PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA
ANAK AGUNG SRI UTARI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 0
PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA
ANAK AGUNG SRI UTARI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA
Lama diterima pendapat, bahwa sebagai hak-hak positif, maka hakhak ekonomi sosial, dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Artinya, tidak terdapat mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam perkembangan pemikiran dan penerapan HAM, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat diberlakukan mekanisme penegakan hukum. Pandangan ini nampak dalam Prinsip-prinsip Limburg Tentang Pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang diolah lebih lanjut dalam Pedoman Maastricht Tentang Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang mengemukakan bahwa pengadilan nasional harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan hukum HAM internasional dan regional yang relevan sebagai bantuan interpretasi dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ketentuan yang relevan dipertimbangkan adalah ketentuan-ketentuan tentang larangan diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum. Komite HAM, yang bertindak di bawah ICCPR, menyampaikan keputusan terhadap tiga kasus Belanda tentang jaminan sosial. Melalui tiga kasus ini, untuk pertama kalinya ditetapkan bahwa klausul non-diskriminasi dalam Pasal 26 ICCPR dapat dipakai juga dalam kaitannya dengan pengenyaman hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
ii
DAFTAR ISI ABSTRAK ................................................................................. Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iii BAB IPENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 1.1.
Latar Belakang ........................................................... Error! Bookmark not defined.
1.2.
Fokus Bahasan ........................................................................................................... 2
BAB II SISTEM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA: KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA HUKUM .......................................................................... 3 2.1.
Kerangka Teoritik ........................................................................................................ 3
2.2.
Kerangka Hukum ........................................................................................................ 4
BAB III HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA: PENEGAKAN HUKUM DAN PELANGGARAN .............................................................................................................. 7 3.1.
Watak Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. ............................................. 7
3.2.
Prinsip Penegakan Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya .......................... 8
3.3.
Ruang Lingkup Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ....................... 9
BAB IV PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA: DUKUNGAN KOVENAN SIPIL DAN POLITIK DAN SISTEM HUKUM INDONESIA .................................................................................................................... 13 4.1.
Dukungan Kovenan Sipil dan Politik ................................................................... 13
4.2.
Dukungan Instrumen Lainnya ................................................................................... 16
4.3.
Dukungan Sistem Hukum Indonesia ........................................................................ 18
BAB V PENUTUP .................................................................................................................... 19 5.1.
Simpulan.................................................................................................................... 19
5.2.
Saran ......................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 20
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kurang lebih dari empat dekade gerakan advokasi hak-hak asasi manusia (HAM) lebih menekankan advokasi pada isyu-isyu disekisar hak-hak sipil dan politik. Sedangkan advokasi terhadap isyu-isyu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya kurang mendapat perhatian yang memadai, ia seperti menjadi anak tiri dari gerakan advokasi HAM. Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan sudah merupakan fenomena global. Organisasi-organisasi HAM internasional seperti Amnesti Internasional atau Human Rights Watch, mempunyai peranan yang sangat besar dalam mengarahkan gerakangerakan advokasi HAM yang terpusatkan pada hak-hak sipil dan politik (Ifdhal Kasim 2001:viii-ix). Penganaktirian advokasi HAM tersebut tidak terlepas dari padangan bahwa yang dimaksudkan HAM hanyalah hak-hak sipil dan politik, sedangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bukanlah HAM, tapi lebih sebagai aspirasi. Pandangan
ini tersimpul dari
pendapat Paula J. Dobriansky (1990:46): Lagi pula, dalam keadaan seperti sekarang, hak-hak ekonomi dan sosial sebenarnya lebih banyak bersifat aspirasi dan tujuan ketimbang hak. Perbedaan yang tampaknya hanya dalam arti kata ini penting. Tidak adanya gunanya mengatakan bahwa manfaat ekonomi dan sosial pada tingkat-tingkat tertentu merupakan hak sedangkan kebanyakan pemerintah tidak dapat memberikannya. Sebaliknya, setiap pemerintah dapat dan harus menjamin hak alami bagi para warganya (misalnya, bebas dari penyiksaan dan penahanan sewenang-wenang). Lagi pula, menyamakan segala macam hak dan aspirasi berarti meremehkan konsep hak asasi itu sendiri dan pada akhirnya bisa menyebabkan pelanggaran atas hak-hak mendasar tersebut. Pandangan bahwa yang merupakan HAM adalah hak-hak sipil dan politik, serta berkeberatan menonjolkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya muncul di negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Sedangkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai Perang Dunia II
secara gigih diperjuangkan oleh Uni Soviet dan kawan-kawan,
dengan mendapat dukungan kuat dari negara-negara Dunia Ketiga. Kedua ragam HAM dimasukan ke dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, sebagai hasil kompromi antara negara-negara “Barat” dengan negara-negara “Timur”, yang kemudian mendapat rumusan hukum dalam dua kovenan, yakni: Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Cipil and Political Right) dan Kovenan Internasional Hak-hak
1
2 Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights) (Miriam Budiardjo 1990: 41-42). Pembedaan antara kedua ragam HAM tersebut berlanjut pada klasifikasi hak-hak positif dan hak-hak negatif. Dinyatakan
bahwa hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
merupakan hak-hak positif (positif rights), sedangkan hak-hak sipil dan politik dikatakan sebagai hak-hak negatif (negative rights). Ada tiga konsekuesni dari pembedaan ini, yang masing masing dilihat dari segi pemenuhan hak, pelanggaran hak, dan pengajuan tuntutan hukum atas pelanggaran hak. Pertama, dari segi realisasi hak, sebagai hak-hak
positif, maka
untuk
merealisasikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakui dalam kovenan diperlukan keterlibatan negara. Sebaliknya sebagai hak-hak negatif, maka negara harus abstain atau tidak bertindak dalam rangka merealisasikan hak-hak sipil dan politik yang diakui dalam kovenan. Kedua, dari segi pelanggaran, dalam hak-hak positif dikatakan terjadi pelanggaran, manakala negara tidak berperan aktif dalam pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Sebaliknya dalam hak-hak negatif, justru ketika negara bertindak aktif, dikatakan terjadi pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Ketiga, dari segi pengajuan tuntutan hukum, sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi sosial, dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke muka pengadilan. Sebaliknya dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang disiksa oleh aparatur negara dapat menuntut ke pengadilan (Ifdhal Kasim 2001:xiii-xiv. Hendardi 1998:38-43). Artinya, tidak terdapat mekanisme penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. 1.2. Fokus Bahasan
Makalah ini bermaksud untuk mendiskusikan bahwa dalam dinamika perkembangan pemikiran dan penerapan HAM telah terjadi perubahan pandangan, bahwa penegakan hukum dapat juga diberlakukan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dinamika perkembangan ini, relevan diwacanakan dalam upaya penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di Indonesia.
BAB II SISTEM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA: KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA HUKUM
2.1. Kerangka Teoritik Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Sistem hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupak sub sistem dari sistem hak-hak asasi manusia, dan terakhir ini merupakan sub sistem dari sistem hukum, tepatnya adalah hukum (-internasional) tentang hak asasi manusia. Sistem hukum, menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari unsur-unsur isi hukum, kelembagaan hukum, dan budaya hukum (dalam Soerjono Soekanto 1986:45). Sedangkan menurut Seidman, sistem hukum itu terdiri dari pembentuk undang-undang, undangundang (peraturan-peraturan), dan
agen pelaksana (Ann Seidman, Robert B.
Seidman, dan Nalin Abeyserkere 2001:14). Dalam konteks makalah ini, HAM dapat dipahami dengan menggunakan kerangka sistem hukum. Dalam konteks sistem hukum Friedman, menyangkut isi hukum (contens of law) adalah ketentuan-ketentuan tentang HAM yang dituangkan dalam instrumen hukum internasional, dalam hal ini terutama adalah Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kelembagaan hukum (structure of law), yakni semua perangkat kelembagaan dan pelaksana dari ketentuan-ketentuan tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam hal ini penegakan hukum oleh pengadilan terhadap pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Menyangkut unsur budaya hukum, yakni persepsi, pemahaman, sikap penerimaan tentang dua unsur sistem hukum terdahulu. Dalam konteks sistem hukum Seidman, HAM dapat dipahami sebagai berikut. Unsur pembentuk undang-undang adalah lembaga-lembaga internasional dan negara-negara yang terkait dengan pembentukan instrumen hukum internasional tentang HAM, khususnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Peraturan-peraturan adalah
instrumen
hukum
internasional
tentang
HAM
khususnya
Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Agen pelaksana adalah badanbadan baik internasional, regional, maupun nasional yang melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, terutama lembaga pengadilan yang menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
3
4
Makalah ini difokuskan pada aspek peraturan atau isi hukum dan kelembagaan pengadilan dalam penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Menyangkut isi hukum,
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, selain
dituangkan dalam Kovenan, untuk peningkatan pelaksanaannya oleh sejumlah ahli hukum internasional telah dirumuskan Prinsip-Prinsip Limburg, yang ditindaklanjuti dengan Pedoman Maastricht. Prinsip Limburg dirumuskan oleh satu kelompok ahli terkemuka di bidang hukum internasional, yang diundang oleh Komisi Internasional Ahli Hukum, Fakultas Hukum Universitas Limburg (Belanda) dan Institut Urban Morgan untuk Hak Asasi Manusia Universitas Cincinnati (Ohio, Amerika Serikat), berkumpul di Maastricht pada 2-6 Juni 1986 untuk membahas sifat dan ruang lingkup kewajiban negaranegara pihak pada Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sedangkan Pedoman Maastricht, dirumuskan pada peringatan ulang tahun ke-10 Prinsip Limburg, oleh sekelompok ahli di Maastricht pada 23-26 Januari 1997 dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Komisi Internasional Ahli Hukum, Lembaga HAM Urban Morgan (Cicinnati, Amerika Serikat), dan Pusat HAM Fakultas Hukum Universitas Maastricht (Belanda). Tujuan pertemuan adalah untuk menguraikan Prinsip Limburg, mengenai sifat dan ruang lingkup pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus , ed. 2001:339-340, 370-371). 2.2. Kerangka Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya telah diratifikasi mendapat pengesahan dari Pemerintah Negara Republik Indonesia, yakni dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4557). Adapun dasar pertimbangan pengesahan Kovenan Internasional tentang HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya dengan Undang-Undang, sebagaimana dikemukakan dalam Menimbang Undang Nomor 11 Tahun 2005, adalah : a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
5
b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak¬-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya); d. bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus¬ menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tersebut disertai dengan deklarasi. Ini ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, mengesahkan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 (cetak tebal dari penulis). Dalam Lampiran Undang-Undang
tersebut
dinyatakan,
Deklarasi
atau
Pernyataan terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Merujuk Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa, sejalan dengan Deklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan Kepada Negara dan Rakyat Terjajah, dan Deklarasi Tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antar Negara, serta pasal-pasal terkait dari Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993, istilah ‘hak untuk menentukan nasib sendiri’ sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini tidak berlaku untuk bagian rakyat dalam suatu negara merdeka yang berdaulat dan tidak dapat diartikan sebagai mensahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang akan memecah belah atau merusak, seluruh atau sebagian, dari integritas atau kesatuan wilayah politik dari negara yang berdaulat dan merdeka’ (Declaration to Article 1 of the International
6
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights: With reference to Article 1 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the Government of the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words ‘the right of self-determination’ appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity of political unity of sovereign and independent states’). Sebelum tahun 2005, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya telah juga diterima dalam sistem hukum perundang-undangan Indonesia, yakni di dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886). Penjelasan Umum UndangUndang ini menjelaskan: Dalam Undang-undang ini, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undangundang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Anak kalimat “berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia” yang tercantum dalam Penjelasan Umum tersebut dapat berarti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dengan perkataan lain, pengaturan mengenai hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hakhak Anak, dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai hak asasi manusia, antara lain Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
BAB III HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA: PENEGAKAN HUKUM DAN PELANGGARAN
3.1. Watak Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
memuat antara
lain: jaminan mengenai hak untuk bekerja (Pasal 6); hak untuk jaminan sosial termasuk asuransi sosial (Pasal 9); hak untuk perlindungan seluas mungkin dan bantuan untuk keluarga, ibu-ibu, anak-anak dan kaum muda (Pasal 10); hak untuk memperoleh standar hidup yang memadai (Pasal 11); hak untuk penikmatan suatu standar kesehatan fisik dan mental setinggi mungkin sesuai dengan kemampuan (Pasal 12); hak untuk pendidikan (Pasal 13 dan 14); dan hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan kebudayaan (Pasal 15). Kovenan ini dipersoalkan watak hukumnya (Peter Baehr, Pieter van Dijk, Adnan Buyung Nasution, dan Leo Zwaak 2001:338-346). Masalah yang berkaitan dengan watak hukum hak ekonomi dan sosial tidak berhubungan dengan validitasnya tetapi lebih pada penerapannya. Banyak penulis berpendapat bahwa hak ekonomi dan sosial, karena wataknya juga tidak dapat diadli (non-justicable) dalam arti bahwa hak-hak itu tidak dapat dituntut dalam sidang pengadilan dan diberlakukan oleh hakim (Martin Scheinin 2001:53). Sebagaimana telah diungkapkan dalam pendahuluan makalah ini, sebagai hak-hak positif, maka hak-hak ekonomi sosial, dan budaya tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang kehilangan pekerjaannya tidak dapat menuntut negara ke muka pengadilan. Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, sebagai hak negatif dapat dituntut di muka pengadilan. Misalnya, orang yang disiksa
oleh aparatur
negara dapat menuntut ke pengadilan. Artinya, tidak terdapat mekanisme penegakan hukum Dalam dinamika perkembangan pemikiran dan penerapan HAM, nampaknya pandangan tersebut ditinggalkan. Ini nampak dalam pemikiran para ahli hukum internasional sebagaimana
dirumuskan dalam Prinsip-Prinsip Limburg Mengenai
Pelaksanaan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang
7
8
diolah lebih lanjut dalam Pedoman Maastricht Untuk Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 3.2. Prinsip Penegakan Hukum Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Tidak ada manfaatnya
pengakuan adanya hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya dalam sejumlah instrumen hukum, baik internasional maupun nasional, manakala terjadi pelanggaran tidak terdapat upaya untuk memperjuangkan perolehan hak-hak tersebut. Artinya, penghormatan, perlindungan, dan pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya berhenti pada perumusannya dalam sejumlah produk hukum legilatif, tapi harus ditindaklanjuti antara lain melalui upaya hukum peradilan. Dalam Prinsip-Prinsip Limburg dimuat di dalamnya sejumlah prinsip penegakkan hukum oleh badan peradilan dalam upaya pemenuhan
hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya, sebagaimana dikutip berikut ini (dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., 2001:339-369). Prinsip 8, meskipun pelaksanaan sepenuhnya hak-hak yang diakui dalam Kovenan akan dicapai secara bertahap, pelaksanaan beberapa hak dapat dibenarkan dengan segera, sementara hak-hak lainnya dapat dibenarkan setelah beberapa waktu kemudian. Prinsip 13, semua badan yang memantau Kovenan seharusnya memberikan perhatian
khusus kepada prinsip-prinsip non-diskriminasi dan persamaan di
hadapan hukum pada saat menilai kepatuhan negara pihak terhadap Kovenan. Prinsip 17, pada tingkat nasional, negara pihak seharusnya menggunakan semua sarana yang tepat, termasuk tindakan-tindakan
legislatif, administratif,
yudisial, ekonomi, sosial dan pendidikan, sesuai dengan sifat dari hak-hak untuk memenuhi kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini. Prinsip 19, negara pihak seharusnya menyediakan upaya perbaikan efektif yang meliputi, apabila tepat, upaya perbaikan yudisial. Prinsip 78, dalam melaporkan langkah-langkah hukum yang diambil untuk memberikan pengaruh pada Kovenan, negara pihak seharusnya tidak hanya menggambarkan suatu ketentuan legislatif yang relevan. Mereka seharusnya merinci, apabila tepat, upaya perbaikan lewat pengadilan, prosedur administratif dan tindakan-tindakan lain yang telah diambil untuk memberlakukan hak-hak tersebut dan praktek-praktek berdasarkan upaya perbaikan dan prosedur tersebut.
9
Dari prinsip-prinsip tersebut menyimpulkan suatu dinamika perkembangan pemikiran, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat diajukan ke pengadilan. Jadi, argumentasi bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya pelaksanaannya secara bertahap dan tidak dapat diajukan ke pengadilan, sebagaimana tampil pada saat perumusan hukum DUHAM ke dalam dokumen perjanjian, tidak lagi diikuti sepenuhnya. Penggunaan lembaga peradilan dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya adalah melalui penggunaan prinsip non-diskriminasi. Dikatakan oleh Katarina Tomasevski, perlunya penekanan prinsip non-diskriminasi yang merupakan prinsip hak asasi manusia yang mendasar, karena merupakan titik awal yang paling jelas dalam melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Manfred Nowak 2001:235). Dilanjutkan oleh Manfred Nowak (2001:235) semua usaha untuk menghapus diskriminasi, baik secara de jure maupun de facto, serta upaya untuk mengadopsi tindakan-tindakan khusus untuk menyediakan kesempatan bagi kelompok-kelompok yang tidak beruntung dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, memainkan peran yang penting dalam PrinsipPrinsip Limburg. Yang dimaksudkan oleh Manfred Nowak adalah Prinsip 37 dan 38 dari Prinsip-Prinsip Limburg, yang rumusan selengkapnya adalah sebagai berikut: 37.
Setelah menjadi pihak dari Kovenan ini, negara-negara harus menghilangkan diskriminasi de jure dengan menghapuskan tanpa menunda lagi setiap undang-undang, peraturan dan praktek yang diskriminatif (termasuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan) yang mempengaruhi dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. 38. Diskriminasi de facto yang terjadi sebagai akibat dari dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tidak seimbang, yang disebabkan oleh kekurangan sumber daya atau lainnya, seharusnya diakhiri secepat mungkin. 3.3. Ruang Lingkup Pelanggaran Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Agar suatu pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat diajukan ke pengadilan, maka harus jelas arti dan ruang lingkup pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam bagian II Pedoman Maastricht diuraikan arti pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, sebagaimana dikutip berikut ini (Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed. 2001:374-383).
10
Seperti halnya dengan hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya membedakan tiga tipe kewajiban yang berbeda pada negara, yakni kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan melaksanakan, Kegagalan dalam melaksanakan salah satu kewajiban ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut. Kewajiban untuk menghormati, mengharuskan
negara menahan diri untuk
tidak campur tangan dalam dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial, budaya. Jadi, hak untuk mendapatkan perumahan dilanggar, apabila negara tersangkut dalam penggusuran paksa secara sewenang-wenang. Kewajiban untuk melindungi, mengharuskan
negara untuk mencegah
pelanggaran hak tersebut oleh pihak ketiga. Sehingga kegagalan untuk memastikan agar pengusaha swasta memenuhi standar dasar tenaga kerja dapat berarti pelanggaran terhadap hak untuk bekerja atau hak untuk mendapatkan kondisi kerja yang adil dan menyenangkan. Kewajiban untuk melaksanakan,
mengharuskan negara untuk mengambil
tindakan-tindakan legislatif, administratif, anggaran, hukum dan semua tindakan lain yang memadai guna pelaksanaan sepenuhnya dari semua hak tersebut. Dengan demikian, kegagalan negara untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada yang membutuhkan berarti sebuah pelanggaran. Berikutnya dirumuskan, bahwa pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dapat berupa Pelanggaran Melalui Tindakan Pejabat (Acts of Commision) dan Pelanggaran Melalui Pembiaran (Acts of Omission). Pelanggaran Melalui Tindakan Pejabat adalah pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara. Contoh pelanggaran semacam ini termasuk: (a) Penghapusan secara formal atau penundaan undang-undang yang penting bagi kelanjutan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya yang dinikmati saat ini; (b) Pengingkaran aktif atas hak tersebut bagi individu atau kelompok tertentu, apakah melalui diskriminasi berdasarkan undang-undang atau dengan paksaan; (c) Dukungan aktif atas tindakan yang diambil pihak ketiga yang tidak sejalan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; (d) Pemberlakuan undang-undang atau kebijakan yang jelas-jelas tidak sejalan dengan kewajiban hukum yang sudah ada sebelumnya sehubungan dengan hak-hak ini, kecuali jika hal ini dilakukan dengan tujuan dan akibat yang meningkatkan persamaan dan menempatkan
11
pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi kelompok tertentu; (e) Pelaksanaan tindakan yang berlaku surut secara sengaja yang menurunkan tingkat di mana setiap hak tersebut dijamin; (f) Hambatan yang diperhitungkan, atau penghentian, terhadap kemajuan pelaksanaan secara bertahap atas hak-hak yang dilindungi Kovenan, kecuali jika negara bertindak dalam batasan yang diizinkan oleh Kovenan atau negara bertindak begitu karena kekurangan sumber daya atau keadaan di luar kendali (force majeure); (g) Pengurangan atau pengalihan pengeluaran publik khusus, ketika pengurangan atau pengalihan tersebut berakibat pada tidak dipenuhinya hak tersebut dan tidak dibarengi oleh tindakan yang cukup untuk menjamin penghasilan minimun bagi setiap orang. Pelanggaran Melalui Pembiaran adalah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui pembiaran atau kegagalan negara untuk mengambil tindakan lanjutan yang perlu atas kewajiban hukum. Contoh dari pelanggaran ini termasuk: (a) Kegagalan untuk mengambil langkah yang tepat seperti yang diisyaratkan oleh Kovenan; (b) Kegagalan untuk mengubah atau mencabut undang-undang yang jelasjelas tidak sesuai dengan kewajiban terhadap Kovenan; (c) Kegagalan untuk memberlakukan undang-undang atau melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk melaksanakan ketetapan dalam Kovenan; (d) Kegagalan untuk mengatur kegiatan dari perorangan atau kelompok sehingga mencegah mereka agar tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; (e) Kegagalan memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimum ke arah pelaksanaan penuh dari Kovenan ini; (f) Kegagalan untuk memantau pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk perkembangan dan penerapan kriteria dan indikator untuk menilai kepatuhan terhadap pelaksanaanya; (g) Kegagalan untuk menghilangkan dengan segera hambatan di mana negara yang bersangkutan berkewajiban untuk menghilangkannya, sehingga memungkinkan dipenuhinya dengan segera hak-hak yang dijamin oleh Kovenan; (h) Kegagalan untuk melaksanakan tanpa ditunda-tunda lagi, hak yang dikehendaki oleh Kovenan untuk segera dilaksanakan; (i) Kegagalan untuk memenuhi standar minimum pencapaian yang diterima dunia internasional secara umum yang berada dalam kekuasaan negara untuk memenuhinya; (j) Kegagalan suatu negara untuk memperhitungkan kewajiban hukum internasionalnya dalam bidang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya ketika mengadakan perjanjian bilateral dan multilateral dengan negara lain, organisasi inyernasional, atau perusahaan multinasional.
12
Dengan demikian ada tiga macam pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, yakni: (1) Pelanggaran karena kegagalan negara memenuhi kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan melaksanakan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; (2) Pelanggaran melalui tindakan pejabat adalah pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui tindakan langsung negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara; dan (3) Pelanggaran melalui pembiaran adalah pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui pembiaran atau kegagalan negara untuk mengambil tindakan lanjutan yang perlu atas kewajiban hukum. Mengaitkan Prinsip-prinsip Limburg dengan Pedoman Maastricht membawa makna, bahwa pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, baik karena tidak dipenuhinya kewajiban negara, tindakan aktif, maupun pembiaran seharusnya diatasi melalui yudisial.
upaya perbaikan efektif,
antara lain melalui
upaya perbaikan
BAB IV PENEGAKAN HUKUM HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA: DUKUNGAN KOVENAN SIPIL DAN POLITIK DAN SISTEM HUKUM INDONESIA 4.1. Dukungan Kovenan Sipil dan Politik Komite Hak Asasi Manusia, yang bertindak di bawah Kovenan Sipil dan Politik , yang diadopsi pada 9 April 1987, menyampaikan keputusan terhadap tiga kasus Belanda tentang jaminan sosial. Melalui tiga kasus ini, untuk pertama kalinya ditetapkan bahwa klausul non-diskriminasi dalam Pasal 26 Kovenan Sipil dan Politik dapat dipakai juga dalam kaitannya dengan pengenyaman hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam dua dari tiga kasus tersebut, ditemukan pelanggaran terhadap Pasal 26 oleh Komite. Kasus-kasus itu antra lain, Zwaan-de Vries v. The Netherlands dan Broeks v. The Netherlands berkaitan dengan perundang-undangan Belanda yang menetapkan
bahwa
perempuan
yang
menikah,
kehilangan
tunjangan
penganggurannya, yang diberikan pada perempuan yang belum menikah dan semua laki-laki, tanpa memperhatikan apakah mereka sudah kawin atau belum. Perbedaan ini diberlakukan karena prasangka hukum bahwa perempuan yang sudah menikah dianggap bukan “pencari nafkah” dalam keluarganya. Hanya melalui pengajuan bukti yang menyatakan bahwa dirinya sebagai
pencari nafkah,
perempuan yag menikah dapat menerima tunjangan-tunjangan pengangguran tertentu, suatu syarat yang tidak berlaku bagi laki-laki menikah (dalam Martin Scheinin 2001:57-59). Di bawah Konvensi negara-negara Eropa tentang HAM (selanjutnya disebut Konvensi Eropa), memberikan perlindungan tambahan terhadap berbagai hak yang juga dilindungi oleh perjanjian-perjanjian HAM lainnya. Dalam hal ini adalah klausul peradilan yang jujur (Pasal 6 ayat 1. Ian Brownlie 1993:318), paling tidak hingga sekarang, telah menjadi titik-tolak
bagi interpretasi yang paling
penting yang
memberikan perlindungan bagi beberapa hak ekonomi dan sosial. Dalam kasus Salesi v. Italy, Pengadilan HAM Eropa memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 6 (1) Konvensi Eropa, karena lamanya proses pemeriksaan yakni lebih dari enam tahun. Kasus itu tentang dana bulanan yang 13
14
merupakan salah satu bentuk bantuan sosial, yang bertujuan melaksanakan Pasal 38 Konstitusi Italia: “Semua warga negara yang tidak sehat untuk bekerja dan kekuarangan uang untuk hidup, berhak memperoleh bantuan kesejahteraan dan biaya hidup sehari-hari. Laporan pemeriksaan domestik tentang sengketa itu sudah berlangsung selama lebih dari enam tahun. Dalam kasus Schuler-Zgragge v. Swizerland, Pengadilan HAM Eropa memperluas porosedur perlindungan di bawah Pasal Pasal 6 Konvensi Eropa, pada hak-hak ekonomi dan sosial. Dalam kasus ini, Swizwerland menolak permohonan penggugat untuk mendapatkan asuransi sosial dan bantuan kesehatan, karena ia seorang perempuan menikah dengan satu anak, dan tidak akan kembali bekerja bahkan apabila ia tidak mempunyai masalah kesehatan. Gugatan penggugat bahwa penolakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 dan Pasal 6 Konvensi Eropa. Pengadilan mempertimbangkan : “keputusan umum yang berlaku saat ini adalah bahwa Pasal 6 paragraf 1 berlaku untuk asuransi sosial, bahkan termasuk bantuan kesehatan”. Dikatakan pula bahwa keputusan tersebut dibenarkan berdasarkan fakta bahwa pemohon/penggugat “mengklaim hak ekonomi individu yang berasal dari undang-undang yang secara khusus terdapat dalam undangundang federal” (dalam Martin Scheinin 2001:64-65). Martin Scheinin (2001:66-67) memberikan catatan bahwa jika seandainya hak-hak ekonomi dan sosial lainnya, selain asuransi sosial dan bantuan sosial, sudah dilindungi sebagai hak hukum pada tingkat domestik, maka tentu hak-hak itu bisa masuk ruang lingkup Pasal 6 Kovensi Eropa. Sejauh hukum domestik itu menentukan bahwa, misalnya, setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan sekolah taman kanak-kanak negeri, atau hak atas perumahan atau pelayanan-pelayanan tertentu bagi orang cacat, sebagai hak individu, maka hak-hak seperti itu tentu akan memperoleh perlindungan tambahan dalam ketentuan itu. Dalam kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hakhak ekonomi, sosial, dan budaya bisa diajukan ke pengadilan dengan menggunakan klausul-klausul non-diskriminasi, persamaan di hadapan hukum, maupun peradilan yang jujur, yang terdapat dalam Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 26 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik memuat di dalamnya klausul larangan diskriminasi dan persamaan di hadapan hukum. Klausul ini nampak jelas
15
dalam kalimat pertama Pasal ini: “Semua orang sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama, tanpa disriminasi apa pun” . Atas dasar apa pun diskriminasi dilarang dilakukan, seperti kesukuan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain, demikian ketentuan yang tersimpul daribagian kalimat kedua Pasal 26. Dalam kasus-kasus Zwaan-de Vries v. The Netherlands dan Broeks v. The Netherlands
menampakkan
adanya
diskriminasi
berdasarkan
jenis
kelamin
perempuan dan statusnya telah menikah, yang menyebabkan kehilangan tunjangan penganggurannya, sedangkan bagi laki-laki, tanpa memperhatikan apakah mereka sudah kawin atau belum, mendapatkan tunjangan penganggurannya. Perbedaan ini diberlakukan karena prasangka hukum bahwa perempuan yang sudah menikah dianggap bukan “pencari nafkah” dalam keluarganya. Hanya melalui pengajuan bukti yang menyatakan bahwa dirinya sebagai pencari nafkah, perempuan yag menikah dapat menerima tunjangan-tunjangan pengangguran tertentu, suatu syarat yang tidak berlaku bagi laki-laki menikah. Jadi, jelaslah bahwa telah terjadi pelanggaran ketentuan non-diskriminasi. Dalam kasus itu nampak pula perkembangan pemikiran dan penerapan hukum, bahwa pelanggran ketentuan non-diskriminasi dalam Pasal 26 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik diperluas keberlakuannya pada hak-hak yang diakui dalam kovenan lainnya, dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang diakui dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dalam Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya juga terdapat klausul non-diskriminasi, yakni tertuang dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3. Dalam Pasal 2 ayat (3) ditentukan, setiap negara peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin hak-hak yang tercantum dalam kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun misalnya mengenai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendpat yang lain, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
Pasal 3 mempertegas lagi bahwa jenis
kelamin, pria dan wanita, tidak boleh menjadi faktor pembeda dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Jelasnya pasal ini merumuskan:
“Setiap
Negara Peserta Kovenan ini berusaha untuk menjamin hak yang sama bagi pria dan wanita atas nikmat dari semua hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana tercantum dalam Kovenan ini”.
16
Namun karena rumusan norma tersebut dirumuskan sebagai kewajiban bagi negara untuk berusaha, maka tidak kuat dijadikan dasar penuntutan maupun dasar pengujian bagi hakim. Lain halnya dengan Pasal 26 Kovenan Hak-hak sipil dan Politik yang merumuskannya sebagai hak setiap (semua) orang. Sebagai hak, memberikan kesempatan untuk melakukan tuntutan ketika haknya dilanggar. Lebih dari itu, Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tidak mengenal mekanisme pengaduan perorangan, sebagaimana yang diadopsi dalam Kovenan Sipil dan Politik melalui Protokol Opsional.
4.2. Dukungan Instrumen Lainnya Dalam Konvensi Eropa, klausul non-diskriminasi tertuang pada Pasal 14, bahwa perolehan hak-hak dan kebebasan yang dinyatakan dalam Konvensi ini harus dapat dilindungi tanpa diskriminasi dengan alasan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain; asal kebangsaan atau sosial, hubungannya dengan kaum minoritas, harta kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Sedangkan Pasal 6 ayat (1) Konvensi Eropa, sebagaimana dikemukakan di atas digunakan untuk memperluas perlindungan pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, mengatur tentang klausul peradilan yang jujur. Pasal 6 ayat (1) paragraf pertama menentukan: Dalam penetapan mengenai hak dan kewajiban warga negara atau setiap tuntutan kejahatan terhadapnya, setiap orang diberi hak untuk memperoleh pemeriksaan yang jujur dan terbuka untuk umum dalam waktu yang layak oleh pengadilan yang bebas dan netral yang dibentuk oleh undang-undang (Ian Brownlie 1993:318). Atas dasar klausul peradilan yang jujur, dalam pengertian pemeriksaan yang jujur dalam jangka waktu yang layak, Pengadilan HAM Eropa, dalam kasusu Salesi v. Italy, memutuskan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 6 (1) Konvensi Eropa, karena lamanya proses pemeriksaan secara layak, yakni lebih dari enam tahun. Dalam
kasus
Schuler-Zgragge
v.
Swizerland,
Swizwerland
menolak
permohonan penggugat untuk mendapatkan asuransi sosial dan bantuan kesehatan, karena ia seorang perempuan menikah dengan satu anak, dan tidak akan kembali bekerja bahkan apabila ia tidak mempunyai masalah kesehatan. Oleh penggugat klausul non-diskriminasi (Pasal 14) dan peradilan yang jujur (Pasal 6) dijadikan dasar gugatan, dengan perkataan lain, gugatan penggugat bahwa penolakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 14 dan Pasal 6 Konvensi Eropa.
17
Kemudian Pengadilan mempertimbangkan : “keputusan umum yang berlaku saat ini adalah bahwa Pasal 6 paragraf 1 berlaku untuk asuransi sosial, bahkan termasuk bantuan kesehatan”. Dikatakan pula bahwa keputusan tersebut dibenarkan berdasarkan fakta bahwa pemohon/penggugat “mengklaim hak ekonomi individu yang berasal dari undang-undang yang secara khusus terdapat dalam undangundang federal”. Dengan demikian, menurut Pengadilan HAM Eropa bahwa hak-hak ekonomi dan sosial yang telah tercantum dalam undang-undang, harus dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa memperhatikan, apakah ia seorang perempuan menikah atau tidak, dan harus pula mendapatkan hak untuk diperiksa secara jujur dalam memperjuangkan perolehan hak-haknya. Dari kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya juga mempunyai watak hukum dalam penerapannya, artinya bisa dituntut ke pengadilan, namun melalui penggunaan interpretasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kovenan lain, dalam hal ini adalah Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Eropa Tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu masih ada pilihan lain untuk penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah melalui penggunaan judicial review. Dikatakan oleh Asbjorn Eide (2001:37) ketika membahas fungsi produktif negara merupakan salah satu aspek kewajiban negara terpenting dalam kaitannya dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan ini mirip dengan peran negara sebagai pelindung terhadap hak-hak sipil dan politik. Komponen penting dalam kewajiban itu ini yaitu “melindungi”. Perundang-undangan semacam itu dapat diatur untuk proses peninjauan hukum (judicial review), dan karena itu mematahkan alasan bahwa hakhak ekonomi, sosial dan budaya, secara inheren tak dapat dituntut ke pengadilan (non-justiciable). 4.3. Dukungan Sistem Hukum Indonesia Untuk Indonesia, nampaknya sudah mulai dipertimbangkan untuk penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, dengan mengambil bandingan kasuskasus tersebut di atas. Mengingat di Indonesia, selain telah melakukan pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, juga telah dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalamnya tertuang baik hakhak ekonomi, sosial dan budaya maupun hak-hak sipil dan politik, maka selayaknya
18
pengadilan dapat menggunakan
ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang
tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan putusan, manakala terjadi pelanggaran atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Penegakan hukum atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat juga dilakukan melalui mekanisme judicial review. Dasar hukum penegakan hukum ini adalah Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menentukan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, ... “, yang sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi, kewenangannya dijalankan oleh Mahkamah Agung (Pasal III Aturan Peralihan Perubahan Keempat UUD 1945 (dalam Anonim 2002: 72, 80). Dasar hukum lainnya adalah Pasal 26 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999, yang menentukan bahwa Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturanperaturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (dalam Hadi Setia Tunggal 2002: 19). Ketentuan ini lebih dirinci rumusannya dalam Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung: (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. (2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undangundang atas lasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (3) (3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundangundangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan (dalam Soedirjo 1987: 86). Tulisan ini tidak bermaksud terlalu mendalam membahas mekanisme pengujian Undang-undang maupun peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang, namun hanya mengetengahkan bahwa penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat dilakukan melalui mekanisme judicial review, manakala terdapat Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang tidak menjamin perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
19
BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan Dari uraian mengenai penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tersebut di atas, ditarik simpulan: 1. Terdapat perkembangan pemikiran yang semula dipandang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak dapat dimajukan ke pengadilan ketika terjadi pelanggaran menjadi dapat diajukan kepengadilan. Perubahan pemikiran tersebut didukung oleh yurisprudensi. 2. Penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya oleh badan yang menjalankan fungsi peradilan adalah dengan menggunakan interpretasi klasul non-diskriminasi yang terdapat dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, serta klausul peradilan yang jujur dalam Kovensi Eropa tentang Hak-hak Asasi Manusia. 3. Penegakkan hukum hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dapat juga dilakukan melalui penggunaan mekanisme judicial review. 5.2. Saran Berdasarkan uraian mengenai penegakan hukum hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, dan simpulan tersebut di atas, diajukan saran: 1. Selayaknya pengadilan dapat menggunakan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan putusan ketika mengadili perkara-perkara yang menunjukan pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. 2. Agar diberdayakan mekanisme judicial review dalam upaya penegakan hukum atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, manakala terdapat Undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah Undangundang yang tidak menjamin perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
20
BAHAN BACAAN
Anonim, 2002, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Surabaya: Bina Pustaka Utama. Baehr, Peter; Pieter van Dijk; Adnan Buyung Nasution; dan Leo Zwaak, ed., 2001, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Brownlie, Ian, ed., 1993, Dokumen-Dokumen Pokok Mengenai Hak Asasi Manusia, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Dobriansky, Paula J., 1990, “Hak Asasi Manusia dan Tradisi Amerika”, dalam Titian No. 4, Jakarta: United States Information Service (USIS) Kedutaan Besar Amerika Serikat. Hadi Setia Tunggal, ed., 2002, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: Harvarindo. Hendardi, 1998, Penghilangan Paksa Mengungkap Kebusukan Politik Orde Baru, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Eide, Asbjorn, 2001, “Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Sebagai Hak Asasi Manusia”, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam. Ifdhal Kasim, 2001, “Kata Pengantar Memajukan Advokasi Terhadap Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam. Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., 2001, Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam. Miriam Budiardjo, 1990, “Hak-Hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global’, dalam Jurnal Ilmu Politik No. 10, , Jakarta: AIPI dan LIPI. Nowak, Manfred, 2001, “Hak Atas Pendidikan” dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam. Scheinin, Martin, 2001, “Hak Sosial Ekonomi Sebagai Hak Hukum”, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, ed., Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Elsam. Seidman, Ann; Robert B. Seidman dan Nalin Abeyserkere, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat Yang Demokratis, Jakarta: ELIPS. Soedirjo, 1987, Mahkamah Agung Uraian Singkat tentang Kedudukan, Susunan dan Kekuasaannya Menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Jakarta: Media Sarana Press. Soerjono Soekanto, 1986, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali.