LAPORAN
PENELITIAN HARAPAN PUBLIK TERHADAP SIARAN PEMILU 2014
Penanggung Jawab Sutrisno Santoso, S.Sos.
Supervisi Syaefuddin | Iriani Widyawati
Ketua Agus Sukoyo
Sekretaris Diran
Sekretariat Sri Sutiana | Nuraini Sutrisman
Keuangan Tedi Qomarudin | Iri Nuryati
Peneliti Utama Puji Rianto | Wisnu Martha Adiputra | Anna Susilaningtyas
Peneliti Ahmad Yusuf | Dani Pirsada |Intania Poerwaningtias | Maulin Niam
Asisten Peneliti Ai Salamah | Beni Rustam | Iwan Martono | Rozualdi | Sumarso Ariza Dingga | Toto Susanto | Wiwiek Wahyuni
PUSLITBANGDIKLAT LPP RRI 2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI | i DAFTAR GRAFIK | iv DAFTAR TABEL | vi BAB I
PENDAHULUAN | 1 A.
Latar Belakang | 1
B.
Pertanyaan Penelitian | 2
C.
Tujuan Penelitian | 2
D.
Manfaat Penelitian | 2
E.
Kerangka Konsep | 3
F.
Metode Penelitian | 3 1.
Lokasi Penelitian | 3
2.
Metode yang Digunakan | 3
3.
Kriteria Sampel dan Teknik Sampling | 4
4.
Teknik Analisis Data | 4
BAB II PROFIL RESPONDEN | 5 A.
Sebaran Responden di 9 (Sembilan) Kota | 5
B.
Profil Responden | 6 1.
Jenis Kelamin | 6
2.
Usia | 7
3.
Pekerjaan Utama | 8
4.
Pendidikan Terakhir | 9
5.
Agama | 10
6.
Suku | 11
7.
Pengeluaran Rumah Tangga per Bulan | 11
8.
Partisipasi dalam Pemilu 2009 | 12
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN | 15 A.
Persepsi Responden Terhadap Pemilu | 16
i
1.
Persepsi Responden tentang Pemilu | 16
2.
Tanggapan Responden bahwa Pemilu sebagai Alat Demokrasi yang Tepat untuk Memilih Pemimpin/Wakil Rakyat yang Berkualitas | 18
3.
Anggapan Responden bahwa Pemilu 2014 merupakan Saat yang Penting untuk Menentukan Nasib Bangsa | 19
4.
Pengetahuan Responden tentang Peraturan Pemilu | 20
5.
Pengetahuan Responden tentang Politik Uang dalam Pemilu | 23
6.
Praktik Politik Uang dalam Pemilu yang Diketahui Responden | 24
7.
Pendapat Responden bahwa Politik Uang adalah Hal yang Umum dalam Pemilu | 26
8.
Sikap Responden jika Ada Kandidat yang Melakukan Politik Uang | 27
9.
Sikap Responden jika Mengetahui Kandidat yang Melakukan Politik Uang | 28
10. Keterlibatan Responden dalam Pemilu Legislatif 2014 | 30 11. Keterlibatan Responden dalam Pemilu Capres-Cawapres 2014 | 33 B.
C.
Persepsi Responden terhadap Caleg | 36 1.
Latar Belakang Caleg Ideal | 36
2.
Kemampuan Caleg | 38
3.
Asal Caleg | 39
4.
Pendapat Responden Terhadap Legislator yang Menjadi Menteri | 41
Persepsi Responden terhadap Capres-Cawapres | 41 1.
Kriteria Capres-Cawapres Paling Sah/Legitimate | 41
2.
Visi, Misi, dan Program Kerja yang Seharusnya Dimiliki Capres-Cawapres | 42
3.
Kompetensi Capres-Cawapres | 44
4.
Kualitas/Karakter Capres-Cawapres | 45
5.
Komitmen yang Seharusnya Dimiliki Calon Presiden-Wakil Presiden | 47
6.
Pendapat Responden Mengenai Rangkap Jabatan dalam Partai Politik dan Presiden/Wakil Presiden | 47
ii
7. D.
Latar Belakang Capres dan Cawapres yang Ideal | 48
Harapan Responden Atas Siaran Pemilu | 50 1.
Sosialisasi Pemilu 2014 yang Dilakukan oleh KPU/Pemerintah | 50
2.
Cara Mengenal Caleg-Caleg di Daerah Pemilihan Responden | 51
3.
Cara Mencari Tahu tentang Caleg yang Akan Dipilih | 52
4.
Media yang Digunakan untuk Mengenal Capres-Cawapres | 57
5.
Informasi Penting Terkait Siaran Pemilu 2014 Berkaitan dengan Caleg | 60
6.
Informasi Penting terkait Calon Presiden dan Wakil Presiden | 61
7.
Jenis Informasi Berkaitan dengan Pemilu | 61
8.
Informasi Berkaitan dengan Aktivitas Warga atau Calon Pemilih | 63
9.
Informasi yang Paling Diinginkan Berkaitan dengan Partai Politik | 64
10. Bentuk Informasi yang Sebaiknya Disajikan Mengenai Pemilu | 65 11. Cara Seharusnya Siaran Quick Count Dijalankan oleh RRI | 68 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI | 70 A.
B.
Kesimpulan | 70 1.
Persepsi Publik Mengenai Pemilu | 70
2.
Kriteria Caleg dan Capres-Cawapres | 71
Rekomendasi | 72 1.
Peran secara Umum yang Bisa Dilakukan LPP RRI | 72
2.
Jenis Informasi dan Format Penyajian Mengenai Pemilu | 73
DAFTAR PUSTAKA | 75
iii
DAFTAR GRAFIK Grafik 2.1
Jenis Kelamin | 7
Grafik 2.2
Rata-Rata Usia Responden | 8
Grafik 2.3
Pekerjaan Responden | 9
Grafik 2.4
Tingkat Pendidikan Responden | 10
Grafik 2.5
Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Responden | 12
Grafik 2.6
Keterlibatan Responden dalam Pemilu 2009 | 14
Grafik 3.1
Persepsi Responden tentang Pemilu | 17
Grafik 3.2
Anggapan Responden bahwa Pemilu adalah Alat Demokrasi yang Tepat untuk Memilih Pemimpin/Wakil Rakyat yang Berkualitas | 19
Grafik 3.3
Anggapan Responden bahwa Pemilu 2014 Saat yang Penting untuk Menentukan Nasib Bangsa | 20
Grafik 3.4
Pengetahuan Responden tentang Politik Uang dalam Pemilu | 24
Grafik 3.5
Praktik Politik Uang yang Diketahui Responden | 26
Grafik 3.6
Pendapat Responden bahwa Politik Uang adalah Hal yang Umum dalam Pemilu | 27
Grafik 3.7
Sikap Responden jika Ada Kandidat yang Melakukan Politik Uang | 28
Grafik 3.8
Sikap Responden jika Mengetahui Kandidat yang Melakukan Politik Uang | 30
Grafik 3.9
Keterlibatan Responden dalam Pemilu Legislatif 2014 | 31
Grafik 3.11
Keterlibatan Responden dalam Pilpres 2014 | 34
Grafik 3.12
Harapan Ideal Responden terhadap Caleg | 39
Grafik 3.13
Asal Caleg | 40
Grafik 3.14
Pendapat Responden Terhadap Legislator yang Menjadi Menteri | 41
iv
Grafik 3.15
Kriteria Capres-Cawapres Paling Sah/LegitimateMenurut Responden | 42
Grafik 3.16
Visi, Misi, dan Program Kerja Capres-Cawapres yang Seharusnya Dimiliki | 44
Grafik 3.17
Pendapat tentang rangkap jabatan bagi presiden/wakil presiden | 48
Grafik 3.18
Latar Belakang Capres/Cawapres yang Ideal | 49
Grafik 3.19
Penilaian tentang sosialisasi mengenai Pemilu 2014 | 50
Grafik 3.20
Cara Mengenali Capres-Cawapres | 57
Grafik 3.21
Cara Seharusnya Siaran Quick Count Dijalankan oleh RRI | 69
v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Sebaran Responden di 9 Kota | 6
Tabel 2.2
Sebaran Agama Responden | 11
Tabel 3.1
Pengetahuan Responden tentang Peraturan Pemilu | 23
Tabel 3.2
Crosstabulation Keterlibatan Pemilu Legislatif Terkait Usia | 32
Tabel 3.3
Crosstabulation Keterlibatan Pemilu Legislatif Terkait Status Ekonomi | 33
Tabel 3.4
Kira-Kira Keterlibatan Responden dalam Pemilu Capres-Cawapres 2014 | 35
Tabel 3.5
Kira-Kira Keterlibatan Responden dalam Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2014 | 36
Tabel 3.6
Latar Belakang Caleg PALING Ideal Menurut Responden | 38
Tabel 3.7
Kompetensi yang Seharusnya Dimiliki Capres-Cawapres | 45
Tabel 3.8
Kualitas/Karakter Capres-Cawapres yang Seharusnya Dimiliki CapresCawapres | 46
Tabel 3.9
Cara Responden Mengenali Caleg di Daerah Pemilihan | 52
Tabel 3.10
Media untuk Mencari Tahu tentang Caleg yang Akan Dipilih | 53
Tabel 3.11
Crosstabulation Penggunaan Radio di Masing-Masing Daerah untuk Mencari Tahu Caleg | 55
Tabel 3.12
Medium yang Digunakan untuk Mengenal Caleg | 56
Tabel 3.13
Medium yang Digunakan Responden untuk Mengenal Capres-Cawapres di Masing-Masing Daerah | 59
Tabel 3.14
Informasi Penting tentang Calon Legislatif dalam Siaran Pemilu 2014 | 60
Tabel 3.15
Informasi Penting tentang Capres-Cawapres dalam Siaran Pemilu 2014 | 61
Tabel 3.16
Jenis Informasi Berkaitan dengan Pemilu | 63
vi
Tabel 3.17
Jenis Informasi Berkaitan dengan Aktivitas Warga/Calon Pemilih | 64
Tabel 3.18
Jenis Informasi Berkaitan dengan Partai Politik | 65
Tabel 3.19
Penyajian Informasi tentang Pemilu | 66
Tabel 3.20a
Crosstabulation Usia dengan Penyajian Informasi Pemilu | 67
Tabel 3.20b
Crosstabulation Usia dengan Penyajian Informasi Pemilu | 68
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebentar lagi, Indonesia akan memasuki tahun politik 2014. Dikatakan tahun politik karena pada tahun tersebut akan dilakukan ‘pesta’ demokrasi dalam bentuk pemilihan umum, baik legislatif maupun eksekutif (calon presiden dan calon wakil presiden). Pada tahun politik itu, akan terjadi banyak ‘gesekan’ politik, dan rakyat akan menjadi ‘objek’ yang luas dari segala macam kampanye partai politik dan kandidat baik legislatif maupun yudikatif. Pemilihan umum sejatinya bukan hanya persoalan pesta demokrasi yang artifisial sifatnya. Namun, lebih dari itu, pemilihan umum merupakan ekspresi dari kehendak rakyat untuk menentukan siapa pemimpin yang paling layak memimpin Indonesia. Dalam arti, pemimpin yang cerdas, jujur, bijak dan pemimpin yang mampu menyelesaikan semua persoalan sosial, ekonomi, dan juga politik. Dalam situasi semacam ini, rakyat biasanya menjadi objek beragam kampanye yang dilakukan oleh partai politik dan kandidat. Setiap kampanye menawarkan beragam program dan ‘mimpi’ yang diharapkan bisa menarik pemilih. Sebagai suatu ekspresi kehendak rakyat, pemilu merupakan mekanisme yang strategis untuk melihat apa yang sebenarnya diinginkan oleh rakyat. Namun, yang sering kali terjadi justru sebaliknya. Pemilu hanya dilihat sebagai ritualitas demokrasi yang kehilangan makna substantifnya. Rakyat yang seharusnya menjadi pemegang sah kedaulatan hanya dijadikan sebagai alat legitimasi elit, tanpa diberi kesempatan untuk mengekspresikan apa sebenarnya yang menjadi kehendak masyarakat. Padahal, demokrasi hanya bisa berjalan jika rakyat diberi ruang yang lebih besar untuk menyampaikan apa yang mereka inginkan dalam politik dan pemerintahan.
1
Atas argumentasi di atas, penelitian ini hendak menempatkan rakyat sebagai subjek dalam pemilihan umum dengan berusaha mendengarkan apa yang mereka inginkan dari seorang calon legislatif dan presiden beserta wakilnya. Dengan begitu, rakyat tidak lagi dilihat sebagai objek kampanye dan alat legitimasi politik semata-mata, tapi sekaligus menjadi subjek yang mampu men-drive kehidupan politik melalui kandidat yang mereka pilih. B. Pertanyaan Penelitian Ada tiga pertanyaan kunci dalam penelitian ini yang hendak dijawab, yakni (1) bagaimana persepsi publik terhadap pemilu tahun 2014; (2) bagaimana kriteria anggota legislatif dan calon presiden-wakil presiden?; dan (3) bagaimana seharusnya liputan RRI dalam konteks pemilu 2014? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut. 1. Mengetahui persepsi masyarakat mengenai pemilu 2014 2. Mengetahui profil yang diinginkan publik baik untuk anggota legislatif, presiden dan wakil presiden 3. Mengetahui kebutuhan masyarakat mengenai liputan RRI untuk pemilu 2014 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa memberikan rekomendasi bagi Program Siaran khususnya siaran LPP RRI berkaitan dengan pemilu 2014. Secara spesifik, penelitian diharapkan bisa bermanfaat dalam konteks pengembangan program RRI baik Pro 1 maupun Pro 2 di daerah-daerah penelitian khususya, dan RRI di seluruh Indonesia pada umumnya
2
mengenai program siaran pemilu. Dengan begitu, diharapkan, RRI bisa benar-benar menjadi radio penyiaran publik yang memberikan kontribusi positip bagi demokratisasi di Indonesia. E. Kerangka Konsep Di era sekarang, peran media menjadi sangat penting dalam mempengaruhi persepsi khalayak karena hampir keseluruhan pengalaman manusia modern termediasikan melalui media, tidak terkecuali dalam politik demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Louw (2005: 59), “the evolution of liberalism into a democratic form coincided with the emergence of mass media technologies able to silmutaneously communicate with millions, even billions of people. These technologies created the possibilities for politicians to communicate with the masses, and hence fasilitated the building of mass democracies.” Di balik sisi positifnya, media juga menciptakan delegitimasi atas demokrasi dan para politisi melalui liputannya karena cara media menampilkan realitas sosial dan politik memengaruhi bagaimana cara khalayak pada akhirnya melihat realitas itu. F. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di sembilan kota, yakni Cirebon, Surabaya, Pangkal Pinang, Biak, Jayapura, Sorong, Mataram, Banjarmasin, dan Bandar Lampung. 2. Metode yang Digunakan Penelitian ini diselenggarakan dengan menggunakan metode survei, khususnya descriptive survey. Metode survei digunakan peneliti untuk memperoleh gambaran atau kecenderungan umum mengenai persepsi masyarakat mengenai pemilu 2014, caleg, caprescawapres, dan kebutuhan siaran RRI. Pengumpulan data akan dilakukan dengan penyebaran alat bantu kuesioner yang memuat item-item persepsi masyarakat mengenai pemilu, kriteria caleg, capres dan cawapres menurut masyarakat, dan kebutuhan informasi pemilu yang seyoginya disediakan 3
LPP RRI. Dalam penyebarannya, pengisian kuesioner dilakukan oleh enumerator dengan melakukan interview langsung sehingga kuesioner tidak ditinggal atau diisi sendiri oleh responden. 3. Kriteria Sampel dan Teknik Sampling Kriteria sampel dalam penelitian ini mengacu pada karakteristik umum pemilih, dan maksud kemudahan mendesain pengambilan sampel. Kriteria sampel yang dimaksud meliputi : (a) di atas 17 tahun dan tercatat mempunyai hak dalam pemilihan umum 2014, (2) bertempat tinggal di sembilan kota wilayah penelitian dan terdaftar dalam KK. Sample yang diambil dalam penelitian adalah 315 untuk setiap kota. Dengan jumlah tersebut, kecenderungan data yang nantinya akan diperoleh baik dalam setiap kota maupun secara keseluruhan akan mendekati keadaan sebenarnya karena sampling diambil pada asumsi sampling error -+ 5.7 % dimana derajat perbedaan antara sampel dan populasi dalam survei diperkirakan +/- 5.7 % pada tingkat kepercayaan 95% (Eriyanto, 1999: 131) untuk masing-masing kota. 4. Teknik Analisis Data Untuk dapat menjelaskan fenomena yang terjadi dan untuk dapat menjelaskan tujuan penelitian, beragam teknik analisis diterapkan dalam kesempatan ini. Teknik analisis yang digunakan antara lain sebagai berikut. a. Descriptive analysis. Distribusi frekuensi diterapkan untuk memetakkan persepsi masyarakat mengenai pemilu dan kebutuhan siaran. b. Cross-tabulation digunakan untuk mengetahui variasi jawaban yang muncul serta menyeleksi kecenderungan umum tentang persepsi tersebut kaitannya dengan beragam variabel seperti kelas sosial, pendidikan, usia dan sebagainya.
4
BAB II PROFIL RESPONDEN
A. Sebaran Responden di 9 (Sembilan) Kota Penelitian ini menggunakan metode survei. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan instrumen survei di 9 kota di Indonesia yang telah ditentukan sebelumnya. Rencana semula di masing-masing kota akan diambil 315 responden sebagai sampel sehingga total keseluruhan responden dalam penelitian ini sebanyak 2835. Namun, setelah proses pengambilan data dilakukan, ditemukan 5 kuesioner yang rusak (banyak item pertanyaan yang tidak terisi) sehingga kuesioner tersebut dieliminasi/dibuang. Dengan begitu, jumlah akhir kuesioner yang dianalisis dalam penelitian ini sebanyak 2830 buah. Penentuan responden pada masing-masing kota dilakukan secara acak dan bertahap pada tingkat kecamatan, kelurahan, dusun/lingkungan/RW, dan RT. Responden di tingkat RT diambil dengan secara sistematis. Selanjutnya, penentuan individu yang menjadi responden dilakukan secara acak dengan memerhitungkan heterogenitas dan jumlah responden yang dibutuhkan pada RT tersebut (lihat kembali bab I).
5
Tabel 2.1 Sebaran Responden di 9 Kota Kota Jayapura Biak Sorong Mataram Banjarmasin Tanjung Pinang Bandar Lampung Surabaya Cirebon Total
Frekuensi 315 315 315 315 315 315 315 315 310 2830
Persentase 11.13 11.13 11.13 11.13 11.13 11.13 11.13 11.13 10.95 100.00
Bab ini akan mendeskripsikan profil responden dalam penelitian ini. Secara spesifik profil responden ini meliputi jenis kelamin, usia, pekerjaan utama, tingkat pendidikan, agama, suku, pengeluaran rumah tangga per bulan, dan partisipasi responden pada Pemilu 2009 sebelumnya. B. Profil Responden 1. Jenis Kelamin Berdasarkan jenis kelamin responden, responden laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan responden perempuan. Dari 2830 responden yang mengisi kuesioner dengan benar, sebanyak 1515 responden (54%) adalah laki-laki, sedangkan jumlah responden perempuan sebanyak 1315 responden (46%) (lihat grafik 2.1).
6
perempuan; 1315; 46%
laki-laki; 1515; 54%
Grafik 2.1 Jenis Kelamin
2. Usia Usia responden dalam survei ini menunjukkan keragaman yang dibuktikan oleh ketiadaan kelompok usia yang sangat dominan maupun minoritas meskipun sebagian besar responden masih dalam usia produktif. Kelompok usia terbanyak adalah responden dengan usia lebih dari 37 s.d. 47 tahun, yaitu sebanyak 702 responden (24,81%), diikuti kelompok usia lebih dari 27 s.d. 37 tahun sebanyak 672 responden (23,75%). Dari grafik 2.2, bisa dilihat bahwa kelompok usia 17 s.d. 27 tahun jumlahnya cukup signifikan, yakni sebanyak 624 responden (22,05%). Beberapa diantara kategori kelompok ini adalah pemilih pemula karena dengan berada di usia di atas 17 tahun hingga 27 tahun mengindikasikan bahwa pada pemilu lalu banyak diantara mereka yang belum mempunyai kesempatan memilih. Data KPU menyebutkan bahwa jumlah pemilih pemula Pemilu 2014 mendatang berkisar 2030% dari total warga Negara yang memiliki hak pilih.1 Sementara itu, ada 16 responden (0,57%) yang tidak menjawab pertanyaan. Secara lengkap, sebaran responden berdasarkan usia bisa dilihat dalam grafik 2.2.
1
http://www.antara.net.id/index.php/2014/01/02/pemilih-pemula-pemilu-2014-potensi-besarsosialisasi-program-yang-belum-merata/id/
7
22,05%
23,75%
24,81% 18,41% 10,42%
0,57% 17 s.d 27 >27 s.d 37 >37 s.d 47 >47 s.d 57 >57 tahun Tidak tahun tahun tahun tahun mengisi
Grafik 2.2 Rata-Rata Usia Responden
3. Pekerjaan Utama Dilihat dari ragam pekerjaan utama, status ibu rumah tangga merupakan jawaban yang paling banyak disebut, kemudian diikuti pegawai/karyawan swasta. Responden yang menjawab sebagai ibu rumah tangga ada sebanyak 722 responden (25,52%). Untuk kategori pekerjaan di sektor swasta (pegawai/karyawan swasta), ada sebanyak 548 responden (19,36%), pekerja serabutan sebanyak 146 responden (5,16%), buruh pabrik sebanyak 45 responden (1,59%). Responden dari kalangan mahasiswa/pelajar menempati urutan ketiga sebanyak 281 responden (9,93%). Selebihnya, pekerjaan responden cukup beragam dengan jumlah yang tidak terlalu banyak, seperti pedagang (204; 7,21%), pegawai pemerintah/PNS (178, 6,29%), petani (109, 3,85%), nelayan (73, 2,58%). Selain itu, ada juga responden yang menjawab tidak bekerja, sebanyak 109 responden (3,85%), pensiunan (103; 3,64%), dan lainnya sebanyak 113 responden (3,99%). Berdasarkan isian keterangan, responden yang dimaksud dengan pekerjaan lainnya rata-rata adalah buruh lepas dan pekerjaan jasa seperti sopir, penjahit, reparasi, jasa gali sumur dan lain sebagainya (lihat grafik 2.3).
8
25,51% 19,36% 9,93%
7,21% 6,29%
5,16% 3,92% 3,85%
3,64% 3,36% 2,58% 2,23%
1,59% 1,10%
3,99% 0,35%
Grafik 2.3 Pekerjaan Responden
4. Pendidikan Terakhir Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor penting berkaitan dengan persepsi individu tentang pemilu, dan kualitas partisipasi politik mereka dalam pemilihan umum. Asumsinya, tingkat pendidikan memengaruhi kemampuan individu dalam mengakses dan mengolah informasi. Selain itu, tingkat pendidikan memengaruhi besaran pendidikan politik yang mereka terima. Biasanya, warga negara dengan pendidikan lebih baik akan mempunyai daya nalar lebih baik pula. Mereka juga cenderung lebih kritis dalam melihat realitas politik yang berpengaruh terhadap partisipasi politik. Dilihat dari pendidikan responden, pendidikan terakhir SLTA merupakan yang paling banyak. Dari total 2830 responden, sebanyak 1391 responden (49,15%) berpendidikan SLTA, diikuti kemudian responden dengan tingkat pendidikan SLTP sebanyak 482 responden (17,03%), dan ada 470 responden (16,61%) berpendidikan SD. Responden yang berhasil menamatkan pendidikan tinggi jumlahnya tak lebih dari 15%. Level pendidikan tinggi yang paling banyak ditamatkan adalah level S1/D4, yaitu sebanyak 268 responden (9,47%), sedangkan D1/D2/D3 sebanyak 130 responden (4,59%), dan S2/S3 hanya sebanyak 20 responden (0,71%). Ada juga responden yang tidak pernah sekolah, tetapi jumlahnya sangat sedikit, yaitu 36 responden (1,27%).
9
49,15%
16,61% 17,03% 9,47% 4,59% 0,71%
0,78%
0,32%
1,27%
0,07%
Grafik 2.4 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan responden sebagaimana bisa dilihat pada grafik 2.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki latar pendidikan menengah ke atas. Dengan begitu, bisa diasumsikan bahwa mayoritas responden memiliki kemampuan menerima dan mengolah informasi yang memadai terutama terkait visi misi, janji politik yang disampaikan partai, caleg, maupun kandidat calon presiden. Meskipun persentase responden lulusan SD relatif banyak, tapi pengalaman mereka mengikuti pemilu-pemilu sebelumnya cukup memberi bekal untuk tetap berpikir kritis. 5. Agama Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam penelitian ini responden beragama Islam menempati urutan tertinggi. Sebanyak 2016 responden (71,24%) mengaku memeluk Islam. Pada urutan kedua, ditempati responden beragama Kristen dengan jumlah 721 responden (25,48%). Di urutan terendah, ditempati responden yang memeluk agama Konghucu dan lainnya dengan jumlah masing-masing 1 responden (0,04%). Dalam keterangan lebih lanjut, yang dimaksud sebagai agama lainnya adalah Kristen Advent, salah satu turunan/sekte dalam Protestan.
10
Tabel 2.2 Sebaran Agama Responden
Agama Islam Kristen Katolik Budha Hindu Konghucu Lainnya tidak mengisi Total
Frekuensi 2016 721 56 6 27 1 1 2 2830
Persentase 71.24% 25.48% 1.98% 0.21% 0.95% 0.04% 0.04% 0.07% 100.00%
6. Suku Penelitian ini dilakukan di 9 kota di Indonesia yang terbentang dari Sumatra hingga Papua sehingga wajar bila responden yang berpartisipasi dalam survei ini berasal dari suku yang sangat beragam. Demi kepraktisan penyajian data, tidak semua asal suku responden ditampilkan. Suku Jawa menempati urutan tertinggi, yaitu sebanyak 31,45%, berikutnya suku Biak (Papua) sebanyak 10,49%; Suku Banjar (9,19%), Sasak (8,66%), Melayu (4,63%), Sunda (2,33%), dan Ambon (2,01%). Masih ada banyak variasi suku asal, jumlahnya relatif kecial, kurang dari 1%. 7. Pengeluaran Rumah Tangga per Bulan Data pengeluaran rumah tangga diperlukan untuk mengetahui kemampuan ekonomi rata-rata (keluarga) responden. Dalam penelitian ini, perkiraan pengeluaran rumah tangga dibatasi mulai kategori terendah, yakni kurang dari atau sama dengan Rp 500.000 sampai kategori tertinggi lebih dari Rp 2.500.000,- Dari kategori tersebut, persentase tertinggi ditempati oleh responden dengan pengeluaran rata-rata per bulan > Rp 500.000 – Rp 1.000.000, yakni sebanyak 22,65%. Responden dengan rata-rata pengeluaran > Rp 2.000.000 – Rp 2.500.000 merupakan yang paling sedikit, yakni sebanyak 9,68%.
11
Perlu digarisbawahi, tidak semua responden merupakan kepala keluarga atau ibu rumah tangga yang mengetahui detil pengeluaran rumah tangga setiap bulannya seperti lajang bekerja atau siswa/mahasiswa. Oleh karena itu, kepada responden jenis ini, diminta untuk membuat estimasi atau perkiraan pengeluaran keluarga mereka setiap bulannya. Dengan cara demikian, status ekonomi keluarga itu bisa dikategorisasikan secara lebih mudah. (tidak mengisi)
1,13%
>Rp. 2.500.000,00
12,16%
>Rp. 2.000.000,00 - Rp.2.500.000,00
9,68%
>Rp. 1.500.000,00 - Rp.2.000.000,00
17,42%
>Rp. 1.000.000,00 - Rp.1.500.000,00
20,78%
>Rp. 500.000,00 - Rp. 1.000.000,00
22,65%
<= Rp. 500.000,00
16,18%
Grafik 2.5 Rata-Rata Pengeluaran Rumah Tangga Responden Dari grafik 2.5, bisa disimpulkan bahwa mayoritas responden berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Banyaknya responden yang berasal dari keluarga kelas menengah bawah ini tentu akan memengaruhi cara mereka dalam melihat pemilu, terutama berkaitan dengan kriteria kandidat. Ini karena setiap kelas sosial ekonomi mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang berbeda sehingga preferensi mereka dalam pemilihan umum pasti juga berbeda. 8. Partisipasi dalam Pemilu 2009 Salah satu tantangan besar dalam pelaksanaan Pemilu 2014 adalah tingkat partisipasi politik warga Negara. Sejak pemilu 1999, 2004, hingga 2009 tingkat partisipasi politik warga Negara cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan data dari website
12
Kementerian dalam Negeri, tingkat partisipasi politik warga pada Pemilu 1999 mencapai 92,74%, Pemilu 2004 sebanyak 84,07%, dan Pemilu 2009 menurun lagi hingga tinggal 71%.2 . Penurunan tingkat partisipasi ini bisa disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya daya kritis masyarakat yang semakin meningkat. Dalam masyarakat yang tingkat kekritisannya tinggi, mereka akan cenderung menanyakan relevansi pemilu bagi kehidupan mereka. Penurunan partipasi bisa juga disebabkan oleh meluasnya skeptisisme dalam masyarakat sebagai akibat kekecewaan terhadap elit politik. Akibatnya, banyak diantara mereka tidak bersedia datang ke TPS untuk ikut pemilu. Terlepas dari beragam faktor yang menyebabkan turunnya angka partisipasi politik tersebut, perlu ada tindakan nyata guna mendorong partisipasi masyarakat karena partisipasi yang rendah akan memengaruhi legitimasi pemilihan umum. Ketika ditanya tentang partisipasi responden pada pemilu 2009, dari 2830 responden, sebanyak 1869 responden (66,04%) mengaku berpartisipasi di kedua Pemilu tersebut (legislatif dan capres-cawapres). Responden yang hanya berpartisipasi pada Pemilu Legislatif sebanyak 296 responden (10,46%), sedangkan pada Pemilu Presiden sebanyak 244 responden (8,62%). Selebihnya, responden tidak ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2009 dengan berbagai alasan. Sebanyak 166 responden (5,87%) menyatakan bahwa mereka tidak memilih karena alasan belum berhak memilih, yakni sebanyak 181 responden (6,40%), dan pekerjaan/kesibukan lain sebanyak 56 responden (1,98%). Temuan yang menarik untuk dicermati adalah besaran responden yang merupakan pemilih pemula. Dari grafik 2.6 jumlah responden yang tergolong pemilih pemula (belum berhak memilih pada Pemilu 2009) hanya 6,40% sedangkan berdasarkan data KPU pemilih pemula pada Pemilu 2014 mencapai 20-30%.3 Hal ini bisa jadi disebabkan oleh alasan teknis pengambilan data. Pengambilan data sebagian besar dilakukan dengan mendatangi rumah responden pada hari-hari efektif di mana para pemilih pemula sebagian besar berada di sekolah.
2
http://www.kemendagri.go.id/article/2013/12/17/menyongsong-pemilu-2014 http://www.antara.net.id/index.php/2014/01/02/pemilih-pemula-pemilu-2014-potensi-besarsosialisasi-program-yang-belum-merata/id/ 3
13
66,04%
5,87%
10,46%
6,40%
8,62%
1,98%
0,64%
Grafik 2.6 Keterlibatan Responden dalam Pemilu 2009
14
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
Pelaksanaan Pemilu 2014 dibayangi oleh citra buruk partai politik dan sikap antiparpol yang makin marak di kalangan masyarakat. Setidaknya, itu yang tercermin dalam pemberitaan media yang memublikasikan hasil-hasil lembaga survei. Menjelang Pemilu 2014,
beberapa
lembaga
survei
di
Indonesia
memaparkan
temuan
besarnya
ketidakpercayaan publik terhadap partai politik dan politisi. Survei tentang Internet, Apatisme, dan Alienasi Politik yang dilakukan Indikator Politik Indonesia selama 19-27 Juni 2013 menghasilkan temuan bahwa semakin sering pemilih mengakses berita politik semakin negatif pandangan mereka terhadap politisi. Dalam penelitian tersebut, dikatakan bahwa publik cenderung memandang politisi sebagai para pengejar keuntungan pribadi, dan suka berbicara positif tentang dirinya saja. Mereka juga tidak percaya politisi bakal memenuhi janji yang diucapkan saat kampanye, apalagi memperjuangkan aspirasi publik.”4 Selanjutnya, berdasarkan penelitian Political Communication Institute yang diumumkan pada 8 Februari 2014, sebanyak 58,2% dari 1000 responden mengatakan mereka tidak percaya terhadap Partai Politik.5 Partai politik, setidaknya sampai saat ini, merupakan saluran resmi aspirasi suara rakyat dalam sistem demokrasi. Pemilu adalah momentum penting di mana masing-masing orang menggunakan haknya untuk menentukan siapa yang akan menjadi pejabt publik, dalam hal ini anggota legislatif dan presiden-wakil presiden. Pertanyaan kemudian jika kepercayaan masyarakat kepada partai politik dan politisi makin menurun maka apakah hal itu juga berarti bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemilu? Lebih jauh lagi,
4
http://www.jurnalparlemen.com/view/5102/penyebab-buruknya-persepsi-publik-terhadappolitisi.html 5 http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/02/09/jelang-pemilu-persepsi-publik-mayoritas-takpercaya-pada-parpol
15
demokrasi. Untuk mengetahui hal itu, penelitian ini juga berusaha menyingkap persepsi masyarakat tentang Pemilu itu sendiri. A. Persepsi Responden Terhadap Pemilu Kamus Webster (1997) mendefinisikan persepsi ke dalam tiga pengertian, yakni (1) kegiatan merasakan atau kemampuan untuk merasakan, memahami jiwa dari objek-objek, kualitas dan lain-lain melalui pemaknaan rasa, kesadaran, perbandingan; (2) pengetahuan yang dalam, intuisi ataupun kemampuan panca indera dalam memahami sesuatu; (3) pengertian, pengetahuan dan lain-lain yang diterima dengan cara merasakan, atau ide khusus, konsep, kesan dan lain-lain yang terbentuk. Persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya oleh pengalaman-pengalaman tersebut. Informasi yang diterima oleh individu juga memengaruhi persepsi individu terhadap objek. Dalam konteks inilah, media mempunyai peran penting dalam memengaruhi persepsi orang terhadap suatu objek tertentu. Ini karena media mampu membangun gambaran atas suatu hal, dan gambaran media itulah yang pada akhirnya memengaruhi cara orang melihat realitas di sekelilingnya. Dalam penelitian ini, persepsi responden terhadap pemilu akan dilihat dari bagaimana mereka melihat pemilu. Apakah pemilu dilihat sebagai mekanisme demokrasi yang diharapkan membawa kebaikan ataukah sebaliknya? Pemilu dilihat sebagai ajang kontestasi kekuasaan yang merugikan masyarakat banyak. Dengan cara demikian, akan didapatkan gambaran yang lebih jelas. Bagi RRI, pengetahuan atas persepsi masyarakat dapat membantu dalam merumuskan berita/informasi yang lebih pas, dalam arti berita atau informasi yang mampu ‘menyukseskan’ pemilu 2014, dan memberikan kontribusi positif bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia. 1. Persepsi Responden tentang Pemilu Untuk memudahkan peneliti dalam usaha mengetahui persepsi responden mengenai pemilu, intrumen survei menyediakan tujuh kategori jawaban yang bisa dipilih salah satu. Ragam jawaban tersebut antara lain (a) Pemilu sebagai sarana memilih
16
figure/pemimpin; (b) sebagai panggilan hidup untuk menentukan nasib bangsa; (c) sebagai wujud partisipasi politik bagi warga Negara; (d) sebagai ajang persaingan elit politik dan partai politik; (e) merupakan pesta demokrasi; (f) sebagai saran mencari pekerjaan bagi para politisi; dan (g) sebagai sarana mencari penghasilan dari kandidat. Seperti tampak pada grafik 3.1, sebagian besar responden memiliki pandangan positif terhadap Pemilu. Sebanyak 34,85% responden menganggap Pemilu sebagai “panggilan hidup untuk menentukan nasib bangsa”, diikuti sebanyak 23,68% responden yang menyatakan Pemilu sebagai “sarana memilih figure/pemimpin,” 23,51% responden yang menjawab sebagai wujud partisipasi politik bagi warga Negara, dan 9,69% yang melihat Pemilu sebagai kegiatan seremonial dalam bentuk “pesta demokrasi.” Di luar itu, masih ada responden yang memandang Pemilu dengan nada negatif dengan jumlah yang jauh lebih sedikit, yakni 3,64%. Responden ini lebih menganggap Pemilu sebagai “ajang persaingan elit dan partai politik,” dan sebanyak 4.56% yang menyatakan bahwa pemilu sebagai sarana mencari pekerjaan atau tambahan penghasilan bagi para politisi/kandidat.
Sebagai panggilan hidup untuk menentukan nasib bangsa
34,85%
Sebagai sarana memilih figure/pemimpin
23,68%
Sebagai wujud partisipasi politik bagi warga Negara
23,51% 9,69%
Merupakan pesta demokrasi Sebagai ajang persaingan elit politik dan partai politik
3,64% 2,62%
Sebagai sarana mencari pekerjaan bagi para politisi
1,84%
Sebagai sarana mencari penghasilan dari kandidat (tidak mengisi)
0,18%
Grafik 3.1 Persepsi Responden tentang Pemilu
17
2. Tanggapan Responden bahwa Pemilu sebagai Alat Demokrasi yang Tepat untuk Memilih Pemimpin/Wakil Rakyat yang Berkualitas Besarnya persentase responden yang melihat pemilu sebagai sesuatu yang positif didukung oleh sikap mereka dalam melihat pemilu itu sendiri sebagai sarana untuk memlih pemimpin yang baik, dan sekaligus mekanisme untuk menentukan nasib bangsa. Dalam hal ini, responden ditanya mengenai sikap mereka terhadap pendapat yang menyatakan bahwa pemilu merupakan alat demokrasi yang tepat untuk memilih pemimpin/wakil rakyat yang berkualitas. Sikap mereka itu kemudian diukur dengan menggunakan skala likert, yang ditentukan dari sangat setuju hingga sangat tidak setuju. Responden yang setuju bahwa pemilu adalah alat demokrasi yang tepat untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang berkualitas sebanyak 1.641 responden (57,99%). Hampir seperempat responden bahkan menyatakan sangat setuju, yaitu sebanyak 703 responden (24,84%). Selanjutnya, responden yang menjawab biasa saja sebanyak 387 orang (13,67%). Hanya sedikit responden yang menyatakan ketidaksetujuannya, yaitu 63 responden (2,23%) yang menjawab tidak setuju dan 26 responden (0,92%) yang menjawab sangat tidak setuju. Dalam penelitian ini, ada 10 responden (0,35%) yang tidak menjawab pertanyaan ini. Mereka yang setuju pada anggapan bahwa pemilu adalah alat demokrasi yang tepat untuk memilih pemimpin atau wakil rakyat yang berkualitas tentu berangkat dari pemahaman bahwa pemilu adalah alat untuk itu. Pemilu adalah sebuah ajang untuk menentukan pemimpin mereka di masa mendatang. Sementara mereka yang menyatakan ketidaksetujuannya bisa jadi berangkat dari asumsi bahwa kandidat-kandidat yang maju dalam pemilu—baik legislatif maupun presiden/wakil presiden—tidak memiliki kualitas yang cukup memadai untuk mewakili mereka atau menjadi pemimpin mereka.
18
57,99% 24,84% 13,67% 2,23% sangat setuju
setuju
biasa saja
tidak setuju
0,92%
0,35%
sangat (tidak tidak mengisi) setuju
Grafik 3.2 Anggapan Responden bahwa Pemilu adalah Alat Demokrasi yang Tepat untuk Memilih Pemimpin/Wakil Rakyat yang Berkualitas 3. Anggapan Responden bahwa Pemilu 2014 merupakan Saat yang Penting untuk Menentukan Nasib Bangsa Selain sebagai alat demokratis untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat, pemilu juga dianggap sebagai saat yang penting untuk menentukan nasib bangsa. Anggapan ini bermakna lebih jauh dari hanya sekadar memilih pemimpin. Penentuan pemimpin (presiden/wakil presiden) dan wakil rakyat yang tepat akan membawa bangsa ini menjadi lebih kuat dan sejahtera. Sebaliknya, kesalahan memilih pemimpin akan membuat Indonesia semakin terpuruk. Oleh karena itu, pemilu menjadi saat yang menentukan bagi masa depan Bangsa Indonesia. Hampir sama dengan bagian sebelumnya, lebih dari separuh responden menyetujui anggapan bahwa Pemilu 2014 adalah saat yang penting untuk menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. Dari 2.830 responden, 1.642 responden (58,02%) diantaranya menyatakan setuju dengan anggapan tersebut. Bahkan, responden yang sangat setuju pun jumlahnya juga banyak, yaitu 654 responden (23,11%). Sementara itu, responden yang menganggap biasa saja ada 412 orang (14,56%). Hanya sedikit responden yang menyatakan ketidaksetujuannya. Mereka yang tidak setuju sebanyak 70 responden (2,47%), sedangkan
19
yang sangat tidak setuju sebanyak 28 responden (0,99%). Dalam penelitian ini juga ada responden yang tidak menjawab, yaitu 24 responden (0,85%).
58,02%
23,11% 14,56% 2,47% sangat setuju
setuju
biasa saja
tidak setuju
0,99%
0,85%
sangat (tidak tidak mengisi) setuju
Grafik 3.3 Anggapan Responden bahwa Pemilu 2014 Saat yang Penting untuk Menentukan Nasib Bangsa Dengan melihat grafik 3.3, kita bisa mengetahui bagaimana responden menaruh harapan yang besar pada pemilu yang akan digelar 2014 mendatang. Responden yang menyetujui anggapan ini lebih banyak daripada yang menganggap bahwa pemilu adalah ajang memilih pemimpin atau wakil rakyat saja. Sebaliknya, responden yang tidak menyetujui jumlahnya lebih sedikit meski jumlahnya tak signifikan. Meski demikian, jumlah responden yang menjawab biasa saja jumlahnya lebih besar. Responden yang menjawab biasa saja bisa jadi karena apatis terhadap pemilu yang akan datang. 4. Pengetahuan Responden tentang Peraturan Pemilu Pemilu 2014 memiliki banyak peraturan tentang caleg dan capres/cawapres. Peraturan-peraturan pemilu mestinya diketahui oleh setiap warga negara Indonesia yang berhak memilih dalam Pemilu 2014 mendatang. Dalam penelitian ini, tidak semua peraturan pemilu yang telah dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ditanyakan kepada responden.
20
Penelitian ini mengambil beberapa peraturan saja sebagaimana telah dipilih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terkait dengan integritas, yang telah mereka gunakan pula dalam penelitian mereka (Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, 2013). Terdapat 6 (enam) peraturan pemilu terkait dengan integritas. Peraturan-peraturan tersebut antara lain adalah sebagai berikut. a. Kandidat/caleg wajib melaporkan kekayaannya sebelum pemilu diadakan. b. Seseorang yang pernah dihukum karena pidana di atas 5 tahun dilarang mencalonkan diri dalam pemilu. c. Kandidat/caleg wajib melaporkan sumber dan jumlah dana kampanye yang digunakan. d. Jumlah sumbangan dari perorangan maupun perusahaan untuk kampanye parpol, kandidat/tim sukses dibatasi. e. Kandidat, parpol dan/atau tim sukses dilarang menjanjikan, memberi uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih. f.
Seorang kandidat yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang/materi lainnya untuk memengaruhi pemilih dapat dibatalkan pemilihannya.
Dari 6 peraturan pemilu di atas, responden diminta untuk menyebutkan peraturan mana saja yang mereka ketahui. Bisa jadi, responden mengetahui lebih dari satu peraturan, atau bahkan semuanya. Namun, untuk memudahkan analisis, penelitian ini mensyaratkan hanya satu saja peraturan mana yang diketahui oleh responden. Dari peraturan-peraturan tersebut, peraturan pertama menjadi peraturan yang paling banyak diketahui oleh responden. Sebanyak 1.387 responden (49,01%) mengetahui adanya peraturan tentang pelaporan kekayaan kandidat sebelum pemilu tersebut. Peraturan selanjutnya yang banyak diketahui responden adalah peraturan yang menyatakan pelarangan politik uang (menjanjikan, memberi uang atau materi lainnya). Peraturan tersebut diketahui oleh sebanyak 1.028 responden (36,33%). Sementara peraturan yang menyebutkan pembatalan kandidat yang melakukan politik uang, hanya diketahui oleh 554
21
responden (19,58%). Tabel 2.1 menunjukkan hasil lengkap tentang pengetahuan responden terhadap peraturan pemilu. Hasil yang tertera pada tabel 2.1 secara jelas memberikan gambaran yang kurang menyenangkan. Pasalnya, peraturan-peraturan tersebut hanya diketahui oleh sedikit responden. Bahkan, tidak ada satu peraturan pun yang diketahui oleh lebih dari separuh responden. Hanya Peraturan tentang pembatasan sumbangan kampanye untuk partai politik, kandidat, serta tim suksesnya bahkan hanya diketahui oleh kurang dari 10% responden. Oleh karena itu, peraturan tentang pemilu mesti lebih banyak disosialisasikan. Salah satu yang terpenting, yang ironisnya diketahui oleh sedikit responden, adalah kandidat yang terbukti melakukan politik uang bisa dibatalkan. Peraturan ini secara jelas harus lebih sering disosialisasikan agar politik uang bisa dicegah, dan kualitas pemilu bisa lebih ditingkatkan. Akhirnya, jika peraturan pemilu diketahui oleh lebih banyak orang, maka harapan akan adanya pemilu yang berintegritas tentu menjadi sebuah keniscayaan. Ini karena, dengan mengetahui aturan pemilu, keterlibatan atau partisipasi politik warga akan lebih bermakna. Masyarakat juga bisa menjadi pengawas atau jalannya pemilu itu sendiri karena mengetahui aturan main dengan baik. Dengan demikian, anggapan bahwa pemilu merupakan saat yang penting untuk menentukan pemimpin/wakil rakyat yang berkualitas, dan menentukan nasib bangsa sebagaimana sebagaimana dipaparkan temuannya di awal sangat mungkin terwujud.
22
Tabel 3.1 Pengetahuan Responden tentang Peraturan Pemilu Pengetahuan tentang Peraturan Pemilu Kandidat/caleg wajib melaporkan kekayaannya sebelum pemilu diadakan Seseorang yang pernah dihukum karena pidana di atas 5 tahun dilarang mencalonkan diri dalam pemilu Kandidat/caleg wajib melaporkan sumber dan jumlah dana kampanye yang digunakan Jumlah sumbangan dari perorangan maupun perusahaan untuk kampanye parpol, kandidat/tim sukses dibatasi Kandidat, parpol dan/atau tim sukses dilarang menjanjikan, memberi uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih Seorang kandidat yang terbukti menjanjikan atau memberikan uang/materi lainnya untuk memengaruhi pemilih dapat dibatalkan pemilihannya
Frekuensi 1387
Persentase 49,01%
909
32,12%
731
25,83%
189
6,68%
1028
36,33%
554
19,58%
5. Pengetahuan Responden tentang Politik Uang dalam Pemilu Politik uang adalah praktik yang dilarang oleh KPU sebagaimana tertera dalam peraturan pada poin sebelumnya. Bagaimanapun, politik uang akan meruntuhkan demokrasi karena ketidakseimbangan kesempatan. Pilihan-pilihan yang didasarkan atas ada tidaknya uang akan membawa hasil pada kandidat-kandidat yang tidak memiliki integritas. Politik uang semacam “serangan fajar”, bantuan sembako, pemberian uang secara terangterangan, dan lain sebagainya menunjukkan adanya penyimpangan dalam proses politik. Dalam konteks penelitian ini, politik uang rupanya menjadi hal yang jamak diketahui (dialami maupun sekadar melihat atau mendengar) oleh responden yang menjadi sasaran penelitian ini.
23
Responden yang mengetahui adanya politik uang dalam pemilu sebanyak 2.057 orang (72,69%). Jumlah ini tentu sangat banyak, dan menunjukkan bahwa politik uang merupakan hal yang biasa di Indonesia. Sebaliknya, responden yang tidak mengetahui politik uang sebanyak 770 orang (27, 21%). Penelitian ini tidak merinci lebih jauh apa latar belakang responden tidak mengetahui adanya politik uang di sekitarnya. Kemungkinan yang muncul adalah memang tidak ada politik uang di sekitar mereka, tidak mau tahu perihal politik—terutama politik uang (apatis), tidak mengetahui bahwa yang dilakukan kandidat/tim suksesnya adalah politik uang, atau pemilih pemula yang belum mengetahui perihal politik uang. Pada pertanyaan ini, ada 3 responden (0,11%) yang tidak menjawab. (tidak mengisi); 3; 0,11%
tidak; 770; 27,21% ya; 2057; 72,69%
Grafik 3.4 Pengetahuan Responden tentang Politik Uang dalam Pemilu 6. Praktik Politik Uang dalam Pemilu yang Diketahui Responden Praktik politik uang memiliki banyak varian. Dalam penelitian ini, responden diminta untuk memilih praktik politik uang yang mereka ketahui atau pernah mereka alami. Dalam kuesioner, terdapat pilihan: pemberian uang, pembagian sembako, pemberian sumbangan atau bantuan sosial, perbaikan fasilitas umum, dan tidak mengetahui adanya praktik politik uang. Dari pilihan jawaban tersebut, responden bisa menjawab lebih dari satu pilihan jika memang mereka mengetahui lebih dari satu praktik politik uang.
24
Praktik pemberian uang secara langsung untuk memengaruhi pilihan terhadap kandidat tertentu merupakan praktik yang paling banyak diketahui oleh responden. Jumlah responden yang menyebutkan praktik tersebut sebanyak 1.456 responden (51,48%). Bentuk pemberian uang secara langsung biasanya terjadi ketika tim sukses memberikan sejumlah uang menjelang pemilu berlangsung. Uang yang dibagikan memiliki nominal yang beragam, biasanya Rp. 50.000 – Rp. 100.000 per pemilih. Praktik politik uang yang juga banyak diketahui oleh responden adalah pembagian sembako yang dipilih oleh 1.169 responden (41,31%). Praktik tersebut bisa kita lihat akhirakhir ini ketika terjadi bencana alam. Partai-partai atau kandidat yang mencalonkan diri sering membagikan sembako untuk korban bencana alam maupun warga miskin. Beberapa kandidat bahkan memasang foto mereka pada plastik atau pembungkus paket sembako yang dibagikan pada warga. Selanjutnya,
sebanyak 899
responden (31,77%) menyebutkan pemberian
sumbangan atau bantuan sosial sebagai bentuk praktik politik uang yang mereka ketahui. Sumbangan atau bantuan sosial ini bisa berupa bedah rumah, sumbangan bagi orang sakit, dan sebagainya. Perbaikan fasilitas umum, seperti balai desa, WC umum, dan perbaikan jalan dipilih oleh 408 responden (14,42%) sebagai bentuk politik uang yang mereka ketahui di sekitar mereka. Dari total responden yang disurvei, ada 491 responden (17,35%) yang mengaku tidak mengetahui praktik politik uang. Suatu jumlah yang cukup signifikan. Padahal, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, seseorang yang melakukan praktik politik uang bisa dibatalkan.
25
17,35%
tidak mengetahui praktik politik uang
14,42%
perbaikan fasilitas umum
31,77%
pemberian sumbangan/bantuan sosial
41,31%
pembagian sembako
51,48%
pemberian uang
Grafik 3.5 Praktik Politik Uang yang Diketahui Responden 7. Pendapat Responden bahwa Politik Uang adalah Hal yang Umum dalam Pemilu Responden menyadari benar bahwa politik uang adalah hal yang umum dalam pemilu di Indonesia, sebagaimana telah tercermin dalam temuan pada poin-poin sebelumnya. Ini tercermin dari banyaknya responden yang menyatakan bahwa politik uang sebagai sesuatu yang umum terjadi. Dari total 2.830 responden, sebanyak 1.983 (70,10%) menjawab “ya” ketika ditanya pendapatnya apakah politik uang adalah hal yang umum dalam pemilu. Temuan ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Gerry van Klinken, seorang Indonesianis dari Belanda. Klinken bahkan menyebut politik uang sebagai salah satu penyakit yang dihadapi oleh Indonesia di era demokrasi sekarang ini (Hamid dan Priyono dalam Ali-Fauzi dan Panggabean, 2012: 81). Responden yang menganggap politik uang bukanlah hal yang umum dalam pemilu hanya sedikit, yaitu sebanyak 322 responden (11,38%). Jumlah ini bahkan lebih sedikit dari responden yang menjawab tidak tahu, yaitu 511 responden (18,06%). Hasil ini mestinya membuat kita khawatir, terlebih jika politik uang menjadi pemakluman bagi sebagian besar warga Indonesia karena politik uang akan membawa demokrasi yang telah dibangun Indonesia pascareformasi menuju ke arah yang salah. Pendapat responden tentang hal ini dapat juga dilihat dari grafik 3.6.
26
(tidak mengisi); 13; 0,46%
tidak tahu; 511; 18,06% tidak; 322; 11,38%
ya; 1983; 70,10%
Grafik 3.6 Pendapat Responden bahwa Politik Uang adalah Hal yang Umum dalam Pemilu 8. Sikap Responden jika Ada Kandidat yang Melakukan Politik Uang Pada poin-poin sebelumnya, terlihat jelas bahwa politik uang menjadi hal yang umum dalam setiap penyelenggaraan pemilu—termasuk pilkada—di Indonesia. Dari sini, kemudian menarik jika kita melihat bagaimana sikap responden terhadap kandidat yang melakukan politik uang. Sikap-sikap responden ini dapat menunjukkan bagaimana demokrasi berjalan di negara ini. Hasil penelitian ini menunjukkan hal yang positif. Responden yang bersikap menolak politik uang berjumlah paling banyak. Setidaknya, ada 1.303 responden (46,04%) yang menyatakan menolak pemberian dan tidak memilih partai/caleg/kandidat yang melakukan politik uang tersebut. Responden yang bersikap demikian telah menunjukkan kedewasaan berpolitik dan mendukung proses demokrasi di Indonesia meskipun tetap memerlukan kajian lebih lanjut. Hal ini karena bisa jadi responden tidak mengatakan secara jujur mengenai sikap yang sebenarnya karena merupakan merupakan hal sensitif atau ada rasa malu untuk mengungkapkan hal sebenarnya. Meskipun begitu, ada pula responden yang bersikap oportunis. Mereka mengambil keuntungan dari praktik politik uang dalam pemilu. Dari total responden yang disurvei, sebanyak 967 responden (34,17%) menyatakan bahwa mereka menerima pemberian dari kandidat, tetapi tidak memilih kandidat tersebut dalam pemilu. Hal ini menjadi tanda bahwa politik uang tidak bisa bekerja untuk memengaruhi para pemilih. Namun, sikap ini juga menjadi preseden buruk bagi proses pemilu. Sikap
27
menerima uang atau sumbangan membuat ongkos politik membengkak dan mengakibatkan adanya praktik-praktik korupsi dalam pemerintahan. Sikap selanjutnya adalah menerima pemberian dan memilih kandidat atau partai yang memberikan uang atau bantuan tersebut. Jumlah responden yang bersikap seperti ini sebanyak 552 responden (19,51%). Jumlah ini bukanlah angka yang sedikit. Meski bukan yang terbanyak, pemilih yang bersikap seperti ini akan dimanfaatkan oleh kandidat-kandidat yang tidak berintegritas untuk memenangkan pertarungan. Responden yang bersikap demikian bisa jadi karena tidak menyadari sikapnya akan berpengaruh pada kehidupan bangsa mendatang, keputus-asaan terhadap calon-calon yang ada, atau memang membutuhkan pemberian dari kandidat-kandidat yang memberikan uang atau bantuan karena memang miskin. Seperti yang disebutkan oleh Sulistyo (2002:95), “In a general election, when voters have no money to meet their day-to-day needs, a small amount of money can easily buy a vote.”
Menolak dan tidak memilih partai/Caleg/kandidat tersebut dalam Pemilu
46,04%
Menerima pemberian dan tidak memilih partai/Caleg/kandidat tersebut dalam Pemilu
34,17%
Menerima pemberian dan memilih partai /Caleg/kandidat tersebut dalam Pemilu (tidak mengisi)
19,51% 0,28%
Grafik 3.7 Sikap Responden jika Ada Kandidat yang Melakukan Politik Uang 9. Sikap Responden jika Mengetahui Kandidat yang Melakukan Politik Uang Peraturan pemilu mengatakan bahwa kandidat yang melakukan politik uang dapat dibatalkan pemilihannya. Jika demikian, masukan dari masyarakat terkait adanya politik
28
uang sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, sikap responden ketika mengetahui adanya politik uang yang dilakukan oleh kandidat tertentu akan sangat menarik. Keterlibatan masyarakat dalam memerangi politik uang harusnya menjadi hal penting untuk memerkuat demokrasi. Sayangnya, penelitian ini justru menunjukkan keapatisan responden atas politik uang. Sikap yang paling banyak ditunjukkan responden adalah mendiamkan saja yang dipilih oleh 1.324 responden (46,80%). Responden yang memilih menjawab tidak tahu juga jumlahnya cukup banyak, yaitu 599 responden (21,17%). Bahkan, responden yang justru memilih untuk ikut meminta ketika ada politik uang di sekitarnya pun ada, yaitu 104 responden (3,68%). Responden yang menjawab melaporkan ke pihak berwenang ketika melihat atau mengetahui adanya politik uang jumlahnya tak banyak, yaitu 794 responden (28,07%). Meski menempati urutan kedua, jumlah ini tetap jauh lebih sedikit ketimbang responden yang apatis. Oleh karena itu, penting bagi RRI untuk ikut menyosialisasikan peraturan pemilu tentang larangan melakukan politik uang untuk memengaruhi pemilih dan adanya sanksi pencabutan untuk kandidat yang melakukan politik uang. Pendidikan politikutamanya menyangkut politik uang-menjadi sangat penting, dan RRI bisa mengambil bagian untuk itu.
29
46,80%
28,07% 21,17% 3,68% Mendiamkan Melaporkan saja ke pihak berwenang
0,28% Ikut meminta
Tidak tahu
(tidak mengisi)
Grafik 3.8 Sikap Responden jika Mengetahui Kandidat yang Melakukan Politik Uang 10. Keterlibatan Responden dalam Pemilu Legislatif 2014 Pemilu legislatif akan digelar bulan April 2014 mendatang. Penelitian ini menanyakan kemungkinan keterlibatan responden dalam pemilu legislatif nanti. Responden yang secara pasti akan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif menempati persentase tertinggi, yaitu 1.736 responden (61,36%). Hasil ini memperlihatkan bahwa responden percaya pada kandidat-kandidat yang ada, dan adanya kesadaran untuk ikut terlibat dalam penentuan nasib bangsa ke depan. Angka yang mencapai 61,36% juga cukup melegakan karena ada cukup banyak responden yang mau menggunakan hak pilihnya. Responden yang menunjukkan sikap ragu-ragu juga cukup banyak. Ada responden yang melihat dulu siapa calon-calon legislatif yang bisa mereka pilih. Jumlah responden yang bersikap demikian sebanyak 678 responden (23,97%). Selain mereka, ada juga yang belum bisa menentukan sikap apakah akan ikut memilih atau tidak, yaitu 281 responden (9,93%). Jenis responden yang bersikap demikian perlu didorong untuk ikut serta dalam proses pemilihan legislatif April mendatang. 30
Responden yang jelas-jelas menyatakan akan golput dalam pemilu legislatif mendatang jumlahnya tak cukup banyak, yaitu 121 responden (4,28%). Meski jumlah ini kurang dari 5 persen, mereka yang golput mestinya bisa diajak untuk menggunakan hak pilihnya. RRI sebagai radio publik harus ikut mendorong calon pemilih, baik yang belum menentukan sikap atau yang berniat golput untuk mau bersama-sama menentukan bangsa Indonesia ke depan.
61,36%
23,97% 9,93% 4,28% Menggunakan hak pilih dengan memilih kandidat
GOLPUT
0,46% Melihat dulu siapa Tidak tahu/belum (tidak mengisi) calon-calon menentukan sikap legislatifnya
Grafik 3.9 Keterlibatan Responden dalam Pemilu Legislatif 2014 Jika dilakukan crosstab dengan kelas sosial dan usia, maka kelompok yang golput bisa dilihat sebagai berikut. Untuk usia, terlihat bahwa kelompok usia terendah yang akan menggunakan secara pasti hak pilih pada pemilu legislatif 2014 berada di usia >47 s.d 57 tahun. Pada usia ini, hanya
303 responden (58,50%) dari total 581 responden di kategori usia
ini yang menyatakan akan menggunakan hak pilihnya secara pasti. Dibandingkan dengan kelompok usia lain, persentase itu menjadi yang terendah meskipun perbedaannya tidak begitu signifikan. Namun, untuk responden yang sudah menetapkan golput, terbanyak di usia 17 s.d. 27 tahun. Pada kategori usia ini, ada sebanyak 5.60% yang menyatakan mereka
31
akan golput. Persentase ini menjadi yang paling tinggi dibandingkan dengan kategori usia lainnya. Tabel 3.2 Crosstabulation Keterlibatan Pemilu Legislatif Terkait Usia
Keterlibatan Responden dalam Pemilu Legislatif 2014
Usia Responden 17 s.d 27 tahun >27 s.d 37 tahun >37 s.d 47 tahun >47 s.d 57 tahun >57 tahun
Menggunakan hak pilih dengan memilih kandidat
GOLPUT
Melihat dulu siapa caloncalon legislatifnya
Tidak tahu/belum menentukan sikap
Total
375
35
155
57
622
60.30%
5.60%
24.90%
9.20%
100.00%
408
28
161
71
668
61.10%
4.20%
24.10%
10.60%
100.00%
462
28
138
70
698
66.20%
4.00%
19.80%
10.00%
100.00%
303
19
142
54
518
58.50%
3.70%
27.40%
10.40%
100.00%
178
11
78
27
294
60.54%
3.74%
26.53%
9.18%
100.00%
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan status ekonomi yang diukur dari pengeluaran rata-rata responden maka terlihat bahwa golput justru lebih besar di kalangan menengah atas. Seperti bisa dilihat pada tabel 3.3, partisipasi tertinggi pada pemilu 2014 nanti ada pada keluarga dengan pengeluaran >Rp. 1.500.000,00 - Rp.2.000.000,00, yang mencapai 65%. Responden dengan kategori pengeluaran tertinggi (>Rp. 2.500.000,00) justru yang paling rendah, yakni hanya 56,14%. Ini menunjukkan bahwa kelas sosial menengah atas justru lebih skeptis dalam melihat pemilihan umum dibandingkan dengan kelas di bawahnya. Pada kategori ini, tingkat golput juga paling tinggi, yakni sebanyak 6.14%. Trend semacam ini kiranya tidak berbeda jauh dengan banyak analisis mengenai partisipasi pemilu. Di negara-negara dengan pendapatan yang lebih tinggi atau negara maju, partisipasi politik cenderung lebih rendah. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa kelompok
32
responden yang akan golput pada pemilu legislatif kedua adalah kelompok responden dengan pendapatan paling rendah atau yang termasuk ke dalam kelompok keluarga miskin absolut. Ketiadaan harapan untuk mendapatkan perubahan atas kemiskinan yang mereka derita tampaknya menciptakan rasa tidak peduli atas pemilu legislatif, dan memutuskan untuk golput. Tabel 3.3 Crosstabulation Keterlibatan Pemilu Legislatif Terkait Status Ekonomi
Perkiraan Pengeluaran Rumah Tangga Per Bulan <= Rp. 500.000,00 >Rp. 500.000,00 - Rp. 1.000.000,00 >Rp. 1.000.000,00 Rp.1.500.000,00 >Rp. 1.500.000,00 Rp.2.000.000,00 >Rp. 2.000.000,00 Rp.2.500.000,00 >Rp. 2.500.000,00
Bagaimana kira-kira keterlibatan responden dalam Pemilu Legislatif 2014 mendatang Melihat dulu Tidak Menggunakan hak siapa calontahu/belum pilih dengan calon menentukan memilih kandidat GOLPUT legislatifnya sikap
Total
278
25
97
55
455
61.10%
5.50%
21.30%
12.10%
100.00%
392
33
169
44
638
61.40%
5.20%
26.50%
6.90%
100.00%
362
18
139
67
586
61.80%
3.10%
23.70%
11.40%
100.00%
323
14
107
47
491
65.80%
2.90%
21.80%
9.60%
100.00%
165
9
73
26
273
60.40%
3.30%
26.70%
9.50%
100.00%
192
21
90
39
342
56.14%
6.14%
26.32%
11.40%
100.00%
11. Keterlibatan Responden dalam Pemilu Capres-Cawapres 2014 Meskipun tersirat ada banyak kekecewaan di masyarakat, setidaknya, yang tergambar pada pemberitaan media massa, tapi partisipasi politik dalam pemilihan presiden dan wakil presiden cukup tinggi. Setidaknya, dari total responden di sembilan kota yang mengisi pertanyaan mengenai keterlibatan mereka dalam pemilu capres-cawapres, ada lebih dari 60% (lihat grafik 3.10) yang menyatakan akan datang ke Tempat Pemungutan
33
Suara (TPS) untuk memilih capres-cawapres, hanya 89 responden (3,15%) yang menyatakan golput dan sebanyak 235 responden (8,31%) yang menyatakan belum menentukan sikap hingga saat penelitian ini dilakukan. Meskipun demikian, ada sebanyak 793 responden (28,03%), suatu angka yang cukup signifikan, yang menyatakan bahwa keterlibatan mereka sangat tergantung pada siapa calon capres-cawapres. Jika dalam pandangan responden capres-cawapres pada pemilu 2014 dianggap tidak cakap atau lebih-lebih tidak jujur, maka sangat mungkin terjadi kelompok responden ini akan golput. Dengan demikian, kemampuan partai politik dalam memunculkan kandidat capres dan cawapres yang benar-benar sesuai harapan masyarakat akan sangat menentukan sikap mereka terhadap pilpres 2014. Apakah mereka akan datang ke TPS untuk memilih ataukah akan golput? Dilihat dari sisi pandang yang lain, tingginya persentase responden yang belum menentukan sikap dengan melihat dulu siap calon presiden dan wakil presiden yang diusung partai politik mencerminkan dua hal. Pertama, meningkatnya daya kritis masyarakat dalam menentukan pilihan capres-cawapres. Responden akan melihat secara kritis setiap kandidat sebelum akhirnya menentukan pilihan. Di sinilah, informasi melalui media sangat penting karena, di era politik termediasi sekarang ini, pengetahuan masyarakat mengenai kandidat sangat tergantung pada informasi yang mereka dapatkan melalui media. Jika informasinya benar, maka pilihan masyarakat terhadap kandidat besar kemungkinan benar, dan begitu sebaliknya.
60,41% 28,03%
Menggunakan hak pilih dengan memilih kandidat
3,15%
8,31%
GOLPUT
Melihat dulu Tidak tahu/belum (tidak mengisi) siapa calon-calon menentukan capressikap cawapresnya
0,11%
Grafik 3.11 Keterlibatan Responden dalam Pilpres 2014
34
Jika dikaitkan dengan usia, maka kecenderungan untuk keterlibatan pemilu caprescawapres sedikit bertolak berlakang dengan pemilu legislatif. Jika pada pemilu legislatif partisipasi terbesar ada pada usia >37 s.d 47 tahun, maka pada pemilu capres-cawapres justru di usia ini tingkat partisipasinya yang terendah, yakni 57,30%. Golput yang paling tinggi adalah pada usia 17 s.d 27 tahun (lihat tabel 3.4) Tabel 3.4 Kira-Kira Keterlibatan Responden dalam Pemilu Capres-Cawapres 2014 Bagaimana Kira-Kira Keterlibatan Responden dalam Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2014
usia responden
Menggunakan hak pilih dengan memilih kandidat
GOLPUT
Melihat dulu siapa caloncalon caprescawapresnya
Tidak tahu/belum menentukan sikap
Total
17 s.d 27 tahun
367 58.90%
25 4.00%
179 28.70%
52 8.30%
623 100.00%
>27 s.d 37 tahun
385 57.30% 452 64.50% 315 60.60%
24 3.60% 18 2.60% 17 3.30%
211 31.40% 170 24.30% 152 29.20%
52 7.70% 61 8.70% 36 6.90%
672 100.00% 701 100.00% 520 100.00%
180 61.22%
5 1.70%
77 26.19%
32 10.88%
294 100.00%
>37 s.d 47 tahun >47 s.d 57 tahun >57 tahun
Kemudian, jika dikaitkan dengan variabel sosial ekonomi, maka terlihat bahwa golput untuk pemilu capres-cawapres cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu caleg. Di kategoriu pendapatan paling rendah (<= Rp. 500.000,00), tingkat golputnya mencapai 5.70% dari total responden di kategori usia ini. Tingkat golput cenderung naik signifikan untuk kategori pendapatan menengah atas. Dari total 202 responden di kategori pendapatan >Rp. 2.500.000,00, tingkat golputnya mencapai 26.50%. Ini menunjukkan bahwa kecenderungan kelas
35
menengah atas untuk pemilu presiden dan wakil presiden cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu legislatif.
Tabel 3.5 Kira-Kira Keterlibatan Responden dalam Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2014 Bagaimana Kira-Kira Keterlibatan Responden dalam Pemilu Presiden-Wakil Presiden 2014
Perkiraan pengeluaran rumah tangga per bulan <= Rp. 500.000,00 >Rp. 500.000,00 - Rp. 1.000.000,00 >Rp. 1.000.000,00 Rp.1.500.000,00
GOLPUT 26 5.70% 21 3.30% 13
Melihat dulu siapa caloncalon caprescawapresnya 125 27.40% 194 30.30% 167
Tidak tahu/belum menentukan sikap 48 10.50% 41 6.40% 54
Total 457 100.00% 641 100.00% 586
60.10% 321 65.10% 170 62.27% 202
2.20% 7 1.40% 6 2.20% 14
28.50% 126 25.60% 83 30.40% 91
9.20% 39 7.90% 14 5.13% 37
100.00% 493 100.00% 273 100.00% 344
4.10%
26.50%
10.80%
0.00%
100.00%
Menggunakan hak pilih dengan memilih kandidat 258 56.50% 385 60.10% 352
>Rp. 1.500.000,00 Rp.2.000.000,00 >Rp. 2.000.000,00 Rp.2.500.000,00 >Rp. 2.500.000,00
B. Persepsi Responden terhadap Caleg 1. Latar Belakang Caleg Ideal Latar belakang seorang calon legislatif akan menentukan kemampuan caleg tersebut dalam memegang amanah. Pada tataran tertentu, latar belakang seorang caleg juga menentukan apakah si caleg memenuhi kriteria ataukah tidak di mata responden untuk menjadi seorang anggota Dewan baik Pusat maupun Daerah. Diantara banyak pilihan yang disodorkan kepada responden mengenai latar belakang seorang caleg, maka tampak bahwa bermoral baik menjadi yang paling tinggi. Secara berturut-turut, ada empat latar belakang caleg yang mendapatkan persentase signifikan, yakni bermoral baik yang dipilih sebanyak
36
840 responden (29,93%), sudah dipercaya masyarakat dalam keseharian memiliki agama yang kuat yang dipilih oleh 503 (17,92%), memiliki agama yang kuat (13,86%), dan tidak pernah terkait korupsi yang dipilih sebanyak 360 responden (12,83%). Jika ditelaah lebih jauh, maka pilihan-pilihan atas latar belakang caleg berada dalam satu garis atau dalam nada yang kurang lebih sama. Moralitas yang, pada tataran tertentu, berkait dengan keagamaan seseorang. Asumsinya, semakin kuat agama seseorang maka semakin bagus pula moralnya. Tingginya aspek moralitas ini tidak terlepas dari banyaknya persoalan korupsi dan kasus-kasus lain yang diangkat media massa, yang banyak diantaranya menjadi headline. Harapan bahwa capres-cawapres tidak pernah terkait dengan korupsi juga menempati posisi tinggi yang dipilih responden. Di sisi lain, tingginya aspek moralitas dibandingkan dengan, misalnya, pendidikan dan kemampuan organisasi mencerminkan situasi masyarakat sekarang. Biasanya, harapan-harapan atas pemimpin terkait dengan persoalan-persoalan utama yang muncul dalam masyarakat itu. Jika persoalan moralitas menjadi utama dalam suatu masyarakat, maka prasyarat itulah yang akan lebih tinggi diharapkan responden dibandingkan dengan syarat-syarat lainnya. Perlu diberi catatan bahwa ada 23 responden yang memilih lebih dari satu. Meskipun demikian, kombinasi pilihannya tidak berbeda jauh dengan pilihan-pilihan tunggal ini.
37
Tabel 3.6 Latar Belakang Caleg PALING Ideal Menurut Responden
Latar Belakang Caleg Memiliki pendidikan tinggi Berkecukupan secara ekonomi Berasal dari keluarga yang terpandang Berasal dari rakyat biasa Memiliki agama yang kuat Bermoral baik Memiliki pengalaman organisasi Tidak pernah terkait dalam kasus korupsi Memiliki pekerjaan yang jelas Berasal dari partai yang bisa dipercaya Sudah dipercaya masyarakat dalam keseharian Tidak mengisi) Total
Frekuensi 302 80 23 77 389 840 120 360 17 91 503 5 2807
Persen 10.76% 2.85% 0.82% 2.74% 13.86% 29.93% 4.28% 12.83% 0.61% 3.24% 17.92% 0.18% 100.00%
2. Kemampuan Caleg Selain latar belakang, kriteria caleg yang diharapkan oleh responden juga mencakup bagaimana seharusnya sosok seorang caleg itu. Berkaitan dengan hal ini, pilihan tertinggi terhadap caleg adalah yang bisa menyuarakan kepentingan rakyat. Ini menempati posisi tertinggi yang dipilih oleh 1328 responden (47,23%), disusul kemudian bahwa seorang caleg memiliki visi dan misi yang jelas yang dipilih sebanyak 438 responden (15,58%) dan bertanggung jawab terhadap konstituen yang dipilih sebanyak 436 responden (15,50%). Persentase ini secara jelas merefleksikan suatu terminologi dalam ilmu politik, yakni bahwa anggota dewan adalah wakil rakyat, dan karenanya harus memerjuangkan atau menyuarakan aspirasi rakyat atau setidaknya konstituen. Kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat juga menjadi harapan responden terhadap seorang caleg yang nanti akan menduduki kursi legislatif. Item ini dipilih oleh 350
38
responden (12,45%). Dengan demikian, responden berharap bahwa caleg-caleg yang duduk dalam lembaga legislatif itu nantinya mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat atau konstituennya. Hanya dengan berkomunikasi itulah, mereka akan mampu menangkap aspirasi masyarakat. Menariknya, hanya sedikit responden yang memilih bahwa seorang caleg ideal adalah yang memberi uang pada saat kampanye. Meskipun money politics telah menjadi suatu fenomena yang banyak ditemui dalam realitas politik di Indonesia, tapi respon masyarakat atas money politics rendah. Ini ditunjukkan dari rendahnya responden yang memilih bahwa caleg ideal adalah yang memberi uang pada saat kampanye. Dari total 2812 responden yang mengisi secara benar pertanyaan ini, hanya 33 responden (1,17%) yang berharap bahwa caleg memberikan uang saat kampanye. Ini berarti bahwa visi ideal responden dalam penelitian ini mengalahkan sikap pragmatis mereka untuk mendapatkan uang sesaat dalam jumlah besar pada saat kampanye.
(tidak mengisi)
0,14% 12,45%
Bisa berkomunikasi dengan masyarakat Tidak berpihak pada pemilik modal
0,71% 7,22%
Memiliki kepekaan terhadap masalah publik
15,58%
Memiliki visi misi yang jelas Memberi uang saat kampanye
1,17% 15,50%
Bertanggung jawab terhadap konstituen
47,23%
Bisa menyuarakan kepentingan rakyat
Grafik 3.12 Harapan Ideal Responden terhadap Caleg 3. Asal Caleg Latar belakang caleg dilihat dari pekerjaan, profesi atau status menunjukkan bahwa aspirasi terkuat ada pada tokoh masyarakat. Ini berarti bahwa tokoh masyarakat masih 39
mendapatkan dukungan dan tingkat kepercayaan yang kuat dari responden dibandingkan dengan latar belakang lainnya seperti akademisi atau lebih-lebih artis. Meskipun tingkat popularitas seorang caleg penting karena menentukan tingkat pengetahuan responden atas kandidat, tapi caleg dengan latar belakang artis ternyata justru paling rendah dipilih oleh responden. Diantara latar belakang pekerjaan, status sosial dalam masyarakat, predikat artis menjadi yang paling rendah dipilih responden. Bahkan, ia jauh lebih rendah dibandingkan dengan caleg dengan latar belakang seniman. Tokoh masyarakat dipilih oleh 836 responden (29,60%), Pemuka agama dipilih oleh 470 (16,64%), dan kalangan profesional sebanyak 428 (15,16%). Kaum akademisi masih mendapatkan kepercayaan yang tinggi, yakni sebanyak 345 (12,22%). Artis menempati posisi terendah, yakni 11 responden (0,39%). Kalangan TNI/Polri ternyata juga tidak cukup mendapatkan dukungan dari responden. Terbukti, hanya 256 responden (9,07%), yang menyatakan bahwa caleg ideal berasal dari TNI/POLRI. Angka ini hanya terpaut sedikit dari caleg yang berasal dari politisi sebesar 222 responden (7,86%). Ini sebenarnya agak ironis karena semestinya politikus-lah yang mendapatkan kepercayaan tinggi karena seorang anggota legislator adalah politisi. Namun, caleg dari kalangan politisi justru mendapatkan persentase yang rendah. Setidaknya, jika dibandingkan dengan yang lain. (tidak mengisi) seniman/budayawan politisi artis aktivis LSM TNI/POLRI/Purnawirawan kalangan profesional tokoh masyarakat pengusaha pemuka agama akademisi
0,28% 1,35% 7,86% 0,39% 3,19% 9,07% 15,16% 29,60%
4,25% 16,64% 12,22%
Grafik 3.13 Asal Caleg
40
4. Pendapat Responden Terhadap Legislator yang Menjadi Menteri Survei ini juga melihat bagaimana pendapat responden mengenai anggota legislatif yang sudah terpilih, tapi kemudian menjadi menteri. Pertanyaan ini dikemukakan karena diasumsikan bahwa seorang caleg terpilih ketika berpindah menjadi menteri maka tidak amanah atau tidak bertanggung jawab terhadap konstituennya. Dalam bahasa yang lebih vulgar, bisa dikatakan bahwa caleg tersebut telah berhianat atas amanah yang diberikan. Berkaitan dengan hal ini, kepada responden, ditanyakan mengenai pendapat mereka. Dari 2830 responden yang mengisi kuisioner, sebanyak 963 responden (34.03%) menyatakan biasa saja, yang bisa dimaknai bahwa responden tidak ambil pusing atas hal itu. Dengan kata lain, responden pada dasarnya tidak begitu mempermasalahkan atas hal itu. Sementara itu, sebanyak 840 responden (29.68%) menyatakan setuju dan 690 responden (24.38%) menyatakan tidak setuju.
29,68%
34,03% 24,38%
6,15%
4,84%
sangat setuju
0,92% setuju
biasa saja
tidak setuju
sangat tidak setuju
(tidakl mengisi)
Grafik 3.14 Pendapat Responden Terhadap Legislator yang Menjadi Menteri C. Persepsi Responden terhadap Capres-Cawapres 1. Kriteria Capres-Cawapres Paling Sah/Legitimate Demokrasi memberikan peluang bagi munculnya pemimpin yang legitimate dalam pengertian mendapatkan dukungan mayoritas masyarakat. Namun, pemimpin itu sering kali
41
harus melalui partai politik sebagai institusi penting demokrasi. Dalam partai politik itulah, sosialisasi, pendidikan politik dan kaderisasi dilakukan (lihat Almond, 1975) sehingga muncul pemimpin-pemimpin politik yang mempunyai kapasitas yang bagus. Berkaitan dengan hal itu, penelitian ini juga mencoba melacak manakah yang lebih diutamakan bagi seorang pemimpin yang lebih sah, apakah mendapatkan dukungan mayoritas rakyat ataukah diusung oleh partai politik yang bisa dipercaya. Penelitian ini menemukan mayoritas responden ternyata memilih bahwa pemimpin yang paling legitimate adalah harus mendapatkan dukungan rakyat, yakni sebanyak 2132 responden (75,36%). Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bahwa pemimpin tersebut-dianggap legitimate-jika diusung oleh partai politik yang bisa dipercaya. Temuan ini mengindikasikan bahwa dukungan rakyat itulah yang paling penting, dan bukannya partai politik. harus diusung oleh partai politik yang bisa dipercaya oleh rakyat Indonesia; 678; 23,97%
(tidak mengisi); 19; 0,67%
harus mendapatkan dukungan rakyat Indonesia (menang dalam pemilu); 2132; 75,36%
Grafik 3.15 Kriteria Capres-Cawapres Paling Sah/LegitimateMenurut Responden 2. Visi, Misi, dan Program Kerja yang Seharusnya Dimiliki Capres-Cawapres Dalam sistem demokrasi, pemilihan umum dilakukan guna mendapatkan pejabat publik yang mampu menyelesaikan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat atau pejabat yang mampu menawarkan beragam kebijakan yang mampu membawa kehidupan lebih baik. Oleh karena itu, dalam setiap pemilihan umum, kandidat terutama capres dan cawapres selalu dituntut untuk menyampaikan visi dan misinya. Berdasarkan visi dan misi 42
inilah mereka mendapatkan dukungan pemilih. Dalam penelitian ini, visi dan misi dibedakan atas dua hal, yakni bahwa visi dan misi mampu memecahkan persoalan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia, sedangkan yang kedua substansinya tidak dipersoalkan, tapi yang paling penting bahwa visi dan misi tersebut harus tertulis secara jelas dan terukur. Harapannya, jika visi dan misi tertulis dan terukur, maka rakyat bisa lebih mudah melakukan evaluasi atas kinerja pemimpin yang terpilih. Dari 2828 responden di sembilan kota yang melakukan isian secara benar-karena 2 responden tidak mengisi dan 2 responden yang mengisi keduanya (double), maka sebanyak 2271 responden (80,30%) memilih bahwa visi, misi, dan program kerja capres dan cawapres seharusnya mampu menjawab persoalan dan menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia terutama dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Sementara itu, ada sebanyak 555 (19,63%) yang menyatakan bahwa visi, misi, dan program itu harus ditulis dan terukur. Pilihan responden tentu saja sangat dipengaruhi oleh bagaimana responden mempersepsi lingkungan sekitarnya, dan cara pandang semacam itu sangat ditentukan oleh informasi yang mereka dapatkan terutama dari media. Masih banyaknya persoalan di Indonesia baik dalam bidang sosial, ekonomi, hukum, dan lebih-lebih politik membuat responden lebih menekankan pada penting visi dan misi kandidat dalam menyelesaikan persoalan dan menjamin kesejahteraan dibandingkan dengan lainnya. Dengan kata lain, substansi visi, misi, dan program yang mampu menyelesaikan persoalan dan juga menjamin kesejahteraan jauh lebih penting, tidak menjadi masalah jika visi, misi, dan program itu tidak mempunyai ukuran-ukuran atau indikator yang jelas.
43
harus tertulis secara jelas dan terukur dalam program kerja 5 tahun dan disampaikan dalam kampanye politik.; 555; 19,63%
(tidak mengisi); 2; 0,07%
harus menjawab persoalan dan menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia terutama dalam bidang ekonomi, pendidikan,; 2271; 80,30%
Grafik 3.16 Visi, Misi, dan Program Kerja Capres-Cawapres yang Seharusnya Dimiliki 3. Kompetensi Capres-Cawapres Kemampuan untuk menyelesaikan beragam persoalan akan sangat ditentukan oleh kapasitas atau kompetensi yang dimiliki oleh seorang kandidat atau pemimpin politik baik capres dan cawapres.Persepsi responden mengenai komptensi capres dan cawapres ini, tentu saja, dipengaruhi oleh persoalan yang dihadapi oleh responden dalam keseharian mereka. Diantara pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada responden, kemampuan capres dan cawapres dalam menangkap dan merespon dengan cepat aspirasi dan persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia menjadi yang paling tinggi, yakni dipilih oleh 1806 responden atau 64,22%. Persentase ini jauh di atas responden yang memilih bahwa capres dan cawapres harus memiliki karya nyata yang berguna bagi negara dan masyarakat Indonesia, yang dipilih 409 responden (14,54%). Sementara kemampuan capres dan cawapres dalam menangkap perubahan jaman, menjadi yang paling rendah, yakni sebanyak 81 responden atau 2,88%. Dengan demikian, menurut responden, kemampuan utama yang harus dimiliki seorang
44
capres dan cawapres bahwa mereka harus responsif baik dalam konteks menangkap aspirasi rakyat maupun dalam memecahkan persoalan. Tabel 3.7 Kompetensi yang Seharusnya Dimiliki Capres-Cawapres
Kompetensi Harus Mampu Menangkap dan Merespon dengan Cepat Aspirasi dan Persoalan yang Dihadapi Rakyat Indonesia Harus Memiliki Background Pendidikan Tinggi, Setingkat Sarjana Harus Memiliki Karya Nyata yang Berguna Bagi Negara dan Masyarakat Indonesia Harus Memiliki Kemampuan Komunikasi yang Baik (Misalnya dalam Public Speaking, Lobby, Berdialog dengan Masyarakat Harus Mampu Menangkap Perubahan Jaman Harus Pernah Berjuang Demi Demokrasi, Sosial, Ekonomi, dan Budaya (tidak mengisi) Total
Frekuensi Persen 1806 158
64.22% 5.62%
409
14.54%
158 81
5.62% 2.88%
199 1 2812
7.08% 0.04% 100.00%
4. Kualitas/Karakter Capres-Cawapres Kualitas atau karakter merujuk pada kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh seorang capres dan cawapres. Dalam penelitian ini, kualitas pribadi seorang capres atau cawapres dilihat dari track record positif; berjiwa kerakyatan; tidak terlibat dalam pelanggaran HAM; berkepribadian jujur, terbuka, dan transparan; serta nasionalis. Diantara pilihan tersebut, berjiwa kerakyatan dan komitmen untuk melayani rakyat serta kepribadian yang baik (jujur, terbuka/transparan, dan bertanggung jawab) menempati persentase tertinggi. Dari 2815 responden yang melakukan pengisian secara benar, sebanyak 1066 (37.87%) memilih bahwa seorang capres dan cawapres seyogianya memiliki kepribadian yang jujur, terbuka/transparan, dan bertanggung jawab; dan sebanyak 1024 responden (36.38%) yang menyatakan bahwa seorang capres dan cawapres seyogianya mempunyai jiwa kerakyatan dan menunjukkan komitmen untuk melayani rakyat. Sebaliknya, responden
45
tidak begitu memersoalkan apakah capres dan cawapres apakah melanggar HAM atau tidak, seorang nasionalis ataukah tidak? Tentu saja, temuan ini tidak berarti bahwa responden toleran terhadap capres dan cawapres yang melanggar HAM, tapi
lebih pada persoalan terbesar yang dihadapi
masyarakat saat ini, yakni langkanya pemimpin yang jujur, terbuka, dan tanggung jawab serta rendahnya pemimpin yang benar-benar melayani masyarakat. Sebaiknya, banyak elit diindikasi tidak jujur yang ditunjukkan oleh kasus-kasus korupsi dan elit-elit yang mementingkan dirinya sendiri atau kelompoknya. Akibatnya, kepentingan rakyat dikalahkan oleh hasrat untuk memenuhi hasrat pribadi dan kelompoknya. Oleh karena itu, dalam pandangan responden, dua karakter tersebutlah yang dianggap lebih penting bagi responden dibandingkan dengan karakter lainnya. Tabel 3.8 Kualitas/Karakter Capres-Cawapres yang Seharusnya Dimiliki Capres-Cawapres
Kualitas/Karakter Capres-Cawapres Harus Memiliki dan Menunjukkan Track Record Positif Secara Objektif Tanpa Adanya Unsur Manipulasi Harus Berjiwa Kerakyatan dan Menunjukkan Komitmen Melayani Rakyat Tidak Pernah Terlibat dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Harus Memiliki Kepribadian yang Baik (Seperti Jujur, Terbuka/Transparan, Bertanggung Jawab, Dsb.). Harus Seorang Nasionalis (Tidak Mengisi) Total
Frekuensi
Persen
464
16.48%
1024
36.38%
156
5.54%
1066 101 4 2815
37.87% 3.59% 0.14% 100.00%
46
5. Komitmen yang Seharusnya Dimiliki Calon Presiden-Wakil Presiden Bagi sebagian besar responden, menentukan satu komitmen yang harus dimiliki oleh calon presiden dan calon wakil presiden bukanlan persoalan yang mudah. Beragamnya persoalan yang belum terselesaikan dan masih membelenggu kehidupan bangsa menyebabkan tuntutan responden terhadap komitmen calon mencakup beragam. Ini terlihat dari adanya sejumlah responden menjawab pertanyaan penelitian lebih dari satu jawaban. Berdasarkan akumulasi jawaban, komitmen bahwa calon presiden dan calon wakil presiden harus tegas menolak korupsi dan segala bentuk gratifikasi mendapatkan perhatian responden paling banyak, yaitu 946 responden (33.65%). Isu lain yang juga dianggap penting oleh responden adalah kemampuan mengemban dan melaksanakan amanat undang-undang, kemampuan menegakkan hukum, memiliki motivasi dan komitmen kuat membangun bangsa, bersedia membuka dialog langsung dengan seluruh rakyat Indonesia, menghargai dan melindungi keberagaman budaya dan agama bangsa Indonesia, berkomitmen dalam meningkatkan produksi dalam negeri dan cinta produk Indonesia dan berkomitmen pada industri kecil atau ekonomi kerakyatan. 6. Pendapat Responden Mengenai Rangkap Jabatan dalam Partai Politik dan Presiden/Wakil Presiden Sebagian besar responden menyatakan ketidaksetujuannya jika presiden dan atau wakil presiden memiliki jabatan rangkap dalam partai politik. Sejumlah 1.338 (47.30%) responden menyatakan tidak setuju dan sebanyak 384 responden (13.57%) menyatakan sangat setuju. Hasil penelitian ini nampaknya memiliki korespondensi dengan wacana yang selama ini berkembang yang menyoroti banyaknya pejabat negara yang menggunakan fasilitas negara dan mengatasnamakan kepentingan umum, tapi sebenarnya digunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Seperti banyak dijumpai saat ini, banyak pejabat yang menggunakan anggaran negara untuk mempromosikan dirinya. Ketidaksetujuan ini mencerminkan besarnya keinginan masyarakat agar presiden/wakil presiden dapat lebih
47
berkonsentrasi dan mendahulukan kepentingan umum. Larangan rangkap jabatan dinilai sebagai solusi mengatasi penyalahgunaan kewenangan/otoritas. Meskipun demikian, ada juga responden yang menyetujui rangkap jabatan dengan persentase yang lebih kecil. Dari total responden, sebanyak 479 responden (16.93%) menyatakan setuju dan 101 responden (3.5%) sangat tidak setuju jika presiden/wakil presiden rangkap jabatan. Responden yang setuju dengan rangkap jabatan ini terutama yang berada di wilayah Sorong. Di wilayah ini, sebanyak 138 respoden menyatakan setuju dengan rangkap jabatan. Responden dengan usia relatif muda (usia 17 s.d. 27 dan >27 s.d 37 tahun) juga cenderung menyetujui rangkap jawaban. Grafik 3.17 menunjukkan persentase variasi jawaban.
Grafik 3.17 Pendapat tentang rangkap jabatan bagi presiden/wakil presiden 7. Latar Belakang Capres dan Cawapres yang Ideal Dalam penelitian ini, terlihat bahwa responden tidak terlalu terpaku pada satu spesifikasi tertentu menyangkut latar belakang calon presiden/wakil calon presiden. Beberapa responden dalam penelitian ini bahkan menjawab lebih dari satu jawaban untuk menunjukkan fleksibilitas latar belakang capres/cawapres yang ideal. Meskipun tokoh masyarakat mendapatkan perhatian paling besar dari responden, tapi perbedaan jumlah
48
atau persentase tersebut tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan latar belakang capres/cawapres yang berasal dari golongan TNI/Polri/Purnawirawan, kalangan profesional, pemuka agama, akademisi dan politisi. Distribusi jawaban responden menyangkut latar belakang capres/cawapres yang ideal dapat dilihat dalam grafik 3.18. Menariknya, popularitas ternyata tidak menjadi indikasi yang paling menentukan. Ini terlihat dari rendahnya artis dipilih oleh responden, yang hanya 0,39%. Ini menarik karena perkembangan mutakhir justru banyak artis yang digait partai politik. Rendahnya artis ini dipilih responden berkait dengan temuan lain dalam penelitian ini mengenai caprescawapres ideal, bahwa mereka hanya sudah dipercaya masyarakat dalam keseharian sehingga tokoh masyarakat menjadi yang paling tinggi.
Grafik 3.18 Latar Belakang Capres/Cawapres yang Ideal
49
D. Harapan Responden Atas Siaran Pemilu 1. Sosialisasi Pemilu 2014 yang Dilakukan oleh KPU/Pemerintah Responden menilai sosialisasi mengenai Pemilu 2014 yang dilakukan oleh KPU/pemerintah masih belum optimal. Sebanyak 928 responden (32.79%) menyatakan sosialisasi masih jarang dilakukan, sebanyak 666 responden (23.53%) menyatakan cukup dan sebanyak 524 responden (18.52%) menyatakan tidak pernah ada sosialisasi. Grafik 3.19 menunjukkan distribusi tanggapan responden tentang penilaian sosialisasi pemilu 2014 yang dilakukan oleh KPU/pemerintah.
Grafik 3.19 Penilaian tentang sosialisasi mengenai Pemilu 2014 Kegiatan sosialisasi pemilu merupakan hal penting yang seharusnya diperhatikan oleh KPU/Pemerintah untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memberikan hak suaranya. Sosialisasi ini seharusnya dilakukan seawal mungkin agar masyarakat memiliki informasi yang jelas dan akurat mengenai pemilu. Disamping itu, kurang maksimalnya perhatian KPU/pemerintah dalam hal sosialisasi nampaknya juga membebani sejumlah caleg parpol. Para caleg harus berjibaku melakukan sosialisasi pemilu sambil melakukan
50
kampanye politik kepada calon pemilih.6 Ke depan, persoalan ini perlu ditangani secara serius oleh KPU/pemerintah melihat sejumlah penyimpangan dalam kampanye politik yang terjadi selama ini, seperti, penyalahgunaan televisi untuk kampanye politik pemiliknya, dan merebaknya kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai politik yang disinyalir digunakan untuk membiayai aktivitas partai politik termasuk memenangi pemilu. 2. Cara Mengenal Caleg-Caleg di Daerah Pemilihan Responden Iklan luar ruang (seperti baliho, spanduk, stiker, pamflet, dll.) merupakan medium yang paling sering digunakan oleh responden untuk mengenali calon-calon legislatif di daerah pemilihan dimana responden berada. Ada sebanyak 1.248 responden (44.37%) yang menyatakan menggunakan medium tersebut untuk mengetahui calon. Cara atau medium lain yang juga sering dirujuk oleh responden untuk mengetahui calon adalah kampanye yang dilakukan oleh calon legislatif (14.61%), sosialisasi dari partai (10.84%) dan televisi (10.70%). Penggunaan radio nampaknya tidak terlalu populer, sebanyak 135 responden saja (4.80%) yang menggunakannya untuk mengenal caleg di daerah pemilihan. Sementara itu, responden yang mengetahui para caleg dari sosialisasi pemilu dari KPUD hanya berkisar 2.88% (81 responden). Tabel 3.9 Menunjukkan distribusi data yang dimaskud.
6
“KPU diminta gencarkan sosialisasi pemilu 2014”. Antaranews.com. 7 Ferbruari 2014. Retrieved http://www.antaranews.com/berita/417776/kpu-diminta-gencarkan-sosialisasi-pemilu-2014
51
Tabel 3.9 Cara Responden Mengenali Caleg di Daerah Pemilihan Cara Responden Mengenai Caleg Iklan luar ruang (baliho, spanduk, stiker, pamflet, dll) Kampanye caleg Sosialisasi dari partai Televisi Obrolan warga Radio Sosialisasi dari KPUD Surat kabar Internet (tidak mengisi) Total
Frekuensi
Persen
1248 411 305 301 228 135 81 65 38 1 2813
44.37% 14.61% 10.84% 10.70% 8.11% 4.80% 2.88% 2.31% 1.35% 0.04% 100.00%
Penggunaan media luar ruang, kampanye caleg, sosialisasi parpol dan penggunaan televisi merupakan medium yang high cost dan hanya partai-partai besar dan berduit yang mampu
melakukannya.
Sementara
itu,
sosialisasi
pemilu
yang
dilakukan
oleh
KPU/pemerintah kurang berarti bagi responden. Kemungkinan, hal ini disebabkan karena KPU/pemerintah kurang gencar melakukan sosialisasi tersebut. Persoalan ini membawa dampak pada pengetahuan publik yang kemudian terkonsentrasi pada partai-partai besar dan berduit saja. 3. Cara Mencari Tahu tentang Caleg yang Akan Dipilih Cara responden mencari tahu tentang caleg yang akan dipilih tidak berbeda jauh dengan cara mereka mengenal caleg di daerah pemilihannya. Iklan luar ruang tetap mendominasi. Sebanyak 1.074 responden (38.02%) menyatakan menggunakan medium ini untuk mencari tahu tentang caleg. Medium selanjutnya yang cukup banyak digunakan oleh responden berturut-turut adalah kampanye, televisi, bertanya pada tokoh masyarakat dan informasi di KPU/KPUD. Tabel 3.10 menunjukkan distribusi jawaban responden tentang cara mereka mencari tahu tentang caleg yang akan dipilih.
52
Tabel 3.10 Media untuk Mencari Tahu tentang Caleg yang Akan Dipilih Media untuk Mencari Tahu tentang Caleg Iklan luar ruang (baliho, spanduk, stiker, dll) Kampanye Televisi Bertanya pada tokoh masyarakat Informasi di KPU/KPUD Surat kabar Tidak mau tahu Radio Informasi di kantor partai Internet (tidak mengisi) Total
Frekuensi 1074 535 350 203 185 142 141 80 62 45 8 2825
Persen 38.02% 18.94% 12.39% 7.19% 6.55% 5.03% 4.99% 2.83% 2.19% 1.59% 0.28% 100.00%
Dilihat dari pola jawaban responden, dapat diketahui bahwa beberapa responden sengaja mengombinasikan sejumlah medium sebelum mereka menentukan caleg yang akan mereka pilih. Dengan kata lain, responden tidak hanya mempercayakan satu medium saja untuk mengetahui caleg dan menetapkan pilihannya. Temuan yang menarik di sini adalah keberadaan tokoh masyarakat yang ternyata menjadi salah satu rujukan bagi responden untuk mengetahui si caleg dan menetapkan pilihan. Di sini, posisi tokoh masyarakat dipercaya sebagai gatekeeper sebelum keputusan pilihan diambil. Responden yang banyak merujuk pada tokoh masyarakat ini antara lain terutama mereka yang tinggal di wilayah Tanjung Pinang (49 responden atau 1.7%), berusia diantara 37 s.d. 47 tahun (56 responden atau 2%), dan berpendidikan SLTA (95 responden atau 3.4%). Temuan yang perlu mendapatkan perhatian barangkali ada terkait dengan jawaban responden yang menyatakan tidak mau tahu tentang calon. Sebanyak 141 responden (4.99%) responden memberikan jawaban demikian. Jawaban ini cerminan dari sikap apatis dalam memilih calon karena tidak memiliki ketertarikan untuk mengetahuinya.
53
Hasil crosstab pada tabel 3.11 memberikan gambaran mengenai hal ini. Tabel 3.11 menunjukkan bahwa hanya ada dua kota dimana radio paling banyak digunakan, yakni Biak dan Sorong. Selebihnya, radio digunakan kurang dari 2% sebagai medium mencari informasi mengenai caleg. Hanya di Jayapura dimana sebanyak 2,54% masih menggunakan radio. Persentase di Biak dan Sorong menjadi lebih besar dimana radio digunakan untuk mengenal caleg. Di Biak, ada sebanyak 13,74%; sedangkan di Sorong sebanyak 13,65% (lihat tabel 3.12).
54
Tabel 3.11 Crosstabulation Penggunaan Radio di Masing-Masing Daerah untuk Mencari Tahu Caleg
Medium yang Digunakan Responden Mencari Tahu tentang Caleg Yang Akan Dipilih
Kota yang Diteliti Jayapura
Biak
Sorong
Mataram
Banjarmasin
Tanjung Pinang
Bandar Lampung
Surabaya
Cirebon
informasi di KPU/KPUD
informasi di kantor partai
kampanye
iklan luar ruang (baliho, spanduk, stiker, dll)
televisi
surat kabar
bertanya pada tokoh masyarakat
Total tidak mau tahu
radio
internet
16
5
64
109
57
23
13
11
8
9
315
5.08%
1.59%
20.32%
34.60%
18.10%
7.30%
4.13%
3.49%
2.54%
2.86%
100.00%
36
10
96
88
14
11
24
5
28
1
313
11.50%
3.19%
30.67%
28.12%
4.47%
3.51%
7.67%
1.60%
8.95%
0.32%
100.00%
14
10
87
95
52
13
7
11
21
5
315
4.44%
3.17%
27.62%
30.16%
16.51%
4.13%
2.22%
3.49%
6.67%
1.59%
100.00%
14
6
39
139
37
12
29
32
4
3
315
4.44%
1.90%
12.38%
44.13%
11.75%
3.81%
9.21%
10.16%
1.27%
0.95%
100.00%
14
3
33
146
60
10
14
19
5
9
313
4.47%
0.96%
10.54%
46.65%
19.17%
3.19%
4.47%
6.07%
1.60%
2.88%
100.00%
18
2
70
96
33
23
49
18
5
1
315
5.71%
0.63%
22.22%
30.48%
10.48%
7.30%
15.56%
5.71%
1.59%
0.32%
100.00%
7
7
50
163
14
27
25
10
3
7
313
2.22%
2.22%
15.87%
51.75%
4.44%
8.57%
7.94%
3.17%
0.95%
2.22%
99.37%
27
11
51
106
58
20
19
17
2
3
314
8.60%
3.50%
16.24%
33.76%
18.47%
6.37%
6.05%
5.41%
0.64%
0.96%
100.00%
39
8
45
132
25
3
23
18
4
7
304
12.83%
2.63%
14.80%
43.42%
8.22%
0.99%
7.57%
5.92%
1.32%
2.30%
100.00%
55
Tabel 3.12 Medium yang Digunakan untuk Mengenal Caleg Medium yang Digunakan Responden Mengenal Caleg-Caleg di Daerah Pemilihan
kota yang diteliti Jayapura
Biak
Sorong
Mataram
Banjarmasin
Tanjung Pinang Bandar Lampung Surabaya
Cirebon
sosialisasi dari KPUD
sosialisasi dari partai
kampanye caleg
8
30
57
7
7
38
11
13
144
315
2.54%
9.52%
18.10%
2.22%
2.22%
12.06%
3.49%
4.13%
45.71%
100.00%
internet
radio
televisi
surat kabar
iklan luar ruang (baliho, spanduk, stiker, pamflet, dll)
obrolan warga
Total
30
18
52
2
43
17
6
18
127
313
9.58%
5.75%
16.61%
0.64%
13.74%
5.43%
1.92%
5.75%
40.58%
100.00%
6
32
55
2
43
44
7
16
110
315
1.90%
10.16%
17.46%
0.63%
13.65%
13.97%
2.22%
5.08%
34.92%
100.00%
2
41
26
1
8
31
1
46
159
315
0.63%
13.02%
8.25%
0.32%
2.54%
9.84%
0.32%
14.60%
50.48%
100.00%
4
23
25
2
8
44
9
24
176
315
1.27%
7.30%
7.94%
0.63%
2.54%
13.97%
2.86%
7.62%
55.87%
100.00%
7
32
59
3
7
32
10
40
125
315
2.22%
10.16%
18.73%
0.95%
2.22%
10.16%
3.17%
12.70%
39.68%
100.00%
5
28
42
4
7
16
12
35
164
313
1.60%
8.95%
13.42%
1.28%
2.24%
5.11%
3.83%
11.18%
52.40%
100.00%
13
62
46
8
7
58
7
9
105
315
4.13%
19.68%
14.60%
2.54%
2.22%
18.41%
2.22%
2.86%
33.33%
100.00%
6
39
49
9
5
21
2
27
138
296
2.03%
13.18%
16.55%
3.04%
1.69%
7.09%
0.68%
9.12%
46.62%
100.00%
56
4. Media yang Digunakan untuk Mengenal Capres-Cawapres Cara responden mengenali calon presiden dan calon wakil presiden agak berbeda dengan calon legislatif. Jika dalam mengenali calon legislatif responden lebih banyak yang merujuk pada media luar ruang, maka dalam mengetahui calon presiden dan calon presiden responden banyak yang merujuk pada penggunaan televisi. Sebanyak 1.534 responden (54.47%) menyatakan menggunakan televisi sebagai cara untuk mengenali calon. Media berikutnya yang cukup banyak digunakan oleh responden berturut-turut: iklan luar ruang (531 responden atau 18.86%), kampanye capres-cawapres (312 responden atau 11.08%), dan sosialisasi dari partai (170 responden atau 6.04%). Grafik 3.20 menunjukkan distribusi media yang digunakan oleh responden untuk mengenali capres-cawapres.
Grafik 3.20 Cara Mengenali Capres-Cawapres Tingginya penggunaan televisi untuk mengenali capres-cawapres ini paralel dengan realitas penggunaan televisi sebagai media ‘kampanye’ oleh para calon capres-cawapres. Terlebih, calon yang mempunyai media televisi sendiri seperti Hary Tanoesoedibjo, Abu Rizal Bakrie, dan juga Surya Paloh. Melalui beragam program mulai dari iklan, kuis, konstruksi berita, siaran event-event tertentu, hingga iklan terselubung melalui program hiburan, publik dapat melihat gencarnya ‘kampanye’ yang dilakukan oleh sejumlah capres57
cawapres. Intensitas penggunaan televisi terutama dilakukan oleh pemilik yang kebetulan mencalonkan diri sebagai pasangan capres-cawapres. Penggunaan radio tidak begitu populer, hanya ada sebanyak 88 responden (3.13%) yang menggunakan medium tersebut untuk mengenali capres-cawapres. Ada dua kemungkinan rendahnya penggunaan radio di sini. Pertama, muatan informasi tentang capres-cawapres di radio sangatlah rendah. Rendahnya informasi ini dimungkinkan disebabkan oleh kebijakan radio yang kurang memandang penting informasi tersebut atau memang tidak banyak capres-cawapres yang tertarik menggunakan radio. Kedua, radio itu sendiri barangkali memang tidak mendapatkan popularitas yang cukup sehingga kurang menjadi rujukan responden. Secara jelas, hal itu bisa dilihat pada tabel 3.13.
58
Tabel 3.13 Medium yang Digunakan Responden untuk Mengenal Capres-Cawapres di Masing-Masing Daerah
kota yang diteliti Jayapura Biak Sorong Mataram Banjarmasin Tanjung Pinang Bandar Lampung Surabaya Cirebon
sosialisasi dari partai
Medium yang Digunakan Responden Mengenal Capres-Cawapres kampanye iklan luar ruang capres(baliho, spanduk, cawapres internet stiker, pamflet) radio televisi surat kabar
obrolan warga
Total
27
36
10
83
9
139
5
6
315
8.57%
11.43%
3.17%
26.35%
2.86%
44.13%
1.59%
1.90%
100.00%
24
44
1
76
23
136
3
5
312
7.69%
14.10%
0.32%
24.36%
7.37%
43.59%
0.96%
1.60%
100.00%
18
29
2
49
18
183
7
9
315
5.71%
9.21%
0.63%
15.56%
5.71%
58.10%
2.22%
2.86%
100.00%
17
34
3
52
8
190
5
5
314
5.41%
10.83%
0.96%
16.56%
2.55%
60.51%
1.59%
1.59%
100.00%
15
14
5
47
6
216
4
7
314
4.80%
4.50%
1.60%
15.00%
1.90%
68.80%
1.30%
2.20%
100.00%
16
26
7
40
8
201
10
7
315
5.08%
8.25%
2.22%
12.70%
2.54%
63.81%
3.17%
2.22%
100.00%
10
38
5
48
4
193
10
7
315
3.17%
12.06%
1.59%
15.24%
1.27%
61.27%
3.17%
2.22%
100.00%
19
59
5
62
9
142
13
5
314
6.05%
18.79%
1.59%
19.75%
2.87%
45.22%
4.14%
1.59%
100.00%
24
32
6
74
3
134
7
18
298
8.05%
10.74%
2.01%
24.83%
1.01%
44.97%
2.35%
6.04%
100.00%
59
5. Informasi Penting Terkait Siaran Pemilu 2014 Berkaitan dengan Caleg Berkait dengan informasi pemilu, informasi mengenai visi dan misi caleg menjadi menjadi jenis informasi yang paling diinginkan responden. Sebanyak 1.720 responden (60.88%) menyatakan informasi ini sebagai hal penting. Responden lainnya menyatakan informasi mengenai track record calon (378 responden atau 13.38%), profil calon (374 responden atau 13.24%), dan informasi ringan seputar calon (345 responden atau 12.21%) menjadi yang paling penting. Tabel 3.13 menyajikan distribusi jawaban responden tentang informasi yang menurutnya penting dalam siaran Pemilu 2014. Tabel 3.14 Informasi Penting tentang Calon Legislatif dalam Siaran Pemilu 2014 Informasi Mengenai Caleg Visi, misi kandidat Track record kandidat Profil kandidat Informasi ringan seputar kandidat (tidak mengisi) Total
Frekuensi 1720 378 374 345 8 2825
Persen 60.88% 13.38% 13.24% 12.21% 0.28% 100.00%
Ketika visi dan misi calon menjadi informasi yang dianggap penting oleh responden, maka seharusnya media, termasuk radio, pro-aktif untuk mengungkapkan apa yang menjadi visi dan misi calon. Di luar, media seharusnya juga menyampaikan apa yang akan dilakukan para calon untuk dapat merealisasikan visi dan misi tersebut. Ini penting karena visi dan misi sering hanyalah sebuah janji yang sering kali tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Seperti terpampang dalam beragam iklan, ada kecenderungan para calon berbicara ‘manis’ tentang visi dan misi mereka, tapi melupakan bagaimana hal itu bisa diraih. Informasi ini akan sangat membantu publik untuk secara rasional mempertimbangkan caleg yang akan dipilihnya nanti. Di sinilah, informasi mengenai track record itu menjadi penting.
60
6. Informasi Penting terkait Calon Presiden dan Wakil Presiden Temuan yang sama juga terdapat pada informasi yang dianggap penting oleh responden terkait liputan Pemilu 2014 berkaitan dengan calon presiden dan wakil presiden. Sebagian besar responden (1.693 responden atau 59.93%) menyatakan informasi penting adalah mengungkapkan visi dan misi calon. Informasi lainnya yang juga dianggap penting adalah track record calon (dinyatakan oleh 424 responden atau 15.01%), profil calon (403 responden atau 14.27%) dan informasi ringan seputar kandidat (292 responden atau 10.34%). Tabel 3.14 menunjukkan hasil yang dimaksud. Data ini menunjukkan pengharapan publik agar media, termasuk radio, berperan mengungkapkan informasi tersebut. Informasi yang jelas dan komprehensif tentang calon akan membantu publik menentukan pilihan yang tepat. Tabel 3.15 Informasi Penting tentang Capres-Cawapres dalam Siaran Pemilu 2014
Informasi Capres dan Cawapres Visi, misi kandidat Track record kandidat Profil kandidat Informasi ringan seputar kandidat (tidak mengisi) Total
Frekuensi 1693 424 403 292 13 2825
Persen 59.93% 15.01% 14.27% 10.34% 0.46% 100.00%
7. Jenis Informasi Berkaitan dengan Pemilu Dalam sistem demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia saat ini, ketersediaan informasi yang berkualitas adalah prasyarat utama. Salah satu jenis informasi yang penting adalah informasi yang berkaitan dengan pemilu. Pemilu seringkali disebut juga dengan pesta demokrasi karena memang ketika pemilu warga negara “berpesta” dengan memberikan
61
suara dan menentukan jalannya roda pemerintahan untuk periode berikutnya. Tanpa informasi yang memadai berkaitan dengan pemilu, secara umum, warga tidak akan berkontribusi maksimal bagi demokrasi. Berkaitan dengan hal itu, penelitian ini juga berusaha menyingkap informasi apa saja yang dibutuhkan responden berkaitan dengan pemilu. Ketika responden ditanya mengenai informasi yang diperlukan berkaitan dengan pemilu secara umum, jawaban responden relatif beragam. Informasi yang paling diinginkan responden adalah mengenai pengawasan, pemungutan, dan penghitungan suara, yaitu sebanyak 28,08%. Jawaban ini mengindikasikan bahwa proses yang terjadi pada hari pemungutan suara dipandang paling penting dibandingkan dengan tahapan pemilu yang lain, misalnya, proses kampanye. Jenis informasi kedua yang diinginkan oleh responden adalah informasi mengenai hak dan kewajiban pemilih, yaitu sebanyak 27,51%. Hak dan kewajiban warga negara adalah hal mendasar yang harus dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia, terutama hak dan kewajiban pemilih. Hak atas informasi yang berkualitas berkaitan dengan pemilu berbanding dengan kewajiban warga memilih anggota legislatif dan pemimpin negara. Berikutnya, informasi yang diinginkan oleh responden adalah informasi mengenai upaya untuk mewujudkan pemilu yang damai. Sebagai pesta demokrasi lima tahun sekali, tentu saja, responden menginginkan pemilu berjalan dengan relatif damai sehingga berbagai informasi yang berhubungan dengan upaya untuk mewujudkan pemilu yang damai.
62
Tabel 3.16 Jenis Informasi Berkaitan dengan Pemilu Informasi tentang Pemilu yang Paling Diinginkan oleh Responden Hak dan kewajiban pemilih Sistem pemilu secara umum Upaya mewujudkan pemilu yang damai Pengawasan kampanye, pemugutan dan penghitungan suara Tidak mengisi Total
Frekuensi
Persen
778 616 633
27,51% 21,78% 22,38%
794
28,08%
7 2828
0,25% 100%
8. Informasi Berkaitan dengan Aktivitas Warga atau Calon Pemilih Responden juga berpendapat beragam ketika ditanya mengenai informasi yang paling diinginkan berkaitan dengan aktivitas warga atau calon pemilih. Persentase responden yang terbesar adalah responden yang menginginkan informasi yang berkaitan dengan keterlibatan warga dalam kampanye pemilu, yaitu sebesar 35, 61%. Pemilu adalah aktivitas seluruh warga negara Indonesia dan bukan hanya didominasi oleh elit politik sehingga wajar bila responden ingin melihat informasi keterlibatan sesama warga di tempat lain. Sementara itu, jenis informasi yang paling diinginkan berikutnya oleh responden adalah informasi yang berkaitan dengan sikap warga dalam menghadapi pemilu, yaitu sebesar 29, 92%. Sikap warga dalam menghadapi pemilu selalu menarik untuk dicermati walaupun bila sikap tersebut merupakan sikap kontra dari warga. Terakhir, sebanyak 611 atau 21,61% responden menginginkan informasi berkaitan dengan upaya warga dalam memantau pemilu. Informasi mengenai sesama warga dalam menyukseskan pemilu, terutama pemantauan semua prosesnya, selalu menarik untuk diikuti. Dalam hal ini responden menyadari perannya sebagai pihak yang berupaya mewujudkan pemilu yang berkualitas baik sesuai dengan porsinya.
63
Tabel 3.17 Jenis Informasi Berkaitan dengan Aktivitas Warga/Calon Pemilih Informasi tentang Aktivitas Warga/Calon Pemilih yang Paling Diinginkan Responden Keterlibatan warga dalam kampanye pemilu Upaya warga memantau pemilu Sikap warga menghadapi pemilu Aktivitas warga dalam menanggapi pemilu Tidak mengisi Total
Frekuensi
Persen
1007
35,61%
611 846 362
21,61% 29,92% 12,80%
2 2828
0,07% 100%
9. Informasi yang Paling Diinginkan Berkaitan dengan Partai Politik Era keterbukaan informasi setidaknya mengakibatkan warga negara lebih ingin melihat partai politik yang terbuka. Kenyataan ini terlihat dari jawaban responden ketika ditanya informasi yang paling diinginkan berkaitan dengan partai politik. Sebagian besar responden, yaitu 71,58% menjawab bahwa informasi yang paling diinginkan berkaitan dengan partai politik adalah visi, misi, dan program partai politik. Jawaban ini mengindikasikan bahwa responden menginginkan keterbukaan partai politik karena bagaimanapun juga partai politik beraktivitas di ruang publik sehingga transparansi proses dan keterbukaan informasi sangatlah penting. Pada urutan berikutnya, informasi yang paling diinginkan oleh responden adalah aktivitas partai politik, yaitu dipilih oleh 426 responden atau sebesar 15,06%. Selain informasi yang sifatnya utama, informasi yang berkaitan dengan kegiatan partai politik juga disampaikan. Responden turut memantau apa yang sedang dilakukan oleh partai politik dan juga menilai kinerjanya. Jenis informasi lain yang paling diinginkan oleh responden berkaitan dengan partai politik adalah informasi mengenai track record partai politik, yaitu sebesar 8,55% dari keseluruhan responden yang memilih. Informasi mengenai kinerja partai politik, terutama
64
prestasi dan kegagalannya, pada masa lalu perlu diketahui oleh warga karena keputusan untuk memilih haruslah dilengkapi dengan informasi selengkap mungkin. Berikut ini adalah tabel informasi yang paling diinginkan oleh responden berkaitan dengan partai politik: Tabel 3.18 Jenis Informasi Berkaitan dengan Partai Politik Informasi tentang Partai Politik yang Paling Diinginkan Responden Aktivitas partai politik Visi, misi, dan program partai politik Track record partai politik Dana parpol Elit parpol Tidak mengisi Total
Frekuensi
Persen
426 2025
15,06% 71,58%
242 99 34 3 2829
8,55% 3,50% 1,20% 0,11% 100%
10. Bentuk Informasi yang Sebaiknya Disajikan Mengenai Pemilu Format informasi atau pesan media yang diinginkan oleh warga negara yang menjadi khalayak menentukan kecepatan, kedalaman, dan keluasan informasi yang diberikan oleh media. Berkaitan dengan pemilu, sebagian besar responden menginginkan informasi disajikan dalam bentuk yang dialogis, menarik, dan mudah dimengerti. Realitas tersebut tercermin dari pendapat responden dimana sebagian besar responden berpendapat bahwa sebaiknya informasi disajikan dalam bentuk dialog interaktif. Format ini dipilih oleh 732 responden atau 25,95% responden. Bentuk pesan media yang dialogis disukai oleh warga karena melalui dialog masalah-masalah dalam kehidupan bersama dapat dibicarakan dan bila mungkin dipecahkan. Bentuk atau format sajian informasi lain yang diinginkan oleh responden adalah format laporan langsung dari lokasi (report on the spot), yang dipilih oleh 598 responden atau sebesar 21,2%. Kejadian yang disampaikan secara langsung masih disukai oleh
65
responden karena memiliki karakter aktualitas dan faktualitas paling tinggi dibandingkan dengan bentuk pesan yang lain. Pada urutan ketiga, format informasi berkaitan dengan pemilu yang diinginkan oleh responden adalah berita dalam bentuk hardnews, yang dipilih oleh 586 responden atau sebesar 20,77% dari total responden. Mirip dengan siaran langsung dari tempat kejadian, berita yang berwujud fakta “keras”, yang belum terlalu diberi perspektif dan analisis, menarik untuk diakses. Di dalam komunikasi politik masyarakat yang demokratis warga negara memerlukan sebanyak mungkin fakta agar kualitas aktivitas politik yang juga dilakukannya relatif memadai. Berikut ini adalah tabel lengkap sajian bentuk atau format informasi yang diinginkan oleh responden berkaitan dengan pemilu. Tabel 3.19 Penyajian Informasi tentang Pemilu Penyajian Informasi tentang Pemilu Berita hardnews Feature/majalah udara Dialog interaktif Obrolan ringan Jingle/informasi menyisip dalam acara Sekilas info Komentar Wawancara berita Laporan langsung dari lokasi (report on the spot) Pendapat masyarakat umum (vox pop) Tidak mengisi Total
Frekuensi 586 37 732 177 67
Persen 20,77% 1,31% 25,95% 6,27% 2,38%
109 51 188 598
3,86% 1,81% 6,66% 21,20%
274
9,71%
2 2821
0,07% 100%
Ketika dihubungkan dengan usia, responden memiliki pendapat yang konsisten dengan bentuk informasi disajikan, bahkan kelompok usia muda cenderung lebih menyukai informasi yang dikemas secara dialogis. Tidak ada perbedaan mengenai pendapat informasi
66
yang disajikan, setiap rentang usia paling menginginkan format dialog interaktif untuk mengemas informasi mengenai pemilu. Tabel 3.20a Crosstabulation Usia dengan Penyajian Informasi Pemilu
Usia Responden 17 s.d 27 tahun >27 s.d 37 tahun >37 s.d 47 tahun >47 s.d 57 tahun >57 tahun
Berita Hardnews 128 20,61% 145 21,58% 138 19,77% 108 20,81% 65 22,11%
Feature Majalah Udara 8 1,29% 10 1,49% 9 1,29% 4 0,77% 6 2,04%
Dialog Interaktif 159 25,60% 169 25,15% 175 25,07% 152 29,29% 72 24,49%
Obrolan Ringan 45 7,25% 41 6,10% 41 5,87% 38 7,32% 11 3,74%
Jingle/Informasi Menyisip dalam Acara 13 2,09% 20 2,98% 26 3,72% 5 0,96% 3 1,02%
Hal yang unik adalah responden yang berada dalam kelompok usia muda, yaitu antara 17 sampai dengan 27 tahun ternyata tidak begitu menyukai format obrolan ringan untuk informasi mengenai pemilu seperti yang diasumsikan selama ini. Hal lain yang juga menarik untuk diamati adalah format laporan langsung dari lokasi (report on the spot). Responden menyadari arti penting faktualitas dan aktualitas dalam penyampaian informasi mengenai pemilu. Pertanyaan yang penting untuk diperdalam adalah bagaimana cara melaporkan langsung kegiatan politik, yang semestinya memerlukan kecakapan tersendiri bila dibandingkan dengan peliputan kegiatan-kegiatan yang lain.
67
Tabel 3.20b Crosstabulation Usia dengan Penyajian Informasi Pemilu Usia Responden
Sekilas Info
Komentar
17 s.d 27 tahun
22 3,54% 25 3,72% 24 3,44% 21 4,05% 17 5,78%
18 2,90% 11 1,64% 11 1,58% 6 1,16% 5 1,70%
>27 s.d 37 tahun >37 s.d 47 tahun >47 s.d 57 tahun >57 tahun
Wawancara Laporan Langsung Berita dari Lokasi (Report On The Spot) 51 121 8,21% 19,48% 38 149 5,65% 22,17% 47 165 6,73% 23,64% 38 87 7,32% 16,76% 14 71 4,76% 24,15%
Pendapat Masyarakat Umum (Vox Pop) 56 9,02% 64 9,52% 62 8,88% 60 11,56% 30 10,20%
11. Cara Seharusnya Siaran Quick Count Dijalankan oleh RRI Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, Radio Republik Indonesia diharapkan dapat memberikan informasi yang berkualitas kepada warga negara Indonesia. Pemilu 2014 adalah salah satu kegiatan penting bangsa dan negara Indonesia sehingga informasi yang berkaitan dengan Pemilu 2014 diharapkan memiliki kualitas yang tinggi, terutama yang disiarkan oleh RRI. Laporan simulasi penghitungan suara atau quick count adalah keniscayaan yang menarik untuk diikuti ketika penghitungan suara nanti. Ketika responden ditanyakan bagaimana seharusnya siaran quick count dijalankan oleh RRI, sebagian memilih siaran tersebut langsung dari pusat penghitungan atau siaran langsung. Opsi ini dipilih oleh 83,21% responden. Sementara itu, responden yang memilih siaran quick count berbentuk sisipan di antara program acara atau sekilas info dan bersifat nasional adalah sebesar 16,65% atau sebanyak 471 responden.
68
83,21%
16,65%
0,14%
langsung dari pusat penghitungan/liputan langsung
sisipan diantara program acara/sekilas info dan bersifat nasional
(tidak mengisi)
Grafik 3.21 Cara Seharusnya Siaran Quick Count Dijalankan oleh RRI
69
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Berdasarkan tiga pertanyaan kunci, yakni (1) bagaimana persepsi publik terhadap pemilu tahun 2014? (2) bagaimana kriteria anggota legislatif dan presiden-wakil presiden?; dan (3) bagaimana seharusnya liputan RRI dalam konteks pemilu 2014? Kesimpulan akan memaparkan pokok-pokok temuan penelitan yang menjawab ketiga pertanyaan ini. 1. Persepsi Publik Mengenai Pemilu Pemilu dilihat secara positif oleh responden. Penelitian di sembilan kota ini menemukan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa pemilu merupakan panggilan hidup warga negara, dan mekanisme demokrasi yang efektif untuk memilih wakil rakyat yang berkualitas. Persentase terbesar (lebih dari 50%) sangat setuju dengan pernyataan bahwa pemilu merupakan sarana demokrasi yang tepat untuk menentukan pemilin/wakil rakyat yang baik, dan saat yang baik pula untuk menentukan masa depan Indonesia. Ini menunjukkan bahwa responden di sembilan kota yang diteliti mempunyai kesadaran politik yang relatif bagus, dan cara pandang yang relatif bagus pula dalam melihat pemilu. Ini menjadi modal penting bagi usaha Indonesia untuk membangun demokrasi yang terkonsolidasi. Responden juga menolak adanya politik uang. Namun, sikap yang paling banyak ditunjukkan responden adalah mendiamkan saja ketika mengetahui terjadinya politik uang. Responden yang memilih mendiamkan saja jika mengetahui politik jumlahnya signifikan (46,80%). Responden yang memilih menjawab tidak tahu juga jumlahnya cukup banyak (21,17%). Sebaliknya, responden yang menjawab melaporkan ke pihak berwenang ketika
70
melihat atau mengetahui adanya politik uang jumlahnya tak banyak, yaitu 28,07%. Lebih dari 60% responden juga menyatakan mereka akan terlibat dalam pemilihan umu legislatif dan presiden-wakil presiden. Peraturan pemilu tidak banyak yang tahu. Padahal, pengetahuan atas peraturan pemilu akan mendorong kualitas pemilu yang lebih baik, utamanya mengenai politik uang. Calon bisa dibatalkan jika melakukan politik uang. Penerima money politics masih signifikan karena persentasenya hampir 20% sehingga perlu dilakukan pendidikan politik yang lebih masif. Persoalan pengetahuan responden
mengenai peraturan pemilu yang rendah
membuat mayoritas responden mendiamkan saja, dan 21% menyatakan tidak tahu. Jadi, sekali lagi, poin pentingnya bahwa RRI harus turut serta dalam membantu menyosialisakan peraturan pemilu dalam beragam format siaran. 2. Kriteria Caleg dan Capres-Cawapres Penelitian ini secara jelas menemukan bahwa adanya sedikit perbedaan antara seorang caleg dengan capres-cawapres meskipun perbedaan-perbedaan itu tidak cukup signifikan kecuali dalam beberapa hal tertentu. Secara lengkap, temuan pokok penelitian ini untuk krieteria caleg dan capres-cawapres adalah sebagai berikut. a. Kriteria caleg Ada empat kriteria caleg yang menjadi paling diinginkan oleh responden, yakni bahwa seorang caleg harus mempunyai moral yang baik (29,93%), sudah dipercaya masyarakat dalam keseharian (17,92%), memiliki agama yang kuat (13.86%) dan tidak pernah terkait dalam kasus korupsi (12.83). Pada satu sisi, ini merefleksikan kepercayaan yang masih sangat kuat masyarakat mengenai agama, sementara di sisi lain, kriteria ini merefleksikan persoalan yang dihadapi masyarakat. Semakin kuat kriteria tersebut berarti bahwa hal itu menjadi semakin sulit ditemukan di masyarakat. Kriteria lainnya adalah kemampuan seorang caleg dalam menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat. Ini menempati posisi tertinggi di mata responden, diikuti kemudian oleh
71
visi misi dan tanggung jawab terhadap konstituenya. Kriteria-kriteria ini kemudian berkorelasi dengan asal caleg. Menurut responden, tokoh masyarakat menjadi yang paling layak menjadi caleg, diikuti kemudian pemuka agama, dan kalangan profesional. Ironisnya, politisi justru lebih rendah bahkan dibandingkan dengan akademisi. b. Kriteria capres-cawapres Untuk capres-cawapres, yang terpenting bagi responden adalah didukung oleh rakyat, tidak peduli apakah mereka diusung partai yang kredibel ataukah tidak. Sementara untuk visi dan misi, haruslah mampu menjawab persoalan masyarakat dan menjamin kesejahteraan. Bagi responden, komptensi paling utama seorang capres dan cawapres bahwa mereka harus mampu menangkap dan merespon dengan cepat aspirasi dan persoalan yang dihadapi rakyat Indonesia (64%), diikuti kemudian bahwa seorang capres-cawapres mempunyai karya nyata (track record). Karakter yang diharapkan adalah harus memiliki kepribadian yang baik (seperti jujur, terbuka/transparan, bertanggung jawab, dsb.) (37.87%) dan harus berjiwa kerakyatan dan menunjukkan komitmen melayani rakyat (36.38%). Berbeda dengan legislatif, mengenai asal capres-cawapres, responden memberikan kriteria yang sedikit berbeda. Menurut responden, capres-cawapres yang paling ideal tetap dari tokoh masyarakat. Namun, di urutan berikutnya, adalah sosok capres-cawapres dari TNI/POLRI, diikuti kalangan profesional, pemuka agama, dan akademisi. Sekali lagi, politisi tidak mendapatkan tempat yang signifikan. B. Rekomendasi 1. Peran secara Umum yang Bisa Dilakukan LPP RRI Rekomendasi umum berkaitan dengan peran RRI dalam pemilu 2014 adalah RRI seyogianya mengambil peran penting dalam melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, yang meliputi hal-hal berikut.
72
a. Mempromosikan radio sebagai sumber rujukan informasi pemilu. Ini tantangan terberat RRI sebagai LPP. Penelitian ini menemukan bahwa radio sangat rendah persentasenya untuk mengetahui caleg dan caprescawapres. Hanya di Sorong dan Biak, dimana radio signifikan sebagai rujukan informasi, selebihnya sangat rendah. Oleh karena itu, perlu kerja keras mengenai hal ini. Dengan kata lain, radio harus melakukan empowering dalam konteks pemilu mengingat radio hanya menjadi bagian kecil dari mendapatkan informasi mengenai caleg di daerah pilihan masingmasing. b. Melakukan pendidikan politik melalui program siaran pemilu. Sebagaimana bisa dilihat dalam kesimpulan, responden cenderung ‘membiarkan’ adanya politik uang meskipun mereka menolak politik uang. Oleh karena itu, penting untuk menjelaskan dalam beragam format siaran bahwa politik uang melanggar aturan, dan penting untuk mengambil sikap mengenai hal itu. c. Berkait dengan poin a, penting bagi RRI untuk turut serta menyosialisasikan peraturan pemilu dengan mengemasnya dalam bentuk laporan langsung maupun dialog interaktif. Laporan ini penting dalam konteks menanamkan aturan main dalam masyarakat, dan apa yang harus dilakukan ketika caleg, capres-cawapres melakukan pelanggaran atas peraturan. 2. Jenis Informasi dan Format Penyajian Mengenai Pemilu a. Memberikan informasi yang dibutuhkan responden secara proporsional. Penelitian ini telah memberikan data mengenai jenis informasi dan format penyajiannya. Visi misi partai politik dan kandidat menjadi yang paling banyak diinginkan oleh responden. Dalam kaitan ini, RRI tinggal memberikan proporsi informasi sesuai temuan penelitian ini. Setelah visi – misi, track record kandidat menjadi yang dibutuhkan oleh responden. Jika ini bisa dikerjakan dengan baik maka RRI akan memberikan kontribusi 73
positif bagi demokratisasi di Indonesia karena pilihan-pilihan yang tepat terhadap partai politik dan kandidat sangat ditentukan oleh informasi mengenai visi misi dan track record kandidat atau partai politik yang bersangkutan. b. Berkaitan dengan format penyajian, secara jelas, penelitian ini menemukan ada tiga bentuk format penyajian yang sangat diinginkan oleh responden, yakni dialog interaktif dan laporan langsung (report on the spot). Format penyajian juga diminati, tapi persentasenya jauh lebih rendah. Oleh karena itu, dua format penyajian ini kiranya bisa diberikan porsi yang lebih banyak. Bentuk-bentuk informasi mengenai visi misi dan juga track record paling menarik jika disiarkan ke dalam dua format penyajian. Secara jelas, visi misi kandidat-biar tidak hanya sekedar janji akan jauh lebih menantang jika disajikan dalam bentuk dialog. Dengan cara demikian, visi misi itu juga akan bisa diuji oleh masyarakat, utamanya apakah visi misi itu mampu menjawab persoalan masyarakat ataukah tidak. Visi dan misi partai politik paling diinginkan sehingga harus dipikirkan secara lebih serius bagaimana menyampaikan visi dan misi partai politik ini ke dalam program siarannya. c. Siaran quick report. RRI melalui puslitbangdiklat akan menyelenggarakan quick report, dan sebagaimana bisa dilihat dalam penelitian ini bahwa laporan langsung dari pusat data menjadi yang paling diinginkan oleh responden. Dengan demikian, penting bagi LPP RRI untuk menaruh reporternya di pusat-pusat penghitungan itu, barangkali tidak hanya di Puslitbangdiklat LPP RRI, tapi juga lembaga survei yang lain.
74
Daftar Pustaka Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi. (2013). Laporan Hasil Penelitian, “Survey Persepsi Masyarakat terhadap Integritas Pemilu”. Eriyanto, (1999). Metodologi Polling: Memberdayakan Suara Rakyat. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya Hamid, Usman dan AE Priyono. Indonesia Pasca-reformasi: Kacamata Tiga Indonesianis, dalam Ali-Fauzi, Ihsan dan Samsu Rizal Panggabean. (2012). Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Yayasan Wakaf Paramadina bekerja sama dengan The Asia Foundation. Sulistyo, H. (2002). Electoral Politics in Indonesia: A Hard Way to Democracy. Croissant/Bruns/John, 75 – 100.
75