Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Penentuan Komposisi Tanaman Induk Jantan dan Betina Terhadap Produktivitas dan Vigor Benih F1 Jagung Hibrida Bima-5 Sania Saenong dan Rahmawati
Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi 274 Maros, Sulawesi Selatan
Abstrak Salah satu masalah yang dikeluhkan oleh para produsen benih jagung hibrida adalah rendahnya produksi benih F1 yang dihasilkan, biasanya hanya berkisar 1,0 ton per hektar, sehingga harga jual benihnya cukup tinggi. Karena itu upaya untuk peningkatan produksi benih hibrida F1 diperlukan, salah satu pendekatan yang ditempuh adalah mengatur komposisi tanaman induk jantan dan betina. Tujuan penelitian adalah untuk menentukan komposisi tanaman induk jantan dan betina yang optimum terhadap produkstivitas dan kualitas benih F1 jagung hibrida Bima-5. Penelitian dilaksanakan di kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan, dari tanggal 24 Juli sampai 19 Nopember 2009 dan di Kabupaten Gowa dari tanggal 10 Agustus sampai 30 Nopember 2009. Benih yang ditanam adalah masing-masing satu galur murni (inbreed) tetua pejantan (Mr14) dan satu tetua betina (G193) pembentuk BIMA 5. Komposisi tanaman sebagai perlakuan yang diteliti adalah sebagai berikut: (a) komposisi 1 jantan: 2 betina; (b) komposisi 1 jantan: 4 betina; (c) komposisi 1 jantan: 6 betina; (d) komposisi 2 jantan: 4 betina; (e) komposisi 2 jantan: 6 betina dan (f) komposisi 2 jantan : 8 betina. Tanaman induk jantan ditanam 5 hari lebih awal dibanding induk betina. Hasil benih tertinggi di Bajeng Kabupaten Gowa diperoleh pada komposisi tanaman 1 : 6 yaitu 1,35 t/ha, menyusul pada komposisi 1: 4 dengan hasil biji 1,32 t/ha masing-masing pada kadar air 14%. Di lain pihak hasil yang diperoleh dari kabupaten Soppeng sangat rendah (0,35t/ha), karena keluarnya bunga jantan kurang sinkron (lebih dahulu) dibanding dengan keluarnya bunga betina, selain kekeringan sehingga jumlah tongkol ompong cukup tinggi (mencapai 60%). Kedepan untuk meningkatkan hasil benih hibrida Bima 5, Induk betina (G193) dan jantan (MR14) sebaiknya ditanam bersamaan untuk meningkatkan sinkronisasi pembungaan. Demikian pula komposisi induk jantan dan betina dianjurkan menggunakan komposisi 1: 4 atau 1: 6. Pada komposisi tersebut, vigor benih juga cukup tinggi (daya berkecambah benih yang dihasilkan lebih dari 90%) dengan kecepatan tumbuh lebih dari 30% per etmal. Kata kunci: Hasil benih F1, Bima 5, komposisi induk jantan dan betina
tahun 2008, data distribusi jagung hibrida telah mencapai 57,4%, komposit 16,75% dan varietas lokal 25,81%. Benih jagung hibrida silang tunggal dibentuk dari persilangan dua inbrida sebagai tetua pembentuknya (jantan dan betina). Salah satu masalah yang dikeluhkan oleh para produsen benih jagung hibrida adalah rendahnya produksi benih F1 yang dihasilkan, yaitu hanya berkisar 1,0-1,5 ton per hektar. Rendahnya produksi benih F1 merupakan salah satu penyebab mahalnya harga benih, sehingga diperlukan upaya untuk peningkatan produksi benih hibrida F1.
Pendahuluan Benih merupakan masukan dasar yang paling penting dalam pertanian (Paliwal, 2000). Sejak dicanangkannya revitalisasi pertanian di Jatiluhur tahun 2005, upaya peningkatan luas panen jagung hibrida ditingkatkan terus dan pada tahun 2008 areal panen jagung hibrida mendekati 56% dari luasan lahan pananaman jagung di dalam negeri yang tercatat seluas 4,25 juta hektare (Bisnis Indonesia, www.deptan.go.id, diakses 7 Agustus 2008). Bahkan data dari Direktorat Perbenihan (2008) menunjukkan bahwa pada akhir 74
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Usaha ke arah peningkatan produktivitas benih hibrida sudah pernah dilakukan, namun hasilnya belum memuaskan karena berbagai permasalahan antara lain bentuk tanaman kurang kekar, jumlah rambut dan jumlah tepung sari relatif sedikit, rentan berbagai cekaman lingkungan, waktu penyerbukan yang tepat sulit dicapai, jumlah biji per tongkol sedikit, ukuran tongkol kecil dan produksi benihnya rendah. Namun demikian produktivitas benih jagung hibrida silang tunggal hasilnya dapat ditingkatkan hingga mencapai 3 t/ha, tergantung dari potensi genetik tetuanya dan managemen produksinya, karena itu masih ada peluang untuk meningkatkan hasil benih F1 dengan upaya penyediaan managemen produksi benih yang optimal. Komposisi tanaman jantan dan betina yang biasa dilaksanakan adalah 2 baris jantan dan 4 baris betina. Komposisi tersebut belum dapat memberikan hasil benih yang optimal karena tanaman jantan menempati ruang lahan separuh dari lahan untuk penanaman induk betina. Jika penanaman induk jantan terlalu kurang, maka induk betina akan kekurangan tepung sari sehingga banyak tongkol yang ompong karena itu diperlukan pengaturan komposisi baris jantan dan betina untuk memperoleh hasil benih yang optimal.
dan betina sesuai pengaturan komposisi tanaman sebagai berikut: 1. Komposisi 1 jantan: 2 betina 2. Komposisi 1 jantan: 4 betina 3. Komposisi 1 jantan : 6 betina 4. Komposisi 2 jantan : 4 betina 5. Komposisi 2 jantan : 6 betina 6. Komposisi 2 jantan : 8 betina Penelitian dilaksanakan di kabupaten Soppeng pada lahan sawah tadah hujan yang terletak di Dusun Lonrong, Desa Jampu, kecamatan Liliriaja, dan di Desa Bajeng kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penanaman tetua jantan di kabupaten Soppeng dilaksanakan pada tanggal 24 Juli 2009, tetua betina pada tanggal 29 Juli 2009, dan dipanen tanggal 19 Nopember 2009. Penanaman tetua jantan di Bajeng Gowa dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2009, tetua betina tanggal 15 Agustus 2009, dan dipanen tanggal 30 Nopember 2009. Percobaan menggunakan Rancangan Kelompok, dengan empat ulangan. Ukuran petak percobaan baik di Soppeng ataupun di Bajeng adalah yaitu 12 m x 4 m setiap perlakuan. Jarak tanam yang digunakan adalah 70 cm x 20 cm, 1 tanaman per lubang. Tanaman induk jantan (Mr14) ditanam 5 hari sebelum tanaman induk betina (G193). Penyulaman dilaksanakan dengan menggunakan bibit yang sudah ditumbuhkan dalam polibag plastik yang ditanam bersamaan dengan penanaman petak penelitian di lapangan. Pemupukan pertama dan penyulaman di kabupaten Soppeng dilakukan pada tanggal 8 dan 9 Agustus 2009, dan di kabupaten Gowa pada tanggal 24 dan 25 Agustus. Pemupukan kedua dilaksanakan pada tanggal 27 dan 28 Agustus di kabupaten Soppeng dan 14 September di kabupaten Gowa.
Bahan dan Metode Percobaan dilaksanakan di Soppeng Sulawesi Selatan, dari tanggal 24 Juli sampai dengan 19 Nopember 2009 dan di kabupaten Gowa dari tanggal 10 Agustus sampai dengan 30 Nopember 2009. Benih yang ditanam adalah masing-masing satu galur murni (inbreed) tetua pejantan (Mr14) dan satu tetua betina (G193) pembentuk jagung hibrida silang tunggal BIMA 5 dengan komposisi tetua jantan 75
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Parameter-parameter yang diamati ada -lah sebagai berikut: (1) Persentase tanaman tumbuh, dihitung pada 5 sampai 7 hari sesudah tanam. Tanaman yang tumbuh vigor dan kurang vigor dihitung dari total tanaman yang tumbuh; (2) Umur berbunga tanaman jantan (anthesis), dihitung dari waktu tanam sampai 50% tanaman dalam petakan telah membentuk malai (tassel) dan telah memproduksi tepung sari; (3) Umur berbunga tanaman betina (silking), dihitung dari waktu tanam sampai 50% tanaman dalam petakan mengeluarkan rambut tongkol minimal sepanjang 2 cm; (4) Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai pada buku tempat daun bendera; (5) Tinggi tongkol, diukur dari permukaan tanah sampai buku tempat tongkol; (6) Jumlah dan persentase tanaman yang dipanen per petak (12x4m); (7) Jumlah tongkol panen per petak diukur pada ukuran petak sampel yang telah ditetapkan; (8) Bobot tongkol panen kupas per petak; (9) Kadar air biji saat panen; (10) Bobot biji dan janggel per tongkol yang ditentukan secara acak; (11) Rendemen biji dihitung dari perbandingan antara bobot tongkol kupas dengan bobot pipilan pada kadar air yang sama; (12) Panjang tongkol diukur mulai dari letak biji di bagian dasar tongkol sampai pada letak biji diujung tongkol; (13) Diameter tongkol diukur dari bagian tengah tongkol diambil dari 10 tongkol secara acak; (14) Jumlah baris biji per tongkol, dihitung jumlah baris di setiap tongkol diambil dari 10 tongkol secara acak; (15) Jumlah biji per baris diambil dari 10 tongkol secara acak dan di setiap tongkol acak hanya diukur satu baris secara acak; (16) Bobot 100 biji diambil secara acak dari 10 tongkol yang telah dipipil; (17) Hasil biji per petak dan hasil
biji/ha, dikonversi pada kadar air 14% untuk masing-masing perlakuan; (18) Mutu benih yang dihasilkan (vigor dan daya berkecambah benih), dengan mengecambahkan benih sejumlah 50 butir benih per ulangan pada media pasir, kemudian daya berkecambah dan vigor benih yang dihasilkan dievaluasi.
Hasil dan Pembahasan Dalam kegiatan penelitian ini, daya tumbuh benih selalu lebih tinggi dibanding vigor benihnya yang diukur dengan tolok ukur keserempakan tumbuh benih (Tabel 1). Persentase tanaman tumbuh dan vigor benih di Soppeng rendah, karena terserang bulai pada awal pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman yang terserang harus dicabut kemudian diikuti dengan penyemprotan Saromil pada tanaman yang belum terserang untuk pencegahan serangan bulai selanjutnya. Selain itu, tanaman juga mengalami kekeringan, karena sulit memperoleh sumber air. Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol pada penelitian di Kabupaten Gowa dan Kabupaten Soppeng, umumnya memperlihatkan pertumbuhan tanaman induk jantan yang lebih tinggi dibanding tinggi tanaman induk betina. Hal ini membantu terjadinya penyerbukan yang lebih optimal karena jumlah tepung sari yang dihasilkan lebih mudah menyerbuki bunga betina (silk) dari tanaman induk betina (G193). Letak tongkol rata-rata berada pada posisi setengah dari tinggi tanamannya, sehingga tanaman tidak mudah rebah dan cukup mudah menerima tepung sari (Tabel 2). Perbedaan komposisi tanaman tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan tinggi tongkol
76
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 1. Jumlah persentase daya tumbuh dan keserempakan tumbuh tanaman pada masingmasing perlakuan komposisi tanaman induk jantan dan betina dalam penelitian penentuan komposisi tanaman induk jantan dan betina terhadap produktivitas dan vigor benih F1 jagung hibrida Bima 5, di KP. Bajeng Kabupaten Gowa dan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2009 Komposisi Jantan : betina
Bajeng, Gowa Persentase daya tumbuh(%)
Liliriaja, Soppeng
Keserempakan tumbuh/vigor(%)
Persentase daya tumbuh(%)
Keserempakan tumbuh/vigor(%)
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
A(1:2)
90
90
53
50
90
90
52
45
B(1:4)
72
68
45
40
50
67
45
40
C(1:6)
88
93
63
48
88
90
62
50
D(2:4)
60
68
48
35
60
67
47
35
E(2:6)
95
93
65
55
90
87
60
60
F(2:8)
95
93
50
48
90
87
50
48
pada induk betina baik dari percobaan yang dilaksanakan di Bajeng kabupaten Gowa ataupun di Liliriaja kabupaten Soppeng. Namun demikian, komposisi tanaman berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan tinggi tongkol pada tanaman induk jantan di Bajeng kabupaten Gowa. Tanaman induk jantan tertinggi di Bajeng diperoleh pada komposisi tanamam 1:2 yaitu mencapai 119,56 cm dan berbeda nyata dibanding pada komposisi tanaman 1:6 yaitu hanya 110,75 cm. Tinggi tongkol tertinggi juga diperoleh pada komposisi 1:2 yaitu 60,03 cm dan terendah pada komposisi tanaman 1:6 yaitu hanya 51,53 cm (Tabel 2). Tinggi tanaman dan tinggi tongkol yang dilaksanakan di Liliriaja kab.Soppeng tidak berbeda untuk tanaman betina, tetapi berbeda pada tinggi tongkol tanaman induk jantan, dan tertinggi diperoleh pada komposisi 1:6 dan terendah pada komposisi 2:6 hanya mencapai 38,03 cm (Tabel 2).
Rendemen biji tertinggi diperoleh pada komposisi tanaman 1:2 baik di Bajeng ataupun di Soppeng, yaitu 50,52% di Bajeng kab Gowa dan 53,83% di Liliriaja Kabupaten Soppeng. Di lain pihak rendemen biji terendah diperoleh pada komposisi 2:8 baik di Bajeng ataupun di Liliriaja yaitu sebesar 38,78% di Bajeng dan 31,01% di Liliriaja (Tabel 3). Selanjutnya bobot 100 butir, panjang tongkol dan diameter tongkol tidak dipengaruhi oleh perbedaan komposisi tanaman baik di Bajeng ataupun di Liliriaja (Tabel 3). Kian tinggi komposisi tanaman induk betina dibanding dengan induk jantan, persentase tongkol ompong (barren) semakin tinggi. Hasil percobaan dilaksanakan di Kabupaten Gowa menunjukkan bahwa persentase tertinggi tongkol ompong diperoleh pada komposisi jantan-betina 2:8 yaitu sejumlah 77%, menyusul komposisi 2:6 sebesar 71,8% dan pada komposisi 1:6 sejumlah 62,6% . 77
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 1. Jumlah persentase daya tumbuh dan keserempakan tumbuh tanaman pada masingmasing perlakuan komposisi tanaman induk jantan dan betina dalam penentuan komposisi tanaman induk jantan dan betina terhadap produktivitas dan vigor benih F1 jagung hibrida Bima-5. KP. Bajeng Kab. Gowa dan Liliriaja, Kab. Soppeng, 2009 Komposisi Jantan : Betina A(1:2) B(1:4) C(1:6) D(2:4) E(2:6) F(2:8)
Bajeng, Gowa Tinggi tanaman (cm) Jantan 119,56 a 115,78 ab 110,75 b 117,28 ab 114,22 ab 114,58 ab
Tinggi Tongkol (cm)
Betina
Jantan
101,14 tn 106,03 94,69 97,97 99,61 99,17
Komposisi Jantan : Betina
60,03 a 55,56 ab 51,53 b 57,92 a 56,39 a 56,81 a
Betina 49,17tn 49,56 39,86 41,95 42,92 42,92
Liliriaja, Soppeng
A(1:2) B(1:4)
130,73 tn 127,55
108,93 tn 106,78
41,78 ab 41,63 ab
28,33tn 28,18
C(1:6) D(2:4) E(2:6) F(2:8)
132,38 132,05 131,03 133,18
112,03 109,05 111,53 110,95
43,88 ab 42,15 ab 38,03 b 45,13 a
31,98 30,25 32,45 32,58
Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman dan letak tongkol dalam penelitian penentuan komposisi tanaman induk jantan dan betina terhadap produktivitas dan vigor benih F1 jagung hibrida Bima-5. KP. Bajeng Kab. Gowa dan Liliriaja, Kab. Soppeng, 2009 Komposisi jantan : betina A(1:2) B(1:4) C(1:6) D(2:4) E(2:6) F(2:8)
Bajeng, Gowa Bobot 100 butir (g) 26.70tn 26.78 26.65 26.48 25.40 25.43
Komposisi jantan : betina A(1:2) B(1:4) C(1:6) D(2:4) E(2:6) F(2:8)
Rendemen biji (%) 50,52a 49,14ab 41,70bcd 47,83abc 40,21cd 38,78d
Panjang tongkol (cm) 15,59b 16,57ab 16,95a 16,24ab 16,64ab 16,61ab
Diameter tongkol (cm) 3,70tn 3,61 3,51 3,64 3,45 3,45
Liliriaja, Soppeng 28,03a 26,39ab 25,80b 25,73b 25,50b
53,83a 40,85bc 32,18c 45,12ab 35,60bc
13,27tn 14,16 10,41 13,16 12,21
3,98tn 3,75 3,45 3,74 3,78
24,74b
31,01c
10,87
3,47
78
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Di lain pihak jumlah persentase tongkol isi tertinggi diperoleh pada komposisi 1:2 yaitu sebesar 55,1%, menyusul komposisi 1:4 yaitu sejumlah 40,3% dan pada komposisi 2:4 hanya sejumlah 38,6%. Dari segi jumlah tongkol total, komposisi 1:4 memberikan jumlah tongkol tertinggi yaitu 167 tongkol per petak (12 x 4 m), menyusul komposisi 1:6 yaitu sejumlah 141,75 tongkol dan selanjutnya pada komposisi 2:6 dengan jumlah tongkol yang hanya mencapai 117,25 tongkol per petak. Tendensi yang serupa juga diperoleh pada percobaan yang dilaksanakan di kabupaten Soppeng, menunjukkan bahwa semakin lebar jarak antar tanaman induk jantan dengan induk jantan berikutnya, maka persentase tong-
kol ompong pada tanaman induk betina kian meningkat dan mencapai 83% pada komposisi 2:8, menyusul komposisi 2:6 yaitu 72,6%, kemudian komposisi 1:4 dan 1:6 masing-masing 71,2-72,3%. Namun demikian, jumlah total tongkol isi per petak terbanyak diperoleh pada komposisi 1:6 yaitu 250 buah per petak, menyusul komposisi 1:4 dan 2:8, karena pada komposisi tesebut volume lahan yang ditempati induk betina lebih luas (Tabel 4). Peluang peningkatan hasil biji cukup tinggi pada perlakuan komposisi 1:4, dan 1:6 namun karena jarak waktu tanam induk jantan terlalu lama dibanding dengan induk betina (selang 5 hari lebih dahulu induk jantan) yang seharusnya ditanam bersamaan, maka
Tabel 4. Rata-rata persentase tongkol isi dan tongkol ompong (barren) per petak ukuran 12 x 4 m pada penelitian penentuan komposisi tanaman induk jantan dan betina terhadap produktivitas dan vigor benih F1 jagung hibrida Bima 5,di KP Bajeng Kabupaten Gowa dan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2009 Komposisi Jantan : betina A(1:2) B(1:4) C(1:6) D(2:4) E(2:6) F(2:8) Komposisi Jantan : betina A(1:2) B(1:4) C(1:6) D(2:4) E(2:6) F(2:8)
Bajeng, Gowa Jumlah tongkol/petak (12 x 4 m)
Tongkol isi/petak (%)
Tongkol ompong/petak (%)
114,25b 167,00a 141,75ab 116,00b 117,25b 114,75b
55,1 40,3 37,4 38,6 28,2 22,2
44,9 59,7 62,6 61,4 71,8 77,8
Liliriaja, Soppeng Jumlah tongkol/petak (12 x 4 m)
Tongkol isi/petak (%)
Tongkol ompong/petak (%)
115,50d 209,50b 250,00a 156,25c 163,25c 193,25bc
45,2 27,5 28,8 33,6 27,7 17,0
54,8 72,3 71,2 66,4 72,6 83,0
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada 0,05 uji Duncan tn : tidak nyata
79
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
tepung sari sudah banyak terbuang sebelum rambut tanaman betina siap untuk menerima tepung sari. Karena itu banyak tongkol yang ompong (Tabel 4) sehingga hasil biji yang diperoleh juga rendah (Tabel 6). Jumlah biji per baris untuk tongkol yang berisi pada hasil yang diperoleh di Gowa tidak berbeda nyata, sedangkan pada kabupaten Soppeng berbeda nyata (Tabel 5). Jika dikaitkan dengan hasil biji yang diperoleh baik di kabupaten Gowa ataupun kabupaten Soppeng sesuai Tabel 6, hasil biji tertinggi diperoleh pada komposisi 1:2 karena pada komposisi pertanaman tersebut rendemen biji cukup tinggi hingga mencapai 50,52% di Bajeng dan 53,83% di kabu-
paten Soppeng (Tabel 3). Komponen hasil yaitu bobot 100 butir tertinggi pada percobaan di Soppeng mencapai 28,03g, dan 26,78 g di Gowa (Tabel 3). Ditinjau dari segi efisiensi penggunan lahan, bobot tongkol kupas ratarata tertinggi di Bajeng diperoleh pada komposisi 1:2 yaitu 96,25 g/tongkol dan di Liliriaja Soppeng hanya 68,75g/tongkol (Tabel 5). Hasil biji yang dicapai pada komposisi 1:2 di Bajeng Gowa dapat mencapai 1,18 t/ha dan di Liliriaja hanya 0,35t/ha pada komposisi yang sama (Tabel 6). Hasil biji tertinggi di Bajeng kab. Gowa diperoleh pada komposisi tanaman 1:6 yaitu 1,35 t/ha pada kadar air 14%,
Tabel 5. Rata-rata jumlah baris/tongkol, jumlah biji/baris, dan bobot per tongkol kupas dalam penelitian penentuan komposisi tanaman induk jantan dan betina terhadap produktivitas dan vigor benih F1 jagung hibrida Bima 5 di KP Bajeng Kabupaten Gowa dan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2009 Komposisi Jantan : betina
Bajeng, Gowa Jumlah baris/tongkol
Jumlah biji/ baris Untuk tongkol bernas
Bobot tongkol kupas(g/ tongkol)
A(1:2)
12,65 tn
20,56tn
B(1:4)
12,80
18,36
84,38ab
C(1:6)
12,98
18,67
85,71ab
D(2:4)
12,78
18,01
87,75ab
E(2:6)
12,18
20,68
80,25ab
F(2:8)
13,01
17,92
Komposisi Jantan : betina
78,06b
Liliriaja, Soppeng
A(1:2)
12,88ab
B(1:4)
12,63ab
C(1:6)
96,25a
18,38a 16,38ab
13,59a
11,19c
68,75a 66,25ab 50,42ab
D(2:4)
12,50ab
16,75ab
61,25ab
E(2:6)
12,70ab
13,13bc
53,17ab
F(2:8)
11,53b
13,38bc
40,73b
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada 0,05 uji Duncan, tn : tidak nyata
80
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
menyusul pada komposisi 1:4 dengan hasil biji 1,32 t/ha pada kadar air 14%, dan selanjutnya pada komposisi 2:4 dengan hasil 1,2 t/ha juga pada kadar air yang sama (Tabel 6). Jika tanaman induk jantan ditanam bersamaan dengan induk betina dimungkinkan produktivitas (hasil benih F1) akan lebih tinggi karena akan ditunjang oleh meningkatnya peluang sinkronisasi pembungaan antara tanaman induk jantan dengan tanaman induk betina, yang akan berpengaruh positif terhadap polinasi pada tanaman induk betina.
Rendahnya hasil biji di Kabupaten Sop -peng karena pada awal pertumbuhan, tanaman kekurangan air sampai tanah tampak retak-retak (Gambar 1). Pada periode pertumbuhan vegetatif akhir (menjelang berbunga) juga terjadi banjir beberapa hari sehingga tanaman stress. Sumber air yang pada awal penelitian diperkirakan cukup untuk mengairi tanaman ternyata tidak cukup, sehingga tepung sari tidak dapat bertahan lama (hanya sekitar 3 hari), di lain pihak dengan interval penanaman 5 hari tanaman jantan lebih dahulu terbentuk berakibat pada kurang sin-
Tabel 6. Rata-rata kadar air, bobot tongkol kupas dan hasil biji (ton/ha) dalam penelitian pentuan komposisi tanaman induk jantan dan betina terhadap produktivitas dan vigor benih F1 jagung hibrida Bima 5, KP Bajeng Kab. Gowa dan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2009 Bajeng, Gowa Bobot tongkol kupas (kg/12 x 4m))
Komposisi Jantan : betina
Kadar air pipil (%)
A(1:2)
15,00
7,75ab
1,18ab
B(1:4)
14,35
9,63a
1,32 a
C(1:6)
15,45
9,68a
1,35 a
D(2:4)
16,70
7,50ab
1,20 ab
E(2:6)
16,90
7,18b
1,17 ab
F(2:8)
17,00
5,88b
1,02 b
Komposisi Jantan : betina
Hasil biji K.a. 14%(t/ha)
Liliriaja, Soppeng
A(1:2)
17,14
2,15 a
0,35 a
B(1:4)
16,45
0,86 b
0,27 bc
C(1:6)
16,54
0,99 b
0,23 bc
D(2:4)
16,76
1,14 b
0,30 ab
E(2:6)
15,93
0,67 b
0,24 bc
F(2:8)
17,06
0,40 b
0,20 c
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada 0,05 uji Duncan tn : tidak nyata
81
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Kualitas benih (daya berkecambah) dari benih yang dihasilkan pada percobaan di Bajeng kab.Gowa tidak menunjukkan perbedaan ditinjau dari segi pengaruh komposisi tanaman, demikian pula indikator vigor benihnya yang ditunjukkan oleh parameter kecepatan tumbuh benih, berat kering kecambah yang dihasilkan serta panjang akarnya tidak berbeda nyata. Rata-rata daya berkecambah dari benih yang dihasilkan antara 94,0 sampai 97,0 persen sehingga benih yang dihasilkan dari seluruh perlakuan dapat memenuhi kriteria benih yang layak untuk ditanam (Tabel 7). Westgate dan Boyer (1986) dalam Fonseca et al. (2004) dan Andrade et al.,dalam Fonseca et al. (2004) dalam produksi benih jagung hibrida silang tunggal juga mengatakan bahwa adanya stres air, dan kurangnya radiasi matahari dapat menurunkan hasil biji. Demikian pula defisiensi hara dapat memperlambat pertumbuhan tongkol, sehingga berpengaruh terhadap anthesis silking interval (ASI) sehingga perbedaan ASI bertambah besar). Bertambah besarnya perbedaan “anthesis silking interval” (ASI) dapat berpengaruh terhadap pembentukan biji. Kurangnya tepung sari, dan menurunnya viabilitas tepung sari merupakan penyebab utama penurunan hasil biji pada produksi benih F1 hibrida (Bolanos dan Edmeades, dalam Fonseca et al., 2004). Pengelolaan lingkungan pertumbuhan tanaman yang baik pada saat produksi benih juga dapat berpengaruh positif terhadap produksi tepung sari dan viabilitas tepung sari sehingga dapat memberi peluang waktu penyerbukan yang tepat (sinkronisasi pembungaan antara malai pada tanaman jantan dan rambut tongkol pada tanaman induk betina. Sinkronisasi pembentukan malai pada tanaman jantan dan
Gambar 1. Tanaman kekeringan selama 7 hari di Kabupaten Soppeng pada awal bulan Agustus 2009
kronnya proses penyerbukan (malai pada tanaman jantan Mr 14 lebih cepat keluar dibanding rambut tongkol pada tanaman induk betina sehingga banyak tepung sari yang terbuang. Karena itu banyak tongkol yang ompong (tidak memperoleh tepung sari), sehingga produksi biji yang dihasilkan di Soppeng lebih rendah dibanding dengan yang dihasilkan di Bajeng, kab. Gowa, karena sumber air untuk mengairi tanaman di Bajeng lebih tersedia, dibanding pertanaman di kabupaten Soppeng. Hasil penelitian produksi benih yang dilaksanakan oleh Fadly dalam Saenong et al. (2009) pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh pada komposisi 1:4 dengan selisih waktu tanam induk jantan dengan betina (2 hari) dapat mencapai 1,36t/ ha, sementara selisih waktu tanam 3 hari pada komposisi induk jantan dan betina yang sama (1:4), hasil yang diperoleh 0,65t/ha. Hasil tersebut masih dapat ditingkatkan lagi dengan pemberian PPC (Gandasil B dan Hyponex biru) sehingga hasil yang diperoleh dapat mencapai 1,58t/ha, di lain pihak tanpa penggunaan PPC hasil yang diperoleh hanya berkisar 0,75-0,88 t/ha (Fahdiana dalam Saenong et al., 2009). 82
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
Tabel 7. Rata-rata daya berkecambah, kecepatan tumbuh, berat kering tanaman dan panjang akar penelitian penentuan komposisi tanaman induk jantan dan betina terhadap produktivitas dan vigor benih F1 jagung hibrida Bima 5, KP. Bajeng Kabupaten Gowa dan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2009 Bajeng, Gowa Kering keKecepatan Tum- Berat cambah (g/ buh (%/etmal) kecambah)
Komposisi jantan : betina
Daya Berkecambah (%)
A(1:2)
95.00tn
23.98tn
0.23tn
16.76tn
B(1:4)
95.50
24.14
0.21
15.64
C(1:6)
97.00
24.83
0.22
17.08
D(2:4)
95.50
23.34
0.21
15.00
E(2:6)
97.50
24.95
0.21
17.46
F(2:8) Komposisi jantan : betina
94.00
24.33
0.21
15.90
A(1:2)
99,25a
29,69a
0,219tn
18,82tn
B(1:4)
97,00b
28,57abc
0,207
18,59
C(1:6)
96,25bc
27,64bc
0,212
19,27
D(2:4)
94,50c
27,72bc
0,212
19,16
E(2:6)
96,75b
28,75ab
0,219
16,49
95,50bc
26,67c
0,211
F(2:8)
Panjang Akar (cm)
Liliriaja, Soppeng
18,04
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada 0.05 uji Duncan; tn : tidak nyata rambut pada tongkol tanaman betina sangat menjamin terjadinya proses fertilisasi yang optimal, namun perlu diikuti dengan pemupukan yang tepat untuk meningkatkan hasil biji (Jones dan Kiniry,dalam Fonseca et al., 2004; Schoper, et al., 1986, 1987a dalam Anderson et al., 2004; Mitchell and Petolino, 1988 dalam Anderson et al., 2004).
pada komposisi pengaturan tanaman induk jantan:betina (1:4 sampai 1:6), karena hasil benih dapat mencapai 1,32-1,35 t/ha, sementara komposisi 1:2 yang umum digunakan hasilnya hanya 1,18t/ha. 2. Selisih waktu tanam induk jantan dan betina sangat penting pengaruhnya pada sinkronisasi pembungaan antara bunga jantan dari tanaman induk jantan dan bunga betina dari tanaman induk betina. Untuk mencapai hasil benih yang optimal dalam produksi benih Bima 5, disarankan
Kesimpulan dan Saran 1. Hasil benih pertinggi dalam produksi benih hibrida F1 varietas Bima 5 diperoleh 83
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
agar tanaman induk jantan (Mr14) ditanam bersamaan dengan tanaman induk betina (G193). 3. Sebelum melaksanakan produksi benih hibrida setiap varietas, perlu dilakukan pengujian pendahuluan tentang umur 50% berbunga (baik bunga jantan ataupun bunga betina), pada setiap tanaman induk yang akan digunakan sebagai tetuanya di setiap agro-ekologi pengembangan produksi benih. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin ketepatan sinkronisasi pembungaan antara bunga betina dari tanaman induk betina dan bunga jantan dari tanaman induk jantan lebih optimal.
brida. Laporan Ristek, Tahun 2009. Balitsereal, Puslitbangtan Bogor, belum diterbitkan. Fahdiana dalam Saenong, A.F Fadly, Fahdiana, Fauziah dan M.Sudjak Saenong. 2009. Teknologi Produksi Benih Jagung Hibrida. Laporan Ristek, Tahun 2009. Balitsereal, Puslitbangtan Bogor, belum diterbitkan. Mitchell and Petolino, 1988 cit Steven R. Anderson, Michael J. Lauer, John B. Schoper dan Richard M. Shibles. 2004. Pollination Timing Effect on Kernel Set and Silk Receptivity in Four Maize Hybrids. Crop Physiology & Metabolism. Crop Science. Published in Crop Sci. 44 : 464-473. 677 S. Segoe Rd. Madison, WI 53711 USA. Saenong, S. A.F Fadly, Fahdiana, Fausia dan M.Sujak Saenong. 2009. Teknologi Produksi Benih Jagung Hibrida. Laporan Ristek, Tahun 2009. Balitsereal, Puslitbangtan Bogor, belum diterbitkan.
Daftar Pustaka Bassetti dan Westgate, 1993b, 1993c cit Steven R. Anderson, Michael J. Lauer, John B. Schoper and Richard M. Shibles. 2004. Pollination Timing Effect on Kernel Set and Silk Receptivity in Four Maize Hybrids. Crop Physiology & Metabolism. Crop Science. Published in Crop Sci. 44: 464-473. 677 S. Segoe Rd. Madison, WI 53711 USA.
Schoper, J.B., R.J. Lambert, and B.L. Vasilas , 1986, 1987a cit Steven R. Anderson, Michael J. Lauer, John B. Schoper and Richard M. Shibles. 2004. Pollination Timing Effect on Kernel Set and Silk Receptivity in Four Maize Hybrids. Crop Physiology & Metabolism. Crop Science. Published in Crop Sci. 44: 464473. 677 S. Segoe Rd. Madison, WI 53711 USA.
Bisnis Indonesia, 2008. BISI incar 65% pasar benih jagung. www.deptan.go.id, diakses 7 Agustus 2008.
Peterson, 1949; cit Steven R. Anderson, Michael J. Lauer, John B. Schoper and Richard M. Shibles. 2004. Pollination Timing Effect on Kernel Set and Silk Receptivity in Four Maize Hybrids. Crop Physiology & Metabolism. Crop Science. Published in Crop Sci. 44: 464473. 677 S. Segoe Rd. Madison, WI 53711 USA.
Direktorat Perbenihan (2008). Diakses di internet : www.deptan.go.id. tanggal 7 Agustus 2008. Fonseca, Agustina E. Jon I. Lizaso, Mark E. Westgate, Lahcen Grass dan David L. Dornbos. 2004. Simulating Potential Kernel Production in Maize Hybrid Seed Fields. Crops Science. 44 : 16961709.
Westgate and Boyer,1986; cit Steven R. Anderson, Michael J. Lauer, John B. Schoper dan Richard M. Shibles. 2004. Pollination Timing Effect on Kernel Set
Fadly dalam Saenong, A.F Fadly, Fahdiana, Fauziah dan M.Sudjak Saenong. 2009. Teknologi Produksi Benih Jagung Hi-
84
Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN : 978-979-8940-29-3
and Silk Receptivity in Four Maize Hybrids. Crop Physiology & Metabolism. Crop Science. Published in Crop Sci. 44: 464-473. 677 S. Segoe Rd. Madison, WI 53711 USA.
Food and Agriculture Organization of the Nations, Rome, p.309-322. Vasal, S.K and N.N. Singh. 1999. A critique of inbred line development methods. Makalah Pelatihan Pemuliaan Jagung dan Produksi Benih jagung hibrida. 6 p. Maros 24 – 28 Desember 1999.
Paliwal, R.L. 2000. Seed production. cit R.L. Paliwal, G. Granados, H.R. Lafitte and A.D. Violic. Tropical maize, improvement and production. FAO Plant Production and Protection Series no.28,
85