PROSTITUSI SEBAGAI PENYAKIT SOSIAL DAN PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM SYAFRUDDIN, SH, MH Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Medan A. Pendahuluan Tidak lagi seperti perjuangan para wanita Indonesia terdahulu untuk membebaskan diri dari perlakuan diskriminatif dalam berbagai bidang kehidupan, saat ini tuntutan seperti itu nampaknya tidak terlalu signifikan lagi dengan adanya berbagai perubahan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dewasa ini pada prinsipnya hampir tidak ada pembatasan absolut terhadap para wanita di Indonesia untuk berkiprah dalam bidang apa saja, mulai dari pekerjaan kasar sampai menjadi seorang presiden. Semuanya tergantung pada kemampuan dan variabel-variabel lain yang bukan bersifat diskriminasi gender. Meskipun keberadaan Presiden Megawati Soekarnopoetri sebagai Presiden wanita pertama di Indonesia tidak dinilai oleh kalangan aktivis wanita sebagai bagian dari gerakan wanita Indonesia, namun hal itu telah memberikan gambaran yang sangat positif bagi wanita Indonesia dan sedikit banyak membawa perubahan signifikan yang meningkatkan pengakuan akan eksistensi dan kemampuan seorang wanita menjadi “leader” sebuah bangsa1 sekaligus membawa semangat baru untuk terus memperjuangkan aspek-aspek lainnya yang berkaitan dengan hak-hak wanita. Tuntutan wanita Indonesia saat ini adalah bagaimana agar dapat lebih berfungsi dalam masyarakat sebagai sumber daya manusia yang sama-sama mempunyai potensi dan kesempatan dengan pria. Perubahan paradigma yang terjadi, secara kualitatif dapat kita rasakan masing-masing antara lain sebagian besar masyarakat (laki-laki) telah menuntut wanita juga untuk bekerja dan memberikan kontribusi ekonomi bagi keluarga.
Tuntutan itu semakin mengkristal lagi apabila dikaitkan dengan adanya permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat. Tuntutan kebutuhan hidup yang semakin sulit dan mahal diakses menyebabkan terjadinya gelombang migrasi yang besar yang dilakukan juga oleh kaum wanita untuk memenuhi kebutuhan primer ataupun untuk meningkatkan kesejahteraan dan masa depan yang lebih cerah. Urbanisasi merupakan salah satu “kambing hitam” dari persoalan prostitusi yang dihadapi bahkan menjadi karakteristik faktor kausa dari kegiatan dan usaha-usaha pelacuran di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan juga Medan. Suatu studi tentang migrasi ke Jakarta yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Penduduk LEKNAS-LIPI nampak mendukung hal ini yang menunjukkan bahwa 34 % migran datang ke Jakarta dengan tujuan mencari pekerjaan atau dipindahkan oleh instansinya, 49 % datang sebagai keluarga dan sisanya untuk belajar atau tujuan
1
Lihat Chairul Bariah, Hak-Hak Politik Perempuan Di Indonesia Dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam Citra Justicia, Vol. II Nomor 1 Juli 2001. Hal. 86.
1
Istilah pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prostitue dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS). Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan berkembangnya teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula praktek pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Meskipun tidak seluruhnya benar, pada umumnya ada keyakinan bahwa di desa-desa, hampir tidak terdapat pelacuran.2 Jika ada, mereka itu adalah pendatang-pendatang dari kota, yang singgah untuk beberapa hari, atau pulang kedesanya. Pembicaraan tentang pelacuran dalam konteks ini adalah usaha pelacuran atau prostitusi yang dijalankan secara terorganisasi oleh berbagai pihak. Para pelacur atau WTS yang menjadikan pelacuran sebagai lapangan kerja tersebut tersebut dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi tertentu, atau mereka yang melakukannya karena ditawan atau dijebak oleh germo, calo dan pengusaha bordil. Membicarakan ciri-ciri khas seorang pelacur secara fisik cukup sulit dan tidak terlalu signifikan, namun sewcara general ada kecenderungan bahwa pelacur pada umumnya adalah wanita (dewasa ini ada perkembangan menarik tentang pelacur pria atau gigolo tetapi tidak termasuk dalam tema tulisan ini), berusaha untuk tampil cantik, ayu, manis dan menarik baik wajah, tubuh maupun pakaiannya, berusia relatif muda, untuk menarik perhatian kaum pria dan biasanya berasal dari starata ekonomi dan sosial yang rendah. Berlangsungnya perubahan-perubahan sosial yang sangat cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri mengakibatkan timbulnya ketidakharmonisan, konflik-konflik baik eksternal dan internal. Peristiwa-peristiwa tersebut memudahkan individu menggunakan pola-pola reaksi yang menyimpang dari pola umum yang berlaku. Dalam hal ini ada pola pelacuran untuk mempertahankan hidup ditengahtengah hiruk pikuk alam pembangunan, khususnya di Indonesia. Beberapa peristiwa tersebut antara lain : a. Adanya keinginan dan kemauan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks khususnya diluar ikatan perkawinan, b. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat-saat orang mengenyam kesejahteraan hidup, c. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeksploitir kaum lemah/ wanita untuk tujuan-tujuan komersil. Ada bermacam-macam motif seorang wanita terjun dalam praktek pelacuran diantaranya adalah : a. Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial yang lebih baik
2
Dalam konteks ini menarik hal untuk dikemukakan bahwa di desa-desa tertentu di Jawa Barat terdapat nilai-nilai dan pandangan bahwa perceraian bukanlah hal yang tabu. Terdapat sikap orang tua yang menghendaki agar anak gadisnya menikah dalam usia muda, kemudian cerai lagi dalam waktu yang pendek. Di Kabupaten Subang, Kuningan dan Krawang, sementara anggota masyarakatnya memandang pelacuran sebagai hal yang biasa, sehingga banyak wanita dari daerah ini yang menjadi pelacur di kota-kota. Kalau mereka kembali ke daerahnya, masyarakat menerima seperti biasa (Lihat Thomas Sunaryo, Ibid, Hal. 5).
2
b. Keinginan materi yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-pakaian yang indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewahan, namun malas bekerja, c. Anak-anak wanita yang memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekankan banyak tabu dan peraturan seks, d. Oleh bujuk rayu kaum pria dan para calo terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan terhormat dengan gaji tinggi, namun kenyataannya ia hanya dicebloskan kedalam rumah bordil, e. Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tunduk dan patuh melayani kebutuhan seks majikan demi mempertahankan pekerjaannya, f. Pekerjaan sebagai pelacur tidak memerlukan keterampilan, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kecantikan, dan keberanian, g. Anak-anak gadis dan wanita muda yang kecanduan obat-obat terlarang sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan obat-obat tersebut termasuk melakukan pelacuran. Secara langsung maupun tidak langsung, pelacuran atau usaha-usaha prostitusi akan menimbulkan dampalk buruk antara lain; penyebarluasan penyakit kelamin dan kulit, merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, moral, susila, hukum dan agama, memberikan pengaruh yang tidak bermoral kepada lingkungan khususnya anak-anak muda dan remaja maupun juga orang dewasa, berhubungan denga kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika. C. Reaksi Sosial dan Hubungannya dengan Proses Sosial Menurut Gillin dan gillin, proses sosial adalah cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistim serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perobahan-perobahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Prof. Mahadi merumuskan proses sosial sebagai jalan perobahan di dalam perhubungan kemasyarakatan antara manusia dengan manusia yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam perhubungan tersebut. Bahwa tidaklah hanya manusia pribadi yang saling berhubungan didalam kelompok kehidupan bersama ini, tetapi juga kelompokkelompok sosial yang terdapat didalam masyarakat. Dengan demikian preses sosial jalan perubahan didalam perhubungan kemasyarakatan diantara manusia dengan manusia atau kelompok dengan kelompok manusia yang lain yang mengakibatkan terjadinya perubahan perhubungan tersebut. Kita semua sebagai anggota masyarakat atau kelompok sosial selalu mengalami proses sosial ini. Selanjutnya proses sosial dapat dikelompokkan dalam 4 bentuk, yaitu : 1. Cooperation atau Kerjasama Adalah bentuk kerja sama dimana satu sama lain saling bantu-membantu guna mencapai tujuan bersama. 2. Competition atau Persaingan Adalah suatu bentuk perjuangan sosial secara damai, yang terjadi apabila 2 buah pihak berlomba atau berbuat untuk mencapai suatu tujuan tertentu . Menurut Gillin dan Gillin persaingan adalah suatu proses sosial, dimana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa menjadi pusat perhatian dari pada publik ( baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara-cara usaha menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman kekerasan. 3. Conflict atau Pertikaian
3
Menurut Soerjono Soekanto konflik adalah proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha memenuhi tujuannya dengan jelas menentang pihak lawan dengan ancaman dan atau kekerasan. Pertentangan mempunyai beberapa bentuk antara lain : - Pertentangan pribadi, yaitu sejak mulai perkenalan sudah saling tidak menyukai, apabila dikembangkan maka timbul rasa saling benci dimana masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawannya. - Pertentangan sosial, - Pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu yang disebabkan karena perbedaan kepentingan, misalnya kepentingan buruh dengan majikan. - Pertentangan politik, yaitu antara golongan-golongan dalam masyarakat. Akibat-akibat pertentangan tersebut antara lain : - Tumbuhnya solidaritas dari in group mereka yang bersedia berkorban bagi keutuhan kelompoknya. - Apabila terjadi pertentangan satu kelompok, maka retaklah persatuan kelompok tersebut. - Perubahan dari kepribadia orang perorangan. - Hancurnya harta benda dan korban manusia. - Takluknya salah satu pihak. 4. Accomodation atau penyesuaian Adalah usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha untuk mencapai suatu kestabilan. Beberapa bentuk akomodasi yang umu adalah : - Gencatan senjata atau penundaan pertempuran, maksudnya untuk memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. - Kompromi yang dapat terjadi apabila pihak-pihak yang berkonflik relatif sama derajadnya, bersedia saling memberi dan mengambil. - Toleransi adalah suatu cara akomodasi bila suatu kompromi tidak diwujudkan dalam hal ini tidak ada pihak-pihak yang mengalah dan pihak-pihak terus mempertahankan pendiriannya masing-masing akan tetapi bersedia menghormati pendirian orang lain, sehingga tidak perlu ditimbulkan permusuhan, misalnya antara umat yang berbeda agama. - Konsoliasi. - Konversi adalah suatu keadaan apabila ada suatu pihak melepaskan pendirian dan menerima pendirian pihak lain. - Arbitrasi adalah suatu cara akomodasi dimana konflik didamaikan oleh pihak ketiga dan pihak-pihak tunduk kepada keputusannya. - Mediasi dijalankan oleh pihak ketiga juga tetapi keputusannya tidak mengikat seperti halnya abritasi kedudukan pihak ketiga sebagai penasehat belaka tidak berwewenang memberi keputusan. - Rasionalisasi. Selanjutnya Gillin dan Gillin mengadakan proses sosial kedalam 2 macam sebagai akibat adanya interaksi sosial yaitu : - Proses yang assosiatif yang terbagi dalam 2 bentuk khusus yaitu akomodasi dan asimilasi. - Proses yang disosiatif yang mencakup persaingan dan pertikaian atau konflik. Apabila pendapat Gillin& Gillin di atas dikaitkan dengan kegiatan prostitusi, maka dapat dikategorikan beberapa aspek khususnya respon masyarakat terhadap kegiatan tersebut yang akomodatif dan dissosiatif yang menjurus pada konflik. Pada umumnya kegiatan pelacuran dan rumah-rumah pelacuran, jelas membuat resah masyarakat mengingat pengaruh pelacuran tersebut terhadap kehidupan sosial di sekitarnya sehingga menimbulkan reaksi dan aksi dari masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pelacuran dapat memberi pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya anak-anak remaja dan dapat menjadi sumber penyakit kotor serta penyebab terjadinya
4
abortus serta kematian bayi. Hal ini sudah merupakan suatu preposisi yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya. Hal yang memperihatinkan adalah apabilka penyimpangan tingkah laku yang berlangsung terus menerus, dan meningkatnya jumlah pelacur sehingga menjadi berkelompok-kelompok, perilaku yang cenderung menyolok dan overacting, akan dapat mendorong terjadinya perubahan pandangan dan sikap permisif dan bahkan membenarkan dari masyarakat khususnya kalangan generasi muda.. Selanjutnya mengutip pendapat Gilbert Geis, bahwa orang-orang yang terlibat dalam pekerjaannya pada kejahatan terorganisasi yaitu dalam kegiatan seperti perjudian, pelacuran, serta lalu lintas nasrkotika, secara tradisional menggunakan kekerasan untuk mencapai hasil yang lebih daripada orang-orang yang ada di lingkungannya.3 Di samping itu sebagaimana disinggung terdahulu, reaksi sosial sehubungan dengan usaha pelacuran yang cukup berkembang dan menyita perhatian publik maupun aparat penegak hukum adalah adanya perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) oleh masyarakat sekitar yang tidak setuju terhadap kegiatan pelacuran tersebut. Tindakan main hakim sendiri itu baik yang terorganisis dan terencana maupun yang bersifat spontan sering terwujud dalam bentuk tindak kekerasan, pembakaran dan amuk massa terhadap lokalisasi pelacuran. Tidak hanya dari masyarakat, tetapi respon tersebut datang dari kalangan mahasiswa. Contoh reaksi sosial mahasiswa yang agak lucu dan mengenaskan terjadi di Pekanbaru dimana kira-kira 50 mahasiswa Fakultas Keguruan Ilmu PendidikanUniversitas Islam Riau mengadakan unjuk rasa di Mapolda, Kantor Gubernur dan DPRD Riau dengan mengusung pakaian dalam wanita dan menuntut agar aktivitas di tempat-tempat hiburan yang bernuansa jual beli seks diberhentikan terutama selama bulan Ramadhan (Harian Analisa, 17 November 2000). Hal ini membuktikan di satu sisi bahwa masyarakat menentang keras praktek prostisusi ini yang lama kelamaan dapat memicu terjadinya konflik sebagai salah satu bentuk proses sosial seperti yang terjadi di Tanjung Morawa tanggal 22 Mei 2000 dimana satu buah rumah bordil/rumah remang-remang yang menyediakan wanita penghibur terbakar setelah sehari sebelumnya terjadi pertengkaran dilokasi tersebut (Harian SIB, 24 Mei 2000). Berbagai fenomena sehubungan dengan kegiatan pelacuran tersebut di atas nampaknya masih sulit dihapus sebagaimana sulitnya menghapuskan kegiatan pelacuran itu sendiri karena merupakan masalah yang sangat kompleks dan berkaitan dengan masalah tekanan ekonomi dan kemiskinan, sikap pragmatis (mudah mencari uang), serta sikap permisif masyarakat serta aparat penegak hukum (pemerintah), filosofi hidup masyarakat yang semakin individualistis, kegiatan urbanisasi, dan juga faktor psikologis. Tidak kalah pentingnya adalah faktor media massa yang semakin marak dengan nuansa pornografi termasuk kemajuan tekonologi informasi internet yang menyebabkan orang semakin mudah mengakses situs-situs pornografi yang ditawarkan berbagai website secara gratis dan murah. Sehubungan dengan kondisi di atas dapat dikemukakan bahwa memberantas pelacuran sebagai penyakit masyarakat bukanlah hal yang mudah dan cenderung sulit dilakukan. Sehubungan dengan hal itu dapat diajukan beberapa saran dan pemikiran alternatif yang diharapkan dapat dilakukan dalam membendung atau mereduksi praktek prostitusi tersebut dalam bagian berikut.
3
Lihat Mulyana W. Kusumah, Kejahatan dan Kekerasan-Kekerasan Di Sekitar Kita, Bahan, No. 1 Tahun IV, 1992
5
E. Penutup (Rekomendasi) Prostitusi merupakan penyakit sosial sekaligus pelanggaran hukum. Nsamun lebih dari itu prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan pelacuran menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama, pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi dan juga masalah politik. Oleh karena itu upaya penanggulangannya juga harus bersifat terpadu dan berkelanjutan. Meskipun pelacuran sangat sulit dan hampir mustahil dihapuskan, paling tidak terdapat berbagai alternatif upaya untuk membatasinya sekaligus mengeliminasi dampak-dampak positif yang ditimbulkannya. Oleh karena itu penegakan hukum ansich terhadap masalah-masalah pelacuran merupakan dilematis dan kita tidak dapat berharap banyak dari polisi, jaksa dan hakim meskipun perbuatan pelacuran dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dukungan dari masyarakat merupakan hal yang sangat signifikan. Adalah hal yang tidak berlebihan bila dikatakan bahwa bahwa kelihatannya mustahil untuk mengeliminasi praktek prostitusi sama sekali dan oleh karena itu sebagaimana disebutkan di atas kita harus memulai dan bekerja untuk mencari upaya mengurangi peningkatan dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan serta harus didukung oleh masyarakat dan pemerintah sesuai dengan potensi dan eksistensi masing-masing. Bagi pihak pemerintah atau pembuat undang-undang antara lain dilakukan dengan penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran sekaligus larangan pornografi. Intensifikasi pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan sedini mungkin merupakan metode yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perlu pula ditingkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan dan kesibukan bagi anak-anak muda untuk menyalurkan kelebihan energinya termasuk rekreasi. Selanjutnya upaya memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah / gaji yang layak adalah upaya yang perlu diperjuangkan secara nasional. Di samping itu perlu direncanakan secara matang tentang sistem penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga secara tepat dan bermanfaat. Dari sudut penegakan hukum perlu dilakukan upaya pembatasan penyebarluasan pornografi dengan cara melakukan penyitaan terhadap bukubuku dan majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru dan sarana- sarana lain yang dapat merusak moral secara berkesinambungan dan terintegrasi. Meskipun kedengaran agak sulit, namun pemerintah juga perlu memberikan insentif menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila, Selanjutnya perlu diungkapkan bahwa kendala besar yang dihadapi dalam merehabilitasi para pekerja seks tidak hanya sekedar masalah ekonomi dan menyediakan lapangan kerja. Upaya pendekatan terhadap pihak keluarga pekerja seks dan masyarakat agar mau menerima bahkan mendukung kembali mereka yang ingin memulai hidup susila dalam kehidupan bersama. Secara makro perlu pula ditekankan untuk jangka panjang, di antara berbagai alternatif penting yang dikemukakan di atas, yang paling mendasar dan bersifat jangka panjang adalah dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
6
DAFTAR PUSTAKA Bariah, Chairul, 2001, “Hak-Hak Politik Perempuan Di Indonesia Dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM),” dalam Citra Justicia, Vol. II Nomor 1 Juli 2001. Jones, Gavin W. 1985. Masalah Urbanisasi di Indonesia, Jakarta, Lembaga Demografi FE UI. Kartono, Kartini, Dr, 1981, Patologi Sosial, Rajawali Pers Jakarta Kusumah, Mulyana W. 1992. Kejahatan dan Kekerasan-Kekerasan Di Sekitar Kita, Bahan, No. 1 Tahun IV. Jakarta. Sunaryo, Thomas, 1987, Studi Tentang Hubungan Kerja Dalam Lokalisasi Pelacuran, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia. Widiyanti, Ninik dan Panji Anoraga, 1987, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau Dari Segi Kriminologi dan Sosial, Cetakan Pertama, Pradnya Paramita, Jakarta.
.
7