pemboran meningkat pada massa yang konstan sehingga densitas berkurang. Sebaliknya, peningkatan tekanan menyebabkan peningkatan nilai densitas. Hal ini dikarenakan efek kompresi yang diberikan oleh tekanan pada fluida pemboran yang menyebabkan volume fluida pemboran menurun pada massa yang tetap sehingga densitasnya meningkat. Pengaruh temperature terhadap densitas fluida pemboran relative lebih besar dibandingkan dengan pengaruh tekanan. Pengaruh tekanan dan temperature pada sifat rheologi fluida pemboran berbeda antara yang terjadi pada water-based mud dan oil-based mud. Pada water-based mud efek tekanan relative tidak signifikan sehingga dapat diabaikan. Efek temperature pada viskositas plastic dan yield point water-based mud saling berkebalikan. Peningkatan temperature akan meningkatkan nilai yield point WBM di atas temperature tertentu, sedangkan viskositas plastiknya akan menurun seiring dengan peningkatan temperature. Sedangkan pada oilbased mud temperature akan menyebabkan penurunan pada sifat PV dan YP-nya. Peningkatan temperature menyebabkan laju alir pompa optimum pada desain CBHP meningkat. Hal ini terutama dikarenakan oleh perubahan sifat rheology pada water-based mud yang menyebabkan laju alir kritis dan optimum pada fluida pemboran meningkat. Peningkatan temperature juga menyebabkan equivalent circulating density fluida pemboran meningkat. Hal ini dikarenakan peningkatan laju alir pompa seiring dengan peningkatan temperature yang menyebabkan kehilangan tekanan mengalami kenaikan. Peningkatan kehilangan tekanan yang terjadi akibat peningkatan temperature menyebabkan peningkatan tekanan balik yang harus diberikan.
Cconc
= konsentrasi cutting, %
Ci
=faktor koreksi Shindu
inklinasi
Rudi-
C MW
=faktor koreksi Shindu
densitas
Rudi-
C RPM
= faktor koreksi RPM Rudi-Shindu
dcut
= diameter cutting, in
dh
= diameter lubang sumur, in
dp
= diameter drill pipe, in
ECD
=equivalent circulating density, ppg
EMW
= equivalent mud weight, ppg
E α, L, H
= energy aktivasi
f
= friction factor
Kp
= konstanta kehilangan tekanan
MW HH
= tekanan hidrostatik lumpur, ppg
NRe
= Reynold number
Pb
= kehilangan tekanan pada bit, psi
Pp
= parasitic pressure loss, psi
PV
= viskositas plastic, cp
Q
= Laju alir, gpm
ROP
= Laju penetrasi, ft/hr
T
= Temperature, oF
T*
= Temperatur karakteristik
V cut
= Kecepatan cutting, fpm
Vf
= fraksi volume
V min
= Laju alir minimum lumpur, fpm
V sl
= Kecepatan slip, fpm
YP, τ y
= yield point, lb/100 ft12)
z
= faktor pangkat
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
17
ΔAFP CIR
=kehilangan tekanan di annulus, ppg
ΔBP CASING = surface back pressure, ppg
11. 12.
η
= high-shear viscosity
θ
= inklinasi lubang sumur, o
13.
ρe
= densitas efektif, ppg
ρf, ρ m
14.
= densitas fluida pemboran, ppg
ρs
= densitas cutting, ppg
Daftar Pustaka
15. 16.
1. Akmal, Putri Nur El:”Penentuan Parameter
2.
3. 4. 5.
6. 7. 8.
9. 10.
Hidrolika pada Operasi Managed Pressure Drilling Jenis Constant Bottom Hole Pressure”. Tugas Akhir. Departemen Teknik Perminyakan, Institut Teknologi Bandung. 2010 Alderman, N.J., Gavignet, A., Guillot, D., Maitland, G.C.: “High-Temperature, HighPressure Rheology of Water-Base Muds”, SPE 18035, Houston, TX, 2-5 Oct, 1988. Babu, D.R.: “Effects of p-ρ-T Behavior of Muds on Static Pressures During Deep Well Drilling”, SPE 27149, June 1996. Cui, Longlian, et al.: Detailed Hydraulic Simulation of MPD Operation in Narrow Pressure Window, SPE 131846 , 2010. Davison, J.M., Clary, S., Saasen, A., Allouche, M., Bodin, D., Nguyen, V.A.: Rheology of Various Drilling Fluid Systems Under Deepwater Drilling Conditions and the Importance of Accurate Predictions of Downhole Fluid Hydraulics, SPE 56632, Houston, Oct 3-6, 1999 Demirdal B., Miska S., Takach N.: “Drilling Fluids Rheological and Volumetric Under Downhole Conditions”, SPE 108111, 2007. Hannegan, D.: Case Studies-Offshore Managed Pressure Drilling, SPE 101855, 2006. Hannegan, D. : Managed Pressure Drilling A”New”Way of Looking at Drilling Hydraulics… Overcoming conventional Drilling Challenges, SPE Distinguished Lecture Series, 2006-2007. Hannegan, D.: Variations of Managed-Pressure Drilling Currently Practiced: Offshore Case Studies, OTC 17885, 2006. Harris, Oluseyi: Evaluation of Equivalent Circulating Density of Drilling Fluids Under
17. 18.
19. 20. 21.
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
High Pressure-High Temperature Conditions, University of Oklahoma, 2004. Heriot-Watt University, Drilling Engineering. Hoberock, L.L., et al.: Here’s How Compressibility and Temperature Affect BottomHole Mud Pressure, OGJ p. 159., 1982. Kutasov, I.M., : Empirical Correlation Determines Downhole Mud Density, OGJ, 1988. Malloy, Kenneth P., et al.: Managed-Pressure Drilling:What It Is and What It Is Not, IADC/SPE 122281, 2009. Martin, Matthew Daniel: Managed Pressure Drilling Technique and Tools, Texas A&M University, 2006. McMordie Jr., W.C., Bland, R.O. and Hauser, J.M.: "Effect of Temperature and Pressure on the Density of Drilling Fluids," paper SPE 11114 presented at 1982 SPE Annual Technical Conference and Exhibition, New Orleans, Sept. 26-29. Moore, Preston L., Drilling Practices Manual, PennWell Books, Tulsa, USA, 1986. Peters, EJ., Chenevert, M.E. and Zhang, C: "A Model for Predicting the Density of Oil-Based Muds at High Pressures and Temperatures," SPEDE (June 1990) 141-48; Trans., AIME, 289. Politte, M.D.:Invert Oil Mud Rheology as a Function of Temperature and Pressure”, SPE/IADC 13458,1985. Rubiandini Rudi, Diktat Kuliah TM-2231 Teknik Operasi Pemboran, Penerbit ITB, Bandung, 2004. Sorelle, RR., et al.: Mathematical Field Model Predicts Downhole Density Changes in Static Drilling Fluids, SPE 11118, 1982.
18
Tabel 1 Perbandingan Error rata-rata ketiga model p-ρ-T18)
Tabel 3 Komposisi dan Properti Rheologi dari Oil-based mud 17 lbm/gal oleh Peters et al18)
Tabel 2 Komposisi dan Properti Rheologi Oilbased mud 11 lbm/gal oleh Peters et al.18)
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
19
Start
Input: Data lumpur pemboran, data cutting, well geometry data, data rheologi lumpur, konfigurasi drillstring, konfigurasi annulus, data optimasi hidrolika bit, SPRT, dan data gradien tekanan formasi serta gradien rekah
Koreksi EMW terhadap temperature dan tekanan
WBM 3.0997 x10 −6 ( p − po) − 2.2139 x10 −4 (T − To ) − 5.0123 x10
ρw = 8.3619e
OBM
WBM/OBM −7 ( T − T 0 ) 2
ρw = 8.63186 − 3.31977 x10 −2 T + 2.7566 x10 −5 ( p − po ) ρh = 7.24032 − 2.84383 x10 −3 T + 2.7566 x10 −5 ( p − po )
ρm =
ρm1 ρw1 ρh1 + Vfh 1 1 + Vfw 1 − 1 − 1 ρw ρh Koreksi PV dan YP terhadap temperatur dan tekanan
OBM
µ = P (T P) C 1 0( A + B T + D T P+ E P + F ρ −G 1
1
1
1
1
1
WBM
WBM/OBM
1
ρ)
Plot ln τy terhadap 1/T untuk mendapatkan nilai EH, AH
ρ = A2 + B2 P T + C 2 P + D2 p 2 + E 2T + F2T 2 Plot ln η terhadap 1/T untuk mendapatkan Eα dan Aη
µT ,P µ0 A2 + B2T −2 + C 2T −2
P VT , P = P V0
τ y = τ yo
A2 + B2T0
−2
+ C 2T0
η = Aη exp ( Eα / T ) − EH T
τ y = AH exp
−2
Optimasi hidrolika bit untuk fix nozzle: - Bit Hydraulic Horse Power (BHHP) - Bit Hydraulic Impact (BHI) - Jet Velocity (JV)
Menghitung APL dengan laju alir optimum pada optimasi hidrolika bit
Menentukan besar tekanan balik di permukaan yang dibutuhkan: BP = APL
Pembuatan jadwal pemompaan untuk setiap laju alir
End
Gambar 1 Flowchart pembuatan software
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
20
Start
Input: PV, YP, Q, dh, OD, ρ, L,
Θ300 = PV + YP Θ600 = 2PV + YP
n = 3.32 x log K =
V =
θ 600 θ 300
θ 300 5 1 1
n
2 4 .5 xQ (d h 2 −O D
2
1
) n
3.878 x 104 x K 2 − n 2.4 x (2n + 1) 2 − n Vc = x ρ (dh − OD) x 3n
YA, aliran laminar
Pa =
KL 300 (dh − dp )
2.4V 2n + 1 x x 3n (dh − OD )
V
n
Tidak, aliran turbulen
Pa =
8.91 x 10 −5 x ρ 0.8 x Q1.8 x PV 0.2 x L ( dh − OD ) 3 ( dh + OD )1.8
Ulangi untuk setiap seksi annulus
APL = ΣPa
End
Gambar 2 Flowchart perhitungan APL model rheologi Power Law
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
21
Start
Input: ROP, YP, PV, dc, ρf, ρs, dh, dp
V c u t
=
R O P p d 3 6 1 − h d
2
c o n c C
Asumsi Vslip1 = 0.1
Vmin = Vslip1+Vcut
µa = PV
N Re =
N Re > 300
+
5 xY P x ( dh − dp ) V m in
928 x ρf x Vslip x dcut µa 3 < N Re < 300
f =
f = 1.5
Vsv
= f
N Re < 3
22
f =
N R e
dcut
Tidak Vslip 1 = Vsv
40 N Re
( ρs − ρf ) ρf
Abs (Vsv-Vslip1)<0.001
Ya Vsv = Vs vertikal Moore
Θ < 45
ya
RPM 2θ 3 + ρm Vs = 1 + 1 − 45 15 600
tidak
RPM 3 + ρm Vs = 3 1 − 15 600
Vsv
Vsv
Vmin = Vcut + Vs
End
Gambar 3 Flowchart perhitungan Vslip
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
22
Start
Input: Vsl, Q, Ca, ROP, dh, dp, ρs, ρ, TVD
AV =
Q Ca
Vcut = AV - Vsl
Cconc
ρe = ρs x
=
ROP x dh 2 x 100 60 x Vcut x ( dh 2 − dp 2 )
Cconc Cconc + ρ x 1 − 100 100
Phidrostatik = ρe x 0.052 x xTVD
End
Gambar 4 Flowchart perhitungan tekanan hidrostatik
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
23
Gambar 8 Tampilan form "Annular Pressure Loss Calculation" Gambar 5 Tampilan form input
Gambar 9 Tampilan form "Pump Schedule" Gambar 6 Tampilan form "Mud Density and Rheology Correction"
Gambar 10 Tampilan form output
Gambar 7 Tampilan form "Bit Optimation SPRT"
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
Gambar 11 Tampilan form caution
24
Tabel 4 Data masukan pada studi kasus I dan II
Input Data Lumpur Pemboran Jenis lumpur Densitas (ppg) Fraksi air Fraksi minyak Data Cutting SG cutting D cutting Konsentrasi cutting maksimum (%)
Studi Kasus I Water-based mud
Data Geometri Sumur Kedalaman (ft) TVD casing (ft) ID casing (in) Diameter lubang (in) RPM ROP (ft/hr) Gradien geothermal (degF/100 ft) EMW formasi (ppg) Gradien rekah (ppg) Data Optimasi Hidrolika Bit HP maksimum pompa (hp) Tekanan maksimum pompa (psi) Kapasitas pompa (bbl/stroke) Data Slow Pump Rate Test Laju alir 1 Laju alir 2 Tekanan pompa 1 Tekanan pompa 2 Kombinasi ukuran nozzle (1/32 in) Stroke untuk menurunkan rate
Studi Kasus II Water-based mud 17 17 2.3 0.3 5
2.3 0.3 5
13290 12000 7.83 6.5 80 120 0 16.94 17.9
13290 12000 7.83 6.5 80 120 1.5 16.94 17.9
12000 4000 0.117
12000 4000 0.117
270 70 2300 220 10-10-10 10
270 70 2300 220 10-10-10 10
Tabel 5 Konfigurasi drill string pada studi kasus I dan II
Konfigurasi Drill String pada Kasus I dan II Jenis Drill String Dari kedalaman (ft) Hingga kedalaman (ft) ID (in) OD (in) Drill pipe 0 12810 3.476 4 Drill collar 12810 12990 3 5 Bit 12990 13290 3 5.25 Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
25
Tabel 6 Konfigurasi annulus pada studi kasus I dan II
Konfigurasi Seksi Annulus pada Kasus I dan II Jenis Seksi Annulus Drill pipe - Casing Drill pipe - Open Hole Drill Collar - Open Hole Bit - Open Hole
Dari kedalaman (ft) Hingga kedalaman (ft) 0 12000 12000 12810 12810 12990 12990 13290
Outer Side ID (in) 7.83 6.5 6.5 6.5
Inner Side OD (in) 4 4 5 5.25
Tabel 7 Data rheologi pada studi kasus II
Fann VG Data Kasus II Temperatur (degF) 60 134.66 140.6 172.18 214.76
PV
YP 29 12.6 12.5 10.09 9
17.6 17.6 18 28 48
Gambar 12 Form output pada kasus I
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
26
Gambar 13 Form output pada kasus II
Mud weight, ppg 15
15.5
16
16.5
17
17.5
0 2000
Depth, ft
4000 6000 8000 10000 12000 14000 Gambar 14 Grafik perubahan mud weight terhadap kedalaman
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
27
Tabel 8 Perbandingan koreksi temperatur dan tekanan pada kasus I dan II
Koreksi terhadap Temperatur dan Tekanan pada kedua kasus Parameter Kasus I Kasus II Temperatur dasar lubang (degF) 60 259.35 Tekanan dasar lubang (psi) 11706.9 11706.9 Densitas terkoreksi (ppg) 17 16.53 2 YP terkoreksi (lb/100 ft ) 17.6 58.42 PV terkoreksi (cp) 29 9.59 Tabel 9 Hasil desain parameter utama pada studi kasus I dan II
Hasil desain parameter utama pada studi kasus I dan II Parameter Temperatur dasar lubang (degF)
Kasus I Kasus II 60
Tekanan dasar lubang (psi)
11706.9
11706.9
17 17.6
16.53 58.42
PV terkoreksi (cp)
29
9.59
Q optimum (gpm)
288.79
360.15
Surface back pressure (psi)
315.04
850.36
Densitas terkoreksi (ppg) YP terkoreksi (lb/100 ft2)
259.35
Sifat Rheologi, cp/ lb per 100 sq. ft. 0
10
20
30
40
50
60
70
0
Depth, ft
2000 4000
YP vs Depth
6000
PV vs Depth
8000 10000 12000 14000 Gambar 15 Grafik hubungan sifat rheologi terhadap temperatur
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
28
350
200 180
300
160 250
140
Q vs t
120 100
150
P, psi
Q, gpm
200
P choke vs t
80
100
APL vs t
60 40
50
20 0
0 0
1
2
3
t
4
5
6
7
Gambar 16 Grafik pump schedule kasus I
900
400
800
350
700
300 Q vs t
600 500 200
400
150
300 200
100
100
50
0
P, psi
Q, gpm
250 P choke vs t APL vs t
0 0
2
4
t
6
8
Gambar 17 Grafik pump schedule kasus II
Arian Dito Pratama – 12206062 – Semester II 2010/2011
29