PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM PROGRESIF (Studi Kasus Pada Polsek Natar)
(TESIS)
Oleh Shinta Desy Anjani
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2016
ABSTRACT
LAW ENFORCEMENT OF CRIMINAL ACTS OF DOMESTIC VIOLENCE BY USING THE CONCEPT OF LEGAL PROGRESSIVE (Study Of Cases In The Natar Police)
BY SHINTA DESY ANJANI
Violence in the household usually fell on his wife or child who according to the social construction of some communities is considered as a class two. In the implementation of the law enforcement against perpetrators of criminal acts of domestic violence in general is stiff. Most law enforcement officials reduced the understanding that upholding the law is similar to enforce the law. Understanding this has implications that the law the center of attention. In fact, the law enforcement can’t just be seen from a glass eye of law, but it should be seen as a whole by involving all the elements that there is some kind of moral, behavior, and culture. The problem in this thesis is how law enforcement and constraints facing the police in the case of domestic violence in the Natar Police. The method used in this research is done with legal normative, namely, by actually doing an analysis of the problem through the approach towards the principles of law and refers to the norms of law contained in the legislation. Furthermore, the juridical empirical is done by way of conducting field research by looking at the fact that there is. The results, and discussions showed that the completion of the criminal case Domestic violence on the stage of the investigation in the police is performed by applying legal progressive. Investigators trying to get out of of school legalistic positivistic in pursuit of legal certainty. But in practice there are obstacles of the rule of law that govern the process of mediation penal in the criminal case, and the attitude of the diskresi by individual member of the police and law enforcement officers who are always clinging to the principle of legalistic the formal cause of the investigator at the expense of a sense of justice and the benefits in the community. Finally the author gave advice to the rest of the police who are in the entire staff to always put forward legal progressive in measures of investigation especially for the case domestic violence and the establishment of the rules that govern the limits of the implementation of the legal progressive through mediation penal in his actions. keyword : Domestic Violence, The Investigator, Legal Progressive
ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM PROGRESIF (STUDI KASUS PADA POLSEK NATAR)
Oleh Shinta Desy Anjani
Kekerasan dalam rumah tangga biasanya menimpa istri atau anak yang menurut konstruksi sosial sebagian masyarakat dianggap sebagai warga kelas dua. Pada pelaksanaan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana KDRT pada umumnya bersifat kaku. Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakkan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimanakah penanganan dan kendala yang dihadapi polisi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya pendekatan yuridis empiris yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa penyelesaian perkara pidana khusus pada perkara KDRT pada tahap penyidikan di Polsek Natar dilakukan dengan menerapkan hukum progresif. Penyidik mencoba keluar dari ajaran legalistik positivistik yang selama ini selalu mengejar kepastian hukum. Namun dalam pelaksanaannya terdapat hambatan berupa tidak adanya aturan hukum yang mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana, dan sikap penyimpangan diskresi yang dilakukan oleh oknum anggota kepolisian serta aparat penegak hukum yang selalu berpegang pada asas legalistik formal menyebabkan penyidik mengenyampingkan rasa keadilan dan kemanfaatan yang ada di masyarakat. Akhirnya penulis memberi saran kepada seluruh penyidik Polri yang berada diseluruh jajarannya agar selalu mengedepankan hukum progresif dalam melakukan langkah-langkah penyidikan khususnya untuk perkara KDRT dan pembentukan aturan yang mengatur batasan-batasan penerapan hukum progresif melalui mediasi penal dalam melakukan tindakannya. Kata Kunci : Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penyidik, Konsep Hukum Progresif
PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP HUKUM PROGRESIF (Studi Kasus Pada Polsek Natar)
(TESIS)
Oleh SHINTA DESY ANJANI
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM Pada Program Pascasarjana Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir dari keluarga sederhana, pada tanggal 18 Desember 1992 di Bandar Lampung dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Juju Juanda Abdullah dan Ibu Suprihatun, S.E. Pendidikan pertama penulis ditempuh di SD Negeri 1 Rajabasa Raya, Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah 3 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2007. kemudian penulis meneruskan Pendidikan di SMA Negeri 1 Natar Lampung Selatan dan lulus pada tahun 2010. Dengan mengikuti jalur SNMPTN penulis di terima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2010 dan menyelesaikan Strata satu (S1) pada tahun 2014. Kemudian Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan Program Pasca Sarjana pada program studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan penulis menyelesaikan Strata dua (S2) pada tahun 2016.
MOTO
Sesuatu yang dilakukan dengan kekerasan maka hasilnya tidak akan baik
“ jika seseorang bergerak kearah mimpi-mimpinya, ia akan bertemu dengan kesuksesan yang tidak diharapkan dalam keadaan biasa.” (Henry David Thoreau)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan pujisyukur kepada Allah SWT, atas Rahmat Hidayah serta Inayah-NYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati dalam setiap perjuangan dan jerih payah, ku persembahkan sebuah karya ilmiah ini kepada: Ayahanda Juju Juanda Abdullah dan Ibunda Suprihatun,S.E yang kusayangi, dan kucintai, ucapan terima kasih tak terhingga untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilan ku. Adikku Nanda Dwiyana serta seluruh keluargaku tersayang, terima kasih atas kasih sayang do’a dan dukungannya. Para Sahabat tercinta dan seluruh rekan seperjuangan yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do’a untuk keberhasilanku, terima kasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama. Almamaterku tercinta Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah serta hinayahNya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul: “Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Menggunakan Konsep Hukum Progresif (Studi Kasus Pada Polsek Natar)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Lampung. Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaiakan karena partisipasi banyak pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati dan rasa hormat, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas Lampung.
2.
Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
3.
Bapak Prof. Dr. Sudjarwo, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Lampung.
4.
Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H.,M.H. selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku dosen pembahas I, atas masukan dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.
5.
Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing I, atas pengarahan, dukungan dan motivasi dengan penuh perhatian, semangat dan kesabaran demi kesempurnaan karya ilmiah berupa tesis ini.
6.
Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing II, atas bimbingan, perhatian, pengertian dan ketelitian dalam penulisan karya ilmiah berupa tesis ini.
7.
dan Bapak Dr. Budiono, S.H.,M.H. selaku dosen pembahas II , atas masukan dan sarannya kepada penulis dalam menyempurnakan tesis ini.
8.
Para Narasumber dari Polsek Natar dan LSM DAMAR atas partisipasinya dengan memberikan masukan dan informasi dalam pelaksanaan penelitian tesis ini.
9.
Bapak dan ibu dosen Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu selama penulis menjalani perkuliahan.
10.
Seluruh staf Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.
11.
Rekan-rekan Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung, atas persahabatan dan motivasi yang diberikan dalam masa perkuliahan serta dalam penyelesaian karya ilmiah ini.
12.
Ayahandaku Juju Juanda Abdullah dan ibundaku Suprihatun, S.E tercinta atas kasih sayang, perjuangan, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap nadiku dan menanti keberhasilanku.
13.
Adindaku Nanda Dwiyana, atas semangat dan doanya untuk keberhasilanku dalam menyelesaikan tesis ini.
14.
Erik Riyandi, Amd, atas perhatian, motivasi dan waktu yang diluangkan
kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 15.
Sahabat-sahabatku yang telah menanti keberhasilanku.
16.
Almamaterku tercinta Universitras Lampung
17.
Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya dalam menyelesaikan Tesisini.
Semoga Tesisini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, Bangsa dan Negara. Para Mahasiswa, Akademisi, Serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritikan yang bersifat membangun sangat di harapkan. Akhir kata penulis ucapkan banyak terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Juli 2016 Penulis
SHINTA DESY ANJANI
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
Latar Belakang Masalah ............................................................................. Permasalahan dan Ruang Lingkup ............................................................. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................ Kerangka Pemikiran ................................................................................... Metode Penelitian ....................................................................................... Sistematika Penulisan .................................................................................
A. B. C. D. E. F.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Penegakan Hukum ................................................................... Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga ............................................ Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ..................................... Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ....................... Teori Penegakan Hukum, Teori Keadilan dan Hukum Progresif .............. Keadilan Restoratif dalam Perkembangan Pemikiran Mengenai Hukum Pidana ............................................................................................
II.
III.
IV.
HASIL PENELITIAN A. Penegakan Hukum Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Polsek Natar ................................................................................................. B. Kendala dalam Penegakan Hukum Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Hukum Progresif ................................................................
Hlm 1 8 9 10 18 22
23 28 30 32 35 47
68 100
PENUTUP A. Simpulan ....................................................................................................... 105 B. Saran ............................................................................................................. 107
DAFTAR PUSTAKA
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umumnya masyarakat beranggapan bahwa lingkungan di luar rumah lebih berbahaya dibandingkan dengan di dalam rumah. Anggapan tersebut bisa jadi
terbentuk karena kejahatan yang banyak diungkap dan dipublikasikan
adalah kejahatan yang terjadi di luar lingkungan rumah, sedangkan rumah dianggap sebagai tempat yang aman bagi anggota keluarga dan orang-orang yang tinggal di dalamnya, tempat anggota keluarga dan orang- orang yang tinggal di dalamnya dapat berinteraksi menghargai, dan menghormati.
dengan landasan kasih, saling
Masyarakat tidak menduga bahwa ternyata
rumah dapat menjadi tempat yang paling mengerikan bagi anggota keluarga. Kekerasan, apapun bentuk dan derajat keseriusannya, ternyata dapat terjadi di dalam rumah di antara orang-orang yang seharusnya saling mengasihi dan menghargai. Orang yang seharusnya dapat menjadi tempat untuk saling berbagi dan
berlindung
ternyata
justru menjadi
sumber
penyebab
terjadinya
penderitaan.1
Kekerasan dalam rumah tangga biasanya menimpa istri atau anak yang menurut konstruksi sosial sebagian masyarakat dianggap sebagai warga kelas
1
Rita Selena Kolibonso, Kejahatan itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Perempuan No. 26, 2002, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, hlm. 8
2
dua. 2 Dalam bangunan keluarga menurut kultur masyarakat tertentu, laki-laki akan ditempatkan pada posisi
sebagai
kepala keluarga
yang dapat
menentukan ke arah mana keluarga itu akan dibangun. Dengan kata lain dalam masyarakat tersebut laki-laki dianggap sebagai manusia yang superior, menguasai atau mendominasi, serta
tulang punggung keluarga sehingga
dalam relasi sosial laki-laki akan lebih dominan. Berbeda dengan laki-laki, perempuan pada umumnya sering dikonstruksikan sebagai manusia yang inferior, tergantung pada status laki-laki, dan tidak berdaya, sehingga harus menuruti dan menerima apapun kemauan dan perlakuan dari laki-laki (termasuk dalam hal ini adalah suaminya). Menurut Mansour Fakih, bias gender3 antara laki-laki dan perempuan tersebut termanifestasikan
dalam
berbagai
bentuk
ketidakadilan,
antara
lain:
marginalisasi, subordinasi,4 dan pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan,5 beban kerja lebih banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Berdasarkan pendapat Mansour Fakih dan Ita F. Nadia tersebut nampak bahwa
masih timpangnya kesetaraan
gender dalam relasi laki-laki dan
perempuan sebagai suami dan istri dalam rumah tangga tersebut dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, khususnya oleh suami terhadap istrinya.
2
Kompas, Selasa, 1 Agustus 2006, hlm. 13 Ita F. Nadia, Ketidakadilan Gender Sebagai Akar Diskriminasi, Makalah dalam rangka Lustrum VI/Dies Natalis XXX AKS Tarakanita Yogyakarta, 8 Maret 1997, hlm.. 1 4 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Komnas Perempuan, Jakarta, 2008, hlm. 16 5 Faqihuddin Abdul Kodir dan Ummu Azizah Mukarnawati, Ibid, hlm. 20 3
3
Menurut Kristi Poerwandari, kekerasan jenis ini sangat sulit diungkap karena:6 1.
Pada umumnya orang menganggap bahwa kekerasan terhadap istri adalah hal yang lumrah.
2.
Kekerasan oleh suami terhadap istri dianggap sebagai masalah internal, baik oleh orang luar maupun oleh orang di dalam keluarga itu sendiri.
3.
Pelaku dan korban menutup-nutupi peristiwa tersebut dengan berbagai alasan.
Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum (pidana) yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang seyogyanya dapat diterima oleh semua insan yang ada di dalamnya.
Cara pandang legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya. Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak, bahkan dunia internasional menilai lembaga pengadilan Indonesia sangat buruk, terutama yang dilakukan oleh elemen-elemen penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim sampai para petugas Lembaga Pemasyarakatan (LP)
6
Kristi Poerwandari, Kekerasan Terhadap Perempuan:Tinjauan Psikologis Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 283
(dalam:
4
Peradilan merupakan hal yang menunjuk pada segala aktivitas pengadilan dalam menjalankan
fungsinya
yakni
penegakan
hukum
dan
penegakan
keadilan.7 Hukum, melalui sistem peradilan pidana, yang sejatinya memerankan fungsinya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakkan kebenaran dan
keadilan.
Bahkan,
dapat
menjadi
sarana
rekayasa
social (social
engineering) bagi masyarakat. Kenyataannya malah menimbulkan anarkhi sosial yang berkepanjangan. Tidak sedikit polisi yang bertindak tidak dengan hati nurani, tapi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, tidak jarang pula jaksa, hakim yang memeras dan merubah perkara hanya demi mendapatkan keuntungan yang bersifat materi. Putusan- putusan pengadilan sering tidak diterima masyarakat. Keadaan-keadaan seperti itu diperparah dengan perilaku oknum aparat penegak hukum yang kurang terpuji dan melakukan perbuatan yang mencoreng diri dan lembaganya sendiri. Kasus suap yang terjadi di hakim Agung. Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa penegakan hukum di Indonesia memang sedang dihadapkan pada masalah besar.
Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.
7
Sidik Sunaryo. Sistem Peradilan Pidana. Penerbit UMM Press, Malang, 2005, hlm. 56.
5
Sistem peradilan pidana dalam hukum progresif harus menjadi ruh dalam penegakan hukum pidana khususnya kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Karena , “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Gagasan ini merupakan antitesa dari karakteristik sistem peradilan pidana yang masih “mengkultuskan” hukum modern, sehingga dianggap tidak mampu lagi mendatangkan keadilan bagi pencari keadilan. Kebanyakan dari polisi, jaksa dan hakim masih menjadikan aturan-aturan formal sebagai patokan di dalam menyelesaikan suatu perkara. Jika gagasan ini diterapkan, akan ada cara pandang baru dalam penegakan hukum di Indonesia, yang tidak hanya bertolak pada aturan-aturan formal, tapi juga melihat hal-hal yang di luar itu.
Polri untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya dengan berdasarkan hukum atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri demi kepentingan umum. Oleh karena itu, secara tidak langsung diskresi kepolisian dapat dikatakan sebagai salah satu penerapanan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana. Tak heran apabila Satjipto Raharjo berpendapat bahwa polisi memiliki peluang paling besar untuk menjadi penegak hukum progresif. Hukum menyediakan banyak peluang agar polisi dapat menjadi pahlawan bagi bangsanya, dengan membuat pilihan tepat dalam pekerjaannya. 8
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
8
Satjipto Rahardjo, Membagun Polisi Sipil, Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2007, hlm.262.
6
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagaimana kita ketahui, kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin marak dan terus meningkat, seperti contoh kasus KDRT di Provinsi Lampung. Data yang terhimpun pada 2015, tercatat 63 korban KDRT, sedangkan per 1 mei 2016 kasus KDRT yang sudah dilaporkan tercatat 48.9
Salah satu contoh adalah kasus yang dilaporkan di Kantor Kepolisian Sektor Natar pada Oktober 2009 yaitu ibu Astuti, istri dari bapak Ahmat Muthadil kemudian melaporkan ke posko bahwa dirinya telah dianiaya oleh suaminya (dipukuli) hingga berakibat muka dan bibirnya memar semua. Karena tidak terima atas perlakuan suaminya, ibu Astuti melaporkan suaminya ke Polsek Natar dan malam itu juga suaminya langsung dijemput dan ditahan oleh Polsek Natar. Setelah 6 hari ditahan di polsek, ibu Astuti merasa tidak tega melihat suaminya dipenjara, lalu ia mencabut perkaranya dengan syarat sang suami tidak mengulangi perbuatannya kembali melakukan KDRT.10
Substansi dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 sangat berpihak kepada perempuan. Akan tetapi permasalahan muncul ketika undang-undang ini diterapkan tekstual. Beberapa akibat yang muncul adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain. Tidak hanya itu, permasalahan lain yang muncul adalah bahwa 9
http://nyokabar.com, diakses pada 20 Januari 2016 http://umulkhtmh.blogspot.co.id/2015_10_01_archive.html, diakses pada 20 Januari 2016
10
7
ketakutan istri di ceraikan suami terbukti membawa pengaruh keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib dalam hal ini polisi. Sehingga penyelesaian perkara KDRT menurut hemat penulis menuai banyak permasalahan yang harus dicari solusinya.
Melihat fenomena kendala yang terjadi dalam penyelesaian perkara kekerasan dalam rumah tangga sebagaian besar para korban kekerasan enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya. Hal ini dikarenakan penyelesaian yang ditawarkan oleh
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2004
merupakan win-lose
solution artinya tidak membawa suatu hasil dari maksud ditegakkannya hukum yaitu mendapatkan keadilan. Artinya ketika undang-undang itu dilaksanakan dan pelaku kekerasan dalam rumah tangga dikenakan sanksi maka keutuhan keluarga jadi korban. Sebagai contoh, seorang istri yang diperlakukan kasar oleh suami yang masuk dalam kategori kekerasan dalam rumah tangga, ketika perkara tersebut dilaporkan banyak kemungkinan akan mengakibatkan perceraian.
Menurut hemat penulis dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga apabila diterapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 secara tekstual dan beranggapan positivistik legalistik maka akan mengakibatkan permasalahan yang lebih besar. Oleh karena hukum pidana dalam hal ini UU Nomor 23 Tahun 2004 digunakan sebagai alternatif terakhir apabila penyelesaian-penyelesaian masalah hukum dengan jalur diluar hukum pidana (non penal) sudah tidak dapat menyelesaikan dengan win-win solution.
Polisi sebagai penegak hukum apabila perlu menjadi mediator penyelesaian masalah dengan win-win solution. Hal ini tidak bertentangan dengan hukum
8
progresif karena dalam fungsi hukum yang paling ideal adalah menyelesaikan masalah tanpa masalah dan mencari keadilan. Polri harus lebih dapat bijak dalam menentukan suatu perkara untuk dapat atau tidaknya maju ke pengadilan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa bagi polisi, menjalankan hukum pidana tidak seperti menarik garis lurus antara dua titik, tetapi dapat penuh pergulatan sosiologis dan kemanusiaan.11 Polisi-polisi yang mempersepsikan perpolisian bukan sekedar sebagai pelaksana komando undang undang, menjalankan tugasnya dengan memanfaatkan institusi diskresi, dimana ia dapat memilih antara meneruskan prosesnya secara hukum atau menghentikannya. Untuk memilih menghentikan atau tidak memperkarakan seseorang membutuhkan suatu visi yang lebih kompleks daripada sekedar menerapkan hukum saja.12
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1.
Permasalahan
a.
Bagaimanakah penegakan hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar?
b.
Apakah yang menjadi kendala dalam penegakan hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan hukum progresif?
2.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian yang berkenaan dengan Hukum Pidana terutama tentang konsep progresif dalam penyelesaian kasus KDRT.
11 12
Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm. 261. Ibid, hlm. 227.
9
Penelitian dilakukan di wilayah hukum Kepolisisan Sektor Natar Lampung Selatan terhadap data pada tahun 2015-2016
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis: a.
Penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.
b.
Kendala dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan hukum progresif.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Secara teoritis diharapkan dapat menambah wawasan dalam memberikan argumentasi dan memahami mengenai konsep progresif dalam penyelesaian kasus KDRT.
b. Secara Praktis diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi penegak hukum khususnya pihak kepolisian dalam penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara KDRT.
10
D. Kerangka Pemikiran
1.
Alur Pikir
Alur piker pada penulisan tesis ini digambarkan sebagai berikut: Tindak Pidana KDRT Undang-Undang Penyidik/Polsek Non Penal
Penal Progresif
Bagaimanakah penegakan hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar
Apakah yang menjadi kendala dalam penegakan hukum kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan hukum progresif
1. 2.
Teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
Konsep Hukum Progresif; Teori Alternative Dispute Resolution
Kesimpulan
11
2.
Kerangka Teoretis
Teori yang digunakan penulis sebagai pisau analisis dalam menjawab permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah: a.
Teori Hukum Progresif
Memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif dapat dijabarkan sebagai berikut:13 1.
Progresivisme bertolak dari pandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik, dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yang kuat. Progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral. 2. Hukum progresif mempunyai tujuan berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, maka sebagai konsekuensinya hukum selalu dalam proses menjadi. Oleh karena itu hukum progresif selalu peka terhadap perubahan masyarakat disegala lapisan. 3. Hukum progresif mempunyai watak menolak status quo ketika situasi ini menimbulkan kondisi sosial yang dekanden dan korup. Hukum progresif memberontak terhadap status quo, yang berujung pada penafsiran hukum yang progresif. 4. Hukum progresif mempunyai watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasan dengan menolak status quo. Paradigma “hukum untuk manusia’ membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asa, serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.
Secara
sederhana
sistem
peradilan
pidana
merupakan
suatu
sarana
penanggulangan kejahatan yang di dalamnya terdapat sub-sub sistem yang saling berkaitan. Secara
eksplisit,
pengertian
sistem
peradilan
pidana
itu
menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam peradilan,
sehingga
dikenal
dengan
sebutan
sistem
peradilan
pidana
terpadu (integrated criminal justice system).14
13
Mahmud Kusuma. Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. AntonyLib, Yogyakarta, 2009, hlm. 60. 14 Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cetk. Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 1.
12
Pengertian di atas mencerminkan bahwa dalam sistem peradilan pidana itu terdapat kumpulan-kumpulan lembaga yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakat. Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian, tidak lain berupa penerapan
atau
penegakan
hukum,
dengan
demikian,
polisi
menjadi
penjaga status quo dari hukum. Polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi lain untuk polisi, kecuali sebagai aparat penegak hukum, sehingga pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum yang menjadi “majikannya”.
Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundangundangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil. 15
15
Satjipto Rahardjo. Op.Cit, hlm. 30-31.
13
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengan community policing.16
Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan paradigm polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak antara lain; mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum.
16
Satjipto Rahardjo, Ibid, hlm. 33.
14
Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenangan formal yang diberikan tidak
otomatis
memberi
kekuasaan
kepada
badan
badan
untuk
mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.17 Jika konsep ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.
b. Teori Alternative Dispute Resolution Tujuan Alternative
Dispute
Resolution adalah
terwujudnya
“Win-win
solution” sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara dalam hukum positif di Indonesia masih menganut sifat “Win-lose solution”. Dalam artikel yang dibuat oleh Adrianus Meliala mengatakan bahwa“masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan
17
Satjipto Rahardjo. Biarkan Hukum Mengalir. Penerbit Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 45-46
15
perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana”,18 mengandung arti bahwa upaya penerapan Alternative Dispute
Resolution sudah
mendapatkan
pembenaran
oleh
para
pakar
pidana. Oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian dilakukan upaya koordinasi pemberlakuan ADR ini sebagai altenatif dalam penyelesaian sengketa, maka Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 7 tahun 2008 tentang Implementasi polmas dengan menerapkan ADR oleh petugas polmas. Sedangkan pendapat pakar hukum lainnya yaitu menurut H. Priyatna Abdurasyid mengatakan bahwa:19 “Sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase (negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut”. Penekanan konsep ADR yang membedakan dengan konsep ADR yang dikemukakan Adrianus Meliala di atas adalah tidak selalu ada intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen dalam penyelesaian sengketa pidana. Pakar hukum lainnya adalah konsep ADR menurut Philip D. Bostwick yang mengatakan bahwa:20 “A set of practices and legal techniques that aim : a) To permit legal disputes to be resolved outsidethe courts for the benefit of all disputants. b) To reduce the cost of conventional ligitation and the delay to which it is ordinary subjected.
18
Adiranus E. Meliala, “Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia”, dikutip dari http:/www.adrianusmeliala.com,2007. 19 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI), Jakarta, 2002, hlm. 17. 20 Adiranus E. Meliala, Loc.Cit
16
c) To prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the courts.” (Sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan: a) Menyelesaikan sengketa hukum diluar pengadilan demi keuntungan para pihak. b) Mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi. c) Mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan.) Ketiga pendapat pakar hukum di atas dapat diartikan bahwa konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu merupakan model atau mekanisme penyelesaian sengketa pidana yang berlaku pada sekelompok orang /masyarakat khususnya tingkat lokal, berupa sekumpulan prosedur atau mekanisme agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak, secara umum tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen, dan tujuannya demi keuntungan para pihak, efisiensi biaya dan waktu, serta mencegah sengketa jalur pengadilan.
c.
Teori faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum pidana merupakan teori berikutnya yang digunakan sebagai salah satu sarana perlindungan masyarakat akan menjadi faktor penghambat bila tidak ada atau tidak berfungsi dengan baik, faktor tersebut adalah: 21 1) Faktor hukumnya sendiri. 2) Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
21
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 5.
17
5) Faktor kebudayaan yakni didasarkan sebagai hasil karya, cipta dan rasa sang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
2.
Konseptual
a.
Tindak pidana, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut22. Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur sebagai berikut: 1) Perbuatan (manusia); 2) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); 3) bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). Syarat formil harus ada, karena adanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. Syarat materiil itu harus ada juga, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tak patut dilakukan. Kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat.
b.
Kekerasan adalah sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.23
c.
Kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
22
Sudarto. Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang, 1990, hlm. 43 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua Tim Penyusun Kamus pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta, 1992, hlm. 485. 23
18
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.24 d.
Manifestonya paradigma hukum progresif, sebagaimana Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa:25 “Apabila hukum itu bertumpu pada “peraturan dan perilaku”, maka hukum yang progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian faktor serta kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada”.
E. Metode Penelitian
1.
Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui dua pendekatan, yaitu: a.
Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan yuridis normati adalah pendekatan yang dilakukan dalam bentuk untuk mencari kebenaran dengan melihat asas-asas dalam ketentuan baik masalah perundangan, teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.
24
Guse Prayudi. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 20. 25 Mahmud Kusuma, Op.Cit, hlm. 177.
19
b.
Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengadakan penelitian lapangan dengan melihat kenyataan yang ada misalnya dalam prilaku hukum, kepatuhan hukum dan lainnya yang terdapat di lingkungan masyarakat serta penegak hukum.
2.
Sumber dan Jenis Data
Untuk menemukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini diperlukan bahan hukum sebagai bahan analisis. Bahan hukum yang diperlukan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan proses dan langkah-langkah sebagai berikut: Pengumpulan data/bahan-bahan yang akan diteliti dan yang akan membantu kita dalam penelitian. Hal ini meliputi: a.
fakta (misalnya rangkaiall peristiwa dan/atau perbuatan yang membentuk masalah atau peristiwa atau objek hukum yang akan diteliti);
b.
norma yang terdapat dalam kitab undang-undang, dan berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau hukum kebiasaan);
c.
pendapat para ahli.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah: peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan permasalahan yaitu Undang-Undang Nomor 1
20
Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang kemudian disingkat dengan KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang kemudian disingkat dengan KUHAP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah.
b.
Bahan hukum sekunder.
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau kajian yang berkaitan dengan penyampingan perkara pidana, artikel, hasil-hasil penelitian, laporanlaporan, dan sebagainya, baik diambil dari media cetak dan media elektronik.
c.
Bahan hukum tersier.
Yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjukpetunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini.
3.
Penentuan Narasumber
Penentuan narasumber dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yang berarti dalam menentukan narasumber disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap masalah yang hendak dicapai. Adapun yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini: a. b. c. d.
Kepala Kepolisian Sektor Natar Lampung Selatan Penyidik pada Polsek Natar LSM DAMAR Akademisi FH Unila Jumlah
1 orang 1 orang 1 orang 2 orang+ 5 orang
21
4.
Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
Penulis melakukan serangkaian kegiatan dalam pengumpulan data, yang meliputi: 1.
Studi pustaka, yaitu pengumpulan terhadap data sekunder dengan mencatat, mengutip serta menelaah buku-buku kepustakaan yang berkaitan dengan materi penelitian kemudian menyusunnya sebagai kajian data.
2.
Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data primer yang dilakukan secara lisan kepada responden dengan mengajukan beberapa pertanyaan secara terbuka dan terarah dengan sebelumnya mempersiapkan pertanyaan terlebih dahulu.
3.
Studi dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dengan jalan mencatat atau merekam data-data yang ada pada lokasi penelitian yang berkaitan dengan pokok materi yang dibutuhkan.
Data yang telah diperoleh lalu dilakukan pengolahan dengan kegiatan sebagai berikut: a.
Editing, yaitu melakukan pemeriksaan ulang terhadap data yang diperoleh mengenai kelengkapan dan kejelasan dari data.
b.
Klasifikasi semua data yang mempunyai relevansi dengan penelitian.
c.
Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan data yang diperoleh satu sama lain untuk memudahkan kegiatan analisis.
22
5.
Analisis Data
Bahan hukum dalam penelitian ini merupakan suatu proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap semua bahan-bahan hukum yang diperoleh dalam pengumpulan bahan hukum. Dalam melakukan analisis bahan hukum, penulis menggunakan cara berpikir induktif, deduktif, dan komparatif. Fakta-fakta konkret tersebut digunakan untuk menyusun kesimpulan umum, berwujud konsep-konsep atau proposisi-proposisi dari fakta tersebut. Cara berpikir deduktif dilakukan dengan bertitik tolak pada hal-hal yang abstraks untuk diterapkan pada proposisi-proposisi konkret.
F. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN Bab ini terisi uraian tentang Latar Belakang Masalah yang mendasari pentingnya diadakan Penelitian, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi Tinjauan konsep dan teori yang mendeskripsikan tentang teori dan konsep hukum progresif, kekerasan dalam rumah tangga, dan penegakan hukum.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang penegakan hukum dan kendalanya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga pada Polsek Natar.
BAB IV PENUTUP Berisi uraian tentang kesimpulan dan saran.
23
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penegakan Hukum Ketika berbicara penegakan hukum, maka harus dipahami lebih dahulu oleh para penstudi hukum adalah apa yang dimaksud dengan penegakan hukum dan faktor yang mempengaruhi untuk menganalisisnya. Dalam konstelasi negara modern, hukum dapat difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Roscoe Pound26 menekankan arti pentingnya hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini, terutama melalui mekanisme penyelesaian kasus oleh badanbadan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi. Konteks sosial teori ini adalah masyarakat dan peradilan di Amerika Serikat.
Fungsi hukum demikian itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat.27 Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.
26
Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Bhratara, 1989, hlm, 7. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Masyarakat yang Sedang Membangun, Jakarta: BPHN-Binacipta, 1978, hlm. 11. 27
24
Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo28 merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaanya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebenarnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.29
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto,30 dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. 28
Satjipto Rahardjo.Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 24. Ibid, hlm. 25. 30 Soerjono Soekanto. Penegakan Hukum. BPHN & Binacipta, Jakarta,1983, hlm. 15. 29
25
Satcipto Rahadjo31membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuat undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. Polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain Jerome Frank,32 juga berbicaratentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman33 melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. substansi hukum
(legal
substance)
aturan-aturan
dan
norma-norma
actual
yang
dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan
31
Satjipto Rahardjo, Op.Cit. 1983, hlm.23,24. Theo Huijbers. Filsafat Hukum. Kanisius, Yogyakarta, 1991, hlm. 122. 33 Lawrence M, Friedman. Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, hlm. 6-7. 32
26
dan
pendapat
tentang
hukum.
Dalam
perkembangannya,
Friedman34
menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti. Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell,35 konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warna Negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukkan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,36 atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmdja disebutkan sebagi hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.
34
Lawrence M, Friedman. American Law: An invalueable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives. W.W. Norton & Company, New York, 1984,hlm. 16. 35 Roger Cotterrell. The Sociology Of Law An Introduction. Butterworths, London, 1984, hlm. 25. 36 Roscoe Pound. Op.Cit, 1989, hlm. 51.
27
Karakter keberpihakan hukum yang responsif ini, sering disebutkan sebagai hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi dan politis untuk dapat
mengambil
peran
partisipatif
dalam
semua
bidang
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam masyarakat yang menjujung tinggi semangat demokrasi. Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang, melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam masyarakat.37
Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini, Sunaryati Hartono38 melihat bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun dengan lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa sosial ini. Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota legislatif itu sendiri. Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.
37
Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto. Hukum dan Perkembangan Sosial (Buku I). Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 483. 38 C.F.G. Sunaryati Hartono. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni, Bandung, 1991, hlm. 53.
28
Menurut
Gardinerbahwa
pembentuk
undang-undang
tidak
semata-mata
berkewajiban to adapt the law to this changed society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini Roeslan Saleh39 menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan makmur serta modern yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk undang-undang.
B. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Guse Prayudi, kekerasan dalam rumah tangga diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.40
Istilah “kekerasan” dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.41 Menurut UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap 39
Roeslan Saleh. Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan. Bina Aksara, Jakarta, 1979, hlm. 12. 40 Guse Prayudi. Op.Cit, hlm. 20. 41 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Loc.Cit, hlm. 485.
29
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Terminologi kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu batasan yang menuju kepada kekerasan yang terjadi dalam kokus rumah tangga atau biasa dikenal sebagai “keluarga”. Memang tidak ada keseragaman pengertian kecuali kokus dan berbagai bentuk kekerasan yang terjadi, sehingga pelaku dan korban merupakan area yang sangat terbuka, dalam arti kata siapapun yang dapat dikategorikan sebagai anggota keluarga atau tinggal dalam lingkup rumah tangga adalah pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelaku atau korban kekerasan domestik ini atau kekerasan dalam rumah tangga.42
KDRT dapat menimpa siapapun baik itu isteri, suami maupun anggota keluarga yang lain. Akan tetapi istilah KDRT dalam banyak literatur mengalami penyempitan makna, yaitu hanya mencakup penganiayaan suami terhadap isteri. Hal itu disebabkan oleh lebih banyak korban KDRT dialami oleh pihak isteri dibandingkan pihak suami dan anggota keluarga yang lain. Sementara oleh kaum Feminis kekerasan terhadap kaum perempuan (isteri) didefinisikan sebagai setiap tindakan kekerasan variabel maupun fisik. Pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seseorang perempuan apakah masih anak-anak atau dewasa yang sudah menyebabkan kerugian fisik atau psikologis penghinaan atau
42
Elli Nur Hayati. Panduan Untuk Pendampingan korban Kekerasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 1995, hlm. 3.
30
perampasan kekuasaan yang menghilangkan subdominasi perempuan.Kekerasan yang dialami perempuan dalam perilaku kekerasan yang diterima berupa agresi fisik berupa menampar, memukul dan menonjok.
Kekerasan menurut Johan Galtung terbagi menjadi tiga bagian yaitu:43 1.
2.
3.
Kekerasan kultural yaitu melegetamasi terjadinya kekerasan struktural dan kekerasan langsung serta menyebabkan kekerasan dianggap wajar saja terjadi (diterima) sebagian masyarakat. Kekerasan struktural yaitu kekerasan yang berbentuk eksploitasi sistematis yang disertai mekanisme yang mengahalangi terbentuknya kesabaran serta menghambat kehadiran lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan, seperti ketidakdilan, kebijakan yang menindas. Kekerasan langsung yaitu kekerasan yang terlihat secara langsung dalam bentuk-bentuk kejadian atau perbuatan-perbuatan, sehingga kekerasan jenis ini sangat mudah diidentifikasi karena menifestasi dari kekerasan kultural dan struktural.
Kekerasan yang dialami seorang isteri, misalnya, karena masih kuatnya budaya paternalistik dan pemahaman budaya Jawa yang keliru, di mana seorang isteri harus tunduk kepada suami, seperti dicerminkan pepatah swarga nunut neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Hal itu mengakibatkan kekerasan yang diterima isteri dari suaminya atau dari keluarganya dalam rumah tangga dianggap sebagai urusan domestik. Tidak perlu diketahui masyarakat.
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Bentuk-bentuk kekerasan pada perempuan dapat berupa kekerasan fisik atau psikis, selain itu dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan) atau pasif (menelantarkan), dan pelanggaran seksual yang sering terjadi adalah kombinasi
43
I. Marsana Windku. Kekuasaan Yogyakarta,1992, hlm. 8.
dan
Kekerasan
menurut Johan
Galtung.
Kanisius,
31
dari berbagai bentuk walaupun hanya dapat saja muncul dalam satu bentuk diatas. Adapun bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan (isteri) dalam rumah tangga tersebut mencakup:44 1.
2.
3.
4.
44
Kekerasan fisik langsung dalam bentuk pemukulan, pencakran sampai pengrusakan vaginal (kekerasan seksual) dan yang tidak langsun atau displacement dapat berupa memukul meja, pintu, memecahkan gelas, piring, vas bunga dan berlaku kasar. Menurut Frirze yang dimaksud dengan kekerasan seksual yang dipaksakan oleh suami terhadap isteri, meskipun tidak menutup kemungkinan akan terjadi hal yang dibaliknya. Sementara Hasbianto mendifinisakan sebagai pemaksaan dalam melakukan hubungan seksual, pemaksaan selera seksual dan pemaksaan seksual tanpa memperhatikan kepuasan isteri. Kekerasan psikis. Bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitivitas emosi seseorang sangat bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikan kasih saying pada isteri agar terpenuhi kebutuhan emosinya. Hal ini penting untuk perkembangan jiwa seseorang. Identifikasi akibat yang muncul pada kekerasan psikis lebih sulit diukur daripada kekerasan fisik. Kekerasan psikis dapat berupa ucapan kasar, jorok, meremehkan, menghina mengdiamkan, menteror baik langsung maupun tidak, berselingkuh dan ditinggal pergi. Penelantaran perempuan dari segi ekonomi, kesehatan, kebutuhan-kebutuhan. Pengertian menelantarkan adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki keberutngan kepada pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga kurang menyediakan sarana perawatan kesehatan, pemberian makanan, pakaian dan perumahan yang sesuai merupakan faktor utama dalam menentukan adanya penelantaran. Namun, harus hati-hati untuk membedakan antara “ketidak mampuan ekonomi” dengan “penelantaran yang disengaja”. Bentuk kekerasan jenis ini menonjol khususnya terhadap anak karena anak belum mampu mengurus dirinya sendiri. Pelanggaran seksual. Pengertian pelanggaran seksual adalah setiap aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dan perempuan. Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau tanpa pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur penindasan dan menimbulkan perlukaan dan berkaitan dengan trauma emosi yang dalam bagi perempuan.
http://www.fanind.com/2013/08/4-jenis-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html, tanggal 20 Januari 2016.
diakses
pada
32
Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Pasal 5, kekerasan dalam rumah tangga meliputi empat macam yaitu, kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Secara garis besar faktor-faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga disebabkan oleh dua faktor yaitu:45 1.
Faktor internal adalah faktor penyebab dari dalam diri si pelaku, seperti tingkat amosional, gangguan kejiwaan dan lain-lain.
2.
Faktor eksternal adalah faktor penyebab dari luar si pelaku seperti tekanan ekonomi, lingkungan, perselingkuhan dan lain-lain.
Richard. D and Levy. C. menyatakan bahwa faktor internal timbulnya kekerasan terhadap isteri adalah kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan, hal ini dapat berupa: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sakit mental; Pecandu alkohol; Kurangnya komunikasi; Penyelewengan seks; Citra diri yang rendah; Frustasi; Perubahan situasi dan kondisi; Kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah.
Menurut Elli N. Hasbianto mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya KDRT yaitu:
45
Fathul Djanah. Kekerasan Terhadap Isteri. LKIS, Yogyakarta, 2003, hlm. 36.
33
1.
Budaya patriarki artinya: budaya ini meyakini bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan.
2.
Interpretasi yang keliru atas ajaran agama artinya: sering ajaran agama yang menempatkan laki-laki sebagai pembolehan mengontrol dan menguasai isterinya.
3.
Pengaruh mode artinya: anak laki-laki yang tumbuh dalam lingkungan yang ada ayah suka memukul atau kasar kepada ibunya, cendrung akan meniru pola tersebut kepada pasangannya.
Berdasarkan ketiga faktor diatas ditumbuh suburkan dan didukung oleh kenyataan bahwa sikap komunitas cenrung mengabaikan persoalan kekerasan dalam rumah tangga karena terdapat keyakinan bahwa hal itu merupakan urusan dalam suatu rumah tangga. Sedangkan jika ditinjau dari lingkup rumah tangga maka hal-hal yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga atau faktor-faktor yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga terutama dalam hal ini kekerasan pada isteri diantaranya: 1.
Penerimaan masyarakat terhadap kekerasan
Kekerasan yang terjadi dalam adalah sebuah penyimpangan budaya akan tetapi terhadap batasan suami bahwa kekerasan yang dilakukan suami pada lingkup keluarga, maka masyarakat luas tidak berani ikut campur.
2.
Kekurangan komunikasi antar suami-isteri
Kesetaraan dalam komunikasi dipengaruhi oleh penguasaan sumber-sumber ekonomi, sosial, budaya yang meliputi keluarga. Posisi isteri yang lemah (karena
34
tidak dimunculkan kemandirian dalam dirinya), pada saat ia meyampaikan kekesalannya pada suami yang lebih dari padaya, justru akan membuat sang suami berinterpretasi yang salah, dimana hal tersebut memicu terjadinya kesalah pahaman dan berakhir dengan pemukulan.
3.
Adanya penyelewengan
Penyelewengan yang biasanya dilakukan para suami pada saat dinas keluar kota dan lain-lain, pada saat diketahui si isteri, biasanya isteri tidak menerima dan menuntut pemutusan hubungan dengan wil (wanita idaman lain) suami, akan tetapi biasanya hal itu tidak dihiraukan suami, justru suami melakukan tindak kekerasan seperti memukul dan menyakitkan hati isteri.
4.
Citra diri yang rendah dan frustasi
Citra diri yang rendah dari suami serta rasa frustasi karena kurang mampu mencukupi kebutuhan keluarga dimana sebaliknya dengan kondisi si isteri yang lebih darinya, memudah timbulnya salah penerimaan dalam diri suami terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan keluarga, yang hal ini pula akan mempermudah timbulnya tindakan pemukulan atau kekerasan lainnya sebagai pelampiasan.
5.
Kekerasan dipahami sebagai upaya penyelesaian masalah
Kekerasan dipandang sebagai saranan jitu dalam menyelesaikan permasalahan dengan isteri dari pada melakukan pembicaraan secara baik-baik dengan mereka. Terkadang tindakan ini (pada umat Islam) didasari oleh adanya pemahaman yang salah atas Q.S. An-Nisa’ : 34, berupa diperbolehkannya pemukulan dilakukan sebagai hukuman bagi isteri yang nusyuz. Makna kata “pemukulan” dalam ayat
35
tersebut diisyaratkan dari kata “wadhribuhunna” yang memiliki pengertian secara leksikal “pukullah perempuan yang melalaikan kewajiban sebagai seorang isteri”.
C. Teori Penegakan Hukum, Teori Keadilan dan Hukum Progresif 1.
Teori Penegakan Hukum Pidana
G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa politik kriminal harus rasional, jika tidak demikian tidak sesuai dengan definisinya sebagai a rational total of the responses to crime. (Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime). Upaya penanggulangan kejahatan dapat ditunjuk dengan : a. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application), b. Pencegahan tanpa Pidana (Prevention Without Punisment) dan c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Menurut Goldstein, upaya penegakan hukum pidana dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:46 a. Total Enforcement (penegakan hukum sepenuhnya) Yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana subtantive (substantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan pendahuluan. Di samping itu mungkin terjadi hukum pidana substantive sendiri memberikan batasan-batasan, misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of no Enforcement (area diman penegakan hukum pidana tidak dapat dilakukan sepenuhnya). Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi Area of no Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement. b. Full Enforcement (penegakan hukum secara penuh) Penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, akan tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi dana, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukan discretions. c. Actual Enforcement 46
Barda Nawawi Arief.1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.48.
36
Merupakan area yang dapat ditegakkan oleh hukum pidana, melihat pada kenyataannya bahwa peristiwa tersebut melibatkan banyak orang dalam hal ini para pengusaha maupun masyarakat. Berdasarkan upaya penegakan hukum yang dikemukakan oleh Goldstein di atas, maka untuk menganalisis tesis ini menggunakan upaya yang ketiga, yaitu Actual Enforcement. Hal ini dikarenakan kenyataan atau peristiwa yang ada di lapangan melibatkan banyak orang, baik masyarakat umum, pengusaha, pemerintah dan penegak hukum.
2.
Teori Keadilan
Berbagai teori keadilan telah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Perbagai pandangan mengenai keadilan banyak diungkapkan oleh para pakar dari berbagai generasi. Menurut Plato, keadilan dapat terwujud manakala negara dipimpin oelh para aristokrat (filusuf). Negara yang dipimpin oleh penguasa yang cerdik, pandai, dan bijaksana akan melahirkan keadilan yang sempurna. Oleh karena itu, tanpa hukum sekalipun, jika negara dipimpin oleh para aristokrat maka akan tercipta keadilan bagi masyarakat. Namun dengan tidak dipimpinnya negara oleh para aristokrat, keadilan tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya hukum. Dalam kondisi inilah menurut Plato hukum dibutuhkan sebagai saran untuk menghadirkan keadilan dalam kondisi ketidak adilan.47 Ada beberapa pengertian keadilan menurut Aristoteles, diantaranya: 48 a. Keadilan berbasis kesamaan Keadilan ini bermula dari prinsip bahwa hukum mengikat semua orang, sehingga keadilan yang hendak dicapai oleh hukum dipahami dalam pengertian kesamaan. Kesamaan ini ada dua, yaitu kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Keadilan numerik ini berprinsip pada persamaan derajat bagi setiap orang di 47
Bernard, dkk, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 40-41. 48 Ibid. hlm. 45-46.
37
depan hukum, sedangkan kesamaan proporsional adalah memberikan setiap orang apa yang menjadi haknya. b. Keadilan distributif Keadilan distributif ini identik dengan keadilan proporsional. Keadilan distributif berpangkal pada pemberian hak sesuai dengan besar kecilnya jasa. Jadi keadilan tidak didasarkan pada persamaan, melainkan proporsionalitas, misalnya seorang profesor yang bekerja pada instansi tertentu berhak atas gaji yang lebih besar dibanding dengan seorang yang hanya lulusan SLTA yang bekerja pada instansi yang sama. c. Keadilan korektif Fokus pada keadilan ini adalah pembetulan sesuatu yang salah, misalnya jika terjadi suatu kesalahan yang berdampak pada kerugian bagi orang lain, maka harus diberikan kompensasi bagi yang dirugikan tersebut. Jadi keadilan korektif ini merupakan standar umum untuk memulihkan akibat dari suatu kesalahan. Sedangkan menurut Hans Kelsen, suatu tata sosial adalah tata yang adil. Pandangan ini bermakan bahwa tata tersebut mengatur perbuatan manusia dengan tata cara yang dapat memberikan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat. Keadilan adalah kebahagiaan sosial yang tidak dapat ditemukan manusia sebagai individu, dan berusaha untuk dicarinya dalam masyarakat. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kerinduan manusia kepada keadilan pada hakikatnya adalah kerinduan terhadap kebahagiaan. Keadilan ini hanya dapat diperoleh dari tatanan. Menurut Kelsen, tatanan hukum yang dapat memberikan keadilan adalah tatanan hukum positif, yang dapat bekerja sistematis.49 Dengan demikian, keadilan menurut Kelsen ini merupakan keadilan yang sudah tertuang dalam tatanan yang dipositifkan.
Senada dengan Kelsen, Thomas Hobbes berpandangan bahwa keadilan sama dengan hukum positif yang dibuat oleh penguasa. Pandangan ini mengandung konsekuensi bahwa norma hukum positif adalah satu-satunya alat untuk menilai 49
Anthon F. Susanto, Dekonstruksi Hukum: Eksplorasi Reks dan Model Pembacaan, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 89.
38
baik-buruk,
adil-tidak
adil.
Sebagai
legitimasi
dari
penguasa,
Hobbes
mengeluarkan teori kontrak sosial yang menyatakan bahwa masyarakat telah melakukan kesepakatan/ kontrak untuk menyerahkan kedaulatannya pada penguasa. Tidak jauh berbeda dengan Hobbes, Imanuel Kant memperkenalkan konsepnya dengan keadilan kontraktual. Sebagaimana Hobbes, Kant juga berpandangan bahwa sebagai dasar pembentukan hukum disebabkan oleh rawannya hak pribadi untuk dilanggar. Namun bedanya, jika menurut Hobbes yang berdaulat adalah kekuasaan, maka Kant berpendapat yang berdaulat adalah hukum dan keadilan. Secara singkatnya, prinsip keadilan Kant ini dapat dirumuskan bahwa seseorang bebas untuk berekspresi dan melakukan tindakan apapun, asalkan tidak menggangu hak orang lain.50
3.
Keadilan Restoratif
Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani kejahatan hampir seluruhnya selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak kejahatan, khususnya tindak kejahatan dengan “kerusakan” yang ditimbulkannya masih bisa direstorasi, sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku. Paradigma penghukuman tersebut dikenal sebagai restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarga, dan juga masyarakat.
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus pada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan 50
Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 2009 , hlm. 45-46.
39
pelaku dengan upaya perbaikan. Termasuk di dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut.
Kata restorative dapat diartikan sebagai obat yang menyembuhkan atau menyegarkan. Sedangkan restorative justice dimaknai sebagai penyelesaian suatu tindak pidana tertentu yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk bersama-sama mencari pemecahan dan sekaligus mencari penyelesaian dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang.
Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah “sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.”51 Restorative justice dapat diimplementasikan dalam penyelesaian perkara melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). ADR adalah tindakan memberdayakan penyelesaian alternative di luar pengadilan melalui upaya damai yang lebih mengedepankan win-win solution, dan dapat dijadikan sarana penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan.
Penyelesaian perkara melalui mekanisme di luar pengadilan saat ini semakin lazim dilakukan dan dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu menjangkau rasa keadilan, walaupun para praktisi dan ahli hukum berpendapat bahwa ADR hanya dapat diterapkan dalam perkara perdata, bukan untuk menyelesaikan perkara pidana karena pada asasnya perkara pidana tidak 51
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hlm. 65.
40
dapat diselesaikan melalui mekanisme di luar peradilan. Penyelesaian perkara pidana dalam restorative justice dapat dicontohkan dalam bentuk mediasi penal, karena dampak yang ditimbulkan dalam mediasi penal sangat signifikan dalam proses penegakan, walaupun mungkin menyimpang dari prosedur legal system. Penyelesaian perkara pidana melalui mediasi tidak dapat dilepaskan dari cita-cita hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law is justice), dan asas hukum proses penyelesaian perkara yang mengacu pada sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Perumusan kaidah hukum untuk penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mediasi yang diderivasi dari cita hukum dan asas hukum. Oleh karena itu pola mediasi yang diterapkan harus mengacu pada nilai-nilai keadilan , nilai kepastian dan kemanfaatan. Sedangkan norma hukum yang diterapkan harus mempertimbangkan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Polri sebenarnya sudah selangkah lebih maju dalam penerapan konsep restorative justice melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution(ADR). Melalui Surat Telegram Reskrim (STR) Kabareskrim Polri No. ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei 2011 tentang Pedoman Penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri, Reskrim Polri berkehendak untuk menerapan ADR dalam penyelesaian perkara pidana. Hanya sayang, kebijakan tersebut ditunda dengan Surat Telegram Kabareskrim Polri No. ST/209/IX/2011, tanggal 6 September 2011, tentang Penangguhan Penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri, yang isinya berbunyi: “mengingat substansi dan materi yang termuat dalam ADR merupakan bentuk pemberian kewenangan bagi anggota Polri dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang harus diatur dengan UU, maka penerapan ADR di jajaran Reskrim Polri ditangguhkan
41
sampai dikeluarkannya payung hukum dalam bentuk peraturan perundangan yang dirancang oleh Mabes Polri”.
4.
Hukum Progresif
Kehadiran hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai konsep yang sedang mencari jati diri, bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20.52
Pemikiran progresif mengenai hukum di Indonesia sebenarnya sudah timbul setelah jaman kemerdekaan yang merupakan bentuk penolakan terhadap Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang dituangkan dalam Undang Undang No. 1 thn 1946. Beberapa pakar hukum pada saat itu mengganggap bahwa KUHP adalah produk hukum kolonial Belanda yang seharusnya disesuaikan dengan norma dan budaya masyarakat Indonesia. Moeljatno dalam sambutan pada kuliah umum di FKIP Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 7 Maret 1964 menjelaskan bahwa: Janganlah para petugas yang pekerjaannya dalam atau bersangkutan dengan bidang hukum tadi, sadar atau tidak sadar meneruskan begitu saja teori-teori dan praktek-praktek hukum yang dahulu pernah diajarkan dan dipraktekkan di zaman Hindia Belanda sejak berpuluh-puluh tahun. Seakan-akan dalam bidang hukum jalannya sejarah bangsa Indonesia sejak berkuasanya pemerintah Hindia Belanda hingga sekarang berlangsung terus secara tenang dan tentram; seakan-akan teori dan praktek hukum dari zaman yang silam itu merupakan naluri atau harta pusaka 52
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1/ No.1/ April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP, hlm. 3.
42
bagi kita, yang sedapat mungkin harus dipelihara sebaik-baiknya, tanpa perubahan dan penggantian.53
Moeljatno berdasarkan pemikirannya tersebut, menolak beberapa pasal dalam KUHP yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi dengan budaya yang ada di Indonesia seperti pasal perkelahian tanding (pasal 182 s/d pasal 186 KUHP), pasal-pasal yang bersangkutan dengan perdagangan budak belian (pasal 324 s/d pasal 327 KUHP), pasal tentang penghinaan terhadap pemerintah (pasal 154 KUHP), dan pasal tentang pelarangan pengemis dan gelandangan (pasal 504 dan pasal 505 KUHP). Moeljatno menggap bahwa hukum pidana harus dibangun secara progresif untuk dapat menyelaraskan dengan revolusi yang saat itu sedang berlangsung. Cara hukum progresif menurut Moeljatno dapat dilihat dari pendapatnya yang mengatakan bahwa: Revolusi dalam bidang tata hukum menghendaki penghapusan dari segala hal yang sifatnya lapuk dan usang untuk diganti dengan yang segar bermanfaat dan progresif, maka jalan pikiran yang yuridis formal tadi hendaknya diganti dengan dengan yang yuridis materiil dalam arti kata bahwa kata-kata yang dipakai dalam peraturan hendaknya ditafsirkan sehingga makna peraturan menjadi sesuai sekali dan seirama dengan dinamika dan progresitivitas masyarakat dimana peraturan tadi diharapkan memberi manfaatnya.54
Seiring berjalannya waktu, Satjipto Rahardjo mencetuskan gagasan hukum progresif yang merupakan bentuk keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat hukum dengan jelas mengatakan bahwa kondisi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pada tahun 1970-an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosa kata hukum di Indonesia , pada Orde Baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering
53
Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, Jurnal Hukum Pidana Fak Hukum UNDIP, Jakarta, PT. Bina Aksara, 1985, hlm. 28. 54 Ibid., hlm. 34.
43
karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada Era Reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Satjipto Rahardjo, inti dari kemunduran di atas adalah makin langkanya kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan hukum. Lalu Satjipto Rahardjo mengajukan pernyataan, apa yang salah dengan hukum kita? Bagaimana jalan untuk mengatasinya? 55
Berdasarkan perenungan terhadap semua hal, dan kejadian tersebut Satjipto Rahardjo merasakan ada stagnasi dalam praktik dan teori hukum. Maka beliau mengajukan suatu gagasan untuk memilih cara yang menolak keadaan status quo, melainkan secara progresif melakukan pembebasan dan hal tersebut dirumuskan ke dalam gagasan dan tipe “Hukum Progresif”. Maksim utama hukum progresif adalah bahwa “hukum untuk manusia” dan bukan “manusia untuk hukum”, dalam arti hukum tidak dipandang sebagai suatu institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh bagaimana hukum dapat mengabdi kepada manusia. Karena pusat hukum progresif adalah pada manusia, maka menurut Satjipto Rahardjo, maka hukum progresif harus mampu mengikuti perkembangan jaman serta mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar-dasar yang ada didalamnya.56 Konsep hukum progresif sangat dekat atau memiliki titik singgung dengan beberapa aliran hukum, atau teori hukum sebelumnya.
Adapun teori-teori yang memiliki hubungan dengan Hukum progresif adalah sebagai berikut: a.
55 56
Teori tentang Sociological Jurisprudence
Faisal, Op. Cit. hlm. 70. Mahrus Ali, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013, hlm. 67.
44
Penggagas aliran Sociological Jurisprudence adalah Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, dan Kantorowics. Aliran ini berkembang di Amerika, dengan inti pemikirannya bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.57 Artinya hukum positif itu hanya akan efektif jika selaras dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat.
Penganut aliran ini menekankan kepada kenyataan hukum daripada apa yang diatur secara formal dalam undang undang. Pound berpendapat bahwa bagi para ahli hukum yang beraliran sosiologis perlu lebih mempertimbangkan fakta-fakta sosial dalam pekerjaannya, apakah itu pembuatan hukum atau penafsiran serta penerapan peraturan-peraturan hukum. Pound menganjurkan agar perhatian lebih diarahkan pada efek-efek yang nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum.58
Aliran ini juga bertujuan untuk memberi dasar ilmiah pada proses penentuan hukum. Dasar ilmiah ini berupa cara mengenai pemahaman hukum dalam lingkungan sosial yang sangat penting untuk dapat menghasilkan hukum yang efektif secara sosiologis. Oleh karenanya hukum harus berkembang sesuai dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh sehingga membahagiakan kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Konsep dasar ini merupakan gagasan untuk menjelaskan konsep hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a
57
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 66 58 Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Nasution, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 29
45
tool of social engineering) dengan usaha untuk mengubah atau merombak sistem hukum sebelumnya.59
b.
Teori tentang Realisme Hukum
Realisme hukum adalah suatu aliran yang dimulai di Amerika Serikat dengan penggagas John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, dan Karl Lirerllyn. Realisme hukum adalah suatu studi tentang hukum sebagai suatu yang benar-benar secara nyata dilaksanakan, ketimbang hukum sekedar hukum sebagai sejumlah aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Menurut penganut aliran ini, sifat normatif hukum harus dikesampingkan. Karena bagi mereka, hukum pada hakikatnya adalah pola perilaku (pattern of behaviour) dari hakim di dalam persidangan. Hakim harus selalu melakukan pilihan, asas mana yang akan diutamakan dan pihak mana yang akan dimenangkan. Keputusan tersebut sering mendahului ditemukan atau digarapnya peraturan-peraturan hukum yang menjadi landasannya.60
Oliver Wendel Homes salah satu pelopor aliran ini berpendapat bahwa kehidupan hukum bukan logika, melainkan pengalaman (the actual life of law has not been logic: it has been experience). Pemikiran Holmes ini senada dengan pemikiran John Chipman Gray, yang menolak perundang-undangan sebagai satu-satunya sumber hukum dan sebagai basis utama analisis penganut aliran hukum positif . Tugas hakim tidak semata-mata menerapkan aturan dalam perundang-undangan
59
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung, 1989, hlm. 84-85 60 Antonius Sudirman, Op.Cit., hlm 30.
46
terhadap kasus konkret, tetapi tugas hakim adalah membentuk hukum (judgemade law).61
Konsep bahwa hukum bukan lagi sebatas logika tetapi experience, maka hukum tidak dilihat dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai, serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Pemahaman realisme hukum bahwa hukum tidak hanya terbatas pada teks atau dokumen hukum tersebut, tetapi harus mempertimbangkan norma-norma sosial yang ada di masyarakat, sehingga tujuan sosial dapat tercapai.
c.
Teori Hukum Responsif
Digagas oleh Nonet dan Selznick, yang berpendapat bahwa hukum seyogyanya bisa difungsikan sebagai fasilitator untuk memenuhi keadilan dan kepentingan publik, dan karenanya harus mengedepankan stantial justice daripada prosedural justice.62 Lahirnya hukum responsif dilatarbelakangi dengan munculnya masalahmasalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum pada saat itu ternyata tidak cukup mengatasi keadaan tersebut. Padahal hukum dituntut untuk bisa memecahkan solusi atas permasalahan tersebut.
Nonet dan Selznick berpendapat bahwa hukum tidak hanya rules, tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan yurisprudensi saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan nilai-nilai sosial. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami 61 62
Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 60. Mahrus Ali, Ibid., hlm. 68
47
dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Pembuatan dan penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri, melainkan arti pentingnya merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial lebih besar yang dilayaninya.63
Untuk mempermudah memahami hukum progresif, Yudi Kristiana menyusun karakteristik dasar hukum progresif berdasarkan asumsi-asumsi dasar yang telah disebutkan di atas serta aliran/ teori yang mendukungnya. Karakterikstik hukum progresif tersebut dijelaskan melalui runutan pengidentifikasikan yang terdiri atas asumsi, tujuan, spirit, progresivitas, dan karakter dalam tabel sebagai berikut:64 Asumsi
Tujuan Hukum Spirit
1. Hukum untuk manusia bukan sebaliknya. 2. Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final tetapi selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making) Kesejahteraan dan kebaikan manusia
1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, cara dan teori yang selama ini dipakai (mendominasi) 2. Pembebasan terhadap kultur penegak hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat hukum dalam menyelesaikan persoalan. Progresifitas 1. Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in making). 2. Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat baik lokal, nasional, maupun global. 3. Menolak status quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum. Karakter 1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju perilaku. 2. Hukum progresif selalu sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia, meminjam istilahnya Nonet dan Selznick bertipe responsif 3. Hukum progresif berbagi paham dengan aliran realisme hukum karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum 63
Nonet dan Selznick, Hukum Responsif, Huma, Jakarta, 2003, hlm. 58 Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, LHSP, Yogyakarta, 2009, hlm. 38. 64
48
itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan aliran sociological yurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. 5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan aliran hukum alam, karena perduli terhadap hal-hal yang “meta-juridical” 6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legal studies namun cakupannya lebih luas.
E. Keadilan Restoratif dalam Perkembangan Pemikiran Mengenai Hukum Pidana
Reformasi yang telah bergulir di Indonesia telah membawa pola kehidupan bernegara yang lebih demokrasi, dan hal ini juga membawa perubahan sistem hukum yang ada, dari model yang tertutup hingga menjadi model terbuka dengan lebih mengedepankan keadilan ditengah masyarakat dari pada keadilan yang dikebiri oleh Penguasa.
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam UU sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba
pada
kepentingan
manusia
untuk
menegakkan
nilai-nilai
kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.
Keadilan bukan verifikasi saklek atas maksud umum kalimat implikatif yang dirumuskan dalam pasal-pasal. Keadilan Bukan tugas rutin mengetuk palu digedung pengadilan. Keadilan juga tidak butuh hakim pemalas dan tumpul rasa
49
kemanusiaannya. Yang dibutuhkan bahwasanya keadilan adalah keberanian tafsir atas Undang-Undang untuk mengangkat harkat dan martabat manusia Indonesia. Sehingga keadilan hanya diasumsikan kepada rutinitas polisi, jaksa, dan hakim sebagai mata pencaharian didalam sebuah gedung. Sebab, bagi aparat, menjadi PNS atau polisi bertujuan untuk bekerja. Karena itu, hukum hanya bagian dari tumpukan file dimeja penegak hukum yang harus diselesaikan . Isu umum yang terjadi di Indonesia, penuntasan masalah hukum mengacu pada prinsip pekerjaan yang diukur dengan nilai-nilai nominal yang dicapai. Pola pikir itu sejalan dengan makna dari istilah-istilah yang popular dalam dunia hukum. Seperti mafia hukum. UUD (ujung-ujung duit), pasal karet, 86 dan penyelesaian dibalik meja. Keadilan dihayati sebagai pekerjaan mencari uang didalam institusi pengadilan.
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada
50
dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus
membangun
dan
mengubah
dirinya
menuju
kepada
tingkat
kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lainlain. Inilah hakikat hukum yang selalu dalam proses menjadi. Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme kepastian hukum, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.
Penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana sesuai dengan aliran General Detterence. Ketika suatu perkara pidana dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka penjatuhan pidana terhadap pelaku tidak perlu dilaksanakan lagi. Efek jera kepada para pelaku lebih dirasakan ketika mereka harus menjalani proses penahanan di kepolisian. Walaupun tidak menjadi terdakwa dan mendapatkan putusan pengadilan, penahanan di kepolisian sudah memberi pelajaran bagi para pelaku. Pandangan General Detterence sejalan dengan teori Rehabilitasi yang menyatakan bahwa pelaku adalah orang yang memerlukan pertolongan dan harus diperbaiki untuk dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat.
51
Adanya batasan-batasan dalam penerapan hukum progresif seperti dalam kejahatan yang meresahkan masyarakat sesuai dengan pandangan Special Detterence, yang menyatakan bahwa penjatuhan hukuman merupakan mekanisme yang harus dibuat agar pelaku berpikir dua kali untuk melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Dalam pandangan ini, penjatuhan sanksi pidana memberikan efek penjeraan dan penangkalan sekaligus. Penjeraan bertujuan untuk menjauhkan seorang yang telah dijatuhi hukuman dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan penangkalan merupakan sarana menakut-nakuti bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat. Tujuan akhir yang diharapkan adalah bagaimana dengan pemidanaan yang diberikan tercipta situasi kamtibmas yang kondusif sehingga tercipta kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
Mengenai batasan untuk mengkategorikan kasus-kasus yang bisa diselesaikan dengan menerapkan keadilan restoratif/ mediasi penal memang tidak ada aturan secara tertulis. Menurut penulis, disinilah titik dimana penyidik dapat menerapkan hukum progresif. Hukum progresif tidak diperlukan lagi apabila pada nantinya ada suatu peraturan hukum tertulis yang menyatakan bahwa kasus yang sudah ada perdamaian tidak dapat dilanjutkan ke proses pengadilan. Kewenangan diskresi yang dimiliki penyidik dapat digunakan untuk memilah kasus yang akan diteruskan ke pengadilan atau tidak.
Mengenai batasan tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan dengan mediasi penal, sebenarnya Mahkamah Agung sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
52
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana. Perma tersebut telah merubah batasan dalam perkara-perkara Tindak Pidana Ringan yang semula dibatasi minimal Rp 250,- (dua ratus lima puluh rupiah) menjadi Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Batasan sebesar Rp 250,merupakan batasan yang disusun berdasarkan kondisi perekonomian Tahun 1960-an yang tentunya bila dikonversi dengan kondisi perekonomian Tahun 2000-an seperti sekarang ini sudah tidak relevan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan Tindak Pidana Ringan sesuai dengan KUHP adalah kejahatan
terhadap harta benda merupakan
bentuk penyerangan
terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak), kejahatan terhadap harta benda yang sifatnya ringan atau dapat dikatakan Tindak Pidana Ringan dimuat dalam buku II KUHP yaitu: Pasal 364 (Pencurian
Ringan), Pasal 373 (Penggelapan
379(Penipuan Ringan), Pasal 384 (Penipuan
ringan
oleh
Ringan), Pasal penjual), Pasal
407(Pengrusakan Ringan) dan Pasal 482 (Penadahan Ringan).
Pasal 2 Perma Nomor 2 Tahun 2010 mengatur prosedur yang harus dilakukan hakim dalam menyidangkan Tindak Pidana Ringan, yaitu sebagai berikut:65 a.
b.
65
Dalam menerima pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara dan memperhatikan Pasal 1 di atas. Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah), Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana.
53
c.
Apabila terhadap terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan.
Pelaksanaan Perma Nomor 2 Tahun 2010, sebenarnya sangat mendukung penerapan Hukum Progresif di Indonesia. Penyidik Polri dapat mengupayakan mediasi penal sebelum berkas dimajukan ke pengadilan. Ketentuan Tindak Pidana Ringan dengan kerugian di bawah nominal Rp. 2.500.000,00 seolah memecah kebuntuan KUHP yang selama ini tidak mengikuti perkembangan perekonomian Indonesia sehingga pasal mengenai Tindak Pidana Ringan seperti tidak berfungsi.. Akan tetapi menurut pengamatan penulis Perma ini belum sepenuhnya dapat dilaksanakan di Sistem Peradilan Indonesia. Hanya beberapa pengadilan yang sudah mengadopsi ketentuan ini dalam beracara. Pengadilan Negri Tanjung Karang juga belum melaksanakan Perma tersebut secara optimal. Hal ini dikarenakan sosialisasi yang belum sampai ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu mengingat masih berupa Peraturan Mahkamah Agung, ketentuan ini belum mengikat sampai kepolisian dan kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan cenderung masih berpegang pada ketentuan yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP.
Munculnya pandangan atau pemikiran keadilan restoratif tidak dapat dilepaskan dari eksistensi pandangan atau pemikiran yang sebelumnya telah mendominasi pembentukan dan penerapan aturan hukum pidana, khususnya mengenai pidana dan pemidanaan, yaitu pandangan atau pemikiran retributif (retributivisme). Menurut Sri Wiyanti Eddyono, dalam pandangan retributif penyelesaian kasus dilakukan dengan penghukuman terhadap si pelaku. Adapun asumsi-asumsi
54
yang dipakai didasarkan
pada asumsi hukum yang netral. Karena prinsip
netralitas dan objektifitas hukum menjadi pertimbangan yang dominan, maka keadilanpun retributivisme
ditimbang
secara
netral
dan
objektif.66
Dalam
tidak
terdapat tempat bagi pandangan-pandangan pribadi,
terutama dari korban,
mengenai pidana dan pemidanaan. Hal tersebut dapat
dimaklumi karena menurut teori retributif tindak pidana atau kejahatan diberikan pengertian sebagai perbuatan melawan (hukum) negara. Sebagai konsekuensinya maka negara, yang merepresentasikan diri sebagai korban tindak pidana, mempunyai kewenangan mutlak untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku. Adapun kerugian dan penderitaan para korban sudah dianggap tercermin dalam ancaman sanksi pidana terhadap pelaku.
Di kalangan pertama
ahli
hukum pidana, retributif
dikenal
sebagai teori yang
kali muncul untuk memberikan argumentasi mengenai perlu dan
pentingnya sanksi pidana dalam penanggulangan tindak pidana. Bahkan oleh Mirko Bagaric dan Kumar Amarasekara dikatakan bahwa retributivism has been the dominant theory of punishment in the Western world for the past few decades.67
Sampai sekarangpun teori retributif seringkali muncul
mengemuka dalam setiap pembicaraan mengenai pidana dan pemidanaan, khususnya ketika orang mencoba memberikan jawaban dari
pertanyaan:
mengapa hukum (sanksi) pidana dibutuhkan atau perlu digunakan
dalam
penanggulangan tindak pidana ? Bahkan menurut Sholehuddin, meskipun jenis
66
Sri Wiyanti Eddyono, Keadilan Untuk Perempuan Korban, Kompas, Senin, 17 Desember 2007, hlm 36 67 Mirko Bagaric and Kumar Amarasekara, The Errors of Retributivism, dalam http://www. Austlii.edu.au/cgi-bin/sinodisp/aujournals/UNSWL3/1999/6html?query=papers, diakses tanggal 7 Juni 2016.
55
sanksi pidana yang bersumber dari teori retributif memiliki kelemahan dari segi prinsip proporsionalitas tanggung jawab pelaku, retributivisme tidak mungkin dihilangkan sama sekali.68 Begitu pula pendapat Gerber dan Mc Anany yang mengatakan, bahwa meskipun teori retributif tidak lagi populer, teori ini tidak tersingkirkan seluruhnya. Bahkan dalam hari-harinya yang paling buruk, masyarakat mengakui bahwa sejauh apapun sanksi bergerak ke arah rehabilitasi, tetap saja harus ada pemidanaan.69
Teori
retributif
merupakan
di dalamnya terdapat
prinsip
bahwa
pemidanaan
suatu keharusan karena orang telah melakukan tindak pidana.
Berasal dari prinsip tersebut tampak terlihat bahwa pemidanaan dalam pandangan diperbuat
retributif
merupakan
oleh pelaku.
pembalasan
Meskipun demikian,
atas
tindak
menurut
pidana yang
Immanuel
Kant
retributisme berbeda dengan pembalasan dendam karena dalam retributisme hukuman bukan merupakan suatu fungsi subjektif dimana fihak korban dapat bertindak sendiri untuk menghukum pelaku. Penghukuman dalam hal ini harus dilakukan oleh pengadilan. 70 Robert Nozick dan Ten, seperti yang dikutip oleh Mirko
dan Kumar,
juga mengatakan bahwa pembalasan dalam teori
retributif berbeda dengan pembalasan dendam. Mereka mengatakan bahwa: 1. 2. 3. 68
Pembalasan dalam teori retributif berkaitan dengan / dibatasi oleh kesalahan pelaku tindak pidana, sedangkan balas dendam tidak ; Pembalasan dalam teori retributif merupakan batas maksimal dari pemidanaan, sedangkan balas dendam tidak ada batasnya; Balas dendam bersifat kasuistik dan dapat berbeda kadarnya dalam situasi
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hml. 28 69 Rudolph J. Gerber and Patrick D. Mc Anany, Philosophy of Punishment (dalam : The Sociology of Punishment, John Wiley and Sons Inc., New York, 1970, hlm. 358 70 Immanuel Kant, The Doctrine of Virtue (translate by MJ. Gregor), University of Pennsylvania Press, Pennsylvania, 1964, hlm. 130
56
atau peristiwa yang sama; Pembalasan dalam teori retributif hanya dikenakan pada pelaku tindak pidana, sedangkan balas dendam dapat mengenai / terjadi pada orang yang tidak bersalah yang kebetulan mempunyai hubungan dengan sasaran; 5. Dalam kasus balas dendam, pelaku pembalasan dendam (korban tindak pidana) memperoleh kepuasan atas penderitaan orang lain, sedangkan dalam pembalasan menurut teori retributif kepuasan korban tindak pidana atas pemidanaan bukan merupakan pertimbangan yang utama; 6. Karena tergantung pada individu pembalas, maka balas dendam bersifat personal; sedangkan pembalasan menurut teori retributif lebih bersifat umum. 4.
Terlepas dari teori yang mendasarinya, penggunaan
sanksi pidana sebagai
sarana untuk menyelesaikan kasus menurut pandangan retributisme dalam perkembangannya mulai ditentang oleh ahli hukum pidana itu sendiri dengan memunculkan berbagai pendapat atau pemikiran mengenai penggunaan sarana alternatif dalam penanggulangan tindak pidana . Salah satu pandangan atau pemikiran yang mencoba memberikan alternatif lain dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pidana tersebut adalah keadilan restoratif. Pemikiran alternatif ini disebut dengan istilah keadilan restoratif karena memusatkan perhatiannya pada upaya restorasi atau memperbaiki/memulihkan kondisi atau keadaan yang rusak sebagai
akibat
terjadinya
tindak
pidana.
Adapun
yang
akan
direstorasi/diperbaiki/dipulihkan adalah korban, pelaku tindak pidana, serta kerusakan-kerusakan lain akibat tindak pidana dalam masyarakat. Secara filosofis upaya perbaikan/penyembuhan tersebut dilakukan tidak dengan melihat ke belakang, yaitu tindak pidana yang telah terjadi, sebagai dasar pembenarannya. Restorasi/perbaikan/penyembuhan tersebut dilakukan agar dimasa yang akan datang dapat terbangun suatu masyarakat yang lebih baik. Selain istilah keadilan restoratif, istilah-istilah lain juga dipakai untuk menunjuk pada ide yang sama mengenai cara atau sarana alternatif dalam penanggulangan
57
tindak
pidana
tersebut,
seperti:
”relational
justice,
positive
justice,
reintegrative justice, communitarian justice, dan redemptive justic ”.71
Pemikiran mengenai keadilan restoratif muncul pertama kali dikalangan para ahli hukum pidana sebagai reaksi atas dampak negatif dari penerapan hukum (sanksi) pidana dengan sifat represif dan koersifnya.72 Hal ini tampak dari pernyataan Louk Hulsman yang mengatakan, bahwa sistem hukum pidana dibangun berdasarkan pikiran: ”hukum pidana harus menimbulkan nestapa”. Pikiran seperti itu menurut Hulsman sangat berbahaya. 73 Oleh karena itu Hulsman mengemukakan suatu ide untuk menghapuskan sistem hukum pidana, yang dianggap
lebih
banyak
mendatangkan
penderitaan
daripada
kebaikan,
dan menggantikannya dengan cara-cara lain yang dianggap lebih baik. Pengertian umum keadilan restoratif pertama kali dikemukakan oleh Barnett ketika ia menunjuk pada prinsip-prinsip tertentu yang digunakan oleh para praktisi hukum di Amerika dalam melakukan mediasi antara korban dengan pelaku tindak pidana. Tetapi perkembangan pemikiran mengenai keadilan restoratif itu sendiri secaara ideologis sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari munculnya gerakan abolisionis yang ingin menggantikan hukum pidana dengan sarana lain dalam
penanggulangan
kejahatan
serta
munculnya
ilmu
baru,
yaitu
viktimologi.
71
Eric Hoffer, Retributive and Restorative Justice, http://www. homeoffice.gov.UK/rds/prg.pdf/crrs 10.pdf, diakses tanggal 4 Januari 2008 (lihat juga: Tony F. Marshall, Restoratif Justice an Overview, http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html, diakses tanggal 6 Juni 2016. 72 Oleh Melani pendekatan restoratif Justice (keadilan pemulihan) untuk menyelesaikan kejahatan seringkali diperlawankan dengan pendekatan Retributive Justice (keadilan berdasarkan balas dendam) (Melani, Restorative Jusice, Kurangi Beban LP, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/23/opini/2386329.htm, diakses tanggal 6 Juni 2016) 73 LHC. Hulsman, Selamat Tinggal Hukum Pidana ! Menuju Swa Regulasi (diterjemahkan oleh : Wonosusanto), Forum Studi Hukum Pidana, Surakarta, 1988, hlm.. 67
58
Pada umumnya suatu kejahatan akan menimbulkan korban pada orang/pihak lain, sehingga dalam konteks ini korban dan pelaku bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang, oleh karena itu dapat dipahami apabila kemunculan viktimilogi, sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang korban tersebut juga berpengaruh terhadap konsep dan teori-teori pencegahan kejahatan. Konsep dan teori pencegahan kejahatan yang semula lebih bersifat offender oriented kemudian mulai memperhatikan kepentingan korban dalam hal itu. Adanya pertimbanganpertimbangan viktimologis dalam upaya pencegahan kejahatan dapat lebih memberikan rasa keadilan pada korbannya. Apabila dalam pendekatan retributif sanksi pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan“ kesalahan pelaku pada negara, maka dengan mempelajari hakikat korban dan penderitaannya, viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk menggali kemungkinan bagi dirumuskan dan diterapkannya sanksi yang lebih bersifat “pembayaran atau penebusan“ kesalahan pelaku kepada korbannya, misalnya dengan memberikan ganti kerugian atau santunan dan perbaikan atas kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat tindak pidana yang terjadi. Di samping sebagai perwujudan dari tanggung jawab hukum, sanksi yang berorientasi pada pemulihan korban tersebut sedikit banyak juga akan
menggugah tanggung
jawab moral pelaku terhadap korbannya.
Untuk
dapat
memberikan
gambaran
yang
lebih
terperinci
mengenai
keadilan restoratif, berikut ini dikutip pendapat beberapa orang ahli tentang hal tersebut : 1.
Tony F. Marshall
59
Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hukum. 74 Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memecahkan masalah kejahatan tersebut, keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi sebagai berikut: a. b.
c.
d. e.
f. 2.
Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat; Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat (termasuk pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan kebijakan sosial pada umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan; Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidak dapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya keterlibatan secara personal Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-fakta penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus; Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan masyarakat dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian kasusnya; Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antara para pihak. John Braithwaite
Secara singkat John Braithwaite memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai pemulihan korban.75Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pemulihan korban tersebut terdiri dari: a. b. c. d. e. f. g. h.
Restore property loss; Restore injury; Restore sense of security; Restore dignity; Restore sense of empowerment; Restore deliberative democracy; Restore harmony based on a feeling that justice has been done; Restore social support.
3.
Mark Umbreit
74
Tony F. Marshall, Restoratif Justice an Overview, http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html. John Braithwaite, Restorative Justice and Better Future, http://www. aic.gov.au/rjustice/other.html, diakses tanggal 6 Juni 2016 75
60
Meskipun tidak secara tegas menyebutkan pengertiannya, menurut Mark Umbreit, keadilan restoratif merupakan suatu cara pemikiran atau pemahaman mengenai kejahatan dan viktimisasi yang sangat berbeda dibanding dengan paham retributif.
76
Pada
paham
retributif, negara dianggap sebagai pihak
yang paling dirugikan ketika kejahatan terjadi. Oleh karena itu, dalam proses pemidanaan, korban dan pelaku ditempatkan pada peran serta posisi yang pasif. Sedangkan dalam pandangan keadilan restoratif, kejahatan dipahami sebagai konflik antar individu. Oleh karena itu, mereka yang terkait lebih langsung dengan terjadinya kejahatan, yaitu korban, pelaku dan masyarakat, harus diberi kesempatan
untuk secara aktif terlibat dalam upaya penyelesaian konflik
tersebut.
4.
Cornier
Cornier, seperti yang dikutip oleh Brian Tkachuk, memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai suatu pendekatan untuk menegakkan keadilan yang difokuskan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan yang ditimbulkan oleh kejahatan.77 Cornier juga mengatakan bahwa dalam keadilan restoratif ini mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada para pihak, yaitu korban; pelaku; dan masyarakat, untuk mengidentifikasi dan menentukan kepentingan mereka yang terkait dengan akibat kejahatan, mengupayakan penyelesaian yang bertujuan menyembuhkan, perbaikan dan reintegrasi, serta pencegahan penderitaan di masa 76
Mark Umbreit, Restorative Justice Through Victim-Offender Mediation : : A Multi-Site Assessment, http://www.wcr.sonoma.edu/v1n1/umbreit.html, diakses tanggal 6 Juni 2016 77 Brian Tkachuk, Criminal Justice Reform : Lessons Learned Community Involvement and Restorative JusticeRapprteur’s Report, (dalam http://www.aic.gov.au/rjustice/ other.html, diakses tanggal 6 Juni 2016
61
datang.
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam keadilan restoratif, pelaku; korban; dan masyarakat dianggap sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian tindak pidana, di samping negara sendiri. Keterlibatan pihak-pihak tersebut, khususnya pelaku; korban; dan masyarakat, dalam penyelesaian tindak pidana dianggap bernilai tinggi. Selain itu, cara pandang keadilan restoratif menuntut usaha kerja sama masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan korban dan pelaku dapat melakukan rekonsiliasi konflik dan menyelesaikan kerugian mereka dan sekaligus menciptakan rasa aman dalam masyarakat. Meskipun demikian, keterlibatan korban dalam proses pemidanaan perlu diatur secara hatihati supaya tidak menimbulkan viktimisasi sekunder yang akan menambah berat penderitaan korban setelah yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat tindak pidana.
Sebagai suatu pemikiran yang dimunculkan untuk menentang pendekatan retributif dalam penggunaan hukum pidana guna penanggulangan tindak pidana, prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh keadilan restoratif berbeda dengan prinsip- prinsip yang dikemukakan dalam keadilan retributif. Berikut ini paparannya seperti yang dikemukakan oleh para ahli : 1.
Howard Zehr
Howard Zehr, seperti
yang dikutip oleh Mark Umbreit, menjelaskan
perbedaan prinsip-prinsip dalam keadilan restoratif dengan prinsip-prinsip
62
dalam keadilan retributif dengan paparan sebagai berikut:78 Keadilan Retributif Kejahatan didefinisikan sebagai pelanggaran thd (hukum) negara Fokusnya adalah penentuan kesalahan dan melihat ke belakang (pada apa yang telah diperbuat pelaku)
Keadilan Restoratif Kejahatan didefinisikan sebagai pelanggaran antar perseorangan Fokusnya adalah pemecahan masalah, penentuan tanggung jawab dan kewajiban serta melihat ke masa depan Posisi para pihak adalah untuk berdialog dan menekankan pada proses negosiasi
Posisi para pihak saling berlawanan dan menekankan pada proses hukum Mengenakan penderitaan untuk Restitusi sebagai sarana untuk pemidanaan dan pencegahan memperbaiki kedua belah pihak; tujuannya adalah untuk rekonsiliasi/pemulihan Keadilan didefinisikan menurut Keadilan diberi pengertian secara hak yang muncul karena kaku menurut hukum keterkaitannya dengan pihak lain Kejahatan dilihat sebagai konflik Kejahatan dilihat sebagai konflik antara individu melawan negara antar individu Penderitaan warga masyarakat Perbaikan atau pemulihan pada (korban) digantikan dengan kerusakan/penderitaan warga penderitaan warga masyarakat yang masyarakat lain (pelaku) Masyarakat tidak terlibat secara Masyarakat sebagai fasilitator aktif dalam proses hukum karena dalam proses pemulihan sudah diwakili oleh negara. Mendorong (semangat ) persaingan Mendorong semangat saling dengan mengedepankan nilai-nilai tolong menolong individualistik Penyelesaian konflik dilakukan oleh Dalam upaya pemecahan masalah, negara kepada pelaku (korban peran korban dan pelaku diakui diabaikan dan pelaku bersifat pasif) (hak/kepentingan korban diakui dan pelaku didorong bertanggung jawab untuk memenuhinya)
78
Mengenai hal ini juga dikatakan oleh Michael Cavadino dan James Dignan sebagai berikut: “ retributivism looks backwards in time, to the offence. It is the fact that the offender has committed a wrongful act which deserves punishment, not the future consequences of the punishment, that is important to the retributist. (Michael Cavadino and James Dignan, The Penal System : An Introduction, SAGE Publications, California, 1992, hlm. 38)
63
Pertanggungjawaban pelaku Pertanggungjawaban pelaku diberi diwujudkan dengan pemidanaan pengertian sebagai akibat yang disadari dari perbuatan salahnya dan pelaku dibantu untuk memutuskan bagaimana segala sesuatunya dibuat menjadi baik kembali Perbuatan salah hanya diberi Perbuatan salah dipahami dalam batasan menurut hukum dengan keseluruhan konteksnya, baik mengabaikan dimensi moral, sosial, moral, ekonomi, dan politik ekonomi atau politik Pertanggungjawaban pelaku Pertanggungjawaban pelaku diberikan kepada negara dan ditujukan kepada korban masyarakat secara abstrak Reaksi terhadap konflik Reaksi terhadap konflik difokuskan difokuskan pada penderitaan pada perbuatan pelaku yang telah yang ditimbulkan oleh perbuatan lalu pelaku Stigma kejahatan dapat Stigma kejahatan tidak dapat dihilangkan melalui tindakan dihilangkan pemulihan Tidak ada dorongan (terhadap Munculnya penyesalan pada pelaku) untuk menyesali pelaku dan pengampunan dari perbuatannya dan (terhadap korban) korban dimungkinkan untuk mengampuni pelaku Penyelesaian konflik dilakukan Penyelesaian konflik dengan melibatkan para pihak tergantung/didominasi oleh aparat (korban, pelaku, dan masyarakat) penegak hukum
2.
Mark Umbreit
Menurut Mark Umbreit keadilan restoratif
berpijak pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:79 a. b. c.
79
Keadilan restoratif lebih terfokus pada upaya pemulihan bagi korban daripada pemidanaan terhadap pelaku. Keadilan restoratif menganggap penting peranan korban dalam proses peradilan pidana. Keadilan restoratif menghendaki agar pelaku mengambil tanggung jawab langsung kepada korban.
Laurence M. Newell, A Role for ADR in the Criminal Justice System ?, http://www.aic.gov.au/rjustice/newell/ presentation.pdf, diakses tanggal 6 Juni 2016.
64
d.
e.
f.
3.
Keadilan restoratif mendorong masyarakat untuk terlibat dalam pertanggungjawaban pelaku dan mengusulkan suatu perbaikan yang berpijak pada kebutuhan korban dan pelaku. Keadilan restoratif menekankan pada penyadaran pelaku untuk mau memberikan ganti rugi sebagai wujud pertanggungjawaban atas perbuatannya (apabila mungkin), daripada penjatuhan pidana. Keadilan restoratif memperkenalkan pertanggungjawaban masyarakat terhadap kondisi sosial yang ikut mempengaruhi terjadinya kejahatan.
Daniel W. van Ness
Untuk menegaskan bahwa keadilan restoratif secara prinsip berbeda dengan keadilan retributif, Van Ness, seperti yang dikutip oleh Mudzakkir, mengatakan bahwa keadilan restoratif dicirikan dengan beberapa prinsip sebagai berikut:80 a. b.
c.
Kejahatan adalah konflik antar individu yang mengakibatkan kerugian pada korban, masyarakat, dan pelaku itu sendiri. Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah melakukan rekonsiliasi di antara pihak-pihak sambil memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan. Proses peradilan pidana harus dapat memfasilitasi partisipasi aktif para korban, pelanggar, dan masyarakat. Tidak semestinya peradilan pidana didominasi oleh negara dengan mengesampingkan yang lainnya.
Adapun
nilai-nilai
yang
ingin
dicapai
oleh
keadilan
restoratif
dengan penyelenggaraan peradilan pidana adalah:81 a. b.
4.
Penyelesaian konflik (conflict resolution) yang mengandung muatan pemberian ganti kerugian (kompensasi) dan pemulihan nama baik. Menciptakan rasa aman yang mengandung muatan perdamaian dan ketertiban. Gerry Johnstone
Secara tidak langsung Johnstone dalam pernyataannya mengenai perbedaan antara “restorative sentenc “ dengan tipe/jenis pemidanaan yang lainnya, telah
80
Mudzakkir, Viktimologi : Studi Kasus di Indonesia, Makalah pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi ke XI Tahun 2005, Surabaya, 14-16 Maret 2005, hlm. 25 81 Ibid, Mudzakkir
65
mengemukakan prinsip-prinsip keadilan restoratif sebagai berikut:82 a.
b.
c.
The offender may be required to take part in meeting with the victim (or a victim representative) and, perhaps, other people affected fairly directly by the crime, such as members of the victim’s and even the offender’s own family. In such meeting, offenders are required to listen respectfully while those harmed by their behavior describe how they have been affected by it. Offenders are also expected to answer any questions their victim may have. Hence, restorative sentences are distinctive in that they may require offenders to meet face to face with those affected by their behavior, and to engage in constructive, respectful dialogue with them. The offender may be expected to apologize and under take a reparativetask. Hence, restorative sentences differ from other sentences in which offenders are expected to “ pay for “their crimes by undergoing pain. In restorative justice, offenders make amends for their crime through positive acts intended to benefit their victim(s). The precise way in which the offender will make amends is determined, not by professional sentencers, but by the victims and offenders and other participants in the restorative “ conference “. The aim is to have all parties agree upon what should be done about the matter.
Berdasarkan uraian mengenai keadilan restoratif tersebut di atas dapat dikatakan, bahwa pengertian keadilan restoratif pada prinsipnya merupakan suatu pendekatan untuk melakukan respon secara sistematik terhadap tindak pidana yang terjadi dengan fokus utama untuk memperbaiki kerusakan/memulihkan penderitaan yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut tanpa meninggalkan perhatian yang seimbang antara kepentingan korban, pelaku dan masyarakat. Keadilan restoratif di dalamnya juga terkandung pemikiran bahwa penyelesaian tindak pidana dilakukan dengan melibatkan pelaku, korban, dan masyarakat.
Paparan mengenai prinsip-prinsip keadilan restoratif tersebut di atas juga menunjukkan
bahwa
sanksi/bentuk
pertanggungjawaban
pelaku
yang
berorientasi pada pemulihan/rehabilitasi atas penderitaan/kerugian korban akibat
82
Gerry Johnstone, How, and in What Terms, Should Restorative Justice be Conceived ? (dalam: Howard Zehr and Barb Toews, Critical Issues in Restorative Justice, Criminal Justice Press, New York, 2004, hlm. 6
66
dari tindak pidana lebih mendapatkan tempat dalam pandangan keadilan restoratif dibandingkan dalam pandangan retributif. Meskipun
demikian
penerapan prinsip-prinsip keadilan restoratif untuk menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia perlu mempertimbangkan karakteristik tertentu yang ada dalam hubungan kerumahtanggaan (misalnya adanya prinsip kesatuan harta kekayaan setelah perkawinan dilangsungkan serta adanya hak, kewajiban dan tangung jawab tiap-tiap anggota keluarga sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang perkawinan) serta adanya prinsip-prinsip
keadilan
yang berlaku
dalam
masyarakat
sebagaimana
terkandung dalam Pancasila.
Pengertian dan prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas apabila dikaitkan dengan penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana (penal policy), khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, menurut pemikiran penulis mengandung 2 (dua) substansi pokok, yaitu: 1.
Keadilan yang
restoratif
berkaitan
dengan
pemikiran
mengenai
sanksi
dapat dikenakan pada pelaku tindak pidana (hukum materiil). Dari
paparan para ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sanksi-sanksi dalam keadilan restoratif harus bersifat/bertujuan untuk: a. Menyembuhkan/ merehabilitasi/memulihkan penderitaan yang dialami oleh korban sebagai akibat dari adanya pelanggaran hukum dari pada sanksi yang bertujuan untuk memenjarakan pelaku. Dengan mengacu pada pendapat John Braithwaite,83 maka sanksi dalam keadilan restoratif tersebut harus berorientasi pada pemulihan penderitaan korban dalam 83
John Braithwaite, Log.Cit
67
hal: 1) Memulihkan kerugian harta benda; 2) Memulihkan penderitaan fisik; 3) Memulihkan rasa aman; 4) Memulihkan harkat/martabat; 5) Memberdayakan korban; 6) Memulihkan sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan bersama; 7) Memulihkan harmoni yang didasarkan pada perasaan bahwa keadilan telah ditegakkan; 8) Memulihkan dukungan sosial. b. Merehabilitasi pelaku, serta dapat mengintegrasikan kembali pelaku dalam kehidupan bermasyarakat yang baik. Dengan kata lain sanksi yang
dikenakan kepada pelaku tidak bertujuan untuk membalas,
melainkan untuk menyelesaikan konflik dengan menggugah rasa tanggung jawab langsung pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya. c. Menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat. 2.
Keadilan restoratif berkaitan dengan cara/metode penyelesaian tindak pidana (hukum
formil).
Berkaitan
dengan
hal
ini,
keadilan
restoratif
memperkenalkan beberapa model penyelesaian tindak pidana, antara lain: Victim-offender conferencing
reconciliation/mediation
programs;
Victim-offender
programs; panels;
Family Victim
group
assistance
programs; Prisoner assistance programs; Community crime prevention programs.84
84
Ibid
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penanganan Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Polsek Natar Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia.
Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban. Suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana.
69
Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain. Berdasarkan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sangat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu. Perumusan tindak pidana kekerasan dalam
70
rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri. Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Berikut adalah salah satu contoh kasus KDRT yang terjadi di wilayah hukum Kepolisian Sektor Natar Kabupaten Lampung Selatan. Berdasarkan keterangan yang penulis peroleh dari Kantor Polsek Natar, sebagai berikut:
71
Beberapa hari sebelum kejadian KDRT terjadi, ibu asuti diberi magic-com yang sudah rusak oleh majikannya. Ibu astuti lalu berinisiatif memperbaiki magic-com tersebut karena merasa memerlukannya. Namun biaya reparasi magic-com nya kurang meski sebenarnya sudah diberi uang oleh majikannya sebesar Rp. 20.000,Biaya perbaikan seluruhnya Rp. 30.000. majikan ibu astuti pernah mengatakan bahwa jika uang untuk biaya perbaikannya kurang maka ibu Astuti bisa meminta lagi kekurangannya kepada pihak majikan. Namun karena malu, Ibu astuti kemudian meminta uang kepada suaminya.
Pada tanggal 22 Oktober 2009, karena suaminya tidak memiliki uang tambahan tersebut, suami langsung marah-marah dan memukuli ibu astuti dengan alasan tidak bilang terlebih dahulu kepadanya kalau hendak memperbaiki magic-com tersebut.
Ibu Astuti, istri dari bapak Ahmat Muthadil kemudian melaporkan ke posko bahwa dirinya telah dianiaya oleh suaminya (dipukuli) hingga berakibat muka dan bibirnya memar semua. Karena tidak terima atas perlakuan suaminya, ibu astuti melaporkan suaminya ke polsek natar dan malam itu juga suaminya langsung dijemput dan ditahan oleh polsek natar. Setelah 6 hari ditahan di polsek, Ibu astuti merasa tidak tega melihat suaminya dipenjara, lalu ia mencabut perkaranya dengan syarat sang suami tidak mengulangi perbuatannya kembali melakukan KDRT.
Berdasarkan kronologis kasus di atas, terlihat bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga terhadap ibu astuti. bentuk kekerasan yang diterima ibu astuti adalah kekerasan fisik yang mengakibatkan muka dan bibirnya memar semua.
72
Suami ibu Astuti dapat dijerat dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dengan pasal 44 ayat 1 UUPKDRT dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah atau Pasal 44 ayat 4 yang menyebutkan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Respon positif ditunjukkan oleh Polsek Natar yang segera menindaklanjuti laporan ibu Astuti dengan melakukan penangkapan terhadap suaminya. Pada kasus ibu Astuti, ia meminta posko Bantuan Hukum masyarakat untuk memediasi kasus KDRT yang dialaminya. Ia ingin mencabut laporannya dikepolisian dan berdamai dengan suaminya. Untuk itu langkah hukum yang diambil oleh GS dan paralegal yang terlibat adalah : 1.
Menggali kronologis kasus secara lebih detail sehingga dapat dianalisis apakah kasusnya dapat didamaikan (sesuai keinginan korban) atau sebaliknya kasusnya tetap dilanjutkan ke proses hukum.
2.
Memberitahukan kepada ibu astuti akan hak-haknya sebagai korban KDRT dan berbagai kemungkinan atas konsekuensi-konsekuensi yang harus ditanggungnya jika kasusnya distop atau diteruskan ke proses hukum selanjutnya. Diantaranya adalah jika kasusnya distop dan didamaikan, bukan tidak mungkin suaminya akan mengulang kembali tindak kekerasan yang dilakukannya. Dan jika kasusnya tetap dilanjutkan, maka bisa saja suaminya mendapatkan hukuman penjara dan ia beserta anak-anaknya harus siap secara
73
fisik, mental dan ekonomi karena tidak ada lagi yang akan bertanggungjawab terhadap keluarganya. 3.
Paralegal selaku pendampingan ibu Astuti memberikan tenggang waktu kepada ibu Astuti dan keluarga untuk berfikir dan mengambil keputusan apakah ia akan melanjutkan kasusnya atau tidak.
4.
Setelah waktu yang ditentukan habis, paralegal mendatangi ibu Astuti untuk menanyakan keputusan yang diambilnya. Karena ibu Astuti memutuskan untuk mencabut laporannya maka paralegal akhirnya mengambil langkahlangkah pencabutan laporan di kepolisian.
5.
Ibu Astuti dengan ditemani oleh paralegal dan keluarganya mendatangi Polsek Natar untuk mencabut laporannya. Sesuai dengan saran pihak terkait dan tokoh, maka dibuatlah perdamaian antara ibu astuti dan suaminya. Dalam perdamaian
tersebut
pihak
suami
berjanji
tidak
akan
mengulangi
perbuatannya kembali dan siap ditahan jika ia mengulangi tindak kekerasan yang dilakukannya.
Pada kasus ibu Astuti di atas, pilihan perdamaian dilakukan karena pihak korban berkeinginan kuat untuk berdamai dengan pelaku. Dengan melapor ke polisi, dan ditahannya pelaku, korban berharap pelaku menjadi jera dan tidak mengulang perbuatannya lagi. Selain itu, tindak KDRT yang dilakukan oleh suami ibu astuti baru pertama kalinya dilakukan dan akibat yang ditimbulkan tidak sampai menggangu aktivitas sehari-hari ibu Astuti.
Meski demikian Gender Specialist (GS) tetap mengingatkan bahwa walaupun baru pertama kali dilakukan bukan tidak mungkin siklus kekerasannya akan terus
74
berulang . Ibu Astuti harus bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi sebagai konsekuensi pilihannya untuk berdamai. Gender Specialist (GS), Fasilitator Posko (fasko) dan paralegal tidak dapat memaksa ibu Astuti untuk melanjutkan kasusnya karena semua keputusan dikembalikan kembali kepada korban setelah korban diberikan arahan alternative penyelesaian kasus beserta segala konsekuensinya.
Menurut keterangan dari Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo bahwa langkah yang diambil pihak penyidik kepolisian terkait dengan kasus tersebut adalah sebagai berikut:71 1.
Penyidik di Polsek Natar menyadari bahwa hukum bukanlah sebagai sesuatu yang final. Hukum harus dapat mengikuti dinamika kehidupan manusia. Ketika penyidik selalu mengutamakan kepastian hukum, maka rasa keadilan dan kemanfaatan manusia tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu penyidik mencoba lebih mengerti akan apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan
dalam
suatu
pelaporan.
Penyidik
berusaha
mengenyampingkan kepastian hukum untuk dapat memenuhi keinginan dari pihak pelapor maupun terlapor ketika sudah sepakat untuk melakukan perdamaian dan tidak lagi menempuh jalur hukum sebagaimana mestinya. 2.
Penyidik mencoba memahami bahwa hukum hanyalah alat dari tujuan manusia yaitu untuk mencapai kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia. Untuk mencapainya penyidik lebih mendahulukan keadilan substansif daripada keadilan prosedural. Penyidik menyadari apabila hanya mengejar keadilan prosedural, maka banyak perkara pidana yang seharusnya dapat 71
Hasil wawancara pada tanggal 26 Juni 2016
75
diselesaikan dengan perdamaian akan tetap dilanjutkan ke proses pengadilan, akan tetapi rasa keadilan dan kemanfaatan tidak akan dirasakan oleh pihak pelapor maupun terlapor. Hal ini dapat kita lihat dari langkah-langkah yang dilakukan penyidik dalam menghadapi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penyidik mempertimbangkan unsur kemanusiaan, ketika suami sebagai pencari nafkah hidup keluarga harus menjalani hukuman, maka istri dan anak-anaknya akan terlantar. Apabila terjadi perceraian, maka masa depan anak akan terancam, dan nantinya bukan tidak mungkin akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru di masyarakat. Dengan melakukan mediasi, diharapkan kehidupan keluarga akan harmonis kembali, dan masa depan anak dapat menjadi tanggung jawab bersama kedua orangtuanya.
Apabila dilihat dari segi peraturan, hukum di Indonesia belum sepenuhnya dapat mengikuti perkembangan perilaku atau kebudayaan masyarakat Indonesia. Di sadari bahwa Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah produk hukum dari jaman kolonial Belanda. Berkembangnya kebudayaan masyarakat Indonesia sampai saat ini belum dapat diadopsi sepenuhnya dalam KUHP yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. KUHP belum mengatur tentang proses pencabutan laporan dalam delik biasa apabila pihak pelapor dan terlapor sudah berdamai, padahal hal tersebut merupakan perilaku masyarakat Indonesia yang berkembang sampai saat ini. Penyidik menerapkan hukum progresif dengan mencoba menggerakkan peraturan dengan perilaku yang berkembang di masyarakat, sehingga diharapkan peraturan akan berubah menjadi hukum positif seperti yang diinginkan masyarakat.
76
Hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir , asas dan teori hukum yang legalistikpositivistik. Penyidik di Polsek Natar sudah melaksanakan hal tersebut dengan tidak terjebak dalam cara berpikir yang legalistik-positivistik, melainkan mencoba langkah-langkah kreatif dan inovatif dengan melakukan mediasi terlebih dahulu, memanggil kedua belah pihak dengan melibatkan keluarga dan unsur pemerintahan sehingga tercapainya kata mufakat yang berbuah kepada keadilan yang substantif daripada keadilan prosedural. Kreativitas yang dilakukan penyidik dalam penyelesaian perkara pidana yang tergolong delik biasa merupakan suatu terobosan hukum untuk menghindari ketimpangan hukum. Terobosan hukum inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum yang membuat bahagia.72
Penerapan hukum progresif dengan teori tujuan hukum Gustav Radbruch. Gustav mengajarkan bahwa ada tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit), dan kepastian hukum (rechtssicherkeit).73 Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum.
Proses penyelesaian kasus menurut keadilan restoratif tidak lagi menjadi monopoli kewenangan aparat penegak hukum melainkan ada keterlibatan secara aktif di antara para pihak. Jadi dalam konstruksi keadilan restoratif korban (dan 72
Satjipto Rahardjo, Menuju Produk Hukum Progresif, Makalah disampaikan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Januari 2004. 73 Achmad Ali, Op. Cit., hlm. 3.
77
masyarakat), di samping pelaku, dipandang sebagai bagian dari konflik dan dengan demikian tujuan serta proses penyelesaian kasus/konflik dilakukan dengan
mempertimbangkan
penyelesaian
konflik/kasus
kepentingan
para
diharapkan
untuk
pihak
tersebut.
Apabila
memberikan/menegakkan
keadilan, maka keadilan yang diterima para pihakpun (termasuk korban) dapat dirasakan lebih substantif.
Fakta bahwa KDRT terjadi di antara orang-orang yang memiliki relasi khusus yang pada umumnya dianggap sangat dekat, baik karena perkawinan maupun hubungan darah. Adanya relasi khusus yang pada umumnya dianggap sangat dekat tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 2 UUPKDRT. Pasal 1 angka 1 UUPKDRT merumuskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut ketentuan-ketentuan dalam UUPKDRT satu-satunya penyelesaian menurut jalur hukum pidana terhadap kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku. Dengan kata lain, satu-satunya bentuk pertanggungjawaban pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan menjalani sanksi pidana.
Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa
pemidanaan terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan akibat yang tidak mengenakkan/tidak menyenangkan bagi korbannya yang
78
tidak lain merupakan anggota keluarga (atau dianggap sebagai anggota) pelaku sendiri, misalnya : antara pelaku dan keluarganya (yang juga merupakan korban) hidup terpisahkan oleh tembok penjara, nafkah korban akan terganggu, dan terjadi keretakan dalam hubungan keluarga. Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga akan memelihara suasana konflik antara pelaku dengan korbannya yang tidak lain adalah keluarganya sendiri (atau orang yang menurut aturan hukum harus dianggap
sebagai
keluarga). Terpeliharanya suasana konflik tersebut jelas akan mempersulit tercapainya salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Padahal oleh Satjipto Rahardjo juga dikatakan bahwa hukum mempunyai tujuan yang lebih jauh, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.74
Fakta bahwa korban atau keluarga korban kekerasan dalam rumah tangga yang telah melaporkan perkaranya kepada aparat penyidik lebih sering memilih untuk menyelesaikan perkaranya secara kekeluargaan dengan tidak melanjutkan proses penyelesaian kasusnya menurut jalur hukum pidana. Pilihan cara penyelesaian perkara oleh korban tersebut dilakukan dengan mencabut laporan yang telah dibuatnya. Penyelesaian
konflik
menurut
pemikiran
keadilan
restoratif pada dasarnya dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan harmoni antara kepentingan korban, pelaku, dan masyarakat.
Harmonisasi kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat yang menjadi
74
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, KOMPAS, Jakarta, 2007, hlm. 11, 22.
79
tujuan penyelesaian konflik menurut pemikiran keadilan restoratif tersebut sesuai dengan salah satu tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d UUPKDRT.
Dikaitkan dengan penyelesaian kasus melalui jalur hukum pidana, maka dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip keadilan restoratif berkaitan dengan 2 (dua) hal pokok, yaitu: pertama, berkaitan dengan sanksi yang dapat dikenakan terhadap pelaku; dan kedua, berkaitan dengan proses penyelesaian perkaranya. Berkaitan dengan hal itu, maka kajian restoratif terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia akan difokuskan pada aturan- aturan hukum yang mengancamkan sanksi pidana pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan aturan-aturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Seperti undang-undang perlindungan anak, UUPKDRT sebenarnya juga telah mengakomodasi ide keadilan restoratif sebagaimana dapat dilihat dari Pasal
10 dan Pasal 39,
tetapi
diakomodasinya
ide keadilan restoratif
tersebut tidak diletakkan dalam konteks penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut jalur hukum pidana.
Prisip-prinsip keadilan restoratif pada dasarnya berkaitan dengan 2 (dua) hal, yaitu : pertama, berkaitan dengan kebijakan hukum pidana materiil (khususnya berkaitan dengan kebijakan mengenai sanksi pidana); dan kedua, berkaitan dengan kebijakan hukum pidana formil (khususnya berkaitan dengan cara penyelesaian kasus).
80
Sesuai dengan ide dasarnya, jenis sanksi dalam keadilan restoratif merupakan sanksi yang dapat mewujudkan tanggung jawab pelaku terhadap pemulihan penderitaan korban. Hal ini berbeda dengan jenis sanksi pidana yang didasarkan pada ide/pemikiran retributif. Dalam pemikiran retributif, sanksi pidana dikenakan terutama sebagai wujud tanggung jawab pelaku terhadap negara atau merupakan suatu pembalasan atau pengimbalan yang dilakukan oleh negara atas kesalahan pelaku. Meskipun dalam perkembangan pemikiran mengenai pemidanaan lalu muncul pemikiran-pemikiran baru untuk lebih memperhatikan unsur kemanusiaan dalam penerapan sanksi pidana, hal itu tetap tidak merubah tujuan utama dari penerapan sanksi pidana berdasar ide retributif.
Berdasarkan paparan mengenai kecenderungan dunia internasional, khususnya mengenai dirumuskannya jenis sanksi ganti kerugian, dapat dikatakan bahwa kewajiban pelaku untuk memberikan kompensasi atau restitusi atau ganti rugi tersebut kepada korban merupakan pencerminan/perwujudan dari ide keadilan restoratif. Perumusan sanksi ganti
rugi
dalam
aturan
hukum
mengenai
kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia menurut pemikiran penulis tidak cocok untuk diterapkan mengingat hal- hal sebagai berikut: 1.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 1 dan dihubungkan dengan Pasal 2 UUPKDRT dapat ditegaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi di antara anggota keluarga sendiri.
Hubungan kekeluargaan di antara pelaku dan korban pada kekerasan dalam rumah tangga menghormati
pada
dasarnya
dilandaskan
pada
cinta
kasih,
hormat-
dan pada pokoknya suatu hubungan paguyuban yang tidak
memperhitungkan untung rugi. Dengan demikian akan dirasa janggal jika kemudian ada perhitungan ganti rugi sebagai salah satu sarana untuk
81
menyelesaikan konflik di antara mereka. Dengan dimasukkannya orang yang bekerja membantu rumah tangga (disebut juga sebagai pembantu rumah tangga) dan menetap dalam rumah tangga sebagai anggota keluarga, maka pembentuk Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 telah melakukan penegasan bahwa orang yang bekerja membantu rumah tangga, selama ia menetap dalam rumah tangga tersebut, diberi kedudukan sebagai anggota keluarga sama seperti
anggota
keluarga yang lain. Oleh karena itu hubungan kekeluargaan yang menjadi basis hubungan dalam rumah tangga diharapkan lebih menonjol dibandingkan hubungan pekerjaan antara majikan dengan orang yang bekerja padanya.
2.
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya merupakan pengingkaran dari
sesuatu yang menjadi landasan hubungan kekeluargaan tersebut di atas, serta pengingkaran terhadap tugas, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga. Oleh karena itu, menurut penulis, sanksi yang cocok untuk dikenakan kepada pelaku seharusnya juga merupakan sanksi yang, di satu sisi, merupakan sanksi yang merepresentasikan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku dalam hisup kerumahtanggaan, serta di sisi lain, merupakan sanksi yang berkorelasi dengan kebutuhan untuk merehabilitasi korban.
3.
Dalam kehidupan rumah tangga di Indonesia pada umumnya terjadi penyatuan harta kekayaan.
Pasal
35
ayat
(1)
Undang-Undang
No.
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian maka akan dirasa janggal apabila ganti rugi, yang menurut ide keadilan restoratif merupakan perwujudan tanggung jawab pelaku terhadap korban, dijalankan oleh pelaku dengan menggunakan
82
harta yang juga merupakan harta korbannya. Meskipun di antara pelaku dan korban dimungkinkan adanya penguasaan harta bawaan yang terpisah satu sama lain, kejanggalan juga akan terasa karena ganti rugi yang diberikan oleh pelaku tersebut pada akhirnya juga akan menjadi harta bersama antara pelaku dan korban.
Keberadaan keluarga/rumah tangga di tengah-tengah masyarakat tersebut menurut penulis juga mengandung konsekuensi bahwa penyelesaian konflik dalam rumah tangga harus juga memperhatikan perasaan keadilan masyarakat serta kepentingan masyarakat untuk menjaga dan memelihara ketertiban umum. Berkaitan dengan adanya pertimbangan untuk juga tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat serta kepentingan masyarakat akan terciptanya ketertiban umum tersebut, maka pengancaman sanksi pidana penjara, sebagai pidana pokok yang pada umumnya diancamkan pada setiap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat berat atau matinya korban serta kekerasan seksual bukan di antara suami-isteri), dianggap
masih
sesuai.
Sedangkan untuk mengakomodasi kepentingan
pemulihan korban sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban pelaku sekaligus beraspek rehabilitatif bagi pelaku sendiri, perlu dirumuskan sanksi pidana yang bertitik tolak dari pelaksanaan tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku dalam hidup berumah-tangga/berkeluarga, misalnya : sanksi yang mewajibkan pelaku untuk memberikan nafkah dan kewajiban untuk melakukan perawatan
atau
pemeliharaan
terhadap
anggota
keluarga
sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 30, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 45, dan Pasal 46 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
83
Terkait
dengan
adanya
ancaman
sanksi
pidana
denda
sebagaimana
dirumuskan dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan dalam kasuskasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya dalam UUPKDRT, menurut Sely Fitriani
selaku
Direktur
Eksekutif
LSM
DAMAR
tidak
sesuai
diancamkan/diterapkan terhadap semua jenis kekerasan dalam rumah tangga sehingga harus dihapus dengan alasan sebagai berikut:75 1.
Aspek perlindungan kepentingan masyarakat dan rehabilitasi terhadap pelaku dalam pidana denda tidak begitu terasa sebagaimana tampak pada pidana penjara.
2.
Karena pidana denda itu merupakan pembayaran/penyerahan sejumlah uang kepada negara, maka pidana denda tidak beraspek pada upaya pemulihan penderitaan korban. Bahkan pidana denda dapat semakin memberatkan ekonomi keluarga pelaku, termasuk didalamnya adalah kemungkinan menambah beban ekonomi korban.
Hal tersebut dapat
terjadi karena, pada umumnya, kekerasan dalam rumah tangga terjadi di antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau terjadi di antara orang-orang yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. 3.
Sekalipun
dalam
pidana
denda
ada
segi
positifnya,
yaitu
dapat
dihindarkannya stigmatisasi atau prisonisasi bagi pelaku, segi positif dari pidana denda tersebut hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang secara ekonomi telah berkelebihan/orang-orang kaya. Sedangkan bagi pelaku yang secara ekonomi tidak mampu, sehingga tidak dapat membayar denda, kemungkinan terjadinya stigmatisasi tetap akan ada karena hakim dapat
75
Hasil wawancara pada tanggal 24 Mei 2016
84
menentukan adanya pidana kurungan pengganti denda. Dalam pidana denda, negara “ memaksa “ pelaku untuk menyerahkan sejumlah uang (sebagai denda) kepada negara. Apabila di antara pelaku dan korbannya terdapat kesatuan harta benda, sebagaimana lazimnya dalam satu keluarga, maka denda yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada negara tersebut mau tidak mau juga akan membebani korbannya. Dengan kata lain korban yang sudah mengalami penderitaan akibat dari tindak kekerasan juga dipaksa untuk menanggung beban dari pidana yang dijatuhkan pada pelaku. Beban yang juga harus ditanggung oleh korban (yang juga merupakan anggota keluarga dari pelaku) tersebut jelas akan menambah kesulitan bagi hidup yang bersangkutan, padahal seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo pencari keadilan tidak hanya berkepentingan agar hukum ditegakkan, yang lebih penting adalah mereka ingin dibantu keluar dari kesulitannya.76 Penerapan aturan hukum yang justru menambah kesulitan/penderitaan korban menurut penulis juga tidak sesuai dengan tujuan akhir dari kebijakan kriminal
(criminal policy), yaitu
kesejahteraan sosial.
Menurut ketentuan KUHAP, penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga pada dasarnya akan menghadap-hadapkan pelaku melawan aparat penegak hukum, sedangkan korban hanya akan berperan sebagai saksi. Dengan kata lain, pihak yang terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian pidana menurut KUHAP tersebut adalah aparat penegak hukum dan pelaku, sedangkan korban diberi peran yang pasif. Proses penyelesaian tindak pidana menurut KUHAP, yang pada dasarnya masih dijiwai oleh pemikiran retributif tersebut, 76
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hlm. 95
85
juga berlaku bagi kekerasan dalam rumah tangga.
Berbeda dengan proses penyelesaian tindak pidana yang bersifat retributif, proses penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didasari oleh ide keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian kasus yang melibatkan korban secara
aktif. Meskipun demikian, menurut pemikiran penulis, dilibatkannya
korban dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut tidak
dilakukan
untuk semua kasus, melainkan hanya untuk kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga tertentu, yaitu kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan penderitaan fisik atau psikis yang bersifat ringan, kekerasan seksual di antara suami dan istri, dan penelantaran rumah tangga. Adapun dasar pertimbangan dari pemikiran tersebut adalah: a.
Kepentingan
negara/masyarakat
untuk
menjaga
atau
memelihara
kepentingan umum serta menjaga perasaan keadilan masyarakat dalam pemidanaan terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat berat atau matinya korban dianggap lebih besar
dibandingkan
dengan
kepentingan
individu untuk tetap
mempertahankan keberlangsungan rumah tangganya. b.
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat berat atau matinya korban lebih sulit atau bahkan tidak dapat dipulihkan apabila dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga yang berakibat ringan atau penelantaran keluarga.
c.
Kepentingan korban atau keluarga korban agar perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan serta kekerasan seksual di antara suami-istri tidak dituntut menurut hukum
86
pidana dianggap lebih besar dibandingkan dengan kepentingan negara atau kepentingan umum agar perkaranya itu dituntut. Hal itu tersirat dengan dirumuskannya kekerasan dalam rumah tangga yang menimbulkan akibat-akibat yang bersifat ringan serta kekerasan seksual di antara suamiistri tersebut sebagai tindak pidana aduan (Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 53 UUPKDRT). d.
Ancaman pidana
penjara terhadap
kekerasan fisik atau psikis yang
berakibat ringan tersebut termasuk dalam kategori pidana perampasan kemerdekaan yang singkat. Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT merumuskan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan. Dari segi jangka waktunya, ancaman pidana penjara yang dirumuskan di dalam kedua pasal tersebut termasuk kategori pidana perampasan kemerdekaan yang singkat. Perumusan/pengancaman sanksi pidana, termasuk pidana perampasan kemerdekaan singkat dalam Pasal 44 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (2) UUPKDRT tersebut secara filosofis bertolak belakang dengan tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang dirumuskan dalam Pasal 4 ( antara lain adalah untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera). Di samping itu menurut Barda Nawawi Arief dalam perkembangannya banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan, terutama masalah efektifitasnya. 77 Dengan kata lain, penggunaan pidana penjara/pidana perampasan kemerdekaan, khususnya pidana perampasan kemerdekaan yang singkat, mengandung 77
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang, 1994, hlm. 46
87
kelemahan.78 e.
Tindak
pidana
penelantaran
keluarga
pada
hakikatnya
merupakan
pengingkaran dari tugas, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku terhadap keluarganya.
Mengacu kepada cara-cara alternatif penyelesaian tindak pidana menurut ide keadilan restoratif yang dikemukakan oleh David Miers, sikap aparat penyidik yang memperbolehkan dicabutnya laporan korban untuk kasuskasus kekerasan dalam rumah tangga dengan alasan akan diselesaikan secara kekeluargaan di antara korban dan pelaku, serta sifat komunalnya dan prinsipprinsip kekeluargaan yang ada pada masyarakat Indonesia, kiranya model penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga (khususnya kekerasan yang berakibat
ringan,
kekerasan seksual
di antara suami/istri serta
penelantaran keluarga) yang tepat adalah mediasi yang dilakukan oleh aparat penyidik.
Adapun mediasi dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tertentu tersebut dilakukan tidak hanya di antara pelaku dan korban, melainkan dilakukan dengan sedikit modifikasi, yaitu dengan melibatkan keluarga dekat dari pelaku dan korban serta tokoh-tokoh masyarakat atau agama yang disegani oleh para pihak. Model mediasi seperti itu pada dasarnya mirip dengan
family
group
conferencing
programs.
Model
mediasi
yang
dimodifikasi tersebut juga dirasa sesuai dengan inti yang terkandung dalam Pancasila (yang merupakan cita hukum bangsa dan negara Indonesia), yaitu 78
Schaffmeister, Pidana Badan Singkat Sebagai Pidana Di Waktu Luang (terjemahan oleh : Tristam Pascal Moeliono) PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 15-16
88
musyawarah mufakat atau kekeluargaan serta sesuai dengan ciri khas hukum nasional Indonesia, yaitu terkandungnya asas kekeluargaan.
Penyidik di Polsek Natar dalam menyelesaikan perkara pidana yang tergolong delik biasa, menerapakan teori tujuan hukum menurut Gustav Radbruch. Penyidik mencoba memahami keadilan apakah yang sebenarnya diinginkan oleh pelapor dan terlapor. Prioritas pertama adalah keadilan yang diharapkan dari pihak-pihak yang terkait, setelah timbul keadilan, tentunya akan memberi manfaat kepada kedua belah pihak, dan terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.
Dilihat dari sudut pandang hukum, pekerjaan kepolisian, tidak lain berupa penerapan atau penegakan hukum, dengan demikian, polisi menjadi penjaga status quo dari hukum. polisi itu adalah “hamba hukum”, “aparat penegak hukum”, dan sebagainya. Pemahaman di atas membawa implikasi bahwa tidak ada legitimasi lain
untuk
polisi,
kecuali
sebagai
aparat
penegak
hukum,
sehingga
pertanggungjawaban yang harus diberikannya juga semata-mata terhadap hukum yang menjadi “majikannya”.
Dilihat dari kaca mata hukum progresif, polisi tidak menjadikan hukum sebagai pusatnya, tapi rakyatlah (manusia) yang menjadi perhatian utama. Ketika polisi menjadi pengayom dan pelindung rakyat, maka bukan hukum yang menjadi patokan utama, tapi hati nurani. Artinya, ketika ada suatu kasus, yang pertama kali dilihat bukan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan kasus itu, tapi hal-hal lain di luar hukum. Ia tidak lagi terkungkung dengan rumusan formal perundangundangan yang mengancam hukuman penjara bagi seorang pencuri, tapi melihat kasus itu sesuai dengan hati dan pikirannya. Polisi yang demikian ini disebut
89
dengan “polisi protagonis”, yaitu polisi yang mengayomi dan melindungi rakyat kecil. Ia memiliki kesabaran, keberanian untuk keluar dari aturan hukum tertulis yang selama ini menjadi majikannya, dedikasi, dan pro rakyat kecil.79
Pemahaman ini dapat diartikan bahwa sudah saatnya polisi menjadi bagian dari masyarakat. Ia harus peka terhadap kepentingan masyarakat. Di sini yang ditekankan bukan pada pertanggungjawaban secara hirarkhis dan berdasarkan peraturan-peraturan, melainkan lebih secara sosiologis mendekatkan kepada masyarakat dan warganya. Di sini polisi lebih memberikan pertanggung jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan warga masyarakat secara substansial. Konsep inilah yang kemudian dikenal dengancommunity policing.80
Memang berat konsep ini diterapkan mengingat begitu kuatnya paham formalisme yang diterapkan oleh polisi di dalam menanggulangi kejahatan. Kalau konsep ini diterapkan, akan ada perubahan pola pikir, cara pandang dan paradigma polisi di dalam memperlakukan penjahat yang notabene adalah manusia itu sendiri. Kriteria untuk terciptanya community policing ini paling tidak antara lain; mendekatkan kepada rakyat, dalam arti rakyat tidak dijadikan lawan; menjadikan akuntabel terhadap masyarakat; menggantikan pada “penghancuran” dengan melayani dan menolong; peka dan melibatkan kepada urusan sipil dari warga Negara (masyarakat) seperti membantu orang lemah, tidak tahu dan kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.
79
Satjipto Rahardjo, 2007, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, Penerbit Kompas, Jakarta, hlm. 30-31 80
Ibid hlm, 33
90
Di samping gagasan hukum progresif sesungguhnya juga ditemukan dalam sistem yang digunakan dalam kepolisian, yaitu yang dikenal dengan diskresi. Jika hukum progresif, sebagaimana uraian di atas, lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata. Ini menyebabkan soal diskresi yang dikenal dalam tugas polisi sangat dianjurkan dalam penyelenggaraan hukum. Artinya, polisi dituntut untuk memilih dengan kebijakan bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada padanya berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar pembenaran untuk menempuh cara yang bijaksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral, kemanusiaan dan hati nurani dari pada ketentuan-ketentuan formal.
Kewenangan formal dijalankan oleh legislasi dan aktualisasinya oleh badan-badan pelaksana (enforcement agencies). Artinya, kewenangan formal yang diberikan tidak
otomatis
memberi
kekuasaan
kepada
badan
badan
untuk
mengimplementasikan kekuasaan tersebut. Kewenangan formal sekedar memberi legalisasi, sedang aktualisasi kekuasaan disebarkan ke masyarakat.81 Jika konsep ini diterapkan, ini berarti walaupun kepolisian (polisi) memiliki kewenangan untuk memproses kasus seseorang kepada kejaksaan, tidak secara otomatis dapat diaktualisasikan. Tergantung pada bagaimana karakteristik pelaku dan kejahatan yang dilakukan serta kontekstualisasinya dengan aspek sosial kemasyarakatan. Dengan kata lain, aturan-aturan formal tidak menjadi satu-satunya majikan yang harus dilayani, tapi beralih pada hati nurani dan manusia.
81
Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Kompas, Jakarta, , hlm. 45-46
91
Penerapan Teori tentang tujuan hukum menurut Gustav Radbruch dapat dilihat dari penyelesaian kasus KDRT dengan korban ibu Astuti di Polsek Natar, penyidik mengambil kebijakan untuk tidak melanjutkan penyidikan ke jaksa penuntut umum. Langkah yang diambil penyidik ini menurut Teori Keadilan adalah dengan mendahulukan prioritas keadilan. Dengan mendahulukan keadilan dan kemanfaatan otomatis kepastian hukum akan dikesampingkan karena kasus penganiayaan atau KDRT tergolong delik biasa yang tetap harus diproses walaupun sudah ada perdamaian dan pencabutan laporan. Ketidakselarasan antara penerapan keadilan dan kemanfaatan dengan kepastian hukum dalam penerapan hukum memang tidak dapat dihindari. Penyidik dituntut untuk cermat dan bijaksana dalam menentukan prioritas yang didahulukan. Untuk memahami ini diperlukan penyidik yang mempunyai hati nurani yang peka terhadap keinginan masyarakat dan kreatif serta inovatif sesuai dengan apa yang diasumsikan dalam hukum progresif.
Penulis menganalisis bahwa penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar dilakukan dengan beberapa metode atau cara yaitu sebagai berikut: 1.
Menerapkan mediasi penal dengan prinsip-prinsip keadilan restorative, hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Kanit Reskrim Polsek Natar, bahwa ketika menghadapi adanya pencabutan laporan pada perkara pidana yang tergolong delik biasa, penyidik harus mengambil langkah-langkah dengan menerapkan restorative justice. Hal ini dilakukan dengan memediasi pihakpihak yang terlibat, dan mencoba merestorasi “kerusakan” yang ditimbulkan akibat suatu perbuatan pidana. Upaya untuk memperbaiki “kerusakan”
92
tersebut diiringi dengan upaya untuk memperbaiki hubungan antara korban dengan terlapor dan masyarakat. Hubungan dengan masyarakat diperbaiki dengan melibatkan unsur pemerintahan setempat seperti Ketua RT, RW, Lurah, maupun Bhabinkamtibmas. Mekanisme penyelesaian dengan keadilan restoratif dapat menempatkan posisi masyarakat bukan hanya sebagai penonton saja, melainkan dapat berperan aktif dalam memantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana.
Mediasi dengan menerapkan keadilan restoratif ini disebut juga dengan mediasi penal. Mediasi penal terkadang memang berada di luar ketentuan Legal System. Alasan penyidik Polsek Natar menerapkan mediasi penal adalah mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan baik dari korban dan terlapor, sehingga terkadang mengenyampingkan kepastian hukum.
Beranjak
dari
pemikiran
tentang
keunggulan
dan
kelemahan
dari
penyelesaian perkara pidana di luar sistem yang tidak diakui oleh hukum formal yang berlaku, keadilan restoratif telah menjadi suatu kebutuhan dalam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan budaya masyarakat Indonesia yang lebih mementingkan musyawarah dan mufakat untuk memecahkan suatu persoalan, akan tetapi hal tersebut belum termuat dalam KUHP dan KUHAP yang masih didominasi oleh peninggalan budaya kolonial.
Penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan hukum progresif karena
93
pada dasarnya yang didahulukan adalah kepentingan masyarakat. Penyidik mencoba menempatkan hukum agar lebih dapat menyesuaikan apa yang diinginkan oleh masyarakat, sehingga tujuan hukum secara hakiki dapat tercapai yaitu untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya. 2.
Menerapkan diskresi kepolisian. Sebagaimana kita ketahui bahwa tugas polisi sebagai penyidik dalam sistem peradilan pidana menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau memilah-milah perkara mana yang pantas untuk diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya pemilahan perkara oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi penumpukan perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak.
Penyidik di Polsek Natar dalam melakukan penyidikan kasus pidana seperti yang telah dicontohkan sebelumnya selalu mempertimbangkan untuk memajukan kasus yang sedang ditanganinya ke pengadilan. Penyidik cenderung untuk memediasikan kasus-kasus yang dinilai kerugiannya kecil dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pada situasi seperti ini, penyidik menggunakan kewenangan diskresi kepolisian dalam penyidikan.
Penulis
menganalisis
alasan
penerapan
diskresi
kepolisian
dalam
penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polsek Natar adalah sebagai berikut: a. Adanya perdamaian dari pelapor dan terlapor. Penyidik pada saat melaksanakan tahapan-tahapan penyidikan sering sekali berhadapan dengan situasi dimana kedua belah pihak sudah saling
94
memaafkan, mengganti kerugian yang ditimbulkan, serta mencabut laporan di kepolisian. Pencabutan laporan dalam kasus-kasus yang tergolong bukan delik aduan (delik biasa) sebenarnya tetap dapat dilanjutkan oleh penyidik, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu yang tidak meresahkan masyarakat umum, dan kerugian yang ditimbulkan kecil, penyidik Polsek Natar mengambil kebijaksanaan untuk tidak melanjutkan perkara tersebut ke proses pengadilan berikutnya. Langkah diskresi ini dilakukan penyidik dengan mengedepankan asas keadilan dan kemanfaatan, walaupun terkadang mengenyampingkan kepastian hukum. b. Apabila penyidikan tetap dilanjutkan akan menimbulkan potensi gangguan terhadap kamtibmas yang lebih besar. Langkah yang diambil penyidik Polsek Natar merupakan salah satu alasan dilakukannya diskresi kepolisian menurut Satjipto Rahardjo. Satjipto berpendapat bahwa sifat tugas kepolisan yang mendesak dan mendadak, mengharuskan polisi untuk cepat dan tepat dalam bertindak. Apabila polisi lambat dalam bertindak, maka dalam bilangan detik dapat terjadi aneka peristiwa, kecelakaan, bunuh diri, dan bukan tidak mungkin dapat terjadi kerusuhan massal. Jadi keleluasaan dan kelonggaran diperlukan bagi pekerjaan polisi. Kekakuan pengaturan pekerjaan polisi bisa fatal. Diskresi diberikan kepada polisi untuk menentukan pilihan tindakan (course of action) yang akan dilakukan.82
Ketentuan Pasal 5 dan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1981 disebutkan bahwa: “Setiap pejabat kepolisian yang berkualifikasi menyelidik dan menyidik 82
Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 261.
95
dalam rangka melaksanakan tugas di bidang peradilan pidana karena kewajibannya diberi wewenang oleh undang undang”. Mengingat wewenang kepolisian untuk melaksanakan tindakan-tindakan kepolisian tidak mungkin diatur secara terperinci maka dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (1) angka 4 dan Pasal 7 Ayat (1) huruf j dinyatakan bahwa “polisi berwenang karena kewajibannya melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.” Maksud dari tindakan lain disini adalah tindakan dari penyelidik atau penyidik untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan dengan ketentuan tidak
bertentangan
dengan
kewajiban
hukum
yang
mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan, tindakan itu harus patut dan masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya dan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati hak asasi manusia. Dengan demikian tindakan lain ini seperti tindakan penyidik berupa diskresi kepolisian boleh diambil selama masih dalam jalur yang ditentukan oleh hukum itu sendiri.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) tersebut polisi dapat mengambil tindakan lain pada saat penyidikan selain yang telah disebutkan pada aturan perundangundangan tersebut selama demi kepentingan tugas-tugas kepolisian. Sekalipun polisi telah diberi kewenangan oleh undang undang untuk mengambil tindakan lain tersebut, tetap saja polisi harus bisa untuk mempertanggungjawabkan atas segala tindakan dan keputusan yang telah diambil di dalam melaksanakan tugasnya. Hal demikian dimaksudkan agar polisi tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, mengingat
96
kewenangan untuk melakukan tindakan lain oleh polisi pada saat penyidikan tersebut demikian luasnya.
Penyidik sebenarnya tidak perlu ragu dalam menerapkan hukum progresif. UUD 1945 mengatur bahwa hukum adat tetap berlaku bagi masyarakat setempat. Ketentuan yang mengatur pelaksanaan hukum adat terdapat pada peraturan peralihan UUD 1945 Pasal 11 diatur bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakannya yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Hukum adat masih berlaku dalam penyelesaian masalah di masyarakat dengan melakukan musyawarah untuk mencapai kata mufakat. UUD 1945 secara hirarkis lebih tinggi daripada KUHP dan KUHAP yang merupakan suatu undang-undang. Oleh karena itu menurut Supriyadi, hukum adat dapat dijadikan dasar untuk menerapkan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana, walaupun tidak diatur dalam KUHP maupun KUHAP.
Penegakan hukum menurut Sely Fitriani selaku Direktur Eksekutif LSM DAMAR adalah terciptanya perdamaian dan ketertiban di dalam masyarakat. Oleh karena itu penegakan hukum harus bersifat flexibel. Ketika sudah ada perdamaian antara kedua belah pihak, penyidik dapat mengambil kebijakan untuk tidak meneruskan ke kejaksaan dan pengadilan. Penerapan hukum progresif dapat dilaksanakan melalui mediasi penal dengan berpegang terhadap prinsip-prinsip Keadilan Restoratif.83
83
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016.
97
Kanit Reskrim pada Polsek Natar Setio Budi Howo menyatakan alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam menyelesaikan perkara pidana pada tahap penyidikan. Hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana karena hal ini diperlukan untuk mengakomodasi keinginan dari pihak-pihak yang terlibat sebagai korban maupun terlapor. Dengan adanya perdamaian dan saling mengganti kerugian yang ditimbulkan, tujuan hukum dari segi kemanfaatan dan keadilan dapat tercapai.84
Heni Siswanto selaku Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung menyatakan bahwa mengenai alasan perlunya penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan. Heni menjelaskan bahwa hukum progresif perlu diterapkan mengingat proses penyidikan oleh penyidik yang dilakukan selalu berkaitan dengan proses selanjutnya dalam sistem peradilan pidana. Jaksa penuntut umum dan hakim tidak bisa menolak perkara yang sudah dilimpahkan oleh penyidik. Perdamaian sebagai hasil dari mediasi penal pada tahap
penuntutan
maupun
persidangan
hanya
dapat
digunakan
untuk
memperingan hukuman yang akan diberikan, tidak menjadi dasar bagi jaksa atau hakim untuk membebaskan terdakwa karena hakim dalam memutuskan suatu perkara selalu berdasarkan undang undang. Oleh karena itu, apabila semua perkara dilimpahkan penyidik ke jaksa maupun hakim maka akan terjadi penumpukan perkara. Penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan dapat mengurangi beban hakim dalam memutuskan perkara yang masuk ke pengadilan.85
84 85
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016 Hasil wawancara tanggal 14 April 2016.
98
Heni juga berpendapat bahwa penerapan hukum progresif pada tahap penyidikan diperlukan untuk menghindari perceraian pada kasus KDRT. Korban KDRT ketika melapor ke kepolisian belum tentu mempunyai niat untuk bercerai, akan tetapi ketika penyidik memproses perkara tersebut tanpa melakukan mediasi terlebih dahulu maka dapat menyebabkan perceraian. Orang tua dari suami atau istri akan timbul gengsi atau pi’il dalam adat Lampung, sehingga kemungkinan untuk perceraian akan semakin besar. Heni menyarankan kepada penyidik agar dalam menangani kasus KDRT dapat menerapkan hukum progresif dengan melakukan mediasi terlebih dahulu sehingga terjadi perdamaian antara suami istri.86
Menurut analisis penulis, pelaksanaan diskresi kepolisian oleh penyidik Polsek Natar dengan mengenyampingkan perkara merupakan suatu bentuk penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana. Tindakan lain yang diambil penyidik tersebut adalah suatu bentuk pembebasan dari ajaran legalistik formal yang berlaku. Walaupun keluar dari asas kepastian hukum, namun tindakan ini diambil untuk memenuhi tujuan hukum lain berupa kemanfaatan dan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat, sehingga hukum dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat akan hukum itu sendiri.
Penulis berpendapat bahwa hukum progresif perlu diterapkan dalam penyelesaian perkara pidana di tahap penyidikan. Beban sub sistem dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sudah cukup berat. Beban untuk melakukan pembinaan
86
Ibid.
99
kepada narapida dan menjadikan mereka dapat kembali bermasyarakat bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, perlu adanya sinergitas antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana untuk dapat mengurangi beban sistem peradilan pidana yang cukup berat selama ini. Titik yang paling mungkin diterapkan hukum progresif adalah pada tahap penyidikan. Penyidik harus berupaya untuk melakukan mediasi pada kasus-kasus tertentu sehingga tidak semua perkara masuk ke proses peradilan selanjutnya. Untuk itulah diperlukan keberanian dan kecerdasan seorang penyidik untuk dapat menerapkan hukum progresif yang mengedepankan aspek keadilan dan kemanfaatan daripada aspek kepastian hukum dalam suatu penyelesaian perkara pidana.
Tindakan yang diambil penyidik untuk tidak melanjutkan perkara ketika sudah ada perdamaian menurut penulis adalah suatu tindakan yang menolak keadaan status quo yang selama ini selalu berpegang pada asas legalitas hukum. Penyidik mencoba keluar dari kebuntuan hukum dengan menerapkan hukum progresif. Hal ini sesuai dengan pemikiran Satjipto Rahardjo bahwa setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Maka hukum tidak menjadi suatu yang final tetapi selalu “dalam proses menjadi” (law as process, law in the making) dalam rangka menuju hukum yang berkeadilan, yakni hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat.
100
B. Kendala dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan Hukum Progresif
Menurut Listiyono Dwi Nugroho selaku Kapolsek Natar menyatakan bahwa kewenangan diskresi yang diambil penyidik juga harus diawasi oleh atasan penyidik karena pada tahap inilah akan muncul kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan penyidik. 87
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, penulis menganalisis hambatan penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana dengan faktorfaktor yang mempengaruhi penegakan hukum sesuai yang dikemukakan Soerjono Soekanto. Menurut Soerjono, masalah penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktorfaktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:88 1. Faktor hukumnya sendiri. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Menurut analisis penulis, berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi hukum menurut Soerjono Soekanto, hambatan yang ditemukan dalam penerapan hukum progresif adalah pada faktor hukumnya sendiri dan pada faktor penegak hukum. 87 88
Hasil wawancara tanggal 26 Mei 2016 Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 5
101
Faktor hukumnya adalah tidak ada peraturan atau undang undang yang mengatur secara pasti tentang penerapan hukum progresif terutama dalam pelaksanaan mediasi penal. Faktor penghambat yang lain adalah dari faktor penegak hukumnya sendiri. Adapun uraian analisis penulis adalah sebagai berikut: 1. Tidak adanya payung hukum yang mengatur penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana. Hambatan ini merupakan hambatan utama bagi penyidik untuk dapat menerapkan hukum progresif dalam bentuk mediasi penal pada penyelesaian perkara pidana yang tergolong delik biasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa asas legalitas hukum masih dijunjung tinggi dalam hukum pidana di Indonesia. Bentuk penyelesaian perkara melalui mediasi penal sebenarnya tersirat dalam Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang mengatur tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan sipil.
Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 pada intinya menghapus keberadaan peradilan adat sebagai salah satu peradilan yang bertugas menyelesaikan perkara yang ada dalam masyarakat Indonesia. Penghapusan peradilan adat menyebabkan pengadilan negri sajalah yang berkuasa untuk memeriksa dan memutus segala perkara baik pidana maupun perdata. Nasib peradilan adat berbanding terbalik dengan hakim peradilan desa. Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 menyatakan bahwa: “Ketentuan yang tersebut dalam ayat (1) tidak sedikitpun juga mengurangi hak kekuasaan yang sampai saat ini telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian di desa-desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3a Rechterlijke
102
Organisatie.”89 Peradilan desa mengutamakan proses mediasi dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan yang ada di desa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk mediasi penal dalm peradilan desa masih diakui oleh peraturan perundang-undangan akan tetapi wadahnya dihapuskan. Seiring berjalannya waktu, tidak ada undang undang atau peraturan pemerintah yang mengatur tentang peradilan desa, sehingga pelaksanaannya diserahkan kembali kepada budaya yang ada di masyarakat desa.
Penerapan hukum progresif melalui mediasi penal sebenarnya juga diatur dalam Rancangan Undang Undang KUHP Tahun 2013 Pasal 145 huruf d yang menyatakan bahwa kewenangan penuntutan gugur jika terjadi penyelesaian di luar proses. Menurut penulis mediasi penal adalah salah satu bentuk dari penyelesaian perkara di luar proses peradilan, akan tetapi RUU KUHP tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan pemerintah, DPR, dan praktisi hukum sehingga sampai dengan saat ini belum dapat disahkan menjadi suatu undang undang.
Tidak adanya undang undang yang mengatur tentang penerapan hukum progresif melalui mediasi penal menyebabkan penyidik harus menjalankan kewenangan diskresi yang dimilikinya. Batasan perkara pidana yang dapat diselesaikan tergantung pada sifat “pencelaan” terhadap suatu perbuatan di mata masyarakat. Penyidik tetap harus melanjutkan perkara-perkara yang menurut masyarakat tercela walaupun sudah ada perdamaian antara korban dan tersangka. Oleh karena itu diskresi yang diambil penyidik tetap harus 89
Republik Indonesia, Undang Undang Darurat (UUDRT) Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Acara Pengadilan Sipil.
103
dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Terjadinya penyimpangan kewenangan diskresi yang dilakukan penyidik dalam mengambil langkah-langkah penyelesaian perkara pidana. Tidak diaturnya proses mediasi penal dalam hukum pidana dapat dijadikan alasan penyidik untuk tetap dapat melanjutkan perkara walaupun sudah ada perdamaian. Celah hukum ini dapat dijadikan alasan penyidik untuk meminta sejumlah imbalan kepada tersangka. Penyidik mempunyai alasan yang kuat untuk tetap dapat melanjutkan perkara sehingga mau tidak mau tersangka memenuhi permintaan dari penyidik sebagai persyaratan agar perkaranya tidak dilanjutkan ke proses selanjutnya.
3. Aparat penegak hukum masih memegang teguh pada asas legalistik formal. Pemahaman aparat penegak hukum yang masih rigid berpegang pada pendekatan legalistik formal terkadang menghalangi penerapan progesif pada tahap penyidikan. Penyidik cenderung memilih jalan “aman” untuk tetap melanjutkan perkara walaupun sudah ada perdamaian untuk menghindari adanya komplain di kemudian hari. Keputusan penyidik untuk tetap melanjutkan perkara tersebut sebenarnya bertentangan dengan isi hati nurani penyidik yang tetap memperhatikan rasa keadilan dan kemanfaatan masyarakat. Penyidik dihadapkan pemahaman aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan hakim yang masih berpegang teguh pada asas legalistik formal. Institusi Polri sendiri masih berpegang teguh pada asas legalitas formal, sehingga apabila ada keluhan terhadap langkah-langkah yang diambil
104
penyidik, bidang pengawasan penyidikan ataupun bagian Propam(profesi dan pengamanan)
akan
menganggap
bahwa
penyidik
telah
melakukan
penyimpangan ketika penyidik tidak melaksanakan langkah-langkah sesuai yang diatur dengan undang undang. Bayangan seperti ini mengakibatkan keraguan bagi seorang penyidik untuk menerapkan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka menurut penulis bahwa penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan penyidik tidak selalu berjalan mulus. Penyidik perlu jeli dalam mengambil kebijakan yang akan diambil sehingga pada nantinya tidak akan ada komplain/ keluhan dari pihak manapun. Diskresi yang diambil penyidik juga harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat pada umumnya yang di dalamnya terdapat norma-norma budaya dan agama yang tidak dipisahkan.
IV.
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Penyelesaian perkara pidana khusus pada perkara KDRT pada tahap penyidikan di Polsek Natar dilakukan dengan menerapkan hukum progresif. Penyidik mencoba keluar dari ajaran legalistik positivistik yang selama ini selalu mengejar kepastian hukum. Sesuai dengan teori tujuan hukum, penyidik mencoba lebih mementingkan keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Penyidik berusaha menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan manusia, bukan sebaliknya karena terbentur oleh prosedur hukum yang ada, tujuan hukum yang diingankan manusia tidak tercapai. Penerapan hukum progresif dalam penyelesaian perkara pidana oleh penyidik Polresta Bandar Lampung dilakukan dengan beberapa metode yaitu dengan melakukan mediasi penal dengan prinsip-prinsip keadilan restorative dan menerapkan diskresi kepolisian.
2.
Hambatan yang dihadapi dalam penerapan hukum progresif adalah tidak adanya aturan hukum yang mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana. Hal ini menyebabkan penyidik dianggap melakukan penyimpangan apabila tidak melanjutkan perkara walaupun sudah ada perdamaian. Tidak
106
adanya undang undang yang mengatur tentang penerapan hukum progresif menyebabkan
penyidik
harus
menjalankan
kewenangan
diskresi
yang
dimilikinya. Diskresi yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Hambatan selanjutnya yaitu terjadinya penyimpangan kewenangan diskresi yang dilakukan penyidik dalam mengambil langkah-langkah penyelesaian perkara pidana. Kewenangan diskresi kepolisian yang begitu besar akan menimbulkan kerawanan terjadinya penyimpangan yang dilakukan penyidik dalam mengambil keputusan untuk tidak memajukan suatu perkara apabila ada perdamaian. Penyidik tetap dapat memajukan suatu perkara walaupun sudah ada perdamaian dalam perkara pidana yang tergolong delik biasa. Celah hukum ini dapat dimanfaatkan penyidik untuk meminta sejumlah imbalan kepada pihak-pihak yang berperkara.
Hambatan terakhir berupa aparat penegak hukum yang selalu berpegang pada asas legalistik formal menyebabkan penyidik mengenyampingkan rasa keadilan dan kemanfaatan yang ada di masyarakat. Kekhawatiran akan anggapan melakukan penyimpangan dari bagian pengawasan penyidikan maupun bagian Profesi dan Pengamanan (Propam) dari internal Polri menyebabkan timbulnya keraguan penyidik untuk menerapkan hukum progresif dalam rangka penyelesaian perkara pidana.
107
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, maka penulis mempunyai saran-saran sebagai berikut: 1.
Polri agar menekankan kepada seluruh penyidik yang berada di seluruh jajarannya agar selalu mengedepankan hukum progresif dalam melakukan langkah-langkah penyidikan khususnya untuk perkara KDRT. Penyidik sebisa mungkin melakukan mediasi dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat yang terlibat sehingga proses penyelesaian perkara pidana pada tahap penyidikan dapat terlaksana sebelum melangkah ke proses peradilan selanjutnya.
2.
Perlu adanya suatu aturan yang mengatur batasan-batasan penerapan hukum progresif melalui mediasi penal sehingga penyidik mempunyai landasan hukum yang kuat dalam melaksanakan tindakannya. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP pada Peradilan Pidana hendaknya dapat ditingkatkan lebih tinggi menjadi undang undang sehingga sifatnya lebih mengikat bagi aparat penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Literatur
Abdul Kodir, Faqihuddin dan Ummu Azizah Mukarnawati. 2008. Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komnas Perempuan, Jakarta. Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta. Atma Sasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, C.V. Mandar Maju, Bandung. ----------. 1996. Perbandingan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung. Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana 1. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djanah, Fathul. 2003. Kekerasan Terhadap Isteri. LKIS, Yogyakarta. Fakih,
Mansour. 1996. Analisis Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gender
dan
Transformasi
Sosial,
Gosita, Arief. 1983. Masalah Korban Kejahatan, C.V. Akademika Pressindo, Jakarta. Gunadi,Ismu. 2011. Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (jilid 2). PT. Prestasi Pustakaraya, Surabaya. Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta. Hartono. 2012. Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif. Sinar Grafika, Jakarta. Hayati, Elli Nur. 1995. Panduan Untuk Pendampingan korban Kekerasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigma Bagi Lemahnya Hukum Indonesia. AntonyLib, Yogyakarta. Loqman, Loebby. 2002. Pidana dan Pemidanaan. Datacom, Jakarta. Marlia, Milda. 2007. Marital Rape : Kekerasan Seksual Terhadap Istri. Pustaka Pondok Pesantren, Yogyakarta. Marpaung, Leden. 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana Buku 2. Sinar Grafika, Jakarta.
Moeljatno. 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia. Bina Aksara, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Karya, Bandung. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cetk. Pertama, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Nawawi Arief, Barda. 1994. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, CV. Ananta, Semarang. ----------. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Huklum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------. 2001. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. ----------. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (cetakan ketiga edisi revisi), Citra Aditya Bakti, Bandung ----------. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Prenada Media Group, Jakarta. ----------. 2010. Mediasi Penal: Penyelesaian Perkara di Luar Persidangan. Pustaka Magister, Semarang. Poerwandari, Kristi. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan:Tinjauan Psikologis (dalam: Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni, Bandung. Prayudi, Guse. 2008. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press, Yogyakarta. Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama, Bandung. Rahardjo, Satjipto. 2006. Menggagas Hukum Progresif Indonesia. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. ----------. 2007. Membedah Hukum Progresif. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. ----------. 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Penerbit Kompas, Jakarta. ----------. 2007. Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan. Penerbit Kompas, Jakarta.
Rukmini, Mien. 2009. Aspek Hukum Pidana dan Kriminolog. Edisi I Cetakan ke2. PT. Alumni, Bandung. Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga. Citra Aditya Bakti, Bandung. Shochib, Moh. 2010. Pola Asuh Orang Tua, dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Rineka Cipta, Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta. ----------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta. Soeroso, Moerti Hadiati. 2010. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Sinar Grafika, Jakarta. Sudarto. 1990. Hukum Pidana. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang. Sudiarti Luhulima, Achie (penyunting). 2000. Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Pusat Kajian Wanita dan Gender. Universitas Indonesia, Jakarta. Sunaryo, Sidik. 2005. Sistem Peradilan Pidana. Penerbit UMM Press, Malang. Sutedjo, Wagiati. 2010. Hukum Pidana Anak. Cetakan Ketiga. PT. Refika Aditama, Bandung. Windku, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan menurut Johan Galtung. Kanisius, Yogyakarta.
2.
Jurnal, Kamus, Makalah
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1992. Edisi kedua Tim Penyusun Kamus pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. F. Nadia, Ita, 1997, Ketidakadilan Gender Sebagai Akar Diskriminasi, Makalah dalam rangka Lustrum VI/Dies Natalis XXX AKS Tarakanita, Yogyakarta. Hassan, Fuad, 2001, Ikhtiar Meredam “ Kultus Kekerasan “, dalam : Jurnal Perempuan No. 18, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. Irianto, Sulistyowati, 1999, Kekerasan Terhadap Perempuan dan Hukum Pidana (Suatu Tinjauan Hukum Berperspektif Feminis), Jurnal Perempuan Edisi 10, Februari-April
Kolibonso, Rita Selena, 2002. Kejahatan itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Perempuan No. 26. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta
3.Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
4.Majalah dan Website http://nyokabar.com http://pelitaekspres.com/news/read/5707 http://umulkhtmh.blogspot.co.id/2015_10_01_archive.html http://www.aic.gov.au/ rjustice/other.html http://www.fanind.com/2013/08/4-jenis-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html Kompas, Selasa, 1 Agustus 2006