PENDUGAAN SIMPANAN KARBON ORGANIK EKOSISTEM MANGROVE DI AREAL PERANGKAP SEDIMEN-PESISIR CAGAR ALAM PULAU DUA BANTEN
TYAS AYU LESTARI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Simpanan Karbon Organik Ekosistem Mangrove di Areal Perangkap Sedimen-Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Tyas Ayu Lestari NIM P052130211
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN TYAS AYU LESTARI. Pendugaan Simpanan Karbon Organik Ekosistem Mangrove di Areal Perangkap Sedimen-Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten. Dibimbing oleh M. YANUAR J. PURWANTO dan IETJE WIENTARSIH. Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) merupakan kawasan lindung yang tengah dipertahankan keberadaannya. Sejak terjadinya perubahan iklim, ancaman kenaikan muka air laut mulai terjadi di kawasan pesisir CAPD. Tahun 2009, masyarakat dan LSM/ NGO disana melakukan upaya perlindungan pesisir dengan memasang perangkap sedimen dari jaring ikan. Upaya tersebut mengalami beberapa kali pemasangan dengan bentuk perangkap yang berbeda, yaitu jaring ikan, pagar bambu, dan terakhir karung yang berisi pasir ditumpuk menyerupai benteng. Upaya pemasangan perangkap sedimen berhasil melindungi pesisir dan hutan mangrove CAPD dari ancaman kenaikan muka air laut dan abrasi. Keuntungan lain yang dirasakan dari pemasangan perangkap sedimen adalah terbentuknya tanah timbul yang kemudian ditumbuhi vegetasi mangrove jenis Avicennia marina secara alami. Kondisi tanah timbul yang semakin stabil berpotensi menyimpan sejumlah karbon organik pada tanah timbul yang berupa sedimen maupun pada vegetasi mangrove yang tumbuh di sana. Karbon yang tersimpan pada sedimen dan vegetasi mangrove di sana dapat membantu menurunkan laju emisi gas rumah kaca (GRK) dalam rangka mengurangi pemanasan global akibat perubahan iklim. Berdasarkan fakta tersebut, tujuan penelitian adalah 1) menghitung jumlah total simpanan karbon (karbon vegetasi Avicennia marina dan sedimen) di area perangkap sedimen; 2) menentukan persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon Avicennia marina yang tumbuh di area perangkap sedimen; dan 3) menentukan strategi pengelolaan perangkap sedimen agar sedimen dan vegetasi mangrovenya tetap terjaga. Pengambilan sampel di lakukan di Pesisir CAPD, Kota Serang, Provinsi Banten sedangkan proses analisis sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Kayu Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Kimia Balittanah-Cimanggu Bogor. Penelitian dilakukan selama 8 bulan, yaitu sejak bulan Februari sampai September 2015. Proses pengambilan sampel sedimen dengan pengeboran berdasarkan gradien kedalaman, yaitu 0-10 cm, 10-50 cm, 50-100 cm, 100-200 cm, 200-300 cm, dan 300-400 cm di 12 titik sampling. Sampel vegetasi diambil secara destruktif (mencabut seluruh bagian pohon) berdasarkan gradien ketinggian (tinggi total pohon), yaitu 0-100 cm, 101-200 cm, 201-300 cm, dan 301-400 cm sebanyak 30 pohon. Seluruh sampel sedimen dianalisis dengan melakukan serangkaian uji, yaitu uji penentuan Bulk Density (BD), kadar C-organik tanah (% C-organik), dan berat kering sampel. Seluruh sampel vegetasi dianalisis dengan melakukan serangkaian uji, yaitu penentuan kadar air, berat kering tanur (BKT) atau biomassa, kadar zat terbang, kadar abu, dan % C-organik. Seluruh informasi yang diperoleh digunakan untuk memperoleh nilai simpanan karbon. Informasi nilai biomassa dan massa karbon dari vegetasi Avicennia marina yang diperoleh dari hasil perhitungan aktual di laboratorium selanjutnya digunakan untuk mencari model persamaan alometriknya. Model yang dibangun terdiri dari dua jenis, yaitu model regresi linier sederhana ( Y = a+ bx) dan model logaritmik linier (log Y = a + b Log x) dengan satu dan dua variabel. Variabel yang
dimaksud adalah tinggi total (Tt) sebagai x1 dan diameter setinggi dada/ DBH sebagai x2. Model persamaan alometrik yang dibangun sebanyak 40 model, 20 model dalam bentuk regresi linier sederhana dan 20 model lainnya merupakan model dalam bentuk logaritmik linier untuk menduga biomassa. Model persamaan allometrik untuk menduga massa karbon dikerjakan sama seperti mencari model persamaan allometrik untuk biomassa. Analisis terakhir dalam penelitian ini adalah mencari strategi pengelolaan perangkap sedimen di lokasi tersebut menggunakan teknik strentghs, weaknesses, opportunities, and threats atau SWOT. Teknik tersebut pada dasarnya mencari faktor dan faktor eksternal yang kemudian dilakukan pembobotan dan rating untuk memperoleh skor atau total nilai dari masing-masing faktor. Hasil akhirnya akan diketahui kondisi eksisting di lokasi penelitian serta strategi yang tepat untuk mengelola perangkap sedimen disana. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ekosistem mangrove yang berada di areal yang dipasang perangkap sedimen mampu menyimpan karbon total sebanyak 158.55 ton C atau 180.17 ton C/ha. Vegetasi mangrove menyimpan sebesar 31.52 ton C atau 35.82 ton C/ha dan dari sedimen menyimpan sebesar 127.03 ton C atau 144.35 ton C/ha. Total emisi karbondioksida (CO2) yang dapat diserap sebanyak 581.88 ton CO2 atau 661.22 ton CO2/ha. Persamaan alometrik terpilih untuk menduga biomassa Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0500 cm dan diameter batang ≤ 5 cm adalah Log Y = -7.42 + 1.79 (Log Tt) + 0.264 (Log DBH). Persamaan terpilih untuk menduga biomassa akar, batang, cabang, dan daun, yaitu Log Yakar = -8.37 + 1.94 (Log Tt), Log Ybatang = -8.83 + 1.99 (Log Tt) + 0.419 (Log DBH), Log Ycabang = -8.63 + 2.01 (Log Tt), dan Log Ydaun = 7.73 + 1.63 (Log Tt). Persamaan alometrik terpilih untuk menduga massa karbon Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0-500 cm dan diameter batang ≤ 5 cm adalah Log Y = -8.20 + 1.92 (Log Tt) + 0.327 (Log DBH). Persamaan alometrik untuk massa karbon akar, batang, cabang, dan daun adalah Log Yakar = 9.11 + 2.04 (Log Tt), Log Ybatang = -8.89 +2.06 (Log Tt) + 0.467 (Log DBH), Log Ycabang = -9.41 + 2.13 (Log Tt), dan Log Ydaun = -8.46 + 1.64 (Log Tt). Posisi pengelolaan perangkap sedimen saat ini berada pada kuadran IV, yaitu pada kondisi stabilitas (hati-hati). Kondisi ini menunjukkan bahwa strategi pemasangan perangkap sedimen di lokasi penelitian sudah tepat untuk meredam bencana (abrasi, gelombang tinggi, dan rhob) seperti tujuan awal pemasangannya. Namun, masih diperlukan upaya penguatan dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada untuk mengurangi ancaman yang muncul. Penguatan tersebut tertuang dalam strategi pengelolaan Weaknesses-Threats (W-T) melalui pembuatan tata aturan yang jelas tentang batasan wilayah tanah timbul hasil pemasangan perangkap sedimen, kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove di lokasi penelitian, serta peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem pesisir dalam meredam berbagai bencana. Kata kunci: Avicennia marina, akresi sedimen, biomassa karbon, model alometrik, strategi stabilitas
SUMMARY TYAS AYU LESTARI. Estimation of The Ecosystem Mangrove Carbon Organic Storage in Sediment Trap Area-Pulau Dua Nature Reserve Banten. Superviseds by M.YANUAR J. PURWANTO and IETJE WIENTARSIH. Pulau Dua Nature Reserve (CAPD) is a protected area that is the center maintained. Several years since the threat of sea level rise due to climate change began to occur in coastal CAPD. In 2009, society and non gouverment organisation (NGO) there efforts coastal protection by installing sediment traps from fishing nets. Sediment traps undergone several modification, that is fishing nets, bamboo fence, and the sack filled with sands stacked to resempble a fortress. These efforts succeeded protecting coastal CAPD and mangrove forest from the threat sea level rise and abrasion. Another advantages of sediment traps is formed accretion area. The accretion area overgrown Avicennia marina naturally. Accretion area (sediment) and mangrove vegetation (Avicennia marina) potentially save carbon storage. Carbon storage at the sediment and mangrove vegetation can help lower emisis the greenhouse (GHG) to reduce global warming due to climate change. Based on the fact, the research has been done with the aims to 1) calculate the total carbon storage from vegetation mangrove Avicennia marina and sediment in the sediment traps area; 2) determine the allometric equations model for estimating biomass and carbon mass Avicennia marina in the sediment traps area; and 3) determine the sediment traps management strategies based on research result. The research was conducted at the coastal CAPD and sample analysis was conducted at the Laboratory Kimia Kayu Forestry Faculty of Bogor Agricultural University and Laboratory Kimia Tanah-Cimanggu Bogor from February to September 2015. Sediment sample taken by drilled based on depth gradient, which is 0-10 cm, 10-50 cm, 50-100 cm, 100-200 cm, 200-300 cm, and 300-400 cm at 12 sampling points. Avicennia marina sample taken by destructive sampling (removing all parts of tree) based height gradient, which is 0-100 cm, 101-200 cm, 201-300 cm, 301-400 cm, and 401-500 cm. Vegetation sample taken as many as 30 trees. The sediment samples were analyzed by several test, which is the determination of bulk density (BD) test, determination of soil organic (% Corganic), and dry weight of the samples. The vegetation samples were analyzed by several tests, which is determination of moisture content, dry weight or biomass, volatile matter content, ash content, and % C-organic. All the information then analyzed to obtained the value of carbon storage both in sediments and mangrove vegetation. The information of biomass and carbon mass of vegetation Avicennia marina obtained from laboratory then used to find of allometric equation models. Allometric equation models were constructed consisting of two types models, that is linier regression models (Y = a + bx) and logarithmic linier models (Log Y = a + b Log x) with one or two variables. The variables is total height (Tt) as x1 and diameter breast hight (DBH) as x2. Allometric equation models were built as many as 40 models, 20 models of simple linier regression models and 20 others are logarithmic linier models for estimating biomass. Allometric equation models to estimate the carbon mass did same as looking for biomass models. Having known all the information about carbon storage and allometric equation models,
then analyzed to look for sediment traps management strategies. Analysis was performed using strength, weaknesses, opportunities, and threats techcnique or SWOT. The technique is basically looking for internal (strengths and weaknesses) and external factors (opportunities and threats). After further the internal and external factor were known to be weight and ratting to got score or total value of each factors. The last will be known the best of strategies to manage the mangrove ecosystem at the sediment trap. The research result revealed that: 1) mangrove ecosystems at the sediment traps can stored as much total carbon 158.55 tons C or 180.17 tons C/ha. Mangrove vegetation can stored 31.52 tons C or 35.82 tons C/ha and sediment can stored 127.03 tons C or 144.35 tons C /ha. Total emissions of carbon dioxide (CO2) which can be absorbed as much as 581.88 tons of CO2 or 661.22 tons of CO2/ha. Allometric equations for estimating biomass elected Avicennia marina which has a total of 0-500 cm height and trunk diameter ≤ 5 cm is Log Y = -7.42 + 1.79 (Log Tt) + 0.264 (Log DBH). The equation was chosen to estimate the biomass of roots, trunk, branches, and leaves are Log Yroots = -8.37 + 1.94 (Log Tt), Log Ytrunk = -8.83 + 1.99 (Log Tt) + 0.419 (Log DBH), Log Ybranches = -8.63 + 2.01 (Log Tt), and Log Yleaves = -7.73 + 1.63 (Log Tt). Allometric equation was chosen to estimate the mass of carbon Avicennia marina which has a total of 0500 cm height and trunk diameter ≤ 5cm is Log Y = -8.20 + 1.92 (Log Tt) + 0.327 (Log DBH). Allometric equations for the carbon mass of roots, trunk, branches and leaves are Log Yroots= -9.11 + 2:04 (Log Tt), Log Ytrunk = -8.89 +2.06 (Log Tt) + 0467 (Log DBH), Log Ybranches = -9.41 + 2.13 (Log Tt), and Log Yleaves = -8.46 + 1.64 (Log DBH). Now, the position of the management of sediment traps are in quadrant IV, namely the stability condition (be careful). This condition indicates that the strategy of trapping sediment in the study site was appropriate for reducing disasters (abrasion, high waves, and rhob) as the original purpose of installation. However, it still needs strengthening in a way to minimize the weaknesses that exist to mitigate emerging threats. Strengthening is contained in management strategies Weaknesses-Threats (W-T) through the creation of system clear rules on the restriction of land arising results trapping sediment, policy management of mangrove ecosystems in the study site, as well as increased public awareness of the importance of coastal ecosystems in reducing disasters. Keywords : Avicennia marina, accretion of sediment, carbon biomass, allometric models, strategies stability
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB, Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apap pun tanpa izin IPB.
PENDUGAAN SIMPANAN KARBON ORGANIK EKOSISTEM MANGROVE DI AREAL PERANGKAP SEDIMEN PESISIR CAGAR ALAM PULAU DUA BANTEN
TYAS AYU LESTARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Widiatmaka, DEA.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan ridho-Nya maka pelaksanaan penelitian serta penulisan karya ilmiah yang berjudul Simpanan Karbon Ekosistem Mangrove di Areal Perangkap Sedimen Pesisir Cagar Alam Pulau Dua Banten dapat diselesaikan dengan baik. Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S dan Prof. Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. M.Sc selaku komisi pembimbing atas semua arahan, bimbingan, dan segala bentuk dukungannya kepada penulis. 2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku perwakilan dari Prodi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dan juga selaku pimpinan sidang ujian tesis atas saran dan masukan bagi penulis dan perbaikan karya ilmiah ini. 3. Seluruh dosen dan staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB atas semua dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan studi. 4. Direktur Wetlands International Indonesia (WII), Bapak I Nyoman Suryadiputra atas ijin dan bantuannya untuk pelaksanaan penelitian di lokasi kerja WII. 5. Kedua orang tua dan mertua: Ayahanda Ujang Sukanta dan Ibunda Nuryati, Ayahanda Asep Rahmat dan Ibunda Wawat Suparti, Adinda Irmayanti serta seluruh keluarga yang turut membantu dukungan moril dalam penyelesaian karya ilmiah ini. 6. Suami Aswin Rahadian, dan ananda Ashagiselva Tasmira Rahadian atas segala doa, bantuan, dan semangat selama penyusunan karya ilmiah dari awal sampai akhir. 7. Sahabat-sahabat seperjuangan PSL IPB angkatan 2013 atas segala kebersamaan, kekompakan, persahabatan, dan kekeluargaannya. 8. Pihak-pihak lainnya yang telah membantu pelaksanaan studi, penelitian, dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan dipergunakan sebagaimana mestinya.
Bogor, Maret 2016 Tyas Ayu Lestari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Mangrove Mangrove Jenis Avicennia marina Sedimen Perangkap Sedimen Biomassa dan Massa Karbon Mangrove Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa dan Massa Karbon pada Mangrove
6 6 7 8 9 11
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data
13 13 14 15 16
4 GAMBARAN UMUM Kondisi Umum Sejarah Tanah Timbul
23 23 29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Simpanan Karbon Vegetasi Avicennia marina Simpanan Karbon pada Sedimen Strategi Pengelolaan Perangkap Sedimen
30 30 46 51
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
60 60 60
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
67
RIWAYAT HIDUP
81
12
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Berbagai persamaan alometrik untuk menduga biomassa vegetasi mangrove Contoh tabel IFAS/ EFAS dalam analisis swot Matriks analisis SWOT untuk strategi pengelolaan perangkap sedimen Hasil analisis kualitas air secara in-situ di sekitar lokasi penelitian Jumlah vegetasi Avicennia marina dan luasannya di lokasi penelitian Kadar air Avicennia marina di lokasi penelitian Biomassa Avicennia marina dalam satu pohon Kadar zat terbang Avicennia marina a di lokasi penelitian Kadar abu Avicennia marina di lokasi penelitian Kadar C-organik Avicennia marina di lokasi penelitian Massa karbon Avicennia marina dalam satu pohon Hasil perhitungan biomassa Avicennia marina menggunakan persamaan alometrik terpilih Hasil perhitungan biomassa Avicennia marina a menggunakan berbagai persamaan alometrik Perbandingan hasil biomassa dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan selang ketinggian Perbandingan hasil biomassa dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan setiap bagian Avicennia marina Hasil perhitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan persamaan alometrik terpilih Hasil perhitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan berbagai persamaan alometrik Perbandingan hasil massa karbon dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan selang ketinggian Perbandingan hasil massa karbon dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan setiap bagian Avicennia marina Hasil analisis bulk density, % C-organik, dan massa karbon sedimen di lokasi penelitian Matriks faktor internal strategi pengelolaan perangkap sedimen Matriks faktor eksternal strategi pengelolaan perangkap sedimen
13 22 23 28 32 33 33 36 36 38 38 44 44 44 44 45 45 46 46 48 52 55
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Kerangka pikir penelitian Contoh perangkap sedimen dengan struktur keras Penjerapan sedimen menggunakan perangkap sedimen berstruktur Perangkap sedimen dari jaring ikan Perangkap sedimen dari pagar bambu Perangkap sedimen dari karung berisi pasir Peta sebaran titik pengambilan sampel sedimen Matriks internal-eksternal Lokasi penelitian berupa tanah timbul hasil perangkap sedimen Foto udara area perangkap sedimen yang ditumbuhi Avicennia marina Hamparan pantai berlumpur hasil perangkap sedimen di pesisir CAPD Pola arus permukaan wilayah Teluk Banten Material sedimen yang terangkut oleh arus sejajar pantai Peta distribusi kelas tinggi vegetasi Avicennia marina Biomassa total Avicennia marina yang tumbuh di lokasi penelitian Massa karbon total Avicennia marina yang tumbuh di lokasi penelitian Hubungan tinggi total dengan biomassa total Hubungan tinggi total dengan massa karbon total Hubungan DBH dengan biomassa total Hubungan dDBH dengan massa karbon total Peta penyebaran sedimen yang terperangkap berdasarkan kelas Simpanan karbon pada sedimen di lokasi penelitian Hasil analisis matriks internal-eksternal (IE matrix) Strategi yang dipakai dalam pengelolaan ekosistem mangrove di area
5 10 10 14 14 15 16 22 24 25 26 26 27 32 34 38 40 41 41 41 47 51 57 58
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perangkap sedimen di lokasi penelitian dari tahun 2011-2014 2 Persamaan alometrik untuk menduga biomassa Avicennia marina berdasarkan kelas ketinggian 3 Persamaan alometrik untuk menduga biomassa Avicennia marina berdasarkan bagian tumbuhan 4 Persamaan alometrik untuk menduga massa karbon Avicennia marina berdasarkan kelas ketinggian 5 Persamaan alometrik untuk menduga massa karbon Avicennia marina berdasarkan bagian tumbuhan 6 Matriks W-T (Weaknessess-Threats) strategi pengelolaan perangkap sedimen di lokasi penelitian 7 Data dan hasil analisis bagian akar dari Avicennia marina 8 Data dan hasil analisis bagian batang dari Avicennia marina 9 Data dan hasil analisis bagian cabang dari Avicennia marina 10 Data dan hasil analisis bagian daun dari Avicennia marina 11 Hasil analisis biomassa. massa karbon, dan serapan karbondiokasida (CO2) 12 Data dan informasi sedimen/ substrat lumpur 13 Hasil analisis bulk density (BD) dan % c-organik sedimen/ substrat lumpur 14 Pengambilan sampel sedimen dan vegetasi Avicennia marina 15 Analisis sampel di laboratorium
1
68 68 69 69 70 71 72 72 73 74 75 75 77 78 79
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim menjadi isu yang berkembang dengan cepat dan mempengaruhi kebijakan global dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Perubahan iklim merupakan perubahan pada unsur-unsur iklim, baik karena variabilitas alam atau akibat aktifitas manusia dalam kurun waktu yang panjang (IPCC 2001). Perubahan iklim disebabkan oleh parameter iklim yang berubah, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi antara jangka waktu lima puluh sampai seratus tahun. Perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan antropogenik melalui pemakaian bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan. Perubahan iklim menyebabkan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi yang dipicu oleh kenaikan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer seperti karbondioksida (CO2) dan metana (CH4) sehingga terjadi pemanasan global. Pemanasan global terjadi akibat adanya efek rumah kaca karena menyerap cahaya infra-merah yang dipantulkan balik oleh bumi dari matahari. Panas yang terperangkap ini selanjutnya menyebabkan peningkatan suhu bumi (Widiatmaka 2013). Robert (2011) dalam Widiatmaka (2013) menyatakan bahwa gas CO2 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap efek rumah kaca. Konsentrasi CO2 di atmosfer ditambah dengan kemampuan memanaskannya maka CO2 memberikan sumbangan sekitar 55%. Komponen GRK lain yang mengisi atmosfer adalah metana sebanyak 17%, nitrat oksida 7%, dan gas-gas lain termasuk chlorofluorocarbon (CFC) sebesar 21%. Karbondiokasida juga memiliki peranan penting dalam kaitannya dengan siklus karbon. Karbon di atmosfer digunakan dalam proses fotosintesis untuk membuat bahan makanan baru bagi tanaman. Secara global. Hal tersebut merupakan transfer karbon secara besarbesaran dari atmosfer ke bagian lain, yaitu tanaman. Proses fotosintesis ini dapat menyerat 120 PG C/tahun dari atmosfer dan kurang lebih 610 PGC dapat disimpan dalam tanaman dalam kurun waktu tertentu. Selain dalam proses fotosintesis, karbon di dunia juga tersimpan dalam beberapa kantong karbon (carbon pool), diantaranya kerak bumi, laut, atmosfer, dan ekosistem darat (terestrial). Karbon di atmosfer merupakan kantong karbon yang memiliki peran paling penting dalam menjaga kestabilan suhu bumi karena karbon di atmosfer sangat peka terhadap perubahan. Kepekaan tersebut akan berimbas pada efek rumah kaca dan perubahan iklim. Karbon yang tersimpan di atmosfer sebanyak 750 PGC sedangkan karbon yang tersimpan pada kerak bumi, laut, dan ekosistem darat berturut-turut sebesar 1x108 PGC, 3.8x104 PGC, dan 1.5x103 PGC. Selain di atmosfer, simpanan karbon yang tak kalah penting berada pada ekosistem darat karena akan mempengaruhi laju percepatan emisi karbon ke atmosfer jika tidak dijaga dengan baik. Perubahan sedikit saja terutama jumlah yang diemisikan lebih besar dibandingkan yang tersimpan akan mempengaruhi suhu permukaan bumi dan pada akhirnya kebijakan global juga akan berubah. Berbeda dengan karbon pada kerak bumi dan lautan yang lebih banyak tersimpan di bagian dasar sehingga potensi penyimpanannya lebih besar dibandingkan pelepasannya karena berada pada kedalaman yang tinggi (dasar kerak bumi dan lautan). Terkait hal tersebut pada pertemuan COP (Conferences of The Parties) 15
2
UNFCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) di Copenhagen pada Desember 2009, Indonesia mengumumkan komitmennya untuk mengurangi emisi karbon hingga 26% sampai tahun 2020 dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional. Komitmen Indonesia tersebut tertuang dalam Pepres Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Perpres Nomor 71 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Pertimbangan untuk menurunkan GRK didasarkan kepada posisi geografis Indonesia yang sangat rentan terhadap berbagai bencana diantaranya diakibatkan oleh perubahan iklim. Berbagai bencana tersebut sudah dirasakan oleh masyarakat yang berada di daerah pesisir terutama kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut merupakan ancaman yang paling berbahaya karena menyebabkan peningkatan potensi banjir rhob dan erosi pantai. Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) merupakan kawasan lindung seluas 30 ha dan sebagian besar wilayahnya merupakan hutan mangrove. Ancaman paling tinggi bagi keberadaan hutan mangrove disana adalah kenaikan muka air laut. Hasil analisis Sualia (2011) menunjukkan bahwa pada kenaikan air laut setinggi 50 cm maka kawasan CAPD akan terendam kurang lebih seluas 10 ha. Ancaman kenaikan muka air laut akan sangat dirasakan ketika musim angin barat (sekitar bulan Januari-Maret) karena kawasan pesisir CAPD akan mengalami penggerusan dan luasannya sedikit demi sedikit berkurang. Padahal, hutan mangrove disana memberikan banyak manfaat bagi kesatuan ekosistem mangrove, diantaranya sebagai benteng pertahanan pesisir dan habitat berbagai keanekaragaman hayati, khususnya burung air. Jika keberadaan ekosistem mangrove di CAPD terganggu maka ketahanan pesisir terhadap berbagai bencana perubahan iklim akan berkurang. Berdasarkan pengalaman yang terjadi hampir setiap tahun, pada tahun 2011, masyarakat dan Kelompok Pecinta Alam Pesisir Pulau Dua (KPAPPD) bekerja sama dengan Wetlands International Indonesia (WII) dan Yayasan Lahan Basah Indonesia (YLBI) mulai membuat perangkap sedimen untuk melindungi keberadaan ekosistem mangrove di CAPD dari ancaman kenaikan muka air laut. Perangkap dibuat untuk melindungi pesisir CAPD dan hutan mangrove yang tumbuh disana. Selain itu, pemasangan perangkap sedimen secara tidak langsung akan melindungi ekosistem yang berada di belakang CAPD seperti kawasan tambak dan pemukiman. Perangkap sedimen yang dibuat mengalami beberapa kali perubahan karena berbagai alasan terutama disebabkan oleh kejadian alam. Awalnya, perangkap sedimen dibuat dari jaring ikan namun tidak bertahan lama karena hanyut terbawa gelombang. Selanjutnya, perangkap sedimen dibuat dari pagar bambu. Pagar tersebut menyerupai benteng yang bersifat permeabel sehingga air laut dapat keluar masuk ketika terjadi pasang dan surut sehingga proses fisiologi pada hutan mangrove tetap terjadi. Teknik tersebut cukup berhasil sehingga banyak sedimen yang terperangkap dan mulai ditumbuhi oleh vegetasi Avicennia marina secara alami sekitar tahun 2012. Untuk melindungi vegetasi mangrove yang tumbuh, perangkap sedimen kemudian dipagari dengan karung berisi pasir. Hasil dari pemasangan perangkap sedimen menunjukkan bahwa kondisi pesisir CAPD mulai terlindungi dan sedimen disana mulai stabil. Ketika musim angin barat datang maka sedimen atau tanah timbul berupa lumpur yang berada di
3
pesisir tidak ikut tergerus gelombang. Selain itu, hutan mangrove yang berada di CAPD juga ikut terlindungi. Dampak lain yang dirasakan dari tanah timbul yang sudah stabil tersebut mulai ditumbuhi vegetasi Avicennia marina secara alami. Dampak tidak langsung yang dirasakan dari pemasangan perangkap sedimen berupa jasa lingkungan, yaitu sejumlah karbon yang berasal dari vegetasi mangrove dan sedimen yang terperangkap mulai tersimpan. Hasil penelitian Donato et al. (2012) menunjukkan bahwa ekosistem mangrove merupakan salah satu hutan yang menyimpan karbon paling tinggi di kawasan tropis, yaitu sekitar 1.023 Ton C/ha atau setara dengan 3.751 Ton CO2/ha. Hasil tersebut diperoleh dari pengukuran biomassa pohon, kayu mati, dan kandungan karbon tanah di 25 hutan mangrove sepanjang kawasan Indo-Pasifik. Sumber karbon ekosistem mangrove di Indo-Pasifik dua kali lebih tinggi dibandingkan hutan dataran tinggi di daerah tropis dan sub-tropis. Page et al. (2010) dan Hooijer et al. (2006) dalam Kauffman dan Donato (2012) menyatakan bahwa proporsi terbesar dari sumber karbon ini berasal dari karbon di bawah permukaan tanah (belowground). Tanah yang terdapat pada ekosistem mangrove kaya akan bahan organik dan sangat rentan melepaskan GRK jika terganggu. Jika mereka terdegradasi maka akan berpotensi mengemisikan karbon. Deforestasi mangrove diperkirakan menyebabkan emisi sebesar 0.02-0.12 Pg karbon/tahun yang setara dengan 10% emisi dari deforestasi global. Sampai saat ini, penelitian mengenai simpanan karbon organik pada ekosistem mangrove di area perangkap sedimen belum pernah dilakukan. Berbagai penelitian simpanan karbon lebih banyak berada pada kawasan inti mangrove baik pada vegetasinya saja maupun pada sedimennya saja secara terpisah. Isu penelitian simpanan karbon pada area perangkap sedimen sangat menarik dikarenakan oleh tujuan utama dari pemasangan adalah untuk melindungi hutan mangrove dan pesisir di CAPD. Namun, pada akhirnya pemasangan perangkap sedimen tersebut memberikan manfaat penting lainnya berupa jasa lingkungan yang dapat membantu dalam mengurangi emisi GRK secara langsung dan secara tidak langsung membantu pemerintah RI merealisasikan komitmennya mengurangi emisi GRK global. Informasi yang dihasilkan dapat menjadi kajian baru bagi ilmu pengetahuan dalam rangka upaya pengurangan emisi GRK sekaligus mitigasi perubahan iklim di wilayah pesisir. Selain itu, informasi yang dihasilkan dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan kegiatan rehabilitasi di daerah pesisir menggunakan teknik yang sama dengan kondisi lingkungan yang menyerupai Teluk Banten dengan manfaat yang lebih besar.
Perumusan Masalah Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) merupakan kawasan lindung yang tengah dipertahan keberadaannya. Beberapa tahun terakhir sejak terjadinya perubahan iklim ancaman kenaikan muka air laut mulai terjadi di kawasan pesisir CAPD. Ancaman tersebut dapat mengganggu keberadaan dan kelangsungan mata rantai kehidupan pada ekosistem mangrove disana. Masyarakat dan beberapa LSM disana melakukan upaya perlindungan pesisir dengan memasang perangkap sedimen dari jaring ikan pada tahun 2011 sebagai upaya melakukan perlindungan
4
di sana. Upaya tersebut tidak bertahan lama karena perangkap sedimen dari bahan jaring ikan tidak sanggup menahan gelombang air laut yang tinggi kemudian hilang. Perangkap sedimen selanjutnya dibuat dari bahan bambu yang dipasang menyerupai pagar. Perangkap sedimen dari bambu bersifat permeabel sehingga air laut saat pasang surut dapat keluar masuk areal yang dipasang perangkap sedimen serta hutan mangrove yang berada di CAPD. Upaya tersebut cukup berhasil karena areal pesisir CAPD mulai terlindungi dari ancaman kenaikan muka air laut dan abrasi. Untuk lebih melindungi kondisi tersebut, selanjutnya perangkap sedimen dilindungi oleh karung berisi pasir yang ditumpuk menyerupai benteng. Keuntungan langsung yang dirasakan selama kurun waktu kurang lebih 3 tahun adalah kondisi pesisir CAPD mulai stabil dan sedimen yang terperangkap mulai ditumbuhi vegetasi Avicennia marina secara alami. Kondisi tersebut berpotensi menyimpan sejumlah karbon organik, baik yang berasal dari vegetasi maupun dari sedimen. Keuntungan secara tidak langsung tersebut dapat berkontribusi pada penurunan emisi GRK dimana berdasarkan hasil penelitian Donato et al. (2012), hutan mangrove mampu menyimpan karbon 8-10 kali lebih tinggi dibandingkan tipe hutan lainnya. Sampai saat ini, penelitian yang berfokus pada perhitungan simpanan karbon organik pada ekosistem mangrove di areal yang dipasang perangkap sedimen belum pernah dilakukan. Penelitian yang telah adalah perhitungan simpanan karbon pada vegetasi mangrove jenis tertentu (aboveground carbon) dan karbon tanah secara terpisah (belowground carbon). Oleh karena itu, isu ini menarik jika diteliti karena diharapkan dapat menjadi informasi baru bagi ilmu pengetahuan. Selain itu, hasil yang diperoleh diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim terutama yang berhubungan dengan perlindungan pesisir dan ekosistem mangrove (Gambar 1), Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan penelitian dianataranya adalah 1. Berapa jumlah total simpanan karbon (karbon vegetasi Avicennia marina dan sedimen) di area perangkap sedimen? 2. Bagaimana persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon Avicennia marina yang tumbuh di area perangkap sedimen? 3. Bagaimana strategi pengelolaan perangkap sedimen agar sedimen yang terperangkap dan vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian tetap terjaga?
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya maka tujuan dari penelitian adalah: 1. Menghitung jumlah total simpanan karbon organik (karbon vegetasi Avicennia marina dan sedimen) di area perangkap sedimen. 2. Menentukan persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon Avicennia marina yang tumbuh di area perangkap sedimen. 3. Menentukan strategi pengelolaan perangkap sedimen agar sedimen yang terperangkap dan vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian tetap terjaga.
5
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi: 1. Ilmu pengetahuan dengan memberikan referensi pendugaan dan kuantifikasi cadangan karbon melalui pengembangan persamaan alometrik dan melengkapi varian persamaan alometrik yang belum terakomodasi pada persamaan alometrik yang tersedia saat ini. 2. Masyarakat dengan memberikan pemahaman akan pentingnya ekosistem mangrove terhadap ketahanan pesisir. 3. Pemerintah dan pihak terkait dengan memberikan referensi data dan informasi simpanan karbon pada ekosistem mangrove khususnya di area perangkap sedimen, memberikan pembelajaran pengetahuan lokal yang aplikatif, dan memberikan dampak penting pagi pengembangan kebijakan.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian mencakup perhitungan simpanan karbon organik pada ekosistem mangrove di area perangkap sedimen pesisir CAPD Banten.
6
Simpanan karbon organik yang dihitung berasal dari vegetasi Avicennia marina yang tumbuh alami dan sedimen/lumpur yang terjerap disana. Informasi mengenai simpanan karbon vegetasi ditunjang oleh informasi hasil pencarian persamaan alometrik untuk menduga nilai biomassa dan massa karbon dari Avicennia marina. Hasil penelitian yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk mencari strategi paling baik untuk menjaga perangkap sedimen tersebut agar tetap dapat melindungi pesisir secara umum dan menjaga sedimen serta vegetasi Avicennia marina agar tetap baik secara khusus.
2 TINJAUAN PUSTAKA Mangrove Kata mangrove berasal dari mangue (bahasa Portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau hutan kecil. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati zona intertidal dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut (Moore 1977 dalam Kordi 2012). Menurut Kartawinata (1979) dalam Setyawan et al. (2003) hutan mangrove dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai hutan bakau. Padahal, bakau adalah nama generik anggota genus Rhizophora (Widodo 1987 dalam Setyawan et al. 2003). Hutan mangrove merupakan sebuah sistem yang sangat produktif terdiri dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang beradaptasi dengan kehidupan di sepanjang pantai. Mereka mengekspor sejumlah detritus yang membantu kelangsungan hidup ekosistem lepas pantai (Snedaker dan Brown 1981). Komunitas mangrove terdiri atas tumbuhan, hewan, dan mikroba namun tumbuhan memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup komunitas ini. Mangrove tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Kordi 2012). Mangrove banyak dijumpai di daerah pesisir yang terlindungi dari gempuran ombak dan di daerah yang landai. Mereka tidak akan tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut yang kuat. Hal tersebut disebabkan oleh pada lokasilokasi tersebut sulit terjadi pengendapan lumpur dan pasir yang akan menjadi substrat tempat pertumbuhan mangrove. Mangrove akan tumbuh subur di daerah muara sungai atau estuari yang merupakan daerah tujuan akhir berbagai partikel organik maupun endapan lumpur yang terbawa dari hulu akibat adanya erosi (Gunarto 2000 dalam Kastolani dan Setiawan 2013). Tumbuhan mangrove diperkirakan berasal dari Indo-Malaysia yang merupakan kawasan pusat keanekaragama mangrove dunia. Mangrove kemudian tersebar ke barat hingga ke India dan Afrika Timur dan ke timur hingga ke Amerika dan Afrika Barat. Penyebaran mangrove ke arah timur disertai penyebarannya ke bagian utara hingga ke Jepang dan bagian selatan hingga ke Selandia Baru. Walsh (1974) dalam Setyawan et al. (2003) membagi mangrove menjadu dua bagian besar, yaitu mangrove di kawasan Indo-Pasifik Barat yang meliputi wilayah Asia, India, Afrika Timur dan mangrove di kawasan AmerikaAfrika Barat. Mangrove yang berada di kawasan Indo-Pasifik Barat lebih beragam
7
karena terdiri dari lebih dari 40 spesies sedangkan yang berada di kawasan Atlantik hanya berjumlah 12 spesies. Ekosistem mangrove di wilayah Indonesia terpencar di beberapa daerah dan lebih banyak terpusat di Papua. Di Indonesia, mangrove tumbuh pada berbagai substrat, seperti lumpur, pasir, terumbu karang, dan kadang kala tumbuh pada batuan. Namun, substrat mangrove yang paling baik adalah pantai berlumpur yang terlindung dari gelombang dan selalu mendapat pasokan air tawar (Setyawan et al. 2003). Substrat akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove dan juga zonasi. Zonasi pada mangrove dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu gelombang yang menentukan frekuensi genangan, salinitas yang berkaitan dengan osmosis mangrove, substrat, pengaruh darat, dan keterbukaan terhadap gelombang yang menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan (Sukardjo 1993 dalam Kordi 2012). Menurut Watson (1928) dalam Anwar et al. (1984) dalam Kordi (2012) menyebutkan bahwa zonasi mangrove dibagi menjadi lima kategori berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu (1) Zona yang paling dekat dengan laut banyak ditumbuhi oleh Avicennia dan Sonneratia, (2) Zona selanjutnya berada pada substrat yang sedikit lebih tinggi banyak ditumbuhi Bruguiera cylindrica, (3) Zona ketiga yang lebih mengarah ke daratan banyak dihuni oleh Rhizophora, Bruguiera parviflora, dan Xylocarpus granatum, (4) Zona terakhir yang berada semakin dekat dengan daratan banyak dihuni oleh jenis Bruguiera gymnorrhiza, (5) Zona peralihan ke arah daratan biasanya banyak djumpai jenis Lumnitzera racemosa, Xylocarpus moluccencis, Intsia bijuga, Ficus retusa, rotan, pandan dan nibung pantai, serta Oncosperma tigillaria, Mangrove memiliki manfaat dan peran dalam kaitannya dengan ekologi dan sosial ekonomi. Fungsi mangrove secara ekologi diantaranya menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi mangrove yang tidak kalah penting adalah untuk sekuestrasi karbon, membentuk daratan baru, menjaga kealamian habitat, sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk tempat mencari makan, sumber keanekaragaman biota akuatik dan non akuatik, serta sumber plasma nutfah. Secara sosial ekonomi, mangrove memiliki manfaat sebagai bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto 2004). Ekosistem mangrove juga memiliki memiliki manfaat berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu, bahan pangan, sumber obat-obatan, kawasan wisata, pengambangan ilmu dan teknologi, serta akuakultur.
Mangrove Jenis Avicennia marina Menurut Duke et al. (2008), Avicennia marina termasuk Kingdom Plantae, Filum Thacheophyta, Kelas Magnoliopsida, Ordo Lamiales, Keluarga Avicenniaceae, Genus Avicennia, dan Jenis Avicennia marina (Forsk) Vierh. Menurut Yusuf (2010), Avicennia marina dikenal dengan sebutan pohon Api-api (Jawa), pohon Prapat (Bali), dan Kayu Api Betina (Sumatera Selatan). Avicennia marina banyak ditemukan dalam ekosistem mangrove yang berada paling luar atau paling dekat dengan lautan. Jenis ini hidup dalam substrat berpasir, tanah berlumpur agak lembek atau dangkal, sedikit mengandung bahan organik, dan
8
berkadar garam tinggi (Afzal et al. 2011). Jenis ini merupakan kosmopolitan yang terdistribusi luas di daerah pesisir tropis dan subtropis. Afrika, Asia, Amerika Selatan, Australia, Polynesia, dan Selandia baru merupakan wilayahwilayah yang banyak ditemui jenis Avicennia marina. Avicennia marina merupakan pohon yang tumbuh tegak ataupun menyebar dan dapat mencapai ketinggian 30 meter. Jenis ini memiliki perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk menyerupai pensil. Bandaranayake (1999) menyebutkan bahwa daun Avicennia marina tumbuh berhadap-hadapan, bertangkai, berbentuk bulat telur terbalik, dan ujungnya tumpul serta memiliki pangkal yang rata. Bagian atas permukaannya ditutupi bintik-bintik kelenjar yang berbentuk cekung. Bagian bawah daunnya berwarna putih yang bercampur dengan warna abu-abu muda. Selain itu, daunnya berbentuk elips, bulat memanjang, dan bulat telur terbalik dengan ujung meruncing sampai menyerupai bentuk bulat (Noor et al. 2006). Batangnya mengeluarkan getah dan memiliki rasa yang pahit. Kulit kayunya memiliki warna hijau keabu-abuan dan terkelupas sedangkan ranting muda serta tangkainya memiliki warna kuning muda dan tidak berbulu. Bunganya berwarna kuning dengan kelopak bunga pendek dan pucat (Bandaranayake 1999). Noor et al. (2006) menjelaskan bahwa bunganya menyerupai trisula dan bergerombol. Bunga ini muncul di bagian tandan, berbau menyengat, dan memiliki nektar yang banyak. Buahnya berbentuk kotak, berkatup, berbiji dan berkecambah sebelum rontok (Bandaranayake 1999). Avicennia marina memiliki beberapa manfaat, diantaranya sebagai obat untuk kulit terbakar. Resin yang keluar dari kulit kayunya digunakan sebagai alat kontrasepsi. Buahnya dapat dimakan dan kayunya dapat digunakan sebagai bahan kertas yang memiliki kualitas tinggi. Selain itu, daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
Sedimen Sedimen pada ekosistem mangrove merupakan padatan tersuspensi yang masuk ke area pesisir melalui muara sungai, pengerukan material, dan resuspensi sedimen bagian bawah oleh gelombang dan kapal-kapal (Holeman 1968, Laronne dan Mosley 1982, Wolanski 1994 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996). Mekanisme sedimentasi pada area mangrove didominasi oleh proses hidrodinamik yang merupakan bagian dari proses biologi berlawanan di daerah lepas pantai (Ayukai dan Wolanski 1996 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996). Proses hidrodinamik terdapat arus sungai yang berlawanan dan sirkulasi baroklinik serta kerusakan yang disebabkan oleh flok (Gibbs 1985, Woodroffe 1985, Dyer 1986, Wolanski et al. 1988, Wolanski 1995, Wolanski et al. 1995, Wolanski dan Gibbs 1995, Mazda et al. 1995 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996). Sedimen pada ekosistem mangrove menjadi tempat akar-akar mangrove tumbuh. Karakteristik sedimen yang baik akan menentukan jumlah tegakan mangrove yang dapat tumbuh dan berkembang disana. Faktor arus ketika kondisi pasang dan surut sangat mempengaruhi terbentuknya sedimen. Arus menentukan ukuran partikel yang terendapkan. Hal tersebut dikarenakan ketika kondisi pasang surut yang tinggi maka pengendapan partikel debu dapat
9
terhambat. Ketika pasang, ombak akan membawa partikel debu ke daerah belakang mangrove dan ketika surut maka berbagai partikel tersebut akan tertarik kembali bersama dengan air laut yang tertarik ke laut. Partikel pasir akan terlebih dahulu mengendap karena ukurannya jauh lebih besar. Arus yang kuat akan mempertahan partikel dalam suspensi lebih lama dibandingkan arus yang lemah. Selain faktor arus, faktor letak dan lokasi kawasan mangrove juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terbentuknya substrat (Arif 2003 dalam Indah et al. 2009). Pada umumnya, sedimen terdiri dari unsur pasir, liat, dan debu. Perpaduan liat dan debu akan menghasilkan tekstur sedimen yang baik sedangkan debu yang bercampur dengan liat dan pasir akan menghasilkan lumpur. Menurut Keersebilck (1983) dalam Indah et al. (2009), tanah-tanah pada hutan mangrove merupakan tanah yang belum matang. Tanah mangrove dicirikan dengan aluvial hidromorf atau tanah liat laut yang merupakan hasil endapan. Endapan terbentuk di air yang tenang dan memiliki struktur tanah yang sama sekali belum berkembang dan masih memiliki konsistensi lumpur yang sangat lembek. Endapan tersebut mengandung banyak sekali partikel zat padat yang terbawa dari aliran sungai menuju laut dan berlangsung secara lambat. Agregasi butir tanah yang mudah terurai atau terdispersi oleh air menyebabkan tanahnya menjadi berlumpur.
Perangkap Sedimen Perangkap sedimen merupakan sebuah alat yang digunakan untuk melindungi garis pantai dan ekosistem pesisir yang bersifat alami maupun buatan. Masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai alat pemecah ombak (APO). Perangkap sedimen banyak digunakan untuk melindungi pesisir dan ekosistem mangrove karena pada awalnya alat ini banyak digunakan untuk memecah gelombang laut agar kekuatannya lebih kecil ketika sampai ke daratan. Gelombang yang datang dari laut lepas akan mengalami difraksi dan refleksi setelah mengenai perangkap sedimen ini. Ketika gelombang yang terdifraksi datang maka kemungkinan sedimen akan terbawa ke daerah yang terlindungi. Sementara itu, ketika galombang terefleksi maka energi gelombang akan berkurang karena mengenai perangkap sedimen atau APO ini (Yulistiyanto 2009). Perangkap sedimen yang bersifat alami diantaranya mangrove. Melalui perakaran mangrove, sedimen tersuspensi masuk ke area pesisir melalui aliran sungai lalu terjadi pengerukan material dan terjadi resuspensi sedimen bawah permukaan melalui ombak (Holeman 1968, Laronne dan Mosley 1982, Wolanski 1994 dalam Fukurawa dan Wolanski 1996). Hutan mangrove juga diyakini memiliki posisi yang cukup penting sebagai penjerap sedimen tersuspensi. Mekanisme penjerapan sedimen disebabkan oleh mikro turbulensi yang tinggi dan ditimbulkan oleh aliran pasang surut di sekitar vegetasi mangrove. Penjerapan sedimen akan meningkatkan luasan habitat mangrove. Sistem perakaran dan batang yang berada di atas tanah akan meningkatkan proses pengendapan sedimen (Fukurawa dan Wolanski 1996 dalam Adame et al. 2010). Perangkap sedimen buatan biasanya dibuat sengaja oleh manusia sebagai bagian dari perlindungan garis pantai. Perangkap sedimen buatan terbagi menjadi
10
dua macam berdasarkan strukturnya, yaitu struktur keras (hard structure) dan struktur lunak (soft structure). Perangkap sedimen berstruktur keras terbuat dari bahan keras, seperti semen, beton, batu, dan sebagainya. Jenis ini ini dibuat sebagai benteng perlindungan garis pantai dari abrasi air laut. Namun, jenis ini memiliki kekurangan yaitu ketika gelombang laut mengenai alat tersebut maka gelombang akan menjadi lebih besar karena memantul pada struktur keras. Akibatnya, gelombang akan membawa lebih banyak sedimen ke arah laut. Ketika air laut mengalami kondisi pasang surut, sedimen yang terbawa ke laut tidak akan terbawa kembali ke pantai karena terhalang oleh struktur keras tersebut. Hamparan lumpur akan menjadi curam, membentuk cekungan dan bertebing (Gambar 2).
Gambar 2 Contoh perangkap sedimen dengan struktur keras (LGF Team 2012)
Gambar 3 Penjerapan sedimen menggunakan perangkap sedimen berstruktur lunak (Winterwerp et al. 2014) Perangkap sedimen berstruktur lunak mulai banyak dikembangkan karena kemampuannya bekeja sama dengan alam. Perangkap jenis ini terbuat dari bahan alami seperti kayu, bambu, karung yang diisi pasir, dan sebagainya (Gambar 3). Perangkap sedimen jenis ini memiliki konsep bekerja bersama dengan alam dan tidak melawan sistem kerja alam. Teknologi yang digunakan biasanya lebih
11
sederhana berdasarkan informasi kearifan lokal setempat dan dibantu oleh perkembangan ilmu pengetahuan terkini. Struktur ini mengadopsi sistem kerja perakaran mangrove yang permeabel sehingga dapat dilalui air dan padatan tersuspensi berupa sedimen. Teknologi ini sudah berhasil diterapkan di rawa-rawa negara Belanda dan Jerman. Sistem kerja alat ini adalah mengembalikan sedimen yang terbawa ke laut. Agitasi dasar laut (ditunjukkan dengan tanda panah yang menunjuk pada lingkaran) untuk meningkatkan konsentrasi sedimen di bagian depan. Konstruksi biasanya dibuat tipis dan sempit di atas sedimen sehingga gelombang dapat dipecah dan energinya berkurang (Winterwerp et al. 2014).
Biomassa dan Massa Karbon Mangrove Biomassa dan massa kabon merupakan dua unsur penting yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Biomassa sebagian besar terdiri atas karbon (C), yaitu sebanyak 45-50% bahan kering tanaman (Brown 1997). White dan Olasket (1981) menyatakan bahwa biomassa tersusun terutama oleh senyawa penyusun karbohidrat yang terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H), dan oksigen (O) yang dihasilkan melalui proses fotosinstesis tanaman. Tumbuhan melalui proses fotosintesis menyerap CO2 di udara kemudian mengubahnya menjadi karbohidrat yang akan disebarkan ke seluruh bagian tumbuhan dan akhirnya ditimbun dalam daun, batang, ranting, bunga, dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tumbuhan dinamakan proses sekustrasi (C-Sequestration). Oleh karena itu, pengukuran C yang tersimpan pada bagian tubuh tumbuhan yang berupa biomassa menggambarkan banyaknya karbondioksida (CO2) di atmosfer yang diserap oleh tumbuhan tersebut. Sedangkan pengukuran C yang tersimpan pada bagian tumbuhan yang telah mati (nekromas) menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Karbon pada tanaman akan terdistribusi menjadi dua bagian, yaitu karbon yang akan menjadi energi untuk proses fisiologis tanaman dan karbon yang akan masuk ke dalam struktur tumbuhan dan menjadi bagian dari tumbuhan. Biomassa terbagi menjadi dua kategori, yaitu biomassa yang berada di atas tanah (batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah) dan biomassa di bawah tanah (akar). Biomassa sendiri diartikan sebagai jumlah total bahan organik yang hidup terdapat pada pohon dan dinyatakan dalam berat kering oven per unit area, misalnya ton/ha (Brown 1997). Jumlah biomassa ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah diameter, tinggi tanaman, kerapatan kayu, dan kesuburan tanah (Kusmana et al. 1992 dalam Heriyanto dan Subiandono 2012). Pada hutan mangrove, jumlah biomassa sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim yang meliputi curah hujan dan suhu udara (Kusmana et al. 1992). Jumlah biomassa pada hutan tersebut akan mempengaruhi jumlah simpanan karbonnya. Pada hutan mangrove, simpanan karbon terdistribusi pada empat kantong karbon, yaitu biomassa atas permukaan (aboveground), biomassa bawah permukaan (belowground), bahan organik mati, dan karbon organik tanah. Hairiah dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa C tersimpan pada tiga komponen pokok, yaitu: a) Biomassa. Biomassa merupakan masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yang terdiri dari tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma, dan
12
tanaman semusim. b) Nekromas. Nekromas merupakan masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daundaunan yang telah gugur (serasah) yang belum terlapuk. c) Bahan organik tanah. Bahan organik tanah terdiri dari sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikelnya biasanya lebih kecil dari 2 mm. Mangrove sebagai salah satu ekosistem kunci dalam mitigasi perubahan iklim melalui penurunan laju deforestasi dapat dimanfaatkan sebagai penyimpan karbon (Kauffman et al. 2011 dalam Gang Wang et al. 2013). Ekosistem ini secara ekologis berbeda dan memiliki simpanan karbon yang bervariasi (Kristense et al. 2008 dalam Gang Wang et al. 2013). Menurut Donato et al. (2012) dalam Tai Tue et al. (2014), hutan mangrove dapat menyimpan sampai 1.023 Mg C/ha yang merupakan penyerap karbon paling penting di daerah tropis. Studi terbaru menunjukkan bahwa simpanan karbon pada hutan mangrove 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan hutan terestrial (Adame et al. 2013; Donato et al. 2011; dan Kauffman et al. 2011 dalam Tai Tue et al. 2014). Pengukuran biomassa dan massa karbon dapat dilakukan melalui beberapa cara, Sutaryo (2009) menyebutkan bahwa perkiraan biomassa dapat dilakukan melalui empat pendekatan, yaitu: a) Sampling dengan pemanenan. Metode ini dilakukan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akar kemudian mengeringkan dan menimbang berat biomassanya. Metode ini relatif akurat namun cukup mahal dan memakan waktu. b) Sampling tanpa pemanenan. Metode ini dilakukan tanpa melakukan pemanenan bagian tumbuhan, yaitu dengan mengukur tinggi dan/ atau diameter pohon menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa. c) Pendugaan melalui penginderaan jauh. Penggunaan metode ini tidak dianjurkan terutama untuk kegiatan skala kecil. Hal tersebut dikarenakan teknologi ini relatif mahal dan membutuhkan keahlian khusus yang tidak semua orang dapat melakukannya. d) Pembuatan model. Model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengen frekuensi dan intensitas pengamatan in-situ atau penginderaan jauh yang terbatas. Model empiris ini berdasarkan pada jaringan dari sampel plot yang diukur berulang sehingga memiliki estimasi biomassa yang telah menyatu melalui persamaan alometrik yang dapat dikonversi menjadi biomassa (Australian Greenhouse Office 1999 dalam Sutaryo 2009).
Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa dan Massa Karbon pada Mangrove Model alometrik merupakan hubungan antara pertumbuhan dan ukuran salah satu bagian organisme dengan pertumbuhan atau ukuran dari keseluruhan
13
organisme. Model alometrik yang dibangun berupa persamaan alometrik yang menggambarkan hubungan diameter dan tinggi pohon dengan berat kering keseluruhan (biomassa). Komiyama et al. (2005) dalam Santos et al. (2014) menyatakan bahwa metode alometrik yang menggunakan persamaan alometrik untuk menduga sebagian atau seluruh biomassa dari pohon menggunakan perhitungan dimensi yaitu diameter setinggi dada/ diameter breast high (DBH) dan tinggi pohon. Secara umum, persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbon adalah Y = a + bx. Nilai Y merupakan nilai biomassa atau massa karbon yang diukur, x adalah parameter dari yang diukur baik berupan diameter dan/atau tinggi tumbuhan, a adalah nilai perpotongan sumbu vertikan Y, dan b adalah kemiringan (slope) atau koefisien regresi. Berbagai persamaan alometrik untuk menduga biomassa pada veegtasi mangrove disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 No
Berbagai persamaan alometrik untuk menduga biomassa vegetasi mangrove Persamaan
Jenis
Lokasi
1
AGB = 0.140 DBH2.40
Avicennia germinans
French Guyana
2
AGB = 0.140 DBH2.54
Avicennia germinans
Guadeloupe, French Antilles
3
AGB = 0.102 DBH2.50
Laguncularia racemosa
French Guyana
4
AGB = 0.209 DBH2.24
Laguncularia racemosa
5
AGB = 1.178 DBH2.47
Rhizophora granatum
6
AGB = 0.0823 DBH
7
8
2.59
Guadeloupe, French Antilles Guadeloupe, French Antilles
Sumber Fromard et al. (1998)* Imbert dan Rollet (1989)* Fromard et al. (1998)* Imbert dan Rollet (1989)* Imbert dan Rollet (1989)* Clough dan Scott (1989)*
Xylocarpus granatum
Australia Barat
AGB = 0.251ρ DBH2.46
Umum
Hutan tropis di Amerika, Asia, dan Oseania
Komiyama et al. (2005)
AGB = ρ (exp(-1.349+1.980 Ln(DBH)+0.207(Ln(D))20.028(Ln(dbh))3)
Umum
Asia Barat Daya
Chave et al. (2005)
Dharmawan dan Siregar (2008) Dharmawan 10 BGB = 0.1628 (DBH)1.7939 Avicennia marina Indonesia dan Siregar (2008) Dharmawan 11 Btotal = 0.2905 (DBH)2.2598 Avicennia marina Indonesia dan Siregar (2008) Komiyama et 12 AGB = 0.251 ρ (D)2.45 Rhizoporaceae South-East Asia al. (2005) *Sumber Mitra dan Zaman (2015), AGB = Above Ground Biomassa (biomassa di atas tanah), BGB = Below Ground Biomassa (biomassa di bawah tanah). 9
AGB = 0.1848 (DBH)2.3524
Avicennia marina
Indonesia
3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan selama delapan bulan, mulai dari bulan Februari sampai dengan September 2015. Kegiatan penelitian dilaksanakan di tiga tempat, yaitu:
14
a. Pesisir
Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) Banten yang ditumbuhi mangrove atau lebih tepatnya di area perangkap sedimen. b. Laboratorium Kayu dan Kimia Hasil Hutan-Fakultas Kehutanan IPB dan c. Laboratorium Kimia-Balai Penelitian Tanah.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian adalah global positioning system (GPS), kantong plastik berbagai ukuran, golok, karung, timbangan, kalkulator, drone, bor tanah, oven, cawan porselen, tally sheet, meteran, alat tulis, kamera, peralatan laboratorium, dan perangkap sedimen yang sudah dipasang sejak tahun 2011, yaitu perangkap sedimen dari jaring ikan (Gambar 4), perangkap sedimen dari pagar bambu (Gambar 5), dan perangkap sedimen dari karung berisi pasir (Gambar 6). Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian adalah sedimen (lumpur), vegetasi mangrove Avicennia marina (akar, batang, ranting, dan daun), peta kerja, dan berbagai data sekunder yang mendukung informasi di lokasi penelitian.
Gambar 4 Perangkap sedimen dari jaring ikan (Hasil penelitian 2015)
Gambar 5 Perangkap sedimen dari pagar bambu (Hasil penelitian 2015)
15
Gambar 6 Perangkap sedimen dari karung berisi pasir (Hasil penelitian 2015)
Metode Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data Penelitian Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan dan laboratorium. Data sekunder diperoleh dari penelusuran studi pustaka dan informasi dari berbagai sumber yang terkait dengan penelitian. Data primer yang diambil di lapangan berupa dimensi pohon (diameter batang setinggi dada/Diameter Breast High (DBH) dan tinggi total pohon) dan informasi mengenai bagian-bagian dari Avicennia marina (akar, batang, cabang, dan daun) yang meliputi berat basah di lapangan, berat kering tanur (BKT) sebagai nilai biomassa, kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, persentase karbon organik, dan kandungan massa karbonnya. Informasi mengenai sedimen yang diambil meliputi bulk density (BD), berat basah di lapangan, berat kering tanur (BKT) sebagai nilai biomassa, kadar air, persentase karbon organik, kandungan massa karbon, dan serapan karbondioksida (CO2). Data sekunder yang diambil meliputi kondisi arus, pasang surut, dan kondisi umum lokasi penelitian, serta berbagai informasi pendukung lainnya yang menunjang informasi penelitian terutama yang berkaitan dengan strategi pengelolaan pesisir dan ekosistem mangrove. Pengambilan Sampel Vegetasi Mangrove (Dharmawan dan Siregar 2008) Sampel mangrove jenis Avicennia marina diambil secara langsung (destruktif) dengan cara mencabut seluruh bagian dari pohon, mulai dari akar, batang, ranting, dan daun. Sampel mangrove diambil secara acak berdasarkan kelas ketinggian 0-500 cm, yaitu 0-100 cm, 101-200 cm, 201-300 cm, 301-400 cm, dan 401-500 cm. Sampel dengan kelas ketinggian tertentu diambil sebanyak 5 pohon sehingga total sampel sebanyak 25 pohon. Setiap bagian mangrove yang diambil (akar, batang, ranting, dan daun) ditimbang berat basahnya dan diambil bagian yang akan dianalisis di laboratorium. Metode yang digunakan mengacu pada MacDicken (1999) dalam Dharmawan dan Siregar (2008). Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
16
• •
•
•
Seluruh sampel Avicennia marina yang akan diambil diukur diameter dan tingginya. Avicennia marina yang sudah diukur diameter dan tingginya selanjutnya ditebang dan dipisahkan bagian-bagiannya. Bagian-bagian tersebut ditimbang untuk mengetahui berat basahnya. Sebanyak 200 gram untuk setiap bagian Avicennia marina yang ditebang diambil dan dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk diukur berat keringnya di laboratorium. Nilai berat kering dan basah selanjutnya akan digunakan untuk mencari biomassaa Avicennia marina.
Pengambilan Sampel Sedimen (Kauffman dan Donato 2012) Sampel sedimen diambil pada 12 titik sampling (Gambar 7). Sampel diambil berdasarkan kelas kedalaman, yaitu 0-10 cm, 10-50 cm, 50-100 cm, 100200 cm, 200-300 cm, dan 300-400 cm. Donato dan Kauffman (2012) menyatakan bahwa kedalaman 10-300 cm kaya akan bahan organik sehingga hal tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan sampel. Sampel sedimen yang sudah diambil selanjutnya dibungkus menggunakan alumunium foil dan kantong plastik untuk menghindari kontaminasi mikroba dan penguapan air yang berlebihan. Sampel yang telah dibungkus selanjutnya ditimbang berat basah lapangannya.
Gambar 7 Peta sebaran titik pengambilan sampel sedimen
Metode Analisis Data Pengukuran Massa Karbon Vegetasi Avicennia marina Massa karbon dari vegetasi Avicennia marina diukur melalui beberapa tahapan, diantaranya penghitungan kadar air, biomassa, persen karbon organik (%
17
C-organik) yang terdiri dari dua tahapan; yaitu penentuan kadar zat terbang dan kadar abu, serta yang terakhir adalah penghitungan massa karbonnya. Penentuan kadar air dari Avicennia marina dilakukan dengan memanaskan bagian-bagian dari Avicennia marina, yaitu akar, batang, cabang, dan daun yang sebelumnya sudah disegmentasi. Langkah pertama yang dilakukan adalah memanaskan cawan yang akan digunakan untuk memanaskan bagian-bagian sampel tersebut. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Selanjutnya, cawan tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 gram dari sampel (bagian Avicennia marina) yang akan dihitung kadar airnya dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan ditimbang sebagai berat awal (B0). Setelah itu, sampel di oven selama kurang lebih 3 jam pada suhu 105 oC. Setelah 3 jam, cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang kembali beratnya. Persen kadar air selanjutnya dhitung menggunakan persamaan sebagai berikut: Kadar Air = Dimana:
(𝑩𝟎−𝑩𝑲) 𝑩𝑲
𝒙 𝟏𝟎𝟎%
Kadar Air B0 BK
(Haygreen dan Bowyer 1982).................. (1)
= Kadar air (%) = Berat awal sampel (gram) = Berat kering sampel (gram)
Langkah selanjutnya yang dilakukan dalam menghitung karbon vegetasi Avicennia marina adalah penentuan berat jenis (BJ) sampel. Berat Jenis Avicennia marina diukur berdasarkan hubungan antara berat kering kayu dengan volume awalnya. Volume sampel diukur secara gravimetri dengan menimbang air saja yang dituangkan ke dalam gelas piala dan menimbang air yang ditambahkan potongan kayu dalam gelas piala. Selisih antara berat air dan potongan kayu dengan berat air saja merupakan volume dari kayu tersebut. Sampel yang telah diukur volumenya selanjutnya dikeringkan menggunakan oven selama 2 hari dengan suhu kurang lebih 102 oC hingga diperoleh berat yang konstan. Selanjutnya sampel didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Hasil penimbangan dinyatakan sebagai berat kering tanur (BKT). Oleh karena itu, berat jenis kayu Avicennia marina ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: 𝑩𝑲𝑻 (𝒈𝒓𝒂𝒎)
Berat Jenis (BJ) : 𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝑲𝒂𝒚𝒖 (𝒄𝒎𝟑) ...................................................................... (2) Dimana:
BJ BKT V
= Berat jenis (gram/cm3 ) = Berat kering tanur (gram) = Volume kayu (cm )
Berat Kering Tanur = BKT = Dimana:
𝑩𝑩 𝟏+
%𝑲𝑨 𝟏𝟎𝟎
(Haygreen dan Bowyer 1982) .............. (3)
BKT = Berat kering (gram) BB = Berat basah (gram) %KA = Persen kadar air (%)
Langkah ketiga yang dilakukan adalah menentukan biomassa dari Avicennia marina. Penentuan biomassa dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan metode pengovenan dan pendugaan menggunakan model matematis. Penentuan biomassa dengan metode pengovenan dilakukan dengan cara menimbang seluruh
18
bagian dari Avicennia marina baik batang, cabang, akar, dan daun yang sudah dikeringkan menggunakan oven. Hasil berat kering yang diperoleh merupakan nilai biomassa atau dinyatakan dengan BKT. Biomassa total merupakan hasil dari penjumlahan seluruh biomassa dari setiap bagian pohon. Biomassa total = Ba + Bb + Bc + Bd .............................................................................. (4) Dimana: Ba = Biomassa akar (gram)
Bb Bc Bd
= Biomassa batang (gram) = Biomassa cabang (gram) = Biomassa daun (gram)
Penentuan biomassa menggunakan pendekatan model matematis dihitung berdasarkan hubungan antara biomassa dengan dimensi pohon, yaitu tinggi total dan dimeter setinggi dada. Model penduga biomassa yang dipilih untuk menghitung biomassa Avicennia marina merupakan model penduga yang memiliki nilai R2 paling tinggi dan ragam (s) paling rendah serta validasinya memenuhi kaidah persayaratan. Secara umum, model penduga biomassa Avicennia marina yang digunakan dan perhtungan validasinya adalah: Biomassa (B) = f (DBH dan h) ......................................................................... (5) Dimana:
Biomassa DBH h
= Ton = Diameter setinggi dada orang dewasa (meter) = Tinggi pohon (meter)
Validasi model dilakukan dengan melakukan uji Chi-Square, uji simpangan agregat (SA), uji simpangan rata-rata (SR), dan uji rata-rata bias absolut (MAEj). Uji Chi-square (x2hitung) untuk menguji perbedaan nilai dugaan dengan nilai aktualnya. apabila nilai x2hitung ≤ x2tabel (α, n-1) maka hasil dugaan dianggap signifikan tidak berbeda nyata dari hasil perhitungan sebenarnya. Chisquare dihitung berdasarkan persamaan:
........................................................................................(6) Dengan kaidah keputusan: x2hitung ≤ x2tabel (α, n-1) : Terima H0 x2hitung > x2tabel (α, n-1) : Tolak H0 H0 : Nilai dugaan tidak berbeda nyata dengan nilai aktualnya H1 : Nilai dugaan berbeda nyata dengan nilai aktualnya Uji simpangan agregat (SA) merupakan selisih dari jumlah nilai aktualnya dengan nilai dugaan sebagai proporsional terhadap nilai dugaan. Model alometrik yang baik adalah yang memiliki nilai SA -1 sampai +. Selain SA, uji validasi juga dilakukan dengan menghitung nilai simpangan rata-rata (SR). Nilai SR merupakan jumlah mutlak dari selisih antara jumlah dugaan dengan nilai sebenarnya, proporsional terhadap jumlah nilai dugaan. Nilai SR yang baik tidak melebihi 10%. Nilai SA dan SR dihitung berdasarkan persamaan:
19
.............................................. (7) Uji validasi terakhir adalah melakukan perhitungan rata-rata bias absolut (MAE). Uji ini dilakukan untuk mengetahui ketepatan simpangan suatu nilai dugaan terhadap nilai sebenarnya. Nilai MAE diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan persamaan:
............................................................................................(8) Dimana: MAEj : Mean average error (rata-rata bias absolut) persamaan ke-j (ton/pohon) eij : Simpangan biomassa ke-i dan pada persamaan ke-j Yai : Nilai aktual (ton) Yti : Nilai dugaan (ton) Nj : Jumlah data rumus ke-j Langkah keempat yang dilakukan adalah penentuan persentase karbon organik (% C-organik). Nilai % C-organik dari setiap bagian Avicennia marina diperoleh setelah mengetahui kadar zat terbang dan kadar abunya. Penentuan kadar zat terbang dimulai dengan memotong sampel menyerupai batang korek api untuk bagian akar, batang, dan cabang sementara daun dicincang halus. Sampel yang sudah dipotong selanjutnya dimasukkan ke dalam oven selama 48 jam pada suhu 80 oC. Sampel yang sudah kering selanjutnya digiling dan disaring menggunakan saringan berukuran antara 40-60 mesh. Sampel yang sudah berbentuk serbuk selanjutnya diambil sebanyak 2 gram dan dimasukkan kedalam cawan porselen bertutup. Cawan porselen yang berisi sampel selanjutnya di keringkan di dalam tanur dengan suhu 950 oC selama 2 menit. Setelah 2 menit, sampel didinginkan di dalam deksikator dan ditimbang kembali beratnya. Kadar zat terbang dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: Kadar Zat Terbang =
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 𝒂𝒘𝒂𝒍−𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 𝒂𝒘𝒂𝒍
𝒙 𝟏𝟎𝟎% (ASTM 1990a) ..(9)
Sisa sampel yang digunakan dalam penentuan kadar zat terbang dimasukkan kembali ke dalam tanur selama 6 jam dengan suhu 900 oC. Setelah itu, sampel didinginkan di dalam deksikator dan ditimbang sampai beratnya konstan dan dinyatakan dengan berat kadar abu. Kadar abu dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: Kadar Abu =
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒄𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒖𝒋𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒂𝒃𝒖 𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒄𝒐𝒏𝒕𝒐𝒉 𝒔𝒊𝒔𝒂 𝒖𝒋𝒊 𝒌𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒛𝒂𝒕 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒂𝒏𝒈
𝒙 𝟏𝟎𝟎% (ASTM 1990b) .......... (10)
Setelah kadar zat terbang dan kadar abu diketahui maka persentase karbon organik (% C-organik) dihitung berdasarkan pengurangan kadar zat terbang dan kadar abu yang terdapat dalam sampel (SNI 06-3730-1995). Secara matematis, persentase C-organik disajikan dengan perhitungan sebagai berikut: % C-Organik = 100% - Kadar Zat Terbang – Kadar Abu ........................ (11)
20
Langkah kelima yang dilakukan adalah menentukan massa karbon dari Avicennia marina. Massa karbon dari Avicennia marina dihitung menggunakan dua metode, yaitu metode perhitungan langsung berdasarkan perkalian antara biomassa pohon dengan % C-organik dan perhitungan menggunakan pendekatan model matematis. Persamaan matematis untuk menghitung massa karbon Avicennia marina adalah sebagai berikut: Massa Karbon (C)
= Biomassa x % C-Organik ........................................ (12)
Penghitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan pendekatan model matematis dihitung berdasarkan hubungan antara massa karbon dengan dimensi pohon, yaitu tinggi dan dimeter setinggi dada. Model penduga massa karbon yang dipilih untuk menghitung massa karbon Avicennia marina merupakan model penduga yang memiliki nilai R2 paling tinggi dan ragam (s) paling rendah. Secara umum, model penduga massa karbon Avicennia marina yang digunakan adalah: Massa Karbon (C) Dimana:
= f (DBH dan h) ........................................................... (13)
Massa karbon = Ton DBH = Diameter setinggi dada orang dewasa (meter) h = Tinggi pohon (meter)
Selain nilai karbon, serapan karbondioksida (CO2) yang dapat diambil oleh Avicennia marina juga dihitung. Perhitungan serapan CO2 diperoleh dari hasil konversi kadar karbon yang diperoleh sebelumnya. Nilai serapan CO2 tersebut diperoleh dengan mengalikan kadar karbon dengan rasio berat molekul CO2 terhadap berat molekul C. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: CO2 =
𝐌𝐫 𝐂𝐎𝟐 𝑨𝒓 𝑪
Dimana:
𝒙 𝑲𝒂𝒏𝒅𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒂𝒓𝒃𝒐𝒏 (Dharmawan 2010) ......................... (14) Mr CO2 Ar C
= Berat molekul relatif senyata CO2 (44) = Berat molekul relatif atom C (12)
Pengkuran Karbon Organik Sedimen Karbon organik yang terdapat dalam sedimen diukur melalui tiga tahapan, yaitu penentuan Bulk Density (BD), % C-organik, dan massa karbon dari sedimen. Penentuan BD mengacu pada metode Kauffman dan Donato (2012). Bulk density dari substrat lumpur dianalisis dengan cara mengeringkan sampel pada suhu 105 o C selama kurang lebih 48 jam. Nilai BD diperoleh dengan cara membagi berat sampel setelah dikeringkan dengan volume sampel. Perhitungan secara matematis untuk mencari BD adalah sebagai berikut: Bulk Density
Dimana:
=
𝑴𝒂𝒔𝒔𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒓𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝑽𝒐𝒍𝒖𝒎𝒆 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍
(Kauffman dan Donato 2012) .. (15)
Bulk Density = Kadar isi substrat lumpur (gram/cm3) M = Massa sampel yang dikeringkan (gram) V = Volume sampel (cm3)
Langkah selanjutnya adalah menentukan % C-organik dari sampel
21
sedimen. Persentase nilai karbon organik dihitung menggunakan metode Walkley dan Black. Tanah yang akan dihitung % C-organiknya terlebih dahulu ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Selanjutnya, tanah tersebut ditambahkan 5 ml K2Cr2O7 1 N dan dihomogenisasi. Tahap selanjutnya adalah menambahkan 7,5 ml H2SO4 pekat dan didiamkan selama 30 menit. Setelah 30 menit, campuran larutan diencerkan dengan akuades dan dibiarkan sampai dingin untuk selanjutnya didiamkan selama satu hari. Setelah satu hari, tingkat absorbansi dari sampel diukur menggunakan spektrofototmeter menggunakan panjang gelombang 561 nm. Sebelum melakukan pengukuran sampel, terlebih dahulu dilakukan pengukuran larutan standar dengan konsentrasi 0 dan 250 ppm. Kadar % C-organik dihitung menggunakan persamaan: % C-organik =
Dimana:
𝑨𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍−𝑨𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐 𝑨𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓
% C-organik [Larutan satndar]
𝒙 𝒍𝒂𝒓𝒖𝒕𝒂𝒏 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓 𝒙 𝟎, 𝟎𝟐 𝒙 𝑭 ...
(16)
= Persentase kadar karbon organik (%) = Konsentrasi larutan standar (250 ppm)
Langkah terakhir yang dilakukan untuk menghitung karbon sedimen adalah menentukan massa karbon dari sedimen. Penentuan massa karbon sedimen mengacu pada metode Kauffman dan Donato (2012). Parameter yang digunakan dalam menghitung kadar karbon substrat lumpur adalah luas lahan (A). Kedalaman substrat mangrove (h), Bulk Density (BD), dan % C-organik. Secara matematis, kadar karbon substrat lumpur dihitung berdasarkan persamaan: KCT = A x h x BD x % .................................................................................... (17) Dimana:
KCT A h BD %C
= Kandungan karbon organik tanah (gram/m3) = Luas lahan (m2) = Kedalaman substrat lumpur (m) = Bulk density (gram/cm3) = Persentase karbon organik (%)
Analisis Strategi Pengelolaan Perangkap Sedimen dengan SWOT Analisis strategi pengelolaan perangkap sedimen di lokasi penelitian, yaitu area perangkap sedimen dilakukan dengan teknik strength, weaknesses, opportunities, and threats (SWOT). Analisis ini menggabungkan identifikasi faktor internal dan eksternal secara deskriptif dari hasil informasi di lapangan (penelitian) dan key responden yang sudah lama melakukan penelitian dan mengetahui secara detail pengelolaan ekosistam mangrove di CAPD. Faktor internal yang dimaksud adalah kekuatan (Strenghts) dan kelemahan (Weaknesses) sedangkan faktor eksternalnya adalah peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats). Setiap komponen pada faktor internal dan eksternal tersebut selanjutnya diberikan bobot mulai dari 0.00 sampai 1.00. Nilai bobot ditentukan berdasarkan observasi kondisi lapangan oleh peneliti. Setelah itu dilakukan pemberian rating dengan nilai 1 sampai 4 berdasarkan tingkat pengaruhnya. Semakin tinggi pengaruhnya maka nilainya semakin tinggi (4). Sebaliknya, semakin rendah pengaruhnya maka nilainya semakin rendah (1). Nilai rating diperoleh dari key responden. Bobot dan rating selanjutnya dikalikan untuk memperoleh skor atau nilai akhir dari setiap komponen baik pada faktor internal maupun pada faktor eksternal. Informasi tersebut disajikan dalam sebuah tabel terpisah antara faktor
22
internal dan eksternal (Tabel 2). Tabel 2 Contoh tabel IFAS/EFAS dalam analisis SWOT Faktor-faktor strategi Bobot Rating Skor Internal/ eksternal (B) (R) BxR Kekuatan/ Peluang 1. x x x 2. x x x dst. Kelemahan/ Ancaman 1. x x x 2. x x x dst. Total 1.00
Keterangan
Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti (2014)
Gambar 8 Matriks internal-eksternal (diadaptasi dari Rangkuti 2014) Setelah tabel IFAS/EFAS dibuat selanjutnya dilakukan penentuan matriks internal-eksternal (IE Matrix) dari total skor yang sudah diperoleh selanjutnya. Matriks internal-eksternal disajikan pada Gambar 8. Skor pada faktor internal menjadi sumbu x dan skor pada faktor eksternalmenjadi sumbu y sehingga diketahui posisi dan kondisi ekosistam mangrove di area perangkap sedimen. Arahan strategi pengelolaan yang digunakan dalam analisis SWOT diadaptasi dari Rangkuti (2014), yaitu sebagai berikut: 1. Kuadran 1 = Strategi konsentrasi melalui intergrasi vertikal 2. Kuadran II = Strategi konsentrasi melalui integrasi horizontal 3. Kuadran III = Strategi dalam kondisi penciutan (turnaround) 4. Kuadram IV = Strategi stabilitas 5. Kuadran V = Strategi konsentrasi melalui integrasi horizontal atau stabilitas 6. Kuadran VI = Strategi divestasi (pengelolaan dalam situasi pengurangan)
23
7. Kuadran VII 8. Kuadran VIII 9. Kuadran IX
= Strategi diversifikasi konsentrik = Strategi diversifikasi konglongmerat = Strategi likuiditas bangkrut
Strategi pengelolaan ekosistem mangrove di area perangkap sedimen ditentukan berdasarkan matriks dari elemn-elemen SWOT (Tabel 3). Tabel 3 berisi informasi mengenai berbagai strategi alternatif yang dapat dikembangkan di lokasi penelitian melalui beberapa kolaborasi empat komponen. Kolaborasi empat komponen tersebut menghasilkan 4 kelompok alternatif strategi yang dapat diimplementasikan dalam melakukan pengelolaan ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Tabel 3 Matriks analisis SWOT untuk strategi pengelolaan ekosistem mangrove di area perangkap sedimen IFAS EFAS
Peluang (opportunities)
Ancaman (threats)
Kekuatan (strenght)
Kelemahan (weakness)
Strategi S-O Strategi ini disebut sebagai strategi agresif karena memanfaatkan seluruh kekuatan internal yang ada untuk memanfaat seluruh peluang eksternal yang ada.
Strategi W-O Strategi ini disebut strategi konservatif karena memanfaatkan seluruh kekuatan peluang eksternal untuk mengatasi kelemahan internal yang ada.
Strategi S-T Strategi ini disebut strategi kompetitif atau diversifikasi karena memanfaatkan seluruh kekuatan internal yang ada untuk mengurangi atau mengatasi ancaman eksternal yang muncul.
Strategi W-T disebut strategi defensif karena meminimalkan kelemahan internal yang ada untuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal yang ada.
Sumber: Diadaptasi dari Rangkuti (2014)
4 GAMBARAN UMUM Kondisi Umum Batasan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di pesisir utara Provinsi Banten tepatnya di wilayah pesisir Cagar Alam Pulau Dua (CAPD). Secara administratif, lokasi penelitian berada di Kelurahan Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kota Serang dengan posisi geografis 106o11’38”-106o13’14”BT dan 6o11’5”-6o12’5”LS. CAPD merupakan salah satu kawasan konservasi di wilayah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat. Ciri khas CAPD adalah ekosistem mangrove dan berbagai spesies burung air, baik yang migran maupun lokal. Kawasan ini memiliki fungsi pengawetan yang lebih besar dibandingkan
24
pemanfaatan (PP No 68 1998). Dalam perkembangannya, CAPD mengalami beberapa kali perubahan, baik dari segi fisik, biotik, maupun sosial budaya. Perubahan terjadi karena alam dan kegiatan/ aktifitas manusia yang menyebabkan perubahan sempadan pantai, kerusakan ekosistem mangrove, dan akses manusia ke dalam CAPD yang menjadi terbuka. CAPD atau lebih dikenal sebagai Pulau Burung mulai ditetapkan sebagai Cagar Alam pada tahun 1931 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1937 statusnya berubah menjadi Suaka Margasatwa dengan luas 8 Ha melalui keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 30 Juli No. 21 Stbl 474. Pada saat itu Pulau Dua dan Pulau Jawa masih terpisah oleh selat sempit selebar 500 meter. Kedua pulau mulai bersatu pada tahun 1978 akibat adanya tanah timbul sehingga luasan Pulau Dua menjadi bertambah. Tanah timbul tersebut ditumbuhi oleh Avicennia marina yang menjadi tempat burung bersarang (Milton dan Mahardi 1985, Dishut Jabar 2008 dalam Takandjandji dan Kwatrina 2011). Pada tahun 1984 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 253/Kpts-II/1984 yang menetapkan bahwa tanah timbul diantara kedua pulau merupakan bagian dari Pulau Dua sehingga luasannya bertambah menjadi 30 H. Lokasi penelitian merupakan tanah timbul seluas 0.88 ha yang berada di pesisir utara CAPD. Tanah timbul tersebut berasal dari pemasangan perangkap sedimen yang mulai dipasang tahun 2011. Saat ini, lokasi tersebut ditumbuhi Avicennia marina secara alami. Secara administratif sampai saat ini status pengelolaan CAPD masih menjadi wewenang dan tanggung jawab BKSDA, bidang KSDA Bogor, Seksi Wilayah Serang, Resort Pulau Dua. Namun, khusus untuk tanah timbul yang menjadi lokasi penelitian belum memiliki ketentuan tentang hak kepemilikan dan pengelolaan. Lokasi kajian penelitian dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10.
Gambar 9 Lokasi penelitian berupa tanah timbul hasil perangkap sedimen (Hasil penelitian 2015)
25
Gambar 10
Foto udara area perangkap sedimen yang ditumbuhi Avicennia marina (Hasil penelitian 2015)
Kelerengan, Tofografi, Jenis Tanah, dan Iklim Kawasan CAPD berada pada ketinggian 1-3 meter di atas permukaan laut (mdpl). Daerah tersebut merupakan dataran rawa mangrove yang memiliki tofografi landai. Kemiringan wilayahnya antara 5%-10%. Sebagian besar wilayah CAPD merupakan habitat vegetasi mangrove dan sebagian kecilnya merupakan habitat hutan pantai. Hutan mangrove tumbuh di sekitar muara sungai dan daerah pantai yang mengalami sedimentasi. Sedimentasi tersebut membentuk hamparan menyerupai daratan (tanah timbul) atau pantai berlumpur (Gambar 11). Daratan berlumpur terbentuk dari proses akresi yang membawa masa pasir ke arah daratan. Akresi terjadi akibat adanya hempasan gelombang air laut yang cukup besar. Material pasir yang dibawa berasal dari kejadian abrasi di daerah sebelah timur Puau Dua, yaitu daerah Kelurahan Pontang. Pesisir pantai daerah Pontang sering mengalami kejadian abrasi sehingga material pasir akan terbawa bersama gelombang ke arah Pulau Dua. Tanah di wilayah CAPD berbentuk lumpur atau sedimen, Pantai yang berlumpur tersebut memiliki butiran sedimen lempung dan debu yang berukuran kurang dari 0.002 mm dengan kelerengan 0-1%. Sedimen yang berasal dari sungai banyak ditemukan di wilayah pantai bagian barat. Selain pantai berlumpur, di wilayah CAPD terdapat pula pantai berpasir dan berbatu. Pantai berpasir memiliki butiran sedimen pasir berukuran 0.062-2.00 mm dengan kelerengan 1%5%. Pantai berbatu memiliki butiran sedimen berukuran 2.00-256 mm dengan kelerengan lebih dari 5%. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson (1951) dalam Takandjandji dan Kwatrina (2011), kondisi iklim di Pulau Dua termasuk tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 3.959 mm/tahun dengan suhu berkisar antara 22-33 oC. Kelembaban udara disana mencapai 80%. Perbedaan curah hujannya sangat jelas menggambarkan perbedaan musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan.
26
Gambar 11
Hamparan pantai berlumpur hasil perangkap sedimen di pesisir CAPD (Dokumentasi penelitian 2015)
Kondisi Arus dan Pasang Surut Perairan Laut Jawa secara signifikan dipengaruhi oleh sistem Moonson Asia Tenggara. Perbedaan pola angin permukaan berdasarkan musim akan menimbulkan perbedaan pola arus permukaan. Pada musim barat, arus permukaan cenderung searah dengan pola angin, yaitu bergerak dari perairan Laut China Selatan menuju Laut Jawa. Pada musim timur, pola arus bergerak berlawanan arah, yaitu dari perairan Laut Jawa menuju perairan Laut China Selatan melalui Selat Karimata. Teluk Banten (termasuk wilayah pesisir CAPD) berada di wilayah perairan Laut Jawa. Namun, pola arus permukaannya berlawanan dengan pola arus di Laut Jawa. Ketika arus permukaan di Laut Jawa bergerak ke arah timur maka pola arus permukaan di Teluk Banten berputar searah jarum jam. Arus akan masuk melalui celah timur kemudian keluar melalui celah barat. Celah timur terbentuk oleh Semenanjung Pontang dan Pulau Panjang sementara celah barat terbentuk dari Pulau Panjang dan Semenanjung Piatu. Berdasarkan hasil analisis Purbani et al. (2010) diketahui bahwa kecepatan arus maksimum pada bulan Juli 2010 sebesar 0.368 m/det dan arus bergerak ke arah barat laut sekitar 300o. Pola arus permukaan di kawasan Teluk Banten disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Pola arus permukaan wilayah Teluk Banten (Modifikasi dari Hosoya dan Muchari (1986) dalam Rahadian (2013)
27
Perairan di Teluk Banten, termasuk didalamnya lokasi penelitian berada memiliki tipe pasang surut campuran cenderung diurnal (mixed tide prevailing diurnal). Elevasi maksimum pasang surut disana mencapai 8.5 meter. Pasang surut di Teluk Banten juga dipengaruhi oleh penyusun komponen pasang surut diurnal yang berasal dari Laut Jawa dan Laut China Selatan (Wyrtki 1961 dalam Makarim et al. 2012). Selain memiliki tipe campuran, pasang surut di Teluk Banten memiliki tipe kecepatan arus yang asimetris dimana terjadi pergeseran waktu pada saat pasang dan surut. Arus pada saat pasang purnama (spring tide) cenderung bergerak ke arah timur dan pada saat bulan mati (neap tide) arusnya bergerak ke arah barat (Hoitink dan Hoekstra 2003 dalam Makarim et al. 2012). Sedimen Sedimentasi di wilayah Teluk Banten termasuk kawasan pesisir CAPD sudah pernah dianalisis oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010 pada beberapa titik pengamatan di sekitar Teluk Banten. Analisis dilakukan di sekitar garis pantai dan permukaan dasar laut. Pengamatan dilakukan secara megaskopis sebelum dilakukan analisis besar butir. Sedimen yang berada di sekitar Teluk Banten mempunyai ukuran yang beragam mulai dari yang sangat halus sampai kasar. Bentuk sedimennya juga beragam, mulai dari yang bundar sampai tidak beraturan. Material sedimen disana pada umumnya adalah lanau (Z) dan pasir (S). Sedimen berasal dari berbagai sungai yang bermuara di Teluk Banten.
Gambar 13 Material sedimen yang terangkut oleh arus sejajar pantai (Dokumentasi penelitian 2015) Analisa besar butir diperoleh dari parameter tekstur sedimen yang meliputi besar butir rata-rata (mean grain size), pilahan (sorting), dan kepencongan (skewness). Berdasarkan informasi dalam diketahui bahwa sebagian besar material sedimen berasal dari sedimen darat yang diangkut melalui sungai-sungai aktif yang diendapkan di laut. Daerah yang dekat dengan muara sungai cenderung memiliki butiran sedimen yang lebih kasar dibandingkan sedimen yang mengendap lebih jauh dari muara sungai. Pola sebaran sungai yang teridentifikasi menunjukkan bahwa sedimen berupa pasir terendapkan di sekitar muara sungai. Sedimen yang berada lebih jauh, yaitu ke arah laut lepas memiliki ukuran butir sedimen yang lebih kecil dan berangsur halus. Arus sejajar pantai mengangkut
28
sedimen menyusuri kawasan pantai dimana semakin jauh dari muara sungai maka butiran semakin halus (Gambar 13). Kualitas Air Analisis kualitas air dilakukan secara in-situ di lokasi penelitian. Parameter kualitas air yang diukur meliputi oksigen terlarut/ Disolved Oxigen (DO), suhu permukaan air, total padatan terlarut/ Total Disolved Solid (TDS), kadar salinitas, dan derajat keasaman/pH. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 4 titik, yaitu stasiun 1 sampai stasiun 4. Stasiun 1 berada di muara sungai, stasiun 2 di kanal air yang mendekati muara sungai, stasiun 3 di kanal air tambak, dan stasiun 4 di pintu air kanal tambak. Hasil analisis kualitas air dibandingkan dengan baku mutu air laut berdasarkan KepmenLH No 51 Tahun 2004. Hasil analisis disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil analisis kualitas air secara in-situ di sekitar lokasi penelitian Parameter DO (mg/L) Suhu (oC) TDS (mg/L) Salinitas (ppt) pH
1 6.93 35.80 17600 16.07 6.04
Stasiun 2 3 6.30 5.43 33.17 37.03 16866 13840 15.97 12.60 6.76 7.72
Baku Mutu 4 5.60 35.22 11710 10.47 7.95
3**) 28-32 *) 80*) ≤ 34*) 7-8,5*)
Keterangan: *) KepmenLH No 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. **) PP No 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Berdasarkan hasil analisis, kualitas air di sekitar lokasi penelitian masih tergolong cukup baik sehingga dapat menunjang kehidupan dan pertumbuhan mangrove disana. Parameter TDS menunjukkan hasil yang sangat jauh dengan baku mutu yang disarankan. Konsentrasi TDS yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh jumlah padatan terlarut yang berasal dari darat terangkut melalui air sungai menuju ke laut. Padatan yang dimaksud dapat berasal dari limbahan hasil kegiatan pertanian, rumah tangga, industri, dan pertambakan yang berada tepat di belakang lokasi penelitian. Konsentrasi oksigen terlarut disana masih berada di atas nilai baku mutu sehingga masih memungkinkan untuk menunjang kehidupan mangrove disana. Suhu permukaan berada di atas baku mutu. Hal tersebut kemungkinan disebabkan waktu pengukuran yang dilakukan pada saat siang hari sekitar pukul 14.00 WIB. Kadar salinitas dan pH masih berada di bawah baku mutu sehingga masih dapat menunjang kehidupan mangrove disana. Selain lima parameter kualitas air yang sudah diuji langsung di Teluk banten, parameter kualitas air lainnya sudah diuji oleh Purbani et al, (2010), yaitu total padatan tersuspensi/ Total Suspended Solid (TSS). Parameter TSS berhubungan dengan erosi dan sedimentasi yang mempengaruhi proses pembentukan sedimen di lokasi penelitian. Selain sedimen yang berasal dari laut akibat terbawa gelombang, sedimen yang berasal dari darat juga mempengaruhi proses pembentukan sedimen di lokasi penelitian. Hasil analisis TSS di di Teluk Banten mencapai 48-156 mg/l sedangkan baku mutu TSS untuk wilayah mangrove sebesar 80 mg/l (KepmenLH no 51 Tahun 2004). Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa kualitas air disana tidak cukup baik. Namun, dapat
29
diketahui bahwa sedimen yang terbentuk di lokasi penelitian kemungkinan besar disebabkan oleh adanya pengendapan padatan tersuspensi yang dibawa aliran air sungai ke daerah muara. Padatan tersuspensi berupa lumpur tersebut terjerap oleh perangkap sedimen yang dipasang.
Sejarah Tanah Timbul Tanah timbul di wilayah pesisir Cagar Alam Pulau Dua mulai stabil sejak inisiasi pemasangan perangkap sedimen tahun 2011. Sebelumnya, tanah timbul muncul dan hilang seiring datangnya musim, yaitu muncul ketika musim angin timur dan kondisi gelombang tidak tinggi dan mulai hilang saat musim angin barat atau kondisi gelombang air laut tinggi. Awalnya, ide pemasangan perangkap sedimen berasal dari jagawana CAPD yaitu Bapak Matsaid yang memperhatikan kebiasaan masyarakat Sawah Luhur memasang jaring ikan ketika air pasang dan akan mengambil ikannya saat air surut. Pemasangan jaring dilakukan saat air laut mulai pasang karena pada saat tersebut akan banyak ikan yang terperangkap dalam jaring. Setelah air pasang mulai surut, kondisi sedimen yang berada di belakang jaring tetap aman dan tidak terbawa gelombang laut. Selain itu, vegetasi mangrove yang tumbuh diatas sedimen tersebut juga tetap ada terutama vegetasi yang masih kecil (semai). Kebiasaan tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Sawah Luhur yang biasa dilakukan masyarakat disana. Berdasarkan pengalaman tersebut, pada tahun 2011 mulai dipasang secara resmi perangkap sedimen dengan tujuan utama melindungi pesisir CAPD dari gelombang tinggi dan kenaikan muka air laut terutama saat musim angin barat datang. Perangkap sedimen yang dipasang terbuat dari jaring ikan (Lampiran 1). Perangkap sedimen dari jaring ikan dipasang dua kali. Pemasangan pertama hanya bertahan 3 bulan karena hilang kemudian pemasangan kedua bertahan kurang lebih 4 bulan karena rusak dan terbawa sampah akibat gelombang yang besar. perangkap sedimen dari jaring ikan ternyata belum kuat untuk menahan gelombang tinggi yang datang ke pesisir CAPD. Jaring ikan yang dipasang pertama kali berukuran panjang 100 m dan lebar 1 m. Jaring ikan yang kedua dipasang berukuran sama dengan jaring pertama dan dipasang diposisi yang sama seperti jaring pertama. Walaupun belum terlalu kuat menahan gelombang, namun pemasangan perangkap sedimen dari jaring ikan mulai memberikan hasil yang baik. Kondisi tanah timbul di pesisir CAPD yang terbentuk saat musim angin timur mulai stabil dan vegetasi mangrove yang masih kecil (semai) juga tetap terlindungi. Satu tahun berikutnya, yaitu awal 2012 kondisi cuaca mulai tidak stabil. Saat itu, angin barat datang membawa gelombang yang cukup tinggi sehingga pemasangan jaring tidak cukup untuk menahan gempuran gelombang tersebut. Sedimen dan vegetasi mangrove di CAPD mulai mengalami ancaman kembali. Untuk mengurangi dampak kerusakan yang ditimbulkan dari gelombang laut yang tinggi maka masyakat dan KPPAD beserta WII berinisiasi untuk memasang perangkap sedimen dari karung pasir. Karung pasir ditumpuk sebanyak 2 tumpukan dan memanjang sepanjang 100 m di depan lokasi pemasangan perangkap jaring. Sedimen di belakang perangkap karung tetap ada dan tumpukan karung pasir mulai tertimbun oleh sedimen yang terperangkap. Selain itu, vegetasi
30
mangrove di CAPD tetap terlindungi dan di lokasi tanah timbul hasil pemasangan perangkap pasir mulai ditumbuhi vegetasi Avicennia marina secara alami (Lampiran 1). Tahun berikutnya ketika angin barat mulai datang kembali, sedimen yang terperangkap tetap ada namun vegetasi mangrove yang tumbuh alami di lokasi pemasangan perangkap sedimen mulai mengalami ancaman. Oleh karena itu, untuk melindungi sedimen dan vegetasi mangrove yang sudah ada maka masyarakat, KPPAD, YLBI, dan WII melakukan pemasangan perangkap sedimen dari pagar bambu atau disebut alat pemecah ombak (APO) di depan karung pasir. APO dipasang memanjang sejauh 100 meter dengan tinggi 1.5 meter (0.5 meter ditancapkan ke dasar dan 1 meter di atas permukaan sedimen ). Gambaran APO yang dipasang di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1. Pagar tersebut bersifat permeabel sehingga air laut dapat tetap masuk ketika terjadi pasang surut sehingga proses fisiologis mangrove dapat tetap terjadi. Hasil dari pemasangan APO adalah terbentuk tanah timbul (hamparan sedimen) sepanjang 150-200 meter. Pada tahun 2014, kondisi vegetasi semakin tinggi dan besar sehingga dibutuhkan benteng perlindungan yang lebih kuat. Oleh karena itu, pada tahun tersebut perangkap sedimen dimodifikasi kembali dengan karung berisi pasir. Karung-karung tersebut ditumpuk menyerupai benteng sehingga lumpur atau sedimen yang terjerap semakin banyak. Akibatnya, tanah timbul yang terbentuk semakin luas dan dalam. Selain itu, kondisi substrat yang merupakan habitat mangrove juga semakin stabil (Lampira 1). Pada tahun 2015 saat proses pengambilan data penelitian, kondisi vegetasi di lokasi penelitian sudah mencapai 5 meter (ukuran paling tinggi) dan jumlah anakan mangrove yang menjadi bibit untuk pertumbuhan selanjutnya berjumlah cukup banyak. Selain itu, kondisi tanah timbul yang terbentuk ke arah laut semakin jauh dari daratan. Hal tersebut dikarenakan kondisi perakaran mangrove yang kian besar sehingga mampu menjerap sedimen lebih banyak disamping terjerap oleh sisa perangkap sedimen yang masih terpasang.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Simpanan Karbon Vegetasi Avicennia marina Potensi Vegetasi Avicennia marina Hasil observasi di lokasi penelitian menunjukkan bahwa vegetasi yang tumbuh di sana seragam, yaitu jenis Avicennia marina. Mereka tumbuh di sepanjang pesisir Cagar Alam Pulau Dua (CAPD) secara alami setelah kondisi substrat mulai stabil, yaitu sekitar tahun 2012. Penyebab dari vegetasi Avicennia marina yang seragam dan tumbuh alami di lokasi penelitian belum diketatahui secara pasti. Namun, berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dipublikasikan bahwa faktor lingkungan sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan mangrove dan zonasi mangrove. Salinitas merupakan faktor yang memiliki peranan sangat penting dalam mengatur keberlangsungan hidup mangrove. Berdasarkan hasil analisis kualitas air di lokasi tempat tumbuh Avicennia marina (Stasiun 1 pada
31
Tabel 4) diketahui bahwa nilai salinitas disana sebesar 16.07 ppt dan lebih tinggi dibandingkan daerah dibelakangnya (Stasiun 2, 3, dan 4). Berdasarkan berbagai penelitian diketahui bahwa vegetasi Avicennia marina memiliki toleransi yang tinggi terhadap kadar garam. Selain salinitas, faktor lingkungan lain yang kemungkinan menyebabkan Avicennia marina disana tumbuh subur adalah jenis tanahnya. Secara detail, komposisi sedimen yang menjadi substrat mangrove disana tidak dianalisis. Namun, apabila dilihat dari kerapatan Avicennia marina yang mencapai 39.638 ind/ha maka dapat terlihat bahwa substrat disana sangat menunjang kehidupan dan pertumbuhan mangrove. Faktor lingkungan selanjutnya yang kemungkinan memperngaruhi adalah suhu. Berdasarkan hasil analisis yang dipaparkan pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa suhu rata-rata di lokasi penelitian sebesar 35.80 oC. Suhu ini masih berada dalam rentang suhu optimum pertumbuhan mangrove, yaitu 27-36 oC. Derajat keasaman juga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan vegetasi di lokasi penelitian. Hasil analisis kualitas air menunjukkan bahwa nilai pH air di lokasi penelitian sebesar 6.04 dan masih memungkinkan untuk pertumbuhan anakan vegetasi Avicennia marina. Selain berbagai faktor yang telah disebutkan, gelombang juga sangat mempengaruhi zonasi dan perkembangan mangrove (Sukardjo 1993 dalam Kordi 2012). Berdasarkan hasil wawancara dengan Koordinator lapangan WII pada bulan Januari 2016, diketahui bahwa hanya anakan Avicennia marina saja yang dapat bertahan dari gelombang tinggi ketika angin barat datang. Sebelumnya, pada bulan November-Desember 2015 pernah dilakukan penanaman anakan jenis Rhizophora namun tidak dapat bertahan ketika gelombang tinggi datang. Vegetasi Avicennia marina yang tumbuh di lokasi penelitian seluas 0.88 ha pada bulan Maret 2015 sebanyak 34.882 individu dengan kerapatan 39.638 ind/ha. Hasil tersebut diperoleh dari perhitungan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Data dasar yang digunakan berupa foto udara yang diperoleh menggunakan wahana pesawat UAV atau lebih dikenal dengan drone. Hasil foto udara yang telah diperoleh selanjutnya diproses dengan beberapa tahapan, diantaranya dilakukan mosaic dan koreksi geometrik agar berada pada koordinat sebenarnya. Selanjutnya, data foto udara dianalisis menggunakan metode segmentasi berbasis objek untuk menduga jumlah pohon yang berada di wilayah penelitian. Perhitungan jumlah vegetasi tidak dilakukan dengan cara analisis vegetasi dikarenakan jenis vegetasi yang tumbuh sudah diketahui seragam. Selain itu, metode perhitungan pohon dengan memanfaatkan data penginderaan jauh lebih menghemat waktu dan tenaga serta memperoleh informasi yang lebih detail dibandingkan analisis vegetasi. Informasi mengenai jumlah vegetasi pada setiap selang ketinggian juga dapat diketahui melalui metode ini. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa bahwa vegetasi yang tumbuh di sana memiliki ukuran kelas ketinggian (tinggi total) mulai dari 0-100 cm, 101-200 cm, 201-300 cm, 301-400 cm, dan 401-500 cm. Mereka terdistribusi pada areal seperti yang diunjukkan pada Gambar 14. Vegetasi dengan ketinggian 400-500 cm lebih mendominasi dibandingkan kela ketinggian lainnya. Informasi lebih jelas mengenai jumlah individu dan luasan setiap kelas ketinggian Avicennia marina di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.
32
Gambar 14 Peta distribusi kelas tinggi vegetasi Avicennia marina Tabel 5 Jumlah vegetasi Avicennia marina dan luasannya di lokasi penelitian Kelas ketinggian (cm) 0-100 100-200 200-300 300-400 400-500 Total
Jumlah (individu) 1.311 3.306 2.102 14.487 13.676 34.882
Luasan (ha) 0.03 0.08 0.05 0.36 0.34 0.88
Sumber: Hasil penelitian (2015)
Jumlah vegetasi pada bulan Maret 2015 mengalami penurunan sejak dilakukan sensus pertama pada tahun 2012. Pada tahun tersebut, sensus dilakukan dengan cara menghitung anakan Avicennia marina satu per satu sampai seluruh vegetasi teridentifikasi. Hasil sensus pada tahun 2012 menunjukkan jumlah vegetasi Avicennia marina yang lebih banyak, yaitu 85.920 individu. Hasil tersebut mengalami penurunan sebanyak 51.038 individu selama kurun waktu kurang lebih 3 tahun. Biomassa Vegetasi Avicennia marina Informasi mengenai simpanan karbon vegetasi Avicennia marina diperoleh dari serangkaian proses yang saling terkait. Nilai tersebut diperoleh dari perhitungan biomassa dan kadar karbon organiknya (% C-organik). Kadar air merupakan salah satu parameter yang digunakan dalm menghitung nilai biomassa pada vegetasi Avicennia marina. Hasil analisis kadar air Avicennia marina dilakukan untuk mengetahui kandungan air pada bagian akar, batang, cabang, dan daunnya. Informasi kadar air pada setiap bagian Avicennia marina berdasarkan kelas ketinggian disajikan pada Tabel 6. Secara umum, % kadar air rata-rata paling tinggi terdapat pada bagian daun kemudian diikuti oleh bagian akar, batang, dan paling rendah terdapat pada bagian cabang (Tabel 6). Cabang dan batang memiliki zat penyusun kayu
33
(kambium) sehingga komposisi air yang terkandung di dalamnya lebih rendah. Sebaliknya, daun memiliki % kadar air lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya karena pada bagian daun berlangsung proses fotosintesis dan respirasi. Air merupakan salah satu bahan baku utamanya sehingga air akan lebih banyak tersimpan di bagian daun. Tidak berbeda jauh dengan daun, pada bagian akar juga akan mengandunga % kadar air lebih tinggi dibandingkan bagian batang dan cabang dikarenakan bagian ini merupakan tempat masuknya air dari dalam tanah untuk diedarkan ke seluruh bagian tumbuhan. Selain itu, bagian akar merupakan bagian dari mangrove yang lebih sering terendam air. Tabel 6 Kadar air Avicennia marina di lokasi penelitian Kelas Ketinggian Akar 167.80 131.12 161.64 94.84 101.95 131.31
I II III IV V Rata-rata
% Kadar Air pada Bagian Avicennia marina Batang Cabang 82.44 46.43 84.83 63.56 96.27 54.15 62.22 43.71 84.30 38.46 82.02 49.26
Daun 169.15 146.28 143.30 119.28 138.85 143.37
Sumber: Hasil penelitian (2015). Ket: I = 0-100 cm, II = 101-200 cm, III = 201-300 cm, IV = 301-400 cm, V = 401-500 cm
Tabel 7 Biomassa Avicennia marina dalam satu pohon Kelas Ketinggian (cm) I II III IV V Rata-rata
Biomassa pada Bagian Avicennia marina (gram) Akar 20.25 242.33 313.97 323.17 683.54 316.65
Batang 33.64 140.58 316.54 724.39 1.639.57 570.94
Cabang 21.88 115.32 261.79 253.85 763.50 283.27
Daun 31.11 126.53 255.15 181.47 564.22 231.70
Biomassa Total Per Pohon (gram) 106.87 624.77 971.48 1482.88 3650.95 1367.39
Jumlah (Individu) 1311 3306 2102 14487 13676
Sumber: Hasil penelitian (2015), Ket: I = 0-100 cm, II = 101-200 cm, III = 201-300 cm, IV = 301-400 cm, V = 401-500 cm
Pada bagian akar, % kadar air paling tinggi terdapat pada sampel kelompok I dan paling rendah pada kelompok IV, yaitu masing-masing sebesar 197.80% dan 94.84%. Persentase kadar air pada bagian batang paling tinggi terdapat pada kelompok III yaitu sebesar 96.27% dan paling rendah pada kelompok IV yaitu sebesar 62.22%. Selanjutnya, % kadar air paling tinggi dan paling rendah pada bagian cabang terdapat pada kelompok II dan V, yaitu sebesar 63.56% dan 28.46%. Terakhir, % kadar air paling tinggi dan rendah pada bagian daun terdapat pada kelompok sampel I dan IV sebesar 169.15% dan 119.85%. Setelah diketahui % kadar airnya maka nilai biomassa nya akan diketahui. Hasil analisis menunjukkan bahwa biomassa paling tinggi tedapat pada bagian batang kemudian diikuti oleh bagian akar, cabang, dan paling rendah terdapat pada bagian daun. Nilai biomassa setiap bagian Avicennia marina dalam satu pohon disajikan pada Tabel 7. Informasi pada Tabel 7 menunjukkan bahwa biomassa meningkat seiring dengan penambahan tinggi total vegetasi. Dalam satu pohon, kelompok sampel I memiliki biomassa total paling rendah dibandingkan kelompok lainnya dan kelompok sampel V memiliki biomassa total paling tinggi
34
Nilai Biomassa
dibandingkan kelompok lainnya. Nilai biomassa total per pohon pada kelompok sampel I, II, III, IV, dan V berturut-turut sebesar 106.87 gr, 624.77 gr, 971.48 gr, 1482.88 gr, dan 3650.95 gr. Analisis lebih lanjut dilakukan untuk mengetahui jumlah biomassa yang tersimpan pada seluruh populasi Avicennia marina yang tumbuh disana berdasarkan kelas ketinggian. Nilai biomassa total dari setiap pohon yang sudah diperoleh selanjutnya dikalikan dengan jumlah vegetasi yang ada. Informasi tersebut disajikan pada Gambar 15. Kelompok sampel I memiliki biomassa total sebesar 0.14 ton atau 0.16 ton/ha. Nilai biomassa tersebut paling rendah dibandingkan biomassa pada kelompok sampel lainnya. Biomassa total yang tersimpan pada kelompok sampel II, III, IV, dan V berturut-turut sebesar 2.07 ton atau 2.35 ton/ha, 2.04 ton atau 2.32 ton/ha, 21.48 ton atau 24.41 ton/ha, dan 49.93 ton atau 56.74 ton/ha. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa biomassa total yang tersimpan pada seluruh vegetasi yang tumbuh pada areal seluas 0.88 ha (34.882 individu) sebesar 75.66 ton atau 85.98 ton/ha. 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 -
Biomassa (ton) Biomassa (ton/ha)
I
II
III
IV
V
I-V
Kelas Ketinggian Sampel
Gambar 15 Biomassa total Avicennia marina yang tumbuh di lokasi penelitian Hasil analisis perhitungan biomassa di lokasi penelitian berbeda dengan hasil penelitian di Ciasem Purwakarta untuk jenis mangrove yang sama. Biomassa Avicennia marina di Ciasem Purwakarta sebesar 364.9 ton/ha (Dharmawan dan Siregar 2008). Sampel Avicennia marina yang dianalisis di Ciasem memiliki DBH sebesar 4.5-10 cm sedangkan di pesisir CAPD memiliki DBH 0.7-2.5 cm. Ketinggian sampel yang digunakan juga berbeda dimana sampel yang digunakan di Ciasem memiliki tinggi total 450-1000 cm (4.5-10 m) sedangkan di lokasi penelitian sebesar 0-500 cm (0-5 m). Perbedaan lainnya adalah kerapatan vegetasi di Ciasem sebesar 1800 ind/ha sedangkan di lokasi penelitian sebesar 39.638 ind/ha. Ketiga perbedaan tersebut mempengaruhi nilai biomassanya. Jarak tumbuh di lokasi penelitian lebih kecil sehingga kondisi vegetasi sangat rapat. Kondisi demikian menghalangi masuknya sengatan panas cahaya matahari sehingga kebutuhan air menjadi berkurang. Pasokan air yang berkurang menyebabkan energi untuk sekresi/ translokasi garam pada sel tanaman yang masuk bersamaan air juga menjadi turun. Selain itu, kondisi vegetasi yang rapat menyebabkan kompetisi dalam meperoleh sumber nutrisi dan air (Husnaeni 2013). Hal tersebut
35
terlihat dari kondisi vegetasi yang tumbuh mengalami pertumbuhan tinggi yang lebih cepat dibandingkan perkembangan diameternya sehingga nilai biomassa di lokasi penelitian lebih kecil dibandingkan hasil penelitian sebelumnya. Massa Karbon Avicennia marina Setelah nilai biomassa diketahui, selanjutnya kadar karbon organik (% Corganik) harus diketahui untuk memperoleh nilai simpanan massa karbon pada vegetasi Avicennia marina di lokasi penelitian. Kadar karbon organik diperoleh setelah informasi mengenai kadar zat terbang (% KZT) dan kadar abu (% KAB) diketahui. Zat terbang yang dimaksud merupakan zat-zat yang mudah menguap pada pemanasan tinggi mencapai 950 oC. Zat-zat tersebut biasanya termasuk golongan berbagai senyawa alifatik dan fenolik. Senyawa yang tertinggal biasanya adalah karbon terikat dan mineral-mineral yang sudah berubah bentuk. Semakin tinggi % KZT maka % C-organiknya akan semakin rendah. Hasil analisis % KZT dari vegetasi Avicennia marina di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 8. Secara umum, hasil analisis menunjukkan bahwa rata-rata % KZT paling tinggi terdapat pada bagian daun dan paling sedikit terdapat pada bagian batang (Tabel 8). Persentase KZT rata-rata pada bagian daun sebesar 68.89% dan pada bagian batang sebesar 52.04%. Persentase KZT rata-rata pada bagian akar dan cabang berturut-turut sebesar 58.83% dan 64.82%. Kadar zat terbang pada bagian daun cenderung lebih tinggi kemungkinan dikarenakan oleh adanya senyawasenyawa yang mudah menguap seperti fenol, senyawa alifatik, dan metabolit sekunder yang lebih banyak dibandingkan pada bagian batang. Pada bagian akar, % KZT paling tinggi terdapat pada sampel kelompok I dan paling rendah pada kelompok IV dengan nilai 61.15% dan 56.95%. Kadar zat terbang paling tinggi pada bagian batang terdapat pada kelompok sampel I dan paling rendah pada kelompok V dengan nilai 52.96% dan 50.93%. Selanjutnya, pada bagian cabang % KZT paling tinggi terdapat pada kelompok sampel II dan paling rendah pada kelompok V dengan nilai 67.04% dan 58.95%. Terakhir, % KZT yang paling tinggi pada bagian daun terdapat pada kelompok III dan paling rendah pada kelompok V dengan nilai 71.91% dan 60.48%. Setelah % KZT diketahui maka selanjutnya % KAB dianalisis. Abu yang dimaksud adalah oksida logam yang terikat kuat pada arang, seperti kalsium, magnesium, dan kalium. Oleh karena itu, proses pemanasan sampel hasil analisis %KZT dilanjutkan untuk menghilangkan oksida-oksida logam tersebut. Semakin tinggi % KAB maka % C-organiknya akan semakin kecil. Hasil analisis menunjukkan bahwa % KAB rata-rata paling tinggi terdapat pada bagian akar dan paling rendah terdapat pada bagian batang dengan nilai berturut-turut sebesar 10.20% dan 1.66%. Rendahnya kadar abu pada bagian batang dapat disebabkan oleh kadar oksida logam yang terikat pada batang lebih rendah dibandingkan pada bagian lainnya. Persentase kadar abu rata-rata pada dua bagian lainnya, yaitu cabang dan daun berturut-turut sebesar 3.10% dan 9.01%. Informasi lebih lengkap mengenai hasil analisis % KAB dapat dilihat pada Tabel 9. persentase kadar abu paling tinggi pada bagian akar terdapat pada kelompok III sebesar 10,66% dan paling rendah pada kelompok V sebesar 7.83%. Selanjutnya, % KAB paling tinggi pada bagian batang terdapat pada kelompok I dan paling rendah pada kelompok V dengan nilai berturut-turut sebesar 1.91% dan 1.41%. Pada bagian
36
cabang, % KAB paling tinggi terdapat pada sampel kelompok I dengan nilai 4.19% dan paling rendah pada kelompok II dengan nilai 2.69%. Terakhir, % KAB paling tinggi pada bagian daun terdapat pada kelompok II dan pling rendah pada kelompok IV dengan nilai berturut-turut sebesar 10.37% dan 7.85%. Tabel 8 Kadar zat terbang Avicennia marina di lokasi penelitian Kelas Ketinggian I II III IV V Rata-rata
% Kadar Zat Terbang pada Bagian Avicennia marina Akar Batang Cabang Daun 61.15 52.96 66.45 71.58 60.42 52.87 67.04 68.62 57.10 52.33 65.51 71.91 56.95 51.09 66.14 71.88 57.03 50.93 58.95 60.48 58.53 52.04 64.82 68.89
Sumber: Hasil penelitian (2015). Ket: I = 0-100 cm, II = 101-200 cm, III = 201-300 cm, IV = 301-400 cm, V = 401-500 cm
Tabel 9 Kadar abu Avicennia marina di lokasi penelitian Kelas Ketinggian I II III IV V Rata-rata
Akar 8.99 10.66 13.41 10.10 7.83 10.20
% Kadar Abu pada Bagian Avicennia marina Batang Cabang Daun 1.91 4.19 9.01 1.82 2.69 10.37 1.55 2.74 8.68 1.60 3.08 7.85 1.41 2.81 9.12 1.66 3.10 9.01
Sumber: Hasil penelitian (2015). Ket: I = 0-100 cm, II = 101-200 cm, III = 201-300 cm, IV = 301-400 cm, V = 401-500 cm
Informasi selanjutnya yang diketahui pada penelitian adalah % C-organik pada bagian akar, batang, cabang, dan daun dari Avicennia marina. Karbon pada ekosistem mangrove terdiri dari dua jenis, yatu karbon organik dan karbon inorganik. Karbon organik yang dimaksud adalah karbon yang menjadi bagian dari penyusun biomassanya, yaitu sejumlah unsur diantaranya adalah C, H, O, N, dan P. Selain karbon organik, pada ekosistem mangrove juga terdapat karbon inorganik. Karbon ini terdapat pada air yang menggenangi mangrove (terlarut di dalam air). Kadar karbon organik akan berbanding terbalik dengan kadar abu dan kadar zat terbang. Jika % KZT dan % KAB tinggi maka % C-organik akan rendah. Sampai saat ini, penentuan nilai massa karbon sebagian besar menggunakan nilai % C-organik yang umum, yaitu 50% dari biomassa. Brown (1997) menyatakan bahwa sekitar 50% dari biomassa hutan adalah karbon. Sehingga estimasi penghitungan potensi karbon dapat diketahui dari perhitungan nilai biomassa dengan faktor pengali 50% tersebut. Namun, Elias dan Wistara (2009) menjelaskan bahwa asumsi tersebut akan menyebabkan hasil estimasi yang kurang tepat jika diterapkan di wilayah tropis dengan biodiversitas yang tinggi termasuk didalamnya memiliki berbagai tipe hutan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, nilai biomassa dan karbon menunjukkan hasil yang bervariasi pada tipe hutan yang berbeda, tingkat jenis dan struktur tegakan yang berbeda, bahkan pada bagian yang berbeda dalam satu pohon. Oleh karena itu, informasi % C-organik pada penelitian dilakukan melalui analisis tersendiri dan tidak menggunakan rumus umum biomassa dikali faktor pengali 50%,
37
Hasil analisis menunjukkan bahwa% C-organik rata-rata pada setiap bagian Avicennia marina berbeda-beda. Persentase C-organik paling tinggi terdapat pada bagian batang sebesar 46.31% yang diikuti oleh cabang sebesar 32.08%, akar sebesar 31.27%, dan paling rendah terdapat pada bagian daun sebesar 22.10%. Peichl dan Arain (2007) dalam Elias dan Wistara (2009) menemukan bahwa komponen akar dan daun merupakan komponen yang dominan pada masa awal pertumbuhan dan pembangunan tegakan tetapi kontribusinya akan menurun seiring dengan peningkatan umur pohon. Hal tersebut bersesuaian dengan kondisi sampel yang masih berada pada tahap pertumbuhan semai sampai pancang. Alasan lain yang mendukung hasil penelitian adalah % C-organik yang lebih tinggi pada bagian batang kemungkinan disebabkan jumlah zat penyusun kayu pada bagian batang lebih banyak dibandingkan bagian yang lain. Batang juga mampu menyimpan polisakarida lebih banyak dibandingkan bagian lainnya dimana selulosa, lignin, dan zat ekstraktif lainnya lebih banyak tersusun oleh unsur C dibandingkan unsur lainnya. Informasi lebih lengkap mengenai % C-organik dari setiap bagian Avicennia marina di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10. Pesentase C-organik paling tinggi pada bagian akar terdapat pada kelompok V dan paling rendah terdapat pada kelompok II masing-masing sebesar 35.14% dan 28.92%. Pada bagian batang, % C-organik rata-rata paling tinggi terdapat pada kelompok V sebesar 47.66% dan paling rendah terdapat pada kelompok I sebesar 45.13%. Sama halnya seperti pada bagian batang, % Corganik paling tinggi pada bagian cabang terdapat pada kelompok V dan paling rendah terdapat pada kelompok IV masing-masing sebesar 38.24% dan 29.36%. Selanjutnya, % C-organik rata-rata paling tinggi terdapat pada kelompok V sebesar 30.40% dan paling rendah terdapat pada kelompok I dan III sebesar 19.41%. Secara umum, % C-organik mengalami kenaikan seiring dengan penambahan tinggi total Avicennia marina terutama terlihat pada bagian batang. Persentase C-organik naik secara bertahap pada bagian batang. Ketiga bagian Avicennia marina lainnya, yaitu akar, cabang, dan daun mengalami pola kenaikan % C-organik yang naik turun namun nilai % C-organik paling tinggi berada pada kelompok sampel V. Setalah % C-organik setiap bagian Avicennia marina diketahui maka nilai massa karbonnya dapat diketahui. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai massa karbon rata-rata paling tinggi dari Avicennia marina berada pada bagian batang dan paling rendah pada bagian daun (Tabel 11). Hasil tersebut bersesuaian dengan nilai biomassa dan % C-organiknya. Massa karbon rata-rata secara berurutan mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah sebagai berikut batang 307.32 gram, akar 102.57 gram, cabang 97.33 gram, dan daun 46.36 gram. Massa karbon total rata-rata per pohon sebesar 553.57 gram. Analisis massa karbon total dari seluruh populasi yang ada di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 16. Kelompok sampel I memiliki massa karbon sebesar 0.04 ton atau 0.05 ton/ha. nilai tersebut paling rendah dibandingkan kelompok sampel lainnya. Massa karbon yang tersimpan pada kellompok sampel II, III, IV, dan V berturut-turut sebesar 0.65 ton atau 0.74 ton/ha, 0.79 ton atau 0.89 ton/ha, 8.31 ton atau 9.45 ton/ha, dan 21.73 ton atau 24.69 ton/ha. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa massa karbon total yang tersimpan pada seluruh vegetasi yang tumbuh pada areal seluas 0.88 ha (34.882 individu) sebesar 31.52 ton C atau
38
35.82 ton C/ha. Sehingga, dapat diketahui bahwa jumlah karbondiokasida (CO2) yang dapat diserap oleh vegetasi Avicennia marina di lokasi penelitian sebanyak 131.35 ton CO2/ha. Tabel 10 Kadar C-organik Avicennia marina di lokasi penelitian Kelas Ketinggian Akar 29.86 28.92 29.49 32.95 35.14 31.27
I II III IV V Rata-rata
% Kadar C–organik Bagian Avicennia marina Batang Cabang 45.13 29.36 45.31 30.27 46.12 31.75 47.31 30.78 47.66 38.24 46.31 32.08
Daun 19.41 21.01 19.41 20.27 30.40 22.10
Sumber: Hasil penelitian (2015). Ket: I = 0-100 cm, II = 101-200 cm, III = 201-300 cm, IV = 301-400 cm, V = 401-500 cm
Tabel 11 Massa karbon Avicennia marina dalam satu pohon Kelas Ketinggian (cm)
Massa Karbon pada Bagian Avicennia marina (gram) Akar
I II III IV V Rata-rata
Batang
6.02 69.37 92.41 106.60 238.43 102.57
Cabang
14.94 66.50 150.91 351.74 952.49 307.32
6.44 35.06 81.68 78.61 284.84 97.33
Daun 6.15 26.76 48.98 36.82 113.08 46.36
Massa Karbon Total Per Pohon (gram) 33.56 197.69 373.98 573.78 1588.84 553.57
Jumlah (Individu) 1311 3306 2102 14.487 13.676
Sumber: Hasil penelitian (2015). Ket: I = 0-100 cm, II = 101-200 cm, III = 201-300 cm, IV = 301-400 cm, V = 401-500 cm
40,00 35,00
Nilai Massa Karbon
30,00 25,00 20,00
Massa Karbon (ton)
15,00 Massa Karbon (ton/ha)
10,00 5,00 I
II
III
IV
V
I-V
Kelas Ketinggian Sampel
Gambar 16
Massa karbon penelitian
total Avicennia marina yang tumbuh di lokasi
Hasil penelitian menunjukkan nilai yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dharmawan dan Siregar untuk vegetasi yang sama, yaitu Avicennia marina di Ciasem Purwakarta. Massa karbon total yang tersimpan pada
39
vegetasi Avicennia marina disana sebesar 182.5 Ton C/ha dengan total serapan CO2 sebanyak 669 Ton CO2/ha. Nilai tersebut lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian. Perbedaan nilai tersebut bersesuaian dengan perbedaan hasil analisis biomassa. Walaupun sampel yang digunakan sama namun diameter dan ketinggianya berbeda. Selain itu, kerapatan vegetasi di lokasi penelitian (pesisir CAPD) lebih rapat dibandingkan di Ciasem sehingga nilai simpanan massa karbonnya berbeda. Kompetisi untuk memperoleh cahaya matahari, air, dan nutrisi terjadi lebih tinggi di lokasi penelitian sehingga nilai biomassanya menjadi lebih kecil. Akibatnya, massa karbon yang tersimpan disana juga menjadi lebih kecil walaupun kerapatannya lebat. Persamaan Alometrik untuk Menduga Biomassa dan Massa Karbon Avicennia marina Nilai biomassa dan massa karbon dari Avicennia marina juga dapat diketahui melalui pendekatan model persamaan alometrik. Model alometrik merupakan sebuah model yang digunakan untuk menggambarkan perubahan yang sistematis dan didalamnya berisi hubungan antara ukuran atau pertumbuhan dari salah satu bagian dengan keseluruhan komponen dalam suatu makhluk hidup (Parresol 1999). Hubungan tersebut dinyatakan secara matematika baik dalam bentuk fungsi logaritma maupun pangkat. Melalui model persamaan alometrik, biomassa dari suatu pohon dapat diduga hanya dengan memasukkan parameter diameter, tinggi, atau kombinasi keduanya sehingga biomassa tegakan dalam suatu ekosistem dapat dihitung (Krisnawati et al. 2012). Komiyama et al. (2008) dalam Parvaresh et al. (2012) menyatakan bahwa model persamaan alometrik pada beberapa dekade terakhir sudah mulai dikembangkan untuk menduga biomassa. Bentuk model alometrik terbagi menjadi dua, yaitu model alometrik biomassa dan model alometrik volume (Jenkins et al. 2003; Zianis dan Mencuccini 2003, Lehtonen et al. 2004 dalam Krisnawati et al. 2012). Pada penelitian, model persamaan alometrik yang dibangun terdiri dari model persamaan alometrik untuk menduga biomassa dan massa karbonnya. Pencarian model persamaan alometrik semakin berkembang pada berbagai jenis pohon termasuk jenis-jenis yang terdapat dalam hutan mangrove. Beberapa penelitian sudah mengembangkan persamaan alometrik khusus untuk jenis mangrove yang tersebar di wilayah Indonesia seperti Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera parviflora, Bruguiera sexangula, Bruguiera spp, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizoporha spp, dan Xylocarpus granatum (Krisnawati et al. 2012). Khusus untuk jenis Avicennia marina di wilayah Indonesia, model persamaan alometrik sudah pernah diteliti oleh Dharmawan dan Siregar (2008) dengan variabel diameter setinggi dada/ DBH 6.4-35.2 cm dan tinggi total 4.5-10 m. Untuk melengkapi informasi yang sudah tersedia, penelitian berfokus pada pembangunan model persamaan alometrik untuk jenis Avicennia marina yang memiliki DBH ≤ 5 cm dan tinggi 05 m. Penelitian dilakukan pula untuk mencari model persamaan alometrik untuk menduga biomassa (B) dan massa karbon (C) karena belum banyak dilakukan. Pendugaan massa karbon biasanya dihitung menggunakan persamaan 0.5 x Biomassa (Dharmawan dan Siregar 2008). Variabel yang digunakan untuk membangun persamaan alometrik pada penelitian adalah tinggi total/Tt (x1) dan diameter setinggi dada/ DBH (x2). Tinggi
40
total menjadi variabel pertama dikarenakan oleh kondisi sampel vegetasi di lokasi penelitian masih dalam tahap semai dan pancang sehingga diameter setinggi dada pada batangnya dianggap belum terlalu signifikan dalam mempengaruhi biomassa dan massa karbonnya. Selain itu, kondisi vegetasi di lokasi penelitian mengalami pertumbuhan ke atas lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ke samping (ukuran batang melebar). Model persamaan alometrik yang dianalisis oleh Dharmawan dan Siregar (2008) untuk jenis Avicennia marina hanya menggunakan variabel DBH. Hal tersebut dikarenakan sampel vegetasi yang digunakan sudah dalam tahap pohon dan memiliki DBG lebih besar dari 5 cm. Persamaan dibangun berdasarkan pengelompokkan kelas tinggi total sampel, yaitu kelas I yang memiliki ketinggian 0-100 cm, kelas II dengan ketinggian 101200 cm, kelas III dengan ketinggian 201-300 cm, kelas IV dengan ketinggian 301400 cm, dan kelas V dengan ketinggian 401-500 cm. Selain itu, persamaan alometrik dibangun berdasarkan bagian-bagian dari Avicennia marina, yaitu akar, batang, cabang, dan daun. Persamaan yang dibangun terdiri dari regresi linear dan logaritmik menggunakan satu variabel (Tt) dan dua variabel (Tt dan DBH). Regresi linear dan logaritmik dipilih berdasarkan pertimbangan pertumbuhan pohon. Pertimbangan pertama adalah sampel Avicennia marina yang digunakan masih dalam tahap semai dan pancang sehingga pertumbuhannya berada di wilayah garis regresi lurus dan belum mencapai kondisi stabil. Namun informasi tersebut memerlukan data pembanding sehingga pertimbangan kedua menggunakan persamaan logaritmik. Model persamaan alometrik yang dibangun dijelaskan pada bagian pembahasan selanjutnya. Hubungan Biomassa dan Massa Karbon dengan DBH dan Tinggi Total Tinggi total (Tt) dan DBH menjadi variabel yang diperhitungkan dalam mencarai model persamaan alometrik dalam penelitian kali ini. Menurut Katterings et al. (2001) dalam Maulana dan Pandu (2011), variabel DBH akan meningkatkan efisiensi pengukuran dan akan mengurangi ketidakpastian dari hasil pengukuran berdasarkan persamaan yang dibentuk. Oleh karena itu, keterkaitan keduanya dengan nilai biomassa dan massa karbon dianalisis dan digambarkan dalam kurva linear pada Gambar 17 sampai Gambar 20.
Biomassa Total (Ton)
0,0050 0,0040 R² = 75%
0,0030 0,0020
Hubungan antara Tt dengan Btot
0,0010
Linear (Hubungan antara Tt dengan Btot)
0,0000 0 -0,0010
100
200
300
400
500
600
Tinggi Total/ Tt (cm)
Gambar 17 Hubungan tinggi total dengan biomassa total
41
Massa Karbon Total/ Ctot (Ton C)
0,250000 0,200000 R² = 75% 0,150000 0,100000
Hubungan antara Tt dengan Ctot
0,050000
Linear (Hubungan antara Tt dengan Ctot)
0,000000 0 -0,050000
200
400
600
Tinggi Total/ Tt (cm)
Biomassa Total (Ton)
Gambar 18 Hubungan tinggi total dengan massa karbon total 0,0050 0,0045 0,0040 0,0035 0,0030 0,0025 0,0020 0,0015 0,0010 0,0005 0,0000 -0,0005 0,0
R² = 78% Hubungan antara DBH dengan Btot Linear (Hubungan antara DBH dengan Btot) 1,0
2,0
3,0
4,0
Diameter Setinggi Dada/ DBH (cm)
Gambar 19 Hubungan DBH dengan biomassa total
Massa Karbon Total/ Ctot (Ton C)
0,250000 0,200000 R² = 078% 0,150000 Hubungan antara DBH dengan Ctot
0,100000 0,050000
Linear (Hubungan antara DBH dengan Ctot)
0,000000 0,0 -0,050000
1,0
2,0
3,0
4,0
Diameter Setinggi Dada/DBH (cm)
Gambar 20 Hubungan DBH dengan massa karbon total Hasil analisis menunjukkan bahwa Tt dan DBH memiliki korelasi yang cukup tinggi dengan biomassa total (Btot) dan massa karbon total (Ctot) Avicennia
42
marina. Nilai koefisien korelasi (R2) antara Tt dengan Btot dan Ctot sebesar 0.75 (Gambar 17 dan Gambar 18). Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan koefisien korelasi (R2) antara DBH dengan Btot dan Ctot, yaitu sebesar 0.8 (Gambar 19 dan Gambar 20). Berdasarkan gambaran tersebut, kedua variabel mempengaruhi nilai biomassa dan massa karbon dari Avicennia marina sebesar 75-80% dan hanya 2025% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Persamaan alometrik untuk Menduga Biomassa Avicennia marina Persamaan alometrik untuk menduga biomassa Avicennia marina disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Persamaan alometrik pada Lampiran 2 merupakan model-model yang dibangun untuk menduga nilai biomassa Avicennia marina pada setiap selang ketinggian tertentu sedangkan model-model pada Lampiran 3 digunakan untuk menduga nilai biomassa setiap bagian Avicennia marina (akar, batang, cabang, dan daun). Kehandalan model yang dibangun harus memenuhi 2 kriteria, yaitu nilai koefisien korelasi (R2), ragam (s), dan lolos uji validasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi (R2) untuk persamaan alometrik biomassa Avicennia marina secara umum berdasarkan selang ketinggian maupun bagian tumbuhan sudah memenuhi kriteria baik untuk persamaan linear maupun logaritmik (Lampiran 1 dan 2). Berdasarkan kedua tabel tersebut dapat terlihat bahwa nilai R2 untuk persamaan alometrik bentuk logaritmik lebih tinggi dibandingkan bentuk linear. Namun, nilai persamaan alometrik untuk menduga biomassa selang ketinggian 0-100 cm, 101-200 cm, 201-300 cm, 301-400 m, dan 401-500 cm memiliki nilai R2 yang beragam dan beberapa diantaranya masih memiliki nilai koefisien korelasi dibawah 40%. Nilai R2 yang tidak lebih dari 40% pada beberapa persamaan alometrik kemungkinan disebabkan oleh sampel yang diambil masih dalam tahap semai dan tiang, posisi tempat tumbuh sampel yang diambil secara acak, dan kerapatan vegetasi Avicennia marina di lokasi penelitian. Pada tahap semai dan pancang proses pertumbuhan masih berlangsung sehingga biomassanya belum mencapai kondisi stabil. Saat proses pertumbuhan tersebut maka posisi tumbuh sangat menentukan dalam memperoleh nutrisi, air, dan sinar matahari yang sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Jumlah vegetasi yang sangat rapat, yaitu 34.882 individu pada luas area 0.88 ha menyebabkan terjadinya kompetisi dalam memperoleh nutrisi, air, dan sinar matahari sangat tinggi, Sehingga nilai biomassanya cukup beragam. Berbeda halnya dengan persamaan alometrik untuk menduga biomassa setiap bagian Avicennia marina yang memiliki nilai R2 lebih baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien korelasi (R2) dari persamaan alometrik yang dibangun untuk menduga nilai biomassa berada pada kisaran 58%-96%. Menurut Dharmawan dan Siregar (2008) semakin besar nilai koefisien korelasi/KK (R2) maka model persamaan alometrik yang dibentuk semakin baik karena model semakin handal. Jika nilai koefisien korelasi 40% ≤ KK maka korelasinya cukup berarti dimana jika lebih dari 90% maka mengindikasikan hubungan yang tinggi dan kuat sekali. Nilai R2dan ragam tidak terlepas dari jumlah sampel yang digunakan pada penelitian. Pada penelitian, jumlah sampel yang digunakan sebanyak 25 pohon dan jumlah tersebut tidak menjadi keharusan dalam membangun persamaan alometrik. Jumlah sampel sangat disesuaikan dengan kondisi di lapangan, kemampuan peneliti, dan kondisi populasi di lokasi
43
penelitian. Semakin banyak n sampel yang digunakan maka model persamaan alometrik akan semakin baik (Akbar 2012). Berdasarkan hasil penelitian dan analisis diperoleh persamaan terpilih untuk menduga biomassa Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0-500 cm dan diameter batang ≤ 5 cm adalah persamaan alometrik logaritmik yang menggunakan dua variabel (Tt dan DBH), yaitu Log Y= -7.42 + 1.79 (Log Tt) + 0.264 (Log DBH). Persamaan terpilih untuk menduga biomassa akar, cabang, dan daun, yaitu persamaan alometrik bentuk logaritmik dengan satu variabel, yaitu tinggi total. Persamaan tersebut berturut-turut adalah Log Yakar = -8.37 + 1.94 (Log Tt), Log Ycabang = -8.63 + 2.01 (Log Tt), dan Log Ydaun = -7.73 + 1.63 (Log Tt). Berbeda dengan yang lainnya, persamaan alometrik terpilih untuk menduga biomassa batang adalah persamaan bentuk logaritmik dua variabel, yaitu tinggi total dan DBH. Persamaan yang dimaksud adalah Log Ybatang = -8.83 + 1.99 (Log Tt) + 0.419 (Log DBH). Pada tahap semai sampai pancang dengan diameter pohon kurang dari 5 cm dan ketinggian 0-5 m maka variabel DBH tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai dugaan biomassa dan massa karbon. Variabel tinggi total memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap nilai dugaan tersebut. Namun khusus pada bagian batang, variabel DBH masih memberikan pengaruh terhadap nilai dugaan. Hasil analisis lebih lanjut dilakukan untuk membuktikan keandalan model. Pembuktian dilakukan dengan membandingkan hasil perhitungan biomassa menggunakan persamaan alometrik terpilih dengan hasil perhitungan aktual di laboratorium. Selain itu, hasil perhitungan dengan persamaan alometrik terpilih dibandingkan juga dengan hasil perhitungan menggunakan persamaan alometrik dari penelitian sebelumnya untuk jenis Avicennia marina. Hasil tersebut disajikan pada Tabel 12 sampai Tabel 13. Berdasarkan analisis yang disajikan pada Tabel 12 dapat diketahui bahwa analisis perhitungan menggunakan persamaan Log Y= 7.42 + 1.79 (Log Tt) + 0.264 (Log DBH) paling mendekati nilai perhitungan aktualnya di laboratorium. Sedangkan analisis perhitungan menggunakan persamaan alometrik bentuk logaritmik satu variabel (Tt) untuk menduga biomassa akar, cabang, dan daun paling mendekati nilai perhitungan aktualnya di laboratorium (Tabel 13). Begitu pula dengan perhitungan menggunakan persamaan alometrik bentuk logaritmik dua variabel (Tt dan DBH) untuk menduga biomassa batang paling mendekati perhitungan aktualnya. Hasil penelitian pembanding yang digunakan berasal dari berbagai lokasi penelitian, yaitu Dharmawan dan Siregar (2008) berada di Purwakarta-Indonesia, Comley dan Mc Guiness (2005) berada di Australia, Amarasinghe dan Balasubramaniam (1992) berada di Srilanka, dan Clought et al. (1997) berada di Australia. Ketiga persamaan alometrik pembanding membagi tiga bagian Avicennia marina, yaitu biomassa total, biomassa atas yang terdiri dari batang, cabang, dan daun serta biomassa bawah yang hanya terdiri dari akar. Persamaan alometrik berdasarkan selang ketinggian dibandingkan dengan hasil penelitian Dharmawan dan Siregar (2008) sementara persamaan alometrik setiap bagian Avicennia marina dibandingkan dengan tiga hasil penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya. Informasi tersebut disajikan pada Tabel 14 dan Tabel 15. Berdasarkan hasil analisis yang disajikan pada Tabel 14 dan Tabel 15, seluruh persamaan terpilih untuk menduga biomassa yang sudah dijelaskan sebelumnya menghasilkan perhitungan dengan nilai-nilai yang cukup akurat mendekati
44
perhitungan biomassa aktualnya di laboratorium jika dibandingkan dengan perhitungan menggunakan persamaan alometrik dari hasil penelitian sebelumnya. Tabel 12 Hasil perhitungan biomassa Avicennia marina menggunakan persamaan alometrik terpilih Hasil Aktual (Ton)
Biomassa (Ton) Total Rata-Rata
Persamaan alometrik (Ton) Y = - 0.000954 + 0.000002 X1 + 0.00103 X2
Y = - 0.000915 + 0.000008 X1
0.0351 0.0014
0.0334 0.0013
Log Y = - 7.42 + 1.79 Log X1+ 0.264 Log X2
Log Y = - 7.92 + 2.02 Log X1
0.0362 0.0015
0.0335 0.0013
0.0339 0.0014
Keterangan: Y= Biomassa (Ton), X1: = Tinggi Total (cm), X2= Diameter batang (cm)
Tabel 13 Hasil perhitungan biomassa Avicennia marina menggunakan berbagai persamaan alometrik No
Keterangan
1
Linear
2
Logaritmik
3
Variabel
Total 0.0012 0.0015 0.0014 0.0013 0.0014
Tt Tt dan DBH Tt TT dan DBH
Hasil aktual
Biomassa Rata-Rata (Ton) Akar Batang Cabang 0.0002 0.0005 0.0004 0.0004 0.0005 0.0003 0.0003 0.0005 0.0003 0.0003 0.0006 0.0003 0.0003 0.0006 0.0003
Daun 0.0001 0.0001 0.0002 0.0002 0.0002
Ket: Persamaan alometrik pada kolom variabel merujuk pada tabel persamaan alometrik (Tabel 12).
Tabel 14 Perbandingan hasil biomassa dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan selang ketinggian Keterangan Aktual Log Y= -7.42 + 1.79 (Log x1) + 0,264 (Log x2) 2,2598
Y = 0,2905 (DBH)
Nilai Biomassa Total (Ton)
Tt (cm)
DBH (cm)
n
0-500
0.7-2.5
25
0-500
0.7-2.5
25
89.4
0.0339
450-800
6.4-35.2
47
98.15
0.00004
R2
Author
0.0351
Hasil analisis laboratorium Hasil penelitian Dharmawan dan Siregar (2008)
Tabel 15 Perbandingan hasil biomassa dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan setiap bagian Avicennia marina No 1 2 3
4
5
6
Keterangan
R2
Aktual Persamaan Terpilih Dharmawan & Siregar (2008) Comley & Mc Guiness (2005) dalam Estrada et al. (2014) Amarasinghe & Balasubraniam (1992) dalam Estrada et al. (2014) Clought et al. (dalam Estrada et al. (2014)
n 25
0.670.96 0.850.98
25 47
DBH 0.73.5 0.73.5 6.435.2
Total 0.0014
Biomassa Rata-Rata (Ton/Pohon) Akar Batang Cabang 0.0006 0.0003 0.0003
0.0013
0.0003
0.0015
0.0006
0.0006
0.0003
Daun 0.0002 0.0011 0.0002 0.0011 0.0010
0.97
22
1.0-30
0.0014
0.92
29
2.012.5
0.0012
0.97
23
5.520.4
0.0009
45
Persamaan alometrik untuk Menduga Massa Karbon Avicennia marina Sama halnya dengan persamaan alometrik untuk menduga nilai biomassa, persamaan alometrik untuk menduga nilai massa karbon (C) dari Avicennia marina juga menggunakan variabel Tt (x1) dan DBH (x2). Nilai C diperoleh dari hasil perhitungan antara % C-organik dan biomassa. Persen C-organik pada setiap bagian Avicennia marina memiliki nilai yang berbeda sehingga % C-organik pada setiap kelas sampel juga akan berbeda. Persamaan alometrik untuk menduga C berdasarkan kelas ketinggian dapat dilihat pada Lampiran 4 sedangkan berdasarkan bagian dari Avicennia marina (akar, batang, cabang, dan daun) dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil analisis diperoleh persamaan terpilih untuk menduga massa karbon Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0-500 cm dan diameter batang ≤ 5cm adalah persamaan alometrik logaritmik menggunakan dua variabel (Tt dan DBH), yaitu Log Y = -8.20 + 1.92 (Log Tt) + 0.327 (Log DBH). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa persamaan alometrik untuk menduga massa karbon Avicennia marina yang memiliki ketinggian 0-100 cm, 101-200 cm, 201-300 cm, dan 301-400 cm masih belum memenuhi kaidah statistik sehingga tidak disarankan untuk digunakan dalam menduga nilai massa karbon. Persamaan regresi logaritmik dengan satu variabel menjadi persamaan terbaik untuk menduga nilai massa karbon akar, cabang, dan daun sedangkan persamaan logaritmik dua variabel menjadi persamaan terbaik untuk menduga massa karbon batang. Persamaan alometrik untuk massa karbon akar, cabang, dan daun adalah Log Yakar = -9.11 + 2.04(Log Tt), Log Ycabang = -9.41 + 2.13 (Log Tt), dan Log Ydaun = -8.46 + 1.64 (Log Tt) sedangkan untuk massa karbon batang adalah Log Ybatang = -8.89 +2.06 (Log Tt) + 0.467 (Log DBH). Hasil tersebut dibuktikan lebih lanjut melalui perbandingan antara perhitungan massa karbon aktual hasil analisis laboratorium dengan perhitungan menggunakan persamaan alometrik terpilih. Hasil analisis disajikan pada Tabel 16 dan Tabel 17. Selain itu, perhitungan nilai massa karbon hasil penelitian juga dibandingkan dengan persamaan alometrik hasil penelitian sebelumnya yang disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19. Tabel 16 Massa C (Ton) Total RataRata
Tabel 17 No
Hasil perhitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan persamaan alometrik terpilih Hasil Aktual (Ton)
Persamaan alometrik (Ton) Y = - 0.000464 + 0.000004 X1
Y = - 0.000479 + 0.000001 X1+ 0.000399 X2
Log Y = - 8.82 + 2.21 Log X1
Log Y = - 8.20 + 1.92 Log X1+ 0.327 Log X2
0.0138
0.0308
0.0331
0.0307
0.0311
0.0006
0.0013
0.014
0.0013
0.0013
Hasil perhitungan massa karbon Avicennia marina menggunakan berbagai persamaan alometrik
Keterangan
Variabel
1 Linear Tt 2 Linear Tt dan DBH 3 Log 1 TT 4 Log 2 TT dan DBH 5 Hasil aktual Keterangan: Tt = Tinggi total, DBH = Diameter setinggi
Total 0.0007 0.0005 0.0005 0.0005 0.0006
Massa Karbon Rata-Rata (Ton C) Akar Batang Cabang 0.0002 0.0002 0.0002 0.0001 0.0003 0.0001 0.0001 0.0003 0.0001 0.0001 0.0003 0.0001 0.0001 0.0003 0.0001
Daun 0.00002 0.00002 0.00004 0.00004 0.00005
46
Berdasarkan analisis yang disajikan pada Tabel 16 dapat diketahui bahwa analisis perhitungan menggunakan persamaan Log Y = -8.20 + 1.92 (Log Tt) + 0.327 (Log DBH) paling mendekati nilai perhitungan aktualnya di laboratorium. Sedangkan analisis perhitungan menggunakan persamaan alometrik bentuk logaritmik satu variabel (Tt) untuk menduga massa karbon akar, cabang, dan daun paling mendekati nilai perhitungan aktualnya di laboratorium (Tabel 17). Begitu pula dengan perhitungan menggunakan persamaan alometrik bentuk logaritmik dua variabel (Tt dan DBH) untuk menduga massa karbon batang paling mendekati perhitungan aktualnya. Selain itu, seluruh persamaan terpilih untuk menduga massa karbon yang sudah dijelaskan sebelumnya menghasilkan perhitungan dengan nilai-nilai yang cukup akurat mendekati perhitungan biomassa aktualnya di laboratorium jika dibandingkan dengan perhitungan menggunakan persamaan alometrik dari hasil penelitian sebelumnya (Tabel 18 dan Tabel 19). Tabel 18 Perbandingan hasil massa karbon dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan selang ketinggian Keterangan Aktual Log Y= -8.20 + 1.92 (Log x1) + 0.327 (Log x2) 2.2598
(Y = 0.2905 (DBH)
) x 0.5
Nilai Biomassa Total (Ton)
Tt (cm)
DBH (cm)
n
0-500
0.7-2.5
25
0-500
0.7-2.5
25
89.4
0.01290
450-800
6.4-35.2
47
98.15
0.000019
R2
0.01384
Author Hasil analisis laboratorium Hasil penelitian Dharmawan dan Siregar (2008)
Tabel 19 Perbandingan hasil massa karbon dengan berbagai persamaan alometrik berdasarkan setiap bagian Avicennia marina No 1 2 3
4
5
6
Keterangan
R2
Aktual Persamaan Terpilih Dharmawan & Siregar (2008) Comley & Mc Guiness (2005) dalam Estrada et al. (2014) Amarasinghe & Balasubraniam (1992) dalam Estrada et al. (2014) Clought et al. (dalam Estrada et al. (2014)
n 25
68.696.6 0.850.98
25 47
DBH 0.72.5 0.73.5 6.435.2
Total 0.0005
Massa Karbon Rata-Rata (Ton C/Pohon) Akar Batang Cabang 0.0003 0.0001 0.0001
0.0005
0.0001
0.0007
0.0003
0.0003
0.0001
Daun 0.00005 0.00045 0.00004 0.00044 0.0005
0.97
22
1.0-30
0.0007
0.92
29
2.012.5
0.0006
0.97
23
5.520.4
0.0005
Simpanan Karbon pada Sedimen Potensi Sedimen Simpanan karbon pada sedimen di lokasi penelitian berasal substrat
47
lumpur yang terjerap akibat pemasangan perangkap sedimen. Oleh karena itu, potensi sedimen yang terjerap disana perlu diketahui. Sedimen yang terperangkap di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 21 berdasarkan kelas kedalaman. Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa semakin ke arah laut kedalaman semakin bertambah sehingga volume sedimen semakin bertambah pula. Hasil penelitian Donato et al. (2012) menunjukkan bahwa simpanan karbon di bawah tanah (belowground carbon) pada ekosistem mangrove 8 kali lebih besar dibandingkan karbon yang berada di atas tanah (aboveground carbon). Penelitian menunjukkan bahwa dari 1.023 ton C/ha yang tersimpan pada ekosistem mangrove, sekitar 900 ton C/ha merupakan karbon yang tersimpan di bawah tanah dan sisanya sekitar 123 ton C/ha merupakan karbon di atas tanah. Informasi tersebut menunjukkan bahwa tanah pada ekosistem mangrove menyimpan jauh lebih besar karbon dibandingkan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa volume sedimen awal sebelum pemasangan perangkap sebesar 26.296.14 m3 dengan kedalaman kurang lebih 3 meter. Volume sedimen setelah pemasangan perangkap sedimen menjadi 35.061.53 m3 dengan kedalaman total 400 cm. Artinya, pemasangan perangkap sedimen memberikan kontribusi pada penambahan volume sedimen di lokasi penelitian sebanyak 8765.38 m3 dengan kedalaman kurang lebih 100 cm.
Gambar 21 Peta penyebaran sedimen yang terperangkap berdasarkan kelas Kedalaman Massa Karbon Sedimen Setelah mengetahui potensial sedimen yang terdapat di lokasi penelitian, selanjutnya massa karbon sedimen dapat dianalisis. Proses penghitungan massa karbon atau simpanan karbon pada sedimen tidak terlepas dari dua parameter utama, yaitu nilai Bulk Density (BD) dan % karbon organiknya (% C-organik). Nilai ini akan mempengaruhi proporsi massa karbon yang terkandung dalam setiap lapisan sampel sedimen yang dianalisis. Nilai BD menunjukkan jumlah
48
bobot massa tanah pada kondisi lapangan yang telah dikering-ovenkan per satuan volume (Sugirahayu dan Rusdiana 2011). Semakin tinggi nilai BD maka kepadatan tanah semakin tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai BD mengalami penurunan seiring dengan penambahan kedalaman sedimen (Tabel 20). Bulk Density rata-rata pada kedalaman 0-10 cm merupakan BD paling tinggi, yaitu sebesar 1.65 gram/cm3 sedangkan pada kedalaman 100-400 cm nilainya tidak bertambah, yaitu sebesar 0.17 gram/cm3. Nilai BD pada kedalaman 10-50 cm dan 50-100 cm berturut-turut sebesar 0.42 gram/cm3 dan 0.36 gram/cm3Nilai BD rata-rata sampai kedalaman 400 cm , yaitu 0.49 gr/cm3 (Tabel 20). Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Sugirahayu dan Rusdiana (2011) yang menunjukkan bahwa nilai BD tanah hutan mangrove sebesar 0.50 gr/cm3. Nilai BD pada setiap lapisan kedalaman sedimen akan memiliki nilai yang berbeda tergantung pada lokasi titik pengambilan sampel dan jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya. Hal tersebut telah dibuktikan oleh Mahasani et al.(2015) yang melakukan penelitian di hutan mangrove bekas tambak, Perancak, Jembrana Bali. Hasil analisis menunjukkan bahwa lokasi pengambilan sampel di tiga lokasi, yaitu dekat jalan raya dengan vegetasi Rhizophora sylosa, dekat muara sungai dengan vegetasi jenis Ceriops tagal dan Bruguiera gymnorhiza, dan dekat muara sungai dengan vegetasi jenis Rhizophora apiculata menunjukkan nilai BD yang berbeda pada setiap lapisan kedalaman. Selain lokasi penelitian dan jenis vegetasi, nilai BD juga akan dipengaruhi oleh tekstur tanah karena berhubungan dengan kepadatan tanah. Tekstur tanah sangat berhubungan dengan ukuran partikel. Partikel penyusun tanah di hutan mangrove didominasi oleh pasir sehingga pori-pori tanahnya besar. Akibatnya, kemampuan untuk menahan airnya menjadi sangat rendah dan kerapatan tanahnya menjadi rendah. Selain itu, kondisi tanah demikian akan mudah mengalami pencucian. Pencucian terjadi akibat adanya pasang surut air laut yang terjadi setiap hari seperti yang terjadi di lokasi penelitian. Nilai BD pada setiap selang kedalaman semakin kecil. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh tekstur tanah yang semakin memadat ke arah vertikal. Tabel 20 Hasil analisis bulk density, % C-organik, dan massa karbon sedimen di lokasi penelitian Selang Kedalaman (cm)
Rata-Rata BD (gr/cm3)
C-Org (%)
0-10
1.65
1.35
10-50
0.42
1.28
50-100
0.36
1.38
100-200
0.17
1.50
200-300
0.17
1.42
300-400
0.17
1.51
0.49
1.41
Luas (cm2)
87.653.814 87.653.814 87.653.814 87.653.814 87.653.814 87.653.814
Total Rata-Rata
Kedalaman (cm) 10 40 50 100 100 100 400
87.653.814
Volume (cm3)
876.538.140 3.506.152.560 4.382.690.700 8.765.381.400 8.765.381.400
C (ton)
C (ton/ha)
19.53
24.42
18.95
23.69
21.58
26.97
22.70
28.37
21.24
26.55
8.765.381.400 35.061.525.600
23.03
28.79
127.03
158.78
5.843.587.600
21.17
26.46
Proses selanjutnya dalam penentuan simpanan karbon pada sedimen karbon adalah menentukan % C-organik dari sedimen tersebut. Kadar C-organik
49
yang dianalisis merupakan persentase kadar C yang terkandung dalam nilai BD yang sudah dianalisis sebelumnya. Hasil analisis kadar C-organik pada setiap selang kedalaman sedimen di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 20. Kadar Corganik rata-rata mengalami penurunan dari kedalaman 10 cm ke 50 cm sebanyak 0.07%. Persentase C-organik rata-rata pada kedalaman 0-10 cm yang lebih tinggi kemungkinan disebabkan oleh kondisi substrat yang berada pada bagian top soil sehingga masih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama adanya gelombang dan pasang surut air laut yang membawa material sedimen. Sedimen tersebut kemungkinan membawa sejumlah material dengan kandungan karbon organik tertentu di dalamnya. Selanjutnya, kadar C-organik pada kedalaman 50-200 cm lebih tinggi dan terus meningkat dibandingkan pada kedalaman 10-50 cm. Persentase C-organik rata-rata pada kedalaman 50-100 cm sebesar 1.38% dan pada kedalaman 100-200 cm sebesar 1.50%. Kadar C-organik pada kedalaman 200-300 cm ternyata lebih rendah dibandingkan kedalaman sebelumnya walaupun nilainya tidak terlalu berbeda jauh dengan kedalaman 100-200 cm. Kadar Corganik paling tinggi berada pada kedalaman 300-400 cm, yaitu 1.51%. Jika seluruh nilai % C-organik pada kedalaman 0-400 cm dirata-ratakan maka hasil yang diperoleh sebesar 1.41%. Persentase kadar C-organik sedimen pada setiap selang kedalaman memiliki pola fluktuatif naik turun (Tabel 20). Widiatmaka (2013) menyatakan bahwa kadar organik pada tanah termasuk sedimen sangat sensitif terhadap sejumlah faktor, diantaranya adalah iklim, tofografi, tanah dan pengelolaan tanaman, serta kondisi antropogenik lainnya. Karbon organik tanah juga meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan dan menurun seiring dengan meningkatnya temperatur (Paustianet et al. 1998 dalam Widiatmaka 2013). Jika dianalisis lebih lanjut, kadar C-organik pada lapisan top soil, yaitu 0-50 cm maka diperoleh rata-rata kadar C-organik sebesar 1.31%. nilai tersebut lebih kecil dibandingkan % C-organik rata-rata pada lapisan sub soil, yaitu 50-100 cm sebesar 1.38%. Besaran nilai kadar C-organik pada lapisan top soil kemungkinan sebagian besar berasal dari serasah (litter) yang berada di lapisan atas sedimen. Serasah tersebut terkonsentrasi disana, membusuk kemudian terdekomposisi dan terurai menjadi komponen penyusun bahan organik tanah. Jika dilihat dari kondisi vegetasi yang masih dalam tahap semai dan pancang, maka serasah yang gugur di atas permukaan sedimen masih dalam jumlah yang relatif sedikit. Selain itu, kondisi gelombang air laut pada saat pengambilan sampel sedimen masih cukup tinggi karena berada pada musim angin barat. Hal tersebut menyebabkan serasah yang berada di lantai hutan mangrove sangat mudah terbawa gelombang tersebut. Kadar C-organik pada lapisan sub soil, yaitu pada kedalaman 50-100 cm memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan lapisan di atasnya. Namun, nilai tersebut tidak terlalu beda jauh, yaitu 1.38%. Berdasarkan penelitian Siringoringo (2015), pada lapisan sub soil (30-100 cm) nilai karbon tidak akan berbeda nyata dengan lapisan top soil. Hal tersebut dikarenakan pasokan serasah dari permukaan yang semakin menurun. Pada lapisan ini, nilai karbon organik lebih banyak dipengaruhi oleh kepadatan akar. Akar tanaman akan melepaskan sejumlah senyawa organik ke lingkungan sekitarnya. Senyawa-senyawa tersebut seperti lignin, suberin, dan rhizodeposition. Selain senyawa organik, pada lapisan sub soil juga terdapat jamur mikoriza dan terjadi pengendapan (illuvation) melalui pencampuran sedimen atau tanah oleh organisme (bioturbation) dan terjadi
50
pencucian (leaching). Kadar C-organik pada lapisan sub soil (kedalaman 50-200 cm) lebih tinggi dibandingkan lapisan top soil (0-50 cm). Kondisi demikian kemungkinan besar serupa seperti kondisi di lokasi penelitian Siringoringo (2015). Pada lapisan ini, akar Avicennia marina memainkan peran yang cukup besar dalam memasok sejumlah karbon organik sedimen. Kepadatan Avicennia marina yang snagat rapat memungkinkan terjadinya pelepasan sejumlah senyawa organik yang berasal dari akar yang selanjutnya mempengaruhi proporsi kadar karbon organik di dalam sedimen. Hal menarik lain di lokasi penelitian adalah kadar C-organik pada kedalaman 200-300 cm yang kembali menurun kemudian meningkat pada kedalaman 300-400 cm. Penyebab kondisi tersebut belum dapat dijelaskan secara lebih rinci. Namun, kemungkinan besar berkaitan dengan kondisi sedimen di masa lalu. Sedimen yang berada lebih dalam sudah mengalami beberapa kali proses pencucian akibat pasang surut air laut dan pemadatan. Selain itu, pada lapisan sedimen yang lebih dalam telah terjadi interaksi mineral sehingga komposisi kimiawinya sangat dipengaruhi oleh proses pedologi (Siringoringo 2015). Hasil analisis kadar C-organik sedimen menunjukkan nilai yang cukup berbeda jauh dengan penelitian Dharmawan dan Siregar (2008) yang menghitung % C-organik di Ciasem Purwakarta, yaitu sebesar 2.9%. walaupun vegetasi yang tumbuh disana sama, yaitu Avicennia marina namun kondisi vegetasinya berbeda jauh. Avicennia marina disana memiliki memiliki diameter batang yang lebih besar. Sementara itu, kondisi vegetasi di lokasi penelitian masih dalam tahap semai dan pancang dengan diameter batang ≤ 5 cm. Namun, secara umum % Corganik untuk hutan mangrove di Indnesia berada pada kisaran 1.32-8.95 % (Hanafi dan Badayos 1989, Murtidjo 1996 dalam Dharmawan dan Siregar 2008). Menurut Hidayanto et al., (2004) dalam Dharmawan dan Siregar (2008), semakin besar vegetasi pada suatu hutan mangrove maka akan memiliki kemampuan yang semakin besar untuk menghasilkan serasah organik. Serasah organik tersebut berasal dari guguran daun dan merupakan penyusun utama bahan organik dalam tanah. Lokasi penelitian dapat dikatakan sebagai kawasan hasil aforestasi sehingga keseimbangan karbonnya sangat dipengaruhi oleh jenis pohon yang berkaiatan erat dengan laju pertumbuhan pohon. Produksi dan kualitas serasah sangat dipengaruhi oleh jenis pohon dan mempengaruhi dinamika karbon organik tanah (Cruzado et al. 2011 dalam Siringoringo 2015). Hasil penelitian massa karbon menunjukkan pola yang sama dengan hasil % C-organiknya (Gambar 22). Pola naik turun tersebut sangat dipengaruhi oleh proporsi kadar C-organik dalam setiap lapisan sedimen. Simpanan karbon paling tinggi berada pada kedalaman 300-400 cm dan paling rendah berada pada kedalaman 10-50 cm. Nilai simpanan karbon sedimen berturut-turut pada kedalaman 0-10 cm sebesar 19.53 ton C atau 22.20 ton C/ha, 10-50 cm sebesar 18.95 ton C atau 21.53 ton C/ha, 50-100 cm sebesar 21.58 ton C atau 24.52 ton C/ha, 100-200 cm sebesar 22.70 ton C atau 25.79 ton C/ha, 200-300 cm sebesar 21.24 ton C atau 24.14 ton C/ha, dan 300-400 cm sebesar 23.03 ton C atau 26.17 ton C/ha. Simpanan karbon total yang terdapat pada sedimen pada kedalaman 0400 cm sebesar 127.03 ton C atau 144.35 ton C/ha. Simpanan karbon awal (sebelum pemasangan perangkap sedimen) sebesar 66.97 ton C atau 76.10 ton C/ha dengan kedalaman 300 cm dan simpanan karbon yang berasal dari sedimen terperangkap sebesar 60.06 ton C atau 68.25 ton C/ha pada kedalaman 100 cm.
51
Massa Karbon Sedimen Massa Karbon
30,00 25,00 20,00 15,00 Massa Karbon (ton C)
10,00 5,00
Massa Karbon (ton C/ha)
0,00
Kedalaman (cm)
Gambar 22 Simpanan karbon pada sedimen di lokasi penelitian Hasil tersebut menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Donato et al. (2012) di wilayah Indo-Pasifik pada 25 lokasi penelitian, yaitu 900 Ton C/ha di bawah permukaan dan 700 Ton C/ha diantaranya berada pada kedalaman lebih dari 30 cm. Hasil penelitian Alongi (2012) menunjukkan bahwa pada hutan mangrove yang ditumbuhi Avicennia marina di wilayah Indonesia, massa karbon yang tersimpan di bawah permukaan pada kedalaman 80 cm sebesar 413 Ton C/ha. Jumlah simpanan karbon yang lebih sedikit dibandingkan dua penelitian sebelumnya di Indonesia kemungkinan disebabkan oleh kondisi vegetasi yang masih dalam tahap semai dan pancang sehingga jumlah serasah organik yang berada di lantai hutan masih sedikit. Selain itu, kondisi gelombang air laut di lokasi penelitian saat pengambilan sampel sedimen dipengaruhi oleh angin barat. Gelombang pada saat itu cukup tinggi sehingga sangat mempengaruhi material sedimen yang terbawa arus. Berdasakan hasil penelitian, jumlah karbondioksida (CO2) yang dapat diserap sebesar 529.28 ton CO2/ha. Hasil tersebut menunjukkan bahwa simpanan karbon pada sedimen 4 kali lebih tinggi sampai kedalaman 400 cm dibandingkan pada vegetasinya.
Strategi Pengelolaan Perangkap Sedimen Strategi pengelolaan perangkap sedimen dilakukan agar sedimen yang telah terperangkap dan vegetasi Avicennia marina yang sudah dan terus tumbuh alami dapat tetap terjaga. Alasan utama penyusunan strategi ini adalah ekosistem mangrove di lokasi penelitian sudah terbukti dapat menyimpan sejumlah karbon organik, baik pada sedimen maupun pada vegetasi mangrovenya sehingga keberadaan perangkap sedimen tersebut harus dipertahankan. Analisis strategi dilakukan melalui metode SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) dengan mengidentifikasi sejumlah faktor kemudian merumuskan strateginya. Faktor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang akan mempengaruhi pengelolaan perangkap sedimen secara internal dan eksternal. Kedua faktor disusun secara sistematis untuk memudahkan dalam penentuan strategi
52
pengelolaan kedepannya. Faktor internal berasal dari ekosistem mangrove (sedimen dan vegetasi) di lokasi penelitian dan faktor eksternal berasal dari luar atau sekitar ekosistem mangrove. Identifikasi Faktor Internal (IFAS) Faktor internal yang yang mempengaruhi strategi pengelolaan perangkap sedimen di pesisir CAPD terdiri dari dua komponen, yaitu komponen kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses). Kedua komponen tersebut akan mempengaruhi secara langsung dalam melakukan pengelolaan perangkap sedimen disana. Jika komponen kekuatan dikembangkan dengan baik maka pengelolaan perangkap sedimen dan ekosistem mangrove disana juga akan berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika kelemahan yang ada tidak dikelola dengan baik maka pengelolaan perangkap sedimen dan ekosistem mangrove disana juga akan menjadi terhambat dan terkendala. Hasil analisis menunjukkan 8 variabel yang menjadi bagian dari faktor internal, yaitu 4 variabel yang termasuk ke dalam komponen kekuatan (Strength) dan 4 variabel lainnya termasuk ke dalam komponen kelemahan (Weakness). Informasi secara lengkap mengenai faktor internal disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Matriks faktor internal strategi pengelolaan perangkap sedimen Faktor Internal
Bobot
Rating
Skor
mangrove mampu menyimpan cadangan karbon organik sehingga membantu penurunan emisis GRK 2. Ketersediaan bibit mangrove yang melimpah (mangrove tumbuh alami di lokasi penelitian) 3. Musim angin timur yang terjadi enam bulan sekali sehingga memungkinkan terjadinya pemadatan sedimen 4. Kawasan lindung yang dilindungi UU Jumlah Kelemahan 1. Tanah timbul (sedimen) yang dihasilkan dari pemasangan perangkap sedimen sering dianggap tanah bersama sehingga rentan dijadikan tambak 2. Lokasi penelitian berada dalam kategori desa miskin sehingga rentan terhadap perusakan dalam memenuhi kebutuhan hidup 3. Kapasitas adaptasi dan keinginan masyarakat dalam melindungi pesisir CAPD masih cukup rendah 4. Kebijakan lokal yang mengatur perlindungan wilayah yang dipasang perangkap sedimen belum ada. Jumlah Total Kecenderungan terhadap faktor internal
0.10
3
0.30
0.20
4
0.80
0.10
4
0.40
0.05 0.45
2
0.10 1.60
0.20
4
0.80
0.15
3
0.45
0.10
2
0.20
0.10
2
0.20
Kekuatan
1. Ekosistem
0.55 1.00
1.65 3.25 -0.05
53
Sumber: Diadaptasi dari Sualia (2011) dan Purbani et al (2011) kemudian dimodifikasi dengan hasil penelitian (2015)
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada komponen kekuatan (Strength), ketersediaan bibit mangrove yang melimpah (mangrove tumbuh secara alami di lokasi penelitian) memperoleh nilai yang paling tinggi dibandingkan komponen kekuatan lainnya, yaitu 0.80 dengan bobot 0.20 dan rating 4. Komponen ini menjadi salah satu pengaruh yang paling penting dalam menjaga keberadaan keberadaan tanah timbul hasil pemasangan perangkap sedimen. Komponen kekuatan selanjutnya yang memiliki rating 4 adalah musim angin timur yang terjadi enam bulan sekali sangat memungkinkan terjadinya pamadatan sedimen hasil penjerapan perangkap. Kondisi ini memungkinkan sedimen menjadi stabil dan lebih padat sehingga lebih stabil apabila tumbuh mangrove di atasnya. Komponen ini memiliki nilai 0.40 dengan bobot yang lebih rendah dibandingkan ketersediaan bibit mangrove, yaitu 0.10. komponen ini penting untuk dipertimbangkan dalam melakukan strategi pengelolaan perangkap sedimen namun kedatangannya (musim angin timur) hanya terjadi 1 tahun sekali atau lebih tepatnya 6 bulan sekali jika musim berjalan normal sehingga nilai bobotnya dianggap lebih rendah dibandingkan komponen kekuatan yang telah dibahas sebelumnya. Komponen kekuatan ketiga yang teridentifikasi adalah kemampuan ekosistem mangrove yang dapat menyimpan cadangan karbon. Nilai yang diperoleh sebesar 0.30 dengan rating 3 dan bobot 0.10. Berdasarkan hasil penelitian, ekosistem mangrove di areal perangkap sedimen mampu menyimpan cadangan karbon sebesar 158.55 ton C atau 162.85 ton C/ha. Sehingga, dapat diketahui total emisi CO2 yang dapat diserap sebanyak 660.63 ton CO2/ha selama 3 tahun atau 220.21 ton CO2/ha/tahun. Nilai tersebut menjadi salah satu alasan dalam pengelolaan perangkap sedimen. Jika keberadaan perangkap sedimen yang menghasilkan tanah timbul dipertahankan keberadaannya bahkan dikelola secara baik dan tepat maka sejumlah karbon organik yang tersimpan akan semakin bertambah. Secara tidak langsung akan membantu dalam kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca, khususnya karbondioksida (CO2). Komponen kekuatan terakhir yang teridentifikasi dalam rangka melakukan strategi pengelolaan perangkap sedimen adalah CAPD merupakan kawasan lindung yang keberadaannya dilindungi oleh peraturan. Hal tersebut dapat menjadi kekuatan dalam melakukan pengelolaan perangkap sedimen karena secara tidak langsung wilayah penelitian berada di kawasan CAPD yang dilindungi peraturan resmi. Pemasangan perangkap sedimen dapat menjadi salah satu upaya dalam mitigasi bencana terhadap kawasan pesisir dalam meredam bencana akibat perubahan iklim. Komponen tersebut memiliki rating 2 dengan bobot 0.05 dan nilai 0.10. Semakin tinggi rating (4) dan semakin tinggi bobot (0.20) maka komponen tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap strategi pengelolaan perangkap sedimen kedepannya jika dikelola dengan baik. Selain komponen kekuatan, faktor internal lainnya yang dianalisis adalah komponen kelemahan (Weakness). Hasil analisis menunjukkan bahwa tanah timbul yang terbentuk dari hasil pemasangan perangkap sedimen rentan dikuasai oleh pihak-pihak tertentu menjadi kelemahan pertama yang memperoleh nilai paling tinggi dibandingkan 3 komponen kelemahan lainnya. Keberadaan tanah timbul di lokasi penelitian menarik perhatian berbagai pihak terutama pihak-pihak yang berkepentingan melakukan usaha budidaya pertambakan. Secara tersurat, status dari tanah timbul tersebut belum dapat ditentukan secara pasti menjadi
54
bagian dari CAPD sehingga hal tersebut sering kali memicu kejadian pengakuan hak atas tanah tersebut. Oleh karena itu, hasil analisis menunjukkan nilai sebesar 0.80 dengan rating 4 yang artinya sangat berpengaruh terhadap strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang akan dilakukan. Jika komponen kelemahan ini dibiarkan maka keberadaan sedimen akan terancam (Tabel 21). Komponen kelemahan lainnya yang mempengaruhi adalah lokasi penelitian berada di desa miskin sehingga kegiatan yang berhubungan dengan eksploitasi masih dianggap biasa saja dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, terutama perekonomian. Komponen ini memiliki rating 3 (cukup berpengaruh) dan bobot 0.15. Komponen kelemahan selanjutnya sangat berkaitan dengan komponen keberadaan lokasi penelitian di wilayah desa miskin, yaitu kapasitas adaptasi dan keinginan masyarakat dalam melindungi pesisir CAPD masih cukup rendah. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya aktifitas masyarakat yang merambah pohon-pohon di dalam hutan mangrove untuk dijadikan kayu bakar. Rating dari komponen ini termasuk kategori berpengaruh (rating 2) namun hasil skoring menunjukkan nilai yang lebih lebih rendah dari dua komponen kelemahan yang sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu 0.10 sehingga nilai totalnya sebesar 0.20. Komponen kelemahan yang terakhir adalah kebijakan lokal yang mengatur perlindungan areal yang dipasang perangkap sedimen belum ada. Hal tersebut berpotensi menjadi permasalahan jika tidak dikelola dengan baik. Komponen tersebut memiliki skor 0.10 dengan rating 2 yang artinya cukup berpengaruh. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 21, diketahui bahwa skor total dari komponen kekuatan (Strengths) lebih rendah dibandingkan komponen kelemahan (Weaknesses). Skor total komponen kekuatan 1.60 sedangkan kelemahan 1.65. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa komponen kelemahan di lokasi penelitian memiliki pengaruh sedikit lebih banyak dibandingkan komponen kekuatannya dalam mempengaruhi kondisi sedimen dan vegetasi mangrove di sana. Oleh karena itu, diperlukan strategi pengelolaan yang tepat untuk meminimalkan pengaruh kelemahan terhadap keberhasilan pengelolaan perangkap sedimen di lokasi penelitian. Sehingga, sedimen yang terperangkap dan vegetasi mangrove yang tumbuh disana tetap dalam kondisi terlindungi bahkan semakin baik. Selain itu, kondisi pesisir CAPD khusunya dapat tetap terjaga. Identifikasi Faktor Eksternal (EFAS) Selain faktor internal, faktor lainnya yang menjadi pertimbangan dalam penentuan strategi pengelolaan ekosistem mangrove di areal yang dipasang perangkap sedimen adalah faktor ekstrenal. Faktor eksternal berisi komponenkomponen peluang dan ancaman yang akan mempengaruhi pengelolaan pemasangan perangkap sedimen di lokasi penelitian. Faktor eksternal terdiri dari dua komponen utama, yaitu komponen peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats). Komponen peluang merupakan komponen yanag akan mempengaruhi keberhasilan dalam menentukan strategi pengelolaan pemasangan perangkap sedimen di lokasi penelitian baik secara langsung maupun tidak langsung jika dikelola dengan baik. Sedangkan ancaman merupakan faktor eksternal yang akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Jika ancaman tersebut dikelola dengan baik maka akan meningkatkan keberhasilan pengelolaan sebaliknya jika tidak dikelola dengan baik maka ancaman akan menjadi permasalahan di kemudian hari. Komponen peluang yang teridentifikasi sebagai
55
bagian dari strategi pengelolaan ekosistem mangrove di areal perangkap sedimen sebanyak 4 vaiabel sedangkan ancaman yang teridentidikasi sebanyak 4 variabel. Hasil identifikasi faktor eksternal dan penilaiannya disajikan secara lengkap pada Tabel 22. Tabel 22 Matriks faktor eksternal strategi pengelolaan perangkap sedimen Faktor Eksternal
Bobot
Rating
Skor
0.10
3
0.30
0.10
4
0.40
0.15
4
0.60
0.05
2
0.10
Peluang
1. Kolaborasi dengan Dinas Kehutanan, pengelola CAPD, lembaga lain (LSM, NGO), dan kelompok pecinta alam CAPD 2. Kondisi tanah timbul yang sangat potensial untuk ditanami mangrove 3. Kondisi tanah timbul yang sangat potensial untuk diperluas dan dipelihara 4. Sikap dan semangat beberapa kelompok masyarakat yang dapat dikembangkan ke pihak lain Jumlah Ancaman
1. Bencana: kenaikan muka air laut, abrasi, banjir rhob 2. Pengambilan kayu mangrove untuk kayu bakar 3. Pengambilan telur burung air dan perburuan satwa liar 4. Pengakuan hak atas tanah timbul untuk dijadikan tambak Jumlah Total Kecenderungan terhadap faktor eksternal
0.40
1.40
0.10
4
0.40
0.15
2
0.30
0.15
1
0.15
0.20
3
0.60
0.60 1.00
1.45 2.85 -0.05
Sumber: Diadaptasi dari Sualia (2011) dan Purbani et al (2011) kemudian dimodifikasi dengan hasil penelitian (2015)
Hasil analisis faktor eksternal pada komponen peluang (Opportunities) menunjukkan bahwa kondisi tanah timbul yang sangat potensial untuk diperluas dan dipelihara memiliki total skor total yang paling tinggi dibandingkan tiga komponen peluang lainnya (Tabel 22). Hal tersebut bermakna bahwa pemasangan perangkap sedimen di pesisir CAPD dapat dikembangkan dan diperluas ke arah barat dan timur dari lokasi pemasangan saat ini. Komponen ini memiliki bobot 0.15 dan rating 4 sehingga nilainya memperoleh 0.60. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahadian (2013) menggunakan Citra Satelit Landsat dalam kurun waktu 1972-2011 telah terjadi proses abrasi dan akresi di sepanjang Teluk Banten termasuk di dalamnya pesisir CAPD. Melalui penelitiannya diketahui bahwa dalam kurun waktu 39 tahun (1972-2011) laju jangkauan abrasi maksimum di Teluk Banten mencapai 25 m/tahun terutaam di daerah Timur Teluk Banten. Abrasi di daerah Timur Teluk Banten inilah yang menyebabkan akresi di bagian Barat Teluk Banten, yaitu Pulau Dua (lokasi penelitian berlangsung). Kejadian tersebut menyebabkan kemungkinan terjadinya proses sedimentasi di
56
pesisir CAPD menjadi lebih tinggi. Jika pemasangan perangkap sedimen diperluas dan dipelihara maka sedimen hasil akresi juga kemungkinan akan lebih banyak terjerap. Komponen peluang lainnya yang memiliki rating 4 adalah kondisi tanah timbul yang sangat potensial untuk ditanami mangrove. Namun, komponen tersebut memiliki bobot lebih rendah, yaitu 0.10 sehingga total nilai yang dihasilkan sebesar 0.40. Bibit mangrove yang melimpah (teridentifikasi pada bagian komponen kekuatan) sangat tergantung pada kondisi tanah timbul (sedimen) di lokasi penelitian. Hal tersebut terbukti dengan muncul dan berkembangnya vegetasi Avicennia marina secara alami di lokasi penelitian. Jika pemasangan perangkap sedimen diperluas maka tanah timbul yang dihasilkan juga akan semakin luas dan vegetasi mangrove yang tumbuh alami juga akan semakin banyak. Kedua komponen tersebut tidak akan berhasil sepenuhnya jika peluang kolaborasi dengan Dinas Kehutanan, pengelola CAPD, lembaga lain (LSM, NGO), dan kelompok pecinta alam CAPD tidak dikembangkan dengan baik. Komponen ini memiliki rating 3, artinya berpengaruh terhadap strategi pengelolaan yang akan berjalan. Komponen ini memiliki bobot 0.10 sehingga skor totalnya sebesar 0.30 (lebih rendah dibandingkan dua komponen peluang sebelumnya). Komponen peluang terakhir yang teridentifikasi adalah sikap dan semangat beberapa kelompok masyarakat yang dapat dikembangkan ke pihak lain seperti beberapa kelompok masyarakat yang bergerak dalam bidang penghijauan dan rehabilitasi mangrove. Komponen ini memiliki rating 2 artinya cukup berpengaruh dan bobot 0.05 sehingga total nilainya sebesar 0.10. Seluruh komponen peluang yang teridentifikasi jka dimanfaatkan semaksimal dan sebaik mungkin maka akan mendukung pengelolaan perangkap sedimen kedepan terutama dalam hal perluasan. Identifikasi selanjutnya terhadap faktor eksternal adalah komponen ancaman (Threats). Hasil identifikasi dan analisis di lapangan menunjukkan bahwa terdapat 4 ancaman yang akan akan mempengaruhi kelangsungan dari strategi pengelolaan ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Ancaman yang sangat berpengaruh terhadap strategi pengelolaan perangkap sedimen adalah bencana dari alam berupa kenaikan muka air laut, abrasi, dan banjir rhob. Walaupun rating dari komponen ini 4 namun bobot yang dimilikinya sebesar 0.10 sehingga skor totalnya sebesar 0.40. Hal tersebut dikarenakan bencana hanya datang ketika musim angin barat saja, atau sekitar 6 bulan sekali (Tabel 22). Komponen pengakuan hak atas tanah timbul untuk dijadikan tambak lebih rentan terjadi sehingga nilai bobotnya lebih tinggi dibandingkan bencana, yaitu sebesar 0.20 walaupun ratingnya dibawah komponen bencana, yaitu 3. Skor total dari komponen ini sebesar 0.60. Tanah timbul yang terbentuk dari hasil pemasangan perangkap sedimen dikhawatirkan akan diambil alih oleh orang atau kelompok tertentu untuk dijadikan tambak budidaya perikanan karena area yang berada di belakang CAPD merupakan areal pertambakan seluas kurang lebih 515 ha. Ancaman selanjutnya yang teridentifikasi sebagai bagian dari faktor eksternal adalah pengambilan kayu mangrove untuk dijadikan kayu bakar dan pengambilan telur burung air dan satwa liar yang hidup di lokasi penelitian. Kedua komponen tersebut memiliki bobot yang sama, yaitu 0.15 karena keduanya sama-sama mengancam eksistensi hutan mangrove yang berada di area hasil pemasangan perangkap sedimen. Walaupun demikian, rating dari komponen
57
pengambilan kayu mangrove lebih tinggi dibandingkan pengambilan telur, yaitu masing-masing 2 dan 1. Hal tersebut dikarenakan telur burung akan melimpah hanya pada saat musim berbiak burung air sementara kayu mangrove akan ada sepanjang musim sehingga kerentanan untuk diambil masyarakat lebih tinggi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 22, diketahui bahwa skor total dari komponen peluang (Opportunities) lebih rendah dibandingkan komponen ancaman (Threats). Skor total komponen peluang sebesar 1.40 sedangkan kelamahan 1.45. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa komponen ancaman di lokasi penelitian sedikit lebih besar pengaruhnya dibandingkan komponen peluang sehingga diperlukan strategi tepat untuk meminimalisasi komponen ancaman tersebut. Pengembangan Matriks Internal-Eksternal (IE Matrix) Setelah diketahui berbagai komponen yang termasuk ke dalam faktor internal (Kekuatan dan Kelemahan) dan eksternal (Peluang dan Ancaman), selanjutnya kedua faktor tersebut dikolaborasikan untuk menghasilkan informasi mengenai kondisi perangkap sedimen dan ekosistem mangrove saat ini (existing position). Hasil analisis pada Tabel 21 dan Tabel 22 kemudian dipetakan sehingga diperoleh kuadran plotting posisi ekosistem mangrove di areal perangkapsedimen saat ini berdasarkan total skor tersebut. Hasil matriks internal-eksternal disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Hasil analisis matriks internal-eksternal (IE matrix) Hasil analisis faktor internal dan eksternal diketahui bahwa total skor nilai faktor internal sebesar 3.25 dan total skor faktor eksternal sebesar 2.85. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan dapat dilanjutkan dengan total skor faktor internal lebih dari 2 dan total skor faktor eksternal lebih dari 1 (Rangkuti 2014). Hasil plotting menunjukkan bahwa posisi pengelolaan perangkap sedimen berada pada kuadran IV, yaitu kondisi stabilitas (hati-hati). Jika dikaitkan dengan hasil penelitian maka teknologi pemasangan perangkap sedimen yang telah dilakukansudah tepat namun masih perlu dimantapkan. Hal tersebut dilakukan agar sedimen yang terperangkap dan vegetasi Avicennia marina yang tumbuh disana semakin banyak. Sehingga, simpanan karbon organik
58
di sana juga akan semakin tinggi dan kondisi ekosistem mangrove (pesisir dan CAPD) juga akan semakin terlindungi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan strategi yang sesuai dengan kondisi di lapangan dimana ancaman dan kelemahan masih lebih besar dibandingkan kekuatan dan peluang yang ada. Strategi Pengelolaan Perangkap Sedimen di Lokasi Penelitian Strategi yang disusun untuk pengelolaan perangkap sedimen di lokasi penelitian dilakukan melalui proses perpaduan faktor internal dan faktor eksternal menggunakan matriks SWOT. Komponen kekuatan dan kelemahan dikolaborasikan dengan komponen peluang dan ancaman untuk menghasilkan strategi paling tepat yang dapat diimplementasikan dalam pengelolaan perangkap sedimen disana. tujuan utama dari strategi tersebut adalah untuk memperoleh kondisi tanah timbul (sedimen) yang lebih banyak dan stabil sehingga vegetasi mangrove yang tumbuh juga akan semakin banyak. Akibatnya, pesisir CAPD serta hutan mangrove di dalamnya juga akan terlindungi dari ancaman terutama penguasaan hak atas tanah, intervensi manusia, dan bencana. Selain itu, strategi pengelolaan yang tepat diharapkan dapat meredam berbagai kelemahan yang timbul di lokasi penelitian terutama yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi dan kebijakan. Strategi yang akan dipakai dalam melakukan pengelolaan ekosistem mangrove di lokasi yang dipasang perangkap sedimen diketahui dari nilai hasil perhitungan kecenderungan terhadap faktor internal dan eksternal. Hasil perhitungan menunjukkan nilai kecenderungan terhadap faktor internal sebesar 0.05 dan akan menjadi sumbu x sedangkan nilai kecenderungan terhadap faktor eksternal sebesar -0.55 yang akan menjadi sumbu y. Hasil analisis menunjukkan bahwa strategi yang akan dipakai merupakan strategi defensif karena berada pada kuadran IV (Gambar 24). Skenario utama dari strategi ini adalah meminimalkan kelemahan internal yang ada untuk menghindari atau mengurangi ancaman eksternal yang muncul. Strategi ini lebih dikenal sebagai strategi W-T atau Weaknesses-Threats.
Gambar 24 Strategi yang dipakai dalam pengelolaan ekosistem mangrove di area perangkap sedimen Alternatif strategi defensif yang dapat dilakukan dalam melakukan pengelolaan perangkap sedimen di lokasi penelitian melalui mekanisme yang
59
lebih banyak meminimalisasi kelemahan dan ancaman yang ada. Berdasarkan identifikasi kelemahan pada faktor internal dan ancaman pada faktor eksternal, keduanya lebih banyak mengarah pada permasalahan sosial masyarakat dan kebijakan peraturan yang mengatur status tanah timbul hasil pemasangan perangkap sedimen. Strategi yang dapat dilakukan diantaranya adalah membuat tata aturan yang jelas serta sosialisasi kepada masyarakat lokal mengenai batasan wilayah tanah timbul yang dihasilkan dari pemasangan perangkap sedimen agar tidak terjadi pengakuan hak atas tanah dan pemakaian bersama untuk kegiatan pertambahakan. Selain itu diperlukan pula adanya tata aturan yang jelas mengenai pelarangan intervensi masyarakat dalam melakukan perambahan hutan mangrove di lokasi penelitian untuk kepentingan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan hidup yang berlebihan, dan terakhir adalah melakukan penyuluhan untuk memberikan pemahaman pentingnya ekosistem pesisir dalam meredam berbagai bencana disana. seluruh upaya upaya dalam strategi tersebut jika dilakukan dengan benar dan tertib maka diharapkan dapat meredam kelemahan dan ancaman yang muncul sehingga teknologi perangkap sedimen yang sudah ada dapat lebih baik. Strategi defensif yang dapat diterapkan dalam melakukan pengelolaan perangkap sedimen secara lengkap disajikan pada Lampiran 6. Setiap kawasan yang memiliki hutan mangrove tentunya akan memiliki kondisi dan keunikan masing-masing sehingga strategi pengelolaannya tidak dapat disamakan secara detail antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Namun, beberapa rekomendasi strategi pengelolaan hutan mangrove dari hasil penelitian sebelumnya menggunakan teknik SWOT terutama dengan strategi defensif atau W-T memiliki skenario umum yang hampir sama. Desain skenario yang hampir sama tersebut disebabkan oleh komponen kelemahan dan ancaman yang teridentifikasi lebih banyak berkaitan dengan konteks sosial dan kebijakan, sama seperti yang terjadi di lokasi penelitian. Walaupun skenario pengelolaan yang dicari dalam penelitian adalah pengelolaan perangkap sedimen namun tidak terlepas kaitannya dengan ekosistem mangrove. Khaery (2015) merekomendasikan strategi defensif (W-T) pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Passare Apua Kabupaten Bombana dengan tujuan mengurangi degradasi hutan mangrove melalui beberapa skenario, diantaranya meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang fungsi ekosistem mangrove serta keterampilan dari masyarakat sekitar mangrove, meningkatkan pengawasan terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kawasan ekosistem mangrove, Mencarikan alternatif untuk menggantikan pemakaian kayu bakar sebagai bahan bakar rumah tangga. Agusrinal (2015) merekomendasikan strategi defensif (W-T) pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi melalui dua skenario utama, yaitu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang fungsi ekosistem mangrove dan meningkatkan pengawasan terhadap berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kawasan ekosistem mangrove. Sedikit berbeda wilayah penelitian, Desmantoro (2015) juga merekomendasikan strategi pengelolaan hutan rakyat dengan skenario defensif melalui kegiatankegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kesadaran masyarakat sekitar akan pentingnya hutan, meningkatkan kapasitas SDM dari seluruh stakeholder yang terkait, serta mengukuhkan batasan wilayah yang menjadi kajian penelitian hutan desa. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, pola rekomendasi strategi pengelolaan secara defensif dengan kelemahan dan ancaman yang teridentifikasi
60
dari hasil analisis SWOT lebih banyak berhubungan dengan sosial masyarakat dan kebijakan lebih bertumpu pada penguatan kapasitas dan kesadaran masyarakat itu sendiri serta penguatan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan lokal disana.
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
4.
Ekosistem mangrove di areal perangkap sedimen mampu menyimpan simpanan karbon total sebanyak 180.17 ton C/ha (Vegetasi: 35.82 ton C/ha; Sedimen 144.35 ton C/ha). Total emisi CO2 yang dapat diserap sebanyak 661.22 ton CO2/ha. Persamaan alometrik terpilih untuk menduga biomassa Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0-500 cm dan diameter batang ≤ 5 cm adalah Log Y= -7.42 + 1.79 (Log Tt) + 0.264 (Log DBH). Persamaan terpilih untuk menduga biomassa akar, batang, cabang, dan daun, yaitu Log Yakar = -8.37 + 1.94 (Log Tt), Log Ybatang = -8.83 + 1.99 (Log Tt) + 0.419 (Log DBH), Log Ycabang = -8.63 + 2.01 (Log Tt), dan Log Ydaun = -7.73 + 1.63 (Log Tt). Persamaan alometrik terpilih untuk menduga massa karbon Avicennia marina yang memiliki tinggi total 0-500 cm dan diameter batang ≤ 5cm adalah Log Y = -8.20 + 1.92 (Log Tt) + 0.327 (Log DBH). Persamaan alometrik untuk massa karbon akar, batang, cabang, dan daun adalah Log Yakar = -9.11 + 2.04 (Log Tt), Log Ybatang = -8.89 +2.06 (Log Tt) + 0.467 (Log DBH), Log Ycabang = -9.41 + 2.13 (Log Tt), dan Log Ydaun = -8.46 + 1.64 (Log Tt). Posisi pengelolaan pemasangan perangkap sedimen saat ini berada pada kuadran IV, yaitu pada kondisi stabilitas (hati-hati). Kondisi ni menunjukkan bahwa strategi pemasangan perangkap sedimen di lokasi penelitian sudah tepat namun masih diperlukan upaya penguatan. Penguatan dilakukan dengan meminimalisasi kelemahan yang ada agar ancaman yang muncul dapat dikurangi sehingga keberadaan perangkap sedimen dapat tetap dijaga dan dikelola dengan baik. Skenario yang dilakukan adalah penguatan tata aturan dalam status tanah timbul hasil pemasangan perangkap sedimen, dan tata aturan yang jelas tentang intervensi kegiatan masyarakat di sekitaran lokasi penelitian terutama yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi dan eksploitasi, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya ekosistem pesisir.
Saran 1. Analisis simpanan karbon pada komponen nekromas di lokasi penelitian perlu dilakukan lebih lanjut. 2. Analisis mengenai desain perangkap sedimen yang paling optimum diterapkan di lokasi penelitian juga perlu dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih optimal dalam menjerap sedimen.
61
3. Analisis ekonomi mengenai potensi simpanan karbon di lokasi penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui nilai ekonomi dari ekosistem mangrove disana.
DAFTAR PUSTAKA Adame MF, Neil D, Wright SF, Lovelock CE. 2010. Sedimentation within and among mangrove along a gradient of geomorphological settings. Estuarine, Coastal and Shelf Science (86): 21-30. Afzal M et al. 2011. Eficacy of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Leaves extracts againts some athmospheric fungi. African Journal Biotechnology 10 (5): 10790-10794. Agusrinal. 2015. Degradasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa Taman Nasional Wakatobi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Akbar A. 2012. Persamaan alometrik untuk menduga kandungan karbon jenis meranti (shorea teysmaniana) di hutan alam rawa gambut Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9 (1): 1-11. Alongi DM. 2012. Carbon sequestration in mangrove fores. Carbon Management (3): 313-322. [ASTM] American Society for Testing Material. 1990a. ASTM D 2866-94. Standard Test Method for Volatile Matter Content of Activated Carbon. Philadelphia. [ASTM] American Society for Testing Material. 1990b. ASTM D 5832-98. Standard Test Method for Volatile Matter Content of Activated Carbon. Philadelphia. Bandaranayake WM. 1999. Economic, Traditional And Medicine Uses Of Mangroves. Townsville: Australian Institute of Marine Science (2). [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Serang. 2013. Kecamatan Kasemen Dalam Angka Tahun 2013. Serang: Badan Pusat Statistik Kota Serang. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. Forestry Paper 134. USA: FAO. Chave et al. 2005. Tree allometry and improved stimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145: 87-99. Desmantoro. 2015. Kelayakan dan strategi implementasi program hutan desa di Desa Tanjung Aur II Kabupaten Bengkulu Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
62
Dharmawan IWS. 2010. Pendugaan biomasa karbon di atas tanah pada tegakan Rhizophora mucronata di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Ilmu Peranian Indonesia 15 (1): 50-56. Dharmawan IWS, Siregar CA. 2008. Karbon tanah dan pendugaan karbon tegakan Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (4): 317-328. Donato DC, Kauffman JB, Mackenzie RA, Ainsworth A, Pfleeger AZ. 2012. Whole-island carbon stocks in the tropical Pacific: implication for mangrove conservation and upland restoration. Journal of Environmental Management 97: 89-96. Duke N et al. 2008. Avicennia marina. Di dalam: IUCN 2010. IUCN Red List of Theatened Species. Versi 2010.4. (www.iucnredlist.org). [23 Januari 2015]. Elias, Wistara NJ. 2009. Metode estimasi massa karbon pohon Jeunjing (Paraserianthes falcataria L Nielsen) di hutan raktat. JMHT (2): 75-82. Estrada et al. 2014. Allometric models for aboveground biomass estimation of the mangrove Avicennia schaueriana. Hydrobiologia 11. Furukawa K, Wolanski E. 1996. Sedimentation in mangorve forest. Mangroves and Salt Marshes 1(1): 3-10. Gang Wang, Dongsheng Guan, Peart MR, Yujuan Chen, Yisheng Peng. 2013. Ecosystem carbon stock of mangrove forest in Yingluo Bay, Guang Dong Province of South China. Forest Ecology and Management 310: 539-546. Gunarto. 2004. Konservasi mangrove sebagai pendukung sumber hayati perikanan pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23(1): 15-21. Hairiah K, Rahayu S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre. Haygreen JG, Bowyer JL. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Hardikusmo SA, penerjemah; Prawirohatmodjo, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science, An Introduction. Heriyanto NM, Subiandono E. 2012. Komposisi dan struktur tegakan, biomasa, dan potensi kandungan karbon hutan mangrove di Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (1): 23-32. Husnaeni A. 2013. Pertumbuhan anakan Avicennia marina dan Rhizophora mucronata pada jarak tanam yang berbeda dengan menggunakan teknik penanaman guludan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
63
Indah R, Jabarsyah A. Laga A. 2009. Perbedaan Susbtrat dan Distribusi Jenis Mangrove (Studi Kasus Hutan Mangrove Kota Tarakan). Tarakan: Universitas Borneo Tarakan. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to The Third Assessment Report of The Interngovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Pr. Kastolani ALW, Setiawan I. 2013. Analisis kerusakan mangrove akibat aktivitas penduduk pesisir Kota Cirebon. Antologi Geografi (1): 1-10. Kauffman JB, Donato DC. 2012. Protocols for The Measurement, Monitoring and Reporting of Structure, Biomass and Carbon Stocks in Mangrove Forest. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Khaery A. 2015. Komiyama A. 2005. Common Allometric Equations For Estimating Mangroves. Gifu: Gifu University Respitory. Kordi MGH. 2012. Ekosistem Mangrove; Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. Jakarta: Rineka Cipta. Krisnawati H, Adinugroho WC, Imanuddin R. 2012. Monograf Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan di Indonesia. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan-Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Kusmana C, Sabiham S, Watanabe S. 1992. An estimation of above ground tree biomass of a mangrove forest in East Sumatera, Indonesia. Tropic 4: 143157. LGF Team. 2012. Oceanography Condition in Coastal of Sayung Sub-District, District of Demak Province of Central Java. Jakarta: Ministry of Marine Affairs and Fisheries (MMAF) Republic of Indonesia. Mahasani IGAI, Widagti N, Karang IWGA. 2015. Estimasi persentase karbon organik di hutan mangrove bekas tambak, Perancak, Jembrana, Bali. Journal Marine and Aquatic Sciences 1: 14-18. Makarim S, Ratnawati HI, Hutahaean AA. 2012. Studi awal analisis interaksi laut-atmosfer pada tekanan parsial CO2 di Teluk Banten. Jurnal Meteorologi dan Geofisika(13) 1: 29-40. Mitra A, Zaman S. 2015. Blue Carbon Reservoir of The Blue Planet. New Delhi: Springer.
64
Parresol BR. 1999. Assessing tree and stand biomass: a review with examples and critical comparisons. Forest Science (45): 573-593. Pemerintah Republik Indonesia. 1998. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Repubik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 Tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Perpres Nomor 71 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasiona. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. Parvaresh H, Parvaresh E, Zahedi G. 2012. Estabilishin allometric relationship using crown diameter for the estimation of above-ground of grey mangrove, Avicennia marina (Forsk) Vierh in mangrove forest of Sirik, Iran. J. Basic. Appl. Sci 2(2): 1763-1769. Purbani D, Sukresno B, Mustikasari E, Kusumah G, Solihuddin Optimalisasi Data Fisik Perairan untuk Kajian Kelimpahan Ikan di Teluk Banten. Jakarta: Pusat Riset Wilayah Sumberdaya Non Hayati Badan Riset Kelautan dan Departemen Kelautan dan Perikanan.
T. 2010. dan Jenis Laut dan Perikanan
Maulana SI, Pandu J. 2011. Persamaan alometrik genera Intsia sp. Untuk pendugaan5 Sosial dan Ekonomi Kehutanan 8 (4): 1-10. Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands Insternational Indonesia Programme. Rahadian A. 2013. Kajian Biofisik dan Perubahan Bentang Alam Pesisir Teluk Banten sebagai Dasar Implementasi Hybrid Engineering dalam Upayan Rehabilitasi dan Pengurangan Resiko Bencana. Bogor: Wetlands International Indonesia. Rangkuti F. 2014. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis (Cara Perhitungan Bobot, Rating, dan OCAI). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Santos JJG, Breton RMC, Breton JGC, Hernandez DLD, Junco RCS. 2014. Estimation of the carbon pool in soil and above-ground biomass within mangrove forest in Southest Mexico using allometric equation. Journal of Forestry Research 25 (1): 129-134. Setyawan AD, Winarno K, Purnama PC. 2003. Ekosistem mangrove di Jawa: 1.
65
Kondisi terkini. Biodiversitas 2 (4): 133-145. Siringoringo HH. 2013. Potensi sekuestrasi karbon organik tanah pada pembangunan hutan tanaman Acacia mangium Wild. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 2 (10): 193-213. Snedaker SC, Brown MS. 1981. Project Summary Water Quality and Mangrove Ecosystem Dynamics. United States Environmental Protection Agency. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1995. SNI Nomor 06-3730-1995 Tentang ArangAktif Teknis. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Sualia I. 2012. Dampak Kenaikan Muka Laut Terhadap Pengelolaan Pesisir Cagar Alam Pulau Dua dan Keterkaitan dengan Kawasan penyangga di Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana-IPB. Sugirahayu L, Rusdiana O. 2011. Perbandingan simpanan karbon pada beberapa penutupan lahan di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur berdasarkan sifat fisik dan sifat kimia tanahnya. Jurnal Silvikultur Tropika (2): 149155. Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomasa, Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme. Tai Tue N, Viet Dung L, Trong Nhuan M, Omori K. 2014. Carbon storage of tropical mangrove forest in Mui Ca Mau National Park, Vietnam. Catena 121: 119-126. Takandjandji M, Kwatrina RT. 2011. Pengelolaan Cagar Alam Pulau Dua di Provinsi Banten sebagai ekosistem bernilai penting. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam (8) 1: 95-108. White LP, Olasket LG. 1981. Biomass As Fuel. New York: Subsidary Of Harcout Brace Jovanovich. Widiatmaka. 2013. Urgensi penjagaan karbon dalam tanah dalam rangka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Prosiding International Seminar of Adaptation and Mitigation on Climate Change. Padang 11 Maret 2013. Winterwerp H, Bregje VW, Jan VD, Tonneijck F, Astra A, Verschure S, Pieter VE. 2014. A Sustainable Solution for Massive Coastal Erosion in Central Java. Netherland: Deltares and Wetland International. Yulistiyanto B. 2009. Mangrove dengan alat pemecah ombak (APO) sebagai pelindung garis pantai [terhubung berkala]. [8 Agustus 2009]. Yogyakarta: Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan FT-UGM. hlm 1-10; [diunduh 26 Januari 2015]. Tersedia pada:
66
http://tsipil.ugm.ac.id/download/publikasi/bys/Mangrove%20dengan%20 Alat%20Pemecah%20Ombak%20(APO)%20Bambang%20Yulistiyanto.pdf Yusuf S. 2010. Isolasi dan penentuan struktur molekul senyawa triterpenoid dari kulit batang Kayu Api-Api Betina (Avicennia marina Neesh). Jurnal Penelitian Sains 13 (2): 23-27.
LAMPIRAN
68
Lampiran 1 Perangkap sedimen di lokasi penelitian dari tahun 2011-2014
Perangkap sedimen tahun 2011 dari jaring ikan (Dokumentasi WII)
Perangkap sedimen tahun 2012 dari jaring ikan dan karung pasir (Dokumentasi WII)
Perangkap sedimen tahun 2013 dari pagar bambu (Dokumentasi WII)
Perangkap sedimen tahun 2014 dari karung pasir (Dokumentasi WIII)
Lampiran 2 Persamaan alometrik untuk menduga biomassa Avicennia marina berdasarkan kelas ketinggian No
Kelas Tinggi (cm)
Jenis persamaan
1 Linear
2 3
0-500 Logaritmik
4 5
Linear
6 7
0-100 Logaritmik
8 9 10 11
Linear 101200 Logaritmik
12 13 14 15 16
Linear 201300 Logaritmik
Variabel Tt Tt dan DBH Tt Tt dan DBH Tt Tt dan DBH
Persamaan alometrik Y = - 0.000915 + 0.000008 X1 Y = - 0.000954 + 0.000002 X1 + 0.00103 X2 Log Y = - 7.92 + 2.02 Log X1 Log Y = - 7.42 + 1.79 Log X1+ 0.264 Log X2 Y = 0.000390 - 0.000003 X1 Y = 0.000432 - 0.000002 X1 0.000120 X2
Tt
Log Y = 0.61 - 2.33 Log X1
Tt dan DBH Tt Tt dan DBH Tt Tt dan DBH Tt Tt dan DBH Tt
Log Y = - 1.28 - 1.49 Log X11.66 Log X2 Y = - 0.00029 + 0.000005 X1 Y = 0.00270 - 0.000017 X1+ 0.00089 X2 Log Y = - 8.3 + 2.25 Log X1 Log Y = 8.7 - 5.32 Log X1+ 2.03 Log X2 Y = - 0.00418 + 0.000021 X1 Y = - 0.00404 + 0. X1 + 0.000834 X2 Log Y = - 12.6 + 3.97 Log X1
Tt dan
Log Y = - 11.4 + 3.43 Log X1+
Ragam (s)
R2
R2 (Adj)
X2 hitung
SA
0.00069
75.2
74.1
0.0027
0.50
71.54
0.0007
0.00063
80.1
78.3
0.0017
0.59
96.99
0.0006
0.18345
89.2
88.8
0.0022
0.51
119.69
0.0007
0.18616
89.4
88.4
0.0020
0.54
119.41
0.0007
0.00004
20.8
0.0
0.0101
2.48
438.22
0.0009
0.00005
22.8
0.0
0.0354
1.54
153.78
0.0016
14.483.63
0.0005
48.741.96
0.0005
52.12
0.0003
SR (%)
MAE
0.19528
14.0
0.0
0.0031
0.23000
20.5
0.0
0.0031
0.00028
3.7
0.0
0.0010
21.82 27.36 0.36
0.00030
28.1
0.0
0.0795
3.29
157.84
0.0014
0.21183
7.0
0.0
1.1566
0.98
91.42
0.0018
0.21866
33.9
0.0
1.5732
0.69
792.10
0.0019
0.00047
53.2
37.6
0.2587
0.71
88.10
0.0021
0.00033
84.7
69.5
0.6230
1.19
147.57
0.0024
0.13556
60.2
46.9
0.1503
0.88
34.13
0.0028
0.10372
84.5
68.9
0.3276
0.91
38.73
0.0041
69
No
Kelas Tinggi (cm)
Jenis persamaan
Variabel DBH Tt
17 Linear 18 19
301400 Logaritmik
20 21 22 23
Linear 401500 Logaritmik
24
Persamaan alometrik
X2 hitung
SA
23.3
0.0
0.2557
1.15
212.11
0.0028
42.3
0.0
0.1071
0.81
122.39
0.0022
0.13098
23.3
0.0
31.9870
0.98
61.12
0.0204
0.12424
54.9
7.4
0.1204
0.82
76.15
0.0016
0.00094
42.3
27.9
0.1809
1.14
114.31
0.0029
0.00071
75.8
59.7
0.0733
0.40
104.86
0.0020
0.14290
35.6
19.5
0.0238
0.71
43.70
0.0009
0.09423
79.0
65.0
0.0400
0.77
28.97
0.0012
R2
0.00046 0.00049
SR (%)
MAE
0.723 Log X2 Y = 0.00625 - 0.000012 X1
Tt dan DBH Tt Tt dan DBH Tt Tt dan DBH Tt Tt dan DBH
R2 (Adj)
Ragam (s)
Y = 0.00319 - 0.000012 X1+ 0.00112 X2 Log Y = 5.09 - 3.07 X1 Log Y = 3.31 - 2.73 Log X1+ 2.25 Log X2 Y = - 0.00304 + 0. X1 Y = - 0.00393 + 0.000004 X1 + 0.00185 X2 Log Y = - 7.32 + 1.81 Log X1 Log Y = - 3.95 + 0.18 Log X1+ 2.07 Log X2
Lampiran 3 Persamaan alometrik untuk menduga biomassa Avicennia marina berdasarkan bagian tumbuhan No
Bagian tumbuhan
Jenis persamaan
Variabel
1 Linear
2 3
Total Logaritmik
4 5
Linear 6 Akar 7 Logaritmik 8 9 Linear 10
Batang
11 Logaritmik
12 13
Linear 14 Cabang 15 Logaritmik 16 17 18 Daun 19 Logaritmik 20
Lampiran 4 No
Kelas Tinggi (cm)
Jenis persamaan
Linear 2
0.50
0.0006
0.80
0.78
0.0017
0.1835
0.89
0.89
0.0022
0.1862
0.89
0.88
0.0020
SR (%) 71.54
0.0007
0.59
96.99
0.0006
0.51
119.69
0.0007
0.54
119.41
0.0007
407.90
0.0004
122.46
0.0002
301.92
0.0003
297.87
0.0003
SA
MAE
Y = -0.000915 + 0.000008 X1 Y = -0.000954 + 0.000002X1 + 0.00103X2 Log Y = -7.92 + 2.02 Log X1 Log Y = -7.42 + 1.79 Log X1 + 0.265 Log X2
Tt
Y= -0.000085 + 0.000001 X1
0.0002
0.59
0.57
0.0017
Tt dan DBH
Y = -0.000095 – 0.000000X1 + 0.000270X2
0.0002
0.68
0.65
0.0011
Tt
Log Y = -8.37 + 1.94 Log X1
0.2875
0.76
0.75
0.0013
Tt dan DBH
Log Y = -8.76 + 2.12 Log X1 – 0.206 Log X2
0.2934
0.76
0.74
0.0013
Tt
Y = -0.000539 + 0.000004 X1
0.0003
0.82
0.82
0.0011
18.20
0.0002
Tt dan DBH Tt Tt dan DBH
Y = -0.000553 + 0.000002X1 + 0.000368X2 Log Y = -9.18 + 2.35 Log X1 Log Y = -8.38 + 1.99 Log X1 + 0.419 Log X2
0.0002
0.85
0.84
0.0024
0.08
65.90
0.0004
0.1363
0.95
0.95
0.0648
59.92
0.0004
0.1346
0.96
0.95
0.0019
201.35
0.0004
Tt
Y = -0.000195 + 0.000002 X1
0.0002
0.62
0.61
0.0003
Tt dan DBH
Y = -0.000205 + 0.000000X1 + 0.000264X2
0.0002
0.69
0.66
0.0005
Tt
Log Y = -8.63 + 2.01 Log X1
0.2397
0.83
0.82
0.0006
Tt dan DBH
0.2417
0.83
0.82
0.0005
0.0001
0.58
0.56
0.0029
Tt dan DBH
Log Y = -7.75 + 1.61 Log X1 + 0.463 Log X2 Y = -0.000096 + 0.0000001 X1 Y = -0.000101 + 0.000000X1 + 0.000133X2
0.92 0.07 0.30 0.53 0.89 0.68
0.0001
0.61
0.58
0.0010
Tt
Log Y = -7.73 + 1.63 Log X1
0.2620
0.73
0.71
0.0008
Tt dan DBH
Log Y = -7.42 + 1.49 Log X1 + 0.164 Log X2
0.2675
0.73
0.70
0.0008
Variabel
2.40 0.53 1.21 1.28 0.23
7.36 1.82 1.14 1.05
92.18
0.0001
114.05
0.0002
92.14
0.0002
85.66
0.0002
873.38
0.0004
600.69
0.0002
258.94
0.0002
247.74
0.0002
3 Logaritmik 4 5 Linear 0-100 Logaritmik
Persamaan alometrik
Ragam (s)
R2
R2 (Adj)
X2 hitung
SA
SR (%)
MAE
Tt
Y = - 0.000464 + 0.000004 X1
0.00031
74.7
73.6
0.0008
-0.31
18.43
0.0002
Tt dan DBH
Y = - 0.000479 + 0.000001 X1+ 0.000399 X2
0.00029
78.5
76.6
0.0008
-0.49
90.98
0.0003
Tt
Log Y = - 8.82 + 2.21 Log X1
0.17054
92.0
91.6
0.0007
-0.58
109.04
0.0003
Tt dan DBH
Log Y = - 8.20 + 1.92 Log X1+ 0.327 Log X2
0.17204
92.2
91.5
0.0037
13.90
1983.14
0.0007
Tt
Y = 0.000117 - 0.000001 X1
0.00001
20.4
0.0
0.0035
2.38
300.75
0.0003
Tt dan DBH
Y = 0.000135 - 0.000001 X10.000053 X2
0.00001
24.9
0.0
0.0052
1.90
249.11
0.0004
0.0011
11.12
6580.38
0.0002
0-500
7
X2 hitung 0.0027
R2
Persamaan alometrik untuk menduga massa karbon Avicennia marina berdasarkan kelas ketinggian
1
6
0.75
R2 (Adj) 0.74
Ragam (s) 0.0007
Tt Tt dan DBH Tt Tt dan DBH
Tt Linear
Persamaan alometrik
Tt
Log Y = - 0.31 - 2.12 Log X1
0.18064
13.5
0.0
70
8
Tt dan DBH
Log Y = - 2.36 - 1.20 Log X1- 1.78 Log X2
0.20965
22.4
0.0
0.0011
27.12
44218.69
0.0002
9
Tt
Y = - 0.000027 + 0.000001 X1
0.00008
2.6
0.0
0.0006
-0.49
5.54
0.0002
Tt dan DBH
Y = 0.00091 - 0.000006 X1+ 0.000277 X2
0.00009
29.9
0.0
0.1826
1.18
114.54
0.0020
Tt
Log Y = - 8.0 + 1.90 Log X1
0.19729
5.8
0.0
0.0008
0.32
45.04
0.0001
Tt dan DBH
Log Y = 8.0 - 5.25 Log X1+ 1.92 Log X2
0.20240
33.9
0.0
0.3345
0.39
3105.90
0.0008
Tt
Y = - 0.00127 + 0.000006 X1
0.00014
55.8
41.1
0.0763
0.56
76.00
0.0005
Tt dan DBH
Y = - 0.00123 + 0.000005 X1+ 0.000223 X2
0.00011
80.7
61.3
0.0570
0.71
84.80
0.0006
Tt
Log Y = - 12.8 + 3.87 Log X1
0.12488
62.8
50.4
0.0494
0.87
42.57
0.0010
Tt dan DBH
Log Y = - 11.8 + 3.45 Log X1+ 0.565 Log X2
0.11453
79.1
58.3
0.1251
0.92
53.75
0.0016
Y = 0.00228 - 0.000004 X1
0.00016
24.8
0.0
2.0478
0.98
97.90
0.0028
Tt dan DBH
Y = 0.00111 - 0.000004 X1+ 0.000428 X2
0.00016
47.8
0.0
0.2527
0.90
89.92
0.0006
Tt
Log Y = 4.26 - 2.91 Log X1
0.11889
24.8
0.0
0.0001
-0.95
120.66
0.0000
Tt dan DBH
Log Y = 2.53 - 2.57 Log X1+ 2.19 Log X2
0.10718
59.2
18.5
0.0001
-0.90
119.06
0.0000
Tt
Y = - 0.00163 + 0.000007 X1
0.00041
47.1
33.9
0.2058
0.739
115.43
0.0007
Tt dan DBH
Y = - 0.00193 + 0.000003 X1+ 0.000621 X2
0.00038
65.4
42.4
0.2721
0.13
99.57
0.0009
Tt
Log Y = - 8.79 + 2.22 Log X1
0.13762
47.3
34.1
0.0248
0.87
78.20
0.0004
Tt dan DBH
Log Y = - 5.99 + 0.87 Log X1+ 1.72 Log X2
0.11230
73.7
56.1
0.0401
0.90
70.67
0.0006
Linear 10 11
101200 Logaritmik
12 13 Linear 14 15
201300 Logaritmik
16
Tt
17 Linear 18 19
301400 Logaritmik
20 21 Linear 22 23
401500 Logaritmik
24
Lampiran 5 No
Bagian tumbuhan
Persamaan alometrik untuk menduga massa karbon Avicennia marina berdasarkan bagian tumbuhan Jenis persamaan
1
Variabel Tt
Linear 2 Total 3
Tt dan DBH Tt
Logaritmik 4 5
Tt dan DBH Tt
Linear 6
Tt dan DBH
Akar 7
Tt Logaritmik
8 9
Tt Linear
10 Batang 11
Tt dan DBH Tt
Logaritmik 12 13
Tt dan DBH Tt
Linear 14 Cabang 15
Tt dan DBH Tt
Logaritmik 16 17
Tt dan DBH Tt
Linear 18 Daun 19
Tt dan DBH Tt
Logaritmik 20
Tt dan DBH
Tt dan DBH
Persamaan alometrik Y = -0.000464 + 0.000004 X1 Y = -0,000479 + 0.000001X1 + 0.000399X2 Log Y = -8.82+ 2.21 Log X1 Log Y = -8.19 + 1.92 Log X1 + 0.329 Log X2 Y = -0.000041 + 0.000001 X1 Y = -0.000044 – 0.000000X1 + 0.000092X2 Log Y = -9.11 + 2.04 Log X1 Log Y = -9.36 + 2.15Log X1 – 0.130 Log X2 Y = -0.000326 + 0.000002 X1 Y = -0.000333 + 0.000001X1 + 0.000192X2 Log Y = -9.78 + 2.47 Log X1 Log Y = -8.89 + 2.06 Log X1+ 0.467 Log X2 Y = -0.000079 + 0.000001 X1 Y = -0.000082 + 0.000000X1 + 0.000091X2 Log Y = -9.41 + 2.13 log X1 Log Y = -8.66 + 1.79 Log X1+ 0.390 Log X2 Y = -0.000019 + 0.000000 X1 Y = -0.000020 + 0.000000X1 + 0.000025X2 Log Y = -8.46 + 1.64 Log X1 Log Y = -8.09 + 1.47 Log X1 + 0.190 Log X2
Ragam (s)
R2
R2 (Adj)
X2 hitung
SA
0.0003
0.75
0.74
0.0008
0.0003
0.79
0.77
0.1706
0.92
0.1721
0.92
0.00006
SR
MAE
-0.31
18.43
0.0002
0.0008
-0.49
90.98
0.0003
0.92
0.0007
-0.58
109.04
0.0003
0.92
0.0037
13.90
1983.14
0.0007
0.62
0.61
0.0003
0.07
2.23
0.0001
0.00005
0.71
0.68
0.0003
-0.65
144.46
0.0001
0.2742
0.79
0.78
0.0004
-1.23
303.36
0.0001
0.2801
0.79
0.77
0.0004
-1.35
312.61
0.0001
0.0002
0.77
0.76
0.0014
-0.64
97.47
0.0001
0.0002
0.79
0.77
0.0005
-0.19
157.91
0.0001
0.1445
0.95
0.95
0.0002
-0.34
45.06
0.0001
0.1421
0.96
0.95
0.0001
-0.22
41.54
0.0001
0.00006
0.63
0.62
0.0003
0.14
29.99
0.0001
0.00006
0.69
0.66
0.0003
-0.83
1162.65
0.0001
0.2454
0.84
0.83
0.0003
-1.01
104.03
0.0001
0.2486
0.84
0.83
0.0002
-0.82
96.35
0.0001
0.00002
0.58
0.56
0.0007
5.15
515.39
0.0001
0.00003
0.60
0.57
0.0002
-1.82
456.05
0.0000
0.2673
0.72
0.71
0.0001
-0.95
120.66
0.0000
0.2729
0.72
0.70
0.0001
-0.90
119.06
0.0000
71
Lampiran 6 Matriks W-T (Weaknessess-Threats) strategi pengelolaan perangkap sedimen di lokasi penelitian
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Ancaman/ Threats (T) 1. Bencana: kenaikan
muka air laut, abrasi, banjir rhob 2. Pengambilan kayu mangrove untuk kayu bakar 3. Pengambilan telur burung air dan perburuan satwa liar 4. Pengakuan hak atas tanah timbul untuk dijadikan tambak
Kelemahan/ Weaknesses (W) 1. Tanah timbul (sedimen) yang dihasilkan dari pemasangan perangkap sedimen sering dianggap tanah bersama sehingga rentan dijadikan tambak. 2. Lokasi penelitian berada dalam kategori desa miskin sehingga rentan terhadap perusakan dalam memenuhi kebutuhan hidup. 3. Kapasitas adaptasi dan keinginan masyarakat dalam melindungi pesisir CAPD masih cukup rendah 4. Kebijakan lokal yang mengatur perlindungan wilayah yang dipasang perangkap sedimen belum ada. Strategi W-T 1. Membuat tata aturan yang jelas serta sosialisasi di tingkat lokal mengenai batasan wilayah tanah timbul yang dihasilkan dari pemasangan perangkap sedimen agar tidak terjadi pengakuan hak atas tanah dan pemakaian bersama untuk kegiatan pertambahakn (W1, W4, T4) 2. Membuat tata aturan yang jelas tentang pelarangan perambahan hutan mangrove yang berada di areal perangkap sedimen agar tidak diintervensi oleh kegiatan merusak oleh masyarakat sekitar terutama untuk pemenuhan kebutuhan hidup seperti pengambilan kayu bakar, pengambilan telur burung, dan perburuan satwa liar untuk dijual (W2, T2, T3) 3. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi terutama di tingkat lokal untuk meningkatkan kesadaran dalam melindungi pesisir dan CAPD agar kegiatan-kegiatan yang bersifat merusak seperti penebangan pohon mangrove untuk diambil kayunya, pengambilan telur burung air dan satwa liar, serta pengakuan hak atas tanah dapat dikurangi (W3, T1, T2, T3) 4. Meningkatkan kesadaran masyarakat sekitar akan pentingnya ekosistem pesisir terutama ekosistem mangrove dalam meredam berbagai bencana pesisir seperti abrasi, kenaikan muka air laut, dan banjir rhob dengan cara memperbaiki seluruh komponen kelemahan yang ada (W1, W2, W3, W4, T1)
72
Lampiran 7 Data dan hasil analisis bagian akar dari Avicennia marina KT
I
II
III
IV
V
D (cm)
Tt (cm)
BJ (gr/cm 3)
KA (%)
B (gr)
Ratarata (gr)
KZT (%)
KAB (%)
%C
C (gr)
Ratarata (gr)
C (ton)
0.7
85
157.53
12.04
59.41
10.75
0.30
3.59
0.0000036
0.8
100
169.28
13.00
57.94
15.45
0.27
3.46
0.0000035
0.7
93
184.71
36.88
62.51
9.45
0.28
10.34
0.7
100
175.10
25.45
0.8
96
152.40
1.0
185
1.0
20.25
0.0000103 6.02
62.39
5.26
0.32
8.23
13.87
63.50
4.06
0.32
4.50
0.0000045
137.76
180.85
64.53
4.53
0.31
55.95
0.0000559
178
132.66
111.75
59.69
10.61
0.30
33.19
0.0000332
1.5
199
123.87
303.74
62.36
11.73
0.26
78.70
0.0000787
1.5
190
120.64
278.74
59.62
12.05
0.28
78.98
1.0
175
140.65
336.58
55.90
14.38
0.30
100.03
0.0001000
2.0
282
156.46
600.48
54.49
15.65
0.30
179.25
0.0001793
1.5
226
167.35
155.23
54.41
14.33
0.31
48.54
0.0000485
1.0
255
160.96
189.69
57.23
14.68
0.28
53.28
1.0
265
169.28
284.09
1.5
269
154.14
2.5
360
2.2 2.5
242.33
313.97
69.37
0.0000082
0.0000790
11.43
0.31
86.93
340.36
61.40
10.97
0.28
94.03
0.0000940
162.38
221.05
54.00
12.81
0.33
73.37
0.0000734
397
89.99
131.58
52.14
14.34
0.34
44.11
0.0000441
388
74.44
243.63
58.94
10.59
0.30
74.23
2.7
400
75.89
375.24
2.5
368
71.49
3.5
506
3.5
0.0000869
0.0000694
0.0000924
0.0000742 106.60
57.84
7.21
0.35
131.13
644.35
61.83
5.55
0.33
210.18
0.0002102
88.61
843.00
56.78
11.48
0.32
267.58
0.0002676
489
91.68
798.22
59.47
5.27
0.35
281.46
0.0002815
3.0
504
105.56
591.06
61.06
2.91
0.36
212.96
0.0002130
2.5
480
126.23
302.79
50.57
13.02
0.36
110.26
3.0
450
97.66
882.85
57.27
6.49
0.36
319.88
683.58
0.0000060
0.0000533 92.41
57.97
323.17
Rata-rata C (ton)
238.43
0.0001311
0.0001103
0.0001066
0.0002384
0.0003199
Ket: KT = Kelas Tinggi, D = Diameter, Tt = Tinggi Total, KA = Kadar Air, KZT = Kadar Zat Terbang, KAB = Kadar Abu, % C = % C-organik, C = Massa Karbon
Lampiran 8 Data dan hasil analisis bagian batang dari Avicennia marina KT
I
II
D (cm)
Tt (cm)
BJ (gr/cm 3)
KA (%)
B (gr)
Ratarata (gr)
KZT (%)
KAB (%)
%C
C (gr)
Ratarata (gr)
C (ton)
0.7
85
0.46
88.59
58.33
54.90
1.55
0.44
25.40
0.0000254
0.8
100
0.46
81.21
41.39
55.49
2.36
0.42
17.44
0.0000174
0.7
93
0.46
88.09
21.27
54.70
1.25
0.44
9.37
0.0000094
0.7
100
0.46
89.64
29.00
50.63
2.35
0.47
13.64
0.8
96
0.46
64.67
18.22
49.06
2.05
0.49
8.91
0.0000089
1.0
185
0.49
46.93
115.70
54.47
1.10
0.44
51.40
0.0000514
1.0
178
0.44
86.59
93.79
52.79
1.01
0.46
43.33
0.0000433
1.5
199
0.45
105.81
155.48
48.49
1.50
0.50
77.76
33.64
140.58
14.95
66.50
0.0000136
0.0000778
Rata-rata C (ton)
0.0000150
0.0000665
73
KT
D (cm) 1.5
III
IV
V
Tt (cm) 190
BJ (gr/cm 3)
KA (%)
B (gr)
Ratarata (gr)
KZT (%)
KAB (%)
%C
C (gr)
Ratarata (gr)
C (ton)
0.49
94.77
164.30
49.86
1.39
0.49
80.10
0.0000801
173.64
53.13
0.84
0.46
79.93
0.0000799
1.0
175
0.4415
90.049 0
2.0
282
0.54
91.07
444.87
50.01
1.77
0.48
214.53
0.0002145
1.5
226
0.49
89.86
244.92
54.72
1.44
0.44
107.38
0.0001074
1.0
255
0.45
95.73
265.67
50.09
1.57
0.48
128.42
1.0
265
0.50
95.22
343.20
1.5
269
0.48
109.49
2.5
360
0.57
2.2
397
2.5 2.7
316.54
0.0001284 150.91
46.65
1.83
0.52
176.84
284.02
53.08
2.08
0.45
127.36
0.0001274
50.24
698.89
47.76
1.63
0.51
353.70
0.0003537
0.51
69.09
558.87
49.90
1.80
0.48
269.94
0.0002699
388
0.58
58.14
765.13
50.40
1.35
0.48
369.19
0.0003692
400
0.53
74.73
689.66
49.27
2.45
0.48
333.00
724.39
0.0001768
0.0003330 351.74
2.5
368
0.48
58.90
909.39
50.64
1.76
0.48
432.87
3.5
506
0.53
86.64
1781.55
43.58
1.99
0.54
969.81
0.0009698
3.5
489
0.51
1769.91
43.78
1.36
0.55
970.92
0.0009709
34.94
2.32
0.63
1308.54
3.0
504
0.50
2.5
480
0.51
3.0
450
0.62
88.99 84.36 89.83 71.66
2085.57 1639.57
Rata-rata C (ton)
0.0001509
0.0003517
0.0004329
0.0013085 952.49
0.0009525
1040.38
42.73
1.57
0.56
579.50
0.0005795
1520.44
36.94
1.66
0.61
933.67
0.0009337
Ket: KT = Kelas Tinggi, D = Diameter, Tt = Tinggi Total, KA = Kadar Air, KZT = Kadar Zat Terbang, KAB = Kadar Abu, % C = % C-organik, C = Massa Karbon
Lampiran 9 Data dan hasil analisis bagian cabang dari Avicennia marina KT
I
II
III
D (cm)
Tt (cm)
BJ (gr/cm 3)
KA (%)
B (gr)
Ratarata (gr)
KZT (%)
KAB (%)
%C
C (gr)
Ratarata (gr)
C (ton)
0.7
85
48.54
30.30
66.38
4.54
0.29
8.81
0.0000088
0.8
100
37.68
32.69
69.11
3.00
0.28
9.12
0.0000091
0.7
93
66.52
15.01
68.30
3.59
0.28
4.22
0.0000042
0.7
100
46.75
23.85
61.36
5.65
0.33
7.87
0.8
96
32.66
7.534
67.08
4.16
0.29
2.17
0.0000022
1.0
185
72.95
52.04
66.14
2.64
0.31
16.25
0.0000162
1.0
178
46.35
85.41
68.90
3.02
0.28
23.98
0.0000240
1.5
199
55.70
147.72
69.07
2.07
0.29
42.63
0.0000426
1.5
190
70.16
126.35
67.00
2.27
0.31
38.83
1.0
175
72.64
165.08
64.06
3.47
0.32
53.60
0.0000536
2.0
282
33.53
640.32
67.92
1.48
0.31
195.89
0.0001959
1.5
226
57.77
142.62
66.62
3.08
0.30
43.21
0.0000432
1.0
255
61.22
127.16
60.22
3.97
0.36
45.53
0.0000455 0.0000661
21.88
115.32
6.44
35.06
0.0000079
0.0000388
261.79 1.0
265
65.50
202.42
64.43
2.91
0.33
66.09
1.5
269
52.74
196.42
68.35
2.28
0.29
57.69
2.5
360
40.74
227.37
65.86
3.39
0.31
69.92
0.0000699
2.2
397
37.28
152.97
68.30
2.75
0.29
44.29
0.0000443
81.68
0.0000577
IV
Rata-rata C (ton)
0.0000064
0.0000351
0.0000817
74
KT
V
D (cm)
Tt (cm)
BJ (gr/cm 3)
KA (%)
B (gr)
2.5
388
65.42
208.56
2.7
400
34.96
2.5
368
3.5
506
3.5
489
3.0
504
2.5
480
3.0
450
Ratarata (gr) 253.85
KZT (%)
KAB (%)
%C
C (gr)
Ratarata (gr) 78.61
C (ton)
66.20
2.55
0.31
65.17
259.33
64.69
3.56
0.32
82.34
0.0000823
40.14
421.01
65.67
3.13
0.31
131.34
0.0001313
49.82
984.49
62.16
3.16
0.35
341.43
0.0003414
43.41
836.76
60.28
2.30
0.37
313.13
0.0003131
25.70
1062.02
61.98
2.52
0.35
376.95
40.17
288.94
33.20
645.66
763.57
0.0000652
Rata-rata C (ton) 0.0000786
0.0003769 284.84
0.0002848
55.38
3.38
0.41
119.18
0.0001192
54.97
2.67
0.42
273.54
0.0002735
Ket: KT = Kelas Tinggi, D = Diameter, Tt = Tinggi Total, KA = Kadar Air, KZT = Kadar Zat Terbang, KAB = Kadar Abu, % C = % C-organik, C = Massa Karbon
Lampiran 10 Data dan hasil analisis bagian daun dari Avicennia marina KT
I
II
III
IV
V
D (cm)
Tt (cm)
BJ (gr/cm 3)
KA (%)
B (gr)
Ratarata (gr)
KZT (%)
KAB (%)
%C
C (gr)
Ratarata (gr)
C (ton)
0.7
85
201.10
59.78
70.26
9.51
0.20
12.09
0.0000121
0.8
100
156.36
43.18
71.73
8.50
0.20
8.53
0.0000085
0.7
93
147.60
15.76
69.15
12.33
0.19
2.92
0.7
100
158.05
23.25
0.8
96
182.65
1.0
185
1.0 1.5
31.11
0.0000029 6.15
70.69
8.91
0.20
4.74
13.56
76.07
5.79
0.18
2.46
0.0000025
190.42
61.98
64.85
12.06
0.23
14.31
0.0000143
178
131.70
37.88
70.65
10.62
0.19
7.09
0.0000071
199
162.14
183.06
68.74
10.44
0.21
38.10
1.5
190
117.30
115.05
1.0
175
129.84
2.0
282
1.5
126.53
0.0000047
10.18
0.21
24.33
234.70
70.18
8.53
0.21
49.97
0.0000500
99.29
499.27
71.22
10.25
0.19
92.54
0.0000925
226
165.30
195.69
74.50
4.42
0.21
41.25
0.0000413
1.0
255
128.13
225.75
70.47
9.99
0.20
44.12
0.0000441
1.0
265
151.84
195.06
71.98
9.78
0.18
35.58
1.5
269
171.94
159.96
71.37
8.99
0.20
31.43
0.0000314
2.5
360
114.43
195.87
74.10
6.00
0.20
38.96
0.0000390
2.2
397
123.69
118.92
73.53
7.04
0.19
23.11
0.0000231
2.5
388
109.55
202.81
72.79
6.05
0.21
42.93
0.0000429
2.7
400
125.67
143.16
69.13
9.92
0.21
29.99
2.5
368
123.03
246.60
69.86
10.22
0.20
49.12
0.0000491
3.5
506
128.13
684.29
71.24
9.89
0.19
129.14
0.0001291
3.5
489
150.62
696.28
72.0492
8.22
0.20
137.36
0.0001374
3.0
504
191.07
782.067
66.36
11.98
0.22
169.44
2.5
480
114.37
275.23
3.0
450
110.05
383.24
181.47
564.22
72.81
7.46
0.20
54.30
72.35
8.04
0.20
75.15
0.0000061
0.0000381 26.76
68.67
255.15
Rata-rata C (ton)
48.98
36.82
0.0000243
0.0000356
0.0000300
0.0000268
0.0000490
0.0000368
0.0001694 113.08
0.0000543 0.0000751
Ket: KT = Kelas Tinggi, D = Diameter, Tt = Tinggi Total, KA = Kadar Air, KZT = Kadar Zat Terbang, KAB = Kadar Abu, % C = % C-organik, C = Massa Karbon
0.0001131
75
Lampiran 11 Hasil analisis biomassa. massa karbon, dan serapan karbondiokasida (CO2) Kelas Tinggi (cm)
C (akar. batang. cabang. daun)(gr)
Biomassa (akar. batang. cabang. daun) (gr)
Jumlah Individu (N)
C Total (gr)
C Total (Ton)
C Total (Ton/ha)
CO2
I
0-100
106.87
33.56
1.311
44.000
0.04
0.05
0.18
II
101-200
624.77
197.69
3.306
653.567
0.65
0.74
2.72
III
201-300
971.48
373.98
2.102
786.103
0.79
0.89
3.28
IV
301-400
1.482.88
573.78
14.487
8.312.318
8.31
9.45
34.63
V
401-500
3.650.95
1588.84
13.676
21.728.968
21.73
24.69
90.54
TOTAL
6.836.95
2.767.85
34.882
31.524.955
31.52
39.41
131.35
RATARATA
1.367.39
553.57
47.697.281
47.70
54.20
198.74
Ket: Total = akar + batang + cabang + daun
Lampiran 12 Data dan informasi sedimen/ substrat lumpur Plot
h (cm)
Sampel
KA (%)
Bb (gr)
Bk (gr)
La (cm2)
t (cm)
V (cm3)
BD (gr/cm3)
%C (Walkey & Black)
Sampel C (gr)
C (Ton)
0-10
8.58
180
165.78
9.8125
10
98.125
1.69
1.39
2.30
0.0000023
10-50
10.21
180
163.32
9.8125
40
392.500
0.42
1.18
1.93
0.0000019
0-10
7.26
140
130.52
9.8125
10
98.125
1.33
1.31
1.71
0.0000017
10-50
7.57
175
162.68
9.8125
40
392.500
0.41
1.40
2.28
0.0000023
50-100
8.53
190
175.07
9.8125
50
490.625
0.36
1.87
3.27
0.0000033
100-200
6.22
205
193.00
9.8125
100
981.250
0.20
1.44
2.78
0.0000028
200-300
6.74
170
159.27
9.8125
100
981.250
0.16
1.93
3.07
0.0000031
300-400
5.92
200
188.82
9.8125
100
981.250
0.19
1.73
3.27
0.0000033
0-10
6.74
185
173.32
9.8125
10
98.125
1.77
1.38
2.39
0.0000024
10-50
8.18
175
161.77
9.8125
40
392.500
0.41
1.82
2.94
0.0000029
50-100
6.2
185
174.20
9.8125
50
490.625
0.36
1.30
2.26
0.0000023
100-200
7.55
180
167.36
9.8125
100
981.250
0.17
1.63
2.73
0.0000027
200-300
7.42
185
172.22
9.8125
100
981.250
0.18
1.34
2.31
0.0000023
300-400
7.95
175
162.11
9.8125
100
981.250
0.17
1.59
2.58
0.0000026
0-10
9.36
170
155.45
9.8125
10
98.125
1.58
1.6
2.49
0.0000025
10-50
10.78
200
180.54
9.8125
40
392.500
0.46
1.36
2.46
0.0000025
50-100
7.62
195
181.19
9.8125
50
490.625
0.37
1.38
2.50
0.0000025
100-200
6
175
165.09
9.8125
100
981.250
0.17
1.68
2.77
0.0000028
200-300
C1R1
C1R2
C1R3
C2R1
7.67
195
181.11
9.8125
100
981.250
0.18
1.70
3.08
0.0000031
0-10
7.5
170
158.14
9.8125
10
98.125
1.61
1.79
2.83
0.0000028
10-50
9.38
185
169.14
9.8125
40
392.500
0.43
1.1
1.86
0.0000019
50-100
10.8
185
166.97
9.8125
50
490.625
0.34
1.4
2.34
0.0000023
100-200
7.64
210
195.09
9.8125
100
981.250
0.20
1.49
2.91
0.0000029
200-300
6.01
170
160.36
9.8125
100
981.250
0.16
1.62
2.60
0.0000026
300-400
7.69
180
167.15
9.8125
100
981.250
0.17
1.45
2.42
0.0000024
C2R2
76
Plot
h (cm)
KA (%)
Sampel Bb (gr)
Bk (gr)
La (cm2)
t (cm)
V (cm3)
BD (gr/cm3)
%C (Walkey & Black)
Sampel C (gr)
C (Ton)
0-10
6.95
175
163.63
9.8125
10
98.125
1.67
1.76
2.88
0.0000029
10-50
8.45
170
156.75
9.8125
40
392.500
0.40
1.32
2.07
0.0000021
50-100
7.73
190
176.37
9.8125
50
490.625
0.36
1.56
2.75
0.0000028
100-200
8.25
195
180.14
9.8125
100
981.250
0.18
1.53
2.76
0.0000028
200-300
10.58
185
167.30
9.8125
100
981.250
0.17
1.42
2.38
0.0000024
300-400
5.05
170
161.83
9.8125
100
981.250
0.16
1.62
2.62
0.0000026
0-10
9.48
180
164.41
9.8125
10
98.125
1.68
1.78
2.93
0.0000029
10-50
12.53
170
151.07
9.8125
40
392.500
0.38
2.04
3.08
0.0000031
50-100
4.93
195
185.84
9.8125
50
490.625
0.38
1.19
2.21
0.0000022
100-200
9.28
180
164.71
9.8125
100
981.250
0.17
1.96
3.23
0.0000032
200-300
8.44
185
170.60
9.8125
100
981.250
0.17
1.40
2.39
0.0000024
0-10
12.19
175
155.99
9.8125
10
98.125
1.59
0.97
1.51
0.0000015
10-50
12.92
195
172.69
9.8125
40
392.500
0.44
0.80
1.38
0.0000014
50-100
0.51
180
179.09
9.8125
50
490.625
0.37
1.37
2.45
0.0000025
100-200
11
195
175.68
9.8125
100
981.250
0.18
0.93
1.63
0.0000016
200-300
10.35
185
167.65
9.8125
100
981.250
0.17
0.91
1.53
0.0000015
C2R3
C3R1
C3R2
300-400
8.58
205
188.80
9.8125
100
981.250
0.19
1.27
2.40
0.0000024
0-10
10.21
180
163.32
9.8125
10
98.125
1.66
1.11
1.81
0.0000018
10-50
7.26
175
163.15
9.8125
40
392.500
0.42
0.71
1.16
0.0000012
50-100
7.57
170
158.04
9.8125
50
490.625
0.32
1.22
1.93
0.0000019
100-200
8.53
165
152.03
9.8125
100
981.250
0.15
1.73
2.63
0.0000026
200-300
6.22
180
169.46
9.8125
100
981.250
0.17
1.07
1.81
0.0000018
300-400
6.74
180
168.63
9.8125
100
981.250
0.17
1.14
1.92
0.0000019
0-10
7.92
185
171.42
9.8125
10
98.125
1.75
0.70
1.20
0.0000012
10-50
6.74
185
173.32
9.8125
40
392.500
0.44
1.44
2.50
0.0000025
50-100
8.18
190
175.63
9.8125
50
490.625
0.36
1.37
2.41
0.0000024
100-200
6.2
175
164.78
9.8125
100
981.250
0.17
1.28
2.11
0.0000021
200-300
7.55
165
153.42
9.8125
100
981.250
0.16
1.29
1.98
0.0000020
0-10
7.42
190
176.88
9.8125
10
98.125
1.80
1.10
1.95
0.0000019
10-50
7.95
180
166.74
9.8125
40
392.500
0.42
1.07
1.78
0.0000018
50-100
9.36
180
164.59
9.8125
50
490.625
0.34
1.27
2.09
0.0000021
100-200
10.78
175
157.97
9.8125
100
981.250
0.16
1.23
1.94
0.0000019
200-300
7.62
190
176.55
9.8125
100
981.250
0.18
1.58
2.79
0.0000028
300-400
7.4
170
158.29
9.8125
100
981.250
0.16
1.52
2.41
0.0000024
0-10
7.67
175
162.53
9.8125
10
98.125
1.66
1.33
2.16
0.0000022
10-50
6.95
175
163.63
9.8125
40
392.500
0.42
1.15
1.88
0.0000019
50-100
8.45
200
184.42
9.8125
50
490.625
0.38
1.28
2.36
0.0000024
100-200
7.73
160
148.52
9.8125
100
981.250
0.15
1.59
2.36
0.0000024
200-300
8.24
175
161.68
9.8125
100
981.250
0.16
1.60
2.59
0.0000026
300-400
8.58
185
170.38
9.8125
100
981.250
0.17
1.76
3.00
0.0000030
153.04
0.0001530
C3R3
C4R1
C4R2
C4R3
SUM
77
Plot
h (cm)
KA (%)
Sampel Bb (gr)
Bk (gr)
La (cm2)
t (cm)
V (cm3)
BD (gr/cm3)
%C (Walkey & Black)
Sampel C (gr)
C (Ton)
AVER AGE
8.06
181.46
167.96
9.8125
63.85
626.490
0.52
1.40
2.35
0.0000024
SD
1.94
11.85
11.19
0.0000
36.00
353.238
0.55
0.30
0.50
0.0000005
SE
0.24
1.48
1.40
0.0000
4.50
44.15
0.07
0.04
0.06
0.0000001
Ket: h = Kedalaman, KA = Kadar Air, Bb = Berat Basah, Bk = Berat Kering, La = Luas Alas, t = Tinggi, V = Volume, BD = Bulk Density % C= % C-organik sedimen, C = Massa Karbon
Lampiran 13 Hasil analisis bulk density (BD) dan % C-organik sedimen/ substrat lumpur Rata-Rata BD (gr/cm3) Plot
0-10 cm
10-50 cm
50-100 cm
100-200 cm
Rata-rata % C-Organik
200-300 cm
300-400 cm
0-10 cm
10-50 cm
50-100 cm
100-200 cm
200-300 cm
300-400 cm
C1R1
1.69
0.42
-
-
-
-
1.39
1.18
-
-
-
-
C1R2
1.33
0.41
0.36
0.20
0.16
0.19
1.31
1.40
1.87
1.44
1.73
1.73
C1R3
1.77
0.41
0.36
0.17
0.18
0.17
1.38
1.82
1.30
1.63
1.34
1.59
C2R1
1.58
0.46
0.37
0.17
0.18
-
1.60
1.36
1.38
1.68
1.68
-
C2R2
1.61
0.43
0.34
0.20
0.16
0.17
1.79
1.10
1.40
1.49
1.62
1.45
C2R3
1.67
0.40
0.36
0.18
0.17
0.16
1.76
1.32
1.56
1.53
1.42
1.62
C3R1
1.68
0.38
0.38
0.17
0.17
-
1.78
2.04
1.19
1.96
1.40
-
C3R2
1.59
0.44
0.37
0.18
0.17
0.19
0.97
0.80
1.37
0.93
0.91
1.27
C3R3
1.66
0.42
0.32
0.15
0.17
0.17
1.11
0.71
1.22
1.73
1.07
1.14
C4R1
1.75
0.44
0.36
0.17
0.16
-
0.70
1.44
1.37
1.28
1.29
-
C4R2
1.80
0.42
0.34
0.16
0.18
0.16
1.10
1.07
1.27
1.23
1.58
1.52
C4R3
1.66
0.42
0.38
0.15
0.16
0.17
1.33
1.15
1.28
1.59
1.60
1.76
RATARATA
1.65
0.42
0.36
0.17
0.17
0.17
1.35
1.28
1.38
1.50
1.42
1.51
SD
0.12
0.02
0.02
0.02
0.01
0.01
0.33
0.36
0.18
0.27
0.25
0.20
SE
0.03
0.01
0.01
0.00
0.00
0.00
0.10
0.10
0.05
0.08
0.07
0.07
Keterangan: - = Tidak ada data
78
Lampiran 14 Pengambilan sampel sedimen dan vegetasi Avicennia marina
Pengambilan sampel Avicennia marina secara destruktif
Sampel Avicennia marina yang telah dicabut (destruktif sampling)
Proses pengambilan sampel sedimen
Contoh sedimen yang telah diambil menggunakan bor tanah
Proses pengambilan sampel sedimen dari bor tanah ke alumunium foil
Proses pencacahan sampel vegetasi Avicennia marina
Proses pencacahan bagian akar dari Avicennia marina
sampel vegetasi Avicennia marina yang sudah dicacah dan siap ditimbang berat basahnya
79
Proses penimbangan bagian akar Avicennia marina
Proses penimbangan bagian batang Avicennia marina
Proses penimbangan bagian cabang Avicennia marina
Proses penimbangan bagian daun Avicennia marina
Lampiran 15 Analisis sampel di laboratorium
Sampel akar Avicennia marina yang siap untuk dianalisis
Sampel batang Avicennia marina yang siap untuk dianalisis
Sampel cabang Avicennia marina yang siap untuk dianalisis
Sampel daun Avicennia marina yang siap untuk dianalisis
80
Oven yang digunakan untuk proses analisis
Tanur yang digunakan untuk proses analisis
Sampel untuk penentuan berat jenis
Proses pencelupan sampel ke dalam parafin untuk analisis berat jenis
Sampel untuk penentuan kadar air
Sampel yang siap untuk dianalisis kadar zat terbang
Sampel hasil analisis kadar zat terbang
Sampel hasil analisis kadar abu
81
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Provinsi Jawa Barat pada tanggal 17 Juni 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Ayahanda Ujang Sukanta dan Ibunda Nuryati. Penulis menikah dengan Aswin Rahadian, S. Hut dan dikaruniai seorang putri yang bernama Ashagiselva Tasmira Rahadian. Pada tahun 1994, penulis memulai pendidikan dasar (SD) di SDN Sukalaksana II Kotamadya Bandung. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya di SDN Cibolang Kabupaten Bandung dan lulus tahun 2000. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SLTPN 1 Soreang Kabupaten Bandung pada tahun yang sama dan menyelesaikan pendidikan tingkat pertamanya pada tahun 2003. Selanjutnya, di tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di SMAN 1 Margahayu Kabupaten Bandung dan lulus tahun 2006. Pada tahun yang sama (2006), penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menghabiskan tingkap persiapan bersama (TPB) di asrama putri A2. Pada saat itu penulis belum masuk ke departemen/ jurusan manapun di IPB. Satu tahun kemudian, yaitu pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Biokimia IPB dan lulus tahun 2010 dengan IPK 3.42. Tiga tahun kemudian, pada tahun 2013 penulis memperoleh beasiswa pendidikan pascasarjana dalam negeri Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (BPPDN-DIKTI) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dengan massa pemberian beasiswa selama 4 semester (2 tahun). Penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjananya 6 bulan setelah massa pemberian beassiwa tersebut habis, yaitu Februari 2016 dengan IPK 3.81. Penulis pernah bekerja sebagai asisten laboratorium di D3-IPB untuk mata kuliah Biokimia Umum (2011), staff laboratorium PT. Idaman Era Mandiri (2011), dan Social Economy Specialist di Wetlands International Indonesia (20122013). Penulis juga pernah menjadi editor buku Pemetaan Mangrove Pulau Sumatera (2014) yang dibuat oleh Badan Informasi Geospatial (BIG) dan Wetlands International Indonesia (WII).