PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP KORBAN PECANDU NARKOBA DI INDONESIA AMRIZAL SIAGIAN1 Dosen PPKn Universitas Pamulang 1
[email protected]
ABSTRAK
Kebijakan kriminal pemerintah atas terbitnya undang-undang terkait narkoba no 35 tahun 2009 khususnya bagi pecandu narkoba perlu diimplementasikan sesuai amanat konstitusi. Bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga tanah tumpah darah dan warganya dari bentuk ancaman apapun. Termasuk ancaman bahaya narkoba, yang secara sadar dan sengaja disebarkan kekalangan masyarakat, utamanya generasi muda sebagai penerus bangsa. Saat ini, pemakai narkoba diduga mencapai 5,1 juta, bahkan lebih. Karena jumlah pemakai narkoba itu ibarat gunung es (ice berg) dan mengalami angka gelap (dark number). Sangat diharapkan dari kebijakan kriminal atas terbitnya undang-udang tadi mampu mengatasi atau setidaknya mengurangi jumlah pemakai narkoba, yang salah satunya menciptakan terobosan baru dengan men-dekriminalisasi pemakai narkoba tanpa harus mendapatkan sanksi pinjara. Sebagaimana disebutkan bahwa jaminan perlindungan hukum yang diberikan bagi pecandu narkotika diatur melalui UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan memberikan rehabilitasi baik medis maupun rehabilitasi sosial sebagaimana tercantum pada Pasal 54 pada undang-undang narkotika itu. Yaitu bahwa ”pecandu narkotika dan pecandu penyalahguna narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
Kata kunci: kebijakan krimanal, narkoba, korban, dekriminalisasi
disebabkan kejahatan narkoba
A. PENDAHULUAN
berkembang
Sejak Indonesia merdeka, bahkan
jauh
sebelum
berkembangnya
itu,
sudah
beberpa
dengan ilmu
pengetahuan. Oleh pemerintah
regulasi atau kebijakan tentang narkoba
seiring
negara-negara di mana pun,
kali
termasuk pemerintah Indonesia,
diperbaharui. Hal itu dilakukan 32
sepakat bahwa perang terhadap
mendapat
bahaya
sebagaimana
narkoba
harus
sanksi
penjara
dalam
sistem
ditingkatkan dengan berbagai
peradilan
upaya
justice system). Tapi istilah yang
dan
strategi,
karena
pidana
(criminal
narkoba sudah merasuk masuk
dialamatkan
ke dalam urat nadi masyarakat
pecandu
Indonesia.
sebagai kelompok korban atas
Dalam
upaya
bagi ini
perbuatan
kelompok
dikategorikan
diri
sendiri
(self
penanggulangan akan bahaya
victimization). Oleh karena itu,
narkoba itu, saat ini diperkirakan
terobosan
mencapai
yang diambil pemerintah bagi
5,1
juta
Pemerintah
jiwa.
Indonesia
kebijakan
korban
kriminal
narkoba
adalah
melakukan terobosan kebijakan
dekriminalisasi.
Yaitu
atau disebut kebijakan kriminal
menempatkan pecandu narkoba
dalam
berbagai
kesempatan.
sebagai korban dan sakit yang
Yaitu
dengan
menerbitkan
harus
mendapat
pertolongan
Undang-Undang khusus tentang
agar kembali pulih baik fisik
narkoba.
maupun fsikisnya dan mampu
Saat
ini,
undang-
undang yang diterapkan adalah
menjalani
undang-undang No 35 Tahun
serta
2009 tentang narkotika, sebagai
dirinya,
revisi dari undang-undang No 5
bangsanya.
dan No 22 Tahun 1997 tentan narkotika Dalam
dan
dapat
berkarya
masyarakatnya,
buat dan
yang diambil pemerintah ini,
undang-
melalui
undang No 35 Tahun 2009
undang
tentang
tentang
Narkotika,
normal
Terobosan dekriminalisasi
psikotropika.
penerapan
kehidupan
pemakai
penerbitan no
35
undang-
tahun 2009
narkotika
narkoba tergolong pecandu akan
sebagaimana
mendapat
Pasal 54 pada undang-undang
rehabilitasi
dan
dianggap sebagai kategori bukan pelaku kriminal, yang harus 33
tercantum
ini pada
narkotika,1
yaitu
bahwa
redistributive. Thomas R. Dye
”pecandu narkotika dan pecandu
dalam
penyalahguna narkotika wajib
mendefinisikan kebijakan publik
menjalani rehabilitasi medis dan
sebagai
rehabilitasi sosial” mendorong
choose to do or not to do
pemerintah
(”apapun
Indonesia
untuk
James
F.
Gilsinan
whatever goverments yang
dipilih
oleh
menciptakan sarana-sarana lain
pemerintah untuk dilakukan atau
yang diharapkan dapat berfungsi
tidak dilakukan).3
dan memberikan jalan keluar
Beberapa
definisi
seperti menggunakan sarana non
menjadikan
penal yang seringkali disebut
stakeholder utama dalam proses
sebagai
kebijakan. David Easton (1992)
pencegahan
tanpa
menggunakan
pidana
misalnya
(prevention
without
suatu
punishment).2
negara
sebagai
mengatakan kebijakan,
bahwa termasuk
kriminal itu bersifat otoritatif yaitu
berisi
nilai-nilai
dialokasikan
B. PEMBAHASAN Berbagai
literatur
dan
pelaksanaannya
yang
dipaksakan
bagi
seluruh
mendefinisikan kebijakan publik
anggota masyarakat. Untuk itu
secara berbeda. Perbedaan itu
tentu saja pemerintah diberi
sekaligus
wewenang
penuh
adanya variasi dalam melihat
kebijakan
itu
inti
dilaksanakan oleh masyarakat.
memperlihatkan
konsep
atau
proses
kebijakan publik itu sendiri.
sehingga benar-benar
Dalam konteks kebijakan
Bentuk kebijakan publik juga
kriminal
beragam, mulai dari regulatory,
kebijakan
productive,
menanggulangi kejahatan seperti
distributive,
dan
sebagai
bentuk
publik
untuk
penyalahgunaan narkoba adalah
1
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika 2 Muladi, Kapita Selekta Sisitem
juga 3
Peradilan Pidana, Semarang, Undip, 1995.
sebagai
bentuk
reaksi
Gilsinan, F. James, Criminology and Public Policy An introduction, Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990, h, 1
Hal, 4
34
formal
masyarakat.
Reaksi
kejahatan
hanya
merupakan
formal masyarakat itu adalah
salah satu sarana saja dalam
pola bentuk tindakan masyarakat
politik kriminal khususnya (yang
yang dilakukan oleh lembaga-
bersifat penal). Lembaag SPP
lembaga
dalam hal hanya difungsikan
masyarakat
yang
dibentuk secara formal oleh
terkait
negara
Fungsinyapun
untuk
menanggulangi
recorded
crimes.
kadang-kadang
kejahatan. Wujud nyata dari
tidak dapat bersifat maksimal
reaksi formal terhadap kejahatan
(total enforcement) sebab, dalam
tersebut
disusunnya
rangka menjaga keseimbangan
hukum pidana yang dimulai oleh
antara ketertiban umum (public
lembaga
lembaga
order) dan hak-hak individual
kejahatan, badan peradilan, dan
(individual right) maka batas-
lembaga
atau
batas penegakan hukum dibatasi
narapidana.4
oleh ketentuan-ketentuan yang
adalah
kepolisian,
penghukuman
pembinaan Kemudian
dalam
prakteknya
ketat.
selama ini, Sistem Peradilan
Dengan
kata
lain,
kriminal
untuk
Pidana (criminal justice system)
kebijakan
masih
menanggulangi penyalahgunaan
dalam
menjadi
aktor
mengatasi
utama
kejahatan,
narkoba,
tidak
harus
selalu
demikian juga halnya dengan
mengedepankan proses hukum
penanggulangan
yang berkaitan dengan Sistem
penyalahgunaan
Narkoba.
Di
Peradilan Pidana. Sarana-sarana
pihak lain, aktor-aktor non SPP
lain
belum banyak dilibatkan.
berfungsi dan memberikan jalan
Peran
sistem
peradilan
pun
keluar
pidana (SPP) sebagai pengendali
diharapkan
seperti
dapat
menggunakan
sarana non penal yang seringkali disebut
4
Mustofa, Muhammad, Kriminologi Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum, Fisip UI Press, 2007. Hal, 44
tanpa
35
sebagai
pencegahan
menggunakan
pidana
(prevention punishment). Jika
without
dijadikan sebagai salah satu
5
dasar
sebuah
kebijakan
untuk
9/1976
mengganti
tentang
UU
Narkotika.
kriminal yang telah disahkan
Secara substansi tidak banyak
oleh negara, maka negara juga,
berbeda dengan UU 9/1976.
sudah
Perbedaan yang menonjol adalah
harus
siap
mengimplementasikan.Terkait
tentang
dengan
kebijakan
kriminal
ditujukan kepada para pengedar
dalam
rangka
mencegah
yang diuraikan secara lengkap
termasuk
terdiri dari 23 pasal. Tujuan UU
menanggulangi pecandu narkoba
22/1997 tentang Narkotika yang
dengan
merupakan
kejahatan
dapat
sifat
dekriminalisasi,
dikategorikan
sebagai
ketentuan
hukum
bentuk negara
bentuk kebijakan Regulatory.
diantaranya
Artinya, regulatory yg dimaksud
ketersediaan
di sini adalah kebijakan tentang
kepentingan
pembatasan-pembatasan
kesehatan
larangan-larangan
atau
perbuatan
hukum
politik
disebutkan
a)
Menjamin
narkotika
untuk
pelayanan dan/atau
pengembangan
ilmu
bagi seseorang atau sekelompok
pengetahuan.
orang.
itu
penyalahgunaan narkotika. c)
dimaksudkan untuk mengurangi
Memberantas peredaran gelap
kebebasan
atau
narkotika. Dengan berlakunya
sekolompok orang untuk berbuat
UU 22/1997 tentang Narkotika
sesuatu terkait pelarangan dan
tersebut
bahaya narkoba.
Indonesia
Batasan-batasan
seseorang
Sejak
pemerintah
b)
Mencegah
memposisikan di
internasional
kancah
dunia
sebagai
mengundangkan UU 22/1997
yang
dimana konvensi PBB tadi dan
perang terhadap narkotika dan
5
mendukung
Negara
obat-obatan
gerakan
berbahaya
serta
Muladi, Kapita Selekta Sisitem
Peradilan
Pidana,
tetap
Semarang,
mengancam
pidana
pengguna narkotika untuk diri
Undip, 1995. Hal, 4
36
sendiri sebagai pelaku kejahatan
Protokol
yang harus dihukum (Pasal 85).
(khususnya pasal 36 hurup b),
Selain itu, UU 22/1997 ini juga
terhadap
mengatur
kewajiban
narkotika
menjalani pengobatan dan/ atau
memberi
perawatan (Pasal 46).6
untuk
tentang
Untuk
kepentingan
yang
mengubahnya
penyalah UU
guna
22/1997
kewenangan dapat
ini
hakim
memutuskan
memerintahkan dan menetapkan
pengobatan dan/atau perawatan
penyalah
penyalah guna narkotika dapat
menjalani pengobatan dan/atau
memiliki,
menyimpan,
dan
perawatan, serta masa menjalani
membawa
narkotika
dengan
pengobatan dan/atau perawatan
menunjukkan
bukti
bahwa
narkotika
yang
dimiliki,
disimpan
dan/atau
dibawa
guna
diperhitungkan
narkotika
sebagai
masa
menjalani hukuman. Selain itu, memuat
tentang
ketentuan
diperoleh secara sah. Untuk
hukum terhadap pecandu dan
menurunkan
keluarganya
prevalensi
yang
tidak
penyalah guna narkotika, UU
memenuhi
22/1997 mewajibkan pecandu
melaporkan
narkotika untuk melaporkan diri
dengan pidana (Pasal 88) dan
atau keluarganya
ketentuan
melaporkan
kewajiban akan
hukum
diancam
kejahatan
kepada pejabat yang ditunjuk
narkotika yang ditujukan kepada
pemerintah untuk mendapatkan
para pengedar narkotika (Pasal
pengobatan dan/atau perawatan
78 - 100). Selanjutnya, pada
(Pasal
rangka
Sidang
Umum
kewajiban
melalui
ketetapan
pemerintah sesuai UU 8/1976
Nomor
tentang Pengesahan Konvensi
merekomendasikan kepada DPR
Tunggal Narkotika 1961 beserta
RI
45).
memenuhi
Dalam
dan
MPR
2002
MPR
RI
VI/MPR/2002
Presiden RI
untuk
melakukan perubahan atas UU 6
Anang Iskandar, 2015, Jalan Lurus Penanganan Penyalah Guna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif, Karawang, Viva Tanpas, hal, 14-15
22/1997.
37
Perubahan
ini
rangka
dalam
Tahun
meningkatkan
2009
mencatumkan
secara eksplisit politik hukum
pencegahan dan pemberantasan
pemerintah
penyalahgunaan dan peredaran
secara jelas dalam tujuannya
gelap narkotika yang secara
sebagaimana dalam pasal 4. Hal
nyata sangat merusak tatanan
ini
kehidupan
penegak hukum mengetahui arah
bermasyarakat,
yang
supaya
dinyatakan
masyarakat
berbangsa dan bernegara. Saat
yang
ini, Indonesia menggunakan UU
mengatasi penyalahgunaan dan
35/2009
peredaran
yang
mengatur
antara
tentang
lain
harus
dituju
dan
gelap
dalam
narkotika.
tindakan
Adapun pasal 4 Undang Undang
melawan penyalahgunaan dan
Nomor 35 Tahun 2009 berbunyi:
peredaran gelap narkotika. Isi
a. Menjamin
ketersediaan
kandungan UU 35/2009 secara
narkotika untuk kepentingan
garis
kesehatan, ilmu pengetahuan
besar
dapat
dijelaskan
sebagai berikut:7
dan
teknologi.
Terhadap
Undang Undang Nomor
peredaran
Tahun
menjamin
kepentingan kesehatan diatur
penyalah guna narkotika yang
dan diawasi secara ketat agar
ditangkap
tidak
35
2009
penyidik
narkotika
(penyalah guna narkotika yang bermasalah
dengan
legal
menjadi
untuk
sumber
peredaran gelap narkotika.
hukum)
b. Mencegah, melindungi, dan
dihukum rehabilitasi, meskipun
menyelamatkan
melarang pemakaian untuk diri
Indonesia
sendiri
penyalahgunaan narkotika.
(Pasal
menjamin
127).
Untuk
penyalah
guna
bangsa dari
Mencegah dilakukan terhadap
narkotika dihukum rehabilitasi,
mereka
Undang
menggunakan narkotika dan
Undang
Nomor
35
dicegah 7
Anang Iskandar, 2015, Jalan Lurus Penanganan Penyalah Guna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif, Karawang, Viva Tanpas, hal, 19-27
yang
jangan
menggunakan,
belum
sampai melindungi
khususnya terhadap korban 38
penyalahgunaan
narkotika
sendiri, masa depan bangsa
yaitu mereka yang dipaksa,
dan Negara.
ditipu untuk menggunakan narkotika, penyalah khususnya
menyelamatkan guna
1.
narkotika
penyalah
Rehabilitasi Menurut Undang
guna
narkotika
yang
keadaan
ketergantungan
Aturan Dekriminalisasi dan
Undang No 35 Tahun 2009
dalam
Tentang Narkotika
narkotika baik fisik maupun
Dekriminalisasi penyalah
psikis.
guna
c. Memberantas peredaran gelap narkotika.
Narkotika
dapat
dideskripsikan bahwa penyalah
Memberantas
guna yang membawa, memiliki,
dalam hal ini adalah terhadap
menguasai,
peredarannya
Narkotika dalam jumlah tertentu
yang
didalamnya terdapat bandar,
untuk
produsen, dan
mengkonsumsi
pemakaian
sehari
kurir,
pengedar,
merupakan perbuatan melanggar
mereka
yang
hukum, namun apabila yang
memperdagangkan narkotika.
bersangkutan
d.
pelanggaran
Menjamin
upaya
melakukan hukum
tersebut
pengaturan rehabilitasi medis
diberikan hukuman pengganti
dan rehabilitas sosial bagi
berupa hukuman rehabilitasi.
penyalah guna dan pecandu. Pada
prinsipnya
Dalam Undang Undang
penyalah
Nomor 35 Tahun 2009 tentang
guna untuk diri sendiri harus
Narkotika tidak secara eksplisit
direhabilitasi. Apabila tidak
menyebutkan
direhabilitasi, mereka akan
dekriminalisasi penyalah guna
berkarir
Narkotika,
sebagai
pecandu
tentang
namun
nuansa
narkotika. Sementara pecandu
dekriminalisasi penyalah guna
narkotika
tidak
Narkotika sangat kental dalam
direhabilitasi akan merugikan
konstruksi kebijakan hukum dan
masa
politik
depan
yang
diri
mereka 39
hukum
negara
sebagaimana termaktub dalam
(dalam hal ini disebut pecandu
sejumlah pasal Undang Undang
narkotika),
Nomor
dalam
35
Tahun
2009.
maka
tersangka
mempertanggung
Misalnya pasal 4 khususnya
jawabkan proses pidana tidak
huruf (b) dan (d), yakni: (b).
memenuhi
mencegah,
dan
penahanan sebagaimana pasal 21
bangsa
KUHAP. Hakim pun dalam
Indonesia dari penyalahgunaan
memutuskan perkara pecandu
narkotika;
menjamin
narkotika wajib memperhatikan
pengaturan upaya rehabilitasi
pasal 54, 55, dan 103 Undang
medis dan sosial bagi penyalah
Undang Nomor 35 Tahun 2009.
guna dan pecandu narkotika.
Apabila
Selain
bersalah maupun tidak terbukti
melindungi,
menyelamatkan
(d).
itu,
nuansa
syarat
dilakukan
tersangka
terbukti
dekriminalisasi penyalah guna
bersalah,
narkotika juga sangat kental dan
menjatuhkan
relevan dengan sejumlah pasal
rehabilitasi
batang tubuh UU Narkotika
menjalani
yang
secara positif.
diperhitungkan
pasal
127
menjalani hukuman (Pasal 103
menyebutkan bahwa penyalah
ayat 2). Sebagaimana disebutkan
guna narkotika diancam dengan
dalam pasal 54 UU 35/2009
hukuman
bahwa pecandu narkotika dan
berlaku
Misalnya,
tahun. peranan
pidana
4
Untuk
(empat)
mengetahui
tersangka
korban
sebagai
narkotika
hakim
“harus” hukuman
dimana
masa
rehabilitasi sebagai
masa
penyalahgunaan wajib
penyalah guna atau pengedar
rehabilitasi
dan untuk mengetahui kadar
rehabilitasi sosial. 8 Selain itu,
ketergantungan
dalam pasal 55 UU 35/2009
maka
harus
narkotikanya,
medis
menjalani dan
dilakukan
asessment. Apabila peranannya
8
Anang Iskandar, 2015, Jalan Lurus Penanganan Penyalah Guna Narkotika Dalam Konstruksi Hukum Positif, Karawang, Viva Tanpas, hal, 31-37
sebagai pengguna narkotika dan dalam keadaan ketergantungan 40
disebutkan bahwa orang tua atau
sesungguhnya yang diinginkan
wali pecandu narkotika yang
dari pelaksanaan dekriminalisasi
belum
penyalah guna narkotika adalah
cukup
umur
wajib
melaporkan untuk mendapatkan
munculnya
rehabilitasi, sedangkan pecandu
masyarakat yang sudah terlanjur
narkotika sudah cukup umur
mengkonsumsi narkotika untuk
wajib melaporkan dirinya untuk
menyembuhkan
diri
mendapatkan
sukarema
mandiri
rehabilitasi.
keinginan
atau
Pecandu narkotika yang sudah
memenuhi
mengikuti wajib lapor tidak
sebagaimana
dituntut pidana (Pasal 128).
Undang
Konsepsi
secara dan
kewajibannya diatur
Undang
dalam
Nomor
35
dekriminalisasi
Tahun 2009 untuk melaporkan
penyalah guna narkotika yang
diri secara sukarela ke Institusi
berupaya
mendekatkan
Penerima Wajib Lapor (IPWL)
lebih
penyalah
guna
narkotika
supaya mendapatkan perawatan
terhadap
akses
rehabilitasi
dan tidak dituntut pidana (Pasal
diharapkan dapat memulihkan mereka
yang
128).
telah terlanjur
menjadi
penyalah
guna
narkotika,
sehingga
mereka
2.
Pelaksanaan UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
tidak akan terbebani dengan kerugian sosial maupun ekonomi
Pelaksanaan
Undang
serta masa depan mereka dapat
Undang No 35 Tahun 2009
terselamatkan
Tentang
menjadi
lebih
Narkotika
baik. Hal tersebut juga akan
mengamanatkan
berdampak pada menurunnya
masyarakat,
permintaan
penegak
atau
kebutuhan
narkotika
sehingga
bisnis
narkotika
cenderung
menjadi
menangani
kepada
khususnya hukum
untuk
penyalahgunaan
narkotika agar menjamin upaya
bisnis yang tidak menarik dan
pengaturan rehabilitasi
tidak
dan
laku.
para
Dampak 41
rehabilitasi
sosial
medis bagi
penyalah guna dan pecandu narkotika. Undang
Amanat tadi
secara
Substansi dari UU No 35
undang
Tahun 2009 Tentang Narkotika
khusus
penyalah
guna
narkotika
diberikan kepada para hakim
diancam pidana, namun apabila
yang memeriksa dan mengadili
yang
perkara penyalah guna narkotika
melakukan kejahatan ini, disidik,
(tersangka penyalah guna dan
dituntut, dan diputuskan oleh
dalam keadaan ketergantungan).
hakim maka dijamin oleh UU
Kepada tersangka penyalah guna
akses
narkotika yang terbukti bersalah,
mereka
hakim
kembali.
dapat
memutuskan
memerintahkan
yang
bersangkutan
bersangkutan
rehabilitasinya dapat
supaya
dipulihkan
Pemerintah
berkewajiban
menjalani
telah
pun
menyiapkan
sumber daya rehabilitasi untuk
rehabilitasi. Begitu pula kepada
memulihkan
tersangka
reintegrasi sosial agar mereka
penyalah
guna
dan
narkotika yang tidak terbukti
dapat
bersalah,
dapat
kehidupan secara normal.
untuk
Berdasarkan
hakim
menetapkan memerintahkan
yang
kembali
melakukan
lapangan,
menjalani
fakta
bahwa
bersangkutan
menjalani
ditemukan
rehabilitasi.
Hukuman
penyelewengan
di
sering terjadi atau
rehabilitasi merupakan hukuman
pembangkangan
paling tepat bagi penyalah guna
para penegak hukum narkotika,
narkotika
khususnya
yang
bermasalah
hukum
dalam
oleh
menangani
dengan hukum sebagai alternatif
perkara penyalah guna narkotika
atau
untuk diri sendiri. Penyidik dan
pengganti
hukuman,
dimana penyalah guna narkotika
penuntut
harus
memeriksa tersangka penyalah
menjalani
perawatan,
tindakan
pendidikan,
after
umum
dalam
guna narkotika tidak sepenuhnya
care, rehabilitasi dan re-integrasi
mengacu
sosial (Pasal 36 UU 8/1976).
ketentuanketentuan 42
dan
tunduk
pada hukum
dalam
UU
Narkotika
yang
dianggap lengkap oleh penuntut
berlaku (UU 8/1976 Pengesahan
umum dan penuntut umum pun
konvensi
tidak
tunggal
tentang
mensyaratkan
faktor
narkotika 1961 dan Protokol
ketergantungan narkotika pada
yang mengubahnya, UU 7/1997
tersangka.
Pengesahan
penuntut umum selalu memini
Konvensi
tentang
PBB
Pemberantasan
berkas
Parahnya,
perkara
para
yang
dibuat
Peredaran Gelap Narkotika dan
penyidik yang tanpa disertai
Psikotropika 1988 yang menjadi
rekomendasi
dasar pembentukan UU 35/2009
ahli
tentang
ketergantungan
Narkotika).
Penyidik
dan penuntut umum tidak pernah
keterangan
kondisi
ahli
menyangkut
kondisi
baik
Penuntut
terkait
ketergantungan
keterangan
fisik
maupun psikis tersangka.
atau enggan meminta asesment atau
atau
umum
melanjutkan
baik
pun
penahanan
tersangka yang semula sudah
fisik maupun psikis penyalah
ditahan
guna narkotika yang ditangkap
menuntut dengan sejumlah pasal
dengan indikasi sebagai pecandu
sebagaimana
narkotika (yakni mereka yang
dalam berkas perkara yang telah
membawa, memiliki, menguasai
dibuat
narkotika dalam jumlah tertentu
kontruksi dakwaan berdasarkan
untuk pemakaian satu hari).
berkas
Terkait kalangan
keengganan
penyidik
memintakan mengetahui
sekaligus
yang
terdapat
penyidik.
perkara
Dengan
(BAP)
hasil
penyidikan yang demikian ini,
narkotika
asesment
penyidik
maka
untuk
jarang
menggunakan
keadaan
memutus
sekali
hakim
kewenangannya
dan
menetapkan
ketergantungan narkotika baik
memerintahkan
fisik maupun psikis tersangka
tersangka
dikarenakan hal ini dianggap
rehabilitasi. Inilah sebabnya para
sebagai beban kerja. Selain itu,
hakim
hasil
penjara kepada para Penyalah
penyidikan
selama
ini 43
untuk
masih
kepada menjalani
menghukum
guna
narkotika
sendiri.
untuk
Kendatipun
diri
bagi
dalam
pemerintah
Direktorat
khususnya
Jenderal
Lapas
beberapa kasus terdapat hakim
Kementerian Hukum dan HAM,
yang memutuskan rehabilitasi
yakni
penyalah
guna
narkotika,
warga binaan di Lapas.
terutama
kepada
tersangka
publik figur. Hal ini pun karena
3.
terjadi
over
capacity
Mempersoalkan Pelaksanaan
adanya desakan dari sejumlah
Rehabilitasi Sebagai Upaya
kalangan masyarakat dan pers.
Dekriminalisasi
Padahal
penempatan
penyalah guna narkotika untuk
Dalam
sistem
diri sendiri ke dalam lembaga
pidana
rehabilitasi sebagaimana amanat
undang-undang narkotika, baik
UU
mengedarkan,
merupakan
kewenangan
Indonesia,
hukum
khususnya
menjual,
penyidik dan penuntut umum
membawa, menyimpan maupun
sesuai tingkat pemeriksaannya,
mengkonsumsi tanpa izin dari
bukan atas permohonan keluarga
pihak yang berwenang adalah
atau pengacaranya. Sementara
termasuk dalam kategori pelaku
hakim
pelanggar
berkewajiban
memberikan
keputusan
atau
hukum.
Kategori-
kategori tadi sudah diatur dalam
penetapan kepada penyalah guna
undang-undang
narkotika
sendiri
2009 Tentang Narkotika. Dalam
rehabilitasi,
UU No 35 Tahun 2009 Tentang
untuk
untuk
diri
menjalani
baik penyalah guna narkotika
Narkotika
untuk
dikategorikan
diri
sendiri
tersebut
No 35 Tahun
itu
pelakunya
menjadi
dua
bersalah maupun tidak bersalah.
kelompok,
yaitu
sebagai
Akibat pembangkangan hukum
”pengedar”
dan
sebagai
oleh
hukum
”pemakai”. Pada UU No 35
penyalah
Tahun 2009 Tentang Narkotika
guna narkotika untuk diri sendiri
secara eksplisit tidak dijelaskan
ini membawa permasalahan baru
pengertian
para
narkotika
penegak terhadap
44
”pengedar
narkotika”. imlisit
Namun,
secara
menyebabkan penurunan atau
sempit
bahwa
perubahan kesadaran, hilangnya
dan
pengedar dapat dikatakan orang
rasa
yang
menimbulkan
melakukan
penyaluran
dan
kegiatan penyerahan
nyeri
yang
dan
dapat
ketergantungan,
dibedakan
dalam
narkotika. Akan tetapi secara
golongan-golongan sebagaimana
luas,
terlampir dalam Pasal 116, 121,
pengertian
narkotika
pengedar
mencakup
pada
126, 127, 128, dan 134 dalam
dimensi menjual, pembeli untuk
UU No 35 Tahun 2009 Tentang
diedarkan,
Narkotika.
dan
meliputi
menyimpan,
menguasai
menyediakan
melakukan
kegiatan
mengekspor
mengimport narkotika.
Pada prakteknya, pecandu narkoba
merupakan
”self
victimizing victim” yaitu mereka
dan
9
yang menjadi korban karena
Hal itu disebutkan dalam
kejahatan
yang
ketentuan pada Pasal 111, 112,
sendiri.
Karena
pecandu
112, 114, 115, 116, 117, 118,
narkotika
mendrita
sindrom
119, 120, 121, 122, 123, 124,
ketergantungan
dan 125 UU No 35 Tahun 2009
penyalahgunaan narkotika yang
Tentang Narkotika. Sementara
dilakukannya sendiri. Namun,
sebutan
dalam
pecandu
tadi
pengguna
narkotika
mendapat
perlindungan
kategori adalah
dilakukannya
akibat
dari
diharapkan agar
orang yang menggunakan zat
dirinya dapat menjadi lebih baik
atau obat yang berasal dari
lagi.
tanaman baik sintesis maupun semi
sintesis
yang
Pelaksanaan
dapat
rehabilitasi
bagi pecandu narkoba sebagai pengganti dari sanksi hukuman
9
A.A. Istri Mas Candra Dewi, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Dengan Berlakunya Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Jurnal Program Studi Magister Hukum Program Magister Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali, 2012
yang bersifat kurungan pinjara diadopsi dari model doble track system, yaitu yang merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi 45
dalam hukuman pidana, yakni
diri
jenis sanksi pidana dan jenis
mereka yang pecandu sehingga
sanksi tindakan. Artinya, fokus
semakin banyak pula pecandu
sanksi pidana ditujukan pada
menerima perawatan di pusat-
perbuatan
salah
telah
pusat rehabilitasi yang ditunjuk
dilakukan
seseorang
melalui
pemerintah seperti puskesmas,
agar
rumah sakit-rumah sakit yang
pengenaan
yang
penderitaan
atau
anggota
keluarga
yang bersangkutan menjadi jera.
termasuk
Sementara fokus sanksi tindakan
Dengan
lebih
diimplementasikannya kebijakan
terarah
pemberian
kepada
upaya
pertolongan
pada
atau
pelaku agar dia berubah. Jaminan hukum
yang
kategori
IPWL.
demikian,
dengan
program
pemerintah
perlindungan diberikan
kriminal
tadi,
diharapkan
akan semakin sedikit jumlah
bagi
pecandu
yang
diputus
oleh
pecandu narkotika diatur melalui
pengadilan. Indikasi itu terlihat
UU No 35 Tahun 2009 Tentang
dari
Narkotika dengan memberikan
pecandu narkoba di lapangan,
rehabilitasi baik medis maupun
diantaranya:
rehabilitasi sosial sebagaimana
penaganan
Pertama,
terhadap
lembaga
tercantum pada Pasal 54 pada
pemasyarakata
undang-undang narkotika itu.
Indonesia banyak dihuni oleh
Yaitu bahwa ”pecandu narkotika
kasus
dan
penyalahguna
Mememang, kondisi banyaknya
menjalani
penghuni Lapas karena narkoba
dan
perlu di klasifikasikan antara
pecandu
narkotika rehabilitasi
wajib medis
rehabilitasi sosial”.
(Lapas)
pelaku
di
narkoba.
pecandu, kurir, pengedar atau
Dengan adanya kebijakan
bandar narkoba.
Tapi, jika
pemerintah akan wajib lapor
melihat regulasi terkait narkoba
diharapkan
itu,
lebih
banyak
sebagaimana menurut UU
menarik kesadaran pecandu dan
No 35 Tahun 2009 Tentang
keluarganya untuk melaporkan
Narkotika, 46
pecandu
narkoba
harusnya
mendapatkan
rehabilitasi
bukan
di
Keempat, pecandu narkoba
tahan
atau
berlama-lama di Lapas.
atas
narkoba
masih
dipandang aib atau cela oleh
Kedua, indikasi lain yang terlihat
terlibat
sebagian besar masyarat.
inkonsistensi
Kelima, akses masyarakat
pemerintas dalam pelaksanaan
terhadap pusat-pusat atau kantor
UU No 35 Tahun 2009 Tentang
hukum belum merata. Artinya,
Narkotika adalah diperkirakan
akses kepada kantor polisi atau
tidak
instansi
meratanya
atau
IPWL
tadi
tidak
sebandingnya jumlah IPWL di
semudah sebagaimana akses di
berbagai daerah dengan jumlah
perkotaan atau kota-kota besar,
pecandu
narkotika.
Padahal
yaitu
pecandu
narkotika
hampir
terjangkau,
penjuru
mudah
merata
diseluruh
wilayah.
relatif
sangat
mudah
transfortasi terjangkau
yang dan
imprstruktur yang relatif lebih
Ketiga,
pelaksanaan
baik dibanding daerah-daerah
dekriminalisasi berupa pecandu
lain di wilayah Negara Kesatuan
narkoba
Republik Indonesia.
mendapatkan
rehabilitasi baik medis maupun rehabilitasi sosial, masih belum seluruhnya
dipahami
masyarakat,
khususnya
C. PENUTUP Kondisi pemakai narkoba di
Indonesia
cukup
masyarakat yang belum sadar
memprihatinkan
atau melek hukum. Sehingga
harus mendapatkan serius dari
mendorong
berbagai pihak, utamanya dari
rasa
takut
dan
dan
segera
kekawatiran bagi yang malapor.
pemerintah
Karena,
anggapan
Penanggulangan bahaya narkoba
berurusan hukum
atas korban narkoba tidak cukup
masyarakat
dalam
sangat menyita waktu dan rumit
hanya
dan perlu keahlian tersendiri.
undang terkait bahaya narkoba. tetapi 47
menerbitkan
Indonesia.
kebijakan
undang-
kriminal
pemerintah dituntut untuk lebih
Hukum Positif, Karawang,
progres dan mencari pola-pola
Viva Tanpas
dan terobosan-terobosan baru agar
pemakai
Gilsinan, F. James, Criminology and
dapat
Public Policy An introduction,
terselamatkan dan pulih secara
Englewood
normal,
Hall, 1990
sebagaimana
amanat
undang-undang. Di sisi lain,
Muladi,
Kapita
Cliffs:
Prentice
Selekta
Sisitem
pencegahan dan menyelamatkan
Peradilan Pidana, Semarang,
generasi mendatang pun menjadi
Undip, 1995. Hal, 4
kewajiban
tersendiri
bagi
Mustofa, Muhammad, Kriminologi
pemerintah agar tidak terjerat
Kajian
Sosiologi
dengan bahaya narkoba.
Kriminalitas,
Terhadap Perilaku
Menyimpang dan Pelanggaran Hukum, Fisip UI Press, 2007. Undang-Undang Nomor 35 Tahun
DAFTAR FUSTAKA
2009 Tentang Narkotika A.A.
Istri
Mas
Candra
Dewi,
Perlindungan
Hukum
Terhadap
Korban
Penyalahguna
Narkotika
Dengan Berlakunya
Undang
Undang No 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika,
Program
Studi
Magister
Hukum
Program
Magister
Program Universitas
Jurnal
Pascasarjana Udayana,
Bali,
2012 Anang Iskandar, 2015, Jalan Lurus Penanganan Penyalah Guna Narkotika Dalam Konstruksi 48